2
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan peristiwa yang menekan secara psikologis hingga berdampak pada gangguan perilaku dan emosi pada anak dan remaja. Orangtua, khususnya ibu yang tertekan dan stres akibat KDRT, cenderung menunjukkan perilaku kekerasan dalam pengasuhan sehingga hal ini berdampak pada berbagai permasalahan emosi anak (Zerk, Mertin & Proeve, 2009) dan remaja (Buehler, Franck & Lange, 2007; Davies & Lindsay, 2004; Buehler & Franck, 2007; Fosco & Grych, 2010; Kerr & Capaldi, 2010). Keluarga yang semestinya memberikan rasa aman, justru menampilkan dan memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut dan kemarahan. Anak mengembangkan ketakutan dan ketidakberdayaan atas pengalaman kekerasan dalam keluarganya hingga cenderung terus meletakkan diri sebagai korban yang membutuhkan pertolongan (Holden, 2003). Mereka yang memiliki pengalaman hidup dalam situasi KDRT tumbuh dengan memiliki dua kecenderungan jenis perilaku maladaptive, yaitu internalized behavior seperti kecemasan, depresi, self esteem yang rendah dan externalized behavior seperti agresifitas, terlibat dalam perkelahian dan bullying, berbohong dan mencuri, beberapa di antaranya juga menunjukkan kecenderungan membangkang terhadap aturan atau figure orang dewasa (Stiles, 2002). Kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak kekerasan dalam suatu hubungan intim (lekat) yang mengakibatkan penderitaan atau pun kerugian fisik, psikologis dan seksual baik langsung maupun tidak langsung (Hasyim, Kurniawan & Hayati, 2011). Perilaku yang termasuk dalam bentuk-bentuk kekerasan tersebut, yaitu; (a) fisik: tindakan agresi fisik seperti menampar, menendang
dan
memukul;
(b)
psikologis:
intimidasi,
secara
konstan
meremehkan dan memalukan, penelantaran, berbagai pengendalian perilaku seperti mengisolasi seseorang dari keluarga dan teman-teman mereka, memantau gerakan mereka dan membatasi akses mereka terhadap informasi atau bantuan, membiarkan anggota keluarga melihat tindak kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya (Goddard & Bedi, 2009; Richards, 2011); dan (c) seksual: pemaksaan hubungan seksual dan bentuk-bentuk pemaksaan seksual (Didie, 2012; Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, & Lozano, 2002). Kekerasan terhadap anak dan remaja terutama dalam keluarga merupakan hal yang mendesak untuk mendapatkan penanganan karena setiap tahun jumlah kasus yang terjadi terus meningkat (Auliani, 2014). Diantara semua
3
jenis kekerasan yang dialami remaja dalam keluarga, kekerasan psikis menjadi jumlah terbesar (Auliani, 2014). Data kasus KDRT dari Rifka Annisa tahun 2009 menunjukkan 209 kasus dengan 6 orang remaja sebagai korban langsung, 2010 ada 236 kasus, 2011 ada 228 kasus dengan 5 remaja korban langsung, 2012 ada 239 kasus dengan 3 remaja sebagai korban langsung, 2013 ada 256 kasus, dan 2014 ada 185 kasus. Data tersebut ditunjukkan pada gambar 1.
300" 200" Data"Kasus"KDRT"
100" 0" 2009" 2010" 2011" 2012" 2013" 2014"
Gambar 1. Data Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2009 - 2014 di Rifka Annisa
Sementara pada data Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY di tahun 2013 terdapat 293 kasus kekerasan pada anak dengan 33 kasus kekerasan seksual anak, 17 kasus kekerasan fisik, 35 kasus kekerasan dalam pengasuhan, 201 kasus penelantaran dan 7 kasus kekerasan psikis. Pada 2014, hingga bulan Oktober ada 89 kasus kekerasan pada anak. Data ini turut menguatkan fakta bahwa kekerasan pada anak telah menjadi masalah yang krusial. Trend kasus KDRT dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Anak dan remaja yang tinggal bersama keluarga dengan KDRT secara tidak langsung turut menjadi korban dari situasi tersebut. Kasus kekerasan terhadap remaja membutuhkan perhatian khusus dari berbagai lini masyarakat dan Pemerintah. Komunikasi yang baik dengan orangtua dan teman mengenai KDRT, serta adanya bantuan masyarakat terhadap remaja korban KDRT dapat membantu ketahanan mental remaja dalam menghadapi situasi KDRT (Kassis, Artz, Scambor & Scambor, 2013). Kekerasan yang terjadi pada anak dalam rumah tangga memiliki dampak psikologis, seperti; gangguan emosi dan perilaku (Doh, Shin, Kim, Hong, Choi & Kim, 2012; Huang, Wang & Warrener, 2010; Osofsky, 2003) dan hal serupa juga terjadi pada remaja (Davies & Lindsay, 2004). Anak menjadi mudah marah
4
secara berlebihan, menunjukkan perilaku yang tidak matang (labil), mengalami gangguan tidur, gangguan emosi dan buang air, ketakutan sendirian, regresi (kemunduran) dalam kemampuan bahasa (Osofsky, 1999), cemas, agresif (Holmes, 2013; Osofsky, 1999; Springkel, 2007), keras kepala, mudah menangis serta gangguan perilaku lainnya (Jeevasuthan & Hatta, 2013; Yoo & Huang, 2013). Anak yang memiliki pengalaman KDRT, cenderung kesulitan untuk memahami dan menceritakan apa yang dialaminya (Georgsson, Almqvist & Broberg, 2011). Disamping itu, anak juga mengembangkan persepsi yang salah tentang simbol-simbol kekerasan sehingga mengalami kesulitan coping dalam masalah-masalah pribadi mereka kelak dan cenderung terjerat dalam rantai kekerasan (Holden, 2003; Margaretha, Nuringtyas, & Rachim, 2013). Korban maupun pelaku KDRT terjerat dalam rantai kekerasan, sehingga anak yang mengalami KDRT memiliki kerentanan untuk kembali mengalami situasi KDRT saat remaja maupun dewasa (Margaretha, Nuringtyas, & Rachim, 2013). Hal tersebut karena anak korban KDRT cenderung mengembangkan cara pandang dan pemikiran negatif terhadap suatu peristiwa tidak menyenangkan yang terjadi di lingkungannya (Renner & Slack, 2004). Anak yang terbiasa mendapatkan hukuman dalam bentuk kekerasan atau melihat anggota keluarga lainnya dihukum dengan kekerasan, ketika beranjak remaja dan dewasa, anak tersebut menganggap dirinya pantas diperlakukan keras atas kesalahannya, dan bahwa lingkungan akan selalu menghukumnya dengan keras (Renner & Slack, 2004). Ini menunjukkan bahwa korban KDRT cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Anak korban KDRT mengalami kesulitan untuk mengungkapkan pengalaman KDRT dan tidak mendapatkan bantuan atas keadaannya, sehingga tumbuh menjadi remaja yang juga sulit mengungkapkan perasaannya, cenderung diam dan kesulitan dalam hubungan sosial (Porter, Parker & Keen, 2009). Remaja yang hidup di antara konflik orangtua, cenderung mengalami masalah seperti depresi, agresi dan pelanggaran hukum (Davies & Lindsay, 2004; Kassis, Artz, Scambor & Scambor, 2013), namun dengan adanya penerimaan diri atas situasi kekerasan yang dialami dapat membuat remaja lebih tahan terhadap depresi (Kassis, Artz, Scambor & Scambor, 2013). Tidak banyak remaja yang dapat menerima situasi kekerasan dalam keluarganya. Para remaja ini
cenderung
mengembangkan
perasaan
rendah
diri,
rasa
bersalah
5
(menyalahkan diri sendiri), ketidakberdayaan (Buehler & Franck, 2007), penghindaran, serta kesulitan dalam regulasi emosi (Buehler, Franck & Lange, 2007). Hal tersebut merupakan respon kognitif dan emosi untuk memahami konflik orangtuanya (Buehler, Franck & Lange. 2007). Kondisi ini juga menunjukkan kurangnya penerimaan remaja terhadap situasi yang dialaminya sehingga permasalahan emosi sangat mungkin terjadi. Hubungan yang kuat dan penuh kepedulian antara orangtua dan anak berperan penting dalam membantu anak-anak terhindar dari dampak kekerasan (Osofsky, 2003). Hal ini tidak dapat terpenuhi ketika orangtua menjadi korban kekerasan, karena mengalami tekanan psikologis dan membutuhkan bantuan (Osofsky, 1999). Situasi ini menyebabkan orangtua yang menjadi korban KDRT cenderung mengabaikan risiko pada anak-anaknya sendiri (Renner & Slack, 2004). Pada orangtua yang memiliki anak usia remaja, situasi kekerasan mengakibatkan orangtua menampilkan perilaku pengasuhan yang berlebihan pada remaja (Buehler & Franck, 2007). Konflik yang terjadi pada orangtua justru berdampak pada hubungan antara orangtua dengan remaja. Orangtua menjadi kurang hangat, menunjukkan hukuman fisik dan konflik dengan remaja (Esmaeli & Yaacob, 2011). Hal ini berpengaruh terhadap perilaku remaja yang cenderung menyimpang (Esmaeli & Yaacob, 2011). Selain itu, orangtua yang berkonflik terus-menerus cenderung menarik remaja ke dalam konflik tersebut, sehingga remaja merasa terancam, menyalahkan diri sendiri dan merasa bertanggungjawab untuk memecahkan masalah orangtuanya (Fosco & Grych, 2010). Berdasarkan penjelasan mengenai faktor dan dampak dari KDRT menunjukkan dinamika psikologis remaja korban KDRT. Remaja menangkap berbagai simbol kekerasan dalam peristiwa KDRT pada masa kanaknya yang cenderung dimaknai negatif (Renner & Slack, 2004). Pada saat itu, orangtua yang
berkonflik
berada
dalam
tekanan
psikologis
sehingga
cenderung
mengabaikan risiko pada anaknya (Osofsky, 1999). Konflik orangtua membuat remaja berada dalam kondisi psikologis yang tertekan karena dipaksa untuk menyaksikan perselisihan orangtua dari waktu ke waktu dan merasa ikut bertanggungjawab, merasa bersalah (Franck & Buehler, 2007) dan rentan terhadap berbagai masalah emosi dan perilaku (Kassis, Artz, Scambor & Scambor, 2013).
6
Regulasi emosi ialah kemampuan dalam menangani informasi bangkitnya emosi sebagai proses ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi, terutama fitur intensif dan
temporalnya
(Garnefski
&
Kraaij,
2007).
Faktor
instrinsik
yang
mempengaruhi pengendalian emosi meliputi temperamen bayi dan proses kognitif seperti perhatian dan kontrol inhibisi, sementara faktor ekstrinsik melibatkan lingkungan pengasuhan, hubungan saudara dan teman sebaya, serta harapan budaya dalam menunjukkan ekspresi emosi (Fox & Calkins, 2003). Pengertian ini menunjukkan bahwa regulasi emosi merupakan suatu proses menjaga kontrol atas emosi seseorang selama atau setelah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan, mengancam atau stres. Ketika mengalami peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan seseorang mungkin cenderung berpikir menyalahkan dirinya sendiri, ada pula yang menyalahkan orang lain atau lingkungan di luar dirinya (Garnefski & Kraaij, 2007). Regulasi emosi sebagai bagian dari emosi itu sendiri dan memiliki tujuan psikologis yang kompleks (Thompson, Lewis & Calkins, 2008), memungkinkan seseorang untuk merenung dan mencoba menerima peristiwa tersebut dengan pikiran yang lebih positif (Garnefski & Kraaij, 2007). Garnefski & Kraaij (2007) menyusun skala Cognitive Emotion Regulation Questionnaire (CERQ) menggunakan 9 aspek kognitif dalam regulasi emosi yang kemudian disebut strategi regulasi emosi, masing-masing mengacu pada apa yang orang pikirkan setelah mengalami peristiwa tidak menyenangkan, mengancam atau stres. Hal ini guna mengetahui tingkat kemampuan seseorang dalam meregulasi emosinya. Sembilan strategi regulasi emosi yang kemudian digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Self-blaming: mengacu pada pikiran menyalahkan diri sendiri atas apa yang dialami individu. 2. Acceptance: mengacu pada pikiran-pikiran yang berusaha menerima apa yang telah dialami serta tidak terus menerus memikirkannya. 3. Rumination: mengacu pada kecenderungan seseorang yang memfokuskan diri pada pikiran dan perasaan yang berhubungan dengan peristiwa yang tidak menyenangkan.
7
4. Positive
Refocusing:
mengacu
pada
berpikir
tentang
hal-hal
yang
mendatangkan sukacita dan kesenangan, daripada tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi. 5. Refocus on planning: mengacu pada usaha seseorang untuk memikirkan kembali langkah apa yang harus diambil dan bagaimana menangani peristiwa negatif yang dialaminya. 6. Positive reappraisal: mengacu pada upaya seseorang untuk menciptakan makna positif atas suatu peristiwa negatif yang dialami dalam rangka pertumbuhan pribadi. 7. Putting
into
perspective:
mengacu
pada
usaha
seseorang
untuk
mengesampingkan keseriusan peristiwa negatif serta menitikberatkan pada relativitas suatu peristiwa dengan cara membandingkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain. 8. Catastrophizing: mengacu pada pikiran-pikiran seseorang yang cenderung fokus pada teror atau kejadian traumatis yang telah terjadi. 9. Blaming others: mengacu pada kecenderungan pikiran seseorang yang menyalahkan orang lain atau lingkungan atas apa yang telah ia alami. Pengalaman kekerasan pada masa kanak-kanak akan berhubungan dengan tipe tertentu dalam strategi regulasi emosi di masa perkembangannya (Kulkarni, 2010). Self-blaming, rumination dan catastrophizing merupakan faktor utama dari emosi negatif (Martin & Dahlen, 2005) dan menjadi masalah emosi pada semua kelompok umur (Garnefski & Kraaij, 2006). Orang dengan positive reappraisal lebih mudah mentolerir pengalaman hidup negatif (Garnefski & Kraaij, 2006). Anak dan remaja korban KDRT cenderung menyalahkan dirinya atas kekerasan dalam keluarganya (Bair-Merritt, Blackstone & Feudtner, 2006; Buehler & Franck, 2007; Fosco & Grych, 2010; Romero, Donohue & Allen, 2010). Remaja merasa bahwa dirinya ikut bertanggungjawab atas konflik orangtuanya (Fosco & Grych, 2010). Sementara pengabaian yang dilakukan oleh orangtua yang berkonflik membuat remaja tidak terpantau dan banyak melakukan perilaku pelanggaran atas berbagai aturan (Fosco & Grych, 2010). Remaja dengan masalah kenakalan banyak menggunakan strategi regulasi emosi rumination dan catastrophizing (Garnefski, Koopman, Kraaij, & ten Cate, 2009). Strategi regulasi emosi tersebut cenderung mengakibatkannya tertekan dan depresi (Larsen, dkk,
8
2013). Hal ini menunjukkan bahwa strategi regulasi emosi kognitif tertentu, dapat membuat
seseorang
rentan
mengalami
gejala
psikopatologi
(Garnefski,
Lergerstee, Kraaij, Kommer, & Teerds, 2002). Oleh karena itu dalam membantu meningkatkan regulasi emosi remaja korban KDRT dibutuhkan tritmen yang dapat membantu merekonstruksi pemikiran negatifnya, sehingga menurunkan kecenderungan penggunaan strategi regulasi emosi negatif dan meningkatkan penggunaan regulasi emosi positif. Art Therapy melalui pembuatan karya seni dapat membantu remaja untuk mengekspresikan emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata (Gatta, Gallo & Vianello, 2014; Kim & Ki, 2014; Singh, 2001; Waller, 2006) dan kepribadiannya (Malchiodi, 1998). Melalui objek-objek gambar remaja juga dapat bercerita dan berkomunikasi dengan terapis (Kim & Ki, 2014; Waller, 2006). Gambar memberikan informasi berharga tentang perkembangan persepsi terhadap diri dan lingkungannya (Farokhi & Hashemi, 2011). Art therapy juga terbukti menjadi pengalaman positif bagi korban KDRT, baik yang mengalami secara langsung maupun secondary victim (Gatta, Gallo & Vianello, 2014; Singh, 2001). Mereka yang biasa menghadapi kekerasan di rumahnya, menjadi akrab dengan situasi konflik dan kekerasan, dapat mengekspresikannya melalui gambar. Meski demikian hal tersebut dapat diperoleh
setelah
menghabiskan
waktu
yang
lama
dari
proses
terapi
(Alavinezhad, Mousavi & Sohrabi, 2014). Art Therapy juga terbukti secara signifikan melalui proses pembuatan seni mampu seseorang dapat mengurangi kemarahan dan meningkatkan harga diri (Alavinezhad, Mousavi & Sohrabi, 2014), sebagai pembelajaran strategi coping, mengurangi perilaku abnormal, serta gejala patologis (Samadzadeh, Abbasi dan Shahbazzadegan, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa bagi korban KDRT, Art therapy dapat memfasilitasi emosi remaja melalui gambar, cerita dan komunikasi dengan terapis. Art Therapy telah banyak digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya pada trauma dan gangguan stres akut (Chapman, Morabito, Ladakakos, Schreier dan Knudson, 2011; Sarid & Huss, 2010), depresi (Gussak, 2007), serta penurunan kecemasan dan peningkatan kualitas hidup pada penderita asma (Beebe, Gelfand & Bender, 2010). Pada anak yang mengalami kecemasan dalam pemisahan, Art Therapy dapat mengurangi gejala kecemasannya (Khadar,
Babapour
&
Sabourimoghaddam,
2013),
serta
membantu
9
mengeksplorasi emosi dan pembangunan kesadaran (Freilich & Shechtman, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa Art Therapy dapat membantu seseorang dalam meregulasi emosinya yang tentu berkaitan dengan kecemasan dan perilaku agresifitas, sehingga lebih sehat emosinya. Art Therapy melalui pembuatan seni memberikan efek yang positif pada kondisi psikologis seseorang (Reynolds, Skokie, Nabors, Baltimore, & Quinlan, 2011; Samadzadeh, Abbasi dan Shahbazzadegan, 2013), namun terapis seni perlu menyadari manfaat dan keterbatasan pendekatan dan alat-alat yang digunakan (Betts, 2006). Art therapy didasarkan pada gagasan bahwa proses kreatif pembuatan seni adalah suatu penyembuhan, meningkatkan kehidupan dan merupakan bentuk komunikasi non verbal dari pikiran dan perasaan (Malchiodi, 2003). Seperti bentuk-bentuk lain dari psikoterapi dan konseling, Art Therapy digunakan di
segala
usia
untuk
mendorong
pertumbuhan
pribadi,
meningkatkan
pemahaman diri, mengatasi masalah emosi yang berlebihan atau trauma, menyelesaikan konflik, memperkaya kehidupan sehari-hari, dan mencapai peningkatan rasa kesejahteraan (Malchiodi, 2003). Melalui proses membuat dan mendiskusikan karya seni dalam kelompok, remaja dapat membuka dan mengungkapkan pikiran serta emosinya dalam susana yang saling mendukung, mengeksternalkan emosi yang sulit, mengekspresikan emosi positif seperti harapan, serta mengatur dan membingkai ulang pikiran dan membuat rencana untuk masa depan (Miller, 2010). Art Therapy dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT) yaitu terapi melalui pembuatan seni dengan gagasan utama bahwa emosi negatif muncul karena adanya asumsi atas harapan, interpretasi dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Emosi negatif inilah yang menyebabkan orang merasa tertekan, cemas dan mengalami gangguan emosi. Tekanan psikologis akibat distorsi kognitif menghasilkan perubahan perilaku dan emosi. Art therapy dengan pendekatan CBT bertujuan untuk membantu seseorang mengidentifikasi keyakinan yang salah maupun negatif dan mencari cara untuk mengganti atau merestrukturisasi pemikiran yang lebih realistis dan positif (Malchiodi, 2003). Proses kognitif dan perubahan kognisi pada Art Therapy dapat membantu remaja yang tertekan secara psikologis sehingga menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam perilaku (Malchiodi, 2003). Proses pembuatan karya seni pada Art Therapy juga dapat memfasilitasi emosi dan mengurangi gejala kecemasan
10
pada remaja (Kim & Ki, 2014). Berdasarkan berbagai teori Art Therapy yang telah diuraikan, peneliti menyimpulkan bahwa Art Therapy dengan pendekatan CBT, melalui proses rekonstruksi kognitif dapat membantu meningkatkan regulasi emosi remaja korban KDRT. Berdasarkan paparan sebelumnya diketahui bahwa remaja korban KDRT memiliki kesulitan dalam meregulasi emosinya. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri (self-blaming), merenung (rumination) dan menganggap peristiwa yang dialami sebagai bencana (catastrophizing). Strategi regulasi emosi tersebut merupakan faktor utama dari emosi negatif yang rentan menimbulkan gejala psikopatologi. Dibutuhkan model penanganan yang tepat dalam meningkatkan kemampuan regulasi emosi pada remaja korban KDRT yaitu Art Therapy. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap peranan Art Therapy dalam meningkatkan regulasi emosi remaja korban KDRT. Malchiodi (2003) membagi Art Therapy CBT menjadi 5 sesi utama. Sesi pertama diawali dengan identifikasi masalah dan pembiasaan terhadap proses pembuatan karya seni (gambar). Hal yang diutamakan pada sesi pertama adalah pemaparan proses terapi, penentuan tujuan terapi dan mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari subjek. Teknik yang digunakan yaitu free drawing untuk membiasakan diri dengan proses menggambar selama terapi, egg drawing yang bertujuan mengetahui pandangan subjek terhadap dirinya sendiri (Malchiodi, 2003), dan cave drawing yang bertujuan untuk mengetahui pandangan subjek tentang lingkungan di sekitarnya (Tanaka, Kakuyama, Urhausen dalam Malchiodi, 2003). Sesi kedua yaitu membuat gambar dari stressor (Malchiodi, 2003). Teknik yang digunakan yaitu family drawing yang bertujuan untuk mengetahui hubungan subjek dengan keluarga, mengungkap emosi dalam hubungan sosialnya dan memaparkan pandangan tentang keluarga ideal dan yang sebenarnya dimiliki (Buchalter, 2009). Sesi ketiga yaitu membuat gambar yang berkaitan dengan persiapan diri menghadapi stressor. Teknik yang digunakan yaitu human figure (Malchiodi, 2003). Teknik ini bertujuan mengetahui persepsi subjek terhadap dirinya sendiri setelah mengalami peristiwa negatif dan mempersiapkan diri menghadapi perasaan dan pikiran negatifnya. Sesi keempat membuat gambar "langkah-demi-langkah manajemen" masalah (Malchiodi, 2003). Teknik yang digunakan adalah best and worst self (Buchalter, 2009; Malchiodi, 2003). Subjek diminta untuk menggambarkan dirinya yang berada
11
dalam situasi baik maupun buruk. Teknik ini bertujuan menumbuhkan kesadaran pada subjek tentang permasalahannya, negative automatic thought (NAT), dan perasaan yang selama ini ditekan, serta memaparkan subjek pada emosi negatif yang muncul. Sesi kelima membuat gambar untuk mengurangi stres (Malchiodi, 2003). Teknik yang digunakan dalam sesi ini yaitu bad situation (Buchalter, 2009). Tujuan bad situation yaitu merekonstruksi pemikiran negatif subjek, tentang peristiwa negatif yang dialaminya, serta memunculkan habituasi dengan masalah atau ingatan tentang pengalaman negatifnya. Terakhir, terapis memberikan terminasi sebagai penutup. Berdasarkan sesi dan teknik yang dikemukakan Malchiodi (2003) dan Buchalter (2009), maka Art Therapi dalam penelitian ini dibagi menjadi delapan sesi dan building rapport sebagai pra sesi. Kedelapan sesi itu adalah sesi I free drawing, sesi II egg drawing, sesi III cave drawing, sesi IV family drawing, sesi V human figure, sesi VI best and worst self, sesi VII bad situation, dan sesi VIII terminasi. Art Therapy dalam penelitian ini diberikan dengan teknik kelompok. Terapi yang dilakukan dengan berkelompok menekankan pada interaksi kelompok yang fokusnya ada pada di sini-dan-saat ini, menekankan pada saling membantu, memberikan dukungan, dan menunjukkan perilaku yang sehat (Prawitasari, 2011). Kesamaan situasi dan tekanan yang dihadapi, serta kesediaan untuk menceritakan pengalaman dan mendengarkan cerita dari orang lain merupakan kunci agar dukungan, situasi aman dan terapeutik dapat terbentuk (Gardfield & Goodwin, 1999). Adanya hal-hal tersebut mendorong masing-masing anggota kelompok dapat berinteraksi dalam situasi yang aman dan tidak menghakimi (Mitchell, Wesner, Garand, & Gale, 2007). Art Therapy yang dilakukan berkelompok dapat menumbuhkan dukungan antar subjek sehingga mendorong keterbukaan. Subjek juga dapat belajar dari pengalaman setiap anggota kelompok. Berdasarkan penjelasan dari permasalahan penelitian yaitu remaja korban KDRT memiliki kesulitan regulasi emosi dan proses pemberian Art Therapy dalam membantu meningkatkan regulasi emosi melalui rekonstruksi kognitif, maka dibuat kerangka berpikir pada gambar 2 sebagai berikut.
12
Remaja korban KDRT
Menangkap simbol kekerasan
Memaknai simbol dengan negatif
Fasilitasi emosi Pemikiran negatif
Art Therapy Rekonstruksi konitif
Regulasi emosi Self-blaming Blaming others Rumination Catastrophizing
Acceptance Positive reappraisal Putting into perspective Positive refocusing Refocus on planning
Meningkat
Menurun
Meningkat
Menurun
Emosi negatif
Emosi positif
Emosi positif
Emosi negatif
Gambar 2. Kerangka berpikir
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Art Therapy dalam meningkatkan kemampuan regulasi emosi remaja korban KDRT baik langsung maupun tidak langsung. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis dalam penelitian ini adalah Art Therapy berperan meningkatkan kemampuan regulasi emosi remaja korban KDRT. VARIABEL PENELITIAN Variabel penelitian ini adalah variabel bebas (Independent Variable) yaitu Art Therapy dan variabel tergantung (Dependent Variable) yaitu regulasi emosi remaja korban KDRT.