ANALISIS KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA BELIMBING DEWA PADA KONDISI RISIKO DI KOTA DEPOK
SKRIPSI
ALWIYAH H34070054
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
RINGKASAN ALWIYAH. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Belimbing Dewa pada Kondisi Risiko di Kota Depok. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakulras Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan TINTIN SARIANTI). Komoditas hortikultura (tanaman buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman biofarmaka) menjanjinkan prospek yang besar untuk dikembangkan. Hal ini terkait dengan banyaknya varietas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi apabila dikelola secara tepat. Fungsi utama tanaman hortikultura bukan hanya sebagai bahan pangan tetapi juga terkait dengan kesehatan. Hal ini akan memberikan dampak peningkatan jumlah konsumsi buah yang sangat besar dimasa yang akan datang. Kota Depok merupakan salah satu kota yang memiliki letak sangat strategis untuk dijadikan sebagai salah satu sentra holtikultura. Buah belimbing adalah salah satu jenis hortikultura (buah) yang diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan masyarakat akan vitamin, serta dan mineral. Belimbing Manis Depok dengan varietas Dewa sudah cukup dikenal masyarakat. Dengan warna buah yang kuning kemerahan, buah yang besar dan rasa manis nampaknya cukup banyak diminati pasar. Selain itu, pemerintah Depok sejak tahun 2006 juga telah mencanangkan komoditas belimbing dewa sebagai icon Kota depok. Pengembangan belimbing di Kota Depok saat ini tidak lagi bersifat ekstensifikasi mengingat keterbatasan lahan, tetapi lebih difokuskan pada pola intensifikasi dengan perbaikan pola produksi melalui SOP. Dalam melakukan investasi di pembudidayaan belimbing Dewa ini,melalui SOP maupun tidak, modal yang diperlukan tidaklah kecil. Sehingga perlu dilihat sejauh mana usaha melalui pengembangan ini layak atau tidak untuk diusahakan atau dilanjutkan pada usaha budidaya belimbing dewa yang telah ada dan selanjutnya dikembangkan menjadi agribisnis perkotaan. Penentuan kelayakan dari suatu usaha dilakukan melalui analisis-analisis lebih mendalam terhadap berbagai aspek yang terkait. Menurut Nurmalina, dkk (2009), terdapat beberapa aspek utama yang harus dianalisa, yaitu aspek : pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosialekonomibudaya,lingkungan, serta finansial yang dilakukan melalui perhitungan criteria investasi. Usaha budidaya belimbing dewa merupakan salah satu usaha yang rentan terhadap risiko, baik itu risiko harga output serta risiko produksi dari output yang dihasilkan. Risiko ini dapat mempengaruhi kelayakan dari usaha budidaya belimbing dewa, sehingga perlu dimasukkan kedalam perhitungan secara finansial, yakni dengan melakukan analisis skenario. Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek nonfinansial menunjukkan bahwa usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok layak untuk dijalankan. Pada aspek pasar, peluang petani yang memeberlakukan SOP untuk memasarkan outputnya masih terbuka, hal ini dikarenakan semakin tigginya jumlah permintaan belimbing. Berdasarkan aspek teknis, usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP dapat meningkatkan jumlah produksi petani. Pada aspek manajemen dan hukum, struktur organisasi masih sangat sederhana , namun proses produksi masih dapat ii
dijalankan dengan baik. Usaha budidaya belimbing dewa di Kota Depok tergabung dalam kelompok tani-kelompok tani yang ada dan telah memiliki legalitas dari pemerintahan setempat. Aspek sosial-ekonomi-budaya dari usaha budiday belimbing dewa memberikan dampak positif dimana usaha ini menguntungkan bagi masyarakat sekitar. Pada aspek lingkungan, usaha budidaya ini juga menunjukkan kelayakan karena dengan adany usaha budidaya belimbing dewa dapat mengurangi pemanasan global dan sebagai penghijauan serta resapan air. Usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok secara finansial layak untuk dijalankan. Hal ini sesuai dengan kriteria kelayakan investasi NPV ≥ 0, IRR ≥ Discount Rate (6,75%) dan Net B/C ≥ 1. Berdasarkan kriteria investasi pada kondisi normal, nilai NPV menunjukkan Rp 694.054.839,45 yang berarti usaha ini memberikan manfaat bersih sebesar Rp 694.054.839,45 selama umur usaha. Sementara nilai IRR 23,97% yang menunjukkan besarnya pengembalian dari penanaman modal untuk investasi sebesar 23,97 dari modal yang diinvestasikan. Net B/C sebesar 2,91 dimana setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan akan memberikan manfaat sebesar 2,91 satuan. Waktu pengembalian selama enam tahun sembilan bulan694.054.839,45. Dampak adanya risiko volume produksi dan risiko harga output pada usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan SOP di Kota Depok terhadap kelayakan usaha yaitu pada setiap kondisi, usaha tetap layak untuk dijalankan secara finansial. Hal ini dilihat dari kriteria investasi dari masig-masing skenario risiko. Sementara itu, tingkat risiko tertinggi terdapat pada risiko produksi dengan nilai koefisien variasi sebesar 0,571 sementara risiko harga memiliki nilai koefisien variasi yang lebih kecil yakni 0,279.
iii
ANALISIS KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA BELIMBING DEWA PADA KONDISI RISIKO DI KOTA DEPOK
ALWIYAH H34070054
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
iv
Judul Skripsi : Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Belimbing Dewa padaKondisi Risiko di Kota Depok Nama
: Alwiyah
NRP
: H34070054
Menyetujui, Pembimbing
Tintin Sarianti, SP, MM NIP. 19750316 200501 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Belimbing Dewa Pada Kondisi Risiko Di Kota Depok” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2011
Alwiyah H34070054
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 15 November 1989. Penulis adalah anak pertaman dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Muchsin Al Masyhur dan Ibunda Aminah Aljufri. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Islam PB Soedirman, Jakarta Timur pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis menempuh pendidikan menengah pertama di SMP Islam PB Soedirman Jakarta Timur pada program akselerasi dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan lanjutan menengah atas ditempuh penulis di SMA Islam Al Azhar 1 Jakarta Selatan dan diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima pada Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dengan sistem mayor minor. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis pada Departemen Money Hunting Departement (MHD) periode 2009-2010, pengurus HMI Cabang Bogor Komisariat FEM sebagai Kepala Bidang Keperempuanan periode 2009/2010, sebagai Sekretaris Umum Periode 2010/2011 semester 1 kepengurusan serta pengurus HMI Cabang Bogor sebagai Wakil Bendahara Umum pada periode 2010/2011 semester 2 kepengurusan. Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan baik dilingkungan departemen, fakultas dan IPB.
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Belimbing Dewa pada Kondisi Risiko di Kota Depok”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP , baik secara finansial ataupun non finansial. Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun kearah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juli 2011
Alwiyah
viii
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmatNya serta jalan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan, serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Bapak Muchsin Al Masyhur dan Ibu Aminah selaku orang tua penulis atas cinta dan kasih sayang, serta dukungan dan doa baik berupa moral maupun material selama ini. Dola, Ading dan Ahmad sebagai adik penulis serta keluarga besar penulis atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama ini. 2. Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu, motivasi, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Narni selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji dari wakil Departemen Agribisnis atas segala kritik dan saran yang telah diberikan. 5. Febriandini Harvina Suci selaku pembahas seminar, terima kasih atas masukan dan dukungan yang diberikan saat penyusunan skripsi ini. 6. Bapak Yoyoh selaku Ketua BPP Kota Depok atas kesempatan,izin serta informasi penelitian yang diberikan. 7. Bapak Abdul, Bapak Mahmud, Bapak Kholidin, Bapak Musa, Bapak Arnalih, Bapak Asmawih, Bapak H. Nur dan Bapak selaku petani yang telah bersedia untuk menjadi responden pada penelitian ini. 8. Pihak Dinas Pertanian Kota Depok,Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Beji, Kecamatan Sawangan, Kelompok Tani Rangkapan Jaya Baru, Kelompok Tani Mekar Bersama dan Kelompok Tani atas informasi yang diberikan kepada penulis berkaitan dengan penyusunan skripsi ini. 9. Dr. Ir. Popong Nurhayati selaku dosen pembimbing akademik penulis atas bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis.
ix
10. Ibu Ida, Mbak Dian, Mas Arif serta seluruh staf tata usaha Departemen Agribisnis atas kemudahan dan bantuan selama penyusunan skripsi ini serta masa perkuliahan. 11. Seluruh staf pengajar Departemen Agribisnis atas ilmu dan pengalaman yang diberikan selama perkuliahan. 12. Teman-teman satu bimbingan skripsi Abed Nego, Shinta, dan Farhan atas kerjasama dan dukungan selama penyelesaian skripsi ini. 13. Tim Gladikarya Desa Bendungan: Risa, Cher, Arif dan Septian atas kebersamaan dan pengalaman berharga selama menjalankan kegiatan gladikarya. 14. Sahabat penulis selama kuliah yang telah mengisi hari-hari penulis dan selalu ada dalam suka maupun duka, Muthi, Anita, Wima, Zafira, Eva, Atis, Lele, Cher. Fahri, Arya, Ismet, Faiz, Awe yang selalu membuat suasana menyenangkan. 15. Bang Ilham, Bang Gandhi, Bang Cupi, Bang Refli, Bunda, Teh Riska, Mba Leni yang telah mengisi hari-hari penulis dan teman diskusi serta tukar pikiran 16. Teman-teman HMI Cabang Bogor dan KOHATI Cabang Bogor, Fadli, Deo, Iham, Yudhis, Fazmi, Riza, Martha, Pipit, Kak Nahrul, Mba Reni, Mega, Kokom dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu-satu atas ilmu-ilmu, dukungan serta pengalaman selama ini. 17. Teman-teman seperjuangan di Agribisnis 44, serta HIPMA periode 20092010 atas semangat dan sharing selama perkuliahan hingga penulisan skripsi ini. 18. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan penulis satu per satu, terima kasih atas bantuannya.
Bogor, Juli 2011
Alwiyah
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................
xv
I
PENDAHULUAN ............................................................ 1.1. Latar Belakang ............................................................ 1.2. Perumusan Masalah .................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................ 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...........................................
1 1 4 6 7 7
II
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................
8
2.1. Belimbing ................................................................... 2.1.1. Jenis Belimbing ............................................ 2.1.2. Syarat Tumbuh Belimbing ............................ 2.1.3. Manfaat Belimbing ....................................... 2.1.4. Budidaya Belimbing ..................................... 2.1.5. Tanaman dan Pascapanen Belimbing ............ 2.2. SOP Budidaya Belimbing Dewa Kota Depok .............. 2.3. Tinjauan Studi Terdahulu ............................................ 2.2.1. Penelitian Mengenai Belimbing .................... 2.2.2. Penelitian Mengenai Studi Kelayakan Usaha dan Analisi Risiko ...........
8 8 10 11 11 12 13 14 14
KRANGKA PEMIKIRAN ..............................................
22
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ....................................... 3.1.1. Studi Kelayakan ............................................ 3.1.2. Investasi 3.1.3. Manfaat dan Biaya ........................................ 3.1.4. Analisis Non Finansial .................................. 3.1.5. Analisis Finansial ......................................... 3.1.6. Risiko dengan Analisis Skenario ................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................
22 22
METODE PENELITIAN ................................................
33
4.1. Lokasi dan Waktu ....................................................... 4.2. Data dan instrumentasi ................................................ 4.3. Metode Pengumpulan Data ......................................... 4.4. Metode Pengolahan Data ............................................ 4.4.1. Ananlisis Kelayakan Non Finansial .............. 4.4.2. Ananlisis Kelayakan Finansial ...................... 4.4.3. Komponen Biaya dan Manfaat ...................... 4.4.4. Kriteria Investasi .......................................... 4.4.5. Penilaian Risiko dalam Investasi ................... 4.5. Asumsi Dasar ..............................................................
33 33 33 34 34 35 35 35 37 40
III
IV
16
24 26 28 29 30
xi
V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............
42
5.1. Profil Kota Depok ....................................................... 5.2. Kecamatan Pancoran Mas ........................................... 5.3. Kecamatan Sawangan ................................................. 5.4. Kecamatan Beji ........................................................... 5.5. Gambaran Umum Usaha Budidaya Belimbing Dewa .........................................................
42 43 44 45
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................
49
6.1. Analisis Aspek Non Finansial ..................................... 6.1.1. Aspek Pasar .................................................. 6.1.2. Aspek Teknis ................................................ 6.1.3. Aspek Manajemen dan Hukum ..................... 6.1.4. Aspek Sosial-Ekonomi-Budaya .................... 6.1.5. Aspek Lingkungan ........................................ 6.2. Analisis Aspek Finansial ............................................. 6.2.1. Analisis Finansial Usaha Budidaya Belimbing dewa dengan Pengembangan Melalui SOP Tanpa Risiko ........................... 6.2.2. Kelayakan Investasi Usaha Budidaya Belimbing Dewa dengan Pengembangan Melalui SOP Pada Kondisi Tanpa Risiko ...... 6.3. Risiko Usaha ............................................................... 6.3.1. Risiko Produksi ............................................ 6.3.2. Risiko Harga ................................................. 6.3.3. Penilaian dan Perbandingan Risiko ...............
49 49 53 67 69 70 70
PENUTUP ........................................................................
92
7.1. Kesimpulan ................................................................. 7.2. Saran .......................................................................... DAFTAR PUSTAKA ..................................................................
92 93 95
LAMPIRAN ................................................................................
97
VI
VII
47
71
81 83 83 87 89
xii
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3.
Halaman Rata-rata Konsumsi per Kapita Menurut Makanan 2003-2009 ........................................... Perkembangan Produksi Hortikultura Unggulan Kota Depok Tahun 2003-2008 .........................................
1 3
Varietas dan Karakteristik Belimbing Manis Unggul Di Indonesia ....................................................................
9
Kandungan Nutrisi (Gizi) Belimbing dalam 100 gram Belimbiing Masak Segar .................................................
11
Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Pancoran Mas Tahun 2008 ......................................................................
44
Produktivitas Belimbing Dewa Berdasarkan Umur Belimbing di Kota Depok .................................................
47
Perkembangan Produksi Belimbing Dewa Kota Depok Tahun 2003-2008 ..........................................
50
Dosis Pupuk Kandang dan NPK pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa di Kota Depok .......................................
58
Ciri-ciri Indeks Kematangan Buah Belimbing Dewa di Kota Depok ..................................................................
63
10. Biaya investasi Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP pada Kondisi Tanpa Risiko per 62 Pohon ....
72
11. Umur Teknis dari Investasi yang Ditanamkan dalam Usaha Budidaya Belimbing Dewa Kota Depok melalui SOP .......
73
12. Biaya Re-Investasi yang Diperlukan pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa melalui SOP di Kota Depok ..................
75
13. Nilai Penyusutan dari Barang Investasi Setiap Tahun .......
76
14. Biaya Tetap yang Dikeluarkan pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa Kota Depok Melalui SOP per 62 Pohon
77
15. Biaya Variabel yang Dikeluarkan pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa Kota Depok Melalui SOP per 62 Pohon .
78
16. Nilai Output Produksi Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP per 62 Pohon (Rp) .......................................
80
17. Salvage Value Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP .....................................................................
81
18. Hasil Perhitungan Kriteria Investasi Usaha Budidaya Belimbing Dewa pada Kondisi Tanpa Risiko ....................
82
4. 5. 6. 7. 8. 9.
xiii
19. Kondisi Tiga Skenario Risiko Produksi yang Terjadi pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP ...............
84
20. Penerimaan Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP Pada Kondisi Risiko Produksi ..........................................
85
21. Kriteria Investasi pada Kondisi Risiko Produksi ...............
86
22. Harga Output Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP Pada Setiap Kondisi .........................................................
87
23. Penerimaan Belimbing Dewa pada Kondisi Risiko Harga .
88
24. Kriteria Investasi pada Skenario Risiko Harga ..................
88
25. Probabilitas yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Produksi ................................................................
89
26. Probabilitas yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Harga ....................................................................
89
27. Perbandingan Risiko dalam Investasi Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP ..........................................
90
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor
...................................................................................
Halaman
1.
Kerangka Pemikiran Operasional .....................................
32
2.
Saluran Pemasaran Belimbing Dewa Kota Depok .............
51
3.
Proses Teknik Budidaya Belimbing Dewa Sesuai SOP .....
56
4.
Pola Jarak Tanam Belimbing ............................................
57
5.
Pohon Belimbing Dewa ...................................................
57
6.
Proses Pemupukan Belimbing Dewa Sesuai SOP .............
58
7.
Tanaman yang Terkena HPT ............................................
60
8.
Proses Pembungkusan Buah Belimbing Dewa ..................
61
9.
Pembungkus Buah Belimbing Dewa .................................
62
10. Belimbing Dewa yang Siap Panen ...................................
63
11. Kegiatan Pemangkasan .....................................................
64
12. Struktur Organisasi Usaha Budidaya Belimbing ...............
68
xv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor ...............................................................................
Halaman
1.
Peta Kota Depok ........................................................
98
2.
Kuisioner Petani ........................................................
99
3.
Perhitungan Penyusutan Per Tahun Dari Investasi .....
112
4.
Proyeksi Laporan Laba Rugi Usaha Budidaya Belmbing Dewa melalui SOP di Kota Depok Tanpa Risiko (normal) ..............................................
113
Cash Flow Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP di Kota Depok Tanpa Risiko (Normal)
115
6.
Laba Rugi Risiko Produksi Kondisi Tertinggi ...........
118
7.
Cash Flow Risiko Produksi Tertinggi .......................
120
8.
Laba Rugi Risiko Produksi Kondisi Terendah ..........
123
9.
Cah Flow Risiko Produksi Kondisi Terendah ............
125
10. Laba Rugi Risiko Harga Kondisi Tertinggi ...............
128
11. Cah Flow Risiko Harga Kondisi Teretinggi ..............
130
12. Laba Rugi Risiko Harga Kondisi Terendah ...............
133
13. Cash Flow Risiko Harga Kondisi Terendah ..............
135
14. Peta Penggunaan Lahan Kelurahan Pasir Putih .........
138
5.
15. Surat Keputusan Legalitas Kelompok Tani RJB Rawadenok ........................................................
139
xvi
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Komoditas hortikultura (tanaman buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan
tanaman biofarmaka) menjanjinkan prospek yang besar untuk dikembangkan. Hal ini terkait dengan banyaknya varietas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi apabila dikelola secara tepat.
Dengan kemajuan
pendidikan,
untuk
peningkatan
pemenuhan
kesehatan
perekonomian, dan
lingkungan
menyebabkan permintaan akan produk hortikultura semakin meningkat. Sektor hortikultura khususnya komoditas unggulan jika dinilai dari sisi ekonomi mempunyai nilai tambah yang berpengaruh pada nilai jual yang tinggi. Oleh sebab itu, jika dikelola dengan serius, efektif serta memiliki nilai kompetitif, sektor ini berpotensi untuk dikembangkan dalam tatanan agribisnis. Sektor ini juga merupakan salah satu sub sektor pertanian yang mampu meningkatkan income petani. Konsumsi hortikultura (buah-buahan dan sayuran)per kapita per tahun dari tahun 2006 ke 2009 cenderung terus meningkat (Tabel 1). Fungsi utama tanaman hortikultura bukan hanya sebagai bahan pangan tetapi juga terkait dengan kesehatan. Tabel 1. Rata-rata Konsumsi per Kapita Menurut Kelompok Makanan 2003-2009 Komoditi 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sayur-sayuran
40,95
38,80
38,72
40,02
46,39
45,46
38,95
Buah-buahan
42,75
41,61
39,85
36,95
49,08
48,01
39,04
Ikan
46,91
45,05
47,59
44,56
46,71
47,64
43,52
Daging
41,71
39,73
41,45
31,27
41,89
38,6
35,72
Umbi-umbian
55,62
66,91
56,01
51,08
52,49
52,75
39,97
Telur dan Susu
37,83
40,47
47,17
43,35
56,96
53,60
51,59
Sumber: BPS 2011
Sesuai dengan anjuran FAO, untuk mencapai kecukupan gizi, ditargetkan rata-rata konsumsi buah per kapoita penduduk Indonesia mencapai 60 kg per kapita per tahun. Senada dengan hal tersebut, Dirjen Hortikultura, Departemen Pertanian RI juga menargetkan pada tahun 2014 konsumsi buah mencapai 200 1
gram per kapita per hari. Hal ini akan memberikan dampak peningkatan jumlah konsumsi buah yang sangat besar dimasa yang akan datang. Kota Depok merupakan salah satu kota yang memiliki letak sangat strategis untuk dijadikan sebagai salah satu sentra hortikultura. Letak geografis Kota Depok berada pada 6.19°-6.38° LS dan 106.43° BT. Depok merupakan daerah bentangan dengan dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50-140 m diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen. Kondisi lahan Kota Depok juga merupakan tanah yang cukup subur. Kota Depok berdekatan dengan DKI Jakarta berdampak pada perkembangan Kota Depok yang cukup pesat. Arahan strategi pembangunan pertanian perKotaan Kodya Depok adalah pengembangan agribisnis perKotaan yang memiliki daya saing dan memiliki nilai tambah yang didukung oleh sumber daya daerah dan pemanfaatan teknologi. Pembanguan pertanian Kota Depok juga diarahkan untuk memelihara dan mengupayakan peningkatan ketersediaan dan keamanan pangan khususnya mengantisipasi kompetisi dan diversifikasi permintaan pasar yang selalu menuntut mutu dan keamanan produk.(Dinas Pertanian Kota Depok, 2007) Perkembangan produksi hortikultura Kota Depok antara tahun 2003-2009 terlihat cenderung berfluktuasi. Tidak seluruh tanaman memiliki trend positif. Dari sekian banyak jenis tanaman (lebih dari 30 tanaman) hanya sekitar 12 tanaman yang mempunyai trend positif. Untuk perkembangan produksi hortikultura Kota Depok dapat diamati pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa perkembangan produksi komoditas belimbing meningkat tajam dibandingkan dengan komoditas hortikultura lainnya. Belimbing manis Depok dengan varietas Dewa sudah cukup dikenal masyarakat. Dengan warna buah yang kuning kemerahan, buah yang besar dan rasa manis nampaknya cukup banyak diminati pasar. Menurut dinas pertanian Kota depok, tingginya tingkat pertumbuhan produksi buah belimbing, disebabkan beberapa hal. Pertama, belimbing manis merupakan salah satu jenis tanaman potensial yang mudah dibudidayakan. Kedua, terjadinya alih fungsi lahan yang sebelumnya merupakan usaha tani sawah dan sayuran, beubah menjadi perkebunan belimbing manis. 2
Tabel 2. Perkembangan Produksi Hortikultura Unggulan Kota Depok Tahun 2003-2009 No
Komoditi
Tahun(KW) 2003
2004
2005
2006
2007
2008
1
Belimbing
6.062
6.962
50.514
40.473
35.956,30
42.732
2
Jambu Biji
11.503
11.053
35.795
31.766
11.621
33.213
3
Pisang
17.064
17.064
20.778
37.546
22.920
12.253
4
Pepaya
15.580
17.064
20.778
37.546
5
Rambutan
28.028
12.762
25.883
12.769
23.007,5
20.252
6
Mangga
2.290
2.291
4.342
1.798
378,5
2.842
7
Nangka
16.525
22.537
17.980
6.909
1.168,5
2.879
18.934
Sumber: Dinas Pertanian Kota Depok, 2009
Ketiga, tingginya pertumbuhan belimbing varietas dewa khas Depok, juga didukung dengan keputusan Wali Kota Depok No. 18 tahun 2003 yang memuat antara
lain:
1)
peningkatan produktivitas
pertanian.
2)
pengembangan
kelembagaan pertanian. 3) peningkatan pemasaran produk. 4) peningkatan pelayanan sektor pertanian. 5) pengembangan potensi unggulan pertanian pada tingkat pencapaian target satu produk potensial berkembang. Faktor terakhir yang juga berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan belimbing manis adalah karena adanya pergeseran pemahaman konsumen yang menjadikan buah ini bukan saja sebagai buah meja melainkan diminati karena khasiatnya. Konsumen buah belimbing manis rata-rata adalah golongan ekonomi menengah keatas. Ditambah lagi seiring waktu, semakin banyak jenis belimbing olahan yang tersedia dipasaran. Faktor-faktor diatas menjadikan Kota Depok sebagai sentra produksi belimbing manis nomor satu di indonesia pada tahun 2005 dan merupakan salah satu buah tropika unggulan nusantara. Selain itu, pemerintah Depok sejak tahun 2006 juga telah mencanangkan komoditas Belimbing dewa sebagai icon Kota Depok. Berkenaan dengan pencanangan komoditas Belimbing dewa sebagai icon Kota Depok diperlukan adanya kajian terhadap kelayakan usaha Belimbing dewa sehingga mampu menarik minat para petani/produsen untuk memasuki usaha ini. 3
Namun demikian, dalam melaksanakan budidaya Belimbing dewa sehingga mampu dijadikan sebagai icon Kota Depok tidak terlepas dari munculnya risiko yang harus dihadapi oleh para pelaku bisnis budidaya belimbing Dewa. Risiko yang ada dapat berupa risiko harga dari output serta risiko produksi dari output yang dihasilkan. Risiko ini dapat mempengaruhi kelayakan dari usaha budidaya belimbing dewa. Berdasarkan hal tersebut, sebelum kegiatan usaha ini dilakukan maka perlu dilakukan analisis kelayakan usaha baik secara non finansial maupun finansial yang melibatkan unsur-unsur ketidakpastian yang mungkin terjadi dengan memasukkan risiko kedalam analisis kelayakan finansial. 1.2.
Perumusan Masalah Secara global perkiraan permintaan belimbing manis setiap tahun
diperkirakan akan meningkat. Besar peningkatannya adalah sekitar 6.1 persen per tahun (1995-2000); 6.5 persen per tahun (2000-2005); 6.8 persen pertahun (20052010); dan mencapai 8.9 persen pertahun (2010-2015). Hal ini menunjukkan bahwa prospek agribisnis belimbing manis sangat cerah jika dikelola secara intensif dan komersial. Untuk permintaan pasar lokal khususnya konsumen DKI Jakarta diperkirakan mencapai 4000-4500 ton per tahun. Belum lagi kebutuhan kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya, Medan, Batam dan lainnya. Namun demikian, hingga saat ini kemampuan produksi buah belimbing Kota Depok hanya berkisar 2800-3000 ton per tahun.(Dinas Pertanian Kota depok,2007) Didalam pencapaian target pemenuhan pangsa pasar dan pelaksanaan program pembangunan pertanian tersebut, Dinas Pertanian Kota Depok melakukan Program Kegiatan Pengembangan Komoditas (KPK) Belimbing sebagai Icon Kota Depok, yang merupakan kegiatan dimana outputnya adalah meningkatnya populasi yang ditanam, peningkatan produksi dan produktivitas serta peningkatan income petani pemula dan petani produktif. Sebagai sebuah komoditas unggulan Kota Depok, pengembangan belimbing dewa juga dihadapi berbagai masalah dalam pelaksanaan. Masalah fluktuasi harga yang terjadi pada saat penjualan hasil produksi merupakan permasalahan yang terkait dengan suatu faktor ketidakpastian yang harus diterima oleh petani. Hal ini terjadi karena faktor harga bergantung kepada fluktuasi 4
penawaran dan permintaan akan hasil produk. Faktor ketidakpastian ini sangat berpengaruh besar dalam kelayakan pembudidayaan belimbing dewa Kota Depok. Selain itu produksi belimbing yang sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan angin juga merupakan suatu faktor ketidakpastian dimana ketika terdapat banyak angin banyak bunga bahkan buah yang rontok. Kondisi permasalahan yang lain yaitu ancaman berkurangnya pasokan belimbing dari Kota Depok yang merupakan akibat dari perubahan fungsi lahan untuk kegiatan properti, proyek sutet, rencana pelebaran jalan protokol, dan pembuatan jalan tol. Hampir sebagian besar lahan proyek dan kegiatan tersebut, kebanyakan merupakan alih fungsi lahan yang sebelumnya merupakan lahan pertanian atau perkebunan. Hal ini pula yang menjadikan komoditi belimbing di Kota Depok akan mengalami kesulitan dikembangkan secara baik. Pengembangan belimbing di Kota Depok saat ini tidak lagi bersifat ekstensifikasi mengingat keterbatasan lahan, tetapi lebih difokuskan pada pola intensifikasi dengan perbaikan pola produksi melalui SOP (Standar Operasional Prosedur). SOP yang dikeluarkan Dinas Pertanian Kota Depok ini berisikan teknik-teknik budidaya Belimbing Dewa yang dapat meningkatkan produksi dan mengantasi risiko serta lebih menguntungkan dari teknik budidaya yang ada selama ini. Selain dikarenakan keterbatasan lahan, pengembangan melalui SOP ini diterapkan karena hingga saat ini belum ada kepastian jumlah pasokan, jumlah riil produktivitas tanaman yang menghasilkan dan hal lainnya yang berhubungan dengan kualitas, kuantitas, dan kesinambungan komoditi yang diperdagangkan. Untuk jangka panjang kondisi seperti ini tidak menguntungkan. Dalam melakukan investasi di pembudidayaan belimbing dewa ini,melalui SOP maupun tidak, modal yang diperlukan tidaklah kecil. Sehingga perlu dilihat sejauh mana usaha melalui pengembangan ini layak atau tidak untuk diusahakan atau pada usaha budidaya belimbing dewa yang telah ada selanjutnya dapat dikembangkan menjadi agribisnis perkotaan. Penentuan kelayakan dari suatu usaha dilakukan melalui analisis-analisis lebih mendalam terhadap berbagai aspek yang terkait. Menurut Nurmalina, dkk (2009), terdapat berbagai aspek utama yang harus dianalisa, yaitu aspek: pasar, 5
teknis, manajemen dan hukum, sosial-ekonomi-budaya, lingkungan, serta finansial. Aspek pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosial-ekonomi-budidaya, serta lingkungan merupakan aspek non finansial yang akan dipaparkan secara deskriptif. Sedangkan aspek finansial akan dipaparkan secara kuantitatif. Adapun teknik yang digunakan untuk menilai kelayakan finansial adalah melalui perhitungan kriteria investasi tanpa memasukkan risiko serta untuk mengetahui sejauh mana pengaruh adanya perubahan komponen manfaat dan biaya dari usaha budidaya belimbing dewa terhadap kelayakan usaha, dilakukan analisis skenario dimana melibatkan unsur ketidakpastian dan risiko yang ada kedalam perhitungan secara finansial. Berdasarkan ulasan diatas, maka pembahasan akan dibatasi pada masalah: 1.
Bagaimana kelayakan usaha pembudidayaan belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok dilihat dari aspek non finansial?
2.
Bagaimana
kelayakan usaha pembudidayaan belimbing dewa dengan
pengembangan melalui SOP di Kota Depok secara finansial? 3.
Bagaimana dampak adanya risiko volume produksi dan harga terhadap kelayakan usaha pembudidayaan belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok secara finansial?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui apakah usaha pembudidayaan belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok layak diusahakan dilihat dari aspek non finansial.
2.
Menganalisis kelayakan finansial usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok.
3.
Menganalisis dampak adanya risiko volume produksi dan harga terhadap kelayakan usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok.
6
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai
pihak yang berkepentingan, yaitu : 1. Bagi penulis, nantinya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan berguna untuk mengembangkan daya analisis kelayakan finansial usaha berdasarkan konsep studi kelayakan usaha. 2. Bagi petani budidaya belimbing dewa, penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dalam melakukan pertimbangan usaha agar petani mencapai tujuan usaha yaitu memperoleh keuntungan yang maksimal. 3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan komoditi di era globalisasi dan berbasis pada ekonomi lokal pada khususnya dan pemberdayaan masyarakat dan sumberdaya yang tersedia pada umumnya, khususnya terkait dengan pengembangan komoditas belimbing manis secara komersial dimasa yang akan datang. 4. Bagi investor atau pembaca, hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi dalam mempertimbangkan penanaman modal pada usaha budidaya belimbing dewa. 5. Bagi akademisi, penelitian ini sebagai informasi dan bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup kajian kelayakan dari aspek non finansial maupun
finansial usaha budidaya belimbing dewa yang menerapkan SOP (Standar Operasional Prosedur) dengan memasukkan unsur risiko dan ketidakpastian berupa risiko produksi dan risiko harga dalam analisis. Penelitian dilakukan hanya di 3 kecamatan di Kota Depok yaitu kecamatan sawangan, Pancoran Mas dan Beji. Hal ini dikarenakan 3 kecamatan tersebut memiliki produktivitas dan luas lahan belimbing manis yang lebih tinggi dibandingkan dengan 3 kecamatan lain seperti Limo, Cimanggis, dan Sukmajaya yang juga merupakan sentra produksi belimbing di Kota Depok. Sehingga daerah ini memiliki potensi lokasi yang baik untuk mengembangkan agribisnis tanaman belimbing dewa. 7
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Belimbing
2.1.1. Jenis Belimbing Belimbing dibedakan menjadi dua macam yaitu Belimbing Asam/Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dan Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.). Keduanya termasuk dalam keluarga Oxalidaciae marga Averrhoa. Tanaman ini merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Malaysia, kemudian menyebar luas ke berbagai negara yang beriklim tropis lainnya termasuk Indonesia. Meskipun belimbing bukan tanaman asli Indonesia, belimbing sudah sangat lama berkembang di Indonesia. Pada tahun 1993 malaysia mampu mengekspor buah belimbing segar sebanyak 10,220 mt (metrik ton) senilai 2 milyar rupiah yang dipasok ke Hongkong, Singapura, Taiwan, Timur Tengah dan Eropa Barat1. Belimbing Wuluh buahnya berbentuk bulat lonjong sebesar ibu jari tangan dan rasanya sangat asam, biasanya digunakan sebagai penyedap masakan. Belimbing manis memiliki bentuk seperti bintang, berlekuk-lekuk jika dilihat dari penampang melintangnya dan permukaannya licin seperti lilin. Belimbing Manis merupakan salah satu jenis buah tropika yang sangat digemari konsumen. Definisi buah belimbing manis segar menurut Standar Nasional Indonesia adalah buah dari tanaman belimbing dalam tingkat ketuaan optimal, utuh, segar, aman bagi manusia dan bebas OPT (Organisme Penggangu Tanaman). Daerah sentra produksi belimbing yaitu Jawa Timur (Blitar), Jawa Tengah (Jepara,Demak), Jawa Barat (Depok), DKI Jakarta (Jakarta Selatan), Sumatera Utara (Deli Serdang) (Dinas Pertanian Kota Depok,2008). Di Indonesia dikenal cukup banyak ragam varietas belimbing dan beberapa diantaranya termasuk varietas belimbing unggulan. Jenis belimbing manis yang tergolong unggul dapat dilihat pada Tabel 3.
1
www.ristek.go.id
8
Tabel 3. Varietas dan Karakteristik Belimbing Manis yang tergolong Unggul di Indonesia Berat Buah Varietas Asal Ciri Khas (gram) Kunir
Demak
Kapur
Demak
Penang
Malaysia
Dewi Murni
Bekasi
Bangkok
Thailand
Sembiring
Sumatera Utara
Filipina
Filipina
Wulan
Pasar Minggu, Jakarta
Paris
Pasar Minggu, Jakarta
Dewa Baru
Depok
Kuning keemasan, aroma harum, kandungan air banyak Putih kekuningan, rasa manis sedikit asam, mengandung banyak air Kuning agak jingga, bentuk lonjong, rasa manis, kandungan air sedang Kuning kemerahan, rasa manis, kandungan air sedang Warna merah, rasa manis, agak kesat Kuning mengkilap, rasa sangat manis, kandungan air banyak Warna kuning, bentuk ujung buah lebih runcing, rasa manis, kandungan air banyak Merah mengkilap, bentuk bulat lonjong, tidak berserat, rasa manis, berdaging padat, kandungan air banyak Kuning kemerahan, belimbingan tipis, berdaging padat, rasa sangat manis, kandungan air sedikit Kuning kemerahan, bentuk buah lonjong, rasa manis, kandungan air banyak
200-300 200-400
250-350 200-500 150-200 300-450 400-600
300-600
120-230
300-450
Sumber : Pinus,1992
Belimbing varietas Dewa merupakan belimbing hasil persilangan belimbing varietas Dewi dan Bangkok. Belimbing Dewa adalah belimbing yang populer dan banyak diminati petani buah maupun kolektor tanaman buah-buahan. Hal ini disebabkan karena belimbing Dewa memiliki banyak kelebihan. Ukuran buahnya cukup besar dan panjang. Panjang buahnya dapat mencapai lebih dari 15cm dengan diameter lebih dari 10 cm. Berat rata-rata per buah adalah 200 hingga 250 gram, bahkan ada yang mencapai 500 gram.
9
Belimbing Dewa memiliki daging buah yang padat dan manis dengan sedikit kandungan air. Oleh karena itu, belimbing Dewa lebih tahan disimpan dalam waktu cukup lama pada suhu kamar. Selain itu, Belimbing Dewa mempunyai tajuk daun yang rimbun dan kemampuan berbuahnya cukup lebat. Oleh karena itu, jenis belimbing ini sangat bagus untuk ditanam dalam pot (tim penulis penebar swadaya, 1992). 2.1.2. Syarat Tumbuh Belimbing Tanaman belimbing dapat berbuah dengan baik jika memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi syarat tumbuh. Iklim merupakan salah satu faktor yang berperan penting pada keberhasilan budidaya belimbing manis. Secara umum belimbing dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis. Beberapa unsur iklim yang berpengaruh adalah curah hujan, sinar matahari, angin dan kelembaban. Curah hujan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman belimbing karena memberikan ketersediaan air. Selain itu perlu diperhatikan juga bahwa ketersediaan air jangan sampai berlebihan dan menggenangi tempat tumbuhnya tanaman. Hal itu bukan menambah kepesatan pertumbuhan, tetapi akan menyebabkan busuknya akar. Curah hujan yang terlalu tinggi akan merontokkan bunga dan buah belimbing. Tempat yang paling baik untuk tanaman belimbing adalah yang mendapat sinar matahari langsung. Lamanya penyinaran minimal tujuh jam tiap hari. Pohon belimbing
membutuhkan
lebih
banyak
sinar
matahari
dalam
masa
pertumbuhannya. Sinar matahari selain digunakan untuk memacu proses asimilasi, juga diperlukan untuk membantu pembentukan bunga dan buah (Pinus,1992). Tanaman belimbing dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika ditanam ditempat dengan ketinggian 0-500 meter diatas permukaan air laut. Faktor yang sangat menentukan pertumbuhan tanaman ini adalah keasaman tanah (pH tanah), derajat keasaman tanah untuk tanaman belimbing diantara 5,5 – 7,0. Kedalaman air tanah yang ideal untuk pertumbuhan belimbing antara 50-200 cm. Pada kondisi lahan tersebut, belimbing akan berbuah lebat dan memiliki rasa buah yang manis jika dibandingkan tanaman belimbing yang ditanam pada jenis tanah yang lain (Pinus, 1992). 10
2.1.3. Manfaat Belimbing Buah belimbing dimanfaatkan sebagai makanan dalam keadaan segar dan olahan. Produk makanan yang terbuat dari belimbing seperti jus, dodol, manisan, selai dan keripik. Bagian yang dapat dimakan dari buah belimbing 86 persen. Buah belimbing memiliki kelebihan dari rasanya yang manis, belimbing sering disebut sebagai buah pemberi kesegaran karena kadar airnya yang tinggi yaitu 90 gram per 100 gram buah, serta kandungan gizinya yang cukup baik (Sunarjono, 2004). Kandungan lengkap kadar gizi yang terdapat pada 100 gram belimbing masak segar dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Kandungan Nutrisi (Gizi) Belimbing dalam 100 gram Belimbing masak segar NO. Keterangan Nama Zat Kandungan 1.
Protein
0,50 gram
2.
Lemak
0,70 gram
3.
Karbohidrat
7,70 gram
4.
Kalsium
8,00 gram
5.
Fosfor
22,00 gram
6.
Serat
0,90 gram
7.
Besi
0,80 gram
8.
Vitamin A
18,00 RE
9.
Vitamin B1
0,03 miligram
10.
Vitamin B2
0,02 miligram
11.
Vitamin C
33,00 miligram
12.
Energi
35,00 kalori
Sumber : direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2007
2.1.4. Budidaya dan Perbanyakan Belimbing Manis Perbanyakan tanaman belimbing manis dapat dilakukan secara generatif (biji) dan vegetatif (okulasi dan sambungan). Perbanyakan tanaman belimbing secara generatif tidak dianjurkan untuk pengembangan produksi karena saat tumbuh, baru dapat berbuah setelah 3-4 tahun. Untuk pengembangan produksi dianjurkan menggunakan cara vegetatif yaitu melalui okulasi dan sambungan.
11
Usaha budidaya belimbing manis sangat ditentukan oleh kualitas bibit yang digunakan. Perlu diperhatikan juga bahwa tingkat kesuburan tanah, kondisi dan umur bibit, serta keadaan lingkungan sangat mempengaruhi penilaian bibit yang bersangkutan. Media bibit yang kurang subur misalnya, akan mempengaruhi warna dan ukuran daun. Suatu varietas dikatakan unggul jika produksinya tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Selain mampu beradaptasi pada lokasi baru dan tahan stress, varietas unggul memiliki tingkat ketahanan yang tinggi terhadap jenis penyakit. Penanaman dilakukan setelah melalui pengolahan lahan yang tepat, lubang tanam dibuat dengan ukuran 60 cm x 60 cm x 50 cm, dengan jarak antar lubang 6 m x 6 m. Jika tinggi bibit telah mencapai 50 – 100 cm maka bibit tersebut dapat ditanam dilahan yang telah disiapkan. Penanaman sebaiknya dilakukan menjelang musim hujan. Sebelum bibit ditanam, campurkan tanah dan media ditambah dahulu dengan pupuk organik NPK (15-15-15) sebanyak 200 – 250 gram per lubang sebagai dasar. Hal ini dilakukan agar daun dan akar pada bibit cepat tumbuh. Setelah tanaman berumur 3 bulan, pemupukan dilakukan kembali secara rutin yaitu setiap 3 bulan sekali. Adapun dosis pemberian pupuk berbeda-beda berdasarkan umur tanaman (Pinus, 1992). 2.1.5. Tanaman dan Pascapanen Belimbing Tanaman belimbing mulai dapat dipanen pada umur 2-3 tahun setelah ditanam. Waktu panen buah belimbing dalam setahun tiga kali, yaitu pada bulan Januari-Februari, Mei-Juni, September-Oktober. Setelah tanaman belimbing berbuah, pemupukan hanya diberikan dua kali, yaitu menjelang berbunga dan setelah akhir panen raya. Pemanenan belimbing tidak dilakukan sekaligus, tetapi secara bergiliran dan berulang-ulang. Hal tersebut disebabkan matangnya belimbing tidak berlangsung secara serempak. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam panen belimbing adalah masa panen yang tepat dan penanganan pascapanen, yaitu sortasi dan grading. Ciri-ciri buah yang siap untuk dipanen adalah buah berwarna kuning kehijauan.
12
2.2. SOP Budidaya Belimbing Dewa Kota Depok Buah belimbing yang merupakan salah satu jenis buah yang diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan masyarakat akan vitamin, serat dan mineral. Dari aspek kesehatan, belimbing dikenal memiliki khasiat sebagai buah penawar berbagai penyakit degeneratif seperti darah tinggi, asam urat dan lain-lain. Buah belimbing umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar, namun dapat pula dikonsumsi dalam bentuk olahan. Untuk konsumsi segar, konsumen menghendaki mutu buah yang prima pada saat akan dikonsumsi. Konsumen umumnya menentukan mutu buah berdasarkan kenampakkan (ukuran, warna, bentuk), kondisi (kesegaran, kerusakan), tekstur, rasa dan nilai nutrisi. Kesalahan-keslahan yang dapat menyebabkan kehilangan dan kerugian mutu produk belimbing dapat terjadi selama proses produksi dikebun, proses saat panen maupun proses produksi setelah panen yang meliputi pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan. Untuk itu diperlukan prosedur jaminan mutu yang baik dan diharapakn dapat meminimalisasi terjadinya dampak buruk terhadap mutu buah belimbing dewa. Oleh karena iti pemerintah Kota Depok dalam hal ini Dinas Pertanian Kota Depok melakukan pengembangn melalui SOP (Standar Operasional Prosedur). Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan salah satu upayauntuk menghasilkan buah belimbing bermutu sesuai keinginan konsumen. Pada tahun 2007, setelah melakukan beberapa kali revisi dan penyempurnaan SOP ini mulai disosialisasikan kepada para petani budidaya belimbing dewa. Pengembangan melalui SOP ini merupakan salah satu agenda kegiatan Pengembangan Belimbing Dewa sebagai Icon Kota, dalam upaya peningkatan Indeks Daya Beli Masyarakat melalui Program PPK IPM Kota Depok tahun 2007. Hal-hal yang diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) ini adalah pemilihan lokasi, penentuan waktu tanam, penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman,
pemupukan,
pengairan,
pemangkasan,
pengendalian
OPT,
penempelan, sanitasi kebun, penjarangan buah, panen, pengumpulan buah hasil panen, pembersihan, sortasi, grading dan pengemasan. Hal hal yang diatur dalam SOP ini disusun dalam bentuk buku saku. Buku saku SOP tidak hanya berisikan 13
prosedur pelaksanaan saja, akan tetapi juga berisikan definisi, tujuan, validasi, alat dan bahan serta fungsi dari setiap kegiatan dalam budidaya belimbig dewa. Penjelasan lebih lengkap dari setiap SOP ini dijelaskan dalam isi dan pembahasan pada bagian teknik budidaya. 2.3. Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian mengenai belimbing dan analisis kelayakan usaha telah dilakukan sebelumnya, namun penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan tersendiri. 2.3.1. Penelitian Mengenai Belimbing Penelitian Husen (2006) yang berjudul Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Buah Belimbing Depok Varietas Dewa Dewi Kasus kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Propinsi Jawa Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerimaan usahatani belimbing dengan sistem penjualan per Kilogram (SPK) lebih besar dibandingkan sistem penjualan per buah (SPB). Analisis pendapatan dihitung berdasarkan hasil perhitungan rata-rata dari 30 orang responden yang ada di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Disumpulkan bahwa pendapatan atas biaya total per 30 pohon pada umur pohon belimbing lima tahun untuk SPB adalah sebesar Rp 8.121.946,67 dan untuk SPK adalah senilai Rp 13.644.946,67. Adapun nilai R/C tunai dan total pada petani dengan sistem penjualan per buah masing-masing adalah sebesar 2,69 dan 2,29. Sedangkan pada petani yang menjual hasil produksinya dengan sistem per kilogram memperoleh penerimaan tunai dan total masing-masing sebesar Rp 4,36 dan Rp 3,6 untuk setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan. Rantai pasokan belimbing depok terdiri dari tiga rantai pasokan. Fungsi pemasaran yang dilakukan adalah fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Hasil analisis margin yang diterima petani (farmer’s share) tidak tersebar secara merata antara ketiga pasokan yang ada. Zamani (2008) juga mengkaji sistem usahatani buah belimbing yang kini menjadi ikon Kota Depok. Penelitian ini berjudul “Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi” dilakukan dengan metode membandingkan pendapatan 14
usahatani Belimbing Dewa-Dewi yang menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan yang tidak menerapkan SOP. Responden dari penelitian ini adalah petani yang ada di enam kecamatan di Kota Depok. Analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa-Dewi dalam penelitian Zamani (2008) adalah analisis usahatani selama satu musim panen dengan luas lahan 1000 meter persegi. Hasil penelitian diperoleh bahwa pendapatan usahatani belimbing baik atas biaya tunai maupun total pada petani yang menerapkan SOP lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak menerapkan SOP. Pendapatan usahatani belimbing atas biaya tunai petani SOP untuk luas kebun 1000 meter persegi per satu kali musim panen sebesar Rp 3.701.019 dan pada petani non SOP sebesar Rp 2.816.139. Sedangkan pendapatan usahatani atas biaya total sebesar Rp 2.261.114 dan Rp 1.002.916 masing-masing untuk petani yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan SOP. Hasil analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) usahatani belimbing untuk petani SOP dan petani non SOP, menunjukkan bahwa usahatani belimbing ini menguntungkan untuk diusahakan. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C rasio baik atas biaya tunai dan total yang lebih besar dari satu. Nilai R/C rasio atas biaya tunai petani SOP dan petani non SOP adalah sebesar 2,43 dan 2,42. Analisis fungsi produksi yang dilakukan pada penelitian Zamani (2008) menggunakan fungsi produksi eksponensial. Peubah bebas yang digunakan yaitu pupuk NPK, pupuk kandang, insektisida Curacron, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja. Dari hasil pendugaan terhadap model I pada petani SOP dan non SOP, ditemukan masalah multikolinieritas yang ditandai dengan nilai VIF yang lebih besar dari 10. Oleh karena itu, untuk membuat model penduga II baik pada petani SOP dan non SOP digunakan metode best subsets. Dari metode ini maka akan dihasilkan model regresi terbaik dengan cara mengkombinasikan variabel-variuabel bebas yang ada. Analisis yang dilakukan setelah menemukan model regresi terbaik adalah analisis skala usaha (return to scale). Berdasarkan analisis ini diketahui bahwa usahatani belimbing dari masing-masing petani berada pada skala increasing returns to scale. Sedangkan untuk analisis efisiensi fungsi produksi, tingkat penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani belimbing untuk petani SOP 15
dan non SOP masih belum efisien yang ditandai dengan rasio NPM-BKM yang tidak sama dengan satu. Penelitian Haris (2008) yang berjudul strategi pemasaran Belimbing Manis di Pusat Koperasi Pemasaran Belimbing Dewa Depok. Penelitian ini menyatakan bahwa hasil matriks IFE menunjukkan faktor produk yang berkualitas, letak yang strategis, serta bentuk kemasan dan penggunaan merk sebagai kekuatan utama PKPBDD. Fluktuasi kuantitas dan kontinyuitas pasokan, fasilitas penyimpanan belum memadai, serta ketergantungan modal pada pemerintah menjadi kelemahan utama PKPBDD. Total skor matriks IFE sebesar 2,406 menunjukkan posisi internal PKPBDD sedikit di bawah rata-rata. Hasil matriks EFE menyatakan bahwa faktor yang menjadi peluang utama PKPBDD adalah potensi pasar lokal yang besar, peningkatan jumlah permintaan dari pelanggan tetap, dan dukungan pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan maupun pendanaan. Faktor yang menjadi ancaman utama PKPBDD adalah kesulitan dalam pengaturan waktu panen, persaingan dengan pesaing lokal, dan tingkat persaingan yang tinggi dengan produk subtitusi. Total skor matriks EFE adalah 2,801 berarti bahwa kemampuan PKPBDD dalam merespon peluang untuk menghindari ancaman berada diatas rata-rata. 2.3.2. Penelitian Mengenai Sudi Kelayakan Usaha dan Skenario Risiko Penelitian Sidauruk (2005) tentang perbandingan efektifitas biaya dan kelayakan finansial industri kecil tahu di Kota Bogor, menunjukkan hasil perhitungan finansial, industri kecil tahu Bandung “Selaeman” dan tahu Sumedang “Kelana Jaya” untuk skenario 1 dan skenario 2 dengan menggunakan dua tingkat diskonto yaitu 14,67 persen dan 17,48 persen layak untuk diusahakan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai NPV, Net B/C, dan IRR yang diperoleh memenuhi syarat kelayakan usaha. Utami (2008) melakukan penelitian mengenai analisis kelayakan usaha minuman instan berbasis tanaman obat di Koleksi Taman Obat dan Spa Kebugaran Syifa, Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha dari aspek finansial dan aspek non finansial. Berdasarkan aspek non finansial, seperti aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial dan lingkungan, serta aspek hukum usaha ini layak untuk dilaksanakan. Sedangkan 16
aspek finansial usaha ini tidak layak untuk dilaksanakan karena proses usaha yang akan terjadi selama kurun umur proyek akan menghasilkan kerugian. Oleh sebab itu, perlu adanya perbaikan usaha. Nia Rosiana pada tahun 2008 melakukan analisis mengenai kelayakan dari usaha pengembangan akar wangi dengan memperhatikan kondisi risiko yang mempengaruhi usaha tersebut. Fokus utama dari penelitian ini adalah usaha akarwangi dengan usaha penyulingan akar wangi. Usaha akarwangi bergerak pada proses budidaya akarwangi, sedangkan usaha penyulingan merupakan usaha yang bergerak di bidang pengolahan akar wangi, yakni dengan melakukan penyulingan terhadap hasil produksi akar wangi yang dihasilkan. Tingkat kelayakan usaha akarwangi dianalisis melalui dua pendekatan yakni analisis finansial serta non finansial, dimana pada analisis finansial dilakukan perhitungan terhadap risiko yang dialami petani akarwangi selama jalannya umur usaha. Berdasarkan perhitungan aspek finansial pada kondisi tanpa risiko, didapatkan hasil bahwa usaha budidaya akarwangi memiliki nilai NPV pada kondisi normal mencapai Rp.1.394.179; IRR 13 %; Net B/C 1,08 serta payback period selama 2 tahun 5 bulan, sehingga menyatakan bahwa usaha budidaya akarwangi pada kondisi tanpa risiko layak untuk dijalankan. Kelayakan budidaya akarwangi pada kondisi risiko, diperhitungkan berdasarkan nilai kriteria investasi pada masing-masing kondisi (skenario). NPV terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi mencapai Rp 38.512.313. NPV terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yang mencapai -Rp. 35.259.949. Selain itu, IRR tertinggi terdapat pada kondisi produksi dan harga output tertinggi sebesar 202 % dan IRR terendah berada pada kondisi produksi terendah yaitu sebesar -19 %. Net B/C tertinggi berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu sebesar 6,20 dan Net B/C terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yaitu 0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan budidaya pada kondisi risiko tidak layak untuk dijalankan. Payback periode tercepat ketika berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu 1 tahun 2 bulan. Penilaian risiko dalam investasi diukur dengan tiga hal yaitu NPV yang diharapkan, standar deviasi, dan koefisien variasi. NPV yang diharapkan dari 17
ketiga kondisi yang paling tinggi adalah NPV yang diharapkan pada kondisi produksi dan harga output yaitu sebesar Rp 2.220.063 selama umur proyek. Standar deviasi yang paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu sebesar 22.427.661 selama umur proyek. Koefisien variasi paling tinggi berada pada kondisi risiko harga output yaitu 31,02. Berdasarkan ketiga jenis risiko yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan budidaya akarwangi dihadapkan pada risiko produksi. Analisis kelayakan penyulingan akarwangi pada kondisi tanpa risiko menghasilkan NPV pada kondisi normal mencapai Rp. 1.030.118.304. IRR pada kondisi normal mencapai 99 %; Net B/C pada kondisi normal mencapai 4,98, serta payback period yaitu 3 tahun 6 bulan. Pada kondisi risiko nilai NPV terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yang mencapai Rp 5.444.740.425. NPV terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yang mencapai –Rp. 6.542.335.597. Net B/C tertinggi berada pada kondisi normal yaitu sebesar 4,9. Net B/C terendah berada pada kondisi produksi terendah dan kondisi produksi dan harga output terendah yaitu 0. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan penyulingan tidak layak untuk dijalankan. Payback periode tercepat ketika berada pada kondisi harga output tertinggi yaitu satu tahun sembilan bulan. Penilaian risiko pada penyulingan akar wangi diukur dengan tiga hal yaitu yang pertama adalah NPV yang diharapkan dimana dari ketiga jenis risiko yang paling tinggi adalah NPV yang diharapkan pada risiko harga output yaitu sebesar Rp. 1.033.605.013 selama umur proyek. Kedua adalah pengukuran standar deviasi, dimana nilai paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu sebesar 3.382.306.905 selama umur proyek. Ketiga adalah koefisien variasi. Koefisien variasi paling tinggi berada pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu 14,81. Semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi. Jadi, dari ketiga jenis risiko yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan penyulingan akarwangi dihadapkan pada risiko harga output. Ningsih pada tahun 2009 melakukan penelitian mengenai analisis kelayakan finansial dan sensitivitas usaha tanaman apel di Malang. Penelitian 18
dilakukan di Malang Raya. Penganbilan sampel dengan cara accidental sampling. Data yang diambil data primer. Data dianalisis dengan menggunakan analisis finansial dan sensitivitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha penanaman apel layak diusahakan. Nilai NPV yang diperoleh : Rp. 174.736.579,5. IRR nya adalah 24,556%, dan Net B/C rasionya 2,924. Adapun waktu pengembalian modalnya yaitu selama 8 tahun. Usaha tanaman apel ini tidak sensitif terhadap perubahan harga produksi. Harga produksi turun 20%, usaha tanaman apel ini masih layak diusahakan. Ade Nurmarita pada tahun 2010 melakukan analisis mengenai kelayakan dari usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas pada kondisi Risiko. Peternakan sapi perah yang dijadikan objek penelitiannya adalah pada usaha peternakan sapi perah skala besar di KUD Giri Tani yang mendapatkan bantuan reaktor biogas dengan skala 7m3. Fokus utama dari penelitian ini adalah pada produk utama sapi perah yaitu susu segar dan juga biogas yang merupakan hasil dari pemanfaatan limbah ternak. Reaktor biogas yang dibangun diperuntukkan untuk skala rumah tangga dan digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk kebutuhan rumah tangga peternak yang bersangkutan. Berdasarkan hasil analisis pada aspek pasar, usaha peternakan skala besar layak untuk dijalankan, namun belum menguntungkan secara optimal. Hal ini disebabkan, masih terbukanya peluang untuk memasarkan susu kepada Cimory dalam kapasitas yang lebih besar. Karena adanya kesepakatan antara Cimory dan KUD Giri Tani untuk menerima seluruh produksi susu yang dihasilkan oleh peternak yang menjadi anggota koperasi tersebut. Berdasarkan aspek teknis usaha peternakan sapi perah layak untuk dijalankan. Hampir di setiap kriteria pada aspek teknis, tidak terdapat kendala dan permasalahan yang menghambat jalannya usaha. Permasalahan yang mungkin timbul, seperti kualitas dan jumlah susu yang dihasilkan dapat diatasi oleh para peternak. Pada aspek manajemen dan hukum, usaha peternakan layak untuk dijalankan. Walaupun tidak memiliki struktur organisasi yang baku serta tidak memiliki badan hukum secara pribadi, namun usaha ini dapat dijalankan dengan baik, dan tidak terdapat pekerjaan yang menyimpang dari tugas masing-masing tenaga kerja. Selain itu, dengan menjadi 19
anggota KUD Giri Tani, tanpa adanya badan hukum bagi masing-masing usaha peternakan yang ada, para peternak tetap memiliki kepastian dalam hal memasarkan susu segar kepada pihak pembeli yakni Cimory. Pada aspek sosialekonomi- budaya usaha peternakan sapi perah layak untuk dijalankan. Usaha ini telah memberikan manfaat positif bagi ekonomi-sosial-budaya masyarakat sekitar lokasi usaha peternakan, yakni dalam hal pembukaan lapangan pekerjaan serta peningkatan pendapatan. Sementara itu pada aspek lingkungan, usaha peternakan sapi perah belum layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan, usaha ini masih menimbulkan pencemaran pada lingkungan sekitar. Usaha peternakan sapi perah skala besar secara finansial layak untuk dijalankan. Berdasarkan kriteria investasi nilai NPV menunjukkan Rp 366.648.484,00 yang berarti usaha ini memberikan manfaat bersih sebesar Rp 366.648.484,00 selama umur usaha. Sementara nilai IRR 23,01 % yang menunjukkan besarnya tingkat pengembalian dari penanaman modal untuk investasi sebesar 23,01 % dari modal yang diinvestasikan. Net B/C sebesar 1,72 dimana setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan akan memberikan manfaat sebesar 1,72 satuan. Waktu periode pengembalian dari nilai investasi adalah lima tahun satu bulan, waktu ini lebih rendah dari umur usaha peternakan sapi perah skala besar. Usaha peternakan sapi perah dengan pemanfaatan limbah ternak sebagai bahan baku untuk menghasilkan biogas layak secara finansial untuk dijalankan. Nilai NPV yang didapatkan sebesar Rp 527.394.716,00 yang berarti usaha ini memberikan manfaat bersih sebesar Rp 527.394.716,00. Sementara nilai IRR 29,42 % yang menunjukkan besarnya tingkat pengembalian dari penanaman modal untuk investasi sebesar 29,42 %. Net B/C sebesar 2,09 dimana setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan memberikan manfaat sebesar 2,09 satuan. Waktu periode pengembalian dari nilai investasi adalah lima tahun lima bulan. Kondisi risiko yang terdapat pada usaha peternakan sapi perah skala besar yang memanfaatkan limbah untuk menghasilkan biogas, terdiri dari dua bagian yakni risiko harga dan risiko produksi. Secara finansial usaha peternakan sapi perah skala besar tetap layak. Tingkat risiko tertinggi terdapat pada risiko poduksi
20
dengan nilai koefisien variasi sebesar 0,59 sementara risiko harga memiliki nilai koefisien variasi yang lebih rendah yakni 0,08. Pembangunan reaktor pada usaha peternakan sapi perah skala besar dilihat kelayakannya melalui perhitungan incremental net benefit, yang didapatkan hasil bahwa nilai NPV sebesar Rp 160.746.232,00, sementara nilai IRR yang didapatkan lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakan yakni 6,99 %, serta nilai Net B/C yang lebih besar dari satu sehingga menunjukkan bahwa manfaat yang diterima dari seluruh biaya yang dikeluarkan setiap satuannya adalah lebih besar dari satu atau lebih besar dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Sementara itu, payback period adalah selama dua tahun. Secara komersial, usaha pemanfaatan limbah pun memenuhi seluruh kriteria investasi. Sehingga, pembangunan reaktor biogas menguntungkan dan layak untuk dijalankan. Berdasarkan
penelitian
terdahulu
penulis
menggunakan
beberapa
komponen yang terdapat pada penelitian tersebut untuk digunakan pada penelitian ini. Pada penelitian yang dilakukan Husen (2006), Zamani (2008) dan Haris (2008), penulis menggunakan informasi mengenai usaha Belimbing Manis. Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Sidauruk (2005), Utami (2008) dan Ningsih (2009) peneliti menggunakan konsep dan informasi mengenai kelayakan usaha yang dianalisis secara finansial maupun non finansial. Sedangkan analisis mengenai risiko yang dihitung dengan menggunakan analisis skenario diacu penulis dari penelitian yang dilaksanakan oleh Rosiana (2008) dan Nurmarita (2010) guna mengetahui tiga kondisi skenario yang terjadi pada lokasi penelitian. Semua hasil penelitian terdahulu akan digunakan sebagai pembanding penelitian ini.
21
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Studi Kelayakan dan Investasi Studi kelayakan diadakan untuk menentukan apakah suatu usaha akan dilaksanakan atau tidak. Dengan kata lain studi kelayakan adalah penelitian yang mendalam terhadap suatu ide bisnis tentang layak atau tidaknya ide tersebut untuk dilaksanakan. Studi kelayakan diadakan sebelum ada keputusan (making decision) tentang pelaksanaan usaha (Kadariah et al, 1999). Studi kelayakan bila diletakkan pada objek pendirian sebuah usaha baru disebut studi kelayakan proyek. Namun, jika objeknya adalah pengembangan usaha (usaha sudah berjalan, namun direncanakan ada pengembangan) maka disebut studi kelayakan bisnis. Adapun tujuan dari studi kelayakan bisnis adalah untuk mengetahui apakah suatu proyek/bisnis akan untung atau rugi, dengan kata lain untuk memperkecil tingkat risiko kerugian yang memastikan bahwa investasi yang dilakukan memang menguntungkan (Subagyo, 2007). Menurut Kasmir dan Jakfar (2006), untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek harus dilihat dari berbagai aspek. Setiap aspek untuk dikatakan layak harus memiliki standar tertentu. Namun, penilaian tidak hanya dilakukan pada suatu aspek saja. Penilaian untuk menentukan kelayakan harus didasarkan kepada seluruh aspek yang kana dinilai, jadi tidak berdiri sendiri. Jika ada aspek yang kurang
layak
akan
diberikan
beberapa
saran
perbaikan,
sehingga
memenuhikriteria yang layak. Namun, apabila tidak dapat memenuhi kriteria tersebut sebaiknya jangan dijalankan. Secara umum studi kelayakan mencakup aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek ekonomi dan sosial (Husnan dan Suwarsono 2000). Menurut kadariah et al. (1999), bahwa setiap aspek tersebut terdapat suatu analisis yang menitikberatkan aspek itu. Tetapi dalam rangka ilmu evaluasi proyek biasanya hanya ditentukan dua macam analisis yaitu analisis finansial dan analisis ekonomis. Analisis finansial merupakan analisis dimana proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanamkan modal dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek. Analisis ekonomis merupakan analisis 22
dimana proyek dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Aspek-aspek yang akan diteliti terlebih dahulu harus ditentukan dalam menetukan studi kelayakan. Penelitian ini akan mengkaji aspek non finansial seperti aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, sosial, ekonomi, budaya, lingkungan serta aspek finansial. Investasi atau penanaman modal didalam perusahaan tidak lain adalah menyangkut penggunaan sumber-sumber yang diharapkan akan memberikan imbalan (pengembalian) yang menguntungkan di masa yang akan datang. Investasi pada prinsipnya adalah penggunaan sumber keuangan atau usaha dalam waktu tertentu dari setiap orang yang menginginkan keuntungan darinya. Dari sudut pandang jangka waktu penanamannya, inveastasi dibagi dalam dua tipe yaitu investasi jangka pendek biasanya kurang dari satu tahun yang bertujuan untuk mendayagunakan atau memanfaatkan dana yang sementara menganggur serta bersifat marketable (mudah untuk diperjualbelikan) serta investasi jangka panjang. Investasi jangka panjang adalah investasi yang ukuran jangka waktunya lebih dari satu periode serta tidak bersifat marketable karena investasi ini menyangkut kelangsungan hidup usaha di masa yang akan datang (Suratman, 2002). Salah satu konsep investasi adalah pengangguran modal karena pengangguran modal merupakan salah satu konsep penggunaan dana di masa yang akan datang yang diharapkan akan memberikan keuntungan. Keuntungan dari sebagian besar investasi meluas diatas periode waktu yang panjang menujukkan bahwa perlu penggunaan teknik-teknik
penilaian investasi yang
mengakui nilai waktu uang. Konsep nilai waktu uang berlaku bahwa akan lebih baik menerima uang tunai diawal daripada menerima uang tunai kemudian. Menurut Suratman (2002), investasi yang menjanjikan keuntungan lebih awal akan lebih disukai daripada yang menjanjikan keuntungan kemudian. Di dalam investasi banyak mengandung risiko dan ketidakpastian. Investasi menurut karakteristiknya dapat dibagi menjadi beberapa golongan antara lain (1) investasi yang tidak dapat diukur labanya; (2) investasi yang tidak menghasilkan laba; (3) investasi yang dapat diukur labanya. Untuk investasi yang dapat diukur labanya peru dilakukan studi kelayakan yang melihat berbagai aspek. Namun tidak berarti 23
bahwa jenis investasi yang lain tidak memerlukan studi kelayakan. Studi kelayakan tetap diperlukan namun dengan intensitas dan penekanan untuk masing-masing aspek berbeda. Semakin besar dana yang tertanam dalam proyek investasi, semakin tidak pasti estimasi yang dibuat dan semakin kompleks faktor-faktor yang mempengaruhinya maka semakin intens/mendalam penelitian yang dilakukan (Husnan dan Suwarsono, 2000). Dengan demikian apapun bentuk investasi yang akan dilakukan diperlukan studi kelayakan meskipun intensitasnya berbeda. Hal ini dikarenakan masa mendatang mengandung penuh ketidakpastian. 3.1.2. Manfaat dan Biaya Dalam menganalisa proyek atau suatu usaha, tujuan-tujuan analisa harus disertai biaya-biaya dan manfaat-manfaat. Biaya dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan usaha (bisnis), dan suatu manfaat adalah segala sesuatu yang membantu suatu tujuan (Nurmalina, dkk, 2009). Biaya dapat juga didefinisikan sebagai pengeluaran atau korbanan yang dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang diterima. Menurut Gittinger (1986), biaya yang diperlukan suatu usaha dapat dikategorikan sebagai berikut: a) Biaya modal merupakan dana untuk investasi yang penggunaannya bersifat jangka panjang, seperti tanah, bangunan, dan mesin. b) Biaya operasional atau modal kerja merupakan kebutuhan dana yang diperlukan pada saat proyek mulai dilaksanakan, seperti biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja. c) Biaya lainnya seperti pajak, bunga dan pinjaman. Komponen biaya dan manfaat ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Biaya Komponen biaya yang dimasukkan dalam perhitungan adalah biaya yang dapat dikuantifikasikan dan biaya yang benar-benar dikeluarkan dalam suatu proses produksi. a) Biaya Investasi Biaya investasi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan pada awal proyek, untuk pembelian baran-barang investasi yang nilainya dalam jumlah besar
24
dan tidak habis dalam satu kali periode produksi. Biaya investasi ini dikeluarkan untuk mendapatkan keuntungan pada masa yang akan datang. b) Biaya Tetap Biaya tetap adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan selama proses produksi, namun besarnya tidak dipengaruhi oleh perubahan output ataupun input yang digunakan selama produksi. c) Biaya Variabel Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dan besar kecilnya dipengaruhi oleh jumlah input yang digunakan atau output yang dihasilkan pada proses produksi. Biaya variabel dikeluarkan pada pembelian input langsung habis yang dikeluarkan untuk menghasilkan output produksi. d) Debt service Debt Service adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran modal pinjaman yang diterima oleh suatu usaha. Biaya ini terdiri dari suku bunga dan pokok pinjaman. 2. Manfaat Manfaat adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh suatu usaha yang mendorong tercapainya suatu tujuan. Adapun yang termasuk kedalam manfaat adalah: a) Nilai Produksi Total Nilai produksi total adalah nilai yang didapatkan dari produksi total yang dihasilkan pada suatu usaha dan dikalikan dengan harga per satuan produk tersebut. Nilai produksi ini mencakup produksi secara keseluruhan baik produksi yang dijual ataupun tidak, yakni produksi yang dikonsumsi sendiri, produk utama dan produk sampingan yang dihasilkan. b) Penerimaan Pinjaman (loan) Penerimaan pinjaman adalah semua tambahan modal yang diterima suatu usaha untuk digunakan sebagai biaya investasi, biaya tetap ataupun biaya variabel. Pinjaman ini dapat berasal dari berbagai pihak dan instansi seperti pihak bank, kreditor ataupun teman dan keluarga
25
c) Bantuan (Grants) Bantuan adalah semua tambahan modal yang diterima suatu usaha yang sifatnya bantuan atau hibah. Dana ini dapat berupa uang tunai ataupun barang.
Untuk
dikuantifikasikan
dana
yang
terlebih
berupa
dahulu
barang,
ketika
maka
dana
tersebut
memasukkannya
kedalam
komponen manfaat. d) Nilai Sewa Nilai sewa adalah nilai dari hasil menyewakan alat atau bahan yang dimiliki oleh suatu usaha. Alat atau bahan yang sering disewakan adalah barang investasi. e) Salvage Value Salvage Value adalah nilai barang investasi yang tidak habis selama umur usaha, nilai ini diukur pada akhir usaha atau ditahun terakhir usaha. 3.1.3. Analisis Non Finansial Aspek non-finansial menurut Nurmalina, dkk (2009), terdiri dari berbagai aspek yang mempengaruhi jalannya suatu usaha. Adapun yang termasuk kedalam aspek ini adalah: 1. Aspek Pasar Pasar adalah titik pertemuan antara permintaan dan penawaran barang dan jasa sehingga tercapai kesepakatan dalam transaksi (Subagyo, 2007). Aspek pasar dan pemasaran menempati urutan pertama dalam analisis kelayakan usaha/bisnis. Pengkajian aspek pasar penting untuk dilakukan karena tidak ada proyek/usaha/bisnis yang berhasil tanpa adanya permintaan atas barang atau jasa yang dihasilkan usaha tersebut. Pada tahap ini dibahas mengenai perkiraan jumlah permintaan dan penawaran dari produk ataupun jasa yang yang dihasilkan oleh usaha, pemasaran output yang dihasilkan serta harga dari produk yang akan dihasilkan. Dari segi pemasaran kegiatan usaha diharapkan dapat beroperasi secara baik apabila produk yang dihasilkan mampu mendapatkan tempat dipasaran serta dapat menghasilkan jumlah hasil penjualan yang memadai dan menguntungkan. Apabila pasar yang dituju tidak jelas, maka risiko yang dihadapi akan semakin besar.
26
2. Aspek Teknis Aspek teknis berkaitan dengan proses pembangunan usaha secara teknis dan pengorganisasian setelah usaha tersebut dijalankan. Penilaian terhadap aspek ini penting dilakukan sebelum suatu usaha dijalankan, untuk mengetahui apakah secara teknis suatu usaha layak dijalankan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam aspek teknis antara lain adalah keadaan geografis, lokasi usaha, skala operasioanal atau luas produksi, teknologi budidaya dan produksi, bahan baku yang digunakan, sumber daya produksi, serta pengawasan kualitas produk. 3. Aspek Manajemen dan Hukum Aspek manajemen dan hukum mempunyai pengaruh yang penting terhadap pelaksanaan usaha. Aspek manajemen menilai para pengelola usaha dan struktur organisasi yang ada dalam masa pembangunan usaha serta dalam masa operasi atau produksi. Manajemen dalam operasi menganalisis bagaimana bentuk organisasi atau badan usaha yang dipilih, bagaimana struktur organisasi, deskripsi masing-masing jabatan dan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Sementara itu, aspek hukum membahas masalah kelengkapan dokumen perusahaan, bentuk badan usaha yang digunakan, dikaitkan dengan hukum dan konsekuensinya. Perencanaan dan pelaksanaan aspek hukum secara baik, akan memudahkan pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usaha dalam menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. 4. Aspek Sosial-Ekonomi-Budaya Analisis aspek sosial, ekonomi dan budaya untuk melihat seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan terhadap masyarakat secara keseluruhan jika suatu usaha dijalankan. Didalam pelaksanaannya suatu usaha tidak hanya memperhatikan keuntungan pribadi saja. Pada aspek sosial yang dipelajari adalah penambahan kesempatan kerja atau pengurangan pengangguran. Aspek sosial lebih memperhatikan adanya manfaat dan pengorbanan sosial yang dialami oleh masyarakat sekitar lokasi usaha. Pada aspek ekonomi akan dianalisis mengenai peluang suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah, pendapatan dari 27
pajak serta dapat menambah aktivitas ekonomi. Perubahan dalam teknologi atau peralatan mekanis dalam bisnis dapat secara budaya mengubah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga, adanya suatu usaha diharapkan dapat lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan dengan kerugiannya. 5. Aspek Lingkungan Analisis aspek lingkungan melihat dampak dari usaha terhadap lingkungan sekitar, baik terhadap air, darat, udara yang akan berdampak pada kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan. Setiap pelaku usaha harus memperhatikan masalah dampak lingkungan yang merugikan, karena lingkungan itu sendiri akan mempengaruhi jalannya usaha dalam jangka panjang. 3.1.4. Analisis Finansial Analisis
finansial
suatu
usaha
merupakan
suatu
analisis
yang
membandingkan antara biaya dan manfaat untuk menentukan apakah suatu usaha akan menguntungkan selama umur usaha. Dengan kata lain, Analisis ini merupakan analisis untuk mengetahui pengaruh-pengaruh finansial dari suatu usaha yang dijalankan terhadap pelaku usaha tersebut atau secara privat. Selain itu, analisis finansial juga berperan dalam mengetahui perkiraan pendanaan dan aliran kas dari suatu usaha, sehingga dapat diketahui apakah suatu usaha layak atau tidak untuk dijalankan. Dalam mencari suatu ukuran menyeluruk tentang layak atau tidaknya suatu usaha, telah dikembangkan berbagai macam indeks. Indeks-indeks tersebut disebut kriteria investasi. Kriteria investasi tersebut antara lain: 1. NPV (Net Present Value) Perhitungan NPV dilakukan untuk mengetahui keuntungan bersih yang diperoleh dari usaha budidaya Belimbing Dewa di Kota Depok dengan pengembangan melalui SOP . Kriteria kelayakan berdasarkan NPV yaitu: a) NPV > 0, artinya usaha ini sudah dinyatakan menguntungkan dan layak untuk dijalankan. b) NPV < 0, artinya usaha ini tidak menghasilkan biaya yang dipergunakan. Dengan kata lain, usaha ini merugikan dan tidak layak untuk dijalankan.
28
c) NPV = 0, artinya usaha ini mampu mengembalikan persis sebesar modal sosial opportunity cost faktor produksi normal. Dengan kata lain usaha ini tidak untung dan tidak rugi. 2. IRR (Internal Rate of Return) Metode ini menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih dimasamasa mendatang atau didefinisikan juga sebagai tingkat bunga yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Perhitungan IRR dilakukan untuk melihat tingkat pengembalian dari investasi yang ditanamkan pada usaha ini. Apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga (discount rate) yang berlaku maka usaha ini dikatakan layak dan sebaliknya bila nilai IRR lebih kecil dari discount rate yang berlaku, maka usaha ini tidak layak untuk dijalankan. 3. Net B/C (Net Benefit-Cost Ratio) Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), Net B/C menyatakan besarnya pengembalian terhadap setiap satuan biaya yang telah dikeluarkan selama umur proyek. Net B/C merupakan angka perbandingan antara present value dari net benefit yang positif dengan present value dari net benefit yang negatif. Perhitungan net B/C befungsi untuk melihat perbandingan antara jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan dengan keseluruhan jumlah manfaat (benefit) yang diperoleh. Usaha ini dikatakan layak jika perhitungan net B/C yang dilakukan menghasilkan nilai yang lebih besar atau sama dengan 1 (net B/C ≥ 1). 4. PP (Payback Period) Perhitungan payback period pada usaha ini bertujuan untuk mengetahui waktu atau periode pengembalian dari nilai total investasi yang dikeluarkan pada umur usaha. Usaha ini dikatakan layak jika nilai PP kurang dari umur usaha budidaya Belimbing Dewa (PP < umur usaha). 3.1.5. Risiko dengan Analisis Skenario Risiko merupakan sebuah kondisi yang dihadapi dalam segala tindakan atau aktivitas yang diambil. Risiko sendiri memiliki berbagai definisi yang berbeda-beda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, risiko adalah akibat yang 29
kurang menyenangkan, merugikan, membahayakan dari suatu perbuatan atau tindakan. Risiko juga dapat diartikan sebagai sebuah situasi dimana terdapat ketidakpastian yang akan mempengaruhi suatu usaha atau pengambil keputusan dan melibatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan atau kerugian. Ketidakpastian adalah sebuah situasi dimana pengambil keputusan tidak mengetahui hasil dari setiap tindakan ketika keputusan dibuat, hal ini dikarenakan dalam sebuah tindakan memiliki lebih dari satu peluang (Fleisher, 1990). Semua usaha yang dijalankan mengandung risiko, namun dengan kadar yang berbeda. Semakin tinggi risiko yang dihadapi maka akan semakin tinggi pula keuntungan yang akan diperoleh, begitupun sebaliknya. Walaupun risiko selalu ada, namun risiko dapat diperkirakan dengan data dan informasi yang relevan (Suratman, 2002). Menurut Weston et al (1995), tedapat teknik unutk menganalisis risiko dengan membandingkan situasi yang paling memungkinkan atas skenario dasar (semacam situasi normal) dengan keadaan yang “baik” dan “buruk”, teknik ini disebut sebagai analisis skenario. Pada analisis ini tidak hanya sensitivitas NPV terhadap perubahan-perubahan variabel kunci yang diketahui namun juga rentangan (range) dari nilai-nilai variabel yang sangat memungkinkan. 3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian dilatarbelakangi semakin tingginya permintaan akan buah
belimbing dewa yang banyak dikembangkan di Kota Depok. Buah belimbing khususnya belimbing dewa merupakan salah satu komoditas unggulan Kota Depok, bahkan pemerintah telah mencanangkan buah ini menjadi icon atau maskot kota. Pengembangan belimbing di Depok saat ini tidak lagi bersifat ekstensifikasi lagi mengingat keterbatasan lahan, tetapi lebih difokuskan pada pola intensifikasi dengan perbaikan pola produksi melalui SOP. Selain itu, pengembangan melalui SOP ini dilakukan karena belum adanya kepastian jumlah kuantitas, kualitas dan kesinambungan buah yang diperdagangkan. Pengembangan usaha melalui SOP baru berjalan kurang lebih selama 3 tahun, dan belum diketahui dengan pasti kelayakannya. Sehingga, perlu dianalisis secara lebih lanjut karena analisis kelayakan ini penting untuk dilaksanakan dalam 30
upaya menarik para investor serta petani dan warga sekitar untuk melakukan usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP. Perlu diketahui apakah pemberlakuan SOP memiliki dampak positif dan dapat tetap dijalankan. Analisis kelayakan dilakukan secara menyeluruh yaitu terhadap usaha budidaya belimbing dewa yang menerapkan SOP. Aspek yang dibahas terdiri dari dua bagian yaitu aspek non finansial yang mencakup aspek pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosial-ekonomi-budaya, serta lingkungan. Aspek-aspek nonfinansial akan dipaparkan secara deskriptif. Sedangkan aspek finansial akan dilakukan dengan menggunakan perhitungan kriteria investasi yang terdiriri dari NPV, IRR, Net B/C, serta Payback Period. Setelah analisis dilakukan, selanjutnya dapat diketahui apakah usaha budidaya Belimbing Dewa Kota Depok melalui SOP layak diusahan atau tidak. Bila analisis menunjukkan kelayakan, maka usaha budidaya Belimbing Dewa Kota Depok dengan pengembangan pola produksi melalui SOP layak untuk dijalankan da selanjutnya dapat berkembang menjadi agribisnis perkotaan. Bila tidak layak, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap usaha budidaya Belimbing Dewa melalui SOP yang sedang berjalan. Dalam menjalankan setiap usaha, para pelaku usaha sering dihadapkan pada situasi risiko dimana terdapat perubahan atau penyimpangan yang terjadi pada usaha diluar dari keadan yang diperkirakan sebelumnya. Demikian halnya dengan usaha budidaya belimbing dewa yang rentan akan risiko. Risiko yang terdapat pada usaha budidaya belimbing dewa ini adalah volume produksi dan harga output. Pada pengukuran tingkat risiko , tidak memeperhitungkan risiko harga input. Hal ini dikarenakan bibit Belimbing Dewa sendiri tidak mempengaruhi tingkat risiko yang signifikan. Bibit tidak secara signifikan mempengaruhi risiko, dikarenakan penggunaan bibit hanya dilakukan pada tahun pertaman saja, selanjutnya jika ingin mendapatkan bibit dapat diperoleh dari pohon yang telah ada dengan cara pencangkokkan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dilakukan analisis skenario yang dapat digunakan untuk melihat variasi perubahan yang paling mempengaruhi suatu usaha, yang berasal dari berbagai risiko yang telah terjadi selama jalannya usaha. 31
Gambaran yang lebih jauh mengenai penelitian yang dilakukan dan tahapan analisis, dapat dilihat pada Gambar 1.
Produksi dan permintaan meningkat Potensi Sumber Daya Alam Pencanangan belimbing dewa sebagai ikon Kota Depok
Keterbatasan lahan akibat perubahan fungsi lahan untuk non pertanian
Risiko Usaha Risiko produksi/operasional Risiko Pasar (harga output)
Pengembangan pola intensifikasi dengan perbaikan pola produksi melalui SOP
Analisis Kelayakan Usaha
Aspek Non-Finansial • Aspek Pasar • Aspek Teknis • Aspek Manajemen & Hukum • AspekSosial-ekonomi-budaya • Aspek Lingkungan
Aspek Finansial • NPV • IRR • Net B/C • Payback Period
Layak
Dapat diusahakan / dikembangkan sebagai agribisnis perkotaan
Perhitungan Risiko dengan Analisis Skenario • E (NPV) • Standar Deviasi • Koefisien Variasi
Tidak Layak
Lakukan evaluasi
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Operasional
32
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kota depok yang memiliki 6 kecamatan sebagai
sentra produksi Belimbing Dewa. Namun penelitian ini hanya dilakukan pada 3 kecamatan yang memiliki prodiktivitas dan luas lahan yang lebih tinggi yaitu kecamatan Sawangan, Pancoran Mas dan Beiji. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa wilayah Kota Depok merupakan salah satu penghasil Belimbing Dewa yang cukup besar di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Mei 2011. 4.2.
Data dan Instrumentasi Data yang digunakan terbagi kedalam dua bagian yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan secara langsung untuk mendapatkan informasi mengenai teknik pembudidayaan Belimbing Dewa serta unsur-unsur penerimaan dan pengeluarannya dengan melakukan wawancara dan diskusi pada pihak-pihak yang terkait dalam usaha tersebut. Data sekunder didapatkan dari laporan yang telah dipublikasikan maupun laporan yang tidak dipublikasikan yang bersumber dari berbagai literatur, majalah, data produksi dan pasar produk terkait dari dinas dan instansi yaitu Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Kota Depok, penelitian terdahulu dan literatur yang terkait dengan penelitian serta media internet. 4.3.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi langsung di lokasi
penelitian, yakni dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung dengan berbagai pihak yang terkait disekitar lokasi penelitian dan juga pihak atau instansi terkait dengan penelitian mengenai usaha budidaya belimbing dewa dengan SOP. Selain itu, data juga dikumpulkan melalui penelusuran pustaka ataupun literatur di perpustakaan IPB, instansi terkait dan media internet. Populasi dari penelitian ini merupakan petani belimbing dewa yang menerapkan SOP. Pengumpulan datapun dilakukan dengan pengambilan sampel secara sengaja (purposive) dengan memilih delapan responden yang merupakan 33
pelaku usaha budidaya belimbing dewa. Responden adalah pelaku usaha budidaya belimbing dewa yang menerapkan SOP serta aktif dan kontinu memproduksi belimbing dewa dari 339 petani pelaku usaha budidaya belimbing dewa yang tersebar di wilayah Kota Depok khususnya di tiga kecamatan lokasi penelitian. Responden diambil dari tiga kelompok tani yang terdapat di tiga kecamatan yaitu Kelompok Tani RJB Rawa Denok di Kecamatan Pancoran Mas, Kelompok Tani Sakati Makmur di Kecamatan Sawangan dan Kelompok Tani Subur Makmur di Kecamatan Beiji. 4.4. Metode Pengolahan Data Data serta informasi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan komputer, yakni program Microsoft Excel 2007. Data dan informasi tersebut sebelumnya dikelompokan kedalam biaya dan manfaat, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan menganalisis aspek pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosial-ekonomi-budaya, serta lingkungan. Untuk mengetahui apakah usaha budidaya tersebut layak atau tidak secara nonfinansial. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk menilai kelayakan usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP secara finansial, yakni dengan melakukan perhitungan kriteria investasi. 4.4.1. Analisis Kelayakan Non Finansial Penelitian ini akan membahas kelayakan usaha budidaya belimbing dewa dengan SOP secara non finansial. Analisis non finansial mencakup aspek pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosial-ekonomi-budaya serta lingkungan. Aspekpasar akan mengkaji pemasaran dari produk yaitu belimbing dewa, dengan menganalisis jumlah permintaan dan penawaran. Aspek teknis akan membahas mengenai prosedur budidaya belimbing dewa melalui standar operasional prosedur (SOP) seperti penyiapan lahan dan bibit, penanaman, pemupukan, pengairan, pemangkasan, pengendalian OPT hingga panen dan pendistribusian produk. Aspek manajemen dan hukum akan membahas mengenai bentuk usaha dari pertanaman belimbing, jumlah pekerja, pemilik usaha, susunan organisasi usaha hingga pembagian tugas masing-masing pekerja. Aspek sosial-ekonomi34
budaya akan mengkaji dampak dari adanya usaha ini terhadap masyarakat sekitar, apakah usaha ini mampu membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar atau tidak. Aspek terakhir adalah lingkungan dimana akan dikaji dampak usaha budidaya belimbing dewa bagi kondisi dan kelestarian lingkungan sekitar lokasi usaha. 4.4.2. Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan melakukan perhitungan secara finansial untuk mengetahui kelayakan usaha secara privat, dalam hal ini kelayakan yang dilihat dari sudut pandang individu atau pelaku usaha peternakan. Perhitungan secara finansial ini menggunakan komponen biaya dan manfaat untuk memudahkan pengelompokkan kedua bagian tersebut dan juga menggunakan kriteria investasi untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha secara kuantitatif. 4.4.3. Komponen Biaya dan Manfaat Analisis dilakukan dengan mengelompokkan data yang didapat kedalam komponen biaya dan manfaat. Komponen biaya adalah segala bentuk pengeluaran yang dilakukan oleh usaha budidaya belimbing dewa yang menerapkan SOP. Pengeluaran ini terdiri dari beberapa bagian yaitu biaya investasi, biaya tetap, dan biaya variabel. Sedangkan yang termasuk kedalam komponen manfaat adalah segala bentuk pemasukan yang berasal dari produksi. 4.4.4. Kriteria Investasi Menurut Nurmalina, dkk (2009) metode yang dapat dipakai dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, atau yang biasa disebut dengan kriteria investasi, yaitu : 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Secara matematis, perhitungan NPV dapat dirumuskan sebagai berikut :
NPV = ∑
/ (
)
Keterangan: 35
NPV = Net Present Value Bt
= Benefit atau manfaat pada tahun ke-t
Ct
= Cost atau biaya pada tahun ke-t
i
= Suku Bunga yang digunakan
t
= Tahun ke-
2. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh suatu usaha untuk sumberdaya yang digunakan, karena usaha tersebut memerlukan dana untuk pemenuhan biaya-biaya operasi dan investasi dari usaha baru sampai tingkat pengembalian modal. Secara matematis, perhitungan IRR dapat dirumuskan sebagai berikut :
IRR =
NPV −
+
×( − )
Keterangan : IRR = Internal Rate of Return i1 = Suku Bunga yang menghasilkan NPV positif i2 = Suku Bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV1 = NPV positif NPV2 = NPV negatif 3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) Rasio ini diperoleh dengan membagi nilai sekarang arus manfaat (PV) dengan nilai sekarang arus biaya, yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara jumlah biaya yang dikeluarkan pada suatu usaha terhadap manfaat yang akan diperolehnya. Secara matematis, perhitungan Net B/C Ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :
∑ = ∑
− (1 + ) − (1 + )
( (
− −
)>0 )<0
36
Keterangan: Net B/C = Net Benefit Cost Ratio Bt
= Benefit atau manfaat pada tahun ke-t
Ct
= Cost atau biaya pada tahun ke-t
i
= Suku Bunga yang digunakan
t
= Tahun ke-1 sampai tahun ke-15
4. Payback Period (PP) Payback Period adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas. Perhitungan Payback Period pada penelitian ini adalah dengan menghitung akumulasi aliran kas masuk bersih yang telah didiskontokan. Suatu investasi dinyatakan mencapai Payback Period jika aliran kas kumulatif telah bernilai positif. Secara matematis perhitungan Payback Period dapat dirumuskan sebagai berikut :
=
× 1Tahun
Keterangan : I = Nilai Investasi Ab = Kas Masuk Bersih yang telah di diskonto 4.4.5. Penilaian Risiko dalam Investasi Setiap keputusan investasi menyajikan risiko dan return tertentu. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, semua keputusan penting harus ditinjau dari return yang diharapkan dan risiko yang dihadapi. Semakin tinggi risiko dari suatu investasi maka semakin tinggi tingkat pengembalian. Dalam penelitian ini, teknik mengukur risiko yang digunakan adalah analisis skenario. Analisis skenario merupakan teknik untuk menganalisis risiko dengan membandingkan situasi yang paling memungkinkan atas skenario dasar (semacam situasi normal) dengan keadaan yang baik dan buruk (Weston et al, 1995). Analisis skenario dipilih karena pada analisis ini lebih lengkap dibandingkan dengan analisis sensitivitas. Pada analisis sensitivitas hanya mempertimbangkan faktor sensitivitas NPV terhadap perubahan variabel-variabel 37
kunci sedangakan pada analisis skenario mempertimbangkan baik sensitivitas NPV terhadap perubahan variabel-variabel kunci maupun rentangan (range) dari nilai-nilai variabel yang memungkinkan.
Analisis ini dilakukan untuk melihat
tingkat risiko dari usaha budidaya belimbing dewa yang menerapkan SOP apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat pada usaha. Skenario terburuk adalah keadaan dimana umtuk semua variabel masukan diberikan nilai terburuk berdasarkan perkiraan yang wajar. Skenario terbaik adalah keadaan dimana untuk semua variabel masukan diberikan nilai terbaik berdasarkan perkiraan yang wajar. Skenario dasar merupakan keadaan dimana untuk semua variabel diberikan nilai yang paling memungkinkan. Nilai-nilai variabel dalam skenario terburuk dipergunakan untuk memperoleh NPV terburuk, nilai-nilai dalam skenario terbaik dipergunakan untuk memperoleh NPV terbaik, serta nilai-nilai dalam skenario dasar atau normal yang paling memungkinkan untuk memperoleh NPV normal. Oleh karena itu, hasilhasil dari skenario tersebut digunakan untuk menentukan NPV yang diharapkan, standar deviasi dan koefisien variasi (CV). Dalam hal ini, diperlukan mengestimasi probabilitas terjadinya ketiga skenario (baik, dasar/normal, buruk) yang dinyatakan dengan P. 4.4.5.1. NPV yang diharapkan NPV yang diharapkan [E (NPV)] merupakan suatu nilai yang diharapkan oleh pelaku usaha dari suatu investasi yang ditanamkan pada usaha tersebut. Perhitungan NPV yang diharapkan dapat dirumuskan sebagai berikut : E(
) =∑
Pi(NPV )
Keterangan : E (NPV) = NPV yang diharapkan Pi NPVi
= Probabilitas terjadinya ketiga skenario = NPV dari setiap skenario
Penentuan probabilitas diperoleh berdasarkan kemungkinan dari suatu kejadian pada kegiatan budidaya belimbing dewa yang dapat diukur berdasarakan pengalaman yang telah dialami petani dalam mengusahakan belimbing DewaDewi. Probabiliti dari kegiatan usaha budidaya belimbing Dewa-Dewi pada setiap 38
kondisi (tertinggi, normal dan terburuk) akan diperoleh. Total peluang dari beberapa kejadian berjumlah satu dan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: P =1 Semakin tinggi NPV yang diharapkan, maka tingkat risiko yang dihadapi semakin besar. Pengukuran peluang (p) pada setiap kondisi skenario diperoleh dari frekuensi kejadian setiap kondisi dibagi dengan jumlah tahun selama umur pengusahaan belimbing Dewa-Dewi. 4.4.5.2. Standar Deviasi (σNPV) Standar deviasi merupakan ukuran satuan risiko terkecil yang menggambarkan penyimpangan yang terjadi dari suatu proyek investasi. Standar deviasi memiliki makna bahwa semakin kecil nilai standar deviasi maka semakin rendah risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha. Perhitungan standar deviasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
=
− (
)
Keterangan : σNPV
= Standar Deviasi
Pi
= Probabilitas terjadinya ketiga skenario
NPVi
= NPV dari setiap skenario
E (NPV) = NPV yang diharapkan 4.4.5.3. Koefisien Variasi (CVNPV) Koefisien variasi juga merupakan alat untuk mengukur tingkat risiko yang dihadapi, dimana pengambil keputusan dapat memilih alternatif dari beberapa kegiatan usaha yang dijalankan dengan mempertimbangkan risiko yang dihadapi di setiap usaha untuk setiap return yang diperoleh. Semakin kecil niali koefisien variasi maka semakin rendah risiko yang dihadapi. Perhitungan koefisien variasi dapat dirumuskan sebagai berikut : 39
=
(
)
Keterangan : CVNPV = Koefisien Variasi E (NPV) = NPV yang diharapkan σNPV = Standar Deviasi Perhitungan terhadap setiap skenario dilakukan dengan menggunakan data harga jual belimbing dan jumlah produksi dari ketiga skenario yang ada. 4.5.
Asumsi Dasar Analisis kelayakan usaha budidaya belimbing dewa dikota depok dengan
penerapan SOP, menggunakan asumsi: 1. Seluruh modal yang digunakan dalam usaha budidaya belimbing dewa adalah modal sendiri. 2. Data yang digunakan dalam analisis merupakan data rata-rata yang didapatkan dari delapan orang petani yang menjadi responden pada penelitian. 3. Harga seluruh peralatan dari biaya-biaya yang digunakan dalam analisis ini bersumber dari survey lapang, dimana digunakan harga yang berlaku saat penelitian dilakukan yaitu April-Mei 2011. 4. Umur teknis dari proyek ditetapkan selama 15 tahun. Hal ini didasarkan pada umur teknis pohon yang dapat berproduksi sesuai dengan SOP. 5. Harga seluruh input dan output yang digunakan dalam analisis ini adala konstan, yang berlaku pada saat penelitian 6. Satu kali masa panen belimbing adalah empat bulan, diasumsikan dalam satu tahun tiga kali panen. 7. Dari analisis kelayakan finansial terdapat dua kondisi yaitu kondisi I dan kondisi II. Kondisi I merupakan analisis kelayakan finansial tanpa risiko (kondisi normal) dan kondisi II merupakan analisis kelayakan finansial dengan adanya risiko. Kondisi II memiliki dua skenario yaitu skenario I merupakan analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi dan skenario II menganalisis kelayakan dengan adanya kondisi harga output. 40
8. Tahun yang digunakan adalah tahun ke dua, karena belimbing Dewa dapat dipanen pada tahun kedua sejak penanaman dari bibit. 9. Produksi belimbing dewa optimal (100%) pada tahun ke tiga. Pada tahun ke dua diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 60 persen. 10. Tanah merupakan modal investasi yang diperlukan sebagai tempat penanaman dan gudang. Maka, dalam perhitungan perlu diperkirakan harga jual tanah yaitu Rp 206.250,00/m2. 11. Output yang dihasilkan diasumsikan laku terjual dan habis terpakai dalam satu tahun 12. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, pembelian bibit sebesar Rp 100.000 untuk bibit berukuran 100cm 13. Penyusutan investasi dihitung berdasarkan metode garis lurus 14. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah suku bunga deposito rata-rata dari bank yang ada di Indonesia, yang berlaku pada saat penelitian dilaksanakan yaitu sebesar 6,75% pada tahun 2011. Tingkat suku bunga ini dipilih karena petani menggunakan modal pribadi bukan pinjaman. Oleh karena itu petani dihadapkan pada pilihan akan menginvestasikan modal pada usaha belimbing dewa atau mendopositokan di bank. 15. Pajak pendapatan yang digunakan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2008, pasal 17 ayat 2 a, yang merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, yaitu: Pasal 17 ayat 1 b. Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen) Pasal 17 ayat 2 a Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) untuk tahun pajak 2010 dan seterusnya.
41
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1.
Profil Kota Depok
5.1.1. Letak dan Keadaan Geografis Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06°19’ – 06°28’ Lintang Selatan dan 106°43’ BT-106°55’ Bujur Timur. Pemerintah Kota Depok merupakan bagian wilayah dari Propinsi jawa Barat yang berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu propinsi yaitu: a. Sebelah Utara berbatasan dengan DKI Jakarta dan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondokgede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunungsindur Kabupaten Bogor d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Luas keseluruhan Kota Depok 20.504,54 ha atau 200,29 km 2 yang mencakup 6 kecamatan yaitu: Kecamatan Beji, Limo, Cimanggis, Sawangan, Sukmajaya dan Kecamatan Pancoran Mas. Kota Depok sebagai pusat pemerintahan berada di Kecamatan Pancoran Mas. 5.1.2. Keadaan Alam Wilayah kota Depok termasuk beriklim tropis dengan perbedaan curah hujan cukup kecil yang dipengaruhi oleh angin muson. Musim kemarau jatuh pada periode April – September dan musim penghujan jatuh pada periode Oktober- Maret. Temperatur rata-rata 24,3-33 derajat Celcius, kelembaban udara rata-rata 82 persen, penguapan udara rata-rata 3,9 mm/tahun dan penyinaran matahari rata-rata 49,8 persen. Banyaknya curah hujan 872 mm/tahun, banyaknya curah hujan rata-rata sekitar 2,4 mm. Secara umum topografi wilayah kota Depok dibagian utara merupakan dataran rendah dengan elevasi antara 40-80 meter, sedangkan di bagian selatan perbukitan bergelombang lemah dengan elevasi 80-140 meter.
42
Wilayah kota Depok dari segi hidrologis didominasi oleh kelompok litologi endapan lanau, pasir, kerikil dan kerakal. 5.2. Kecamatan Pancoran Mas 5.2.1. Letak dan Keadaan Geografis Kecamatan Pancoran Mas adalah salah satu kecamatan di Kota Depok, Jawa Barat yang terletak pada koordinat 6,19°-6,28° LS dan 106,43°BT. Terdiri dari 11 kelurahan yaitu: Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya, Kelurahan Pancoran Mas, Mampang, Cipayung, Cipayung Jaya, Rangkapan Jaya, Rangkapan Jaya Baru, Bojong Pondok Terong, Ratu Jaya dan Kelurahan Pondok Jaya. Luas wilayahnya mencapai 1.969,57 Ha dengan ketinggian antara 65-72 meter diatas permukaan laut dengan topografi relatif datar. Wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Beiji dan Kecamatan Limo. Sebelah selatan dengan Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor, sebelah timur dengan Kecamatan Sukmajaya dan sebelah barat dengan Kecamatan Sawangan. 5.2.2. Keadaan Alam Kecamatan Pancoran Mas memiliki temperatur 24,30C-330C, kelembaban udara rata-rata 82 persen, kecepatan angin rata-rata 3,3 knot, jumlah curah hujan 2.684 m/tahun dan jumlah hari ujan sebanyak 222 hari/tahun. Penyinaran matahari rata-rata 49,8 persen. 5.2.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah penduduk di Kecamatan Pancoran Mas sampai akhir tahun 2009 sebanyak 281.005 jiwa yang terdiri dari 146.506 laki-laki dan 134.499 perempuan. Kecamatan Pancoran Mas merupakan pusat kegiatan pemerintah dan aktivitas bisnis. Mata
pencaharian
penduduknya
sebagian
besar
bergerak
disektor
perdagangan. Meskipun demikian, sektor pertanian merupakan sektor yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah kota. Sebanyak tiga persen dari jumlah penduduk bergerak di sektor pertanian, 22 persen di sektor industri, 45 persen disektor perdagangan dan 30 persen bergerak disektor jasa. Fasilitas
43
pendidikan formal yang dimilki Kecamatan Pancoran Mas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Pancoran Mas tahun 2008 No. Jenis Fasilitas Jumlah (unit) 1.
TK
37
2.
Sd Negeri
56
3.
SD Swasta
12
4.
SLTP Negeri
2
5.
SLTP Swasta
37
6.
SMU Negeri
1
7.
SMU Swasta
11
8.
SMK/SMEA
13
9.
STM
6
10.
SMIP Negeri
1
11.
Perguruan Tinggi Swasta
4
Sumber: Kecamatan dalam Angka, 2008
Fasilitas kesehatan yang dimiliki Kecamatan Pancoran Mas antara lain: tiga Rumah sakit Swasta, empat puskesmas, satu puskesmas pembantu dan beberapa poliklinik serta RS bersalin. Fasilitas umum lainnya yang tersedia natara lain: lapangan sepak bola, tempat pemancingan, stasiun kereta api, terminal dan lembaga kesenian. 5.3. Kecamatan Sawangan 5.3.1. Letak dan Keadaan Geografis Kecamatan Sawangan adalah sebuah kecamatan di Kota Depok, Jawa Barat. Sawangan berasal dari kata bahasa Sunda "sawang" yang artinya melihat. Sawangan dalam bahasa Sunda mempunyai arti tempat melihat. Hal ini mungkin karena pada masa lalu Sawangan posisinya lebih tinggi dari tempat-tempat di sekitarnya sehingga bisa dijadikan tempat melihat sekelilingnya. Luas wilayahnya mencapai 4.671,20 KM2 dengan ketinggian 138 meter diatas permukaan laut dengan topografi relatif datar. Penggunaan lahan terbesar adalah kebun campuran yang merupakan lahan pekarangan di sekitar pemukiman 44
dan kebun yang ditanami buah-buahan seperti belimbing,jambu dan pepaya. Sedangkan lahan yang digunakan untuk sawah relatif sempit. 5.3.2. Keadaan Alam Kecamatan Sawangan memiliki temperatur 280C-330C, kelembaban udara rata-rata 82 persen, kecepatan angin rata-rata 3,2 kont, jumlah curah hujan 2.684 m/tahun dan jumlah hari hujan sebanyak 221 hari/tahun. Penyinaran matahari rata-rata 48,9 persen. Jenis tanah yang ada di Kecamatan Sawangan terutama di lokasi penelitian,kelurahan Pasir Putih yaitu tanah dengan jenis latosol merah dan latosol cokelat kemerahan yang cenderung memilki nilai kesesuaian lahan yang cocok untuk beberapa jenis tanaman. Dengan kondisi kemiringan lerengnya yang kecil, komoditas pertanian yang dapat dikembangkan diantaranya adalah tanaman buah-buahan seperti belimbing. 5.3.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kecamatan Sawangan ini terdiri dari 618 RT (Rukun Tetangga) dan 142 RW (Rukun Warga). Jumlah penduduk Kecamatan Sawangan sebesar 160.856 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 81.067 jiwa dan penduduk perempuan 79.789 jiwa. Penduduk di Kecamatan Sawangan yang termasuk usia produktif sebanyak 127.843 jiwa yang terdiri dari 66.792 laki-laki dan 61.051 perempuan. Dilihat dari jumlah penduduk usia produktif, dapat diketahui bahwa ketersediaan tenaga kerja di Kecamatn Sawangan mencukupi, termasuk tenaga kerja di bidang pertanian. Fasilitas kesehatan yang dimiliki Kecamatan Sawangan antara lain: 1 rumah sakit, 5 puskesmas dan 6 klinik swasta. Fasilitas lain yang dimiliki adalah pendidikan, rekreasi, rumah makan, penginapan dan perumahan. 5.4. Kecamatan Beji 5.4.1. Letak dan Keadaan Geografis Kecamatan Beji adalah salah satu kecamatan di Kota Depok, Jawa Barat. Terdiri dari 6 kelurahan yaitu: Kelurahan Beji, Kelurahan Beji Timur, Kelurahan Kemiri Muka, Pondok China, Kukusan dan Kelurahan Tanah Baru. Luas
45
wilayahnya mencapai 1.509,70 Ha dengan ketinggian antara 65-72 meter diatas permukaan laut dengan topografi relatif datar. 5.4.2. Keadaan Alam Kecamatan Beji memiliki keadaan alam yang tak jauh berbeda dengan kecamatan Pancoran Mas yaitu memiliki temperatur 24,30C-330C, kelembaban udara rata-rata 82 persen, kecepatan angin rata-rata 3,3 knot, jumlah curah hujan 2.684 m/tahun dan jumlah hari ujan sebanyak 222 hari/tahun. Penyinaran matahari rata-rata 49,8 persen. 5.4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kecamatan Beji ini terdiri dari 317 RT (Rukun Tetangga) dan 72 RW (Rukun Warga). Jumlah penduduk Kecamatan Sawangan sebesar 160.856 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 60.552 jiwa dan penduduk perempuan 56.614 jiwa. Mata pencaharian penduduknya sebagian besar bergerak dibidang pertanian yaitu sejumlah 21.494 jiwa, lalu diikuti oleh perdagangan, konstruksi serta jasa. 5.5. Gambaran Umum Usaha Budidaya Belimbing Dewa Belimbing Depok dikenal dengan Belimbing Dewa, hasil buah karya petani penangkar Depok Bapak H. Usman Mubin. Buah yang berwarna kuning orange keemasan, mengandung citamin C dan A yang cukup tinggi, buah besar dapat mencapai 0,5 Kg per buah. Salah satu program pertanian yang sedang diupayakan dapat mengangkat dunia pertanian Kota Depok sekaligus dapat dijadikan icon kota adalah Program Pengembangan Buah Belimbing Varietas Dewa Baru melalui SOP yang menitikberatkan pada pengembangan pola produksi. Perencanaan program ini telah dilakukan sejak tahun 2006, yang melibatkan seluruh stakeholder belimbing Kota Depok. Perencanaan ini meliputi seluruh aspek kerja pengelolaan belimbing, mulai dari pembinaan petani, penelitian pembudidayaan samapi dengan pemasaran hasil produksi belimbing dari petani. Hingga saat ini pemerintah Kota Depok telah melakukan pembinaan kepada 650 petani belimbing tergabung dalam 25 kelompok tani yang tersebar di enam kecamatan Kota Depok. Petani belimbing ini telah diberikan pembekalan dan sosialisasi tata cara pembudidayaan belimbing varietas Dewa Baru dengan SOP. 46
Dari segi pemasaran, pemerintah Kota Depok telah memfasilitasi terbentuknya Pusat Koperasi Pemasaran Buah dan Olahan Belimbing yang dikenal dengan Puskop bertugas dalam memasarkan hasil buah dan olahan petani belimbing Kota Depok. Belimbing dinilai berkhasiat untuk penurunan darah tinggi, kencing manis dan nyeri lambung. Belimbing dewa sangat prospektif dikembangkan di Kota Depok dan kini telah menjadi buah unggulan Kota Depok karena buah Belimbing Dewa Depok lebih unggul dibandingkan buah belimbing yang lainnya yang ada di Indonesia. Hal ini diketahui pada setiap Event Lomba Buah Belimbing Unggul dan pameran-pameran buah nasional serta internasional, buah Belimbing Dewa ini lebih unggul dan selalu menjuarai sebagai buah unggul nasional versi Trubus. Potensi pertanian belimbing di Kota Depok sampai tahun 2007 memiliki populasi tanaman sebanyak 27.773 pohon dengan total luas areal lahan 121 Ha menyebar di wilayah Kota Depok. Perkiraan tanaman belimbing yang sudah produktif dengan umur tanaman lebih dari empat tahun, memiliki kapasitas produksi per tahun 100-150 Kg per pohon per tahun. Sehingga perkiraan total produksi yang dihasilkan Kota Depok berkisar antara 2.700 ton sampai 3.000 ton per tahun. Sementara kapasitas produksi belimbing jika diterapkan budidaya sesuai SOP Belimbing Dewa, diharapkan produktifitas per pohon dapat mencapai 300 Kg per tahun. Mengenai produkrifitas Belimbing Dewa berdasarkan umur belimbing dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Produktifitas Belimbing Dewa berdasarkan Umur Belimbing di Kota Depok No Umur (Tahun) Produktivitas Jumlah Panen (kali/tahun) (buah/pohon/tahun) 1.
2-4
<500
3
2.
5-9
500-1200
3
3.
10-15
1.201-2.000
3
4.
>15
>2000
3
Sumber: Standar Operasional Belimbing Dewa, Kota Depok, 2007
Belimbing Dewa memiliki kandungan air yang lebih tinggi dari pada belimbing jenis lain, sehingga Belimbing Dewa lebih tahan lama. Dalam ruangan 47
sejuk, Belimbing Dewa mampu mempertahankan kesegarannya hingga satu minggu, sedangkan belimbing jenis lain hanya dua hingga tiga hari. Kadar air yang tinggi membuat Belimbing Dewa lebih berbobot (berat rata-rata 200 gr hingga 250 gr, bahkan dapat mencapai 500 gr/buah. Selain itu semua bagian buah belimbing dapat dimakan termasuk pinggir buah belimbing yang tipis sehingga dapat dimakan. Ukuran yang besar membuat buah Belimbing Dewa berpotensi bersaing secara global. Pertanaman Belimbing di kota Depok banyak dikembangkan di lahan-lahan masyarakat dan uniknya banyak juga dikembangkan disepanjang kali Ciliwung, hal ini berpotensi menjadi kawasan agrowisata belimbing Depok di sepanjang DAS Ciliwung. Dalam upaya peningkatan hasil kualitas belimbing dari para petani Kota Depok serta upaya pemenuhan kualitas produk, para petani mulai menerapkan SOP Belimbing Dewa yang sudah disosialisasikan. Hal ini juga dipicu dengan peluang pasar komoditas ini masih cukup besar, karena keunggulan spesifik yang dimiliki belimbing Dew Depok dan cukup diminati konsumen. Hampir seluruh pelaku usaha budidaya belimbing Dewa Kota Depok menganggap bahwa kegiatan usaha yang mereka lakukan merupakan pekerjaan utama. Mereka menggantungkan hidupnya pada usaha budidaya Belimbing Dewa dan menganggap bahwa menjalankan usaha budidaya Belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP menguntungkan. Mereka akan mengunakan selalu SOP karena dapat meningkatkan jumlah produksi. Sebagian besar pelaku usaha budidaya berusia 20 hingga 55 tahun. Tingkat pendidikan pelaku usahanya sangat beragam.
48
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Aspek Non Finansial Analisis mengenai aspek non finansial, dilakukan untuk mengetahui sejauh mana usaha budidaya Belimbing Dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok layak untuk dilaksanakan. Aspek non finansial yang akan dikaji lebih dalam antara lain adalah aspek pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosialekonomi-budaya, serta lingkungan. 6.1.1. Aspek Pasar Aspek pasar memegang peranan penting menentukan kelayakan suatu usaha. Hal ini disebabkan, aspek pasar menganalisis dari output yang dihasilkan. Berikut ini adalah analisis lebih lanjut mengenai komponen-komponen dari aspek pasar: 1.
Permintaan dan Penawaran Kesadaran masyarakat akan nilai gizi dan manfaat serta khasiat dari buah-
buahan kian meningkat. Tidak hanya buah segar, olahan dari buah-buahan ini kian dicari. Belimbing merupakan buah yang telah dikenal masyarakat akan khasiat dan kesegarannya. Selain dikonsumsi langsung, telah banyak industri pengolahan belimbing. Selain itu, kini belimbing telah mulai di ekspor untuk keperluan industri rumah makan sebagai penghias. Konsumen Belimbing Dewa Kota Depok adalah konsumen dari Jakarta, Sumatera dan Jawa.
Dengan berkembangnya industri pengolahan buah
belimbing, maka kebutuhan akan belimbing khususnya Belimbing Dewa terus meningkat. Berapun belimbing dewa yang dihasilkan selalu habis terjual. Di Indonesia permintaan akan belimbing diperkirakan mencapai 70 ton. Penawaran terhadap belimbing khususnya belimbing dewa dapat dilihat dari perkembangan produksi selama kurun waktu lima tahun 2003-2008. Produksi tahun 2008 mencapai 42.732 kwintal. Para petani budidaya belimbing yang ada di Kota
Depok
rata-rata
dapat
menghasilkan
10.333
kilogram.
Hal
ini
mengindikasikan masih adanya permintaan belimbing manis untuk kebutuhan di dalam negeri. Dengan mengetahu permintaan dan penawaran, dapat diketahui pula market share dari usaha budidaya belimbing dewa di Kota Depok. 49
Tabel 7. Perkembangan Produksi Belimbing Dewa Kota Depok Tahun 2003-2008 Tahun Produksi (KW) Presentase(persen) 2003
6.062
-
2004
6.962
14,84
2005
50.514
625,56
2006
40.473
-19,87
2007
35.956,30
-11,15
2008
42.732
18,84
Sumber: Dinas Pertanian Kota Depok, 2008
Market share menunjukkan proporsi penjualan suatu usaha terhadap penjualan industri secara keseluruhan (Solihin, 2007), yang dapat dirumuskan sebagai berikut : ℎ
∑
=∑
Berdasarkan perumusan tersebut, market share dari usaha budidaya belimbing dewa di Kota Depok, dengan asumsi harga jual belimbing per kilogram Rp 5.313,00, dan diasumsikan konstan selama tahun 2011 maka: Market Share Petani Budidaya Belimbing Dewa Kota Depok =
(10.333 kg × Rp 5.313) × 3 kali panen (427.3200 kg × Rp 5.313)
=
164.697.687 22.703.511.600
= 0,72% Market share yang diterima petani budidaya belimbing dewa di Kota Depok adalah sebesar 0,72 % dari keseluruhan industri. 2.
Harga Berdasarkan data primer yang diperoleh harga Belimbing Dewa terendah
mencapai Rp 3.875,00 /kg. Sedangkan harga normal Belimbing Dewa sebesar Rp 5.313,00/kg. Harga Belimbing Dewa tertinggi mencapai Rp 6.875,00/kg. Data harga tersebut diperoleh berdasarkan pengalaman yang didapat petani selama mengusahakan budidaya Belimbing Dewa melalui SOP. 50
3.
Pemasaran Output dari usaha ini berupa Belimbing Dewa segar tanpa proses
pengolahan. Belimbing Dewa segar dipasarkan ke daerah sekitar Depok, Pulau Jawa bahkan Luar pulau Jawa. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga pemasaran yang akan memasarkan Belimbing Dewa. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petani, lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran Belimbing Dewa antara lain: petani, pengumpul (tengkulak), Koperasi, Pedagang grosir, pengecer, supermarket, industri pengolahan, konsumen. Saluran pemasaran Belimbing Dewa di Kota Depok terbagai dalam enam saluran. Pada saluran pertama, belimbing yang dihasilkan dijual ke pengumpul. Penjualan ke pengumpul ini petani tidak mengeluarkan banyaka biaya terutama transport dikarenakan pengumpul sendiri yang akan datang ke kebun dan dianhkut dengan mobil milik pengumpul. Setelah mengumpulkan dari pengumpul, belimbing dijual ke pedagang grosir di pasar induk. Sebagian besar pengumpul yang ada menjualnya ke daerah Pasar Minggu. Selanjutnya belimbing akan sampai pada pengecer lalu ke konsumen. Belimbing pada saluran ini biasanya belimbing Dewa dengan indeks empat dan lima dimana belimbing berwarna kuning muda hingga kemerahan.
Supermarket 2
1
Pedagang Grosir
Pengumpul 6
5
4
Petani Belimbing Dewa
3
Koperasi
Pengecer
Konsumen
4 Industri Pengolahan
Gambar 2. Saluran Pemasaran Belimbing Dewa Kota Depok Saluran kedua, petani tetap menjual kepada pengumpul, selanjutanya pengumpul mejual kepada supermarket di daerah Depok, Jakarta dan sekitarnya. Penjualan oleh pengumpul ke supermarket dilakukan dengan perjanjian dan 51
syarat-syarat yang ketat dan mengikat. Belimbing yang dijual untuk supermarket yaitu belimbing dengan indeks empat. Belimbing dengan indeks empat berwana kuning kehijauan dengan presentase warna hijau 10-30%. Hal ini dikarenakan belimbing untuk supermarket akan disimpan lebih lama. Saluran tiga, setelah petani memanen belimbing dengan indeks enam dan tujuh, buah belimbing sudah sangat matang, mereka menjual ke koperasi. Dari koperasi buah belimbing dijual pada industri-industri pengilahan belimbing seperti jus, sirup, selai, manisan dan sale di sekitar Depok dan Jakarta. Tidak banyak petani yang menjual ke koperasi dengan alasan pembayaran yang dilakukan koperasi adalah dicicil tidak seperti pengumpul atau tengkulak yang membayar secara kontan. Selain alasan pembayaran, petani tidak banyak menjual ke koperasi karena kekecewaan petani pada koperasi yang memberikan kuota jumlah belimbing yang dapat di jual ke koperasi. Ketika kuota telah melebihi, koperasi tidak akan menerima hasil panen belimbing. Saluran ke empat, dari petani ke koperasi kemudian koperasi menjual ke pedagang pengumpul lalu ke pengecer dan sampai ke konsumen. Pada saluran kelima petani langsung menjual kepada pengecer. Belimbing yang dijual kepada pengecer jumlahnya tidak terlalu banyak. Saluran yang terakhir adalah saluran ke enam. Pada saluran ini, petani langsung menjajakan hasil panennya. Para petani menjajakan dagangannya dipinggir jalan sekitar Depok. Selain itu belimbing yang langsung dijual ke konsumen biasanya konsumen yang sedang mengadakan acara dan sudah kenal dengan petani. Dari ke enam saluran yang ada, petani Belimbing Dewa Kota Depok lebih banyak terdapat pada saluran satu dan dua. Pada saluran satu dan dua hasil panen langsung dijual kepada pengumpul walaupun harga jual yang diterima tidak begitu besar. Belimbing hasil panen petani pasti akan diambil semua oleh pengumpul. Selanjutnya pengumpul yang akan memasarkan Belimbing Dewa ke daerah-daerah seperti Jakarta, Jawa dan Sumatera. Berdasarkan uraian tesebut, pada aspek pasar usaha budidaya Belimbing Dewa layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan, masih terbukanya peluang pasar dalam kapasitas yang lebih besar ditunjukkan dengan nilai market share.
52
6.1.2. Aspek Teknis Aspek teknis yang dikaji berkaitan dengan sumber daya produksi yang digunakan oleh usaha budidaya Belimbing Dewa, teknik budidaya sesuai SOP, lokasi usaha budidaya dan produksi Belimbing Dewa. 1.
Sumber Daya Produksi Sumber daya produksi yang digunakan pada usaha budidaya belimbing
Dewa dapat terbagi kedalam empat bagian yaitu sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya modal dan bahan baku. Sumber daya yang pertama,manusia (tenaga kerja), merupakan salah satu faktor produksi utama dari usaha budidaya Belimbing Dewa. Tenaga kerja yang dipakai berasal dari tenaga kerja keluarga dan non keluarga yang berasal dari lingkungan masyarakat sekitar. Jumlah tenaga kerja disesuaikan dengan tugas-tugas khusus dalam kegiatan budidaya Belimbing Dewa. Dalam kegiatan perawatan dan pemupukan berjumlah rata-rata tiga orang. Kegiatan pembungkusan dan pemetikan memerlukan tenaga kerja lebih banyak yaitu berjumlah rata-rata tujuh orang dikarenakan dalam proses pembungkusan harus cepat agar tidak banyak buah yang jatuh. Kegiatan pemangkasan memerlukan tanaga
kerja rata-rata empat orang. Tenaga kerja
berjenis kelamin laki-laki dengan umur diatas 20 tahun. Sumber daya yang kedua adalah sumber daya alam. Sumber daya alam yang digunakan dalam usaha budidaya Belimbing Dewa adalah lahan dan sumber mata air. Luas lahan yang digunakan untuk budidaya Belimbing Dewa di kecamatan Pancoran mas sebesar 448,44 m2. Pada Kecamatan Sawangan lahan yang digunakan 1.509.1 m2 . Hal ini disebabkan banyak lahan yang telah digunakan untuk pemukiman serta konversi lahan. Lahan-lahan yang banyak digunakan merupakan lahan pekarangan rumah. Para petani budidaya Belimbing Dewa menjalankan usaha budidaya Belimbing Dewa dengan luas rata-rata kepemilikan lahan sebesar 1708,75 m2. Lahan yang digunakan oleh petani budidaya merupakan lahan milik pribadi. Harga lahan untuk usaha di lokasi penelitian sebesar Rp 206.250,00 per meter. Sumber daya alam lainnya yang digunakan dalam usaha ini adalah mata air. Air sangat penting dalam kegiatan usaha budidaya Belimbing Dewa dikarenakan belimbing merupakan tumbuhan yang perlu banyak air. Sumber mata air yang 53
digunakan oleh para pembudidaya Belimbing Dewa adalah air yang mengalir di sungai-sungai dengan irigasi sederhana, air hujan maupun sumur bor yang dimiliki oleh petani. Para petani budidaya kemudian mengalirkan air tersebut melalui pipa-pipa dan ditampung dalam drum air. Untuk mendapatkan air tersebut, para petani budidaya tidak mengeluarkan biaya. Mereka hanya perlu menyiapakan pipa dan drum air. Selain sumber air dari sungai, para petani juga memenuhi kecukupan air dengan memanfaatkan tenaga mesin, yaitu jet pump, untuk mempermudah proses pengambilan air melalui sumber mata air yang berasal dari air tanah. Modal yang digunakan dalam pelaksanaan usaha berasal dari modal sendiri. Para petani budidaya pada penelitian ini tidak melakukan peminjaman modal ke pihak lain ataupun lembaga keuangan, seperti bank. Akan tetapi petanipun sesekali mendapatkan batuan dari pemerintah berupa peralatan serta input yang disalurkan melalui kelompok petani. Modal awal petani budidaya digunakan untuk membeli bibit, membangun gudang dan membeli peralatan serta perlengkapan yang dibutuhkan, seperti, mulsa/karbon, steam, gunting stek, drum air, cangkul, golok, timbangan, tangga, box kontainer, parang dan hands frayer. Jumlah pohon rata-rata yang dimiliki petani adalah sebanyak 62 pohon dengan umur rata-rata diatas lima tahun. Bibit belimbing yang dibeli oleh petani berukuran 80cm. Rata-rata petani budidaya memiliki satu buah gudang untuk menyimpan obat-obatan, peralatan dan perlengkapan lain yang dibutuhkan dalam usaha budidaya Belimbing Dewa. Gudang dibangun pada awal tahun usaha serta membutuhkan waktu pembangunan selama kurang lebih dua bulan. Pembangunan gudang ini menghabiskan biaya sebesar Rp 3.800.000,00 per unit nya. Bahan baku yang digunakan dalam usaha budidaya Belimbing Dewa adalah pupuk dan obat-obatan. Pupuk yang digunakan sebanyak dua macam yaitu pupuk kandang dan NPK. Obat-obatan yang dipakai petani adalah Curacron, Decis dan Dusban sebagai pestisida. Sedangkan Gandasil B sebagai perangsang bunga dan Gandasil A sebagai perangsang Buah. 2.
Penyediaan input Input yang dibutuhkan oleh usaha budidaya Belimbing Dewa terdiri dari
bibit, pupuk dan obat-obatan. Bibit yang pertama kali ditanam oleh petani dibeli 54
secara langsung pada petani lain atau tempat penjualan bibit. Bibit yang digunakan rata-rata dibeli dengan harga Rp 100.000,00. Kualitas tanaman sangat tergantung dari kualitas bibitnya. Petani yang telah menanam pada tahun pertama, bibit selanjutnya diperoleh dari perbanyakan dengan cara okulasi. Pohon yang diperoleh dari hasil okulasi ini, dapat berbuah pada umur satu tahun sejak masa penanaman, namun hasil dari buah pertama ini belum optimal. Untuk kelanjutan yang lebih baik, bunga yang tumbuh pada usia satu tahun ini dipangkas terlebih dahulu. Hasil yang optimal diperoleh pada usia pohon tiga tahun keatas sejak penanaman. Keunggulan lain menggunakan bibit dengan cara okulasi, buah yang dihasilkan sama dengan induknya. Jadi buah yang dihasilkan seragam. Input lainnya adalah pupuk. Pupuk berupa pupuk NPK diperoleh dengan cara membeli secara langsung pada agen pertanian yang ada di sekitar lokasi. Lokasi agen bahan pertanian yang sering didatangi petani terletak di daerah Parung. Petani memilih agen tersebut karena harga yang lebih murah dibandingkan agen pada tempat lain. Pupuk NPK dibeli petani dengan harga Rp. 11.875,00 per kilo gram. Pupuk kandang didapatkan petani dari peternak ayam domba dan kambing yang ada di daerah usaha. Harga pupuk kandang adalah Rp 8.500,00 per karung. Ketersedian akan pupuk ini baik NPK maupun kandang cukup baik. Pupuk selalu tersedia pada agen maupun peternakan. Proses pembayaran untuk pupuk dilakukan secara tunai. Sedangkan untuk penggunaan obat-obatan, petani membelinya pada agen yang sama dengan membeli pupuk atau didapatkan di koperasi. Satu liter decis dibeli dengan harga Rp 226.250,00. Harga satu liter curacron adalah Rp 212.500,00. Sedangkan satu liter dusbran seharga Rp 100.000,00. Gandasil A dan Gandasil B dibeli perbungkus dengan harga Rp 26.125,00 per bungkus. 3.
Kegiatan Budidaya Belimbing Dewa Usaha pembudidayaan Belimbing telah lama disahakan di Kota Depok dan
merupakan usaha turun-temurun. Selain ditanam dikebun atau lahan tersendiri, tanaman belimbing juga ditanam di sekitar pekarangan rumah. Tehnik budidaya belimbing Dewa di Kota Depok sebenarnya hampir sama dengan yang lain. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas buah belimbing yang dihasilkan oleh petani serta sebagai langkah dalam mewujudkan belimbing 55
sebagai icon Kota Depok, maka telah disusun Strandar Operasional Prosedur oleh Dinas Pertanian Kota Depok sebagai pengembangan pola produksi belimbing. SOP belimbing ini adalah panduan teknik budidaya blimbing yang dilakukan untuk meningkatkan mutu buah beliming yang dihasilkan oleh petani. Teknik budidaya belimbing sesuai SOP telah disosialisasikan kepada para petani belimbing di Kota Depok mulai tahun 2007. Hanya saja belum banyak petani yang menerapkannya hingga sekarang. Ada petani yang telah menerapkan seluruh SOP dan adapula petani yang tidak sepenuhnya menerapkan SOP bahkan adapula petani yang tidak atau belum menerapkan. Tehnik budidaya Belimbing Dewa sesuai SOP terbagi menjadi beberapa tahap yang dimulai dari penanaman tanaman
Belimbing
Dewa,
pemupukan
dan
penyemprotan,
pengairan,
pemeliharaan/ sanitasi kebun, pembungkusan dan penjarangan bunga, panen dan yang terakhir adalah pemangkasan (Gambar 3). Penanaman Pemupukan & penyemprotan Pengairan Pemeliharaan/Sanitasi Kebun Pembungkusan & Penjarangan Buah Panen
Pemangkasan Gambar 3. Proses Teknik Budidaya Belimbing Dewa sesuai SOP Tahapan pertama dimulai dari penanaman bibit belimbing. Bibit belimbing ditanam petani pada saat ketinggian satu meter. Kedalaman tanam 50 meter dan lebar satu meter. Jarak tanaman yang sesuai oleh SOP adalah 7x7 meter dikarenakan semakin jauh jarak tanam belimbing akan meyebabkan cabang56
cabang semakin menyamping dan menghasilkan buah yang lebih banyak. Ketentuan jarak tanam ini yang paling sering dilanggar oleh petani. Ada yang menggunakan jarak tanam 6x6 meter dengan alasan banyak lahan yang kosong sehingga lahan tidak optimal serta ada tanaman belimbing yang sudah ditanam sebelum pemberlakuan SOP ini.
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
7m
Gambar 4. Pola Jarak Tanam Belimbing
Gambar 5. Pohon Belimbing Dewa Tahapan berikutnya adalah pemupukan dan penyemprotan tanaman Belimbing Dewa. Menyediakan kebutuhan hara dan nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman belimbing dilakukan melalui kegiatan pemupukan. Pupuk yang digunakan pada tanaman belimbing adalah pupuk kandang dan NPK. Pupuk kandang dan NPK digunakan untuk menambah dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Kegiatan pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang dan NPK dilakukan tiap empat bulan sekali
57
Gambar 6. Proses Pemupukan Belimbing Dewa Melalui SOP Banyaknya pupuk yang digunakan oleh petani rata-rata untuk pupuk kandang 3 karung per pohon atau 30-60 kg. Sedangkan untuk NPK, rata-rata yang digunakan adalah 2 kg per pohon. Berdasarkan SOP dosis pupuk kandang dan NPK per pohon belimbing dewa disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Dosis Pupuk Kandang dan NPK pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa di Kota Depok Waktu Pemupukan
Dosis Pupuk sekali Pemakaian (kilogram/pohon) Pupuk Kandang
Pupuk NPK
3-12 bulan setelah tanam
20-30
0,2-0,3
1-3 tahun setelah tanam
30-40
0,4-0,6
>3 tahun setelah tanam
40-60
0,7-1,0
Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok (2007)
Prosedur pelaksanaan pemberian pupuk pemberian pupuk diantaranya sebagai berikut: 1) Menyiapkan alur lubang pupuk dibawah lingkaran tajuk sedalam 20 centimeter dan selebar cangkul 2) Menyiapkan pupuk sesuai jenisa dan dosis yang akan digunakan 3) Memasukkan pupuk kedalam lubang tanam kemudian menutupnya.
58
Kegiatan penyemprotan
obat-obatan dilakukan dua minggu satu kali
dengan sistem oplosan. Kegiatan ini guna merangsang daun dan buah. Pada musim hujan penggunaan input obat-obatan dua kali lebih banyak dibandingkan musim kemarau, hal tersebut disebabkan obat-obatan yang telah disemprotkan hilang tersiram air hujan. Tahap selanjutnya adalah pengairan. Kegiatan ini dilakukan untuk menyediakan kebutuhan air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman belimbing dewa. Kegiatan pengairan dilakukan 2 minggu setelah penyemprotan atau saat telah keluar bunga. Sebelum kegiatan pengairan dilakukan, hal yang harus dipehatikan adalah melihat kondisi tanaman dan tanah. Pengairan harus dihentikan jika kondisi tanah telah cukup lembab. Air yang digunakan sebagai sumber pengairan berasal dari air hujan, irigasi sederhana maupun sumur bor. Para pelaku usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok, umumnya melakukan kegiatan pengairan hanya pada musim kemarau. Bahkan ada yang sama sekali tidak melakukan pengairan dengan alasan tanaman belimbing dewa akan terus berproduksi walaupun dalam kondisi kering. Setelah dilakukan penyemprotan untuk merangsang bunga dan buah lalu pengairan,
tahapan
berikutnya
pemeliharaan
tanaman
belimbing
dewa
dengansanitasi kebun serta pengendalian hama dan penyakit tanaman belimbing dewa. Sanitasi kebun adalah kegiatan menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan kebun. Sanitasi kebun penting dilakukan untuk memberikan lingkunagn tumbuh yang baik bagi pertumbuhan tanaman dan memutuskan siklus hidup Hama dan Penyakit Tanaman (HPT). Kegiatan ini meliputi pembersihan gulma yang tumbuh disekitar tanaman dan membersihkan buah belimbing yang jatuh ke tanah dan yang tersangkut di pohon. Kegiatan sanitasi kebun dapat dikatakan sebagai kegiatan pencegahan terhadap datangnya HPT. Pengendalian HPT adalah tindakan yang dilaksanakan untuk mencegah kerugian seperti penurunan mutu dan produksi buah belimbing yang diakibatkan oleh hama dan penyakit tanaman. Sebelum melakukan kegiatan pengendalian HPT, petani melakukan pengamatan terhadap HPT di kebun secara teratur dan berkala. Dengan mengenali HPT yang menyerang dan gejala serangannya, maka petani dapat melakukan tindakan atau cara yang tepat untuk mengatasinya. 59
Gambar 7. Tanaman yang Terkena HPT Ada beberapa hama dan penyakit yang dapat serta sering menyerang tanaman belimbing dewa, yaitu: 1) Lalat Buah Untuk mengendalikan serangan lalat buah, petani melakukan pengendalian dengan menggunakan perangkap lalat buah yang menggunakan zat bermerek dagang Petrogenol yang mengandung feromon. Pengendalian menggunakan insektisida juga dapat dilakukan. Insektisida yang digunakan adalah insektisida sistemik. Untuk menghindari serangan lalat buah, petani membungkus buah pada saat tiga sampai empat minggu setelah buah terbentuk. Jika ada buah yang terserang atau jatuh, maka harus dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kantung plastik lalu dibenamkan ke dalam tanah sedalam 30 centimeter atau dibakar. 2) Jamur Upas Penyakit ini menyerang bagian batang atau cabang tanaman. Jika serangan sudah berat maka dapat mengakibatkan batang mengering dan lapuk. Pengendaliannya dilakukan dengan cara menyemprot atau mengoleskan cabang yang sakit dengan calixin atau dapat juga menggunakan fungisida seperti Benlate. 3) Bercak Daun Bercak daun ini disebabkan oleh jamur. Penyakit ini menyerang daun, tangkai daun dan batang muda. Penyakit yang disebabkan karena jamur ini meyebabkan terjadinya bercak-bercak daun dengan tepi daun berwarna coklat tua atau ungu. Serangan yang hebat dapat menyebabkan daun kuning hingga rontok. Pengendalian dilakukan dengan menyemprotkan fungisida.
60
Kegiatan selanjutnya adalah pembungkusan. Pembungkusan buah dilakukan 1,5 bulan mulai dari pohon belimbing dewa berbunga. Pembungkusan akan dilakukan lebih cepat apabila musim hujan. Buah yang dilakukan pembungkusan adalah buah muda yang telah berukuran 3 centimeter atau sebesar jempol kaki. Pembungkusan buah dilakukan untuk mencegah kerontokkan buah akibat gangguan hama dan bertujuan menghasilkan buah yang besar, bersih dan menarik. Ciri-ciri buah belimbing dewa siap dibungkus yaitu batang terlihat coklat dan warna buah hijau tua.
Gambar 8. Proses Pembungkusan Buah Belimbing Dewa Agar diperoleh buah yang besar maka dalam satu dompolan buah maksimal dipelihara sebanyak lima buah. Buah yang dubungkus dipilih buah yang memenuhi kriteria bentuk bagus (tidak bengkok), sehat (kulit buah tidak berbintik hitam), tidak cacat dan tangkai buah besar. Sebelum dilakukan pembungkusan, terlebih dahulu dilakukan penjarangan buah pada saat ukuran buah 2 centimeter atau 15-20 hari sejak bunga mekar. Buah yang dibuang adalah buah yang tidak memenuhi kriteria, yaitu yang memiliki ciri-ciri bentuk dan ukurannya tidak normal, buah terserang OPT, terdapat diujung ranting atau cabang. Bahan yang digunakan untuk pembungkusan buah belimbing dewa yaitu kertas karbon dan plastik mulsa, masing-masing bahan tersebut memliki kelemahan dan kelebihan. Namun, karena keberadaan kertas karbon yang mulai langka di pasaran serta harganya yang mahal, maka petani lebih memilih pembungkus berbahan plastik mulsa hitam perak. Plastik mulsa memeiliki kelebihan yaitu harga lebih murah, tidak mudah rusak apabila terkena air hujan dan dapat digunakan beberapa kali pemakaian. Sedangkan kelemahannya bahan terlalu lembab dan buah yang dihasilkan lebih kecil dan berwarna pucat, waktu 61
pembungkusan buah lebih lama. Waktu pembungkusan sampai dengan panen apabila menggunakan kertas karbon yaitu 45 hari sedangkan plastik mulsa 50 hari. Setelah buah berumur 50-55 hari, kegiatan pemanenan dilakukan. Sebelum dilakukan pemanenan, dilakukan terlebih dahulu pengamatan pada buah yang akan dipanen. Hal ini dilakukan untuk memperoleh buah yang sesuai tingkat kematangan dan waktu pemetikan yang tepat. Panen belimbing dewa dilakukan tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan Januari hingga Februari, Mei hingga Juni dan September hingga Oktober.
Gambar 9. Pembungkus Buah Belimbing Dewa Buah belimbing dewa sudah dapat di panen ketika telah memasuki indeks kematangan buah IV hingga VI. Indeks kematangan IV dipilih dengan tujuan agar buah tidak cepat busuk dalam proses penyimpanan. Ciri indeks kematangan buah dapat dilihat pada Tabel 9. Produktivitas tiap pohon pertahun yang diharapkan dicapai dari penerapan SOP belimbing dewa Kota Depok adalah: Umur 2-4 tahun : ≤ 500 buah/pohon/tahun Umur 5-9 tahun : 500-1200 buah/pohon/tahun Umur >15 tahun: ≥ 2.000 buah/pohon/tahu
62
Tabel 9. Ciri-Ciri Indeks Kematangan Buah Belimbing Dewa di Kota Depok Indeks Kematangan Buah Indeks I Indeks II
Indeks III
Indeks IV
Indeks V Indeks VI
Indeks VII
Ciri-ciri Buah Belimbing Dewa
Kegunaan
Buah berwarna hijau tua Buah belum siap panen Buah berwarna hijau sedikit Untuk salad dan hiasan, kuning ekspor melalui laut dan udara Buah berwarna hijau Untuk salad dan hiasan, kekuningan ekspor melalui laut dan udara Buah berwarna kuning Untuk kue, cake, kehijauan hiasan, jus, dimakan segar dan ekspor melalui udara Buah berwarna kuning muda Untuk juice dan dimakan segar Buah berwarna kuning Untuk dimakan segar, kemerahan juice (tidak disarankan untuk ekspor) Buah berwarna merah Tidak disarankan untuk kekuningan (orange tua) ekspor tapi masih dapat digunakan untuk bahan olahan
Sumber: Dinas Pertanian Kota Depok, 2007
Rata-rata hasil panen petani belum sesuai dengan target mutu dan produktivitas yang diharapkan. Petani yang memiliki pohon berumur 5-20 tahun rata-rata 800-2000 buah.
Gambar 10. Belimbing Dewa yang Siap Panen Kegiatan berikutnya setelah panen berakhir adalah pemangkasan. Kegiatan pemangkasana dibagi menjadi dua jenis yaitu kegiatan pemangkasan bentuk dan kegiatan pemangkasan pemeliharaan. Kegiatan pemangkasan bentuk adalah kegiatan membentuk cabang atau ranting tanaman agar mempunyai tajk yang 63
diharapkan dan dengan tujuan agar lebih memudahkan petani dalam melakukan kegiatan pengolahan, perawatan dan pemanenan.
Gambar 11. Kegiatan Pemangkasan Sedangkan pemangkasan pemeliharaan adalah memotong cabang atau ranting tanaman yang tidak produktif dan tidak dikehendaki. Hal ini bertujuan untuk merangsang pembungaan, membuang ranting atau cabang yang mati, tunas air maupun cabang yang tidak produktif serta memudahkan sinar matahari masuk sampai cabang-cabang terbawah. 4.
Lokasi Usaha Usaha budidaya belimbing dewa Kota depok terdapat di lima kecamatan di
Kota Depok. Diantaranya Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Beiji yang memeiliki produktivitas tinggi. Pelaku usaha budidaya belimbing dewa memiliki berbagai alasan untuk mendirikan usaha di lokasi tersebut, diantaranya adalah: a) Lokasi Usaha Lokasi usaha budidaya belimbing dewa Kota depok turut mempengaruhi jumlah produksi belimbing dewa yang dihasilkan. Keadaan tanah dan sumber air yang memadai, maka tanaman belimbing tersebut akan menampilkan semua sifat yang dimiliki secara maksimal. Belimbing Dewa berproduksi maksimal pada ketinggian 0-500 meter diatas permukaan laut dengan keasaman tanah diantara 5,5 – 7,0. Kedalaman air tanah yang ideal untuk pertumbuhan belimbing antara 50-200 cm. Hal ini sesuai dengan karakteristik agroekosistem Kota Depok terutama pada Kecamatan Pancoran Mas, Sawangan dan Beiji
64
yang sangat potensial bagi pengembangan usaha agribisnis Budidaya Belimbing Dewa. Selain itu petani memilih lokasi Kecamatan Pancoran Mas, Sawangan dan Beiji karena mereka merupakan warga asli daerah tersebut serta tanaman belimbing sudah di tanaman di daerah Kota Depok sejak lama sebelum adanya varietas Dewa. Para petani telah mencoba berbagai tanaman di daerah tersebut dan yang paling baik serta cocok produktivitasnya adalah belimbing b) Akses Menuju Lokasi Para petani budidaya belimbing dewa memilih lokasi di Kecamatan Pancoran Mas, Sawangan dan Beiji dikarenakan akses menuju ke lokasi tersebut mudah dijangkau. Dengan jalan utama yang telah beraspal dan akses kendaraan umum yang mudah didapat, seperti ojek untuk jalur yang lebih sempit dan angkutan umum untuk melalui jalur yang lebih lebar, memudahkan para petani atau pihak terkait untuk menuju lokasi usaha budidaya atau melakukan mobilisasi ke berbagai wilyah lainnya. Kota Depok merupakan kawasan pertanian budidaya belimbing dan telah banyak yang mengetahuinya, sehingga para petani tidak perlu melakukan pemasaran lebih banyak. Selain itu, dilokasi banyak terdapat pelaku usaha budidaya belimbing dewa, sehingga para petani dapat berinteraksi secara personal atau kelompok tani yang ada di wilayah untuk saling bertukar pikiran dan informasi mengenai usaha agribisnia budidaya belimbing dewa. Lokasi usaha agribisnis budidaya belimbing dewa yang berada di Kecamatan Pancoran Mas, Sawangan dan Beiji berada di dekat tempat tinggal para petani, yang jaraknya kurang lebih 200 meter, sehingga mempermudah petani untuk melakukan aktivitas di kebun. c) Letak Pasar Pasar tujuan dari belimbing dewa adalah Jakarta, Jawa dan Sumatera. Petani tidak mengetahui pasar tujan mereka secara pasti dikarenakan petani mempercayakannya kepada pengumpul untuk memasarkan. Para pengumpul langsung mengambil belimbing dewa yang telah dipanen di kebun petani. Setelah itu barulah belimbing dewa dipasarkan ke berbagai wilayah.
65
Pengumpul mengambil menggunakan mobil, sehingga para petani tidak mengeluarkan biaya transportasi. d) Letak Sumber Bahan Baku Sumber bahan baku utama yang digunakan pada usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok seperti pupuk dan obat-obatan , relatif mudah untuk didapatkan. Rata-rata petani membeli bahan baku di sekitar lokasi usaha. Di setiap Kecamatan banyak dijumpai pelaku agribisnis yang menyiapkan kebutuhan pertanian yang harganya terjangkau. Namun ada beberapa petani yang membeli bahan baku ke daerah yang cukup jauh, yaitu Parung dengan alasan harga yang lebih murah. Untuk pupuk kandang, petani membelinya pada pelaku usaha peternakan kambing yanag ada diwilayah Kota Depok. e) Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang ada, dimiliki peternak untuk mendukung kelancaran usaha peternakan yang dijalankan. Sarana dan prasarana tersebut antara lain adalah: 1) Layout Gudang Gudang peralatan dan bahan baku usaha belimbing dewa Kota Depok terletak di perkebunan belimbing dan beberapa petani ada yang lokasi gudangnya di samping rumah. Pemilihan gudang di samping rumah, disebabkan lahan yang dimiliki oleh petani adalah lahan pekarangan rumah yang belum termanfaatkan. Untuk gudang yang terletak di kebun, disebabkan lahan yang sejak awal memang digunakan untuk perkebunan belimbing. 2) Suplai Tenaga Kerja Suplai tenaga kerja berasal dari masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi usaha budidaya. Beberapa tenaga kerja masih ada ikatan saudara dengan pelaku usaha. Kemudahan untuk memperoleh suplai tenaga kerja tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi petani, karena dapat mengurangi biaya untuk melakukan pencarian tenaga kerja. Berdasarkan analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa secara teknis usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok dengan pengembangan pola produksi melalui SOP layak untuk dijalankan. Hampir disetiap kriteria pada aspek teknis, 66
tidak terdapat kendala dan permasalahan yang menghambat jalannya usaha. Permasalahan seperti mutu buah belimbing dewa dan hama yang menyerang dapat diatasi oleh para petani. 6.1.3. Aspek Manajemen dan Hukum Aspek manajemen dan hukum terkait dengan sistem organisasi manajerial tenaga kerja yang digunakan serta badan hukum dan kelembagaan yang dimiliki usaha budidaya Belimbing Dewa di Kota Depok. 1.
Manajemen Proses perekrutan
atau pemeilihan tenaga kerja yang berasal dari luar
ataupun non keluarga, dilakukan secara sederhana, yaitu dengan mencari masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Tenaga kerja yang dipilih adalah tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang tata cara budidaya belimbing seperti pembungkusan, penyemprotan, pemangkasan dan pemupukan. Hal ini dikarenakan kegiatan seperti pembungkusan mebutuhkan keahlian serta tehnik khusus. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan yang belum memiliki pengalaman untuk menjadi tenaga kerja, karena mereka akan diberi bimbingan lebih lanjut mengenai budidaya Belimbing Dewa dari pemilik usaha ataupun tenaga kerja lainnya. Pekerjaan yang akan mereka lakukan adalah pemupukan atau penyemprotan yang tidak memerlukan keahlian khusus. Tenaga kerja yang digunakan pada usaha budidaya Belimbing Dewa adalah pria. Hal ini disebabkan pria mampu melakukan pekerjaan yang lebih berat dibandingkan dengan wanita. Rata-rata jam kerja petani budidaya Belimbing Dewa adalah delapan jam perhari yang dimulai dari pukul delapan pagi sampai empat sore. Jumlah upah dari tenaga kerja dihitung per HOK2 sebesar Rp 56.500,00. Kegiatan perawatan yang meliputi pengolahan lahan,pemupukan dan penyemprotan dilakukan
oleh tiga orang pekerja sebanyak 57 HOK. Untuk
jumlah pohon rata-rata 62, kegiatan pembungkusan dilakukan oleh lima orang pekerja sebanyak
35 HOK. Dalam jumlah pohon rata-rata 62 , kegiatan
pemangkasan dilakukan oleh empat orang pekerja sebanyak 8 HOK. Kegiatan pemetikan atau panen dilakukan untuk jumlah pohon rata-rata 62 oleh lima orang 2
1 HOK = 8 jam
67
pekerja sebanyak 10 HOK. Pada tahun pertama terdapat tenaga kerja untuk penanaman yang dilakukan oleh tiga orang pekerja sebanyak 21 HOK Usaha budidaya Belimbing Dewa tidak memiliki struktur organisasi yang baku. Struktur organisasi usaha budidaya Belimbing Dewa terdiri dari pemilik yang juga berperan sebagai tenaga kerja , serta tenaga kerja lainnya yang berasal dari keluarga maupun non keluarga (masyarakat) (Gambar 10).
Pemilik (Tenaga Kerja)
Tenaga Kerja Keluarga
2.
Tenaga Kerja Non Keluarga
Tenaga Kerja Non Keluarga
Tenaga Kerja Non Keluarga
Tenaga Kerja Keluarga
Tenaga Kerja Non Keluarga
Gambar 12. Struktur Organisasi Usaha Budidaya Belimbing Hukum Seluruh usaha budidaya Belimbing Dewa yang ada, belum memiliki badan
hukum resmi dari pemerintahan setempat. Para petani budidaya Belimbing Dewa hanya tergabung dalam kelompok petani. Ada beberapa kelompok tani di Kota Depok, diantaranya adalah Kelompok Tani Rangkapan Jaya Baru, Kelompok Tani Sakati Makmur, Kelompok Tani Subur Makmur. Kelompok tani – kelompok tani ini telah memiliki legalitas dari pemerintahan setempat yang ditandai dengan adanya surat keputusan dari kelurahan tentang pembentukan kelompok tani. Petani pelaku usaha budidaya Belimbing Dewa yang tergabung dalam kelompok tani mendapatkan banyak keuntungan. Dalam kelompok tani, para petani dapat tukar pendapat mengenai permasalahan-permasalahn yang terjadi. Selain itu dengan bergabungnya petani kedalam kelompok tani, para petani mendapat bantuan berupa pupuk, obat-obatan dan mulsa. Melalui kelompok tani petani diharapkan dapat memiliki bargaining position yang tinggi sehingga terdapat iklim usaha yang menguntungkan serta para petani memiliki kemampuan untuk menentukan harga jual yang nantinya pendapatan yang mereka peroleh sesuai dengan upaya yang telah mereka lakukan. Usaha budidaya Belimbing Dewa, pada aspek manajemen dan hukum, layak untuk dijalankan. Walaupun tidak memiliki struktur organisasi yang baku serta tidak memiliki badan hukum secara pribadi, namun para petani tergabung dalam 68
kelompok tani-kelompok tani yang telah memiliki legalitas. Kelompok tani yang telah memiliki legalitas dan adanya kelengkapan data dari aparat serta diterbitkannya surat ijin, menjadi tolak ukur kelayakan dari aspek hukum. Dengan adanya legalitas kelompok tani, usaha ini dapat dijalankan dengan baik, dan tidak terdapat pekerjaan yang menyimpang dari tugas masing-masing tenaga kerja. Selain itu, dengan tergabung dalam Kelompok Tani, para petani merasakan banyak manfaat. 6.1.4. Aspek Sosial-Ekonomi-Budaya Kota Depok merupakan daerah potensial untuk mengembangkan usaha budidaya Belimbing Dewa. Adanya permintaan akan Belimbing Dewa yang terus menerus setiap tahunnya akan menyebabkan dampak yang dirasakan oleh pelaku budidaya serta masyarakat sekitar, yakni terhadap sosial masyarakat serta lingkungannya baik positif maupun negatif. Sebagian besar masyarakat di Kota Depok khususnya di lokasi penelitian bermata pencaharian sebagai petani, terutama belimbing dewa. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah petani yang tergabung dalam kelompok tani- kelompok tani yang ada. Dengan jumlah yang relatif banyak, secara tidak langsung di Kota Depok khususnya di kecamatan sebagai lokasi penelitian, telah tercipta pola-pola sosial dan budaya sebagai kawasan pertanian, usaha budidaya belimbing dewa. Dimana dalam satu wilayah yang cukup besar, usaha budidaya dan petani hidup berdampingan, serta saling berinteraksi dan bahu membahu dalam menjalankan usahanya. Pola tersebut tercipta dalam waktu yang cukup lama, yakni puluhan tahun. Karena sebelum para petani budidaya yang ada saat ini, yang mayoritas telah memulai usaha selama sepuluh tahunan, wilayah tersebut telah digunakan pula oleh para petani budidaya pendahulu mereka selama puluhan tahun lalu. Pola yang tercipta telah menjadikan kehidupan masyarakat di wilayah tersebut menjadi seragam dalam hal pekerjaan dan pola kerja mereka sebagai petani budidaya belimbing dewa. Untuk itu, pola sosial budaya usaha budidaya belimbing dewa yang telah tercipta ini mendukung para petani budidaya untuk menjalankan usaha tanpa terkendala adanya pola sosial dan budaya yang tidak sesuai.
69
Secara sosial, usaha budidaya Belimbing Dewa di Kota Depok memberikan dampak positif bagi masyarakat disekitar lingkungan usaha, yakni terserapnya jumlah tenaga kerja terhadap masyarakat. Usaha budidaya ini rata-rata membutuhkan enam tenaga kerja dari non keluarga. Untu memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja tersebut, para petani budidaya mempekerjakan masyarakat disekitar lokasi usaha budidaya. Penyerapan tenaga kerja terhadap masyarakatpun berdampak pada meningkatnya pendapatan mereka yang sebagian besar tidak memiliki pekerjaan tetap atau sebagai buruh tani. Selain itu, pelaku budidaya belimbing dewa dapat mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, pelaku kegiatan budidaya Belimbing Dewa dapat meningkatkan mutu hidup mereka. Berdasarkan analisis tersebut, secara sosial-ekonomi-budaya usaha budidaya Belimbing Dewa dengan pengembangan melalui SOP layak untuk dijalankan. Hal ini dikarenakan banyaknya manfaat positif yang ditimbulkan bagi ekonomi-sosialbudaya masyarakat sekitar lokasi usaha budidaya Belimbing dewa, yaitu dalam hal pembukaan lapangan pekerjaan serta peningkatan pendapatan dan mutu hidup. Sedangkan dari sisi sosial dengan adanya usaha tersebut wilayah disekitar lokasi usaha menjadi semakin ramai, transportasi semakin mudah dan lain sebagainya. 6.1.5. Aspek Lingkungan Usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok memberikan dampak yang positif bagi lingkungan yakni lingkungan menjadi asri serta adanya penyerapan. Dengan adanya usaha belimbing ini, petani juga mendukung penghijauan dan mengurangi dampak global warming. Limbah dari usaha belimbing ini dapat menjadi pupuk alami bagi pohon belimbing sehingga para petani di Kota Depok, sesuai dengan SOP mengubur limbah dilubang sehingga dapat menjadi pupuk. Berdasarkan analisis tersebut, pada aspek lingkungan usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan adanya dampak positif dari usaha ini bagi lingkungan. 6.2. Analisis Aspek Finansial Analisis finansial usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok perlu dilakukan agar mengetahui seberapa layak 70
usaha budidaya belimbing dewa kota depok yang menerapkan SOP sehingga dapat memberikan pendapatan yang diharapkan petani. Dalam analisis kelayakan terdapat dua kondisi, yaitu kondisi tanpa memeperhitungkan risiko dan kondisi yang memeperhitungkan risiko. 6.2.1. Analisis Finansial Usaha Budidaya Belimbing Dewa dengan Pengembangan Melalui SOP Tanpa Risisko Komponen yang terdapat pada analisis ini merupakan komponen yang terjadi pada saat penelitian dilaksanakan. Komponen yang dianalisis pada aspek ini adalah: a)
Biaya Komponen biaya yang dikeluarkan oleh usaha budidaya belimbing dewa
Kota Depok dengan pengembangan pola produksi melalui SOP, mencakup biaya investasi dan biaya operasioanal. Biaya investasi merupakan biaya awal yang perlu dikeluarkan petani untuk memulai usaha budidaya belimbing dewa. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun pertama usaha, dimana jumlahnya relatif besar dan tidak dapat habis dalam satu kali periode produksi. Biaya investasi dikeluarkan dalam suatau usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam periode yang akan datang, yakni selama umur usaha atau selama usaha dijalankan. Rincian biaya investasi yang dikeluarkan oleh petani belimbing dewa, dapat dilihat pada Tabel 10. Besarnya biaya investasi yang dikeluarkan pada tahun pertama sebesar Rp 374.216.771,00 yang terdiri dari biaya pembelian tanah, pembangunan gudang, pembelian bibit hingga pembelian peralatan seperti golok, cangkul, mulsa, steam, handsfrayer, tangga, timbangan, drum air, box container, gunting steak dll. Seluruh biaya investasi dikeluarkan secara tunai oleh petani.
71
Tabel 10. Biaya Investasi Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP pada Kondisi Tanpa Risiko per 62 pohon Harga satuan No. Nama barang Jumlah Satuan Total (Rp) (Rp) 1.
tanah
2.
gudang
3.
1708,75
M2
206.250
352.429.688
1
Buah
3.800.000
3.800.000
bibit
62
Pohon
100.000
6.200.000
4.
golok
2
Buah
52.500
105.000
5.
cangkul
2
Buah
51.250
102.500
6.
parang
2
Buah
30.000
60.000
7.
garpu
2
Buah
52.500
105.000
8.
gunting stek
2
Buah
115.625
231.250
9.
steam
1
Buah
3.025.000
3.025.000
10.
Selang steam
2
Buah
500.000
1.000.000
11.
mulsa
5 Gulung
533.750
2.668.750
12.
hands frayer
2
Buah
337.500
675.000
13.
tangga
5
Buah
71.250
356.250
14.
1
Buah
183.333
183.333
16.
timbangan gantung timbangan duduk drum air
Buah
125.000 200.000
125.000 600.000
17.
box container
6
Buah
175.000
1.050.000
18.
jet pump
1
Buah
2.500.000
2.500.000
15.
1 3
Buah
Total Biaya Investasi
376.341.771
Biaya investasi dikeluarkan pada tahun pertama, namun biaya tersebut mengalami penyusutan setiap tahunnya dengan proporsi yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh umur teknis dari masing-masing barang yang diinvestasikan. Umur teknis dari setiap barang yang diinvestasikan ditentukan berdasarkan tingkat kemampuan suatu barang untuk dapat digunakan secara layak dan masih memiliki fungsi yang baik untuk mendukung jalannya usaha budidaya belimbing dewa. Umur teknis dari setiap barang yang diinvestasikan dapat dilihat pada Tabel 11. 72
Tabel 11. Umur Teknis dari Investasi yang Ditanamkan dalam Usaha Budidaya Belimbing Dewa Kota Depok melalui SOP Nama barang
Umur pakai (tahun)
gudang
15
Bibit
15
Golok
5
cangkul
5
Parang
5
Garpu
5
gunting steak
5
Steam
8
Selang Steam
3
Mulsa
3
hands frayer
7
Tangga
5
timbangan gantung
10
timbangan duduk
10
drum air
10
box container
5
jet pump
10
Umur teknis dari gudang ditentukan selama 15 tahun. Hal ini diperhitungkan dari tingkat kelayakan bangunan. Setelah 15 tahun gudang tidak memiliki fungsi yang optimal untuk dipergunakan, hal ini disebabkan investasi tersebut telah mengalami kerusakan, seperti atap bocor dan berlubang. Umur teknis bibit ditentukan selama 15 tahun. Setelah 15 tahun, bibit yang telah menjadi pohon belimbing dewa tidak dapat lagi berproduksi secara optimal. Umur teknis dari bibit ini ditentukan menjadi umur dari usaha budidaya belimbing dewa kota depok, karena selain merupakan komponen utama dan penting dalam pelaksanaan usaha, bibit memiliki umur teknis terpanjang dan juga memiliki nilai terbesar diantara investasi lain yang juga memiliki umur teknis 15 tahun.
73
Sementara itu drum air, timbangan gantung, timbangan duduk dan jet pump memiliki umur teknis 10 tahun. Setelah sepuluh tahun sudah tidak layak untuk dijalankan dan dapat menghambat jalannya usaha. Drum air digunakan untuk menampung air yang dibutuhkan tanaman. Penggunaan timbangan gantung dan timbangan duduk hanya pada saat panen yang setahun tiga kali pemakaian sehingga umur teknisnya cukup lama. Umur teknis dari steam adalah delapan tahun. Steam digunakan untuk penyemprotan. Dengan steam penyemprotan menjadi mudah dan lebih cepat dikarenakan dapat menjangkau dahan pohon yang tinggi sehingga saat penyemprotan tidak perlu memanjat pohon. Setelah delapan tahun penggunaannya tidak lagi optimal. Hands frayer memiliki umur teknis tujuh tahun. Kegunaan handsfrayer sama seperti steam. Namun hands frayer untuk cabang yang dapat terjangkau tangan. Selain itu hands frayer untuk menyemprotkan pestida pada cabang yang terkena hama dan penyakit. Volume handsfrayer lebih kecil dibandingkan steam sehingga petani perlu bolak-balik untuk mengisi. Setelah tujuh tahun penggunaan handsfrayer tidak lagi optimal. Golok, cangkul, parang, garpu, tangga, box kontainer dan gunting steak memiliki umur teknis lima tahun. Golok, cangkul, parang, garpu, gunting steak setelah lima tahun tidak dapat digunakan dengan maksimal. Selama umur tersebut, golok, cangkul, parang, dan garpu digunakan untuk kegiatan pemupukan dan perawatan. Sedangkan gunting steak untuk kegiatan pemangkasan, pembungkusan dan panen. Tangga yang digunakan adalah tangga yang terbuat dari bambu, sehingga setelah tahun kelima penggunaan tidak lagi optimal. Bambu mulai keropos dan tidak kuat lagi. Selang steam dan mulsa memiliki umur teknis tiga tahun. Setelah tiga tahun selang steam tidak dapat berfungsi secara maksimal. Sedangkan untuk mulsa yang digunakan sebagai pembungkus kondisinya sudah tidak baik. Plastik mulsa mudah setelah tiga tahun pemakaian yang dapat menurunkan produksi ataupu harga dari belimbing dewa nantinya, sehingga perlu diganti. Untuk mengganti barang investasi yang telah habis umur teknisnya, petani budidaya mengeluarkan biaya re-investasi. Biaya re-investasi dikeluarkan tepat setelah secara teknis dari barang investasi sudah tidak optimal untuk digunakan. 74
Biaya re-investasi dikeluarkan pada tahu ke-4, ke-6, ke-7, ke-8, ke-9, ke-10, ke-11 dan ke-13 dengan pengeluaran paling besar pada tahun ke-11 yaitu sebesar Rp 6.543.333,00, yang digunakan untuk membeli seluruh peralatan kecuali stem,selang steam, hands frayer dan mulsa (Tabel 12). Tabel 12. Biaya Re-Investasi yang Dipelukan pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa melalui SOP di Kota Depok Investasi
4
6
7
8
9
10
11
13
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
Golok
105.000
105.000
Cangkul
102.500
102.500
Parang
60.000
60.000
Garpu
105.000
105.000
gunting stek
231.250
231.250
Steam
3.025.000
selang steam
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
Mulsa
2.668.750
2.668.750
2.668.750
2.668.750
hands frayer
675.000
Tangga
356.250
356.250
timbangan gantung timbangan duduk drum air
183.333 1.250.000 600.000
box container
1.050.000
1.050.000
jet pump
2500000
TOTAL
3.668.750
2.010.006
3.668.750
675.000
3.025.000
3.668.750
6.543.333
3.668.750
Tanah, gudang dan bibit tidak memiliki biaya re-investasi disebabkan oleh barang investasi tersebut memeiliki umur teknis sesuai dengan umur usaha dari budidaya belimbing dewa Kota Depok. Pada tahun ke-4, ke-7, ke-10 dan ke-13 petani mengeluarkan biaya re-investasi sebesar Rp 3.668.750,00 yang digunakan untuk pembelian selang steam dan mulsa. Tahun ke-6
biaya re-investasi
dikeluarkan untuk peralatan seperti golok,cangkul,parang, garpu, gunting stek, tangga dan box kontainer. Tahu ke-8 biaya re-investasi yang dikeluarkan sebesar Rp 675.000 untuk hands frayer, sementara tahun ke-9 biaya re-investasi dikeluarkan untuk steam sebesar Rp 3.025.000,00. Barang-barang investasi mengalami penyusutan setiap tahunnya. Nilai penyusutan ditentukan dengan menggunakan metode garis lurus. Penyusutan dari setiap barang invetasi memiliki nilai berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh nilai awal barang investasi, umur teknis serta nilai sisa barang tersebut. 75
Tanah tidak mengalami penyusutan setiap tahunnya, karena penggunaan tanah tidak memiliki batas waktu atau umur teknis yang dibatasi oleh waktu tertentu. Gudang mengalami penyusutan sebesar Rp 253.333,00 setiap tahunnya. Sedangkan 62 bibit yang diinvestasikan menyusut Rp 413.333 setiap tahun. Tabel 13. Nilai Penyusutan dari Barang Investasi Setiap Tahun Jenis Investasi Tanah
Penyusutan per tahun (Rp) 0
gudang
253.333
Bibit
413.333
Golok
21.000
cangkul
20.500
Parang
12.000
Garpu
21.000
gunting steak
46.250
Steam
340.313
selang steam
333.333
Mulsa
889.583
hands frayer
86.786
tangga
71.250
timbangan gantung
16.500
timbangan duduk drum air
112.500 60.000
box container
105.000
jet pump
250.000
TOTAL
3.111.682
Cangkul, parang, golok, garpu, gunting steak, tangga dan box kontainer memiliki nilai penyusutan setiap tahun sebesar Rp 20.500,00, Rp 12.000,00, Rp 21.000,00, Rp 21.000,00, Rp 46.250,00, Rp 71.250,00 dan Rp 105.000,00. Sedangkan steam, selang steam, mulsa dan handsfrayer mempunyai nilai penyusutan setiap tahunnya sebesar Rp 340.313,00, Rp 333.333,00, Rp
76
889.583,00 dan Rp 86.786,00.
Sementara itu, investasi berupa timbangan
gantung, timbangan duduk dan jet pump masing-masing memiliki nilai penyusutan setiap tahu sebesar Rp 16.500,00, Rp 112.500 dan Rp 250.000. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, total penyusutan dari usaha budidaya belimbing dewa sebesar Rp 3.111.682,00 setiap tahunnya. Nilai penyusutan ini dimasukkan kedalam perhitungan laba rugi dari usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok dengan SOP. Selain biaya investasi dan biaya penyusutan, terdapat biaya operasional yang dikeluarkan oleh petani. Biaya operasional merupakan biaya keseluruhan yang berhubungan dengan kegiatan operasional. Biaya operasiaonal terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Besarnya biaya tetap yang dikeluarkan tidak dipengaruhi oleh perubahan input maupun output yang dihasilkan pada usaha budidaya belimbing dewa. Biaya tetap yang dikeluarkan adalah biaya pajak bumi bangunan yang dikeluarkan setiap tahun sebesar Rp 316.371,00 serta biaya tenaga kerja. Tabel 14. Biaya Tetap yang Dikeluarkan pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa Kota Depok melalui SOP per 62 Pohon Biaya Tetap Tahun Pertama (Rp) Tahun Kedua (Rp) PBB
316.371
316.371
Upah tenaga kerja: penanaman (21 HOK)
1.186.500
perawatan (117 HOK)
9.661.500
9.661.500
pembungkusan (50 HOK)
0
5.932.500
panen (35 HOK)
0
1.695.000
pemangkasan (12 HOK)
0
1.356.000
21.018.000
18.961.371
Total Biaya Tetap
Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan adalah Rp 56.500,00/HOK. Biaya tetap yang dikeluarkan pada tahun pertama lebih rendah dari biaya tetap yang dikeluarkan ditahun-tahun lainnya. Hal ini disebabkan pada tahun pertama tidak mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja, hanya biaya penanaman bibit saja dan perawatan. Pada tahun kedua hingga tahun terakhir dari umur usaha, biaya yang 77
dikeluarkan bersifat konstan yaitu Rp 18.961.371,00, karena tidak dipengaruhi oleh jumlah input ataupun output yang dihasilkan selama kegiatan produksi dijalankan. Biaya selanjutnya yang termasuk kedalam biaya operasional adalah biaya variabel. Biaya variabel merupakan biaya yang diperlukan dalam penggunaan input ketika melakukan kegiatan budidaya belimbing dewa. Biaya variabel yang dikeluarkan pada kegiatan budidaya belimbing dewa dapat dilihat pada Tabel 15. Pada tahun pertama biaya variabel yang dikeluarkan adalah pupuk kandang dan pupuk NPK. Pada tahun pertama, pupuk kandang yang digunakan sebanyak 1 karung (20 kg) per pohon sesuai dengan SOP untuk pohon usia 3-12 tahun setelah masa tanam. Harga satu karung pupuk kandang adalah Rp 8.500,00. Pupuk NPK yang digunakan pada tahun pertama sesuai SOP sebesar 0,5 kg per pohon dengan harga Rp 11.875,00/kg. Sehingga total biaya variabel yang dikeluarkan pada tahun pertama adalah sebesar Rp 895.125,00. Obat-obatan tidak dikeluarkan pada tahun pertama, karena pada tahun pertama tanaman belum berproduksi. Tabel 15. Biaya Variabel yang Dikeluarkan pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa Kota Depok melalui SOP per 62 Pohon TAHUN BIAYA VARIABEL A. Pupuk
1
2
3
4
pupuk kandang
527.000
1.054.000
1.054.000 4.743.000
pupuk NPK
368.125
736.250
736.250 3.313.125
Gandasil A
0
39.188
39.188
39.188
Gandasil B
0
39.188
39.188
39.188
Decis
0
339.375
339.375
339.375
Curacron
0
318.750
318.750
318.750
Dusbran
0
150.000
150.000
150.000
895.125
2.676.751
B. Obat-obatan
Total Biaya Variabel
2.676.751 8.942.626
Pada tahun ke-2 dan ke-3 biaya variabel yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 2.676.751,00. Pada tahun ini, kebutuhan pupuk kandang dan NPK per pohon meningkat sesuai dengan usianya serta tanaman sudah mulai berproduksi 78
sehingga mengeluarkan biaya obat-obatan untuk merangsang bunga, buah serta obat-obatan sebagai pestisida. Kebutuhan pupuk kandang dan NPK per pohon adalah 2 karung (40kg) dan 1 kg. Kebutuhan pupuk kandang dan NPK pada tahun ke-4 dan seterusnya adalah 3 karung (60 Kg) dan 1,5 kg. Obat-obatan perangsang bunga dan buah (Gandasil A&B), perbungkus dapat dipakai dua kali masa panen dimana perbungkusnya seharga Rp 26.125,00. Untuk pestisida yang digunakan seperti decis, curacron dan dusbran seharga masing-masing per liter adalah Rp 226.250,00, Rp 212.500,00 dan Rp 100.000,00. Pestisida yang digunakan hanya setengah liter dalam satu kali masa panen yang disemprotkan sebanyak dua minggu sekali atau sebanyak delapan kali. Usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP di Kota Depok, dijalankan dengan menggunakan modal sendiri yang dimiliki oleh petani, tanpa adanya pinjaman dari pihak atau lembaga keuangan terkait seperti bank. Sehingga pada komponen biaya, tidak terdapat pengeluaran atas debt service, yakni pembayaran akun bunga serta pokok pinjaman. Tetapi petani sering mendapat bantuan berupa mulsa dan pupuk dari pemerintah yang disalurkan melalui kelompok tani. b)
Manfaat Manfaat yang diperoleh usaha budidaya belimbing dewa dengan
pengembangan melalui SOP merupakan seluruh kondisi yang mendorong tercapainya suatu tujuan usaha, yakni memperoleh keuntungan. Yang termasuk kedalam manfaat adalah: Nilai Produksi Total Usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP menghasilkan output belimbing dewa segar. Manfaat dari usaha didapatkan setelah dua tahun menjalankan usaha. Hal ini disebabkan karena pada tahun pertama tanaman belum berproduksi dan pada tahun kelima tanaman baru dapat berproduksi optimal. Belimbing dewa yang dihasilkan pada tahun ke-2 berjumlah 2.583,25 kilogram. Sedangkan pada tahun berikutnya hingga tahun kelima mengalami peningkatan sebesar 2.583,25 kilogram per tahun menjadi 5.166,5; 7.749,75 dan 10.333 kilogram. Peningkatan tersebut disebabkan karena semakin tinggi umur pohon, produktivitas pun ikut bertambah serta pada tahun kelima dan seterusnya
79
tanaman telah berproduksi secara optimal 100 persen. Kondisi optimal ini dikarenakan petani telah mendapatkan pengalaman dari tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah produksi tersebut, ikut meningkatkan manfaat langsung atau penerimaan yang diperoleh petani. Belimbing dewa yang dihasilkan dipasarkan dengan harga jual rata-rata Rp 5.313,00. Sehingga dengan harga jual tersebut pada tahun kedua penerimaan yang didapatkan petani sebesar Rp 41.174.422,00, namun pada tahu ke-3 dan ke-4 mengalami peningkatan menjadi Rp 82.348.844,00 dan Rp 123.523.265,00. Peningkatan pun terjadi pada tahun ke-5 dan seterusnya menjadi Rp 164.697.687,00 (Tabel 16). Tabel 16. Nilai Output Produksi Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP per 62 Pohon (Rp) Uraian TAHUN INFLOW 1.Belimbing Dewa Total Penerimaan
1
2
3
4
5
0
41.174.422
82.348.844
123.523.265
164.697.687
0
38.612.228
64.353.713
123.523.265
164.697.687
Salvage Value Penerimaan lain yang diperoleh usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP adalah salvage value atau nilai sisa. Salvage value ini diperoleh pada akhir tahun usaha, yaitu pada tahun ke-15. Salvage value diperoleh dari adanya penerimaan dari barang-barang investasi yang masih memiliki nilai diakhir tahun umur usaha. Perhitungan salvage value peralatan ditetapkan 10 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi akan dapat terjual dengan nilai 10 persen dari nilai beli investasi. Total salvage value yang diperoleh petani pada akhir tahun sebesar Rp 353.298.021,00. Salvage value dari setiap barang investasi dapat dilihat pada Tabel 17.
80
Tabel 17. Salvage Value Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP Jenis Investasi
Salvage Value (Rp)
Tanah
352.429.688
Gudang
0
Bibit
0
Golok
0
Cangkul
0
Parang
0
Garpu
0
gunting steak
0
Steam
.
302.500
selang steam
0
Mulsa
0
hands frayer
67.500
Tangga
0
timbangan gantung timbangan duduk drum air
18.333 125.000 0
box container
105.000
jet pump
250.000 TOTAL
353.298.021
6.2.2. Kelayakan Investasi Usaha Budidaya Belimbing Dewa dengan Pengembangan Melalui SOP Pada Kondisi Tanpa Risiko Kelayakan investasi dari usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP dilihat melalui empat kriteria utama, yakni NPV, IRR, Net B/C dan payback period. Bila NPV ≥ 0, IRR ≥ discount rate (6,75 persen), Net B/C ≥ 1 dan PP lebih kecil dari umur usaha (PP < 15 tahun) menandakan bahwa kegiatan budidaya belimbing dewa melalui SOP pada kondisi tanpa risiko layak untuk dijalankan. Berdasarkan perhitungan kriteria investasi yang dilakukan dengan umur usaha 15 tahun, didapatkan hasil pada Tabel 18: 81
Tabel 18. Hasil Perhitungan Kriteria Investasi Usaha Budidaya Belimbing Dewa Pada Kondisi Tanpa Risisko Kriteria Investasi Hasil Perhitungan NPV
Rp 694.054.839,45
IRR
23,97 %
Net B/C Payback periode
2,91 6 tahun 9 bulan
Nilai NPV yang diperoleh mencapai Rp 694.054.839,45. Artinya, kegiatan budidaya belimbing dewa melalui SOP selama umur usaha yaitu 15 tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 6,75 % memberikan manfaat sebesar Rp 694.054.839,45. Nilai tersebut lebih besar dari 0, sehingga berdasarkan kriteria NPV, usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP layak untuk dijalankan. Selain itu, IRR dari usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP sebesar 23,97%. Artinya, tingkat pengembalian dari investasi yang ditanamkan pada usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP sebesar 23,97%. Nilai ini lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakan yakni 6,75% (IRR(23,97%) > 6,75%) sehingga dapat dikatakan usaha ini layak dijalankan. Nilai ini juga menunjukkan bahwa usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP akan tetap layak dijalankan hingga tingkat IRR mencapai 23,97%. Perhitungan Net B/C yang dilakukan menghasilkan nilai sebesar 2,91 yang menunjukkan bahwa setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan untuk usaha belimbing dewa melalui SOP akan memberikan keuntungan yang nilainya sebesar 2,91 satuan. Nilai Net B/C ini lebih besar dari satu (Net B/C (1,12) >1) maka pada kriteria ini, usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP layak untuk dijalankan. Sedangkan payback periode merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan. Semakin pendek periode pengembalian investasi kegiatan usaha budidaya belimbing dewa maka kegiatan tersebut akan semakin baik. Dengan kata lain, payback periode merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback periode usaha ini pada kondisi normal adalah enam tahun sembilan bulan. Nilai ini menunjukkan, bahwa seluruh biaya investasi yang ditanamkan dalam usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok pada awal usaha, 82
akan dapat dikembalikan pada tahun ke enam bulan ke sembilan. Payback periode memiliki periode lebih kecil dibandingkan dari umur usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok yakni 15 tahun. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa usaha budidaya belimbing dewa kota depok layak untuk dijalankan pada kriteria ini. 6.3.
Risiko Usaha Usaha budidaya Belimbing Dewa di Kota Depok dengam pengembangan
pola produksi melalui SOP, dipengaruhi oleh risiko yang dapat menimbulkan kerugian. Risiko utama yang dirasakan oleh para petani budidaya adalah risiko produksi serta risiko harga output dalam hal ini belimbing dewa segar. Data serta informasi yang digunakan diperoleh dari data primer pada kurun waktu tiga tahun terakhir. Pada waktu tersebut petani budidaya belimbing dewa di Kota Depok mulai menerapkan SOP secara keseluruhan. 6.3.1. Risiko Produksi Risiko produksi terjadi pada output berupa belimbing dewa segar yang dihasilkan oleh para petani budidaya. Indikasi adanya risiko produksi dalam usaha budidaya Belimbing Dewa yaitu ditunjukkan oleh adanya variasi atau fluktuasi produksi yang diperoleh. Pada risiko produksi dilakukan skenario pada tiga kondisi, yaitu risiko produksi saat kondisi tertinggi (terbaik), kondisi normal serta kondisi terendah (terburuk). Produksi Belimbing Dewa tertinggi (kondisi tertinggi) dalam jumlah pohon rata-rata 62 pohon mencapai 18.083,3 kg. Kondisi ini terjadi selama 3 kali dalam periode tiga tahun terakhir (10 kali panen). Semantara itu, kondisi terburuk yang dihadapi para petani adalah saat jumlah produksi belimbing dewa mencapai titik terendahnya yaitu 6.200 Kg, dengan intensitas 2 kali selama periode 10 kali panen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Kondisi Tiga Skenario Risiko Produksi yang Terjadi pada Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP Kondisi Produksi Intensitas Periode Tertinggi (terbaik)
18.083,3 Kg
3
10 panen
Normal
10.333 Kg
5
10 panen
Terendah (terburuk)
6.200 Kg
2
10 panen 83
Dalam melakukan usaha budidaya Belimbing Dewa terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya risiko produksi (kondisi tertinggi, normal, terendah). Penyebab munculnya risiko produksi pada yaitu, curah hujan dan serangan hama dan penyakit. Faktor-faktor tersebut antara lain: a.
Iklim dan cuaca Iklim dan cuaca sangat mempengaruhi produksi belimbing dewa. Cuaca
yang ekstrim dapat menurunkan produksi belimbing dewa. Banyak buah yang busuk sehingga tidak dapat dipanen. Curah hujan yang cukup, akan memberikan pengairan alami yang baik bagi tanaman belimbing. Hal ini mengakibatkan pada peningkatan produksi buah belimbing. Bunga dari tanaman belimbing tidak banyak yang rontok sehingga semua dapat menjadi buah. b.
Serangan hama dan penyakit Rendahnya hama dan penyakit yang menyerang tanaman Belimbing Dewa
akan menyebabkan peningkatan produktivitas. Hal ini dikarenakan buah yang dipanen akan baik gradenya. Rendahnya serangan hama dan penyakit ini mebuat petani tidak memerlukan obat-obatan yang berlebihan pada tanaman Belimbing Dewa. Ketika hama dan penyakit tinggi, akan menyebabkan penurunan produksi belimbing dewa. Banyak buah yang tidak dapat dibungkus dan dipanen karena rusak dan tidak memenuhi standar. c.
Human Error Pengetahuan para pekerjapun dapat menentukan produktivitas belimbing
dewa. Pengetahuan dalam membungkus belimbing sangat diperlukan. Ketika terjadi kesalahan pembungkusan, buah tidak dapat berkembang serta ketika ada satu buah yang jatuh, akan menimpa buah yang ada dibawahnya. Sehingga, produktivitas menurun. Adanya risiko dalam produksi akan mempengaruhi jumlah penerimaan yang diterima oleh petani (Tabel 20). Biaya investasi dan re-investasi yang dikeluarkan untuk usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP pada kondisi risiko sama dengan biaya investasi dan re-investasi pada kondisi tanpa risiko (normal). Total investasi pada tahun pertama yaitu sebesar Rp 376.341.771,00. Biaya variabel pada kegiatan budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP yang komponennya merupakan input yang digunakan dalam 84
usaha ini. Pada kondisi risiko tidak terdapat perubahan input sehingga jumlah input yang digunakan dalam usaha ini pada kondisi risiko sama dengan jumlah input pada kondisi normal (tanpa risiko). Jadi, biaya variabel yang digunakan untuk kegiatan usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok Melalui SOP pada kondisi risiko sama dengan biaya variabel pada kondisi tanpa risiko (normal). Tabel 20. Penerimaan Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP pada Kondisi Risiko Produksi Penerimaan Tahun keTahun ke-2 Tahun ke-5 Tahun ke-15 Belimbing Dewa
1 (Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
Kondisi tertinggi
0
72.057.509
288.229.719
641.527.740
Kondisi normal (tanpa risiko) Kondisi terendah
0
41.174.422
164.697.687
517.995.700
0
24.705.450
98.821.800
452.119.821
Penerimaan awal yang didapat petani pada usaha budidaya belimbing dewa pada kondisi risiko sama dengan kondisi tanpa risiko. Belimbing dewa baru dapat berproduksi pada tahun ke-2 serta produksi optimal (100%) pada tahun ke5. Demikian halnya pada harga jual belimbing dewa diasumsikan tetap sebesar Rp 5.313,00. Namun pada kondisi risiko produksi perbedaan terdapat pada jumlah produksi, yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada kondisi tertinggi, di tahun ke-2 penerimaan yang dihasilkan dari penjualan belimbing dewa segar sebesar Rp 72.057.509,00. Pada tahun ke-5 mengalami peningkatan penerimaan menjadi Rp 288.229.719,00 karena produktivitas telah optimal. Pada kondisi terendah pun demikian, terjadi peningkatan penerimaan yaitu sebesar Rp 24.705.450,00 pada tahun ke-2 menjadi Rp 98.821.800,00 pada tahun ke-5. Pada tahun terakhir (ke-15) terjadi penambahan penerimaan selain dari penjualan belimbing dewa yaitu penerimaan yang berasal dari nilai sisa komponen investasi yang masih bernilai. Dengan adanya perubahan penerimaan, kriteria investasi pada kondisi risiko pun memiliki nilai yang berbeda denga kriteria yang terdapat pada kondisi tanpa risiko (normal). Kriteria yang terdapat pada kondisi risiko sama dengan kriteria yang terdapat pada kondisi tanpa risiko yakni NPV, IRR, Net B/C serta PP. 85
Tabel 21. Kriteria Investasi pada Kondisi Risiko Produksi Kriteria
Kondisi Tertinggi
Kondisi Normal (tanpa risiko)
Kondisi Terendah
NPV
Rp 1.565.577.984,88
Rp 694.054.839,45
Rp 229.298.171,61
IRR
40,80%
23,97 %
13,02%
Net B/C
5,30
2,91
1,70
Payback Periode
4 tahun 8 bulan
6 tahun 9 bulan
12 tahun 6 bulan
Berdasarkan perhitungan kriteria investasi untuk risiko produksi, pada skenario tertinggi, nilai NPV yang dihasilkan Rp 1.565.577.984,88; artinya kegiatan budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP pada kondisi tertinggi selama umur usaha yaitu 15 tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 6,75% memberikan keuntungan sebesar Rp 1.565.577.984,88. Nilai IRR sebesar 40,80% serta Net B/C 5,30. Hasil yang ada menunjukkan bahwa usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP pada risiko produksi kondisi tertinggi layak untuk dijalankan dengan waktu pengembalian atas investasi selama empat tahun delapan bulan. Pada kondisi terendah, usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP juga menunjukkan kelayakan. Hal ini terlihat dari NPV yang diperoleh lebih besar dari 0, yakni Rp 229.298.171,61yang artinya kegiatan budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP pada kondisi terendah selama umur usaha yaitu 15 tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 6,75% memberikan keuntungan sebesar Rp 229.298.171,61. Nilai IRR yang didapat lebih besar dari tingkat diskonto dan nilai Net B/C lebih besar sama dengan satu, yakni 13,02% dan 1,70 dengan payback periode selama 12 tahun enam bulan 6.3.2. Risiko Harga Risiko harga output diindikasikan dengan adanya fluktuasi harga output yang diterima petani sampel. Hal ini dapat dilihat pada tabel 22. Fluktuasi harga belimbing dewa mengindikasikan adanya kondisi terbaik dengan harga tertinggi mencapai Rp 6.875,00 dimana harga ini terjadi selama 2 kali. Kondisi buruk dengan harga terendah sebesar Rp 3.875,00 dengan intensitas 3 kali. Kondisi terakhir adalah kondisi normal tanpa risiko dengan harga normal yang diterima 86
sebesar Rp 5.313,00 dengan intensitas 5 kali. Periode waktu yang digunakan adalah tiga tahun atau 10 kali panen dimana petani belimbing dewa Kota depok telah menerapkan SOP. Tabel 22. Harga Output Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP pada Setiap Kondisi Kondisi Harga (Rp) Intensitas Periode Kondisi tertinggi Kondisi normal (tanpa risiko) Kondisi terendah
6.875,00
2
10 panen
5.313
5
10 panen
3.875
3
10 panen
Faktor penyebab munculnya risiko harga output budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP pada kondisi harga tertinggi disebabkan oleh tingginya tingkat permintaannamun ketersediaan belimbing dewa rendah. Hal ini menyebabkan para konsumen terutama pengumpul berkompetisi untuk menjamin ketersediaan belimbing dewa. Selain itu, faktor penyebab munculnya risiko harga output budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP pada kondisi terburuk,harga terendah, disebabkan oleh ketersediaan belimbing dewa yang melimpah. Hal ini dikarenakan terjadinya over supply sebagai akibat musim panen yang serempak. Risiko harga yang terjadi mengakibatkan perubahan dalam penerimaan yang diterima oleh petani (Tabel 23). Penerimaan belimbing dewa pada kondisi harga tertinggi dimana produksinya rendah, penerimaan yang diterima oleh petani yaitu sebesar Rp 127.875.000,00 pada kondisi optimal yang dimulai dari tahun kelima. Pada tahun pertama belimbing belum berproduksi sehingga tidak ada penerimaan yang diterima. Pada tahun ke dua penerimaan yang diterima petani belum optimal, sehingga penerimaan yang diterima hanya sebesar Rp 31.968.750,00. Skenario berikutnya merupakan kondisi dimana petani mendapatkan harga paling rendah dikarenakan oversupply atau panen raya. Pada tahun pertama petani belum mendapatkan penerimaan karena belimbing dewa belum berproduksi. Sementara pada tahun ke dua dan ke lima penerimaan petani sebesar Rp 52.554.649,00 dan Rp 210.218.363,00. 87
Tabel 23. Penerimaan Belimbing Dewa pada Kondisi Risiko Harga (Rp) Kondisi Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-5 Tahun ke-15 Kondisi tertinggi Kondisi normal (tanpa risiko) Kondisi terendah
0
31.968.750
127.875.000
481.173.021
0
41.174.422
164.697.687
517.995.700
0
52.554.649
210.218.363
563.516.384
Penerimaan dari buah belimbing dewa yang terjadi pada kondisi risiko, memiliki perbedaan dibandingkan dengan penerimaan pada kondisi tanpa risiko. Hal ini menyebabkan, perbedaan pada kempat kriteria investasi (Tabel 24). Nilai NPV yang diperoleh pada kondisi tertinggi adalah sebesar Rp 434.269.505,38. Nilai ini lebih besar dari nol, sehingga menunjukkan bahwa pada kondisi harga tertinggi yang terjadi saat produksi rendah, usaha ini layak untuk dijalankan. Nilai IRR dan Net B/C yang diterima sebesar 18,09% dan 2,19. Nilai IRR lebih besar dari diskonto yakni 6,75% sehingga menunjukkan bahwa usaha ini layak dengan tingkat pengembalian 18,09%. Net B/C pada kondisi harga tertinggi ini lebih besar dari satu, sehingga menunjukkan usaha layak. Tabel 24. Kriteria Investasi pada Skenario Risiko Harga Kriteria Kondisi tertinggi Kondisi Normal
Kondisi terendah
NPV
Rp 434.269.505,38
Rp 694.054.839,45
Rp 1.015.205.058,90
IRR
18,09%
23,97 %
30,59%
NET B/C
2,19
2,91
3,79
Payback periode
8 tahun 3 bulan
6 tahun 9 bulan
5 tahun 5 bulan
Sementara pada kondisi harga terendah yang terjadi ketika produksi tinggi, nilai dari NPV adalah sebesar Rp 1.015.205.058,90; IRR sebesar 30,59%, serta Net B/C sebesar 3,79. Pada kondisi harga terendah usaha budidaya belimbing dewa Kota Depok melalui SOP layak untuk dijalankan, karena nilai NPV bernilai positif, demikian halnya layak pada IRR dan Net B/C yang lebih besar sama dengan satu. Waktu pengembalian dari investasi yang ditanamkan pada kondisi ini adalah lima tahun lima bulan.
88
6.3.3. Penilaian dan Perbandingan Risiko Berdasarkan data risiko harga dan produksi yang ada, dapat diketahui tingkat risiko dari keduanya, risiko manakah yang paling tinggi dan paling rendah. Untuk mengetahui tingkat risiko tersebut, perlu diketahui probabilitas atau peluang yang terjadi pada setiap kondisi, baik itu dari risiko harga maupun risiko produksi. Nilai probabilitas diapatkan dari rasio antara intensitas dengan periode di setiap kondisi (Tabel 25). Tabel 25. Probabilitas yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Produksi Kondisi Probability NPVi (Rp) Tertinggi
0,3
1.565.577.984,88
Normal
0,5
694.054.839,45
Terendah
0,2
229.298.171,61
Berdasarkan rasio tersebut, diketahui bahwa probabilitas dari risiko produksi kondisi tertinggi adalah 0,3. Sementara pada kondisi terendah adalah sebesar 0,2. Sedangkan pada risiko harga, probabilitas pada kondisi harga tertinggi adalah 0,2, sementara probabilitas dari terjadinya risiko harga terendah adalah sebesar 0,3. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Probabilitas yang Terjadi pada Ketiga Skenario dalam Risiko Harga Kondisi Probability NPVi (Rp) Tertinggi
0,2
434.269.505,38
Normal
0,5
694.054.839,45
Terendah
0,3
1.015.205.058,90
Sementara itu, komponen lain yang digunakan untuk penilaian risiko dalam investasi adalah NPV yang diharapkan (E(NPV)), standar deviasi dan koefisien variasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 27. NPV yang diharapkan menunjukkan harapan dari pelaku usaha terhadap manfaat bersih yang ingin diterima selama usaha dijalankan. NPV yang diharapkan dari kedua kondisi risiko adalah Rp 862.560.449,5untuk risiko produksi dan Rp 738.442.838,5 untuk risiko harga. Semakin tinggi NPV yang diharapkan maka tingkat risiko semakin tinggi.
89
Tabel 27. Perbandingan Risiko Produksi dan Risiko Harga dalam Investasi Usaha Budidaya Belimbing Dewa Melalui SOP NPV yang diharapkan
Standar
(Rp)
Deviasi
Variasi
Risiko
Produksi
862.560.449,5
492.616.878,9
0,571
Tinggi
Harga Output
738.442.838,5
206.079.180,3
0,279
Rendah
Jenis Risiko
Koefisien Tingkat
Standar deviasi merupakan penyimpangan yang terjadi dari usaha budidaya belimbing dewa melalui SOP. Semakin besar nilai standar deviasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi dalam usaha ini. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa nilai standar deviasi dari risiko produksi sebesar 492.616.878,9.
Sedangkan
standar
deviasi
dari
risiko
harga
sebesar
206.079.180,3. Nilai standar deviasi dari risiko produksi lebih besar dibandingkan dengan risiko harga. Sehingga, risiko yang diterima petani pada komponen produksi lebih tinggi dibandingkan risiko pada komponen harga. Namun, nilai standar deviasi tidak dapat menentukan serta membandingkan tingkat risiko secara keseluruhan, karena terdapat perbedaan NPV yang diharapkan dari kedua risiko tersebut. Tingkat risiko keseluruhan dapat dibandingkan dengan melakukan perhitungan koefisien variasi. Koefisien variasi diukur dari rasio standar deviasi dari NPV dengan NPV yang diharapkan. Semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi. Pada risiko produksi, nilai koefisen variasi yang didapatkan adalah 0,571, sedangkan pada risiko harga sebesar 0,279. Dengan nilai tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari dua risiko yang dihadapi, risiko produksi memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan risiko harga atau dengan kata lain, dari kedua jenis risiko yang memiliki tingkat risiko lebih tinggi yaitu ketika kegiatan budidaya belimbing dewa dihadapkan pada risiko produksi. Penentuan risiko ini juga mengacu pada konsep risiko berdikari dimana risiko dinilai hanya terjadi pada satu perusahaan, dan tidak dapat dibandingkan dengan risiko yang terjadi di perusahaan lain, karena antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya memiliki perbedaan diantara komponen yang menyusunnya.
90
Pengurangan Risiko harga serta produksi yang dihadapi oleh petani budidaya belimbing dewa dilakukan dengan manajemen risiko secara sederhana, yakni dengan menjaga kualitas dan kuantitas belimbing yang dihasilkan seperti menerapkan SOP dengan baik karena SOP sendiri dikeluarkan untuk meminimalkan risiko. Selain itu, manajemen risiko yang dilakukan para petani budidaya belimbing adalah dengan menanam berbagai jenis tanaman. Biasanya para petani budidaya belimbing dewa di Kota Depok juga menanam jambu merah di kebunnya.
Sebagian melakukannya dengan memiliki pekerjaan tambahan
sebagai kuli bangunan atau pekerja musiman.
91
BAB VII. PENUTUP 7.1.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang didapat
adalah: 1. Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek nonfinansial menunjukkan bahwa usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok layak untuk dijalankan. Pada aspek pasar, peluang petani yang memeberlakukan SOP untuk memasarkan outputnya masij terbuka, hal ini dikarenakan semakin tigginya jumlah permintaan belimbing. Berdasarkan aspek teknis, usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP dapat meningkatkan jumlah produksi petani. Pada aspek manajemen dan hukum, struktur organisasi masih sangat sederhana , namun proses produksi masih dapat dijalankan dengan baik. Usaha budidaya belimbing dewa di Kota Depok tergabung dalam kelompok tani-kelompok tani yang ada. Aspek sosial-ekonomi-budaya dari usaha budiday belimbing dewa memberikan dampak positif dimana usaha ini menguntungkan bagi masyarakat sekitar. Pada aspek lingkungan, usaha budidaya ini juga menunjukkan kelayakan karena dengan adany usaha budidaya belimbing dewa dapat mengurangi pemanasan global dan sebagai penghijauan serta resapan air. 2. Usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok secara finansial layak untuk dijalankan. Hal ini sesuai dengan kriteria kelayakan investasi NPV ≥ 0, IRR ≥ Discount Rate (6,75%) dan Net B/C ≥ 1. Berdasarkan kriteria investasi pada kondisi normal, nilai NPV menunjukkan Rp 694.054.839,45 yang berarti usaha ini memberikan manfaat bersih sebesar Rp 694.054.839,45 selama umur usaha. Sementara nilai IRR 23,97% yang menunjukkan besarnya pengembalian dari penanaman modal untuk investasi sebesar 23,97% dari modal yang diinvestasikan. Net B/C sebesar 2,91 dimana setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan akan memberikan manfaat sebesar 2,91 satuan. Waktu pengembalian selama enam tahun sembilan bulan.
92
3. Dampak adanya risiko volume produksi dan risiko harga output pada usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan SOP di Kota Depok terhadap kelayakan usaha yaitu pada setiap kondisi, usaha tetap layak
untuk dijalankan secara finansial. Hal ini dilihat dari kriteria
investasi dari masig-masing skenario risiko. Sementara itu, tingkat risiko tertinggi terdapat pada risiko produksi dengan nilai koefisien variasi sebesar 0,571 sementara risiko harga memiliki nilai koefisien variasi yang lebih kecil yakni 0,279. 7.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian terdapat saran yang dapat dijadikan
rekomendasi bagi usaha budidaya belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok, yaitu: 1. Usaha belimbing dewa dengan pengembangan melalui SOP di Kota Depok Layak untuk dijalankan meskipun pendapatan yang didapat petani tidak tinggi. Oleh karena itu perlu upaya pengaturan, dimana penanaman belimbing pada lahan yang berbeda sehingga petani tidak mengandalkan pendapatan dari satu musim panen. 2. Risiko produksi yang dialami petani memiliki kemungkinan terjadi yang lebih besar dibandingkan dengan risiko harga, sehingga perlu dikelola dengan baik. Salah satunya dengan memperhatikan kondisi pohon. Sebaiknya pohon yang ditanam ukurannya tidak dibiarkan terlalu tinggi. 3. Dalam menghadapi risiko harga, perlu adanya upaya untuk meningkatkan daya tawar bagi petani. Hal ini dimaksudkan agar petani dapat menetapkan harga jual sehingga pendapatannya sesuai dengan usaha yang dilakukan. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kelompok tani dan koperasi. Kelompok tani tidak lagi sebatas menjadi tempat sharing saja. Selain itu koperasi lebih memperluas pemasarannya dan tidak lagi mengkuota belimbing yang dijual petani ke koperasi. 4. Para petani sebaiknya mulai menerapkan pertanian organik. Dengan pertanian organik petani akan meminimalkan biaya yang dikeluarkan untuk pestisida sehingga manfaat keuntungan yang diperoleh petani akan lebih tinggi. 93
5. Dalam melakukan pengembangan melalui SOP di Kota Depok perlu upaya dari pemerintah agar pengembangan usaha tersebut dapat berjalan sesuai dengan rencana strategis pemerintah. Pemerintah hendaknya memberikan penyuluhan secara intensif kepada petani baik dari segi budidaya hingga pemasaran sehingga petani dapat memperoleh informasi baru yang menyangkut usaha belimbing dewa dan petani dapat menerapkan SOP dengan sebaik-baiknya.
94
DAFTAR PUSTAKA Clive G. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Gramedia. Dinas Pertanian Kota Depok. 2007. Profil Belimbing Kota Depok. Depok: Dintan Kota Depok. Dinas Pertanian Kota Depok.2007. Standar Operasional Prosedur Belimbing Dewa Kota Depok. Depok: Dintan Kota Depok. Fleisher B. 1990. Agricultural Risk Management. London : Lynne Rienner Publisher, Inc. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Sutomo, Slamet dan Komet Mangiri, penerjemah; Jakarta : UI Press. Terjemahan dari: Economic Analysis of Agriculture. Haris A. 2008. Strategi Pemasaran Belimbing Manis di Pusat Koperasi Pemasaran Belimbing Dewa Depok [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Husen HA. 2006. Analisis Pendapatan Usaha Tani dan Pemasaran Buah Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi : Kasus Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Husnan S, Suwarsono M. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Pencetak AMP YKPN. Kadariah, Karlien L, Clive G. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Indonesia. Kasmir, Jakfar. 2006. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor: Kencana. Nazir M. 1983. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Ningsih GM. 2009. Analisis Kelayakan Finansial dan Sensitivitas Usaha Tanaman Apel di Malang [jurnal]. Malang: Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah, Malang. Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor: Butt Design & Printing. Nurmarita A. 2010. Kelayakan Usaha Peternakan Sapi Perah Dengan Pemanfaatan Limbah Untuk Menghasilkan Biogas pada Kondisi Risiko ( Studi Kasus: Reaktor skala 7 m3, KUD Giri Tani, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 95
Pemkot Depok. 2006. Program Pengembangan Belimbing Sebagai Icon Kota Depok. Depok: Pemkot Depok Pemkot Depok. 2007. Depok Dalam Angka. Depok: Pemkot Depok. ____________. 2008. Depok Dalam Angka. Depok: Pemkot Depok. Pemkot Depok. 2008. Kecamatan Dalam Angka. Depok: Pemkot Depok. Pinus. 1992. Bertanam Belimbing. Jakarta: Penebar Swadaya. Rosiana N. 2008. Studi Kelayakan Pengembangan Usaha Akarwangi (Andropogon zizanoid) di Kabupaten Garut [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Sidauruk R. 2005. Perbandingan Efektivitas Biaya dan Kelayakan Finansial Industri Kecil Tahu [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sofyan I. 2005. Manajemen Risiko. Yogyakarta : Graha Ilmu. Subagyo A. 2007. Studi Kelayakan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia. Suliyanto. 2010. Studi Kelayakan Bisnis ( Pendekatan Praktis). Yogyakarta : C.V Andi offset. Suratman. 2002. Studi Kelayakan Proyek. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Tim Penulis Penebar Swadaya. 1992. 13 Jenis Belimbing Manis. Jakarta: Penebar Swadaya. Umar H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Utami NL. 2008. Analisis Kelayaan Usaha Serbuk Minuman Instan Berbasis Tanaman Obat (Studi Kasus: Koleksi Tanaman Obat dan Spa Kebugaran SYIFA, Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Weston, et al. 1995. Manajemen Keuangan. Edisi Kesembilan. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara. Zamani A. 2008. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usaha Tani Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. www.ristek.go.id
96
LAMPIRAN
97
Lampiran 1. Peta Kota Depok
98
Lampiran 2. Kuisioner Penelitian
No Responden
KUISIONER PENELITIAN KELAYAKAN DAN RISIKO USAHA BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK DENGAN PENGEMBANGAN PERBAIKAN POLA PRODUKSI MELALUI SOP GAP Identitas Responden Petani Nama Responden Telpon/HP
: :
Alamat Responden :
Tanggal Wawancara:
Peneliti, Alwiyah H34070054
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 99
BOGOR 2011 A. KARAKTERISTIK PETANI 1. Nama
: …........................
2. Jenis Kelamin
: L/P
3. Umur
: …… Tahun
4. Pendidikan
: 1. Tidak sekolah
3.SLTP
2. SD
5. Univ
4. SMU
5. Kursus/pelatihan yang pernah diikuti
: ………………….
6. Pekerjaan Utama : 7. Pengalaman Usaha Budidaya Belimbing Dewa
: ................. Tahun
8. Jumlah Anggota Keluarga
: ................. Orang
B. PERTANAMAN BELIMBING DEWA 1. Status Kepemilikan Usaha : 2. Tahun Pendirian Usaha : 3. Luas Lahan Awal: 4. Luas Lahan Saat Ini 5. Jumlah Pohon Awal : 6. Jumlah Pohon Saat Ini : 7. Status Kepemilikan Lokasi Produksi : 8. Intensitas Produksi Belimbing Per Panen :
kg/panen
C. FINANSIAL 1. Komponen Outflow 1.1. investasi Uraian
Jumlah (unit)
Biaya per Satuan (Rp/Unit)
Biaya Total (Rp)
Umur Pakai (Tahun)
Cara Pembayaran
1) Tanah (m2) a. Sewa b. Milik sendiri 100
2) Bangunan a. Gudang b. 3) Transportasi angkutan a. Mobil b. Motor Uraian
Jumlah (unit)
Biaya per Satuan (Rp/Unit)
Biaya Total (Rp)
Umur Pakai (Tahun)
4) Peralatan a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. L. m. n. o. p. q. r. 1.2. Biaya Variabel Uraian
Jumlah
Biaya per Satuan
Biaya Total (Rp)
Sumber
Keterangan
101
Uraian
Jumlah
Biaya per Satuan
Biaya Total (Rp)
Sumber
Keterangan
1.3. Biaya Tetap
Uraian 1. PBB 2. Bunga pinjaman 3. Sewa Bangunan 4. Biaya Listrik 5. Biaya telephone 6. Biaya Air/pengairan 7. Lainnya
Jumlah Biaya (Rp)
Periode (bulan)
Jumlah (Rp)
Periode (bulan)
2. Komponen Inflow
2.1 Kredit/Pinjaman Uraian
102
2.2 Subsidi / Bantuan Pemerintah Uraian
Jumlah (Rp)
Periode (bulan)
Jumlah (Rp)
Periode (bulan)
2.3 Sumber Lainnya Uraian
2.4 Barang yang Disewakan Jenis Barang
Jumlah (Unit)
Harga Sewa/Unit (Rp/unit)
Total (Unit)
Periode Pengembalian (Bulan)
D. RISIKO 1. Komponen Biaya Variabel yang Dipengaruhi Risiko 1.1. Bibit Uraian
Harga Beli Bibit
Mortalitas
Jumlah (Rp)
Periode (waktu)
Kondisi Terbaik Kondisi Normal Kondisi Terburuk 2. Komponen Penerimaan yang Dipengaruhi Risiko Penerimaan
Harga
Jumlah
Periode
Jumlah (Rp) 103
Jual
Produksi
1.1. Produksi Belimbing -Kondisi Tertinggi -Kondisi Normal -Kondisi Terendah 1.2. Penjualan Produk Lain -Kondisi Tertinggi -Kondisi Normal -Kondisi Terendah 1.3. Faktor-faktor apa saja yang sangat mempengaruhi produksi belimbing dewa (misalkan penurunan produksi)?
Pernahkah mengalami gagal produksi? : Ya/Tidak, jika Ya, mengapa?
1.4.
Menurut anda faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga Input
(bibit dan pupuk)?
1.5. Menurut Bapak faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga jual belimbing dewa?
E. TEKNIS 1. Mengapa Anda memilih lokasi ini untuk melaksanakan usaha budidaya belimbing dewa?
2. Apakah lokasi usaha ini tepat? (misalkan menguntungkan) Mengapa?
3. Apakah budidaya belimbing dewa cocok untuk dilaksanakan di Desa ini? Kenapa? 104
4. Bagaimana jarak antara lokasi ini dengan pasar / pusat penjualan? Jauh atau tidak?
5. Bagaimana jarak antara lokasi ini dengan sumber input? Jauh atau tidak?
6. Bagaimana proses budidaya belimbing dewa dari pembibitan hingga pengemasan dan pemasaran?
7. Adakah teknologi yang digunakan dalam pembudidayaan belimbing dewa?
8. Bagaimana layout usaha ini?
F. PEMASARAN Pola Pemasaran
Jumlah (Kg)
Harga Jual (Rp)
Sistem Pembayaran
Digunakan sendiri Dijual ke pengumpul Dijual ke koperasi Dijual ke pengecer 105
Dijual sendiri
a. Berapa jumlah permintaan belimbing?
b. Berapa jumlah penawaran belimbing?(produksi yang mampu dihasilkan untuk memenuhi permintaan pasar)
c. Apakah jumalh permintaan terpenuhi seluruhnya?
d. Apakah terdapat pesaing (petani lain) dalam memenuhi permintaan pasar terhadap belimbing Dewa?
e. Jika iya, berasal darimana sajakah?
f. Berapa produksi belimbing yang mampu dihasilkan pesaing?
g. Dimana saja daerah pemasaran belimbing dewa yang diusahakan oleh usaha Anda?
h. Mengapa memilih daerah tersebut menjadi tempat pemasaran (pola pemasaran)?
i. Apakah kedepannya anda masih akan memilih tempat tersebut sebagai daerah pemasaran? Mengapa?
106
j. Apakah anda memiliki hambatan dalam melakukan pemasaran belimbing dewa?
k. Apakah anda melakukan kegiatan promosi belimbing dewa? Ya/Tidak?
-
Jika Ya, manfaatnya bagi usaha anda apa saja?
-
Dalam bentuk apa promosi yang dilakukan?
-
Jika Tidak, mengapa?
H. MANAJERIAL 1. Berapa jumlah tenaga kerja yang Anda miliki?
2. Darimana sajakah tenaga kerja tersebut berasal? (misal : keluarga, non keluarga (dalam desa / luar desa)
3. Bagaimana proses pemilihan tenaga kerja pada usaha bapak?
4. Apakah setiap tenaga kerja tersebut memiliki kriteria atau keahlian khusus? Jika Ya, Seperti apa?
5. Apakah ada pembagian tugas khusus dari setiap pekerja? Ya/Tidak 107
Jika iya, seperti apa dan mengapa?
7. Berapa jam dalam sehari tenaga kerja tersebut bekerja dalam usaha Anda?
8. Berapa upah yang diberikan pada tenaga kerja tersebut? Atas dasar apa pemilihan upah tersebut ?
I. ORGANISASI 1. Bagaimana bentuk organisasi usaha yang Anda jalankan? (misal: CV, PO, dll)
2. Apakah Anda mendaftarkan usaha ini ke dinas terkait? Misal dinas Pertanian, dll) Jika Iya, kemana saja dan mengapa?
4. Apakah usaha yang Anda jalankan memiliki struktur usaha? (misal pemilik, bagian keuangan, bagian pemasaran, dll ) Jika, Ya, bagaimana bentuknya?
J. KELEMBAGAAN 1. Apakah Bapak / Ibu bergabung dalam kegiatan kelembagaan Pertanian? Ya/Tidak*) - Kalau Ya, Kelembagaan apa yang anda Ikuti ? a. Kelompok Tani, b.Koperasi, c. Asosiasi, d. Lainnya .................
108
- Mengapa Anda bergabung dalam kelembagaan tersebut?
- Keuntungan apa yang Anda peroleh ketika bergabung dengan kelembagaan tersebut?
- Apakah Anda ikut serta dalam kepengurusan kelembagaan tersebut? Iya/Tidak, Jika Iya, Sebagai apa?- Kalau Bapak / Ibu Tidak bergabung dengan kelembagaan,
Mengapa?
K. LINGKUNGAN 1. Sebutkan manfaat/dampak tidak langsung adanya usaha budidaya belimbing dewa baik negatif maupun positif bagi lingkungan sekitar usaha?
2. Apakah dengan adanya usaha budidaya belimbing dewa dapat merusak kelestarian alam?(misal: polusi udara, polusi akibat limbah ternak, dll) Jika Ya, Kerusakan bagaimana yang dimaksud?.
3. Bagaimana proses pembuangan limbah dari usaha Bapak/Ibu?
4.Kemana sajakah limbah tersebut dibuang?
109
5.Mengapa? Kenapa tidak ketempat lain?
6.Bagaimana dampak pembuangan limbah tersebut bagi masyarakat?
7.Adakah upaya-upaya yang dilakukan oleh petani untuk memperbaiki kelestarian alam/lingkungan tersebut (mis : dalam bentuk pengolahan limbah,dll) Jika, terdapat upaya perbaikan kelestarian alam, biayanya berasal darimana? Biaya sendiri/kolektif/program pemerintah*), besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kelestarian alam yang pernah dilakukan adalah Rp.
L. Pertanyaan Umum 1. Secara umum, permasalahan-permasalahan apa yang dialami oleh petani budidaya? (Pilihan Boleh lebih dari satu)!. - Biaya produksi - Penyakit - Kualitas bahan baku - Lainnya, sebutkan..... - Kontinuitas bahan baku - Permodalan - Dominasi pedagang pengumpul / kelembagaan
2. Apakah masyarakat mendukung dan terlibat langsung dalam usaha budidaya belimbing dewa? Jika terlibat langsung, dalam bentuk apa partisipasinya
3. Bagaimana pengaruh atau dampak pemberlakuan SOP pada usaha budidaya belimbing dewa Bapak/Ibu ataupun dalam kegiatan rumah tangga Bapak/Ibu? Apakah menguntungkan? Mengapa? 110
4. Apakah Bapak/Ibu akan melanjutkan penerapan SOP ini?Mengapa?
5. Manfaat apa sajakah yang diperoleh Bapak/Ibu baik langsung maupun tidak langsung, dari usaha ini?
111