5. KOMODIFIKASI IKAN KONSUMSI KARANG HIDUP 5.1.
Sejarah Global Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang Hidup Sejarah komodifikasi ikan konsumsi karang hidup, mempunyai catatan
rangkaian panjang, dari perjalanan munculnya kebiasaan orang Cina-Hong Kong mengkonsumsi ikan konsumsi karang hidup sebagai prestasi atau gaya hidup yang identik dengan strata sosial atas dalam masyarakat. Golongan-golongan pebisnis kaya, mempunyai kebanggaan apabila mengkonsumsi ikan karang hidup dan mampu membeli dengan harga yang mahal. Dalam acara kesepakatan bisnis yang dilakukan oleh orang kaya Hong Kong, hingga berakhir di meja makan, menjadi menu utama adalah ikan konsumsi karang hidup. Kondisi ikan karang hidup yang tidak mudah ditangkap dari alam dan langka, menyebabkan harga ikan tersebut semakin mahal dan menunjukkan tingginya strata sosial bagi pembeli di Hong Kong1. Sejarah ekspansi atau perluasan tangkap ikan konsumsi karang hidup secara global, bermula dari perusahaan perikanan di Hong Kong, meluas sampai ke kawasan indo-pasifik barat yang sampai saat ini berekspansi hingga kewilayah kepulauan Solomon, Fiji, dan Vanula di Kepulauan Pasifik (Muldoon, 2009; 55). Berikut adalah time line kesejarahan komodifikasi ikan konsumsi karang hidup, digambarkan sebagai berikut: 1975
1970
Filipina
1984
1985
Palau
Indonesia
1989
1991
1993
Malaysia
PNG
GBR Australia
Solomon Island
Maldives
Marshall Island
Vietnam
1994
1996
Kirib ati
1998
Fiji Maldi ves Seych elles
Gambar. 5.1. Time line eksploitasi dan perdagangan Ikan Konsumsi Karang Hidup (Muldoon, 2009; 55).
Indonesia, Malaysia, Filiphina, Vietnam dan Australia adalah daerah eksportir terbesar. Dalam kesejarahannya, hanya sebagian kecil ekspor terjadi di Maldives, Kepulauan Solomo, Fiji serta Papua New Guinea, karena disebabkan
1
Wawancara dengan salah satu eksportir Indonesia di Bali, Hr. Prnm (35 Tahun), 14 Juli 2012.
81
2000
Vanu alu
transport dan ijin operasi penangkapan yang sulit (Shakeel and Ahmed 1997; Smith 1999; McGilvray and Chan 2001, dalam Muldoon 2009:55). Kesamaan dalam ijin operasi yang sulit, di laporkan bahwa penangkapan dan pengeksporan terjadi di Tonga, Kiribati dan Vanuatu di Perairan Indo Pasifik Barat (Sommerville, Pandle 199; Donnelly et.al 2000 in Muldoon, 2009:55). Thailand dan Vietnam mengeksport ikan langsung ke pasar ikan Hong Kong dalam jumlah yang sedikit, sedangkan Taiwan mengekspor hasil budidaya dengan ukuran kecil (Sadovy, 2001; dalam Muldoon 2009:55). Perdagangan ikan konsumsi karang hidup di Indonesia dimulai dengan masuknya kapal Hong Kong sekitar Tahun 1985. Pengusaha perikanan dari HongKong mempekerjakan nelayan di Perairan Indonesia sebagai penyelam untuk menangkap ikan karang hidup. Pengusaha Hong Kong berperan sebagai pembeli dan mengirim langsung ke Hong Kong dengan menggunakan kapalnya sendiri yang dilengkapi bak akuarium besar sehingga ikan-ikan tersebut bisa hidup dalam perjalanan dari Perairan Indonesia menuju ke Hong Kong. Menurut Barber & Pratt, 1975; Sadovy, et.al, 2003, perdagangan ikan konsumsi karang hidup masih terjadi karena adanya permintaan pasar sehingga menyebabkan terjadinya ekspansi di luar perairan Hong Kong. Dalam kesejarahannya, perikanan di perairan Hong Kong mulai berkurang sekitar Tahun 1960-an kemudian area penangkapan berpindah tempat ke perairan Filipina pada pertengahan dekade 1975-an, dan sampai di Perairan Indonesia Timur (Makassar) sekitar akhir dekade 1985-an dan sudah merambah ke perairan Australian dan Micronesia Indo Pasifik. Gambar di bawah menjelaskan adanya ekspansi roving bandit2 dari Hong Kong ke kawasan Perairan Indo-Pasifik (Sadovy et.al 2003; Muldoon, 2008:162). 2
Merujuk dari pernyataan Berkes et.al. (2006), istilah roving bandits dikemukakan oleh Mancur Olson (2000), diartikan sebagai ekspansi sumberdaya yang bersifat common. Sumberdaya laut beserta isinya yaitu ikan, didalamnnya melekat sifat open access. Dalam konsep ini, roving bandits diartikan sebagai ekspansi sumberdaya berjalan, yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan ikan karang hidup di Hong Kong. Menurunnya jumlah perikanan di perairan Hong Kong dekade 1960-an menyebabkan terjadinya ekpansi dan eksploitasi oleh perusahaan perikanan Hong Kong ke perairan selatan. Dijelaskan oleh Olson, (2000, dalam FAO, 2009), roving bandits adalah fenomena illegal fishing dalam perikanan global, yang dibedakan menjadi dua tipe, yaitu: 1). Kepemilikan modal terhadap teknologi, seperti kapal, 2). aktivitas perdagangan. Istilah ini dikenal dengan sebutan fleet migration yang menurut Fauzi (2005), sebagai perpindahan eksploitasi perikanan yang dilakukan oleh negara yang mempunyai modal dan teknologi penangkapan ikan tinggi terhadap negara yang mempunyai sumberdaya perikanan berlebih. Fleet migration merupakan eksploitasi pada sumberdaya perikanan yang bersifat
82
Gambar. 5.2. Peta Ekspansi pasar Hong Kong terhadap sumberdaya perikanan karang dunia (Sadovy, et.al. 2003).
Pertumbuhan ekonomi yang begitu massive di China-Hong Kong juga ikut menyebabkan meningkatnya permintaan pasokan ikan konsumsi karang hidup (Lau &Parry Jones, 1999), dengan di dukung oleh permintaan pusat bisnis China yang terletak di negara luar China, yaitu Taipe, Kuala Lumpur dan Singapura. Dengan adanya pusat-pusat bisnis China yang tersebar di tiga negara yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, menyebabkan ekspansi sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup sampai di Palau (Kepulauan Pasifik), Filiphina dan Indonesia. Komodifikasi ikan konsumsi karang hidup di Indonesia dimulai pada Tahun 1985 dan sangat cepat menyebar sehingga komoditas ikan konsumsi karang hidup menjadi komoditas utama nelayan di Indonesia Timur, di Banggai, Sulawesi dengan bukti penelitian (Indrawan, 1999), menyebutkan bahwa puncak perdagangan dengan qouta ekspor ikan konsumsi karang hidup terbesar terjadi pada era 1993-1994 dengan total ekspor untuk seluruh Kepulauan Banggai 30-60 ton perbulan. Terjadi perbedaan data penelitian perihal jumlah ekspor tertinggi Indonesia pada pertengahan dekade 1990-an, Johannes & Riepen (1995), menyatakan bahwa, Indonesia pada era tersebut adalah pengekspor terbesar ikan konsumsi karang hidup, yaitu lebih dari 50 persen dari total qouta ikan konsumsi fugitive (dapat bergerak bebas). Tetapi istilah fugitive ini dikenal untuk ikan pelagis, yang mempunyai perpindahan lintas batas terriotorial tertentu. Misalnya adalah perpindahan Tuna, Tuna yang berada di perairan Filiphina saat tertentu, pada beberapa saat kedepan bisa diketemukan di perairan utara Indonesia.
83
karang hidup yang ditangkap secara liar yang ada di pasaran Hong Kong. Akan tetapi Erdmann & Pet-Soede (1998), menyatakan bahwa Indonesia mengekspor ikan konsumsi karang hidup pada periode tersebut kurang dari sepertiga atau dua pertiga dari total ekspor Filiphina. Perbedaan data tersebut dicatat oleh Lau & Parry-Jones (1999), untuk menjelaskan tentang adanya kesulitan mengakses informasi yang sebenarnya yang dicatat oleh pihak supplier atau importir di Hong Kong terkait dengan banyaknya ikan konsumsi karang hidup dari Indonesia yang dijual di pasaran Hong Kong. Perkembangan produksi ikan konsumsi karang hidup di Makassar (Ujung Pandang sewaktu itu), merambah dengan cepat ke wilayah perairan sebelah tenggara perairan Makassar, hingga pada akhirnya sampai ke perairan Buton dan Wakatobi di era 1990-an. Lambat laun dalam waktu yang cepat, terjadi transfer informasi produksi ikan konsumsi karang hidup, yang dibawa oleh pengusaha dari Hong Kong, eksportir dari Tanjung Pinang, nelayan dari Ujung Pandang di wilayah Wakatobi dengan memperkenalkan penangkapan ikan konsumsi karang hidup, berupa spesies komoditas baru yaitu Kerapu Tiger dan Napoleon yang di jual dalam keadaan hidup (informasi dari berbagai nara sumber; April-Juni 2012). 5.2.
Sejarah Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang Hidup di Wakatobi Awal mulanya nelayan Wakatobi memanfaatkan ikan karang hidup untuk
keperluan sehari-hari dalam bentuk ikan belah atau ikan asin yang diperjual belikan kepada masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari. Komoditas ikan konsumsi karang hidup menjadi bernilai ekonomi tinggi dan laku secara ekonomi pada awal dekade 1990-an. Jauh sebelum dekade 1990-an, komoditas primadona nelayan di Wakatobi, khususnya nelayan Bajo adalah sirip dan ekor hiu serta Penyu Laut. Berdasar data temuan di lapangan (2012), dekade 1970-an sampai awal dekade 2000-an terjadi penangkapan hiu untuk diambil siripnya, secara besar-besaran di laut Flores bahkan sampai ke perairan Australia, sedangkan komoditas perdagangan Penyu Laut yang dikirim dari Wakatobi dan dijual ke Bali terjadi sekitar dekade 1980-an sampai akhir 1990-an (sampai akhir Jaman Orde Baru dan berhenti pada awal Kepemimpinan Presiden Megawati). Selain perdagangan kopra yang menjadi andalan masyarakat Wakatobi untuk non-
84
perikanan, komoditas barang bekas/second hand (rombengan/RB) menjadikan cikal bakal nelayan Wakatobi mengenal perdagangan lintas pulau. Awal perdagangan ikan konsumsi karang hidup terjadi pada Tahun 1992 ketika kapal dari pengusaha (keturunan) berasal dari Tanjung Pinang dan Singapura serta masuknya nelayan selatan (Ujung Pandang). Awal mula diketahui terdapat penangkapan Kerapu Tiger dalam keadaan hidup, ketika terjadi kecelakaan kapal menabrak karang di Karang Buli Bintana3. Dari peristiwa tersebut nelayan Bajo mengetahui bahwa Kerapu Tiger mempunyai nilai jual dalam keadaan hidup. Hal ini menjadi awal, bahwa Kerapu Tiger mempunyai nilai ekonomis tinggi, maka mulai dilakukan penangkapan ikan karang hidup yang dijual secara hidup oleh masyarakat Wakatobi, khususnya masyarakat Bajo Mola. Fr. dan En. Rhmn/An. Abdrhmn adalah pembeli dari luar Wakatobi pertama yang merupakan pengusaha keturunan asal Singapura. Berdasarkan penuturan dari informan4 , mengatakan bahwa sebenarnya orang daratan Tomia yang kala itu bekerja di Singapura membawa Fr. dan An. Rhmn ke perairan Tomia, dan mulai untuk membuka usaha menampung ikan karang hidup. Sejak saat itu, dimulailah penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang daratan Tomia dan Bajo Mola. Tahun 1992, penangkapan jenis ikan karang masih bebas, dengan surat ijin dari DKP Kabupaten Buton (Perairan Wakatobi masuk ke dalam Daerah Administrasi Kabupaten Buton), dan memperbolehkan untuk menangkap jenis Kerapu, Sunu dan Mbale-mbale (Napoleon wrasse). Kordinator Mola pertama yaitu M. M. Bkr dan H. Ksm (di bawah kordinator CV. P. Jaya5) yang menjual ikannya ke eksportir An. Rhmn. 3
Sebutan daerah karang untuk Bajo Mola; sekarang dikenal dengan nama Zona Karang Kaledupa II diambil dari nama zonasi Taman Nasional Wakatobi 4 Terdapat perbedaan data mengenai nama En. Rhmn dengan An. Abdrhmn antara orang Bajo dan Tomia. Sesungguhnya adalah orang yang sama dengan nama Antje Abdrhmn. Nelayan Tomia mengenal terlebih dahulu pengusaha bernama Fr. (1992), kemudian An. Abdrmn (1994). Hal ini dimungkinkan karena, pertama, distribusi penangkapan ikan nelayan Tomia hanya disekitar karang Tomia, dan nelayan Bajo jauh menjelajah. Kedua, masuknya perusahaan ikan tsb. melalui Bau-Bau terlebih dahulu, sehingga ada kemungkinan, pengusaha-pengusaha tersebut datang ke Tomia setelah dikenal oleh nelayan Bajo terlebih dahulu yang tinggal di Pulau WangiWangi (Drhmn (68 Tahun), Dmrdn (41 Tahun) dan Tn (40 Tahun); Bajo Mola, 30 Juni 2012 dan Slkhn; Tongano Barat, 25 Juni 2012). 5 CV. P. Jaya mempunyai SIUP dengan Nomor: 176/523.33/1992. SIUP pada waktu itu berdasarkan PP. No.64 Tahun 1975. CV. P. Jaya dipimpin oleh La Ode Isamu dan pembuat akte pendirian perusahaan oleh Notaris Andi Muhamad Kasim Siruhi S.H., yang mempunyai usaha ikan dasar dan hasil laut lainnya. Perusahaan tersebut mempunyai daerah penangkapan dan
85
Pada tahun yang sama, H. Alydn dari Bau-Bau yang merupakan middle man (bos yang membawahi beberapa kordinator Mola dan bekerja untuk eksportir dari Tanjung Pinang), bekerjasama dengan Klvn dengan menjual ke kakaknya Klvn di Tanjung Pinang yang bernama Ahk. Klvn, yang merupakan kakak AB (pemilik CV. JM yang mempunyai keramba pertama di Karang Patoroh (karang menurut orang Bajo Mola) berada di Zonasi Karang Kaledupa I. Kemudian, satu tahun berikutnya masuklah adik Klvn, AB beroperasi untuk penangkapan komoditas ikan konsumsi karang hidup di wilayah Karang Tomia, dan baru setalah ada masukan komoditas dan permintaan dari nelayan di Mola, maka dia membuka keramba di Karang Kapota sekitar Tahun 2000-an. Menurut penuturan Udn Knsng (56 Tahun), 22 April 2012 (eks.kordinator pada awal Tahun 1990-an), menyebutkan bahwa pada saat Klvn masuk, nelayan diperkenalkan dengan potassium untuk menangkap Napoleon dan Tiger. Napoleon dan Tiger mempunyai harga yang paling tinggi diantara ikan dasar lainnya. Pada waktu itu Napoleon sudah mencapai Rp. 10.000,- sampai 20.000,/ekor sedangkan Tiger harganya mencapai Rp. 9000,-/ekor.Tentunya per ekor mencapai berat 3kg-5 kg bahkan banyak yang di atas 5 kg. Pada waktu ramai-ramainya masuk pengusaha ikan konsumsi karang hidup, dalam waktu bersamaan masuklah Puskopal milik AL Tahun 1993/1994 dengan membawa nelayan dari Ujung Pandang untuk menangkap Napoleon. Sejak saat itu nelayan mengetahui dan belajar menangkap Napoleon dengan menggunakan alat tangkap jenis potassium (cyanide). Puskopal Ujung Pandang membawa kurang lebih 20 perahu speed dengan spesifikasi khusus nelayan pencari ikan Napoleon. Ac. bersama dengan As. juga pernah beroperasi di Karang Kaledupa pada Tahun 19946. Ac dan As, adalah seorang pengusaha keturunan dari Tanjung Pinang. Ac. masih menggunakan sistem keramba pada kapal artinya belum menggunakan sistem keramba permanen. Pada Tahun 1997 menurut informasi Dmrdn (41 Tahun) (29 Juni 2012), bahwa terjadi ekspansi penangkapan nelayan
6
pengangkutan di wilayah Kabupaten Buton, dengan pelabuhan di Bau-Bau. Alat yang digunakan adalah pancing ladung dan bubu. Setiap kordinator beserta nelayan asuhannya wajib mempunyai copy SIUP tersebut. Wawancara dengan Tn. (40 Tahun), 3 Juni 2012.
86
ikan dasar (ikan konsumsi karang hidup), dari Mola Raya ke Pulau Roma dan Pulau Tujuh di daerah Taliabo yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan Bajo di bawah kordinator Dmrdn. Dari data yang diperolah dari nelayan ikan dasar Mola Raya, bahwa ketika musim ikan (musim barat), nelayan Mola Raya menangkap ikan dan mencari daerah penangkapan ikan di luar perairan Wakatobi, kalau musim timur, nelayan Bajo Mola mencari di karang Kaledupa (Karang Kaledupa II dan III) dan karang Tomia saja. Tahun 2007, masuklah pengusaha bernama CW dari Bali dengan kerambanya yang ada di Mola Utara7 dan UD. PMB dengan membangun keramba di depan Pulau Lantea, Tomia8. UD. PMB sempat berhenti beberapa saat, kemudian pada Tahun 2009 UD. PMB masuk dengan membangun keramba di Karang Untuno, dekat Pulau Wangi-Wangi dan keramba yang lama terletak di Tomia, dekat dengan Pulau Lentea.
Awal tahun 2010, masuklah pengusaha
Ap./Eff. dari Bali masuk dengan beroperasi keramba (milik Rtn.) di Karang Untuno dekat dengan Pulau Wangi-Wangi dan terletak disebelah keramba milik UD. PMB yang ada di Pulau Wangi-Wangi. Setelah itu sampai sekarang hanya tiga perusahaan besar yang beroperasi di Wakatobi, yaitu: UD. PMB. Bali, C.V. JM, Bau-Bau, dan pengusaha Ap./Eff. dari PT. BOL, Bali. Dua perusahaan diantara tiga perusahaan ekspor mengirim komoditas ikan konsumsi karang hidup dari Bali dengan menggunakan jalur udara, sedangkan untuk satu perusahaan dengan mengundah kapal Hong Kong masuk ke Wakatobi, dengan transit di Kapontore, Pulau Buton. Berdasar data interview, kordinator dari mulai dekade 1990-an sampai sekarang untuk di Wakatobi meliputi:
7 8
Wawancara dengan Swndka (39 Tahun), 10 April 2012. Wawancara dengan Slkhn (40 Tahun), 25 Juni 2012; Tdd (40 Tahun), 12 Mei 2012, Bu Hj.Hyt (49 Tahun), 30 Maret 2012.
87
Tabel 5.1. Perkembangan sejarah komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup Periode Kordinator Eksportir Periode Kordinator Eksportir 1992H. Ksm Fr. 2000H. Ksm AB 2000 (Mola) (Tomia) 2012 (2012 H. Alydn digantikan Klvn oleh H. Sr., Ac. anaknya) As. C. W. H. Ilys AB Swndk (Tomia) (Mola)
H. Gg. (Mola)
H. Alydn AB
Pak Udn K. (Mola)
H. Alydn Klvn Ac. As. AB
H. Hy. (Mola)
AB
H. Hlm (Mola)
H. Alydn
H. Gg. (Mola) (digantikan mantan istrinya Hj. Hyt)
AB PMB
H. Hy. digantikan oleh anaknya Ed. (Ed. di bawah kordinator H. Hydn) (Mola) H. Hydn (Mola)
AB
AB
Keterangan Untuk Tomia H. Ilys mulai sejak 1996-sekarang dan menjadi kordinator besar untuk CV. JM (menurut penuturan nelayan Tongano Barat). Srfdn menjadi kordinator Tahun 2007
Untuk kordinator Bajo Lamanggau, Mntn, Tdd, Jupri, Jdn mulai jadi kordinator sekitar 2002 mulai menjadi kordinator kecil dibawah H. Ilys. Kemudian 2009-an mereka menjadi kordinator lepas, setelah ada percecokan dengan H. Ilys dan Masuk ke UD. PMB.
H. Hydn adalah kordinator besar, dengan mempunyai sub kordinator dibawahnya yaitu: Ed., Lng dan H. Tng.. (Mola)
Rtn. AB (keponakan Eff./App. dari Hj. Hyt) (Mola) Sumber: Olahan data primer hasil wawancara dengan informan kunci (April-Juni 2012)
88
Komoditas ikan konsumsi karang hidup berdampak pada terjadinya perubahan hasil produksi, pola pemasaran, rantai perdagangan, dan penggunaan teknologi/modal : Tabel 5.2. Perubahan sebagai dampak adanya komodifikasi ikan konsumsi karang hidup. No 1.
Perubahan Hasil produksi
1990-an 1 ton per musim per nelayan
2000-an 1 ton per minggu per nelayan
2009-2010 300 kg per musim per nelayan
Sekarang (2012) <300 kg per musim per nelayan
2.
Pola Pemasaran
Kapal Hongkong Masuk ke Perairan Wakatobi
4 Eksportir: CV. JM, CW, (mulai masuk 2007), Ap./Eff. (2010) dan PMB (2009)
3.
Rantai Perdagang an
NelayanKordinatorEksportir
Kapal Hongkong Masih masuk ke Perairan Wakatobi sampai sekitar 2004 dan sekarang Kapal Hong Kong masuk ke Waaktobi hanya satu eksportir NelayanKordinatorEksportir
AB Masih menggunakan Kapal dalam pengiriman ke HK. PMB dan Ap./Eff. dengan menggunakan jalur udara dari Bali, dan mengambil dari Wakatobi dengan menggunakan kapal NelayanKordinator/Penge pul/Eksportir dan NelayanEksportir
4.
Kondisi ekologis
Karang masih bagus-92 masuk pembiusan Napoleon, Ikan berlimpah. Pembiusan napoleon mulai terjadi.
Karang mulai menurun, dengan indikator banyak pengebom dan pembius (napoleon). Kegiatan pengeboman dan pembiusan terjadi besarbesar (seringkali terjadi pengeboman)
NelayanKordinator/ pengepulEksportir dan NelayanEksportir Karang sudah mulai rusak, pembiusan dan pengeboma n masih terjadi, penangkap ikan karang bertambah.
Karang sudah memprihatinkan akibat pengeboman. Stok ikan sudah semakin langka (didapat hanya sedikit untuk musim, dan hanya melimpah jenis sumu hitam saja); pembiusan napoleon masih berjalan
Keterangan Depth Interview dari Nelayan Data Sekunder Depth Interview Dari Nelayan dan pelaku eksportir Data Sekunder
Depth Interview Data Sekunder
Depth Interview Data kuitansi penjualan dari nelayan
89
No 5.
Perubahan Teknologi/ Modal
1990-an Dengan menggunakan bodi TS (Yanmar 25 PK), bius, pancing, dan jaring serta bubu.
2000-an Dengan menggunakan bodi TS (Dianjdong 40 PK), bius dan pancing, jarring, bubu dan tombak
2009-2010 Dengan menggunak an bodi TS, bius dan pancing, jaring dan tombak
Sekarang (2012) Dengan menggunakan bodi TS, bius, pancing, jaring dan tombak
Keterangan Depth Interview Informasi sejarah Observasi tracking GPS (tombak hanya untuk kamlufase kegiatan membius) Bubu digunakan oleh nelayan Tomia. Sejak sekitar Tahun 2009-an, bubu tidak lagi diterima sebagai komoditas ikan karang hidup, karena rusak dan cara pemasangannya merusak karang Sumber: Olahan data primer hasil wawancara mendalam dengan informan dan saksi sejarah perkembangan komoditas ikan konsumsi karang hidup (April-Juni 2012).
Perkembangan teknologi tidak serta merta muncul sendiri. Pengaruh global dengan kemajuan teknologi yang terjadi pada waktu itu adalah bentuk globalisasi dari modernisasi teknologi alat tangkap. Dekade 1970-an modernisasi alat tangkap melanda dunia pertanian dan perikanan sebagai bentuk ekspansi pemanfaatan sumberdaya alam terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Tujuan utama dari penggunaan teknologi adalah untuk mendapatkan keuntungan secara efektif dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Fougeres (2005; 8), lebih dari tiga dekade ke belakang, di Indonesia terdapat bantuan asing dan investasi produksi perikanan merupakan bentuk penanaman modal produksi perikanan terutama pada orientasi ekspor produk perikanan. Pada saat itu, Ditjen Perikanan dibawah Kementrian Pertanian, melihat investasi ini sebagai bentuk “revolusi biru” dalam dunia perikanan dan ”revolusi hijau” dalam bidang pertanian, sebagai akibat dari rangkaiang proyek pembangunan yang dibiayai oleh asing (Bailey, 1985 dalam Fougeres, 2005; 8). Berdasar data di lapangan didapatkan bahwa pengaruh perkembangan teknologi penangkapan ikan di Wakatobi terjadi pada dekade 1970-an dengan ditandai dikenalnya motorisasi- merk Kubota produksi dari Jepang. Road map perkembangan teknologi motorisasi penangkapan ikan konsumsi karang hidup di Wakatobi adalah sebagai berikut:
90
Tabel 5.3. Perubahan sebagai dampak adanya komodifikasi ikan konsumsi karang hidup. Tahun 1970
Perkembangan Teknologi Mesin Kubota (diesel)
1972
Mesin Kubota (diesel)
Dekade 1970-an akhir
Johnson (bensin)
Keterangan 7 PK, untuk mesin Sope (perahu khas Bajo) (4 GT). Pak Drsa, membeli di Makassar 8 PK, untuk mesin Sope (6 GT). H. Ksm yang membeli pertama kali, ketika mau naik Haji. Membeli di Makassar. 8, 12, 15, 25, 40 PK. Pada dekade ini juga sudah ada katinting dari merk mesin Honda dan Kawasaki. Nelayan sudah mulai ramai menggunakan Johnson Untuk Bodi (hampir seluruh nelayan menggunakan bodi) Untuk Bodi
Dekade Yanmar (Jepang) (diesel) 1990-an` Dekade Djiandong (Cina) (diesel) 2000-an Sumber: Wawancara dengan Udn Knsng (56 Tahun); (1 Juni 2012) tentang sejarah Bajo Mola.
Selain perubahan terhadap penggunaan teknologi, terdapat pula perubahan yang sangat mendasar yaitu perubahan cara pembelian ikan dasar (ikan konsumsi karang hidup) dari nelayan oleh kordinator atau bos eksportir adalah pada Tahun 1992-2000 masih menggunakan sistem ekoran. Sedangkan Tahun 2000 sampai sekarang sudah menggunakan sistem per kilogram. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar menguasai komoditas ikan karang hidup dan semakin menurunnya daya dukung stok perikanan karang di Wakatobi, ditandai dengan tangkapan ikan berukuran kecil, sebagai akibat adanya penangkapan yang berlebih, diakibatkan oleh permintaan pasar secara terus menerus dari Tahun 1992 sampai sekarang. Nilai tambah sebagai perubahan harga secara ekonomi untuk komoditas ikan konsumsi karang hidup di Wakatobi terjadi sekitar Tahun 1992, yaitu waktu ramainya penangkapan ikan konsumsi karang hidup, jenis kerapu dijual satu kilo/ekoran seharga Rp. 250,- dari nelayan, dan dijual satu kilo/ekoran dengan harga Rp. 20.000,- dari kordinator ke pengepul (eksportir). Adapun kenaikan harga ikan perdekade dijelaskan dalam tabel dibawah:
91
Tabel. 5.4. Perubahan harga per periodik waktu komoditas Periode
Jenis ikan yang ditangkap dan diperdagangkan
Harga
1992-1997
Kerapu Tiger Napoleon
Rp. 250,- Rp 3.500,-(ekor) Rp. 17.500,-(>5kg)/ekor Rp. 1000,- sampai Rp 20000,(ekor) Rp. 250,- sampai Rp 4000,-(ekor)
Sunu 1997-2004
Kerapu Napoleon
Rp. 5.000,- Rp. 40.000,-(kg) Rp. 100.000,- Rp. 150.000,(ekor/kg) Sunu Hitam Rp. 5.000,- Rp.23.000,-(kg) Sunu Merah Rp. 25.000,- Rp.50.000,-(kg) Tiger Rp. 25.000,- Rp. 40.000 (ekor) Campur Rp. 15.000,-(kg) 2005-sekarang Kerapu Rp. 60.000,- sampai Rp. 80.000,Tiger Rp. 60.000,- sampai Rp. 80.000,Napoleon Rp.150.000-Rp.300.000,(ekor/kg) Sunu Hitam Rp. 40.000,- sampai Rp. 75.000,(kg) Sunu Merah Rp. 160.000,- sampai Rp. 200.000,-(kg) Campur (Rp. 20.000,- sampai Rp. 30.000,-) (kg) Sumber: Data nota nelayan dari dua perusahaan, CV. JM dan UD. PMB (April-Juni 2012).
Tiga perusahaan ikan konsumsi karang hidup di Wakatobi sampai sekarang (2012), yang masih beroperasi, yaitu: UD. PMB, C.V. JM Bau-Bau, dan Ap./Eff. dari Bali. Diantara ketiga eksportir tersebut, salah satu eksportir masih mendatangkan kapal penjemput ikan langsung dari Hong Kong, yaitu CV. JM dengan transit di Kapontore, Pulau Buton atau langsung datang ke tempat keramba CV. JM di Karang Kapota dan Karang Tomia (Karang Kaledupa I), sedangkan dua perusahaan ekspor lainnya, yaitu U.D. PMB dan Ap./Eff. menggunakan jalur udara, dengan penjemputan ikan secara berkala menggunakan kapal dari lokasi di Wakatobi menuju ke Bali, kemudian di kirim lewat udara dari Bali. UD. PMB, mempunyai dua lokasi keramba, yaitu di Pulau Wangi-Wangi dan di Pulau Tomia, sedangkan Ap./Eff. mempunyai satu keramba di Pulau Wangi-Wangi. Akan tetapi Ap./Eff. mempunyai keramba untuk penampungan ikan yang berada di luar kawasan Wakatobi, yaitu di Pulau Tirah-Tirah, Buton. Menurut beberapa informasi, keramba di Pulau Tirah-Tirah digunakan untuk
92
menampung Napoleon (Udn.Knsg, 22 April; Sumber data penelitian, April-Juli 2012; data sekunder dari DKP Wakatobi; DKP Buton; DKP Prov. Bali; Karantina Bau-Bau; Karantina Bali, Juni-Juli 2012). Kebutuhan ekspor C.V. JM. terjadi hanya setengah tahun saja, artinya satu musim saja. CV. JM menerima ikan dari nelayan hanya musim barat (bulan Oktober-April) (Wawancara dengan Hndr, 39 Tahun, 26 April 2012, penjaga keramba C.V. JM di Karang Tomia). Menurut Smd (45 Tahun), penjaga keramba CV. JM di Karang Kapota (24 April 2012), pengambilan ikan di perairan Wakatobi apabila quota ikan itu minimal 5,5 ton. Karena menurut penuturannya, pembeli dari Hong Kong akan merugi, dan tidak menutupi perongkosan, apabila stok ikannya kurang dari 5,5 ton. Kapal Hong Kong tersebut bermuatan 12-15 ton, dan minimal mengangkut ikan sebanyak 12 ton dalam jangka pelayaran dari Perairan Indonesia ke Perairan Hong Kong kurang lebih selama tiga minggu. Pengambilan ikan, biasanya dilakukan sebulan sekali atau quota dalam kedua keramba sudah mencukupi untuk di angkut. Berdasarkan keterangan dari Wnt, (40 Tahun) staff administrasi C.V. JM di Bau-Bau (Buton) (6 Juli 2012), mengatakan, bahwasanya kapal Hong Kong tersebut akan mengambil dari tempat lain sebelum ke Wakatobi. Kapal Hong Kong singgah di perairan Sinjai, Lombok, Wakatobi dan Banggai. U.D. PMB mulai beroperasi di perairan Wakatobi sekitar tahun 2007 di Karang Tomia dan beroperasi kembali pada Tahun 2009 dengan mendirikan keramba di Pulau Wangi-Wangi, keramba di Tomia tetap di depan Pulau Lentea yang didirikan Tahun 2007. U.D. PMB adalah pelopor perusahaan ikan yang sudah menggunakan praktik-praktik penangkapan yang ramah lingkungan, baik dalam kondisi tangkapan, alat tangkapan, kondisi ikan (dilindungi oleh UndangUndang konservasi atau tidak) sampai ukuran (sizing) ikan. Setidaknya untuk di Wakatobi mulai Tahun 2009 UD. PMB sudah mengajak nelayan untuk tidak menangkap ikan di bawah ukuran 600 gram9. Berdasar dari wawancara dengan Hr. Purn (35 Tahun) pemilik PMB (Bali, 14 Juli 2012), perusahaannya menerapkan praktik-praktik produksinya sesuai 9 Berdasar informasi dari nelayan, dan bukti nota bukti pembayaran nelayan Tahun 2009, 2010 sampai 2012.
93
dengan peraturan pemerintah. Pengetahuan yang dimiliki Pak Hr. Purn., merupakan pengetahuan green fisheries product, yang disarankan oleh WWF Indonesia, dan pedoman CITES serta menurut aturan dari LIPI. U.D. PMB, membuka dan menerima hasil tangkapan dari nelayan setahun penuh, artinya menerima dari musim barat dan musim timur. Untuk pengambilan ikan, dilakukan setiap bulan sekali atau tergantung dari quota yang ada di keramba. Biasanya untuk quota di keramba Wangi-Wangi itu maksima 1,2 ton dan quota keramba Tomia, maksimal 1 ton (berdasar atas wawancara dari penjaga keramba WangiWangi (Im, 30 Tahun), 5 Mei 2012 dan keramba Tomia (Ag, 19 Tahun), 19 Mei 2012). App./Eff., mempunyai satu keramba, yaitu di Pulau Wangi-Wangi, berdekatan dengan keramba U.D. PMB. Menurut data hasil wawancara dengan Eff.(50 Tahun, 25 Juni 2012), sebagai orang yang dipercaya untuk mengelola perikanan perusahan Bali Ocean Lingere, oleh Ap./J.T.10 (sang bos), mengatakan bahwa dirinya hanya mengontrol saja tentang sirkulasi ikan disini, untuk urusan uang dipercayakan ke Rtn. selaku kordinator di Mola. Eff. juga mengatakan Srfdn (Polisi di Polsek Tomia Timur) itu orang kita, Pak Kapolsek Kaledupa juga orang kita, dan ada AL dari Wanci juga orang kita. Eff. mengatakan kadang mengekspor ikan ke Jepang, ke Singapura, ke Taiwan dan ke Hong Kong, kalau dalam sekali mengirim dalam jumlah yang banyak, tetapi kalau sedikit biasa saya jual ke UD. PMB melalui nelayannya Rtn atau ke CV. JM. Komodifikasi ikan konsumsi karang hidup membentuk pola-pola jaringan komoditas yang mampu mempengaruhi perubahan-perubahan secara ekologi, sosial, ekonomi maupun kebijakan dalam jaringan komoditas. Berdasarkan kajian sejarah pergerakan komoditas ikan konsumsi karang hidup dari alam (Wakatobi) sampai ke Hong Kong sampai saat ini, digambarkan sebagai berikut:
10
Informasi dari Rtn. (29 Tahun), 20 April 2012
94
Ikan diaambil dari wakato obi dijemputt dengan kapal, dari d Bali dieekspor ke HK lew wat udara.
Pada era sebeluum 1990-an, diguunaka sebagai ikann belah.
Ikan n dijemput langsun ng oleh Kapal HK daari perairan Wakatobi W
Mulai 1992-ann sampai sekarangg di jual dalam hiidup
Gambar 5.3. Latar Belakkang Sejarah Komidifkasi K Ik kan Dasar di Wakatobi W beseerta jalur perdagangannnya.
Rooad map keesejarahan perkembang p gan komodditas ikan kkonsumsi karang hidup di Wakatobi W b berjalan sessuai dengan n perkembaangan sejarrah komodifikasi ikan konssumsi karanng hidup gllobal yang diikuti denngan sejarahh perkembaangan ikan konssumsi karaang hidup lokal di Wakatobi. Time linee perkembaangan komodifikkasi ikan konsumsi k k karang hidu up di Wakaatobi digam mbarkan seebagai berikut:
95
1985
1
1
1992
1993
1994
1996/ 1997
2003
2007
2009
2010
2012
2 3 4
5 6
7
8a 8b
9
10 a 10 b 10 c
11
12
13
Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
10.
Komoditas ikan konsumsi karang hidup, masuk di perairan Makassar (Muldoon, 2009); Pengusaha asal Singapura; Fr/An. Rhmn, masuk sebagai pionir pengusaha ikan konsumsi karang hidup di Karang Tomia; Komoditas pertama ikan dasar adalah Kerapu Tiger dan Napoleon; Pengusaha asal Buton H. Alydn, bekerjasama dengan Klvn dari Tj. Pinang; Pengusaha asal Singapura; AB, masuk sebagai pionir pengusaha ikan konsumsi karang hidup di Karang Tomia yang mendirikan keramba. AB merupakan adik dari Klvn; Puskopal milik AL Uj. Pandang membawa 20 speed menangkap Napoleon dengan menggunakan bius (potasium cyanide); tahun pertama kali nelayan Bajo dan Wakatobi mengenal bius untuk menangkap Napoleon; Ac. dan As. pengusaha ikan konsumsi karang hidup asal Singapura beroperasi melakukan pembelian dan penangkapan ikan di Karang Kaledupa. a. b.
Penunjukkan kawasan laut Wakatobi menjadi Kawasan konservasi taman nasional laut; Terjadi ekspansi yang dilakukan oleh nelayan ikan konsumsi karang hidup, Mola Raya menangkap di daerah Taliabo, Pulau Roma dan Pulau Tujuh; Penetapan kawasan Taman Nasional Wakatobi, yang disepakati oleh Bupati dan Kepala Bappeda dan terbit RPTN untuk 25 tahun kedepan. Pada tahun yang sama, terjadi pemekaran Kabupaten Wakatobi menjadi daerah otonomi administrasi kabupaten lepas dari Kabupaten Buton; masuknya kerjasama joint program TNW-TNC-WWF Indonesia; a.
UD. PMB masuk pertama kali ke perairan Wakatobi dan mendirikan keramba di Tomia (di depan Pulau Lentea); b. Pengusaha Bali CW, masuk dan beroperasi di perairan Wakatobi dengan mendirikan keramba di Mola Utara; 11. UD. PMB, kembali masuk beroperasi di perairan Wakatobi, dengan mendirikan dua keramba, satu di Tomia dan satu di Wangi-Wangi; 12. Pengusaha Bali, Ap./Eff. masuk beroperasi dengan mendirikan keramba di Wangi-Wangi; 13. Mulai di akhir Tahun 2011 dijalankan inisiasi oleh WWF Indonesia Fisheries Capture, upaya pengelolaan ikan konsumsi karang hidup yang lestari dengan program perikanan lestari dan kampanye Seafood Savers, serta Best Management Practice sebgai upaya perikanan berkelanjutan. Gambar 5.4. Time line sejarah perkembangan komodifikasi ikan konsumsi karang hidup di Wakatobi.
96
5.3.
Interaksi Aktor/Stakeholder dalam Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang Hidup Jaringan dibangun dari pendekatan aktivitas ekonomi dalam struktur
sosial, dipengaruhi oleh aktivitas aktor-aktor yang terikat dalam jaringan produksi, dimana saling mempengaruhi antara tindakan ekonomi dengan sosial (Laumann, Galaskiewicz, and Marsden 1978; Granovetter 1985; White 1992; dalam Friedman and Miles; 2006:9). Ahli sosiologi ekonomi mendefinisikan jaringan sebagai ruang terjadinya aktifitas ekonomi yang melibatkan peran serta aktor/stakeholder (individual/kelompok) yang dihubungkan dalam ikatan jaringan. Prell, et.al. (2008; 21-443-458), memaparkan, social learning merupakan wahana untuk mengidentifikasi stakeholder melalui proses sosial yang terjadi dalam perubahan-perubahan sosial, sebagai ruang pembelajaran stakeholder satu dengan lainnya melalui jaringan sosial. Kajian ikatan aktor dan stakeholder dalam perikanan, dikaji oleh Crona dan Bodin (2010), memaparkan bahwa dalam ikatan aktor dalam dunia perikanan terdapat aktor nelayan sebagai aktor produksi, aktor pengusaha serta aktor pemerintah sebagai kekuasaan governance. Crona, menyebutkan bahwa interaksi aktor dalam jaringan sosial perikanan, terdapat asimetrik kekuasaan (power) dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Kekuasaan tersebut terbentuk dari ikatan kinship, ekonomi, pengetahuan atau kekuasaan itu sendiri (Crona, 2010). Sebagian besar masyarakat di Kepulauan Wakatobi bermata pencaharian sebagai nelayan dan mayoritas masyarakat Bajo berprofesi sebagai nelayan. Komoditas perikanan dari Kepulauan Wakatobi selain ikan pelagis adalah ikan karang hidup atau yang dikenal oleh masyarakat Wakatobi sebagai ikan dasar. Dalam struktur komoditas ikan dasar, terdapat dua kelas organisasi produksi, yaitu nelayan sebagai aktor produksi pencari ikan dan kordinator (middle man) sebagai aktor dalam distribusi komoditas tersebut. Tentu saja tidak hanya terdapat aktor produksi dan distribusi saja, namun juga ditemukan aktor/stakeholder lainnya yang terlibat dalam komodifikasi ikan konsumsi karang hidup. Pada pola produksi komoditas ikan konsumsi karang hidup terdapat hubungan antara eksportirkordinator serta nelayan (dalam mata pencaharian mereka). Eksportir adalah bos besar yang menampung dan membeli ikan dari kordinator atau nelayan.
97
Kordinator adalah (bos/majikan) yang memberi modal kepada nelayan untuk menangkap ikan, dan nelayan adalah penangkap ikan dan menyerahkan (menjual) hasil tangkapannya kepada kordinator. Kordinator mempunyai tugas, untuk mengurus apa yang menjadi keperluan operasi penangkapan, mulai dari perijinan, logistik atau bekal melaut, pencatatan hasil tangkapan nelayan yang masuk ke eksportir, sortir ukuran dan jenis ikan dasar yang layak dijual sampai pada perantara antara bos dengan nelayan, baik dalam urusan harga dan kepercayaan bos-nelayan. Menurut Bjng. (47 Tahun) (tokoh nelayan dari Mola Utara), menyebutkan istilah kordinator muncul sekitar Tahun 1992-an, dimana hal ini diistilahkan sebagai koordinir nelayan di lapangan yang dipercayai oleh bos (sang eksportir). “Dulu saya diserahi tugas untuk menjadi kordinator, waktu itu saya bersama H. Ksm dibawah pengepul besar H. Alydn. Tugas saya adalah mengkordinir, dari semua pengurusan bekal makanan untuk nelayan, sampai menjemput ikan dari nelayan kemudian disetorkan ke bos besar, atau kapal Hong Kong yang sedang sandar”. (11, April 2012). Penuturan ini diperkuat oleh Tn (40 Tahun), Drhmn (68 Tahun) dan Dmrdn (41 Tahun) yang menuturkan hal sama, bahwa dirinya pernah mendapatkan kepercayaan pada awal-awal komodifikasi ikan dasar di Wakatobi menjadi komoditas ikan hidup yang mempunyai harga mahal pada saat itu. “Saya dulu ikut kordinator Mola pertama yaitu Pak Mdr M. bkr. Kebetulan Pak M. M. bkr. masih saudara dengan Bapak (Drhmn). Kami sekeluarga dipercayai oleh Pak. Mdr M.bkr dan H. Ksm. Kami mengkordinir nelayan untuk mencari ikan hidup. Awal dulu adalah ikan Kerapu Tiger dan Mbale-mbale (Napoleon, menurut bahasa Buton). Kak Dmrdn sampai mengurusi ijin, pada waktu itu injin penangkapan itu di tandatangai oleh notaris dari Bau-Bau. Bapak, saya dan Kak Dmrdn menjadi kepercayaan oleh eksportir H. Alydn, Klvn”. (13, April 2012). Dalam ikatan kordinator dan nelayan mempunyai ikatan kepercayaan, kekerabatan (kinship), terdapat aturan yang mengikat kedua pihak (akan tetapi tidak formal), dan saling timbal balik dalam hal kebutuhan. Kordinator harus mampu memberikan modal dalam bentuk panjar atau uang hutangan dan modal produksi seperti alat-alat yang digunakan untuk melaut menangkap ikan dasar hidup. Kepercayaan tersebut merupakan kerpecayaan yang timbal balik, artinya kordinator percaya kepada nelayannya untuk menjual produk tangkapannya dan
98
nelayan percaya kepada kordinator untuk memberikan jaminan sosial ekonomi serta keselamatan untuk nelayannya dan jaminan sosial sehari-hari untuk keluarganya, ketika melaut. Penuturan Hj. Hyt (49 Tahun), kordinator nelayan di bawah UD. PMB, mempunyai sekitar 15-20 orang nelayan. “Saya sebagai kordinator memberikan hutangan (panjar) kepada nelayan mulai dari Rp. 500.000- 1 juta. Kadang juga sudah meminta hutangan, istrinya datang ke saya meminta hutangan lagi. Nelayan biasanya di laut sampai 10-15 hari. Panjar itu kami gunakan sebagai potongan penjualan ikan nelayan ke saya. Saya mempunyai 1 kaki tangan kepercayaan, yaitu Pak Hm (Ah), yang menghubungkan komunikasi nelayan di karang dengan saya. Sekarang nelayan sudah sangat pintar, kadang meminta panjar ke saya, sebagian hasil mereka di jual ke kodinator lainnya. Saya tegur dan peringati. Makanya saya menyuruh orang kepercayaan saya, Pak Hm yang dibantu oleh dua orang juru catat di karang”. (30 Maret 2012 dan 06 April, 2012). Ar.(27 Tahun), seorang kordinator ikan karang mati, ikan karang hidup, cakalang dan ikan babi yang bekerja sama dengan kordinator M. Kll.(39 Tahun), asal Mola Utara, menjelaskan: “Bahwa, untuk menjadi kordinator disini tidak gampang. Uang kami di nelayan kami sekitar seratus juta lebih yang dihutang oleh mereka. Kadang nelayan meminta untuk dibelikan bodi, dibelikan mesin dan kadang mereka memanjer terlebih dahulu. Pak Kll. juga sering memberikan panjeran dulu kepada nelayannya agar semangat untuk mencari ikan buat kami disini. Apabila tidak memakai sistem panjeran seperti itu, nelayan akan lari semua” (8 April, 2012). Lain halnya seperti yang dituturkan oleh Pak Udn Knsng (56 Tahun), adalah dulu sebagai kordinator ikan konsumsi karang hidup pada 1991-2000. Tetapi Pak Udn mengalami kebangkrutan karena antar kordinator terjadi persaingan dengan cara yang tidak sehat. Penuturan Pak Udn (56 Tahun) adalah sebagai berikut: “Hampir seluruh nelayan di Mola ini menghutang kepada kordinator dan kalau diperkirakan dengan persen bisa mencapai 90%. Keterikatan hutang terhadap kordinator inilah yang menyebabkan nelayan tetap saja miskin, karena harga jual ikan jauh lebih murah ke kordinator apabila terikat hutang. Missal, harga kerapu perkilogram adalah Rp. 60.000,-, karena mempunyai ikatan hutang maka dibeli hanya sekitar Rp. 30.000,- sampai Rp. 20.000,-. Persaingan kordinator disini juga kurang sehat. Ini yang menyebabkan saya menjadi bangkrut dan berhenti. Panjer-panjer mulai bertambah. Nelayan mulai nakal. Nelayan akan menjual ikannya ke 99
kordinator yang berani memberi panjer lebih tinggi. Sehingga hal ini menyebabkan semakin rumit. Nelayan lari ke kordinator yang mempunyai uang banyak. Inilah alasan saya berhenti” (22 April, 2012). Hal ini berbeda menurut penuturan Tn. (40 Tahun, 4 Juni 2012), sebagai nelayan bahwasanya, banyak kordinator yang gulung tikar, diantaranya adalah faktor sifat kerasnya kordinator dalam memaksa nelayan untuk membayar hutang dan mencari ikan untuk kordinator. Seperti halnya Pak Udn Knsng. Menurut Tn.(40 Tahun), Pak Udn sangat keras dalam menyuruh nelayannya, sehingga nelayan banyak yang lari dan pindah ke kordinator lainnya. Ibu Hj. Hyt (49 Tahun) juga sekarang sudah mulai berkurang nelayannya, karena kalau ada nelayan yang menjual ikan ke kordinator lain, maka Bu Hj. Hyt tak segan untuk menagih hutangnya bahkan akhir-akhir ini sering membawa polisi untuk menakutnakuti nelayan yang terikat hutang tetapi tidak menjual produknya. Tn. juga menjelaskan, bahwa kebanyakan nelayan di Mola ini mempunyai lebih dari satu hutangan terhadap kordinator. Kebiasaan system meminta panjer inilah sebetulnya yang membuat kasihan mereka karena terikat banyak hutang. Sehingga kadang tidak bisa membayarnya. Kadang menggunakan cara menghutang ke kordinator lain untuk menutupi hutang ke kordinator lamanya. Kebanyakan hutang ini menjadi beban karena sekarang kalau melaut tidak pasti mendapat ikan. Jadi inilah yang membuat kami sebagai nelayan sengsara. Dari paparan diatas, merupakan temuan hasil di lapangan bahwa terdapatnya komodifikasi ikan konsumsi karang hidup membentuk ikatan kordinator-nelayan dalam ikatan produksi, dimana nelayan berhutang panjar (perongkosan melaut), kemudian menjual hasilnya ke kordinator. Kepercayaan hubungan nelayan kordinator adalah sebatas ekonomi, karena banyak keluhan dari nelayan yang terikat oleh hutang kordinator, dan demikian sebaliknya terdapat keluhan dari kordinator terhadap persaingan harga antar kordinator dan perlakuan nelayan terhadap kordinator. Ikatan patron-klien yang terjadi di Wakatobi sudah mengalami peluruhan, dimana ikatan patron-klien sudah tidak menjadi hal yang mutlak sebagai hubungan ketergantungan yang bersifat kepercayaan timbal balik antara kordinator dan nelayan. Penggunaan security force dari polisi untuk menekan nelayan yang ingkar janji terhadap kordinatornya sudah dilakukan oleh kordinator Bajo Mola. 100
Ikatan panjar yang dihutang oleh nelayan menjadi sebuah jaminan kordinator akan hasil tangkapan nelayan. Kondisi sulit bagi nelayan yang mempunyai ikatan panjar kordinator, karena saat ini kondisi komoditas ikan karang hidup menjadi tidak dapat diprediksi apakah dalam sekali melaut dapat ikan atau tidak. Hal ini dapat dirasakan nelayan yang mempunyai ikatan panjar akan tetapi tidak bergabung dengan satu kapal dibawah pengawasan kordinator. Rantai produksi dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup, melibatkan aktor nelayan, kordinator, penjaga keramba, eksportir dan DKP, dalam hubungan yang bersifat saling membutuhkan. Rantai produksi ikan konsumsi karang hidup, digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Eksportir Penjaga keramba melaporkan pengangkutan ikan kepada DKP, dan DKP melakuakn pengawan dalam meloding. DKP
Penjaga keramba mengirmkan ikan hasil tampungan dari kordinator, secara berkala Penjaga keramba Kordinator menjual ikan kepada eksportir melalui penjaga keramba
Kordinator Kordinator memberikan kebutuhan nelayan, baik dalam melaut maupun jaminan sosial
Nelayan menjual hasil tangkapannya kepada kordinator dalam ikatan hutang
Nelayan
Gambar 5. 5. Bagan rantai produksi komoditas ikan konsumsi karang hidup.
Komoditas ikan konsumsi karang hidup tidak hanya terdapat pada hubungan antara nelayan dan kordinator saja, tetapi sudah terdapat jauh lebih dari tersebut. Bahwasanya ikan tersebut setelah ditangkap oleh nelayan di tampung oleh kordinator kemudian dijual ke eksportir dengan menjual ke keramba milik eksportir. Sebelum meloding (istilah untuk mengangkut ikan ke Bali atau diangkut oleh kapal Hong Kong), melaporkan terlebih dahulu ke DKP Kabupaten Wakatobi untuk melaporkan volume produksi per-sekali loding (pengangkutan). Sebelum diloding ikan tersebut dicek oleh pihak DKP bagain sub unit pengawasan, kadang 101
oleh petugas TNI AL, dan petugas dari Karantina Kesehatan Pelabuhan serta petugas Syahbandar setempat. Menurut penuturan Im (30 Tahun). Dan Gn (29 Tahun). sebagai penjaga keramba UD. PMB yang ada di wilayah Wangi-Wangi, mengatakan: “Kami disini membayar perongkosan untuk sewa wilayah keramba ke Desa Liya. Pembayaran tersebut sebagai retribusi keramba kami dalam menyewa wilayah laut ke kepala desa. Sebelum loding (mengangkut ikan) setiap 20 hari sekali atau tergantung dari jumlah ikan, kami harus lapor dulu ke DKP. Semuanya diserahkan ke DKP dan DKP mengurusi semuanya termasuk ke petugas Karantina Kesehatan Pelabuhan, Syahbandar, dan DKP sendiri. Kadang ada patroli gabungan yang beranggotakan dari Jagawan Taman Nasional, Polairud, TNI AL dan DKP. Patroli tersebut mengecek keramba kami, jangan sampai ada ikan yang dilarang untuk ditangkap” (24, Maret 2012 dan 15 Juni, 2012). Berdasarkan data pengamatan dilapangan, ketika keramba PMB loding, maka terdapat beberapa petugas yang ikut dalam pengawasan loding ikan konsumsi karang hidup. Ada beberapa loding dan ditemukan ada beberapa petugas yang ikut memantau seperti dari pengawasan DKP Wakatobi, dari petugas Karantina Kesehatan Pelabuhan dan ada pula dari aparat TNI AL. Penuturan dari Pak Hndr (39 Tahun) sebagai penjaga keramba perusahaan ikan konsumsi karang hidup CV. JM menyebutkan: “Pengawasan mengenai keramba disini, kadang sering didatangi oleh polisi dari Polsek Tomia dan jagawana dari Seksi III. Ketika mau loding kapal Hong Kong datang ke keramba, biasanya sudah didampingi oleh petugas DKP Buton, DKP Wakatobi, petugas Karantina Ikan serta dari BKSDA”. Kapal Hong Kong tersebut sudah mengantongi dokumendokumen dari pihak terkaittermasuk Bea Cukai. Kesemuanya dokumen tersebut yang mengurus adalah kantor di Bau-Bau” (27 April 2012). Hal ini juga dituturkan Lls (40 Tahun), yang menjadi kepercayaan oleh kordinator Rtn (29 Tahun). untuk mengurus segala perijinan mulai dari SITU, SIUP, dan SIPI. SIPI adalah surat kapal dan pengangkutan ikan yang secara undang-undang melalui peraturan daerah dikeluarkan oleh kepala daerah sebagai suatu legalnya ijin pengangkutan ikan. SIUP adalah surat ijin usaha perikanan yang mana merupakan keputusan dari kepala daerah yang aturannya diatur oleh undang-undang secara legal dan SITU adalah ijin yang mengatur tentang tempat usaha.
102
“Dalam hal ini saya dipercayakan oleh Rtn untuk mengurus segala perijinan berkaitan dengan usaha ikan karang hidup. Saya yang mengurusi ke Pemerintah Daerah ke Dinas Perijinan, ke DKP Wakatobi. Saya juga mengurusi permasalahan nelayan atau yang berkiatan dengan usaha ikan ke kepolisian kalau terjadi sesuatu” (wawancara, 19 April 2012). Im. (30 Tahun) sebagai kepala keramba UD. PMB juga menuturkan bahwa dirinya aktif dalam sosialisasi tentang perikanan ataupun tentang konservasi baik dari Taman Nasional, DKP, TNC-WWF maupun dari Pemerintah Daerah Wakatobi “Ketika WWF mengadakan sosialisasi perikanan yang ramah tangkap, saya diundang dan berbicara di depan nelayan. Biasanya yang menyelenggarakan adalah join program (TNC-WWF dengan Taman Nasional). Saya memberikan contoh untuk praktek-praktek seperti penyuntikan ikan untuk mengeluarkan udara dalam perut ikan, agar ikan tersebut tidak rusak ataupun mati” (24 Maret, 2012) Temuan hasil dilapangan, bahwa komoditas ikan konsumsi karang hidup dapat dipetakan aktor/stakeholder yang terlibat dalam jaringan komodifikasi ikan konsumsi karang hidup mulai dari penangkapan sampai akan proses loding, ditampilkan pada tabel sebagai berikut: Tabel. 5.5. Aktor/Stakeholder dalam memanfaatkan sumberdaya ikan konsumsi karang hidup. No Aktor Peran dan Kepentingan Keterangan 1.
Nelayan
Produksi (end actor), penangkap ikan dasar
Komunitas lokal, ada nelayan yang dibawah kordinator da nada nelayan bebas
2.
Kordinator
Bos/Majikan (Middle Man); pemberi modal dan akses pasar produk ikan konsumsi karang hidup
Distributor/suppliers
3.
Kios/warung
Usaha rumah tangga seperti toko tetapi dalam skala kecil. Membantu peminjaman bbm untuk perongkosan melaut oleh nelayan lepas yang tidak berhutang ke kordinator
Tidak secara langsung memanfaatkan sumberdaya ikan konsumsi karang hidup, akan tetapi peranannya sangat bermanfaat untuk nelayan lepas dalam hal permodalan BBM untuk melaut
103
No
Aktor
Peran dan Kepentingan
Keterangan
4.
Penjaga Keramba
Pembantu Eksportir; mempunyai tugas mencatat ikan masuk dari siapa (nelayan), mensortir ikan yang layak diterima baik dari kondisi ikan, jenis ikan dan ukuran ikan. Penjaga keramba juga berfungsi sebagai penghubung antara eksportir dengan kordinator atau dengan nelayan langsung. Mengurus dan mengatur perihal perijinan berkaitan dengan aktifitas produksi ikan konsumsi karang hidup
Employee
5.
Eksportir
Eksportir (Pembeli ikan dalam quota besar) dan diekspor ke Hongkong
Eksportir/suppliers
6.
Importir (whole seller/retail)
Importir, adalah pembeli komoditas. Di Wakatobi terdapat improtir yang datang langsung dengan menggunakan vessel menjemput ikan di lapangan dan improtir yang menunggu komoditas di Hong Kong, karena dikirim lewat udara. Importir akan mensupply ikan tersebut ke whole seller atau restaurant yang berada di pasar ikan
Importir/demands
7.
Konsumen
Konsumsi (end actor)
Pembeli ikan
8.
Taman Nasional
Regulasi/pembuat kebijakan zonasi kawasan konservasi yang mempunyai tugas, patrol, pengawasan dan pengelolaan kawasan konservasi
Pemerintah-Management Konservasi Perairan Taman Nasional Wakatobi
9.
WWF/TNC
LSM lingkungan internasional; bekerjasama dengan Taman Nasional Wakatobi dalam wadah joint program TNW-TNC-WWF; yang mempunyai peran untuk mendukung kawasan konservasi dan pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan
iNGO-Empowerment Community and Conservation
104
No
Aktor
Peran dan Kepentingan
Keterangan
10.
DKP Wakatobi
Regulasi/pembuat kebijakan. Mempunyai tugas dalam monitoring dan pengelolaan kebijakan perikanan di perairan Kabupaten Wakatobi
Pemerintah; perikanan perairan Wakatobi
11.
Karantina Kesehatan Pelabuhan dan Syahbandar
Regulasi/pembuat kebijakan. Pengawasan dan pemantuan serta pemeberi ijin terhadap kapal laik jalan atau berlayar
Pemerintah; pengawasan pelayaran
12.
Karantina Ikan; Beacukai; BKSDA (PHKA)
Regulasi/pembuat kebijakan; pengawasan; kontrol dan pengelolaan serta pembuat ijin terhadap perusahaan perikanan dan ijin kesehatan ikan sebelum perusahaan beroperasi atau ijin ikan layak ekspor ke laur negeri
Pemerintah; Management Konservasi Perairan Taman Nasional Wakatobi
13.
TNI AL/Polri atau Polairud
Pengamanan; patroli pengawasan kawasan terkait dengan tindakan Illegal Fishing
Pemerintah; pengamanan wilayah
Sumber: Olahan data primer wawancara dengan narasumber dan pengamatan (2012).
Aktor-aktor yang memanfaatkan sumberdaya perikanan di Wakatobi khususnya komoditas ikan konsumsi karang hidup beragam sesuai dengan peran dan kepentingan masing-masing. Dapat dipetakan lebih dalam bahwa aktor-aktor tersebut yang saling berintegrasi dan membentuk sebuah kekuatan akses dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Terdapat intergrasi vertikal dan horizontal yang melibatkan aktor-aktor tersebut
dalam berjejaring baik dengan sesama
nelayan-kordinator, maupun nelayan-kordinator dengan pemangku kebijakan. Integrasi
tersebut
berjalan
sendiri-sendiri
sesuai
dengan
peran
dan
kepentingannya. Aktor tersebut dikelompokkan antara lain: masyarakat (civil society) termasuk di dalamnya adalah (nelayan, kios, kordinator, dan penjaga keramba), aktor pasar (market) adalah eksportir, importir (wholeseller dan konsumen, aktor iNGO (WWF Indonesia dan TNC Indonesia) dan aktor negara (government) yang di dalamnya terdiri dari Taman Nasional Wakatobi, BKSDA, Karantina, Bea Cukai, DKP Kabupaten/Propinsi; Karantina Kesehatan Pelabuhan; TNI AL dan Polri.
105
Berdasarkan ulasan tabel diatas, dapat digambarkan bagan interaksi aktor/stakeholder dalam jaringan komodifikasi ikan konsumsi karang hidup sebagai berikut: Importir/ whole seller/ retailer
BKSDA, Karantina, dan Beacukai;
Konsumen
DKP Kabupaten Karantina Kshtn Plbhn/Syahbandar
Eksportir Penjaga Keramba
AL/Polri Kios/warung
Middle man Kordinator
Nelayan Terikat
Nelayan Lepas
Lembaga Konservasi: TN iNGO: TNC-WWF Indonesia
Sumberdaya Ikan Konsumsi Karang Hidup Garis pemanfaatan Garis saling terikat membutuhkan Garis kewenangan pengeluaran ijin Garis hunbungan kebutuhan ijin Garis koordinasi antar institusi
Hubungan kinship Hubungan ekonomi Hubungan institutional governance
Sumber: Diadopsi dan dimodifikasi dari Beatrice Crona and Orja Bodin (2010).
Gambar 5. 6. Bagan interkasi aktor dalam pemanfaatan sumberdaya ikan karang hidup di Wakatobi.
Ikatan antar aktor dikaji menggunakan kekuatan hubungan yang bersifat asimetris, antara aktor nelayan dengan aktor lainnya, dan hubungannya dengan stakeholder lain. Crona dan Bodin (2010), mengkaji asimetrik kekuatan (power) dalam komunitas nelayan di Afrika Timur, memaparkan terjadi interaksi antara struktur kekuatan formal dengan jaringan distribusi pengetahuan untuk mengetahui dinding batas tranformasi kekuasaan di dalam komunitas nelayan tersebut. Terdapat dua pola kekuatan akses terhadap sumberdaya, yaitu:
106
1) memberikan bukti adanya distribusi asimetris modal dalam komunitas nelayan, 2) kajian sosiologi ekonomi, menyajikan ikatan patron-client yang terdapat di jaringan produksi. Hasil penelitian interaksi aktor dan stakeholder pengguna sumberdaya perikanan karang hidup, dipetakan menurut power dan pengetahuan sebagai berikut: Tabel. 5.6. Power dan Pengetahuan aktor/stakeholder dalam memanfaatkan sumberdaya ikan konsumsi karang hidup. No Aktor Kategori Kategori Peran Power, pengetahuan penguasaan penguasaan dan ekonomi sumberdaya modal 1.
Nelayan bebas
end actor/nelayan
Client
Aktor produksi,
Kekuatan pengetahuan produksi
2.
Nelayan terikat
end actor/nelayan
Client
Aktor produksi,
Kekuatan pengetahuan produksi
3.
Kordinator
middle man/pengepul
Patron
Pemberi modal produksi ke nelayan dan akses pasar ke eksportir. Presecution right on their client
kekuatan modal ekonomi, pemilik alat produksi dan jaringan akses pasar ke eksportir; Kontrol terhadap harga pasar dari eksportir ke nelayan
4.
Kios/warung
-
-
Pemberi modal terhadap nelayan bebas. Sebagai modal sosial dengan keuntungan ekonomi
Kekuatan ekonomi penyangga non komoditi
5.
Penjaga Keramba
Pekerja eksportir
Assesor dan Selektor
Modal kepercayaan terhadap akses komoditi (good)
Kekuatan pengetahuan dan kepercayaan
6.
Eksportir
Eksportir,
Patron
Pemilik modal jaringan pasar komoditi dan pemilik modal ekonomi serta presecution-akses aman terhadap jaringan pasar
Kekuatan ekonomi, Kekuatan pasar termasuk kontrol harga, supply and demand serta Kekuatan kontrol pengguna sumberdaya alam
supplier and demander (middle man)
107
No
Aktor
Kategori penguasaan sumberdaya
Kategori penguasaan modal
Peran
Power, pengetahuan dan ekonomi
7.
Importir (whole seller/retail)
demands
Busseniss network
Pemilik akses pasar konsumen, pemilik modal ekonomi, dan kontrol harga
Kekuatan ekonomi, dan kontrol pasar konsumen
8
Konsumen
end actor/pembeli tingkat akhir
Konsumen
Pemilik ekonomi, kontrol demand, pemilik pengetahuan produk komoditi
Pemilik pengetahuan dan ekonomi
9.
Taman Nasional
Pemerintah
Governmenality
Pembuat kebijakan zonasi kawasan konservasi
Pemilik Kekuasaan, negara sebagai aktor tata kelola
10.
WWF/TNC
NGO
Empowerment
Empower
Pendampingan masyarakat, Pemilik pengetahuan
11.
DKP Wakatobi
Fisheries agency, local government
Governmenality
Monitoring, Pembuat kebijakan
Pemilik kekuasaan sebagai ujud devolusi lokal.
12.
Karantina Kesehatan Pelabuhan dan Syahbandar
Ship transport and healt port quarantine
Governmenality
Monitoring
Pemilik kekeuasaan territorial
13.
Karantina Ikan; Beacukai; BKSDA (PHKA)
Fish Quarantine; Conservation agency
Governmenality
Pembuat kebijakan; pengawasan; kontrol
Pemeilik pengetahuan;
TNI AL/Polri atau Polairud
Security Force
Governmenality
Pengamanan; patroli pengawasan kawasan terkait dengan tindakan Illegal Fishing
Kekuasaan mutlak
14.
Pemilik kekuasaan
Sumber: Olahan data primer wawancara dengan narasumber dan pengamatan (2012).
Jaringan sosial dalam pengelolaan sumberdaya alam mempunyai ikatan berdasar dari karakter dan tipologi dari ikatan aktor ataupun stakeholder. Karakter dan tipologi dari interkasi aktor dianalisis sebagai kajian analisis jaringan sosial. Prell et.al. (2009; 501-518), memetakan konsep jaringan dalam pemanfaatan sumberdaya alam menjadi lima konsep yang mempunyai dampak terhadap
108
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Kelima konsep tersebut, adalah: 1). Strong ties; 2). Weak ties, 3). Homophily, 4). Centrality, (degree centrality dan betweenes centrality), 5). Centralization. Jaringan komodifikasi ikan konsumsi karang hidup di Wakatobi, merujuk dari konsep jaringan yang dikemukakan oleh Prell, et.al. (2009), adalah sebagai berikut: Tabel. 5.7. Konsep jaringan interaksi aktor dan stakeholder, serta dampaknya terhadap penggunaan sumberdaya perikanan karang hidup. No Aktor Konsep Jaringan Dampak terhadap pengelolaan SDP 1. Nelayan Weak ties Komunikasi antar nelayan dalam bebas pengelolaan harga dan tempat tangkap ikan menjadi faktor komunikasi yang kuat antar nelayan. 2. Nelayan Strong ties Nelayan terikat tidak mempunyai pilihan terikat lain, kecuali menurut terhadap kordinator mereka sebagai patron, pelindung dan pemberi akses pasar 3. Kordinator Degree Centrality Kordinator disini menjadi kunci penting yang menghubungkan antara nelayan terikat dengan eksportir (akses pasar) 4. Kios/warung Centrality Kepercayaan yang terbentuk antara nelayan bebas dengan kios merupakan bentuk hubungan saling menguntungkan. Kios mendapatkan masukan dari hutang nelayan, dan nelayan mendapatkan jaminan perongkosan melaut. 5. Penjaga Degree Centrality Kekuatan pengetahuan dan kepercayaan Keramba eksportir menjadikan kepercayaan nelayan terhadap penjaga keramba sebagai pintu akses penjualan ikan dari kordinator atau nelayan. Timbal balik hubungan tersebut, nelayan satu menjadi kunci nelayan lain dalam menjaga kepercayaan penjaga keramba untuk menerima komoditas yang masuk. 6. Eksportir Centrality Eksportir mempunyai peran penting dalam membentuk pola perikanan dan praktek tangkap terhadap nelayan dan kordinatornya. 7. Importir Centrality Kepercayaan importer terhadap eksportir (whole demikian sebaliknya, sangat kental di seller/retail) pengaruhi hubungan supply and demand. 8
Konsumen
Centrality
Kepercayaan pengetahuan nelayan akan importer/wholeseller, menjadikan deman tetap berlangsung
9.
Taman Nasional
Centralization
10.
WWF/TNC
Homophily
Idealisme konservasi Taman Nasional menjadi faktor weak ties terhadap pengguna sumberdaya di dalam kawasan Insentive, pemberdayaan menjadi hubungan Lembaga Swadaya Masyarakat
109
No 11.
Aktor DKP Wakatobi
Konsep Jaringan Centralization/Betweenes centrality
12.
Karantina Kesehatan Pelabuhan dan Syahbandar
Centralization
13.
Karantina Ikan; Beacukai; BKSDA (PHKA) TNI AL/Polri atau Polairud
Centralization
14.
dekat dengan pengguna sumberdaya perikanan Dampak terhadap pengelolaan SDP Kebutuhan ijin dan birokrasi, menjadikan hubungan pengguna sumberdaya alam hanya bersifat birokratis semata. Kebutuhan ijin dan birokrasi, menjadikan hubungan pengguna sumberdaya alam hanya bersifat birokratis semata
Kebutuhan ijin dan birokrasi, menjadikan hubungan pengguna sumberdaya alam hanya bersifat birokratis semata
Kekuasaan mutlak atas keamanan territorial menjadikan hubungan antara pengguna (eksportir dan kordinator) sebatas sebagai jaringan pengaman usaha mereka. Sumber: Olahan data primer wawancara dengan narasumber dan pengamatan (2012). Centralization/ Betweenes centrality
Peranan kordinator dan ekportir mempunyai sentralitas kepentingan yang sangat mempengaruhi pola praktek perikanan di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang. Ekportir dan kordinator mempunyai konsep jaringan degree centrality dan betweenes centrality. Degree centrality terjadi dalam interaksi horizontal antara eksportir dengan kordinator dan nelayan. kepercayaan eksportir terhadap nelayan merupakan kepercayaan penuh eksportir terhadap kordinator. Di lapangan, tidak sembarangan menjual ikan ke eksportir yang, kordinatornya tidak dikenal. Sedangkan betweenes centrality, merupakan interaksi kepercayaan jaringan diantara sesame nelayan di bawah kordinator yang sama dengan hubungan mereka terhadap stakeholder (seperti TNI, POLRI, DKP). Betweenes, berarti diantara, sesama dalam jaringan mempunyai hubungan yang kuat walaupun antara aktor satu dengan yang lainnya tidak berinteraksi. Nelayan A, dengan kordinator A, akan mempunyai ikatan yang dekat dengan stakeholder B, walaupun nelayan A tidak berhubungan dan tidak ada ikatan, karena kordinator A mempunyai hubungan yang kuat dengan stakeholder B. Interaksi aktor sebagai akibat dari komodifikasi ikan konsumsi karang hidup yang mempunyai harga jual secara ekonomi tinggi, membentuk rangkaian gerbong yang menyebabkan beberapa dampak perubahan-perubahan dalam aspek sosial, ekonomi, kebijakan dan ekologi. Perubahan tersebut diawali dengan
110
adanya permasalahan-permasalahan berkaitan dengan dinamika komoditas ikan konsumsi karang hidup semakin waktu menjadi komodifikasi yang tidak dapat diprediksi, tidak menentu dan juga mempunyai permasalahan di berbagai aspek sosial, ekonomi, kebijakan dan ekologi. Hal ini menjadi menarik, dikarenakan perubahan komodifikasi ikan karang juga diikuti dengan pengelolaan kawasan konservasi dan pengaturan otonomi daerah oleh Kabupaten Wakatobi. Perubahan yang mendasar dalam jaringan komoditas ikan konsumsi karang hidup adalah terdapatnya peluruhan ikatan patron-klien yang terjadi pada awal kemunculan komoditas ikan konsumsi karang hidup. Akibat dari faktor pemaksaan dan otoriter dari seorang kordinator dapat menyebabkan nelayan menjadi tidak percaya terhadap kordinator dan merasa terbebani. Ikatan hutang patron-klien yang terdapat pada kordinator-nelayan, tidak didasari dengan perjanjian dan perikatan yang formal legal. Hal ini menjadikan pemanfaatan jasa polisi sebagai security force terhadap nelayan yang mencoba ingkar janji terhadap kordinatornya sebagai bentuk meluruhnya loyalitas dan kewajiban nelayan terhadap kordinatornya. Multiaktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya ikan konsumsi karang hidup menyebabkan menjadi lebih dinamik. Keunikan pemanfaatan sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup terdapat pada interaksi aktor yang terlibat, yang melibatkan berbagai stakeholder di dalam kawasan konservasi. Terdapat integrasi horizontal berupa ikatan aktor dalam level produksi dan integrasi vertikal terdapat dalam ikatan aktor produksi dan stakeholder yang berkaitan dengan aktifitas distribusi komoditas ikan tersebut.
111