MODUL PERKULIAHAN
PANCASILA
KEMBALI KE PANCASILA: RENAISSANCE INDONESIA
Fakultas
Program Studi
MKCU
TEKNIK
Tatap Muka
02
Kode MK
Disusun Oleh
MK90003
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Abstract
Kompetensi
Pancasila is the social contract of the Indonesian nation. Pancasila is the basis of State of Indonesia. Therefore, looking at the social contract became the immediate needs of the young generation.
Mahasiswa memiliki pendalaman yang memadai untuk melihat pemikiran tentang pancasila sebagai ‘kontrak soial’ negara Indonesia. Kemudian, mahasiswa mampu untuk mengerti mengapa generasi muda perlu melihat kembali kontrak sosial tersebut agar negara ini tetap kokoh berdiri.
Materi Pengayaan BAB I KEMBALI KE PANCASILA: RENAISSANCE INDONESIA Banyak teori tentang lahirnya sebuah negara. Di antaranya adalah teori kontrak sosial. Teori ini cukup memadai untuk melihat kembali lahirnya sebuah negara. Indonesia memiliki sejarah yang sebenarnya tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan terbentuknya negaranegara lain, khususnya di Asia. Namun demikian, identitas bangsa Indonesia dibangun dengan perjalanan yang khas dan unik. Pancasila adalah salah satu keunikan tersebut. Pancasila adalah sebuah kontrak sosial yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. Maka, kembali menggali pemikiran pancasila merupakan sebuah kebutuhan mendasar ketika negara ini berada dalam ancaman perpecahan di berbagai bidang. Inilah yang saya sebut sebagai era renaissance Indonesia, era pencerahan. Pada bagian ini kita akan melihat bagaimana kontrak sosial itu dimaksudkan. Kemudian kita akan melihat mengapa perlu menggali lagi dan mempelajari pancasila, tujuannya apa dan bagaimana kita akan mempelajarinya.
1.1.
Pendahuluan: Pancasila Sebagai Kontrak Sosial Bangsa Indonesia
Sejak kebangkitan nasional pada tahun 1908, sampai dengan tercetuskannya Sumpah Pemuda tahun 1928, cikal bakal bangsa Indonesia telah terlihat jelas. Walaupun pada masa itu, para tokoh pemuda masih kesulitan menentukan apa yang dapat dijadikan sebagai identitas bersama, namun semangat mereka nanti akan membawa cita-cita sebagai bangsa Indonesia merdeka sudah begitu besar. Munculnya kata “keragaman untuk menuntut persatuan1” kerap terungkap pada masa persidangan Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sehingga ketika merumuskan Pancasila dan UUD 1945, prinsip tersebutlah yang kemudian mematahkan perdebatan panjang antara golongan kebangsaan (nasionalis) dengan golongan Islam. Tujuh kata hasil usulan golongan Islam yang memperjuangkan syariat Islam dalam Pancasila, menyisipkan bunyi “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya,” sesuai bunyi Piagam Jakarta, tidak dicantumkan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945.
Sebagai gantinya, Pancasila dengan sila pertama “Ketuhanan
Yang Maha Esa” dan pasal 29 tentang keberagaman agama disepakati dalam UUD 1945. Menurut Tadjudin Effendi (2006), persoalan bangsa pada saat kemerdekaan dan Indonesia kontemporer bersumber pada 2 hal, yaitu:
1
Effendi, dikutip dari RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan, (Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Jakarta, 2004), hal. 97-167. Effendi, Tadjuddin N., Panca Sila Dalam Konstelasi Perubahan Masyarakat, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 2006 2016
2
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
1. Kekuatan apa yang dapat mempersatukan bangsa yang beragam dalam hal agama, suku, adat istiadat (budaya), bahasa dan berdiam tersebar di berbagai pulau, dalam mencapai kemerdekaan 2. Kekuatan apa yang dapat membantu upaya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang akhir-akhir ini dilanda kekacauan dan konflik sosial sampai pada titik yang mengancam disintegrasi bangsa.2
Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 diharapkan dapat menjawab pertanyaan di atas. Namun Pancasila ternyata belum mampu membuktikan kesaktiannya ketika bangsa kita sedang bergelut menjaga keharmonisan kehidupan sosial dengan beragam budaya. Sejarawan Ongkokkam dan Andi Achdian (2000) dari The Ongkokkham Institute menyimpulkan “hipotesis bahwa Pancasila adalah kontrak sosial bukan sekedar masalah interpretasi.”3 Soekarno sendiri pernah menyampaikan pemikiran seperti di atas dengan pernyataan seperti berikut: “Apa landasan dasar pembentukan negara Indonesia yang merdeka? Apakah nasionalisme-sosialisme? Apakah Materialisme Sejarah? Apakah San Min Cu I, seperti dinyatakan Dr. Sun Yat Sen? Saudara-saudara, selama tiga hari kita telah mengadakan rapat, dan banyak gagasan yang telah disampaikan—semua gagasan—tetapi betapa benarnya kata-kata Dr. Soekiman, Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari kesepakatan, mencari konsensus dari opini-opini kita. Kita bersama-sama mencari kesatuan dari ‘dasar filsafat’, bersama-sama mencari pandangan dunia yang mana semua kita setuju. Saya katakan lagi “setuju.” Sesuatu yang disepakati Saudara Yamin, yang mana Ki Bagoes setuju, yang mana Ki Hadjar setuju, yang mana Saudara Liem Koen Hian setuju, ringkasnya, yang mana semua di antara kita setuju.”4
Sebagai bangsa baru merdeka, Indonesia ingin menemukan identitas diri sebagai bangsa yang baru. Keragaman jenis etnik dan suku bangsa yang luar biasa heterogen tentu saja membutuhkan alat perekat persatuan. Oleh karena itulah, di saat usia kemerdekaan Indonesia belum genap 2 hari, para pemimpin bangsa sudah harus bekerja keras merumuskan pandangan hidup bangsa.
Mereka memiliki anggapan tentang perlunya
ideologi kompromis mengatasi semua golongan. Pada saat itu, ideologi dominan di dunia adalah sosialisme dan kapitalisme. Indonesia tidak ingin terjebak di dalam perang urat syaraf dilancarkan oleh blok barat (Amerika Serikat) dan blok timur (Eropa Timur dan Uni Soviet). Pancasila dirasakan para founding fathers and mothers paling sesuai di tengah pertentangan dua ideologi tersebut.
2
Ibid, Effendi. Hal. Ongkokkham dan Achdian, Andi, Pancasila: Dari Kontrak Sosial Menjadi Ideologi Negara, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 2006. 4 Dikutif dari kutipan Sjafrudin Prawiranegara, “Pancasila as the Sole Foundation,” Indonesia, Vol. 38 (October, 1984), hal. 76-77. 3
2016
3
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Oleh karena itu pada saat kelahirannya, Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945 tidak dimaksudkan sebagai ideologi paling sakral. Soekarno sendiri pernah mengatakan bahwa: ...Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangan umum, yang singkat, cekak aos hanya mengenai pokok-pokok saja dan tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa UndangUndang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah UndangUndang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan ini: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat UndangUndang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.5
Sangatlah gegabah apabila kita menutup diri apalagi membutakan diri untuk menerima Pancasila apa adanya seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Kegagalan
Pancasila selama ini untuk mendamaikan persoalan bangsa dapat disebabkan oleh pencitraan Pancasila sebagai falsafah atau ideologi bangsa yang terlampau steril dan dangkal pemaknaannya. Dalam masa demokrasi parlementer, Pancasila sekali lagi membuktikan daya rekatnya terhadap berbagai ideologi ketika kontes pemilihan umum terbesar dan terdemokratis diselenggarakan pada tahun 1955. Sangat mengagumkan bahwa Pemilu dengan mengikutsertakan 27 partai politik tanpa satupun menggunakan Pancasila sebagai ideologi partai berjalan dengan damai dan tertib.
Artinya Pancasila sudah dipahami sebagai
“landasan pemersatu bangsa [sekaligus] …pegangan untuk membangun harkat dan martabat bangsa serta dasar untuk membangun karakter bangsa (nation and character building) atau identitas kolektif bangsa.”6 Kekuatan totalitarian bersemi ketika Soekarno cenderung bergerak ke arah sosialisme mengawinkan tiga pandangan sekaligus, yaitu nasionalis, agama, dan komunis (nasakom), mengaburkan arti Pancasila karena sudah memihak terhadap golongan masyarakat tertentu saja. Ideologi baru ditumbuhkan Soekarno sebagai jalan tengah dengan memurnikan kembali Pancasila dengan wajah baru bernama demokrasi terpimpin.7 Peristiwa 30 September 1965 menjadikan Pancasila sebagai instrumen penghancur efektif ideologi komunis, sekaligus alat justifikasi pemberangusan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi turunannya (onderbouw). Masa pemerintahan Orde Baru ditandai dengan pemberlakuan Pancasila sebagai suatu 5
Dikutip dari Arinanto, Satya, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada http://www.cetro.or.id/pustaka/puud45satya.html diakses pada 23 April 2008. Soekarno menyampaikan pernyataan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Kilat ketika berpidato dalam pembukaan Sidang Pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), pada rapat besar tanggal 18 Agustus 1945. 6 Ibid, hal. 3. 7 Roeslan Abdulgani, “Pantja-Sila Sebagai Landasan Demokrasi Terpimpin,” dalam Notosoetardjo, Kembali Kepada Djiwa Proklamasi 1945: Apakah Demokrasi Terpimpin Itu? (Djakarta: Harian “Pemuda,” 1959), hal. 412.. Abdoelgani mengatakan bahwa “….perlu kiranya kita memperdalam perhatian kita dalam persoalan apakah sangkut-paut dan hubungannya Pantja-Sila dengan Demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin mengandung perpaduan dua sila, ja’ni sila Demokrasi dan sila Keadilan Sosial. 2016
4
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
dogma, indoktrinasi tak terbantahkan, merubah makna dari falsafah negara menjadi alat politik praktis semata. Orde Baru sangat mengkultuskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu-satunya azas resmi, sampai-sampai institusi khusus seperti BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila) ditugaskan mengawasi implementasi nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen, termasuk di dalamnya wadah penataran P4 bagi para pelajar dan calon pegawai negeri. Ketidakmampuan Pancasila menghadapi dominasi ideologi kapitalis, semakin jauh menjerumuskan bangsa dan negara Indonesia menjadi korban budaya liberal dengan segala macam eksesnya seperti budaya konsumerisme, privatisasi, dan pemotongan subsidi pada hak-hak prinsipil rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Pancasila yang mengadung nilai religius, humanisme, persatuan dan kesatuan, demokrasi, kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, justru mengundang masuknya ideologi kapitalis lebih dalam pada sistem politik Indonesia. Akibatnya, rasa keadilan harus digantikan dengan prinsip kesamamelaratan bagi kelompok masyarakat bawah. Sementara kelompok masyarakat menengah ke atas semakin enjoy dengan kehidupan bergelimang uang. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin makin kentara karena sejatinya memang ideologi neoliberalisme mengajarkan kompetisi bebas tanpa campur tangan negara. Negarapun sudah dikuasai oleh politikus-politikus haus kekuasaan tanpa malu mencederai para pemilihnya yang kelaparan. Mekanisme pasar bebas memaksa negara-negara dunia ketiga seperti halnya Indonesia berintegrasi ke dalam perdagangan dunia berlandaskan prinsip-prinsip kompetisi bebas. Bedanya dengan negara-negara developed yang telah menjalankan liberalisasi pasar lebih dari ratusan tahun, Indonesia berikut newly industrializing countries lainnya, akan semakin menjadi underdeveloped dari masa sebelumnya. Menurut, Andre Gunder Frank (1966) sejarawan ekonomi dan sosiologi, pencipta teori dependensi dan teori sistem dunia mengatakan bahwa, “institusi-institusi yang berada dalam kategori belum berkembang dari segi pembangunannya atau disebut terbelakang ataupun wilayah-wilayah domestik dikenal feodal dari negara-negara terbelakang sedikitnya merupakan produk dari proses tunggal sejarah dari pembangunan kapitalis dengan segala insitusinya yang dianggap lebih progresif (…the contemporary underdeveloped institutions of the so-called backward or feudal domestic areas of an underdeveloped country are no less the product of the single historical process of capitalist development than are the so-called capitalist institutions of the supposedly more progressive area).”8
Orde Reformasi ternyata tidak juga mampu juga mengangkat keterpurukan bangsa Indonesia dari krisis ekonomi, sosial, dan politik berkepanjangan. Atas nama menjaga pergaulan dunia dan keberadaan Indonesia di mata internasional, Indonesia rela Terjemahan bebas dari Andre Gunder Frank, “The Development of the Underdeveloped,” Pdf copy, dalam Monthly Review, Vol. 18, No. 4 (Septermber 1966), hal 95. 8
2016
5
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
menjauhkan diri dari nilai-nilai Pancasila di mana, masyarakatnya tercermin senang bermusyawarah dan bergotong royong, pemerintahnya mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bahkan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah dijadikan alat strategis menyisihkan kelompok atau golongan yang memiliki keyakinan tidak sejalan dengan doktrin 6 agama diakui negara. 1.2. Permasalahan9 1.2. 1. Isu SARA Perbedaan peta geografis dan etnis-kultural berpotensi sebagai sumber dari berbagai jenis konflik yang timbul secara alamiah atau yang dengan sengaja direkayasa menjadi konflik. Jenis konflik ditimbulkan, antara lain, oleh isu SARA dan oleh adanya ketegangan antara keinginan untuk mempertahankan diri sebagai komunitas lokal pada satu sisi, dan pada sisi lain lemahnya perekat keadilan yang seharusnya dapat merekat seluruh komunitas agar dapat mempersatukan diri sebagai sebuah bangsa dengan makna dalam ungkapan bhinneka tunggal ika sebagai jatidiri. Di antara konflik yang paling meresahkan ialah konflik yang bersumber dari isu SARA dan isu yang ditimbulkan oleh kecenderungan kuat sebagian warga dan kelompok komunitas nusantara yang menolak persatuan Indonesia (NKRI) atau tak menginginkan terbangunnya masyarakat baru yang bernama bangsa Indonesia. Konflik di dalam membangun sebuah masyarakat bangsa yang utuh, aman, dan damai ditimbulkan oleh transformasi politik yang diwujudkan melalui pembangunan bangsa secara tak adil atau yang menyimpang dari tujuan nasional sebagai manifestasi dari kepentingan bersama. Secara fenomenal dapat disimak bahwa sebagian kerusuhan dan pemberontakan di sejumlah daerah bermuatan bibit konflik yang berisu SARA atau berisu separatisme. Sebagian pemberontakan yang bernuansa separatisme disebabkan oleh kesenjangan dari proses pembangunan dan hasilnya antara pusat dan daerah. Keadilan yang tidak dapat atau kurang dinikmati, baik di dalam partisipasi pembangunan, maupun di dalam penikmatan hasil pembangunan antara pusat dan daerah, telah melahirkan kesenjangan yang mengundang konflik dan ketegangan yang berkembang menjadi pemberontakan. Pemadaman pemberontakan terhadap gerakan separatis di sejumlah daerah, seperti RMS, PRRI/Permesta, Daud Beureu di Aceh, Kartosuwiryo di Jabar, Kahar Muzakkar di Sulsel, dan gerakan OPM, secara militer atau secara represif tidak menyelesaikan akar persoalan. Selama keadilan yang menjadi substansi utama yang dapat merekat segenap masyarakat plural di atas bumi nusantara gagal diwujudkan, selama itu potensi konflik akan tetap mengancam, termasuk ancaman politik yang bernuansa separatisme. 9
Lihat permasalahan keindonesiaan yang lebih kompleks dalam St. Sularto dkk., Rindu Pancasila: Merajut Nusantara, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010 2016
6
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Berbagai kerusuhan yang bernuansa SARA selama ini dan api pemberontakan di tahun 50an dan sesudahnya beraroma separatisme sudah berhasil dipadamkan. Namun, bara apinya mungkin saja masih tersisa. Lanjutan tindakan pemulihan kehidupan masyarakat melalui pembangunan yang berkeadilan dan berkeseimbangan adalah jawaban jitu untuk benar-benar memadamkan seluruh sumber api kerusuhan dan pemberontakan dalam berbagai bentuknya. Terwujudnya keadilan akan menyempitkan kesenjangan sebagai lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi konflik, baik yang bernuansa SARA, maupun yang bermuatan isu separatisme.
1.2. 2. Hak Asasi Manusia (HAM) Hak Asasi tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak karena penuntutan pelaksanaan hak asasi secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama dari orang lain. Hak Asasi Manusia yang kemudian disingkat HAM adalah permasalahan yang selama dua atau tiga tahun terakhir menjadi bahan perbincangan masyarakat. Banyak contoh kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM pada saat pelaksanaan jajak pendapat Referendum Timor Timur. Kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di daerah Serambi Mekkah Aceh yang banyak menelan korban jiwa dari pihak masyarakat sipil dan disinyalir banyak di lakukan oleh oknum-oknum tentara. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Banyak tokoh yang dinyatakan sebagai tersangka tapi pada kenyataannya para pelaku masih bebas berkeliaran sementara keluarga korban menanti kepastian hukum tentang apa yang dialaminya. Tapi perlu kita ketahui sebenarnya kesalahan maupun pelanggaran itu juga tidak sepenuhnya dilakukan oleh para oknum tentara. Masyarakat sipil mempunyai hak untuk hidup tentara pun demikian. UU No. 39 tahun 1999 juga menentukan Kewajiban Dasar Manusia yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28i ayat 5 (amandemen ke 2) yang berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Pasal 28j ayat 1 dan 2 (amandemen ke 2) yang intinya setiap manusia wajib menghormati hak asasi manusia dan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Jadi dalam masalah ini kita perlu secara cermat menanggapi kasus-kasus seperti ini karena permasalahan yang demikian sangatlah kompleks dan sangat rentan terhadap perpecahan atau ancaman diintegrasi bangsa.
2016
7
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
1.2. 3. Krisis Ekonomi TAHUN 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga. Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997, berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha. Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara. Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau bangkrut. Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak. 1.3. Kembali ke Pancasila10 1.3.1. Landasan Pendidikan Pancasila a. Landasan Historis Bangsa Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang mulai jaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya penjajah. Bangsa Indonesia berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup, di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Oleh para pendiri bangsa kita (the
10
Bdk. Panji Setijo, Pendidikan Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal. 9 dan seterusnya 2016
8
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
founding father) dirumuskan secara sederhana namun mendalam yang meliputi lima prinsip (sila) dan diberi nama Pancasila. Dalam era reformasi bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang kuat (nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat internasional. Hal ini dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar pada sejarah bangsa. Secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara obyektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.
b. Landasan Kultural Bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukanlah merupakan hasil konseptual seseorang saja melainkan merupakan suatu hasil karya bangsa Indonesia sendiri yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara. Oleh karena itu generasi penerus terutama kalangan intelektual kampus sudah seharusnya untuk mendalami serta mengkaji karya besar tersebut dalam upaya untuk melestarikan secara dinamis dalam arti mengembangkan sesuai dengan tuntutan jaman. c. Landasan Yuridis Landasan yuridis (hukum) perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi diatur dalam UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 39 menyatakan : Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan. Demikian juga berdasarkan SK Mendiknas RI, No.232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, pasal 10 ayat 1 dijelaskan bahwa kelompok Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi, yang terdiri atas Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sebagai pelaksanaan dari SK tersebut, Dirjen Pendidikan Tinggi mengeluarkan Surat Keputusan No.38/DIKTI/Kep/2002, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa kompetensi kelompok mata kuliah MPK bertujuan menguasai kemampuan berfikir, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas sebagai manusia intelektual. Adapun rambu-rambu mata kuliah MPK Pancasila adalah terdiri atas segi historis, filosofis, ketatanegaraan, kehidupan berbangsa 2016
9
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
dan bernegara serta etika politik. Pengembangan tersebut dengan harapan agar mahasiswa mampu mengambil sikap sesuai dengan hati nuraninya, mengenali masalah hidup terutama kehidupan rakyat, mengenali perubahan serta mampu memaknai peristiwa sejarah, nilainilai budaya demi persatuan bangsa.
d. Landasan Filosofis Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan pandangan filosofis bangsa Indonesia, oleh karena itu sudah merupakan suatu keharusan moral untuk secara konsisten merealisasikan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara filosofis bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara adalah sebagai bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan, hal ini berdasarkan kenyataan obyektif bahwa manusia adalah mahluk Tuhan YME. Setiap aspek penyelenggaraan negara harus bersumber pada nilai-nilai Pancasila termasuk sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu dalam realisasi kenegaraan termasuk dalam proses reformasi dewasa ini merupakan suatu keharusan bahwa Pancasila merupakan sumber nilai dalam pelaksanaan kenegaraan, baik dalam pembangunan nasional, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan.
1.3.2. Tujuan Pendidikan Pancasila Dengan mempelajari pendidikan Pancasila diharapkan untuk menghasilkan peserta didik dengan sikap dan perilaku : 1. Beriman dan takwa kepada Tuhan YME 2. Berkemanusiaan yang adil dan beradab 3. Mendukung persatuan bangsa 4. Mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individu/golongan 5. Mendukung upaya untuk mewujudkan suatu keadilan sosial dalam masyarakat.
Melalui Pendidikan Pancasila warga negara Indonesia diharapkan mampu memahami, menganalisa dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945.
1.3.3. Pembahasan Pancasila Secara Ilmiah Pancasila termasuk Filsafat Pancasila sebagai suatu kajian ilmiah harus memenuhi syaratsyarat ilmiah, menurut Ir. Poedjowijatno dalam bukunya “Tahu dan Pengetahuan” mencatumkan syarat-syarat ilmiah sebagai berikut : 2016
10
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
- berobyek - bermetode - bersistem - bersifat universal
1. Berobyek Dalam filsafat, ilmu pengetahuan dibedakan antara obyek forma dan obyek materia. Obyek materia Pancasila adalah suatu sudut pandang tertentu dalam pembahasan Pancasila. Pancasila dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya: Moral (moral Pancasila), Ekonomi (ekonomi Pancasila), Pers (Pers Pancasila), Filsafat (filsafat Pancasila), dsb. Obyek Materia Pancasila adalah suatu obyek yang merupakan sasaran pembahasan dan pengkajian Pancasila baik yang bersifat empiris maupun non empiris. Bangsa Indonesia sebagai kausa materia (asal mula nilai-nilai Pancasila), maka obyek materia pembahasan Pancasila adalah bangsa Indonesia dengan segala aspek budaya dalam bermayarakat, berbangsa dan bernegara. Obyek materia empiris berupa lembaran sejarah, bukti-bukti sejarah, benda-benda sejarah dan budaya, Lembaran Negara, naskah-naskah kenegaraan, dsb. Obyek materia non empiris non empiris meliputi nilai-nilai budaya, nilai-nilai moral, nilainilai religius yang tercermin dalam kepribadian, sifat, karakter dan pola-pola budaya. 2. Bermetode Metode adalah seperangkat cara/sistem pendekatan dalam rangka pembahasan Pancasila untuk mendapatkan suatu kebenaran yang bersifat obyektif. Metode dalam pembahasan Pancasila sangat tergantung pada karakteristik obyek forma dan materia Pancasila. Salah satu metode adalah “analitico syntetic” yaitu suatu perpaduan metode analisis dan sintesa. Oleh karena obyek Pancasila banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan obyek sejarah maka sering digunakan metode “hermeneutika” yaitu suatu metode untuk menemukan makna dibalik obyek, demikian juga metode “koherensi historis” serta metode “pemahaman penafsiran” dan interpretasi. Metode-metode tersebut senantiasa didasarkan atas hukum-hukum logika dalam suatu penarikan kesimpulan. 3. Bersistem Suatu pengetahuan ilmiah harus merupakan sesuatu yang bulat dan utuh. Bagian-bagian dari pengetahuan ilmiah harus merupakan suatu kesatuan antara bagian-bagian saling berhubungan baik hubungan interelasi (saling hubungan maupun interdependensi (saling ketergantungan). Pembahasan Pancasila secara ilmiah harus merupakan suatu kesatuan
2016
11
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
dan keutuhan (majemuk tunggal) yaitu ke lima sila baik rumusan, inti dan isi dari sila-sila Pancasila merupakan kesatuan dan kebulatan. 4. Universal Kebenaran suatu pengetahuan ilmiah harus bersifat universal artinya kebenarannya tidak terbatas oleh waktu, keadaan, situasi, kondisi maupun jumlah. Nilai-nilai Pancasila bersifat universal atau dengan kata lain intisari, esensi atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila pada hakekatnya bersifat universal.
1.3.4. Tingkatan Pengetahuan Ilmiah Tingkat pengetahuan ilmiah dalam masalah ini bukan berarti tingkatan dalam hal kebenarannya namun lebih menekankan pada karakteristik pengetahuan masing-masing. Tingkatan pengetahuan ilmiah sangat ditentukan oleh macam pertanyaan ilmiah sbb : Deskriptif suatu pertanyaan “bagaimana” Kausal suatu pertanyaan “mengapa” Normatif suatu pertanyaan “ kemana” Essensial suatu pertanyaan “ apa “ 1. Pengetahuan Deskriptif Pengetahuan deskriptif yaitu suatu jenis pengetahuan yang memberikan suatu keterangan, penjelasan obyektif. Kajian Pancasila secara deskriptif berkaitan dengan kajian sejarah perumusan Pancasila, nilai-nilai Pancasila serta kajian tentang kedudukan dan fungsinya. 2. Pengetahuan Kausal Pengetahuan kausal adalah suatu pengetahuan yang memberikan jawaban tentang sebab akibat. Kajian Pancasila secara kausal berkaitan dengan kajian proses kausalitas terjadinya Pancasila yang meliputi 4 kausa yaitu kausa materialis, kausa formalis, kausa efisien dan kausa finalis. Selain itu juga berkaitan dengan Pancasila sebagai sumber nilai, yaitu Pancasila sebagai sumber segala norma.
3. Pengetahuan Normatif Pengetahuan normatif adalah pengetahuan yang berkaitan dengan suatu ukuran, parameter serta norma-norma. Dengan kajian normatif dapat dibedakan secara normatif pengamalan Pancasila yang seharusnya dilakukan (das sollen) dan kenyataan faktual (das sein) dari Pancasila yang bersifat dinamis. 4. Pengetahuan Esensial Pengetahuan esensial adalah tingkatan pengetahuan untuk menjawab suatu pertanyaan yang terdalam yaitu pertanyaan tentang hakekat sesuatu. Kajian Pancasila secara esensial 2016
12
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
pada hakekatnya untuk mendapatkan suatu pengetahuan tentang intisari/makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila (hakekat Pancasila). Lingkup Pembahasan Pancasila Yuridis Kenegaraan Pancasila yuridis kenegaraan meliputi pembahasan Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara Republik Indonesia, sehingga meliputi pembahasan bidang yuridis dan ketatanegaraan. Realisasi Pancasila dalam aspek penyelenggaraan negara secara resmi baik yang menyangkut norma hukum maupun norma moral dalam kaitannya dengan segala aspek penyelenggaraan negara. Tingkatan pengetahuan ilmiah dalam pembahasan Pancasila yuridis kenegaraan adalah meliputi tingkatan pengetahuan deskriptif, kausal dan normatif. Sedangkan tingkat pengetahuan essensial dibahas dalam bidang filsafat Pancasila, yaitu membahas sila-sila Pancasila sampai inti sarinya, makna yang terdalam atau membahas sila-sila Pancasila sampai tingkat hakikatnya. 1.4. Penutup: sebuah tulisan dari Goenawan Muhamad11 Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri’ — Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Dewasa ini cita-cita menegakkan ‘Negara Islam’ mungkin satu-satunya yang masih percaya bahwa kesempurnaan bisa diwujudkan. Jika hukum Tuhan adalah hukum yang hendak diterapkan, mau tak mau hasil yang diharapkan adalah sebuah kehidupan sosial yang tanpa cacat. Dengan kata lain, para penganjur ‘Negara Islam’ adalah penggagas yang tak membaca sejarah yang terbentang dalam jangka waktu lebih dari 21 abad – sebuah sejarah harapan dan kekecewaan yang silih berganti, sebuah sejarah ide dan rencana cemerlang yang kemudian terbentur, sebuah riwayat pemimpin dan khalifah yang tak selamanya tahu bagaimana menjauh dari sabu-sabu kekuasaan. Para penganjur ide ‘Negara Islam’ lupa bahwa agama selamanya menjanjikan kehidupan alternatif: di samping yang ‘duniawi’ yang kita jalani kini, ada kelak yang ‘ukhrowi’ yang lebih baik. Maka sebuah ‘Negara Islam’ yang tak mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan salah secara akidah. Tapi sebuah ‘Negara Islam’ yang mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan menimbulkan persoalan: bukankah ajektif ‘Islam’ mengandaikan sesuatu yang sempurna? Dilema itu berasal dari pengalaman kita: bumi adalah bumi; ia bukan surga. Ketidaksempurnaan, bahkan cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan saat-saat yang mengagumkan. Agaknya akan demikian seterusnya. Di tahun 19….Fukuyama mengatakan kini kita berada di ‘akhir sejarah’. Tapi ia tak mengatakan bahwa hidup tak akan lagi dirundung cela. Memang ia merayakan kemenangan ekonomi kapitalis dan demokrasi liberal yang kini tampak di banyak sudut. Ia ingin menunjukkan bahwa pandangan alternatif yang yakin untuk menggantikan kapitalisme dan demokrasi liberal telah kehilangan daya pikat; ideologi telah berakhir, seperti telah dikatakan Raymond Aron di tahun 1955 dan Daniel Bell di tahun 1960. Orang terdorong untuk jadi pragmatis. Tapi ada yang harus dibayar. ‘Akhir sejarah akan merupakan sebuah peristiwa yang amat sedih’, tulis Fukuyama. ‘Perjuangan untuk diakui, kehendak untuk mengambil risiko mati bagi sebuah cita-cita yang sepenuhnya abstrak, pergulatan ideologis sedunia yang menggugah tualang, keberanian, imajinasi, dan idealisme, akan digantikan oleh perhitungan ekonomis, keprihatinan soal lingkungan dan pemuasan permintaan konsumen yang kian canggih’.
11
Goenawan Mohamad, Menggali Pancasila Kembali, Naskah pidato pada peluncuran situs www.politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara, Jakarta, Senin 27 April 2009
2016
13
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Fukuyama tak sepenuhnya betul. Kini masih ada orang-orang yang terbakar oleh ‘kehendak untuk mengambil risiko mati bagi sebuah cita-cita’; kita mengetahuinya tiap kali ada seseorang yang meledakkan tubuhnya sebagai alat pembunuh musuh. Bahkan dalam sebuah proses politik yang ‘normal’, tak semua hal digantikan oleh ‘perhitungan ekonomis’ dan ‘pemuasan permintaan konsumen’. Tapi apa yang betul dan tak betul dalam kesimpulan Fukuyama tetap menunjukkan kesadaran zaman ini: nasib manusia adalah ketidak-sempurnaan. **** SAYA teringat akan Pancasila. Ketika Bung Karno menjelaskan, seraya membujuk, perlunya Indonesia mempunyai sebuah Weltanchauung, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, ia sebenarnya sedang meniti buih untuk selamat sampai ke seberang. Sebab itu, jika ditelaah benar, pidato Lahirnya Pancasila yang terkenal pada tanggal 1 Juni 1945 itu mengandung beberapa kontradiksi — yang bagi saya menunjukkan bahwa Bung Karno sedang mencoba mengatasi pelbagai hal yang saling bertentangan yang dihadapi Indonesia. Kontradiksi yang paling menonjol justru pada masalah Weltanschauung itu. Sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, atau sebuah ‘dasar filsafat’ (Bung Karno menyebutnya philosophische grondslag) yang melandasi persatuan bangsa adalah sebuah fondasi, perekat dan sekaligus payung. Di sini tersirat kecenderungan untuk memandangnya sebagai sesuatu yang harus kukuh dan sempurna – sebuah kecenderungan yang makin mengeras di masa ‘Orde Baru’, yang menganggap Pancasila itu ‘sakti’. Jika demikian halnya, ia tak bisa diubah. Tapi timbul persoalan: bagaimana pandangan ini memungkinkan sebuah kehidupan politik yang, seperti dikatakan Bung Karno sendiri, niscaya mengandung ‘perjuangan faham’? Kata Bung Karno, tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya’. **** PANCASILA justru berarti, karena ia tidak ‘sakti’. Ada tiga kesalahan besar ‘Orde Baru’ dalam memandang kelima ‘prinsip’ itu. Yang pertama adalah membuat Pancasila hampir-hampir keramat. Yang kedua, membuat Pancasila bagian dari bahasa, bahkan simbol eksklusif, si berkuasa. Yang ketiga, mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan. ‘Orde Baru’ telah memperlakukan Pancasila ibarat Rahwana mengambil-alih Sita selama bertahun-tahun. Analogi dari epos Ramayana ini tak sepenuhnya tepat, tapi seperti Sita setelah kembali dibebaskan oleh Rama, Pancasila di mata orang banyak, terutama bagi mereka yang tertekan, setelah ‘Orde Baru’ runtuh, seakan-akan bernoda: ia tetap dikenang sebagai bagian dari lambang kekuasaan sang Rahwana. Tapi kita tahu, kesan itu tak benar dan tak adil – sama tak benar dan tak adilnya ketika Rama meletakkan Sita dalam api pembakaran untuk membuktikan kesuciannya. Kini kita membutuhkan Pancasila kembali, tapi tak seperti Rama menerima Sita pulang: kita tak perlu mempersoalkan ‘kesucian’, apalagi ‘kesaktian’-nya. Kini kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan rumusan yang ringkas dari ikhtiar bangsa kita yang sedang meniti buih untuk dengan selamat mencapai persatuan dalam perbedaan. Pidato Bung Karno dengan ekpresif mencerminkan ikhtiar itu; nadanya mengharukan: penuh semangat tapi juga tak bebas dari rasa cemas. Dengan kata lain, kita membutuhkan Pancasila kembali untuk mengukuhkan, bahwa kita mau tak mau perlu hidup dengan sebuah pandangan dan sikap yang manusiawi – yang mengakui peliknya hidup bermasyarakat. Para pembela ide ‘Negara Islam’ gemar mengatakan, mereka lebih baik memilih dasar Islam karena Islam datang dari Allah, sedang Pancasila itu bikinan manusia. Tapi justru karena Pancasila adalah bagian dari ikhtiar manusia, ia tak mengklaim dirinya suci dan sakti. Dengan demikian ia adalah ‘inspirasi’ untuk sebuah kehidupan bersama yang mengakui dirinya mengandung ‘kurang’, karena senantiasa bergulat antara ‘eka’ dan ‘bhineka’. Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita seakan-akan telah kehilangan bahasa untuk menangkis 100 gtahun kekerasan yang tersirat dalam sikap sewenang-wenang yang juga pongah: sikap mereka yang merasa mewakili suara Tuhan dan suara Islam, meskipun tak jelas dari mana dan bagaimana ‘mandat’ itu datang ke tangan mereka; sikap mereka yang terbakar oleh ‘egoisme-agama’ dan menafikan cita-cita Indonesia yang penting, agar
2016
14
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
tiap manusia Indonesia ‘bertuhan Tuhannya sendiri’ – hingga agama tak dipaksakan, dan para penganut tak bersembunyi dalam kemunafikan. Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan dengan darah dan keringat berbagai penghuninya – Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, ataupun atheis — perjuangan yang lebih lama ketimbang 60 tahun. Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ‘eka, dan tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Maha Benar. Kita membutuhkan Pancasila kembali: seperti saya katakan di atas, kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidak-sempurnaan nasib manusia. Ketika Bung Karno menyebut kalimat ini, ketika ia mengakui bahwa sebuah negara mau tak mau mengandung ‘perjuangan sehebat-hebatnya’ di dalam persoalan ‘faham’, ia menatap ke sebuah arah: ia ingin membuat tenteram kalangan politik Islam. Ia menganjurkan agar ‘pihak Islam’ menerima berdirinya sebuah negara yang ‘satu buat semua, semua buat satu’. Ia menolak ‘egoisme-agama’. Tapi ia juga membuka diri kepada kemungkinan ini: bisa saja suatu saat nanti hukum yang ditegakkan di Indonesia adalah hukum Islam – jika ‘utusan-utusan Islam’ menduduki ‘sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat’. Di sini tampak, perjuangan ke arah hegemoni diakui sebagai sesuatu yang wajar dan sah. Tapi dengan demikian, Weltanachauung yang dirumuskan sebenarnya bukan fondasi yang kedap, pejal, sudah final dan kekal, hingga meniadakan kemungkinan satu ‘faham’ menerobosnya dan mengambil-alih posisi ‘filsafat dasar’ itu. Dengan kata lain, Pancasila bukan sesuatu yang ‘sakti’.
2016
15
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka 1. Effendi, Tadjuddin N., Panca Sila Dalam Konstelasi Perubahan Masyarakat, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 2006 2. Ongkokkham dan Achdian, Andi, Pancasila: Dari Kontrak Sosial Menjadi Ideologi Negara, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 2006. 3. Sjafrudin Prawiranegara, “Pancasila as the Sole Foundation,” Indonesia, Vol. 38 (October, 1984 4. Dikutip dari Arinanto, Satya, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada http://www.cetro.or.id/pustaka/puud45satya.html diakses pada 23 April 2008. 5. Roeslan Abdulgani, “Pantja-Sila Sebagai Landasan Demokrasi Terpimpin,” dalam Notosoetardjo, Kembali Kepada Djiwa Proklamasi 1945: Apakah Demokrasi Terpimpin Itu? (Djakarta: Harian “Pemuda,” 1959) 6. Andre Gunder Frank, “The Development of the Underdeveloped,” Pdf copy, dalam Monthly Review, Vol. 18, No. 4 (September 1966) 7. Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004 8. P. J. Suwarno, Pancasila budaya bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1993 9. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011 10. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2002 11. Goenawan Mohamad, Menggali Pancasila Kembali, Naskah pidato pada peluncuran situs www.politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara, Jakarta, Senin 27 April 2009 12. R. Soeprapto, Pancasila Menjawab Globalisasi, Yayasan Taman Pustaka,Tangerang, 2004 13. Panji Setijo, Pendidikan Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010 14. St. Sularto dkk., Rindu Pancasila: Merajut Nusantara, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010
2016
16
Kewarganegaraan Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id