Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
KELUARGA BERCERAI DAN INTENSITAS INTERAKSI ANAK TERHADAP ORANG TUANYA (Studi Deskriptif di Kecamatan Medan Sunggal) Maryanti Rosmiani Abstract: The essence of marriage is the unity of a man and a woman until death due them part. But, there are many reasons that can lead to the situation where they can no longer live together as husband and wife. The divorce has many impacts, especially on children. One of the impacts is that children can not interact as intense as they used to do with their parents. This matter is critical to handle because it relates to children’s development, both socially and psychologically. Keywords: divorce, children, interaction PENDAHULUAN Perkawinan pada hakikatnya merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat di bawah suatu peraturan khusus atau khas dan hal ini sangat diperhatikan baik oleh agama, negara maupun adat, artinya bahwa dari peraturan tersebut bertujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, baik agama, negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya, sehingga pria itu bertindak sebagai suami sedangkan wanita bertindak sebagai istri. Dalam perkawinan pasangan suami istri mengikat dirinya pada persetujuan umum yang diakui, untuk setia mentaati peraturan dan ketentuan-ketentuan di dalam masyarakat, mereka secara timbal balik, terhadap anakanaknya, sanak keluarganya dan terhadap orang lain dalam masyarakat. Dari perkawinan lakilaki dan perempuan inilah terbentuk suatu lembaga baru yaitu lembaga keluarga. Keluarga dibedakan menjadi dua tipe keluarga, yaitu keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Adapun keluarga batih ini ialah suatu satuan keluarga terkecil yang terdiri dari ayah, Ibu, dan anakanaknya. Adapun keluarga luas (extended family) adalah keluarga yang terdiri atas beberapa keluarga batih. Keluarga menurut Horton (1999: 268), merupakan suatu kelompok kekerabatan yang menyelenggarakan pemeliharaan anak dan kebutuhan manusiawi lainya. Dari lembaga
keluarga inilah akan lahir anggota-anggota baru sebagai penerus keturunan mereka. Keluarga sebagai unit terkecil, memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu adanya peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga, terutama peran dan fungsi suami dan istri, dan juga anggota keluarga lainya. Keluarga terdiri dari beberapa orang, secara otomatis akan terjadi interaksi antara anggotanya. Interaksi dalam keluarga juga akan menentukan dan berpengaruh terhadap keharmonisan atau sebaliknya tak bahagia (disharmonis). Kondisi keluarga yang bahagia merupakan keluarga ideal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap pasangan suami-istri. Gunarsa (1993) menyatakan, keluarga bahagia/ideal adalah keluarga yang seluruh anggotanya merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekacauan dan merasa puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial. Bentuk keluarga yang ideal, di dalam masyarakat berbeda-beda dari satu masyarakat kemasyarakat yang lainya, karena latar belakang sosial budayanya berbeda. Di negara-negara barat dan negara-negara industrialis lainnya, keluarga ideal dibentuk dari keluarga batih dan memang tampak dominan karena dianggap bentuk keluarga batih lebih adaptif terhadap kebutuhan proses industrialisasi. Sistem keluarga ideal menurut Sanderson (1995: 481), yaitu menyangkut hubungan suami dan istri, orang tua dan anak-anaknya, serta keluarga dan semua kerabat, dan hubungan ini telah banyak mengalami perubahan saat ini, karena pada awalnya hubungan-hubungan tersebut lebih diwarnai oleh kepentingan ekonomis belaka (walau tidak
Maryanti adalah Alumni Departemen Sosiologi FISIP USU Rosmiani adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU 60
Universitas Sumatera Utara
Maryanti dan Rosmiani, Keluarga Bercerai dan Intensitas...
semua), namun akhirnya sistem keluarga semakin lama semakin dilandasi oleh rasa cinta kasih antara suami dan istri, serta terhadap anakanaknya, maupun kerabatnya. Dalam hal ini pasangan hidup dan anak semakin dihargai sebagai pribadi yang memiliki arti penting secara emosional. Keluarga sebagai satuan emosional yang memenuhi peran, tanggung jawab semakin dianggap penting oleh umumnya masyarakat. Keluarga ideal juga tidak lepas dari sejauh mana ia mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik di dalam keluarga, karena fungsi keluarga tidak dapat dipisahkan dari keluarga ideal adapun fungsi keluarga tersebut adalah fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, Fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomi. Berjalannya fungsi-fungsi ini membawa keluarga pada pola penyesuaian sebagai dasar hubungan sosial dengan penuh cinta kasih, sehingga tercipta pola interaksi sosial yang lebih luas, baik dengan sesama anggota keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Pola interaksi dalam keluarga umumnya bersifat intim, artinya bahwa hubungan suami dan istri, hubungan suami, istri dan anak-anaknya memungkinkan mereka akrab satu sama lain. Karena lingkungan yang pertama sekali dikenal dan dekat adalah keluarga. Interaksi anggota keluarga yang baik, juga tercermin dari kebersamaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan pekerjaan rumah tangga, hobi, rekreasi, dan sebagainya. Karena seringnya melakukan segala kegiatan bersama-sama dapat meningkatkan keakraban antara anggota keluarga dan tidak merasa asing antara yang satu dengan yang lainya. Sehingga dapat memungkinkan terciptanya keluarga yang harmonis atau bahagia yang tentunya diidam–idamkan setiap keluarga. Oleh karena itu diperlukan kondisi keluarga yang harmonis dengan adanya keterkaitan yang erat antara anggota keluarga, baik antara ayah dan ibu, orang tua dengan anak-anaknya, sebab dengan kondisi keluarga yang harmonis akan lebih menjamin terlaksananya fungsi-fungsi keluarga. Akan tetapi dalam suatu keluarga terutama suami dan istri sebagai orang tua tidak selamanya mampu menjalankan peran fungsifungsi keluarga. Hal ini disebabkan karena adanya pemicu konflik yang mempengaruhi keharmonisan keluarga tersebut di antaranya:
a. b. c. d.
e.
Tidak adanya tanggung jawab suami, dalam hal kebutuhan ekonomi. Adanya perselingkuhan baik yang dilakukan oleh pihak suami maupun istri. Berbeda prinsip dalam mengarungi bahtera rumah tangga seperti masalah anak, masalah pekerjaan dll. Biologis adalah keadaan suami atau istri yang tidak mempunyai kemampuan jasmani untuk membina perkawinan yang bahagia, seperti sakit, impoten atau mandul. Suami ingin menikah lagi dengan orang lain, yang lebih dikenal dengan istilah poligami/dimadu.
Dengan sebab-sebab di atas, kondisi suatu keluarga akan terjadi konflik yang akhirnya akan menyebabkan adanya ketidaksepahaman, perselisihan, silang pendapat di antara keduanya dan juga akan berpengaruh kepada anggota keluarga lainnya sehingga menyebabkan kegoncangan dan ketidakharmonisan di dalam keluarga, kondisi ini disebut disharmonisasi keluarga, karena jika dalam keluarga suami dan istri bermasalah, maka seluruh interaksi orang tua dengan anak-anaknya juga akan berpengaruh sehingga kebahagiaan dalam keluarga akan mengalami hambatan. Karena itu semua anggota keluarga yang ikut membentuk keluarga harus berperan serta dalam mempengaruhi kondisi bahagia atau tak bahagia dalam keluarga, bahkan bila kondisi ini berjalan terus-menerus akan mengakibatkan putusnya hubungan suami dan istri atau di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan istilah perceraian. Perceraian ditafsirkan sebagai pecahnya suatu unit keluarga. Terputusnya atau retaknya struktur keluarga disebabkan karena fungsi keluarga yang tidak berjalan semestinya. Perceraian sedikit banyak akan mempengaruhi lingkungan keluarga, khususnya anak, karena perceraian bagi anak akan berdampak pada penentuan status anak maupun interaksi anak dengan orang tuanya setelah perceraian. Adapun dampak dari perceraian yang sering kali dialami anak adalah: 1. Anak merasa terjepit, anak mengalami kesulitan untuk berkata saya memilih tinggal dengan ibu, atau memilih tinggal dengan ayah. Dia merasa terjepit di tengah-tengah, siapa yang harus dibela, siapa yang harus diikuti setelah perceraian.
61 Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
2. Anak akan mengalami interaksi yang kurang baik, dengan pisahnya salah satu orang tuanya, dengan interaksi yang kurang baik dan jarang tersebut akan merubah perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Perceraian suami dan istri tidak merubah status anak sebagai anak mereka, namun tidak dapat dihindari akan sangat berpengaruh pada frekuensi bertemu dan intensitas interaksi anak dengan orang tua setelah perpisahan mereka, khususnya pada orang tua yang tidak satu atap lagi dengan si anak, walaupun tidak dapat dipungkiri terjadi juga dengan orang tua yang seatap dengannya. Interaksi anak dengan orang tua yang bercerai akan mengalami kerenggangan dan bahkan terasa kaku karena jarangnya proses perjumpaan dengan salah satu atau kedua orang tuanya, karena anak setelah perceraian harus berpisah dengan orang tuanya atau harus tinggal di rumah familinya. Interaksi orang tua dengan anak sangat dibutuhkan oleh anak karena idealnya interaksi antara orang tua dan anak berjalan secara kesinambungan dan kontiniu. Pada anak yang sedang berkembang mereka memerlukan arahan dan bimbingan yang biasanya didapatkan dari orang-orang dewasa yang dekat dengan mereka dan bisa mereka percayai salah satu di antaranya adalah orang tua. Pentingnya interaksi anak dengan orang tua karena dalam interaksi itu didapatkan kasih sayang, rasa aman dan perhatian dari orang tua yang tidak ternilai harganya. Interaksi yang baik antara orang tua dan anak juga harus diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan anak, seperti kebutuhan pangan, sandang, dan pendidikan, karena semua itu adalah tanggung jawab orang tua yang telah melahirkannya. Apabila dalam suatu keluarga terjadi suatu perceraian, maka sedikit banyak akan mempengaruhi perubahan perhatian dari orang tua terhadap anaknya baik perhatian fisik, seperti sandang, pangan, dan pendidikan maupun perhatian psikis seperti, kasih sayang dan intensitas interaksi. Perubahan ini disebabkan karena kebiasaan hidup yang dilakukan bersama dalam satu rumah, harus berubah menjadi kehidupan sendiri-sendiri. Dengan kondisi di atas dapat mengakibatkan sang anak kehilangan sosok orang tua yang tidak seatap lagi, karena hubungan mereka terputus karena perceraian. Kehilangan salah satu orang tua berarti tak
62
adanya tokoh yang dapat diidentifikasi dalam keluarga (Sinolungan, 1979: 44). Kehilangan satu orang tua dapat menyebabkan kenakalan pada anak sebagaimana angka kenakalan terbanyaknya terdapat pada anak laki-laki yang hanya tinggal dengan ibunya, Begitu juga kenakalan yang terjadi pada anak perempuan menunjukkan angka tertinggi terdapat pada mereka yang hidupnya hanya dengan ayah, hal ini disebabkan karena pola interaksi yang tidak seimbang yang diterima anak, sehingga wajar bila sang anak menjadi nakal karena norma-norma dan aturan yang seharusnya disosialisasikan oleh ayah dan ibunya, tidak pernah mereka dapatkan secara seimbang dari kedua orang tuanya, hal ini menyebabkan proses interaksi yang baik dalam keluarga tidak terpenuhi disebabkan oleh perceraian. Dalam perumusan masalah ini perlu dibatasi masalahnya sehingga menjadi suatu permasalahan pokok, yang nantinya dapat lebih mengarahkan penelitian ini, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana status anak pada keluarga bercerai, dalam hal status tempat tinggalnya, status kebutuhan ekonominya dan status pendidikannya. 2. Bagaimana intensitas interaksi anak terhadap orang tuanya pada keluarga bercerai. PEMBAHASAN Perceraian Dalam PP No. 9 Tahun 1975 dikenal istilah perceraian, namun bagi yang menganut agama Islam perceraian ini sering disebut talak, kata talak ini didapati pada Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975. Adapun yang dimaksud dengan perceraian atau talak ialah pemutusan hubungan perkawinan antara suami istri dengan mempergunakan kata-kata “cerai (talak)” atau yang sama maksudnya dengan itu (Said, 1994: 3). Oleh karena itu perceraian atau talak dapat dilakukan oleh suami baik lisan maupun secara tulisan dan menggunakan katakata yang menjurus kepada perceraian sebagaimana diungkapkan oleh Nakamuru, 1991: 31, bahwa cerai/talak itu ialah suatu bentuk pemutusan perkawinan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, dengan bunyi ”Aku talak engkau” atau ”aku ceraikan engkau”, juga dapat digunakan kata-kata lain yang sama artinya,
Universitas Sumatera Utara
Maryanti dan Rosmiani, Keluarga Bercerai dan Intensitas...
suami yang akan menceraikan istrinya itu dengan kata-kata yang jelas. Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa perceraian merupakan putusnya hubungan perkawinan yang sah, yang selama ini telah terbina. Perceraian terkadang dianggap malapetaka karena perceraian dapat memutuskan silaturahim antara suami istri dan keluarga masing-masing dan dapat mengguncangkan kestabilan jiwa anak dan menggelisahkan masyarakat. Klasifikasi perceraian dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: a. Perkawinan antara suami dan istri dapat putus karena: 1. Kematian 2. Perceraian, dan 3. Atas putusan pengadilan. “Mengungkai (melepaskan) ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami dan istri (Said, 1994: 2). b. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Cerai talak, yaitu bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam. Maksud perceraiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama di tempat mereka bertempat tinggal. Cerai gugat, yaitu bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya selain agama Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam gugat perceraianya dapat diajukan pada pengadilan negeri/agama di mana mereka tinggal. Adapun menurut Djamil Latif dalam agama Islam klasifikasi putusnya ikatan perkawinan disebabkan; 1. Kematian suami atau istri, 2. Oleh perceraian karena; a. Tindakan pihak suami b. Tindakan pihak istri c. Persetujuan kedua belah pihak d. Keputusan hakim Perceraian dapat terjadi bila seseorang yang akan bercerai mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk bercerai, bahkan antara suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan perceraian (Pasal 116) antara lain adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri. 6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sesuai dengan undang-undang, batalnya perkawinan serta sahnya perceraian hanya dapat dibuktikan dengan keputusan pengadilan agama untuk orang-orang Islam dan pengadilan negeri untuk orang-orang non-Islam. Namun sebagian masyarakat untuk proses perceraian lebih memilih menggunakan hukum adat atau memilih menggunakan proses perceraian dengan cara kekeluargaan. Di mana dalam proses perceraian ini pihak adat menjadi saksi putusnya perkawinan pasangan ini, begitu juga perceraian dengan cara kekeluargaan akan dianggap sah apabila ada kesepakatan berpisah dari suami dan istri yang diketahui oleh keluarga kedua belah pihak, dengan alasan-alasan yang diterima. Walaupun proses ini sebenarnya tidak diakui oleh negara. Perceraian baik secara resmi maupun secara tidak resmi berdampak negatif bagi pasangan yang bercerai, lingkungan, dan yang paling terasa berat dampaknya terjadi pada anak. Adapun dampak perceraian itu sendiri dapat menyebabkan: 1 Anak mempunyai kemarahan, frustasi dan dia mau melampiaskanya, dan pelampiasannya adalah dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan peraturan-peraturan, memberontak, dan lain sebagainya. 2 Bila anak tinggal dengan ibu, anak kehilangan figur otoritas, figur ayah, waktu figur otoritas itu menghilang, anak seringkali tidak terlalu takut pada ibunya.
63 Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
3
Anak kehilangan jati diri sosialnya atau identitas sosial. Status sebagai anak cerai memberikan suatu perasaan berbeda dari anak-anak lain.
Setelah perceraiaan kedua pasangan ini juga dihadapkan pada penyesuaian diri dengan pengasuhan anak, kebiasaan dan gaya hidup baru, serta tanggung jawab tambahan sebagai orang tua tunggal bagi orang tua yang diserahi pengasuhan anak setelah perceraian. Bagi orang tua tunggal keadaan ini akan menjadi lebih buruk ketika ia harus menanggung urusan keuangan dan bekerja pada saat bersamaan. Walau sebenarnya kedua orang tuanya tetap bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sang anak dari kebutuhan ekonomi, sampai kebutuhan pendidikan. Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang tercantum dalan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, Pasal 41, yang menyatakan bahwa akibat putusan perkawinan adalah: 1. Baik istri atau suami tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan, mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi putusannya. 2. Suami yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana suami tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut memikul biaya tersebut. Interaksi Manusia telah mempunyai naluri untuk melakukan interaksi dengan sesamanya semenjak dia dilahirkan di dunia. Interaksi sesama manusia merupakan suatu kebutuhan, oleh karena itu dengan pemenuhan kebutuhan tersebut ia akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tanpa interaksi dengan manusia lain tidak akan dapat bertahan untuk hidup. Dalam buku sosiologi suatu pengantar, Soerjono Soekanto (1986: 498) mengutip definisi Gillian dan Gillian dari buku mereka Cultural Sociology yakni interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Intekaksi sosial merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam sosiologi. Istilah tersebut secara kontak timbal balik atau interstimulasi dan
64
respons antara individu-individu dan kelompok. Adapun ciri ciri dari interaksi sosial adalah: 1. Jumlah pelakunya lebih dari seorang, biasanya dua atau lebih. 2. Adanya komunikasi antar para pelaku dengan menggunakan simbol-simbol. 3. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini, dan akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung. 4. Adanya suatu tujuan tertentu. Menurut Kimbal Young dan Raymond W. Mack (dalam Soekanto 1982: 58) menyatakan bahwa interaksi sosial, adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi, tak akan mungkin ada kehidupan bersama; interaksi yang dilakukan oleh manusia mempunyai syaratsyarat agar interaksi terjadi dengan baik. 1. Kontak 2. Komunikasi Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok agar mempunyai makna bagi pelakunya, dan kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain. Penangkapan makna tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi. Kontak dapat terjadi secara langsung, yakni melalui gerak dari fisikal organisme (action of physical organism), misalnya melalui pembicaraan, gerak, isyarat dan dapat pula secara tidak langsung, misalnya melalui tulisan atau bentuk-bentuk komunikasi jarak jauh, seperti telepon, chatting, dan sebagainya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Alvin dan Helen Gouldner dalam Taneko (1990: 110), interaksi itu adalah suatu aksi dan reaksi di antara orang-orang, jadi tidak memperdulikan secara berhadapan muka secara langsung ataukah melalui simbol-simbol seperti bahasa, tulisan yang disampaikan dari jarak ribuan kilometer jauhnya. Semua itu tercakup di dalam konsep interaksi selama hubungan itu mengharapkan adanya satu atau lebih bentuk respons. Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung. Terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi, oleh karena komunikasi itu timbul apabila seseorang individu memberi tafsiran pada perilaku orang lain. Dengan tafsiran tadi, lalu seseorang itu mewujudkan dengan perilaku, di mana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin di sampaikan oleh orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Maryanti dan Rosmiani, Keluarga Bercerai dan Intensitas...
Sehubungan dengan komunikasi, schlegel berpendapat bahwa: manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, mentafsirkan makna-makna, obyek-obyek di dalam kesadarannya, dan memutuskan bagaimana ia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu (Taneko, 1990: 75 ). Gerungan (2002: 57) seorang sarjana psikologi mengatakan bahwa interaksi sosial dirumuskan sebagai berikut: yaitu suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu yang satu mempengaruhi, merubah atau memperbaiki kelakuan individu lain atau kebalikannya. Oleh karena itu, dalam keluarga itu juga perlu adanya komunikasi antara ayah, ibu, dan anak-anaknya, komunikasi ini tidak hanya terbatas pada keluarga yang utuh, tetapi berlaku juga pada keluarga yang tidak bersatu lagi (bercerai) walaupun keluarga yang bercerai ini secara otomatis memisahkan anak dengan satu orang tuanya, pisahnya/tidak serumah lagi anak dan satu orang tuanya tidak selalu menandakan putusnya komunikasi baik komunikasi secara langsung maupun komunikasi secara tidak langsung, karena komunikasi yang terpenting antara anak dan orang tuanya yang berpisah adalah makna dan kualitasnya dari pertemuan itu, walaupun antara anak dengan orang tuanya bertemu dan berkomunikasi secara langsung hanya 1 minggu sekali bahkan hingga 1 satu bulan sekali saja, tetapi bila pertemuan itu disertai dengan suasana akrab, penuh perhatian dan kasih sayang yang tercurahkan selalu, saling bercerita tentang kejadian yang dialami, diskusi/bertukar pikiran, memberikan nasihatnasihat dan lain sebagainya lebih penting dan lebih baik dari pada sering bertemu tetapi tanpa komunikasi yang baik dan suasana yang hambar. Komunikasi yang baik ini juga dapat diiringi dengan komunikasi secara tidak langsung seperti lewat telpon, SMS, surat menyurat, merupakan suatu hal yang juga dapat menambah keeratan hubungan antara anak dan orang tua, karena dengan komunikasi yang baik ini menunjukkan kepedulian orang tua terhadap anak, dengan menanyakan kabar, memberi ungkapan-ungkapan kasih sayang dengan menggunakan media komunikasi secara tidak langsung tersebut. Keluarga bercerai sedikit banyak akan berdampak dan berpengaruh pada anak, namun hal ini akan berbeda bila orang tua yang berpisah tersebut masih berinteraksi dan berkomunikasi
secara baik dengan anak memperkecil dampak yang negatif bagi anak, dari pada membiarkan keluarga yang utuh tetapi selalu terjadi konflik di antara anggota terutama ayah dan ibunya, karena keluarga penuh konflik tidak akan mampu menjalankan fungsi-fungsi keluarga dengan sempurna, baik yang fungsinya berlaku sesama suami dan istri, maupun fungsi yang yang kaitannya dengan anak. Adapun fungsi-fungsi keluarga tersebut adalah: 1. Fungsi pengaturan seksual. 2. Fungsi reproduksi. 3. Fungsi sosialisasi. 4. Fungsi afeksi (kasih sayang). 5. Fungsi penentuan status. 6. Fungsi perlindungan. 7. Fungsi ekonomi, (Horton dan Hunt, 1987: 274-279 ). Fungsi-fungsi keluarga di atas merupakan fungsi keluarga yang ideal, hal ini akan berbeda pada kondisi keluarga yang bercerai, di mana fungsi keluarga antara pasangan suami dan istri tidak mukin berlaku lagi seperti, seperti fungsi pengaturan seksual dan fungsi reproduksi, tetapi hal ini berbeda dengan yang dialami anak, seharusnya anak tetap menerima fungsi-fungsi keluarga yang memang berlaku bagi anak, karena pada dasarnya anak masih berstatus sebagai anak dari kedua orang tuanya tersebut, tidak seperti kedua orang tuanya setelah perceraian berstatus duda dan janda. Anak masih berhak mendapat fungsi-fungsi keluarga dari kedua orang tuanya tersebut, karena orang tua berhak mendapat motivasi yang kuat untuk mendidik karena anak merupakan buah cinta kasih hubungan suami dan istri. Anak merupakan perluasan biologis dan sosial orang tuanya, motivasi yang kuat ini melahirkan emosional antara orang tua dan anak. Penelitian-penelitian membuktikan bahwa hubungan emosional lebih berarti dan efektif dari pada hubungan intelektual dalam proses sosialisasi, oleh karena itu orang tua memainkan peranan sangat penting terhadap proses sosialisasi anak. Corak hubungan anak dan orang tua sangat menentukan proses sosialisasi anak, corak hubungan anak dan orang tua ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Fels Research Institute (1993: 47), dapat dibedakan menjadi 3 pola yaitu: 1. Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
65 Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
2. Pola memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan atas beberapa besar sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua yang overprotektive dan memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali. 3. Pola demokratif-otokrasi, pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam keluarga demokrasi sampai batas-batas tertentu, anak dapat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan orang tua.
informannya telah ditentukan terlebih dahulu dengan menentukan kriteria informan yang dianggap berkompeten untuk dijadikan sebagai sumber data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun kriteria-kriteria informan dalam penelitian ini adalah: 1. Anak yang berusia 8-20 tahun 2. Belum menikah
Peran orang tua juga dibutuhkan seorang anak dalam hal sosialisasi norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Orang tua juga wajib memberi pegangan hidup baik dan nilai-nilai dasar kehidupan kepada anak untuk bekal anak dikemudian hari. Sosialisasi adalah proses interaksi sosial di mana calon anggota masyarakat mengenal cara-cara berfikir, berperan, dan berperilaku, sehingga dapat berperan secara efektif di dalam masyarakat yang dipelajarinya, dalam sosialisasi mengajarkan nilai-nilai, norma-norma dan simbol (Ihromi, 1990). Hal yang sama juga dijelaskan oleh Wirotomo (1994: 11) bahwa sosialisasi merupakan suatu proses yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan proses paling dasar dari terbentuknya masyarakat. Sosialisasi dalam keluarga bisa disebut primary socialization, yaitu sosialisasi yang paling pertama diterima oleh seorang anak. Menurut Parson dalam Wirotomo (1994: 11). Sosialisasi primer dalam keluarga menghasilkan personality structure di mana pola orientasi nilai yang ditanamkan pada seseorang akan sulit untuk diubah lagi sepanjang kehidupannya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memahami permasalahan atau yang diteliti sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang gejala-gejala dan fenomena yang diteliti dan diharapkan diperoleh data sesuai dengan yang diperlukan. Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah anak yang berusia 8-20 tahun, yang orang tuanya bercerai di Kecamatan Medan Sunggal. Pemilihan informan dilakukan dengan cara Purposive sampling, di mana
Deskripsi Hasil Penelitian Perceraian di Kecamatan Medan Sunggal kebanyakan dilakukan dengan cara kekeluargaan, cara ini dilakukan dengan alasan keterbatasan ekonomi, menginginkan proses yang cepat dan murah, dan juga karena proses birokrasi yang berbelit sehingga terkesan mempersulit. Adapun faktor-faktor terjadinya perceraian di Kecamatan Medan Sunggal ini adalah: faktor ekonomi, faktor perselingkuhan, faktor keterlibatan orang tua (mertua) dalam rumah tangga, faktor tidak ada cinta dan yang terakhir adalah faktor beda prinsip. Perceraian orang tua menyebabkan berubahnya tempat tinggal anak sehingga status tempat tinggal anak bersama ayahnya, ibu ataupun dengan familinya, yang terlebih dulu telah dilakukan penentuan dengan siapa sang anak tinggal. Setelah dilakukan penelitian di lapangan penentuan tempat tinggal anak diputuskan oleh pihak kedua keluarga besarnya dengan sistem musyawarah. Penentuan tempat tinggal ini pun tidak mengalami permasalahan yang berarti, di mana setelah diputuskan status tempat tinggal anak tidak terjadi rebutan anak baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Tempat tinggal anak sesuai hasil putusan perceraian dengan tempat tinggal anak sekarang pun masih mengalami ”kesesuaian”. Orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh anak terkesan tidak perduli kepada kondisi anak tersebut, hal ini terbukti pada pemenuhan kebutuhan sang anak pasca-perceraian. Pemenuhan kebutuhan anak baik kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan pendidikan khususnya pembiayaan untuk sang anak yang diberikan orang tua (ayah dan ibu) tidak seimbang, karena selama ini kebutuhan yang
66
Untuk jumlah informan tidak ditentukan, penentuannya adalah data, artinya apabila data yang diperoleh dari informan sudah dianggap cukup mendukung penelitian, maka pengumpulan data dari informan akan dihentikan.
Universitas Sumatera Utara
Maryanti dan Rosmiani, Keluarga Bercerai dan Intensitas...
diperlukan anak kebanyaan dipenuhi oleh sang ibu. Padahal ayahlah yang seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan anak dan bila ayah kurang mampu dapat dibantu oleh ibu, status ibu hanyalah membantu tidak bertanggung jawab penuh, namun kenyataannya sang ibulah yang lebih peduli terhadap kebutuhan anak. Hal ini tidak sesuai dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 41 yang menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan adalah: a. Baik istri atau suami tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi putusannya. b. Suami yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana suami tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut memikul biaya tersebut. Setelah terjadi perceraian interaksi anak dengan orang tua yang terpisah masih tetap berlangsung, baik interaksi secara langsung bertatap muka maupun interaksi secara tidak langsung lewat telpon, SMS, dan lain-lain. Kaitannya dengan hal ini adalah interaksi untuk menciptakan kepedulian, kasih sayang, masih diterima anak dari orang tuanya yang berpisah, jarangnya pertemuan tidak menentukan, dan yang terpenting adalah kualitas pertemuan tersebut, di mana dalam setiap pertemuan orang tua yang berpisah masih menjalankan peranannya sebagai seorang yang mensosialisasikan nilai-nilai dan norma kepada anak-anaknya dengan baik, norma dan nilai itu disosialisasikan sesuai dengan perkembangan zaman seperti yang sedang marak
di kalangan remaja kaitannya dalam hal pergaulan bebas, maupun mengenai narkoba yang saat ini sangat digandrungi anak-anak muda bahkan anak-anak kecil yang masih duduk di sekolah dasar. Orang tua juga masih mengingatkan norma dan kebiasaan-kebiasaan dahulu yang pernah diajarkan dan diterapkan di dalam keluarga sebelum perceraian terjadi, kebiasaankebiasaan itu antara lain berupa kebiasaan jam istirahat (tidur siang) ini bagi anak yang belum berusia remaja alias masih sekolah dasar, kebiasaan-kebiasaan selanjutnya adalah mengingatkan supaya rajin sholat, rajin mengaji, serta mengarahkan hobi informan). Maka dari itu terbukti para informan setelah perceraian masih mempunyai perilaku yang positif (baik). PENUTUP 1. Kepada orang tua yang bercerai hendaknya tetap memberikan pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan (ekonomi), secara seimbang dari kedua orang tuanya. 2. Orang tua yang sudah bercerai hendaknya tidak hanya memberikan pendidikan umum saja, tetapi juga pendidikan agama yang juga tidak kalah pentingnya dengan pendidikan umum. Pendidikan agama ini hendaknya diajarkan oleh orang tua, melalui perilakuperilaku yang baik sehingga dapat dijadikan panduan nilai dan moral sebagai pegangan hidupnya. 3. Kepada anak yang orang tuanya sudah berpisah diharapkan tetap menjalankan nilai dan moral yang baik dalam kehidupan seharihari, walaupun pengawasan dari orang tua tidak seintens dan seakrab dahulu.
67 Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2
DAFTAR PUSTAKA Betran, L. Alwin. 1980. Sosiologi. Surabaya, PT Bina Ilmu. Cole, Kelly. 2004. Anak Menghadapi Perceraian Orang Tua. Jakarta, Prestasi Pustakaraya. Faisal, Sanapiah. 1989. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta, LP3ES. Gerungan. A.W. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta, PT Refika Adhitama. Goode, William . 1991. Sosiologi Keluarga. Jakarta, Bumi Aksara Jakarta. Gunarsa, Yulia Singgih D. 2003. Azas-Azas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta, Gunung Mulia. Horton, Paul B. 1999. Sosiologi Jilid 1 dan 2. Jakarta, Erlangga. Ihroni, T.O. 1990. Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda. Jakarta, Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia . Kartasapoetra, G. & JB, Kreimers. 1987. Sosiologi Umum. Jakarta, Bina Aksara. Khairuddin. 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta, Liberty Yogyakarta. Latif, Djamil. 1985. Aneka Perceraian di Indonesia. Jakarta, Ghalia Indonesia. Mahfuzh, Jamaluddin. 2001. Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Jakarta, Al. Al kautsar. Nakamura, Hisako. 1990. Perceraian Orang Jawa. Yogyakarta, Gajah Mada University Press. Ramulyo, Mohd. Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta, Bumi Aksara. Rasjidi, Lili.1983. Alasan Perceraian menurut UU No.1 Th.1974 tentang Perkawinan. Bandung, Penerbit Alumni. Sabiq, Syaid. 1996. Fiqih Sunnah. Bandung, PT. Al ma’arif. Said, H.A Fuad. 1994. Perceraian menurut Hukum Islam. Jakarta, Pustaka Al-Husna. Sinolungan.A.E.Pengaruh Keluarga di dalam Masalah Kecenderungan Nakal Siswa Remaja pada SMA-SMA Manado. Bandung, Departeman P & K. Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta, Rajawali pers. Taneko, Soleman B. 1990. Struktur dan Proses Sosial. Jakarta, CV Rajawali.
68
Universitas Sumatera Utara