KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA AKARWANGI (Andropogon Zizanoid) PADA KONDISI RISIKO DI KABUPATEN GARUT
Oleh: NIA ROSIANA A14104045
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN NIA ROSIANA. Kelayakan Pengembangan Usaha Akarwangi (Andropogon zizanoid) pada Kondisi Risiko di Kabupaten Garut. Di Bawah Bimbingan ANNA FARIYANTI. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan oeh besarnya kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menurut lapangan usaha terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang berada pada urutan ketiga pada tahun 2002 sampai 2006 setelah industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. Dalam jangka panjang, pengembangan lapangan usaha pertanian difokuskan pada produk-produk olahan hasil pertanian yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Salah satu lapangan usaha yang memberikan nilai tambah dan kontribusi terhadap PDB yaitu tanaman perkebunan. Salah satu olahan tanaman perkebunan penghasil minyak aromatik adalah minyak atsiri. Tahun 2003 sampai 2006, ekspor minyak atsiri menunjukan trend yang meningkat. Salah satu jenis minyak atsiri yang dapat dikembangkan adalah akarwangi. Hal ini dikarenakan Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor utama minyak akarwangi di pasar dunia. Akar wangi sebagai salah satu tanaman perkebunan yang berekonomis tinggi selayaknya terus dikembangkan agar dapat meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kesempatan kerja, dan peningkatan penerimaan devisa. Akarwangi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Kabupaten Garut yang memiliki arti penting bagi perekonomian daerah. Hal ini dikarenakan 89 persen produksi minyak akarwangi Indonesia dihasilkan dari Kabupaten Garut (Bappeda Kab.Garut, 2005). Hal ini didukung oleh potensi areal seluas 2.400 Ha sedangkan realisasi luas tanam baru mencapai 1.733 Ha pada tahun 2006 yang tersebar di empat kecamatan yaitu Kecamatan Leles, Kecamatan Samarang, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu. Hal ini mengindikasikan areal penanaman seluas 667 Ha belum termanfaatkan dan masih berpotensi untuk dikembangkan. Dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi diperlukan modal yang besar untuk mendukung kegiatan usaha tersebut. Kendala lain yaitu dalam melakukan budidaya dan penyulingan yaitu adanya fluktuasi harga output dan volume produksi. Fluktuasi produksi akarwangi dan minyak akarwangi diindikasikan oleh adanya risiko dalam kegiatan budidaya dan penyulingan akarwangi. Selain adanya risiko produksi, kegiatan budidaya dan penyulingan dihadapkan pada risiko harga output. Harga akarwangi dan minyak akarwangi pada setiap kondisi berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya fluktuasi harga output yang menimbulkan adanya risiko harga output. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut dan menganalisis dampak adanya risiko volume produksi dan harga output terhadap kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan kelayakan pengembangan usaha akarwangi dengan memperhatikan risiko Hal ini dilakukan agar menghindari kerugian dalam hal penanaman modal yang terlalu besar dan melihat sasaran dari kebijakan pemerintah Kabupaten Garut dalam pengembangan usaha akar wangi. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Apakah usaha akarwangi di Kabupaten Garut layak diusahakan?, 2) Bagaimana dampak adanya risiko volume produksi dan harga output terhadap kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut?.
Aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini yaitu aspek teknis, aspek pasar, aspek sosial dan lingkungan serta aspek finansial. Aspek finansial dapat dilihat dari kriteria kelayakan investasi dan penilaian investasi terhadap risiko. Kriteria kelayakan usaha dapat dilihat dari NPV (NetPresent Value), Net B/C (Net Benefit/Cost, IRR (Internal Rate Return, dan PP (Payback period). NPV dari setiap risiko pada kondisi tertinggi, normal, dan terendah akan diperoleh NPV yang diharapkan. Dalam hal ini, pendapatan petani dan penyuling setiap bulannya akan diketahui dari nilai NPV yang diharapkan. Selain NPV yang diharapkan, penilaian dan tingkat risiko yang terjadi pada pengusahaan akarwangi dapat lihat dari standar deviasi dan koefisien variasi kemudian dapat disimpulkan apakah pengusahaan akarwangi layak atau tidak untuk diusahakan. Analisis aspek teknis dapat dilihat dari keadaan geografis, sumberdaya produksi, letak pasar, fasilitas penunjang, teknik budidaya, teknik penyulingan, dan produk akarwangi. Analisis aspek pasar dapat dilihat dari permintaan, penawaran, pemasaran, dan harga. Sedangkan aspek sosial dan lingkungan dapat dilihat dari manfaat yang secara langsung dan tidak langsung dirasakan oleh stakeholders. Analisis aspek finansial pada kondisi normal baik pada kegiatan budidaya maupun penyulingan layak untuk dijalankan. Hal ini sesuai dengan kriteria kelayakan investasi.. Pendapatan petani dan penyuling per bulannya yaitu Rp.38.727 dan Rp.10.730.399. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan petani masih rendah dibandingkan dengan penyuling. NPV normal pada kegatan budidaya dan penyulingan akarwangi yaitu Rp.1.394.179 dan Rp.1.030.118.304. Sedangkan IRR, Net B/C, dan payback period pada kegiatan budidaya yaitu 13%, 1,08, dan 2 tahun 5 bulan. IRR, Net B/C, dan payback period pada kegiatan penyulingan yaitu 99%, 4,98, dan 3 tahun 6 bulan. Kegiatan budidaya akarwangi dari ketiga jenis risiko yang mungkin dihadapi yaitu risiko produksi, risiko harga output, dan risiko produksi dan harga output masing- masing menghasilkan NPV yang diharapkan yaitu sebesar Rp.929.040, Rp.590.913, dan Rp.2.220.063. Sedangkan koefisien variasi dari ketiga jenis risiko yaitu 5,65 dan 31,02 serta 10,10. Berdasarkan ketiga jenis risiko pada kegiatan budidaya yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu risiko harga produksi karena nilai koefisien variasi yang paling rendah. Kegiatan penyulingan akarwangi dari ketiga jenis risiko yang mungkin dihadapi yaitu risiko produksi, risiko harga output, dan risiko produksi dan harga output masing- masing menghasilkan NPV yang diharapkan yaitu sebesar Rp.228.455.638, Rp.1.033.605.013, dan Rp.228.409.575. Sedangkan koefisien variasi dari ketiga jenis risiko yaitu 14,78 dan 0,79 serta 14,81. Berdasarkan ketiga jenis risiko pada kegiatan budidaya yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu risiko harga output karena nilai koefisien variasi yang paling rendah. Berdasarkan uraian diatas, rekomendasi yang disarankan dalam penelitian ini yaitu petani akarwangi sebaiknya mengatur waktu dan pola tanam akarwangi sehingga petani tidak mengandalkan pendapatan dari satu musim panen akarwangi. Bagi petani dan penyuling hendaknya mengaktifkan kembali kelompok tani sehingga petani dan penyuling memiliki bargaining position yang tinggi sehingga dapat menentukan harga jual akarwangi dan minyak akarwangi. Bagi pemerintah daerah Kabupaten Garut hendaknya memberikan penyuluhan bagi petani dan penyuling melalui kelompok tani. Selain itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Garut hendaknya bekerjasama dengan penyuling dan pengusaha untuk membuka industri pengolahan akarwangi yang menggunakan mesin modern sehingga kualitas akarwangi Kabupaten Garut dapat lebih bersaing dengan produsen utama lainnya. Bagi investor dapat menanamkan modal pada kegiatan budidaya yaitu ketika menghadapi risiko harga output sedangkan pada kegiatan penyulingan investor dapat menanamkan modal ketika menghadapi risiko produksi dan harga output.
KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA AKARWANGI (Andropogon zizanoid) PADA KONDISI RISIKO DI KABUPATEN GARUT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA PERTANIAN pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh : NIA ROSIANA A14104045
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
: Kelayakan Pengembangan Usaha Akarwangi (Andropogon zizanoid) pada Kondisi Risiko di Kabupaten Garut
Nama
: Nia Rosiana
NRP
: A14104045
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir.Anna Fariyanti, MS NIP. 131 918 115
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof.Dr.Ir.Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian:
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadapan Illahi Rabb yang selalu memberikan lindungan
dan
limpahan
rahmatNya
sehingga
penulis
akhirnya
dapat
menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Shalawat serta salam kita panjatkan kepada Nabi Besar Muhamad SAW, keluarganya, para sahabat, dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya. Skripsi ini merupakan salah satu bukti kepedulian penulis terhadap dunia pertanian Indonesia. Selain itu, skripsi ini merupakan bukti kecintaan penulis terhadap tanah kelahiran penulis yang terus menerus mengalami perkembangan khususnya di dunia pertanian. Skripsi ini berjudul “Kelayakan Pengembangan Usaha Akarwangi (Andropogon zizanoid) pada Kondisi Risiko di Kabupaten Garut”. Skripsi ini berisi mengenai analisis kelayakan pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan seluas 667 Ha yang belum digunakan. Hal dilakukan
dengan menganalisis kelayakan pengembangan usaha pada kondisi
normal dan kondisi adanya risiko. Hasil akhir dari semua analisis yang dilakukan adalah sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Garut dalam menetapkan kebijakan pengembangan usaha akarwangi dengan memperhatikan risiko yang mungkin terjadi pada kegiatan pengembangan usaha akarwangi. Bagi masyarakat yang akan melakukan usaha akarwangi dapat mengetahui berapa besar keuntungan yang didapatkan terkait dengan penanaman modal pada usaha ini. Selain itu, melalui penulisan skripsi ini, penulis mampu mengembangkan daya analisis kelayakan uasaha berdasarkan konsep studi kelayakan usaha. Akhirnya saya sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa saya memohon
maaf atas segala kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak. Selamat membaca semoga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya serta dapat menambah pengetahuan bagi pembaca.
Bogor, Mei 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Garut pada tanggal 3 September 1986 dari pasangan Tato Sumarto dan Tati Sunarti. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kemala Bhayangkari Kabupaten Garut tahun 1992. Kemudian penulis menyelesaikan studi di SDN 1 Kamojang Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung pada tahun 1998. Penulis menempuh pendidikan lanjutan pertama di SLTPN 2 Garut dan menyelesaikan studi tahun 2001. Kemudian menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Garut tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004 di Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiwa, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi intra kampus, penulis pernah aktif sebagai Anggota Biro Pers dan Jurnalistik MISETA IPB tahun 2006-2007. selain itu, tahun 2005-2006 menjadi anggota pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Merpati Putih. Tahun 2005-2006 menjadi Anggota dalam Marketing Community IPB.
Tahun 2006-2007 menjadi Executive
Secretary II International Association and Related Science Agriculture of Student (IAAS) IPB. Organisasi ekstra kampus yang diikuti yaitu anggota Asgar Muda Indonesia Tahun 2006 hingga sekarang. Tahun 2004 – sekarang menjadi anggota di Organisasi Mahasiwa Daerah (OMDA) Kabupaten Garut (HIMAGA). Penulis aktif dalam berbagai
kegiatan kepanitiaan di lingkar kampus IPB dan menjadi master of ceremony (MC) dalam berbagai kegiatan. Selain itu, penulis aktif mengirimkan berbagai esai ke universitas-universitas di Indonesia. Prestasi-prestasi yang pernah diraih penulis selama menjadi mahasiswa di IPB yaitu, Co Host Melancong Yuk di SCTV tahun 2007, juara II presenter berita yang diselenggarakan BEM KM IPB bekerjasama dengan SCTV tahun 2007, Juara II presenter berita Tahap Persiapan Bersama (TPB) IPB tahun 2004, Juara III kegiatan presentasi business plan kewirausahaan tahun 2006, Juara III Lomba Karya Ilmiah TPB IPB tahun 2004 dan finalis tahun 2006, Juara VI lomba menulis surat untuk menteri pertanian Indonesia tahun 2007, dan lainnya. Selain aktif di organisasi dan kegiatan kemahasiswaan, penulis juga menjadi asisten dosen untuk kegiatan praktikum pada mata kuliah kewirausahaan selama satu semester pada tahun 2008. Tahun 2007 penulis mengikuti kegiatan magang di Pasundan TV (STV) Bandung sebagai reporter di departemen news.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur selayaknya kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Alhamdulilah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu memberikan bantuan, dukungan, dan doa yang akan selalu penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orangtuaku tersayang Bpk. Tato Sumarto dan Ibu Tati Sunarti. Terima kasih atas bimbingan, doa, dan kasih sayang apih dan mamah. Kakakku Dian Kusumasari dan adikku Arief Prasetyo. 2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan kasih sayang dan kesabarannya dalam membimbing penulis. 3. Tanti Novianti, SP, MSi selaku Dosen Penguji Utama yang telah memberikan bimbingan dan masukannya dalam ujian sidang skripsi penulis 4. Eva Yolynda Aviny, SP, MM selaku Dosen Penguji Wakil Departemen yang telah memberi masukan dan bmbingannya dalam ujian skripsi penulis 5. Feryanto William Karo-Karo, SP atas bimbingan, dukungan, dan perhatiannya selama ini 6. Teman-teman USA (Sriwel. Chiemay, Melly, Ine, dan Icank) atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini 7. Bapak Haeruman, Kepala Bidang Tanaman Semusim, Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Garut yang telah memberikan dukungan serta arahan selama proses penulisan skripsi
8. H. Ede Kadarusman sebagai key informan dalam pengambilan data akarwangi di Kabupaten Garut 9. Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan semangat selama penulis menempuh studi di IPB 10. Seluruh Dosen Manajemen Agribisnis yang telah menyumbangkan ilmunya kepada penulis. 11. Seluruh Staf Manajemen Agribisnis terutama Mba Dian dan Mba Dewi yang telah memberikan kemudahan dalam segala hal yang menyangkut administrasi selama penulis menempuh studi di IPB 12. Sri Maryati yang telah berkenan menjadi pembahas seminar hasil penelitian penulis 13. Taufik dan Doni, terima kasih atas persahabatan kita selama ini. 14. Dinna Sabriani, teman sharing terutama ketika proses penulisan skripsi. 15. Teman-teman satu bimbingan skripsi (Chika Idol, Tedjo, Dinna, Chiemay, Mba Nina, dan Sevia) 16. Teman-teman satu bimbingan akademik (Chiemay, Nunik, Viona, Ichank, Loci, dan Dwita) 17. Teman-teman asrama 388 (Ari Phobe, Marlina, Rahmi Sari, dan Yola) 18. Teman-teman KKP di Desa Tonjong, Kabupaten Brebes (Mira, Citta, Morin, Azis, dan Indah) yang memberi kenangan manis di tempat KKP 19. Nurani, Iwan, Yuli, Irub, dan teman-teman HIMAGA (Himpunan Mahasiswa Garut) lainnya atas kebersamaan dan rasa persaudaraannya 20. Ipunk, Pretty, Nunik, dan Nanik yang telah memberi semangat di akhir-akhir perjuangan kita.
21. Seluruh teman-teman Manajemen Agrbisnis Angkatan 41 (2004) atas kenangan indah selama penulis menempuh studi di IPB 22. Teman-teman Pondok As-salamah (Niken, Novi, Sri, Venti, Intan, dan Eka) atas rasa persaudaraan dan kebersamaannya 23. Mas Ipul, Mas Yudhi, dan Mas Budi yang telah memberikan pelajaran hidup selama “Melancong” ke Solok Selatan 24. Kang Goris, Kang Ariel, dan teman-teman Asgar Muda lainnya yang telah memberikan informasi mengenai akarwangi dan segala sesuatunya 25. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi dan dukungan selama penulis menyelesaikan studi di IPB yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2008
Nia Rosiana A14104045
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................................xviii DAFTAR GAMBAR .........................................................................................................xxi DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................................xxii I. PENDAHULUAN ........................................................................................................1 1.1. Latar Belakang .........................................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................................6 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................................11 1.4. Kegunaan Penelitian................................................................................................11 II. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................13 2.1. Gambaran Umum Akarwangi………………………………………….…………13 2.1.1. Budidaya Akar Wangi.................................................................................14 2.1.2. Penyulingan Akar Wangi ............................................................................17 2.2. Studi Kelayakan Proyek......................................................................................... 20 2.3. Hasil Penelitian Terdahulu ....................................................................................20 III. KERANGKA PEMIKIRAN......................................................................................24 3.1. Kerangka Teoritis..................................................................................................24 3.1.1. Studi Kelayakan Usaha .................................................................................24 3.1.2. Aspek-Aspek Studi Kelayakan .....................................................................27 3.1.3. Konsep Nilai waktu Uang............................................................................. 29 3.1.4. Kriteria Kelayakan Investasi..........................................................................30 3.1.5. Risiko Dalam Investasi.……………………………………………….…..32 3.2. Kerangka Operasional ...........................................................................................36
Halaman
IV. METODOLOGI PENELITIAN................................................................................41 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................................41 4.2 Jenis dan Sumber Data ...........................................................................................41 4.3. Teknik Pengambilan Responden............................................................................42 4.4. Pengolahan dan Analisis Data ..............................................................................45 4.4.1. Analisis Aspek Teknis ..................................................................................45 4.4.2. Analisis Aspek Pasar ....................................................................................45 4.4.3. Analisis Aspek Sosial ...................................................................................46 4.4.4. Analisis Aspek Finansial...............................................................................46 4.4.5. Penilaian Risiko dalam Investasi................................................................. .49 4.5. Asumsi Dasar.........................................................................................................52 V. GAMBARAN UMUM ................................................................................................56 5.1. Karakteristik Wilayah ...................................................................................................56 5.1.1. Letak Geografis.............................................................................................56 5.1.2. Topografi....................................................................................................... 57 5.1.3. Penggunaan Lahan ........................................................................................ 58 5.1.4. Geologi dan Jenis Tanah ...............................................................................59 5.1.5. Iklim dan Curah Hujan .................................................................................62 5.1.6. Komoditas Unggulan Kabupaten Garut ........................................................ 64 5.1.7. Struktur Perekonomian Kabupaten Garut ..................................................... 65 5.2. Karakteristik Responden Petani dan Penyuling................................................... 66 5.2.1. Umur Petani dan Penyuling……………………………………………… 66 5.2.2. Pendidikan Terakhir……………………………………………………… 66 5.2.3. Jumlah Tanggungan Keluarga…………………………………………….67 5.2.4. Pekerjaan Petani dan Penyuling....…………………………………….…..68 5.2.5. Pengalaman Bertani……………………………………………………....68 5.2.6. Luas Lahan………………………………………………………………...69 5.2.7. Status Kepemilikan Lahan………………………………………………...70 5.2.8. Pola Tanam Akarwangi…………………………………………………....71 Halaman
xv
5.3. Risiko Budidaya .....................................................................................................71 5.3.1. Risiko Produksi .............................................................................................71 5.3.2. Risiko Harga Output .....................................................................................74 5.4. Risiko Penyulingan ................................................................................................75 5.4.1. Risiko Produksi .............................................................................................75 5.4.2. Risiko Harga Output .....................................................................................77 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................80 6.1. Analisis Aspek Teknis ...........................................................................................80 6.1.1. Keadaan Geografis ........................................................................................80 6.1.2. Sumberdaya Produksi ...................................................................................80 6.1.3. Letak Pasar .................................................................................................83 6.1.4. Fasilitas Penunjang ....................................................................................... 83 6.1.5. Teknik Budidaya ...........................................................................................88 6.1.6. Teknik Penyulingan .....................................................................................89 6.1.7. Produk akarwangi ........................................................................................91 6.2. Analisis Aspek Pasar .............................................................................................91 6.2.1. Permintaan ...................................................................................................91 6.2.2. Penawaran .....................................................................................................92 6.2.3. Harga .............................................................................................................93 6.2.4. Pemasaran .....................................................................................................93 6.3. Analisis Aspek Sosial dan Lingkungan ................................................................98 6.4. Risiko Usaha ..........................................................................................................99 6.5. Analisis Aspek Finansial .......................................................................................100 6.5.1. Analisis Finansial Budidaya Akarwangi Tanpa Risiko ................................101 6.5.2. Analisis Finansial Budidaya Akarwangi Pada Kondisi Risiko ....................109 6.5.3. Kelayakan Finansial Budidaya Akarwangi Pada Kondisi Risiko .................110 6.5.4. Penilaian dan Perbandingan Risiko Budidaya Akarwangi ...........................112 6.5.5. Analisis Finansial Penyulingan Akarwangi Tanpa Risiko............................113 6.5.6. Analisis Finansial Penyulingan Akarwangi Pada Kondisi Risiko ...............121 Halaman
xvi
6.5.7. Kelayakan Finansial Penyulingan Akarwangi Pada Kondisi Risiko ............ 122 6.5.8. Penilaian dan Perbandingan Risiko Penyulingan Akarwangi .......................124
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................126 7.1. Kesimpulan ............................................................................................................126 7.2. Saran ......................................................................................................................127 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................129 LAMPIRAN.......................................................................................................................131
xvii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-006 .................................................................1 2. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Tahun 2002-2006 .......................................................................................................2 3. Perkembangan Ekspor-Impor Tanaman Perkebunan, Tahun 2003-2006 ....................3 4. Perbandingan Ekspor dan Impor Tanaman Perkebunan Penghasil Minyak Aromatik Indonesia, Tahun 2003-2006 .........................................................4 5. Negara-Negara Pengekspor Minyak Atsiri, Tahun 2002 ............................................4 6. Negara-Negara Pengimpor Minyak Atsiri, Tahun 2002 .............................................5 7. Jenis Minyak Atsiri yang Diusahakan di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2004...............5 8. Perkembangan Luas Lahan dan Produksi Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006 .........................................................................................................6 9. Penyebaran Luas Tanam Akarwangi di Kabupaten Garut ...........................................7 10. Daerah Penanaman Akarwangi di Kabupaten Garut ................................................41 11. Pembagian Sampel Secara Proporsional di Kabupaten Garut ..................................43 12. Jumlah dan Persentase Responden Petani/Penyuling Akarwangi ............................44 13. Peluang Setiap Kondisi Pada Kegiatan Budidaya dan Penyulingan Akarwangi ............................................................................................51 14. Luas Lahan Berdasarkan Ketinggian ........................................................................57 15. Luas Tanah Menurut Penggunaannya di Kabupaten Garut Tahun 2004 ..................58 16. Jenis Tanah di Kabupaten Garut ..............................................................................59 17. Komoditas Unggulan Kabupaten Garut ....................................................................64 18. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Umur di Kabupaten Garut.......................................................................................66 19. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Garut...................................................................67 20. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga di Kabupaten Garut .................................................67 21. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Pekerjaan di Kabupaten Garut .................................................................................68
Nomor
Halaman
22. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Pengalaman Bertani di Kabupaten Garut ..................................................................68 23. Jumlah dan Persentase Petani Berdasarkan Luas Lahan yang Digunakan untuk Penanaman Akarwangi di Kabupaten Garut ................................................69 24. Jumlah dan Persentase Penyuling Berdasarkan Luas Lahan yang Digunakan untuk Penyulingan Akarwangi di Kabupaten Garut ..............................................69 25. Jumlah dan Persentase Petani Akarwangi Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten Garut ......................................................................................70 26. Jumlah dan Persentase Penyuling Akarwangi Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten Garut .......................................................................................70 27. Produksi dan Peluang Produksi Budidaya Akarwangi Pada Setiap Kondisi ...........72 28 . Produksi dan Peluang Harga Output Budidaya Akarwangi Pada Setiap Kondisi .....................................................................................................................74 29. Produksi dan Peluang Harga Output penyulingan Akarwangi Pada Setiap Kondisi .....................................................................................................................76 30. Produksi dan Peluang Harga Output Penyulingan Minyak Akarwangi Pada Setiap Kondisi .................................................................................................77 31. Input dan Output Budidaya Akarwangi ...................................................................88 32. Input dan Output Penyulingan Akarwangi ..............................................................90 33. Perkembangan Produksi Akarwangi Provinsi Jawa Barat (ton, Tahun 2002-2006 .....................................................................................................92 34. Perkembangan Luas Lahan Tanaman Akarwangi (ha) di Jawa Barat, Tahun 2002-2006 .....................................................................................................92 35. Produksi Akarwangi Dalam 1 Ha dan Minyak Akarwangi Dalam Satu Penyulingan/Tahun Pada Setiap Kondisi ............................................100 36. Harga Output Akarwangi dan Minyak Akarwangi Pada Setiap Kondisi ................100 37. Penerimaan Petani Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko Per Hektar ................102 38. Nilai Sisa Investasi Budidaya Akarwangi per Hektar..............................................103 39. Biaya Investasi yang Diperlukan Pada Tahun Pertama Dalam Budidaya Akarwangi per Hektar ............................................................................103 40. Biaya Reinvestasi yang Diperlukan Dalam Budidaya Akarwangi per Hektar .......104 41. Biaya Variabel dan Biaya Tetap yang Diperlukan Pada Kegiatan Budidaya Akarwangi per Hektar ...........................................................................107 42. Total Penerimaan Petani Akarwangi Pada Kondisi Per Hektar .............................109
xix
Nomor
Halaman
43. Kriteria Kelayakan Investasi Budidaya Setiap Kondisi Pada Tingkat DF (8%) .....112 44. Perbandingan Risiko Dalam Investasi Budidaya Akarwangi .................................113 45. Pendapatan Petani Pada Setiap Kondisi ..................................................................113 46. Penerimaan Penyuling Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko Dalam Satu Penyulingan .........................................................................................114 47. Nilai Sisa Investasi Penyulingan Akarwangi Pada Satu Penyulingan ....................115 48. Biaya Investasi yang Diperlukan Dalam Satu Penyulingan Akarwangi Pada Tahun Pertama ...............................................................................................116 49. Biaya Reinvestasi yang Diperlukan Dalam Budidaya Akarwangi per Hektar (Rp) ........................................................................................................116 50. Biaya Variabel dan Biaya Tetap yang Diperlukan Pada Kegiatan Penyulingan Akarwangi Dalam Satu Penyulingan ..................................................120 51. Total Penerimaan Penyuling Akarwangi Pada Kondisi Risiko Dalam Satu Penyulingan .........................................................................................121 52. Kriteria Kelayakan Investasi Penyulingan Setiap Kondisi Pada Tingkat DF (8%) .124 53. Perbandingan Risiko Dalam Investasi Pada Satu Penyulingan Akarwangi ............125 54. Pendapatan Penyuling Pada Setiap Kondisi ............................................................125
xx
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Harga Akarwangi di Kabupaten Garut Pada Tahun 1996-2000..........................................................................................................8 2. Perkembangan Harga Minyak Akarwangi di Kabupaten Garut Pada Tahun 1996-2004.................................................................................................8 3. Perkembangan Produksi Akar Wangi di Jawa Barat Tahun 2002-2006......................9 3. Tahap-Tahap Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Akarwangi di Kabupaten Garut ....................................................................................................38 5. Kerangka Pemikiran Operasional ..............................................................................40 6. Saluran Pemasaran Akarwangi di Kabupaten Garut, BAPPEDA (2005) .................94
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Cashflow Budidaya Akarwangi pada kondisi Normal pada Lahan 1 Ha ..................131 2. Cashflow Risiko Produksi Pada Budidaya Akarwangi Kondisi Tertinggi ................132 3. Cashflow Risiko Produksi Pada Budidaya Akarwangi Kondisi Terendah ................133 4. Cashflow Risiko Harga Output Tertinggi Pada Budidaya Akarwangi ......................134 5. Cashflow Risiko Harga Output Terendah Pada Budidaya Akarwangi ......................135 6. Cashflow Risiko harga Output Terendah Dengan Produksi Terendah ......................136 7. Tingkat Risiko Produksi, Harga, dan Gabungan Pada Budidaya Akarwangi............137 8. Cashflow Penyulingan Kondisi Normal ....................................................................138 9. Cashflow Risiko penyulingan Kondisi Produksi Tertinggi .......................................140 10. Cashflow Risiko penyulingan Kondisi Produksi Terendah .......................................142 11. Cashflow Risiko Penyulingan Kondisi harga Output Tertinggi ...............................144 12. Cashflow Risiko Penyulingan Kondisi harga Output Terendah ...............................146 13. Cashflow Risiko Penyulingan Kondisi Gabungan Tertinggi .....................................148 14. Cashflow Risiko Penyulingan Kondisi Gabungan Terendah.....................................150 15. Tingkat Risiko Produksi, Harga, dan Gabungan pada Penyulingan Minyak Akarwangi ....................................................................................................152
I.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Salah satunya sebagai sumber penerimaan negara. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 1 yaitu besarnya kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menurut lapangan usaha terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang berada pada urutan ketiga pada tahun 2002 sampai 2006 setelah industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran.
Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2006 (Miliar Rupiah) Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
2002 231.613,5
2004 247.163,6 (2,8)
2005 253.726,0 (2,6)
2006 261.296,8 (0,30)
167.603,8 160.100,5 (-1,4) (-4,5) 419.387,8 441.754,9 469.952,4 (5,3) (6,4) Listrik, Gas, dan Air 9.868,2 10.349,2 10.897,6 Bersih (4,9) (5,3) Konstruksi 84.469,8 89.621,8 96.334,4 (6,1) (7,5) Perdagangan, Hotel, 243.266,6 256.516,6 271.142,2 dan Restoran (5,4) (5,7) Pengangkutan dan 76.173,1 85.458,4 96.896,7 Komunikasi (12,2) (13,4) Keuangan, Real Estate 131.523,0 140.374,4 151.123,3 dan Jasa Perusahaan (6,7) (7,7) Jasa-jasa 138.982,4 145.104,9 152.906,1 (4,4) (5,4) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah)
165.085,4 (3,1) 491.421,8 (4,6) 11.584,1 (6,3) 10.483,7 (-89,1) 293.877,2 (8,4) 109.467,1 (13,0) 161.384,3 (6,8) 160.626,5 (5,0)
168.729,9 (2,2) 514.192,2 (4,6) 12.263,6 (5,9) 112.762,2 (97,57) 311.903,5 (6,1) 124.399,0 (13,6) 170.495,6 (5,6) 170.612,1 (6,2)
169.932,0
2003 240.387,3 (3,8)
2
Dalam jangka panjang, pengembangan lapangan usaha pertanian difokuskan pada produk-produk olahan hasil pertanian yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional, seperti pengembangan agroindustri. Salah satu lapangan usaha pertanian yang berorientasi ekspor dan mampu memberikan nilai tambah adalah tanaman perkebunan. Hal ini terlihat pada kontribusi tanaman perkebunan menurut lapangan usaha terhadap PDB. Tanaman perkebunan menurut lapangan usaha tahun 2002 sampai 2006 memberikan kontribusi terbesar kedua setelah tanaman bahan makanan setiap tahunnya. Hal ini ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Tahun 2002-2006 (Miliar Dolar) Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan
2002
115.925,5
2003
2004
119.164,8 122.611,7 (2,8) (2,9) 36.585,6 38.693,9 38.849,3 (5,8) (0,4) Peternakan dan Hasil29.393,5 30.647,0 31.672,5 hasilnya (4,3) (3,3) Kehutanan 17.986,5 17.213,7 17.433,8 (-4,3) (1,3) Perikanan 33.082,3 34.667,9 36.596,3 (4,8) (5,6) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah)
2005
125.801,8 (2,6) 39.810,9 ( 2,5) 32.346,5 (2,1) 17.176,9 (-1,4) 38.589,9 (5,4)
2006
129.211,2 (2,7) 41.081,5 (3,2) 33.309,9 (2,9) 16.784,1 (-2,3) 40.909,8 (6,0)
Persentase nilai PDB tanaman perkebunan berfluktuasi pada kurun waktu 2002 hingga tahun 2006. Hal ini tidak terlepas dari besarnya persentase ekspor pada tanaman tersebut. Pada Tabel 3, menjelaskan bahwa volume ekspor untuk
3
tanaman perkebunan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dari 11.974.201.918 kg pada tahun 2003 menjadi 18.579.806.335 kg pada tahun 2006.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor-Impor Tanaman Perkebunan, Tahun 20032006 Tahun 2003
Ekspor 11.974.201.918
Volume (Kg) Impor 2.088.748.566
15.556.889.495 1.353.601.447 (299) (-35,1) 18.579.806.335 2.091.654.011 2005 (19,4) (54,5) 15.150.170.864 1.346.496.425 2006* (18,5) (53,6) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah) *) Angka Sementara 2004
Neraca 9.885.453.352 14.203.288.048 (43,6) 16.488.152.324 (16,0) 13.803.674.439 (16,2)
Minyak aromatik merupakan salah satu olahan tanaman perkebunan. Minyak aromatik memiliki aroma yang kuat karena sifatnya yang mudah menguap pada suhu ruang. Minyak aromatik banyak digunakan untuk bahan dasar wewangian dan minyak gosok. Salah satu olahan tanaman perkebunan penghasil minyak aromatik adalah minyak atsiri dan minyak jarak. Minyak jarak yang dimanfaatkan dalam berbagai industri seperti: sabun, pelumas, minyak rem dan hidrolik, cat, pewarna, plastik tahan dingin, pelindung (coating), tinta, malam dan semir, nilon, farmasi, dan parfum. Tahun 2003 sampai 2006, ekspor minyak atsiri menunjukan trend yang meningkat. Sedangkan volume ekspor minyak jarak menunjukan adanya fluktuasi. Volume ekspor minyak atsiri lebih besar setiap tahunnya dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini menunjukan permintaan minyak atsiri lebih besar dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini dapat dilhat pada Tabel 4.
4
Tabel 4. Perbandingan Ekspor dan Impor Tanaman Perkebunan Penghasil Minyak Aromatik Indonesia, Tahun 2003-2006 (Kg)
Tahun 2003
Minyak Atsiri Volume (Kg) Ekspor Impor 1.967.736 321.333
Minyak Jarak * Volume (Kg) Ekspor Impor 200.622 2.489.689
3.230.401 1.596.474 1.019.176 (64,1) (396,8) (408,0) 3.767.561 942.860 16.112 2005 (16,6) (-40,9) (-98,4) 2.945.384 1.233.938 32.856 2006** (-21,8) (30,8) (103,9) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah) *) Termasuk Bahan Baku Minyak Aromatik **) Angka Sementara
4.504.806 (80,9) 3.985.890 (11,5) 2.952.866 (-25,9)
2004
Pasar minyak atsiri sangat potensial bagi Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor minyak atsiri dunia yang berada pada urutan ketiga di dunia. Ekspor minyak atsiri Indonesia tahun 2002 menghasilkan nilai sebesar US$ 47.940.000 atau 17,6 persen dari total nilai ekspor minyak atsiri di pasar dunia. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Negara-Negara Pengekspor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002 Negara pengekspor Perancis China Indonesia USA Inggris Singapura Total Sumber: ITC/Comtrade Statistic, 2003
Nilai (Ribuan US$) 93.842 50.517 47.940 34.011 24.346 21.090 271.746
(%) 34,5 18,6 17,6 12,5 8,9 7,9 100
5
Berdasarkan nilai impor tahun 2002, permintaan terhadap minyak atsiri dari semua negara pengimpor cukup tinggi. Indonesia hanya menghasilkan nilai US$ 47.940.000 padahal total nilai impor minyak atsiri dari negara- negara pengimpor mencapai US$ 354.496.000. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Negara-Negara Pengimpor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002 Negara pengimpor USA Perancis Inggris Swiss Jerman Spanyol Total Sumber: ITC/Comtrade Statistic, 2003
Nilai (Ribuan US$) 120.220 87.573 48.149 36.237 32.906 29.411 354.496
(%) 33,9 24,7 13,6 10,2 9,3 8,6 100
Minyak atsiri dihasilkan dari proses pengolahan secara penyulingan dari tanaman atsiri. Berbagai jenis minyak atsiri dikembangkan di Indonesia salah satunya minyak akarwangi yang dikembangkan di Provinsi Jawa Barat. Tahun 2004, produktivitas tanaman akarwangi paling rendah bila dibandingkan dengan jenis tanaman penghasil minyak atsiri lain. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis Minyak Atsiri yang Diusahakan di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2004 Luas Areal (Ha) No Komoditas Produksi (Ton) 2.250,00 72,00 1. Akarwangi 32.549,99 12.683,42 2. Cengkeh 4.023,01 30.860,43 3. Jahe Kayu Manis 74,50 21,78 4. 231,16 25,89 5. Kenanga 3.364,53 1.064,35 6. Lada 1.442,75 3.283,52 7. Nilam 2.658,39 604,06 8. Pala 492,50 776,54 9. Sereh Wangi Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2005
Produktivitas(Kg/Ha) 32,00 606,59 11.045,25 792,00 444,23 778,80 4.082,68 309,25 1.584,78
6
Perkembangan luas lahan di Jawa Barat tahun 2000 hingga 2006 berfluktuatif. Tahun 2004 merupakan tahun yang memiliki luas lahan terbesar yaitu 32 kg/Ha dan 2.250 Ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Akar wangi sebagai salah satu tanaman perkebunan yang bernllai ekonomis tinggi selayaknya terus dikembangkan agar dapat meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kesempatan kerja, dan peningkatan penerimaan devisa.
Tabel 8. Perkembangan Luas Lahan Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006 Tahun Luas Lahan (Ha) 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2006
(%) 1.253 1.917 2.250 2.035 2.045
52,9 17,3 -9,5 0,49
1.2. Perumusan Masalah Akarwangi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Kabupaten Garut yang memiliki arti penting bagi perekonomian daerah. Sekitar 89 persen produksi minyak akarwangi Indonesia dihasilkan dari Kabupaten Garut (Bappeda Kabupaten Garut, 2005). Hal ini didukung oleh potensi areal seluas 2.400 Ha dan realisasi luas tanam mencapai 1.733 Ha pada tahun 2006 yang tersebar di empat kecamatan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Penyebaran Luas Tanam Akarwangi di Kabupaten Garut Potensi Realisasi Luas Produksi Produktivitas Areal (Ha) Tanam (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 1. Leles 750 683 8.196 12 2. Samarang 1.200 850 10.200 12 3. Bayongbong 250 85 1.020 12 4. Cilawu 200 115 1.380 12 Jumlah 2.400 1.733 20.796 12 Sumber: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2006 No
Kecamatan
7
Penanaman akarwangi dan pemberian izin usaha penyulingan minyak akarwangi diatur dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat No.249/A.II/5/SK/1974 dan SK Bupati Garut No.125/HK.021.1?SK/1978 jo. SK Bupati Garut No.191/HK.021.1/SK/1978. Berdasarkan SK tersebut, luas lahan penanaman akarwangi di Kabupaten Garut tidak boleh melebihi 2.400 Ha. Namun, pada tahun 2006 realisasi luas lahan yang digunakan untuk menanam akarwangi baru mencapai 1.733 Ha. Oleh karena itu, masih tersedia potensi lahan yang dapat dikembangkan sesuai dengan SK.Bupati KDH Garut No.520/SK.196HUK/90 tentang penanaman dan penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut seluas 2.400 Ha yang tersebar di empat kecamatan. Meskipun prospek akarwangi cukup cerah, namun pada kenyataannya di lapangan upaya pengembangan usaha akarwangi masih mengalami kendala. Pengusahaan budidaya akarwangi masih dijalankan secara sederhana/tradisional oleh petani dan luas lahan yang diusahakan baru mencapai 1.733 Ha. Padahal potensi areal mencapai 2.400 Ha sesuai dengan SK Bupati KDH Garut No.520/SK.196-HUK/90. Hal ini mengindikasikan areal penanaman seluas 667 Ha belum termanfaatkan dan masih berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu, dibutuhkan modal yang besar dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi. Kendala lain yaitu dalam melakukan budidaya dan penyulingan yaitu adanya fluktuasi harga dan produksi. Gambar 1 merupakan gambar yang menunjukkan adanya fluktuasi harga akarwangi di Kabupaten Garut tahun 1996 hingga 2000.
8
Harga Akarwangi (Rp/kg)
450 400 350 300 250 200
19 96
1997
1998 Year
199 9
20 00
Gambar 1. Perkembangan Harga Akarwangi di Kabupaten Garut Pada Tahun 1996-2000 Selain fluktuasi harga akarwangi, adanya fluktuasi harga minyak akarwangi tahun 1996 hingga 2000 menyebabkan adanya risiko produksi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Selama kurun waktu 1996 hingga 1998 terjadi peningkatan harga minyak akarwangi, namun tahun 1996 hingga tahun 1999 terdapat penurunan akarwangi. Tahun 1999 hingga tahun 2000 terdapat kenaikan harga minyak akarwangi hingga mencapai Rp.220.000/kg. g
g
y
g
p
Harga Minyak Akarwangi (Rp/ltr)
220000 200000 180000 160000 140000 120000 100000 1996
1997
1998 Year
1999
2000
Gambar 2. Perkembangan Harga Minyak Akarwangi di Kabupaten Garut Pada Tahun 1996-2004
9
Selain adanya risiko harga, terdapat risiko produksi yang menyebabkan berfluktuasinya produksi akarwangi dan minyak akarwangi. Gambar 3 menunjukkan bahwa terdapat risiko produksi akarwangi. Tahun 2002 hingga tahun 2004 terjadi peningkatan produksi akarwangi. Namun, tahun 2004 hingga 2005 terdapat penurunan produksi. Tahun 2005 hingga tahun 2006 terdapat peningkatan produksi meskipun peningkatannya cenderung kecil.
Produksi Akarwangi (ton/ha)
70 60 50 40 30 20 10 2002
2003
2004 Year
2005
2006
Gambar 3. Perkembangan Produksi Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006
Perkembangan harga akarwangi dan minyak akarwangi, pada dasarnya menunjukkan berfluktuasinya harga dari tahun ke tahun. Harga akarwangi tertinggi sebesar Rp.425/kg dan terendah Rp. 175/kg Sedangkan harga minyak akarwangi tertinggi sebesar yaitu Rp. 220.000/kg dan harga minyak akarwangi terendah sebesar Rp. 105.000/kg harga terendah. Data terakhir yang diperoleh dari kegiatan survei diperoleh informasi bahwa harga tertinggi pada tahun 2007 yang
10
diterima oleh penyuling adalah sebesar Rp.582.000/kg dan terendah Rp. 466.923/kg. Kendala-kendala yang dihadapi menjadi tantangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut untuk berupaya mengembangkan tanaman akarwangi. Hal ini dikarenakan akarwangi menjadi salah satu komoditas unggulan tanaman perkebunan di Kabupaten Garut. Pengembangan usaha akarwangi merupakan bagian dari strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri (Bappeda Kabupaten Garut,1994). Berdasarkan
latar
belakang
dan
permasalahan
diatas,
maka
pengembangan usaha akarwangi, yang terdiri dari kegiatan budidaya dan penyulingan di Kabupaten Garut dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang belum diusahakan seluas 667 Ha. Hal ini sesuai dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut yaitu luas areal penanaman maksimal 2.400 Ha yang baru termanfaatkan seluas 1.733 Ha. Lahan yang belum diusahakan tersebut diharapkan dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi kelayakan pengembangan usaha yang memperhatikan aspek budidaya dan pasca panen yakni kegiatan penyulingan. Penyulingan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang tidak terpisahkan dari kegiatan usaha akarwangi. tanaman akar wangi akan diolah lebih lanjut menjadi minyak akar wangi yang dilakukan oleh beberapa petani penyuling yang memiliki modal yang relatif besar bila dibandingkan dengan petani lainnya. Perhitungan atau penilaian dilakukan agar menghindari kerugian dalam penanaman modal yang terlalu besar dan melihat sasaran dari kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha akar
11
wangi. Selain itu, studi kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut diperlukan untuk meminimalkan risiko dalam pengembangan usaha. Dengan melakukan analisis kelayakan usaha maka dapat membandingkan antara tingkat keuntungan yang diperoleh pada kondisi normal dengan kondisi risiko. Dengan demikian, diharapkan hasil studi kelayakan usaha ini dapat memberikan informasi kepada investor untuk menarik minatnya menanamkan modal pada usaha akarwangi. Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah usaha akarwangi di Kabupaten Garut layak diusahakan? 2. Bagaimana dampak adanya risiko volume produksi dan harga output terhadap kelayakan usaha akarwangi?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut 2. Menganalisis dampak adanya risiko volume produksi dan harga output terhadap kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu : 1. Bagi petani dan penyuling akarwangi, penelitian ini memberikan alternatif dalam meminimalkan risiko yang terjadi dalam pengembangan usaha akarwangi.
12
2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan pengembangan usaha akarwangi. 3. Bagi investor/masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi dalam mempertimbangkan penanaman modal di usaha akarwangi. 4. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan daya analisis kelayakan usaha berdasarkan konsep studi kelayakan usaha.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Akarwangi Tanaman akarwangi (Vetiveria zizanioides) termasuk keluarga graminae, berumpun lebat, akar tinggal, bercabang banyak, dan berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua. Tanaman ini ditemukan tumbuh secara liar, setengah liar, dan sengaja ditanam di berbagai negara yang beriklim tropis dan subtropics (Kanisius, 1995). Tanaman
akarwangi
diproses
melalui
penyulingan
yang
akan
menghasilkan minyak akarwangi (minyak atsiri). Minyak atsiri merupakan salah satu bahan pewangi yang potensial. Biasanya dipakai secara luas untuk pembuatan parfum, bahan kosmetika, dan sebagai bahan pewangi sabun. Minyak atsiri selain berfungsi sebagai zat pengikat (fiksatif), juga memberikan wangi menyenangkan, tahan lama, dan keras. Pemakaiannya harus memperhatikan dosis karena baunya yang keras. Jika dosisnya berlebihan akan memberikan kesan bau yang tidak enak. Oleh karena itu, penggunaan minyak akar wangi ini dicampur dengan nilam, minyak mawar, dan minyak “sandalwood”. Seiring
dengan
peningkatan
kebutuhan
terhadap
produk-produk
wewangian, maka kebutuhan terhadap minyak akarwangi pun cenderung bertambah. Penghasil utama minyak akarwangi di Indonesia adalah Kabupaten Garut. Minyak akarwangi Indonesia di luar negeri dikenal dengan nama “Java Vetiver Oil”. Tanaman ini biasanya diusahakan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk dan di lereng-lereng berbukit dan bergelombang. Akarwangi dapat tumbuh pada ketinggian sekitar 300-2.000 meter di atas permukaan laut.
14
Akan tetapi, ketinggian optimum yang menghasilkan produktivitas tertinggi adalah sekitar 600-1.500 meter di atas permukaan laut. Tanah yang sesuai untuk menanam akarwangi adalah di tanah yang berpasir atau pada tanah abu vulkanik. Pada tanah tersebut akar tanaman akan menjadi lebat dan panjang. Selain itu, tanaman akarwangi masih dapat tumbuh di tanah-tanah liat yang mengandung air. Namun kelemahan tanah ini adalah sulit dicabut dan pertumbuhan akar menjadi terhambat. Derajat kemasaman tanah (pH) yang cocok bagi pertumbuhan tanaman akarwangi sekitar 6-7. Tanah yang terlalu masam atau dibawah 5,5 akan menyebabkan tanaman akarwangi menjadi kerdil sehingga akarnya akan berbentuk kurus dan berukuran kecil. Penanaman akarwangi sekaligus dapat berfungsi sebagai usaha konservasi tanah dan air, karena kelebatan akarnya mencapai + 50 cm. maka akarwangi dapat ditanam di pematang-pematang sawah untuk menghindari atau mengendalikan kerusakan pematang-pematang sawah. Pertumbuhan tanaman akarwangi pun didukung oleh adanya sinar matahari yang jatuh secara langsung. Maka, bila tanaman akarwangi ditanam ditempat yang teduh akan berpengaruh tidak baik terhadap pertumbuhan sistem akar dan mutu minyak pun akan menurun.
2.1.1. Budidaya Akar Wangi 2.1.1.1. Pembibitan Tanaman
akarwangi
dapat
diperbanyak
secara
vegetatif,
yaitu
menggunakan bonggol-bonggol akarnya. Bonggol tersebut didapatkan dari tanaman dalam rumpun yang tidak berbunga, lalu dipecah-pecah sehingga setiap
15
pecahan bonggol memiliki mata tunas. Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun (Kanisius, 1995). Kebutuhan bonggol bibit untuk lahan satu hektar sekitar dua ton dengan jarak tanam antara 0,75 x 0,75 meter atau 1 x 1 meter tergantung tingkat kesuburan tanah. Satu lubang tanam dibutuhkan 2-3 bonggol bibit.
2.1.1.2. Penanaman Tahap pertama yang perlu diperhatikan adalah persiapan lahan. Meskipun akar wangi pada dasarnya kurang membutuhkan pengolahan tanah, namun tanah yang menjadi media tanam akarwangi perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan tanah tersebut dilakukan dengan pencangkulan. Dengan cara ini, tanah yang semula berada di bagian bawah akan berada di permukaan dan mendapat cahaya matahari, sekaligus rumput dan tumbuhan pengganggu lainnya akan mati. Pada fase awal pertumbuhan, tanaman akarwangi membutuhkan air yang cukup. Oleh karena itu, waktu tanam sebaiknya diusahakan pada permulaan musim hujan, yaitu bulan Oktober-November Penanaman bibit akarwangi dilakukan dengan cara memasukkan bonggol siap tanam ke dalam lubang tanam yang telah dibuat, kemudian ditutup kembali dan tanah di sekitarnya agak dipadatkan. Jarak tanam pada tanah yang subur adalah 1 x 1 meter, sedangkan pada tanah yang kurang subur 0,76 x 0,75 meter. Lokasi penanaman akar wangi pada lahan miring perlu dibuat terasering.
2.1.1.3. Pemeliharaan Pemeliharaan
akarwangi
meliputi:
penyulaman,
penyiangan,
pembumbunan, pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama. Sekitar 2-3
16
minggu setelah tanam, hendaknya diadakan pemeriksaan ke kebun akarwangi. Hal ini untuk melihat akar wangi yang tidak tumbuh atau bahkan mati agar dilakukan penyulaman. Kegiatan ini untuk mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya dan akan digunakan untuk memprediksi produk yang dihasilkan (Kanisius, 1995). Kegiatan
yang
dilakukan
dalam
pemeliharaan
akarwangi
yaitu
penyiangan. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah datangnya hama yang biasanya menjadikan gulma lain sebagai tempat persembunyian, sekaligus untuk memutus daur hidup hama. Tindakan penyiangan dilakukan pada umur tiga bulan sejak tanam dan pada awal maupun akhir musim penghujan. Tanaman akarwangi tidak tahan terhadap tanah yang tergenang air. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembumbunan agar aerasi dan drainase dapat diatur dengan baik. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiangan. Setelah dilakukan kegiatan penyiangan, yang perlu diperhatikan adalah kegiatan pemupukan. Pertumbuhan akarwangi akan terganggu apabila kondisi tanah tidak subur. Pemupukan dilakukan biasanya dilakukan dua kali dalam satu tahun. Pada umur tiga bulan, pupuk yang diberikan untuk lahan seluas satu hektar adalah lima ton pupuk kandang, 100 kg urea, 50 kg TSP, dan 50 kg KCL. Sedangkan pada bulan ke sembilan dilakukan pemupukan dengan dosis yang berbeda yaitu lima ton pupuk kandang, 50 kg urea, 25 kg TSP, dan 25 kg KCL. Cara pemberian pupuk adalah dengan memasukan pupuk ke dalam lubang melingkar sedalam 10 cm dan ditutup kembali oleh tanah.
17
Setelah tanaman berumur + 6 bulan dilakukan pemangkasan daun untuk mendapatkan akar yang rimbun dan panjang. Pemangkasan ini dilakukan tga bulan atau enam bulan sekali pada daerah dataran tinggi. Sedangkan pada dataran rendah tidak perlu dilakukan pemangkasan karena akan menurunkan hasil produksi.
2.1.1.4. Pemanenan Waktu pemanenan akar wangi bergantung pada musim dan penggunaan tanah. Kondisi tanaman dan kandungan minyak masih sedikit apabila dipanen terlalu dini. Namun apabila panen terlambat akan mengakibatkan akar layu dan mengering sehingga sebagian minyak akan hilang. Oleh karena itu, umur yang paling baik untuk melakukan pemanenan adalah antara 1,5 -2 tahun (Kanisius, 1995). Pemanenan dilakukan dengan menggunakan cangkul. Pencabutan tanaman harus dilakukan secara hati-hati agar akar tidak putus dan tertinggal di dalam tanah. Akar yang baru dipanen harus dibersihkan dari tanah yang masih melekat dan dipotong di bawah bonggolnya. Sedangkan daun akar wangi dapat dijadikan kompos dan bonggolnya sendiri dapat dijadikan bibit untuk penanaman masa berikutnya kemudian hasil panen tersebut disuling.
2.1.2. Penyulingan Akar Wangi Minyak atsiri yang berasal dari tanaman akar wangi dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: pengempaan, ekstraksi menggunakan pelarut, dan penyulingan. Dari ketiga cara tersebut, yang erat kaitannya untuk mendapatkan minyak akar wangi (vetiver oil) adalah cara penyulingan (Kanisius, 1995).
18
Penyulingan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan minyak atsiri dengan cara mendidihkan bahan baku yang dimasukkan ke dalam suatu ketel dan mengalirkan uap jenuh dari ketel pendidih air ke dalam ketel penyulingan. Dalam hal ini terdapat tiga jens penyulingan yaitu: 1) penyulingan dengan air, 2)penyulingan dengan air dan uap, 3) penyulingan dengan uap
2.1.2.1. Penyulingan dengan air Prinsip kerja penyulingan dengan air dimulai dengan pengisian air pada ketel penyulingan kemudian dipanaskan. Sebelum air mendidih, bahan baku dimasukkan ke dalam ketel penyulingan. Dengan demikian penguapan air dan minyak atsiri berlangsung secara bersamaan. Penyulingan ini disebut penyulingan langsung. Penyulingan ini merupakan cara tertua dan sangat mudah dilaksanakan. Namun, kualitas minyak atsiri yang dihasilkan cukup rendah (Kanisius, 1995)..
2.1.2.2. Penyulingan dengan air dan uap Penyulingan ini relatif lebih maju dibandingkan penyulingan dengan air. Prinsip kerja yang dilakukan adalah dimulai dengan ketel penyulingan diisi air sampai batas saringan. Bahan baku diletakkan di atas saringan sehingga tidak berhubungan langsung dengan air yang mendidih, tetapi akan berhubungan dengan uap air. Penyulingan ini disebut penyulingan tidak langsung. Air yang menguap akan membawa partikel-partikel minyak atsiri dan dialirkan melalui pipa ke alat pendingan sehingga terjadi pengembunan dan uap air yang bercampur minyak atsiri tersebut akan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat pemisah untuk memisahkan minyak atsiri dari air. Kualitas yang dihasilkan cukup baik (Kanisius, 1995)..
19
2.1.2.3. Penyulingan dengan uap Penyulingan dengan cara ini memerlukan modal yang relatif besar dibandingkan cara-cara yang sebelumnya. Namun, kualitas minyak atsiri yang dihasilkan jauh lebih sempurna. Prinsip kerja penyulingan seperti ini hampir sama dengan cara menyuling dengan air dan uap tetapi antara ketel uap dan ketel penyulingan harus terpisah. Ketel uap yang berisi air dipanaskan, lalu uap tersebut dialirkan ke ketel penyulingan yang berisi bahan baku, partikel-partikel minyak pada bahan baku terbawa bersama uap dan dialirkan ke alat pendingin. Di dalam alat pendingin itulah terjadi proses pengembunan, sehingga uap air yang bercampur minyak akan mengembun dan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat pemisah yang akan memisahkan minyak atsiri dari air (Kanisius, 1995).. Mengingat produksi minyak akarwangi di Indonesia hampir seluruhnya diekspor, maka pemerintah telah menetapkan persyaratan ekspor. Warna akarwangi yang didayaratkan yaitu kecoklat-coklatan sampai kemerah merahan. berat jenis pada suhu 25 derajat celcius,bilangan ester antara 5-25 Umumnya minyak akarwangi yang baik ditandai oleh berat jenis dan putaran optik yang tinggi. Komponen penting lainnya adalah vetiverol. Menurut Santoso (1993), peningkatan kadar vetiverol di dalam minyak akar wangi akan sekaligus meningkatkan mutu minyak tersebut.
20
2.2. Studi Kelayakan Proyek Tahapan pertama dalam kegiatan proyek adalah identifikasi gagasan proyek, yaitu menganalisis gagasan, ide, atau saran-saran mengenai rencana proyek yang akan dilaksanakan. Setelah analisis pendahuluan dilakukan, maka analisis lebih rinci dilakukan yang disebut dengan istilah studi kelayakan. Studi kelayakan akan memberikan informasi yang cukup untuk melaksanakan proyek tersebut. Studi kelayakan akan memberikan kesempatan untuk menyusun proyek agar bias sesuai dengan lingkungan fisik dan sosialnya, serta dapat memastikan bahwa proyek tersebut akan memberikan hasil yang optimal (Herjanto, 1999).
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan Damanik (2003) di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Data aspek sosial ekonomi diambil dari 120 petani akarwangi dan 22 pabrik penyuling akarwangi. Percobaan lapangan dilaksanakan pada lahan seluas tiga hektar. Metode penelitian yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok dengan tiga pola tanam dan dua ulangan. Perlakuan yang dicoba adalah pola tanam petani, pola tanam introduksi, dan pola tanam konservasi. Parameter yang diamati adalah berat akar, kadar minyak, tingkat erosi, tingkat produktivitas, dan kelayakan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga pola yang diteliti ternyata pola konservasi mempunyai berat akar yang lebih tinggi yaitu 0,74 kg, sedangkan pola petani 0,60 kg dan pola introduksi 0,50 kg. Hasil analisis kadar minyak ketiga pola menunjukkan bahwa kadar minyak pola konservasi dan pola petani tidak berbeda nyata yaitu 2,60 persen dan 2,25 persen, sedangkan pola introduksi hanya 1,25 persen. Dari kedua parameter di atas (berat akar dan kadar minyak) dapat disimpulkan bahwa pola konservasi lebih baik
21
dibandingkan dengan pola lainnya. Tingkat erosi yang terjadi di pertanaman akarwangi adalah: (a) pola petani 26,20 ton/ha, (b) pola introduksi 19,40 ton/ha, dan (c) pola konservasi 17,80 ton/ha. Tingkat produktivitas yang dicapai dari ketiga pola usahatani tersebut yaitu (a) pola petani sebesar 16.000 kg/ ha/tahun, (b) pola introduksi 15.000kg/ha/tahun, dan (c) pola konservasi 18.000kg/ha/tahun. Dari ketiga pola tersebut yang tertinggi adalah pola konservasi, tetapi analisis kelayakan ekonomi pada ketiga pola adalah : Pola konservasi : B/C ratio 3,26, NPV Rp 7.852.000, dan IRR 18,75 persen; Pola introduksi : B/C ratio 2,03, NPV Rp 5.089.000, dan IRR 18,75 persen; Pola petani : B/C ratio 3,60, NPV Rp7.130.000, dan IRR 18,50 persen. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa usaha tersebut layak untuk dilaksanakan. Penelitian yang dilakukan oleh Khairunnisa (2004) mengenai perencanaan kelayakan pengembangan usaha budidaya lebah madu (Apis mellifera) di Jawa Timur dilihat tingkat kelayakannya berdasarkan aspek-aspek kelayakan usaha. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pengembangan usaha tersebut layak untuk dikembangkan berdasarkan aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial dan lingkungan, dan aspek finansial. Pola pengembangan usaha yang dilakukan adalah dengan menetapkan empat skenario. Skenario pertama yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman sepanjang tahun (12 bulan) dan menggunakan pengemasan madu. Skenario kedua yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman sepanjang tahun (12 bulan) dan tanpa menggunakan pengemasan madu. Skenario ketiga yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman semusim (7 bulan), stimulasi pada saat paceklik (5 bulan), dan pengemasan madu.
22
Skenario keempat yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman semusim (7 bulan), stimulasi pada saat paceklik (5 bulan), dan tanpa pengemasan madu. Berdasarkan keempat skenario tersebut, skenario pertama paling layak untuk dijalankan karena NPV bernilai positif, nilai Net B/C > 1, IRR lebih dari tingkat diskonto (60%), dan payback period paling cepat yaitu 1 tahun 10 bulan 6 hari. Selain itu, adanya perubahan tingkat diskonto sebesar 14 persen dari keempat skenario tidak didapatkan NPV negative sehingga keempat skenario tersebut dapat dijalankan. Penelitian yang dilakukan oleh Dolly (2006) mengenai analisis kelayakan investasi pengusahaan pembibitan duria (Durio zibhetinus) di CV.Milad Perkasa Rancamaya Bogor menghasilkan beberapa kesimpulan. Analisis dilakukan pada ketiga pola. Pola pertama bahwa bibit dijual seluruhnya untuk proyek gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL). Pola kedua bibit dijual langsung ke konsumen. Pola ketiga bahwa bibit 50 persen dijual ke GNRHL dan 50 persen dijual langsung ke konsumen. Dari ketiga pola tersebut, pola kedua paling layak untuk dijalankan karena NPV bernilai positif, Net B/C > 1, IRR > discount rate, pay back periode paling cepat. Selain itu, switching value dengan parameter penurunan penjualan dan peningkatan biaya dilakuakn pada ketiga pola. Pola kedua paling sensitif terhadap kedua parameter yang digunakan. Penelitian yang dilakukan Sukarman (2007) mengenai risk management, suatu kebutuhan bagi pengelolaan perbankan yang sehat menghasilkan beberapa kesimpulan. Bagi perbankan, penerapan pengelolaan risiko menyebabkan bertambahnya biaya, jumlahn pegawai, waktu, dan mengurangi inisiatif untuk membuat keputusan. Hal ini banyak dikeluhkan oleh para bankir yang pada
23
gilirannya akan mempengaruhi performanya. Krisis tahun 1997 yang berdampak hingga sekarang dan berbagai kecurangan menyebabkan trauma akan berulangnya krisis ini. Namun, penerapan berbagai peraturan termasuk pengelolaan risiko perbankan dan perekonomian nasional akan segera membaik sehingga risiko bisnis juga berkurang. Hal ini akan mendorong perbankan untuk melanjutkan intermediasinya karena pertumbuhan suatu ekonomi suatu negara memerlukan kelancaran pemberian kredit bank.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis Pada bagian ini dijelaskan tentang konsep dan teori yang berhubungan dengan penelitian kelayakan pengembangan usaha akarwangi (Andropogon zizanoid) pada kondisi risiko di Kabupaten Garut yaitu studi kelayakan usaha, aspek-aspek studi kelayakan, konsep nilai waktu uang, kriteria kelayakan investasi, dan risiko dalam investasi.
3.1.1 Studi Kelayakan Usaha Proyek ialah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumbersumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit) atau suatu aktivitas yang mengeluarkan uang dengan harapan untuk menghasilkan hasil (returns) di waktu yang akan datang, yang dapat direncanakan, dibiayai, dan dilaksanakan sebagai satu unit (Kadariah et al, 1999). Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat atau tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan proyek investasi) dilaksanakan dengan berhasil (Husnan dan Muhamad.2000). Menurut Kadariah et al (1999), tujuan analisis suatu usaha adalah untuk memperbaiki pemilihan investasi karena sumber-sumber yang tersedia bagi pembangunan terbatas. Oleh karena itu, perlu diadakan pemilihan antara berbagai macam proyek. Kesalahan dalam memilih proyek dapat mengakibatkan pengorbanan terhadap sumber-sumber yang langka. Studi kelayakan usaha sangat perlu dilakukan untuk menentukan apakah dan sampai berapa jauhkah proyek tersebut dapat memberikan benefit yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sejumlah sumber dapat dinikmati pada saat ini dan masa yang akan datang.
25
Sumber tersebut dapat ditingkatkan dengan cara menginvestasikan sebagian sumber-sumber yang tersedia pada saat ini. Melalui investasi tersebut, sumbersumber itu menjadi modal yang merupakan salah satu faktor produksi yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi di waktu yang akan datang. Secara umum studi kelayakan mencakup aspek pasar, aspek teknik, aspek manajemen, aspek ekonomi dan sosial (Husnan dan Muhamad.2000). Menurut Kadariah et al (1999), bahwa setiap aspek tersebut terdapat suatu macam analisis yang menitikberatkan aspek itu. Tetapi dalam rangka ilmu evaluasi proyek biasanya hanya ditekankan dua macam analisis yaitu analisis finansial dan analisis ekonomis. Analisis finansial merupakan analisis dimana proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek. Analisis ekonomis merupakan analisis dimana proyek dilihat dari sudut perkonomian secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan adalah analisis finansial. Menurut Kadariah et al (1999), benefit proyek dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: direct benefit, indirect benefit, dan intangible benefit. Direct benefit dapat berupa kenaikan dalam output fisik atau kenaikan nilai output yang disebabkan oleh adanya perbaikan kualitas, perubahan lokasi, perubahan dalam waktu penjualan, penurunan kerugian, dan penurunan biaya. Kenaikan dalam nilai output dapat disebabkan oleh kenaikan produk fisik, perbaikan mutu produk, perbaikan dalam lokasi dan waktu penjualan, dan perubahan dalam bentuk. Sedangkan penurunan biaya dapat berupa keuntungan dari mekanisasi, penurunan biaya pengangkutan, dan penurunan kerugian. Indirect benefit merupakan benefit yang dirasakan di luar proyek karena adanya realisasi suatu proyek. Indirect benefit
26
terdiri dari multiplier effect dari proyek, benefit yang disebabkan karena adanya economic of scale, dari benefit yang ditimbulkan karena adanya dynamic secondary effects berupa perubahan dalam produktivitas tenaga kerja yang disebabkan oleh perbaikan kesehatan atau keahlian. Intangible benefit suatu proyek adalah benefit yang sulit dinilai dengan uang, seperti: perbaikan lingkungan hidup, perbaikan pemandangan karena adanya suatu taman, perbaikan distribusi pendapatan, integrasi nasional, pertahanan nasional, dan lain sebagainya. Biaya dan manfaat yang dirasakan dalam menjalankan suatu proyek ditentukan oleh laju inflasi. Semakin cepat laju inflasi maka semakin besar pula ukuran benefit yang dinyatakan dalam uang atas dasar harga yang berlaku. Di lain pihak, terjadinya inflasi akan mempengaruhi ukuran biaya. Namun, biasanya benefit dari suatu proyek lebih besar daripada biayanya. Jika tidak, maka proyek tersebut harus ditolak. Oleh karena itu, inflasi akan membesarkan benefit bersih yang diukur atas dasar harga yang berlaku. Selain itu, terdapat beberapa pedoman untuk menentukan panjangnya umur proyek (Kadariah et al, 1999), antara lain: a. Ukuran umum yang dapat diambil suatu periode (jangka waktu) yaitu sama dengan umur ekonomis dari proyek. Umur ekonomis suatu aset ialah jumlah tahun selama pemakaian aset tersebut dapat meminimumkan biaya. b. Proyek-proyek yang mempunyai investasi modal yang besar lebih mudah untuk menggunakan umur teknis daripada umur-umur pokok investasi. Dalam hal ini untuk proyek-proyek tertentu umur teknis dari unsur-unsur pokok investasi adalah lama tetapi umur ekonomisnya dapat jauh lebih pendek karena obsolescence (ketinggalan zaman karena penemuan teknologi baru
27
yang jauh lebih efisien). Keadaan ini banyak terdapat dalam proyek-proyek pertanian. c. Proyek-proyek yang umurnya lebih lama daripada 25 tahun dapat diambil 25 tahun. Hal tersebut dikarenakan tahun-tahun setelah itu jika di discount dengan discount rate sebesar 10 persen ke atas maka present value nya akan kecil.
3.1.2. Aspek-Aspek Studi Kelayakan Dalam studi kelayakan usaha terdapat aspek-aspek yang perlu dianalisis. Aspek-aspek tersebut antara lain aspek pasar, teknis, keuangan, manajemen, hukum, ekonomi dan sosial (Husnan dan Muhamad, 2000).
1. Aspek Pasar Aspek ini mempelajari tentang permintaan dan proyeksinya baik secara total ataupun diperinci menurut daerah, jenis, konsumen, perusahaan besar pemakai. Selain itu, aspek pasar mempelajari tentang penawaran baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Bagaimana perkembangan di masa lalu dan bagaimana perkiraan di masa yang akan datang. Harga, program pemasaran, dan perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan menjadi hal yang penting untuk dianalisis.
2. Aspek Teknis Aspek teknis mencakup studi dan pengujian pendahuluan, skala produksi, proses produksi, mesin-mesin dan perlengkapan, perlengkapan-perlengkapan tambahan dan pekerjaan-pekerjaan teknis tambahan, penanganan limbah produksi, tata letak produksi, pemilihan lokasi, jadwal kerja, dan teknologi yang akan digunakan.
28
3. Aspek Keuangan Aspek keuangan mencakup dana yang diperlukan untuk investasi baik untuk aktiva tetap maupun modal kerja, sumber-sumber pembelanjaan yang akan digunakan, taksiran penghasilan, biaya, rugi laba pada berbagai tingkat operasi, manfaat dan biaya dalam arti finansial, dan proyeksi keuangan.
4. Aspek Manajemen Aspek manajemen mempelajari tentang manajemen dalam masa pembangunan proyek dan manajemen dalam masa operasi. Dalam masa pembangunan proyek, hal yang dipelajari adalah siapa pelaksana proyek tersebut, bagaimana jadwal penyelesaian proyek tersebut, dan siapa yang melakukan studi masing-masing aspek kelayakan usaha.
5. Aspek Hukum Aspek hukum mempelajari tentang bentuk badan usaha yang akan digunakan, jaminan-jaminan yang bisa disediakan bila akan menggunakan sumber dana yang berupa pinjaman, berbagai akta, sertifikat, dan izin.
6. Aspek Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Pada aspek ini yang dipelajari adalah pengaruh proyek tersebut terhadap peningkatan pendapatan negara, devisa yang bisa dihemat dan yang bisa diperoleh. Selain itu, hal yang dipelajari adalah penambahan dan pemerataan kesempatan kerja, bagaimana pengaruh proyek tersebut terhadap industri lain, dan aspek yang bersifat sosial. Aspek yang bersifat sosial seperti semakin ramainya daerah tersebut, lalu lintas yang semakin lancar, adanya penerangan listrik, dan lain sebagainya. Aspek sosial merupakan manfaat dan pengorbanan sosial yang
29
mungkin dialami oleh masyarakat tetapi sulit dikuantifikasikan yang bisa disepakati secara bersama. Tetapi manfaat dan pengorbanan tersebut dirasakan ada. Aspek lingkungan misalnya kegiatan usahatani akarwangi yang tidak mengakibatkan kerusakan alam.
3.1.3. Konsep Nilai Waktu Uang Menurut Kadariah et al (1999), bahwa sejumlah sumber yang tersedia untuk dinikmati pada saat ini lebih disenangi orang daripada jumlah yang sama jika tersedia baru dalam satu tahun. Hal itu yang disebut time preference yang berlaku baik secara perseorangan maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Di lain pihak, diketahui pula bahwa jumlah mutlak dari sumber yang tersedia untuk konsumsi dapat kita tingkatkan dengan cara menginvestasikan sebagian sumbersumber yang tersedia pada saat ini daripada sekaligus mengkonsumsi seluruhnya. Melalui investasi tersebut, sumber-sumber itu menjadi modal yang merupakan salah satu faktor produksi yang menghasilkan barang dan jasa untuk konsumsi di waktu yang akan datang. Time preference dan produktivitas atau efisiensi modal berhubungan timbal balik di dalam pasar modal dimana penawaran merupakan tabungan masyarakat sedangkan permintaan berasal dari pihak yang mencari keuntungan melalui penanaman modal. Harga yang ditentukan oleh hubungan timbal balik itu ialah harga modal, yaitu tingkat bunga. Oleh karena itu, tingkat bunga membandingkan arus biaya dan benefit yang penyebarannya di dalam waktu tidak merata maka diterapkan proses discounting. Setiap nilai tingkat bunga diasumsikan telah/akan didapat/dibayar, terdapat suatu discount factor yang bermanfaat dalam kegiatan evaluasi proyek.
30
3.1.4. Kriteria Kelayakan Investasi Dalam mencari suatu ukuran menyeluruh tentang layak atau tidaknya suatu proyek telah dikembangkan berbagai macam indeks. Indeks-indeks tersebut disebut investment criteria. Setiap indeks menggunakan present value yang telah di discount dari arus-arus benefit dan biaya selama umur suatu proyek. Setiap kriteria digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek untuk dijalankan. Selain itu digunakan untuk memberi urutan (ranking) berbagai usul investasi menurut tingkat keuntungan masing-masing. Kriteria investasi tersebut antara lain Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net BenefitCost Ratio (Net B/C), Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C), Profitability Ratio (PV/K) (Kadariah et al, 1999).
1. Net Present Value (NPV) Menurut Husnan dan Muhamad (2000), metode ini menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Nilai sekarang dapat dihitung dengan menentukan tingkat bunga terlebih dahulu. Pada dasarnya, tingkat bunga tersebut adalah tingkat bunga pada saat kita menganggap keputusan investai masih terpisah dari keputusan pembelanjaan ataupun waktu kita mulai mengaitkan keputusan investasi dengan keputusan pembelanjaan. Apabila nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi, maka proyek ini dikatakan menguntungkan sehingga layak untuk dijalankan. Apabila lebih kecil (NPV negatif) proyek dinilai tidak menguntungkan dan tidak layak untuk dijalankan.
31
2. Internal Rate of Return (IRR) Metode ini menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa-masa mendatang. Apabila tingkat bunga ini lebih besar daripada tingkat bunga relevan (tingkat keuntungan yang diisyaratkan), maka investasi dikatakan menguntungkan dan sebaliknya bila lebih kecil dikatakan merugikan (Husnan dan Muhamad, 2000) .
3. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) Net B/C merupakan angka perbandingan antara nilai sekarang arus manfaat dengan nilai sekarang arus biaya. Kriteria yang digunakan untuk net B/C ratio dari manfaat proyek adalah memilih semua proyek yang nilai B/C ratio sebesar satu atau lebih jika arus biaya dan manfaat didiskonto pada tingkat biaya opportunitas kapital (Gittinger, 1986).
4. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) Gross B/C merupakan angka perbandingan antara benefit kotor dan cost kotor. Cost dalam hal ini mencakup segala jenis biaya sosial baik modal maupun rutin. Gross B/C bersifat peka terhadap angka perbandingan biaya rutin terhadap benefit kotor. Maka sebagai kriteria pemilihan proyek, gross B/C dapat menghsilkan kesimpulan yang keliru dan hendaknya jangan digunakan dalam analisis benefit cost (Kadariah et al, 1999).
5. Profitability Ratio (PV/K) Menurut Kadariah et al (1999), metode ini membedakan antara biaya modal dengan biaya rutin. Angka perbandingan ini dianggap mengukur
32
rentabilitas suatu investasi di atas tingkat discount rate-nya. Biasanya lebih mendekati Net B/C daripada Gross B/C. Apabila benefit atau biaya rutin mulai tampak hanya sesudah proses investasi selesai, seperti halnya jika pengeluaran tahun-tahun pertama suatu proyek terbatas pada biaya modal saja ataupun biaya rutin tidak pernah melebihi benefit kotor dalam suatu tahun tertentu, maka profitability ratio betul-betul sama-sama dengan Net B/C.
6. Payback Period (PP) Metode ini mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali. Oleh karena itu, satuan hasilnya bukan persentase tetapi satuan waktu (bulan, tahun, dan sebagainya). Dasar yang dipergunakan adalah aliran kas bukan laba. Bila periode payback ini lebih pendek daripada yang diisyaratkan maka proyek dikatakan menguntungkan sedangkan bila lebih lama proyek ditolak. Merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan untuk melihat periode waktu yang diperlukan untuk melunasi seluruh pengeluaran investasi. Semakin pendek periode pengembalian investasi suatu proyek akan semakin baik. Data yang digunakan untuk menghitung payback period ini menggunakan data yang telah didiskontokan.
3.1.5. Risiko dalam Investasi Setiap usulan investasi selalu mempunyai risiko (Husnan dan Muhamad, 2000). Semakin tinggi risiko suatu investasi, semakin tinggi tingkat keuntungan yang diminta para pemilik modal yang menanamkan modalnya. Ada beberapa pendekatan yang dipergunakan dalam memasukkan faktor risiko dalam investasi. Masalah pokok dalam pemasukan faktor risiko dalam investasi antara lain adalah
33
dalam pendefinisian risiko tersebut. Maka, hubungan yang positif antara resiko dan tingkat keuntungan harus tetap berlaku. Menurut Husnan dan Muhamad (2000), risiko adalah kemungkinan penyimpangan nilai riil dari nilai yang diharapkan. Semakin besar kemungkinan penyimpangan, semakin besar risiko yang dimiliki investasi tersebut. Secara statistik, penyebaran nilai dari apa yang diharapkan diukur dengan deviasi standar distribusi. Semakin besar deviasi standar tingkat keuntungan, semakin besar kemungkinan menyimpang dari rata-ratanya. Bila risiko suatu investasi bernilai nol, maka tingkat keuntungan yang disyaratkan seharusnya adalah tingkat keuntungan yang tidak mengandung risiko (tingkat keuntungan bebas risiko). Tetapi bila risiko suatu investasi yang diukur dengan deviasi standar, maka teori yang berlaku adalah teori portofolio dan model penentuan harga aktiva. Teori portofolio dan metoda penentuan harga aktiva berguna dalam masalah penilaian investasi dengan memasukkan unsur risiko (yang diukur dengan deviasi standar) bisa dihilangkan dengan melakukan diversifikasi yaitu dengan memiliki beberapa jenis investasi. Dengan memiliki beberapa jenis investasi (portofolio), maka fluktuasi tingkat keuntungan akan makin berkurang karena saling menghilangkan. Dengan demikian deviasi standar dari sekumpulan investasi akan cenderung lebih kecil daripada deviasi standar suatu investasi saja. Menurut Weston dan Copeland (1995), terdapat tiga jenis risiko proyek. Pertama, risiko berdikari dari proyek itu sendiri yaitu risiko yang didasari asumsi bahwa proyek tersebut merupakan satu-satunya aktiva perusahaan dan bahwa perusahaan tersebut merupakan satu-satunya perusahaan yang dimiliki para investor bersangkutan. Kedua, risiko dalam perusahaan yaitu risiko yang diukur
34
tanpa mempertimbangkan diversifikasi portofolio dari pemegang saham. Risiko ini diukur dari variabilitas laba perusahaan yang diakibatkan oleh suatu proyek tertentu. Ketiga, risiko pasar atau beta yaitu bagian dari risiko proyek yang tidak dapat dieliminasi melalui diversifikasi. Risiko ini diukur dengan beta koefisien. Titik awal untuk menganalisis risiko berdikari dari suatu proyek adalah penentuan ketidakpastian yang terkandung dalam arus kas proyek. Tiga teknik untuk memperkirakan risiko berdikari proyek: (1) analisis sensitivitas, (2) analisis skenario, dan (3) Analisis Monte Carlo.
1. Analisis Sensitivitas Menurut Kadariah et al (1999), analisis sensitivitas tujuannya adalah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek jika ada suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau benefit. Perubahan yang mungkin terjadi antara lain: kenaikan dalam biaya konstruksi (cost over run), perubahan dalam harga hasil produksi dan terjadi penurunan pelaksanaan pekerjaan. Pada bidang pertanian, proyek sensitif berubah-ubah akibat empat masalah utama, yaitu, harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya, dan hasil (Gittinger, 1986).
2. Analisis Skenario Analisis skenario adalah teknik analisis risiko yang mempertimbangkan baik sensitivitas NPV terhadap perubahan variabel-variabel kunci maupun rentangan (range) dari nilai-nilai variabel yang memungkinkan. Pada umumnya risiko berdikari suatu proyek tergantung pada kedua hal tersebut. Oleh karena itu, analisis skenario lebih lengkap dibandingkan dengan analisis sensitivitas karena
35
analisis sensitivitas hanya mempertimbangkan faktor sensitivitas NPV terhadap perubahan variabel-variabel kunci. Dalam analisis skenario, terdapat keadaan yang buruk dan baik. NPV untuk keadaan buruk dan baik kemudian dihitung dan dibandingkan dengan NPV yang diharapkan atau NPV dasar. Nilai-nilai skenario terburuk dan terbaik dapat diterapkan pada biaya tetap dan biaya variabel, tarif pajak penghasilan, nilai sisa, dan sebagainya (Weston & Copeland,1995).
3. Analisis Monte Carlo Menurut (Weston & Copeland, 1995), simulasi Monte Carlo adalah teknik analisis resiko dimana kejadian yang cukup memungkinkan akan terjadi di masa yang datang disimulasikan dalam komputer sehingga menghasilkan estimasi tingkat pengembalian dan indeks risiko. Dalam hal ini, simulasi memerlukan komputer dengan daya yang cukup besar dengan disertai paket perangkat lunak untuk perencanaan keuangan yang efisien, sementara analisis skenario dapat dilakukan hanya dengan menggunakan perangkat komputer (PC) serta program Spreadsheet atau bahkan hanya dengan menggunakan kalkulator sekalipun. Keunggulan utama dari simulasi adalah dapat menunjukkan berbagai hasil yang mungkin sekaligus dengan probabilitasnya.
3.1.5.1. Konsep Expected Return Weston dan Copeland (1995), menyatakan bahwa terdapat tiga jenis sikap terhadap risiko yaitu yang senang mengambil risiko (risk seeker), anti risiko (risk averter), dan acuh terhadap risiko (risk indiference). Kelompok pengambil risiko apabila dihadapkan pada dua pilihan yaitu investasi yang kurang atau lebih mengandung risiko dengan perkiraan jumlah hasl yang sama, maka seorang
36
pengambil risiko akan lebih suka memilih jenis investasi yang lebih mengandung risiko. Tetap bagi seorang penghndar riisiko akan cenderung akan menjatuhkan keputusannya pada jenis investasi yang kurang mengandung risiko. Sementara itu, seorang yang acuh terhadap risiko tidak akan peduli akan jenis investasi mana yang dipilih. Berdasarkan hal tersebut, semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi maka nilai yang diharapkan semakin besar.
3.1.5.2. Penilaian Risiko Weston dan Copeland (1995), menyatakan bahwa penilaian risiko dalam investasi diukur dari tiga hal yaitu NPV yang diharapkan, standar deviasi, dan koefisien variasi. NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. Koefisien variasi merupakan pembagian dari standar devasi dan NPV yang diharapkan. Bila nilai dari NPV yang diharapkan, koefisien variasi, dan standar deviasi besar maka tingkat risiko yang dihadapi tinggi. . 3.2. Kerangka Operasional Akarwangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang potensial untuk dikembangkan. Lahan yang tersedia untuk dibudidayakan mencapai 2.400 Ha. Namun, realisasi lahan yang baru diusahakan mencapai 1.733 Ha
(Dinas
Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kab.Garut, 2006). Oleh karena itu, masih tersedia lahan seluas 667 Ha yang masih belum diusahakan. Upaya pengembangan usaha akar wangi dilakukan melalui pemanfaatan lahan seluas 667 Ha. Dalam melakukan pengembangan usaha, perlu dilakukan analisis kelayakan agar menghindari kerugian yang terlalu besar dalam hal penanaman modal, meminimalisasi biaya, dan mempertimbangkan risiko dalam
37
investasi. Analisis kelayakan dilakukan pada aspek-aspek kelayakan usaha yaitu aspek teknis, pasar, sosial, dan finansial. Aspek finansial dilakukan lakukan pada keadaan normal (tanpa risiko). Pada keadaan ini, aspek finansial yang akan dianalisis adalah NPV, IRR, Net B/C, dan PP. Pada kondisi lain yaitu analisis risiko dimana kegiatan investasi dengan risiko. Pada kondisi ini, tingkat risiko diperhatikan pada kegiatan investasi sehingga diperoleh nilai NPV yang diharapkan. Setelah analisis tersebut dilakukan, selanjutnya dapat diketahui apakah pemanfaatan lahan seluas 667 Ha layak diusahakan atau tidak. Bila tidak layak, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kegiatan budidaya akarwangi yang sedang berjalan di Kabupaten Garut. Bila analisis tersebut menunjukkan kelayakan, maka upaya pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan seluas 667 Ha dapat dijalankan. Tahap-tahap analisis kelayakan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 4.
38
Akarwangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang potensial untuk dikembangkan Upaya pengembangan usaha akarwangi
Pemanfaatan lahan seluas 667 Ha karena luas lahan yang tersedia mencapai 2400 Ha. Sedangkan luas lahan yang diusahakan baru mencapai 1.733 Ha Kelayakan Investasi
-
Aspek-aspek: Aspek Teknis Aspek Pasar Aspek Sosial dan Lingkungan Aspek Finansial NPV IRR Net B/C PP
Analisis Risiko (NPV yang diharapkan) Layak
Tidak Layak
Pengembangan usaha akar wangi melalui penggunaan lahan seluas 2.400 Ha secara optimal
Lakukan Evaluasi
Gambar 4. Tahap-Tahap Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Akarwangi di Kabupaten Garut
39
Dalam melakukan kegiatan pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan seluas 667 Ha tidak terlepas dari risiko yang akan dihadapi. Risiko tersebut berupa risiko volume produksi dan risiko harga output. Kegiatan budidaya dan penyulingan akarwangi menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Adanya fluktuasi dari volume produksi dan harga output menyebabkan adanya risiko volume produksi dan harga output (Fariyanti, 2008). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dianalisis kelayakan usaha budidaya dan penyulingan bila melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi masa yang akan datang. Pada pengukuran tingkat risiko pengembangan usaha akarwangi, tidak memperhitungkan risiko harga input. Hal ini dikarenakan bibit akar wangi sendiri tidak mempengaruhi tingkat risiko yang signifikan. Bibit tidak secara signifikan mempengaruhi risiko, dikarenakan penggunaan bibit hanya dilakukan pada tahun pertama saja, selanjutnya bibit yang digunakan pada musim-musim tanam berikutnya diperoleh dari tanaman akar wangi yang dipanen, dimana hasil panen tersebut disisihkan sejumlah tertentu untuk digunakan kembali sebagai bibit untuk musim tanam berikutnya. Analisis kelayakan usaha dilakukan pada kegiatan budidaya dan penyulingan dengan menganalisis aspek-aspek kelayakan usaha seperti aspek teknis, pasar, sosial dan lingkungan, dan finansial. Kriteria kelayakan investasi yang dianalisis adalah NPV, IRR, Net B/C, dan PP. Bila hasil analisis menunjukkan tingkat kelayakan, maka pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan 667 Ha dapat dijalankan. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 5.
40
Risiko
Volume Produksi
Harga Output
Kelayakan Usaha Akawangi: - Budidaya - Penyulingan
Layak atau Tidak Layak Diusahakan Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilakukan pada Bulan Januari hingga Mei 2008 yang mencakup penyusunan proposal hingga penyusunan draft skripsi dilaksanakan di empat kecamatan di Kabupaten Garut, empat kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Leles, Kecamatan Samarang, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) karena beberapa pertimbangan, diantaranya: pertama, sentra produksi minyak akar wangi Indonesia 89 persen dihasilkan dari Kabupaten Garut (Bappeda Kab Garut, 2005). Kedua, kecamatan-kecamatan tersebut merupakan daerah penanaman akar wangi dari 40 kecamatan di Kabupaten Garut yang merupakan komoditas unggulan tingkat kecamatan (BPS KabupatenGarut, 2003). Ketiga, pengembangan usaha akarwangi di daerah tersebut melalui pemanfaatan lahan yang masih belum optimal.
Tabel 10 . Daerah Penanaman Akarwangi di Kabupaten Garut Tahun 2005 No
Kecamatan
Potensi Realisasi Luas Produksi Produktivitas Areal (Ha) Tanam (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 1. Leles 750 683 8.196 12 2. Samarang 1.200 850 10.200 12 3. Bayongbong 250 85 1.020 12 4. Cilawu 200 115 1.380 12 Jumlah 2.400 1.733 20.796 12 Sumber: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2006
4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara dengan petani dan penyuling. Pada tahap awal wawancara hanya dilakukan pada
42
petani dan penyuling akarwangi tetapi terungkap bahwa terdapat petani yang merangkap sebagai penyuling dan penyuling yang merangkap sebagai petani. sehingga informasi yang diperoleh menjadi beragam. Selain itu, wawancara dilakukan dengan stakeholders pengamatan secara langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan
Horikultura & Perkebunan
Kabupaten Garut, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut, BAPPEDA Kabuparen Garut, BPS, internet, literatur dan penelitian-penelitian terdahulu yang dapat dijadikan bahan rujukan yang berhubungan dengan penelitian ini.
4.3. Teknik Pengambilan Responden Teknik pengambilan responden yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik proportional simple random sampling. Dari empat kecamatan di Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Leles, Kecamatan Samarang, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu diambil sampel secara random (acak) sesuai dengan proporsi dari masing-masing kecamatan. Rumus yang digunakan untuk menghitung seluruh jumlah responden tersebut adalah rumus Solvin (1960). n =
N 1 + N .e
2
Keterangan : n = Ukuran Sampel (orang) N = Ukuran Populasi (orang) e = Nilai Kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (10 persen)
43
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut (2006), petani yang melakukan budidaya akarwangi secara monokultur di Kabupaten.Garut berjumlah 66 orang. Jumlah populasi ini berdasarkan jumlah petani yang melakukan usahatani pada musim tanam 2006/2007. Maka, jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 41 orang, Jumlah tersebut berdasarkan perhitungan sebagai berikut: n=
66 1 + 66 (10 persen)2
= 41 orang Tabel 11 merupakan jumlah pembagian sampel secara proporsional berdasarkan jumlah subpopulasi. Jumlah sampel terbanyak terdapat di Kecamatan Samarang yaitu sebanyak 19 orang. Hal ini dikarenakan jumlah petani yang melakukan kegiatan budidaya akarwangi paling banyak dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya.
Tabel 11. Pembagian Responden Secara Proporsional di Kabupaten Garut No. 1. 2. 3. 4.
Kecamatan Leles Samarang Bayongbong Cilawu Total
Jumlah Petani Monokultut Pada Musim Tanam 2006/2007 (orang) 12 29 15 10 66
Jumlah Sampel (orang) 7 19 9 6 41
Pada kenyataannya di lapangan, tidak semua petani responden menanam akarwangi secara monokultur. Hal ini dikarenakan periode musim tanam yang berbeda yaitu musim tanam 2007/2008. Oleh karena itu, proses pengambilan data yang dilakukan tidak hanya pada petani monokultur tetapi juga pada petani tumpangsari tetapi daftar nama responden masih menggunakan daftar petani dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut.
44
Selain itu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua petani adalah petani budidaya. Dari pengambilan sampel yang dilakukan secara acak ternyata terdapat petani yang selain petani budidaya juga sebagai penyuling. Hal ini dimungkinkan, karena beberapa petani yang memiliki modal yang besar dan memiliki akses pasar terhadap produk minyak akarwangi, berusaha untuk mengelola sendiri atau menghasilkan sendiri minyak akarwangi dan selanjutnya dijual kepada para pedagang pengumpul ataupun eksportir. Selain terdapat petani murni dan petani yang merangkap sebagai penyuling, terdapat tiga orang responden penyuling murni. Hal ini disebabkan data responden yang digunakan adalah data yang diperoleh dari musim tanam 2006/2007. Pengambilan data (turun lapang) yang dilakukan pada Bulan Maret 2008, menyebutkan ketiga responden tersebut sebagai penyuling murni, walaupun pada musim tanam tahun 2006/2007 mereka bertindak sebagai petani dan penyuling, karena beberapa faktor seperti alasan keterbatasan waktu untuk merawat tanaman akarwangi, maka sejak musim tanam 2007/2008 responden tersebut memilih untuk menjadi penyuling murni. Faktor kuat lain yang menyebabkan adalah tingkat keuntungan yang diperoleh ketika melakukan kegiatan penyulingan yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kegiatan budidaya akarwangi saja. Jumlah dan persentase responden petani dan penyuling akarwangi dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Petani/Penyuling Akarwangi Responden Petani akarwangi Penyuling akarwangi Petani dan Penyuling akarwangi Total
Jumlah (Orang) 28 3 10 41
Persentase ( persen) 68,3 7,3 24,4 100
45
4.4. Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi yang telah terkumpul diolah dengan bantuan komputer program Excel Windows XP dan kalkulator. Setelah itu dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabel (tabulasi) kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk mempermudah proses analisis data. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk mendapatkan gambaran usaha dari tiap-tiap aspek dalam studi kelayakan usaha. Aspek-aspek tersebut antara lain: aspek teknis, pasar, serta aspek sosial.dan lingkungan. Analisis secara kuantitatif dilakukan terhadap aspek finansial dan menganalisis dampak adanya risiko terhadap perubahan harga output dan volume produksi. Aspek finansial yang dianalisis adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Ne0t Benefit-Cost Ratio (Net B/C), dan Payback Period (Husnan dan Muhamad, 2000).
4.4.1. Analisis Aspek Teknis Aspek teknis ini mencakup lokasi proyek dimana suatu proyek akan didirikan baik untuk pertimbangan pabrik maupun bukan pabrik, seberapa besar skala operasi yang ditetapkan untuk mencapai skala ekonomis, kriteria pemilihan mesin dan peralatan utama serta alat pembantu mesin, bagaimana proses produksi dilakukan dan layout pabrik dipilih, dan ketepatan penggunaan teknologi.
4.4.2. Analisis Aspek Pasar Pada aspek ini terdapat beberapa hal yang perlu dikaji. Pertama, permintaan baik secara total maupun diperinci menurut daerah, jenis konsumen, dan proyeksi permintaan. Kedua, penawaran baik berasal dari dalam negeri
46
maupun impor, bagaimana perkembangannya pada masa lalu dan perkiraan masa yang akan datang. Ketiga, harga meliputi perbandingan dengan barang-barang impor, produksi dalam negeri, apakah terdapat kecenderungan perubahan harga. Keempat, program pemasaran mencakup strategi pemasaran, identifikasi siklus produk, dan bauran produk. Kelima, perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan dan market share yang dikuasai perusahaan
4.4.3. Analisis Aspek Sosial dan Lingkungan Aspek sosial merupakan manfaat dan pengorbanan sosial yang mungkin dialami oleh masyarakat tetapi sulit dikuantifikasikan yang bisa disepakati secara bersama. Tetapi manfaat dan pengorbanan tersebut dirasakan ada. Misalnya, pengaruh adanya kemitraan petani akarwangi terhadap pengembangan usaha. Selain itu, analisis ini melihat pengaruh suatu usaha terhadap kelestarian lingkungan sekitar.
4.4.4. Analisis Aspek Finansial Kriteria penilaian investasi untuk menganalisa aspek finansial antara lain: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), dan Payback Period. Setiap kriteria menggunakan Present Value yang telah di discount dari arus-arus benefit dan biaya selama umur proyek.
1. Net Present Value (NPV) Menurut Kadariah et al (1999), NPV merupakan selisih antara Present Value dan Benefit dan Present Value dari biaya. Dalam evaluasi suatu proyek tertentu, nilai NPV ≥ 0 menandakan bahwa proyek tersebut layak untuk dijalankan. Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan tepat sebesar
47
Social Opportunity Cost of Capital. Jika NPV < 0, proyek tersebut tidak layak untuk dijalankan. Penentuan nilai NPV dapat dituliskan sebagai berikut: n
∑
NPV =
t =1
Bt − C t (1 + i ) t
dimana: Bt
= Benefit bruto proyek pada tahun t
Ct
= Biaya bruto proyek pada tahun t
i
= Tingkat suku bunga
n
= Umur ekonomis proyek
t
= Tahun ke-t
2. Internal Rate of Return (IRR) Menurut Kadariah et al (1999), IRR merupakan tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Setiap benefit bersih yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan suku bunga yang sama yang diberi bunga selama sisa umur proyek. Jika ternyata IRR dari suatu proyek sama dengan nilai i yang berlaku sebagai social discount rate, maka NPV dari proyek itu adalah sebesar 0. Jika IRR < social discount rate, berarti NPV < 0. Oleh karena itu, suatu nilai IRR yang lebih besar daripada/ sama dengan social discount rate menunjukan suatu proyek layak dijalankan, sedangkan IRR kurang dari social discount rate-nya memberikan tanda tidak layak untuk dijalankan. Penentuan nilai IRR sebagai berikut: Bt − Ct =0 t =1 (1 + i ) NPV 1 IRR = ii + (i 2 − i1) NPV 1 − NPV 2 n
NPV = ∑
48
dimana: Bt
= Benefit bruto proyek pada tahun t
Ct
= Biaya bruto proyek pada tahun t
NPV1 = Nilai NPV yang positif NPV2 = Nilai NPV yang negatif I1
= Tingkat suku bunga pada saat NPV positif
I2
= Tingkat suku bunga pada saat NPV negatif
3. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Menurut Kadariah et al (1999), Net B/C merupakan perbandingan sedemikian rupa sehingga pembilangnya terdiri atas present value total dari benefit bersih dalam tahun-tahun dimana benefit bersih tersebut bersifat positif, sedangkan penyebutnya terdiri atas present value total dari biaya bersih dalam tahun-tahun tertentu dimana biaya kotor lebih besar daripada benefit kotor. Net B/C ≥ 1 menandakan bahwa proyek layak untuk dijalankan dan bila Net B/C < 1 menandakan bahwa proyek tidak layak untuk dijalankan. Penentuan Net B/C sebagai berikut:
n
Net B/C = =
Bt − Ct
∑ (1 + i) t =1 n
Ct − Bt
∑ (1 + i) t =1
t
atau
NetB / C =
t
dimana: Bt
= Benefit bruto proyek pada tahun t
Ct
= Biaya bruto proyek pada tahun t
PV (+ ) PV (−)
49
i
= Tingkat suku bunga
n
= Umur ekonomis proyek
PV (+) = Present Value yang bernilai positif PV (-) = Present Value yang bernilai negatif
4. Payback Period. Menurut Husnan dan Muhamad (2000), payback period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan untuk melihat periode waktu yang diperlukan untuk melunasi seluruh pengeluaran investasi. Semakin pendek periode pengembalian investasi suatu proyek akan semakin baik. Data yang digunakan untuk menghitung payback period ini menggunakan data yang telah didiskontokan.
4.4.5. Penilaian Risiko dalam Investasi Setiap keputusan investasi menyajikan risiko dan return tertentu. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, semua keputusan penting harus ditinjau dari return yang diharapkan dan risiko yang dihadapi. Semakin tinggi risiko dari suatu investasi maka semakin tinggi tingkat pengembalian. Dalam penelitian ini, teknik mengukur risiko yang digunakan adalah analisis skenario. Analisis skenario merupakan teknik untuk menganalisis risiko dengan membandingkan situasi yang paling memungkinkan atas skenario dasar (semacam situasi normal) dengan keadaan yang baik dan buruk (Weston & Copeland, 1995). Skenario terburuk adalah keadaan dimana untuk semua variabel masukan diberikan nilai terburuk berdasarkan perkiraan yang wajar. Skenario terbaik adalah keadaan dimana untuk semua variabel masukan diberikan nilai
50
terbaik berdasarkan perkiraan yang wajar. Skenario dasar merupakan keadaan dimana untuk semua variabel diberikan nilai yang paling memungkinkan. Fariyanti (2008) menyatakan bahwa nilai-nilai variabel yang digunakan dalam skenario terburuk untuk memperoleh NPV terburuk dan nilai-nilai variabel dalam skenario terbaik untuk memperoleh NPV terbaik. Oleh karena itu, hasilhasil dari skenario tersebut digunakan untuk menentukan NPV yang diharapkan, deviasi standar dari NPV, dan koefisien variasi (CV). Dalam hal ini, perlunya mengestimasi probabilitas terjadinya ketiga skenario (baik, dasar/normal, buruk) yang dinyatakan dengan P. Dalam analisis skenario terdapat tiga ukuran untuk menilai tingkat risiko dalam investasi yaitu NPV yang diharapkan, deviasi standar dari NPV, dan koefisien variasi.
4.4.5.1 NPV yang Diharapkan Weston & Copeland (1995), NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. Penentuan nilai NPV yang diharapkan sebagai berikut: n
E ( NPV ) = ∑ pi ( NPVi ) t =1
dimana: Pi
= Probabilitas ke-i
NPVi
= Net Present Value ke-i
i
= 1, 2, 3,.... (1= Kondisi Tertinggi, 2= Kondisi Normal, 3= Kondisi Terendah)
E (NPV) = NPV yang Diharapkan
51
Penentuan probabllitas diperoleh berdasarkan kemungkinan dari suatu kejadian pada kegiatan budidaya dan penyulingan yang dapat diukur berdasarkan pengalaman yang telah dialami petani dan penyuling dalam mengusahakan akarwangi. Probabilitiy dari masing-masing kegiatan budidaya dan penyulingan pada setiap kondisi (tertinggi, normal, dan terendah) akan diperoleh. Total peluang dari beberapa kejadian berjumlah satu dan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: n
∑ t =1
pi j = 1 Semakin tinggi NPV yang diharapkan, maka tingkat risiko yang dihadapi
semakin besar. Pengukuran peluang (p) pada setiap kondisi skenario diperoleh dari frekuensi kejadian setiap kondisi yang dibagi dengan jumlah tahun selama umur pengusahaan akarwangi, baik untuk kegiatan budidaya maupun kegiatan penyulingan. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 13.
Tabel 13. Peluang Setiap Kondisi Pada Kegiatan Budidaya dan Penyulingan Akarwangi Kegiatan Budidaya Penyulingan
Kondisi Tertinggi Normal Terendah Tertinggi Normal Terendah
Peluang (Probablity) 0,20 0,62 0,18 0,11 0,72 0,17
4.4.5.2. Standard Deviation
Makna dari ukuran standard deviation dari NPV, artinya semakin kecil nilai standard deviation dari NPV maka semakin rendah risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha. Secara matematis standard deviation dari NPV dapat dituliskan sebagai berikut:
52
∂NPV =
n
∑ p ( NPV − E ( NPV )) i
i
t =1
4.4.5.3. Coefficient Variation (CV)
Coefficient variation dari NPV diukur dari rasio standard deviation dari NPV dengan NPV yang diharapkan. Semakin kecil nilai coefficient variation maka semakin rendah risiko yang dihadapi. Secara matematis, CVNPV dapat dituliskan sebagai berikut: CVNPV = δNPV / E (NPV)
4.5. Asumsi Dasar
Analisis kelayakan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut menggunakan beberapa asumsi, yaitu: 1. Analisis kelayakan dibagi menjadi dua yaitu analisis kelayakan budidaya dan penyulingan. Hal ini dikarenakan komponen cashflow yang berbeda dalam proses produksi. 2. Dari masing masing analisis kelayakan terdapat dua kondisi yaitu kondisi I dan kondisi II. Kondisi I merupakan analisis kelayakan tanpa risiko (kondisi normal) dan kondisi II merupakan analisis kelayakan dengan adanya risiko. Kondisi II memiliki tiga skenario. Skenario I yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi. Skenario II yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi harga output. Skenario III yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi dan harga output. 3. Umur proyek dari analisis kelayakan budidaya yaitu selama tiga tahun. Hal ini didasarkan pada umur bibit (bonggol) optimal yang dapat ditanam selama 3
53
kali masa tanam yang diperoleh dari pecahan tunas sebelumnya. Umur proyek dari analisis kelayakan penyulingan yaitu salama delapan tahun. Hal ini didasarkan pada umur teknis aset terpenting dalam kegiatan penyulingan yaitu ketel stainless. 4. Satu kali musim tanam akarwangi yaitu selama 12 bulan. Jadi, tahun yang digunakan adalah tahun pertama karena pada tahun pertama akarwangi sudah dapat dipanen. 5. Dalam kondisi normal, satu hari dilakukan dua kali penyulingan. Dalam satu bulan dilakukan 28 kali penyulingan. 6. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah tingkat suku bunga deposito di Bank Indonesia (BI) yaitu 8 persen pada bulan Januari tahun 2008. Alasan pemilihan tingkat suku bunga deposito dikarenakan petani dan penyuling menggunakan modal pribadi bukan pinjaman. Oleh karena itu petani dan penyuling dihadapkan pada pilihan akan menginvestasikan modal pada usaha akarwangi atau mendepositokan di bank. 7. Nilai sisa pada kegiatan budidaya diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa peralatan ditetapkan 10 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi akan dapat terjual dengan nilai 10 persen dari nilai beli investasi. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya. Nilai sisa motor ditetapkan 60 persen yaitu dari asumsi bahwa pemakaian motor baru empat tahun sedangkan umur teknis motor selama 10 tahun.
54
8. Nilai sisa pada kegiatan penyulingan diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa dari pabrik, gudang, dan motor ditetapkan 20 persen. Hal
ini
dikarenakan
umur
teknisnya
selama
10
tahun
sedangkan
pemakaiannya baru 8 tahun. Perhitungan nilai sisa dari ketel stainless dan blander ditetapkan 30 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi ini akan dapat terjual dengan nilai 30 persen dari nilai beli investasi. Nilai sisa mobil ditetapkan 50 persen dari harga belinya karena umur teknis mobil 15 tahun sedangkan baru digunakan 8 tahun. Sedangkan komponen investasi lainnya memiliki nilai sisa sebesar 10 persen. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya. 9. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya dan penyulingan adalah biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun ke-1 dan terdapat biaya reinvestasi yang dikeluarkan untuk peralatan-peralatan yang sudah habis umur ekonomisnya. Biaya operasional adalah semua biaya yang dikeluarkan pada saat melakukan usaha. Biaya operasional dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. 10. Dalam kegiatan budidaya dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 69,31 persen. Hal ini dikarenakan petani belum memilki pengalaman dalam teknik budidaya akarwang.
Namun, pada tahun berikutnya pengetahuan akan budidaya
akarwangi meningkat, seiring bertambahnya pengalaman petani dalam membudidayakan tanaman akarwangi tersebut sehingga kapasitas produksi
55
tahun kedua hingga tahun keempat telah optimal. 11. Dalam kegiatan penyulingan dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 91,5 persen. Namun, pada tahun kedua hingga ketujuh kapasitas produksi telah optimal. Tahun kedelapan kapasitas produksi 91,5 persen karena usia mesin yang telah usang dan berpengaruh terhadap jumlah produksi. 12. Harga output dan jumlah produksi yang berlaku adalah berdasarkan pengalaman petani dan penyuling selama melakukan usaha akarwangi.
V. GAMBARAN UMUM
5.1. Karakteristik Wilayah 5.1.1. Letak Geografis Luas Kabupaten Garut meliputi areal 306.519 Ha atau sekitar 6,94 persen dari luas wilayah Propinsi Jawa Barat.
Secara geografis, Kabupaten Garut
terletak di antara 6057'34" - 7044'57" Lintang Selatan dan 107024'3" - 108024'34" Bujur Timur.
Secara administratif, Kabupaten Garut terbagi kedalam 40
kecamatan yang masing-masing mempunyai karakteristik khusus sebagai potensi wilayahnya. Batas-batas administratif wilayah Kabupaten Garut meliputi: •
Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang.
•
Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya.
•
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia.
•
Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Berdasarkan fisiografinya, Kabupaten Garut dapat distratifikasikan
kedalam 4 (empat) strata, yaitu wilayah Garut Utara, Garut Tengah, Garut Barat Daya, dan Garut Selatan. Daerah Garut sebelah utara, timur, dan barat, pada umumnya berupa dataran tinggi dengan kondisi alam berbukit-bukit dan pegunungan. Sedangkan kondisi alam daerah Garut sebelah selatan sebagian besar berupa lereng dengan tingkat kemiringan tanah yang relatif curam. Corak alam di daerah Selatan Garut pada umumnya diwarnai oleh segenap potensi alam dan keindahan pantai Samudera Indonesia.
57
5.1.2. Topografi Wilayah Kabupaten Garut memiliki ketinggian yang bervariasi, mulai dari 0,5 meter di atas permukaan laut - seperti di daerah sepanjang pantai selatan yang meliputi sebagian Kecamatan Bungbulang, Cibalong, Cikelet, Cisewu, Pakenjeng dan Pameungpeuk - hingga ketinggian 2.830 meter di atas permukaan laut, seperti puncak Gunung Cikurai di Kecamatan Bayongbong. Ketinggian tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Luas Lahan Berdasarkan Ketinggian No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ketinggian 0 - 25 25 - 100 100 - 500 500 - 1000 1000 - 1500 1500 - 3000 Jumlah Sumber: Diperta Kabupaten Garut, (2003)
Luas (Ha) 8.078 14,007 63.260 122.465 77.409 21.300 406.519
Persentase (%) 2,64 4,57 20,64 39,95 25,25 6,95 100
Dilihat dari topografinya, sebagian besar Kabupaten Garut bagian utara terdiri atas dataran tinggi dan pegunungan dengan areal persawahan terluas. Pada umumnya pegunungan dan bukit-bukit ini keadaannya sangat kritis, terutama di sepanjang daerah aliran sungai Cimanuk. Sedangkan Garut Selatan sebagian besar permukaan wilayahnya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan bahkan di beberapa tempat tergolong labil. Wilayah selatan ini dialiri 12 buah sungai ke arah selatan yang bermuara ke Samudera Indonesia. Rangkaian pegunungan vulkanik yang mengelilingi dataran antar gunung Garut Utara umumnya memiliki lereng dengan kemiringan 30-45 persen di sekitar puncak, 15-30 persen di bagian tengah dan 10-15 persen di bagian kaki lereng pegunungan.
58
Berbagai potensi komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi dan agribisnis dapat tumbuh baik asal disertai penerapan teknologi, diantaranya padipadian, palawija sayuran dataran rendah, sayuran dataran tinggi, tanaman perkebunan dan tanaman industri.
5.1.3. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Garut didominasi oleh kegiatan pertanian baik pertanian lahan basah maupun kering, kegiatan perkebunan dan kehutanan. Di wilayah Kabupaten Garut, 31,58 pesen merupakan kawasan hutan, perkebunan 18,38 persen dan persawahan sekitar 16,14 persen. Secara keseluruhan penggunaan lahan di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Luas Tanah Menurut Penggunaannya di Kabupaten Garut Tahun 2004 No. 1.
2.
3. 4.
Uraian Sawah - Irigasi - Tadah Hujan Darat - Hutan - Kebun dan Kebun Campuran - Tanah Kering Semusim/Tegalan - Perkebunan - Permukiman/Perkampungan - Padang Semak - Pertambangan - Tanah Rusak Tanus - Inustri Perairan darat - Kolam - Situ/Danau - Lainnya Penggunaan Tanah lainnya Jumlah
Sumber: BAPPEDA Kabupaten Garut, (2005)
Luas (ha) 49.477 38.026 11.451 252.097 96.814 56.350 52.348 26.968 12.312 7.005 200 66 34 2.038 1.826 157 55 2.907 306.519
Persentase(%) 16,14 12,41 3,74 82,25 31,58 18,38 17,08 8,80 4,02 2,29 0,07 0,02 0,01 0,66 0,60 0,05 0,02 0,95 100,00
59
5.1.4. Geologi dan Jenis Tanah Dataran tinggi Garut termasuk dalam zona Pegunungan Selatan, dilihat dari sejarah geologinya dimulai pada jaman pretersier dengan jenis batuan aluvium, hasil gunung api tak terurai, pliosen fasies sedimen, miosen fasies sedimen, miosen batu gamping dan andesit basal diabes. Jenis batuan terluas yang ada adalah batuan hasil gunung berapi tak teruraikan yaitu 124.556 Ha atau 40,64 persen dari luas wilayah. Batuan hasil gunung berapi (tak teruraikan) merupakan batuan dari hasil letusan gunung berapi dan pada umumnya terletak di dataran tinggi bagian tengah dan utara. Filosen Fasies Sedimen merupakan batuan dari hasil letusan gunung berapi dan terdapat di sekitar wilayah pegunungan sebelah selatan. Miosen Fasies Sedimen merupakan batuan yang terdapat di seluruh wilayah selatan dan di sepanjang pantai. Alluvium merupakan batuan dari hasil endapan yang pada umumnya terdapat di sebagian pesisir dan dataran rendah bagian utara. Andesit, Basalt dan Diabes merupakan batuan yang relatif sedikit berada di wilayah Kabupaten Garut. Kondisi geologis Kabupaten Garut terdiri atas tanah sedimen hasil letusan Gunung berapi Papandayan dan Gunung Guntur dengan bahan induk batuan tuf dan batuan yang mengandung kwarsa. Di sepanjang aliran sungai pada umumnya terbentuk jenis tanah Aluvial yang merupakan hasil sedimentasi tanah akibat erosi tanah di bagian hulu atau sekitarnya oleh proses pengikisan dan pencucian permukaan tanah. Oleh karenanya di bagian hulu sungai dan daerah aliran sungai terbentuk jenis tanah Laterit dan Podsolik Merah Kuning. Dilihat dari sifat morfologisnya yang didasarkan kepada azas-azas terjadinya tanah dan relasi antara tanah, tanaman dan aktivitas manusia, maka
60
tanah di Kabupaten Garut bisa dibagi menjadi 6 (enam) jenis tanah (soil group) (Tabel 16.
Tabel 16. Jenis Tanah di Kabupaten Garut, Tahun 2002 No 1 2 3 4 5 6.
Jenis Tanah Aluvial Assosiasi Podsolik Assosiasi Andosol Assosiasi Latosol Assosiasi Mediteran Assosiasi Ragosol Jumlah Sumber: Diperta Kabupaten Garut,2003
Luas (Ha) 18.216 130.128 97.707 33.781 5.031 21.656 306.519
Persentase (%) 5,94 42,45 31,88 11,02 1,64 7,07 100,00
Kabupaten Garut didominasi oleh dua jenis tanah yaitu asosiasi Podsolik dan asosiasi Andosol (74,33 persen). Jenis tanah asosiasi Podsolik yang terluas terdapat di Kecamatan Pakenjeng yaitu 22.041 Ha, sedangkan jenis tanah asosiasi Andosol yang terluas di Kecamatan cikajang yaitu 12.280 Ha. Sementara itu jenis tanah asosiasi Mediteran hanya terdapat pada areal tanah sangat sempit yaitu mencakup areal seluas 5.031 Ha dan mencover 1,64 persen dari seluruh luas areal wilayah Kabupaten Garut. Jenis tanah Alluvial banyak terdapat di wilayah bagian utara dan sebagian selatan dengan tekstur halus sebagai hasil endapan. Tanah ini cocok untuk kegiatan budidaya pertanian sawah (lahan basah). Jenis tanah regosol banyak terdapat pada bagian selatan. Tanah regosol umumnya berwarna kelabu kekuningkuningan, sifatnya asam, gembur serta peka terhadap erosi. Tanah ini cocok digunakan untuk tanaman padi, tembakau dan sayur-sayuran. Jenis tanah Latosol banyak terdapat di sisi barat sebagai hasil endapan dari wilayah yang lebih tinggi. Tanah ini cocok untuk tanaman kopi, coklat, padi, sayuran dan buah-buahan. Jenis tahan Andosol berwarna hitam karena berasal dari abu vulkanik, banyak terdapat
61
di daerah utara. Jenis tanah Mediteran berasal dari bahan induk batuan vulkanik muda, berada di sebagian kecil wilayah selatan. Kemampuan tanah mencerminkan tingkat kesuburan tanah yang dipengaruhi oleh tingkat efektif kedalaman tanah, tekstur tanah, kelerengan tanah dan drainase tanah. Kelerengan tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan tanah dan khususnya terhadap kemungkinan terjadinya erosi. Berdasarkan derajat kelerengan tanahnya, wilayah Kabupaten Garut dapat dibagi sebagai berikut : -
Wilayah pesisir dan dataran rendah pada umumnya memiliki kemiringan 0-3 persen yaitu meliputi kecamatan-kecamatan yang terletak di sepanjang pantai. Wilayah Kabupaten Garut memiliki wilayah berbukit dan bergunung, sehingga tingkat kelerengan tanah relative bervariasi, tetapi didominasi oleh tingkat kemiringan 8-40 persen. Daerah dengan tingkat kemiringan diatas 40% terdapat pada wilayah pegunungan seperti Gunung Cikuray. Tanah dengan kelerengan kurang dari 40 persen tingkat kemungkinan terjadi erosi tanahnya rendah sehingga segala jenis kegiatan budidaya pada dasarnya dapat dilakukan.
-
Kelerengan di atas 40 persen merupakan wilayah yang rentan terhadap terjadinya erosi tanah. Kelerengan ini banyak terdapat di wilayah sekitar pegunungan. Kawasan ini merupakan kawasan yang harus dipertahankan fungsinya sebagai kawasan lindung karena terkait dengan pengamanan siklus hidrologi dan menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan hidup. Garut memiliki tingkat kesuburan yang cukup tinggi, karena sebagian
besar wilayahnya memiliki tingkat kedalaman efektif yang cukup besar. Dilihat dari tekstur tanahnya. Tekstur tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian
62
yaitu tekstur sedang, halus dan kasar. Tanah dengan tekstur haus mempunyai porositas yang rendah sehingga sulit untuk meresapkan air, sedangkan tanah dengan tekstur kasar cenderung memiliki porositas yang tinggi sehingga dapat dengan mudah meresapkan air. Wilayah Garut sangat bervariasi yaitu dari tekstur halus sampai dengan kasar. Tanah bertekstur sedang tersebar pada hampir seluruh wilayah Kabupaten Garut yang mencakup areal seluas 278.644 Ha (90,91 persen) dari seluruh wilayah. Tanah bertekstur sedang merupakan kondisi yang menunjang kesuburan tanah yang relatif tinggi. Tanah bertekstur halus mencakup areal seluas 5.886 Ha (1,92 persen) sedangkan tanah bertekstur kasar mencakup areal seluas 21.989 Ha atau 7,17 persen dari keseluruhan wilayah. Selain itu, kemampuan tanah juga tergantung pada drainase tanah yaitu kemampuan permukaan tanah unuk meresapkan air secara alami. Drainase tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu drainase baik atau tidak tergenang, drainase tergenang secara periodik dan drainase tergenang terus menerus. Kondisi drainase tanah wilayah Kabupaten Garut relatif baik karena sebagian besar tidak tergenang.
5.1.5. Iklim dan Curah Hujan Geografis Kabupaten Garut terletak di bagian selatan khatulistiwa, dan termasuk kedalam ikim tropis. Dalam setahun mengalami dua kali pergantian musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Walaupun demikian, karena topografinya mempunyai variasi cukup besar dengan keadaan orografis yang agak lebat dengan persentase keadaan hutan masih di atas 30 persen, maka beberapa wilayah tertentu banyak dipengaruhi iklim lokal (regional climate), misalnya daerah Cikajang, Cisurupan, Bayongbong sering terjadi hujan konventif dan hujan
63
orografis yang memungkinkan dapat bercocok tanam komoditi sayuran dan palawija sepanjang tahun. Tipe iklim Kabupaten Garut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: •
Menurut Mohr (1933) termasuk golongan Iklim II yaitu rata-rata 1 bulan kering dan 11 bulan basah.
•
Menurut Schmidt dan Ferguson (1951); termasuk dalam tipe iklim C yaitu 3 bulan kering dan 9 bulan basah.
•
Menurut Oldeman (1974): termasuk tipe iklim C, yaitu terdapat 6 bulan basah berturut-turut dan 3 bulan kering berturut-turut. Dengan demikian iklim dan cuaca di Kabupaten Garut dipengaruhi oleh 3
faktor utama, yaitu: pola sirkulasi angin musiman (monsoonal circulation pattern), topografi regional yang bergunung-gunung di bagian tengah Jawa Barat, dan elevasi topografi di Bandung. Curah hujan rata-rata tahunan 2002 sampai dengan 2004 berkisar antara 2.589 mm, sedangkan di sekeliling daerah pegunungan mencapai 3.500 – 4.000 mm. Variasi temperatur berkisar antara 24 0C - 29 0C. Daerah daerah yang terletak di sebelah utara mendapat jumlah intensitas hujan yang makin meningkat menjadi lebih dari 4.000 mm/tahun, sampai di daerah sekitar pegunungan yang menghubungkan puncak/gunung Papandayan dengan Gunung Mandalawangi. Daerah dengan jumlah rata-rata intensitas hujan tertinggi adalah Pamegatan di Kecamatan Cikajang yaitu 4.228 mm/tahun. Selama musim hujan, secara tetap bertiup angin dari Barat Laut membawa udara basah dari Laut Cina Selatan dan bagian barat Laut Jawa. Pada musim
64
kemarau, bertiup angin kering bertemperatur relatif tinggi dari arah Australia yang terletak di tenggara. Keadaan hidrologi umumnya cukup baik. Hal ini didukung dengan banyaknya aliran sungai yang mengalir ke utara sebanyak 34 buah dan ke selatan 19 buah. Secara keseluruhan wilayah Kabupaten Garut memiliki kondisi hidrologi yang baik sehingga dapat mendukung kegiatan-kegiatan produksi pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya.
5.1.6. Komoditas Unggulan Kabupaten Garut Garut memiliki berbagai komoditas unggulan yang berpotensial untuk dikembangkan. Komoditas-komoditas tersebut tersebar di beberapa wilayah di Kabupaten Garut. Komoditas-komoditas tersebut memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah Kabupaten Garut. Tabel 17 merupakan berbagai komoditas unggulan yang terdapat di Kabupaten Garut.
Tabel 17. Komoditas Unggulan Kabupaten Garut No.
Komoditas
Unggulan (Prioritas 1)
1
Pangan
Kedele, Jagung
2
Sayuran
Kentang, cabe merah, tomat
3
Buah-buahan
Jeruk keprok/siam
Teh, Akar wangi, Tembakau, Aren 5 Perikanan perikanan Laut Domba, sapi potong,sapi 6 Peternakan perah Sumber: BAPPEDA Kabupaten Garut, 2005. 4
Perkebunan
Potensial Untuk diunggulkan Ubi kayu, kacang tanah, Kacang merah, ubi jalar. Kubis, buncis,Bwg.daun, bw.merah, labu siam, ketimun, terung, bayam Markisa, Alpukat,duku, durian, manggis Cengkeh, Nilam,Kelapa, Ikan darat (nilem) Ayam buras, kerbau
65
5.1.7.Struktur Perekonomian Kabupaten Garut Masalah kemiskinan dan ketertinggalan Kabupaten Garut diantara kabupaten-kabupaten lainnya di Jawa Barat menjadi isu utama dalam pengembangan wilayah Kabupaten Garut. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional dan data Badan Pusat Statistik tahun 2003, Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menetapkan Kabupaten Sukabumi dan Garut menjadi daerah tertinggal bersama 188 daerah lain di Tanah Air. Penetapan tersebut adalah berdasarkan enam kriteria, di antaranya persentase kemiskinan di daerah, kualitas pendidikan masyarakat, kesehatan, lapangan kerja, infrastruktur, aksesibilitas terhadap dunia luar, dan rawan bencana alam. Jika dilihat secara internal, Kabupaten Garut juga mengalami ketimpangan yaitu antara Kabupaten Garut bagian selatan dengan Kabupaten Garut bagian utara. Kabupaten Garut bagian utara yang relatif bersifat kekotaan dapat terlihat kontras jika dibandingkan dengan keadaan eksisting di Kabupaten Garut bagian selatan. Karakteristik daerah Kabupaten Garut yang sebagian besar merupakan perbukitan merupakan salah satu faktor limitasi perkembangan Kabupaten Garut. Aksesibilitas yang memegang peranan penting dalam hal hubungan baik internal maupun eksternal wilayah dirasakan sangat kurang, terutama dalam hal kualitas jalan di Kabupaten Garut bagian selatan. Selain itu, masih rendahnya sumber daya manusia, kurangnya kemampuan keuangan lokal, dan minimnya sarana dan prasarana berdampak pada lambatnya perkembangan Kabupaten Garut bagian selatan.
66
5.2. Karakteristik Responden Petani dan Penyuling Karakteristik responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan terakhir, jumlah tanggungan keluarga, pekerjaan petani dan penyuling, pengalaman bertani, luas lahan, status kepemilikan lahan, dan pola tanam akarwangi.
5.2.1. Umur Petani dan Penyuling Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan 41 responden petani dan penyuling akarwangi, diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 41 sampai dengan 50 tahun dengan persentase 39,1 persen. Sedangkan elompok petani dan penyulling terendah yaitu kelompok umur 20-30 tahun dengan persentase seesar 2,5 persen. Tabel 18 menunjukkan bahwa terdapat 5 kelompok umur petani dan penyuling akarwangi.
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Umur di Kabupaten Garut Kelompok Umur Petani dan Penyuling (Tahun) 20-30 31-40 41-50 51-60 > 61 Total
Jumlah (Orang)
Persentase (%) 1 4 16 15 5 41
2,5 9,6 39,1 36,6 12,2 100
5.2.2. Pendidikan Terakhir Sebagian
besar
petani
dan
penyuling
akarwangi
menyelesaikan
pendidikannya hingga sekolah dasar (SD) yaitu sebanyak 28 orang atau 68,3 persen dari total responden. Tingkat pendidikan tertinggi petani dan penyuling adalah hingga perguruan tinggi, sedangkan tingkat terendah adalah tamat dari
67
sekolah dasar. Tingkat pendidikan petani dan penyuling tidak mempengaruhi kegiatan pengusahaan akarwangi. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Garut Tingkat Pendidikan Tamat SD Tamat SLTP Tamat SMU Tamat Diploma Tamat Sarjana Lainnya Total
Jumlah (Orang)
Persentase (%) 28 12 1 41
68,3 0 29,3 0 2,4 0 100
5.2.3. Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga sangat mempengaruhi petani untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan semakin besar jumlah keluarga yang ditanggung maka semakin besar pula beban/biaya yang dikeluarkan petani. Dari Tabel 20 , dapat dilihat bahwa 41,4 persen responden petani memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 5 sampai 6 orang. Semua responden memiliki jumlah tangggungan keluarga minimal satu hingga dua orang dengan persentase 4,9 persen.
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga di Kabupaten Garut Jumlah Tanggungan Responden (Orang) 0 1-2 3-4 5-6 7-8 >8 Total
Jumlah (Orang)
Persentase (%) 0 2 16 17 4 2 41
0 4,9 39,0 41,4 9,8 4,9 100
68
5.2.4. Pekerjaan Petani dan Penyuling Pekerjaan yang dilakukan oleh ke-41 responden sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani akarwangi yaitu sebesar 68,3 persen atau sebanyak 28 orang dari total responden 41 orang. Sedangkan mata pencaharian sebagai petani dan penyuling sebanyak 24,4 persen. Penyuling akarwangi yang menjadi responden sebanyak 7,3 persen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Pekerjaan di Kabupaten Garut Pekerjaan
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Petani Akarwangi Penyuling Akarwangi Petani dan Penyuling Akarwangi Total
28 3 10 41
68,3 7,3 24,4 100
5.2.5. Pengalaman Bertani Pengalaman bertani akan sangat mempengaruhi dalam pembudidayaan dan penyulingan akarwangi. Semakin lama petani memiliki pengalaman bertani, maka akan lebih mahir dalam membudidayakan akarwangi Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 41 orang responden petani dan penyuling akarwangi diperoleh kesimpulan bahwa pengalaman bertani akarwangi terbanyak berkisar antara 11 sampai 20 tahun. Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman bertani dan menyuling dapat dilihat pada Tabel 22 . Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Pengalaman Bertani di Kabupaten Garut Pengalaman (Tahun) 1-10 11-20 21-30 31-40 Total
Jumlah (Orang)
Persentase (%) 14 19 6 2 41
34,1 46,3 14,7 4,9 100
69
5.2.6. Luas Lahan Berdasarkan Tabel 23, luas lahan yang digunakan oleh sebagian besar petani akarwangi atau 26 orang petani dari 38 petani responden yaitu seluas 0,1-5 Ha. Petani akarwangi sebagian besar masih berada pada skala usaha kecil yaitu sebesar 68.4 persen dari 38 responden petani akarwangi. Sedangkan 2,6 persen petani akarwangi yang luas lahan pengusahaannya mencapai >30 Ha.
Tabel 23. Jumlah dan Persentase Petani Berdasarkan Luas Lahan yang Digunakan untuk Penanaman Akarwangi di Kabupaten Garut Luas Lahan (Ha)
Jumlah (Orang)
0.1-5 5.1-10 10.1-20 20.1-30 >30
Persentase (%) 26 5 4 2 1 38
Total
68,4 13,2 10,5 5,3 2,6 100
Berdasarkan Tabel 24, sebagian besar penyuling yaitu 38,5 persen menggunakan lahan seluas 0,051-0.,0 Ha dan 38,5 persen menggunakan lahan seluas 0,11-0.20 Ha untuk melakukan penyulingan akarwangi. Hal ini dikarenakan, sebagian besar penyuling hanya menggunakan satu buah ketel sebagai alat untuk melakukan penyulingan akarwangi.
Tabel 24. Jumlah dan Persentase Penyuling Berdasarkan Luas Lahan yang Digunakan untuk Penyulingan Akarwangi di Kabupaten Garut Luas Lahan (Ha) 0.01-0.05 0.051-0.10 0.11-0.20 >0.20 Total
Jumlah (Orang)
Persentase (%) 2 5 5 1 13
15,4 38,5 38,5 7,6 100
70
5.2.7. Status Kepemilikan Lahan Ditinjau dari status kepemilikan lahan, sebagian besar petani akarwangi memiliki lahan sendiri yang digunakan untuk menanam akarwangi yaitu sebesar 68,4 persen. Hal ini dapat ditunjukan pada Tabel 25. Sebagian besar petani akarwangi melakukan tumpangsari pada lahan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memanfaatkan lahan di sela-sela tanaman akarwangi.
Tabel 25. Jumlah dan Persentase Petani Akarwangi Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten Garut Status Kepemilikan Lahan Milik Sendiri Sewa Milik Sendiri dan Sewa Total
Jumlah (Orang) 26 2 10 38
Persentase (%) 68,4 5,3 26,3 100
Status kepemilikan lahan yang digunakan untuk melakukan penyulingan akarwangi sebagian besar milik sendiri. Hanya delapan persen yang menyewa lahan untuk melakukan penyulingan akarwangi. Hal ini menunjukkkan bahwa penyuling akarwangi di Kabupaten Garut memiliki modal yang besar untuk melakukan usaha tersebut. Hal ini dikarenakan biaya investasi penyulingan akarwangi memerlukan biaya yang besar. Hal ini dapat dilihat pada tabel 26
Tabel 26. Jumlah dan Persentase Penyuling Akarwangi Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten Garut Status Kepemilikan Lahan Milik Sendiri Sewa Milik Sendiri dan Sewa Total
Jumlah (Orang)
Persentase (%) 12 1 0 13
92 8 0 100
71
5.2.8. Pola Tanam Akarwangi Jarak tanam akarwangi pada tanah subur seluas satu hektar adalah 1x 1 meter. Sedangkan pada tanah kurang subur seluas satu hektar memiliki jarak tanam 0.75 x 0.75 meter. Pada tanah yang subur, lahan digunakan untuk menanam akarwangi yang ditumpangsarikan dengan tanaman kentang, kol, caisin, kacang, tomat, dan cabe. Namun untuk tanah yang kurang subur, hanya tanaman akarwangi yang ditanam pada lahan tersebut. Pada lahan subur, satu petak lahan dapat ditanami akarwangi dan satu jenis tanaman tumpangsari. Tanaman tumpangsari yang dapat ditanam adalah tanaman yang usianya maksimal empat bulan dan ketinggian pohonnya tidak melebihi tanaman akarwangi. Pertumbuhan tanaman akarwangi pada bulan 1-4 lambat. Oleh karena itu, pada bulan ini di sela-sela tanaman akarwangi dapat ditanaman tanaman tumpangsari. Namun, pada bulan ke 5-12 pertumbuhan tanaman akarwangi
sangat
cepat
sehingga
pada
bulan
ini
lahan
tidak
dapat
ditumpangsarikan karena akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman akarwangi. Pada lahan yang tidak ditanami tanaman tumpangsari, tanaman akarwangi memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan tanaman akarwangi yang ditumpangsarikan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan akarwangi pada bulan 1-12 tidak terganggu.
5.3. Risiko Budidaya 5.3.1. Risiko Produksi Kegiatan budidaya akarwangi dihadapkan pada risiko baik risiko produksi maupun
risiko
harga
output.
Indikasi
adanya
risiko
produksi
dalam
pembudidayaan akarwangi yaitu ditunjukkan oleh adanya variasi atau fluktuasi
72
produksi yang diperoleh petani sampel pada setiap kondisi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Produksi dan Peluang Produksi Budidaya Akarwangi Pada Setiap Kondisi Kondisi
Peluang
Tertinggi Normal Terendah
Produksi (kg) 0,20 0,62 0,18
13.014 11.352 8.882
Dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi melalui kegiatan budidaya terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya risiko produksi (kondisi tertinggi, normal, terendah) budidaya akarwangi. Penyebab munculnya produksi pada kondisi tertinggi yaitu curah hujan rendah, tingkat kesuburan lahan tinggi, tingkat ketinggian lahan yang optimal, serta serangan hama dan penyakit yang rendah. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Curah hujan rendah Curah hujan yang rendah akan menyebabkan akarwangi yang ditanam memiliki kadar minyak yang tinggi. Hal ini mengakibatkan pada peningkatan produksi baik pada akarwangi maupun peningkatan produksi minyak akarwangi. Curah hujan rendah akan mengakibatkan akarwangi menjadi kering dan kadar air yang terkandung didalam akar menjadi sedikit. b.Tingkat kesuburan lahan tinggi Lahan yang belum digunakan untuk penanaman akarwangi akan memiliki kesuburan lahan yang tinggi. Jika lahan tersebut diolah dengan menggunakan cangkul dan membalikkan tanah yang berada di bawah maka unsur-unsur hara di dalam tanah akan semaki baik untuk penanaman akarwangi sehingga akan meningkatkan produksi akarwangi.
73
c. Tingkat ketinggian lahan yang optimal Ketinggian lahan yang paling baik untuk menanam akarwangi yaitu pada ketinggian 600-1.500 meter di atas permukaan laut. Hal ini mengakibatkan pada peningkatan produktivitas.akarwangi yang ditanam pada ketinggian ini akan memperoleh akar yang lebat dan rindang. d. Serangan hama dan penyakit yang rendah Rendahnya hama dan penyakit yang menyerang tanaman akarwangi akan menyebabkan peningkatan produktivitas. Hal ini dikarenakan, akarwangi yang dipanen akan yang lebat dan rindang sehingga petani tidak memerlukan furadan yang berlebihan pada tanaman akarwangi. Selain itu, hal yang menjadi penyebab munculnya produksi terendah yaitu curah hujan yang tinggi, tingkat kesuburan lahan yang rendah, ketinggian lahan yang tidak optimal, serta serangan hama dan penyakit yang tinggi. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Curah hujan yang tinggi Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan akarwangi yang ditanam memiliki kadar minyak yang rendah. Hal ini mengakibatkan pada penurunan produksi baik pada akarwangi maupun penurunan produksi minyak akarwangi. Curah hujan tinggi akan mengakibatkan akarwangi menjadi basah dan kadar air yang terkandung didalam akar menjadi tinggi b Tingkat kesuburan lahan yang rendah Lahan yang sering digunakan untuk penanaman akarwangi akan memiliki kesuburan lahan yang rendah. Jika lahan tersebut diolah dengan menggunakan cangkul dan membalikkan tanah yang berada di bawah maka unsur-unsur hara di
74
dalam tanah akan semakin habis untuk penanaman akarwangi sehingga akan menurunkan produksi akarwangi. c. Ketinggian lahan yang tidak optimal Akarwangi dapat tumbuh pada ketinggian sekitar 300- 2.000 meter di atas permukaan laut. Bila akarwangi tidak ditanam pada ketinggian tersebut maka akar yang dihasilkan tidak memiliki akar yang lebat dan rindang. Hal ini mengakibatkan pada penurunan produktivitas akarwangi. d. Serangan hama dan penyakit yang tinggi. Tingginya hama dan penyakit yang menyerang tanaman akarwangi akan menyebabkan penurunan produktivitas akarwangi. Hal ini dikarenakan, akarwangi yang dipanen tidak lebat sehingga petani perlu untuk melakukan pemeliharaan pada tanaman akarwangi.
5.3.2. Risiko Harga Output Risiko harga output diindikasikan dengan adanya fluktuasi harga output yang diterima petani sampel. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 28. Fluktuasi harga akarwangi mengindikasikan adanya harga tertinggi, harga terendah, dan harga normal yang pernah diterima petani akarwangi sampel selama mengusahakan dan menjual akarwangi.
Tabel 28. Produksi dan Peluang Harga Output Budidaya Akarwangi Pada Setiap Kondisi Kondisi Tertinggi Normal Terendah
Peluang
Harga (Rp) 0,20 0,62 0,18
2.821 1.808 511
Faktor penyebab munculnya risiko harga output budidaya pada kondisi harga output tertinggi disebabkan oleh tingginya tingkat permintaan namun
75
ketersediaan akarwangi rendah. Tingginya tingkat permintaan akarwangi oleh para penyulng sedangkan ketersediaan akarwangi di petani rendah menyebabkan harga output akarwangi menjadi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan para penyuling untuk berkompetisi untuk menjamin ketersdiaan akarwangi agar kegiatan penyulingan terus berjalan Selain itu, faktor faktor penyebab munculnya risiko harga output budidaya pada kondisi harga output terendah disebabkan oleh ketersediaaan akarwangi yang melimpah. Hal ini dikarenakan terjadinya over supply sebagai akibat musim panen yang serempak.
5.4. Risiko Penyulingan 5.4.1. Risiko Produksi Kegiatan penyulingan akarwangi dihadapkan pada risiko baik risiko produksi maupun risiko harga output. Indikasi adanaya risiko produksi dalam penyulingan akarwangi yaitu ditunjukkan oleh adanya variasi atau fluktuasi produksi yang diperoleh penyuling sampel pada setiap kondisi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Produksi dan Peluang Harga Output penyulingan Akarwangi Pada Setiap Kondisi Kondisi Tertinggi Normal Terendah
Peluang
Produksi (kg) 0,11 0,72 0,17
5.739 4.993 2.587
Faktor penyebab munculnya risiko produksi penyulingan pada kondisi produksi tertnggi
disebabkan oleh tingginya ketersediaan akarwangi, kadar
minyak yang tinggi. Risiko produksi mucul akibat adanya fluktuasi produksi pada kegiatan penyulingan. Faktor penyebab tersebut antara lain:
76
a. Ketersediaan akarwangi tinggi Ketersediaan akarwangi yang tinggi dari petani akan menyebabkan jumlah produksi minyak akarwangi meningkat. Hal ini dikarenakan penyuling akan memaksimalkan ketel untuk menyuling akarwangi. Hal ini akan meningkatkan pendapatan mereka. b. Kadar minyak yang tinggi Akarwangi yang akan disuling dalam keadaan kering akan menghasilkan akar yang memiliki kadar minyak tinggi. Hal ini dikarenakan kadar minyak akarwangi lebih tinggi bila dibandingkan kadar air yang terkandung didalamnya. Faktor penyebab munculnya risiko produksi penyulingan pada kondisi produksi terendah disebabkan oleh rendahnya ketersediaan akarwangi dan kadar minyak yang rendah. Risiko produksi mucul akibat adanya fluktuasi produksi pada kegiatan penyulingan. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain: a. Ketersediaan akarwangi rendah Ketersediaan akarwangi yang rendah dari petani akan menyebabkan jumlah produksi minyak akarwangi menurun. Hal ini dikarenakan penyuling tidak bisa memaksimalkan ketel untuk menyuling akarwangi. Hal ini akan menurunkan pendapatan mereka. b. Kadar minyak yang rendah Akarwangi yang akan disuling dalam keadaan basah akan menghasilkan akar yang memiliki kadar minyak rendah Hal ini dikarenakan kadar minyak akarwangi lebih kecil bila dibandingkan kadar air yang terkandung didalamnya.
77
5.4.2. Risiko Harga Output Risiko harga output diindikasikan dengan adanya fluktuasi harga output yang diterima penyuling sampel. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 30. Fluktuasi harga minyak akarwangi mengindikasikan adanya harga tertinggi, harga terendah, dan harga normal yang pernah diterima penyuling akarwangi sampel selama mengusahakan dan menjual minyak akarwangi.
Tabel
30. Produksi dan Peluang Harga Output Penyulingan Minyak Akarwangi Pada Setiap Kondisi Kondisi
Peluang
Tertinggi Normal Terendah
Harga (Rp) 0,11 0,72 0,17
582.000 511.692 466.923
Faktor penyebab munculnya risiko harga output pada kondisi harga output tertnggi yaitu mekanisme pasar yang lebih panjang serta tingginya tingkat permintaan namun rendahnya ketersediaan minyak akarwangi. Risiko harga outpuit terjadi akibat adanya fluktuasi harga output yang diterima penyuling. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Mekanisme Pasar yang lebih panjang Harga minyak akarwangi ditentukan oleh mekanisme pasar yang terjadi dalam kegiatan penyulingan akarwangi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, bahwa harga minyak akarwangi yang dijual oleh petani langsung ke pedagang pengumpul relatif lebih murah yakni dengan harga Rp. 511.692/kg, sedangkan jika penyuling langsung menjual ke pedagang besar (eksportir) harga yang diterima relatif lebih mahal yakni pada kisaran Rp. 541.692/kg, tapi ketika penyuling menjual akarwanginya langsung ke eksportir, penyuling tersebut akan
78
mengeluarkan biaya transportasi tambahan, karena sebagian besar eksportir ada di luar Kota Garut, yakni Jakarta dan Medan. b. Tingginya tingkat permintaan namun ketersediaan minyak akarwangi rendah Produk akarwangi yakni minyak akarwangi merupakan produk ekspor yang sebagian besar hasil produksinya ditujukan untuk kegiatan ekspor. Sebagian besar minyak akarwangi yang dihasilkan penyuling dijual ke pengumpul tingkat kabupaten. Permintaan minyak akarwangi dari pengumpul tingkat kabupaten biasanya disesuaikan dengan permintaan eksportir. Sehingga bila permintaan minyak akarwangi meningkat namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling sedikit maka akan meningkatkan harga jual minyak akarwangi. Bila permintaan minyak akarwangi meningkat namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling rendah maka akan meningkatkan harga jual minyak akarwangi. Faktor penyebab munculnya risiko harga output pada kondisi harga output terendah yaitu mekanisme pasar yang lebih pendek serta rendahnya tingkat permintaan namun tingginya ketersediaan minyak akarwangi. Risiko harga output terjadi akibat adanya fluktuasi harga output yang ditrima penyuling. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Mekanisme Pasar yang lebih pendek Perbedaan nilai jual antara para pedagang pengumpul dan eksportir yang juga ditentukan oleh panjang tidaknya rantai pemasaran, ternyata juga memberikan pengaruh pada pembentukan risiko yang diterima atau ditanggung oleh penyuling. Namun sebagian besar penyuling, juga tidak mau mengambil risiko yang lebih besar untuk menanggung biaya transportasi, mereka lebih
79
banyak menjual hasil minyak akarwanginya kepada pedagang pengumpul, hal ini dapat dimaklumi karena sistem ini telah berjalan bertahun-tahun atas dasar saling percaya dalam penentuan harga oleh pedagang pengumpul. b. Rendahnya tingkat permintaan namun ketersediaan minyak akarwangi tinggi Bila permintaan minyak akarwangi rendah namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling tinggi maka akan menurunkan harga jual minyak akarwangi. Hal ini menyebabkan rendahnya pendapatan yang diterima penyuling.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Analisis Aspek Teknis Budidaya dan Penyulingan Akarwangi 6.1.1. Keadaan Geografis Daerah pertumbuhan akar wangi yang menghasilkan minyak dengan kualitas yang baik yaitu pada ketinggian di atas 700 m (600-1500 m) di atas permukaan laut, dengan suhu optimal 17oC-27oC dan curah hujan antara 200-2000 mm per tahun. Hal ini sesuai dengan karakteristik agroekosistem Kabupaten Garut yang sangat potensial bagi pengembangan agribisnis akar wangi Selain itu, tanah yang baik untuk pertumbuhan akar wangi adalah tanah yang gembur atau tanah yang berpasir, seperti tanah yang mengandung abu vulkanis. Penanaman akar wangi dapat dilakukan secara monokultur atau tumpang sari dengan tanaman sayuran lain yang tidak menaungi, seperti wortel, kol, kacang, dan tomat. Penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut sebagian besar berada tidak jauh dari daerah penanaman akarwangi. Hal ini dikarenakan untuk memudahkan proses penyulingan. Akarwangi yang telah dipanen sebagian besar oleh petani langsung dijual ke penyuling. Oleh karena itu, Kabupaten Garut sangat potensial untuk pengembangan akarwangi ditinjau dari ketinggian, suhu dan curah hujan, dan kondisi lahan yang mendukung.
6.1.2. Sumberdaya Produksi Luas Kabupaten Garut meliputi areal 306.519 Ha. Pola penggunaan lahan di Kabupaten Garut secara umum mengikuti potensi serta pembatas alam yang ada. Potensi alam yang menguntungkan telah dimanfaatkan oleh penduduk untuk
81
mengembangkan kegiatan usaha pertanian seperti sawah, pertanian lahan kering, dan perkebunan. Dibandingkan dengan luas lahan yang ada, luas pengusahaan akarwangi hanya mencapai 1.733 Ha atau sebesar 0.57 persen dari total keseluruhan lahan di Kabupaten Garut. Namun, potensi areal tanam akarwangi mencapai 2.400 Ha sehingga lahan seluas 667 Ha yang tersebar di empat kecamatan masih berpotensi untuk dikembangkan. Bibit akarwangi atau disebut bonggol tersedia cukup melimpah. Hal ini karena petani
yang baru melakukan penanaman pada tahun pertama dapat
memperoleh bonggol dari petani lain dengan harga berkisar antara Rp.800 – Rp.2.000. Sementara petani yang akan melakukan penanaman pada tahun berikutnya dapat memperoleh bonggol dari tanaman akarwangi yang ditanam pada tahun pertama dalam rumpun yang tidak berbunga lalu dipecah-pecah sehingga setiap pecahan bonggol memiliki mata tunas. Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun. Bahan baku untuk kegiatan penyulingan yaitu akarwangi, ketersediannya cukup terjaga sepanjang musim. Dalam luasan satu hektar menghasilkan 11.352kg akarwangi. Akarwangi dapat tahan hingga dua bulan dalam kondisi lahan kering sangat menguntungkan petani di Kabupaten Garut. Pada umumnya, petani menanam pada awal musim hujan dan dipanen pada musim kemarau. Agar dapat menjaga kontinuitas dan kestabilan harga akarwangi, petani tidak melakukan panen secara serempak. Ketersediaan bahan baku cukup berlimpah pada bulan Mei-Agustus dan agak sepi pada bulan Oktober-Januari. Jumlah bahan baku yang diperlukan dalam satu kali proses produksi sangat tergantung pada kapasitas ketel, namun rata-rata mencapai 1.500 kg. Penyuling memperoleh bahan baku dari
82
lahannya sendiri atau membeli akarwangi dari petani lain. Persaingan antara penyuling dalam perebutan bahan baku biasanya terjadi pada saat pasokan akarwangi menurun. Tenaga kerja yang dipakai dalam pembudidayaan akarwangi adalah tenaga kerja yang berasal dari penduduk sekitar. Tenaga kerja melakukan kegiatan yang meliputi pengolahan tanah dan penanaman, pemeliharaan, serta panen dan pasca panen.
Aktivitas
pemeliharaan
mencakup
penyulaman,
penyiangan,
pembumbunan, pemupukan, pemangkasan daun, pengendalian hama dan penyakit. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari tenaga kerja luar dan dalam baik pria maupun wanita. Rata-rata jam kerja petani akarwangi di Kabupaten Garut mencapai tujuh jam per hari. Waktu kerja dimulai dari pukul enam pagi hingga jam satu siang, Upah yang diterima oleh pekerja berbeda-beda sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. Dalam satu hektar lahan, kegiatan pengolahan tanah dan penanaman dilakukan oleh petani pria sebanyak 124 HOK dan menerima upah per HOK sebesar Rp. 14.947. Dalam satu hektar lahan, kegiatan pemeliharaan dilakukan oleh petani pria dan wanita yaitu sebanyak 87 HOK dan upah per HOK sebesar Rp. 14.842. Dalam satu hektar lahan, kegiatan panen dan pasca panen dilakukan oleh petani pria dan wanita yaitu sebanyak 121 HOK dan upah per HOK sebesar Rp. 24.482.. Alat yang digunakan dalam penyulingan akarwangi ketel. Satu buah ketel dapat menyuling akarwangi sebanyak 1500 kg/suling. Satu kali penyulingan menghasilkan minyak akarwangi sebanyak 7,43 kilogram.
83
Tenaga kerja manusia yang digunakan dalam satu kali penyulingan yaitu sebanyak dua orang dengan upah Rp. 67.692/orang dan dalam satu hari dilakukan dua kali penyulingan.
6.1.3. Letak Pasar Pasar tujuan utama dari akarwangi adalah para penyuling disekitar lokasi budidaya yaitu penyuling di Kecamatan Samarang, Kecamatan Leles, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Leles. Lahan akarwangi sebagian besar berada jauh dari jalan raya sehingga diperlukan biaya pengangkutan untuk sampai ke pasar yang dituju yaitu para penyuling yang letaknya dekat dengan jalan raya. Pasar tujuan utama minyak akarwangi yaitu para pengumpul di Garut, eksportir di Garut, Jakarta, dan Medan. Sebagian besar penyuling di Kabupaten Garut yaitu sebesar 84,6 persen menjual minyak akarwangi ke pengumpul di Garut. Sedangkan 7,7 persen penyuling menjual minyak akarwangi ke eksportir di Garut dan Jakarta. Perbedaan ini didasarkan pada kepercayaan dan sistem kontrak para pengumpul dengan penyuling.
6.1.4. Fasilitas Penunjang Fasilitas penunjang sangat diperlukan baik dalam kegiatan budidaya maupun penyulingan. Fasilitas penunjang ini berupa peralatan budidaya, peralatan penyulingan, dan fasilitas penunjang lainnya. Di setiap kecamatan
banyak
dijumpai pelaku agribisnis yang menyediakan peralatan budidaya yang harganya cukup terjangkau bagi petani seperti cangkul, kored, ember, dan pabonggolan. Sedangkan peralatan penyulingan relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan peralatan budidaya sehingga peralatan ini tidak mudah dijumpai di pasar, seperti
84
ketel stainless, alat pendingin, blander, dan boiler. Selain itu, sarana transportasi di setiap kecamatan sudah ada. Namun, tempat menuju ke lahan akarwangi cukup jauh dan jalannya berbatu sehingga perlu penanganan khusus dari pemerintah untuk memperbaiki jalan yang rusak.
6.1.5. Teknik Budidaya Sebagian besar petani akarwangi di Kabupaten Garut yaitu 70.3 persen melakukan budidaya secara tumpangsari. Tanaman yang ditumpangsarikan dengan akarwangi adalah tanaman yang usianya tidak lebih dari empat bulan dan ketinggian pohonnya tidak melebihi tinggi tanaman akarwangi. Contoh tanaman tumpangsari adalah kentang, kol, caisin, kacang, tomat, dan cabai. Petani melakukan penanaman secara tumpang sari dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan sampingan disamping pendapatan utama dari tanaman akarwangi. Teknik budidaya yang dilakukan oleh petani dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: 1. Penyiapan bibit Petani yang baru menanam pertama kali tanaman akarwangi memeperoleh bibit dengan membeli dari petani lain. Harga bibit untuk satu kilogram seharga Rp. 1.345. Namun, petani yang telah menanam pada tahun pertama, diperoleh bibit dari perbanyakan bonggol-bonggol akar yang ditanam pada tahun pertama. Bonggol tersebut didapatkan dari tanaman dalam rumpun yang tidak berbunga, lalu dipecah-pecah sehingga setiap pecahan bonggol memiliki mata tunas. Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun. Bila bonggol tersebut diperkirakan belum siap melakukan adaptasi dengan lingkungan yang baru, bonggol akarwangi tersebut disesuaikan terlebih dahulu pada bedengan
85
persemaian. Setelah 3-4 minggu kemudian, tunas dan akar biasanya sudah tumbuh merata dan bonggol siap dipindahkan ke kebun. Kebutuhan bonggol bibit untuk lahan satu hektar mencapai 2.020 kg dengan jarak tanam antara 0,75 x 0,75 meter atau 1 x 1 meter tergantung tingkat kesuburan tanah. Dalam satu lubang tanam dibutuhkan 2-3 bonggol bibit. 2. Pengolahan tanah Pada dasarnya akarwangi tidak membutuhkan pengolahan tanah secara rumit (penggunaan alat berat untuk mengolah tanah) terutama bagi kondisi tanah yang keras dan padat. Namun, bila tanah belum pernah terolah, maka perlu dilakukan pencangkulan agar tanah menjadi gembur sepuluh hari sebelum penanaman. Hal ini bertujuan agar tanah yang berada di bagian bawah akan berada di permukaan dan mendapat cahaya matahari. Setelah pengolahan lahan selesai, lubang-lubang tanam dipersiapkan dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 30 cm, dan kedalaman 10 cm. Bagi tanaman tumpangsari, di sela-sela tanaman akarwangi dalam satu petak ditanam satu jenis tanaman tumpangsari dan tanaman tumpangsari lainnya dapat ditanam di petak yang yang berbeda. 3. Penanaman Tanaman tumpangsari sebaiknya ditanam pada musim penghujan yaitu sekitar bulan Okober-November. Namun, tanaman akarwangi dapat ditanam diluar musim penghujan, asalkan tanaman tersebut disiram setiap pagi dan sore. Penanaman bibit akarwangi dilakukan dengan cara memasukan bonggol siap tanam ke dalam lubang tanam yang telah dibuat lalu ditutup kembali dan tanah di sekitarnya agak dipadatkan. Jarak tanam pada tanah yang subur adalah 1 x 1 meter, sedangkan pada tanah yang kurang subur adalah 0,75 x 0,75 meter.
86
4. Pemeliharaan Agar memperoleh produksi dan mutu yang baik, akarwangi perlu dipelihara dengan baik. Pemeliharaan tanaman akarwangi meliputi: penyulaman, penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama terpadu. Penyulaman dilakukan sekitar 2-3 minggu setelah tanam. Bila di kebun akarwangi terdapat pertumbuhan akarwangi yang kurang baik atau bahkan mati, maka secepatnya harus dilakukan penyulaman. Agar pertumbuhan bibit sulaman tidak jauh tertinggal dari tanaman lain, sebaiknya dipilih bonggol bibit yang baik. Penyulaman berguna untuk mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya dan dapat memprediksi jumlah produksi tanaman akarwangi. Penyiangan dilakukan setiap empat bulan sekali dalam satu kali musim tanam selama 12 bulan. Penyiangan dilakukan agar pertumbuhan tanaman akarwangi tidak terhambat. Selain itu, penyiangan dilakukan untuk mencegah datangnya hama yang biasanya menjadikan gulma sebagai tempat persembunyian dan sekaligus memutus daur hidup hama. Gulma yang tumbuh liar disekeliling tanaman akarwangi harus dibersihkan agar kemampuan kerja akar dalam menyerap unsur hara dapat berjalan secara optimal. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan. Pembumbunan dilakukan karena tanaman akarwangi tidak tahan terhadap tanah yang tergenang air. Oleh karena itu, aerasi dan drainase harus diatur dengan baik. Tanah di sekeliling rumpun dicangkul tipis dengan jarak ± 15 cm. Pemupukan tanaman akarwangi dalam satu kali musim tanam dilakukan sebanyak dua kali. Pada umur tiga bulan, pada lahan seluas satu hektar pupuk
87
yang digunakan adalah 134 kg Za, 78 kg SP-36, dan 75 kg KCl. Pemupukan yang kedua dilakukan pada umur sembilan bulan dengan dosis 67 kg Za, 39 kg SP-36, dan 37,5 KCl. Cara pemberian pupuk adalah dengan dimasukkan ke dalam lubang melingkar sedalam 10 cm dan ditutup tanah kembali. Pemangkasan
dilakukan
bersamaan
dengan
penyiangan
dan
pembumbunan. Pemangkasan dilakukan setiap empat bulan sekali atau tiga kali selama satu kali musim tanam. Pemangkasan berguna untuk mendapatkan akar yang rimbun dan panjang. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan agar hama sejenis ulat yang menyerang akar dapat mati. Selain itu, hama yang menyerang tanaman akarwangi adalah cacing dan kuuk1. Namun, serangan hama ini jarang terjadi dan belum menunjukkan kerugian ekonomis yang berarti. Sebagai langkah preventif, penggunaan furadan dapat mencegah dan membasmi hama yang timbul di lahan akarwangi. Umumnya penggunaan furadan dalam luasan satu hektar sebanyak dua liter dan sesuai dengan keadaan lahan yang terjadi. 5. Panen dan pasca panen Penentuan waktu panen bergantung pada musim dan penggunaan tanah. Panen yang terlalu dini dapat merusak kondisi tanaman dan kandungan minyaknya masih sedikit. Panen yang terlalu lambat dapat meyebabkan penurunan kadar minyak yang mengakibatkan akar layu dan mengering. Panen terbaik dan dilakukan oleh sebagian besar petani di Kabupaten Garut adalah berumur 12 bulan karena ketika itu kandungan minyak pada akar dalam keadaan optimal.
1
Sejenis Serangga, merupakan istilah yang digunakan oleh pertain di Kabupaten Garut (Bahasa lokal)
88
Pemanenan akarwangi dapat menggunakan cangkul. Tanah terlebih dahulu dicangkul di sekitar tanaman sampai tanaman mudah dicabut. Pencabutan harus dilakukan dengan hati-hati agar akar tidak putus dan tertinggal di dalam tanah. Akar yang baru dipanen harus dibersihkan dari tanah yang masih melekat dan dipotong dibawah bonggolnya. Sedangkan daun akarwangi dapat dijadikan kompos dan bonggolnya dapat dijadikan bibit untuk penanaman masa berikutnya. Selain itu, akar yang telah dipanen dapat dijadikan kerajinan yang bernilai ekonomis tinggi. Namun, proporsi penggunaan akarwangi untuk penyulingan masih lebih besar bila dibandingkan dengan kerajinan. Hal ini dikarenakan, kegiatan penyulingan akarwangi masih diutamakan karena harga jual minyak akarwangi yang tinggi. Akar basah yang sudah bersih tersebut kemudian dikeringkan sekitar 7-10 hari dalam cuaca terang. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghilangkan kandungan air di dalam akar. Akarwangi yang kering sangat baik untuk penyulingan karena menghasilkan kualitas minyak yang bagus dan sebaliknya bila akarwangi basah akan menghasilkan kualitas minyak yang kurang baik. Setelah melakukan pengeringan, maka akarwangi disimpan dalam gudang penyimpanan. Para petani akarwangi yang bukan sekaligus penyuling biasanya menyimpan akar kering dalam keranjang berat 100 Kg. Setelah itu, petani menjualnya ke penyuling. Tabel 31 merupakan output dan input budidaya akarwangi.
Tabel 31. Input dan Output Budidaya Akarwangi Input-Output Input
Output
Fisik Bibit (bonggol) Pupuk (Za, SP-36, KCl) Furadan Tenaga Kerja Transportasi Akarwangi
89
6.1.6. Teknik Penyulingan Penyulingan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan minyak atsiri dalam hal ini minyak akarwangi dengan cara mendidihkan bahan baku yang dimasukkan ke dalam ketel hingga terdapat uap yang diperlukan. Dengan kata lain, penyulingan adalah proses pemisahan komponen-komponen campuran dari dua atau lebih cairan berdasarkan perbedaan tekanan uap dari setiap komponen tersebut Penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut sebagaian besar menggunakan sistem kukus/uap. Proses penyulingan dengan uap dimulai dari pengisian air ke dalam ketel air. Pengisian air ini tidak sampai penuh. Akarwangi kering yang telah dipotong-potong dimasukkan kedalam ketel penyulingan sebanyak 1.500 Kg. Ketel air berada dibawah ketel penyulingan sehingga kedua ketel tersebut ditutup rapat dan jangan sampai terjadi kebocoran. Api di bawah tungku dinyalakan dan besarnya api harus terkontrol. Tekanan yang digunakan oleh para penyuling di Kabupaten Garut yaitu 3-5 Bar. Tekanan yang terlalu tinggi akan menyebabkan minyak gosong namun biaya bahan bakar rendah. Tekanan yang terlalu rendah dapat memperbesar biaya bahan bakar namun kualitas minyaknya lebih baik bila dibandingkan pada tekanan tinggi. Bahan bakar yang digunakan adalah minyak tanah. Pada Bulan Mei 2008 penggunaan minyak tanah akan dihapuskan dan diganti dengan batu bara. Hal ini disebabkan biaya batu bara lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah. Pemerintah sedang melakukan uji coba batu bara pada salah satu penyuling yang memenuhi kriteria uji coba. Setelah api dinyalakan, terjadi penguapan di dalam ketel air. Kemudian lewat pipa yang berbentuk leher angsa, uap tersebut disalurkan ke ketel
90
penyulingan. Maka terjadilah penguapan minyak akarwangi, tetapi uap minyak tersebut masih bercampur dengan uap air. Maka campuran tersebut dialirkan lagi melalui pipa ke alat pendingin. Setelah uap tersebut sampai ke alat pendingin berupa bak permanen berisi air dingin, terjadilah proses pengembunan, yaitu pencairan kembali campuran uap tersebut. Selanjutnya campuran cairan minyak dan air yang mempunyai suhu sekitar 40o-45o Celcius ini dialirkan ke alat pemisah. Berat jenis minyak akarwangi lebih berat daipada air, maka minyak akarwangi tersebut akan mengendap di bagian bawah. Selanjutnya dialirkan melalui lubang bawah alat pemisah ke alat pengumpul minyak. Air kondensor yang diperoleh dari hasil sulingan dan telah dipisahkan dari minyak tidak dibuang, sebab di dalam air kondensor tersebut kemungkinan besar masih terkandung minyak. Air kondensor dapat digunakan kembali pada proses penyulingan berikutnya dengan cara memasukkan kembali ke dalam ketel air agar minyak tersebut dapat diambil lagi. Akarwangi yang diperlukan untuk satu kali penyulingan adalah sebanyak 1.500 Kg dan akan menghasilkan lima kilogram minyak akarwangi. Harga minyak akarwangi per kilogram adalah Rp.466.923-Rp.582.000. Dalam satu hari dilakukan dua kali penyulingan karena satu kali penyulingan membutuhkan waktu 12 jam. Tabel 32 merupakan input dan output penyulingan akarwangi.
Tabel 32 . Input dan Output Penyulingan Akarwangi Input-Output Input
Output
Fisik Bahan Baku (Akarwangi) Bahan Bakar Minyak Tenaga Kerja Transportasi Minyak Akarwangi
91
6.1.7. Produk akarwangi Penggunaan akarwangi yang utama adalah sebagai bahan baku penyulingan. Hasil penyulingan tersebut akan berupa minyak akarwangi. Di Kabupaten Garut dan umumnya di Indonesia produk olahan minyak akarwangi belum dapat diproduksi. Hal ini dikarenakan teknologi dan modal yang diperlukan cukup besar. Sehingga minyak akarwangi hasil penyulingan sebagian besar di ekspor ke luar negeri. Minyak akarwangi digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan parfum, bahan kosmetika, dan sebagai bahan pewangi sabun.
6.2. Analisis Aspek Pasar Analisis pasar sangat penting untuk meyakinkan bahwa ada suatu permintaan yang efektif pada suatu harga yang menguntungkan (Gittinger, 1986). Aspek pasar yang dianalisis meliputi permintaan, penawaran, harga, dan pemasaran.
6.2.1. Permintaan Pemakaian kosmetika dan obat-obatan telah meluas di seluruh dunia sehingga penggunaannya sudah merupakan kebutuhan sehari-hari. Salah satu olahan tanaman akarwangi yaitu minyak wangi, kosmetika, obat-obatan, dan aroma terapi. Konsumen minyak akarwangi Kabupaten Garut adalah para pengusaha dari kawasan Asia, Eropa, dan Amerika khususnya negara-negara seperti India, Jepang, Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Dengan berkembangnya berbagai industri di dalam dan luar negeri, maka kebutuhan akarwangi dan produk olahannya semakin meningkat.
92
Kebutuhan minyak akarwangi dalam negeri cukup besar karena kebutuhan industri juga makin pesat dan berkembang seperti pemanfaatan minyak akarwangi untuk aroma terapi. Minyak akarwangi tergolong minyak atsiri yang sudah berkembang (Ditjenbun, 2004). Maka, permintaan akarwangi terus meningkat seiring dengan pengembangannya yang diarahkan pada peningkatan mutu dengan menggunakan bibit unggul dan cara pengolahan yang tepat.
6.2.2. Penawaran Penawaran terhadap akarwangi dapat dilihat dari perkembangan produksi (ton) selama kurun waktu lima tahun yaitu tahun 2004-2006. Produksi tahun 2004 mencapai 32 ton dalam satu hektar yang merupakan produksi terbesar selama kurun waktu 5 tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33. Perkembangan Produksi Akarwangi Provinsi Jawa Barat (Ton), Tahun 2002-2006 Tahun Produksi (Ton) 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2006
Persentase (persen) 14 22 32 29 30
57,1 45,5 -9,4 3,4
Selain itu, perkembangan penawaran akar wangi dapat dilihat dari perkembangan luas lahan tanaman akarwangi di Jawa Barat selama lima tahun terakhir. Perkembangan luas lahan yang paling besar terjadi dari tahun 2002 ke tahun 2003 yaitu sebesar 52,9 persen. Tahun 2005 ke tahun 2006 mengalami perkembangan luas lahan sebesar 0,49 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa masih adanya permintaan akarwangi baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 34.
93
Tabel 34.Perkembangan Luas Lahan Tanaman Akarwangi (ha) di Jawa Barat, Tahun 2002-2006 Tahun Luas Lahan (Ha) 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2006
Persentase (%) 1253 1917 2250 2035 2045
52,9 17,3 -9,5 0,49
6.2.3. Harga Berdasarkan data primer yang diperoleh yang akarwangi terendah mencapai Rp. 511/kg. Sedangkan harga normal akarwangi sebesar Rp.1.808/kg. Harga akarwangi tertinggi mencapai Rp.2.821/kg. Data harga tersebut diperoleh berdasarkan pengalaman yang diperoleh petani selama mengusahakan akarwangi. Harga minyak akarwangi terendah di Kabupaten Garut mencapai Rp.466.923/kg
sedangkan
harga
normal
minyak
akarwangi
mencapai
Rp.511.692/kg. Harga tertinggi akarwangi mencapai Rp.582.000/kg. Harga tersebut diperoleh berdasarkan pengalaman yang pernah dialami penyuling selama mengusahakan akarwangi.
6.2.4. Pemasaran Akarwangi
merupakan
tanaman
perkebunan
yang
membutuhkan
pengolahan lanjutan. Hal ini dikarenakan, produk olahan akarwangi yang berupa minyak akarwangi dipasarkan baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan lembaga pemasaran yang akan memasarkan akarwangi dan produk olahannya. Menurut
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah
(BAPPEDA)
Kabupaten Garut dalam Penyusunan Rencana Induk Pembangunan Pertanian (RIPP)
tahun 2005, lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran
94
akarwangi antara lain: petani, pedagang pengumpul dusun, bandar, penyuling, perantara (tengkulak) tingkat kabupaten, dan eksportir. Saluran pemasaran akar dan minyak akar wangi di Kabupaten Garut terbagi dalam tujuh saluran
Petani Akarwangi
Pengumpul Tingkat Dusun
Bandar
Pengumpul Tingkat Dusun
Bandar
Industri Penyulingan
Industri Penyulingan
Pengumpul Tingkat Dusun
Industri Penyulingan
Perantara Tingkat Kabupaten
Pengumpul Tingkat Dusun
Industri Penyulingan
Eksportir
Industri Penyulingan
Perantara Tingkat Kabupaten
Eksportir
Industri Penyulingan
Eksportir
Perantara Tingkat Kabupaten
Eksportir
Eksportir
Eksportir
Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Saluran 4
Saluran 5
Saluran 6
Eksportir
Saluran 7
Gambar 6. Saluran Pemasaran Akarwangi di Kabupaten Garut, (BAPPEDA ,2005 6.2.4.1. Saluran I Saluran I memiliki rantai pemasaran yang paling panjang dibandingkan dengan rantai pemasaran yang lain. Petani menjual akarwangi ke pedagang pengumpul dusun. Hal ini dilakukan karena jumlah produksi akarwangi yang sedikit atau lahan yang tersebar dalam areal yang luas sehingga petani memerlukan jasa pengumpul tingkat dusun (PPD) untuk menjual produknya.
95
Bandar merupakan orang yang menerima akarwangi dari PPD dan melakukan penjualan langsung ke penyuling. Setelah akarwangi dijual ke penyuling, tahahp selanjutnya yaitu melakukan penyulingan yang akan menghasilkan minyak akarwangi. Minyak tersebut kemudian dijual ke tengkulak tingkat kabupaten. Di Kabupaten Garut terdapat dua orang tengkulak tingkat kabupaten dan menjualnya ke eksportir yang berada di Jakarta dan Medan.
6.2.4.2. Saluran II Pada saluran II, petani menjual akarwangi ke PPD. Akarwangi yang berada di tangan PPD kemudian dijual kembali ke bandar. Bandar menjualnya kembali ke penyuling. Dalam hal ini, bandar menjual ke penyuling karena penyuling memberikan bantuan pinjaman kepada bandar sehingga bandar tersebut harus menjual akarwangi yang ia miliki ke penyuling. Setelah akarwangi berada di tangan penyuling, maka penyulingan dapat dilakukan. Minyak yang dihasilkan kemudian dijual ke eksportir yang berada di Jakarta dan Medan.
6.2.4.3. Saluran III Setelah petani memanen akarwangi pada usia 12 bulan, mereka menjual akarwangi ke PPD. Pada saluran ini, PPD langsung menjual akarwangi tersebut ke penyuling tanpa melalui bandar. Hal ini dikarenakan, penyuling memberikan bantuan modal kepada PPD sehingga PPD akan menjual akarwangi ke penyuling. Setelah melakukan penyulingan, minyak akarwangi dijual ke tengkulak tingkat kabupaten. Tengkulak kabupaten akan menjualnya kembali eksportir yang ada di Jakarta dan Medan yang sebelumnya telah melakukan kesepakatan mengenai jumlah produksi dan harga minyak akarwangi.
96
6.2.4.4. Saluran IV Pada saluran ini, rantai pemasaran lebih pendek dibandingkan dengan saluran III. Hal ini dikarenakan pada saluran ini setelah penyuling membeli akarwangi dari PPD dan menyulingnya, mereka tidak menjual minyak ke tengkulak tingkat kabupaten namun langsung menjualnya ke eksportir. Hal ini berakibat pada keuntungan yang diterima penyuling lebih besar bila dibandingkan dengan menjualnya ke tengkulak. Harga jual akarwangi yang diterima penyuling lebih besar dibandingkan dijual ke tengkulak. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang diterima penyuling lebih besar bila dibandingkan dijual ke tengkulak.
6.2.4.5. Saluran V Pada saluran V, petani menjual akarwangi langsung ke penyuling. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang diterima petani lebih besar bila dibandingkan dijual ke PPD atau bandar. Selain itu, petani dapat memperoleh informasi langsung mengenai perkiraan harga jual minyak akarwangi tahun berikutnya dan harga jual minyak akarwangi saat itu. Jika perkiraan harga jual akarwangi tahun selanjutnya tinggi, petani akan terus membudidayakan akarwangi. Bila perkiraan harga jual akarwangi rendah pada tahun selanjutnya maka mereka cenderung untuk mengganti tanaman akarwangi dengan tanaman lainnya yang diperkirakan memiliki harga jual tinggi. Setelah akarwangi diolah dan menghasilkan minyak, maka minyak tersebut dijual ke tengkulak tingkat kabupaten dan kemudian dijual kembali ke eksportir.
97
6.2.4.6. Saluran VI Pada saluran ini, petani memperoleh informasi mengenai harga minyak langsung ke penyuling yang akan menjadi keputusan bagi mereka untuk terus membudidayakan akarwangi atau beralih ke tanaman lain yang lebih menguntungkan. Minyak yang telah disuling kemudian dijual ke eksportir di medan dan Jakarta. Dalam hal ini, penyuling memperoleh informasi langsung dari eksportir tentang harga minyak. Selain itu, petani dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi karena memperoleh harga jual minyak yang lebih tinggi bila dibandingkan di jual ke tengkulak tingkat kabupaten.
6.2.4.7. Saluran VII Pada saluran ini komoditas yang dijual hanya akarwangi yang berasal dari petani. Petani langsung menjualnya ke eksportir. Hal ini biasanya dilakukan karena adanya permintaan eksportir untuk penyulingan di luar negeri. Selain itu, penjualan akarwangi ke eksportir biasanya untuk dibuat kerajinan dan hiasan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 41 responden petani dan penyuling akarwangi di Kabupaten Garut, petani menjual akarwangi langsung ke penyuling. Harga jual akarwangi lebih tinggi bila dijual ke PPD atau bandar. Setelah itu, penyuling menjual minyak akarwangi ke tengkulak tingkat kabupaten dan menjualnya ke eksportir di Jakarta dan Medan. Jadi, petani dan penyuling akarwangi di Kabupaten Garut berada pada saluran V.
98
6.3. Analisis Aspek Sosial dan Lingkungan Kabupaten Garut merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan tanaman akarwangi. Adanya permintaan akarwangi yang terusmenerus setiap tahunnya akan menyebabkan manfaat yang dirasakan oleh pelaku budidaya dan penyulingan akarwangi serta masyarakat sekitar. Manfaat yang dirasakan adalah terserapnya jumlah tenaga kerja masyarakat sekitar. Jumlah tenaga kerja yang terserap untuk kegiatan budidaya dalam satu hektar per tahun sebanyak 332 orang. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap untuk kegiatan penyulingan sebanyak 1344 orang/tahun/satu penyulingan. Hal ini dikarenakan tenaga kerja yang digunakan untuk aktivitas budidaya dan penyulingan berasal dari masyarakat sekitar. Hal ini berdampak pada meningkatnya pendapatan mereka yang sebagian besar sebagai buruh tani. Selain itu, pelaku budidaya lainnya dapat mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, pelaku kegiatan budidaya dan penyulingan dapat memiliki penghasilan yang dapat meningkatkan mutu hidup mereka. Analisis aspek sosial yang lain adalah kelompok tani di Kabupaten Garut sebagian besars udah tidak aktif lagi. Hal ini dikarenakan manfaat yang dirasakan petani dengan adanya kelompok tani tidak jauh berbeda ketika petani masuk dalam kelompok tani. Kelompok tani akarwangi hanya memberikan bantuan bibit dan bantuan lainnya. Padahal, bantuan yang benar-benar dibutuhkan oleh petani adalah bantuan modal untuk melakukan kegiatan budidaya dan penyulingan akarwangi. Melalui pengaktifan kembali kelompok tani akarwangi di Kabupaten Garut diharapkan petani dan penyuling dapat memiliki bargaining position yang tinggi sehingga terdapat iklim usaha yang saling ketergantungan. Selain itu
99
dengan adanya kelompok tani, petani dan penyuling diharapkan memiliki kemampuan untuk menentukan harga jual akarwangi dan minyak akarwangi sehingga pendapatan yang mereka peroleh sesuai dengan upaya yang telah mereka lakukan. Selain itu, manfaat adanya kegiatan penanaman akarwangi yaitu berfungsi sebagai usaha konservasi tanah dan air. Hal ini dikarenakan kelebatan akarnya yang mencapai ± 50 cm. Maka, penanaman akarwangi di pematang sawah dapat menghindari atau mengendalikan kerusakan pematang sawah. Selain itu, akarwangi dapat ditanam di tepi jalan untuk melindungi tepi jalan agar tidak terjadi longsor dan erosi. Penanaman akarwangi pun dapat melindungi sekitar jembatan, irigasi, dan melindungi dam. Jadi, pembudidayaan dan pengolahan akarwangi memiliki pengaruh positif pada masyarakat sekitar, tidak hanya berdampak pada meningkatnya atau semakin baiknya kondisi lingkungan seperti jalan yang ada di sekitar lahan dan pabrik penyulingan. Tetapi juga memiliki peranan yang besar dalam pemerataan pembangunan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan petani, penyuling, masyarakat sekitar, dan terutama peningkatan pendapatan asli Pemerintah Daerah Kabupaten Garut. Melihat segala pengaruh positifnya, maka pembudidayaan dan penyulingan akarwangi layak untuk dilaksanakan dan juga tidak bertentangan dengan adat istiadat budaya di Kabupaten Garut.
6.4. Risiko Usaha Produksi akarwangi pada setiap kondisi diperoleh dari data primer. Produksi tertinggi, normal, dan terendah diperoleh petani dan penyuling
100
berdasarkan pengalaman selama kurun waktu mengusahakan akarwangi. Produksi akarwangi tertinggi dalam satu hektar mecapai 13.014 kg dan produksi minyak akarwangi tertinggi pada satu penyulingan per tahun mencapai 5.739 kg. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35. Produksi Akarwangi Dalam 1 Ha dan Minyak Akarwangi Dalam Satu Penyulingan/Tahun Pada Setiap Kondisi Kondisi Produksi Tertinggi Produksi Normal Produksi Terendah
Produksi Akarwangi (Kg) 13.014 11.352
8.882
Produksi Minyak Akarwangi (Kg) 5.739 4.993 2.587
Harga akarwangi pada setiap kondisi diperoleh dari data primer. Harga tertinggi, normal, dan terendah diperoleh petani dan penyuling berdasarkan pengalaman selama kurun waktu mengusahakan akarwangi. Harga akarwangi tertinggi sebesar Rp.2.821/kg dan harga minyak akarwangi tertinggi sebesar Rp.582.000/Kg. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36. Harga Output Akarwangi dan Minyak Akarwangi Pada Setiap Kondisi Kondisi Harga Output Tertinggi Harga Output Normal Harga Output Terendah
Harga Akarwangi (Rp/Kg) 2.821 1.808 511
Harga Minyak Akarwangi (Rp/Kg) 582.000 511.692 466.923
6.5. Analisis Aspek Finansial Analisis kelayakan finansial pengembangan usaha akarwangi perlu dilakukan agar mengetahui seberapa layak lahan seluas 667 Ha yang belum termanfaatkan sehingga dapat memberikan pendapatan yang diharapkan petani dan penyuling. Analisis kelayakan akarwangi dikelompokkan menjadi dua yaitu
101
analisis kelayakan budidaya akarwangi dan analisis kelayakan penyulingan akarwangi. Masing-masing kelayakan terdapat dua kondisi yaitu kondisi I yaitu kondisi tanpa
memperhitungkan risiko dan kondisi II
yaitu kondisi yang
memperhitungkan risiko. Kondisi II memiliki tiga skenario yaitu skenario I, II, dan III. Skenario I yaitu analisis kelayakan dengan adanya risiko produksi. Skenario II yaitu analisis kelayakan dengan adanya risiko harga output. Skenario III yaitu analisis kelayakan dengan adanya risiko produksi dan harga output.
6.5.1. Analisis Finansial Budidaya Akarwangi Tanpa Risiko 6.5.1.1. Arus Penerimaan/Inflow Setiap komponen yang merupakan pemasukan bagi petani selama proyek berjalan akan dimasukkan ke dalam arus penerimaan. Penerimaan pada kegiatan budidaya akarwangi diperoleh dari penjualan akarwangi dan nilai sisa. Penerimaan akarwangi setiap tahun berbeda sesuai dengan kondisinya. Pada kondisi ini, petani berada pada kondisi normal yaitu kondisi yang dihadapi yaitu tanpa menghadapi risiko. Satu hektar lahan yang dibudidayakan dalam satu tahun menghasilkan akarwangi sebanyak 11.352 kg. Hasil tersebut diperoleh dari penanaman bibit sebanyak 2.020 kg. Pada tahun pertama, penerimaan petani belum maksimal. Hal ini karena pada tahun pertama kapasitas produksi akarwangi belum optimal. Kapasitas produksi tahun pertama mencapai 69,31 persen. Angka ini diperoleh dari pengurangan jumlah produksi rata-rata responden pada kondisi normal dengan jumlah produksi terendah responden pada kondisi normal dibagi dengan jumlah produksi rata-rata responden pada kondisi normal. Pada tahun kedua dan selanjutnya, kapasitas produksi mencapai optimal (100 persen) karena petani telah mendapatkan pengalaman dari tahun pertama.
102
Hal ini mengakibatkan penerimaan petani pada tahun kedua dan ketiga meningkat dibandingkan tahun pertama. Tahun keempat pun mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan terdapat nilai sisa yang dihitung pada akhir tahun proyek yaitu tahun keempat. Penerimaan petani pada kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Penerimaan Petani Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko Per Hektar No 1. 2.
Tahun Penjualan Akarwangi (Rp) Nilai Sisa (Rp) Total Inflow
1 14,225.473
2 20,524,416
14,225.473
20,524,416
3 20,524.416 13,716.714 34,241.130
Penerimaan utama petani dari kegiatan budidaya adalah penjualan akarwangi. Namun, terdapat penerimaan lain yang berada pada akhir tahun proyek yaitu nilai sisa. Nilai sisa diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa peralatan ditetapkan 10 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi akan dapat terjual dengan nilai 10 persen dari nilai beli investasi. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen. Hal ini berdasarkan inflasi tahun 2007 sebesar 6,59 persen. Nilai sisa motor ditetapkan 55 persen yaitu dari asumsi bahwa pemakaian motor baru tiga tahun sedangkan umur teknis motor selama 10 tahun. Total nilai sisa pada tahun keempat yaitu Rp..13.713.714. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 38.
103
Tabel 38 . Nilai Sisa Investasi Budidaya Akarwangi per Hektar Jenis Investasi a. Tanah Milik (1 Ha) b. Saung c. Motor d. Peralatan Cangkul Kored Ember Garpu Terpal Pabonggolan Keranjang 100 Kg
Jumlah (unit) 1 1 1
Harga (Rp/Unit) 3.532.754 970.250 16.100.000
Umur Teknis (tahun) 3 10
5 96.700 7 25.000 4 10.000 1 30.000 10 m2 300.000 3 75.000 100 35.000 Total Nilai Sisa
3 2 1 3 2 2 1
Nilai Sisa (Rp) 4.013.714 0 8.894.070 0 2.500 0 0 30.000 7.500 0 13.713.714
6.5.1.2. Arus Biaya/Outflow A. Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya yang perlu dikeluarkan petani untuk memulai pengusahaan akarwangi. Biaya investasi dihitung pada tahun pertama. Namun, pada tahun kedua dan keempat terdapat biaya reinvestasi yang sesuai dengan umur teknis investasi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39 . Biaya Investasi yang Diperlukan Pada Tahun Pertama Dalam Budidaya Akarwangi per Hektar Komponen Investasi
Umur Teknis (Tahun)
Jumlah (unit)
a. Tanah Milik (1 Hektar) 1 b. Saung 3 1 c. Motor 10 1 d. Peralatan Cangkul 3 5 Kored 2 7 Ember 1 4 Garpu 3 1 Terpal 2 10 m2 Pabonggolan 2 3 Keranjang 100 Kg 1 100 Total Investasi Tahun 1
Harga (Rp/Unit)
Total (Rp)
3.532.755 970.250 16.100.000
3.532.755 970.250 16.100.000
101.856 24.399 8.800 30.000 300.000 72.108 35.000
509.284 170.794 35.202 30.000 300.000 216.324 3.500.000 25.364.610
104
Biaya reinvestasi yang diperlukan dalam budidaya akarwangi dapat dilihat pada Tabel 40. Biaya reinvestasi dikeluarkan sesuai dengan umur teknis dari masing-masing komponen investasi. Biaya reinvestasi paling besar dikeluarkan pada tahun ketiga yaitu Rp 4.222.321. Biaya reinvestasi dikeluarkan pada tahun kedua dan tahun ketiga.
Tabel 40. Biaya Reinvestasi yang Diperlukan Dalam Budidaya Akarwangi per Hektar Komponen Investasi Cangkul Kored Ember Garpu Terpal Pabonggolan Keranjang
Umur Jumlah Teknis (unit) (Tahun) 3 5 2 7 4 4 1 1 2 10 m2 2 3 1 100 Total
Harga (Rp/Unit) 101.856 24.399 8.800 30.000 300.000 72.108 35.000
Nilai (Rp) Tahun 2
Tahun 3
35.202
170.794 35.202
3.500.000 3.535.202
300.000 216.324 3.500.000 4.222.321
B. Biaya Operasional Biaya operasional merupakan biaya keseluruhan yang berhubungan dengan kegiatan operasional dari budidaya akarwangi. Biaya operasional terbagi menjadi biaya variabel dan biaya tetap. 1. Biaya Variabel Biaya variabel yang dikeluarkan pada kegiatan budidaya yaitu bibit, pupuk (Za, SP-36), KCl), furadan, tenaga kerja, dan biaya transportasi. Pada tahun pertama kapasitas produksi yang dihasilkan belum optimal. Hal ini dikarenakan penggunaan input pada tahun pertama yang belum optimal yaitu sebesar 69,31 persen. Pada tahun kedua hingga tahun keempat penggunaan input telah optimal sehingga kapasitas produksi yang dihasilkan telah optimal. Hal ini karena adanya pengalaman petani pada tahun pertama dalam melakukan kegiatan budidaya.
105
Biaya variabel merupakan biaya yang diperlukan dalam penggunaan input ketika melakukan kegiatan budidaya akarwangi. Penggunaan input pada kondisi normal maupun kondisi penuh risiko tidak berbeda. Hal ini karena pada kondisi penuh risiko penggunaan input tetap namun hasil input tersebut pada kondisi normal dan penuh risiko akan berbeda. Biaya variabel yang dikeluarkan pada kegiatan budidaya akarwangi dapat dilihat pada Tabel 42. a. Bibit (Bonggol) Akarwangi Bibit merupakan salah satu input yang digunakan dalam kegiatan budidaya akarwangi. Bibit akarwangi biasa disebut dengan bonggol. Petani memperoleh bonggol pada tahun pertama dengan membelinya ke petani lain sedangkan pada tahun kedua hingga tahun berikutnya petani memperoleh bonggol dari tunas yang dipecah-pecah dari akarwangi yang ditanam pada tahun pertama. Bibit yang digunakan pada tahun pertama belum 100 persen dari total bibit yaitu 2.020 kg. Bibit yang digunakan pada tahun pertama yaitu 69,31 persen. Tahun kedua dan ketiga bibit yang digunakan telah mencapai 100 persen. b. Pupuk Pupuk yang digunakan dalam kegiatan budidaya akarwangi adalah ZA, SP-36, dan KCl. Dosis penggunaan setiap pupuk berbeda. Pupuk ZA digunakan paling banyak sebanyak 45 persen yaitu 140 kg., SP-36 sebanyak 28 persen yaitu 83 persen, dan KCl sebanyak 27 persen yaitu 81 persen. Pemupukan yang dilakukan petani akarwangi di Kabupaten Garut sebanyak dua kali pada satu kali musim tanam. Pemupukan pertama dilakukan pada bulan pertama dan pemupukan kedua dilakukan pada bulan keenam. Pemupukan yang sesuai dengan dosisnya akan mengakibatkan akar tumbuh dengan lebat.
106
c. Furadan Dalam membudidayakan akarwangi, petani tidak hanya dihadapkan pada risiko produksi dan risiko harga output. Adanya kuuk (hama) dan cacing yang menyerang tanaman akarwangi dapat menjadi risiko dalam pengusahaan akarwangi. Oleh karena itu, diperlukan pestisida yang dapat memberantas hama tersebut. Pestisida yang digunakan adalah furadan. Dosis penggunaaan furadan sesuai dengan kondisi tanaman di lapangan. Petani biasanya menggunakan furadan sebanyak dua liter pada lahan seluas satu hektar. d. Tenaga Kerja Penggunaan tenaga kerja pada kegiatan budidaya dilakukan oleh pria dan wanita. Satu HOK dalam kegiatan budidaya yaitu tujuh jam kerja yang dimulai pukul 06.00-13.00. Kegiatan pengolahan tanah dan penanaman dilakukan oleh pria sedangkan pemeliharaan, panen, dan pasca panen dilakukan oleh pria dan wanita. Penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pengolahan tanah yaitu sebanyak 87 orang, penanaman 37 orang, pemeliharaan 87 orang, sedangkan panen dan pasca panen sebanyak 121 orang sehingga tenaga kerja terbanyak dilakukan pada kegiatan panen dan pasca panen yaitu 37 persen. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut membutuhkan lebih banyak orang
dibandingkan dengan kegiatan
lainnya. Upah petani ketika melakukan pengolahan tanah dan penanaman yaitu Rp.14.947 dan upah pemeliharaan sama yaitu sebesar Rp. 14.842/HOK. Sedangkan upah panen dan pasca panen sebesar Rp. 24.482/HOK. e. Biaya Pengangkutan Setelah pemanenan akarwangi, akar yang telah di panen diangkut ke pabrik penyulingan. Sebagian besar petani langsung menjualnya ke pabrik
107
penyulingan. Biaya pengangkutan akarwangi dari lahan menuju ke pabrik yaitu Rp. 200/kg. Akarwangi yang memilik kualitas yang bagus untuk disuling yaitu akarwangi yang kering. Sehingga pada proses pemanenan sebaiknya petani memanen akarwangi ketika musim kemarau karena harga jual akar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kualitas akarwangi basah yang dipanen pada musim hujan.
2. Biaya Tetap Biaya tetap yang dikeluarkan pada budidaya akarwangi hanya biaya pajak bumi dan bangunan (PBB) per hektar per tahun sebesar Rp. 66.137. Sebagian besar responden petani merupakan pemilik lahan sendiri, jadi sebagian besar petani tidak mengeluarkan biaya sewa lahan. Biaya variabel dan biaya tetap dapat dilihat pada Tabel 41.
Tabel 41. Biaya Variabel dan Biaya Tetap yang Diperlukan Pada Kegiatan Budidaya Akarwangi per Hektar Biaya Variabel (Rp) Bibit Pupuk: Za SP-36 KCl Furadan Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah Penanaman Pemeliharaan Panen dan pasca panen Biaya Transportasi Total Biaya Variabel Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Total Biaya Tetap
1 1.882.715
Tahun 2 2.716.368
153.244 92.175 90.969 103.965
221.100 132.990 131.250 150.000
221.100 132.990 131.250 150.000
904.496 384.671 904.496 2.053.150 1.445.529 8.015.410
1.305.000 555.000 1.305.000 2.962.271 2.085.600 11.564.579
1.305.000 555.000 1305000 2.962.271 2.085.600 11.564.579
66.137 66.137
66.137 66.137
66.137 66.137
3 2.716.368 .
108
6.5.1.3. Kelayakan Finansial Budidaya Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko Analisis kelayakan budidaya akarwangi pada kondisi tanpa risiko dapat dilihat dari empat kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C, dan PP. Bila NPV ≥ 0, IRR ≥ discount rate (8 persen),
dan
Net B/C ≥ 1 menandakan
bahwa kegiatan budidaya akarwangi tanpa risiko layak untuk dijalankan. NPV pada kondisi normal mencapai Rp.1.394.179. Artinya, kegiatan budidaya akarwangi selama umur proyek yaitu tiga tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan keuntungan sebesar Rp. 1.394.179. Jadi, NPV tersebut menunjukkan manfaat bersih yang diterima petani dari kegiatan budidaya selama umur proyek (tiga tahun) dengan tingkat discount rate 8 persen. Selain itu, IRR pada kondisi normal mencapai 13 % atau IRR ≥ DF (8 persen). Artinya, tingkat pengembalian internal kegiatan budidaya sebesar 13 persen. Net B/C pada kondisi normal mencapai 1,08 atau Net B/C ≥ 1. Hal ini berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan selama umur proyek (tiga tahun) mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp.1,08. Sedangkan
payback
period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan. Semakin pendek periode pengembalian investasi kegiatan budidaya akarwangi maka kegiatan tersebut akan semakin baik. Dengan kata lain, payback periode merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback periode pada kondisi normal yaitu 2 tahun 5 bulan.
109
6.5.2. Analisis Finansial Budidaya Akarwangi Pada Kondisi Risiko 6.5.2.1. Arus Penerimaan/Inflow Pada kegiatan budidaya akarwangi dengan memperhatikan risiko, penerimaan petani berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Penerimaan petani terbesar setiap tahunnya terjadi ketika adanya kondisi produksi dan harga output tertinggi sedangkan penerimaan petani terendah ketika berada pada kondisi produksi dan harga output terendah. Pada tahun keempat terjadi penambahan penerimaan selain dari penjualan akarwangi yang berasal dari nilai sisa komponen investasi yang masih bernilai. Penerimaan tahun pertama hingga tahun keempat berasal dari penjualan akarwangi. Hal ini dilihat pada Tabel 42.
Tabel 42. Total Penerimaan Petani Akarwangi Pada Berbagai Kondisi Per Hektar No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kondisi Produksi Tertinggi Produksi Terendah Harga Output Tertinggi Harga Output Terendah Produksi dan Harga Output Tertinggi Produksi dan Harga Output Terendah
Total Inflow (Rp) Tahun ke1 2 3 16.308.166 11.130.254 22.195.829 4.020.584 25.445.430 3.145.774
23.529.312 16.058.656 32.023.992 5.800.872 36.712.494 4.538.702
37.246.026 29.775.370 45.740.706 19.517.586 50.429.208 18.255.416
6.5.2.2. Arus Biaya/ Outflowv A. Biaya Investasi Biaya investasi dan reinvestasi yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya akarwangi pada kondisi risiko sama dengan biaya investasi dan reinvestasi pada kondisi tanpa risiko (normal). Total investasi pada tahun pertama yaitu sebesar Rp.25.364.610 sedangkan biaya reinvestasi pada tahun ketiga mencapai Rp.4.222.321.
110
B. Biaya Operasional Biaya operasional terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Pada kegiatan budidaya yang memperhatikan risiko, komponen biaya variabel merupakan input yang digunakan dalam kegiatan budidaya akarwangi. Pada kondisi risiko tidak terdapat perubahan input sehingga jumlah input yang digunakan dalam kegiatan budidaya akarwangi pada kondisi yang memperhatikan risiko sama dengan jumlah input pada kondisi normal (tanpa risiko). Jadi, biaya variabel yang digunakan untuk kegiatan budidaya akarwangi pada kondisi risiko sama dengan biaya variabel pada kondisi normal (tanpa risiko).
6.5.3. Kelayakan Investasi Budidaya Akarwangi Pada Kondisi Risiko Analisis kelayakan budidaya akarwangi pada setiap kondisi dapat dilihat dari empat kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C, dan PP. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 43. NPV ≥ 0, IRR ≥ Discount Rate (8 persen),
dan
Net B/C ≥ 1 menandakan bahwa kegiatan budidaya layak untuk dijalankan. NPV terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yang mencapai Rp. 38.512.313. Artinya, kegiatan budidaya akarwangi selama umur proyek yaitu tiga tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan keuntungan sebesar Rp. 38.512.313. Jadi, NPV tersebut menunjukkan manfaat bersih yang diterima petani dari kegiatan budidaya selama umur proyek (tiga tahun) dengan tingkat discount rate 8 persen. NPV terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yang mencapai -Rp. 35.259.949. Artinya, kegiatan budidaya akarwangi selama umur proyek yaitu tiga tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan kerugian sebesar Rp. 35.259.949
111
Selain itu, IRR tertinggi terdapat pada kondisi produksi dan harga output tertinggi sebesar 202 persen atau IRR ≥ DF (8 persen). Artinya, tingkat pengembalian internal kegiatan budidaya sebesar 202 persen.
IRR terendah
berada pada kondisi produksi terendah yaitu sebesar -19 persen. Artinya, tingkat pengembalian internal kegiatan budidaya sebesar -19 persen. Net B/C tertinggi berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu sebesar 6,20 atau Net B/C ≥ 1. hal ini berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan selama umur proyek (empat tahun) mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp.6,20. Net B/C terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yaitu 0,05 atau IRR < 1. Hal ini berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang telah dikeluarkan selama umur proyek (empat tahun) petani mendapatkan kerugian sebesar Rp. 0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan budidaya tidak layak untuk dijalankan. Payback Period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan. Semakin pendek periode pengembalian investasi kegiatan budidaya akarwangi maka kegiatan tersebut akan semakin baik. Dengan kata lain, payback periode merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua biayabiaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback periode tercepat ketika berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu 1 tahun 2 bulan.
112
Tabel
43. Kriteria Kelayakan Investasi Budidaya Setiap Kondisi Pada Tingkat DF (8 %) Kondisi
NPV (Rp)
1. Produksi Tertinggi 2. Produksi Terendah 3. Harga Output Tertinggi 4. Harga Output Terendah 5. Produksi dan Harga Output Tertinggi 6. Produksi dan Harga Output Terendah
8.284.195 -8.845.497 27.761.905 -32.365.881 38.512.313 -35.259.949
IRR (%) 39 -19 154 202
Net B/C 1,52 0,57 3,67 0,08 6,20
PP (Tahun) 2 tahun 10 bulan 3 tahun 3 bulan 1 tahun6 bulan 1 tahun 2 bulan
0,05
Layak/Tidak Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak
6.5.4. Penilaian dan Perbandingan Risiko Budidaya Akarwangi Penilaian risiko dalam investasi diukur dengan tiga hal yaitu NPV yang diharapkan, standar deviasi, dan koefisien variasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 44. NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. NPV yang diharapkan dari ketiga kondisi yang paling tinggi adalah NPV yang diharapkan pada kondisi produksi dan harga output yaitu sebesar Rp. 2.220.063 selama umur proyek. Semakin besar NPV yang diharapkan, maka tingkat risiko yang dihadapi semakin tinggi. Standar deviasi yang paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu sebesar 22.427.661 selama umur proyek. Semakin besar nilai standar deviasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi dalam kegiatan budidaya. Koefisien variasi diukur dari rasio standar deviasi dari NPV dengan NPV yang diharapkan. Koefisien variasi paling tinggi berada pada kondisi risiko harga output yaitu 31,02. Semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi. Jadi, dari ketiga jenis risiko yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan budidaya akarwangi dihadapkan pada risiko produksi.
113
Tabel 44. Perbandingan Risiko Dalam Investasi Budidaya Akarwangi Jenis Risiko Produksi Harga Output Produksi dan Harga Output
NPV yang diharapkan (Rp) 929.040 590.913 2.220.063
Standar Deviasi 5.253.570 18.330.302 22.427.661
Koefisien Variasi 5,65 31,02 10,10
Tingkat Risiko Rendah Tinggi Tinggi
Berdasarkan ketiga jenis risiko yang mungkin terjadi dalam kegiatan budidaya akarwangi, pendapatan petani terendah diperoleh ketika terjadi risiko harga output yaitu sebesar Rp.16.414/bulan sedangkan pendapatan pada kondisi normal sebesar Rp. 38.727//bulan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 45.
Tabel 45. Pendapatan Petani Pada Setiap Kondisi Kondisi Tanpa Risiko Risiko a. Produksi b. Harga Output c. Produksi dan Harga Output
Pendapatan Petani/Bulan (Rp) 38.727 25.807 16.414 61.668
6.5.5. Analisis Finansial Penyulingan Akarwangi Tanpa Risiko 6.5.5.1. Arus Penerimaan/Inflow Setiap komponen yang merupakan pemasukan bagi penyuling akarwangi selama proyek berjalan akan dimasukkan ke dalam arus penerimaan. Penerimaan pada kegiatan penyulingan akarwangi diperoleh dari penjualan minyak akarwangi dan nilai sisa. Penerimaan dari penjualan minyak akarwangi setiap tahun berbeda sesuai dengan kondisinya. Setiap hari penyuling melakukan penyulingan yang bahan bakunya berasal dari petani ataupun lahan sendiri. Dalam satu hari penyuling melakukan dua kali penyulingan. Satu kali penyulingan memerlukan waktu 12 jam. Dalam satu kali penyulingan dibutuhkan 1500 kg akarwangi dan menghasilkan minyak sebanyak 7,43 kg. Petani menjual minyak akarwangi pada harga normal per kilogram yaitu
114
Rp. 511.692. Dalam satu bulan, kegiatan penyulingan dilakukan selama 28 hari. Hal ini berarti, setiap bulannya terdapat dua hari untuk membersihkan alat yaitu pada minggu kedua dan minggu keempat. Pada tahun pertama, kapasitas produksi belum optimal. Hal ini dikarenakan pada tahun pertama penyuling baru pertama melakukan kegiatan penyulingan. Kapasitas produksi pada tahun pertama hanya mencapai 91,5 persen. Pada tahun kedua hingga tahun ketujuh, kapasitas produksi mencapai 100 persen. Hal ini dikarenakan penyuling telah mendapatkan pengalaman dari tahu sebelumnya. Pada tahun kedelapan, kapasitas produksi tidak optimal. Hal ini dikarenakan kemampuian mesin yang telah menurun sehingga kapasitas produksi menjadi 91,5 persen. Berdasarkan hal tersebut, penerimaan penyuling pada kondisi normal (tanpa risiko) dapat dilihat pada Tabel 46.
Tabel 46. Penerimaan Penyuling Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko Dalam Satu Penyulingan No
Keterangan
1. 2.
1 2.337.696.191
Tahun 2 2.554.859.225
Penjualan Minyak Akarwangi (Rp) Nilai Sisa (Rp) Total inflow 2.337.696.191 2.554.859.225 Keterangan: Penjualan minyak akarwangi tahun 3-7 sama dengan tahun ke-2. Total inflow tahun 3-7 sama dengan Tahun ke-2
8 2.337.696.191 191.490.615 2.529.186.806
Pada tahun kedelapan, penerimaan penyuling bertambah. Hal ini dikarenakan adanya nilai sisa dari komponen investasi yang masih bernilai. Nilai sisa penyulingan yang dihitung di akhir tahun proyek yaitu sebesar Rp. 191.490.615 Tabel 47 menunjukkan nilai sisa pada kegiatan penyulingan akarwangi
115
Tabel 47. Nilai Sisa Investasi Penyulingan Akarwangi Pada Satu Penyulingan Jenis Investasi a. Tanah Milik (0,15) b. Bangunan Pabrik Gudang c. Alat Transportasi Mobil Motor e. Baut f. Ketel Stainless h. Bak Pendingin j. Blander k.Tungku l. Tangki m. Pipa n. Timbangan o. Drum 50 Kg
Jumlah (unit) 0.15
Harga (Rp/Unit) 172.847.500
Umur Teknis (tahun)
Nilai Sisa (Rp)
1 1
44.386.905 16.684.524
10 10
6.800.000 3.430.769
1 56.428.600 1 14.823.450 31 56.310 1 100.773.810 1 4.232.143 1 262.976.190 1 3.211.310 1 2.057.738 3 455.655 3 219.821 6 50.000 Total Nilai Sisa
15 10 5 8 10 5 10 5 3 5 2
31.000.000 3.220.000 5.769 33.230.769 450.000 74.538.462 350.000 209.231 47.308 21.000 300.000 191.490.615
37.887.308
6.5.5.2. Arus Biaya/Outflow A. Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya yang perlu dikeluarkan penyuling untuk memulai kegiatan penyulingan akarwangi. Biaya investasi dihitung pada tahun pertama. Total biaya investasi pada tahun pertama yaitu Rp. 506.060.535. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 48. Ketel merupakan komponen investasi yang paling penting sehingga penentuan umur proyek penyulingan berdasarkan umur teknis ketel.
116
Tabel 48. Biaya Investasi yang Diperlukan Dalam Satu Penyulingan Akarwangi Pada Tahun Pertama Jenis Investasi
Umur Teknis (tahun) -
a. Tanah Milik (0,15 Ha) b. Bangunan Pabrik Gudang c. Alat Transportasi Mobil Motor e. Baut f. Ketel Stainless h. Bak Pendingin j. Blander k.Tungku l. Tangki m. Pipa n. Timbangan o. Drum 50 Kg
Jumlah (unit)
Total (Rp)
0.15
172.847.500
10.281.600
1 1
34.000.000 17.153.846
34.000.000 17.153.846
1 1 31 1 1 1 1 1 3 3 6
56.428.600 14.823.450 56.310 110.769.230 4.500.000 248.461.538 3.500.000 2.092.307 455.655 219.821 46.166
56.428.600 14.823.450 1.864.038. 110.769.230 4.500.000 248.461.538 3.500.000 2.092.307 1.310.423 598.500 277.000 506.060.535
10 10 15 10 5 8 10 5 10 5 3 5 2 Total Investasi
Harga (Rp/Unit)
Pada tahun ketiga hingga tahun ketujuh terdapat biaya reinvestasi yang diperlukan dalam usaha penyulingan akarwangi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 49. Biaya reinvestasi dikeluarkan sesuai dengan umur teknis dari masing-masing komponen investasi. Biaya reinvestasi paling besar dikeluarkan pada tahun keenam yaitu Rp 253.016.385.
Tabel 49. Biaya Reinvestasi yang Diperlukan Dalam Budidaya Akarwangi per Hektar (Rp) Jenis Investasi
Umur Teknis (tahun)
Tahun 3
Baut Blander Tangki Pipa Timbangan Drum 50 Kg Total Investasi
5 5 5 3 5 2
4
5
6 1.864.038 248.461.538 2.092.308
1310.423
7
1.310.423 598.500
277.000 277.000
1.310.423
277.000 277.000
253.016.385
277.000 1.587.423
117
B. Biaya Operasional Biaya operasional merupakan biaya keseluruhan yang berhubungan dengan kegiatan operasional dari penyulingan akarwangi. Biaya operasional terbagi menjadi biaya variabel dan biaya tetap. 1. Biaya Variabel Biaya variabel yang dikeluarkan pada kegiatan penyulingan yaitu biaya tenaga kerja, biaya transportasi, biaya bahan bakar, dan biaya bahan baku. Pada tahun pertama kapasitas produksi yang dihasilkan belum optimal. Hal ini dikarenakan penggunaan input pada kegiatan penyulingan pada tahun pertama yang belum optimal yaitu sebesar 91,5 persen. Pada tahun kedua hingga tahun ketujuh penggunaan input telah optimal sehingga kapasitas produksi yang dihasilkan telah optimal yaitu mencapai 100 persen. Hal ini karena adanya pengalaman penyuling
pada tahun pertama dalam melakukan kegiatan
penyulingan akarwangi. Namun, pada tahun kedelapan kapasitas produksi menjadi 91,5 persen. Hal ini karena usia ketel yang telah usang. Biaya variabel merupakan biaya yang diperlukan dalam penggunaan input ketika melakukan kegiatan penyulingan akarwangi. Penggunaan
input pada
kondisi normal maupun kondisi penuh risiko tidak berbeda. Hal ini karena pada kondisi penuh risiko penggunaan input tetap namun hasil input tersebut pada kondisi normal dan penuh risiko akan berbeda. Biaya variabel yang dikeluarkan pada kegiatan penyulingan akarwangi dapat dilihat pada Tabel 52. a.
Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan dalam satu kali penyulingan adalah dua
orang. Upah/orang/suling adalah Rp. 67.700. Dalam satu hari, ketel dioperasikan dua kali dengan waktu satu kali penyulingan 12 jam. Penyuling bekerja dalam
118
satu kali penyulingan yaitu 12 jam. Dalam satu bulan, penyuling bekerja selama 28 hari. Artinya, dalam satu bulan penyuling hanya libur sebanyak dua hari. Jumlah tenaga kerja tahun pertama hanya 91,5 persen dari total pekerja. Tahun kedua hingga tahun ketujuh tenaga kerja yang dipekerjakan mencapai 100 persen yaitu 1344. Sedangkan pada tahun terakhir, tenaga kerja yang dipekerjakan sebesar 91,5 persen dari total tenaga kerja. b. Biaya Transportasi Setelah akarwangi disuling, minyak hasil sulingan dijual ke tengkulak dan penyuling. Sebagian besar penyuling menjual minyaknya ke tengkulak yang berada Kota Garut. Biaya transportasi yang diperlukan dalam satu kali menjual minyak hasil sulingan yaitu Rp. 88.100. Frekuensi menjual minyak akarwangi pada tahun pertama dan kedelapan yaitu 22 kali. Pada tahun kedua, frekuensi penjualan akarwangi yaitu 24 kali. Artinya, dalam sebulan penyuling menjual minyak akarwangi ke Garut sebanyak dua kali. Minyak akarwangi yang dijual sebanyak 210 kg dengan harga minyak akarwangi Rp. 511.692/kg c. Biaya Bahan Bakar Pada tahun pertama kapasitas produksi baru mencapai 91,5 persen. Hal ini dikarenakan akarwangi yang tersedia baru mencapai 91,5 persen sehingga frekuensi penyulingan disesuaikan dengan ketersediaan bahan. Biaya bahan bakar per tahun diperoleh dari perkalian antara kebutuhan bahan bakar dalam satu kali penyulingan, frekuensi penyulingan per hari, jumlah hari beroperasi dalam sebulan, dan jumlah bulan dalam satu tahun. Kebutuhan bakar bakar dalam satu kali penyulingan yaitu 244 liter dengan frekuensi penyulingan per hari sebanyak dua kali. Dalam satu bulan, jumlah hari beroperasi sebanyak 28 hari. Bahan bakar
119
yang digunakan adalah minyak tanah dengan harga minyak tanah per liter yaitu Rp. 2.500. d. Biaya Bahan Baku Pada tahun pertama dalam kondisi normal, kapasitas produksi belum optimal yaitu 91,5 persen. Namun, pada tahun kedua kapasitas produksinya telah mencapai optimal yaitu 100 persen. Tahun kedelapan kapasitas produksi mencapai 91,5 persen. Hal ini dikarenakan umur mesin yang telah usang. Biaya bahan baku per tahun diperoleh dari perkalian antara jumlah biaya bahan baku dalam satu kali penyulingan, frekuensi penyulingan dalam satu hari, jumlah hari beroperasi dalam satu bulan, dan jumlah bulan dalam satu tahun. Dalam hal ini, kebutuhan bahan baku untuk satu kali penyulingan yaitu 1.484 kg. Frekuensi penyulingan per hari adalah dua kali. Sedangkan jumlah hari beroperasi dalam satu bulan adalah 28 hari. Harga bahan baku penyulingan
yaitu akarwangi
Rp.1.808/kg.
2. Biaya Tetap Biaya tetap yang dikeluarkan pada penyulingan akarwangi yaitu biaya pajak bumi dan bangunan (PBB) per hektar per tahun sebesar Rp.90.385. Sedangkan lahan yang digunakan untuk penyulingan akarwangi hanya seluas 0,15 Ha. Sebagian besar responden penyuling memiliki penyulingan sendiri sehingga sebagian besar penyuling tidak mengeluarkan biaya sewa lahan. Selain itu, biaya tetap yang dikeluarkan setiap tahunnya yaitu biaya listrik sebesar Rp.692.308 per tahun. Biaya Tetap dan Biaya Variabel dapat dilihat pada Tabel 50.
120
Tabel 50. Biaya Variabel dan Biaya Tetap yang Diperlukan Pada Kegiatan Penyulingan Akarwangi Dalam Satu Penyulingan Biaya Variabel
1 83.245.292 942.450 375.906.888 1.650.456.567 2.110.551.198
Tahun 2 83.973.120 950.690 379.193.505 1.803.777.669 2.267.894.985
Tenaga Kerja/suling Biaya Transportasi/tahun Biaya Bahan Bakar/suling Biaya Bahan Baku/Suling Total Biaya Variabel Biaya tetap Pajak Bumi dan Bangunan 90.385 90.385 Biaya Listrik/tahun 692.308 692.308 Total Biaya Tetap 782.692 782.692 Keterangan: Biaya variabel tahun ke-3 s/d ke-7 sama dengan tahun ke-2 Total Biaya Variabel tahun 3-7 sama dengan Tahun ke-2
8 83.245.292 942.450 375.906.888 1.650.456.567 2.110.551.198 90.385 692.308 782.692
6.5.5.3. Kelayakan Finansial Penyulingan Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko Analisis kelayakan penyulingan akarwangi pada kondisi tanpa risiko dapat dilihat dari empat kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C, dan PP. Bila NPV ≥ 0, IRR ≥ discount rate (8 persen),
dan
Net B/C ≥ 1 menandakan
bahwa kegiatan penyulingan akarwangi tanpa risiko layak untuk dijalankan. NPV pada kondisi normal mencapai Rp.1.030.118.304. Artinya, kegiatan penyulingan akarwangi selama umur proyek yaitu delapan tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan keuntungan sebesar Rp.1.030.118.304. Jadi, NPV tersebut menunjukkan manfaat bersih yang diterima penyuling dari kegiatan budidaya selama umur proyek (delapan tahun) dengan tingkat discount rate 8 persen. Selain itu, dalam menentukan layak tidaknya suatu kegiatan usaha dapat dilihar dari IRR, Net B/C, dan payback period. IRR pada kondisi
normal
mencapai 99 % atau IRR ≥ DF (8 persen). Artinya, tingkat pengembalian internal kegiatan ini sebesar 99 persen. Net B/C pada kondisi normal mencapai 4,98. Artinya bahwa setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan selama umur proyek (delapan
121
tahun) mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp.4,98. Sedangkan
payback
period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan. Semakin pendek periode pengembalian investasi kegiatan penyulingan akarwangi maka kegiatan tersebut akan semakin baik. Dengan kata lain, payback periode merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback periode pada kondisi normal yaitu 3 tahun 6 bulan.
6.5.6. Analisis Finansial Penyulingan Akarwangi Pada Kondisi Risiko 6.5.6.1. Arus Penerimaan/Inflow Pada kegiatan penyulingan akarwangi dengan memperhatikan risiko, penerimaan penyuling berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Penerimaan penyuling terbesar setiap tahunnya terjadi pada kondisi produksi dan harga output tertinggi sedangkan penerimaan petani terendah ketika berada pada kondisi produksi dan harga output terendah. Pada tahun kedelapan terjadi penambahan penerimaan selain dari penjualan akarwangi yang berasal dari nilai sisa komponen investasi yang masih bernilai. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 51.
Tabel 51. Total Penerimaan Penyuling Akarwangi Pada Berbagai Kondisi Dalam Satu Penyulingan No 1 2 3 4 5 6
Kondisi Produksi Tertinggi Produksi Terendah Harga Output Tertinggi Harga Output Terendah Produksi dan Harga Output Tertinggi Produksi dan Harga Output Terendah
Total Inflow (Rp)Tahun ke1 2 8 3.056.125.766 3.340.028.160 3.247.616.382 1.105.341.215 1.208.023.186 1.296.831.830 2.658.922.290 2.905.926.000 2.850.412.905 2.133.182.083 2.331.346.539 2.324.672.699 3.056.189.670
3.340.098.000
3.247.680.285
1.105.255.768
1.207.929.801
1.296.746.383
122
6.5.6.2. Arus Biaya/ Outflow A. Biaya Investasi Biaya investasi dan reinvestasi yang dikeluarkan untuk kegiatan penyulingan akarwangi pada kondisi risiko sama dengan biaya investasi dan reinvestasi pada kondisi tanpa risiko (normal). Total investasi pada tahun pertama yaitu sebesar Rp. 506.060.535 sedangkan biaya reinvestasi terbesar ketika tahun keenam yaitu sebesar Rp.253.016.385.
B. Biaya Operasional Biaya operasional terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Pada kegiatan penyulingan yang memperhatikan risiko, komponen biaya variabel merupakan input yang digunakan dalam kegiatan penyulingan akarwangi. Pada kondisi risiko tidak terdapat perubahan input sehingga jumlah input yang digunakan dalam kegiatan penyulingan akarwangi pada kondisi yang memperhatikan risiko sama dengan jumlah input pada kondisi normal (tanpa risiko). Jadi, biaya variabel yang digunakan untuk kegiatan penyulingan akarwangi pada kondisi risiko sama dengan biaya variabel pada kondisi normal (tanpa risiko).
6.5.7. Kelayakan Finansial Penyulingan Akarwangi Pada Kondisi Risiko Analisis kelayakan penyulingan akarwangi dari tiap kondisi dapat dilihat dari empat kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C, dan PP. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 52. NPV ≥ 0, IRR ≥ Discount Rate (8 %), dan
Net B/C
≥ 1 menandakan bahwa kegiatan penyulingan layak untuk dijalankan. NPV terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yang mencapai Rp.5.444.740.425. Artinya, kegiatan penyulingan akarwangi selama umur proyek
123
yaitu delapan tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan keuntungan sebesar Rp. 5.444.740.425 Jadi, NPV tersebut menunjukkan manfaat bersih yang diterima penyuling dari kegiatan penyulingan selama umur proyek (delapan tahun) dengan tingkat discount rate 8 persen. NPV terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yang mencapai -Rp.6.542.335.597. Artinya, kegiatan penyulingan akarwangi selama umur proyek yaitu delapan tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan kerugian sebesar
Rp.6.542.335.597. IRR terendah berada pada
kondisi harga output terendah yaitu sebesar -7,3 persen. Artinya, tingkat pengembalian internal kegiatan budidaya sebesar -7,3 persen. Net B/C tertinggi berada pada kondisi normal yaitu sebesar 4,9 atau Net B/C ≥ 1. Hal ini berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan selama umur proyek (delapan tahun) mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp.4,9. Net B/C terendah berada pada kondisi produksi terendah dan kondisi produksi dan harga output terendah yaitu 0 atau IRR < 1. Hal ini berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang telah dikeluarkan selama umur proyek (delapan tahun) penyuling tidak mendapatkan keuntungan. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan penyulingan tidak layak untuk dijalankan. Payback periode merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan. Semakin pendek periode pengembalian investasi kegiatan budidaya akarwangi maka kegiatan tersebut akan semakin baik. Payback period merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback periode tercepat ketika berada pada kondisi harga output tertinggi yaitu satu tahun sembilan bulan.
124
Tabel 52. Kriteria Kelayakan Investasi Penyulingan Setiap Kondisi Pada Tingkat DF (8 %) Kondisi
NPV (Rp)
IRR (%)
Net B/C
PP (Tahun)
1. ProduksiTertinggi
5.444.347.783
-
-
-
2. Produksi Terendah
-6.541.810.587
-
0
-
3. Harga Output Tertinggi
3.003.820.064
-
-
1 tahun 9 bulan
4. Harga Output Terendah
-2.264.727.822
-7,3
0,6
7 tahun 5 bulan
5. Produksi dan Harga Output Tertinggi
5.444.740.425
-
-
-
6. Produksi dan Harga Output Terendah
-6.542.335.597
-
0
-
Layak / Tidak Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak
6.5.8. Penilaian dan Perbandingan Risiko Penyulingan Akarwangi Penilaian risiko dalam investasi diukur dengan tiga hal yaitu NPV yang diharapkan, standar deviasi, dan koefisien variasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 53. NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. NPV yang diharapkan dari ketiga jenis risiko yang paling tinggi adalah NPV yang diharapkan pada risiko harga output yaitu sebesar Rp. 1.033.605.013 selama umur proyek. Semakin besar NPV yang diharapkan, maka tingkat risiko yang dihadapi semakin tinggi. Standar deviasi yang paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu sebesar 3.382.306.905 selama umur proyek. Semakin besar nilai standar deviasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi dalam kegiatan budidaya. Koefisien variasi diukur dari rasio standar deviasi dari NPV dengan NPV yang diharapkan. Koefisien variasi paling tinggi berada pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu 14,81. Semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi. Jadi, dari ketiga jenis risiko
125
yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan penyulingan akarwangi dihadapkan pada risiko harga outpur.
Tabel 53. Perbandingan Risiko Dalam Investasi Pada Satu Penyulingan Akarwangi Jenis Risiko Produksi Harga Output Produksi dan Output
Harga
NPV yang diharapkan (Rp) 228.455.636 1.033.605.013 228.409.575
Standar Deviasi 3.376.388.603 820.365.772 3.382.306.905
Koefisien Variasi 14,78 0,79 14,81
Tingkat Risiko Tinggi Rendah Tinggi
Dari ketiga jenis risiko yang mungkin terjadi dalam kegiatan penyulingan akarwangi, pendapatan petani terendah diperoleh ketika terjadi risiko produksi dan harga output yaitu sebesar Rp.2.379.266/bulan sedangkan pendapatan pada kondisi normal sebesar Rp. 10.750.399/bulan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 54.
Tabel 54. Pendapatan Penyuling Pada Setiap Kondisi Kondisi Tanpa Risiko Risiko a. Produksi b. Harga Output c. Produksi dan Harga Output
Pendapatan Penyuling/Bulan (Rp) 10.730.399 2.379.746 10.766.718 2.379.266
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek meliputi aspek teknis, aspek pasar, aspek
sosial
dan
lingkungan
yang
dilakukan
menunjukkan
bahwa
pengembangan usaha akarwangi melalui pembudidayaan dan penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut layak untuk diusahakan. Hal ini mendorong pada pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan seluas 667 Ha di Kabupaten Garut. Analisis aspek finansial pada kondisi normal baik pada kegiatan budidaya maupun penyulingan layak untuk dijalankan. Hal ini sesuai dengan kriteria kelayakan investasi NPV ≥ 0, IRR ≥ Discount Rate (8 persen), dan Net B/C ≥ 1 menandakan bahwa kegiatan budidaya dan penyulingan akarwangi tanpa risiko layak untuk dijalankan. Pada kegiatan budidaya dalam kondisi normal NPV mencapai Rp.1.394.179, IRR 13 %, Net B/C 1,08 dan 2 tahun 5 bulan. Sedangkan kegiatan penyulingan dalam kondisi normal NPV Rp.1.030.118.304, IRR 99 % , Net B/C 4,98 dan Payback periode yaitu 3 tahun 6 bulan. 2.
Dampak adanya risiko volume produksi, risiko harga output, dan risiko volume produksi dan harga output pada kegiatan budidaya dan penyulingan terhadap kelayakan usaha akarwangi yaitu terdapat beberapa kondisi yang layak dan tidak untuk dijalankan. Kondisi yang layak dijalankan pada kegiatan budidaya dan penyulingan yaitu pada kondisi produksi tertinggi, kondisi harga output tertinggi, dan kondisi voleme produksi dan harga output tertinggi. Sedangkan kondisi yang tidak layak dijalankan pada kegiatan budidaya dan penyulingan yaitu pada kondisi produksi terendah, kondisi harga output
127
terendah, dan kondisi voleme produksi dan harga output terendah. Kegiatan budidaya akarwangi yang memiliki tingkat risiko terbesar yaitu ketika mengalami risiko harga output sedangkan kegiatan penyulingan yang memiliki tingkat risiko terbesar yaitu ketika mengalami risiko produksi dan harga output secara bersama.
7.2. Saran 1. Berdasarkan hasil analisis kedua usaha yaitu budidaya dan penyulingan akarwangi pada kondisi normal, usaha tersebut layak untuk diusahakan meskipun pendapatan yang diperoleh petani sangat rendah. Oleh karena itu, perlu upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui perencanaan produksi dengan pengaturan waktu dan pola tanam. Penanaman akarwangi dilakukan secara berkala pada lahan yang berbeda sehingga petani tidak mengandalkan pendapatan dari satu musim panen akarwangi. Hal ini bertujuan agar pendapatan petani secara rutin dapat diterima sesuai dengan waktu tanam dan panen yang berbeda. Selain itu, penanaman akarwangi hendaknya dilakukan secara tumpangsari agar petani memperoleh pendapatan secara kontinyu. 2. Dalam menghadapi risiko harga output perlu adanya upaya untuk meningkatkan daya tawar (bargaining position) bagi petani dan penyuling. Hal ini dimaksudkan agar petani dan penyulingan dapat menentukan harga jual akarwangi dan minyak akarwangi sehingga pendapatan yang mereka peroleh sesuai dengan usaha yang dilakukannya. Upaya untuk meningkatkan bargaining position dapat dilakukan dengan mengaktifkan kembali kelompok tani.
128
3. Dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut perlu upaya dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut agar pengembangan usaha tersebut dapat berjalan sesuai dengan rencana strategis Pemerintah Daerah Kabupaten Garut. Pemerintah Daerah hendaknya memberikan penyuluhan secara intensif kepada petani dan penyuling akarwangi baik dari segi budidaya, penyulingan, hingga pemasaran akarwangi sehingga petani dan penyuling dapat memperoleh informasi baru yang menyangkut usaha akarwangi. 4. Pengembangan usaha akarwangi tidak terlepas dari peranan dan upaya stakeholders.untuk meningkatkan daya saing akarwangi Kabupaten Garut di Pasar Internasional. Salah satu peran dan upaya penting dari stakeholders yaitu dengan membuka industri pengolahan akarwangi yang menggunakan mesin modern. Upaya ini dilakukan oleh berbagai pihak yaitu Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan penyuling dan pengusaha sehingga kualitas akarwangi Kabupaten Garut dapat lebih bersaing dengan produsen utama lainnya. 5. Bagi investor bila
menanamkan modal pada kegiatan budidaya ketika
menghadapi risiko harga output, akan memperoleh pendapatan per bulan sebesar Rp.16.414 meskipun tingkat risiko yang dihadapi paling besar bila dibandingkan risiko yang lain. Selain itu, bagi investor bila menanamkan modal pada kegiatan penyulingan ketika menghadapi produksi dan risiko harga output, akan memperoleh pendapatan per bulan sebesar Rp.2.379.266 meskipun tingkat risiko yang dihadapi paling besar bila dibandingkan risiko yang lain.
129
DAFTAR PUSTAKA
Adtitya, Kurnia Jeihan. 2002. Analisis Efisiensi Pemasaran Akar Wangi. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. 2003. Garut Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kab. Garut. Garut. Bappeda Kabupaten Garut. 2005. Laporan Penyusunan Rencana Induk Penbangunan Pertanian (RIPP) Kabupaten Garut. Tidak Dipublikasikan.Bappeda Garut. Garut. Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut. 2003. Prospek Pengembangan Agribisnis Minyak Akarwangi (Golden Java Vetiver Oil) di Kabupaten Garut Dolly. 2006. Analisis Kelayakan Investasi Pengusahaan Pembibitan Durian (Durio zibhetinus) di CV.Milad Perkasa Rancamaya Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Fariyanti, Anna. 2008. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sayuran dalam Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gittinger J Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Gurusinga, Jagatnata. 2003. Kajian Agribisnis dan Studi Kelayakan Usaha Udang Windu. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Husnan Suad dan Suwarsono M. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Unit Penerbit dan Percetakan. Yogyakarta. Kadarian, Lien Karlina, dan Clive Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Khairunnisa. 2004. Perencanaan Kelayakan Pengembangan Usaha Budidaya Lebah Madu (Apis mellifera) di Jawa Timur. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
130
Nasrullah, Ade. 2002. Kelayakan Investasi Usaha Pembenihan Gurami di Unit Pembenihan Kopses, Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Nazir. 2003. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Nur Fathorudin, Ahmad. 2006. . Studi Kelayakan Bisnis Terhadap Rencana Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Akar Wangi (Vetiver Oil) di PT. Pulus Wangi Nusantara. Skripsi. Sekolah Tinggi Manajemen Bisnis Telkom Manajemen Bisnis Telekomunikasi dan Informatika Yayasan Pendidikan Telkom. Bandung. Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan. Edisi Keempat. Penerbit BPFE, Yogyakarta. Umar, Husein. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Kedua. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wahyuni, Enda. 2007. Analisis Kelayakan Investasi Pengusahaan Terong Belanda (Kasus Di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara). Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis.Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Weston, et al. 1995. Manajemen Keuangan. Edisi Kesembilan. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta www.disbunjabar.go.id www.itccomtrade. go.id
LAMPIRAN
131 Lampiran 1. Budidaya Normal Pada Lahan 1 Hektar No
Tahun
Keterangan 1
A
2
3
INFLOW
1
Penjualan Akarwangi (normal)
2
Nilai Sisa
14225473
20524416
20524416
14225473
20524416
34241130
13716714
TOTAL INFLOW B
OUTFLOW
1
Investasi a. Tanah (1 Ha) Milik
3532755
b. Saung
970250
c. Alat Transportasi Motor
16100000
d. Peralatan Cangkul
509284
Kored
170794
Ember
35202
Garpu
30000
Terpal
300000
Pabonggolan Keranjang 100 Kg Total Investasi 2
170794 35202
35202 300000
216324
216324
3500000
3500000
3500000
25364610
3535202
4222321
1882715
2716368
2716368
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Bibit Pupuk: Za
153244
221100
221100
SP-36
92175
132990
132990
KCl
90969
131250
131250
Furadan
103965
150000
150000
1305000
1305000
Tenaga Kerja:
0
Pengolahan Tanah
904496
Penanaman
384671
555000
555000
Pemeliharaan
904496
1305000
1305000
2053150
2962271
2962271
Panen dan pasca panen Biaya Transportasi
1445529
2085600
2085600
8015410
11564579
11564579
Pajak Bumi dan Bangunan
66137
66137
66137
Total Biaya Tetap
66137
66137
66137
8081547
11630716
11630716
TOTAL OUTFLOW
33446157
15165919
15853037
Net Benefit
-19220684
5358497
18388093
0.93
0.86
0.79
-17796930
4594048
14597061
Total Biaya Variabel b. Biaya Tetap
Total Biaya Operasional
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+)
19191109
PV biaya (-)
-17796930
NPV
1,394,179
IRR
13%
Net B/C Payback Period
1.08 2 tahun 5 bulan
132 Lampiran 2. Budidaya Risiko Produksi Akarwangi Tertinggi Pada Lahan 1 Hektar No
Tahun
Keterangan 1
A
2
3
INFLOW
1
Penjualan Akarwangi (normal)
2
Nilai Sisa
16308166
23529312
23529312
16308166
23529312
37246026
13716714
TOTAL INFLOW B
OUTFLOW
1
Investasi a. Tanah (1 Ha) Milik
3532755
b. Saung
970250
c. Alat Transportasi Motor
16100000
d. Peralatan Cangkul
509284
Kored
170794
Ember
35202
Garpu
30000
Terpal
300000
Pabonggolan Keranjang 100 Kg Total Investasi 2
170794 35202
35202 300000
216324
216324
3500000
3500000
3500000
25364610
3535202
4222321
1882715
2716368
2716368
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Bibit Pupuk: Za
153244
221100
221100
SP-36
92175
132990
132990
KCl
90969
131250
131250
Furadan
103965
150000
150000
1305000
1305000
Tenaga Kerja:
0
Pengolahan Tanah
904496
Penanaman
384671
555000
555000
Pemeliharaan
904496
1305000
1305000
2053150
2962271
2962271
Panen dan pasca panen Biaya Transportasi
1445529
2085600
2085600
8015410
11564579
11564579
Pajak Bumi dan Bangunan
66137
66137
66137
Total Biaya Tetap
66137
66137
66137
8081547
11630716
11630716
TOTAL OUTFLOW
33446157
15165919
15853037
Net Benefit
-17137991
8363393
21392989
0.93
0.86
0.79
-15868510
7170262
16982444
Total Biaya Variabel b. Biaya Tetap
Total Biaya Operasional
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+)
24152706
PV biaya (-)
-15868510
NPV
8,284,196
IRR
39%
Net B/C Payback Period
1.52 2 tahun 10 bulan
133 Lampiran 3. Budidaya Risiko Produksi Akarwangi Terendah Pada Lahan 1 Hektar No
Tahun
Keterangan 1
A
2
3
INFLOW
1
Penjualan Akarwangi (normal)
2
Nilai Sisa
11130254
16058656
16058656
11130254
16058656
29775370
13716714
TOTAL INFLOW B
OUTFLOW
1
Investasi a. Tanah (1 Ha) Milik
3532755
b. Saung
970250
c. Alat Transportasi Motor
16100000
d. Peralatan Cangkul
509284
Kored
170794
Ember
35202
Garpu
30000
Terpal
300000
Pabonggolan Keranjang 100 Kg Total Investasi 2
170794 35202
35202 300000
216324
216324
3500000
3500000
3500000
25364610
3535202
4222321
1882715
2716368
2716368
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Bibit Pupuk: Za
153244
221100
221100
SP-36
92175
132990
132990
KCl
90969
131250
131250
Furadan
103965
150000
150000
1305000
1305000
Tenaga Kerja:
0
Pengolahan Tanah
904496
Penanaman
384671
555000
555000
Pemeliharaan
904496
1305000
1305000
2053150
2962271
2962271
Panen dan pasca panen Biaya Transportasi
1445529
2085600
2085600
8015410
11564579
11564579
Pajak Bumi dan Bangunan
66137
66137
66137
Total Biaya Tetap
66137
66137
66137
8081547
11630716
11630716
TOTAL OUTFLOW
33446157
15165919
15853037
Net Benefit
-22315903
892737
13922333
0.93
0.86
0.79
-20662873
765378
11051997
Total Biaya Variabel b. Biaya Tetap
Total Biaya Operasional
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+)
11817375
PV biaya (-)
-20662873
NPV
(8,845,498)
IRR
-19%
Net B/C Payback Period
0.57 3 tahun 3 bulan
134 Lampiran 4. Budidaya Kondisi Harga Output Tertinggi Pada Lahan 1 Hektar No
Tahun
Keterangan
A
INFLOW
1
Penjualan Akarwangi (normal)
2
Nilai Sisa
1
2
3
22195829
32023992
32023992 13716714
TOTAL INFLOW B
OUTFLOW
1
Investasi
22195829
32023992
45740706
a. Tanah (1 Ha) Milik
3532755
b. Saung
970250
c. Alat Transportasi Motor
16100000
d. Peralatan Cangkul
509284
Kored
170794
Ember
35202
Garpu
30000
Terpal
300000
Pabonggolan Keranjang 100 Kg Total Investasi 2
170794 35202
35202 300000
216324
216324
3500000
3500000
3500000
25364610
3535202
4222321
1882715
2716368
2716368
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Bibit Pupuk: Za
153244
221100
221100
SP-36
92175
132990
132990
KCl
90969
131250
131250
Furadan
103965
150000
150000
1305000
1305000
Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah
0 904496
Penanaman
384671
555000
555000
Pemeliharaan
904496
1305000
1305000
2053150
2962271
2962271
Panen dan pasca panen Biaya Transportasi
1445529
2085600
2085600
8015410
11564579
11564579
66137
66137
66137
66137
66137
66137
8081547
11630716
11630716
TOTAL OUTFLOW
33446157
15165919
15853037
Net Benefit
-11250328
16858073
29887669
Total Biaya Variabel b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Total Biaya Tetap Total Biaya Operasional
Discount factor (8%) PV/ tahun
0.93
0.86
0.79
-10416971
14453081
23725795
PV benefit (+)
38178876
PV biaya (-)
-10416971
NPV
27,761,905
IRR
154%
Net B/C Payback Period
3.67 1 tahun 6 bulan
135 Lampiran 5. Budidaya Kondisi Harga Output Terendah Pada Lahan 1 Hektar No
Tahun
Keterangan 1
A
INFLOW
1
Penjualan Akarwangi (normal)
2
Nilai Sisa
2 4020584
3 5800872
5800872 13716714
TOTAL INFLOW B
OUTFLOW
1
Investasi
4020584
5800872
19517586
a. Tanah (1 Ha) Milik
3532755
b. Saung
970250
c. Alat Transportasi Motor
16100000
d. Peralatan Cangkul
509284
Kored
170794
Ember
35202
Garpu
30000
Terpal
300000
Pabonggolan Keranjang 100 Kg Total Investasi 2
170794 35202
35202 300000
216324
216324
3500000
3500000
3500000
25364610
3535202
4222321
1882715
2716368
2716368
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Bibit Pupuk: Za
153244
221100
221100
SP-36
92175
132990
132990
KCl
90969
131250
131250
Furadan
103965
150000
150000
1305000
1305000
Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah
0 904496
Penanaman
384671
555000
555000
Pemeliharaan
904496
1305000
1305000
2053150
2962271
2962271
Panen dan pasca panen Biaya Transportasi
1445529
2085600
2085600
8015410
11564579
11564579
66137
66137
66137
66137
66137
66137
8081547
11630716
11630716
TOTAL OUTFLOW
33446157
15165919
15853037
Net Benefit
-29425573
-9365047
3664549
0.93
0.86
0.79
-27245901
-8029018
2909037
Total Biaya Variabel b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Total Biaya Tetap Total Biaya Operasional
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+) PV biaya (-) NPV
2909037 -35274919 (32,365,882)
IRR Net B/C
0.08
136 Lampiran 6. Harga Terendah Dengan Produksi Terendah No
Tahun
Keterangan 1
A
INFLOW
1
Penjualan Akarwangi (normal)
2
Nilai Sisa
2 3145774
3 4538702
4538702 13716714
TOTAL INFLOW B
OUTFLOW
1
Investasi
3145774
4538702
18255416
a. Tanah (1 Ha) Milik
3532755
b. Saung
970250
c. Alat Transportasi Motor
16100000
d. Peralatan Cangkul
509284
Kored
170794
Ember
35202
Garpu
30000
Terpal
300000
Pabonggolan Keranjang 100 Kg Total Investasi 2
170794 35202
35202 300000
216324
216324
3500000
3500000
3500000
25364610
3535202
4222321
1882715
2716368
2716368
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Bibit Pupuk: Za
153244
221100
221100
SP-36
92175
132990
132990
KCl
90969
131250
131250
Furadan
103965
150000
150000
1305000
1305000
Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah
0 904496
Penanaman
384671
555000
555000
Pemeliharaan
904496
1305000
1305000
2053150
2962271
2962271
Panen dan pasca panen Biaya Transportasi Total Biaya Variabel
1445529
2085600
2085600
8015410
11564579
11564579
66137
66137
66137
66137
66137
66137
8081547
11630716
11630716
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Total Biaya Tetap Total Biaya Operasional TOTAL OUTFLOW
33446157
15165919
15853037
Net Benefit
-30300383
-10627217
2402379
0.93
0.86
0.79
-28055910
-9111125
1907086
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+) PV biaya (-) NPV
1907086 -37167035 (35,259,950)
IRR Net B/C Payback Period
0.05
137 Lampiran 7. Tingkat Risiko Produksi, Harga, dan Gabungan pada Budidaya Akarwangi Budidaya a. Risiko Produksi Tertinggi
Probability 0.2
NPV 8284195.975
Normal
0.62
1394178.827
Terendah
0.18
-8845497.682
NPV yang diharapkan Deviasi Standar
929040.4849 0.2
7355155
7355155.49
1.02787E+13
0.62
465138
465138.3418
1.36303E+11
0.18
-9774538
-9774538.167
1.71975E+13 2.76125E+13
5253570 Koefisien Variasi b. Risiko Harga Tertinggi
5.6548343 Probability 0.2
NPV 27761905.31
Normal
0.62
1394178.827
Terendah
0.18
-32365881.64
NPV yang diharapkan Deviasi Standar
590913.24 0.2
27170992
27170992.07
1.4027E+14
0.62
803266
803265.5867
4.06498E+11
0.18
-32956795
-32956794.88
1.95507E+14 3.36183E+14
18330302 Koefisien Variasi c.Risiko Produksi dan Harga Output Tertinggi Normal Terendah NPV yang diharapkan Deviasi Standar
31.02029326 Probability
NPV
0.2
38512313.7
0.62
1394178.827
0.18
-35259949.5
2220062.704 0.2
36292251
36292251
2.50254E+14
0.62
-825884
-825883.8768
4.29713E+11
0.18
-37480012
-37480012.2
2.52855E+14 5.03539E+14
22427661 Koefisien Variasi
10.10226466
138
Lampiran 8. Penyulingan Kondisi Normal No
Tahun
Keterangan 1
A
INFLOW
1
Penjualan Minyak Akarwangi
2
Nilai Sisa OUTFLOW
1
Investasi
3
4
5
6
7
8
2337696191
2554859225
2554859225
2554859225
2554859225
2554859225
2554859225
2337696191
2337696191
2554859225
2554859225
2554859225
2554859225
2554859225
2554859225
2529186806
191490615 TOTAL INFLOW
B
2
a. Tanah (1 Ha) Milik
10281600
b. Bangunan Pabrik
34000000
Gudang
17153846.15
c. Alat Transportasi Mobil
56428600
Motor
14823450
e. Baut
1864038.462
f. Ketel Stainless
110769230.8
h. Bak Pendingin
4500000
i. Blander
248461538.5
k.Tungku
3500000
l. Tangki
2092307.692
m. Pipa
1310423.077
248461538 2092308 1310423
1310423
n. Timbangan
598500
o. Drum 50 Kg
277000
277000
506060535
277000
1310423
277000
253016385
1587423
Total Investasi 2
1864038
598500 277000
277000
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Tenaga Kerja/suling Biaya Transportasi/tahun
83245292.31
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
83245292.31
942450
950690
950690
950690
950690
950690
950690
942450
139
Biaya Bahan Bakar/suling
375906888
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
375906888
Biaya Bahan Baku/Suling
1650456567
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1650456567
2110551198
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2110551198
Total Biaya Variabel b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Listrik/tahun Total Biaya Tetap Total Biaya Operasional
90385
90385
90385
90385
90385
90385
90385
14250
692308
692308
692308
692308
692308
692308
692308
579286
782692
782692
782692
782692
782692
782692
782692
593536
2111333890
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2111144733
TOTAL OUTFLOW
2617394424
2268677677
2268954677
2269988100
2268954677
2521694062
2270265100
2111144733
Net Benefit
-279698234
286181548
285904548
284871125
285904548
33165163
284594125
418042073
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+)
0.93
0.86
0.79
0.74
0.68
0.63
0.58
0.54
-258979846.3
245354550.4
226960247.7
209388780.7
194581831
20899678.38
166057938.2
225855124.3
1,289,098,150.76
PV biaya (-)
(258,979,846.25)
NPV
1,030,118,304.51
IRR
99%
Net B/C Pay Back Period
4.98 3 Tahun 6 Bulan
140
Lampiran 9. Penyulingan Kondisi Produksi Tertinggi No
Keterangan
A
INFLOW
1
Penjualan Minyak Akarwangi
2
Nilai Sisa OUTFLOW
1
Investasi
2
3
5
6
7
8
3056125766
3340028160
3340028160
3340028160
3340028160
3340028160
3340028160
3056125766
3056125766
3340028160
3340028160
3340028160
3340028160
3340028160
3340028160
3247616382
191490615 TOTAL INFLOW
B
1
Tahun 4
a. Tanah (1 Ha) Milik
10281600
b. Bangunan Pabrik
34000000
Gudang
17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600
Motor
14823450
e. Baut
1864038
f. Ketel Stainless
110769231
h. Bak Pendingin
4500000
i. Blander
248461538
k.Tungku
3500000
l. Tangki
2092308
m. Pipa
1310423
248461538 2092308 1310423
1310423
n. Timbangan
598500
o. Drum 50 Kg
277000
277000
506060535
277000
1310423
277000
253016385
1587423
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
Total Investasi 2
1864038
598500 277000
277000
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Tenaga Kerja/suling
83245292.31
83973120
83245292.31
141
Biaya Transportasi/tahun
942450
950690
950690
950690
950690
950690
950690
942450
Biaya Bahan Bakar/suling
375906888
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
375906888
Biaya Bahan Baku/Suling
1650456567
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1650456567
2110551198
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2110551198
90385
90385
90385
90385
90385
90385
90385
14250
692308
692308
692308
692308
692308
692308
692308
579286
782692
782692
782692
782692
782692
782692
782692
593536
Total Biaya Variabel b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Listrik/tahun Total Biaya Tetap
2111333890
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2111144733
TOTAL OUTFLOW
Total Biaya Operasional
2617394424
2268677677
2268954677
2269988100
2268954677
2521694062
2270265100
2111144733
Net Benefit
438731342
1071350483
1071073483
1070040060
1071073483
818334098
1069763060
1136471649
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+)
0.93
0.86
0.79
0.74
0.68
0.63
0.58
0.54
406232724
918510359.2
850252663.3
786511387.7
728954615.3
515689293.4
624196470.7
614000269.9
5,444,347,783.43
PV biaya (-) NPV IRR Net B/C Pay Back Period
5,444,347,783.43
142
Lampiran 10. Penyulingan Kondisi Produksi Terendah No
Keterangan
A
INFLOW
1
Penjualan Minyak Akarwangi
2
Nilai Sisa
B
OUTFLOW
1
Investasi
TOTAL INFLOW
1
2
1105341215
3
1208023186
1208023186
Tahun 4 1208023186
5 1208023186
6 1208023186
7 1208023186
8 1105341215 191490615
1105341215
1208023186
1208023186
1208023186
1208023186
1208023186
1208023186
1296831830
a. Tanah (1 Ha) Milik
10281600
b. Bangunan Pabrik
34000000
Gudang
17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600
Motor
14823450
e. Baut
1864038
f. Ketel Stainless h. Bak Pendingin
248461538
k.Tungku
3500000
l. Tangki
2092308
m. Pipa
1310423
o. Drum 50 Kg Total Investasi 2
4500000
i. Blander
n. Timbangan
1864038
110769231 248461538 2092308 1310423
1310423
598500
598500
277000
277000
506060535
277000
1310423
277000 277000
253016385
1587423
277000
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Tenaga Kerja/suling Biaya Transportasi/tahun
83245292.31
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
83245292.31
942450
950690
950690
950690
950690
950690
950690
942450
143
Biaya Bahan Bakar/suling
375906888
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
375906888
Biaya Bahan Baku/Suling
1650456567
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1650456567
Total Biaya Variabel
2110551198
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2110551198
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Listrik/tahun Total Biaya Tetap
90385
90385
90385
90385
90385
90385
90385
14250
692308
692308
692308
692308
692308
692308
692308
579286
782692
782692
782692
782692
782692
782692
782692
593536
Total Biaya Operasional
2111333890
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2111144733
TOTAL OUTFLOW
2617394424
2268677677
2268954677
2269988100
2268954677
2521694062
2270265100
2111144733
Net Benefit
-1512053210
-1060654491
-1060931491
-1061964915
-1060931491
-1313670876
-1062241915
-814312903
Discount factor (8%) PV/ tahun
0.93
0.86
0.79
0.74
0.68
0.63
0.58
0.54
-1400049268
-909340270.4
-842201623.4
-780575914.8
-722052146.3
-827835485.8
-619807954.6
-439947923.7
PV benefit (+) PV biaya (-)
(6,541,810,587.18)
NPV
(6,541,810,587.18)
IRR Net B/C Pay Back Period
0.00
144
Lampiran 11. Penyulingan Kondisi Harga Output Tertinggi No
Keterangan
A
INFLOW
1
Penjualan Minyak Akarwangi
2
Nilai Sisa OUTFLOW
1
Investasi
1
2
3
4
5
6
7
8
2658922290
2905926000
2905926000
2905926000
2905926000
2905926000
2905926000
2658922290
2658922290
2905926000
2905926000
2905926000
2905926000
2905926000
2905926000
2850412905
191490615
TOTAL INFLOW B
Tahun
a. Tanah (1 Ha) Milik
10281600
b. Bangunan Pabrik
34000000
Gudang
17153846.15
c. Alat Transportasi Mobil
56428600
Motor
14823450
e. Baut
1864038.462
f. Ketel Stainless
110769230.8
h. Bak Pendingin i. Blander
4500000 248461538.5
k.Tungku
3500000
l. Tangki
2092307.692
m. Pipa
1310423.077
248461538 2092308 1310423
1310423
n. Timbangan
598500
o. Drum 50 Kg
277000
277000
506060535
277000
1310423
277000
253016385
1587423
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
Total Investasi 2
1864038
598500 277000
277000
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Tenaga Kerja/suling
83245292.31
83973120
83245292.3
145
Biaya Transportasi/tahun
942450
950690
950690
950690
950690
950690
Biaya Bahan Bakar/suling
375906888
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193506
375906888
Biaya Bahan Baku/Suling
1650456567
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1650456567
2110551198
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2110551198
Total Biaya Variabel
950690
942450
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Listrik/tahun Total Biaya Tetap Total Biaya Operasional TOTAL OUTFLOW Net Benefit Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+)
90385
90385
90385
90385
90385
90385
90385
14250
692308
692308
692308
692308
692308
692308
692308
579286
782692
782692
782692
782692
782692
782692
782692
593536
2111333890
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2111144733
2617394424
2268677677
2268954677
2269988100
2268954677
2521694062
2270265100
2111144733
41527866
637248323
636971323
635937900
636971323
384231938
635660900
739268172
0.93
0.86
0.79
0.74
0.68
0.63
0.58
0.54
38451727.34
546337725.5
505648372.8
467433340.9
433511979.4
242131297.2
370902030
399403591
3,003,820,063.63
PV biaya (-) NPV
3,003,820,063.63
IRR Net B/C Pay Back Period
1 tahun 9 bulan
146
Lampiran 12. Penyulingan Kondisi Harga Output Terendah No
Keterangan
A
INFLOW
1
Penjualan Minyak Akarwangi
2
Nilai Sisa TOTAL INFLOW
B
OUTFLOW
1
Investasi
Tahun 1
2
3
4
5
6
7
8
2133182083
2331346539
2331346539
2331346539
2331346539
2331346539
2331346539
2133182083
2133182083
2331346539
2331346539
2331346539
2331346539
2331346539
2331346539
2324672699
191490615
a. Tanah (1 Ha) Milik
10281600
b. Bangunan Pabrik
34000000
Gudang
17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600
Motor
14823450
e. Baut
1864038
f. Ketel Stainless
110769231
h. Bak Pendingin
4500000
i. Blander
248461538
k.Tungku
3500000
l. Tangki
2092308
m. Pipa
1310423
248461538 2092308 1310423
1310423
n. Timbangan
598500
o. Drum 50 Kg
277000
277000
506060535
277000
1310423
277000
253016385
1587423
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
Total Investasi 2
1864038
598500 277000
277000
Biaya Operasional a. Biaya Variabel Tenaga Kerja/suling
83245292.31
83973120
83245292.3
147
Biaya Transportasi/tahun
942450
950690
950690
950690
950690
950690
950690
942450
Biaya Bahan Bakar/suling
375906888
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193506
375906888
Biaya Bahan Baku/Suling
1650456567
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1650456567
Total Biaya Variabel
2110551198
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2110551198
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Listrik/tahun Total Biaya Tetap
90385
90385
90385
90385
90385
90385
90385
14250
692308
692308
692308
692308
692308
692308
692308
579286
782692
782692
782692
782692
782692
782692
782692
593536
Total Biaya Operasional
2111333890
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2111144733
TOTAL OUTFLOW
2617394424
2268677677
2268954677
2269988100
2268954677
2521694062
2270265100
2111144733
Net Benefit
-484212341
62668862
62391862
61358439
62391862
-190347523
61081439
213527965
0.93
0.86
0.79
0.74
0.68
0.63
0.58
0.54
-448344760.5
53728448.19
49528671.61
45100284.31
42462852.89
-119951227.3
35640432.9
115362516
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+)
341,823,205.59
PV biaya (-)
(568,295,987.78)
NPV
(226,472,782.19)
IRR
-7%
Net B/C Pay Back Period
0.60 7 Tahun 5 Bulan
148
Lampiran 13. Penyulingan Kondisi Gabungan Tinggi No
Tahun
Keterangan 1
A
INFLOW
1
Penjualan Minyak Akarwangi
2
Nilai Sisa
B
OUTFLOW
1
Investasi
2
3056189670
3340098000
3 3340098000
4 3340098000
5 3340098000
6 3340098000
7 3340098000
3056189670 191490615
TOTAL INFLOW
3056189670
3340098000
3340098000
3340098000
3340098000
3340098000
3340098000
a. Tanah (1 Ha) Milik
10281600
b. Bangunan Pabrik
34000000
Gudang
17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600
Motor
14823450
e. Baut
1864038
f. Ketel Stainless h. Bak Pendingin
4500000 248461538
k.Tungku
3500000
l. Tangki
2092308
m. Pipa
1310423
o. Drum 50 Kg Total Investasi Biaya Operasional a. Biaya Variabel
1864038
110769231
i. Blander
n. Timbangan
2
8
248461538 2092308 1310423
1310423
598500
598500
277000
277000
506060535
277000
277000 1310423
277000
277000 253016385
1587423
3247680285
149
Tenaga Kerja/suling
83245292.31
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
942450
950690
950690
950690
950690
950690
950690
942450
Biaya Bahan Bakar/suling
375906888
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
375906888
Biaya Bahan Baku/Suling
1650456567
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1650456567
2110551198
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2110551198
90385
90385
90385
90385
90385
90385
90385
14250
692308
692308
692308
692308
692308
692308
692308
579286
782692
782692
782692
782692
782692
782692
782692
593536
Total Biaya Operasional
2111333890
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2111144733
TOTAL OUTFLOW
2617394424
2268677677
2268954677
2269988100
2268954677
2521694062
2270265100
2111144733
Net Benefit
438795246
1071420323
1071143323
1070109900
1071143323
818403938
1069832900
1136535552
0.93
0.86
0.79
0.74
0.68
0.63
0.58
0.54
406291894
918570235.7
850308104.5
786562722.2
729002147.2
515733304.5
624237221.6
614034795
Biaya Transportasi/tahun
Total Biaya Variabel
83245292.31
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Listrik/tahun Total Biaya Tetap
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+)
5,444,740,424.78
PV biaya (-) NPV IRR Net B/C Pay Back Period
5,444,740,424.78
150
Lampiran 14. Penyulingan Kondisi Gabungan Rendah No
Keterangan
A
INFLOW
1
Penjualan Minyak Akarwangi
2
Nilai Sisa
B
OUTFLOW
1
Investasi
Tahun 1
2
1105255768
1207929801
3 1207929801
4 1207929801
5 1207929801
6 1207929801
7 1207929801
1105255768 191490615
TOTAL INFLOW
1105255768
1207929801
1207929801
1207929801
1207929801
1207929801
1207929801
a. Tanah (1 Ha) Milik
10281600
b. Bangunan Pabrik
34000000
Gudang
17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600
Motor
14823450
e. Baut
1864038
f. Ketel Stainless h. Bak Pendingin
4500000 248461538
k.Tungku
3500000
l. Tangki
2092308
m. Pipa
1310423
o. Drum 50 Kg Total Investasi Biaya Operasional a. Biaya Variabel
1864038
110769231
i. Blander
n. Timbangan
2
8
248461538 2092308 1310423
1310423
598500
598500
277000
277000
506060535
277000
277000 1310423
277000
277000 253016385
1587423
1296746383
151
Tenaga Kerja/suling
83245292.31
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
83973120
942450
950690
950690
950690
950690
950690
950690
942450
Biaya Bahan Bakar/suling
375906888
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
379193505.6
375906888
Biaya Bahan Baku/Suling
1650456567
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1803777669
1650456567
2110551198
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2267894985
2110551198
90385
90385
90385
90385
90385
90385
90385
14250
692308
692308
692308
692308
692308
692308
692308
579286
782692
782692
782692
782692
782692
782692
782692
593536
2111333890
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2268677677
2111144733
Biaya Transportasi/tahun
Total Biaya Variabel
83245292.31
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Listrik/tahun Total Biaya Tetap Total Biaya Operasional TOTAL OUTFLOW
2617394424
2268677677
2268954677
2269988100
2268954677
2521694062
2270265100
2111144733
Net Benefit
-1512138657
-1060747876
-1061024876
-1062058299
-1061024876
-1313764261
-1062335299
-814398350
0.93
0.86
0.79
0.74
0.68
0.63
0.58
0.54
-1400128386
-909420332.7
-842275755.1
-780644555.3
-722115702.3
-827894333.9
-619862443.6
-439994088
Discount factor (8%) PV/ tahun PV benefit (+) PV biaya (-)
(6,542,335,596.56)
NPV
(6,542,335,596.56)
IRR Net B/C Pay Back Period
0.00
152
153
152 Lampiran 15. Tingkat Risiko Produksi, Harga, Dan Gabungan Pada Penyulingan Minyak Akarwangi Penyulingan a. Risiko Produksi
Probability
NPV
Tertinggi
0.11
5444347783
598878256.2
Normal
0.72
1030118305
741685179.2
Terendah
0.17
-6541810587
-1112107800
0.11
5215892148
5215892148
2.72055E+18
0.72
801662669
801662669
4.62717E+17
0.17
-6770266223
-6770266223
8.25057E+18
NPV yang diharapkan
228455635.6
Deviasi Standar
1.14338E+19 3376388603 Koefisien Variasi b. Risiko Harga
14.77918719 Probability
NPV
Tertinggi
0.11
3003820064
330420207
Normal
0.72
1030118305
741685179
Terendah
0.17
-226472782
NPV yang diharapkan
-38500373 1033605013
Deviasi Standar
0.11
1970215050
1970215050
3.88175E+17
0.72
-3486708.764
-3486708.764
8.75314E+12
0.17
-1260077795
-1260077795
2.85803E+17 6.73987E+17
820365772 Koefisien Variasi c. Risiko produksi dan harga output
0.793693685 Probability
NPV
Tertinggi
0.11
5444740425
598921447
Normal
0.72
1030118305
741685179
Terendah
0.17
-6542335597
-1112197051
NPV yang diharapkan Deviasi Standar
228409575 0.11
5216330850
5216330850
2.72101E+18
0.72
801708730
801708730
4.62771E+17
0.17
-6770745171
-6770745171
8.25174E+18 1.14355E+19
3382306905 Koefisien Variasi
14.80807848