Kelamnya Pekat Memeluk Akrab Oleh: Najwa Humaira
Kutatap kau dalam diam Dan kutatap kau dengan mata terpejam Kelamnya pekat memeluk akrab Sunyi sejuta kunang berkeriap Dan kau tetap diam… Chand, sahabatku… . Ijinkan aku menyebutmu sahabat untuk yang terakhir kali. Masih ingatkah kau saat kita SMA dulu? Ingat jugakah kau saat kita berkenalan? Aku kebingungan mencari kelas dan diolok-olok kakak kelas kita.‟Eh, ada anak kecil ke sini. Cari siapa dik? „ tanya mereka bersamaan. Tentu saja itu hanya olok-olok. Mereka tahu bahwa aku baru di sekolah itu.
Aku ketakutan, malu, risih melihat segerombolan cowok
mengelilingiku. Tiba-tiba kau datang, menyapaku, menolongku dalam kesulitan. Dengan senyummu kau mengajakku menjauhi tempat itu. Ternyata kita satu kelas. Lagi-lagi di kelas, aku menjadi bahan olok-olok. „Chand, cewek dari mana tuh … yang kamu bawa. Memang di sini gak ada cewek cakep. Kecil gitu kamu bawa ke sini. Kaciaann…nanti dia nangis‟ dan masih banyak lagi ejekan mereka. Dalam hati aku mengumpat, sialan… begini nih kalau sekolah di luar negeri alias swasta. Anak-anaknya jangan ditanya lagi. Jangan ditanya juga tentang etika. Lagi-lagi kau menolongku. Akhirnya, semua teman menerimaku dengan tangan terbuka juga. Ingat jugakah kau saat kita bercanda? Dunia terasa begitu indah. Bunga-bunga di taman selalu tertawa menyambut kelakar kita. Kelas kita menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Sudah berapa tahun ya Chand itu terjadi? Rasanya itu baru terjadi. Entah sudah berapa tahun kita berpisah. Entah sudah berapa tahun pula kenangan itu terjadi. Aku tak sanggup mengingatnya, Chand. Aku lelah. Rasanya kenangan itu selalu menyertaiku, dan membayangiku hingga kini. Aku ingat. Aku terlalu bahagia bercanda, berjalan bersama denganmu hingga aku tak menghiraukan sekelilingku. Kau ingat teman kita, Lina? Yahh…dialah pangkal semua ini. Dia memfitnahku dengan kata-kata yang sungguh menyakitkan. Sangat
2
menyakitkan!!! Aku ingat peristiwa itu. Sangat ingat! Waktu itu aku baru kembali dari kantin. Aku mendengar kelas begitu gaduh. Begitu aku masuk, kelas begitu sunyi, semua mata menatap kepadaku. Pandangan mata yang sangat sinis. Kudekati sahabatku, Wening dengan tatapan tanya. Wening tersenyum menyejukkan. “Jangan terlalu dipikirkan. Orang kalau iri, cemburu ada saja caranya.” “Memang kenapa Ning?” desakku penasaran. “Tahu sendiri kan bagaimana Lina. Sudahlah…!” jawab Wening menghindar. Kupandang Wening dengan tatapan memohon. Setelah menghela napas, akhirnya Wening bercerita. “Sebelum kamu tiba tadi, Lina mengatakan di hadapan teman-teman bahwa bahwa kamu itu cewek gampangan, gak tahu malu, suka ngejar cowok, dan materialistis.” Mendengar penuturan Wening, serentak aku berdiri. Kupandangi Lina dengan pandangan liar. Wening menarik tanganku untuk duduk lagi. “Sudah Bel, jangan diladeni. Kau tahu, jika kau labrak dia, tidak ada bedanya kau dengan dia.
Waktu yang akan menjawab apakah kau cewek seperti yang dia
tuduhkan.” Masih banyak lagi kata-kata Wening yang akhirnya menyejukkan hatiku. Seperti kata pepatah, berita yang buruk akan cepat menyebar. Kau mendengar berita itu. Dan kau percaya. Matahari pun tak lagi tersenyum dan mendung seakan selalu setia singgah di setiap tatap pandangmu padaku. Chand sahabatku, Hari-hari jadi kelabu. Taman di depan kelas kita tak mau lagi tersenyum padaku. Kelas yang tadinya begitu cerah kulihat, saat itu terlihat begitu muram. Jam berdetik setiap saat terasa lambat sekali. Kelas terasa pengap. Kau tak mau bercanda lagi denganku. Kau tak pernah mau tersenyum padaku. Dan ya Allah…betapa dinginnya tatapan matamu. Hatiku menggigil bila bertatapan denganmu. Waktu itu, aku tak habis mengerti dengan segala perubahan sikapmu. Apa yang terjadi padamu?!!! Kemana semua keramahanmu? Ke mana tawamu? Ketika aku mencoba bertanya padamu, kau hanya tersenyum. Hari-hari pun kian menyiksaku. Kau seakan sengaja memamerkan pesonamu di antara gadis-gadis di sekolah kita. Andai kau tahu betapa hancur hatiku. Mengapa harus seperti ini Chand? Saat indah itu begitu singkat. Aku merindukan tawamu yang ramah dan humormu yang segar… . kemana semua itu Chand? Rasanya persahabatan yang kita jalin selama ini sia-sia belaka. Aku jadi seperti terkucil di kelas. Kelas menjadi
3
neraka bagiku. Aku tak betah lagi duduk dan bercanda dengan teman-teman yang lain karena di setiap pandangku selalu tertumbuk sorot mata yang amat menusuk, penuh tuduhan. Aku semakin tidak mengerti dengan semua ini. Jika kutanya, kau hanya membisu dan menghindar. Untunglah di kelas tiga, kita tak sekelas lagi hingga sedikit meringankan beban batinku. Ketika akan menghadapi ujian, tiba-tiba kau datang dan minta maaf. Untuk apa Chand? Masa-masa remaja kita yang indah sudah hampir berlalu. Tapi Chand, aku tak pernah membencimu. Di hatiku, kau tetap ada. Kukira masalah kita selesai. Ternyata aku salah. Kau tetap tak mau menyapaku. Lalu apa gunanya kau minta maaf? Atau karena kita akan berpisah selamanya? Chand yang pernah singgah di hatiku… . Bertahun setelah kita berpisah, aku sering merenung. Bayangmu, kenangan bersamamu tak pernah pupus dari hatiku. Aku mencoba bercermin. Mungkin aku yang salah. Mungkin dari sikapku menunjukkan perasaanku. Mungkin…apa yang dikatakan Lina benar. Perasaanku sering tidak enak bila melihatmu bercanda, berjalan bersama gadis lain. Selama ini aku tak pernah punya rasa lain dengan pemuda mana pun. Selama ini jejakmu selalu mengikuti di setiap helaan nafasku. Chand, aku menyayangmu, mencintaimu. Bukan sebagai sahabatku. Maafkan aku…! Aku telah menodai persahabatan kita. Aku telah menghancurkan kepercayaanmu. Aku memang tak pantas berada di dekatmu. Pernah aku mencoba mencintai teman kuliah, namun aku tak bisa Chand…! Bagaimana aku bisa melupakan dirimu, bila setiap aku pulang ke rumah selalu lewat depan rumahmu. Maaf Chand, aku sudah berusaha. Malam-malam dipenuhi mimpi tentang kau, tentang suaramu. Sampai kapan Chand? Lelah aku mengikuti jejak bayangmu. Pernah
kulihat
sosok
tubuhmu
berjalan
santai
di
Malioboro.
Gayamu…senyummu… tak kan pernah kulupa. Samara-samar hati ini ingin memanggil namamu. Nada-nada bergema dalam hatiku. Engkau telah datang, asaku akan segera terwujud. Namun, itu bukan kau. Kembali aku terjaga dalam mimpi-mimpiku bertahun ini. Aku sadar, aku tak kan mampu menatap wajahmu. Akhirnya aku hanya bisa menunduk dan kembali menapaki hari-hariku dalam mimpi-mimpi yang tak pernah pupus.
4
Chand yang baik, Suatu hari aku jatuh sakit. Aku merasa sangat lelah. Untuk bernapas pun aku kesulitan. Waktu itu, wajahku bak mayat hidup. Kakakku membawaku ke dokter. Kau tahu apa kata dokter? Dokter menyatakan bahwa terjadi penyempitan pada katup jantungku dan ini merupakan bawaan sejak lahir. Allahhuakbar. Tuhan masih memberi kehidupan padaku hingga saat ini. Kau ingat tidak bagaimana aku ketika sekolah. Tubuhku tak pernah sehat, selalu sakit-sakitan. Ingat tidak? Ketika kita berolahraga lari mengelilingi Kridosono, selalu aku yang paling akhir sampai di tempat. Oh ya aku jadi ingat, waktu kita sedang lari mengelilingi stadion itu hujan turun dengan deras. Kita terpaksa berteduh di rumah orang. Pulangnya kita menggunakan daun pisang sebagai payungnya.
Sampai di sekolah teman-teman menyoraki kita
karena kita yang paling akhir datangnya. Kau ingat itu Chad? Itulah terakhir kali kita dapat berjalan bersama. Chand, Sakitku tak tersembuhkan. Satu-satunya jalan harus operasi. Itu pun hanya 10 % persentase keberhasilannya. Aku bingung Chand. Bagaimana aku bisa operasi, sedang untuk biaya kuliah selama ini aku masih minta kakakku? Kau ingat kakakku? Yah, dia masih mengajar. Tapi dia sekarang punya profesi baru, pengarang Chand. Tahu tidak apa yang dia tulis, pengalaman kita. Bisa aja kakakku itu. Kalau dipikir lucu juga ya Chand. Dulu kau sering bilang, kau ingin punya kakak seperti kakakku, ternyata sekarang kita malah berjauhan. Nasib orang siapa tahu ya Chand…? Seperti nasibku itu, dulu aku selalu gembira. Kini, apa yang bisa membuatku bahagia. Aku pasrah Chand. Aku hanya bisa berdoa mohon diberi kemudahan oleh Tuhan. Tuhan mendengar doaku. Dua buah novel kakakku menjadi best seller. Terima kasih, Tuhan. Aku bersedia dioperasi. Namun aku tak berharap apa-apa. Apalagi Chand yang masih bisa kuharapkan? Menyebut namamu pun kini aku tak boleh. Kudengar kau di luar negeri dan sudah bertunangan. Selamat Chand. Aku sudah di ibu kota ini selama sebulan. Kemarin Ranti mengunjungiku. Kau ingat Ranti? He…kau pasti ingat. Dia cewek tercantik di kelas kita. Pasti ingat dech, kan matamu selalu bersinar kalau lihat cewek cantik dan kau pernah tertarik dengannya. Hayo…ngaku. Dia datang dengan suaminya. Dia cerita kalau kau sudah di Jakarta lagi.
5
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Jauh di lubuk hatiku aku ingin melihatmu. Aku ingin memohon maafmu. Namun, aku tahu itu tak mungkin lagi. Bentangan jarak di antara kita begitu lebar. Chand sahabatku, kekasih hatiku… Di mana …kau Chand??? Maafkan aku telah mencintaimu. Maafkan, kunodai persahabatan kita. Mungkin di lain dimensi kita akan bertemu. Sampaikan salamku untuk Wening, aku kangen dia. Dia adalah sahabatku, saudaraku. Selamat tinggal Chand…maafkan aku.
Yang pernah menjadi sahabatmu Bella Chandra melipat surat itu pelan-pelan. Bella…nama itu begitu lekat di hatinya. Wening duduk tepekur. Dia juga ingat sahabatnya. Minggu lalu dia baru tahu keadaan sahabatnya itu. Waktu itu ada rasa kangen yang begitu mendesak untuk bertemu Bella. Ternyata Bella sudah di Jakarta. “Bagaimana keadaannya?” tanya Chandra tiba-tiba. Wening tersentak. “Aku nggak tahu,” sahut Wening lirih,”aku nggak ketemu dengan dia.” “Aku menyesal Ning,” pelan suara Chandra. Di raut wajahnya, terbayang kesedihan. “Kalau boleh tahu Chand, sebenarnya ada masalah apa di antara kalian ?” “Itu terjadi waktu kita SMA. Itu karena kepengecutanku. Karena belum dewasanya kita. Ah…aku merasa bersalah Ning.” “Mengapa?” desak Wening. “Aku … mencintainya.” desah Chandra. “Lalu…apa salahnya?!!! teriak Wening. “Tahukah kau, kau telah menyiksanya. Sejak peristiwa itu semangat belajarnya turun. Dia selalu murung. Di rumah selalu mengurung diri. Dia tak mau berdekatan dengan siapa pun !” “Tapi…tapi aku merasa bersalah Ning? Seharusnya pada saat peristiwa itu aku memberi dukungan kepadanya. Aku tahu dia tidak bersalah. Tapi aku malah menjauhinya. “ “Kamu pengecut Chand…!!” teriak Wening. “Kamu tidak berani jujur pada hatimu bahwa kamu memang mencintai dia!”
6
“Aku…tidak tahu makna persahabatan, Ning”keluh Chandra, “selain itu kau pun tahu bahwa kami berbeda keyakinan.” Wening mengangguk. Dia tahu karena keluarga Chandra memang WNI keturunan di kota mereka. “Tahukah kau, Bella pun mencintaimu” kata Wening pelan. Mendengar ucapan Wening, Chandra terkejut. Matanya menatap nanar tak percaya. Dia mencengkeram bahu Wening kuat-kuat. “Katakan Ning, katakan … dengan jujur sekali lagi. Kau bohong kan Ning…?!! Kau jangan bercanda,” desak Chandra. “Bagaimana bisa aku berbohong dan bercanda dalam keadaan seperti ini?!” kata Wening keras. “Kau baca suratnya tadi, Bella sedang sakit keras!” Chandra terhempas ke kursi di belakangnya. Dia menutupi wajahnya. Tiba-tiba dia menengadah menatap Wening. “Ning, ayo kita menjenguknya!” “Tempatnya sangat jauh…Chand.” “Aku tak peduli. Masih di Jakarta ini kan. Bagaimana Ning? Kau setuju ya? Kau harus setuju. Kalau tidak, kau bukan sahabat kami. Kau tahu, aku selalu tersiksa…” kata Chandra lirih. Wening jadi iba kepadanya. Tadinya dia ingin marah-marah pada Chandra, tapi melihat sikapnya seperti itu dia berubah pikiran. Tiba-tiba Chandra bersujud di hadapannya. Dia terkejut bukan main. “Apa-apaan ini !!!” teriak Wening mundur. “Ayolah, Ning. Please…” kata Chandra memohon. Akhirnya Wening mengangguk dengan pelan. Chandra memeluknya dengan gembira. Wening tidak tahu apakah langkah yang dilakukannya sudah tepat. Dalam perjalanan menuju rumah sakit dia memikirkan hal itu. Tapi dia sudah sangat ingin bertemu sahabatnya itu. Dia juga ingin membuat sahabatnya tertawa bahagia. Selama ini mereka hanya bisa berkomunikasi lewat telepon. Dia tahu sahabatnya hanya ingin bertemu Chandra. Tiba di rumah sakit, Chandra terlihat sangat tegang. lorong-lorong rumah sakit yang sepi semakin mendebarkan hati mereka. “Di mana dia Ning ?” desak Chandra. “Lantai 5 kamar 10.” jawab Wening.
7
Pelan-pelan mereka membuka pintu sebuah kamar. Di salah satu tempat tidur, terlihat seorang gadis sedang duduk berdoa. Dia terlihat semakin kurus. Begitu membuka mata dia sangat terkejut melihat dua sosok tubuh di hadapannya. Sosok tubuh yang sangat dicintainya. Yang sangat diharapkannya. Di matanya terbayang ketidakpercayaan. Matanya berkaca-kaca. Wening tak kuasa membendung keharuan mereka. Dia memeluk Bella erat-erat. “Ning, sudah begitu lama…? Aku kangen banget. Darimana kamu tahu aku di sini?” tanya Bella tersendat. “Aku ke rumahmu. Dan mereka menceritakan semuanya.” Perlahan kepala Bella menoleh pada sosok yang lain. Chandra tersenyum lembut. Mata keduanya berlumur kerinduan. Berbagai peristiwa masa lalu melintas di pandangan mereka. Pelan Wening ke luar kamar. Dia tak ingin mengganggu pertemuan itu. “Apa kabar?” kata keduanya bersamaan. Mereka tertawa dalam keharuan. “Aku .. . ya seperti ini. Tetap mungil.” kata Bela sendu. “Bella, maafkan aku. Masa lalu kita telah kita sia-siakan. Sejujurnya, sejak dulu aku sangat mencintaimu.” Mata Bella terbelalak tak percaya. Dia tahu ini tak mungkin. Dia ingat, terakhir mereka bertemu Chandra tak mau bertegur sapa dengannya. Bagaimana mungkin hari ini dia menyatakan cintanya. “Jangan mengasihani aku Chand. Aku tak apa-apa. Melihatmu saja aku sudah senang. Aku tidak senang dikasihani!” tandas Bella. “Bella, mengapa kau tidak mau percaya kepadaku? Sungguh, aku sangat sayang padamu.” “Tapi… mengapa?” tanya Bella. “ Aku selalu menyesali kepengecutanku. Aku takut kau akan marah bila tahu isi hatiku. Aku telah merusak persahabatan kita.” “Tapi…kau juga harus tahu, aku juga berpikir begitu.” “Jadi…?” Serentak mereka berpelukan dalam haru. Betapa masa remaja mereka tersiakan. “Berapa lamakah kita berpisah Chand?” tanya Bella. “Entahlah Bel, rasanya sudah berabad-abad. Kau lihat rambutku sudah mulai memutih. Itu karena terlalu memikirkanmu…,” kata Chandra dengan senyum menggoda. Bella tersenyum.
8
“Percaya…percaya. Segitu mikirnya sampai tidak pernah kirim kabar. Tahu jugakah kau aku sampai kurus kering begini memikirkan kamu juga.” sahut Bella. Chandra mencium kening Bella sambil membisikkan sejuta maaf. Lalu cerita demi cerita mengalir menjadi sebuah kehangatan ketika Wening ikut bersama mereka. “Ayo…bagi-bagi ceritanya. Bel, bersemangatlah! Kami menunggumu di sini,” kata Wening. Bella tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, ditunggui oleh sahabat dan kekasih. Mereka telah berpisah sepuluh tahun lamanya. Suara kereta dorong menuju kamar operasi membuat setiap orang yang berkepentingan semakin merasakan ketegangan. Hari ini Bella akan dioperasi. Wening dan Chandra menunggui Bella sejak semalam bersama keluarga Bella. Sudah enam jam sejak operasi dilakukan tetapi belum ada tanda-tanda selesai. Ketika lampu di atas kamar operasi menyala dan seorang dokter keluar dari ruangan, mereka bergegas menyambutnya. “Bagaimana Dokter, anak saya?” tanya ibu Bella cemas. “Tenang, Pak, Bu, operasi berjalan lancar. Namun… semuanya kita kembalikan kepada Allah swt.” jelas dokter sambil tersenyum menyejukkan. “Jika putri bapak dan ibu dapat melewati masa kritisnya, berarti dia akan selamat. Berdoalah…!” lanjut dokter. Bagaimana ini Ning, dia belum sadar juga?!” kata Chandra cemas. “Tenanglah Chand, Bella pasti selamat! Dia gadis yang tabah. Apalagi sekarang ada kau…,” hibur Wening. “ Chandra hanya tertunduk sedih. Dia tahu harapan Bella sembuh sangat tipis. Melihat fisiknya, kecil kemungkinan dia dapat melewati masa kritis. Dia mencoba melihat ke dalam ruangan, melewati batas ruang dan waktu tempat gadis terkasihnya terbaring. Memperjuangkan hidupnya. Rasanya dia tak sanggup kehilangan lagi.
Dia ingat
masa lalu mereka. Masa-masa penuh tawa. Dia tak ingin mengingat masa suram mereka. Sangat menyakitkan bagi mereka berdua. Chandra jadi ingat, dua tahun yang lalu dia dipertunangkan dengan gadis yang masih terhitung saudaranya. Ternyata mereka tidak berjodoh. Dia tidak mencintai gadis itu dan gadis itu juga telah memiliki kekasih. Rasanya semua maslah telah selesai, hanya sekarang akan selamatkah Bella? Tuhan, lindungi dia!
9
Suara panggilan bagi keluarga Bella menyentaknya dari lamunan. Orang tua Bella bergegas masuk ke sebuah ruangan. Chandra berdebar menanti berita dari mereka. “Wening, Chandra, masuklah! Bella menunggu kalian…,” kata ibu Bella dengan lirih. Di matanya terlihat kesedihan. Dengan segala pertanyaan di mata mereka, bergegas menemui Bella. Di sudut ruangan, Bella masih tergolek lemah dengan peralatan medis yang begitu banyak. Merasa ada orang di dekatnya, dia membuka mata. Bella memegang kedua tangan orang yang dikasihinya. “Ning, terima kasih atas semua perhatianmu…kasih sayangmu. Aku bangga menjadi sahabatmu.” kata Bella pelan, “maafkan segala kesalahanku.” Suaranya masih serak dan lemah. Wening hanya mengangguk. Suaranya tersangkut di tenggorokan. Wening memeluknya haru sambil berbisik,” Kau saudaraku.” Bella menoleh pada Chandra. Diam-diam Wening meninggalkan mereka. Chandra memandangnya lembut. Dia mendekat, memeluknya . “Chand, terima kasih. Kamu telah memberi kebahagiaan di saat terakhirku. Aku minta maaf atas semua kesalahanku…,” suara Bella semakin pelan. Nafasnya semakin lemah. “ Rasanya sudah lega aku meninggalkan dunia ini.” lanjutnya. “Bel, kamu tak boleh berkata seperti itu…,” bisik Chandra sedih. Bella hanya tersenyum lemah. Lama dia menutup mata. Chandra memegang tangannya. Melihat Bella dengan cemas. Perlahan mata Bella terbuka. “Chand, maukah kau memelukku…?” Chandra mencium kening, memeluknya erat. Bella tersenyum bahagia. Chandra tersadar ketika terasa Bella lama terdiam. Dia pandangi kekasihnya, dia pegang nadinya. Matanya berkaca-kaca. “Selamat tinggal Cinta… tenanglah kau di sana. Aku akan selalu berdoa untukmu.” Setelah mencium kening Bella, Chandra memanggil perawat dan keluar mencari orang tua Bella. Gundukan tanah merah basah masih mewangi aroma mawar. Chandra masih duduk tepekur di depan nisan. Orang-orang yang mengantar Bella telah pergi. Di sampingnya ada Wening yang masih setia menemaninya. Pikiran Chandra pepat. Penuh bayangan kekasihnya. Dia tak bisa berpikir apa-apa. Apalagi yang dapat dipikirkannya. Asanya selama ini telah sirna. Selama ini pun dia selalu gagal jika ingin menjalin hubungan lebih akrab dengan gadis lain. Dia selalu membandingkannya dengan Bella. Dia tak
10
bisa melupakannya. Chandra tahu bahwa mereka tak mungkin bersatu. Jalan mereka sangat berbeda. Namun, untuk sejenak dia ingin menutup mata. Dia masih menyesali hari-hari mereka yang tersia-sia dengan kesalahpahaman. Masih terbayang dalam ingatannya, saat mereka menyanyi di panggung sekolah. Saat itu mereka masih rukun, masih bahagia. Lalu dia mulai merasakan perasaan lain di hatinya terhadap gadis itu. Gadis yang harus dijauhinya. Lalu peristiwa itu terjadi. Lalu dia pergi dari kotanya, pergi dari negaranya. Pergi untuk mencoba melupakan cintanya, luka hatinya. Di negara matahari terbit, dia tidak menemukan apa yang dicarinya. “Chand, kita harus pulang. Lihat mendung di atas sana sudah begitu tebal. Biarlah Bella istirahat dengan tenang di sini. Selama ini hanya kamu yang ditunggunya. Kau telah memberinya kebahagiaan di saat akhirnya. Mungkin ini jalan yang telah digariskan Tuhan. Kita selalu dapat mendoakannya di rumah.” Suara Wening membuyarkan angannya. Chandra mengusap matanya. Dia mengusap batu nisan dan berbisik,” Bel, baik-baik ya di sini. Aku tinggal dulu. Aku pasti akan selalu menengokmu.” Perlahan mereka meninggalkan tanah pekuburan itu. Chandra merasa lelah. Lelah segalanya. Dadanya sesak. Andaikata bisa, dia ingin berteriak sekeras-kerasnya, menumpahkan segala yang menyesak di hatinya. Dia sudah tak punya harapan. Di kejauhan dia melihat Bella tersenyum bahagia melambaikan tangan. Chandra tersenyum menyambutnya. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Dia akan menuju sebuah gedung yang teduh, yang dirimbuni pepohonan. Di dalamnya penuh kedamaian, penuh cinta. Dan di sana dia akan selalu merasa dekat dengan Bella. Yah, dia ingin mengabdikan diri pada Tuhan.