KEMETAFORAAN YANG TERKANDUNG DALAM CAKEPAN TEMBANG - TEMBANG JAWA Oleh : S. Hesti Heriwati
Abstract The problem of metaphore is the reality of creative power of language and in the metaphore there is something spoken and compared. There is a distance between tenor and vehicle which is very interesting. The more distant the more expressive the meaning of metaphore. Metaphore is consists of four kinds, they are anthropomorphic, animal, abstract to concret and the oposite, and sinesthetic. These kinds of metaphore are for knowing how the perception about static space predicted as human being, animal or other creatures and there is the change of concept causing the resemblance of the perceptual and physical meanings. Metaphore is still interesting for the linguists because it is viewed as a process of transference between two conditions or experiences based on the association each others. Key words : expressive, resemblance of perception and physic.
PENDAHULUAN Bahasa tidak hanya membantu manusia mampu berpikir secara teratur tetapi juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang dipikirkan kepada orang lain. Melalui bahasa, orang dapat mengekspresikan sikap dan perasaan manusia. Apabila seseorang berbakat sastra mungkin akan mengekspresikan perasaannya dengan cara lain, misalnya: menulis puisi yang terdiri dari beberapa bait. Atau mengungkapkan imajinasi pikir dalam karya cerpen, novel. Apa yang sedang dilakukan pada dasarnya juga menggunakan media bahasa. Dengan adanya bahasa maka manusia hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa. Manusia mencoba mengatur pengalaman yang nyata ini dengan berorientasi kepada manusia simbolik.
Roman Jacobson (dalam Tarigan 1987:11) membeberkan fungsi bahasa yang di antaranya disebutkan bahwa bahasa berfungsi emotif yaitu memusatkan perhatian pada keadaan seorang pembicara; serta fungsi puitik yaitu memusatkan perhatian pada bagaimana caranya suatu pesan disandikan. Sebagai perwujudan komunikasi di dalam pemakaian bahasa akan dijumpai cara-cara tertentu yang dipakai oleh pembicara atau penulis untuk melahirkan buah pikirannya. Hal ini dapat memberikan suatu nilai dalam kehidupan sehingga membawa dampak adanya rasa batin yang puas dan senang. Menurut Bertand Russel (dalam Suriasumantri, 1999:174) “dunia tanpa kesukaan dan kemesraan adalah dunia tanpa nilai”. Cara mengungkapkan bahasa ada beberapa macam; Salah satunya yakni pengungkapan melalui gaya bahasa.
S. Hesti Heriwati : adalah Dosen Progdi Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia, STSI Surakarta
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
69
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
Gaya bahasa yaitu cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa
Tembang memiliki kharisma tersendiri baik sebagai media pendidikan maupun hiburan. Tembang
dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa (Gorys Keraf, 1995:113). Salah satu gaya bahasa yang membahas ketidaklangsungan makna adalah metafora. Metafora bukan hanya dapat menambah
dalam keberadaannya masih tetap eksis, kaitannya dengan seni pertunjukan bahwa tembang tidak saja dimiliki oleh masyarakat Jawa akan tetapi masyarakat Bali dan Sunda pun juga memiliki budaya tembang sampai saat ini. Tembang-tembang Jawa yang dalam
kekuatan pada suatu ungkapan kebahasaan, melainkan juga sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan yang dapat membantu
hal ini meliputi beberapa sekar ageng (tembang ageng), sekar tengahan (tembang tengahan), sekar
seseorang untuk melukiskan realitas yang sesungguhnya dengan gagasan-gagasan abstrak yang
macapat (tembang macapat) dan tembang dolanan; sangat menarik untuk dikaji. Ketertarikan penulis
ingin disampaikan.
terhadap tembang Jawa karena di dalamnya tersirat dan tersurat ajaran atau nilai yang menurut masyarakat
Di dalam karya sastra Jawa banyak dijumpai metafora, misalnya terdapat dalam karya Mahabharata, Ramayana, Wedhatama, Tripama, Centhini, Babad Tanah Jawi. Karya sastra yang berbentuk puisi dalam bahasa Jawa terdapat dalam mantra, di dalam mantra tercermin hakikat sesungguhnya dari puisi, yakni terdapatnya pengkonsentrasian kekuatan bahasa yang dimaksudkan oleh penciptanya untuk menimbulkan daya magis atau kekuatan gaib. Selain mantra ada bentuk-bentuk lainnya yakni pantun, syair, parikan, wangsalan, puisi Jawa/ geguritan, dan tembang Jawa. Karya puisi, tembang khususnya, metafora dapat digunakan untuk menyatakan keekspresifan dan keefektifan sehingga metafora tampak di dalam karya puisi atau tembang yang didasarkan atas keserupaan emosi dan perseptual penyairnya terhadap dunia sekitarnya. Edi Subroto (1989) berpendapat bahwa wajar saja jika puisi atau tembang itu kaya akan
pendukungnya dapat dijadikan acuan dalam menjalankan hidup dan kehidupan. Pemakaian bahasa dalam cakepan tembang banyak menggunakan keindahan unsur bunyi seperti aliterasi dan asonansi sesuai dengan rumus-rumus tembang. Kehadiran tembang melalui cakepannya (syair) terdapat pemakaian bahasa yang tidak mudah dimengerti serta banyak mengandung samudana-samudana. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka penulisan ini akan mengetengahkan tentang jenis-jenis metafora dalam beberapa tembang Jawa. Hal ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang jenis-jenis metaforanya. Melalui penulisan yang bersifat kualitatif ini di dalam memperoleh datanya digunakan cara simak dan catat; serta teknik analisis terhadap beberapa tembang Jawa menggunakan padan referensial.
ungkapan-ungkapan metaforis karena beberapa ciri dunia nyata telah dialihkan ke dunia imajinasi di dalam karya puisi termasuk tembang.
70
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
(i). Anthropomorphic dengan “The greater
METAFORA DAN TEMBANG Metafora digunakan untuk menyatakan keekspresifan dan keefektifan pemakaian bahasa, sehingga metafora tampak di dalam karya puisi atau tembang didasarkan atas keserupaan emosi dan perseptual penyairnya terhadap dunia sekitarnya. Edi Subroto (1991) dalam permasalahan yang membahas Metafora dan Kemetaforaan Terhadap Analisis pada Beberapa Puisi Indonesia, antara lain menjelaskan bahwa tipe-tipe metafora dapat dilihat berdasarkan pada hubungan tenor dan wahana serta membagi tingkat keekspresifan ungkapan metaforis dalam dua hal. Selanjutnya Ullman (1972) dalam buku Semantics an Introduction to the Science of Meaning, mengetengahkan istilah tenor dan vehicle, sebagai ciri-ciri umum yang dipunyai untuk membentuk dasar metafora. Susunan dasar dari metafora sangat sederhana ada dua istilah yakni yang dibandingkan dan hal yang membandingkan; tenor dan wahana (vehicle). Ullmann menyebut subjek-subjek metafora dengan barang yang sedang kita bicarakan dan barang yang kita perbandingkan dengannya. Semantic an Introduction to the Science of Meaning karya Ullman menguraikan tentang kedua hal tersebut dengan istilah tenor dan vehicle, sedangkan ciri-ciri umum yang mereka punyai membentuk dasar metafora. Selanjutnya Ullmann (1972:218) membedakan beberapa
jenis
kemetaforaan
yakni:
Anthropomorphic metaphors (metafora antropomorfis), metafora kehewanan (animal metaphors), metafora yang timbul karena perpindahan pengalaman dari yang konkret ke abstrak atau sebaliknya (from concrete to abstract); synaestetic metaphors (metafora sinestetik). Lebih jelasnya jenis-jenis kemetaforaan dari Ullmann (1972:214) diuraikan sebagai berikut.
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
part an expressions refering to inanimate objects are taken by transfer by human body and its, from human sense and a human passions” (ii). Animal metaphors (metafora kehewanan) adalah “Another perennial source of imagery is the animal kingdom” (sumber terbesar lain dari perbandingan ini adalah dunia hewan). (iii). From concrete to abstract yaitu timbul karena perpindahan pengalaman dari konkret ke abstrak atau sebaliknya ditegaskan sebagai berikut “One of the basic tendencies in metaphor is to translate absract experiences into concrete terms” (salah satu dasar kecenderungan dalam metafora ini adalah dengan menerjemahkan pengalaman abstrak ke dalam pengertian yang konkret). Yang keempat (iv). Synaethetic metaphors (metafora sintetik), dasar penciptaan ini adalah pengalihan tanggapan, mengatakan “A very common type of metaphor is based on transpositions from one sense to another from sound to sight; from touch to sound etc” (tipe metafora yang sangat umum didasarkan pada pengalaman pengertian satu ke pengertian yang lain; dari bunyi ke pandangan atau penglihatan dari rabaan atau sentuhan ke pendengaran dsb.) Tembang menurut Martopangrawit (1967) dalam bukunya Tetembangan adalah vokal yang berhubungan dengan karawitan (musik Jawa) seperti: sindhenan, bawa, gerong, sulukan, sekar ageng, sekar tengahan, dan sekar macapat. Pengertian tembang dapat diartikan vokal pria atau wanita yang menyertai gendhing atau Solo (menyanyi sendiri tanpa iringan karawitan) dalam suatu sajian karawitan. Adapun yang termasuk tembang di sini adalah sekar ageng, sekar tengahan, sekar macapat dan tembang dolanan.
71
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
JENIS-JENIS METAFORA TEMBANG-TEMBANG JAWA
DALAM
Ungkapan metafora yang terdapat pada contoh
Pokok pembahasan telah menyinggung
(3.1.1) kata nyawa yang dimiliki oleh manusia dan makhluk hidup lainnya dianggap bisa berbuat sesuatu,
bahwa metafora merupakan pemakaian bahasa yang efektif atau berdaya ekspresif, hal ini banyak dijumpai pada pemakaian bahasa kreatif terutama tembang atau puisi. Keekspresifan metafora
misalnya: memberi ketenangan, meminta perhatian , memilih dan memutuskan adalah perbuatan yang
didasarkan atas keserupaan emosi atau perseptual penyair terhadap dunia sekitarnya. Oleh sebab itu suatu tembang wajar bila di dalamnya kaya akan ungkapan-ungkapan metaforis dan berikut ini jenis
manusia, ungkapan metafora nyawa tan asung, telah terjadi ungkapan metaforis yang tergolong
-jenis metafora dalam beberapa tembang Jawa yang dimaksud.
manusia. Dengan demikian cakepan tersebut dapat disebut sebagai metafora, untuk memberikan daya kuat terhadap objek yang dihadapi. Dengan demikian perilaku nyawa dipersepsikan sebagai manusia layaknya yang dianggap dapat diperlihatkan akan perilakunya.
3.1 Metafora Anthropomorphic Metafora anthropomorphic atau antropomorfis lebih banyak berbicara tentang sesuatu yang banyak berhubungan dengan masalah kehidupan manusia. Hal-hal yang berkaitan dengan makhluk hidup (manusia) yang meliputi tingkah laku, sifat, watak / karakteristik manusia. Bagian yang lebih besar dari ekspresinya menjunjuk pada objek-objek benda mati diambil dengan jalan memindahkan dari tubuh manusia dan bagian-bagiannya dari perasaanperasaan dan nafsu-nafsunya. Berikut ini metafora antropomorfis yang terdapat dalam Candra Asmara - Sekar Ageng. (3.1.1) Dhuh nyawa dene tan asung Pisungsung sangsangan sari Sarireng sru marlupa Lir pepes bayu ngong tapis
hanya dapat dilakukan oleh manusia berakal sehat. Kesemuanya ini berhubungan dengan perilaku
antropomorfis. Kata nyawa yang dianggap bisa berbuat sesuatu dan dipadankan sebagai human –
Berikut ini metafora antropomorfis yang terdapat dalam cakepan Pocung - Sekar Macapat. (3.1.2) Nenging swara sawer musna tan kadulu Gara-gara prapta Jawah lesus kilat thathit Aliweran baledheg dhar-dhor tan pegat (Centhini I:75).
Terjemahan: Heningnya suara ular musnah tidak terlihat Gara-gara angin Hujan angin disertai halilintar Bergemuruh suara halilintar tiada henti
Terjemahan: Aduh sukma yang tidak memberi Pemberian kalung bunga Badanku lelah sekali bagaikan luluh semua tulangnya
72
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
Ungkapan (3.1.2) yang bertindak sebagai tenor atau sesuatu yang dibandingkan adalah baledheg ‘halilintar’ yang dipersepsikan sebagai manusia yang dapat bertindak, misalnya: berlari, berdiam, berkeliaran. Adapun wahana atau sesuatu yang membandingkan adalah aliweran ‘berkeliaran’ artinya baledheg yang aliweran, halilintar yang berkepanjangan dan menggema itu juga merupakan suatu pertanda dalam suasana hujan, gelap, mencekam. Baledheg dhar-dhor tan pegat ‘kilat yang bergemuruh tiada henti-hentinya, menggema secara terus - menerus tan pegat ‘tiada henti’, makna yang terkandung adalah tidak sekedar putus saja akan tetapi selalu berkelanjutan . Makna secara metaforis pada baledheg tan pegat merupakan ungkapan makna yang bunyi kilat yang berkepanjangan, apabila dihubungkan dengan suasana yang terdapat kilat yang bergemuruh tentu dalam musim penghujan. Persepsi kata pegat ‘cerai’ hanya bisa dilakukan oleh manusia akan tetapi dalam larik aliweran baledheg tan pegat , telah terjadi persamaan persepsi dimana baledheg ‘kilat’ bisa dianggap melakukan pegat. Makna secara metaforis adalah gambaran di waktu hujan deras dengan disertai kilat yang bergemuruh. Hal ini dalam istilah perhitungan Jawa disebut dengan mangsa kasanga dimana pada musim ini ditandai dengan banyaknya suara halilintar yang berkepanjangan dan bergemuruh.
(3.1.3) Witing klapa jawata ing Arcapada Salugune wong wanita Adhuh ndara kula sampun njajah ing Ngayogyakarta Surakarta Terjemahan: Pohon kelapa dewa di dunia Sederhananya seorang wanita Aduh, ndara saya sudah melanglang buawana Yogyakarta Surakarta Yang bertindak sebagai tenor atau sesuatu yang dibandingkan adalah wit klapa ‘pohon kelapa’ yang dipersepsikan sebagai makhluk hidup (manusia) yang dapat melakukan segala aktivitas, misalnya: bertahta, sebagai raja, ratu, kepala negara, menteri. Adapun wahana atau sesuatu yang membandingkan adalah jawata ‘dewa’ yang berdiam diri bertahta di arcapada ‘di dunia’. Ungkapan antropomorfis terletak dalam ungkapan witing klapa jawata ing arcapada; pohon kelapa dipersepsikan sebagai makhluk manusia seperti dewa yang dapat bertahta di dunia. Artinya secara metaforis adalah pohon kelapa yang banyak tumbuh di bumi nusantara ini seakan-akan mendominasi di samping nilai guna yang ada pada pohon tersebut. 3.2 Metafora Animal ( binatang)
Adapun metafora antropomorfik yang terdapat di dalam tembang dolanan dapat dijelaskan
Sumber terbesar dari perbandingan ini adalah dunia binatang atau hewan, metafora ini didasarkan
dalam ungkapan metafora yang terdapat di dalam cakepan Witing Klapa - Tembang Dolanan berikut ini.
atas dunia binatang dengan segala sifatnya yang dikenakan metafora dengan kebinatangannya yang terpenting adalah asosiasi membandingkan sifat-sifat binatang dan sifat manusia yang menyerupai. Sehubungan dengan itu yang diperbandingkan tidak saja terbatas pada sifat-sifat yang dimiliki akan tetapi juga unsur-unsur tubuh.
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
73
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
Berikut ini uraian tentang metafora animal yang terdapat dalam sekar ageng yang mengandung
diibaratkan sekeras baja. Lebih jelasnya tentang penggambaran metafora animal lewat gambaran yang
ungkapan metafora animal terdapat dalam cakepan Candra Asmara-Sekar Ageng:
berkepala keras bagaikan memakai perisai baja.
(3.2.1) Urang gung kang pariswaja Mung sathithik cacatipun Wong ayu ngungkurken tresna
Terjemahan: Udang besar yang berperisai baja
Ungkapan metafora animal dalam cakepan Gambuh-Sekar Macapat terdapat dalam: (3.2.2) Si kidang suka ing panitipan Pan si gajah alena patinireki Si ula ing patinipun Ngandelake upase mandos (Wulangreh :4)
Hanya sedikit celanya Orang cantik tidak menghiraukan cinta
Terjemahan: Si kijang senang dalam pengumpanan
Metafora kebinatangan dibentuk berdasarkan dunia binatang sehingga banyak melibatkan bagian anggota tubuh, sifat dan tingkah laku. Pada metafora animal erat berkaitan dengan metafora antropomorfis karena mengaktualisasikan sesuatu makhluk bernyawa (dunia fauna) yang diasosiasikan seperti layaknya manusia. Contoh pada (3.2.1) Urang gung kang pariswaja sebagai referen-1 (tenor) adalah urang gung, sedangkan sebagai referen-2 ( wahana ) adalah pariswaja ‘perisai baja’. Sifat yang ada pada manusia diterapkan atau diasosiasikan terhadap dunia kebinatangan yaitu urang gung ‘udang besar’ yang mengenakan perisai baja. Keadaaan ini dikatakan sebagai ungkapan yang mengandung metafora animal, penulis tembang (pujangga ) waktu itu mengekspresikan suatu kenyataan yang luar biasa melalui urang gung. Tentu saja urang gung sebagai binatang besar yang memakai perisai baja sebagai layaknya manusia - dideskripsikan dengan kepala udang yang sudah mempunyai fitur yang sangat keras, seperti kenyataannya dapat dilihat maka
74
Dan si gajah tidak menghiraukan kematiannya Si Ular dalam kematiannya Mengandalkan bisanya yang berbahaya / mujarab
Ungkapan metafora si kidang suka ing panitipan ‘ kijang suka di dalam pengumpanan’ dan si gajah alena patinireki ‘gajah tidak peduli dengan kematian seseorang’ serta si ula ing patinireki ngendelake upase mandos ‘kematian seseorang tergantung pada bisa/racunnya’ metafora animal terletak pada penyebutan si kidang, si gajah, si ula yang masing-masing mempunyai kehebatan dalam mencelakakan orang lain. Misalnya binatang kijang yang selalu mencelakakan seseorang atau lawannya dengan mengadakan pancingan terhadap barangbarang yang menjadi tujuannya, padahal itu merupakan suatu umpan saja. Adapun gajah merupakan binatang besar sebagai andalannya adalah untuk mencelakakan lawannya dengan kekuatan akan badannya yang besar; sedangkan binatang ular
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
dengan racunnya / bisa yang sangat membahayakan manusia / makhluk hidup lainnya. Ungkapan
yaitu membuat dirinya bisa berbuat sesuatu yang bisa berbuat ngendelake ‘mengandalkan’ hanyalah
metafora ini menganggap bahwa binatang dianggap mampu mempunyai kekuatan sebagai layaknya manusia yang bisa berbuat atau bertindak. Ungkapan secara metaforis adalah adanya sifat adigang
manusia, namun di sini gajah dipersepsi sebagai manusia yang dapat berbuat sesuatu layaknya orang. Makna yang terdapat dalam metafora itu adalah sikap adigang, yakni mengandalkan akan kebesaran
(menyombongkan kekayaaan/kesaktian), adigung (menyombongkan kekuasaan) serta adiguna (menyombongkan kepandaian). Berikut ini tipe
tubuhnya.
metafora animal yang ungkapan metaforisnya sama dengan pembahasan pada data (3.2.1.), terdapat pula dalam cakepan Jurudemung - Sekar Tengahan. (3.2.3) Kidang banget nggone umbag Marang kebat lumpatipun Gajah ngendelake iku Si ula sru denya umuk Marang mandining kang wisa Wekasane bareng lampus. (Wulangreh : 40) Terjemahan: Kijang sangat sombong Dengan segala lompatannya Gajah mengandalkan juga Ular yang sangat sombong Dengan racun yang berbahaya Yang akhirnya semua
mati
Gajah dalam dunia fauna merupakan nama sebuah hewan yang besar dan malas. Hal ini sering digunakan dalam cerita atau lagu dolanan anak-anak, gajah binatang yang besar tubuhnya sehingga cara berjalanpun sangat lambat. Sifat atau perangai dari gajah dipersepsikan oleh pujangga bisa berbuat sesuatu seperti manusia. Gajah ngendelake artinya
3.3 Metafora dari Keadaan Konkret ke Abstrak atau dari Abstrak ke Konkret Metafora ini timbul karena terdapat perpindahan pengalaman dari konkret ke abstrak atau sebaliknya. Salah satu kecenderungan dalam metafora ini adalah dengan adanya penterjemahan pengalaman abstrak ke dalam pengertian yang konkret. Pada dasarnya metafora untuk menghidupkan suasana yang belum nyata agar lebih menjadi nyata dan mudah dimengerti. Berikut ini penjelasan tentang metafora dalam cakepan Kembang Mlathi - Tembang Dolanan seperti dalam penjelasan di atas. (3.3.1) … Takkedhep-kedhepe katon rumangsa gumantung ing telenging jantung Tindak tanduke nengsemake mugi langgeng adadi rewange Budidaya amrih mekaring kabudayan angembangrembaka Terjemahan: Saya kedipkan tampak seperti menggantung di tengah jantung Tingkah lakunya mempesona semoga selamanya demikian Berkembang demi tumbuhnya kebudayaan yang subur
secara metaforis gajah yang sebagai binatang besar mempunyai watak ngendelake ‘menyombongkan’
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
75
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
Kata angembangngrembaka ‘berkembang/ tumbuhkembang’ merupakan kelompok kata yang bukan merupakan jenis kata kelompok tanaman. Pembentukan kata itu secara metaforis berdasarkan fitur-fitur pengalaman bahwa tanaman yang tumbuh subur, rindang, menjadikan tempat teduh bagi yang berada di bawahnya dan yang menjadi lebih penting lagi adalah akarnya yang kuat sehingga tidak memudahkan pohon tumbang. Sehubungan dengan uraian di atas maka ada persepsi dari keadaan konkret kepada keadaan abstrak, kemudian dari keadaan konkret terlihat dalam ungkapan angembangangembraka kemudian dipersepsi menjadi katagori abstrak yakni dalam ungkapan budaya. Kata angembang angrembaka diterapkan untuk kata kebudayaan dengan diartikan bisa tumbuh subur seperti halnya tanaman. Ungkapan metafora berikut ini menggambarkan suasana peperangan antara Sri Harjuna Sasra dengan Raden sumantri yang sama imbangnya mempunyai kesaktian. Lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan Sekar AgengBanjaransari berikut ini. (3.3.2) Denira campuh prang Sri Harjunasasra Lawan raden Sumantri Aliru prabawa Tan ana kasoran ............
Pemakaian ungkapan kata aliru prabawa ‘bertukar kewibawaan’ dikatakan sebagai ungkapan yang mengandung metafora dari konkret ke abstrak. Kata aliru ‘tukar’ bisa dianggap untuk kelompok kata benda yang tergolong benda mati dan dapat dipegang atau dilihat / dirasakan. Akan tetapi kata prabawa dianggap sebagai kata yang konkret dengan demikian persepsi makna aliru diterapkan untuk memaknai prabawa ‘kewibawaan’. Ungkapan metaforisnya adalah saling adanya tukar kekuatan sehingga di antara keduanya tidak ada yang kalah dan tiada yang menang. Kata aliru prabawa dipersepsi sebagai tukar wibawa, kata tukar dipersepsikan dalam kata prabawa seperti halnya kata-kata aliru kalpika ‘tukar cincin’. Dengan demikian kata aliru prabawa, ada kesan ungkapan itu bisa ditukarkan antara barang satu dengan yang lainnya. Padahal untuk kata prabawa sebagai kata abstrak namun dipredikasikan sebagai kata yang konkret seperti kata kalpika ‘cincin’. Ungkapan lainnya terdapat dalam sekar tengahan yakni kata ngemban kendhine ‘membawa tempat air’ dalam (3.3.3) di bawah ini, telah terjadi perpindahan konsep, kata ngemban ‘membawamenimang’ biasanya digunakan untuk ngemban / nggendong bayi anak manusia, akan tetapi di sini dengan kata kendhi. Dengan demikian telah terjadi perpindahan konsep yang semula dan seharusnya kata ngemban digunakan untuk menggendong bayi/ manusia namun diperlakukan untuk kendhi. Kata kendhi merupakan sesuatu hal yang dianggap penting
Terjemahan: Olehmu dalam perang Sri Harjanasasra Melawan dengan Raden Sumantri, Bertukar kewibawaan
dalam kehidupan untuk tempat / wadah air; air merupakan sumber kehidupan manusia. Hal ini tampak dalam Balabak – Sekar Tengahan berikut.
Tak ada yang kalah ..............
76
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
(3.3.3) Nggendhong cething manggul sumbul sarwi ngemban kendhine Gya umangkat semparet agegancangan lampahe …
Ungkapan metafora dalam (3.4.1) di atas terjadi pengalihan tanggapan dari referen -1 yang berdasar pada pengertian tanaman ( biji ) temu giring ‘nama biji sebangsa kunyit’ yang berwarna kuning keemasan terhadap referen -2 yaitu pengertian
(Wulangreh : 34)
manusia. Tidak semua orang mempunyai jenis warna kulit yang kuning sehingga menimbulkan nuansa
Terjemahan:
warna kuning bersih keemasan bagaikan biji temu giring. Ungkapan metaforis makna yang ditimbulkan adalah sosok seseorang yang berkulit halus, kuning, memancarkan sinar itu yang menjadikan sangat
Menggendong ceting memanggul (sumbul) serta membawa kendi Segera berangkat secepat langkahnya
dicintai dan dikagumi oleh orang lain - seakanakan menyatu dalam jiwanya. Metafora sinestetik lainnya terdapat pada Megatruh - Sekar Macapat:
3.4 Metafora Sinestetik Dasar penciptaan ini adalah pengalihan tanggapan yaitu tipe metafora yang sangat umum didasarkan pada pengalaman pengertian yang satu ke pengertian yang lain. Di samping itu, perpindahan terjadi dari bunyi ke pandangan atau pengelihatan dan rabaan atau sentuhan. Data dalam Bangsapatra-Sekar Ageng ini terdapat empat metafora sinestetis, hal ini dapat dilihat pada uraian berikut. (3.4.1) Wong kuning nemu giring dhuh jiwengsun Paringa usada Esemnira gebyaring
thathit
Terjemahan: Orang kuning langsat, aduh belahan jiwaku Berikanlah pengobatan Senyummu (bagaikan) halilintar yang bersinar
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
(3.4.2) Jayengsari angandika manis arum Inggih paman tembe manis arum Wus kerit marang Ki Buyut Lajeng tumameng ing panti Nyai Buyut gupoh-gupoh (Centhini III:43) Terjemahan: Jayengsari berkata manis harum Ya paman di kemudian hari menemui kemudahan Semuanya pergi ke Ki Buyut Lalu tiba di panti Nyai Buyut bergegas menemui
Kalimat metafora dalam (3.4.2.) telah terjadi peralihan konsep rasa manis - bau harum diterapkan terhadap bicara seseorang. Kata manis dan harum selalu berkaitan dengan cita rasa makanan atau minuman yang bisa ditelan sedangkan bau harum banyak berhubungan dengan aroma yang dihirup.
77
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
Kata manis dan harum lalu diambil alih untuk menyatakan suatu pembicaraan atau perkataan
telah terjadi adanya peralihan dari makna konkret kemudian menjadi abstrak. Makna secara metaforis
seseorang dalam (hal ini Jayengsari). Yang dimaksud dengan Jayengsari angandika manis arum adalah terdapat makna secara metaforis bahwa angandika ‘pembicaraan’ Jayengsari terasa manis dan harum.
dalam pinasangan kajang sirah adi mempunyai makna dipasangkan kayu di atas kepala, artinya yaitu diberi pembatas kayu yang dimaksud adalah bantal. Benda tersebut diatur sedemikian rupa diletakkan
Makna yang lainnya secara metaforis adalah pembicaraan yang selalu mempesona, sopan, dan sangat mengesankan bagi setiap yang
pada semacam ruang khusus untuk tempat sesajian itu berada. Melihat terjemahan keseluruhan dari larik sekar macapat ini adalah penggambaran pada setiap hari Jumat ada ruang khusus yang selalu diberi
mendengarkannya. Ungkapan metafora sinestetik juga terdapat dalam cakepan Mijil Sekar Macapat sebagai berikut. (3.4.3) Ri Jumungah apan den sajeni Kembang miwah konyoh Kinutugan kalawan patanen Pinasangan kajang sirah adi Pasren denarani Tinutup kalambu
sesaji berupa bunga-bungaan dan membakar kemenyan di dalam ruang yang berisi persediaan padi, yang diberikan di dalam ruang khusus dengan pembatas kayu, ini semua disebut dengan pasren (pa + asri + an); tempat mbok dewi sri berada yang ditutup dengan kain kelambu. Dalam sekar dolanan ini terdapat metafora sinestetis, hal ini dapat dilihat pada cakepan Ilir-Ilirtembang dolanan berikut.
(Centhini III:71). Terjemahan: Pada hari Jumat diberi sesaji Bunga dengan perelengkapannya Membakar kemenyan dalam kamar Dipasangnya kayu kepala (bantal) yang baik Pasren disebutnya Tertutup tirai
Pemakaian ungkapan kata pinasangan kajang sirah adi dikatakan sebagai ungkapan yang mengandung metafora dari konkret ke abstrak karena kata pinasangan kajang ‘dipasangkan kayu’ lalu dihubungkan dengan sirah adi; ‘di atas kepala’
(3.4.4) Tak ijo royo-royo taksengguh temanten anyar Bocah angon-bocah angon penekna blimbing kuwi Lunyu-lunyu peneken kanggo masuh dododira Terjemahan: Kehijau-hijauan saya kira pengantin baru Anak penggembala panjatlah belimbing itu Walau licin panjatlah untuk membasuh kainku
maknanya menjadi abstrak. Ungkapan metafora ini
78
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
Ungkapan kalimat metafora sinestetik yaitu telah terjadi peralihan tanggapan dari referen-1 tak ijo royo-royo ‘kehijau-hijauan’ (sebagai kelompok warna yang dapat dilihat) terhadap referen-2 yakni segala sesuatu yang menimbulkan suatu pandangan terhadap sepasang pengantin baru. Kata pengantin anyar selalu diidentifikasikan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan bermekarnya tumbuhtumbuhan seperti bunga, padi, rumput yang mulai bersemi. Hal ini tampak pada pemakaian daun kelapa yang diambil bagian yang masih muda ( janur ) sebagai lambang kedamaian, dipersepsi juga terhadap keberadaan pengantin yang dianggap masih serba baru saja terlahir penuh kedamaian. Peralihan yang dimaksud terletak dalam penyebutan warna hijau yang dianggap sebagai pengantin baru; Di samping itu ada pula sebagai makna perjuangan agar berbuat bisa lebih banyak dalam menempuh ilmu atau mencapai ilmu, hal ini tampak dalam larik lunyulunyu peneken ‘walau licin panjatlah’.
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru. Budiono Heru Satoto. 1991. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hanindita. Edi Subroto. 1991. “Metafora dan Kemetaforaan: Analisis Pada Beberapa Puisi Indonesia” dalam majalah Haluan Sastra Budaya Majalah Ilmu No. 17 th. X Oktober 1991, Surakarta : Universitas Sebelas Maret Press. __________ 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. Gorys Keraf. 1995. Diksi dan Gaya Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah. Jabrohim (ed). 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Indira
PENUTUP
Jujun Suriasumantri. 1999. Filsafat Ilmu. Jakarta: Erlangga.
Pembahasan yang dilakukan terhadap metafora beberapa tembang Jawa dapat disimpulkan sebagai berikut.
Lyons, John. 1995. Linguistics Semantics: An Introduction. Oxford: Cambridge University Press.
a). Metafora anotropomorfik yakni banyak berbicara tentang kehidupan manusia sebagian besar lebih menunjuk pada objek benda mati dengan jalan memindahkan dari tubuh manusia dan bagianbagiannya. b). Metafora animal yaitu perbandingan atas dunia binatang dengan sifat manusia yang menyerupai. c). Metafora sinestetik yaitu dasar penciptaannya berdasarkan pada pengalihan tanggapan d). Metafora dari keadaan konkret ke abstrak atau sebaliknya yaitu menerjemahkann
Ortony, Andrew. 1980. Metaphor and Thought. London: Cambridge University Press. Pakubuwono XII, SISKS. 2001. “Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan dan persatuan Bangsa” dalam Seminar Nasional bertemakan Konsep Budaya Jawa Mengembangkan Kecerdasan Emosional dalam Membangun Jiwa Nasional. Surakarta, 21 Agustus 2001.
pengalaman abstrak ke dalam pengertian konkret atau sebaliknya.
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511
79
Kemetaforaan yang Terkandung Dalam Cakepan Tembang - Tembang Jawa
Rahmad Rien T. Segers. 2000. Evaluasi Teks Sastra Yogyakarta: Adi Cita.
Tardjan Hadiwidjaja. 1976. Serat Centhini. Yogayakarta: UP Indonesia.
Sri Susuhunan Paku Buwono IV. Tth. Wulangreh.
Tarigan Henri Guntur. 1987. Pengajaran Pragmatik.
Sukoharjo: Cendrawasih Soetomo WE. .2002. Sri Mangkunegara IV Sebagai Penguasa dan Pujangga 1893-1881. Semarang: Aneka Ilmu. Sugiarto, A. 1995. Kumpulan Gendhing Nartosabdo. Semarang PKJT.
80
Bandung: Angkasa Ullmann, Stephen. 1972. Semantics An Introduction to The Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell. Widdowson, H.G. 1975. Stylistics and the Teaching of Literature. London: Longman.
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 ISSN 0215-9511