KELUL LUSAN HIDUP H R REKRUT MEN KA ARANG (S Scleractin nia) DI PER RAIRAN GUGUS PULAU P PARI, P KE EPULAUA AN SERIIBU, JAKAR RTA
MUH HAMMAD D ABRAR R
SEKOLA AH PASC CASARJA ANA IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR BOGO OR 2011 1
i
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis yang berjudul: Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir thesis ini
Bogor, Februari 2011
Muhammad Abrar NRP. C551080211
ii
ABSTRACT MUHAMMAD ABRAR. Successful of Coral Recruitment (Scleractinia) in the Pari Islands, Kepulauan Seribu, Jakarta. Under the direction of NEVIATY P. ZAMANI and I WAYAN NURJAYA One of all important phase is the development of coral recruitment and survival after settlement of the allegedly affected by the internal condition of coral recruit and external from environment. Research survival of coral recruits have been conducted in Pari Islands, Kepulauan Seribu, Jakarta, from March to November 2010 with the purpose to know the level of survival of coral recruits on the life form and size of different colonies. In this study selected two life forms Massive and Branching colonies at number 15 colonies in the area belt transect 2 meters x 70 meters at 5-7 meters depth. Furthermore, on each life form, coral recruit again grouped into 3 classes, Small (<3 cm), Medium (3-6 cm), and Large (> 6 cm and 10 cm ≤). Observations were made at two stations namely ST1-pari and ST2-tikus with observe one month interval (March-August) and three months interval (September-November). At the same time measurement of water quality and biological factor such as competitor, predator and desease. Coral recruits in the study site is multiple diverse with species richness reach to 15 genera from 10 families consist of 9 genera at ST1-pari and 8 genera at ST2-tikus which genera of Faviidae most dominated, in fact recruits Faviidae rare and even absent in the stages of larva settlement. Density of coral recruits is high diversity index and tended to stabilize. The observation result shows that the difference between Massive survival rate higher than Branching. Survival of Medium size was lowest compared two other size indicated that this class is vulnerable period for survival of coral recruits. Water conditions Northern of Pari Island or the Station ST2-tikus are more supportive to the development and survival of coral recruitment compared Southern or ST1-pari. The quality of waters within the normal range, while the sedimentation and nutrient content of waters predictable impact on the survival of coral recruits. Keywords: coral recruitment, coral survive, size class, coral reef, Pari Islands
iii
RINGKASAN MUHAMMAD ABRAR. Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan I WAYAN NURJAYA. Rekrutmen karang didefinisikan sebagai peristiwa kemunculan individuindividu baru karang ke dalam populasi sebagai bentuk keberlanjutan suatu komunitas karang sehingga menjadi bagian penting dalam proses pemulihan dan resiliensi terumbu. Secara alami terumbu karang yang mengalami kerusakan akan segera pulih melalui kejadian rekrutmen karang sebagai komponen utama pembentuk terumbu. Salah satu tahapan penting rekrutmen karang adalah perkembangan dan kelulusan hidup rekrut karang setelah penempelan yang diduga dipengaruhi oleh kondisi internal rekrut karang dan faktor eksternal dari lingkungan. Oleh karena itu pengamatan terhadap kelulusan hidup rekrutmen karang setelah penempelan penting untuk dilakukan Penelitian kelulusan hidup rekrut karang telah dilakukan di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dari bulan Maret sampai November 2010 dengan tujuan untuk melihat tingkat kelulusan hidup rekrut karang pada bentuk dan ukuran koloni yang berbeda. Pada penelitian ini dipilih dua bentuk koloni yaitu Massive dan Branching sebanyak 15 koloni dalam luasan belt transek 2 meter x 70 meter di kedalaman 5-7 meter. Selanjutnya pada setiap bentuk koloni, rekrut karang dikelompokan lagi dalam 3 kelas ukuran yaitu Small (< 3 cm), Medium (3-6 cm), dan Large (> 6 cm dan 10 cm ≤) jumlah masingmasingnya 5 koloni dan ditandai (tagging). Pengamatan dilakukan pada dua stasiun yaitu ST1-pari dan ST2-tikus dengan interval waktu setiap bulan (Maret – Agustus) dan interval setiap tiga (3) bulan (September-November). Pada waktu yang sama dilakukan pengukuran terhadap kualitas perairan dan faktor-faktor biologi antara lain biota kompetitor, predator dan penyakit. Rekrut karang di lokasi penelitian cukup beragam dengan kekayaan jenis mencapai 15 genus dari 9 famili terdiri dari 9 genus di Stasiun ST1-pari dan 8 genus di Stasiun ST2-tikus. Genus-genus dari Famili Faviidae paling mendominasi, namun pada kenyataannya rekrut Faviidae jarang dan bahkan tidak ditemukan pada tahapan penempelan dalam siklus bulanan. Keanekaragaman rekrut karang termasuk tinggi yaitu dengan nilai indeks keanekaragaman pada kedua stasiun yaitu 1,85 pada ST1-pari dan 1,59 pada ST-tikus dengan keragaman cenderung stabil. Total Koloni yang ditemukan adalah 44 koloni dengan kepadatan 7,3 koloni/m2 terdiri dari 26 koloni di ST1-pari dengan kepadatan 8,7 koloni/m2 dan 18 koloni di ST2-tikus dengan kepadatan 6 koloni/m2. Hasil observasi menunjukan adanya perbedaan kelulusan hidup antara bentuk koloni yaitu tingkat kelulusan Massive lebih tinggi dibanding Branching. Kelulusan hidup ukuran Medium pada bentuk Branching paling rendah dibanding dua ukuran lainnya dikedua bentuk koloni. Hal ini mengindikasikan bahwa kelas ukuran Medium berada pada periode rentan dalam keberlangsungan hidup rekrut karang. Waktu pengamatan yang merepresentasikan variasi musim menunjukan hubungan yang nyata dengan laju kelulusan hidup dan pertumbuhan rekrut karang dikedua stasiun penelitian.
iv
Kondisi Perairan Gugus Pulau Pari bagian Utara atau pada Stasiun ST2tikus lebih mendukung bagi perkembangan dan kelulusan hidup rekrutmen karang dabanding bagian Selatan atau Stasiun ST1-pari. Kualitas perairan yang diukur selama waktu penelitian berada dalam kisaran normal, sedangkan sedimentasi dan kadar nutrien perairan diprediksi berdampak terhadap kelulusan hidup karang. Kelimpahan ikan karang dari Famili Chaetodontidae, Scaridae dan Siganidae sangat sedikit sebagai indikasi rendahnya dampak predator dan herbivor terhadap rekrut karang. Penyakit dan biota pengganggu terlihat pada beberapa rekrut karang namun tidak menyebabkan kematian. Kemunculan rekrut karang berdasarkan bentuk koloni dapat memprediksi tahapan suksesi karang yaitu kelimpahan dan kekayaan genus yang lebih tinggi dari bentuk Massive Famili Faviidae mengindikasikan tahapan pionir kolonisasi karang telah terlewatkan. Kelas ukuran memberikan gambaran tahapan kritis kelulusan hidup yaitu ukuran 3-6 cm (Medium) merupakan periode rentan bagi keberlangsungan hidup rekrut karang di alam. Kata kunci: rekrutmen karang, kelulusan hidup, kelas ukuran, bentuk koloni, Gugus Pulau Pari
v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebarkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
KELULUSAN HIDUP REKRUTMEN KARANG (Scleractinia) DI PERAIRAN GUGUS PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
MUHAMMAD ABRAR
Thesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magsiter Sains pada Mayor Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
vii
Penguji luar komisi pada ujian Tesis: Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA
viii
Judul thesis
: Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta
Nama
: Muhammad Abrar
NRP
: C551080211
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Ketua
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Anggota
Diketahui, Koordinator Mayor Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil. A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 16 Februari 2011
Tanggal Lulus :
ix
RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD ABRAR dilahirkan di Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat pada tanggal 10 Oktober 1972, anak ke 3 dari 7 bersaudara pasangan Bapak Dailami Syarif dan Ibunda Huriah. Pendidikan dari SD hingga SMA diselesaikan di Pariaman, Sumatera Barat.
Pada 1991
menyelesaikan pendidikan Jurusan Fisika SMA Negeri 1 Pariaman, Kapupaten Padang Pariaman dan pada tahun 1992 melanjutkan pendidikan di Jurusan Biologi Fakultas MIPA, Universitas Andalas Padang, dan pada
bulan Maret 1997
memperoleh Sarjana Sains di universitas yang sama.
Pada tahun 2008
melanjutkan pendidikan magister (S2) di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, gelar Magister Sains diperoleh pada tahun 2011 Sejak 1997 bergabung dengan Pusat Studi Penelitian Perikanan Universitas Bung Hatta, Padang dan Pusat Studi Terumbu Karang Wilayah I Sumatera, dan pada tahun 1998 hingga 2002 menjadi Ketua Harian Yayasan Minang Bahari Padang . Pada Desember 2002 diangkat sebagai staf peneliti di UPT Loka Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Oseanografi , Pulau Pari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dan November 2010 menjabat sebagai Kepala UPT LPKSDMO, Pulau Pari Penulis menikah dengan Rahmayeni Sastra, AMd pada bulan Januari tahun 2003 dan hingga sekarang telah dikaruniahi dua orang anak, yaitu Mirza Nawfal Maula dan Mirza Faiz Zydhan.
x
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karuniaNYA penulisan tesis dengan judul Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta telah dapat diselesaikan. Rasa terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada: Ibu Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc masingmasing sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan sammpai Tesis ini diselesaikan. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah banyak memeberikan masukan dan saran.
Bapak Dr. Sukarno dan Prof. Dr. Suharsono atas konsultasi yang
diberikan. Program COREMAP Indonesia atas bantuan beasiswa penulisan dan penelitian. Ibu Ir. Dwi Hindarti, M.Sc, staf dan teknisi di UPT LPKSDMO, Pulau Pari LIPI, dan P2O LIPI yang telah meberikan izin, kemudahan dan batuan. Rekan satu angkatan di Mayor Ilmu Kelautan yang selalu memberi motivasi dan dukungan.
Rekan-rekan yang telah banyak membantu di lapangan terutama
Rikoh Siringoringo, Hasim, Hasan, Sayyid Afdal, Mumuh, Deden dan Iman. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, namun tidak dapat disebutkan satupersatu Harapannya apa yang telah ditulis dalam Tesis ini dapat memberikan masukan yang berguna.
Bogor, Februari 2011
Muhammad Abrar
xi
DAFTAR ISI Hal PRAKATA .........................................................................................
x
DAFTAR ISI ......................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .............................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................
xv
1. PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ........................................................................
1
1.2 Perumusan Masalahan ...........................................................
4
1.3 Tujuan ..........................................................................................
5
1.4 Manfaat ......................................................................................
6
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
7
2.1 Ekosiste Terumbu Karang ......................................................
7
2.3 Sebaran dan Tipe Terumbu ....................................................
8
2,4 Persyaratan Lingkungan ........................................................
10
2.5 Biologi Biota Karang .............................................................
11
2.6 Reproduksi dan Siklus Hidup Karang ...................................
15
2.7 Rekrutmen Karang .................................................................
19
2.8 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang .....................................
21
2.9 Kerusakan dan Pemulihan Terumbu Karang .........................
25
3. METODOLOGI ..................................................................................
26
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................
26
3.2 Objek Penelitian ......................................................................
27
3.4 Metode sampling .....................................................................
28
3.5 Analisa Data .............................................................................
29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................
31
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................
31
4.2 Gambaran Stasiun Penelitian ...................................................
33
4.3 Gambaran Kondisi Perairan ....................................................
34
4.4 Kondisi Fisika Kimia Perairan ..................................................
36
4.5 Rekrutmen Karang Gugus Pulau Pari ......................................
44
xii
4.6 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang ..........................................
47
4.7 Laju Pertumbuhan Rekrutmen Karang .......................................
49
4.8 Kompetisi dan Predasi ................................................................
52
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
55
6. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
56
7. LAMPIRAN............................................................................................
59
xiii
DAFTAR TABEL No 1 2
Hal Kondisi lingkungan optimal bagi terumbu dan biota karang pembentuk terumbu .................................................................................. .. ............ Persentasi tutupan kategori bentik terumbu pada terumbu Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (7 stasiun) .........................
3
Kualitas air (kondisi fisika-kimia) perairan di kedua stasiun penelitian
4
Struktur populasi rekrutmen karang pada kedua stasiun penelitian di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta ................................................
10 32 36
45
xiv
DAFTAR GAMBAR Hal 1
Bagan klasifikasi Filum Coelentrata, karang batu pembentuk terumbu berada dalam kolom ordo cetak tebal (Sorokin, 1993) ..........
2
Lokasi Gugus Pulau Pari dan posisi stasiun penelitian
3
Objek penelitian, rekrut karang berdasarkan bentuk koloni dan kelas ukuran .....................................................................................
12 26 27
4 5
Kelas bentukan terumbu dan pemanfaatan lahan Gugus Pulau Pari Kecerahan (m) perairan pada kedua stasiun penelitian selaman bulan pengamatan .................................................................
6
Kecepatan arus permukaan pada kedua stasiun selama bulan pengamatan ............................................................................
39
7
Variasi kosentrasi Posfat pada kedua stasiun selama pengamatan .....
41
8
Variasi laju sedimentasi pada kedua stasiun selama pengamatan ...
43
9
Kondisi bentik terumbu perairan pada kedua stasiun penelitian ........
46
10
Laju Kelulusan Hidup Rekrut Karang pada kedu stasiun penelitian
47
11
Persentasi kelulusan hidup rekrutmen karang berdasarkan kelas ukuran dan bentuk koloni pada kedua stasiun penelitian .......
48
Laju pertumbuhan rekrutmen karang pada kedua stasiun penelitian selama bulan pengamatan .................................
50
Laju pertumbuhan rekrutmen karang berdasarkan kelas ukuran dan bentuk koloni pada kedua stasiun penelitian ....................................
51
14
Persentasi tutupan bentik kompetisi dan substrat dasar perairan .......
53
15
Kelimpahan ikan karang predator dan herbivor ..............................
54
12 13
38
xv
DAFTAR LAMPIRAN No 1
Rekrutmen branching‐small selama 6 bulan pengamatan .........................
Hal
2
Rekrutmen Branching‐Medium selama 6 bulan pengamatan ......................
3
Rekrutmen Branching‐Large, selama 6 bulan pengamatan .........................
60 61
4
Rekrutmen massive‐small, selama 6 bulan pengamatan .............................
62
5
Rekrutmen massive‐medium, selama 6 bulan pengamatan ........................
63
6
Rekrutmen massive‐large, selama 6 bulan pengamatan .............................
64
7
Rekrutment branching‐large yang mengalami kematian ............................
65
8
Contoh lembaran data hasil pengukuran rekrutmen karang ......................
66
9
Kondisi fisika-kimia perairan pada kedua stasiun penelitian selama pengamatan .............................................................................
67
10
Data hasil pengukuran laju pertumbuhan pada Stasiun ST1-pari pada setiap bulan pengamatan
11
Data hasil pengukuran laju pertumbuhan pada Stasiun ST2-tikus pada setiap bulan pengamatan
12
Data laju kelulusan hidup rekrutmen karang ST1-pari (A) dan Stasiun ST2-tikus (B)
13
Data pengukuran laju sedimentasi pada kedua stasiun
14
Hasil uji regresi linier sederhana untuk melihat hubungan waktu laju kelulusan hidup (A) dan laju pertumbuhan rekrut karang
59
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat dinamis, namun sangat sensitif dan rentan sekali terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Kondisi
dinamis terumbu karang ditandai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam komunitas serta adanya interaksi yang kuat antara biota karang dan biota penghuni terumbu lainnya serta kondisi abiotis lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan sebagai akibat dari berbagai aktifitas manusia maupun oleh kejadiankejadian alam telah memberikan dampak kerusakan bagi terumbu karang dalam skala luas. Secara alami respon terumbu karang terhadap perubahan dan tekanan lingkungan adalah berusaha untuk bertahan (resistensi) dan menunjukan gejala pemulihan (recovery) sampai terbentuknya komunitas yang stabil (resilience) kembali setelah mengalami kerusakan (Obura dan Grimsditch, 2009). Pemulihan terumbu karang dapat dilihat dari peningkatan tutupan koloni biota karang hidup pembentuk terumbu (reef building corals) sebagai komponen utama pembentuk terumbu. Di alam pemulihan terumbu karang ditandai dengan kemunculan koloni-koloni karang muda (juvenil) dengan ukuran koloni relatif kecil (Babcok dan Mundy, 1996).
Kemunculan koloni karang muda ini
memberikan indikasi telah terjadi penambahan koloni baru (rekrutmen) ke dalam populasi dan berkontribusi nyata dalam pembentukan dan perkembangan komunitas karang selanjutnya. Namun pada banyak laporan dan hasil penelitian, laju rekrutmen yang tinggi tidak selalu diikuti dengan peningkatan tutupan karang hidup sebagai indikasi pemulihan.
Hasil pengamatan oleh Abrar (2005) pada
pemulihan terumbu karang setelah tiga tahun kejadian pemutihan karang (bleaching) di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kepadatan rata-rata rekrutmen karang 19,25 koloni/m2 dengan tutupan koloni karang hidup mencapai 7,85-22,89%, namun hasil monitoring CRITC COREMAP – LIPI pada lokasi yang sama, memperlihatkan kecenderungan penurunan tutupan karang hidup hanya mencapai 7,72% selama tahun 2004-2007 (Sukarno, 2008). Kepadatan koloni karang muda dapat digunakan sebagai standar untuk mengukur tingkat rekrutmen karang pada suatu terumbu. Menurut Engelhardt
2
(2000) kepadatan rekrutmen karang untuk koloni-koloni bercabang
>10
2
koloni/m termasuk dalam kategori sangat tinggi dan diprediksi memilki potensi besar untuk segera pulih. Dunstan dan Johnson (1998) mendapatkan total 8.627 rekrutmen pada substrat penempelan selama 4 tahun pengamatan di terumbu karang Pulau Heron, Great Barrier Reef, Australia. Pengamatan rekrutmen karang pada daerah lintang tinggi didapatkan rata-rata 6,7 koloni pada tiap pasang substrat penempelan lebih sedikit dibanding rekrutmen pada daerah Great Barrier Reef yaitu 44-242 rekrut pada setiap pasangan substrat (Harriot dan Banks, 1995 ; Rudi, 2006). Pengamatan pola rekrutmen hewan karang di beberapa wilayah perairan Indonesia telah dilaporkan oleh Suharsono (1999), Abrar (2000 ; 2005), Bachtiar (2002), Saputra (2004), Zakaria (2004), Samidjan (2005) Rudi (2006), Munasik et al (2008) dan Siringoringo (2008) menunjukan rata-rata kepadatan rekrutmen karang berkisar antara 5-15 koloni/m2 dan termasuk dalam kategori sedang sangat tinggi. Sebaliknya potensi rekrutmen yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh peningkatan tutupan karang hidup sebagai indikasi pemulihan.
Hasil
monitoring reguler yang dilakukan oleh CRITC COREMAP pada 14 lokasi di wilayah barat dan timur perairan Indonesia selama periode 2004-2007 menunjukan kecenderungan penurunan tutupan karang hidup yaitu berkisar antara 2,6 - 7,2% (Sukarno, 2008). Hal ini memberikan gambaran bahwa rekrutmen hewan karang yang telah menempel tidak mampu bertahan hidup sampai menjadi koloni karang dewasa dengan kata lain proses rekrutmen mengalami kegagalan. Kepulauan Seribu, DKI Jakarta merupakan salah satu wilayah terumbu karang penting di perairan barat-utara Pulau Jawa. Dengan kepadatan penduduk mencapai 7.870 jiwa/km2 mendiami sekitar 6 pulau dari 105 pulau-pulau kecil yang ada, kehidupannya sangat tergantung dengan ekosistem dan sumberdaya pesisir khususnya terumbu karang. Ketergantungan tersebut dapat dilihat dari berbagai aktifitas ekonomi antara lain perikanan tangkap dan budidaya, aktifitas wisata bahari serta jasa-jasa kelautan lainnya dengan 69,3 % bekerja sebagai nelayan tradisonal. Tingginya aktifitas pemanfaatan sumber daya serta terbatasnya daya dukung dan tidak sebandingnya luas wilayah (sebagian besar kurang dari 10 ha)
3
dengan jumlah penduduk, menjadi pemicu kerusakan ekosistem teumbu karang. Kerusakan terumbu karang semakin komplit oleh adanya berbagai tekanan dari daratan utama pesisir Pulau Jawa terutama dari pesisir Jakarta dan Banten. UNESCO (1997) melaporkan bahwa intensitas polusi dan masukan sedimentasi yang tinggi telah menyebabkan kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu secara terus menerus terutama terumbu karang pada pulau-pulau kecil yang berada dekat daratan utama. Giyanto dan Soekarno (1997) telah mengelompokan empat (4) zona kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu berdasar kan intesitas tekanan dan jaraknya dari daratan utama. Zona I berada paling dekatan dengan daratan dengan intensitas tekanan lingkungan sangat tinggi dan terumbu karang berada pada kondisi sangat buruk. Semakin ke utara, zona IV berada paling jauh dari daratan dengan intensitas dan pengaruh tekanan dari daratan semakin kecil dimana kondisi terumbu karang nya relatif lebih baik.
Estradivari et al (2007)
melaporkan rerata tutupan karang hidup pada 54 pulau kecil di Kepulauan Seribu pada tahun 2004
mencapai 32,9% dan sedikit meningkat pada tahun 2005
menjadi 33,2%. Sekitar 10 pulau-pulau kecil sebaliknya mengalami penurunan tutupan karang hidup dari tahun 2004-2005. Gugus Pulau Pari termasuk salah satu pulau kecil Kepulauan Seribu dengan kondisi terumbu karang yang cenderung menurun dari waktu ke waktu. Giayanto dan Soekarno (1997) mengelompokan terumbu karang gugus Pulau Pari ke dalam zona III dengan persentase tutupan karang hidup mencapai 40-60% pada kedalaman 1-3 meter. Selanjutnya Suharsono (1994) melaporkan kondisi terumbu karang di gugus Pulau Pari terus mengalami penurunan dengan tutupan karang hidup mencapai 30-50% pada lereng terumbu dan 5-20% pada rataan terumbu. Monitoring oleh Yayasan Terumbu Karang Indonesia dalam kurun waktu 2004 2005 menunujukan kondisinya semakin menurun dengan tutupan hanya mencapai 29,13-38,13% di Pulau Pari bagian selatan dan 30,85-54,15% pada Pulau Pari bagian timur-laut (Estradivari et al., 2007)
Hasil pengamatan pemulihan yang
ditandai dengan kemunculan koloni karang baru (rekrutmen) cukup tinggi. Penelitian Rudi (2006) menunjukan kepadatan penempelan koloni karang pada substrat buatan di Pulau Pari mencapai 5-9 koloni/0,4 m2 atau sekitar 12-22 koloni/m2 dengan kategori rekrutmen sangat tinggi (Engelhardt, 2000)
4
Gejala pemulihan terumbu karang yang buruk menunjukan bahwa telah terjadi kegagalan rekrutmen karang mencapai ukuran optimal untuk bertahan hidup. Kegagalan rekrutmen karang ini tidak terlepas dari kelulusan hidupnya setelah penempelan. Proses rekrutmen hewan karang diawali dengan penempelan larva planula setelah melewati masa hidupnya sebagai larva planktonik. Setelah penempelan larva planula dengan segera mengalami metamorphosis menjadi satu individu hewan karang (polyp) yang secara terus menerus tumbuh menjadi banyak banyak individu hewan karang karang melalui reproduksi aseksual pertunasan (budding) (Richmon, 1997). Kegagalan rekrutmen secara alami disebabkan oleh rekrutmen karang tidak mencapai ukuran optimal untuk bertahan hidup.
Tingginya biota
kempetitor, predator dan herbivor (grazer) serta pengaruh lingkungan abiotis seperti sedimentasi, polusi, arus dan gelombang, dan perubahan kualitas perairan menjadi faktor penghambat rekrutmen karang untuk bertahan hidup (Richmond, 1997).
Disamping itu serangan penyakit diduga memiliki potensi tinggi
penyebab kematian rekrut karang.
Adanya keterkaitan dan hubungan antara
kemampuan dan kelulusan hidup biota karang batu dengan berbagai faktor di atas sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Disamping itu bagaimana proses
rekrutmen karang batu bertahan hidup serta faktor apa saja yang mempengaruhi masih sangat jarang diteliti 1.2 Perumusan Masalah Banyak upaya telah dilakukan untuk mencegah dan meminimalisasi kerusakan terumbu karang di pulau-pulau kecil Kepulauan Seribu, DKI Jakarta termasuk terumbu karang Gugus Pulau Pari.
Pada saat yang sama upaya
rehabilitasi dan restorasi habitat terumbu yang telah rusak terus-menerus dilakukan antara lain pengadaan terumbu buatan, transplantasi karang, fish selter dan modifikasi habitat dengan teknologi biorock dan ecoreef. Di lain hal untuk optimalisasi dan jaminan keberlanjutan ekosistem terumbu karang telah dilakukan upaya pengelolaan dan konservasi kawasan peraiaran dalam bentuk Taman Nasional Laut sedangkan dalam skala lokal dengan area terbatas dibentuk Area Perlindunga Laut atau DPL dan Kawasan Perlindungan Laut atau KKL. Hasil
5
pemantauan masih menunjukan kondisi terumbu karang yang berfluktuatif antara buruk dan sedang dan sedangkan dibanyak lokasi menujukan gejala pemulihan yang lambat. Salah satu program penting dalam pengelolan dan rehabilitasi terumbu karang adalah melakukan monitoring secara berkala. Monitoring terhadap proses dan laju pemulihan terumbu karang setelah mengalami kerusakan dengan melakukan pengamatan terhadap rekrutmen karang setelah penempelan di terumbu alami penting untuk dilakukan.
Data dan informasi yang diperoleh
dapat menjadi masukan untuk upaya rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang secara tepat dan berkelanjutan. Penelitian tentang kelulusan hidup rekrutmen karang setelah penempelan pada karakter,pemanfaatan dan pengelolaan wilayah perairan yang berbeda akan memberikan informasi terhadapa efesiensi upaya pengelolaan, strategi konservasi dan teknologi rehabilitasi yang akan diterapkan.
Dalam penelitian ini,
pengamatan lebih mendalam dilakukan terhadap aspek bio-ekologis rekrutmen karang dan hubungannya dengan faktor biotis dan abiotis (fisika-kimia oseanografis) sehingga didapat penyebab keberhasilan dan kegagalan rekrutmen secara alami.
Data-data dasar ini harapkan mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut ini: Apakah kemampuan bertahan dan tingkat kelulusan hidup rekrutmen karang batu ditentukan oleh kondisi internal seperti kelompok taksa, ukuran dan bentuk koloninya, fisiologi dan gentik, atau lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kondisi abiotis lingkungan atau interaksi dengan faktor biotis seperti predator, herbivore, serangan penyakit atau oleh biota perusak (bioerotion). Apakah ada korelasi yang kuat antara faktor biotis dan abiotis terhadap kemampuan bertahan dan tingkat kelulusan hidup rekrutmen karang batu. 1.3 Tujuan Penelitian tentang kelulusan hidup rekrutmen karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dilakukan dengan tujuan: 1. Mengetahui faktor lingkungan yang mempengaruhi kelulusan hidup rekrutmen karang
6
2. Mengetahui perbedaan bentuk dan ukuran koloni terhadap tingkat kelulusan hidup rekrut karang 3. Mengukur laju kelulusan hidup(survival rate) dan pertumbuhan (growth rate) rekrut karang 4. Mendapatkan hubungan waktu terhadap kelulusan hidup rekrutmen karang 1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi ilmu pengetahuan khususnya penelitian dibidang terumbu karang 2. Sebagai data dasar bagi pengelolaan dan konservasi terumbu karang 3. Menjadi data pendukung dalam pengembangan teknologi rehabilitasi dan restorasi terumbu karang yang mengalami kerusakan 4. Memberikan kontribusi dalam teknik budidaya, restoking dan bentuk rekayasa reproduksi karang lainnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di perairan dangkal laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur. Hampir sebagian besar bentuk, struktur serta material kapur pembentuk terumbu dibentuk dan dihasilkan oleh biota karang sehingga terumbu karang sering juga didefinisikan sebagai ekosistem perairan tropis yang didominasi oleh biota karang. Menurut Veron (1995) terumbu karang dibentuk dari endapan (deposit)
massif padat
kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan oleh biota karang dan tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) serta biota
lain yang juga menghasilkan
kalsium karbonat (CaCo3). Berdasarkan definisi di atas dapat dibedakan dengan jelas antara biota karang (coral) sebagai individu suatu organisme atau komponen dari suatu komunitas, sedangkan terumbu karang (coral reef ) merupakan suatu ekosistem (Nybaken, 1988 ; Sorokin, 1993). Dalam proses pembentukan terumbu karang,
biota karang batu
(Scleractinia) merupakan penyusun dan pembangun terumbu (reef building corals) paling penting.
Berdasarkan kepada kemampuannya memproduksi kapur
maka biota karang batu dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang dapat menghasilkan material kapur sebagai bahan dasar pembangun terumbu. Karang kelompok hermatipik sebarannya hanya ditemukan di daerah tropis sampai sub tropis.
Karang ahermatipik tidak menghasilkan material kapur pembentuk
terumbu dan kelompok ini tersebar luas di seluruh dunia.
Perbedaan utama
karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya alga simbion zooxhantella dalam jaringannya yaitu sejenis algae uniselular (Dinoflagellata uniselular), seperti Gymnodinium microadriatum (Sorokin, 1993 ; Colin dan Anerson, 1995 ; Veron, 2000) Endapan padat terumbu terdiri dari material kapur yang terjadi dalam proses jutan tahun yang dihasilkan oleh jutaan individu penghasil kapur. Laju pembentukan endapan kapur sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi dan proses biologis dalam biota pembentuk terumbu.
Selanjutnya Sumich (1992)
8
menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut: Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2 Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. 2.2 Sebaran dan Tipe Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan dangkal daerah tropis dan terbatas pada daerah sub tropis. Konsekuensinya sebaran terumbu karang tidak ditemukan pada daerah lintang sedang dan tinggi dengan sebaran optimal pada 28o Lintang Utara sampai 32o Lintang Selatan dengan sebaran ekstrim pada >40o Lintang Selatan (Potts dan Jacobs, 2002) .
Pada belahan bumi utara
terumbu karang masih ditemukan sepanjang perairan Okinawa, Jepang, Florida, AS , Teluk Meksiko, Laut Karibia, Laut Merah, India-Srilangka dan pulau-pulau kecil di samudera hindia. Sedangkan pada belahan bumi selatan meliputi Perairan selatan Afrika, dan timur-selatan Australia . Sebaran pada daerah lintang sedang ini dibatasi oleh luasan dan keanekaragaman biotanya. Secara bujur sebaran terumbu karang dunia dibedakan berdasarkan wilayah perairan yaitu Indo-Pasifik, Samudera Hindia, Samudera Atlantik perairan Karibia. Sebaran ini dicirikan dengan luasan dan komposisi jenis biota yang ada (Veron, 1985, 2000 ; Suharsono, 2008). Sebaran terumbu secara vertical dibatasi pada kedalaman tertentu dengan kedalaman optimal 0-20 meter. Sebaran terumbu seperti ini lebih dibatasi oleh ketersedian substrat dan kejernihan perairan.
Meskipun beberapa karang dapat
dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang mem bentuk karang hanya terdapat di daerah tropis.
Kehidupan karang dibatasi oleh kedalaman yang
biasanya kurang dari 25 m dengan suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang
9
dari 10 m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 oC (Nybaken, 1988 ; Veron, 1985 ; Nybaken dan Bertness, 2005). Berdasarkan posisi dan letak terumbu karang terhadap daratan atau pulaupulau kecil dibedakan atas beberapa tipe sebagai berikut: 2.2.1 Frengging Reef Frengging reef atau terumbu karang tepi ditemukan tersebar di sepanjang pesisir daratan benua atau pulau-pulau kecil. Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau ke arah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat (Veron 1995 ; 2000). Terkadang ditemukan terumbu karang tepi yang mengalami modifikasi menjadi bagian-bagian yang terpisah dan mengelompok di luar garis pantai (Hubbard, 1997) 2.2.2 Barrier Reef Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri dan sejajar pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil (Veron, 2000) 2.2.3 Atoll Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 meter jarang sampai 100 meter seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. Veron (1985 ; 2000) menjelaskan teori kejadian terumbu atol sebagai sebuah gejala geologis yang melibatkan gerakan lempeng tektonik dan aktifitas vulkanik.
Hubbard (1997) merinci lebih jelas kejadian terumbu
10
dikombinasikan dengan peristiwa pertumbuhan terumbu yang bergerak ke atas akibat kenaikan muka air laut. Ketiga tipe di atas dapat mengalami modifikasi akibat perubahan kondisi geografis atau kejadian-kejadian tektonik. Modifikasi tersebut adalah pemisahan bagian terumbu menjadi kelompok-kelompok kecil terumbu dalam rangkaian terumbu utama atau dikenal juga dengan patch reef. Tipe terumbu lain adalah terumbu laut dalam yang sampai sekarang masih belum banyak teori yang mengungkap asal usul kejadiannya. 2.3 Persyaratan ligkungan Sebaran terumbu dengan tipe-tipe seperti di atas dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain temperatur, cahaya (kejernihan dan kedalaman), salinitas dan nutrien perairan. Pott dan Jacobs (2002) (dari Vaunghan dan Wells, 1943 ; Wells, 1956 ; Newell, 1971 ; Fagerstrom, 1987 ; Veron, 1995 ; Hallock, 1997, dan Wood, 1999) menerangkan kondisi lingkungan optimal dan ekstrim terumbu karang seperti pada table berikut ini: Tabel 1. Kondisi lingkungan optimal bagi terumbu dan biota karang pembentuk terumbu KONDISI LINGKUNGAN Kedalaman (meter) Kedalaman maksimum Temperatur (oC) Lintang Salinitas (o/oo) Nutrien Sedimen Turbiditi Cahaya Oksigen Stabilitas habitat Arus
OPTIMAL 0-20 perkiraan 100 >18 - <32 28o LU - 32o LS Perkiraan 34-36 Sangat rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi cukup
EKSTRIM 1-2 <15 <10 dan >40 >40o LS <25 dan >40 Tinggi – Sangat Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Selalu rendah Rendah Tidak ada gerakan
Umumnya terumbu karang berkembang baik pada perairan dangkal pesisir dan laut tropis dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan. Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat
11
sensitif terhadap perubahan lingkungan terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Disamping itu untuk hidup biota karang pembentuk terumbu membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC (Sorokin, 1993 ; Veron, 1995 ; Nybakken, 1988 ; Nybaken dan Bertenss, 2005).
Pada perubahan suhu perairan akibat pemanasan global yang
melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95% (Oliver et al., 2004).
Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut,
rata-rata kenaikan suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Birkeland (1997) menyebutkan bahwa terumbu karang sangat berkembang baik pada salinitas air laut mendekati 35 o/oo, namun kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pemasukan air tawar. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut.
Dampak selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload)
berkontribusi
terhadap
degradasi
terumbu
karang
melalui
peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang. 2.4 Biologi Biota Karang Batu 2.4.1 Taksonomi Biota karang batu pembentuk terumbu dicirikan dengan kemampuannya memproduksi kapur sebagai rangka dan menjadi bahan dasar pembangun terumbu karang.
Secara taksomi biota karang batu termasuk ke dalam anggota Filum
Coelentrata. Biota karang bersama biota lainnya yang termasuk dalam filum ini dicirikan dengan bentuk tubuh sederhana, radial simetris dengan satu rongga tubuh tunggal yang disebut dengan Coelum. Hampir sebagian besar kelompok biotanya dilengkapi dengan sel-sel penyengat (nematocyte) sehingga filum ini dikenal juga dengan nama lain Cnidaria (Colin dan Anerson, 1995 ; Veron, 2000).
12
Bersama biota karang lunak, biota karang batu diklasifikasikan ke dalam Kelas Anthozoa dengan ciri utama memiliki siklus hidup dewasa pada stadium polip dengan lengan-lengan tentakel.
Perbedaan utama biota karang lunak dan
karang keras adalah jumlah tentakel yang dimilki yaitu kelipatan delapan (8) dan kelipatan enam (6), sehingga mereka dibedakan lagi dalam dua sub kelas yaitu Octocoralia (jumlah tentakel kelipatan 8) dan Hexacorallia (jumlah tentakel kelipatan 6).
Semua biota karang dalam Kelas Hexacorallia adalah biota-biota
pembentuk terumbu dengan ordo tunggal Scleractinia dan beberapa ordo lain dari Kelas Octocoralia yaitu Helioporaria dan Stolonifera ditambah satu ordo dari Kelas Hydrozoa yaitu Stylasterina (Sorokin, 1992 ; Veron, 2000 ; Suharsono, 2008).
FILUM
KELAS
SUB KELAS
ORDO Zooantharia Corallimorphalia
Hexacorallia
Antipatharia Ceriantharia Actinaria Scleractinia
Anthozoa Gorgonacea Alcyonacea Coelentrata
Octocoralia
Pennalulacea Helioporaria Stolonifera
Hydrozoa
Stylasterina
Gambar 1. Bagan klasifikasi Filum Coelentrata, karang batu pembentuk terumbu berada dalam kolom ordo cetak tebal (Sorokin, 1993)
13
2.4.2 Morfologi dan Anatomi Bentuk tubuh luar (morfologi) polip biota karang batu sangat sederhana seperti silinder terdiri dari bagian atas (aboral) dan bagian bawah (basal plate). Bagian atas berfungsi seperti kepala terdiri dari lengan-lengan tentakel, mulut dengan saluran yang terbuka ke rongga tubuh. Bagian tengah atau batang tubuh dengan jaringan yang menyatu dengan tubuh polip lainnya dalam koloni yang sama. Basal plate bagian bawah sedikit melebar dan menempel langsung pada substrat dasar perairan (Miller dan Harley, 2001). Koloni karang batu terdiri dari polip-polip karang yang satu sama lain dihubungkan oleh jaringan tipis yang dikenal dengan Columella. Perbanyakan polip-polip karang batu terjadi melalui reproduksi secara aseksual pertunasan (budding). Pola dan tipe pertunasan sangat khas dan bervariasi pada setiap jenis karang batu sehingga sangat menentukan bentuk koloninya masing masing. Secara umum bentuk koloni karang dibedakan atas bentuk bercabang (branching), massive, Sub massive, lembaran (foliose), merayap (encrusting), merata seperti meja (tabulate) dan soliter (Veron 2000 ; Suharsono, 2008) Karang secara fisiologis terus menerus mensekresikan kapur sebagai rangka luarnya (eksoskleton). Pada polip karang yang telah mati dan jaringan hidup habis terurai akan memperlihatkan eksoskleton ini dengan jelas. Keseluruhan struktur rangka yang membangun satu polip dalam satu koloni disebut dengan koralit (coralite) sedang keseluruhan rangka pada setiap polip dalam satu koloni disebut dengan koralum (corallum). Struktur luar koralit terdiri dari lempengan-lempengan berdiri tegak yang disebut dengan septa (septae). Epiteka (epiteca) berbentuk dari lempengan berada pada bagian dasar dengan pinggirannya membentuk bagian yang lebih tinggi menjadi dinding kerangka. Lingkar dinding ini membentuk bagian yang terbuka dari koralit yang disebut dengan kalik (calice). Septa berdiri tegak di atas permukaan bagian dalam dinding dan kadang berlanjut sampai ke bagian luar dinding menjadi kosta (costae).
Septa-septa ini memiliki pinggiran yang tidak rata atau bergerigi
dengan bentuk dan pola yang khas pada setiap jenis. Pada famili tertentu septa memiliki tonjolan dengan bentuk dan posisi yang sama pada masing-masing septa sehingga membentuk pola seperti bunga atau mahkota disebut dengan pali (pali
14
form).
Kolumella (Columella) berada persis pada bagian tengan epiteka
berbentuk tonjolan sebagai hasil endapan kapur dengan struktur berongga dan berpori. Sruktur kolumella ini sangat spesisfik dan bahkan tidak dimiliki oleh jenis-jenis tertentu sehingga menjadi acuan untuk identifikasi sampai tingkatan jenis (Veron, 2000 ; Suharsono, 2008). Secara anatomi tubuh polip karang terdiri dari tiga lapis jaringan yaitu ektoderma, endoderma dan mesoglea.
Lapisan jaringan paling luar atau
ektoderma disusun atas beberapa jenis sel antara lain sel penyengat/jelatang (nematosis) dan sel mukus.
Sel-sel mukus menghasil getah mukus yang
membantu menangkap makanan dan membersihkan diri dari endapan sedimen, sedangkan
sel jelatang sangan berperan dalam membunuh mangsa untuk
makanan dan mekanisme mempertahankan diri.
Lapisan mesoglea berada
diantara lapisan ektoderma dan endoderma dengan substansi berbentuk jelli berisi benang-benang fibril dengan lapisan tipis seperti otot pada bagian luarnya. Lapisan endoderma berada pada bagain dalam dan berhubungan langsung dengan rongga tubuh. Pada lapisan permukaan jaringan terutama pada el-sel mesenteri sampai permukaan tentakel ditemukan flagella dan silia yang berkembang baik (Nybaken dan Bertness, 2005). Pada
lapisan
endoderma
ditemukan
alga
simbion
bersel
satu
(zooxhantella). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Zooxanthella
memberikan warna pada jaringan karang dan algae simbion ini sangat
aktif
melakukan proses fotosintesis (Muller-Paker dan D’Ellia, 1997) Organ dalam polip karang sangat sederhana dan telah menunjukan beberapa fungsi fisiologis. Mulut yang terdapat pada bagian aboral diteruskan kedalam rongga tubuh melalui saluran yang disebut dengan tenggorokan (pharynx).
Rongga tubuh (gastrovascular) merupakan bagian dari lapisan
endoderma dengan struktur dinding yang melipat-lipat (mesenteries) mengandung
15
benang-benang mesenteris (mesenterial filament) dengan ujung yang lepas ke dalam rongga tubuh yang disebut acontia. Urutan organ tersebut secara fisiologis membantu dalam proses pencernaan makanan (Miller dan Harley, 2001) 2.5 Reproduksi dan Siklus Hidup Karang Hewan karang dapat melakukan reproduksi baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi aseksual pada hewan karang melibatkan sejumlah proses dimana pembentukan koloni baru terjadi melalui pemisahan atau pelepasan sebagian jaringannya melalui fragmentasi dan polip bailout. Reproduksi secara seksual sangat komplek dan meliputi berbagai kejadian mulai dari produksi sel gamet jantan dan betina, proses pembuahan dan pembentukan embrio sebagai planula yang berenang bebas (Richmond, 1997) 2.5.1 Reproduksi Aseksual Sebagian besar hewan karang adalah biota berkoloni terdiri dari ratusan sampai ribuan polip yang saling berhubungan satu sama lainnya. Polip-polip ini tumbuh dan bertambah banyak melalui proses secara aseksual tunas (budding). Pertunasan secara ekstratentakular terjadi jika penambahan polip baru muncul dari jaringan yang terdapat di antara dua polip yang berdekatan. Sedangkan pertunasan secara intratentakular terjadi bila tunas polip baru muncul dari dinding tubuh polip yang sudah ada, kemudian memisah menjadi menjadi polip baru. Kejadian pembentukan dan penambahan polip-polip bukan termasuk dalam reproduksi aseksual karang batu karena sebenarnya tidak ada pembentukan koloni hewan karang baru (Sorokin, 1993 ; Richmond dan Hunter, 1990 ; Richmond, 1997 ; Veron, 2000 ; Suharsono, 2008). Pembentukan koloni karang baru melalui reproduksi aseksual dapat dilakukan dengan beberapa cara. Fragmentasi adalah cara reproduksi aseksual paling umum terutama pada karang bercabang dan berbentuk lembaran tipis (foliose).
Fragmen atau potongan jaringan hewan karang yang terlepas dari
koloni induk akibat berbagai kejadian seperti arus dan gelombang yang kuat, ikan predator atau faktor fisik lainnya akan jatuh pada dasar perairan. Bila fragmen tepat berada di atas permukaan substrat yang keras, jaringan karang akan menempel dan mulai tumbuh mejadi koloni karang baru melalui pertunasan
16
(Sorokin, 1993 ; Richmond, 1997).
Sering pembentukan koloni baru hewan
karang dari fragmen gagal terjadi akibat terlepas kembali oleh arus atau gelombang yang kuat (Knowlton et al, 1981). Pada kondisi tertentu beberapa jenis hewan karang jaringan atau polip yang ada pada fragmen karang dapat terlepas dan berenang bebas atau terbawa arus sampai menemukan substrat yang tepat untuk menempel dan tumbu membentk koloni baru. Kejadian ini dikenal dengan polyp bailout yang selalu aktif melepaskan diri dari jaringan/skleton induk. Pada cara yang sama, sebagian hewan karang dapat melepaskan bola-bola jaringan hidupnya dari sekitar skleton yang telah mati atau pelepasan ooze dari kalis polip yang kemudian terdifferensiasi menjadi polip baru yang tumbuh menjadi koloni hewan karang baru (Highsmith, 1982 ; Krupp et al, 1993).
Reproduksi aseksual hewan
karang dapat juga terjadi dari larva yang dihasilkan dari telur yang tidak dibuahi melalui proses partenogenesis (Stoddart, 1983).
Mekanisme rperodukasi sperti
ini banyak terjadi pada tumbuhan dan hewan-hewan dalam bentuk koloni. Koloni karang dari hasil reproduksi aseksual secara genetic akan identik dengan induknya. Pada kondisi lingkungan yang sama koloni-koloni ini akan berkembang baik seperti indukya.
Namun pada kenyataannya kondisi
lingkungan sangat bervariasi dan selalu berubah setiap saat.
Pada kejadian
lingkungan ekstrim seperti kenaikan suhu air laut akibat El-Nino akan menimbulkan berbagai perubahan seperti munculnya predator dengan kesukaan makan yang baru, muncul serangan penyakit, atau muncul kompetitor baru. Pada kondisi seperti ini koloni-koloni hewan karang dari hasil reproduksi aseksual tidak dapat bertahan hidup karena tidak adanya variasi genetik yang dimiliki. Selain itu reproduksi secara aseksual ini sangat membatasi kemampuan pemencaran koloni karang yang penting bagi kesuksesan populasinya (Richmond, 1997). 2.5.2 Reproduksi Seksual Beda dengan reproduksi secara akseksual, reproduksi seksual dihasilkan dari pembuahan gamet jantan dan gamet betina.
Koloni hewan karang hasil
reperoduksi seksual memilki kombinasi dan variasi genetik yang diturunkan dari kedua induknya melalu sel sperma dan telur.
Hasil pembuahan berkembang
17
menjadi planula karang yang berenang bebas atau hanyut terbawa arus. Adaptasi planula seperti ini sangat membantu pemencaran hewan karang pada tempattempat yang baru atau pada terumbu yang berada jauh dari induknya (Richmond, 1997) Beradasarkan asal usul dan tipe produksi sel gamet, reproduksi seksual dibedakan atas gonochorics species dan hermaphrodite species. Gonochorics species memproduksi gamet jantan dan betina pada individu yang berbeda atau dikenal juga dengan diaceous species. Sedangkan pada hermaphrodite species gamet jantan dan betina diproduksi pada satu individu yang sama. Diperkirakan sekitar 25% hewan karang termasuk gonochorics species sisanya adalah hermaphrodite (Harrison dan Wallace, 1990).
Pada kenyataanya kedua tipe ini
sulit dibedakan, dimana dalam proses gametogenesis sering produksi telur lebih lama dibanding sperma. Akibatnya dapat disimpulkan koloni seperti ini termasuk betina, namun beberapa waktu kemudian menghasilkan sel sperma juga (Chonersky dan Peters, 1987 ; Harrison dan Wallace, 1990 ; Veron 1995). Hermaphrodite
simultaneous
terjadi
pada
hewan
karang
yang
menghasilkan sperma dan telur pada waktu yang bersamaan. Pada kejadian lain koloni awal jantan kemudian setelah itu berkembang menjadi betina atau dikenal juga dengan protandry dengan inisial menjadi betina. Pada kasus lain sebaliknya dapat berkembang menjadi jantan kembali atau dikenal juga dengan protagyny dengan inisial hermaphrodite.
Hampir sebagain besar koloni hewan karang
adalah hermprodite simultaneous dan sedikit yang sekuensial hermaphrodite (Veron, 1995 ; Richmond, 1997). Hewan karang memperlihatkan tipe reproduksi berbeda didasarkan pada cara terjadinya pembuahan. Pada tipe brooding spesies, pembuahan telur terjadi secara internal dan hasil pembuahan dalam bentuk larva planula berkembang dalam rongga tubuh polip karang. Hasil pembuahan ditetaskan dalam bentuk larva planula yang komplit dan berenang bebas ata hanyut terbawa arus. Tipe lain adalah spawning spesies dimana telur dilepaskan ke dalam kolom air dan dibuahi oleh sperma secara eksternal. Hasil pembuahan berkembang sampai terbentuknya planula dalam kolom air.
Keberhasilan kedua tipe reproduksi ini sangat
ditententuk oleh aspek bio-ekologi termasuk masuknya algae simbion ke dalam
18
jaringan planula, kompetensi planula (kesuksesan penempelan dan metamorfosis), pola sebaran dan variasi genetik.
Bagaimanapun tipe spawning spesies
melepaskan telur yang mengapung di atas permukaan air untuk waktu tertentu sehingga sangat retan terhadap polutan dan pemangsaan (Richmond dan Jokiel, 1984 ; Richmond, 1997) . Karang dengan tipe brooding spesies lebih kompeten yaitu lebih sukses menempel dan bermetamorfosis.
Ukuran planula yang dihasilkan brooding
spesies lebih besar dibanding spawning spesies serta telah memiliki alga simbion zooxhantella yang ditransfer selama perkembangan dalam tubuh induknya.
Pada
tingkatan ini zooxhantella telah berkontribusi dalam proses metabolisme planula dan menambah energi selama masa pemencarannya. Brooding spesies dengan melihat planula sebagi hasilnya terjadi hanya pada sedikit jenis hewan karang, yaitu sekita 15%.
Jenis Pocillopora damicornis melepas planula pada siklus
bulanan sepanjang tahun di terumbu Mikronesia dan Hawaii, namun hanya pada bulan-bulan tertentu di terumbu Okinawa dan Australia bagian barat (Fadlallah, 1983 ; Richmond dan Hunter, 1990).
Hal yang berbeda pada jenis yang sama
Pocillopora damicornis menunjukan spawning spesies di terumbu Pasifik bagian Timur dan juga Australia bagian Barat (Glynn et al., 1991 ; Ward, 1992). Pelepasan larva Pocillopora damicornis terjadi setiap bulan (bulan gelap dan terang) dan mencapai puncaknya pada musim kering
(dry monsoon) pada
perlakuan outdoor dengan sistem air mengalir di Pulau Panjang, Jawa Tengah Indonesia (Munasik et al., 2008) Lebih dari 250 jenis hewan karang yang telah diteliti (85%) umunya adalah spawning spesies yang memijah massal pada periode tertentu setiap tahun. Di Okinawa sebagain besar spawning spesies melepaskan gamet selama lebih dari 5-8 hari pada malam hari bulan purnma Mei dan Juni
setiap musim panas
(Hayashibara et al., 1993). Di Guam, Mikronesia puncak pemijahan terjadi 7-10 hari setelah bulan purnama di bulan Juli (Richmond dan Hunter, 1990). Pemijahan karang terjadi beberapa bulan dalam setahun antara lain Maret, April dan Mei di pulau-pulau kecil sekitar Palau ( Kenyon, 1995). Di terumbu Australia pemijahan massal terjadi selama November (Harrison et al., 1984).
19
2.6 Rekrutmen Karang Rekrutmen menjadi bagian penting dalam proses
pembentukan dan
perkembangan komunitas dalam suatu ekosistem terumbu karang di alam. Dengan kata lain rekrutmen memberikan jaminan terhadap pembentuk komunitas serta memberikan jaminan bahwa populasi itu akan selalu bertahan.
Porses
rekrutmen berperan dalam penambahan individu-individu baru kedalam populasi dewasa sehingga eksistensi dan keberlanjutan populasi dapat dipertahankan dan berlangsung secara terus menerus (Erwin et al., 2008). Secara sederhana rekrutmen hewan karang ditandai dengan kemunculan koloni-koloni karang yang masih muda (juvenile).
Secara visual-morfologis
koloni-koloni karang muda ini dapat dibedakan dengan dewasanya berdasarkan ukuran koloni yaitu relatif lebih kecil. Definisi dan batasan ini tidak selalu benar dimana pada kenyataannya banyak koloni karang berukuran kecil tapi bukan karang muda. Kemampuan reproduksi secara aseksual sering merancukan hal ini seperti pertunasan pada koloni karang yang mati sebagian. Pada kasus ini koloni kelihatan berukuran kecil (hanya beberapa polip) namun sebenarnya berasal dari koloni dewasa yang sebagain besar telah mati akibat berbagai faktor seperti penyakit atau tertutup sedimen. Hal yang sama juga terjadi pada reproduksi aseksual lainnya seperti fragmentasi, dimana sebagian kecil koloni terlepas dari koloni induk kemudian menempel jadi koloni karang baru dengan ukuran relatif kecil (Edmunds, 2008).
Rekrutmen pada populasi selalu dibatasi dengan ciri
mofologi serta aktifitas biologis yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moorsel (1989) bahwa rekrutmen adalah individu dengan bentuk morfologi yang berbeda dengan populasi dewasa serta dibatasi oleh ukuran koloni dan kemampuan untuk melakukan reproduksi. Proses
rekrutmen diawali dengan perubahan planula karang dari fase
planktonik menjadi bentik dan siap untuk melakukan penempelan pada substrat di dasar perairan. Menurut Richmond (1997), reproduksi dan rekrutmen adalah dua proses penting yang menentukan keberadaan dan keberlangsungan suatu terumbu karang.
Proses reproduksi menjamin terbentuk calon koloni baru, sedangkan
rekrutment adalah proses bagaimana calon koloni baru hasil reproduksi sukses menjadi anggota baru dalam populasi.
Proses rekrutmen ditandai dengan
20
kemunculan calon koloni baru dalam ukuran relative kecil (juvenile) pada habitat baru dan beradaptasi baik dengan relung ekologisnya. Peristiwa ini dikenal juga dengan proses kolonisasi yang sangat tergantung dengan ketersedian larva dan substrat untuk penempelan. Kolonisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan keberhasilannya didukung oleh beberapa persyaratan lingkungan. Tahapan awal adalah keberhasilan dalam proses reproduksi yang menjamin tersedianya larva dalam bentuk plantonik. Tahapan selanjutnya adalah kemampuan larva untuk melakukan orientasi, pengenalan dan identifikasi terhadap substrat yang akan ditempeli. Keberhasilan kolonisasi didukung oleh beberapa persyaratan termasuk tipe substrat, arus, salinitas, cukup cahaya, sedimentasi dan faktor biologis seperti ketersedian lapisan tipis mikroalgae (biofilm) di atas permukaan substrat bisanya dari kelompok diatom dan bakteri (Sorokin, 1991 ; Richmon,1997).
Penempelan
larva planula dalam proses kolonisasi dengan segera diikuti oleh perisiwa metamorfosis.
Metamorfosis merupakan serangkaian proses yang dindikasikan
oleh perubahan secara morfologis dan perangsangan bio-kimia larva planula menjadi koloni karang muda (juvenile). Secara morfologis hewan karang dalam tingkatan larva sangat berbeda bentuknya dengan polyp yaitu tidak memiliki tentakel, mulut, rongga gastrovascular, tidak memiliki enzim pencernaan dan tidak memproduksi kapur untuk rangka. Metamorfosis baru akan dilakukan jika larva planula benar-benar sudah memastikan susbstrat untuk penempelan selamanya.
Metamorfosis diawali
dengan proses kalsifikasi yang mengsekresikan kapur sebagai lempengan dasar berbentuk mangkuk sebagai rangka awal. Selanjut proses awali ini diikuti dengan pembentukan tentakel yang dilengkapi dengan sel-sel penyengat mengelilingi mulut. Proses akhir metamorfosis ini menghasilkan polip awal yang selanjutnya mengalami pertunasan untuk menbentuk polip-polip baru, masing-masing juga mengsekresikan kapur sebagai rangkanya. Polip pertama hasil metamorfosis ini dapat keluar dari rangka yang telah dibentuk kemudian menjadi plantonik lagi sampai ditemukan substrat baru untuk menempel lagi (Moorsel, 1989 ; Sorokin, 1991 ; Richmond, 1997).
21
Planula karang dari spawning spesies tidak mendapat algae simbion zoxhantella dari induknya, namun ditransfer selama proses penempelan dan metamorfosis dari kolom air laut di sekitarnya.
Hasil obeservasi terhadap
beberapa jenis karang Acropora menunjukan bahwa karang ini mengandung alga simbion selama proses penempelan dan metamorfosis dan selama dua (2) minggu tidak mengandung algae simbion.
Karang muda yang terbentuk hasil
metamorfosis sering bersaing dengan coralline dan filamentous algae dan algae merah lainnya (Richmond, 19970). Penempelan larva planula tidak menjamin metamorfosis akan selalu terjadi.
Pada beberapa larva invertebrate metamofhosis merupakan rangkaian
reaksi yang komplek yang dimulai bila hanya terjadi perangsangan secara biokimia tertentu. Rangsangan untuk memulai metamorfosis menjadi spesifik pada jenis-jenis tertentu yang ditandai dengan penempelan coralline algae dan lapisan biofilm dari mikroorganisme. Laju rekruitmen hewan karang telah banyak diteliti dengan menempatkan biotopes dari substrat buatan untuk penempelan planula karang. Pada terumbu Great
Barrier
koloni/m2/tahun,
Reef
(GBR)
sedang
di
Australia terumbu
laju
karang
rekruitmen Laut
mencapai
Merah
berkisar
10 5
koloni/m2/tahun. Di Terumbu karang Atlantik dilaporkan laju rekruitmen lebih rendah hanya berkisar antar 3-4 koloni/m2/tahun didominasi oleh jenis Stylopora pistilata. Abrar (2000) melaporkan laju rekruitmen di perairan Pulau Sikuai, Padang, Sumatera Barat mencapai puncaknya 0, 41 koloni/m2/bulan atau sekitar 5 koloni/m2/tahun didominasi oleh genus Pocillopora. 2.7 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang Terumbu karang merupakan ekosistem dengan berbagai interaksi yang komplek mulai dari tingkatan mikroorganisme, organisme multiseluler dan sampai tingkatan komunitas.
Pada hewan karang interaksi pada proses
reproduksi dan rekrutmen meliptui interaksi antar koloni, sel-sel gamet, larva planula dan penempelan yang dipicu oleh sinyal bio-kimia. Interaksi yang terjadi serta berbagai konsekuensi yang dihasilkan adalah bentuk adaptasi yang
22
dilakukan hewan karang utnuk sukses dalam reperoduksi dan rekrutmen serta memiliki tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Nybaken dan Bertness, 2005). Kondisi lingkungan sangat menentukan kesuksesan proses reproduksi dan rekrutmen dan kelulusan hidup juvenil karang.
Perubahan kualitas perairan
sudah mulai mempengaruhi pada tahapan awal reproduksi seperti waktu reproduksi, sikronisasi musim kawin dan pemijahan, interaksi sperma dan telur, metamorfosis dan transfer algae simbion dari kolom air.
Hasil pengamatan
menunjukan bahwa perubahan salinitas, temperatur, dan ketersedian cahaya akan berdampak terhadap produksi larva dari jenis Pocillopora damicornis (Jokiel, 1985).
Kemudian Kojis dan Quinn (1984), menemukan adanya korelasi antara
kesuburan, kedalaman dan sedimentasi pada jenis Acropora palifera. Pada jenis Goniastrea favulus kemampuan reproduksi meningkata sejalan dengan adanya perpindahan energy dalam jaringannya (Kojis dan Quinn, 1985). Hewan karang berkembang baik pada salinitas laut normal 35 o / oo namun memiliki toleransi terhadap salinitas tinggi dan rendah untuk beberapa waktu. Pada kasus lain koloni karang yang terpapar karena air surut akan menutupi koloni dengan lendir (mucous) yang dikeluarkan untuk bertahan dari kekeringan. Salinitas juga berdampak terhadap laju fertilisasi hewan karang dimana penurunan salinitas sampai 26% dari salinitas normal dapat menurun laju fertilisasi sampai 86%. Kejadian ini bisa terjadi saat puncak pemicahan bersamaan dengan musim hujan seperti yang dilaporkan di terumbu Mikronesia dan Okinawa (Birkeland, 1997). Faktor internal ukuran koloni sangat menentukan kesuburan hewan karang. Pada karang-karang dengan polip kecil dengan ukura koloni sama, umur dapat juga berdampak terhadap reproduksi yang dihasilkan, dimana karang yang tua lebih subur (Kojin dan Quinn, 1985). Sebaliknya pada karang dengan ukuran polip besar sepserti Lobophyllia cortmbosa menunjukan bahwa ukuran polip lebih menentukan kedewasaan dan kesuburan dibanding ukuran koloninya. (Harriot, 1983).
Pada koloni bentuk bercabang seperti Pocillopora dan Acropora
memperlihatkan kematangan seksualnya pada umur 2-3 tahun dan mulai menghasilkan gamet atau larva pertama. Karang massive yang diwakili oleh Porites menunjukan pertumbuhan dan perkembangan yang lama berkisar antara
23
4-7 tahun (Babcock, 1988).
Pada jenis-jenis yang memperlihatkan adanya
hubungan antara ukuran koloni dan reproduksi akan gangguan pertumbuhan akibat stress juga akan menunjukan penurunan potensi reproduksinya (Brown and Howard, 1985). Kecerahan perairan penting bagi pertumbuhan dan mendukung proses reproduksi dan rekrutment hewan karang (Jokiel, 1985 ; Tomascik dan Sander, 1987).
Perairan yang jernih dengan sedimen rendah meningkatkan penetrasi
cahaya yang dibutuhkan selama aktifitas fotosintesis oleh algae simbion zooxhantella.
Hasil fotosintesis berupa karbohidrat dan transfer energi
berkontribusi jelas dalam proses reproduksi terutama saat produksi gamet dan larva. Sebaran terumbu karang sepanjang perairan dangkal pesisir dan pulaupulau kecil sangat rentan terhadap sedimentasi yang meningkatkan kekeruhan perairan. Sedimentasi secara terus menerus menjadi masalah utama terumbu karang di perairan pesisir.
Penimbunana sedimen diatas permukaan koloni karang
membutuhkan energi banyak untuk membersihkannya sehingga memperlambat laju pertumbuhan serta mengurangi ketersedian energi untuk proses reproduksi. Sedimen juga menghalangi dan mencegah sinyal bio-kimia larva hewan karang untuk mengenali substrat yang akan ditempelinya (Tomascik dan Sander, 1987). Pengayaan nutrient dalam perairan atau eutrofikasi menjadi permasalan tersendiri terhadap proses reproduksi dan rekrutmen hewan karang (Tomascik, 1991). Sumber utama nutrient dalam perairan berasal dari aktifitas pertanian dan limbah rumah tangga. Suspensi nutrien dalam perairan meningkatkan kekeruhan dan menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Pada kondisi lain, peningkatan nutrien akan memicu pertumbuhan cepat biota bentik tertentu seperti Algae, Sponge, Tunicate dan Bryzoan yang merupakan kompetitor utama bentik karang yang tumbuh lambat (Birkeland, 1988). Pertumbuhan biota bentik yang cepat menutupi permukaan substrat dan menghalangi penempelan larva hewan karang (Hatcher, 1984 ; Tomascik, 1991 ; Done, 1992 ; Hughes, 1994). Total pemasukan substansi/matreal ke dalam perairan berbanding lurus dengan waktu.
Artinya aktifitas pemanfaatan di sepanjang pesisir akan
memberikan kontribusi pencemaran yang selalu meningkat dari waktu ke waktu.
24
Substansi pencemar seperti minyak, cadmium dan logam berat yang berasal dari berbagai sumber masuk ke dalam perairan melalui, arus laut, aliran sungai dan air hujan.
Bahan pencemar seperti pestisida Chlorpyrifos mampu menurunkan
kemampuan penempelan dan metamorphosis larva hewan karang pada kadar 0.005 ppm. Tumpahan minyak telah menurunkan ukuran dan volum gonad hewan karang dibanding daerah yang tidak terkena tumpahan minyak (Guzman dan Holst, 1993). Pada kondisi tertentu pencemaran minyak dapat menggagalkan formasi larva karang untuk bertahan hidup (Loya dan Rinkevich, 1979). Substansi pencemar juga diketahui mampu menghalangi sinyal bio-kimia karang yang mengatur kesesuaian dan keteraturan produksi sperma dan telur (Richmond, 1993) Pola rekrutmen dan kemampuan larva pada beberapa terumbu sangat tergantung pada jauhnya jarak komunitas karang mensuplai larva planulanya (Richmond, 1987 ; Babcock, 1988).
Jika terumbu tempat hewan karang
menghasilkan larva atau telur terganggu dengan sendirinya juga memberikan dampak terhadap keberlanjutan terumbu itu sendiri. Prinsip ini penting untuk menentukan daerah perlindungan yang terdiri dari banyak pulau atau antar wilayah terumbu yang berbeda. Hal ini juga berlaku pada penentuan daerahdaerah perlindungan laut untuk terumbu karang dengan mempertimbangkan pola pemenceran larvanya (William et al, 1984). Keberhasilan reproduksi hewan karang tidak menjamin penambahan koloni ke dalam populasi sampai larva dan reproduksi aseksual berhasil dalam proses rekrutmennya. Larva yang dihasilakan oleh koloni pada terumbu yang sehat tidak mengalami rekrutmen dengan baik karena kualitas perairan dan ketersedian larva. Sedimentasi tinggi dari sungai mengakibatkan kematian pada koloni karang dewasa, namun menyediakan substrat dan tidak menghalagi penenmpelan larva. Kondisi terumbu karang (kelimpahan dan keanekragaman) tidak bisa menunjukan kesehatan terumbu karang hanya menunjukan kondisi pada saat itu. Namun pola rekrutmen mampu memprediksi keadaan terumbu pada masa akan datang. Kegagalan reproduksi dan ketidak mampuan penempelan sering terlihat pada wilayah dimana karang dewasa dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik (Richmond, 1997).
25
2.8 Kerusakan dan Pemulihan Terumbu Karang Hewan karang sangat sensitif dan mudah mengalami kematian akibat kejadian alam dan aktifitas manusia.
Keberhasilan proses reproduksi dan
kelulusan hidup rekrutmen karang akan menjamin keberlanjutan populasi hewan karang dan memulihakan komunitas terumbu yang telah rusak.
Tindakan
pencegahan dan rehabilitasi kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan mengelolaa aktifitas yang berdapmpak terhadap kerusan terumbu.
Selain itu
pengembangan metode untuk aplikasi pembenihan dan pengembalian habitat terumbu kembali sangat dibutuhkan. Percobaan pemanenan larva di alam untuk dijadikan benih telah sukses dilakukan pada wilayah yang telah rusak akibat serangan predator Achantatser dan sedimentasi.
Hai ini menunjukan bahwa
pembenihan kembali di alam dapat menaikan laju rekrutmen secara alami. Namun tetap saja sebuah koloni karang dengan umur 50 tahun tidak bisa digantikan oleh rekrut yang berumur kurang dari 50 tahun. Pencegahan terhadap aktifitas manusia yang merusak terumbu lebih efektif untuk mendukung reproduksi dan rekrutmen hewan karang (Richmond, 1997).
3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 9 bulan mulai Maret sampai November 2010. Alokasi waktu 9 bulan mengindikasikan representasi musim yaitu Musim Peralihan Barat-Timur (Maret - April- Mei), Musim Timur (Juni – Juli - Agustus), dan Musim Peralihan Timur-Barat (September – Oktober - November), dimana masing-masing musim menunjukan karakter oseanografis dan gejala cuaca yang khas (Suyarso, 1995). Pengamatan dilakukan dengan interval waktu setiap satu (1) bulan yaitu Maret sampai Agustus (T0-T5) dan interval waktu 3 bulan yaitu September sampai November (T5-T6).
Lokasi penelitian adalah perairan
terumbu karang Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengamatan di lapangan secara spasial dibedakan atas dua stasiun berdasarkan karakteristik lingkungan perairan, dan kondisi terumbu. Disamping itu bentuk pemanfaatan wilayah perairan dan status konservasi juga menjadi pertimbangan. Berdasarkan kriteria tersebut ditetapkan dua stasiun penelitian yaitu Stasiun pari-selatan (ST1pari) pada posisi 05o 52’ 212’’ Lintang Selatan dan 106o 36’ 754’’ Bujur Timur dan Stasiun tikus-utara (ST2-tikus) pada posisi 05o51’168’’ Lintang Selatan dan 106o34’795’’ Bujur Timur. Penelitian dilaksanakan di terumbu karang Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Pengamatan di lapangan secara spasial dibedakan atas dua
stasiun berdasarkan bentuk pemanfaatan dan status konservasinya. Pada lokasi penelitian dilakukan sampling pada dua (2) stasiun berbeda, yang didasarkan pada karakteristik perairan dan kondisi terumbu. Selain itu perbedaan stasiun juga didasarkan pada status pemanfaatan wilayah perairan yaitu sebagai area perlindungan laut (APL) dan non-area perlindungan laut (NON-APL). Berdasarkan kriteria tersebut telah ditetapkan stasiun penelitian yaitu Stasiun pariselatan (ST1-pari) pada posisi 05o 52’ 212’’ lintang selatan dan 106o 36’ 754’’ bujur timur dan Stasiun tikus-utara (ST2-tikus) pada posisi 05o51’168’’ lintang selatan dan 106o34’795’’ bujur timur.
27
ST1‐tikkus P. Tikus s
ST1‐pari
Gambarr 2. Lokasi Gugus G Pulau u Pari dan posisi p stasiuun penelitian n k Penelitian n 3.2 Objek Daalam penelittian ini rekrrutmen karaang adalah semua kolooni karang muda m atau juvennile yang teelah menem mpel tetap pada p substrrat alami.
Menurut Penin P
(2008) juvvenile karaang didefiniisikan sebagai semuaa koloni yaang dapat dilihat d (visible) sampai s ukuuran kuranng atau sam ma dengan 5 cm maaksimal pan njang diameter.
Rekrutmeen hewan karang k yan ng akan diaamati dikelompokan dalam d
beberapa kelas k ukuraan koloni muulai dari paaling kecil (ddapat diamaati secara visual) sampai ukkuran kuranng atau saama dengan n 10 cm maksimal m panjang diam meter (Engeharddt, 2000 ; Obura O dan Grimsditch G , 2009). lapangan
objek
saampling
d dibedakan
B Berdasarkan n hasil surv vei di
berdasarkaan
bentukk
koloni
serta
dikelompookan dalam tiga kelas ukuran u yang g disajikan dalam d tabell 1 berikut in ni:
28 < 3 cm (small)
3 – 6 cm (medium)
> 6 cm dan 10cm ≤ (large)
Massive
Branching
Gambar 3. Objek penelitian, rekrut karang berdasarkan bentuk koloni dan kelas ukuran 3.3 Metode sampling Pada setiap stasiun dilakukan pengukuran kelulusan hidup
dan laju
pertumbuhan rekrutmen karang pada dua (2) bentuk koloni Massive dan Branching dan tiga (3) kelas ukuran yang berbeda, Small (< 3 cm), Medium (3 - 6 cm), dan Large (> 6 cm dan ≤ 10 cm) masing-masingnya sebanyak 5 koloni dan ditandai (tangging).
Rekrutmen karang dipilih dalam luasan belt transek
permanen 2 meter x 70 meter. Pengamatan dilakukan dengan interval waktu setiap satu bulan dan setiap 3 bulan. Pencatatan awal atau T0- Maret meliputi jumlah koloni, ukuran koloni serta tipe substrat dasar perairan, dilanjutkan pada bulan kedua sebagai T1- April antara lain jumlah koloni yang mati dan ukuran koloni yang hidup, dan seterusnya sebagai T2-Mei, T3-Juni, T4-Juli sampai T6November. Identifikasi dilakukan langsung di lapangan didukung foto bawah air dan koleksi untuk identifikasi lebih lanjut.
Identifikasi dilakukan sampai
tingkatan genus dengan mengacu kepada Veron (2000), dan Suharsono (2008). Pada waktu yang sama dilakukan pengukuran kualitas perairan antara lain kadar garam (refractometer), derajat keasaman (pH universal), arus permukaan (konvensional), suhu permukaan (thermometer celup), kecerahan (keping secchi), kadar nutrien (Colorimeter DR/980 set), dan sedimentasi (sedimen trap). Data pendukung berupa populasi rekrutmen karang dilakukan pada kedua stasiun di satu kedalam yaitu antara 5-7 meter.
Metode sampling pengamatan
populasi rekrutmen adalah metode bentik kuadrat ukuran 1 meter x 1 meter dengan 3 kali ulangan (Obura dan Grimsditch, 2009).
Penempatan bingkai
29
kuadrat dilakuan secara acak sepanjang transek permanen. Untuk bentik terumbu dilakukan pada kedalaman yang sama dengan menggunakan Metode Line Intercept
Transect
(LIT),
sedangkan
Chatodontidae, Scaridae dan Siganidae
populasi
ikan
karang
kelompok
menggunakan metode belt transek
dengan cara under water visual cencus (English et al., 1997). 3.4 Analisa Data 3.4.1 Struktur komunitas Data kualitatif berupa sebaran kekayaan jenis rekrutmen hewan karang yang ditemukan dianalisis secara deskriptif dengan kekayaan jenis, jumlah koloni dan kepadatan. Analisa struktur komunitas dilakukan terhadap rekrutmen karang dan komponen biologi lainnya. Struktur komunitas dihitung setalah dilakukan identifikasi dan jumlah jenis/koloni telah diketahui.
Pengukuran struktur
komunitas meliputi: Indeks keragaman berdasarkan Shannon-Wiener (Krebs, 1989) s
H’ = ∑ pi ln pi i=1
Keterangan:
H’ = indeks keragaman s = jumlah jenis pi = perbandingan jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah total individu
Indeks keseragaman (Krebs, 1989) H’ E = ----------H’ maks Keterangan:
H’ H maks
= indeks kergaman = indeks kergaman maksimum (log2S)
Indeks dominasi, berdasar indeks dominasi Simpson (Krebs, 1989) s
C = ∑ (pi)2 i=1
Keterangan:
C = indeks dominasi pi = perbandingan jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah total individu
30
3.4.2 Survival Rate (SR) Laju kelulusan hidup dianalisis berdasarkan data-data rekrutmen yang masih hidup setiap bulan pengamatan dengan menggunakan formula Lt – Lo SR = ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ t Keterangan
SR = Laju kelulusan hidup rekrutmen karang Lt = Total rekrutmen karang yang hidup saat t (koloni) Lo = Total rekrutmen karang pada awal pengamatan (koloni) t
= waktu selama pengamatan (bulan)
Hubungan waktu dan laju kelulusan hidup diuji dengan regresi linier sederhana pada tingkat kesalahan 5% 3.4.3 Growth Rate (GR) Rekrutmen karang yang dapat bertahan hidup selanjutnya dilakukan analisis laju pertumbuhannya dengan menggunakan formula: Wt – Wo GR = ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ t Keterangan
GR = Laju pertumbuhan rekrutmen karang Wt = Total rerata luas koloni rekrutmen karang saat t (mm2) Lo = Total rerata luas koloni rekrutmen karang pada awal pengamatan (mm2) t
= waktu selama pengamatan (bulan)
Hubungan waktu dan laju pertumbuhan rekrut karang diuji dengan regresi linier sederhana pada tingkat kesalahan 5% 3.4.4 Data Kualitas Air Data kualitas air berupa faktor fisika dan kimia yang diukur merupakan karakteristik kualitas air laut di lokasi penelitian. Analisa karakteristik kualitas air pada stasiun berbeda dilakukan dengan analisis secara deskritif berdasarkan data kualitas air yang diukur.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Lokasi Penelitian Penelitian telah dilakukan di Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Gugusan pulau-pulau sangat kecil ini termasuk tipe pulau karang timbul dan pulau daratan rendah (low islands), terdiri dari Pulau Pari, Kongsi, Tengah, Kudus dan Burung pada posisi 05o 50’ LS sampai 05o 52’ LS dan 106o 34’ BT hingga 106o 38’ BT.
Terumbu karang mengelilingi semua gugus pulau-pulau tersebut
sehingga menjadi satu kesatuan terumbu dengan tipe terumbu tepi (freenging reef) yang memanjang secara diagonal arah Barat Daya – Timur Laut dengan total luas mencapai 10,74 km2 (Asriningrum, 2005).
Bentuk dan bagian-bagian
terumbu cukup komplit, terdiri dari rataan terumbu (reef flate), goba (lagoon) dan terumbu yang mengelilingi goba (atol) sehingga menyerupai pulau atol dikenal juga dengan atol semu (pseudoatol) atau atol mini (small atol).
Sumber: Asriningrum, 2005
Gambar 4. Kelas bentukan terumbu dan pemanfaatan lahan Gugus Pulau Pari
32
Rataan terumbu adalah bagian terumbu paling luas yaitu dengan panjang berkisar antara 400-1500 meter tegak lurus garis pantai pulau terdekat arah ke laut lepas. Saat pasang, rataan terumbu digenangi air sampai kedalaman 1 meter dan dapat terpapar sampai 0,3 - 0,4 meter di atas permukaan laut saat surut terendah. Pada bagian tertentu, di rataan terumbu ditemukan cekungan-cekungan (goba) yang selalu tergenang saat air surut dengan kedalaman berkisar antara 2-15 meter. Dasar perairan rataan terumbu didominasi oleh dasar berpasir terutama bagian yang dekat dengan pantai, sedangkan substrat keras dan patahan karang mati ditemukan dekat puncak terumbu (reef crest) dan tubir (reef front).
Puncak
terumbu ditandai dengan bagian paling tinggi dari terumbu dan terkadang muncul saat surut terendah, sedangkan tubir bagian paling depan dari terumbu. Kedua bagian terumbu ini berhubungan langsung dengan perairan terbuka, didominasi oleh biota bentik dari kelompok algae, karang dan biota bentik lainnya. Tubir terumbu berlanjut sebagai lereng terumbu (slope) dengan kemiringan berkisar antara 30-40 derajat sampai kedalaman 10-15 meter (Suharsono, 1999). Tabel 2. Persentasi tutupan kategori bentik terumbu pada terumbu Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (7 stasiun) NO
STASIUN
KATEGORI BENTIK
PC01
PC02
PC03
PC04
PC05
PC06
PC07
JUMLAH
RERATA
I
BENTIK BIOTIS
1
Acropora
5
15
20
10
15
15
10
90
12.86
2
Nonacropora
25
20
20
10
35
30
20
170
24.29
3
Soft Coral
5
5
5
5
10
5
7
42
6
4
Sponge
5
3
2
2
3
3
2
20
2.86
5
Makro Algae
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
Seagrass Death Coral Algae
33
20
15
50
20
30
40
198
28.29
8
Death Coral
0
0
1
0
1
0
0
2
0.29
9
Others
2
2
2
3
1
2
1
13
1.86
II
BENTIK ABIOTIS
10
Ruble
15
30
30
15
10
10
17
127
18.14
12
Sand
10
5
5
5
5
5
3
38
5.43
13
Rock
0
0
0
0
0
0
0
0
0
JUMLAH
100
100
100
100
100
100
100
700
100
With
Sumber: Abrar 2008 (unpublish)
Hasil pengamatan substrat dasar pada lereng terumbu Gugus Pulau Pari telah dilakukan di tujuh (7) stasiun dan disajikan dalam Tabel 3. Substrat dasar
33
perairan dibedakan dalam kelompok bentik biotis dan abiotis dengan beberapa kategori bentik pada masing-masing kelompok.
Hasil pengamatan menunjukan
persentasi tutupan masing-masing kategori cukup bervariasi dengan rerata 0,29 28,3 % dan beberapa kategori tidak ada.
Rerata persentasi tutupan karang hidup
dari kelompok Acropora dan Non Acropora
paling tinggi yaitu 37,03 %,
sedangkan tutupan Sponge dan soft coral cukup rendah masing-masing 2,86 % dan 6%. Kategori bentik dari kelompok karang mati yang telah ditumbuhi algae (death coral with algae) cukup tinggi yaitu 28,29%, sedangkan karang mati yang belum ditumbuhi algae (bleaching) sangat rendah yaitu 0,29 %. Kategori bentik biotis lainnya terdiri dari biota-biota yang berassosiasi dengan terumbu memiliki rerata tutupan hanya 1,86%.
Kelompok bentik abiotis terutama dari patahan
karang mati mencapai 18,14% dan pasir menutupi sekitar 5,43%.
4.1.2 Gambaran Stasiun Penelitian Stasiun penelitian ST1-pari berada antara Selatan-Barat Pulau Pari atau Selatan-Timur Gugus Pulau Pari pada posisi 05o 52’ 212’’ LS dan 106o 36’ 754’’ BT.
Kondisi perairan relatif terbuka dengan arus dan gelombang cukup kuat,
keruh, dan sangat terpengaruh oleh Musim Timur (Juni – Agustus).
Titik
Sampling Stasiun ST1-Pari berada di lereng terumbu (slope) pada kedalaman 5 meter.
Permukaan terumbu sebagai substrat dasar perairan umumnya adalah
patahan karang mati dan dasar keras dari karang mati , ditutupi sedimen halus (lumpur) dan ditumbuhi algae filamen dengan tutupan keduanya mencapai 57% dan sedikit dasar berpasir sekitar 3%.
Pada dasar perairan juga ditemukan
banyak unit rangka untuk transplantasi karang yang sebagian besar telah ditutup oleh biota bentik termasuk oleh koloni karang. Koloni karang hidup banyak ditemukan pada kedalaman 2-7 meter dan semakin berkurang sampai kedalaman 15 meter.
Hasil penilaian secara cepat (RRI) tutupan koloni karang hidup
mencapai 30% dengan demikian terumbu berada dalam kondisi sedang. Biota bentik lainya terutama dari sponge, karang lunak dan biota yang berassosiasi dengan terumbu sangat rendah dengan persentasi tutupan hanya 10%. Wilayah perairan Stasiun ST1-pari termasuk kawasan Area Perlindungan Laut (APL) Kelurahan Pulau Pari dengan pemanfaatan terbatas untuk pendidikan
34
dan penelitian kelautan. Aktifitas manusia di darat dari pemukiman masyarakat di Pulau Pari dan pengembangan sepanjang pesisir Teluk Jakarta, dan Pantai Utara Banten sangat berdampak terhadap ekosistem terumbu karang seperti sedimentasi, sampah dan pencemaran perairan (UNESCO, 1997). Stasiun ST2-tikus berada pada sisi utara Pulau Tikus atau Utara-Barat Gugus Pulau Pari dengan posisi 05o51’168’’ lintang selatan dan 106o34’795’’ bujur timur. Stasiun ini adalah bagian dari dinding luar terumbu atol Goba Pulau Tikus yang berhadapan langsung dengan laut lepas dan merupakan selat sempit antara Gugus Pulau Pari dan Pulau Payung dengan kedalaman maksimal mencapai 80 meter. Kondisi perairan relatif agak terlindung, lebih jernih dengan gelombang tidak terlalu kuat, namun arus cukup kuat terutama saat mulai surut dan pasang serta sangat terpengaruh oleh Musim Barat (Desember – Februari) (Rudi 2006). Rataan terumbu cukup luas dengan kombinasi atol dan goba dimana panjangnya mencapai 1500 meter dari garis pantai pulau terdekat. Dasar perairan didominasi oleh pertumbuhan karang hidup dari kelompok Acropora dan Non Acropora dengan tutupan mencapai 50% sehingga terumbu karangnya berada dalam kondisi baik. Biota lain antara lain dari kelompok sponge, karang lunak dan biota yang berassosiasi dengan terumbu terlihat sangat sedikit dengan tutupan hanya mencapai 14%.
Karang mati yang telah ditumbuhi algae filamen cukup
tinggi dengan tutupan mencapai 20% dan sedikit pemutihan karang (bleaching). Permukaan terumbu dari patahan karang mati terlihat cukup tinggi yaitu mencapai 20% dengan sedikit dasar berpasir yang hanya menutupi sekitar 5% Stasiun ST2-tikus tidak termasuk dalam kawasan pengelolaan dan wilayah konservasi. Pemanfaatan perairan adalah sebagai daerah tangkapan perikanan terumbu dan lokasi budidaya rumput laut serta pembesaran ikan dalam keramba terutama di perairan goba. Perairan selat di depan stasiun penelitian cukup dalam yaitu 70-80 meter sehingga menjadi jalur pelayaran bagi kapal-kapal besar menuju dan dari perairan Utara Jawa.
35
4.2 Gambaran Kondisi Perairan Perairan gugus Pulau Pari termasuk dalam Gugusan Kepulauan Seribu dengan tipe perairan dangkal pesisir dengan kedalam berkisar antara 15-40 meter. Termasuk perairan pedalaman semi terbuka yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pesisir di sepanjang Teluk Jakarta dan Utara Banten serta gerakan massa air dari Laut Cina Selatan dan Timur Indonesia. Tipe perairan seperti ini sangat dinamis dan turbulensi tinggi sehingga kualitas perairan sangat dipengaruhi oleh substrat dasar perairan, kondisi lokal geologisnya dan pengaruh aktifitas dan pengembangan di daratan dan pulau-pulau kecil sekitarnya . Tipe perairan gugus Pulau Pari telah memberikan karakteristik pola oseanografi secara lokal antara lain pola arus, gelombang dan pasut serta kondisi oseanografi lainnya. Pola arus secara umum menjadi bagian pola arus Perairan Indonesia yaitu sangat terpengaruh oleh musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur dan peralihan diantaranya. Pada kasus lokal arus di Gugus Pulau Pari sangat tergantung oleh kondisi fisik pulau, pasang surut dan gelombang. Secara umum arus yang melewati perairan Pulau Pari memiliki kecepatan rata 20-40 cm/ dan dipengaruhi oleh pola musim baik kecepatan maupun arahnya. Pada Musim Barat kecepatan arus cenderung lebih tinggi sedangkan pada Musim Timur terjadi penurunan berkisar antara 12-64 cm/dt.
Kondisi lokal ini akan menghasilkan
pola-pola arus spesifik di setiap sisi pulau. Kekuatan arus dan pergantian massa air lebih tinggi pada sisi Utara-Barat dibanding sisi Timur-Selatan terutama saat musim Peralihan Barat dan Musim Barat. Kedalama perairan serta kondisi fisik berupa selat serta perairan yang lebih terbuka merupakan faktor lokal yang sangat berpengaruh terhadap pola arus tersebut. Gelombang sangat berperan terhadap keterlarutan gas dalam perairan serta perpindahan material tersuspensi dalam massa air. Disamping itu pada perairan dangkal gelombang berdampak terhadap turbulensi dan memberikan tekanan pada massa air terhadap substrat dasar perairan. Besarnya pengaruh gelombang sangat ditentukan oleh frekuensi dan ketinggiannya.
Tinggi gelombang di perairan
Kepulauan Seribu berkisar anatar 0,05 – 1,03 meter dengan frekuensi 2,13 – 5,52 detik. Pada saat Musim Barat tinggi gelombang dapat mencapai 0,5 – 1,5 meter dan pada Musim Timur lebih rendah yaitu 0,5 – 1,0 meter.
36
Pasang surut merupakan gerakan massa air secara teratur yang disebabkan oleh adanya gaya tarik bulan dan matahari. Tipe pasut di Kepulauan Seribu adalah harian tunggal dengan kedudukan air terendah dan tertinggi adalah 0,6 dan 0,5 meter di bawah duduk tengah. Tunggang air saat perbani mencapai 0,9 meter sedangkan saat pasang mati mencapai 0,2 meter dengan tunggang tahunan 1,1 meter. Gaya pasang surut air laut menyebabkan terjadi pergerakan massa air yang sangat berperan terhadap distribusi dan transportasi padatan tersuspensi. Disamping itu berdampak terhadap turbulensi dan pengadukan dasar perairan pada daerah dangkal terumbu karang.
4.3 Kondisi Fisika-Kimia Perairan Kondisi
fisika-kimia
perairan
pada
kedua
stasiun
penelitian
memperlihatkan pola hidrodimika secara temporal selama periode penelitian. Adanya interaksi dan pengaruh lingkungan pada periode yang berbeda akan memberikan variasi terhadap kondisi fisika-kimia pada setiap periode pengmatan. Tabel 2. Kualitas air (kondisi fisika-kimia) perairan di kedua stasiun penelitian ST1-pari No
Kualitas Air
1
Suhu
2
pH
3
Kecerahan Arus (meter/dt)
4 5
T0
T1
T2
T3
T4
ST2-tikus T5
T6
Rerata
T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
Rerata
29
28
31
29,5
28
28
31
29,21
30
29
30
29,8
29
29,5
31
29,68
8
8
8
7
8
7
7
7,57
8
8
8
7
7
7
7
7,43
14
12
7
7
10
13
5
9,71
9
17
11
8
10
12
8
10,71
0,16
0,03
0,01
0,1
0,3
0,15
0,2
0,12
0,2
0,025
0,1
0,06
0,15
0,12
0,1
0,10
34
35
31
30
31
34
30
32,14
35
35
33
31
29
33
32
32,57
0,04
0,03
0,06
0,02
0,1
0,03
0,1
0,05
0,1
0,01
0,1
0,04
0,04
0,07
0,03
0,046
7
Salinitas Phospat (mg/L)
6
Nitrat (mg/L)
0,6
0,6
0,6
0,7
0,4
0,3
0,7
0,56
0,6
0,5
0,6
0,6
0,5
1,1
0,6
0,64
8
Silikat (mg/L)
0,5
0,5
0,7
0,4
2
0,7
0,4
0,74
2
1,1
1,2
2
0,8
2,4
0,7
1,46
9
Sedimentasi
0
3,45
4,04
9,71
5,02
5,62
2,58
5,07
0
2,42
1,87
10,19
4,22
8,14
9,69
6,09
4.3.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan rata-rata perairan
terlihat tidak terlalu berbeda pada
o
kedua stasiun yaitu 29,2 C pada Stasiun ST1-pari dan 29,6oC pada Stasiun ST2tikus.
Varisasi suhu permukaan pada setiap periode pengamatan juga cukup
konstan yaitu berkisar antara 28-31oC.
Hal ini tidak terlalu berbeda dari hasil
pengukuran suhu permukaan pada beberapa lokasi di Kepulauan Seribu selama kurun waktu 1974 sampai 1989 yaitu berkisar antara 28,5oC sampai 30oC (Ilahude
37
dan Liasaputra 1995) dan nilai ini persis sama dengan yang diukur Rudi (2006). Dalam kondisi normal rata-rata suhu permukaan perairan laut tropis berkisar antara 28o C sampai dengan 32o C serta nilainya cenderung konstan pada lintang yang sama (zonal) Perubahan cukup variatif suhu permukaan terlihat pada pada waktu yang bereda. Pada Stasiun ST1-pari suhu rendah 28o C terlihat pada pengamatan waktu T1, T4 dan T5 dan suhu tinggi 31o C pada T2 dan T6 sedangkan stasiun S2-tikus tidak terlihat perbedaan yang signifikan. Secara temporal , kondisi cuaca dan iklim lebih berperan terhadap perubahan hidrodinamika perairan termasuk suhu permukaan terutama pada daerah sub tropis. Sebaran suhu permukaan secara horizontal relatif sama apa lagi terjadi pada lokasi yang berdekatan. Perubahan suhu permukaan kedua stasiun lebih disebabkan oleh kondisi lokal masin-masing stasiun antara lain posisi, pola arus dan pengaruh musim yang berkaitan dengan curah hujan dan kekuatan angin. Hasil pengukuran suhu masih berada dalam kisaran normal dan mendukung perkembangan rekrutmen karang.
Fluktuasi suhu yang melebihi
kisaran normal bagi kehidupan karang dapat berdampak pemutihan (bleaching) dan berlanjut pada kematian. Suharsono (1999) melaporkan bahwa selama terjadi bleaching di Perairan gugus Pulau Pari terjadi kenaikan suhu 2-3 oC dari batas normal.
4.3.2 Derajat Keasaman (pH) Nilai derajat keasaman (pH) menunjukan kosentrasi ion H+ atau OH- yang terlarut dalam air laut.
Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil pengukuran derajat
keasaman rata-rata yaitu menunjukan nilai sedikit lebih tinggi pada Stasiun S1pari yaitu 7,6 dibanding Stasiun S2-tikus yaitu 7,4, namun masih berada dalam kisaran normal pH air laut yaitu antara 7 sampai 8.
Gradien nilai derajat
keasaman (pH) perairan sangat tergantung oleh kelarutan Karbon inorganik (DIC) terutama dari CO2. Pada saat ini kosentrasi CO2 di udara mencapai 380 ppmv dan diperkirakan akan terus meningkat sekitar 1% setiap tahunnya dan penambahan ini akan menurun nilai pH perairan. Di perairan perubahan pH dari kisaran normal dapat memicu terurainya senyawa toksin dalam kolom air atau sedimen
38
yang berasal dari daratan melalui aliran permukaan ke laut (runoff). Bierkeland (1997, dalam Connel dan Miller, 1984) melaporkan salah satu senyawa toksin yang dapat terurai akibat perubahan pH adalah Pestisida Chloropyrifos yang dapat menurunkan kemampuan penempelan dan metamorfosis rekrutmen karang
4.3.3 Kecerahan Perairan Kecerahan perairan terkait dengan jumlah total padatan tersupensi dalam suatu kolom air.
Pada kejadiannya di alam nilai padatan tersuspensi akan
berbanding terbalik dengan kecerahan perairan yaitu semakin tingginya nilainya, kecerahan perairan semakin rendah dan sebaliknya.
Total, distribusi dan
transportasi padatan tersuspensi sangat tergantung pada jarak dengan sumbernya dan kondisi fisik perairan. daratan/pesisir,
Pada perairan dangkal dan dekat dengan
akibat arus dan turbulensi, padatan tersuspensi tidak hanya
berasal dari tempat lain, namun juga dapat terangkat dari dasar perairan sehingga menurunkan nilai kecerahan. Sebaran dan total padatan tersuspensi secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi biota laut. Secara langsung berpengaruh terhadap aktifitas fisik dan mekanik biota laut dan secara tidak langsung akan menghalangi penetrasi cahaya matahari yang berdampak terhadap proses fotosintesis dan kadar oksigen terlarut dalam perairan. Pada kasus lain dampak padatan tersuspensi juga terlihat pada laju endapan (sedimentasi) pada dasar perairan terutama terhadap biota bentik sessil seperti karang dan biota bentik lainnya (Tomascik, 1991). Hasil pengukuran kecerahan perairan pada ST1-pari menunjukan adanya variasi pada setiap bulan pengamatan. Secara umum nilai kecerahan semakin menurun selama bulan pengamatan, walaupun terjadi fluktuatif dengan kisaran tertinggi mencapai 14 meter pada saat T0 dan terendah adalah 5 meter pada saat T6. Kondisi kecerahan yang sama juga terlihat pada Stasiun ST2-tikus yaitu cenderung menurun selama bulan pengamatan walaupun terjadi kenaikan saat akhir pengamatan. Nilai kecerahan paling tinggi mencapai 17 meter pada waktu T1 dan nilai paling rendah yaitu 8 meter pada waktu T3 dan T6.
Hal ini
mengindikasikan bahwa kecerahan perairan pada Stasiun ST1-pari lebih rendah dibanding ST2-tikus, namun menunjukan pola yang sama yaitu cenderung
39
menurun selama pengamatan. Disamping itu kedua stasiun juga menunjukan puncak kecerahan yang sama yaitu pada saat T0-T1 dan T4-T5 dan menurun saat T2-T3 dan T5-T6. Hasil pengukuran kecerahan ini relatif tidak berbeda dengan pengukuran Rudi (2006) pada lokasi yang sama yaitu 8,3 – 9,2 meter namun cenderung tidak berfluktuatif. Nilai kecerahan mencapai nilai terendah pada awal Musim Timur
dan Peralihan Musim Timur-Barat karena tingginya sedimen
dalam perairan aibat runoff dari daratan karena tingginya curah hujan.
Gambar 5. Kecerahan (m) perairan pada kedua stasiun penelitian selaman bulan pengamatan
4.3.4 Arus Permukaan Pada stasiun ST1-pari, variasi kecepatan arus permukaan pada setiap bulan pengamatan tidak begitu berbeda dengan rerata 0,13 m/dt.
Kecepatan arus
permukaan tertinggi mencapai 0,3 m/dt pada bulan pengamatan T4 dan terendah 0,01 m/dt pada bulan pengamatan T2.
Kecepatan arus permukaan pada stasiun
ini memperlihatkan kecenderungan menurun pada awal pengamatan sampai T2 kemudian meningkat dan cenderung stabil sampai T6.
Fluktuasi yang terjadi
pada Stasiun ST2-tikus juga tidak terlalu bervariasi dengan rerata cenderung sama dengan Stasiun T1-pari yaitu 0,1 m/dt. Perbedaan kecepatan arus permukaan tidak menunjukan perbedaan kisaran yang terlalu tinggi yaitu terendah 0,025 mt/dt pada T1 dan tertinggi 0,2 m/dt pada T4. Kecepatan arus permukaan pada
40
stasiun ini cenderung berfluktuatif sampai T4 dan kemudian lebih stabil pada pengamatan berikutnya (sampai T6) dalam jarak yang tidak terlalu berbeda.
Gambar 6. Kecepatan arus permukaan pada kedua stasiun selama bulan pengamatan Kecepatan arus permukaan pada kedua stasiun relatif sama dan sedikit berlawanan pada pada pengamatan T2 dan T3. Pada Stasiun ST1-pari kecepatan arus pada T2 turun dibanding bulan sebelumnya dan naik setelah bulan berikutnya, sebaliknya pada ST2-tikus cenderung naik dibanding bulan sebelumnya dan turun pada bulan berikutnya.
Namun secara keseluruhan
kecepatan arus setiap periode pada Stasiun ST1-pari cenderung lebih tinggi dibanding ST2-tikus. Tingginya kecepatan arus pada ST1-pari terkait dengan musim yaitu lebih terpengaruh oleh musim timur yang bergerak dari arah tenggara menuju barat. Kecepatan dan araha arus penting bagi populasi karang terutama pemencaran larva dan keberhasilan penempelan pada substrat (Veron, 1995 ; Richmond, 1997)
4.3.5 Kadar Garam (Salinitas) Hasil pengukuran kadar garam (salinitas) pada Stasiun ST1-pari berada dalam kisaran normal air laut yaitu dengan rerata 32,14 o/oo.
Dilihat dari setiap
periode pengamatan, salinitas cenderung bervariasi dan fluktuatif dengan nilai
41
terendah 30 o/oo pada T3 dan T6 dan tertinggi 35 o/oo pada T1. Hasil pengukuran pada Stasiun ST2-tikus rerata salinitas juga berada dalam kisaran normal air laut yaitu 32,57 o/oo, sedikit lebih tinggi dibanding Stasiun ST2-pari.
Salinitas
cenderung stabil dan hanya sedikit berfluktuatif pada saat T3 dan T4 dengan kisaran antara 29 o/oo pada T4 sampai 35 o/oo pada T0 dan T1. Kecenderungan salinitas pada kedua stasiun sedikit berbeda, dimana Stasiun ST1-pari lebih berfluktuatif dan cenderung bervariasi dibanding ST2tikus. Kisaran salinitas terlihat juga cenderung sama dengan salinitas maksimal sampai 35 o/oo , namun salinitas minimal sedikit lebih rendah pada ST2-tikus yaitu mencapai 29 o/oo. Namun secara keseluruhan pola salinitas pada kedua stasiun ada variasi namun cenderung sama.
Perubahan signifikan salinitas
berpengaruh terhadap kematangan gonad dan keberhasilan penempelan larva karang pada substrat (Bierkeland, 1997)
4.3.6 Kosentrasi Nutrien Kadar Fosfat Pengukuran kosentrasi Fosfat pada Stasiun ST1-pari terlihat terlihat cukup fluktuatif dengan rerata 0,047 mg/L. Kosentrasi Fosfat tertinggi yaitu 0,1 mg/L didapat dari hasil pengukuran pada T4 dan T6 sedangkan hasil terendah yaitu 0,02 mg/L pada T3.
Secara keseluruhan hasil pengukuran pada setiap periode
pengamatan sangat fluktuatif dan bervariasi dan cenderung berada di bawah 0,047 mg/L. Pada Stasiun ST2-tikus reratanya adalah 0,046 hampir sama dengan ST1pari.
Kosentrasi Fosfat juga terlihat fluktuatif dimana kosentrasi tertinggi
mencapai 0,1 mg/L pada T0, T2 dan T5 sedangkan nilai terendah adalah 0,01 mg/L pada T1. Berbeda dengan Stasiun ST1-pari, kosentrasi Fosfat pada ST2tikus cenderung berada sama atau di atas 0,04 mg/L Kandungan nutrien Fosfat pada kedua stasiun terlihat sama-sama berfluktuatif
dengan
kecenderungan
semakin
meningkat
selama
bulan
pengamatan. Peningkatan ini terlihat pada Stasiun S2-tikus lebih tinggi dibanding Stasiun S1-pari. Sebaliknya peningkatan maksimal kosentrasi Fosfat diperoleh pada Stasiun S1-pari yaitu mencapai 0,1 mg/L sedangkan penurunan minimal didapat pada Stasiun S2-tikus yaitu 0,01 mg/L.
42
Gambar 7. Variasi kosentrasi Posfat pada kedua stasiun selama pengamatan Kadar Fosfat perairan normal berkisar antara 0,01 – 1,68 mg/L (Sutamihardja, 1987) pada perairan tersubur mendekati 0,60 mg/L (Ilahude dan Liasaputra, 1980) nilai ambang oleh MenLH (2004) yaitu 4,9 mg/L untuk biota dan wisata bahari.
Penelitian kandungan Fosfat untuk pertumbuhan optimal
karang belum banyak dilakukan. Rudi (2006) mengukur kandungan Fosfat di perairan depan tubir terumbu Utara Gugus Pulau Pari berkisar antara 0,001 – 0,033 mg/L. Hasil pengukuran Cuet et al (2010) di perairan rataan terumbu La Reunion Island, Lautan Hindia mendapatkan kosentrasi Fosfat lebih tinggi pada perairan dengan kecepatan arus lebih tinggi dibanding dengan kecepatan arus lemah.
Kadar Nitrat Hasil pengukuran kosentrasi nitrat pada Stasiun ST1-pari menunjukan kecenderungan yang relatif stabil pada awal pengamatan (T0-T3) dan kemudian berfluktuatif pada akhir pengamatan (T3-T5) dengan rerata 0,56 mg/L. Selama pengamatan (T0-T6) kosenterasi nitrat cukup tinggi dari kisaran normal air laut, dimana kosenterasi terendah mencapai 0,3 mg/L pada T5 dan tertinggi yaitu 0,7 mg/L pada T3 dan T6. Agak berbeda dengan Stasiun ST1-pari, kosentrasi nitrat pada Stasiun ST2-tikus lebih bervariasi dan cukup berfluktuatif selama bulan
43
pengamatan dengan rerata lebih tinggi yaitu 0,64 mg/L. Kosentrasi nitrat berada di atas kondisi normal air laut dengan kosentrasi minimal 0,5 mg/L pada saat T1 dan T4 sedangkan kosentrasi maksimal mencapai 1,1 mg/L pada T5. Pola dan kecenderungan kosentrasi nitrat pada kedua stasiun tidak sama dan terlihat berlawanan pada waktu tertentu. Kosentrasi nitrat pada Stasiun ST1pari berfluktuatifi dalam kisaran normal air alut, sedangkan pada ST2-tikus berada diatasnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Brotowijowo et al, 1995, bahwa
kosentrasi nitrat pada perairan normal berkisar antara 0,01 – 0,50 mg/L. Pada saat pengamatan T4-T6 terlihat kecenderungan kosentrasi yang sangat berbeda yaitu padaStasiun ST1-pari cenderung turun kemudian meningkat, sebaliknya pada ST2-tikus cenderung naik kemudian turun.
Kadar Silikat Kosentrasi silikat pada ST1-pari cukup stabil pada awal pengamatan (T0T3) kemudian berfluktuatif pada akhir pengamatan (T3-T6) dengan rerata 0,74 mg/L. Kosentrasi maksimal silikat dicapai pada saat T4 yaitu 2,0 mg/L dan kosentrasi minimalnya saat T3 dan T7 yaitu 0,7 mg/L. Pada Stasiun ST2-tikus kosentrasi silikat lebih bervariasi dan sangat berfluktuatif selama pengamatan dengan rerata lebih tinggi dibanding ST1-pari yaitu 2,4 mg/L. Sebaran kosentrasi silikat pada stasiun ini berada dalam kisaran lebih tinggi dimana nilai terendah adalah 0,7 mg/L pada saat T6 dan nilai tertinggi yaitu 2,4 mg/L pada saat T5. Kosentrasi silakat pada kedua stasiun terlihat berbeda yaitu ST1-pari cenderung stabil dan sebaliknya ST2-tikus lebih berfluktuatif. Kosentrasi silikat pada ST2tikus berada pada kisaran yang lebih tinggi dibanding ST1-pari dengan nilai maksimal mencapai 2,4 mg/L dan minimal 0,7 mg/L.
4.3.7 Sedimentasi Hasil pengukuran laju endapan sedimen pada Stasiun ST1-pari terlihat cukup bervariasi dan cenderung meningkat, dimana nilai rerata terendah adalah 0,08 gr/cm2/bulan pada saat T1 dan tertinggi yaitu
0,22 gr/cm2/bulan pada T3.
Terjadi peningkatan endapan sedimen sampai T3 kemudian menurun sampai T4 dan meningkat lagi sampai T6. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada
44
Stasiun ST2-tikus yaitu rerata volume sedimen relatif bervariasi dan selalu meningkat selama pengamatan yaitu terendah 0,05 gr/cm2/bulan pada T1 dan tertinggi mencapai 0,23 gr/cm2/bulan pada T3. Hasil keseluruhan pada kedua stasiun terlihat relatif cukup tinggi dan terus meningkat walaupun terjadi fluktuatif selama pengamatan. Hal yang kontradiktif terlihat pada saat T2 yaitu Stasiun ST1-pari meningkat sebaliknya ST2-tikus menurun dan keduanya mencapai puncak tertinggi pada saat T3.
Endapan
sedimen pada penelitian ini relatif lebih tinggi dibanding hasil pengukuran sebelumnya pada lokasi yang sama. Rudi (2006) mendapatkan hasil pengukuran sedimen pada bagian utara gugus Pulau Pari berkisar antara 0,02 – 0,1 gr/cm2/bulan. Fluktuasi sedimen yang cenderung meningkat lebih disebabkan adanya pengaruh musim dan anomali cuaca global selama 2010 yaitu La-Nina di Samudera Hindia . Secara lokal dampak yang ditimbulkan adalah kekuatan angin dan arus serta peningkatan curah hujan terhadap distribusi sedimen di perairan Kepuauan Seribu khususnya Gugus Pulau Pari.
Gambar 8. Variasi laju sedimentasi pada kedua stasiun selama pengamatan
4.4 Rekrutmen Karang Gugus Pulau Pari Dukungan kondisi perairan dan bentuk fisik terumbu Gugus Pulau Pari sangat memungkinkan rekrutmen karang dapat terjadi dengan optimal. Gerakan massa air (arus) yang melewati Gugus Pulau Pari membantu pemencaran larva karang dari berbagai lokasi.
Disamping itu berdasarkan tutupan karang
45
hidupnya, Gugus Pulau Pari termasuk kategori sedang dengan ketersedian sumber larva
dan
substrat
perkembangannya.
alami
cukup
tinggi
bagi
penempelan
larva
dan
Penempelan larva dan perkembangannya adalah tahapan
rekrutmen karang setelah terjadinya spawning dan pemencaran (Lamare dan Barker 2001). Pada penelitian Rudi (2006) di Utara Gugus Pulau Pari dengan menggunakan substrat buatan diperoleh kepadatan penempelan larva karang berkisar antara 12 – 22 koloni/m2. Struktur populasi rekrutmen karang setelah penempelan penting dalam memprediksi pembentukan komunitas terumbu karang dan menjadi salah satu indikator pemulihan terumbu setelah mengalami kerusakan.
Kelusan hidup
rekrutmen karang sangat menentukan kesuksesan kedua proses di atas. Perkembangan rekrutmen karang setelah penempelan sangat ditentukan oleh kondisi bentik terumbu disekitarnya.
Dua peran utama bentik terumbu adalah
sebagai sumber larva dan penyedia substrat untuk perkembangan rekrutmen dan menjadi pembatas pertumbuhan oleh adanya kompetitior terutama dari karang dewasa dan biota bentik terumbu lainnya (Moorsel, 1989). Tabel 3. Struktur populasi rekrutmen karang pada kedua stasiun penelitian di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta No
ST1-pari
Taxa
ST2-tikus
Jumlah
Kepadatan
H'
Jumlah
Kepadatan
H'
1
Acroporidae Acropora
2
0,67
0,20
0
0
0
2 3
Poritidae Porites Goniopora
11 2
3,67 0,67
0,36 0,20
1 0
0,33 0
0,12 0
4 5 6 7 8
Faviidae Montastrea Cyphastrea Caulastrea Favites Platygyra
2 2 3 0 0
0,67 0,67 1 0 0
0,20 0,20 0,25 0 0
0 0 0 2 4
0 0 0 0,67 1,33
0 0 0 0,19 0,29
9
Fungidae Fungia
2
0,67
0,20
4
1,33
0,29
Agariciidae Pavona Pachyseris
1 0
0,33 0
0,13 0
0 2
0 0,67
0 0,20
Pectiniidae Oxypora
1
0,33
0,13
0
0
I II
III
IV V 10 VI 11
46
VII 12
Merulinidae Hydnopora
0
0
0
3
1
0,25
VIII 13
Mussidae Lobophyllia
0
0
0
1
0,33
0,13
IX
Pocilloporidae Pocillopora
0
0
0
1
0,33
0,13
26 0,84
8,67
1,85
18 0,77
6
1,59
14
Total Indeks Keseragaman
Struktur populasi diantaranya dapat dilihat dari total jumlah taksa dan jumlah koloni pada masing-masing stasiun penelitian.
Total genus di lokasi
penelitian mencapai 15 genus dari 10 famili dengan jumlah genus pada kedua stasiun tidak terlalu berbeda yaitu 9 genus pada Stasiun ST1-pari, dan 8 genus pada Stasiun ST2-tikus. Jumlah genus dari Famili Faviidae yaitu 5 genus ditemukan lebih banyak dibanding jumlah genus dari famili lainnya.
Rekrutmen karang dari Genus
Porites dan Fungia ditemukan pada kedua stasiun, hal ini menunjukan tingginya frekuensi kehadiran kedua genus tersebut pada lokasi penelitian.
Rekrutmen
karang dengan bentuk koloni massive lebih banyak ditemukan dibanding bentuk koloni lainnya.
Total koloni rekrutmen karang yang ditemukan di lokasi
penelitian cukup tinggi. Total koloni keseluruhan pada kedua stasiun adalah 44 koloni dengan kepadatan 7,3 koloni/m2. Jumlah koloni pada Stasiun ST1-pari lebih tinggi yaitu 26 koloni dengan kepadatan yaitu 8,7 koloni/m2, dibanding Stasiun ST2-tikus yaitu 18 koloni dengan kepadatan 6 koloni/m2. Variasi jumlah koloni pada kedua stasiun untuk setiap genus berkisar antara 1- 11 koloni dan jumlah tertinggi dari genus Porites. Kekayaan genus pada Stasiun ST1-pari terlihat sedikit lebih tinggi dibanding Stasiun ST2-tikus, namun indeks keanekaragaman cenderung sama yaitu masing-masingnya 1,85 dan 1,60. Hal ini dapat dipahami bahwa pada kedua stasiun tidak menunjukan adanya genus yang mendominasi terhadap genus lainnya. Sebaran koloni antar genus yang berbeda ditunjukan oleh nilai indeks keseragaman yaitu Stasiun ST1-pari 0,84 lebih tinggi dibanding ST2-tikus yaitu 0,77. Hal ini menunjukan bahwa keanekaragaman genus rekrutmen karang pada lokasi penelitian cukup tinggi dan cenderung stabil.
47
Gambar 9. Kondisi bentik terumbu perairan pada kedua stasiun penelitian Hasil pengukuran bentik terumbu menunjukan bahwa tutupan patahan karang mati sangat mendominasi pada kedua stasiun yaitu 52% pada ST1-pari dan 64% pada ST2-tikus. Tutupan kelompok karang hidup dan algae cukup rendah masing-masingnya 20% pada ST1-pari dan 23 pada ST2-tikus. Kenyataan ini menunjukan bahwa kondisi bentik terumbu lebih mendukung perkembangan rekruitmen karang setelah penempelan namun terbatas sebagai sumber larva.
4.5 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang Pengukuran kelulusan hidup menunjukan kemampuan rekruitmen karang untuk bertahan hidup setelah penempelan.
Banyak variabel untuk mengukur
kelulusan hidup karang salah satunya adalah dengan laju kelulusan hidup (survival rate) setelah tejadinya penempelan.
Rekruitmen karang setelah
penempelan terlihat sebagai karang muda dengan ukuran koloni relative kecil dengan ukuran maksimal tertentu dan dibagi dalam beberapa kelas ukuran. Laju kelulusan hidup rekrutmen karang pada kedua stasiun selama pengamatan menunjukan kecenderungan menurun.
Penurunan ini terlihat
signifikan mulai bulan Maret puncaknya pada bulan Juni sampai November yaitu 76,6 % pada ST2-tikus dan 46,6% pada ST1-pari (r
hit
ST1-pari = 0,976 dan r
hit
ST2-tikus = 0,946 pada tingkat kesalahan 5%). Kondisi ini menunjukan bahwa rekrutmen karang sangat terpengaruh oleh musim yaitu mulai menurun pada awal
48
Musim Timur kemudian meningkat saat Musim Timur yaitu Mei – Agustus. Hal ini disebabkan oleh perubahan musim yang berdampak terhadap kondisi fisik perairan seperti kecepatan arus.
Pada saat Musim Timur arus di Kepulauan
Seribu bergerak dari arah Tenggara menuju Barat di sepanjang Pesisir Utara Jawa dengan kecepatan lemah dan relatif keruh sehingga berdampak terhadap kelulusan hidup rekrutmen karang.
Gambar 10. Laju Kelulusan Hidup Rekrut Karang pada kedu stasiun penelitian Hasil pengukuran laju kelulusan hidup rekrutmen karang pada Stasiun ST1-pari lebih rendah dibanding Stasiun ST2-tikus.
Kondisi fisik lokal kedua
stasiun sangat memungkin terjadinya perbedaan tingkat kelulusan hidup rekrutmen karang yaitu arus dan posisi terumbu. Arus di Stasiun ST2-tikus relatif lebih dinamis oleh adanya perairan lebih dalam di antara selat kecil antara Pulau Tikus dan Pulau Payung. Disamping itu pada saat Musim Barat gerakan massa air dari laut lepas dan gelombang yang relatif lebih besar pada Stasiun ST2-tikus sangat memungkinkan terjadinya pertukaran massa air dan pencucian sedimen secara terus-menerus di stasiun ini.
Pengukuran terhadap laju kemampuan bertahan hidup recruitment karang dibedakan dalam tiga kelas ukuran koloni yaitu small (< 3 cm), medium (3-6 cm) dan large (> 6 cm) serta dua bentuk koloni yang berbeda yaitu massive dan
49
branching.
Hasil pengukuran pada Stasiun ST1-pari menunjukan bahwa
kemampuan bertahan hidup recruitment karang dengan bentuk massive lebih tinggi dibanding bentuk branching untuk semua kelas ukuran kecuali ukuran large yaitu sama-sama 40%. Koloni dengan ukuran small pada bentuk koloni massive memiliki kemampuan bertahan hidup lebih tinggi dibanding ukuran lainnya yaitu mencapai 80%, sedangkan paling rendah adalah ukuran large yaitu 40%.
Berbeda dengan bentuk branching kemampuan bertahan hidup paling
tinggi adalah 40% yaitu masing-masing pada ukuran small dan paling rendah adalah 20% pada ukuran medium.
ST1-pari
ST2-tikus
Gambar 11. Persentasi kelulusan hidup rekrutmen karang berdasarkan kelas ukuran dan bentuk koloni pada kedua stasiun penelitian Pada Stasiun ST2-tikus kemampuan bertahan hidup rekruitmen karang dengan bentuk koloni mssive lebih tinggi dibanding bentuk koloni bercabang kecuali pada ukuran small.
Pada bentuk koloni massive rekruitmen karang
dengan ukuran large memiliki kemampuan bertahan hidup lebih tinggi yaitu mencapai 100% sedang ukuran small dan middle sama-sama 80%. Sebaliknya pada bentuk koloni bercabang kemampuan betahan hidup paling tinggi mencapai 50% masing-masing pada ukuran small dan large sedangkan ukuran middle paling rendah yaitu 60%. Secara umum kemampuan bertahan hidup rekrutiemn karang pada kedua stasiun brdasarkan bentuk koloni hampir menunjukan pola yang sama yaitu bentuk koloni massive lebih tinggi dibanding branching. Bentuk koloni massive
50
pada Stasiun1-pari memiliki kemampauan bertahan hidup lebih tinggi yaitu > 50% dibanding ST2-tikus yaitu < 50%.
Berbeda dengan
bentuk koloni
branching, pada Stasiun ST1-pari memiliki kemampuan bertahan hidup lebih rendah yaitu <50% dengan kisaran 20-40% sedangkan Stasiun ST2-tikus >50% dengan kisaran 60-80%. Kemampuan bertahan hidup pada kedua stasiun berdasarkan kelas ukuran menunjukan kondisi yang berbeda untuk koloni massive dan relative sama pada koloni branching. Pada koloni massive di Stasiun ST1-pari, kelas ukuran small memiliki kemampuan hidup paling tinggi diikuti ukuran middle dan paling rendah large, berbeda dengan Stasiun ST2-tikus kemampuan bertahan hidup paling tinggi adalah ukuran large berikutnya middle dan terendah small. Pada koloni branching kemampuan bertahan hidup menunjukan pola yang sama yaitu paling rendah ada pada ukuran middle.
4.6 Laju Pertumbuhan Rekrutmen Karang Pertumbuhan koloni membantu dalam penilaian perkembangan rekrutmen karang yang bertahan hidup setelah penempelan. Salah satu bentuk penilaiannya adalah dengan mengukur laju pertumbuhan koloni yang dapat dibandingkan berdasarkan kelas ukuran dan bentuk koloni dan stasiun yang berbeda.
Gambar 12. Laju pertumbuhan rekrutmen karang pada kedua stasiun penelitian selama bulan pengamatan
51
Hasil pengukuran laju pertumbuhan rekrutmenkarang pada kedua stasiun bervariasi menurut waktu yaitu cenderung meningkat pada awal Musim Timur (Mei-Juli) dan menurun pada akhir Musim Timur (Juli-Agustus). Perubahan laju pertumbuhan ini terlihat sangat signifikan dan diprediksi akan terus menurun sampai Musim Peralihan dari Musim Timur ke Musim Barat (r dan r
hit
hit
ST1-pari = 0,5
ST2-tikus = 0,74 pada tingkat kesalahan 5%). Perubahan ke Musim
Timur akan berdampak terhadap kondisi fisik perairan terutama arus, sedimentasi dan kandungan nutrien.
Peningkatan laju sedimentasi menghalangi laju
pertumbuhan rekrutmen karang antara lain pembatasan substrat yang ditutupi sedimen serta penutupan bagian koloni oleh sedimen.
Sedimentasi tinggi
biasanya diikuti oleh penignkatan kandungan nutrien terutama Posfat yang berdampak terhadap pertumbuhan biota bentik lainnya seperti algae kompetitor. Hasil pengukuran laju pertumbuhan pada ST1-pari menunjukan adanya perbedaan laju pertumbuhan antar bentuk koloni dan juga antar kelas ukuran. Pada Gambar12 dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan koloni karang bercabang untuk setiap ukuran lebih tinggi dibanding karang massive kecuali ukuran medium. Laju petumbuhan tertinggi pada koloni massive yaitu 0,44 mm/bulan terjadi pada kelas ukuran small, sedangkan pada koloni branching mencapai 0,92 mm/bulan pada ukuran large.
ST1-pari
ST2-tikus
Gambar 13. Laju pertumbuhan rekrutmen karang berdasarkan kelas ukuran dan bentuk koloni pada kedua stasiun penelitian
52
Laju pertumbuhan paling rendah adalah 0,136 mm/bulan pada koloni branching, sedikit lebih tinggi pada koloni massive yaitu 0,328 mm/bulan. Pola pertumbuhan pada koloni massive menunjukan kecenderungan lebih tinggi pada ukuran small dan berturut-turut menurun pada ukuran medium dan large. Berbeda dengan koloni massive, pada koloni branching pola pertumbuhan menunjukan kecenderungan lebih tinggi pada ukuran large diikuti small dan ukuran midle paling rendah. Hal ini dapat dipahami sebagai respon dari dimensi dan orientasi pertumbuhan koloni dimana pada koloni massive cenderung radial ke segala arah sedangkan pada branching ada tambahan pertumbuhan ke atas dan pembentukan percabangan.
Anomali pertumbuhan yang melambat pada koloni branching saat
ukuran midle disebabkan oleh mulainya pertumbuhan ke atas dan pembentukan cabang, sementara itu pertumbuhan radial mulai berkurang dan terhenti. Pada ukuran large pertumbuhan kesegala melalui percabangan terjadi sehingga meningkatkan laju pertumbuhan pada saat ukuran ini. Laju pertumbuhan rekruitment karang pada Stasiun ST2-tikus berbeda menurut bentuk koloni dan kelas ukuran. Rekruitment karang dengan bentuk koloni bercabang memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi dibanding koloni branching dan terjadi pada semua kelas ukuran.
Pada koloni massive laju
pertumbuhan tertinggi dicapai saat ukuran small yaitu 0,31 mm/bulan dan untuk koloni branching terjadi saat ukuran large yaitu 2,04 mm/bulan.
Sebaliknya
pertumbuhan terendah pada koloni massive dicapai saat ukuran large yaitu 0,24 mm/bulan sedangkan pada koloni branching terjadi pada ukuran small yaitu 0,9 mm/bulan. Hal ini menujukan pola laju pertumbuhan yang berbanding terbalik antara koloni massive dan branching dilihat dari kelas ukuran yang berbeda. Pola seperti ini mengindikasikan adanya dimensi dan orientasi pertumbuhan yang berbeda antara massive dan branching. Pertumbuhan yang terus berkembang secara radial pada massive dan pertumbuhan ke atas dan pembentukan cabang pada branching seiring pertambahan waktu dan ukuran koloni. Pengukuran laju pertumbuhan rekrutiment karang pada Stasiun ST2-tikus menunjukan pola yang sama dengan ST1-pari yaitu berbeda menurut bentuk koloni dan kelas ukuran. Hal lain yang menunjukan kecenderungan yang sama adalah tingkat pertumbuhan yaitu lebih tinggi pada koloni bercabang dibanding
53
koloni massive.
Pola pertumbuhan yang berbeda terlihat pada nilai laju
pertumbuhan yaitu relatif lebih tinggi pada Stasiun ST2-tikus untuk koloni bercabang yaitu sampai 0,24 mm/bulan sedangkan pada ST1-pari 0,92 mm/bulan. Sebaliknya untuk koloni massive laju pertumbuhan tertinggi pada Stasiun ST1pari yaitu 0,44 mm/bulan dibanding Stasiun ST2-pari yaitu 0,31 mm/bulan. Kondisi seperti ini lebih disebabkan oleh kondisi lokal lingkungan perairan masing-masing stasiun pengamatan seperti kualitas air, pola arus dan sedimetasi serta kondisi geografisnya.
4.7 Kompetisi, Predasi, Penyakit dan Biota Assosiasi Bentik terumbu atau semua bentuk fisik yang menutupi permukaan dasar perairan terdiri dari bentik biotis dan abiotis. Masing-masing kelompok bentik tersebut dibedakan lagi atas beberapa kategori yaitu karang hidup, karang mati, algae, biota lain yang berassosiasi dengan terumbu sebagai bentik biotis dan bentik abiotik antara lain patahan karang mati, pasir/lumpur dan batuan. Di alam bentik terumbu berperan penting dalam kejadian recruitment karang yaitu sebagai substrat untuk penempelan larva, biota kompetitor dan sumber larva rekruitmen karang dan biota terumbu lainnya (Richmond, 1997).
Gambar 14. Persentasi tutupan bentik kompetisi dan substrat dasar perairan
54
Hasil pengukuran bentik terumbu pada kedua stasiun memperlihatkan kecenderungan yang sama walaupun ada sedikit variasi persentasi tutupan masing-masing kategori.
Sebaran tutupan bentik terumbu didominasi oleh
karang hidup yaitu 35,1 % pada ST1-pari dan 43,3% pada ST2-tikus, berikutnya adalah bentik abiotis yaitu 37,73% pada ST1-pari dan 26,23% pada ST2-tikus. Kelompok biota lain yang berassosiasi dengan terumbu memiliki persentasi tutupan paling redah yaitu 7,1% pada ST1-pari dan 3,23% pada ST2-tikus, diikuti oleh kelompok algae yaitu 9,13% pada ST1-pari dan 11,56% pada ST2-tikus. Kondisi bentik terumbu lebih menjadi pembatas bagi perkembangan recruitment yaitu sebagai competitor
terutama dari
kelompok karang hidup dan algae.
Kompetisi meliputi pembatasan substrat bagi penempelan larva karang dan penghalangan pertumbuhan bagi recruitment karang setelah penempelan. Kelompok ikan karang umumnya adalah ikan-ikan penetap sejati diterumbu karang.
Nekton terumbu ini menjadikan terumbu sebagai habitat,
tempat mencari makan dan daerah pemijahan.
Salah satu fungsi ekologis
kelompok ikan karang adalah berperan sebagai predator terutama ikan-ikan yang aktif memakan karang terutama dari Famili Chaetodontidae, Siganidae dan Scaridae (Sorokin, 1991 ; Babcock dan Mundy, 1996).
Gambar 15. Kelimpahan ikan karang predator dan herbivor
Hasil pengukuran kelimpahan ikan predator karang pada kedua stasiun menunjukan bahwa Famili Scaridae lebih melimpah dibanding yag lainnya yaitu
55
0,26 individu/m2 pada ST1-pari dan 0,05 indivudu/m2. Famili Siganidae memiliki kelimpahan paling rendah yaitu 0,033 ind/m2 pada ST2-tikus.
Secara
keseluruhan terlihan kelimphan ikan predator pada ST2-tikus cenderung lebih rendah dibanding ST1-pari.
Kelimpahan ikan predator pada ST1-pari berkisar
antara 0,03 ind/m2 sampai 0,26 ind/m2 sedangkan pada ST2-tikus berkisar antara 0,003- 0,054 ind/m2.
Namun pada kedua stasiun kelimpahan ikan predator
termasuk dalam kategori sedikit, sehingga masih mendukung recruitment karang. Ikan karang predator berdampak langsung terhadap pemangssan jaring karang termasuk pada karang juvenil (recruitment).
Brock (1979) hasil pengamatan
dilaboratorium ditemukan adanya aktifitas pemangsaan yang intensif oleh kelompok ikan parrot fish (Scaridae) terhadap rekrut karang.
Penyakit biota
assosiasi terlihat pada beberapa rekrut karang tapi tidak menyebabkan kematian terhadap kematian.
Kehadiran penyakit dan biota pengganggu (bioerotian)
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan pelukaan koloni sampai kerusakan sebagian atau seluruhnya (Bierkeland, 1997)
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian kelulusan hidup rekrutmen karang selam 9 bulan pengamatan di Perairan Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Dominasi kekayaan jenis dari Famili Faviidae mengindikasikan periode pionir pada suksesi populasi karang di lokasi penelitian telah terlewatkan. 2. Laju kelulusan hidup rekrut karang bentuk Massive lebih tinggi dibanding bentuk Branching, sebaliknya laju pertumbuhan rekrut karang bentuk Branching lebih tinggi dibanding 3. Kelas ukuran memberikan indikasi masa kritis rekrut karang yaitu ukuran Medium adalah periode rentan dalam kelulusan hidup rekrut karang. 4. Dalam skala lokal faktor lingkungan yaitu sedimentasi dan kandungan nutrien berdampak terhadap laju kelulusan dan pertumbuhan rekrut karang, sedangkan interaksi biotis belum memperlihatkan pengaruh yang jelas. 5. Terdapat hubungan yang signifikan antara waktu dalam hal ini musim terhadap kelululusan dan laju pertumbuhan rekkrut karang 5.2 Saran Selanjutnya berdasarkan hasil dan kesimpulan di atas dapat dikemukakan saran sebagai berikut: 1. Mempertimbangkan sebaran ukuran dan variasi bentuk koloni alami dalam penerapan teknologi rehabilitasi, restorasi, restoking, transplantasi dan budidaya karang. 2. Sebagai data dasar dalam peniliaian potensi dan laju pemulihan dan resiliensi terumbu karang setelah mengalami kerusakan
DAFTAR PUSTAKA
Abrar M. 2000. Coral colonization (Scleractinian) on artificial substrate at Sikuai Island, Bungus Teluk Kabung Padang, West Sumatera: A conservation palnning for damaged coral reef. In: Soemodihardjo (ed). Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia; Jakarta, 22-23 November 1999. Jakarta: LIPI. Hlm. 173-176 Abrar, M. 2005. Pemulihan populasi karang setelah pemutihan di Perairan Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.. LIPI. Widyariset. (8)1: 60-72 Babcock, R.C. and C. P. Mundy. 1996. Coral recruitment: consequences of settlement choice for early growth and survivorship of two scleractinians. J. Exp. Mar. Biol. Ecol (206): 179-201 Babcock RC. 1988. Age-structure, survivorship and fecundity in populations of massive coral. Proc. 6th Internat. Coral Reef Symp. Townsville. (2): 625633 Bachtiar I. 2002. Promoting recruitment of Scleractinian corals using artificial substrate in the Gili Indah, Lombok Barat, Indonesia. In: Moosa (ed). Proc. Of the Ninth In Coral Reef Symp ; Bali, 23-27 Oktober 2000. Jakarta: Menetri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, LIPI dan ISRS. hlm. 425-430 Birkeland, C. 1997. Life and death of coral reefs. Chapman and Hall. New York : 536 Brock RE. 1979. An experimental study on the effect of grazing by parrotfish and role of refuge in benthic community structure. Mar. Biol. (51): 381-388 Brotowijaya, MD, D. Tribowo., E. Mubyarto. 1995. Pengantar lingkungan perairan dan budidaya air. Liberty. Yogyakarta. Brown BE, Howards LS. 1985. Assessing the effect of stress on reef corals. Advances. in Mar. Biol. (22): 1-63 Burke L, Selig L, Spalding M. 2002. Terumbu karang yang terancam di Asia Tenggara. USA: WRI Chonersky EA and Peters EC. 1987. Sexual reproduction and colony growth in the scleractinian coral Porites astreoides. Biol. Bull (172): 161-177 Colin PL, and Anerson AC. 1995.Tropical Pacific invertenrates : A field guide to the marine invertebrates occuring on tropical pacific coral reef, seagrass beds and mangroves. Coral Reef Press. Californis : 305
57
Cuet P, Pierret C, Cordier E, Atkinson MJ. 2010. Water velocity dependence of phosphate uptake on coral-dominated fringing reef flat, La Reunion Island, indian Ocean. Coral Reef. (38): 4-12 Dunstan PK, Johnson CR. 1998. Spatio-temporal variation in coral recruitment at different scales on Heron Reef, southern Great Barier Reef. Coral Reef (17): 71-81 Done TJ. 1992. Phase shift in coral reef communities and their ecological significance. Hydrobiologia. (247): 212-132 Edmunds PJ. 2008. Biology of early life stage of tropical reef corals In Coral reefs, Marine Ecology and Oceans: John Bruno (rev). In: Birkeland C (eds) Engelhardt, U. 2000. Monitoring protocol for assessing the status and recovery potential of scleractinian coral communities on reefs affected by major ecological disturbances. www.mcss/sc/coral. [14 Maret 2003] Erwin, PM, Song B, Szmant AS. 2008. Settlement behavior of Acropora palmata planulae: Effects of biofilm age and crustose coralline algal cover. Proceedings of the 11th International Coral Reef Symposium, Ft Lauderdale, Florida, 7-11 July 2008. Estradivari, Muhammad S, Nugroho S, Safran Y, Silvanita T. 2007. Terumbu Karang Jakarta : Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004 - 20050. Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI). Jakarta. 87 pp Englis S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey manual for tropical marine resources. Townsville: Asutralian Institute of Marine Science Giayanto, Soekarno R. 1997. Perbandingan komunitas terumbu karang pada dua kedalaman dan empat zona yang berbeda di Pulau Pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (3): 33-51 Glynn PW, Gassman NJ, Eakin CM, Cortes J, Smith DB, Guzman H. 1991. Reef corals reproduction in the Eastern Pacific: Costa Rica, Panama, ang Galapagos Islands (Ecuador) I. Pocilloporidae. Mar. Bioll (109): 255-368 Guzman HM and Holst I. 1993. Effect of chronic oil-sediment pollution on the reproduction of the Caribbean coral Siderastrea siderea. Mar. Pollut. Bull. (26): 276-282 Harriot VJ, Banks SA. 1995. Recruitment of scleractinian corals in the Solitary Island Marine Reserve, a hight latitude-dominated community in eastern Australia. Mar. Ecol. Prog. Ser. (123): 155-161
58
Harriot VJ. 1983. Reproductive ecology of four scleractinian species at Lizard Island, Great Barrier Reef. Coral Reef. (2): 9-18 Harrison PL, Babcock RC, Bull GD, Oliver JK, Wallace CC. Willis BL. 1984. Mass spawning in tropical reef corals. Science. (223): 1186-1189 Harrison RL and Wallace CC. 1990. Reproduction, dispersal and recruitment of scleractinian corals. In: Ecosystem of the World. Z. Dubinsky (Ed). Elsevier, Amsterdam : 133-207 Hatcher BG. 1984. A maritime accident provides eviden for alternate stable in bentic communities on coral reefs. Coral Reef. (3): 199-204 Hasyashibara T, Shimoike K, Kimura T, Hosaka S, Heywards A, Harrison P, Kudo K, Omori M. 1993. Pattern of Coral Spawning at Akajima Island, Okinawa, Japan. Mar. Ecol. Prog. Ser. (101) : 253-262 Highsmith, RC. 1982. Reproduction by fragmentation in corals. Mar. Ecol. Progr. Ser. (7): 207-226 Hubbard DK. 1997. Reef a dynamic system. Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall. New York : 43-67 Hughes TP. 1994. Catasthrope, phase shift, and large scale degradation of a Caribbean coral reefs. Science. (265): 1547-1551 Ilahude, A dan Liasaputra. 1980. Sebaran normal parameter hidrologi di Teluk Jakarta. Buku Teluk Jakarta, Pengkajian Fisika Kimia Biologi dan Geologi (Nontji, A dan A. Djamali ed). LON-LIPI Jakarta 1-48 p Jokiel PL, 1985. Lunar periodicity of planulae release in the reef coral pocillopora damicornis in relation to various enviromental factors. Proc. 5th Inetrnat. Coral Reef Symp. Tahiti. (4): 307-312 Kantor MNLH. 2004. Keputusan Menteri Negara dan Lingkungan Hidup No. Kep-5/2004Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta. Kastoro dan S. Birowo. 1977. Hasil pendahuluan pengamatan arus dari beberapa tempat di Teluk Jakarta dan sekitarnya. In: Hutomo et al (ed) Teluk Jakrat: Sumberdaya, sifat-sifat oseanologis, serta permasalahannya. Lembaga Oseanologi Nasional – LIPI. 151-177 p Kenyon JC. 1995. Latitudinal differences between Palau and Yap in coral reproductive synchrony. Pac. Sci. (49): 156-164
59
Kojis BL and Quinn NJ. 1984. Seasonal and depth variation in fecundity of Acropora palifera at two reef in Papua New Guinea. Coral Reef. (3): 165172 Kojis BL and Quinn NJ. 1985. Puberty in Goniastrea favulus : Age or size limited ?. Proc. 5th Internat. Coral Reef Congr, Tahiti. (4): 289-293 Knowlton, N., J.C. Lang, M.C. Rooney and P. Clifford. 1981. Evidence for delayed mortality in hurricane-damaged Jamaican staghorn corals. Smithson. Contr. Mar. Sci. 31:1-25 Krebs, CJ. 1989. Ecological methodology. New York : Harper Collins. Krupp D.A, Jokiel PL, Chartrand TS. 1993. Asexual reproduction by the solitary scleractinian coral Fungia scutaria an dead parent coralla in Kanneohe Bay, Oahu. Hawaiian Island. Proc. 7th Internat. Coral reef Symp. Guam (1): 527-534 Lamare MD, Barker MF. 2001. Settlement and recruitment of the New Zeland sea urchin evechinus chloroticus. Mar Ecol Prog Ser. 218: 153-166 Loya Y and Rinkevich B. 1979. Abortion effect in corals induced by oil pollution. Mar. Ecol. Progr. Ser. (1): 77-80 Miller, SA and Harley JP. 2001. Zoology : Fifth Edition. The Mcgraw-Hill Companies : 538 McCook, LJ. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shift on coral reef : scientific issue and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral Reef (18) : 357-367 Muller-Parker and C.F, D’Ellia. 1997. Interaction between corals and their symbiotic algae : Di dalam: Charles Birkeland (eds). Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall. New York : 96-99 Munasik, Suharsono, Situmorang J, Kamiso H.N. 2008. Timing of larval release by reef coral Pocillopora damicornis at Panjang Island, Central Java. Marine Research in Indonesia. 33(1): 33-39 Moorsel, VMNWG. 1989. Juvenil ecology and reproductive strategi of reef devlopment: A perspective view. Kuwashima. Jepang Nybaken, W.I. 1988. Biologi suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia. Jakarta Nybaken, W.J. and MD. Bertness. 2005. Marine biology an ecological approach . Pearson Education Inc. San Fransisco. 579 pp
60
Obura, D and G. Grimsditch. 2009. Resilience assessment of coral reefs : Rapid assessment protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress. IUCN. Gland. Switzerland. 70 pp Oliver O, Paul M, Naneng S, Lara H. 2004. A global protocol for assessment and monitor of coral bleaching. WWF Indonesia-Worlf Fish Center. 35 pp Pastorok RA, Bilyard GR (1985) Effects of sewage pollution on coral-reef communities. Mar Ecol Prog Ser 21:175-189 Potss, D.C, J.R, Jacobs, Evolution of Reef Building Corals in Turbid Environments: a Paleo-Ecological Hypothesis, 2002. Di dalam: Moosa et al (eds.) Proc. Of the Ninth In. Coral Reef Symp. ; Bali, 23-27 October 2000. Jakarta Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, LIPI dan ISRS. hlm. 249Richmond, RH and CL, Hunter. 1990. Reproduction and recruitment of corals: comparison among the Caribean, the Tropical Pacific, and Red Sea. Mar.Ecol.Prog.Ser (60) : 185-203 pp Richmond, RH. 1997. Reproduction and recruitment in corals: Critical links in the persistence of reef. Di dalam: Birkeland (ed). Life and death of coral reefs. New York: Chapman & Hall Richmond, RH. 1993. Effect of coastal runoff on coral reproduction In Ginsburg, R.N. (compiler), Proceedings of the Colloquium and Forum on Global spect of Coral Reefs: Health Hazards, History, pages 360-364. Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Sciences. University of Miami, 420 pp. Richmond RH and Jokiel PL. 1984. Lunar periodicity in larva release in the reef coral Pocillopora damicornis at Enewetak and Hawaii. Bull. Mar. Sci (34): 280-287 Ritson-Williams. R, Valerie J.P, Arnold, S.N, Steneck, R.S. 2010. Larva settlement preferences and post settlement survival of the threatened Caribean corals Acropora palmata and A. cervicornis. Coral Reef. (29): 71-81 Rudi E. 2006. Rekrutmen karang (skleraktinia) di ekosistem terumb karang Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Disertasi (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor Sorokin, Y.I. 1993. Coral Reef Ecology. Ecological Studies 102. Springer-Verlag. Berlin. 465 pp Siringoringo, RM. 2009. Potensi pemulihan komunita karang setelah kejadian gempa dan tsunami di Pulau Nias, Sumatera Utara. Thesis (tidak dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 80 pp
61
Stoddart JA. 1993. A sexual production of planulae in the coral Pocillopora damicornis. Mar. Biol (76): 279-284 Fadlallah YH. 1983. Sexual reproduction, development and larva biology in scleractinian corals. A review. Coral Reef (2): 129-150 Suharsono. 1994. Coral and coral reefs of Pari Island complex and their uses. Proc. Fourth LIPI-JSPS Seminar on Marine Science; Jakarta, 15-18 November 1994. Jakarta: 33-41 Suharsono. 1999. Bleaching event followed by mass mortality of corals in 1998 in Indonesian waters. Di dalam : Romimohtarto (ed). Proceeding the Ninth Joint Seminar on Marine and Fisheries Sciences, Bali, 7-9 Desember 1998. Jakarta : JSPS-LIPI. Hlm. 179-187 Suharsono, 2008. Jenis-jenis karang di Indonesia. Program COREMAP LIPI. Jakarta: 372 Sukarno. 2008. Penentuan kecepatan pemulihan (recovery rate) terumbu karang di Indonesia dan masalahnya. CRITC-COREMAP – LIPI. Jakarta Sumich, JL. 1992. An introduction to the biology of marine life. Edisi ke-5. Dubuque : WmC Brown Sutamihardja, RTM. 1987. Kualitas pencemaran lingkungan. Sekolah Pascasarjana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Suyarso. 1995. Atlas Oseanologi Teluk Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta. 160 pp Tomascik T, Sander F. 1987. Effect of euthrophication on reef building corals II. Structur of scleractinian corals communities on freenging reef Barbados, West Indies. Mar. Biol. (94): 53-775 Tomascik, T. 1991. Settlement pattern of Caribean scleractinian corals on artificial substrata along a euthrophication gradient, Barbados, West Indies. Mar. Ecol. Prog. Ser. (77): 261-269) UNESCO, 1997. The missing island of Pulau www.unesco.org./csi/act. [13 November 2002]
Seribu
(Indonesia).
Veron, JEN. 1995. Corals in space and time. Townsville : Australian Institute of Marine Science Veron, JEN. 2000. Corals the World. Australian Institute of Marine Science. Townsville :
62
Wallace, D. 1998. Coral reef and their management. www.cep.unep.org. [13 Maret 2003] Wards S. 1992. Evidence for broadcast spawning as well as brooding in the scleractinian coral Pocillopora damicornis. Mar. Bioll (112): 641-646 Williams D, Wolanski MBE, Andrews JC. 1984. Transport mechanisms and the potential movement of planktonic larvae in the central region of the Great Barrier Reef. Coral Reef. (30): 229-236 Asriningrum W. 2005. Studi identifikasi karakteristik pulau kecil menggunakan data LANDSAT dengan pendekatan geomorfologi dan penutupana lahan (Studi kasus Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakang Sedih). Proseding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Zakaria, IJ. 2004. On the growth of newly settled corals on concrete substrates in coral reefs of Pandan and Setan Islands, West Sumatera, Indonesia. PhD (Dissertation). Kiel University. Germany. 153 pp
59
Lampiran 1. Rekrutmen branching-small selama 6 bulan pengamatan Acropora florida (BS1)
T0‐Maret
T1‐April
T2‐Mei
T3‐Juni
T4‐Juli
T5‐Agustus
60
Lampiran 2. Rekrutmen Branching-Medium selama 6 bulan pengamatan Acropora millepora
T0‐Maret
T1‐April
T2‐Mei
T3‐Juni
T4‐Juli
T5‐Agustus
61
Lampiran 3. Rekrutmen Branching-Large, selama 6 bulan pengamatan Acropora cerealia
T0‐Maret
T1‐April
T2‐Mei
T3‐Juni
T4‐Juli
T5‐Agustus
62
Lampiran 4. Rekrutmen massive-small, selama 6 bulan pengamatan
T0
T1
T2
T3
T4
T5
63
Lampiran 5. Rekrutmen massive-medium, selama 6 bulan pengamatan
T0
T1
T2
T3
T4
T5
64
Lampiran 6. Rekrutmen massive-large, selama 6 bulan pengamatan
T0
T1
T2
T3
T4
T5
65
Lampiran 7. Rekrutment branching-large yang mengalami kematian Acropora (BL2)
T0
T1 Rekrutmen bleaching
T2 Rekrutmen ditumbuhi algae satu bulan setelah bleaching
Koloni BL2 yang telah mati
66
Lampiran 8. Contoh lembaran data hasil pengukuran rekrutmen karang
NO
T0
KODE
TAXA
MS1 MS2 MS3 MS4 MS5
Platygira Montastrea Lobophyllia Favia Favites
3,8 2,9 3 1,3 2,6
2,6 2,5 2,2 1,5 2,2
12,8 10,8 10,4 5,6 9,3
MM1 MM2 MM3 MM4 MM5
Montastrea Favites Favites Favites Lobophyllia
5,6 3,3 4,3 3,3 4,2
5,3 2,8 3,3 2,7 3,4
21,8 12,2 15,2 12 15,2
ML1 ML2 ML3 ML4 ML5
Montastrea Symphyllia Montastrea Favites Favites
12 9 17 11,8 10,8
9,2 7,7 16,8 8,8 8,7
42,4 33,4 67,6 41,2 39
BS1 BS2 BS3 BS4 BS5
Acropora Acropora Acropora Acropora Acropora milliepora
3,5 3,9 2,5 2,8 2,9
1,7 2,8 1,3 1,7 2,3
10,4 13,4 7,6 9 10,4
BM1 BM2 BM3 BM4 BM5
Acropora millepora Acropora millepora Acropora millepora Acropora millepora Acropora millepora
5,7 5,3 5,8 4,7 3,5
5,5 4,7 3,8 4,4 2,1
22,4 20 19,2 18,2 11,2
BL1 BL2 BL3 BL4 BL5
Acropora Acropora Acropora Acropora selago Acropora millepora
6,8 8,5 7,8 7,4 6,2
6,7 6,4 6,2 5,6 5,3
27 29,8 28 26 23
panjang lebar
LUAS (cm2)
59
Lampiran 9. Data hasil pengukuran laju pertumbuhan pada Stasiun ST1-pari pada setiap bulan pengamatan
NO
KODE
TAXA
MS1 MS2 MS3 MS4 MS5
Oulastrea crispata Montastrea Lobophyllia Favia Favites
Masive-small GR-massive small MM1 MM2 MM3 MM4 MM5
Montastrea Favites Favites Favites Lobophyllia
Massive-midle GR-massive small ML1 ML2 ML3 ML4 ML5
Montastrea Symphyllia Montastrea Favites Favites
Massive-large GR-massive small BS1 BS2
Acropora Acropora
T0-Maret
Pertumbuhan rata-rata (mm/bulan) T1-April T2-Mei T3-Juni T4-Juli
T5-Agustus
12,4 10,4 10 9,8 7
13 10,6 10,4 10 7,2
13,8 10,6 10,4 9,8 7,4
14,2 11,4 10,8 10,6 7,4
14,2 12 11,2 12,2 7,6
14,2 12 12,8 13 8,8
9,92
10,24 0,32
10,4 0,24
10,88 0,32
11,44 0,38
12,16 0,448
21 17,2 11,8 15,8 18,2
21,2 17,4 12 15,8 18,4
21,6 18,2 12 17,2 19
21,8 18,8 12,2 18 19
21,8 19 12,2 18,8 20,1
22 19,2 12,2 19,6 20,4
16,8
16,96 0,16
17,6 0,4
17,96 0,386667
18,38 0,395
18,68 0,376
23,4 42,4 43,2 30 32
23,6 46,2 43,4 30 32,2
23,6 46,2 43,6 30 32,2
23,8 46,2 43,6 30 32,4
24,6 46,2 45,2 30 32,6
24,8 46,2 45,4 30 32,8
34,2
35,08 0,88
35,12 0,46
35,2 0,333333
35,72 0,38
35,84 0,328
9,6 11,4
9,8 19,8
10,2 20,8
10,4 21
10,4 21
10,4 21
60 BS3 BS4 BS5
Acropora Acropora Acropora milliepora
Branching-small GR-massive small BM1 BM2 BM3 BM4 BM5
Acropora millepora Acropora millepora Acropora millepora Acropora millepora Acropora millepora
Branching-midle GR-massive small BL1 BL2 BL3 BL4 BL5 Branching-large GR-massive small
Acropora Acropora Acropora Acropora selago Acropora millepora
7,6 7,4 8
8,4 8,6 7,4
9 9,6 8,2
9 11 9,4
10,4 12,4 8
11,2 13,4 8,6
8,8
10,8 2
11,56 1,38
12,16 1,12
12,44 0,91
12,92 0,824
15,2 19,2 20,6 13,4 18,4
15,2 19,2 20,6 14 19
15,2 19,4 20,6 14,4 19
15,2 19,6 20,6 14,6 19
15,2 19,6 20,6 14,6 19
15,2 19,6 20,6 15,4 19
17,36
17,6 0,24
17,72 0,18
17,8 0,146667
17,8 0,11
17,96 0,12
36,6 26,6 32,2 26 41,4
37,6 26,6 33,2 25,2 41,4
37,6 26,6 36,4 26,8 41,4
37,6 26,6 36,8 27,4 41,4
42,8 26,6 42,6 29,6 41,4
44,2 26,6 43,2 30,4 41,4
32,56
32,8 0,24
33,76 0,6
33,96 0,466667
36,6 1,01
37,16 0,92
61
Lampiran 10. Data hasil pengukuran laju pertumbuhan pada Stasiun ST2-tikus pada setiap bulan pengamatan
NO
KODE
TAXA
MS1 MS2 MS3 MS4 MS5
Platygira Montastrea Lobophyllia Favia Favites
Masive-small GR-massive small MM1 MM2 MM3 MM4 MM5
Montastrea Favites Favites Favites Lobophyllia
Massive-midle GR-massive middle ML1 ML2 ML3 ML4 ML5
Montastrea Symphyllia Montastrea Favites Favites
Massive-large GR-massive large BS1 BS2
Acropora Acropora
T0-Maret
Pertumbuhan rata-rata (mm/bulan) T1-April T2-Mei T3-Juni T4-Juli
T5-Agustus
12,8 10,8 10,4 5,6 9,3
12,8 11 10,8 6,8 9,3
13,2 11 11,2 6,8 9,4
14,8 13,2 11,2 6,8 9,4
15 13,2 11,6 6,8 9,6
15 13,4 11,8 7,2 9,6
9,78
10,14 0,36
10,32 0,27
11,08 0,433333
11,24 0,365
11,4 0,324
21,8 12,2 15,2 12 15,2
22,2 12,2 16 12,2 16
22,4 12,4 16,2 12,2 15,4
23,2 12,4 16,8 12,6 15,4
23,4 12,4 17 13,8 15,4
23,6 12,4 17 13,8 15,8
15,28
15,72 0,44
15,72 0,22
16,08 0,266667
16,4 0,28
16,52 0,248
42,4 33,4 67,6 41,2 39
42,4 33,8 67,6 41,4 39,8
42,6 33,8 68 41,6 40,2
42,6 34 68 42,2 40,2
43,2 34,4 68 42,4 40,6
43,2 34,8 68 42,8 40,8
44,72
45 0,28
45,24 0,26
45,4 0,226667
45,72 0,25
45,92 0,24
10,4 13,4
11 13,8
12 14,4
13,4 18,6
14,2 19,2
14,6 19,4
62 BS3 BS4 BS5
Acropora Acropora Acropora milliepora
Branching-small GR-branching small BM1 BM2 BM3 BM4 BM5
Acropora millepora Acropora millepora Acropora millepora Acropora millepora Acropora millepora
Branching-midle GR-branching middle BL1 BL2 BL3 BL4 BL5 Branching-large GR-branching large
Acropora Acropora Acropora Acropora selago Acropora millepora
7,6 9 10,4
8,2 9,4 11,8
9 10 13
9,4 10,4 14,6
11,8 10,4 16,6
12 10,4 17
10,16
10,84 0,68
11,68 0,76
13,28 1,04
14,44 1,07
14,68 0,904
22,4 20 19,2 18,2 11,2
25,4 20,4 20,8 19,6 12,2
27,8 20,8 22 20,6 12,8
30,6 22,6 22 22 15,2
35,8 24,4 22 25,6 15,8
38 25 22 26,2 15,8
18,2
19,68 1,48
20,8 1,3
22,48 1,426667
24,72 1,63
25,4 1,44
27 29,8 28 26 23
27,8 30,8 30,8 28,2 24
30,8 32 31,6 33,6 24,6
35 32,4 34,4 36,2 25,8
37 35,2 34,8 45,4 26,4
40,4 36,6 35,2 46 26,6
26,76
28,32 1,56
30,52 1,88
32,76 2
35,76 2,25
36,96 2,04
63
59
Lampiran 11. Data laju kelulusan hidup rekrutmen karang ST1-pari (A) dan Stasiun ST2-tikus (B) T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
Massive
Small SR Midle SR Large SR
5 100 5 100 5 100
5 100 5 100 4 80
5 100 5 100 3 60
5 100 5 100 3 60
5 100 4 80 3 60
4 80 4 80 3 60
4 80 3 60 2 40
Branching
Small SR Midle SR Large SR
5 100 5 100 5 100
5 100 3 60 3 60
5 100 2 40 3 60
5 100 2 40 3 60
3 60 1 20 3 60
3 60 1 20 3 60
2 40 1 20 2 40
30
25
23
23
19
18
14
T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
Jumlah
(A)
Massive
Small SR Midle SR Large SR
5 100 5 100 5 100
5 100 5 100 5 100
5 100 5 100 5 100
5 100 4 80 5 100
5 100 4 80 5 100
4 80 4 80 5 100
4 80 4 80 5 100
Branching
Small SR Midle SR Large SR
5 100 5 100 5 100
5 100 5 100 5 100
5 100 5 100 5 100
5 100 4 80 5 100
4 80 4 80 5 100
4 80 3 60 4 80
4 80 2 40 4 80
Jumlah (B)
30
30
30
28
27
24
23
59
Lampiran 12. Data pengukuran laju sedimentasi pada kedua stasiun ST1-pari PERIODE
berat basah (gr) trap A
ST2-tikus
trap B
berat kering (gr)
trap C
Rerata
0
0
trap A
trap B
trap C
Rerata
trap A
8,5
T2-Mei
0
13,3
0
5,43
0
9,5
0
4,17
1,2
2,2
5
3,8
T3-Juni
12,2
15,3
16,4
15,63
7,12
9,93
10
10,02
18
14
20,2
T4-Juli
14,5
15,7
11
14,73
4,52
4,83
3,2
5,18
15,1
16,7
T5-Agustus
19,5
14
17,2
17,9
5,2
4,5
4,7
5,8
22,5
T6-November
12,2
17
16,7
16,3
5,7
7,8
7,5
8
20,3
3,57
9,6
0
Rerata
13,2
1,9
0
trap C
T1-April
2,6
0
trap B
0
3,2
0
trap A
0
9,9
0
berat kering
T0-Maret
5
0
berat basah
0
0
0
0
9,6
trap B 0
2,5
trap C 0
Rerata 0
0
0
0
2,5
0,2
0,9
1,7
1,93
18,4
9,62
8,13
10,8
10,52
17,3
17,37
3,32
3,35
3,4
4,36
36,3
40,4
34,06
4,8
8,6
8,8
8,4
19,5
23,9
22,23
9,1
7,8
10,1
10
59
Lampiran 13. Hasil uji regresi linier sederhana untuk melihat hubungan waktu laju kelulusan hidup (A) dan laju pertumbuhan rekrut karang
Laju Pertumbuhan (mm/bulan)
7
y = 0,852x + 1,336 R² = 0,546
6 5 4
y = 0,360x + 1,415 R² = 0,246
3 2 1 0
T0‐Maret
T1‐April
T2‐Mei
T3‐Juni
T4‐Juli
T5‐Agustus
ST1‐pari
0
3,84
3,26
2,77
3,18
3,02
ST2‐tikus
0
4,8
4,69
5,39
5,85
5,2
A 100
y = ‐4,285x + 108,5 R² = 0,895
Laju Kelulusan Hidup (%)
90 80 70 60 50
y = ‐7,857x + 103,8 R² = 0,951
40 30 20 10 0
B
T0‐Maret
T1‐April
T2‐Mei
T3‐Juni
T4‐Juli
T5‐ Agustus
T6‐ Novembe r
ST1‐tikus
100
100
100
93,33333
90
80
76,66666
ST1‐pari
100
60
46,66666
83,33333 76,66666 76,66666 63,33333
59
xvi
xvii