KEKERASAN IBU SINGLE PARENTS TERHADAP ANAK ( Studi Fenomenologi pada Keluarga Ibu Single Parents di Kota Malang) Agustin Ikawati Mahasiswa : Psikologi/ Fisip Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur
ABSTRACT This study aims to know violent behavior by single parent mothers to her children, a phenomenological study on mothers of single parent families in Malang City. This study applied the theory of violence factor by Mu’tadin (2002). This study used qualitative methods with phenomenological approach. The collected data were analyzed data reduction methods by Milles and Huberman (2007). Techniques of data collection used semi-structured interviews with primary and secondary subjects, and also used the non-participant observation. Validity and realibility used credibility and confirmability. The results of this research are each subjects has performed violent behavior either verbally and non-verbally to their children. Dominants factor of the emergence of violent behavior of the four subjects are frustration factor and anger factor. Key words : Violent Behavior, Single Parent mothers
ABSTRAKSI Penelitian ini mengangkat tentang perilaku kekerasan oleh ibu single parents terhadap anaknya, studi fenomenologi pada keluarga ibu single parents di Kota Malang. Penelitian ini menggunakan teori faktor kekerasan dari Mu’tadin (2002). Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis metode reduksi data. Teknik pengambilan data menggunakan wawancara semi terstruktur dengan subyek primer dan sekunder serta menggunakan obsevasi non-partisipan. Analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif, validitas dan realibilitas menggunakan kredibilitas dan konfirmabilitas. Hasil penelitian ini adalah setiap
1
2
subyek melakukan perilaku kekerasan baik secara verbal maupun non-verbal terhadap anaknya. Faktor dominan timbulnya perilaku kekerasan dari ke empat subyek adalah faktor frustasi dan faktor marah. Kata kunci: Perilaku kekerasan, ibu single parent
PENDAHULUAN Pengasuhan oleh orang tua tunggal adalah salah satu fenomena di zaman modern ini. Sebagian besar keluarga yang berstatus single parent adalah wanita sebagai kepala keluarga merangkap sebagai ibu rumah tangga, dengan kata lain wanita menjalankan peran ganda. Fenomena yang terjadi di negara-negara maju menunjukkan hal sama yang terjadi pada negara lain termasuk Indonesia. Orang tua yang lengkap memang memiliki keuntungan dibanding orang tua tunggal, yaitu bisa berbagi dan menyediakan kondisi yang harmonis bagi perkembangan anak mereka (Dwiyani,2009). Menjadi orangtua tunggal pada dasarnya bukan pilihan hidup, namun bagi mereka yang bersatatus single parent yang mampu mempersiapkan dengan matang akan tidak menjadi beban berat. Hal ini dapat menjadikan solusi atas berbagai kebutuhan, misalnya kebutuhan berbagi, kebutuhan untuk mengatasi kesepian, kebutuhan akan peran sebagai orangtua. Lain halnya bila menjadi orangtua tunggal yang belum mampu mempersiapkan dengan matang, sungguh tidak mudah untuk dihadapi karena banyaknya persoalan yang mengelilingi. Terlebih lagi dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan tanpa dukungan sosial yang memadai, kadang-kadang keadaan menjadi sangat dramatis (Dwiyani, 2009). Ada kecenderungan masyarakat modern bisa menerima fenomena orang tua tunggal (single parent), karena pasangan bercerai atau meninggal sebagai hal biasa. Meski begitu, sebaiknya orang dewasa tidak menganggap ringan dampak psikologisnya terhadap anak yang baru saja ditinggal salah satu orang tuanya. Pasalnya, anak yang belum siap menghadapi rasa kehilangan akan terpukul, dan kemungkinan besar mengalami perubahan tingkah laku (Khaltarina, 2004). Terdapat kekhawatiran dalam keluarga dengan orang tua tunggal dimana orang tua tersebut harus bekerja sekaligus membesarkan anaknya, seorang yang menjadi orang tua tunggal harus memenuhi kebutuhan akan kasih sayang dan juga keuangan, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus, serta mengendalikan kemarahan atau depresi yang dialami oleh anaknya maupun dirinya sendiri. Orang tua yang demikian mengalami masalah karena terkucil secara sosial dari kelompok orang tua yang masih
3
lengkap (berpasangan) sehingga semuanya ini memperberat tugas sebagai orang tua tunggal (Ratri, 2006). Menjadi single parent dan menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang wanita, terutama dalam hal membesarkan anak. Hal ini dikarenakan, di satu sisi harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya (pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman) dan di sisi lain, harus memenuhi semua kebutuhan fisik anak-anaknya (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi). Artinya, wanita yang berstatus sebagai single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestik dan publik demi tercapainya tujuan keluarga yang utama, yakni membentuk anak yang berkualitas, karena orang tua tunggal ini tidak mempunyai pasangan untuk saling menopang (Ratri, 2006). Salah satu permasalahan utama yang dihadapi wanita sebagai single parent adalah ekonomi. Papalia, Olds dan Feldman (2002) menyebutkan bahwa kemiskinan akan memberikan efek gangguan emosional kepada orangtua tunggal, yang kemudian akan mempengaruhi cara mereka dalam mengasuh anak-anak. Sudah tentu, oleh karena mengalami gangguan emosional, maka orangtua boleh jadi mengasuh anak dengan cara yang tidak tepat dan tidak proporsional sehingga, anak-anak pun berpotensi menjadi korbannya yang bisa berujung pada terciptanya keluarga broken home. Menurut psikolog dari Pusat Krisis Universitas Indonesia Dini (1996), kekerasan itu sendiri dibagi ke dalam dua bentuk yakni kekerasan psikis (verbal) dan fisik (non verbal). Kekerasan verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang tua dengan bentuk kemarahan menggunakan makian, ataupun kritik tajam. Orang tua menyebut anak sebagai anak bodoh, nakal, anak kurang ajar, anak tidak tahu diri, anak tidak berguna dan segala bentuk kata-kata yang merendahkan diri anak. Adapun kekerasan non verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang tua dengan bentuk kekerasan terhadap fisik baik menggunakan alat ataupun tidak. Orang tua melakukannya dalam bentuk tamparan, pukulan, tendangan, dan segala bentuk kekerasan yang menyebabkan luka fisik. Zein (2005), mendefinisikan kekerasan oleh ibu sebagai setiap tindakan bersifat menyakiti fisik dan psikis yang bersifat traumatik yang dilakukan ibu terhadap anaknya baik yang dapat diiihat dengan mata telanjang atau dilihat dari akibatnya bagi kesejahteraan fisik dan mental anak. Menurut Gelles (Suyanto, 2002) kekerasan oleh ibu dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik dan mental yang umumnya dilakukan oleh ibu yang mempunyai tanggung jawab terhadap
4
kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak-anaknya. Kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2012 di Kota Malang, melonjak secara signifikan. Kekerasan meliputi kekerasan fisik, seksual, dan psikologis. Data Unit Penanganan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Malang Kota menyebutkan terdapat 182 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah tersebut naik 31 persen dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan di Kabupaten Malang selama 2012 terdapat 350 kasus. Sebanyak 60 persen di antaranya berupa kekerasan seksual terhadap anak, 30 persen berupa KDRT, dan 10 persen kasus penganiayaan (Oktavia, 2013). Berikut artikel mengenai kasus kekerasan yang terjadi di Kota Malang, dikutip pada harian Surabaya Post, Rabu 13 Juni 2012 : “Data laporan setiap hari yang diterima oleh pihak kepolisian, dimana masih ada saja satu sampai dua pengaduan akan kekerasan terhadap anak di Malang. Kabar tersebut dibenarkan oleh Staf Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kota Malang, Brigadir Dina Fitria. "Setidaknya ada satu sampai dua laporan yang kami terima setiap harinya. Itu belum terhitung mereka yang tidak mau melaporkan kasus ini ke kepolisian," ungkapnya usai memberikan sosialisasi tentang perlindungan anak di Balai Kota Malang seperti dikutip dari Surabaya Post, Rabu (13/6/2012). Kekerasan terhadap anak itu biasanya meliputi kekerasan fisik, seksual, dan psikologis. Menurut Dina, faktor lingkungan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap tindakan kekerasan terhadap anak. Seperti, kehidupan anak jalanan dan keluarga broken home. "Seorang anak dari keluarga broken home dan dari keluarga kurang mampu paling rentan mengalami kekerasan”. Kutipan yang diambil dari Surabaya Post menunjukkan bahwa tingkat kekerasan terhadap anak di wilayah Malang ternyata masih tinggi. Berdasarkan catatan Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Malang, selama tahun 2012 terjadi 532 kasus kekerasan. Kekerasan yang terjadi selama tahun 2012 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, baik secara fisik maupun psikologis. Peningkatan yang sangat signifikan adalah tindakan kekerasan pada anak. Hal ini menunjukan bahwa semua kalangan untuk mensosialisasikan Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, sehingga anak tidak mengalami tindakan kekerasan seperti yang terjadi selama ini (Ridwan, 2013).
5
Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Ridwan, 2013). Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti akan mengkaji mengenai faktor apa saja yang paling dominan terhadap pemicu timbulnya perilaku kekerasan pada anak yang dilakukan oleh Ibu Single parents di Kota Malang. TINJAUAN PUSTAKA PERILAKU KEKERASAN Lie (Suyanto, 2002) menyatakan bahwa kekerasan adalah suatu perilaku yang disengaja oleh seorang individu pada individu lain dan memungkinkan menyebabkan kerugian fisik dan psikologis. Kekerasan adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, kekerasan dapat berupa beragam bentuk yaitu kekerasan fisik, mental, dan seksual (Coloroso,2006). Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah “kekerasan” juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang. Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk- kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompokkelompok baik yang diberi hak maupun tidak (Suyanto & Sanituti, 2002). FAKTOR-FAKTOR TIMBULNYA PERILAKU KEKERASAN Pandangan kriminologi terhadap asal muasal kekerasan memang beragam. di satu sisi dapat dilihat secara individual, di sisi lain dapat pula dilihat dalam konteks kolektif. Bentuk kekerasan banyak ragamnya, meliputi kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi, kekerasan simbolik dan penelantaran. Kekerasan dapat dilakukan oleh perseorangan maupun secara
6
berkelompok, secara serampangan (dalam kondisi terdesak) atau teroganisir. Adapun faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku kekerasan menurut Mu’tadin (2002) yaitu sebagai berikut : a.
Faktor Marah Rasa marah seringkali menjadi pemicu timbulnya perilaku agresif, meskipun perilaku semacam itu juga dapat terjadi tanpa adanya rasa marah. Menurut Berkowitz (Mu’tadin, 2002), marah bisa dipahami sebagai reaksi tekanan perasaan. Artinya bahwa orang cenderung menjadi marah dan terdorong menjadi agresif jika harus menghadapi keadaan yang menggangu. Marah, sebagai bagian dari bentuk emosi memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran kejam. Bila semua hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Bagi Berkowitz (Mu’tadin, 2002), pengaruh rasa tersinggung atau ancaman terhadap harga diri seseorang bisa jelas dipahami dalam kerangka ini. Tantangan terhadap citra diri seseorang yang baik sangat mungkin mendorong reaksi agresif karena jelas tidak senang. Bukan terusiknya harga diri seseorang itu sendiri yang menghasilkan dorongan untuk menyerang pengganggu, melainkan sifat negatif luka psikologis tersebut. Kemudian, betapapun perasaan negatif timbul, dorongan agresif mungkin tidak terungkap secara terbuka karena mungkin tertutup atau tertahan oleh kecenderungan tindakan yang lebih kuat. Walaupun demikian, orang yang tidak merasa nyaman sedikit banyak cenderung agresif. Emosi negatif menimbulkan perilaku agresif untuk mengurangi emosi negatif dan ketegangan yang dihasilkan, sedangkan dukungan instrumental ditandai dengan bantuan yang lebih nyata atau berwujud. Misalnya, nasehat-nasehat membantu individu yang stres secara aktual mengubah lingkungan yang memicu stres. Misalnya, secara aktif menyelesaikan masalah atau mengubah persepsi terhadap sumber stress. Dukungan sosial bisa berupa dukungan emosional atau instrumental, seperti yang dikemukan oleh Sarason (Tasfiah, 2011). Dukungan emosional, ditandai dengan perhatian yang simpatik terhadap orang lain yang mengalami stres. b.
Faktor Biologis Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991) yaitu:
7
c.
1.
Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
2.
Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbic (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
3.
Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikkan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan), maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.
Kesenjangan Generasi Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin
8
minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. Permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll. d.
Faktor Frustasi Frustasi terjadi apabila gerak ke arah tujuan yang diinginkan terhambat atau tertunda. Berbagai hambatan, baik eksternal maupun internal, dapat mengganggu usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Frustasi bisa menjadi sumber agresi yang diekspresikan secara langsung terhadap orang atau benda lainnya. Atau dengan kata lain agresi merupakan salah satu bentuk respon terhadap frustasi. Ketika dalam situasi frustasi, biasanya seseorang tampak gelisah dan tidak senang, mereka menggerutu, resah, dan lain sebagainya. Sebagian diantara mereka mengungkapkan perasaan marah, mereka menendang dan memukul, bahkan seringkali merusaknya. Contoh-contoh frustasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak. Misalnya, lingkungan fisik menimbulkan hambatan seperti kemacetan lalu lintas, antrian yang penuh sesak di supermarket, musim kemarau yang menghancurkan hasil pertanian, dan keributan yang mengganggu konsentrasi. Lingkungan sosial menimbulkan hambatan dalam bentuk larangan yang ditetapkan orang lain, yang bisa berkisar dari penolakan orang tua sampai pada masalah diskriminasi rasial dan diskriminasi seksual yang lebih luas. Kadang-kadang rintangan terhadap pencapaian tujuan berasal dari keterbatasan individu sendiri. Cacat tubuh, ketiadaan kemampuan tertentu, atau ketidakadekuatan kendali diri, bisa menghambat usaha individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Jika seseorang menetapkan tujuan di luar jangkauan kemampuannya, kemungkinan besar akan terjadi frustasi. e.
Faktor Lingkungan Dari sekian faktor penyebab agresi seperti yang disebutkan di atas, faktor lingkungan juga memberi pengaruh terhadap proses terciptanya perilaku agresi. Diantara faktor-faktor yang disebabkan oleh lingkungan meliputi : 1. Kemiskinan. Bila seseorang dibesarkan dalam lingkungan miskin, perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di kota-kota besar di Indonesia. Persaingan ekonomi semakin ketat sementara sumber daya manusianya terbatas.
9
Sehingga potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar dan kesulitan mengatasinya semakin kompleks. 2. Anominitas. Kondisi-kondisi seperti di kota-kota besar di Indonesia yang serba kompleks dapat mengarahkan seseorang bersifat Impersonal dan individualis. Artinya, antara satu orang dengan yang lainnya bisa saling tidak mengenal dan mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung anonim yaitu tidak mempunyai identitas diri. Jika yang terjadi demikian, seseorang akan cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena merasa tidak lagi terikat dengan norma dan kurang bersimpati pada orang lain. 3. Suhu Udara yang Panas. Biasanya, kekerasan yang terjadi seperti tawuran yang terjadi di Indonesia dan belahan dunia lainnya timbul pada waktu siang hari di saat cuaca panas. Ketika cuaca dingin kejadian-kejadian tersebut relatif menurun. Hal tersebut sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 misalnya, US Riot Commission pernah melaporkan bahwa dalam musim-musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat daripada musimmusim lain f.
Poses Pendisiplinan yang Keliru Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya, sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka). Orang tua yang mendidik anak dengan menggunakan pola asuh otoriter akan sangat berpengaruh pada karakter anak itu sendiri. Pola asuh otoriter adalah sistem
10
pengasuhan orang tua yang membatasi individu untuk menuruti keinginan orang tua akan memicu individu melakukan tindak kekerasan. Mengajari anak memahami dan mengkomunikasikan emosinya akan mempengaruhi banyak aspek dalam perkembangan dan keberhasilan hidupnya. Sebaliknya, gagal mengajari anak memahami dan mengkomunikasikan emosinya dapat membuat mereka rentan terhadap konflik-konflik dengan orang lain (Shapiro, 1998). Anak-anak yang pernah menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga dan yang mengalami tindak kekerasan cenderung menggunakan kekerasan dalam relasinya di kemudian hari (Roberts dan Gilbert, 2009). Menurut Straus dan Gelles (Roberts dan Gilbert, 2009) menemukan bahwa dalam suatu perbandingan antar laki-laki pelaku kekerasan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari laki-laki non kekerasan, anak lelaki dari orang tua yang mengalami tindak kekerasan mempunyai tingkat memukul istri 900 kali lebih banyak dari pada anak lelaki dari orang tua yang non kekerasan. Hal ini sama seperti pendapat Adinda (2008) bahwa sekitar 75% pelaku kekerasan mengatakan bahwa mereka menyaksikan bagaimana sang ayah telah menyiksa ibu mereka, sisanya karena faktor pencitraan laki-laki yang hebat dan wujud kontrol. Teori di atas dapat disimpulkan bahwa, penggunaan pola asuh otoriter memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku sosial pada anak. Pola asuh yang diberikan orang tua pada anak berbedabeda hal ini sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Pola asuh yang termasuk faktor internal, misalnya latar belakang keluarga orang tuanya, usia orang tua dan anak, pendidikan dan wawasan orang tua, jenis kelamin orng tua dan anak, karakter anak dan konsep peranan orang tua dalam keluarga, sedangkan yang termasuk faktor eksternal, misalnya adalah tradisi yang berlaku dalam lingkungannya, sosial ekonomi dalam lingkungannya, dan semua hal yang berasal dari luar lingkungan keluarga yang dapat mempengaruhi pola asuh keluarganya. JENIS-JENIS KEKERASAN Menurut Dini (1996), kekerasan dibedakan dalam dua jenis yaitu sebagai berikut : a.
Kekerasan Verbal Kekerasan verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang tua dengan bentuk kemarahan menggunakan makian, ataupun kritik tajam. Orang tua menyebut anak sebagai anak bodoh, nakal, anak kurang ajar, anak tidak tahu diri, anak tidak berguna dan segala bentuk kata-kata yang merendahkan diri anak. Kekerasan jenis
11
ini, tidak begitu mudah untuk dikenali. Akibat yang dirasakan oleh korban tidak memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunkan harga diri serta martabat korban. Wujud konkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah; penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan katakata dan sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga dan lemah dalam membuat keputusan (deccision making) (Suyanto dan Sanituti, 2002). b.
Kekerasan Non Verbal Adapun kekerasan non verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang tua dengan bentuk kekerasan terhadap fisik baik menggunakan alat ataupun tidak. Orang tua melakukannya dalam bentuk tamparan, pukulan, tendangan, dan segala bentuk kekerasan yang menyebabkan luka fisik. Sementara menurut Suyanto dan Sanituti (2002), mengemukakan bahwa perilaku kekerasan dapat berupa non verbal yaitu agresi fisik, yaitu tindakan ini merupakan penyerangan yang biasa menimbulkan luka fisik, seperti memaksa, memukul, mencubit, menendang, dan mencekik. Kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti; luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat. Menurut Albertina (2013) di Inggris orang tua tidak secara eksplisit dilarang memukul anak-anak mereka. Tetapi, hukum yang berlaku sekarang menunjukkan mencederai anak hingga kulitnya memerah adalah illegal. DEFINISI SINGLE PARENT Menurut Sager, dkk (Perlmutter & Hall,1999), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang tua tunggal adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab pasangannya. Menurut Hamner dan Turner (Perlmutter & Hall, 1999), bahwa suatu keluarga dianggap sebagai keluarga orang tua tunggal bila hanya ada satu orang tua yang tinggal bersama anak-anaknya dalam satu rumah. Ada beberapa sebab mengapa individu sampai menjadi orang tua tunggal, yaitu karena kematian suami atau istri, perceraian atau perpisahan, mempunyai anak tanpa menikah, pengangkatan atau adopsi anak oleh wanita atau pria lajang.
12
METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini menggunakan 4 subyek ibu single parent. Karakteristik pemilihan subyek yaitu ibu single parent baik karena perceraian maupun karena suami yang meninggal, memiliki anak, melakukan perilaku kekerasan baik secara verbal maupun non-verbal terhadap anaknya. selain dari data primer yaitu ibu single parent, peneliti juga mendapatkan data sekunder dari anak, anggota keluarga yang tinggal satu atap, dan pembantu rumah tangga. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur dan observasi non partisipan. Teknik analisa data menggunakan reduksi data dari Miles & Huberman. Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan Credibility dan Confirmability.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh setelah melakukan proses reduksi data, diketahui bahwa faktor-faktor pemicu timbulnya perilaku kekerasan pada anak yang dilakukan oleh masing-masing subyek cukup beragam. Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara mengenai faktor penyebab munculnya perilaku kekerasan responden akan disajikan dalam tabel di bawah ini :
Subyek KR
LI DN LN
Tabel 3. Display Data Faktor Dominan Pemicu Tindakan Kekerasan Faktor Marah, Faktor Frustasi, Faktor Lingkungan, Faktor Pendisiplinan yang Keliru. Faktor Marah, Faktor Kesenjangan Generasi, Faktor Frustasi, Faktor Lingkungan Faktor Marah, Faktor Kesenjangan Generasi, Faktor Frustasi, Faktor Lingkungan. Faktor Marah, Faktor Frustasi, Faktor Pendisiplinan yang Keliru.
13
Dari keempat subyek tersebut, dapat dilihat bahwa faktor yang paling dominan terhadap pemicu timbulnya perilaku kekerasan pada anak yang dilakukan oleh Ibu Single Parent adalah faktor faktor frustasi, dan faktor marah. Berikut ini gambaran mengenai perilaku kekerasan pada anak yang dilakukan oleh Ibu Single Parent berdasarkan hasil penelitian dari keempat subyek, yaitu : Peran ibu: -Memberikan perlindungan -Memenuhi kebutuhan anak -Mendidik anak
Sikap Positif: - Berusaha menerima keadaan sebagai Single Parent - Selalu berusaha untuk menutupi kebutuhan RTnya
SIKAP
Sikap Negatif: - Cenderung frustasi - Mengurung diri - Anak sebagai pelampiasan emosinya
- Tidak memberi kebebasan pada anak - Otoriter terhadap anak - Cenderung keras pada anak (verbal/nonverbal)
Gambar 3 Gambaran Perilaku Kekerasan pada Anak yang Dilakukan Oleh Ibu Single Parent
a.
Faktor Marah Rasa marah seringkali menjadi pemicu tindakan agresif, dimana rasa marah tersebut akibat dari keadaan yang mengganggu maupun reaksi dari tekanan perasaan
14
ibu single parent itu sendiri. Faktor marah dialami oleh ketiga subyek ibu single parent dimana masing-masing memiliki ciri khas tersendiri, seperti rasa marah akibat kurangnya dukungan moril maupun materil dari pihak keluarga maupun lingkungan sosial, tekanan yang dialami pasca bercerai/meninggalnya suami, stress akibat berbagai permasalahan yang di alami subyek di lingkungan pekerjaaan maupun lingkungan rumah. Beragamnya permasalahan yang dialami oleh subyek maka tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan kekerasan dilakukan untuk menyalurkan apa yang menjadi bebannya.
b.
Faktor Frustasi
Frustasi dalam penelitian ini adalah suatu harapan oleh Ibu Single Parent yang diinginkan dan kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Frustasi inipun terjadi juga bila tujuan yang dicapai mendapatkan rintangan. Perasaan dan emosi yang muncul adalah kesal, marah dan perasaan-perasaan lainnya yang muncul, ketika kondisi ekonomi, keluarga dan lingkungan yang tidak mendukung. Hal inipun dirasakan oleh setiap subyek yang telah melakukan kekerasan terhadap anaknya. Setiap subyek memilih banyak pemikiran, berputar-putar silih berganti, mulai mencari sebab-sebab ketidakharmonisan dengan anaknya, upaya mencari jalan lain supaya lebih berhasil sampai pada pemikiran-pemikiran buruk, sehingga nantinya akan terlintas jalan pintas dan lain sebagainya. Saat ini subyek bersikap agresif, karena subyek merasa lebih kuat dari anaknya. Perlakuan subyek terhadap anaknya yang keras, tegas dan disiplin dengan harapan bisa mandiri. Dampak psikologi dari anak subyek justru menjadi pendiam karena sering dibentak, terlebih lagi jika subyek sedang memiliki banyak masalah dirumah maupun masalah di lingkungan pekerjaannya, sehingga subyek seringkali melampiaskan kemarahannya pada anak-anaknya. Perilaku subyek justru membuat keadaan emosioal anaknya semakin tidak menentu, anaknya yang selama ini mendapatkan orang tuanya tidak lengkap lagi telah merasakan belum siap menghadapi rasa kehilangan salah satu orang tuanya akan terpukul, dan kemungkinan besar berubah tingkah lakunya. Ada yang menjadi pemarah, ada yang suka melamun, mudah tersinggung, atau suka menyendiri (Aqsyaluddin, 2007). Adapun macam-macam perilaku kekerasan baik secara verbal maupun non verbal yang dilakukann oleh masing-masing subyek sebagai berikut :
15
Tabel 4. Bentuk Kekerasan Subyek Subyek
Kekerasan Verbal Membentak (KR/W1/NO.122-127) Mengatakan “bodoh”, “kurang ajar” (KR/W2/NO.119-123) Mengatakan “bodoh”,”idiot”,”cacat” (PS/W1/NO.74-77) Berkata kasar (PS/W1/NO.150-154)
Kekerasan Non Verbal a. Memukul (KR/NO.171174) b. Mencubit (KR/W2/NO.8690) c. Memukul (PS/W1/NO.150154)
a. Mengatakan kata “kurang ajar” (LI/W1/NO.144-150) b. Membentak (AB/W1/NO. 60-65)
a. Memukul (LI/W2/NO. 6468) b. Keinginan menampar (L1/W3/54-71) c. Mencubit (AB/W1/NO.5658) a. Memukul (RN/W1/NO.105-111) b. Mencubit, Menjambak, Melempar barang (RN/W1/113-114) c. Mencakar, Menjambak (RN/W2/NO.62-67) d. Memegang lengan tangan sangat kuat (RN/W2/NO.80-82) e. Melempar dengan tutup panci panas (RN/W2/NO.131-137) f. Menjambak, Menampar, Menendang.(RN/W2/NO.1 56-176) a. Mencubit (LN/W2/186-
a. b.
1.
c.
d.
2.
a. “kon” , “bedhes” , “goblok” (RN/W1/NO. 6371) b. Bodoh (RN/W2/NO.51)
3.
4.
c. “kebacut tenan kon dadi anak”, “goblok” (RN/W2/NO.89-93)
a. Membentak, memarahi
16
(LN/W2/186-202) b. c. d. e.
202) Menjewer, mencubit (LN/W3/NO.97-101) Tidak memperhatikan (LN/W4/NO.113-124) Memukul (LN/W4/NO. 211-215) Mencubit, menjewer, memukul (AT/W1/34-36)
Banyak diantara para orangtua yang menjalani kehidupannya dengan berperan sebagai single parent, baik yang pasangannya meninggal, ataupun akibat perceraian. Terlepas dari penyebabnya, sosok single parent terkadang diibaratkan 'bagaikan burung bersayap satu, yang tak mampu terbang tinggi karena memiliki keterbatasan dan kekurangannya. Tak hanya itu, menjadi seorang single parent (karena faktor bercerai) sering pula dijadikan bahan gunjingan, fitnah, bahkan diberi predikat negatif dari masyarakat sekitar. Tak heran, banyak single parent yang menjadi minder saat harus bersosialisasi dalam masyarakat. Hasil penelitian pada setiap subyek primer maupun sekunder maka dapat diketahui bahwa setiap subyek telah melakukan kekerasan terhadap anaknya baik secara verbal maupun non verbal yang didasari oleh beberapa faktor dominan yaitu faktor marah dan faktor frustasi. Kekerasan tersebut didasari karena setiap subyek memiliki banyak pemikiran yang berputar-putar silih berganti, mulai mencari sebabsebab ketidakharmonisan dengan anaknya, sehingga sebagai jalan pintasnya subyek memilih untuk bersikap agresif dimana sikap agresif tersebut berbentuk perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan tersebut ditunjukan sebagai media pelampiasan atas permasalahan yang dimiliki oleh masing-masing subyek, selain itu subyek juga merasa memiliki pengaruh lebih kuat dari pada anaknya. Dilematika yang dihadapi single parents berangkat dari berbagai macam kebutuhan hidup yang sekarang semakin meningkat. Bahkan kebutuhan sekunder dimasukkan dalam kebutuhan premier. Orangtua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Kebutuhan anak sendiri sudah mendominasi kebutuhan secara kesulurahan, dan berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik dari mulai susu, pakaian, pendidikan, hingga kesenangan untuk anak itu sendiri. Permasalahan ini akan lebih berat jika dialami oleh wanita yang sebelumnya menggantungkan hidup pada seorang suami dan memilih tidak bekerja. Banyak wanita yang setelah menikah
17
dilarang bekerja oleh suaminya untuk mengurus keluarga. Pada saat ditinggalkan oleh suaminya (meninggal atau bercerai), tidak ada kestabilan secara ekonomi. Saat mencoba mencari pekerjaan, tingkat penghasilan tidak terlalu besar karena faktor pengalaman kerja yang masih minim. Belum lagi belum terbiasa dalam mengurus keluarga sekaligus mencari nafkah. Saat ini kondisi mental mulai terganggu. Gaya hidup pun berubah secara signifikan, yang akhirnya muncul rasa depresi. Oleh karena itu, wanita single parents seringkali terlihat lebih keras dalam mengasuh anak-anaknya. Proses kehidupan yang keras menjadikan pola pikir dan perilaku seperti itu. Pada titik tertentu, seringkali dihadapi kondisi “lelah” dan membutuhkan ruang untuk bernapas. Kodrat sebagai wanita memang tidak bisa dipisahkan. Kehilangan waktu bersama anak untuk bekerja merupakan salah satu dilematika yang dihadapi. Belum lagi kondisi psikologis sebagai akibat dari proses yang mendasari seorang wanita mendapat pilihan menjadi single parents. Perasaan yang meliputi rasa sedih atas kehilangan atau karena sakit hati. Single parents sesungguhnya hanya manusia bisa, yang rentan untuk mengalami sebuat depresi. Dukungan orang sekitar, yang bisa mengacu pada keluarga atau sosial sangat berarti. Dukungan sosial bisa berupa dukungan emosional atau instrumental, seperti yang dikemukan oleh Sarason (1990). Dukungan emosional, ditandai dengan perhatian yang simpatik terhadap orang lain yang mengalami stres. Tujuannya adalah untuk mengurangi emosi negatif dan ketegangan yang dihasilkan. Dukungan instrumental, Dukungan instrumental, ditandai dengan bantuan yang lebih nyata atau berwujud. Misalnya, nasehat-nasehat membantu individu yang stres secara aktual mengubah lingkungan yang memicu stres. Misalnya, secara aktif menyelesaikan masalah atau mengubah persepsi terhadap sumber stress. Kondisi sebagai single parent memang tidak semua bisa menghadapi, apalagi jika ditambah pandangan dan komentar miring sebagian masyarakat. Pengakuan dan penerimaan untuk struktur keluarga yang menganut pola single parents dari masyarakat juga merupakan faktor yang membantu mental bagi pelaku single parent.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan yang diuraikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik dari temuan di lapangan berdasarkan hasil observasi dan wawancara adalah sebagai berikut : 1. Perilaku kekerasan yang di lakukan oleh masing-masing ibu single parents terhadap anak memiliki berbagai macam bentuk. Kekerasan
18
tersebut dapat berupa kekerasan verbal seperti membentak, mengejek, dan merendahkan harga diri anak, sedangkan kekerasan non verbal dapat berupa memukul, menampar, mencubit, melempar anak dengan benda mati, dan tidak memperhatikan anak. 2. Bahwa kekerasan yang dilakukan ibu single parents terhadap anaknya dipicu oleh beberapa faktor diantaranya faktor frustasi, faktor marah, faktor lingkungan, faktor pendisiplinan yang keliru, dan faktor kesenjangan generasi. 3. Dari beberapa faktor pemicu perilaku kekerasan yang dilakukan oleh masing-masing subyek maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor dominan pemicu perilaku kekerasan oleh ibu single parents terhadap anak adalah : a. Faktor marah, rasa marah seringkali menjadi pemicu tindakan agresif, dimana rasa marah tersebut akibat dari keadaan yang mengganggu maupun reaksi dari tekanan perasaan ibu single parent itu sendiri. Faktor marah dialami oleh ketiga subyek ibu single parent dimana masing-masing memiliki ciri khas tersendiri seperti rasa marah akibat kurangnya dukungan moril maupun materil dari pihak keluarga maupun lingkungan sosial, tekanan yang dialami pasca bercerai/meninggalnya suami, stress akibat berbagai permasalahan yang di alami subyek di lingkungan pekerjaaan maupun lingkungan rumah. Beragamnya permasalahan yang dialami oleh subyek maka tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan kekerasan dilakukan untuk menyalurkan apa yang menjadi bebannya. b. Faktor frustasi, kondisi fisik maupun psikis yang lelah merupakan bagian dari sifat frustasi yang membuat subyek lebih agresif terhadap anaknya terlebih pada kondisi himpitan ekonomi yang harus ditanggung subyek untuk memenuhi kebutuhan anak disamping tanggungjawabnya untuk membesarkan anak mereka seorang diri. SARAN Berdasarkan hasil dan analisis data penelitian, maka saran yang diajukan oleh penulis terhadap penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1. Ibu Single Parent diharapkan dapat mengontrol emosi dan mengalihkannya ke hal-hal yang lebih positif. Subjek juga diharapkan lebih bisa membuka diri
19
pada anak jika memiliki masalah dan tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak mendukung. Orang tua tunggal (single parent) wanita yang memiliki anak remaja, diharapkan untuk melihat masa perkembangannya dan memberikan penjelasan dan pengertian agar tidak terpengaruh oleh faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi masa perkembangan dan kepribadiannya. 2. Bagi anak diharapkan mampu menerima gejolak-gejolak perubahan pasca perceraian kedua orangtua maupun meninggalnya ayah. Selain itu, diharapkan anak dapat melakukan komunikasi yang baik dengan ibu maupun anggota keluarga lain agar terwujudnya suatu tujuan yang sama dalam kehidupan di masa depan. 3. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat memperdalam teori yang dipergunakan dan mengembangkan penelitian mengenai keluarga Ibu Single Parent. Diharapkan juga dapat mengembangkan variabel penelitian yang berbeda, misalnya mengenai subjective well being remaja yang memiliki orang tua tunggal. Ada baiknya peneliti seharusnya mencoba menggunakan metode penelitian yang lain, agar dapat diperoleh data maupun informasi secara akurat dan mendalam. DAFTAR PUSTAKA Adinda, T. (2008). Kekerasan Itu Berulang Padaku. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Albertina, S.C. (2013). Memukuli Anak Tidak Berbahaya, Jika Anak-Anak Merasa Dicintai, klaim studi. http://www.shnews.co/detile-18160-memukulanak-tak-berbahaya-asal.html Alvita, N.O. (2008). Wanita Sebagai Single Parent Dalam Membentuk Anak yang Berkualitas. http://okvina.word press.com/html Anantasari. (2006). Menyikapi Perilaku Agresif Anak, Yogyakarta : KANISUS Coloroso, B. (2006). Penindas, Tertindas, dan Penonton. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta Davidoff. (1991). Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. Dini P. D.S. (1996). Metode Mengajar di Taman Kanak-Kanak (Bagian II). Depdikbud Dirjen Dikti : Jakarta. Dwiyani, (2009). Jika Aku Harus Mengasuh Anakku Seorang Diri. Jakarta: P.T Alex Media Komputindo Khaltharina, (2004). Wanita Muslimah. http://group.yahoo.com/ html Miles, M.B. & Huberman, A.M. (2007). Analisa Data Kualitatif . UI-Pers Jakarta
20
Mu’tadin, Z. (2002). Penyebab Agresi. www.e.psikologi.com/remaja/10062.html Oktavia, H. (2013). 350 Kasus Kekerasan Perempuan Terjadi di Malang. http://www.beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum_&_Kriminal/20 13-02-12/161569/350_ Kasus_ Kekerasan_ Perempuan_ Terjadi_ di_Malang. Papalia, Olds SW & Feldman RD. (2002). Human Development. 8th ed. Boston: McGraw-Hill. Perlmutter,M.E., & Hall. (1999). Adult Development and Aging. New York: John Willey & Sons Ratri S. (2006). Orang Tua Tunggal. http://kompas.com/ html Ridwan, M. (2013). 532 Perempuan di Malang Jadi Korban Kekerasan Selama 2012. http://www.lensaindonesia.com/2013/02/15/532-perempuan-dimalang-jadi-korban-kekerasan-selama-2012.html Roberts, A. R., Gilbert. (2009). Buku Pintar Pekerja Sosial- Jilid 2 Alih bahasa. Jakarta: Gunung Mulia Shapiro, L. E. (1998). Mengajarkan Emotional Intelegence pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sulitnya Menjadi Orang Tua Tunggal. (2009). http://gayahidupsehatonline.com/ Suyanto, (2002). Pekerja Anak dan Permasalahan Pendidikan Dasar, Dalam Pekerja Anak: Masalah Kebijakan dan Penanggulangan. Surabaya, Lutfansa Meditama Suyanto, B dan Sanituti,S. (2002). Krisis & Child Abuse, (Kajian Sosiologis Tentang Kasus Pelanggaran Hak Anak dan Anak-anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus). Universitas Airlangga Press, Surabaya. Tasfiah, F. (2011). Single Parent: Struktur Keluarga dan Kompleksitas Peran : Bandung : Edsa Mahkota. Zein, A.Y. (2005). Psikologi Ibu dan Anak. Yogyakarta: fitramaya