KEMATIAN USBORNE William Le Queux
2015
Kematian Usborne Diterjemahkan dari The Red Ring karangan William Le Queux terbit tahun 1910 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Desember 2015 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2015 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
M
ESKI
sangat luar biasa dan mempertontonkan sejumlah
karakteristik aneh, Skandal Usborne tak pernah diungkap
ke publik untuk alasan yang sebentar lagi menjadi jelas. Kejadiannya begini. Persis menjelang jam delapan, pada suatu pagi musim gugur berkabut, aku dan Kapten Richard Usborne dari Royal Engineers mondar-mandir di peron Liverpool Street Station, menanti kedatangan kereta penghubung kapal, Hook of Holland. Kami melihat-lihat sekitar. Seseorang akan datang ke London secara rahasia, dan kami, anggota Dinas Rahasia, berada di sana untuk menemuinya, memeriksa surat mandatnya, dan membawanya ke tempat yang tepat untuk diinterogasi, kemudian diberi bayaran— yang sangat besar—atas informasi konfidensialnya. Sudah kuatur kunjungan orang asing itu melalui salah satu agen rahasia kami yang tinggal di Berlin, tapi karena aku belum pernah bertemu orang tersebut, kami menentukan agar aku mengangkat amplop hijau pucat—setengah tersembunyi dalam saputangan—ke depan hidung, dan agar dia berbuat hal serupa. “Astaga, Jerningham,” kata Dick Usborne, “ini akan menjadi kudeta megah—pengungkapan semua rincian senjata baru Boravian. Harusnya Departemen memberimu hibah istimewa atas jasa seperti ini. Namun kuharap,” tambahnya, melirik sekeliling dengan curiga, “kuharap teman-teman kita di luar negeri tak ada yang tahu soal kunjungan ini. Kalau ya, dia akan kesusahan saat kembali nanti.” Aku terus melihat-lihat dan puas tak ada agen lain di situ. 5
Sesaat kemudian kereta masuk stasiun, dan di tengah keramaian aku segera membedakan seorang lelaki pendek kokoh paruh baya, berpenampilan Jerman, dengan saputangan di wajah, dan di dalamnya terdapat amplop mirip kepunyaanku. Sambutan kami singkat. Cepat-cepat kami memasukkannya ke dalam taksi yang sudah disiapkan, dan selagi kami melaju dia mengeluarkan surat mandat tertentu, termasuk surat perkenalan dari temanku di Berlin. Herr Günther—nama yang diperkenalkan kepada kami— terlihat sangat gelisah kalau-kalau keberadaannya di London ketahuan. Benar, dia akan mendapat dua ribu pound uang Dinas Rahasia atas informasi dan dokumen tertentu yang disimpan di dalam saku dadanya; tapi rupanya dia sadar betul akan kehancuran yang mungkin menimpanya jika Pemerintah bermata Argus mengetahui hubungannya dengan kami. Kami berdua sudah sering menyaksikan perasaan was-was seperti itu di pihak informan. Oleh karenanya kami ulangi jaminan kami dalam bahasa Jerman—orang asing ini tidak bisa berbahasa Inggris. Di Gereja St. Celement Dane, Strand, aku menghentikan taksi dan turun. Dick Usborne akan menuntun rekan kami ke rumah kepala, Jenderal Kennedy, di Curzon Street, karena dianggap tidak bijak membawa Günther ke Kementerian Perang. Si Jerman akan pulang lewat rute Hook of Holland pada pukul sembilan malam itu juga. Makanya dia tidak membawa kopor. Kunjungan rahasia sejenis ini selalu dilakukan secara singkat. Masyarakat Inggris sama sekali tidak tahu berapa banyak orang 6
asing datang ke pantai kita dan memberitahu kami apa yang paling ingin kami ketahui—karena pertimbangan penting. Dinas Rahasia tak pernah menampakkan diri. Tapi ia tak pernah tidur, malam ataupun siang. Sementara kaum pesimis menyebut otoritas kami tak tahu apa-apa soal perkembangan di negara-negara lain, segelintir pria—dan juga wanita—gagah berani senantiasa waspada dan bepergian ke seantero Eropa, mengumpulkan informasi yang diteruskan ke London secara rahasia dan diarsipkan di ruang tertentu, Departemen tertentu, tanpa diberi nama—apa boleh buat. Kami, para agennya, kerap melewati masa-masa mengasyikkan, krisis yang tak pernah terbayangkan oleh masyarakat. Berikut adalah
salah
satu
yang
diperkenankan untuk
kuceritakan. Pada hari yang dimaksud, aku bermain golf di Sunningdale. Sudah beberapa bulan aku di luar negeri—bahkan tinggal di sebuah gang di Brest—dan kini cuti di kampung halaman. Aku makan malam di klub golf, dan sekitar jam sepuluh malam itu aku masuk ke kamarku di Shaftesbury Avenue, di mana kudapati sebuah telegram tergeletak di atas meja. Dikirim dari stasiun Brighton, Victoria, pada pukul 06.30, dan berbunyi: Aku di Webster’s. Datanglah secepatnya. Aku tak bisa mendatangimu. - DICK
7
Aku bingung sekali dengan pesan ini. Webster’s adalah hotel pribadi kecil di mana kutahu Usborne terkadang bersembunyi dengan nama Tn. Clarke. Kami sering terpaksa memakai nama samaran, dan juga berteman aneh. Kenapa dia bersembunyi begitu mendadak? Apa yang terjadi? Aku langsung naik taksi menyusuri Victoria Street dan turun di depan rumah itu, yang sebetulnya rumah pribadi, kecuali lampu di luar yang menyatakannya sebagai hotel. Manajer mungil berjanggut hitam, yang pernah kujumpai sebelumnya, memberitahukan bahwa temanku sudah tiba di sana pada tengah hari dan menyewa kamar, tapi jam dua dia keluar dan belum kembali. “Dia tinggalkan pesan untukku?” tanyaku. “Tidak, tuan.” “Apa dia bawa kopor?” “Tn. Clarke jarang bawa kopor,” jawabnya. “Biasanya beliau hanya tidur di sini, dan meninggalkan kopornya di ruang penitipan stasiun kereta.” Aku bingung. Kalau Dick sangat ingin bertemu denganku, tentu dia akan tetap di hotel. Dia tahu aku sedang keluar main golf, meski aku tidak bilang di mana aku hendak main. Selagi kami bicara, kulihat seorang pelayan kamar lewat. Kemudian terbersitlah dalam benakku, mungkin saja temanku telah kembali tanpa disadari. Bahkan mungkin dia sedang menungguku di kamarnya. Dia sudah bilang tak bisa mendatangiku, sepertinya takut keluar kalau-kalau dirinya dikenali. 8
Aku tahu Dick Usborne, yang kecerdikan dan keberaniannya tak tertandingi oleh siapapun di dinas kami, adalah orang yang diawasi. Manajer maupun si pelayan mengungkapkan keyakinan mereka bahwa Tn. Clarke belum kembali, tapi akhirnya kubujuk gadis itu untuk naik ke kamarnya dan memastikan. Dari tempatku berdiri di lorong, aku mendengarnya mengetuk pintu dan mencoba membuka. Dia menderak-derakkannya dan memanggilnya. Berarti pintu terkunci—dari dalam. Serta-merta aku naik tangga dan menggedor pintu sambil memanggil nama rekanku. Tapi tak ada tanggapan. Kuncinya masih di dudukan sebelah dalam, maka beberapa menit kemudian kami mendobraknya dan menyerbu masuk ruangan gelap itu. Manajer menyalakan pancaran gas, dan dengan cahaya redupnya tersajilah pemandangan mengejutkan. Dick Usborne terkapar dekat perapian, dalam posisi setengah meringkuk, wajah telungkup. Buru-buru aku membaliknya dan memegang wajahnya. Sentuhan itu menggetarkanku. Dia tewas! Matanya masih terbuka, hampa dan bengong, tangan kokohnya terkepal, rahangnya turun, dan jelas sekali bahwa, dari liukan tubuhnya, dia meninggal dalam kesakitan. Curiga akan permainan jahat, cepat-cepat kuperiksa tubuhnya. Tapi tak kutemukan luka atau apapun yang menerangkan kematiannya. Seorang dokter, yang buru-buru dipanggil, sama9
sama tak punya petunjuk akan penyebab kematian. “Bunuh
diri,
kuduga!”
serunya
setelah
menyelesaikan
pemeriksaan. “Dengan racun, paling mungkin; tapi tak ada jejak racun di sekitar mulutnya.” Kemudian, berpaling kepada inspektur polisi yang baru masuk, dia menambahkan: “Pintunya terkunci dari dalam. Jadi pasti bunuh diri.” “Orang ini sepertinya temanmu, tuan?” tanya inspektur, menegurku. Aku mengiyakan, tapi menegaskan bahwa dia bukan tipe orang yang mungkin bunuh diri. “Ada permainan jahat, aku yakin itu!” tandasku. “Tapi dia mengunci diri di dalam,” bantah manajer hotel. “Pasti masuk lagi tanpa ketahuan.” “Dia sedang menungguku. Dia ingin bicara padaku,” timpalku. Bagaimanapun, teori yang dipegang oleh semua yang hadir di situ adalah bunuh diri; oleh karenanya inspektur mengungkapkan niatnya membawa jasad tersebut ke rumah mayat Pimlico untuk menanti pemeriksaan post-mortem. Maka aku mengajaknya ke bawah, dan memberitahukan siapa diriku secara empat mata, dan jabatan apa yang dipegang mendiang rekanku. Aku bilang: “Aku harus memintamu, inspektur, agar mengunci kamar itu dan membiarkan semuanya tak tersentuh sampai aku selesai melakukan sedikit penyelidikan. Publik harus dibiarkan percaya itu kasus bunuh diri; tapi sebelum kita mengambil tindakan apapun, 10
aku harus berkonsultasi dengan Kepala. Adapun kau, tolong beritahu Inspektur Hutchinson, dari Departemen Kepala Inspektur di Scotland Yard, bahwa aku sedang menjalankan penyelidikan. Itu cukup. Dia akan mengerti.” “Baiklah, pak,” jawab inspektur. Beberapa saat kemudian kutinggalkan rumah itu dengan taksi. Setiap anggota Dinas Rahasia adalah detektif secara naluri, dan rasanya tak terkecuali aku. Setengah jam kemudian aku duduk bersama Jenderal Kennedy di perpustakaan kecil nan nyaman miliknya di Curzon Street, menjelaskan secara singkat temuanku yang mengherankan. “Itu luar biasa sekali!” pekiknya, sangat kecewa mendengar kematian kolega kami yang malang. “Kapten Usborne membawa Günther kemari jam sembilan lewat sedikit, dan kami sarapan bersama. Lalu dia pergi, berjanji akan kembali pada jam tiga untuk mengurus orang asing itu. Dia tiba sekitar jam tiga lewat seperempat, kemudian dia dan si Jerman berangkat dengan kendaraan roda empat. Itulah terakhir kali aku melihat mereka berdua.” “Günther seharusnya berangkat malam ini. Apa dia sudah pergi?” tanyaku. “Entahlah!” seru pria mungil beruban yang cerdas ini. Selain sebagai Jenderal ternama, dia juga menjabat Direktur Dinas Rahasia Inggris. “Kita harus menemukannya,” ujarku. Setelah merenung sejenak aku menambahkan: “Aku harus ke Liverpool Street Station sekarang juga.” 11
“Aku tak mengerti apa yang bisa kau temukan,” balas Jenderal. “Kalau Günther sudah berangkat, dia takkan terlihat di kereta yang penuh sesak. Kalau meninggalkan London, dia sudah ada di Laut Utara sekarang,” imbuhnya, menengok jam. “Usborne telah dibunuh, pak,” tegasku. “Dia teman baikku. Kami sering terjepit di Eropa daratan bersama-sama. Bolehkah aku meneruskan penyelidikan ini sendiri?” “Tentu saja, kalau kau memang yakin itu bukan kasus bunuh diri.” “Bukan—aku yakin itu.” Aku curiga pada Günther. Orang Jerman itu mungkin penyamar. Tapi di Webster’s, Dick terlihat tidak ditemani siapasiapa. Dia pergi ke sana sendirian untuk menungguku. Untuk apa? Ah, itulah pertanyaannya. Cepat-cepat aku meluncur ke Liverpool Street. Dalam perjalanan, aku mengambil secarik kertas dari saku—kwitansi dari agensi wisata untuk karcis kepulangan kelas satu antara London dan Berlin yang sudah kukirim kepada Günther. Memuat nomor karcis si Jerman. Di kantor inspektur aku ditunjuki semua karcis yang dikumpulkan dari penumpang keberangkatan kereta penghubung kapal, dan di antara karcis-karcis itu kutemukan tanda bukti milik si Jerman untuk perjalanan dari Liverpool Street ke Parkeston Quay. Setidaknya aku sudah menjernihkan satu hal. Herr Günther meninggalkan London. Sekembalinya ke hotel kecil gelap lewat tengah malam, aku 12
berjumpa
seseorang
yang
menungguku—Detektif
Inspektur
Barker, yang diutus oleh Inspektur Hutchinson. Polisi berseragam tadi sudah ditarik. Berdua, di ruang duduk kecil, kami berunding. Ternyata Barker penyelidik kejahatan yang sangat cerdik. Spesialisasinya adalah penelusuran dan penangkapan penjahat asing yang mencari suaka di London, dan ekstradisinya diajukan oleh negara masing-masing. “Aku sudah lihat jasad pria malang itu,” ujarnya. “Tapi aku tak mendeteksi kondisi mencurigakan. Bahkan, sepanjang yang kupahami, dia mengunci diri di dalam dan mati secara wajar. Kau punya teori—musuh, misalnya?” “Musuh!” pekikku. “Ah, Dick Usborne adalah agen paling berani di dinas kita. Dialah yang menemukan dan membongkar agen cerdik Jerman, Schultz, yang mencoba mengamankan rencana
Dreadnought
baru.
Baru
enam
bulan
lalu
dia
mengosongkan sarang mata-mata asing di Beccles, dan dialah yang mengendus dan menemukan gudang rahasia senapan dan amunisi dekat Burnham-on-Crouch di Essex. Tapi barangkali kau tak tahu apa-apa soal itu. Kami merahasiakannya karena khawatir menimbulkan kepanikan. Bagaimanapun, Dick lolos dari maut. Pada malam penyelinapan ke gudang bawah tanah losmen desa di mana depot itu dibuat, dia diketemukan oleh pemilik penginapan, seorang Belgia. Orang ini berupaya membereskannya, tapi Dick berhasil
merebut
revolvernya,
meletuskan
tembakan
yang
mematahkan lengan si bandit, lalu meloloskan diri. Pria macam itu pasti punya musuh—dan juga penaruh dendam,” tambahku. 13
Misteri ini penuh dengan teka-teki. Fakta-fakta yang diketahui adalah berikut. Pada tengah hari, Dick tiba di tempat dan, memakai nama Tn. Clarke, menyewa kamar. Persis lewat jam tiga dia sudah di Curzon Street, tapi setelah jam tersebut dia tak lagi terlihat sampai kami menemukannya tewas. Poin-poin pentingnya, pertama, kenapa dia mendadak bersembunyi; dan kedua, kenapa dia takut untuk mampir ke tempatku, padahal ingin berunding denganku. Usai menyuruh Barker mengirim telegram, aku naik sendirian ke kamar mendiang. Menyalakan gas, kulakukan penyelidikan cermat. Terdapat suatu kertas robek di perapian—formulir telegraf. Aku merangkainya dan kaget. Ternyata itu draf telegram yang kuterima, ditulis dengan pensil—tapi bukan tulisan tangan Dick. Aku menggeledah saku temanku, tapi tak ada yang bisa dijadikan petunjuk. Orang-orang dalam profesiku biasanya sangat berhati-hati untuk tidak membawa apapun yang dapat mengungkap jati diri mereka. Bepergian keluar negeri begitu sering, kami tak pernah tahu kapan akan terjebak dalam situasi sulit, dan terpaksa memberi keterangan fiktif kepada biro banci asing. Kamar kecil kurang nyaman tersebut adalah jenis yang biasa dijumpai di hotel pribadi kelas tiga di London—kerangka ranjang besi, karpet usang, meja cuci kayu, dan gorden renda yang lunglai dan kuning gara-gara asap. Selagi Barker tak ada, kuperiksa semuanya dengan seksama, bahkan jasad Dick sendiri. Tapi kuakui, aku tak mampu menyusun teori apapun perihal bagaimana dia dibunuh, atau dengan cara apa 14
pembunuhnya masuk atau keluar kamar. Sewaktu membungkuk di atas temanku aku merasa mencium parfum yang enak. Aku mengambil saputangannya dan menempelkannya ke cuping hidungku. Wanginya halus dan menyenangkan. Seingatku belum pernah menciumnya—seperti bau harum taman pondok di malam musim panas. Tapi Dick agak pesolek; maka tak heran dia memakai parfum modis teranyar. Saat memandang lagi wajah pucat malang itu, untuk pertama kalinya aku memperhatikan, di permukaan pipi, persis di bawah mata kiri, ada bekas kecil tapi aneh, lingkaran merah tipis tapi sempurna, barangkali agak lebih besar dari cincin jari, sedangkan di luarnya, dengan jarak setara, terlihat empat bintik kecil. Semuanya sangat kecil dan kabur, sehingga aku meluputkannya. Tapi kini, begitu aku menggeret korek api vesta dan mendekatkannya ke wajah pucat mayat, kusadari keberadaan sesuatu yang menambah misteri. Saat Barker kembali, aku menunjukkannya. Tapi dia tak mampu membuat teori mengapa itu ada di sana. Jadi aku mengambil sehelai kertas dari saku dan, setelah mengukur diameter tanda aneh itu dengan teliti, menggambar diagramnya beserta keempat bintik. Aku dan Barker tetap di sana hampir sepanjang malam, tapi tidak memperoleh apapun yang menolong ke arah pemecahan misteri. Para pembantu hotel tidak tahu apa-apa sama sekali. Oleh karena itu kami putuskan untuk menunggu sampai pemeriksaan post-mortem dilakukan. 15
Proses ini dikerjakan keesokan harinya. Saat kami menanyai dua petugas medis dan Profesor Sharpe—analis Kementerian Dalam Negeri yang turut hadir—dia menjawab: “Well, tuan-tuan, penyebab kematiannya masih menjadi misteri. Ciri-ciri tertentu menggoda kami untuk mencurigai suatu racun nabati, tapi apakah itu dimasukkan sendiri, kami tak tahu. Banyak racun nabati, ketika disebarkan ke dalam tubuh, tidak dapat dianalisa secara kimiawi. Jika suatu ekstrak, atau sari kental, dimasukkan, analisa kimiawi takkan ada gunanya. Namun aku hendak melakukan analisa, dan hasilnya akan disampaikan kepada kalian.” Aku bertanya mengenai tanda mirip cincin di pipi mayat, tapi salah seorang dokter menjawab: “Itu tak ada hari ini. Sudah hilang.” Jadi teka-tekinya masih utuh. Esok harinya aku bepergian ke Berlin, dan di sana bertemu Herr Günther melalui sebuah janji. Dari tingkahnya aku langsung tahu dia tak ada sangkut-pautnya dengan kasus aneh ini. Saat kuceritakan kejadian aneh di London dia terperanjat. “Kapten menjemputku di Curzon Street,” katanya dalam bahasa Jerman, “dan kami naik taksi menuju klubnya—di Pall Mall kalau tak salah dengar. Kami merokok di sana, dan kemudian, persis saat petang, dia menyatakan harus berkunjung ke suatu tempat. Jadi kami naik taksi dan menempuh jalan yang panjang, melintasi jembatan—sungai Thames, kukira. Tak lama kemudian kami menepi di simpang jalan sempit di kawasan jelek, lalu dia 16
turun, bilangnya akan pergi sepuluh menit saja. Aku menunggu, tapi satu jam berlalu dia tak kunjung kembali. Selama dua jam penuh aku menunggu. Maka, karena dia tak kembali juga, dan aku khawatir ketinggalan kereta, kuminta sopir berangkat ke Liverpool Street. Dia mengerti maksudku, tapi menagih delapan belas mark sebagai ongkos.” “Dan kau tak bertemu Kapten lagi?” “Tidak. Aku makan di kedai, dan bertolak ke Jerman.” “Tak terjadi sesuatu selama kau bersama Kapten?” tanyaku. “Maksudku, mengingat apa yang sudah terjadi, sesuatu yang dianggap mencurigakan?” “Tidak sama sekali,” jawab si Jerman. “Dia tak bertemu siapasiapa selama bersamaku. Satu-satunya fakta aneh adalah janji pertemuannya dan tak kembalinya dia.” Aku mencoba mcncaritahu daerah pinggiran mana saja yang didatanginya di London, tapi tak ada hasil. Maka aku kembali ke London malam itu juga, via Brussels dan Ostend. Keesokan hari, aku mampir di tempat Profesor Sharpe di Wimpole Street, untuk memastikan hasil analisanya. “Dengan menyesal kukatakan, aku tak mampu mendeteksi apaapa. Jika Kapten memang mati gara-gara racun, mungkin penyebabnya salah satu alkaloida itu, yang kami temukan di tubuhnya melalui proses kimiawi. Sudah menjadi kekeliruan umum bahwa semua racun dapat ditelusuri. Sebagian dari mereka tidak dapat dideteksi. Beberapa iris akar cenanthe crocata, contohnya, akan menghabisi nyawa dalam waktu satu jam, tapi tak 17
ada racun jenis apapun yang tersadap dari tanaman ini. Hal yang sama mungkin berlaku pada buncis maut Afrika, serta rebusan dan godokan kulit pohon laburnum.” “Berarti kau tak punya teori—ya?” “Sama sekali tidak, Tn. Jerningham. Berkenaan dengan peracunan, memang aku sempat terkecoh oleh penampilan; tapi kolegaku di post-mortem tidak menemukan sesuatu yang mengakibatkan kematian secara wajar. Ini luar biasa, sebagaimana semua keadaan lainnya.” Kutinggalkan rumah Profesor dalam keputusasaan. Semua upaya Barker untuk menolongku sia-sia. Dan kini setelah seminggu berlalu, dan mendiang temanku sudah dikebumikan di Woking, kurasa semua usaha lanjutan takkan ada gunanya. Lagipula barangkali aku terlalu cepat menyimpulkan adanya permainan jahat. Aku tahu hanya aku yang berpegang pada teori ini. Kepala berpendapat kuat bahwa itu kasus bunuh diri akibat serangan depresi, yang rawan dialami oleh kami semua yang hidup dalam tekanan tinggi. Tapi kalau kuingat-ingat karakter kuat Dick Usborne, dan banyaknya ancaman yang diterimanya sepanjang karir penuh petualangan, aku bersikeras dengan pendapat pertamaku. Hari demi hari, dan dengan ketelitian tak terhingga, aku memperhitungkan setiap agen rahasia Jerman yang berpotensi membalas dendam terhadap sosok yang, lebih dari siapapun, amat penting dalam memerangi usaha para mata-mata di pesisir timur. Ada beberapa orang yang kucurigai, tapi tak ada bukti sedikitpun 18
yang memberatkan mereka. Paling tidak, tanda cincin di pipinya adalah ciri aneh. Dan lagi, siapa yang membuat draf telegram itu? Dari manajer Webster’s aku jadi tahu bahwa Tn. Clarke, selama beberapa bulan belakangan, biasa bertemu pemuda Prancis bernama Dupont, yang bekerja di kantor saudagar di Kota. Di markas pusat, aku menggeledah arsip nama dan alamat “rekanrekan” kami, tapi dia tak ada di antara mereka. Karenanya, setelah beberapa pekan mengintai dengan sabar, aku berhasil berkenalan dengan pemuda ini—yang tinggal di penginapan di Brook Green Road, Hammersmith. Tapi setelah meninjau cukup lama, kecurigaanku hilang. Alasan pertemuannya dengan Dick, tak salah lagi, adalah untuk memberikan informasi, tapi aku tak bisa menduga informasi macam apa itu. Dari para majikan Dupont aku mendengar dia berada di Brussels untuk urusan perusahaan pada hari terjadinya kejahatan. Nampaknya ada suatu motif dalam upaya membujukku ke hotel itu di malam tragedi. Secara pribadi kini aku tak percaya Dick yang mengirimiku telegram tersebut. Pengirimannya adalah bagian dari konspirasi yang berakhir begitu fatal. Hampir sembilan bulan berlalu. Lebih dari satu kesempatan Kepala menyinggung ajal misterius
Dick,
mengekspresikan
keyakinan
kuat
bahwa
kecurigaanku tak berdasar. Tapi pendapatku tak berubah. Aku yakin Usborne dibunuh oleh seseorang yang ahli dalam kejahatan. Misteri tersebut akan tetap menjadi misteri sampai hari ini 19
kalau bukan karena suatu insiden yang terjadi sekitar tiga bulan lalu. Aku diutus ke Paris untuk menemui seseorang pada malam tertentu, di kafe Grand Hotel. Dia menawarkan menjual informasi yang kami butuhkan mengenai operasi militer di perbatasan Prancis-Jerman. Orang yang dimaksud ternyata perempuan Paris jelita berambut gelap dan berpakaian rapi, isteri seorang letnan artileri Prancis yang ditempatkan di Adun, dekat perbatasan. Sewaktu kami duduk bersama di salah satu meja kecil, dia mencondong ke arahku, membisikkan dalam bahasa Prancis bahwa di apartemennya di Rue de Nantes terdapat sejumlah dokumen penting menyangkut operasi militer Jerman yang diperoleh suaminya dan ingin sekali dijual. Jika aku mau menemaninya, aku boleh periksa dokumen itu. Tawaran semacam ini terkadang menghampiri kami, sebab Pemerintah Inggris dikenal sebagai pengupah unggul saat kesempatan menuntut demikian. Maka, tanpa ragu, aku menemaninya dalam taksi menuju Bois. Apartemen nyonya ini, di lantai tiga sebuah gedung besar, ternyata berupa tempat mungil lumayan mewah, dilengkapi perabot berselera tinggi. Setelah mempersilakanku masuk ke ruang tamu kecil, dia meninggalkanku sebentar. Kami hanya berdua, katanya, sebab tidak bijak kalau ada yang tahu dia telah menjual informasi sevital itu kepada Inggris. Suaminya bisa terkena masalah serius lantaran tidak menyerahkannya ke Kementerian Perang. 20
Beberapa saat kemudian dia kembali, sudah melepas topi dan mantelnya, membawa portepel kecil hitam yang biasa dipakai para usahawan di Prancis. Menyuruhku duduk di meja, lalu berdiri di sampingku, dia menaruh dokumen di hadapanku. Aku pun mulai membaca teliti. Sepertinya aku sibuk seperti itu selama sekitar sepuluh menit ketika pelan-pelan, sangat pelan, kurasakan lengannya menyelinap ke sekeliling leherku. Serta-merta aku melompat berdiri. Kebenaran yang kucurigai selama ini sekarang menjadi jelas. Menghadapnya, aku berteriak: “Wanita, aku tahu kau! Dokumen ini cuma rekaan—disiapkan untuk menjebakku di sini! Aku merasa mengenalimu di awal—kini aku yakin.” “Ah, monsieur!” serunya dengan suara mencela. “Apa maksudmu?” “Maksudku, mademoiselle, kaulah—kau, Julie Bellanger— yang membunuh temanku Dick Usborne, karena dia membongkarmu sebagai mata-mata!” pekikku. “Membunuh temanmu!” megapnya, mencoba tertawa. “Kau gila, monsieur!” “Ya, kau membunuhnya! Dan haruskah kujelaskan bagaimana kau melakukannya?” kataku, menatap lurus mata gelapnya. “Usborne bersikap ramah padamu di Beccles, dan kau tak pernah curiga dia punya hubungan dengan Dinas Rahasia. Di antaranya, dia memberimu sebotol parfum baru dan langka yang dibawa dari Bucharest—parfum yang sekarang kau pakai. Begitu kita bertemu 21
tadi, aku kenal wanginya. Well, Usborne melapor ke polisi, setelah yakin kau terlibat bersama yang lain dalam mengumpulkan informasi di Suffolk untuk Staf Umum di Berlin. Kau pun diperintah pergi. Kau datang ke London dan menyewa kamar di hotel tempatnya terkadang menginap, bertekad membalas dendam. Lalu kau mengiriminya telegram yang mengaku berasal dari temannya, Dupont, memintanya datang ke Webster’s dan bertemu di sana. Sebagai jawaban, Usborne pun pergi. Tapi begitu dia tiba, seketika kau membayar tagihan dan meninggalkan hotel. Kemudian kau mengintai temanku lagi. Kau masuk kembali ke hotel tanpa terlihat, merayap naik ke kamarnya, yang nomornya sudah kau pastikan sebelum pergi. Di situ kau bersembunyi sampai jam enam kurang. Begitu dia pulang kau menampakkan diri. Dengan berpura-pura siap menjual dokumen ini, kau membujuknya untuk duduk dan memeriksa, persis seperti yang kulakukan barusan. Tiba-tiba kau melingkarkan lenganmu di lehernya, sementara tangan kananmu menusukkan jarum suntik hipodermik kecil—yang kau pegang di tanganmu itu—ke tengkuk lehernya di mana kau tahu tusukanmu akan tersembunyi oleh rambutnya. Itu mengandung racun nabati mematikan—seperti sekarang!” “Itu bohong!” teriaknya dalam bahasa Prancis. “Kau tak bisa membuktikannya!” “Bisa. Sewaktu mencengkeram Dick, kau menekan pipi kirinya ke dada blusmu, ke bros bundar kecil yang kau kenakan sekarang—cincin dengan empat tatahan berlian pada jarak yang sama di sekelilingnya. Bekasnya tertinggal di sana—di wajahnya!” 22
Dia berdiri memelototiku, tak mampu berkata-kata. “Setelah menghabiskan isi jarum, kau memeganginya sampai dia
terbaring
tewas.
Kemudian
kau
hapus
semua
jejak
keberadaanmu dan menyelinap keluar kamar, memutar kunci dari luar dengan ragum genggam kecil yang kulihat tergeletak di dalam mangkok kecil di rak perapian sebelah sana. Sesudah itu kau merayap turun dan mengirimiku telegram, seakan-akan berasal dari orang yang sudah tewas di tanganmu. Dan, mademoiselle,” tambahku dengan sengit, “semestinya aku sudah mengalami nasib yang sama andai tidak ingat bau parfum Rumania itu dan memperhatikan bros bundar di atas blusmu yang menghasilkan cincin merah pada wajah temanku.” Kemudian, tanpa berbicara lebih jauh, aku menyeberang ke pesawat telepon dan mengangkat gagangnya, menghubungi polisi. Wanita itu mendadak tergerak oleh tindakanku, berlari ke arahku dengan kalut untuk menahan tanganku, tapi sudah terlambat. Aku sudah melapor. Dia berbalik ke pintu, tapi kuhalangi. Sesaat dia menengok sekeliling dengan putus asa dan liar. Lalu, sebelum aku sempat menyadari niatnya atau mencegahnya, dia menusukkan ujung jarum mematikan itu—jarum yang hendak dipakai terhadapku lantaran turut membantu menyingkirkan matamata dari Suffolk—ke dalam lengannya yang putih nan indah. Lima menit kemudian, ketika dua petugas polisi naik untuk menahannya, mereka mendapatinya terbujur tak bernyawa.
23