PENGASUHAN DAN PENANAMAN NILAI TERHADAP ANAK USIA DINI (Telaah Komunikasi Keluarga: Suatu Studi Deskriptif) Oleh Afrina Sari Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam “45” Bekasi Abstract This article discusses the cultivation of values that must be done by a nursemaid to the child she takes care of. There are two types of mothering models; one which is done by the mother herself at home and the other one that is conducted by a mothering assistant. The mothering model that uses an assistant can be done either by sending the child to a childcare institution or by hiring the assistant to work at home. Both the models are evaluated using family communication pattern in child mothering program. The method used in this writing is descriptive method with the secondary data taken from a library research. Keywords: Cultivation of values, mothering model, family communication pattern. PENDAHULUAN Kemajuan membawa banyak perubahan pada tingkat sosial dimasyarakat. Banyak perempuan bekerja yang menghabiskan waktu cukup banyak di luar rumah. Sementara kehidupan keluarga harus tetap berjalan, dan dilakukan solusi dengan mempekerjakan seorang yang dapat membantu pekerjaan dirumah serta mengasuh anak yang seharusnya dikerjakan oleh seorang ibu. hal ini sudah menjadi fenomena kemajuan suatu masyarakat. Besarnya prosentase jumlah perempuan bekerja dilandasi oleh berbagai alasan-alasan yang melatar belakangi, antara lain karena perekonomian keluarga, dimana penghasilan suami tidak
mencukupi kebutuhan keluarga, dan membutuhkan inisiatif istri untuk membantu mencari nafkah membangun ekonomi keluarga. Tapi ada alasan lain yang sifatnya lebih kepada mengisi waktu kosong atau mencari teman dan ada yang ingin mengejar karier. Bagi perempuan, bekerja memiliki dua hal yang sifatnya berlawanan yaitu satu sisi ada keuntungan yang dicapai oleh seorang perempuan bekerja yaitu mereka bisa mengembangkan diri dan dapat memberikan andil dalam pendapatan keluarga, selain itu juga bisa berpartisipasi dalam pembangunan. Sisi lainnya ada kerugian pada perempuaan bekerja
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
1
yaitu secara kodrati perempuan bersama anak dan mengasuh anakanaknya, perempuan bekerja kurang mempunyai waktu untuk selalu bersama anak-anaknya. Sehingga fungsi seorang ibu digantikan oleh seorang pengasuh anak dirumah. Pada masyarakat modern di perkotaan peran pengasuhan dilimpahkan kepada seorang yang digaji khusus sebagai pengasuh anak. Sedangkan pada masyarakat tradisional, dimana keluarga masih merupakan keluarga yang besar yaitu anggota keluarga tidak hanya merupakan anggota keluarga inti saja, melainkan terdapat anggota keluarga lainnya, misalnya keberadaan ibu dan bapak mertua serta sanak keluarga yang tinggal bersama, dan biasanya pengasuhan diserahkan kepada anggota keluarga ini. Horton dan Hunt (1996) menyatakan bahwa keluarga adalah suatu kelompok kekerabatan yang menyelenggarakan pemeliharaan anak dan kebutuhan manusiawi tertentu lainnya. Hal ini merupakan bahwa fungsi keluarga adalah menyelenggarakan pemeliharaan anak, menanamkan nilai-nilai yang telah menjadi norma masyarakat. Saat ini telah terjadi perubahanperubahan pada fungsi keluarga, seiring dengan terjadinya perubahanperubahan di masyarakat. Dengan hilangnya fungsi keluarga tersebut, sehingga berakibat hilangnya penanaman nilai yang seharusnya dilakukan oleh keluarga terutama orangtua terhadap anak, fungsinya telah berubah dan digantikan oleh
pihak lain seperti pengasuh anak atau pembantu rumah tangga. Di dalam keluarga, anak mulai mempelajari dengan siapa mereka berhubungan, karena pada awal bulan pertama sampai dengan bulan kedua sejak anak dilahirkan, mereka tidak memiliki minat terhadap orang lain disekitarnya. Barulah pada bulan ketiga, anak akan berinteraksi dalam bentuk perilakun suka bergaul, tatkala bayi dapat membedakan antara manusia dengan benda lainnya di sekitarnya. Kombinasi pengasuhan yang dilakukan oleh ibu dan pengasuh yang ditunjuk, dapat memberikan suatu nilai lebih bagi anak. Penanamaan nilai-nilai yang baik oleh kedua peran antara ibu dan pengasuh akan membantu anak untuk lebih cepat dalam memahami nilainilai tersebut. Suatu hasil penelitian yang disampaikan oleh Agnerova (Sobur,1986) bahwa perawatan yang dilakukan oleh ibu dan pengasuh lain secara bergantian tidak akan merugikan anak dibawah usia tiga tahun, bahkan akan lebih mendapatkan manfaat, selain itu kelompok bermain dan tempat penitipan anak juga merupakan lingkungan pendidikan yang baik bagi si anak. Tulisan ini ingin melihat pola komunikasi keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kepada anak asuh baik yang diasuh di rumah maupun yang diasuh dilembaga sosial penitipan anak. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi bagaimana penanaman nilai-nilai
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
2
yang diberikan oleh para pengasuh anak ditempat penitipan anak maupun dirumah. Serta menunjukkan bahwa ada perbedaan perilaku anak yang diasuh dilembaga penitipan anak dengan anak yang diasuh dirumah. Pola Komunikasi Keluarga Secara umum dapat dikatakan orangtua cenderung mengharapkan apa yang ada dalam alam pikirannya, misalnya keinginan, perasaan, ide, informasi dimengerti dengan baik oleh anggota keluarganya. Alam pikiran orangtua selain beragam juga cenderung masih dalam bentuk yang abstrak, sehingga sukar dipahami keluarga khususnya anak-anak usia prasekolah. Pola komunikasi keluarga menurut Wood (dikutip Reardon, 1987) dapat dibagi dalam pola komunikasi terbuka dan komunikasi tertutup. Pola komunikasi terbuka lebih memberikan keluwesan pada aturan yang berlaku. Misalnya apa yang dikatakan orangtua tetap penting tetapi masih memungkinkan bagi anak untuk mengemukakan pikirannya, berupa ide, pendapat, saran, saling mendengar (Balswick dan Balswick, 1990). Bentuk komunikasi ini memberikan lebih banyak kesempatan untuk menjelaskan permasalahan yang muncul dan ada banyak kemungkinan bagi anak untuk mengekspresikan eksistensinya sebagai bagian dari komunikasi yang berlangsung. Apalagi jika diperkuat dengan pernyataan-pernyataan yang membesarkan hati. Bentuk
komunikasi ini memiliki persamaaan dengan gaya orangtua yang berwibawa dalam mengasuh anak. Yaitu orangtua yang bersikap tegas, rasional, menghormati kepentingan anak, dan anak dituntut untuk bertindak menerima norma-norma secara umum (McDavid dan Garwood, 1978). Bentuk komunikasi terbuka lebih memungkinkan bagi anak untuk dapat melihat masalah, memecahkan atau mengatasinya, karena ada interaksi dalam komunikasi, tentunya dengan tetap memperhatikan norma-norma dan tanpa menghilangkan eksistensi sebagai orangtua maupun anak. Pola komunikasi tertutup membatasi ruang untuk memperbincangkan atau untuk mendiskusikan sesuatu. Misalnya keharusan melakukan apa yang dikatakan ibu, tidak boleh berdebat dengan ayah, atau harus melakukan apa yang telah ditentukan. Ada persamaan komunikasi tertutup dengan komunikasi orangtua yang otoriter yaitu berbicara sedikit dengan anak, tindakan keras, otoritas kewenangan orangtua begitu dominan (McDavid dan Garwood, 1978), sering pula komunikasi seperti ini disebut dengan komunikasi satu arah. Keadaan tidak memungkinkan anak dapat menyampaikan opini dikarenakan aturan yang kaku, dapat menyebabkan anak hanya mengetahui tentang hal yang tidak boleh, dan belum tentu mampu untuk mengemukakan hal yang sebenarnya atau hal yang harus dilakukan. Komunikasi tertutup dalam keluarga
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
3
sepertinya hanya ada satu cara untuk memecahkan permasalahan. Jelas, dalam komunikasi tertutup ini ada keterbatasan untuk mengekspresikan emosi. Atau sebaliknya, antara pesan verbal dan pesan non verbal ada kesenjangan, yang kadang-kadang menyebabkan anak menjadi bingung, sering disebut dengan double bind. Hal seperti ini dapat menyebabkan anak tidak memberi respon pada kedua pesan dengan waktu yang bersamaan. Apabila orangtua dan anak tidak bicara secara terbuka, komunikasi menjadi tidak wajar dan dapat merusak interaksi dalam keluarga (Balswick dan Balswick, 1990). Komunikasi keluarga yang dikemukakan oleh McLeod dan Chaffee yang dikutip Kathleen Reardon (1987), mengemukakan komunikasi yang berorientasi sosial dan komunikasi yang berorientasi konsep. Komunikasi yang berorientai sosial adalah komunikasi yang relatif menekankan hubungan keharmonisan dan hubungan sosial yang menyenangkan dalam keluarga. Komunikasi yang berorientasi konsep adalah komunikasi yang mendorong anak-anak untuk mengembangkan pandangan dan mempertimbangkan masalah dari berbagai segi. a. Pola komunikasi keluarga “Laissez-faire”, Pola ini ditandai dengan rendahnya komunikasi yang berorientasi konsep maupun komunikasi yang berorientasi sosial dalam bentuk interaksi anak-orangtua. Anak maupun orangtua kurang atau tidak
memahami objek komunikasi, sehingga dapat menimbulkan komunikasi yang salah. b. Pola Komunikasi keluarga Protektif, komunikasi dalam keluarga ini ditandai dengan rendahnya komunikasi dalam orientasi konsep, tetapi tinggi komunikasinya dalam orientasi sosial. Kepatuhan dan keselarasan sangat dipentingkan. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang menggunakan pola protektif dalam berkomunikasi mudah dibujuk, karena mereka tidak belajar bagaimana membela atau mempertahankan pendapat sendiri. c. Pola Komunikasi Keluarga Pluralistik. Komunikasi keluarga pluralistik terjadi komunikasi yang terbuka untuk membahas ide-ide dengan semua anggota keluarga, menghormati minat anggota lain dan saling mendukung. d. Pola Komunikasi keluarga konsensual, Pola ini ditandai dengan adanya musyawarah mufakat. Penekanan pola komunikasi berorientasi sosial maupun yang berorientasi konsep. Pola ini, mendorong dan memberikan kesempatan untuk tiap anggota keluarga mengemukakan ide dari berbagai sudut pandang, tanpa menganggu struktur kekuatan keluarga. Pengertian Pola Asuh Pengasuhan merupakan pengalaman manusia yang penting,
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
4
yang dapat mengubah emosi, sosial dan intelektual seseorang. Menurut Tudor (1981) apa yang orangtua lakukan untuk dan bagi anaknya sudah merupakan pola pengasuhan. Menurut Harrington & Whiting (dalam Gibson 1997) pola asuh adalah interaksi antara pengasuh dan anak yang meliputi pemeliharaan (memberi makan, membersihkan dan melindungi) dan melatih sosialisasi (mengajarkan perilaku yang umum dan dapat diterima oleh masyarakat). Pola asuh juga meliputi berbagai macam cara yang digunakan oleh pengasuh untuk mengkomunikasikan afeksi, agresi, nilai, minat, sikap dan keyakinan mereka terhadap anakanaknya. Morrison (dalam Hamner & Turner, 1990) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengasuhan adalah proses mengembangkan dan memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai untuk merencanakan kapan akan memiliki anak, melahirkannya, membesarkan dan memberikan kasih sayang untuknya. Menurut Brooks (1991) pengasuhan adalah suatu proses yang didalamnya terdapat unsur memelihara, melindungi, dan mengarahkan anak selama masa perkembangannya. Hampir sama dengan pengertian tersebut, Martin dan Colbert (1997) mendefinisikan pengasuhan sebagai suatu proses yang biasanya berkaitan dengan orang dewasa yang melahirkan, menjaga, mengasuh dan mengarahkan anak.
Hamner & Turner (1990) menyatakan pengasuhan sebagai hubungan timbal balik yang kompleks yang menimbulkan perubahan perkembangan bagi setiap individu yang terlibat dengan proses tersebut. artinya, pengasuhan merupakan suatu proses penting dalam kehidupan seseorang. Darling dan Stenberg (1993) mendefinisikan pola asuh sebagai kelompok sikap orangtua yang mengkomunikasikan kepada anaknya yang menciptakan suasana emosional dimana perilaku pengasuhan tersebut diekspresikan. Berdasarkan uraian definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orangtua adalah suatu proses interaksi antara orangtua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti memelihara, memberi makan, membersihkan, melindungi, dan mengarahkan tingkahlaku anak selama perkembangan anak tersebut. serta bagaimana cara orangtua mengkomunikasikan afeksi, agresi, nilai-nilai, minat, sikap dan kepercayaan keepada anak-anaknya. Pengertian Anak Usia Dini Pengertian tentang anak selalu dikaitkan dengan batas usia yang di dalamnya masih mengandung rentang usia yang dibedakan ke dalam beberapa tahapan sesuai dengan tahapan perkembangannya. Hurlock, membaginya tiga tahap perkembangan yaitu: yaitu masa bayi, masa awal kanak-kanak dan masa akhir kanak-kanak.
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
5
Masa awal kanak-kanak memiliki rentang usia antara 2 sampai dengan 6 tahun (Hurlock, 1980) jika pada masa bayi orang tua pada umumnya menitikberatkan pada masalah perawataan fisik bayi, maka pada masa kanak-kanak ini seringkali masalah perilaku yang dihadapi oleh para orang tua, maka orangtua sering menyebutkan masa kanak-kanak sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Sebagian orang tua menganggap massa awal kanak-kanak sebagai usia bermain, karena pada masa ini kegiatan yang dilakukan oleh anak dihabiskan dengan bermain. Para ahli psikologi menggunakan sejumlah sebutan yang berbeda untuk menguraikan ciri-ciri yang menonjol dari perkembangan psikologis anak selama pada masa awal kanak-kanak, diantaranya sebutan usia kelompok, usia penjelajahan, usia bertanya, usia meniru dan usia kreatif. (Hurlock, 1980). Yang dimaksudkan dengan pengertian anak usia dini disini adalah anak yang berumur antara 0 sampai 5 tahun yang merupakan usia emas (golden age) dimana usia yang menentukan masa depan mereka apaabila diasuh ddengan baik maka mereka akan menjadi anak-anak yang dapat diharapkan untuk berguna bagi bangsanya. Perkembangan masa kanak-kanak ini dibagi 3 perkembangan yaitu: 1. Perkembangan fisik Perkembangan fisik pada masa awal kanak-kanak ditandai
dengan adanya perubahan dalam diri anak yaang meliputi, perubahan tinggi badan, berat badan, postur tubuh, pertumbuhan tulang dan otot serta pertumbuhan gigi. Perkembangan fisik ini akan berpengaruh terhadap anak-anak ketika dia harus belajar ketrampilanketrampilan, karena pada masa awal kanak-kanak merupakan masa yang ideal untuk mempelajari ketrampilan tertentu, seperti yang diungkapkan Hurlock (1980) bahwa ada tiga alasan ketika anak belajar ketrampilan yaitu anak senang mengulang-ulang suatu aktivitas dengan senang hati sampai dia terampil melakukannya, anak lebih bersifat berani dan tidak merasa takut kalau dirinya mengalami takut dan anak lebih mudah dan cepat belajar karena tubuh mereka masih sangat lentur. 2. Perkembangan Moral Perkembangan moral pada masa kanak-kanak menurut Hurlock (1980) berada pada tahap yang masih tingkat rendah. Hal ini disebabkan karena perkembangan intelektual anak-anak belum mencapai titik dimana ia dapat mempelajari atau menerapkan prinsip-prinsip abstrak tentang benar dan salah. Selain kecakapan umum yang dimiliki anak pada masa ini, anak juga berhubungan dengan orang lain yang ada disekitarnya, sehingga dia dapat belajar dari lingkungannya. Menurut Havinghurst (Hurlock,1980), tugas-tugas perkembangan pada awal masa kanak-kanak diantaranya adalah belajar membedakan benar dan salah
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
6
dan mulai mengembangkan hati nurani. Penanaman nilai-nilai moral bagi anak prasekolah mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dengan penanaman pengembangan intelektual dan intelegensianya. Bahkan saat ini para peneliti telah menemukan kemungkinankemungkinan bahwa ketrampilan sosial dan emosional ini lebih penting bagi keberhasilan hidup ketimbang kemampuan intelektual (lawrwnce, 1994). Perkembangan moral pada masa ini adalah anak hanya bersifat patuh terhadap larangan-larangan yang diajarkan, seperti yang diungkapkan Kohnberg, yang membagi dua tahapan dalam perkembangan moral pada massa awal kanak-kanak, yaitu: Tahap pertama anak-anak berorientasi patuh dan hukuman dalam arti ia menilai benar salahnya perbuatan berdasarkan akibat-akibat fisik dari perbuatannya itu. Dalam tahap kedua anak-anak menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar memperoleh pujian. Dalam menanamkan nilainilai moral pada anak, biasanya digunakan cara mengajarkan disiplin yang bertujuan agar anak dapat meengetahui hal mana saja yang dapat dia lakukan dan hal apa saja yang tidak boleeh dilakukan. Hurlock mengungkapkan bahwa: Peraturan dan hukum yang berfungsi sebagai pedoman bagi penilaian yang baik, hukuman bagi pelanggaran peraturan dan hukum, dan hadiah untuk perilaku yang baik atau usaha untuk
berperilaku sosial yang baik. Selama awal masa kanak-kanak yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan dari disiplin dan hukuman hanya diberikan kalau terbukti anak-anak mengerti apa yang diterapkan dan terlebih lagi kalau ia sengaja melanggar harapan-harapan ini. Menurut Shari Lewis dalam Lawrence (1994) mengemukakan bahwa dongeng sangat penting bagi perkembangan moral anak, dimana cerita atau dongeng ini sangat penting bagi pembentukan kepribadian anak. Bila fantasi tidak mendapat kesempatan untuk berkembang dapat menimbulkan hambatan dalam kemajuan perkembangan anak 3. Perkembangan Sosial George herbert Mead dalam Sunarto(1993) mengatakan bahwa pengembangan diri manusia berlangsung melalui beberapa tahapan yaitu play stage, game stage dan tahap generalized other. Pada tahap play stage,seorang anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang-orang yang berada disekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang dijalankan oleh orangtuanya atau orang dewasa lainnya yang sering berinteraksi dengannya. Seorang anak dapat meniru kelakuan ayah atau ibunya, tetapi mereka tidak memahami makna kelakuan atau kegiatan yang dilakukan ayah atau ibu. Pada tahap kedua yaitu tahap game stage seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
7
dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Pada tahap ini seseorang telah dapat mengambil peranan orang lain. Pada tahap ketiga yaitu tahap generalized other, seseorang dianggap telah mampu mengambil peraanan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat, mampu mengambil peranan generalized others. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang-orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Selaku anak ia telah memahami peranan yang dijalankan orangtua, guru dan orang lain. Jika seseorang telah mencapai tahap ini maka menurut Mead orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Dari Pandangan Mead ini nampak jelas pendiriannya bahwa diri seorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain. Pola Pengasuhan Orang tua Mengasuh anak merupakan suatu proses yang kompleks, bahkan lebih kompleks daripada keterlibatanya. menurut Berns 91997) serta Martin dan Colbert (1997) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi bagaimana orangtua mengasuh anaknya yaitu: karakteristik orangtua, karakteristik anak dan lingkungannya (contexs of parenting). 1. Karakteristik orangtua Orangtua membawa kombinasi yang unik dari sifat kepribadian dan pengalaman yang
dimilikinya ketika mereka mengasuh anak-anaknya, menurut Martia dan Colbert (1997) adalah: 1. Kepribadian orang tua Setiap orang dewasa berbeda dalam tingkat kematangannya, tingkat energinya, kesabarannya, intelegensinya dan sikapnya. Menurut Martin dan Colbert (1997) karakteristik tersebut akan mempengaruhi tingkat sensitifitas orang dewasa tersebut pada kebutuhaan anak-anaknya, mempengaruhi harapan mereka atas diri mereka sendiri maupun anakanaknya, serta mempengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orangtua. 2. Riwayat perkembangan orang tua Masa kanak-kanak seseorang dapat mempengaruhi tingkahlakunya dalam mengasuh anak; baik melalui proses pembelajaran langsung (direct learning), ataupun karena pengasuhan yang diberikan oleh orangtuanya dulu mempengaruhi perkembangan sosial dan emosi orang tersebut. Jika orangtua dulu mengalami penerapan disiplin yang sangat ketat, maka mereka cenderung untuk menerapkannya juga pada anak-anaknya. (Martin dan Colbert 1997). 3. Keyakinan (Beliefs) Keyakinan yang dimiliki oleh orangtua mengenai pengasuhan sangat penting, karena hal tersebut akan mempengaruhi nilai dari pola asuh itu sendiri dan juga mempengaruhi tingkah lakunya dalam mengasuh anak-anaknya. keyakinan tersebut mulai terbentuk
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
8
dalam diri orang tua sejak masa kanak-kanaknya dan terus berkembang sepanjang hidupnya. Pengetahuan Orangtua memperoleh pengetahuan mengenai perkemabngan anak melalui pendidikan formal, buku-buku, orang lain, dan melalui pengalamannya bersama anak-anak. Pengalaman yang dimiliki oleh orangtua merupakan salah satu faktor yang membedakan tingkahlaku orangtua dalam mengasuh anaknya yang pertama dengan anaknya yang terlahir kemudian. Gender Antara laki-laki dan perempuan berbeda dalam kemampuan dan sikapnya ketika mengasuh anak. Namun perbedaan tersebut bukan terletak pada benar atau salahnya pola asuh yang diterapkan, atau karena salah satunya lebih bijaksana atau lebih berpengalaman dibandingkan dengan yang lainnya. Akan tetapi perbedaan tersebut lebih didasari pada perbedaan pemikiran dalam mengasuh anak (Thevenin, 1993). Ibu cenderung untuk mengasuh, mengusahakan untuk berhubungan, dan ingin selalu dekat dengan anaknya. sedangkan ayah cenderung untuk mendorong atau menekankan perkembangan kemandirian anaknya. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2003) menjelaskan bahwa Pola pengasuhan yang diterapkan bervariasi, ada yang otoriter yaitu orangtua cenderung
menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana. Jika di kaitkan dengan teori komunikasi keluarga yang disampaikan McLeod dan Chaffee termasuk dalam jenis pola komunikasi keluarga protektif.. pada pola ini komunikasi dalam keluarga ini ditandai dengan rendahnya komunikasi dalam orientasi konsep, tetapi tinggi komunikasinya dalam orientasi sosial. Kepatuhan dan keselarasan sangat dipentingkan. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang menggunakan pola protektif dalam berkomunikasi mudah dibujuk, karena mereka tidak belajar bagaimana membela atau mempertahankan pendapat sendiri. Hasil penelitian Puspitasari juga menjelaskan bahwa ada keluarga yang menerapkan pola asuh permisif yaitu adanya kebebasan yang diberikan orangtua pada anak untuk berbuat menurut kemauannya yang disertai unsur memanjakan dari orangtua dan orangtua hampir tidak menegur kesalahan anak. Jika dikaitkan dengan teori komunikasi keluarga yang disampaikan McLeod dan Chaffee termasuk dalam jenis pola Komunikasi keluarga Laisezfaire, Pola ini ditandai dengan rendahnya komunikasi yang berorientasi konsep maupun komunikasi yang berorientasi sosial dalam bentuk interaksi anakorangtua. Anak maupun orangtua kurang atau tidak memahami objek komunikasi, sehingga dapat menimbulkan komunikasi yang salah.
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
9
Didalam keluarga anak cenderung diperlakukan secara khusus atau partikular, artinya sangat bervariatif dan tergantung dari perlakuan orangtua terhadap anak. Tidak semua nilai-nilai ditanamkan secara utuh dan terstruktur, sangat tergantung dari cara orangtua mengasuh anak serta dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang kehidupan dan lingkungan dimana anak balita tinggal. Pola pengasuhan di Taman Penitipan Anak (TPA) Pada taman penitipana anak (TPA) pengasuh mempunyai tugas yang sangat berat, karena disamping harus mampu memenuhi kebutuhan anak asuhnya, pengasuh haruslah mampu memenuhi tuntutan lembaga dan masyarakat tempat ia bekerja.. Hubungan pengasuh dan anak asuh haruslah selalu diupayakan dalam suasana yang menyenangkan sehingga memungkinkan terciptanya kerjasama yang baik dan anak dapat tumbuh dan berkembang dalam suasana ramah tamah, keikhlasan, kejujuran dan kerjasama yang diperlihatkan oleh masing-masing anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari (Gunarsa, 1984) Pada tahun 1963 Departemen Sosial mulai mengembangkan Taman Penitipan Anak (TPA) sebagai lembaga kesejahteraan sosial anak. TPA dirumuskan sebagai suatu wahana yang merupakan lembaga sosial yang melaksanakan usaha kesejahteraan anak melalui kegiatan sosialisasi, rawatan, asuhan, dan
pendidikan anak khususnya balita, sebagai upaya yang menunjang keluarga dalam melaksanakan sebagian fungsinya untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anaknya. Pola pengasuhan yang diberikan pada anak balita di dalam TPA adalah kecenderungan lebih autoritatif yaitu memperlakukan anak sebagai pribadi, membiarkan anak menerima norma dan mengolah norma sesuai kondisinya. Hal ini dikaitkan dengan pendapat McLeod dan Chafee disimpulkan bahwa pola di TPA dengan autoritatif setara dengan pola komunikasi keluarga laisez-faire yaitu Pola ini ditandai dengan rendahnya komunikasi yang berorientasi konsep maupun komunikasi yang berorientasi sosial dalam bentuk interaksi anakorangtua. Anak maupun orangtua kurang atau tidak memahami objek komunikasi, sehingga dapat menimbulkan komunikasi yang salah. Dalam penanaman nilai-nilai diterapkan secara universal tanpa membedakan anak. Penanaman nilai dilakukan secara utuh dan terstruktur melalui jadwal kegiatan yang sudah tersusun. anatara lain kegiatan ungkapan kreatif, bercerita, berhitung, persiapan menulis, panggung boneka, bermain bersama, menggambar, menyanyi, menari, senam, dan lain-lain. Menurut Strong dalam Hurlock (1991) menyatakan bahwa pada sistem penitipan anak dalam hal kedua orangtua bekerja, sosialisasi
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
10
terhadap anak dibawah usia lima tahun mungkin dilakukan pula oleh oranglain yang sama sekali bukan kerabat seperti tetangga, baby sitter, pekerja sosial, petugas tempat penitipan anak dan sebagainya. artinya TPA juga mengasuh dan mensosialisasikan anak dengan nilai dan norma yang dibutuhkannya. TPA juga merupakan tempat untuk mentransformasikan nilai-nilai kepada anak-anak, yang paling penting lagi adalah TPA menghindarkan anak balita dari berbagai masalah ketika ibu bekerja. Anak balita yang dititipkan di TPA, dirawat, dididik dan diasuh oleh dua agen sosialissasi yaitu keluarga dan para pembina di TPA. Menurut Robert Dreeben (1986) menjelaskan bahwa yang dipelajari anak dari dua agen yang berbeda tentu akan menghasilkan hal yang berbeda. Dalam keluarga pola asuh diterapkan secara bervariatif, tergantung pada faktor pendukung dari orang tua dan lingkungan mereka masing-masing. ada keluarga yang menerapkan pola asuh otroriter, permisif dan gabungan dari dua jenis pola asuh ini. SIMPULAN Dari uraian tersebut diatas di tarik kesimpulan bahwa keluarga adalah intitusi pertama yang akan mendukung anak dalam proses tumbuh kembang, tapi karena perkembangan zaman, dimana fungsi utama pengasuhan ada pada seorang ibu, dimana saat ini ibu sudah
memiliki aktivitas di publik, sehingga pengasuhan anak diserahkan kepada orang lain atau lembaga lain seperti TPA. Karena TPA merupakan suatu pelayanan yang terstruktur dan diatur oleh undang-undang, maka TPA dapat dijadikan suatu alternatif dalam pengasuhan kedua bagi anak. agar anak tidak kehilangan dan salah dalam meng-adopsi nilai-nilai dalam hidupnya. Hal ini juga menghindari anak mengalami kepribadian yang menyimpang. DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi Rukminto. 1999. Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial (Dasar-dasar Pemikiran). Jakarta: PT Raja Grafindi Persada. Ambron.Suean Robinson. 1981. Child Development. New York: Holt Rinehart & Winston. Balswick, Jack O, dan Balswick, Judith K. 1990. The Family. (edisi ke 2) Grand Rapinds, Michigan: Boker Book House. Brooks,Jane B. 1991. The Process of Parenting California: Mayfield Publishing Company. Conger J.J. 1991. Adolescence and Youth: Psychological Development in a Changing Word USA; Harper Collins.
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
11
Covey, Stephen R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective Families, New York: A Viacom Company. Gunarsa, Singgih D. 1990. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Hamner, TJ & Turner,PH. 1990. Parenting in Contemporary Society. New Jersey; Prentice-Hill. Hetherington, et al. 1987. Childhood Psychology: A Contemporary Viewpoint New York: McGraw-Hill Book Company. Hurlock, Elizabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan Suatu pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan Jakarta: PT Erlangga. Martin, Carole A & Colbert, Karen K .1997. Parenting A life Span Perspective, USA; Mc GrawHill. Puspitasari, 2003. Pola pengasuhan Anak Balita Pada Taman Penitipan Anak dan Keluarga (Studi Kasus Pada sasana Bina Balita Mitra Bulog) Tesis. UI. Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial.: Jakarta. Tudor,
Mary. 1981. Development, USA; Graww Hill.
Chil Mc
Jurnal Makna, Volume 1, Nomor 1, Maret – Agustus 2010
12