246 JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 246-255 Tersedia Online di http://journal.um.ac.id/index.php/jph ISSN: 2338-8110
Jurnal Pendidikan Humaniora Vol. 2 No. 3, Hal 246-255, September 2014
Transformasi Tembang Dolanan di Kabupaten Trenggalek
Wiwik Andayani STKIP PGRI Trenggalek-Jawa Timur Jl. Supriyadi 22 Trenggalek. E-mail:
[email protected] Abstract: Dolanan song is a song sung by children while they are doing game activities. The lyric of dolanan song is part of oral folklore, as Java folk poetry that is sung by people. They are some transformations in the use and creation. This study tries to (1) describe the process of transformation of dolanan song, (2) find the pattern of transformation of dolanan song. The research is a qualitative study using etnopuitika. The data of this research are old dolanan song lyric and new dolanan song lyric. The techniques of data collection used for this study are documentation, interviews, and observation. The data analysis begin from form analysis, performance analysis, content analysis, until local colour analysis. The results are (1) the form transformation process: sound, diction,verse, stanza, and they are shown to be a form of appearance of the old songs to new songs, the comparasion of the two shapes of transformation pattern show the changer that eventually shape the form transformation, the content transformation process: the general meaning and messages from both old song and new song are coveyed, the comparasion of two shapes of transformation pattern show the changer that eventually shape the content transformation; (2) the pattern of form transformation: strengthening, continuing, modifying, deviating, and rejecting, the pattern of content transformation: strengthening, continuing, modifying, and deviating from convention. Key Words: transformation, dolanan song, form, content, java
Abstrak: Tembang dolanan merupakan tembang yang dinyanyikan anak-anak yang disertai kegiatan permainan. Tuturannya digolongkan sebagai karya sastra berbentuk folklor lisan, berjenis puisi rakyat Jawa yang dinyanyikan. Penggunaan dan perkembangannya, mengalami transformasi. Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan proses transformasi tembang dolanan, (2) menemukan pola transformasi tembang dolanan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan etnopuitika. Data berupa tuturan tembang lama dan baru. Teknik pengumpulan data melalui studi dokumentasi, wawancara, dan observasi. Analisis data terdiri analisis bentuk, analisis pentas sastra, analisis isi, dan analisis warna budaya lokalnya. Hasil penelitian berupa temuan (1) proses tranformasi bentuk: bunyi, diksi, larik, bait, dan bentuk penampilan tembang lama dibandingkan dengan yang baru membentuk pola transformasi bentuk, proses transformasi isi: makna secara umum dan pesan tembang lama dibandingkan dengan yang baru membentuk pola transformasi isi; (2) pola transformasi bentuk: menguatkan, meneruskan, mengubah, menyimpang dan menolak, pola transformasi isi: menguatkan, meneruskan, mengubah, dan menyimpang dari konvensi. Kata kunci: transformasi, tembang dolanan, bentuk, isi, jawa
Tembang dolanan merupakan istilah bahasa Jawa yang berasal dari dua kata tembang dan dolanan. Tembang merupakan tuturan puisi Jawa yang disuarakan dengan menggunakan nada-nada atau titilaras dan irama. Tuturannya menggunakan tingkat tutur bahasa Jawa Ngoko (tingkat rendah) dan Madya (tingkat menengah). Dolanan adalah suatu kegiatan permainan yang dilakukan oleh anak-anak yang bertujuan menghibur hati atau mendapatkan kegembira-
an. Dengan demikian, tembang dolanan merupakan tembang yang dinyanyikan oleh anak-anak dengan disertai suatu kegiatan permainan. Penelitian tembang dolanan tidak dapat dilepaskan dari pemahaman tentang folklor karena merupakan salah satu tradisi lisan di Jawa yang diwariskan secara turun-temurun yang memiliki ciri-ciri (a) penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, (b) bersifat tradisional, (c) ada dalam versi-versi bah246
Artikel diterima 23/05/2014; disetujui 13/08/2014
Volume 2, Nomor 3, September 2014
Andayani, Transformasi Tembang Dolanan di Kabupaten ... 247
kan varian-varian yang berbeda, (d) bersifat anonim, (e) mempunyai bentuk berumus dan berpola, (f) mempunyai kegunaan (function), (g) bersifat pralogis, (h) menjadi milik bersama (kolektif), dan (i) bersifat polos dan lugu (Danandjaja, 1986: 2) Tembang dolanan sebagai tuturan puisi rakyat yang dilantunkan dengan menggunakan nada dan irama terbangun dari bentuk dan isi yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang bermanfaat bagi pembelajaran sastra di sekolah. Bentuk tuturan tembang dolanan berkaitan dengan unsur bunyi (swara), diksi (tembung), larik (gatra), bait (pada) dan bentuk penampilannya. Isi tuturan tembang dolanan terkait erat dengan lapis makna (Richards, 1973: 148). Dalam tembang dolanan terjadi perpaduan yang harmonis antara keberaksaran (tulisan) dan kelisanan (nyanyian). Dalam penggunaan dan perkembangannya tembang dari generasi tua (tembang lama) dengan tembang dari generasi muda (tembang baru) terjadi fenomena bahwa tembang dolanan mengalami perubahan atau transformasi. Seperti contoh yang terjadi pada tembang berjudul Udan Jelak Kali Banjir. Tembang yang baru menggunakan diksi yang mengarah kepada erotisme atau pornografi, tentunya hal ini perlu diadakan penelitian lebih lanjut. Perubahan tembang dolanan dapat dari bentuk maupun isinya. Dari bentuknya, perubahan dapat terjadi pada (1) bunyi (swara), (2) diksi (tembung), maupun (3) bentuk penampilannya. Dari isinya, perubahan bisa terjadi pada (1) makna secara umum maupun (2) pesan yang disampaikan dari tembang dolanan tersebut. Sampai saat ini tembang dolanan di Kabupaten Trenggalek terus bertambah dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan tembang-tembang tersebut sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat penuturnya. Oleh sebab ini, fokus dalam penelitian ini peneliti menggunakan parameter antologi tembang dolanan yang ada sebagai dokumentasi dan penelusuran pada peristiwa budaya yang dilakukan oleh masyarakat, baik generasi yang pernah menyanyikan tembang dolanan (generasi tua) ataupun generasi yang diwarisi (generasi muda) di Kabupaten Trenggalek. Merujuk pada konteks tersebut, penelitian ini berusaha mendeskripsikan proses transformasi dan menemukan pola-pola transformasi tembang dolanan di Kabupaten Trenggalek. Fokus penelitiannya mencakup (1) proses transformasi tembang dolanan di Kabupaten Trenggalek yang meliputi (a) proses
transformasi bentuk ditinjau dari bunyi (swara), diksi (tembung), dan bentuk penampilannya, (b) proses transformasi isi ditinjau dari makna secara umum dan pesan yang disampaikan; (2) pola transformasi tembang dolanan di Kabupaten Trenggalek yang meliputi (a) pola transformasi bentuk tembang dolanan, dan (b) pola transformasi isi tembang dolanan. Tuturan tembang dolanan merupakan fenomena bahasa yang pilihan katanya menggunakan bahasa ngoko (tingkatan rendah dalam bahasa Jawa) dan sebagian menggunakan bahasa madya (tingkatan menengah dalam bahasa Jawa). Tembang dolanan merupakan sarana untuk bersenang-senang dalam mengisi waktu luang dan sebagai sarana komunikasi yang mengandung pesan mendidik. Sebagai sarana komunikasi, tembang dolanan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh anakanak. Pada dasarnya tembang dolanan bersifat unik. Artinya berbeda dengan bentuk tembang jawa yang lain. Kartini (tt:2) menjelaskan bahwa tembang dolanan memiliki aturan yaitu (1) bahasa sederhana, (2) cengkok sederhana, (3) jumlah baris (gatra) terbatas, (4) berisi hal-hal yang selaras dengan keadaan anak. Namun demikian, lirik dalam tembang dolanan tersirat makna religius, kebersamaan, kebangsaan, dan nilai estetis. Sebagai puisi rakyat yang dinyanyikan [Endraswara (a), 2010: 153], tembang dolanan merupakan fenomena sastra lisan yakni sebagai folklor Jawa yang berjenis folklor lisan yang memiliki berbagai ciri khas baik bentuk, isi, maupun nilainya. Kelebihan folklor terletak pada aspek penyebarannya: persebaran folklor hampir selalu terjadi secara lisan atau cerita-cerita mulut (talk by word of mouth) sehingga sering terjadi penambahan dan pengurangan. Demikian juga, tembang dolanan dalam persebaran maupun perkembangannya mengalami perubahan (transformasi). Tembang dolanan sebagai bagian dari sastra lisan patut diteliti karena merupakan produk budaya yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Dalam komunitas sastra lisan dikenal adanya dua paradigma yaitu (1) paradigma sastra lisan sebagai seni, dan (2) paradigma sastra lisan sebagai produk budaya (Sudikan, 2014: 7). Penelitian ini mengikuti paradigma ke dua yakni sastra lisan sebagai produk budaya yang memandang bahwa semua karya sastra yang penyanyiannya melalui lisan (dari mulut ke telinga) menjadi objek penelitian, tidak perlu dipilahkan bernilai keindahan tinggi atau tidak.
248
JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 246-255
Pembahasan tembang dolanan tidak terlepas dari segi bentuk dan isi. Dari bentuknya sebagai seni sastra dan seni penampilan (performance art), tuturannya berkaitan dengan unsur (a) bunyi (swara), (b) diksi (tembung), dan (c) bentuk penampilannya. Unsur bunyi tuturan tembang dolanan sebagai fenomena sastra mirip dengan unsur bunyi yang ada dalam bahasa Indonesia, penyebutannya saja yang berbeda. Unsur bunyi tersebut meliputi (1) purwakanthi (rima) yang di dalamnya mengandung aspek diantaranya (a) purwakanthi guru swara (asonansi), (b) purwakanthi guru sastra (aliterasi), (c) guru lagu (rima akhir yang berbentuk vokal) dan guru wilangan (jumlah suku kata/wanda), (d) purwakanthi lumaksita (perulangan kata/suku kata yang berjalan terus); (2) cengkok (irama) yang terfokus pada pedhotan (pemutusan); (3) ragam bunyi yang meliputi bunyi efony, bunyi cocofony, dan onomatope. Diksi (tembung) dalam tembang dolanan dibedakan menjadi dua yakni (1) tembung berdasarkan golongannya, dan (2) tembung berdasarkan maknanya (Nugraha, 2006: 7). Berdasarkan kandungan maknanya, diksi dalam tembang dolanan juga menggunakan (1) lambang yakni kata yang mengandung makna seperti dalam kamus (makna leksikal), (2) utterance atau indice, yakni kata-kata yang mengandung makna sama dengan keberadaan dalam konteks pemakaian, dan (3) simbol, yakni kata-kata yang mengandung makna ganda (makna konotatif) (Aminuddin, 2010: 140). Sebagai seni penampilan (performing art), tembang dolanan dinyanyikan dengan diikuti dengan kegiatan permainan yakni diikuti gerak dan lakuan. Bentuk penampilan tembang dolanan merujuk pada unsur (1) plot/alur (jalan cerita), (2) karakterisasi dialog dan lakuan, dan (3) penggunaan alat permainan. Dari segi isi, tuturan tembang dolanan tidak terlepas dari makna yang dikandungnya. Richards (1973: 148) membagi lapis makna menjadi tujuh unsur yakni (1) makna secara umum (sense), pokok pikiran-pokok pikiran yang disampaikan (subject matter), (3) sikap penyair terhadap pokok pikiran yang disampaikan (feeling), (4) sikap penyair terhadap pembaca (tone), (5) makna secara keseluruhan (totalitas makna), (6) tema (theme), (7) pesan yang disampaikan (message). Tembang dolanan sebagai folklor lisan diteruskan dan disebarkan dari generasi tua kepada generasi muda. Penerusan ini menimbulkan berbagai perubahan (transformasi) sesuai dengan perkembangan pola pikir masyarakat. Transformasi dapat terjadi pada
seluruh unsur (baik bentuk maupun isi), maupun sebagian unsur pembangun tembang dolanan itu sendiri. Transformasi bentuk bisa berupa aspek bunyi, diksi dan bentuk penampilan. Transformasi isi dapat berupa makna secara umum maupun pesan yang disampaikan. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang memadai penelitian ini menggunakan rancangan teori etnopuitika dengan menggabungkan teori Jakobson, Edward Sapir, dan Tedlock. Jakobson (a) (1987:71) mengatakan bahwa The poetic function project the principle of equivalence from the axis selection into the axis of combination. The axis of selection adalah proses paradigmatik dan the axis of combination adalah proses sintagmatik. Hal ini menyangkut keseimbangan rima, kata, baris, bait maupun makna. Sapir (1921: 81) mengatakan bahwa language is a mirror of the culture. Hal ini terkait dengan relativitas bahasa yang berkait erat dengan relativitas budaya (Kadarisman, 2010: 119), maksudnya istilah etno merujuk pada pentingnya pengetahuan lokal atau perspektif emik sebagai salah satu penjelas atau penafsir atas data kebahasaan yang dipilih, yang lazimnya berupa teks sastra lisan atau teks sastra yang ditampilkan. Sedangkan Tedlock (1983: 81) dari etnopuitika berusaha untuk menemukan the art of sounding the text atau seni melantunkan teks. Secara singkat etnopuitika merupakan kajian terhadap teks sastra yang ditampilkan dengan tujuan mendeskripsikan ciri-ciri puitis teks tersebut dari seni pelantunan atau penampilannya yang kemudian diperdalam dengan menggali falsafah lokal yang melandasi watak sastrawinya. Dari uraian di atas penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan proses transformasi tembang dolanan di Kabupaten Trenggalek yang meliputi (a) proses transformasi bentuk ditinjau dari bunyi, diksi, dan bentuk penampilan, (b) proses tranformasi isi ditinjau dari makna secara umum dan pesan yang disampaikan, (2) menemukan pola transformasi tembang dolanan di Kabupaten Trenggalek yang meliputi (a) pola trasformasi bentuk tembang dolanan dan (b) pola transformasi isi tembang dolanan. METODE
Bagian ini menyajikan uraian metode penelitian yang meliputi (1) jenis dan rancangan penelitian, (2) kehadiran peneliti, (3) lokasi penelitian, (4) data dan sumber data, (5) prosedur pengumpulan data, (6) analisis data, dan (7) pengecekan keabsahan temuan.
Volume 2, Nomor 3, September 2014
Andayani, Transformasi Tembang Dolanan di Kabupaten ... 249
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan rancangan etnopuitika. Karakteristik penelitian kualitatif dalam penelitian ini tampak pada ciri data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, penafsiran dan penjelasan makna data. Ciri rancangan etnopuitika pada penelitian ini dapat dilihat dari teori dan model yang digunakan dalam analisis dan penafsiran makna data mengenai transformasi bentuk tuturan tembang dolanan dan isi tuturan tembang dolanan. Etnopuitika yang digunakan model gabungan Jakobson, Sapir dan Tedlock. Dalam konteks etnoputika, tuturan tembang dolanan dipandang sebagai teks sastra yang ditampilkan yang memiliki ciri-ciri puitis teks sastra dan seni pelantunan atau penampilan. Dari ciri-ciri puitis dan seni penampilan (bentuk) tersebut akan terkandung berbagai makna (isi) dalam tembang-tembang dolanan lama maupun yang baru. Dalam konteks ini, tuturan tembang-tembang dolanan mengalami transformasi baik bentuk maupun isinya yang merupakan gambaran pola transformasi tembang dolanan yang ada di masyarakat Kabupaten Trenggalek. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci baik dalam pengumpulan data, analisis data, dan penafsiran makna data. Sebagai instrumen kunci, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti melengkapi dengan sejumlah instrumen yakni untuk (a) pengambilan data berupa panduan observasi, panduan wawancara, dan pedoman ikhtisar dokumen, dan (b) analisis data berupa panduan kodifikasi data dan panduan analisis data. Penelitian ini memfokuskan kajian pada meteri pokok tuturan tembang dolanan yang ada di Kabupaten Trenggalek. Kabupaten Trenggalek memiliki 13 wilayah kecamatan. Dari tiga belas wilayah tersebut peneliti memilih enam lokasi penelitian yaitu Kecamatan Karangan, Tugu, Gandusari, Kampak, Pogalan, dan Bendungan. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan (1) mayoritas masyarakatnya masih mengenal tembang dolanan, (2) struktur warga masyarakatnya heterogen, (3) tradisi nembang sambil bermain masih tumbuh subur, (4) tradisi budaya jawanya masih dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari.
Data utama penelitian ini berupa tuturan tembang-tembang dolanan di Kabupaten Trenggalek. Data yang berupa tuturan ini dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu data yang berupa (a) tuturan tembang dolanan dari generasi tua yakni usia 60 tahun ke atas (tuturan tembang lama) (data A), dan (b) tuturan tembang dolanan dari generasi muda yakni usia 7 tahun sampai dengan 20 tahun (tuturan tembang baru) (data B). Data lain berupa informasi tentang kesenian, tradisi budaya dan tindakan masyarakat. Data-data tersebut bersumber dari rekaman hasil wawancara dengan pelantun tembang baik generasi tua maupun generasi muda. Selain itu, data tentang kesenian dan tradisi budaya bersumber dari para informan dan dokumen-dokumen tertulis lainnya. Dari hasil studi dokumentasi, wawancara, dan observasi, perolehan data setelah melewati tahap kompilasi dan reduksi data, secara proporsional data yang terkumpul dalam penelitian ini dapat ditampilkan dalam Tabel 1. Dalam penelitian Transformasi Tembang Dolanan di Kabupaten Trenggalek ini ditemukan sejumlah 108 data judul tembang dengan rincian (a) 31 tembang klasik, yaitu tembang yang tidak mengalami perubahan dari tembang lama ke tembang baru; (b) 24 tembang lama, yaitu tembang lama yang sudah tidak banyak dikenal; (c) 33 tembang baru, yaitu tembang yang telah mengalami perubahan dari tembang lama; dan (d) 20 tembang populer, yaitu tembang yang benar-benar baru. Berdasarkan temanya, terdiri atas: (a) 36 tembang bertema lingkungan alam (13 fauna, 9 flora, 14 lingkungan); (b) 54 tembang bertema dunia anak; (c) 7 tembang bertema tokoh sejarah; (d) 7 tembang bertema alat permainan dan lalu lintas; dan (e) 4 tembang bertema raksasa. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui studi dokumentasi, wawancara, dan observasi. Studi dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data berupa dokumen-dokumen. Dokumen tersebut berupa buku-buku tembang dolanan, buku pelajaran sekolah yang memuat tembang, dan berbagai CD di kaset tembang dolanan. Dokumen-dokumen yang berupa rekaman audio dan audio visual ditran-
Tabel 1. Judul Tembang Dolanan di Kabupaten Trenggalek No. 1. 2. 3. 4.
Genre Tembang Tembang Klasik Tembang Lama Tembang Baru Tembang Populer Jumlah =
Jumlah 31
No. 1.
24 33 20
2. 3. 4. 5.
108
Tema Tembang Lingkungan Alam Dunia Anak Tokoh Sejarah Alat Permainan Raksasa Jumlah =
Jumlah 36 54 7 7 4 108
250
JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 246-255
skripsi sehingga diperoleh dokumen yang tertulis. Dokumen hasil transkripsi dan dokumen yang berupa catatan disalin kembali dalam wujud lembar-lembar data. Untuk ketercukupan data penelitian, dokumen tembang-tembang dolanan dilengkapi dengan catatan hasil perekaman dari informan. Studi wawancara yang dilakukan menggunakan teknik wawancara berstruktur dan wawancara tak berstruktur. Wawancara berstruktur adalah wawancara yang dipandu oleh pedoman yang sudah disiapkan sebelumnya, sedangkan wawancara tak berstruktur dilakukan tanpa menggunakan pedoman yang disusun secara sistematis (Sugiyono, 2013: 73-74). Studi observasi yang dilakukan dengan teknik non-partisipasi dan partisipasi tidak penuh. Teknik non-partisipasi, peneliti tidak terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat yang diteliti, sedangkan observasi tidak penuh, peneliti sesekali masuk ke dalam masyarakat yang diteliti sambil memberikan pancingan sebagaimana yang diharapkan oleh peneliti. Kedua teknik observasi tersebut dilakukan sewajar-wajarnya supaya masyarakat yang diteliti tidak mencurigai peneliti sehingga data penelitian dapat dijaring dengan baik. Analisis data menggunakan rancangan etnopuitika dimulai dari (1) analisis struktur (bentuk) yakni analisis struktur tembang dolanan yang difokuskan pada penggunaan rima (bunyi), diksi, larik dan baitnya, (2) analisis pentas sastra yakni analisis bentuk penampilan tembang dolanan, (3) analisis makna (isi) yang difokuskan pada makna secara umum dan pesannya, diakhiri dengan (4) analisis warna budaya lokal yakni mendeskripsikan ciri-ciri lokal yang khas pada budaya Jawa yang tercermin dari tembangtembang dolanan yang diteliti. Untuk pengecekan keabsahan temuan, peneliti menggunakan teknik trianggulasi data yakni dokumentasi, wawancara, dan observasi. Selain itu, untuk mengecek keabsahan temuan dilakukan melalui berbagai uji keabsahan data, yakni uji kredibilitas, uji transferabilitas, uji dependabilitas, dan konfirmabilitas (Su-giyono, 2013: 366-377). HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada kegiatan ini disampaikan hasil dan pembahasan dari (1) Proses transformasi tembang dolanan, dan (2) Pola transformasi tembang dolanan.
Proses Transformasi Tembang Dolanan Deskripsi proses transformasi tembang dolanan diawali dengan penggolongan tembang dolanan berdasarkan temanya menjadi lima jenis yakni (1) tema alam (fauna, flora, lingkungan) (AF, AFl, AL) (2) tema dunia anak (DA), (3) tema tokoh sejarah (TS), (4) tema alat permainan dan lalu lintas (AP), (5) tema raksasa (R) Dari penggolongan tembang dolanan berdasarkan temanya, baik data A (tembang lama) dan data B (tembang baru) dianalisis bentuk dan isinya. Dari bentuknya dianalisis aspek (a) bunyi, (b) diksi, dan (c) bentuk penampilannya. Dari isinya dianalisis aspek (a) makna secara umum dan (b) pesannya. Langkah berikutnya kedua tembang tersebut dibandingkan dengan fokus untuk mencari pola transformasi yang ada. Proses Transformasi Bentuk Tembang Dolanan Pada proses transformasi bentuk tembang dolanan disajikan analisis transformasi bentuk yang meliputi (a) bunyi, (b) diksi, dan (c) bentuk penampilannya. Pada transformasi bunyi dideskripsikan mengenai (a) purwakanthi (rima), (b) irama yang fokus pada pedhotan (pemutusan), dan (c) ragam bunyi. Pada transformasi diksi dideskripsikan mengenai (a) jenis golongan kata, (b) jenis makna kata, (c) penggunaan lambang, utterance, dan simbol. Pada transformasi bentuk penampilan, dideskripsikan mengenai (a) alur, (b) karakteristik dialog dan lakuan, (c) penggunaan alat permainan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dari berbagai aspek bentuk tembang dolanan yang menjadi fokus penelitian mengalami perubahan (transformasi). Pada transformasi bunyi misalnya tembang Kodhok Ngorek (AF5) sebagai tembang lama memiliki jumlah larik genap. Pada tembang baru mengalami perubahan pada (bait), gatra (larik), guru lagu (rima akhir), dan guru wilangan (jumlah suku kata). Selain itu, ada perubahan yang sangat mencolok pada penggunaan guru lagu dari tembang judul berbeda dari tembang lama ke tembang baru, contohnya Kidang Talun (lama) ke Uler Keket (baru). Pada transformasi diksi misalnya tampak pada penggunaan tembung (kata) pada judul berbeda seperti tembang Gumegah (DA 19) sebagai tembang lama dengan Baris rampak (DA 6), sama-sama
Volume 2, Nomor 3, September 2014
Andayani, Transformasi Tembang Dolanan di Kabupaten ... 251
menggunakan diksi yang berjenis tembung kriya (kata kerja). Hal ini juga terjadi pada tembang-tembang lain yang sejenis. Selain itu ada pada tembang judul sama yang diksinya mengalami perubahan tetapi golongan tembung yang digunakan sama seperti pada tembang Pelem Pelem Mentah (TS 6). Pada transformasi bentuk penampilan, misalnya pada penggunaan jenis alur yang digunakan hasil transformasi memiliki bentuk yang berlawanan, seperti pada Tembang Lumbung Deso (AL 9) sebagai tembang lama menggunakan alur maju, pada tembang Wingi Dolan Nyang Endi (AL 14) sebagai tembang baru menggunakan alur mundur. Proses Transformasi Isi Tembang Dolanan Pada proses transformasi isi tembang dolanan disajikan analisis transformasi isi yang meliputi (a) gambaran makna secara umum (sense), dan (b) pesan yang disampaikan (message). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari berbagai aspek isi tembang dolanan yang menjadi fokus penelitian mengalami transformasi seperti pada tembang Menthok Menthok (AF 7). Makna tembang baru menyangatkan makna dari tembang lama. Makna tembang lama saksolahmu angisin-isini (segala tingkah lakumu memalukan), pada tembang baru, mung lakumu angisin-isini (jalanmu memalukan). Perubahan ini menyangatkan dengan cara jalannya saja sudah memalukan orang lain apalagi seluruh tingkah lakunya. Perubahan makna pada judul sama seperti di atas juga terjadi pada tembang Pring Reketeg (DA 37), tembang lama dengan tembang baru maknanya memiliki perbedaan. Transformasi isi tentunya akan mempengaruhi pesan yang disampaikan. Isi berubah, pesannya juga mengalami perubahan. Misalnya pada tembang Dhakon (DA 10) sebagai tembang lama mengalami transformasi ke tembang Tuku Lengo (DA 51) sebagai tembang baru. Judul berbeda tetapi pesan yang disampaikan sama yakni kelucuan dan kenakalan anak. Selain itu, dari judul berbeda terdapat perubahan pesan yang disampaikan. Pada tembang baru terjadi penyimpangan dari tembang lama seperti pada tembang Aku Kumbang (AFl-1/ lama) memiliki pesan moral dan tembang Kutho Trenggalek (AFl-6/baru) memiliki pesan sosial. Pola Transformasi Tembang Dolanan Dari proses transformasi yang telah dianalisis, ditemukan pola-pola transformasi baik pola transfor-
masi bentuk tembang dolanan maupun pola transformasi isi tembang dolanan. Pola transformasi meliputi (1) pola menguatkan (AXAX+), yakni perubahan pada satu tembang dengan judul yang sama dan transformasinya menyangatkan, (2) pola meneruskan (AXBX) yakni perubahan pada tembang dengan judul yang berbeda namun transformasinya sama, (3) pola mengubah (AXAY) yakni perubahan pada tembang dengan judul yang sama namun transformasi berbeda, (4) pola menyimpang (AXBY) yakni perubahan pada tembang dengan judul yang berbeda dan transformasinya berbeda, (5) Pola menolak (AXA-X atau AXB-X) yakni perubahan pada tembang dengan judul yang sama atau berbeda dan transformasinya berlawanan. Secara sederhana dapat diberi penjelasan bahwa A atau B = judul; X atau Y = bentuk transformasi; X+ = bentuk transformasi menyangatkan X; -X = bentuk transformasi berlawanan dengan X. Pola Transformasi Bentuk Tembang Dolanan Pola transformasi bentuk tembang dolanan menggunakan pola mengubah seperti pada transformasi bunyi tembang Kodhok Ngorek (AF 5) yang menunjukkan adanya perubahan pada bait, larik, rima akhir dan jumlah suku kata yang menyebabkan pemutusannya juga berubah. Pada tembang lama (AX) menirukan lakuan binatang katak dan kerbau, pada tembang baru (AY) menirukan lakuan seorang dokter. Transformasi ini terjadi karena adanya (1) aspek pemberontakan, yakni keinginan untuk hidup lebih baik dan lebih teratur dari sebelumnya, (2) perubahan masyarakat yang lebih mengarah kepada perubahan gaya hidup masyarakat, terutama gaya hidup konsumtif (AY) dengan lakuan sebagai dokter yang naik mobil sedan mewah (Piliang, 2011: 151). Pola menyimpang seperti terjadi pada contoh transformasi bunyi tembang Kidang Talun (AX) ke tembang Uler Keket (BY). Pada tembang Uler Keket (BY) penggunaan rima akhir, jumlah suku kata, lebih teratur dan lebih sedikit (sederhana). Transformasi ini disebabkan adanya penyederhanaan yang berorientasi pada pelipatan dunia terutama pelipatan ruang dan waktu (Piliang, 2011: 50). Pola meneruskan seperti terjadi pada transformasi diksi dari tembang Gumegah (AX) ke tembang Baris Rampak (BX). Kedua-duanya samasama menggunakan tembung kriya (kata kerja). Transformasi ini terjadi karena proses rasionalisasi yang meyakini bahwa orang jawa menyatakan me-
252
JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 246-255
nyang donyo mung mampir ngombe, artinya sekadar singgah dan minum sementara saja. Hidup sekejap bukan berarti dilakukan dengan enggan bekerja untuk membangun atau untuk meraih masa depan, sekadar menerima nasib belaka. Hidup tetap diyakini sebagai perjuangan dan proses (Endraswara (c), 2010: 45). Pola menguatkan terjadi pada transformasi tembang dengan judul sama tetapi ada perubahan seperti penggunaan diksi yang maknanya menyangatkan tembang lama seperti tembang Pelem Pelem Mentah baik (AX) maupun (AX+) sama-sama menggunakan kata sifat. Transformasi ini terjadi karena proses rasionalisasi dengan penyangatan pelukisan seorang tokoh yang identik dengan pemimpin. Pemimpin harus bersih dan berwibawa. Jika sampai membuat malu akan menjadi ciri dan titik kejelekan (Endaswara (c), 2010: 181). Pola menolak terjadi pada bentuk penampilan seperti contoh transformasi tembang Lumbung deso (AX) ke tembang Wingi Dolan Nyang Endi (BX). Lumbung deso (AX) menggunakan alur maju, Wingi Dolan Nyang Endi (B-X) menggunakan alur mundur. Hal ini disebabkan adanya pemberontakan untuk mendobrak konvensi yang sudah ada dengan cara kontradiksi. Pola Transformasi Isi Tembang Dolanan Transformasi isi tembang dolanan menggunakan pola-pola yang hampir sama dengan pola bentuk. Hanya saja pola menolak tidak terdapat pada transformasi isi. Pola menguatkan seperti terjadi pada tembang menthok-menthok (AX+/baru) isi maupun pesannya menyangatkan AX/lama. Simbol menthok digunakan untuk mengungkapkan sikap dan perilaku orang malas. Hal ini terjadi karena proses rasionalisasi yang berpijak pada sikap dan perilaku orang Jawa yang selalu menggunakan simbol (tersamar) dalam kehidupan sehari-hari. Pola mengubah terjadi pada contoh tembang Pring reketeg. Pada AX menggambarkan ejekan kepada orang tua yang tak berbau pornografi, tetapi pada AY menggambarkan ejekan kepada anak-anak gadis yang berbau pornografi dan pornoaksi. Transformasi ini terjadi karena perubahan yang terjadi pada masyarakat. Para sosiolog melihat lenyapnya batasbatas sosial di dalam masyarakat kontemporer kita khususnya lenyapnya batas-batas antara dunia anakanak dengan dunia orang dewasa lewat transparansi media seperti lewat video-video porno.
Pola meneruskan seperti terjadi pada transformasi tembang dhakon (AX) ke tembang Tuku Lengo (BX). Keduanya sama-sama bermain tebak kata dengan menggunakan kata-kata yang jorok. Transformasi ini disebabkan adanya proses pendangkalan bahasa yang menggambarkan bahwa kata sudah semakin ringan semakin tidak dibebani oleh makna, semakin melepaskan diri dari komunikasi bermakna (Piliang, 2011: 39) Pola menyimpang seperti terjadi pada transformasi tembang Aku kumbang (AX) ke tembang Kutho Trenggalek (BY). Pada AX makna didasarkan dari simbol-simbol yang digunakan tetapi BX tidak menggunakan simbol. Hal ini disebabkan adanya pendangkalan penerimaan yang berupa pemadatan ruang dan waktu simbolik dan perubahan masyarakat terutama menuju pada sifat masyarakat kontemporer yang menginginkan keterbukaan penuh dan secara langsung disampaikan (tidak tersamar) Dari paparan proses transformasi tembang dolanan dan temuan pola-pola transformasi tembang dolanan dapat dijelaskan bahwa (1) Transformasi tembang lama ke tembang baru dipandang mendasarkan diri pada konvensi (baik bentuk maupun isi) tembang lama. Hal ini dipandang sebagai hipogram. (2) Analog dari teori gunung es (events, pattern andtrends, systemic structures, mental models) (Kadmasasmita, 2010: 2) akan mengungkap bagaimana proses transformasi tembang dolanan (Tdl), polapola transformasi Tdl sampai pada teori transformasi Tdl. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. (a) Pada proses transformasi terjadi kecenderungan yang mengarah pada perubahan dari tembang lama ke tembang baru dengan event (peristiwa) yang ada. (b) Dari proses ditemukan sejumlah pola transformasi. (c) Pola-pola yang telah ditemukan memiliki keterkaitan dengan pola yang lain yang membentuk sebuah model (linear bisa sirkular) (Effendi, 2003: 24). (c) Model linear pada transformasi tembang dolanan menggambarkan penerimaan tradisi (enkulturasi) (Mulyana, 2010: 138). (d) Model event proses transformasi Tdl
pattern and trend pola transformasi Tdl
systemic structure model transformasi Tdl
mental models teori transformasi Tdl
Gambar 1. Teori Gunung Es
Volume 2, Nomor 3, September 2014
Andayani, Transformasi Tembang Dolanan di Kabupaten ... 253
sirkular pada transformasi tembang dolanan menggambarkan perubahan tradisi (akulturasi) (Mulyana, 2010: 139). SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan (1) Proses transformasi bentuk tembang dolanan merupakan rangkaian terjadinya transformasi (event) yang diawali dengan hadirnya bunyi, diksi yang berangkai menjadi larik (gatra), larik-larik berangkai menjadi bait (pada) dan ditunjukkan dengan bentuk penampilan dari tembang lama ke tembang baru. Perbandingan keduanya menunjukkan adanya perubahan yang akhirnya membentuk polapola transformasi bentuk. Proses transformasi isi tembang dolanan merupakan rangkaian terjadinya transformasi (event) yang diawali dengan adanya gambaran makna secara umum, dari gambaran makna secara umum tersebut, tersurat dan tersirat pesan baik dari tembang lama maupun tembang yang baru. Perbandingan keduanya menunjukkan adanya perubahan yang akhirnya membentuk pola-pola transformasi isi. (2) Dari proses yang ada ditemukan polapola transformasi diantaranya (a) pola transformasi bentuk dengan pola menguatkan (AXAX+), pola meneruskan (AX BX), pola mengubah (AXAY), pola menyimpang (AXBY), dan pola menolak (AX A-X atau AX B-X); (b) Pola transformasi isi menggunakan pola menguatkan (AXAX+), pola meneruskan (AXBX), pola mengubah (AX AY), dan pola menyimpang (AXBY). (3) Transformasi tembang lama ke tembang baru dipandang mendasarkan diri pada konvensi tembang lama. Hal ini dipandang sebagai bentuk hipogram. Wujud penghipograman dapat berupa penguatan dan penerusan tradisi, pengubahan dan penyimpangan atau penolakan tradisi yang berupa bentuk maupun isi karya sebelumnya. (4) Pola transformasi di atas disebabkan oleh beberapa faktor, yakni adanya proses rasionalisasi, penyederhanaan, aspek pemberontakan, perubahan masyarakat, pendangkalan penerimaan, proses kreativitas, dan cobacoba. (5) Pola-pola yang telah ditemukan memiliki keterkaitan antara pola yang satu dengan yang lain. Pola-pola yang berhubungan tersebut membentuk sebuah model. Pola menguatkan dan pola meneruskan membentuk model linear, pola mengubah, pola menyimpang dan pola menolak membentuk model sirkular. (6) Dari model-model yang ada dapat dinya-
takan dengan mental model (teori) bahwa (a) model linear pada transformasi tembang dolanan menggambarkan penerimaan tradisi (tembang lama) dari generasi tua oleh generasi muda yang diwujudkan dengan pola menguatkan dan meneruskan konvensi bentuk maupun isi tembang dolanan. Dengan kata lain, hal ini sebagai proses memperoleh pola-pola budaya (enkulturasi) oleh generasi muda dengan menerima pola-pola yang ada dalam masyarakatnya (generasi tua), (b) model sirkular pada transformasi tembang dolanan menggambarkan keluarnya generasi muda dari tradisi yang diwariskan dari generasi tua. Hal ini diwujudkan dengan pola mengubah, menyimpang, dan menolak konvensi yang telah ada. Pola mengubah, menyimpang, dan menolak merupakan proses akulturasi yang menggambarkan perubahan-perubahan perilaku generasi muda untuk mengubah pola-pola budaya lama, menyimpang dari pola-pola budaya lama, bahkan menolak pola-pola budaya lama dan menggantikannya dengan pola-pola yang baru. Saran Bagi Guru Bahasa Indonesia Anak-anak menyayikan tembang dolanan sering diikuti dengan permainan. Lirik dalam tembang sederhana, menyenangkan, dan pada umumnya mengungkapkan kehidupan anak-anak sehari-hari. Begitu pula pelantunannya sederhana sehingga anakanak mudah untuk melakukannya. Hal ini dapat digunakan oleh guru bahasa Indonesia untuk menerapkan pembelajaran sastra di sekolah terutama pembelajaran puisi dan musikalisasi puisi. Dengan memahami dan mengadaptasi tembang dolanan akan memudahkan siswa untuk memahami puisi, menyusun puisi maupun melantunkannya (musikalisasi puisi). Selain itu, dengan adanya tuntutan dan perkembangan jaman, tembang dolanan juga mengalami transformasi. Dengan berbagai pola transformasi tersebut, guru bahasa Indonesia hendaknya lebih kreatif memilih materi untuk menunjang pembelajaran sastra di sekolah. Seperti halnya dengan tembang-tembang dolanan yang syarat dengan nilai-nilai budaya yang luhur ini, guru dapat melatih siswa menulis puisi, membaca puisi, menulis cerita, membacakan cerita, dan berekspresi secara alamiah. Begitu pula diharapkan guru dapat mengawal perubahan (transformasi) budaya seperti tembang dolanan agar selalu berada dalam ruang budaya kepribadian bangsa.
254
JURNAL PENDIDIKAN HUMANIORA, HAL 246-255
Bagi Lembaga Pendidikan (SD, SMP, SMA) Memperhatikan kehidupan tembang dolanan dengan berbagai bentuk transformasinya, diharapkan kepada lembaga pendidikan baik SD, SMP, maupun SMA dapat menjadi wahana untuk mengkonstruksi atau merevitalisasi tembang-tembang dolanan, sehingga dapat hidup di lingkungan sekolah. Hal ini dilakukan agar dapat dikenal, dipelajari dan dipahami oleh generasi berikutnya, karena tembang dolanan sarat akan nilai-nilai kehidupan. Contohnya perlu diperhatikan oleh lembaga pendidikan tempat bermain anak (dengan nembang) seperti adanya halaman sekolah. Meskipun menambah ruangan untuk kelas hendaknya halaman tempat bermain tetap ada. Sehingga ada kesempatan luas untuk anak-anak melantunkan tembang dan bermain di halaman sekolah. Bagi Masyarakat Anggota masyarakat, terutama mereka yang peduli terhadap kesenian, tentu memiliki kepekaan terhadap pentingnya ruang dan situasi bermain bagi anakanaknya. Mereka hendaknya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pelestarian tembang dolanan, karena tembang dolanan memiliki nilai-nilai yang dapat dipetik dan diterapkan anak-anak dalam kehidupan. Selain itu, tembang dolanan mengandung unsur-unsur positif bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak dalam perjalanannya menuju orang dewasa, maka seyogyanya masyarakat memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengenal dan mengaktualisasikan dalam kehidupannya. Transformasi tembang dolanan tidak dapat dihindari karena berbagai faktor diantaranya dengan perkembangan jaman dan perubahan dalam masyarakat. Namun diharapkan transformasi yang terjadi dapat diarahkan pada pola menguatkan dan meneruskan pola yang sudah ada agar bangsa ini tidak tercerabut dari akar budayanya. Bagi Peneliti Selanjutnya Salah satu hal yang sangat penting dilakukan untuk penelitian lanjut adalah penelitian tindakan, yaitu bagaimana melestarikan tembang dolanan ini dan mengarahkan transformasinya lebih bermartabat. Tanpa campur tangan para ahli, pecinta seni, dan para pihak pengambil kebijakan tentu perkembangan tembang dolanan ini tidak akan terjadi sebagaimana diharapkan. Penelitian semacam itu memerlukan waktu yang cukup, tenaga dan kegiatan nyata yang luar biasa, dan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab
itu, disarankan kepada peneliti selanjutnya dapat merancang penelitian serupa dengan melibatkan berbagai pihak pemangku kepentingan. DAFTAR RUJUKAN Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Danandjaja, J. 1986. Foklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: PT. Pustaka Grafiti pers. Effendy, O.U. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Endraswara, S(a). 2010. Foklor Jawa. Jakarta : Penaku. Endraswara, S(b). 2010. Etika Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi. Endraswara, S(c). 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cakrawala. Endraswara, S. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS. Jakobson, R. 1960 [1987] (a). Linguistics and Poetics. In Pomorska, K. & Rudy, S. Roman Jakobson, Language in Literature, hlm. 62-94. Cambidge, Mass., London, England: The Belknap Press of Harvard University Press. Jakobson, R. 1960 [1987] (b) Poetry of Grammar and Grammar Poetry. Dalam Pomorska, K. & Rudy, S. (ed) Roman Jakobson, Language in Literature, hlm. 121-144. Cambidge, Mass., London, England: The Belknap Press of Harvard University Press. Kadarisman, E. 2010. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: UIN Maliki Press. Kadmasasmita. 2010. Perspektif The Iceberg Theory, Levels of Culture, danTingkat Nilai Pengembangan Utsul Tsalasa. Bandung: Medio. Kartini, Y. TT. Tembang Dolanan Anak-anak Berbahasa Jawa Sumber Pembentukan Watak dan Budi Pekerti (Artikel). Surabaya: Balai Bahasa. Mulyana, D. 2010. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nugraha, S. 2006. Buku Pinter Basa Jawa. Penerbit Kartika. Piliang, Y.A. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari. Richards, I.A. 1973. Practical Criticism: A Study of Literary Judgement. London: Routlage & Keegan Paul. Sapir, E. 1921. Language: An Introduction to the Study of Speech. San Diego, New York, London: Harcourt Brace Javanovich, Publisher.
Volume 2, Nomor 3, September 2014
Andayani, Transformasi Tembang Dolanan di Kabupaten ... 255
Sudikan, S.Y. 2013. Kearifan Budaya Lokal. Sidoarjo: Damar Ilmu. Sudikan, S.Y. 2014. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan: CV. Pustaka Ilalang Group Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan – Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Tedlock, D. 1983. The Spoken Word and the Work of Interpretation. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Tedlock, D. 1992. Ethnopoetics. In Bauman, Richard (ed.). Folklore, Cultural Performances, and Popular Entertainments, pp.81-85. New York/Oxford: Oxford University Press.