KECENDERUNGAN PERILAKU AVOIDANCE PADA ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Misbawaty Susy Suardy1 Praesti Sedjo2 1,2
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya No. 100, Depok 16424, Jawa Barat 2
[email protected]
Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami subjek, bagaimana perilaku avoidance pada subjek yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan faktor penyebab perilaku avoidance pada subjek. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa subjek telah mengalami beberapa bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya. Kekerasan yang dialami subjek berupa pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan verbalemosional, dan juga kekerasan fisik. Perilaku avoidance pada subjek disebabkan karena adanya faktor kekerasan/penolakan dari orangtua dan teman sebayanya (peer group). Perilaku avoidancenya dapat dilihat dari beberapa dimensi seperti tingkah laku subjek yang kelihatan (behavioral appearance), perilaku interpersonalnya (Interpersonal conduct), persepsi dirinya (self-perception), ekspresi afektifnya (affective expression), model kognitifnya (cognitive style), serta mekanisme pertahanan dasarnya (primary defense mechanism). Kata Kunci : avoidance, kekerasan dalam rumah tangga, anak
TENDENCY OF AVOIDANCE BEHAVIOR IN CHILDREN WITH DOMESTIC VIOLENCE Abstract The purpose of this study is to determine the forms of domestic violence experienced by the subjects, avoidance behavior subjects who experience domestic violence and the causes avoidance behavior. In this study, the authors use qualitative methods with case study research approach. The subjects in this study was a 7-year-old girl who experienced domestic violence. Researcher use interview and observation method. The results showed that the subjects had experiencing some form of violence by parents. Violence experienced subjects in the form of neglect needs of children, verbal abuse, emotional, and physical violence. Avoidance behavior on the subject due to the violence factor and rejection from parents and peers (peer group). Avoidance behavior subjects can be viewed from several dimensions, such as behavioral appearance, interpersonal conduct, self-perception, affective expression, cognitive style, and the primary defense mechanism Key Words: avoidance, domestic violence, child
Suardy, Sedjo, Kecenderungan Perilaku …
87
PENDAHULUAN Jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP), jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2006 ke tahun 2007, jumlah kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan lebih dari 30.000 kasus. Kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam beragam bentuk. Komisi Nasional Perempuan (2002) membagi kekerasan terhadap anak secara umum ke dalam empat kategori yaitu pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan fisik, kekerasan verbal-emosional, dan kekerasan seksual. Bentuk pengabaian pemenuhan kebutuhan anak dapat berupa penyediaan kebutuhan makan, sandang, dan papan serta pemeliharaan pelayanan medik, dan pemberian kasih sayang terhadap anak yang tidak terpenuhi sepenuhnya. Sedangkan kekerasan fisik dapat berupa segala sesuatu yang mengakibatkan luka fisik pada anak. Kekerasan verbal-emosional dapat berupa ancaman, mempermalukan, mengecilkan arti anak baik secara sendiri (private) maupun di hadapan orang banyak atau Ketidakmampuan memberikan pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang pada anak. Kekerasan seksual dapat berupa mencabuli anak dengan melakukan penyentuhan pada alat kelamin anak, tindakan masturbasi, seks oral, bahkan penetrasi baik dengan tangan ataupun penis serta objek lain ke vagina atau anus anak. Pengalaman pendampingan beberapa lembaga menunjukkan bahwa fakta kekerasan terhadap anak merupakan fakta yang sangat memprihatinkan dan dapat berdampak sangat serius bagi korban. Komisi Nasional Perempuan (2002) juga menambahkan bahwa ber-
88
bagai tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap anak ini membawa dampak yang membahayakan terhadap kesejahteraan fisik maupun psikis anak. Secara fisik anak menderita patah tulang, sembab, lebam, terbakar, cacat permanen, dan lain sebagainya. Sedangkan secara psikis anak bisa menderita ketakutan, kemarahan, sedih, merasa bersalah, malu, bingung, dan juga perilaku menghindar (avoidance). Perilaku avoidance pada anak ini tidaklah dibuat-buat karena pada dasarnya terbentuk secara tidak langsung pada diri anak tersebut karena adanya trauma akibat kekerasan yang dialaminya dan juga dikarenakan akan ketakutan-ketakutan si anak pada tindak kekerasan yang kiranya tidak diharapkan olehnya untuk terjadi lagi. Pada saat bertemu dengan orang yang asing baginya, ia akan berusaha untuk menyembunyikan dirinya agar tidak melakukan interaksi dengan orang asing tersebut. Bahkan juga orang yang sering bertemu dengannya tersebut membuat si anak ketakutan. Anak yang berperilaku demikian akan kehilangan keceriaan, merasa sendiri dan terasing, serta sulit untuk mendapatkan ilmu dari dunia luar karena sikap menarik diri (withdrawal) dan sikap menghindar (avoidance) dalam berinteraksi dengan orang lain. Berdasarkan uraian di atas, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orangtua kepada anak dapat mengganggu proses perkembangan anak baik secara fisik maupun psikologis. Anak yang mengalami kekerasan juga tidak dapat menikmati indahnya masa kecil yang penuh keceriaan. Salah satu dampak psikologis bagi anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah anak akan jadi menarik diri dari lingkungan atau adanya perilaku avoidance yang terjadi pada anak tersebut. Perilaku avoidance tersebut bisa saja muncul ketika seseorang masih berusia anak-anak, remaja ataupun de-
Jurnal Psikologi Volume 3, No. 1, Desember 2009
wasa. Perilaku avoidance membuat seseorang merasa terisolasi dan kesepian yang dikombinasikan pula dengan perasaan takut akan penghinaan dan penolakan dari orang lain. Perilaku avoidance pada anak yang berdampak serius ini mendorong penulis untuk meneliti tentang kecenderungan perilaku avoidance pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, memberikan gambaran perilaku avoidance pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan mengetahui penyebab terjadinya perilaku avoidance pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik penelitian studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah anak perempuan berusia 7 tahun yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Peneliti menggunakan pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi penyidik dan triangulasi teori dilakukan penelit untuk mendapatkan keakuratan dalam penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Subjek telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami subjek adalah pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan fisik dan kekerasan verbal-emosional. Adapun yang dimaksudkan dengan pengabaian pemenuhan kebutuhan anak adalah penyediaan kebutuhan makan, sandang, dan papan serta pemeliharaan
Suardy, Sedjo, Kecenderungan Perilaku …
pelayanan medik, pemberian kasih sayang terhadap anak yang tidak terpenuhi sepenuhnya. Pengabaian pemenuhan kebutuhan anak secara potensial mengakibatkan gangguan kesehatan, perkembangan psikologik dan keamanan anak (Komnas Perempuan, 2002). Pada kasus subjek, terlihat bahwa orangtua subjek tidak menemani subjek mengerjakan tugas sekolahnya, subjek malah ditinggal tidur dan nonton oleh mamanya. Subjek juga tidak diajak liburan pada saat liburan sekolah. Ketika subjek masih bayi pun, ibunya malas menyusui dan memberi makan. Kekerasan fisik berupa serangan yang dialami seorang anak sehingga membuatnya terluka secara fisik (Baron dan Byrne, 2000). Pada kasus subjek, sering kali menerima perlakuan kasar dari orangtuanya yaitu dicubit, dipukul, ditendang, ditoyor bahkan didorong. Suatu bentuk kekerasan terhadap anak yang berupa ancaman, mempermalukan, mengecilkan arti anak baik secara sendiri (private) maupun di hadapan orang lain atau ketidakmampuan memberikan pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang pada anak. Biasanya dinyatakan dengan cemooh katakata atau sebutan, makian, panggilan kasar dan sejenisnya (Komnas Perempuan, 2002). Pada kasus subjek, sering sekali dimarahi, dan menerima kata-kata kasar baik dari teman-temannya ataupun dari orangtuanya. Subjek dalam penelitian ini mengalami perilaku avoidance. Perilaku avoidance pada subjek muncul dalam tingkah laku yang nampak, perilaku interpersonal, persepsi diri, ekspresi afektif, model kognitif, dan mekanisme pertahanan dasar. Seseorang yang sangat pemalu dan penakut, suka gelisah atau khawatir. Mereka sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan luar, kurang nyaman dengan hubungan dengan orang lain apalagi untuk membina hubungan yang lebih
89
dekat atau intim, mereka akan sulit dan segan untuk berinteraksi. Orang-orang yang berperilaku avoidance akan kelihatan takut, malu-malu, menarik diri, bahkan terasa sangat dingin dan aneh ketika melakukan kontak atau berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Menurut mereka yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang yang berperilaku avoidance ini mengakui kesensitifan, susahnya menaruh kepercayaan pada orang lain serta usahausaha pengelakan pada diri mereka. Pada umumnya cara bicara mereka sangat pelan dan dengan konsentrasi yang tinggi (Millon dan Everly, 1985). Pada kasus subjek, setelah mengalami berbagai tindak kekerasan baik itu kekerasan verbal maupun kekerasan fisik, subjek akan lebih cenderung menjadi malu bertemu orang lain, subjek akan bersembunyi sendiri di kamar, dan subjek lebih memilih untuk sendiri. Aktivitas interpersonal pada individu yang berperilaku avoidance akan berubah dari keengganan menjadi lebih menarik diri. Individu yang mengalami avoidance dalam berinteraksi dengan orang lain, akan memilih untuk menjauh atau mengasingkan diri dari sekitarnya. Seorang yang berperilaku avoidance akan merasa sangat tidak nyaman berada di antara orang-orang lain, kalaupun ingin berteman dengan orang lain mereka akan lebih berhati-hati apakah orang-orang yang ada di sekitarnya itu baik untuk mereka atau apakah mereka bisa untuk dijadikan teman dekat (Millon dan Everly, 1985). Pada kasus subjek, merasa malu untuk bertemu orang lain dan bermain bersama temantemannya karena tidak mau diejek, subjek juga diam ketika bersama orang lain karena tidak tahu apakah orang itu baik atau tidak pada subjek. Subjek juga jadi malu dan tidak betah ketika bertemu dengan orang lain. Pada umumnya, individu yang berperilaku avoidance akan memisahkan
90
diri sebagai orang-orang, merasa malu dan terasingkan sehingga akhirnya mereka merasa benar-benar tidak diterima. Individu tersebut cenderung memiliki perasaan introspeksi yang tinggi dan sadar diri. Perasaan menyendiri dan tidak dikenali serta terisolasi, pada umumnya pula mereka ketakutan dan merasa tidak dapat dipercaya dari orangorang sekitar, dan cenderung jadi tidak yakin akan identitas dan harga dirinya. Selain itu juga adanya perasaan kekurangan penghargaan dirinya secara keseluruhan dan akan merasa bahwa dirinya terisolasi, tidak puas, dan kosong (Millon dan Everly, 1985). Pada kasus subjek, merasa dan menganggap dirinya sebagai anak nakal sehingga subjek tidak disukai dan disayang lagi oleh keluarganya. Subjek juga merasa telah menjadi seorang penakut dan pemalu. Ekspresi afektif individu yang berperilaku avoidance terlihat sangat sedih sampai menjadi lebih tegang atau gelisah. Ekspresinya menyampaikan ketidakharmonisan emosi dan perasaan kekosongan yang biasanya kerena pengaruh dari perilaku menghindar atau avoidance itu sendiri tidak bisa ditampilkan sepenuhnya. Biasanya individu lebih melepaskan ekspresinya melalui fantasi dan imajinasi. Individu yang mengalami kesedihan yang mendalam akan menemukan dirinya “terdorong” untuk ditertawakan dan merasakan penurunan harga diri dari yang lainnya (Millon dan Everly, 1985). Pada kasus subjek, ia akan merasa tidak betah ketika harus bersama dengan orang lain bahkan orangtuanya sekalipun. Subjek juga menambahkan bahwa merasa gelisah ketika harus bersama dengan orang lain. Model kognitif merupakan proses kognitif dimana pikiran yang kacau balau atau bingung menjadi membingungkan. Tidak hanya hipersensitif dan memiliki hubungan yang menyimpang dengan lingkungannya tetapi juga merasakan ketidakharmonisan emosi.
Jurnal Psikologi Volume 3, No. 1, Desember 2009
Pada umumnya pikiran-pikiran yang menyimpang tidak hanya terlihat mengacaukan proses kognitif tetapi juga pada komunikasi sosialnya (Millon dan Everly, 1985). Pada kasus subjek, karena adanya perasaan takut subjek pada orangtuanya membuat subjek lebih memilih bermain di dalam rumah dari pada keluar rumah. Gangguan kepribadian avoidance yang dimiliki individu dapat terlihat dari adanya perasaan khawatir, ketidakpercayaan, malu dan tegang. Sedangkan untuk mekanisme pertahanan dasarnya adalah fantasi. Fantasi adalah proses setengah sadar dari imajinasi yang memberikan kebahagiaan dari apa yang kita inginkan dan harapkan bisa terwujud dalam kehidupan nyata (Millon dan Everly, 1985). Pada kasus subjek, membayangkan memainkan bonekanya jadi sosok yang baik dan sayang padanya, subjek juga membayangkan diajak jalan-jalan oleh keluarganya. Menurut Millon dan Everly (1985), faktor yang menyebabkan perilaku avoidance itu bisa dikarenakan faktor biogenik ataupun karena faktor lingkungan. Tetapi kenyataannya, perilaku avoidance ini lebih ditandai oleh gangguan yang berasal dari faktor lingkungan. Faktor lingkungan bisa dilihat dari adanya penolakan dari orangtua. Walaupun normal, menarik, dan anak dalam keadaan sehat tapi bisa saja sebenarnya anak sedang mengalami bermacam-macam derajat tingkat penolakan dari orangtua. Hal ini nampak sebagai suatu faktor yang menyebabkan perilaku avoidance. Di dalam hal gangguan kepribadian ini, apapun bentuk penolakan dari orangtua sepertinya terjadi dalam waktu yang sering sekali. Hasil dari penolakan itu mudah untuk diramalkan. Anak-Anak akan merasakan sikap optimis dan energi alami mereka dihancurkan, dan sebagai gantinya mereka akan merasakan sebuah pengasingan sosial. Kondisi-kondisi pe-
Suardy, Sedjo, Kecenderungan Perilaku …
nolakan dari orangtua ini terutama terlihat ketika orangtua dihadapkan pada situasi dimana mereka harus menerima, mencintai dan menyayangi keturunan yang tidak mereka harapkan. Pada kasus ini, subjek kerap kali menerima perlakuan kasar dari orangtuanya baik itu berbentuk pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan verbal-emosional bahkan subjek juga mengalami kekerasan fisik Semua bentuk kekerasan yang terjadi pada subjek berakibat buruk bagi subjek. Subjek menjadi ketakutan pada pelaku tindak kekerasan yaitu orangtuanya, subjek juga menjadi malu, merasa sendiri bahkan menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Bentuk kekerasan dan diskriminasi yang disebabkan banyak hal seperti kekerasan dalam rumah tangga akan membawa dampak yang sangat buruk bagi anak terutama bagi perkembangannya hingga dewasa (Fernandez, 2008; Rodriguez, Donovick, dan Crwoly, 2009). Beberapa riset telah menegaskan pendapat tersebut (Molina, Gomez, dan Pastrana, 2009; Owen dkk., 2008). SIMPULAN Kekerasan dalam rumah tangga memberikan efek yang memprihatinkan, apalagi jika yang menjadi korban adalah anak. Salah satu hal terbesar dalam kekerasan dalam rumah tangga yang dirasakan oleh anak adalah penolakan dan pengabaian orangtua kepada anak dalam banyak hal. Luka psikologis yang dibawa oleh anak akibat kekerasan dalam rumah tangga membawa efek lain dalam perkembangannya, salah satunya adalah perilaku avoidance. Perilaku avoidance ini menyebabkan anak bukan hanya menutup diri dari lingkungan tetapi juga membawa efek traumatis sampai dewasa kelak.
91
DAFTAR PUSTAKA Baron, R.A. and Byrne, D. 2000 Social psychology Allyn and Bacon: Boston. Fernandez, E. 2008 “Unravelling emotional, behavioural and educational outcomes in a longitudinal study of children in foster-care” British Journal of Social Work vol 38 pp 1283-1301. Rodriguez, M.M.D., Donovick, M.R., and Crowley, S.R. 2009 “Parenting styles in a cultural context: Observation of protective parenting in first-generation Lationos” Family Process vol 48 pp 195-210. Komisi Nasional Perempuan. 2002 Peta kekerasan, pengalaman perempuan Indonesia. Ameepro Jakarta.
92
Millon, T. and Everly, G.S. 1985 Personality and it’s disorders: A biosocial learning approach Theodore Millon and George S. Everly, Jr.: New York. Molina, C.S., Gomez, J.R., and Pastrana, M.C.V. 2008 “Psychometric properties of the Spanish-language child depression inventory with Hispanic children who are secondary victims of domestic violence” Adolescence vol 44 pp133-148. Owen, A.E., Thompson, M.P., Mitchell, M.D., Kennebrew, S.Y., Paranjape, A., Reddick, T.L., Hargrove, G.L., and Kaslow, N.J. 2008 “Perceived social support as a mediator of the link between intimate partner conflict and child adjustment” Journal of Family Violence vol 23 pp 221-230.
Jurnal Psikologi Volume 3, No. 1, Desember 2009