Jurnal KOMUNIKASI PENELITIAN Volume 18 (2) 2006
Miswar Budi Mulya
KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya*) Abstract The research of living coral reef condition based on percent cover and their relations to water quality has been done in Karang Island North Sumatra. The result it was found 7 form of living coral, 4 from Acropora: Acropora branching, A. submassive, A. digitate, A. tabulate and 3 from Non-Acropora: Coral foliose, C. massive and C. .submassive. The persent cover of living coral reef coverage was good, i.e. 77.75%. The highest coverage was in station IV with 63.40 % Acropora; 81.73% Non-Acropora and the lowest was in station I with 53.46% Acropora; 71.63% Non-Acropora. Statistical analysis showed that temperature, depth, light penetration, light intensity, salinity, pH and dissolved oxygen have close relationship to the percent cover of living coral reef on Karang Island. Keywords: living coral reef, Acropora, Non-Acropora, Persent cover
A. PENDAHULUAN Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem pantai yang khas di daerah tropis dan mempunyai produktivitas primer serta keragaman biota yang tinggi. Diperkirakan produktivitas primer di ekosistem terumbu karang mencapai 3000–5000 gC/m2/tahun (Nontji, 1993), sehingga menjadikannya sebagai tempat spawning ground, feeding ground dan nursery ground bagi berbagai biota laut (Supriharyono, 2000b). Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan berkisar 85.700 km2 atau sekitar 14% dari total penutupan dunia. Namun demikian, sekitar 60–70% telah mengalami kerusakan yang sangat serius dan hanya 5% saja yang masih dalam kondisi baik (Birkeland,1997; Tomascik et al., 1997). Terumbu karang Indonesia sebagian besar tersebar di pulau-pulau kecil yang terdapat di Pantai Barat Sumatera Utara, termasuk Pulau Karang yang terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah. Pulau ini memiliki pemandangan bawah laut yang cukup indah serta hamparan terumbu karang yang luas dengan berbagai jenis ikan karang yang berwarna-warni, sehingga menjadikannya sebagai salah satu daerah tujuan wisata bahari yang cukup menarik di Provinsi Sumatera Utara.
Pertumbuhan terumbu karang di suatu perairan selain dipengaruhi olah faktor alam, juga oleh faktor fisik kimia perairan seperti temperatur, penetrasi cahaya, kedalaman, sedimentasi, salinitas, derajat keasaman, oksigen terlarut, konsentrasi unsur hara/nutrien dan sebagainya. Walaupun pada saat ini Pulau Karang sudah menjadi daerah tujuan wisata bahari, namun keberadaan terumbu karang di perairan pantainya pada beberapa tahun terakhir ini dikhawatirkan telah mengalami penurunan kualitas karena adanya berbagai tekanan/aktivitas manusia seperti pengambilan karang oleh masyarakat maupun wisatawan dan peletakan jangkar ke dasar perairan dari kapal motor pengangkut wisatawan maupun kapal motor nelayan yang menangkap ikan di kawasan ini. Sampai saat ini belum diketahui sejauh mana tingkat kerusakan terumbu karang di perairan Pulau Karang Provinsi Sumatera Utara, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi terumbu karang hidup berdasarkan persen tutupan di Pulau Karang dan hubungannya dengan kualitas perairan.
1
Jurnal KOMUNIKASI PENELITIAN Volume 18 (2) 2006
Miswar Budi Mulya
temperatur, penetrasi cahaya, kedalaman, intensitas cahaya, jenis substrat, salinitas, derajat keasaman (pH) dan oksigen terlarut (DO).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mendeterminasi hubungan kondisi terumbu karang hidup berdasarkan persen tutupan di perairan Pulau Karang Provinsi Sumatera Utara dengan kualitas perairan.
Data yang diperoleh dihitung persen tutupan (PC) karang hidupnya menggunakan “Program Lifeform” (KABAPEDAL, 2001 dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2002b).
B. METODE PENELITIAN Stasiun penelitian ditentukan berdasarkan arah mata angin (Lalamentik at al., 1999) sebanyak 4 stasiun, sehingga diharapkan mewakili seluruh daerah kajian. Stasiun I terletak di sebelah Utara Pulau Karang, stasiun II di sebelah Timur, stasiun III di sebelah Selatan dan stasiun IV di sebelah Barat Pulau Karang. Pada setiap stasiun dibuat substasiun-substasiun sebanyak 3 buah dengan jarak masingmasingnya 2 meter. Pengamatan persen tutupan terumbu karang hidup dilakukan langsung di lapangan dengan cara snorkling pada saat surut siang hari, menggunakan metode Lifeform Transect, dengan menarik transek sepanjang 10 meter sejajar garis pantai. Pemasangan transek dimulai pada saat pertama ditemukannya koloni karang hidup, lalu diamati koloni karang hidup yang terdapat tepat di bawah garis transek dan diukur panjang tutupannya dengan menggunakan meteran (Wilkinson dan Baker, 1993) dan buku acuan United Nations Environment Programme (UNEP) in Association with Australian Institute of Marine Science (1993) maupun buku Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2002b).
•
Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan dihitung menggunakan rumus: Panjang total setiap spesies
PC (%) =
x 100 Panjang total transek
•
Untuk seluruh kategori bentuk pertumbuhan dihitung menggunakan rumus: Panjang total seluruh kategori terumbu karang hidup
PC (%) =
x 100 Panjang total transek
Untuk menguji keeratan hubungan faktor fisik kimia perairan dengan kualitas terumbu karang hidup berdasarkan persen tutupan, dilakukan uji korelasi menurut Sokal (1992) sebagai berikut: ∑ x.y r=
√∑ x2 ∑ y2
dengan: r = Analisis korelasi x = Indeks keanekaragaman y = Faktor fisik kimia yang diukur C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran parameter fisik kimia perairan dilakukan secara in situ sebelum pengamatan terumbu karang. Pengukuran parameter ini juga dilakukan pada waktu pasang, baik secara in situ maupun di laborotarium yang mencakup
a) Parameter Fisik Kimia Perairan Hasil pengukuran parameter fisik kimia perairan ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Parameter Fisik Kimia Perairan pada Tiap Stasiun No 1. 2. 3.
2
Stasiun
Parameter
I
Temperatur (° C) Kedalaman (m) Penetrasi cahaya (cm)
30,50 124,00 124,00
II
III 30,21 97,33 97,33
30,18 97,16 97,16
IV 30,08 97,00 97,00
Jurnal KOMUNIKASI PENELITIAN Volume 18 (2) 2006
Miswar Budi Mulya
4. 5. 6. 7. 8.
Intensitas cahaya (lux x 100) Jenis substrat Salinitas (‰) pH Oksigen terlarut (mg/l)
Keterangan:
133,50 119,45 Pasir dan patahan karang 31,21 31,20 7,60 7,75 6,00 6,07
Stasiun I : sebelah Utara Pulau Karang Stasiun II : sebelah Timur Pulau Karang
Temperatur air pada keempat stasiun pengamatan menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda, berkisar 30,08–30,50°C. Kondisi ini menunjukkan bahwa temperatur perairan Pulau Karang masih dalam kisaran normal untuk perairan daerah tropis. Anwar et al. (1987) menyatakan pada perairan daerah tropis temperatur permukaan air laut umumnya berkisar 27–29°C, selanjutnya Nontji (1993) menyatakan temperatur di permukaan perairan nusantara umumnya berkisar 28,00–31,00°C. Kedalaman pada setiap stasiun berkisar 97,16–124,00 m. Kedalaman terendah dijumpai pada stasiun 4 sebesar 97,00 m dan tertinggi pada stasiun 1 sebesar 124,00 m. Tingginya kedalaman pada stasiun 1 dikarenakan adanya pengaruh pembuangan jangkar oleh kapal motor nelayan baik yang membawa wisatawan lokal maupun yang mencari ikan di stasiun ini sehingga membongkar substrat dasar yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kedalaman perairan, sedangkan pada ketiga stasiun lainnya tidak ada dijumpai aktivitas terutama nelayan yang menangkap ikan. Nilai penetrasi cahaya pada keempat stasiun memiliki nilai yang sama dengan kedalaman yaitu berkisar 97,00–124,00 m. Kondisi ini menunjukkan bahwa perairan Pulau Karang masih tergolong cukup jernih dan terbebas dari pengaruh sedimentasi yang berasal dari daratan, yang ditunjukkan dengan penetrasi cahaya masih dapat mencapai dasar perairan. Nontji (1993) dan Nybakken (1992) menyatakan kejernihan air laut ditentukan oleh melimpahnya kandungan nutrien atau bahan organik maupun anorganik yang berasal dari
115,50
113,50
31,20 7,85 6,17
31,19 7,99 6,24
Stasiun III : sebelah Selatan Pulau Karang Stasiun IV : sebelah Barat Pulau Karang
sungai dan partikel-partikel sisa dari daratan. Intensitas cahaya pada permukaan air berkisar 113,50–133,50 lux (x 100). Nilai intensitas cahaya ini cukup tinggi untuk dapat menembus badan air, yang dapat dilihat dari tingkat kecerahannya mencapai dasar perairan. Salinitas pada keempat stasiun menunjukkan nilai yang relatif sama dan tidak ada fluktuasi yang berarti, berkisar 31,19–31,21‰. Hal ini dikarenakan pada perairan Pulau Karang tidak dijumpai aliran sungai yang masuk ke perairan laut sehingga tidak mempengaruhi fluktuasi salinitas pada perairan ini. Nybakken (1992) menyatakan salinitas di perairan pantai dan laut dapat berfluktuasi disebabkan oleh adanya sungai-sungai besar yang mengalirkan air tawar. Nilai pH pada keempat stasiun menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dan relatif stabil, berkisar 7,60– 7,99. Kondisi ini menunjukkan bahwa pH di perairan Pulau Karang masih dalam kisaran normal. Davis (1990) menyatakan bahwa rata-rata pH air laut adalah 7,8 dan pada laut terbuka dapat bervariasi walaupun tidak terlalu besar, berkisar 7,8–8,4, sedangkan Brotowidjoyo, et al. (1995) menyatakan bahwa pH air laut umumnya berkisar 7,6–8,3. Kadar oksigen terlarut pada keempat stasiun tidak jauh berbeda berkisar 6,00–6,24 mg/l. Kondisi ini menggambarkan bahwa kadar oksigen terlarut di setiap stasiun pengamatan masih dapat mendukung kehidupan hewan karang. Sastrawijaya (1991) menyatakan kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebesar 5 mg/l.
3
Jurnal KOMUNIKASI PENELITIAN Volume 18 (2) 2006
Miswar Budi Mulya
b) Tutupan Terumbu Karang Hidup Hasil penelitian secara keseluruhan mendapatkan 7 bentuk pertumbuhan terumbu karang hidup yang terbagi atas 2 kelompok yaitu kelompok Acropora dan non Acropora. Kelompok Acropora terdiri dari Acropora branching, A. submassive, A. digitate dan A. tabulate, sedangkan
kelompok non-Acropora terdiri dari Coral foliose, C. massive dan C. submassive. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa nilai persen tutupan terumbu karang hidup di setiap stasiun pengamatan bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Persen Tutupan Terumbu Karang Hidup (%) pada Tiap Stasiun Bentuk Hidup
Stasiun I
Acropora Branching Submassive Digitate Tabulate Total Rata-rata % Tutupan Non Acropora Foliose Massive Submassive Total Rata-rata % Tutupan Total % Tutupan Total Rata-rata % Tutupan
II
IV
14,40 3,03 9,23 26,80 53,46
18,17 6,80 12,53 22,43 59,93 57,93
18,03 3,77 10,83 22,30 54,93
22,30 3,80 9,23 28,07 63,40
4,17 11,03 2,97 18,17
11,70 2,93 6,60 21,23 19,82 81,16 77,75
11,17 5,20 5,17 21,54
7,07 6,93 4,33 18,33
76,47
81,73
71,63
Hasil pengukuran mendapatkan bentuk pertumbuhan baik dari kelompok Acropora maupun non-Acropora dengan nilai persen tutupan tertinggi dijumpai pada stasiun IV masing-masing sebesar 63,40 % (Acropora), 81,73% (NonAcropora) dan terendah pada stasiun I sebesar 53,46% (Acropora), 71,63% (non-Acropora). Rendahnya persen tutupan pada stasiun I dikarenakan stasiun ini merupakan tempat pemberhentian kapal-kapal motor yang mengangkut wisatawan lokal dengan membuang jangkar ke dasar perairan. Pada stasiun ini juga dijumpai adanya wisatawan lokal yang mengambil karang untuk dijadikan hiasan dan aktivitas nelayan yang menangkap ikan dengan membuang jangkar tanpa memenuhi aturan ekologis sehingga mengakibatkan terbongkarnya substrat dasar perairan yang akan berdampak pada kerusakan/penurunan persen tutupan terumbu karang di stasiun ini. Supriharyono (2000a) menyatakan bahwa pertumbuhan karang dan
4
III
penyebaran terumbu karang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan baik yang berasal dari alam (gempa bumi dan angin topan) maupun aktivitas manusia seperti pengambilan karang untuk hiasan, selanjutnya Monk et al. (2000) menyatakan dampak manusia terhadap terumbu karang dapat dibagi dalam dua kategori yaitu langsung dan tidak langsung. Dampak negatif langsung berupa pencemaran minyak di laut, pembuangan sampah, teknik penangkapan ikan yang merusak, penambangan karang, pengumpulan cendramata dan kegiatan pariwisata yang tidak diawasi, sedangkan dampak tidak langsung seperti penebangan hutan di sekitar kawasan pantai yang merupakan penyebab sedimentasi perairan laut dangkal. Walaupun pada stasiun I masih dijumpai aktivitas manusia, namun bila dilihat
Miswar Budi Mulya
secara keseluruhan, rata-rata persen tutupan terumbu karang hidup di perairan Pulau Karang masih dalam kondisi baik (sebesar 77,75%), dengan kelompok Acropora 57,93% dan non-Acropora 19,82%. Menurut Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2002a), terumbu karang dengan persen tutupan berkisar 50-74,90% termasuk dalam kondisi baik.
Jurnal KOMUNIKASI PENELITIAN Volume 18 (2) 2006
c) Korelasi Persen Tutupan Terumbu Karang Hidup dengan Faktor Fisik Kimia Perairan Hasil pengukuran indeks korelasi persen tutupan terumbu karang hidup dengan faktor fisik kimia perairan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Koefisien Korelasi (r) Persen Tutupan Terumbu Karang Hidup dengan Faktor Fisik Kimia Perairan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor Fisik Kimia Perairan Temperatur (° C) Kedalaman (m) Penetrasi cahaya (cm) Intensitas cahaya (lux x 100) Salinitas (‰) pH Oksigen terlarut (mg/l)
Hasil pengukuran mendapatkan bahwa nilai koefisien korelasi terhadap faktor fisik kimia perairan menunjukkan korelasi positif sebesar 0,99 (untuk kedalaman dan penetrasi cahaya) serta 1,00 (untuk temperatur, salinitas pH dan oksigen terlarut). Secara keseluruhan nilai koefisien korelasi yang didapat sebesar 0,99–1,00. Hal ini menggambarkan bahwa keseluruhan faktor fisik kimia perairan yang diukur memiliki hubungan yang erat dengan persen tutupan, atau dengan kata lain faktor fisik kimia perairan berpengaruh terhadap persen tutupan terumbu karang hidup di lokasi studi. Michael (1994) menyatakan jika nilai koefisien korelasi (r) = 0 tidak terdapat korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan persen tutupan terumbu karang, jika r = 1 terdapat korelasi yang nyata, sedangkan jika r = -1 korelasi dinyatakan negatif sempurna. Temperatur berpengaruh terhadap tingkah laku makan hewan karang. Kebanyakan karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada temperatur di atas 33,5ºC dan di bawah 16ºC (Mayor, 1915 dalam Supriharyono, 2000a). Temperatur yang tinggi dapat menyebabkan bleaching pada karang yang akhirnya
Indeks Korelasi 1,00 0,99 0,99 0,99 1,00 1,00 1,00
dapat menyebabkan kematian. Namun demikian, kematian hewan karang tidak hanya disebabkan temperatur minimum dan maksimum saja, tetapi juga oleh perubahan temperatur secara mendadak dari temperatur normal. Coles & Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) dalam Supriharyono (2000a) menyatakan perubahan temperatur secara mendadak sekitar 4–6ºC di bawah atau di atas temperatur normal dapat mengurangi pertumbuhan dan mematikan karang. Kedalaman, penetrasi cahaya dan intensitas cahaya mempunyai pengaruh sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan hewan karang terutama terhadap laju fotosintesis yang dilakukan zooxanthellae pada hewan karang. Nybakken (1992) menyatakan terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50–70 m. Kebanyakan terumbu karang hidup pada kedalaman di bawah 25 m. Semakin dalam suatu perairan semakin berkurang cahaya yang masuk ke badan perairan tersebut, sehingga akan mempengaruhi laju fotosintesis. Salinitas air laut berpengaruh terhadap kehidupan karang. Reksodiharjo (1996) menyatakan terumbu karang dapat hidup pada perairan dengan salinitas 24–40‰
5
Miswar Budi Mulya
tetapi paling baik hidup pada salinitas 36‰, selanjutnya Supriharyono (2000a) menyatakan adanya pengaruh alam seperti run-of, badai, hujan dan aliran sungai dapat menyebabkan naik turunnya salinitas sampai 17,50–52,50% dalam waktu yang lama dan dapat menyebabkan kematian karang. Oksigen terlarut berperan dalam proses pernafasan dan merupakan salah satu komponen utama bagi kehidupan hewan karang. Menurut Sastrawijaya (1991) kehidupan organisme di dalam perairan dapat bertahan jika ada kandungan oksigen terlarut minimum 5 mg/l (5ppm). D. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil berapa kesimpulan sebagai berikut: a. Persen tutupan terumbu karang hidup pada setiap stasiun penelitian berbeda (stasiun I: 71,63%, II: 81,16%, III: 76,47% dan IV: 81,73%). b. Secara keseluruhan persen tutupan terumbu karang hidup di perairan Pulau Karang masih dalam kondisi baik dengan nilai 77,75%. c. Faktor fisik kimia perairan seperti temperatur, kedalaman, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, salinitas, pH dan oksigen terlarut berpengaruh terhadap tutupan terumbu karang hidup di perairan Pulau Karang.
6
Jurnal KOMUNIKASI PENELITIAN Volume 18 (2) 2006 Saran a. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai persen tutupan terumbu karang hidup berdasarkan stratifikasi. b. Diharapkan instansi terkait dapat melakukan pengawasan/monitoring dan pengelolaan terhadap ekosistem terumbu karang di kawasan ini, guna menjaga kelestariannya di masa mendatang. E. DAFTAR PUSTAKA Anwar, J., S. J. Damanik, N. Hisyam & A. J. Whitten. 1987. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. p. 127 – 129 Birkeland, C. 1997. Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall. International Thomson Publishing. 527 p. Brotowidjoyo, M. D., D. Tribawono & E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar Perairan dan Budidaya Air. Liberty, Yogyakarta. p. 162 Davis, R. A. Jr. 1991. Oceanography. An Introduction to the Marine Environment. Second Edition. Wm. C. Brown Publisher. p. 43 Kementerian Lingkungan Hidup. 2002a. Himpunan Peraturan Perundangundangan Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Era Otonomi Daerah, Jakarta. p. 738.