Ahmad Naufal, Nur Rosyid, A’yat Khalili, dkk. 2014. Pancasila, Globalisasi dan Budaya Virtual. Purwokerto: Obsesi Press, hal: 8-16
Membaca Kembali Pancasila, Membaca Kembali Diri Kita Nur Rosyid Wajah lama sudah tak karuan di kaca, sedang wajah baru belum juga jelas. Siapa itu orang atau manusia Indonesia? Apa dia memang ada? Dimana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?
Tanya Muchtar Lubis pada sebuah ceramah di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Akankah hari ini kita masih mempertanyakan hal yang sama?
Bertanya tentang Indonesia, tentang orangnya, keberadaannya, ialah bertanya tentang pancasila sebagai akar historis yang membentuk dan dibentuk oleh kita sendiri sebagai warga negara. Pancasila terus diperbincangkan di warung kopi, ruang kelas, media, sampai kongres yang setiap tahun dihelat untuk membentuk wajah ke-Indonesiaan kita. Bagi kita saat ini, penting untuk mencermati bagaimana Pancasila terus diperbincangkan dari waktu ke waktu agar kita tidak terjebak pada keterulangan atau perbincangan retoris mengenai Pancasila. Melalui tulisan ini saya menawarkan cara memahami pancasila melalui penelusuran wacana secara historis dengan membandingkan dua konteks sistem politikekonomi, yakni politik Orde Baru yang tersentralisasi dan setelah Reformasi dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Keduanya akan saya bandingkan untuk melihat bagaimana Pancasila diartikulasikan untuk membentuk wajah ke-Indonesia-an kita. “Artikulasi” sebagai kata kunci di sini, saya meminjam konsep dari Stuart Halli. Konsep ini digunakan untuk memahami bagaimana suatu ideologi dihadirkan dalam
Ahmad Naufal, Nur Rosyid, A’yat Khalili, dkk. 2014. Pancasila, Globalisasi dan Budaya Virtual. Purwokerto: Obsesi Press, hal: 8-16 kondisi tertentu melalui suatu wacana yang digulirkan terus menerus secara historis untuk membentuk kesadaran tertentu. Dalam tulisan ini, saya menempatkan Pancasila yang sengaja dijadikan “ideologi nasional” untuk mengarahkan bagaimana seseorang menjadi warga negara berdasarkan wacana yang digulirkan secara terus menerus sejak orde baru hingga sekarang. Pancasila dalam Rentang Orde Baru Pancasila sebagai pondasi ideologi negara tidak bisa diterima begitu saja, karena Pancasila bukan semata-mata lima pasal yang tertulis di dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara 1945. Untuk itu, banyak kalangan berupaya untuk “membaca” lima pasal tersebut agar bisa dipahami secara luas. Momentum besar pengejawantahan Pancasila dalam rentang sejarah Indonesia terjadi tahun 1978 ketika MPR mengeluarkan Ketetapan No. II/MPR/1978. Ketetapan tersebut berisi mengenai bagaimana Pancasila diterjemahkan dengan membuahkan 36 butir yang harus diamalkan setiap warga negara, yang dikenal dengan “Eka Prasetia Panca Karsa”. Butir-butir pengamalan tersebut dijadikan patokan dasar pelaksanaan pembangunan, pendidikan, dan praktik beragama. Dalam konteks pelaksanaan pembangunan, ada informasi menarik dari Tania Li mengenai bagaimana Orde Baru mendorong pembangunan dengan “kemajuan” sebagai motivasi utama. Menurutnya, masyarakat dipahami pemerintah Orde Baru sebagai masyarakat tanpa batasan kultural dengan hak ulayat masing-masing atau yang disebut sebagai komunitas adat (indigenous people). Hal ini didasarkan pada penafsiran pemerintah mengenai semboyan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila, bahwa “Indonesia is a nation which has no indigenous people, or that all Indonesians are equally indigenous”ii.
Penafsiran ini secara jelas telah diartikulasikan melalui model
Ahmad Naufal, Nur Rosyid, A’yat Khalili, dkk. 2014. Pancasila, Globalisasi dan Budaya Virtual. Purwokerto: Obsesi Press, hal: 8-16 pembangunan ekonomi yang tersentralisasi dengan segala pengaturannya yang Jawasentris atau terepresentasikan dalam Taman Mini Indonesia Indah. Sosial-budaya suatu komunitas telah tersegmentasi berdasarkan wilayah administrasi. Sehingga, TMII hanya menampung sejumlah rumah adat sebanyak provinsi di Indonesia waktu itu. Dengan cara ini menurut saya, pengembangan pertanian atau perkebunan misalnya, dapat dilancarkan dengan pemetaan pusat-pusat perkebunan inti yang jelas. Penduduk dari pulau Jawa dapat dengan mudah dipindahkan ke pulau lain sebagai agen dari “kemajuan”, karena antara orang dari Jawa diposisikan “setara” dengan orang non-Jawa sebagai warga negara, atau dalam bahasa Michael Morfit, “pemerataan”. Penafsiran tersebut mengarahkan pemahaman bahwa Indonesia yang terhierarki dan plural diakomodasi sebagai kesetaraan (equality) dan kepemilikan sektor-sektor produksi dianggap sebagai kepemilikan bersama atas nama kesetaraan tersebutiii. Di satu sisi penafsiran “kesetaraan” membuat pembangunan nasional bisa terlaksana dengan tingkat capaian ekonomi yang signifikan. Di sisi lain, hal tersebut membawa problem bagi ketegangan identitas etnik yang kemudian menjadi poin utama wacana mengenai multikulturalisme pasca reformasi. Sebagaimana dikatakan oleh Weatherbee, idealisasi nilai-nilai adat seperti di atas menawarkan panduan yang netral secara kultural ketika “pembangunan” didasarkan pada agregasi indikator pertumbuhan ekonomiiv. Wilayah pendidikan, merupakan ranah kedua bagaimana identitas warga negara dibentuk dan diposisikan. Pemerintah Orde Baru menjadikan pendidikan pancasila sebagai materi wajib dalam kurikulum setiap jenjang pendidikan. Kurikulum 1968 menjadi penanda penting pergeseran model pembelajaran karena pada kurikulum ini secara tegas pemerintah Orde Baru memunculkan tiga satuan bidang, salah satunya
Ahmad Naufal, Nur Rosyid, A’yat Khalili, dkk. 2014. Pancasila, Globalisasi dan Budaya Virtual. Purwokerto: Obsesi Press, hal: 8-16 Pembinaan Pancasila. Pelajaran ini telah menyita perhatian beberapa ilmuwan sosial dan kritikus, salah satunya Niels Mulder. Ia menunjukkan, Pelajaran Kewarganegaraan yang diajarkan di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, lebih banyak berisi pengarahan ideologi, dengan isi yang terus mengulang-ulang. Lebih lanjut, “Ideologi itu adalah suatu ketundukan total individu pada kolektivitas. Tenggang rasa dan toleransi yang ditekankan di sana lebih dimaksudkan untuk menekan perbedaan dalam rangka menciptakan harmoni”v. Sasaki Shiraishi pun berpendapat demikian. Dia menunjukkan bagaimana peserta didik dibentuk dengan ideologi “ke-Bapak-an” melalui pengenalan gagasan tentang keluargavi. Peserta didik diposisikan sebagai anak yang harus menurut kepada bapaknya, dalam hal ini Soeharto. Selain itu, saya melihat peserta didik pada masa ini dibentuk sebagai agen pembangunan yang dengan watak “tidak membangkang”vii. Selain itu, indoktrinasi Pancasila juga dilakukan melalui penataran-penataran pegawai pemerintahan. Heidi Dahles menunjukkan penataran yang dilakukan pada HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia), secara signifikan turut memberi pengaruh pada pembentukan
identitas ke-Indonesia-anviii.
Pemandu
wisata
menjadi mediator
pengetahuan mengenai ke-Indonesia-an dimana tafsir Pancasila membentuk imaji agar orang tidak sembrono terhadap pemerintah maupun masyarakat setempat. Kedua kasus tersebut menunjukkan bagaimana kita sebagai warga negara dibentuk untuk hidup harmonis dengan “menghormati bapak yang baik kepada anaknya”. Hal yang tidak kalah penting ialah penafsiran Pancasila terhadap perilaku keberagama-an kita. Sita Hidayah menunjukkan bagaimana Pancasila dibentuk sebagai suatu pandangan yang “sekular” dan “monoteis”. Kebertuhanan ditafsirkan sebagai suatu keyakinan yang mempercayai keberadaan Tuhan Yang Maha Esa hanya diakui ke
Ahmad Naufal, Nur Rosyid, A’yat Khalili, dkk. 2014. Pancasila, Globalisasi dan Budaya Virtual. Purwokerto: Obsesi Press, hal: 8-16 dalam lima agama. Munculnya konsep “Aliran Kepercayaan” digunakan untuk menandai identitas beragama di luar lima agama. Menurutnya, definisi ini diproduksi negara agar kewaganegaraan dapat dicatat, dikategorikan, dan dikontrol. Sehingga, pengertian mengenai kewarganegaraan ditopang atau dipenggal dari pemahaman “agama” yang sangat spesifikix. Artikulasi yang demikian ini, menurut saya, pada gilirannya telah menciptakan segmentasi keber-agama-an yang sangat ketat di Indonesia. Sehingga, “gesekan” antar umat beragama menjadi problem yang signifikan dalam wacana religiusitas di Indonesia, terlebih setelah Reformasi. Pancasila Setelah Reformasi Tumbangnya Orde Baru telah membawa warna baru dalam konstelasi politikekonomi di Indonesia. Dibentuknnya model pemerintahan yang terdesentralisasi, Pancasila diartikulasikan untuk menanggapi problem Multukultralisme dan Keberagama-an di Indonesia. Berbagai pembicaraan mengenai Pancasila diangkat melalui kegelisahan-kegelisahan maraknya kekerasan etnik dan agama. Hal ini memunculkan wacana otonomi daerah sebagai sistem pemerintahan baru karena keberagaman etnis telah didistorsi oleh Orde Baru. Sehingga, banyak kalangan mencoba mendefinisikan ulang kewarganegaan berdasarkan nilai-nilai kultural setempat atau yang dikenal dengan “kearifan lokal” (local wisdom). Berbagai kontradiksi kemudian muncul, sebagaimana diklaim oleh Sugeng Wahyono, yakni “menguatnya politik indentitas dan makin kentalnya etnisitasx. Wilayah pendidikan menjadi hal dominan Pancasila bisa diartikulasikan, karena dianggap mempunyai relasi yang kuat terhadap dinamika kebudayaan. Menarik untuk mencermati kongres Pancasila maupun kebudayaan dan pendidikan. Di dalam kumpulan catatan yang ditulis Nunus Supardixi, Pancasila banyak
Ahmad Naufal, Nur Rosyid, A’yat Khalili, dkk. 2014. Pancasila, Globalisasi dan Budaya Virtual. Purwokerto: Obsesi Press, hal: 8-16 diperbincangkan dalam kaitannya dengan pertentangan antara global dan lokal. Pancasila ditempatkan sebagai penawar “netralitas” karena mencirikan Ke-Indonesiaan. Globalisasi, Neoliberalisme, Kapitalisme, dan -isme lain dipakai sebagai titik berangkat kekhawatiran, karena dianggap akan merusak identitas Indonesia. Sehingga, tidak mengherankan banyak diksi retoris muncul dalam wacana ini, seperti “menghidupkan kembali pancasila”, “konsistensi pancasila”, “revitalisasi pancasila”, dan sebagainya. Kemana Diri Ke-Indonesiaan Kita? Tahun 2013, Pancasila dihadirkan dalam bentuk ‘baru’ oleh MPR dengan wacana “Empat Pilar Kebangsaan Indonesia” dalam program “Empat Pilar Goes to Campus”. Alasan yang dikemukakan adalah Pancasila dan tiga dasar kenegaraan lain telah banyak dilupakan masyarakat. Kampus menjadi insprirasi utama untuk pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia berlandaskan empat pilar itu. Di dalam situs resmi empatpilarkebangsaan.web.id disebutkan, “Pembangunan yang merupakan realisasi praksis dalam kampus untuk mencapai tujuan seluruh mahasiswa harus mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subyek pelaksana sekaligus tujuan pembangunan”. Pernyataan ini mengindikasikan hal penting tentang bagaimana Pancasila dan kita sebagai warga negara hendak dibentuk ulang dalam konteks Indonesia saat ini. Kita menjadi subyek pelaksana sekaligus tujuan dari pelaksanaan itu sendiri. Pernyatan tersebut menurut saya menunjukkan satu kontradiksi yang sangat jelas antara pembentukan subyek yang berorientasi Pancasila dengan kekhawatiran terhadap munculnya paham neoliberalisme. Mengikuti pandangan Foucault, neoliberalisme merupakan pembentukan subyek “homo-economicus”, yang dikonseptualisasikan dari
Ahmad Naufal, Nur Rosyid, A’yat Khalili, dkk. 2014. Pancasila, Globalisasi dan Budaya Virtual. Purwokerto: Obsesi Press, hal: 8-16 “agen pertukaran” menjadi “makhluk kompetitif” dalam matriks relasi sosial dan politikxii. Paham neoliberalisme ini sebenarnya merevisi subyek untuk menjadi wirausahawan untuk dirinya sendiri. Diri manusia menjadi subyek yang memproduksi sendiri sekaligus mengkonsumsinya sendiri. Pandangan ini sebenarnya tidak berbeda dengan pernyataan sosialisasi Empat Pilar di atas, dimana mahasiswa dituntut sebagai agen pembangunan sekaligus sasaran pembangunan itu sendiri. Lantas, bagaimana kita kemudian akan mendifinisikan diri kita sebagai warga negara
jika
kenyataannya
kewarganegaraan
kita
dibentuk,
diartikulasikan,
distrukturkan, dan dikategorikan secara historis tersebut telah mencerminkan banyak hal yang kontradiktif seperti ini?
i
Stuart Hall. “On postmodernism and articulation: An interview with Stuart Hall”. Journal of Communication Inquiry, 10(2) 1986, hal: 45-60.
ii
Lihat Tania Li, "Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and the Tribal Slot", Comparative Studies in Society and History, Vol. 42, No. 1 (jan. 2000), hal: 149
iii
Michael Morfit, “Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order Government”, Asian Survey, Vol. 21, No. 8 (Aug., 1981), hal: 843
iv
lihat Donald Weatherbee. “Indonesia in 1984: Pancasila, Politics, and Power", Asian Survey Vol. 25, No. 2, A Survey of Asia in 1984: part II (Feb. 1984), hal: 187
v
Niels Mulder. Indonesian Images: The Culture of Public World. Yogyakarta: Kanisius. 2000.
vi
lihat Saya Sasaki Shiraishi. Pahlawan-pahlawan Belia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.2001.
vii
Nur Rosyid. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”, Jurnal ADDIN, Edisi III Des 2012, hal: 301-314. Lihat juga Pendidikan Karakter: Wacana dan Kepengaturan. Purwokerto: Obsesi Press. 2013, hal: 1-17
viii
lihat Heidi Dahles. “The Politics of Tour Guiding: Image Management in Indonesia”, Annals of Tourism Research, Vol. 29, No. 3, tahun 2002. Hal:783–800,
ix
Sita Hidayah, “Translating Ketuhanan Yang Maha Esa: An Amenable Religious Repertoire?”, dalam Pancasila’s Contemporary Appeal: Re-legitimizing Indonesia’s Founding Ethos. 2010. Sanata Dharma University Press. Lihat juga “The Politics of Religion: The Invention of “Agama” in Indonesia”, Kawistara. 2012, hal: 2-12
Ahmad Naufal, Nur Rosyid, A’yat Khalili, dkk. 2014. Pancasila, Globalisasi dan Budaya Virtual. Purwokerto: Obsesi Press, hal: 8-16
x
Wahyono, Sugeng Bayu. “Prospek Pendidikan Multikultural di Indonesia”, dalam Jatmiko, Sari dan Ferry Indriatno (ed). 2006. “Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan MISEREOR
xi
lihat Nunus Supardi, Bianglala Budaya: Rekan Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 19182013. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013, hal: 205-221
xii
Lihat Fauzanafi, Zamzam. “Budaya Neoliberalisme: Konsumsi dan Transformasi Inderawi”, Jurnal RANAH Th. III, No.1, April 2013, hal: 2-10