KEHADIRAN GKP DI TENGAH MASYARAKAT SUNDA
Oleh, Felix Prasetyo Adi 712010044
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2015
i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
ii
iii
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
v
MOTTO
“JADILAH DIRIMU SENDIRI, TETAPLAH RENDAH HATI, DAN SELALU BERSYUKUR UNTUK APAPUN YANG TERJADI”
Matius 25:21 “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”
vi
KATA PENGANTAR
Selama kurang lebih 4 tahun saya berproses di sini tentunya ada banyak pelajaran yang di dapat. Suka dan duka memberi warna dalam proses saya belajar maupun ketika saya menulis tugas akhir. Ada saat dimana sukacita yang dirasakan sangat membahana, namun ada juga saat dimana dukacita hadir menyapa. Melalui setiap proses belajar dengan diwarnai suka dan duka membuat saya berefleksi bahwa Tuhan Sang Pemberi Hidup senantiasa menuntun dan menyertai saya dalam setiap perjalanan studi saya. Puji syukur saya panjatkan kepada Yesus Kristus, Tuhan yang mau bersama-sama dengan saya dalam melewati masa-masa perkuliahan dan penulisan tugas akhir ini. Saya juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada beberapa pihak yang telah mendukung saya selama masa perkuliahan dan penulisan tugas akhir: 1. Bapak Dr. David Samiyono, sebagai dosen pembimbing 1 sekaligus sebagai wali studi. Terima kasih untuk bimbingan, sharing pengalaman, ilmu yang telah diberikan, dan kesediaan untuk mendengarkan curahan hati seorang mahasiswa dengan segudang permasalahannya. Dan untuk bapak Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo, sebagai pembimbing 2, terima kasih untuk nasihat-nasihat, masukan-masukan yang berharga selama kuliah maupun ketika membimbing saya menulis tugas akhir. Kiranya Tuhan memberkati pelayanan yang bapak lakukan dimana pun dan kapan pun. 2. Untuk Dekan, Kaprogdi, seluruh dosen dan staff di Fakultas Teologi UKSW yang telah membantu saya menyelesaikan perkuliahan. Semua ilmu dan pengalaman bapak dan ibu semua sangat berguna bagi saya untuk berproses lebih lanjut lagi. Saya bangga menjadi bagian dari keluarga besar Fakultas Teologi UKSW. 3. Untuk keluargaku: Papah, Mamah, Dwiky, dan Ersa. Terima kasih untuk doa dan kerja kerasnya selama saya berkuliah di Salatiga. Terima kasih juga untuk nasihatnya papah dan mamah, karena kalian saya dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. I love my family... 4. Untuk Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan, terima kasih sudah memberikan kesempatan bagi saya untuk berkuliah di Fakultas Teologi UKSW dan terima kasih untuk dukungan yang diberikan. Untuk Ka Rani, terima kasih sudah mau “direpotkan” oleh saya selama saya studi. 5. Untuk Jemaat dan Majelis Jemaat GKP Karawang, terima kasih untuk dukungan doanya. Tetaplah menjadi persekutuan yang hidup beralaskan kasih Kristus. vii
6. Untuk Komisi Tutorial Sinode, terima kasih untuk bimbingannya mengenal GKP lebih dalam lagi. Walaupun di Salatiga tidak ada GKP, saya bisa mengenal GKP dari pembinaan yang diberikan. Untuk teman-teman mahasiswa teologi GKP di UKSW Salatiga, UKDW Yogyakarta dan STT Jakarta, terima kasih untuk kebersamaannya selama ini. Semoga kita akan bertemu lagi di jemaat nanti. 7. Terima kasih untuk Jemaat, Majelis Jemaat GKP yang ada di Klasis Wilayah Purwakarta, karena telah bersedia menjadi narasumber untuk penulisan tugas akhir ini. Juga terima kasih kepada BP Klasis Wilayah Purwakarta yang telah memberikan dukungan bagi saya untuk melakukan penelitian di jemaat-jemaat Klasis Purwakarta. Kiranya Tuhan memberkati. 8. Untuk teman-teman Teologi angkatan 2010, terima kasih sudah mengisi hari-hari perkuliahan dengan penuh warna. Ada banyak sukacita yang saya rasakan selama 4 tahun lebih bersama-sama dengan kalian. Ingat selalu, “karena kita satu... Two Zero One Zero!!!” 9. Untuk GenkBenk, Bambang Purba, Jon Lamhot Sinaga, Jhon Purba, Olan Sembiring, Niko Tobing, Leo Purba, Franklin Korua, Sadrah Barus, Wilson Simanjuntak, Nando Sembiring terima kasih untuk kegilaannya selama ini, walaupun saya bukan orang Batak tapi mau menerima saya sebagai bagian dari orang Batak. Jangan pernah lupa sama kawanmu yang dari Sunda ini ya...!!! 10. Kost Kembar 56, yang dulu sepi seperti di kuburan sekarang sudah ramai. Terima kasih untuk kebersamaannya, Ka Jakson, Ka Vian, Mas Kris, Ka Jerly, Ony, Okto, Pandu, Nanta, Presbi, Joko, Mas Tri dan lain-lainnya.. 11. Untuk kekasih, Maria Manurung SST.Pa, terima kasih karena mau mendengar keluh kesah saya selama menulis tugas akhir, dan selalu menyemangati ketika saya jenuh. 12. Untuk semua yang terlibat tetapi tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih untuk dukungan yang diberikan bagi saya hingga saya bisa menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Teologi UKSW.
Salatiga, 13 Februari 2015
Felix Prasetyo Adi Penulis viii
DAFTAR ISI Halaman Judul .................................................................................................................... i Lembar Pengesahan ............................................................................................................ ii Lembar Pernyataan Tidak Plagiat ....................................................................................... iii Lembar Pernyataan Persetujuan Akses ............................................................................... iv Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi .......................................................................... v Motto ................................................................................................................................... vi Kata Pengantar .................................................................................................................... vii Daftar Isi ............................................................................................................................. ix Abstrak ................................................................................................................................ xi 1. Pendahuluan ................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 3 1.4 Sumbangan Penelitian .............................................................................................. 3 1.5 Metode Penelitian..................................................................................................... 4 1.6 Tempat Penelitian..................................................................................................... 4 1.7 Sistematika Penulisan............................................................................................... 4 2. Landasan Teori ............................................................................................................... 5 2.1 Survival Strategy ...................................................................................................... 5 2.2 Model-model Gereja ................................................................................................ 8 2.2.1 Model-model gereja ....................................................................................... 8 2.2.2 Model Kehadiran Gereja di Indonesia ........................................................... 11 3. GKP Klasis Wilayah Purwakarta ................................................................................... 16 3.1 Demografi Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta ...... 16 3.1.1 Kabupaten Karawang ..................................................................................... 16 3.1.2 Kabupaten Purwakarta ................................................................................... 17 3.1.3 Kabupaten Subang ......................................................................................... 17 3.2 Gereja Kristen Pasundan Klasis Wilayah Purwakarta ........................................... 18 3.3 Relasi dan Strategi Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta Yang Hadir Di Tengah Masyarakat Sunda ................................................................................ 19 3.3.1 Kabupaten Karawang ..................................................................................... 19 3.3.2 Kabupaten Purwakarta ................................................................................... 22 ix
3.3.3 Kabupaten Subang ......................................................................................... 24 3.4 Cara Bertahan Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta ............................. 25 4. Analisa Kehadiran GKP Klasis Wilayah Purwakarta Di Tengah Masyarakat Sunda ... 25 5. Kesimpulan dan Saran .................................................................................................... 30 5.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 30 5.2 Saran ......................................................................................................................... 31 Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 33
x
ABSTRAK
Agama Kristen yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia pada waktu penjajahan, membuat sebagian masyarakat Islam Indonesia menganggap sebagai agama penjajah. Stigma sebagai agama penjajah mengakibatkan banyak orang Kristen mengalami penolakan dan pergolakan. Begitu juga yang terjadi di Jawa Barat, yaitu di Gereja Kristen Pasundan. Keadaan tersebut mengharuskan GKP yang harus hidup berdampingan dengan masyarakat Islam memiliki strategi untuk dapat bertahan dan berkembang. Secara khusus, jemaat-jemaat GKP yang ada di Klasis Wilayah Purwakarta harus menerapkan strategi supaya dapat terus bertahan, tumbuh, dan berkembang. Kekhasan dan keunikan masyarakat Jawa Barat dan budaya Sunda dipakai GKP Klasis Wilayah Purwakarta sebagai strategi untuk bertahan dan bertumbuh. Selain dari pada itu, GKP Klasis Wilayah Purwakarta juga mengembangkan model kehadiran seperti apa yang sesuai dengan konteks wilayah pelayanannya. GKP Klasis Wilayah Purwakarta menyadari panggilannya bukan untuk menobatkan orang dari non-Kristen menjadi Kristen, tetapi untuk melayani sesama tanpa label kristenisasi. Yang oleh karenanya, GKP Klasis Wilayah Purwakarta hadir di tengah masyarakat Sunda bukan menjadi musuh tetapi menjadi tetangga yang baik sehingga GKP Klasis Wilayah Purwakarta dapat diterima dan bertahan, bahkan terus berkembang.
Kata kunci: GKP Klasis Wilayah Purwakarta, survival strategy, model kehadiran gereja
xi
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gereja adalah komunitas orang percaya yang telah dipanggil keluar dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang Allah yang ajaib.1 Di dalam dunia, gereja terpanggil untuk melakukan tugas panggilannya yaitu bersaksi, bersekutu, dan melayani. Gereja Kristen Pasundan (GKP) adalah bagian dari gereja yang esa, kudus, dan am di dunia, yang dipanggil untuk melaksanakan tugasnya secara khusus di wilayah Jawa bagian Barat.2 GKP lahir dari pekabaran Injil yang dilakukan oleh lembaga yang bernama Nederlansche Zendings Vereeniging (NZV) dengan beberapa tokohnya yang terkenal yaitu F. L. Anthing, Pdt. C. Albers, dan Pdt. S. Coolsma. Para utusan zending yang melakukan penginjilan kepada orang-orang di Jawa Barat khususnya suku Sunda mengalami kesulitan karena masih kuatnya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat dan tantangan dari agama Islam yang sudah lebih dahulu masuk dan mengakar kuat di wilayah Pasundan, bahkan H. Kraemer pernah mengungkapkan bahwa negeri Pasundan sebagai Nova Zembla3 rohani.4 Ungkapan tersebut menggambarkan betapa sulitnya menaburkan benih Injil ke tengah-tengah masyarakat Pasundan. Perjumpaan masyarakat Sunda dengan agama Islam telah dimulai pada abad ke-13 M melalui pedagang Islam dari Gujarat, India.5 Sebelum Islam datang, telah lebih dulu datang agama Hindu-Buddha. Penyebaran agama Hindu-Buddha ini dapat dilihat dari peninggalanpeninggalan yang ada dan kerajaan-kerajaan yang pernah berjaya di tanah Jawa Barat, seperti Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran. Selain dari pada dua agama yang berkembang di wilayah Jawa Barat, masyarakat Sunda sendiri memiliki kepercayaan yang mereka warisi dari nenek moyang mereka yaitu Sunda Wiwitan. Saat ini masyarakat Sunda yang masih menganut agama suku ini menamakan diri mereka masyarakat Baduy atau Kanekes dan tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, 1 1
3
4 5
J. L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 2 Badan Binalitbang Gereja Kristen Pasundan, Profil GKP Dalam Perspektif Kemandirian Teologi, Daya, dan Dana (Bandung: GKP, 2007), 1. Nova Zembla adalah nama sebuah pulau di kawasan Arktik, yang melintang di antara Lautan Barents dan Laut Kara. Pulau itu terpisah dari daratan Uni Soviet oleh Selat Kara. Pulau itu merupakan daerah pegunungan dan perbukitan. Bila di utara terjadi musim dingin, salju yang menyelimutinya akan berlangsung cukup lama. Koernia Atje Soejana, Benih Yang Tumbuh 2 (Jakarta: GKP dan PGI, 1974), 34. Badan Binalitbang Gereja Kristen Pasundan, Profil GKP Dalam Perspektif Kemandirian Teologi, Daya, dan Dana (Bandung: GKP, 2007), 34.
1
Provinsi Banten. Orang Sunda berbeda dengan orang dari suku Jawa. Suku Sunda adalah penganut agama Islam yang taat dalam memenuhi syariat dan peraturan agama, jauh lebih kuat dari pada suku Jawa mematuhi agamanya.6 Ketika NZV datang ke Tanah Pasundan, agama Islam sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sunda. Selain itu sikap orang Sunda yang menutup diri terhadap Injil membuat medan pekabaran Injil yang dilakukan para zendeling dapat dikatakan sangat berat. Pada tahun 1870-an tenaga NZV sudah putus harapan melihat kegiatan penginjilan kepada masyarakat Sunda tidak akan membawa hasil yang berarti. Ini dapat dibuktikan ketika Pdt. Coolsma dan Pdt. Albers, utusan NZV, bersama-sama tinggal di Cianjur dan mengabarkan Injil hanya ada 3 orang Sunda yang menerima Injil dan dibaptis. Ketiga orang Sunda tersebut adalah Ismael dan istrinya Murti, serta seorang murid lainnya, tetapi hal itu menimbulkan perlawanan dari orang Islam. Mereka menganggap agama Kristen sebagai unsur asing yang harus ditolak. Agama Kristen adalah agama Belanda – agama penjajah, oleh sebab itu orang Sunda yang beralih ke agama Kristen dikucilkan dari kehidupan masyarakatnya. Beralih ke agama Kristen berarti memisahkan diri dari lingkungan hidup masyarakat.7 Pada waktu itu kehidupan orangorang Kristen Sunda sangat berat dan mengalami tekanan secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kaum Islam fundamentalis (Islam garis keras) sangat menunjukkan ketidaksukaannya terhadap orang lain, terutama kaum non-Muslim. Menurut Muhammad Iqbal Ahnaf, ada dua faktor yang melatarbelakanginya, yaitu faktor teologis yang berakar pada Alquran dan Hadits, dan faktor kedua adalah faktor sejarah yang sangat panjang yang mengeruhkan hubungan IslamKristen.8 Kuatnya tantangan dari para penganut Islam fundamentalis tidak mengendurkan semangat para zending. Berkat semangat penginjilan para zending, pada tanggal 14 November 1934 GKP menyatakan diri sebagai gereja Tuhan yang melayani umat Tuhan secara khusus di wilayah Jawa Bagian Barat. Istilah Pasundan menunjuk pada wilayah pelayanan yang GKP lakukan yaitu bumi Sunda atau tanah Sunda. Pada tanggal 1 Januari 1937 jumlah orang Kristen di tanah Pasundan ada 6.215 jiwa, dimana dari suku Cina 1.441 jiwa dan sisanya 4.774 jiwa
6 7 8
J. D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995), 137. Koernia Atje Soejana, Benih Yang Tumbuh 2 (Jakarta: GKP dan PGI, 1974), 33. Richard M. Daulay, Kristenisasi Dan Islamisasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 13.
2
terdiri dari orang Sunda, Jawa, Ambon, Manado, dan sebagainya. Jumlah jemaat GKP sendiri sudah terdapat 39 jemaat.9 Data ini menunjukkan bahwa betapa pun ada perlawanan dan penolakan, tapi akhirnya injil berkembang juga di masyarakat Sunda. Hal ini terlihat dari sebuah puisi yang ditulis untuk merayakan 75 tahun GKP mengungkapkan bahwa GKP hadir di tengah keberagaman tantangan namun tidak membuat GKP menyerah.10 Dalam proses bertumbuhnya, GKP juga berjumpa dengan kehadiran agama Islam bahkan hidup berdampingan dengan Islam. Dapat dilihat secara demografi dari data salah satu kabupaten di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Karawang pada tahun 2011, dimana penganut agama Islam sebanyak 2.200.571 jiwa sedangkan penganut agama Kristen sebanyak 20.760 jiwa. Dan jumlah rumah ibadah yaitu mesjid dan mushola sebanyak 4.295, sedangkan jumlah gereja yang ada sebanyak 27 bangunan.11 Diantara jumlah umat Kristen di Kabupaten Karawang, GKP hadir dan menyatakan diri menunaikan tugas dan panggilannya. Menarik melihat GKP yang hadir di bermacam tantangan tetapi membuatnya bertahan (survive) bahkan cenderung terus berkembang. Oleh karena itulah, penulis mengambil judul KEHADIRAN GKP DI TENGAH MASYARAKAT SUNDA, sebagai judul tugas akhir.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini akan menjelaskan tentang mengapa GKP dapat bertahan di tengah-tengah masyarakat Sunda yang sangat kuat dengan agama Islam?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa bagaimana GKP dapat bertahan di tengah-tengah masyarakat Sunda yang sangat kuat dengan agama Islam.
1.4 Sumbangan Penelitian Diharapkan melalui penelitian ini, dalam bidang akademik dapat memberi pemahaman dan pengetahuan kepada segenap bagian GKP bahwa GKP memiliki keunikan dan kekhasan
9 10
11
J. D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995), 148. Tania Prameswari, “Mandirilah Gerejaku” dalam Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian, ed. Pdt. Supriatno, Pdt. Onesimus Dani, Pdt. Daryatno (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009). vii Sumber: http://migas.bisbak.com/3215.html di akses pada tanggal 5 Oktober 2014, pukul 17:45.
3
dalam melayani umat Tuhan di tengah tantangan yang dihadapinya, dan sumbangan pemikiran baru bagi teori survival dan model kehadiran gereja. Praktisnya, dapat menjadi salah satu bahan refleksi dan evaluasi gereja di dalam melayani di tengah masyarakat mayoritas.
1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaaan tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala lain dalam masyarakat. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Penulis mencoba mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seorang responden, dengan bercakapcakap berhadapan muka dengan orang tersebut.12 Teknik pengumpulan data yang dipakai melalui wawancara: dalam hal ini penulis mencari informasi dengan menanyakan secara langsung kepada nara sumber dan memberi kebebasan untuk menjawab sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya. Nara sumber adalah mereka yang menjadi subjek penelitian penulis, yaitu pendeta, majelis jemaat, dan jemaat GKP. Selanjutnya melalui studi kepustakaan, penulis menggunakan buku-buku yang dapat digunakan untuk menyusun landasan teoritis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisa data penelitian lapangan guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian.
1.6 Tempat Penelitian Penulis mengambil tempat penelitian di GKP Klasis Purwakarta, dimana terdapat 7 jemaat dan 4 pos kebaktian, yaitu Jemaat Purwakarta, Jemaat Sadang, Jemaat Sukamandi, Jemaat Karawang, Jemaat Telukjambe, Jemaat Bojongsari, Jemaat Cikampek, Pos Kebaktian Pebayuran, Pos Kebaktian Kampung Teko, Pos Kebaktian Cilamaya, dan Pos Kebaktian Jatiluhur.
1.7 Sistematika Penulisan Pada bagian pertama penulis memaparkan tentang latar belakang masalah, judul penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metode penelitian, tempat penelitian dan sistematika penulisan. 12
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1981), 42, 162.
4
Bagian kedua akan dijelaskan teori tentang survival strategy menurut Talcott Parsons dan Herbert Spencer dan pembahasan tentang model-model kehadiran gereja menurut Avery Dulles dan Julianus Mojau. Bagian ketiga penulis akan memaparkan gambaran umum GKP Klasis Wilayah Purwakarta sebagai tempat penelitian. Bagian keempat penulis akan menganalisa hasil penelitian di lapangan dengan teori survival dan model-model kehadiran gereja. Bagian kelima penulis menyimpulkan seluruh pembahasan yang telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya.
2. LANDASAN TEORI 2.1 Survival Strategy Setiap makhluk hidup pasti berjuang untuk dapat tetap bertahan hidup. Melalui proses yang sangat panjang dan mengalami berbagai rintangan yang jika dapat ditaklukan, maka makhluk hidup tersebut akan bertahan hidup. Demikian juga dengan manusia, sebagai makhluk hidup manusia pun bertahan hidup dengan berbagai cara. Kemampuan manusia untuk dapat bertahan hidup tidak hanya dilihat dari sudut pandang biologi atau ekologi semata, melainkan juga dapat dipandang dari sudut pandang sosiologis. Hal ini mengingat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berhubungan dan bergantung dengan sesamanya. Segala yang ada di sekitar manusia sebagai pribadi atau pergaulan hidup, disebut lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga macam lingkungan hidup yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu lingkungan fisik, lingkungan biologis, serta lingkungan sosial. ketiga macam lingkungan tersebut senantiasa mengalami perubahan-perubahan dan supaya manusia dapat mempertahankan kehidupannya, maka manusia melakukan penyesuaian diri atau adaptasi.13 Talcott Parsons menyebutnya sebagai teori evolusioner, di mana di dalam suatu masyarakat terjadi proses diferensiasi. Dengan asumsinya bahwa setiap masyarakat terdiri dari serangkaian subsistem yang berbeda baik di dalam hal struktur maupun signifikansi fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih besar. Ketika masyarakat berkembang perlahan-lahan, subsistem-subsistem baru didiferensiasi.14 13 14
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 65. Geoge Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 423.
5
Herbert Spencer adalah orang yang memakai istilah survival of the fittest, sebagai bentuk persaingan abadi untuk bertahan dalam kehidupan. Dalam teori evolusinya, Charles Darwin mengungkapkan persaingan untuk terus hidup merupakan hukum besi seleksi sejarah. Dapat dikatakan kehidupan manusia dan alam merupakan hasil pertarungan abadi, yang disebut seleksi alam. Siapa yang kuat dan menang akan terus bertahan, sebaliknya siapa yang kalah dan lemah akan tergilas oleh roda besi kehidupan.15 Seleksi alam menurut Darwin ini bukan hanya yang terkuat dan menang yang akan terus bertahan, tetapi yang paling adaptif.
Menurut
Suwartiningsih survival strategy atau strategi kebertahanan hidup dari makhluk hidup dilakukan secara individual maupun secara kolektif, karena pada dasarnya makhluk hidup adalah organisme yang bersifat individu dan sosial.16 Di dalam strategi terdapat unsur cara dan tujuan. Agar suatu masyarakat dapat bertahan ada banyak kondisi yang harus dipelihara dan dikembangkan oleh masyarakat yang ingin bertahan. Kondisi tersebut dikelompokkan menjadi 3 hal: 1. Adaptasi terhadap lingkungan eksternal, fisik, dan manusiawi Agar dapat bertahan, maka suatu kelompok manusia harus memiliki (menciptakan) teknologi yang memadai sesuai keadaan geografi, iklim, dan sebagainya untuk penyediaan pangan, sandang, dan papan yang mencukupi kebutuhan anggota kelompok tersebut. Kecuali itu, kelompok tersebut harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka panjang mereka. Hal ini memerlukan pola pertahanan diri yang mencakup perlindungan diri dari kelompok manusia lain dan lingkungan alam. 2. Adaptasi terhadap hakikat bio-sosial manusia Suatu kelompok (masyarakat) juga tidak mungkin bertahan apabila ia tidak berhasil memenuhi kebutuhan pribadi para anggotanya dalam aspek bio-sosial (kebutuhan biologis yang hanya dapat diperoleh melalui relasi dengan individu lain). Para ahli ilmu sosial belum berhasil menyusun daftar kebutuhan tersebut, namun sudah ada kesepakatan yang relatif mengenai macam kebutuhan pribadi yang dimaksudkan.
15
16
Y. Y. F. R. Sunarjan, Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014), 111-112. Sri Suwartiningsih, Absennya Negara Dan Survival Strategy Komunitas Terabaikan: Studi Pemulung di TPA Sampah Jatibarang Semarang (Salatiga: Penerbit Widya Sari, 2010), 74.
6
Kebutuhan-kebutuhan tersebut mencakup: ekspresi seksual, olah raga, dan rekreasi untuk melepaskan ketegangan, dan ekspresi emosional yang dikenali dengan kesenian. 3. Adaptasi terhadap kondisi kehidupan kolektif Dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan bio-sosial dapat dikatakan merupakan penyebab keinginan individu manusia untuk hidup berkelompok. Tetapi setelah dia hidup bersama dengan sesamanya, dia menghadapi masalah-masalah yang berada di luar masalah pribadinya. Agar dia bisa tetap bertahan dalam kehidupan bersama dengan sesamanya itu, maka dia (sampai tahap tertentu) harus mengkoordinasikan dan mengintegrasikan perilakunya untuk menghindarkan terjadinya kekacauan dan kebingungan. Kemauan dan kemampuan mengkoordiansikan dan mengintegrasikan perilaku inilah yang dimaksud dengan adaptasi terhadap kondisi kehidupan kolektif.17 Ada dua model untuk bertahan hidup, yaitu: a.
Model
kebertahanan
hidup
(survival)
yang
dicirikan
dengan
adanya
kecenderungan adanya usaha untuk suatu jaminan, kepercayaan diri pada seseorang terhadap kebenaran tertinggi atau takdir ketika ada pada posisi sulit. b.
Model emansipasi yang memiliki ciri adanya kecenderungan untuk memperbaiki
posisi seseorang, dan adanya keinginan mengubah posisi orang lain serta adanya kerjasama untuk saling mendukung. Dengan kata lain bahwa strategi survival dapat dilihat dari sisi internal dan eksternal. Dari sisi internal, strategi survival seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan dipengaruhi oleh perilaku yang dimiliki oleh seseorang, seperti semangat (daya juang), keyakinan kepada Tuhan, keberanian menghadapi resiko, inisiatif, dan memiliki pandangan ke depan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dari sisi eksternal, strategi survival dipengaruhi oleh solidaritas sosial tempat seseorang bertempat tinggal, seperti semangat untuk saling membantu.18 Talcott Parson memberikan sumbangan AGIL di dalam sistem masyarakat supaya masyarakat dapat melestarikan dan mempertahankan kehidupannya dalam menghadapi
17
18
Y. Y. F. R. Sunarjan, Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014), 113-114. Y. Y. F. R. Sunarjan, Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014), 119.
7
perubahan-perubahan yang terjadi. Di dalam teori sistem tindakan-nya, suatu sistem harus melaksanakan empat fungsi: 1. Adaptasi (Adaptation): suatu sistem harus mengatasi kebutuhan mendesak yang bersifat situasional eksternal. Sistem itu harus beradaptasi dengan lingkungannya dan mengadaptasikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. 2. Pencapaian tujuan (Goal attainment): suatu sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3. Integrasi (Integration): suatu sistem harus mengatur antar-hubungan bagian-bagian dari komponennya. Ia juga harus mengelola hubungan di antara tiga imperatif fungsional lainnya (A, G, L). 4. Latensi (Latency): suatu sistem harus menyediakan, memelihara, dan memperbarui baik motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan menopang motivasi itu.19
2.2 Model-Model Gereja 2.2.1 Model-Model Gereja Definisi gereja secara luas adalah persekutuan umat Allah yang dipanggil keluar dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang Allah yang ajaib. Definisi ini sangat umum, sehingga ada banyak ahli yang mencoba mendefinisikan gereja sesuai dengan konteks zaman yang terus berkembang. Gereja juga tidak hanya terpaku pada satu model saja, oleh karenanya Avery Dulles, S. J. memberikan beberapa model-model gereja. Model-model tersebut diantaranya: 1. Gereja sebagai institusi Gereja Kristus tidak dapat melaksanakan misinya apabila gereja tidak memiliki pejabatpejabat yang bertanggungjawab dan prosedur-prosedur yang sah.20 Eklesiologi gereja Katolik Roma menekankan bahwa gereja memiliki suatu konstitusi, seperangkat hukum, badan kepemimpinan, dan sekelompok warga yang menerima konstitusi dan undang-undang itu sebagai kewajiban mereka. Ciri dari model gereja institusional ini adalah konsep tentang kekuasaan atau otoritas yang hierarkis. Gereja bertujuan memberikan kehidupan kekal bagi para anggota yang 19
Geoge Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 409-410.
20
Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 33.
8
mendapat pelayanannya. Sikap yang dituntut dari orang beriman adalah patuh dan setia serta mempercayakan diri kepada pejabat-pejabat gereja.21 2. Gereja sebagai persekutuan mistis Di dalam sosiologi modern dikenal istilah Gesellschaft, yang berarti relasi sosial yang bersifat formal dan institusional, dan Gemeinschaft, yang berarti relasi sosial yang bersifat informal dan cair. Konsep tentang gereja sebagai suatu persekutuan sesuai dengan gambaran biblis gereja, yaitu sebagai Tubuh Kristus dan Umat Allah. Ide tentang gereja sebagai Tubuh Kristus dijumpai dalam tulisan Paulus di mana pokok utamanya adalah persatuan timbal-balik, saling pengertian, dan saling merasa bergantung satu terhadap yang lain sebagai anggota persekutuan.22 Gereja dilihat sebagai suatu persekutuan dari pribadi-pribadi yang bebas. Hakekat gereja sebagai Tubuh Mistis adalah bahwa gereja bersifat spiritual dan adikodrati. Tujuan gereja adalah memimpin orang-orang kepada persatuan dengan Allah.23 3. Gereja sebagai sakramen Menurut Henri de Lubac, unsur ilahi dan unsur manusiawi di dalam gereja tidak pernah dapat dipisahkan. Model gereja sebagai sakramen mengadopsi pemakaian antropologi teologis dan filosofis. Kristus adalah sakramen dari Allah, yang berarti kita memandang Kristus datang dari atas tanpa merendahkan Kristologi dari bawah. Rahmat Allah mendorong manusia kepada persekutuan manusia dengan Allah, dan selama rahmat itu mempengaruhi manusia, mereka dibantu untuk mengungkapkan situasi keberadaan mereka seturut tingkat yang sudah dicapai mereka dalam proses penyelamatan.24 4. Gereja sebagai pewarta Model gereja ini mengutamakan Sabda. Gereja dikumpulkan dan dibentuk oleh Sabda Allah. Misi gereja adalah mewartakan apa yang sudah didengarnya, diimaninya, dan yang sudah diserahkan kepadanya untuk diwartakan. Model ini bersifat kerigmatis, yang berarti gereja sebagai pewarta yang menerima kabar Suci dan mempunyai tugas untuk mewartakannya, di mana Kristus dan Kitab Suci sebagai saksi utama tentang Kristus.25 Eklesiologi ini
21 22 23 24 25
Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 39. Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 48. Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 42. Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 64. Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 73.
9
membangkitkan keinginan yang kuat untuk mewartakan Injil kepada mereka yang belum mengenalnya. Mewartakan Injil selalu dikaitkan dengan keselamatan, sebab ia mengundang manusia untuk mengimani Yesus Kristus sebagai penyelamat.26 5. Gereja sebagai hamba Sejak zaman Pencerahan, dunia menjadi semakin aktif dan bebas dari gereja. Berbagai ilmu pengetahuan dan disiplin ilmiah telah membebaskan dirinya satu demi satu dari kontrol gereja dan umumnya memperoleh keuntungan dari kebebasan itu. Seni dan ilmu pengetahuan, industri dan pemerintahan terus mengembangkan bentuk-bentuknya seturut jalan pikiran dan kebutuhan mereka sendiri. Gereja menasihati dunia, tetapi umumnya dunia tidak memperdulikan teguran itu dan semakin terus menciptakan teknik dan metodenya sendiri tanpa mengaharpkan bantuan dari otoritas gereja.27 Metode teologis yang dikembangkan adalah bersifat sekular dan diagonal. Bersifat sekular karena gereja sudah seharusnya mengambil dunia sebagai tempat berteologi dan berusaha memperhatikan tanda-tanda zaman, dan bersifat diagonal karena gereja bermaksud untuk lebih bekerja pada batas antara dunia kontemporer dan tradisi Kristen. Gambaran yang selaras dengan sikap ini adalah gereja sebagai hamba. Dalam Surat Pastoral yang ditujukan kepada The Servant Church ditegaskan bahwa Yesus selalu beserta umat manusia dalam kekurangan dan kesusahannya. Dia melayani. Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Tubuh Kristus, Hamba yang menderita dan karena itu ia harus menjadi gereja yang melayani . masing-masing orang Kristen dipanggil menjadi manusia bagi sesamanya.28 6. Gereja sebagai persekutuan murid Dasar-dasar dari model gereja sebagai persekutuan murid-murid dapat ditelusuri dalam Perjanjian Baru dan dalam pelayanan Yesus selama hidup-Nya di dunia. Sebagai “masyarakat yang lain dari lain”, dengan peraturan-peraturan dan cara hidup tersendiri, muncul dalam diri Yesus dalam pelayanan-Nya di depan umum. Rencana-Nya yang semula, rupanya menobatkan seluruh bangsa Israel, dengan mengajak mereka untuk berbalik dari dosa dan menyambut kedatangan Kerajaan Allah tidak berhasil. Karena itu Yesus menyusun rencana untuk memilih beberapa orang dari para pengikut-Nya dan membimbing mereka di bawah pengawasan-Nya
26 27 28
Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 79. Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 84. Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 49.
10
sendiri. Diharapkan mereka mengerti maksud pewartaan Yesus yang sesungguhnya. 29 Bersama Yesus, murid-murid membentuk satu masyarakat yang lain dari lain, yang secara simbolis menghadirkan Israel Baru dan yang dibarui. Ia mempunyai misi untuk mengingatkan sisa umat akan nilai transenden Kerajaan Allah, yang tentangnya para murid memberikan kesaksian. Karena itu penting bagi mereka untuk menjalani pola hidup yang tidak menimbulkan kesan bertentangan dengan iman pribadi yang kokoh akan penyelenggaraan Allah dan kesetiaan-Nya terhadap janji-janji-Nya.30 Gereja sebagai persekutuan murid memerlukan pelbagai macam karunia dan panggilan. Namun semua murid diharapkan untuk menyangkal diri, melayani dengan rendah hati, lemah lembut terhadap mereka yang berkekurangan dan sabar dalam kemalangan. Gereja harus meneruskan bentuk misi yang diberikan Yesus kepada pengikutpengikut-Nya, harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan zaman.31
2.2.2
Model Kehadiran Gereja di Indonesia
Gereja telah berjumpa dengan agama-agama lain, kebudayaan-kebudayaan, dan sosial kemasyarakatan yang ada di sekitarnya. Secara khusus, gereja berjumpa dengan agama Islam di Indonesia. Kehadiran agama Kristen di Indonesia membawa “stigma sosial” sebagai agama kolonial dalam hubungannya dengan agama Islam Indonesia, yang kemudian menjadi stereotip sosial bagi sebagian kalangan umat Islam Indonesia bahwa Kekristenan Protestan Indonesia, memiliki “identitas kolonial”.32 Julianus Mojau yang telah menganalisa dan merangkum pemikiran-pemikiran para teolog di Indonesia, memberika tiga model kehadiran gereja di Indonesia. Pembagian ini berdasarkan ciri khas respons teologis yang berbeda di kalangan umat Kristen yang sedang bergumul dengan identitas “Kristen post-kolonial.” Ketiga model tersebut adalah: 1. Model Modernisme atau pembangunan ideologis Model ini menjelaskan bagaimana respons teologis umat Kristen dirumuskan melalui partisipasinya di dalam pembangunan ideologis yang dilancarkan oleh rezim Orde Baru. Pada model ini konteks yang sedang dihadapi oleh orang Kristen adalah pembangunan di masa Orde 29 30 31 32
Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 188. Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 189. Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 53-54. Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 1.
11
Baru. Indonesia yang sedang membangun baik itu dari segi politik, sosial, budaya, dan yang sangat nyata adalah dalam hal pembangunan ekonomi. Para teolog yang setuju akan hal ini melihat bahwa pembangunan bangsa adalah salah satu jalan untuk menyatakan kehadiran Kerajaan Allah.33 Gereja menerima Pancasila sebagai ideologi karena dianggap sebagai jaminan rasa kebangsaan, baik dalam arti politis maupun arti sturktural. Pancasila dinilai sebagai langkah strategi kontra-produktif dalam meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Penerimaan Pancasila mencerminkan makin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis dengan umat Kristen di mana umat Kristen selalu berhadap-hadapan dengan umat Islam sebagai musuh secara ideologis.34 Gereja-gereja di Indonesia mendukung sepenuhnya rencana-rencana pembangunan di masa Orde Baru dan berpartisipasi di dalamnya. Gereja menganggap bahwa kehadiran Kerajaan Allah dimulai dengan pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan, penderitaan, dan ketidakadilan. Model modernisasi ini juga harus dipahami dalam kondisi psikologis para teolog tentang bahaya Islam Politik dan Komunisme. 2. Model Teologi Sosial Liberatif Model teologi sosial ini ingin mencari model hidup menggereja alternatif yang memungkinkan makin intensifnya komunikasi dengan mereka yang miskin dan lemah di dalam masyarakat Indonesia sebagai korban kebijakan pembangunan ideologis rezim Orde Baru, baik secara ekonomis maupun politis. Model ini memiliki keyakinan teologis yang kuat bahwa gereja sebagai komunitas iman para murid Yesus Kristus tidak bisa lain kecuali secara sungguhsungguh mencerminkan visi dan misi kemanusiaan Yesus Kristus, yaitu memberlakukan Injil Kerajaan Allah sebagai kuasa yang membebaskan (liberatif) dan memberdayakan (empowering) mereka yang miskin dan lemah di dalam masyarakat Indonesia.35 Para teolog model ini36 menyatakan bahwa gereja adalah saksi kedatangan Kerajaan Allah. Hubungan dengan agama Islam dalam model ini kurang mendapat perhatian yang khusus, teologi sosial liberatif dapat dipandang sebagai kemungkinan yang cukup prospektif dalam meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Masalah pokok yang harus dihadapi ialah stereotip sebagian 33 34
35
36
Diantaranya adalah O. Notohamidjojo, T. B. Simatupang, P. D. Latuihamallo, S. A. E. Nababan, dan Eka Darmaputera. Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 128. Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) ,143. Diantaranya adalah J. L. Ch. Abineno, Josef Widyatmadja, F. Ukur, E. G. Singgih, A. A. Yewangoe, H. M. Katoppo.
12
kalangan umat Islam (khusus Islam Politik) bahwa berbagai bentuk pelayanan sosial Kristen sering kali dipandang sebagai alat Kristenisasi. Akan tetapi, penekanan Abineno pada diakonia sosial-politik, Widyatmadja bahwa pelayanan sosial gereja sebagai pelayanan pemberdayaan, yang ditopang oleh solidaritas liberatif kehambaan yang ditekankan Singgih, dan semangat kekeluargaan yang ditekankan oleh Ukur, kiranya menumbuhkan kesadaran baru yang dapat mengatasi kepicikan sebagian kalangan umat Kristen yang masih sering kali mengartikan misi Kristen sebagai kristenisasi, dan kecurigaan yang fobia di kalangan Islam Politik yang selalu menganggap pelayanan sosial Kristen sebagai alat kristenisasi.37 Teologi sosial liberatif sangat mencerminkan pergumulan nyata masyarakat Indonesia dan memberi pencitraan sosial umat Kristen Indonesia sebagai komunitas iman para murid Yesus bersama masyarakat Indonesia melawan rezim yang merendahkan citra manusia sebagai gambar dan rupa Allah (imago Dei). 3. Model Teologi Sosial Pluralis Model teologi sosial ini berusaha mengembangkan kesadaran teologi sosial yang ingin mendorong hidup menggereja komunitas iman para murid Yesus Kristus menjadi komunitas iman yang lebih terbuka kepada komunitas iman lain, khususnya dengan umat Islam. 38 Teologi sosial pluralis adalah sebuah usaha teologis yang ingin merespons realitas masyarakat dan bangsa Indonesia yang plural. Citra diri gereja yang dominan di kalangan umat Kristen Indonesia adalah citra diri sebagai terang bangsa-bangsa. Pencitraan inilah yang mendorong lahirnya sikap teologi yang triumfalis, eksklusif, dan agresif di kalangan umat Kristen. Menurut Zakaria J. Ngelow, hal ini dikarenakan alasan umat Kristen yang merasa diri sebagai minoritas penuh kecemasan yang dibayang-bayangi oleh pihak Islam, masih kuatnya budaya harmoni dan struktur sosial yang paternalistis, dan warisan teologi yang piestis.39 Ioanes Rakhmat menyebut agama Kristen dan Islam sebagai agama kasih karunia karena keduanya menekankan keterbatasan manusia dan hanya bersandar pada kemurahan Allah (yang dibahasakan sebagai kasih karunia Allah).40 Identitas post-kolonial umat Kristen dapat dimengerti oleh pihak Islam Politik apabila 37
38
39
40
Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 278. Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 380. Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 340. Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 340.
13
ada dialog di antara umat Kristen dan umat Islam. Titik temu kedua agama ini adalah pada dua tokoh yaitu Yesus dan Muhammad, di mana keduanya berorientasi pada kemanusiaan, mempunyai visi dan misi liberatif. Gereja harus menjadi komunitas iman yang terbuka bagi komunitas-komunitas iman lain. Keterbukaan itu nyata dalam sikap saling menghargai “keberlainan” sesuai dengan tradisi iman mereka dalam semangat dialogis yang memajukan kemanusiaan, membawa semangat rekonsiliatif dan liberatif. Di dalam teologi sosial pluralis ini, salah satu tokohnya Zakharia J. Ngelow, ada dua model kehadiran gereja di Indonesia. Kedua model tersebut antara lain: 1. Model Konfrontatif Menurut Ngelow, karena kepentingan dagang bangsa Portugis dan VOC, umat Kristen di Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda mengalami domestifikasi dalam ghetto perkampungan Kristen sehingga membuat agama Kristen mengalami keterasingan dari lingkungan sosialnya.41 Orang-orang Kristen pribumi bukan lagi memahami dirinya sebagai bagian dari lingkungan masyarakat aslinya melainkan hidup dalam peniruan gaya hidup budaya asing, dalam hal ini budaya bangsa Barat. Ngelow membandingkan organisasi-organisasi keagamaan Islam Indonesia dengan organisasi-organisasi keagamaan Kristen yang tampaknya enggan menjadi sebuah gerakan sosial-politik yang anti-pemerintah kolonial. Dengan keadaan seperti itulah maka tidak heran apabila agama Kristen sering kali mendapat stigma sosial sebagai agama penjajah.42 Diperlukan kesadaran ekumenis untuk membongkar sifat-sifat eksklusif tersebut dan untuk membangun dialog dengan umat Islam. Gereja sebagai nabi yang mewartakan pesan-pesan Allah seharusnya dapat berkonfrontasi dengan penguasa yang lalim bukan malah diam dalam status aman dan nyamannya. 2. Pelayanan Sosial Tanpa Label Kristiani Ngelow menekankan betapa pentingnya pelayanan sosial yang dilakukan agamaagama di Indonesia secara bersama untuk membebaskan rakyat miskin dan kecil dari 41
Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 334.
42
Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 335.
14
penderitaan yang melilit mereka. Yang diperlukan di Indonesia dewasa ini bukanlah jenis kekristenan yang mengutamakan keberagamaan ritual-individual, melainkan yang menekankan etika sosial, kontekstual, dan yang terbuka terhadap hubungan dialogis dengan agama-agama lain. Ngelow menentang keras Gerakan Kharismatik, yang dalam penilaiannya merupakan gerakan fundamentalisme Kristen yang asosial dan eksklusif. Ngelow mengusulkan agar setiap bentuk pelayanan sosial kristiani, baik itu yang dilaksanakan oleh gereja-gereja di Indonesia sebagai lembaga formal maupun perorangan berdasarkan semangat altruistif-diakonis, dilakukan tanpa perlu ada label kristiani.43 Ada banyak bentuk pelayanan sosial yang dapat gereja lakukan untuk membebaskan rakyat miskin dan kecil, misalnya dalam hal kesehatan, pendidikan, pertanian, perdagangan, dan lain sebagainya. Usaha tersebut dilakukan bukan semata-mata untuk “menobatkan” seseorang menjadi anggota gereja, tetapi dilakukan dengan semangat melayani dan membebaskan. Edmund Woga menambahkan secara integral gereja harus menjadi manusia baru, secara inkulturatif ia menjadi tetangga, dan secara dialogis menjadi kawan seperjalanan. A. Menjadi Manusia Baru Misi adalah ajakan kepada manusia untuk berziarah menuju kepada Allah, Sang Pencipta, yang merupakan tujuan seluruh ciptaan. Karya misi sebagai partisipasi pada karya penyelamatan Allah bertugas untuk mengusahakan agar benih-benih keselamatan dalam setiap ciptaan diperkembangkan dan diarahkan secara utuh kepada kesempurnaan akhir zaman. B. Menjadi Tetangga Hidup menggereja yang institusional-sentralistis adalah masa lampau yang membuat gereja menjadi asing terhadap dirinya dan dunia sekitarnya. Padahal gereja harus mewartakan karyanya dan berinkarnasi di dalam dunia. Menjadi tetangga bagi siapa saja yang hidup berdampingan dengan orang Kristen menghindari ketertutupan gereja terhadap dunianya. Gereja tidak hidup menyendiri, gereja harus sadar bahwa iman dan agama Kristen tumbuh dan berkembang dari tengah-tengah kehidupan manusia setempat.
43
Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 343.
15
C. Menjadi Kawan Seperjalanan Buah dari sikap optimistis terhadap rahmat Allah yang universal ialah kesadaran bahwa masa eskatologis tidak dijalani sendiri oleh gereja karena sejarah telah membuktikan bahwa agama-agama tetangga juga sedang menuju kesempurnaan Sang Pencipta. Gereja sadar bahwa karya keselamatan Allah bersifat universal sehingga penting di dalam karya misinya menyadari universalitas diri dan peranannya dalam karya penyelamatan Allah, tetap harus melihat kepentingan dirinya dalam karya penyelamatan Allah tidak terlepas dari peranan agama-agama lain, yang juga secara teologis mempunyai kepentingan yang legitim (dalam karya penyelamatan).44
3. GKP KLASIS WILAYAH PURWAKARTA 3.1 Demografi Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Purwakarta 3.1.1
Kabupaten Karawang
Kabupaten Karawang adalah salah satu kabupaten di Jawa Barat yang terkenal dengan hasil pertaniannya yaitu padi. Wilayah Karawang yang terletak di dataran rendah dan dialiri sungai Citarum membuat tanahnya subur dan cocok untuk persawahan. Hasil padi yang melimpah itulah yang membuat Karawang mendapat julukan “Lumbung Padi” di Jawa Barat. Masyarakat Karawang tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaan, dan didominasi oleh suku Sunda. Masyarakat yang tinggal di perkotaan sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, karyawan, dan pegawai swasta. Sedangkan masyarakat di daerah pedesaan bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Suku Sunda masih menjadi dominan di Karawang meskipun ada banyak pendatang yang berasal dari berbagai daerah dan budaya yang berbeda. Kemajemukan pun dilihat dari beragam agama yang dianut oleh masyarakat Karawang. Agama Islam masih menjadi agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Karawang. Berikut adalah tabel penduduk Kabupaten Karawang berdasarkan agama yang dianutnya: Tabel 1.1 Kabupaten Karawang No. 1. 2. 44
Agama Islam Kristen Protestan
Jumlah 2.088.849 22.940
Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 221-225.
16
3. Kristen Katholik 4.738 4. Hindu 459 5. Buddha 5.277 6. Konghucu 296 Data terakhir diambil dari Sensus Penduduk oleh BPS tahun 2010. 3.1.2 Kabupaten Purwakarta Kabupaten Purwakarta berada dekat dengan Kabupaten Karawang dan berbatasan langsung dengannya. Kabupaten ini terkenal dengan adanya salah satu bendungan terbesar di Indonesia, yaitu Bendungan Jatiluhur. Secara geografis, Kabupaten Purwakarta tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Karawang. Adanya bendungan Jatiluhur menambah potensi untuk bidang pariwisata karena dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata warga lokal dan warga yang berasal dari luar daerah. Mayoritas masyarakat Kabupaten Purwakarta terdiri dari suku Sunda dan pendatang dari luar daerah yang bekerja di Purwakarta. Terletak tidak jauh dari Kabupaten Bandung membuat adanya perbedaan antara orang Sunda yang ada di Purwakarta dengan orang Sunda di Kabupaten Karawang. Orang Sunda di Kabupaten Purwakarta berbahasa “lebih halus” dibandingkan dengan orang Sunda yang ada di Karawang. Dari segi keagamaan, agama Islam menjadi agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakatnya. Berikut adalah tabel yang menunjukkan agama yang dianut oleh masyarakat Purwakarta: Tabel 1.2 Kabupaten Purwakarta No. Agama Jumlah 1. Islam 841.552 2. Kristen Protestan 25.980 3. Kristen Katholik 1.518 4. Hindu 502 5. Buddha 519 6. Konghucu 79 Data terakhir diambil dari Sensus Penduduk oleh BPS tahun 2010. 3.1.3 Kabupaten Subang Kabupaten Subang juga berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta. Terletak di utara Pulau Jawa sehingga kabupaten ini dilalui oleh jalur Pantura (Pantai Utara Jawa). Dapat dikatakan bahwa kabupaten ini hanya menjadi tempat persinggahan sementara. Hasil pertanian yang dominan dari kabupaten ini adalah padi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lembaga penelitian padi yang berfungsi untuk meneliti kualitas padi sebelum ditanam dan dipanen. Karena berada di jalur Pantura maka masyarakat Kabupaten 17
Subang pun beraneka ragam pekerjaannya. Mulai dari pegawai negeri, pegawai swasta, petani, pedagang, hingga jasa tambal ban. Masyarakatnya sebagian besar adalah orang Sunda dan beragama Islam. Keadaan masyarakat menurut agama yang dianut dapat dilihat melalui tabel berikut: Tabel 1.3 Kabupaten Subang No. Agama Jumlah 1. Islam 1.455.229 2. Kristen Protestan 4.382 3. Kristen Katholik 1.237 4. Hindu 31 5. Buddha 326 6. Konghucu 45 Data terakhir diambil dari Sensus Penduduk oleh BPS tahun 2010.
3.2 Gereja Kristen Pasundan Klasis Wilayah Purwakarta Pada masa kolonialisme, orang-orang Sunda yang telah menerima berita Injil dari para zending tidak mempunyai kesempatan untuk berkumpul bersama. Sekalipun ada, itu hanya sebatas pada kebaktian dan diadakannya sakramen seperti Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus. Jemaat-jemaat hasil pekabaran Injil dari para zending ini akhirnya kemudian berkumpul dalam satu Rad Ageng di tahun 1934, dan mereka menyatakan diri sebagai Gereja Kristen Pasundan sebagai suatu sinode. Jadi GKP lahir bukan karena pertama-tama adanya sinode kemudian lahir jemaat-jemaat Kristen, melainkan dari jemaat-jemaat Kristen yang berkumpul kemudian membentuk dan mengikat diri mereka di dalam satu wadah kebersamaan yang bernama GKP. Klasis adalah bentuk kerjasama antar-jemaat GKP dalam satu wilayah yang berdekatan sehingga di dalam satu klasis terdapat beberapa jemaat dan pos kebaktian GKP. GKP Klasis Wilayah Purwakarta terdiri dari 7 jemaat dan 4 pos kebaktian, yaitu Jemaat Purwakarta, Jemaat Sadang, Jemaat Sukamandi, Jemaat Karawang, Jemaat Telukjambe, Jemaat Bojongsari, Jemaat Cikampek, Pos Kebaktian Pebayuran, Pos Kebaktian Kampung Teko, Pos Kebaktian Cilamaya, dan Pos Kebaktian Jatiluhur. Secara geografis, Klasis Purwakarta hadir di 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Subang.
18
3.3
Relasi dan Strategi Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta Yang Hadir Di Tengah Masyarakat Sunda. Di sini penulis akan menguraikan hasil wawancara dengan jemaat, majelis jemaat, serta
pendeta GKP yang ada di Klasis Wilayah Purwakarta. Penulis akan membagi jemaat-jemaat tersebut berdasarkan kaupaten dimana jemaat tersebut hadir. 3.3.1 Kabupaten Karawang Jemaat GKP yang ada di kabupaten ini antara lain Jemaat Karawang, Jemaat Telukjambe, Jemaat Cikampek, Pos Kebaktian Pebayuran, Pos Kebaktian Kampung Teko, dan Jemaat Bojongsari (jemaat ini terdapat di perbatasan antara Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi, letaknya sangat dekat dengan Kabupaten Karawang tetapi secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Bekasi). GKP Karawang salah satu GKP yang hadir di tengah daerah perkotaan, yang sebagian besar jemaatnya bekerja sebagai pegawai negeri dan karyawan. Kehadiran GKP Karawang pernah memicu ketegangan ketika ada salah seorang Muslim ingin menyatakan imannya menjadi pengikut Kristus. Pdt. Andris mengatakan, “dulu pernah ada seorang anak dari Muslim dan keluarganya semua Muslim, haji. Ketika dewasa memutuskan untuk katekisasi dan menikah dengan orang Kristen. Itu yang tidak direstui oleh orangtuanya. Orangtuanya kemudaian memanggil FPI Kabupaten Bekasi untuk melakukan intimidasi terhadap gereja”. Meskipun demikian, sampai saat ini relasi yang baik dengan masyarakat sekitar dijaga melalui program diakonia gereja untuk masyarakat sekitarnya seperti memberikan pengobatan gratis bekerjasama dengan rumah sakit milik GKP sendiri yang kebetulan berada di Karawang, ikut aktif dalam kegiatan donor darah yang diadakan oleh PMI, memberikan bingkisan kepada masyarakat pada waktu Lebaran, memberikan bantuan kepada korban banjir, dan memberikan bantuan kepada panti asuhan dan panti jompo. Meskipun berada di tengah kota besar yang sangat majemuk, GKP Karawang dapat mempertahankan dirinya dengan ikut terlibat bersama dengan masyarakat dan melakukan pelayanan-pelayanan bagi kebutuhan masyarakat. Namun program untuk masyarakat ini masih dirasa kurang oleh Majelis Jemaat sendiri, sehingga ke depannya akan menjadi pertimbangan dalam membuat suatu program kerja.45
45
Hasil wawancara dengan Pdt. Anna M. Sarniem dan Pdt. Andris Suhana, Kamis, 8 Januari 2015, Karawang
19
Selain jemaat mandiri, GKP Karawang juga mempunyai 2 pos kebaktian, yaitu Pebayuran dan Kampung Teko. Kedua pos kebaktian tersebut juga berada di perbatasan Kabupaten Karawang dengan Kabupaten Bekasi, namun secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bekasi. Relasi anggota jemaat Pebayuran dan Kampung Teko dengan lingkungan sekitarnnya terjadi cukup baik. Untuk Pos Kebaktian Kampung Teko sendiri anggota jemaatnya sebagian besar masih terikat erat dengan garis kekeluargaan. Sehingga relasi dengan masyarakat terjalin dengan baik karena adanya ikatan keluarga. Dikatakan oleh Pdt. Maria, “dengan pemimpin setempat masyarakat atau jemaat ada ikatan keluarga.” Belum pernah ada konflik berdasarkan agama. Bentuk strategi yang dibangun adalah ketika merayakan Natal, maka warga jemaat membuka pintu gereja lebar-lebar agar setiap orang dapat masuk dan melihat di dalamnya. Berbeda dengan Pos Kebaktian Pebayuran, dimana anggota jemaat di sini tinggal tidak jauh dari lingkungan pesantren. Pdt. Maria mengatakan, “ada perasaan lebih ke khawatir, cemas karena masyarakat di sekitar gereja mulai diwarnai kehadiran masyarakat yang ekstrim.”Hal tersebut berdampak pada pelayanan anggota jemaat kepada masyarakat dimana kegiatan yang jemaat lakukan takut di cap sebagai proses kristenisasi.46 GKP Jemaat Bojongsari berdiri di dekat Pasar Bojong, Kabupaten Bekasi. Pada awalnya jemaat ini merupakan pos kebaktian yang menginduk ke GKP Karawang. Jemaat Bojongsari sudah menjadi dewasa selama 19 tahun dan pertumbuhan jemaat yang terjadi kurang signifikan. Artinya adanya jemaat yang keluar atau berpindah hampir sebanding dengan jumlah jemaat yang masuk. Sebagian besar jemaat bekerja sebagai pedagang dan beretnikkan Tionghoa. Sebelum menjadi jemaat mandiri, sebagian besar anggota jemaat berlatar belakang kharismatik sehingga pemahaman wawasan ke-GKP-an masih kurang. Relasi masyarakat dengan umat agama lain dan suku lain terjadi cukup baik. Pernah terjadi ketegangan ketika jemaat sedang merenovasi gedung gereja. Menurut Pdt. Adholfina, “Ada sekelompok orang yang mengaku diri sebagai LSM dan merasa keberatan dengan pembangunan gedung gereja. Setelah dilakukan mediasi ternyata sekelompok orang tersebut berasal dari luar daerah Bojong dan meminta uang sebagai “pemulus” jalannya renovasi gedung gereja. Di sekitar gedung gereja sendiri terdapat gereja lainnya, namun yang dicatat memiliki izin oleh pemerintah daerah hanya ada 4 gereja saja. Kemudian hal lainnya yang dipersoalkan oleh waraga sekitar adalah kehadiran kelompok 46
Hasil wawancara dengan Pdt. Maria Aprina, Kamis, 8 Januari 2015, Karawang
20
Ahmadiyah yang meresahkan warga, secara khusus umat Islam.” Menjelang Natal 2014 kemarin, kembali muncul isu demo besar-besaran yang dilakukan warga Kabupaten Bekasi yang menolak dibangunnya gereja Katholik di Cikarang. Tetapi demo tersebut tidak dilakukan terhadap gereja-gereja di Kabupaten Bekasi, hanya di kantor pemerintahan daerah saja. GKP Bojongsari menjalin relasi dengan masyarakat melalui program pengobatan gratis. Awalnya dikhususkan hanya untuk warga di sekitar lingkungan saja namun warga yang ikut serta berasal dari banyak tempat tidak hanya di sekitar lingkungan gereja saja. Pdt. Adholfina mengatakan, “jemaat memberitahukan bahwa bantuan pengobatan tersebut murni untuk membantu warga tanpa ada niat untuk melakukan kristenisasi. Meskipun ada yang antipati terhadap kegiatan tersebut, tetapi banyak juga warga yang antusias mengikutinya.”47 GKP Telukjambe juga merupakan buah pelayanan dari jemaat Karawang. Jemaat Telukjambe di tempatkan di tengah komplek militer ditujukan untuk melayani tentara-tentara yang tinggal di sana. Seiring perkembangan jaman, bertambah juga jumlah anggota jemaatnya dan tidak terbatas pada tentara saja tetapi terbuka untuk siapa saja. Pertumbuhan yang terjadi dipengaruhi oleh banyaknya pendatang yang mencari pekerjaan di Karawang. Pdt. Winda mengatakan, “hubungan jemaat dengan masyarakat cukup baik meskipun pernah terjadi sedikit konflik, yaitu ketika akan mengadakan Kebaktian Rumah Tangga di kontrakan salah seorang anggota jemaat, pemilik kontrakan tersebut tidak memberikan ijin.”48 Bp. Priyo menambahkan, “kehadiran GKP di tengah masyarakat Sunda dan pendatang yang ada di Telukjambe dirasakan kurang. GKP kurang memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitarnya. Seharusnya GKP dapat mengadaptasikan dirinya dengan masyarakat.”49 Meskipun tantangan untuk mengabarkan Injil di tengah-tengah masyarakat yang sudah lebih dulu menganut Islam sangat kuat, GKP tidak boleh terfokus pada menobatkan jiwa-jiwa baru. Teologi yang harus dibangun adalah GKP harus menjadi bagian dari masyarakat dan turut serta dalam pergumulan masyarakat sekitarnya.50 Untuk dapat terus bertahan, GKP tidak harus menobatkan jiwa-jiwa baru. Bp. Sutanto menambahkan, “karena GKP adalah gereja wilayah dan bukan gereja suku sehingga terbuka
47 48 49 50
Hasil wawancara dengan Pdt. Adholfina Tamberongan, Jumat, 9 Januari 2015, Bojongsari Hasil wawancara dengan Pdt. Winda Yustanti, Kamis, 8 Januari 2015, Karawang Hasil wawancara dengan Bp. Priyo Sudibyo (M. J. Bid. Daya dan Dana), Kamis, 8 Januari 2015, Karawang Hasil wawancara dengan Pdt. Winda Yustanti, Kamis, 8 Januari 2015, Karawang
21
untuk sesama tanpa harus dari suku tertentu”.51
Dalam bidang diakonia, Bp. Robert
mengatakan, “ketika melakukan pelayanan kepada masyarakat GKP harus melihat situasi, ia harus berbaur dan tidak membeda-bedakan suku.”52 GKP Cikampek hadir di tengah keramaian masyarakat industri, dimana banyak terdapat pabrik dan mobilisasi penduduknya cukup tinggi. Kehadiran GKP Cikampek dirasakan oleh warga sekitar melalui pelayanan yang diberikan. Pdt. Yanto menceritakan, “pernah terjadi ketika suatu gereja tertentu memberikan bantuan tetapi bantuan itu kemudian dibuang begitu saja. Juga pernah terjadi ketika isu kristenisasi melaui sekolah yang ada di Cikampek, GKP Cikampek menjadi sasaran kemarahan warga meskipun tidak sampai dibakar.” GKP Cikampek harus sadar dimana dirinya berada dan konteks masyarakat seperti apa ia hadir. Bukan lagi berdialog tentang dogma mengenai siapa yang benar tetapi harus diberikan kesadaran bahwa gereja hadir untuk membantu masyarakat dan teribat aktif di dalam pergumulan masyarakat. GKP Cikampek yang sebagian besar jemaatnya adalah pegawai dan karyawan, sangat baik di dalam menjalin relasi. Kemungkinan karena tingginya mobilisasi jemaat sehingga ketika bertemu tidak membicarakan hal-hal yang tidak penting seperti berdebat tentang agama, sehingga komunikasi seringkali hanya sebatas kehidupan sehari-hari jemaat dan masyarakat. Begitu juga halnya dengan Pos Kebaktian Cilamaya, yang masih dibawah koordinasi GKP Cikampek. Perlu ditekankan bahwa gereja hadir bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk bersama-sama bergumul dengan masyarakat mengatasi masalah-masalah kehidupan. Jika demikian, gereja dan anggota jemaat tidak menjadi eksklusif dan menutup diri dengan masyarakat lainnya.53 3.3.2 Kabupaten Purwakarta Di Kabupaten Purwakarta terdapat dua jemaat dan satu pos kebaktian yaitu Jemaat Purwakarta dan Jemaat Sadang, serta Pos Kebaktian Jatiluhur. GKP Purwakarta hampir mirip dengan GKP Karawang terletak di tengah kota dan cukup strategis karena di jalan utama kota Purwakarta. Sebagian besar jemaatnya bekerja sebagai pegawai negeri dan swasta, dan masih ada jemaat yang bersuku Sunda di sini. Kehadiran GKP Purwakarta yang sudah cukup lama serta relasi dengan masyarakatnya pun cukup baik tetapi 51 52 53
Hasil wawancara dengan Bp. Sutanto (Jemaat), Kamis, 8 Januari 2015, Karawang Hasil wawancara dengan Bp. Robert Pua (M. J. Bid. Diakonia) Kamis, 8 Januari 2015, Karawang Hasil wawancara dengan Pdt. Heryanto Pakpahan, 11 Januari 2015, Cikampek
22
bukan tanpa tantangan. Ibu Isvandi mengatakan, “bermula dari berita tentang seorang anak perempuan yang kedapatan mencuri di salah satu toko milik warga etnis Tionghoa. Sang pemilik toko menghukum anak itu dengan disuruh untuk mencuci piring, kebetulan anak perempuan ini memakai kerudung. Ada warga yang melihatnya sehingga terjadi salah pengertian, berita yang disampaikan kepada orang-orang jadinya ada seorang anak perempuan disuruh mencuci piring menggunakan jilbab (kerudung). Padahal yang sebenarnya adalah anak perempuan yang memakai jilbab disuruh mencuci piring.” Karena kesalahpahaman inilah kemudian menyulut emosi warga lainnya sehingga terjadi kekacauan dan GKP Purwakarta terkena dampaknya. Beberapa tahun kemudian situasi sudah kembali normal dan kondusif. Pada saat ini GKP Purwakarta mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari segi kuantitas. Pertumbuhan jemaat bukan hanya terjadi perpindahan anggota jemaat tetapi juga adanya beberapa orang dari agama Islam yang ingin mengenal Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi. Pdt. Deru menambahkan, “cukup banyaknya jemaat yang berpindah dari Muslim justru membawa spirit bagi anggota jemaat yang akan masuk Kristen yang berasal dari Muslim”. Gereja harus siap menghadapi jika ada orang yang menjadi Kristen, dan di putus hubungan oleh keluarganya. Pelayanan tanpa membeda-bedakan suku, latar belakang pendidikan, dan pekerjaan inilah yang dilakukan anggota jemaat GKP Purwakarta. Misalnya ketika Lebaran, maka para pedagang akan diberi bingkisan lebaran, juga melalui pengobatan gratis.54 GKP Purwakarta memiliki satu pos kebaktian yaitu Pos Kebaktian Jatiluhur. Terletak di dekat bendungan Jatiluhur sehingga pelayanan yang dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar bendungan. Bp. Rasimin mengatakan, “pada awalnya gereja ini dibangun oleh insinyur dari Italia dan Prancis sebagai sarana ibadah mereka yang bekerja membangun bendungan.”55 Sampai saat ini pos kebaktian tersebut tetap bertahan walaupun anggota jemaat datang dan pergi. Program pelayanan yang dilakukan antara lain adalah memberikan bantuan beasiswa kepada siswa yang sedang bersekolah di sekolah yang tidak jauh berada di gedung gereja. Bantuan beasiswa ini tidak hanya untuk siswa-siswi yang Kristen tetapi untuk semua tanpa membeda-bedakan agama. Ibu Yenti dan Ibu Rini, mengatakan “mereka welcome kalau soal bantuan mah.”56 54 55 56
Hasil wawancara dengan Pdt. Deru Noron, Bp. Sahat, Ibu Isvandi, Bp. Anton, 24 Desember 2014, Purwakarta Hasil wawancara dengan Bp. Rasimin, 24 Desember 2014, Jatiluhur Hasil wawancara dengan Ibu Yenti dan Ibu Rini, 24 Desember 2014, Jatiluhur
23
GKP Sadang hadir berdekatan dengan komplek militer. Relasi dengan masyarakat sekitarnya pun sangat baik karena hal itu sudah dipelihara sejak lama. Pada tahun 1972 gereja menyumbang tikar untuk mesjid dan diterima dengan baik. Tahun 1973 anggota jemaat turut serta membangun sebuah madrasah dan masyarakat Islam pun tidak merasa alergi menerima bantuan dari orang Kristen. Gereja harus menjadi pionir dalam mewujudkan rasa kebersamaan dan membangun relasi yang baik, karena jika tidak demikian gereja tidak akan bertahan lama di satu wilayah yang sangat radikal. Gereja perlu melakukan karya nyata bukan sekedar disampaikan di mimbar saja. GKP Sadang contohnya, memberikan bantuan pengobatan mata gratis dan masyarakat sangat antusias.
57
Gereja perlu beradaptasi dengan lingkungannya dan
membangun dialog dengan masyarakat, menempatkan diri, serta melihat kondisi lingkungan sehingga gereja tidak hidup untuk dirinya saja.58 Berbeda cerita dengan anggota jemaat lain yang tinggal lebih jauh dari gereja dimana ia mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan. Awalnya ketika akan melakukan Kebaktian Rumah Tangga ada penolakan dari tetangga tetapi kemudian anggota jemaat memulainya dengan menyanyikan Kidung Kabungahan (kidung pujian rohani berbahasa Sunda) dan tetangga merasa heran apabila orang Kristen dapat menyesuaikan diri dengan adat Sunda. Ada juga penolakan dari seorang tokoh agama terhadap anggota jemaat yang berjualan makanan. Ibu Lina Heumasse mengalami sendiri dan mengisahkan, “dulu waktu ustdaznya masih yang lama kita tidak pernah ada masalah. Justru ketika ada seorang ustadzah datang dan mempengaruhi masyarakat. Memang ibu ustdaz itu dikenal fanatik. Tidak boleh mengucapkan selamat natal kepada orang Kristen. Juga waktu saya berjualan makanan malah ada isu kalau makanan saya ini haram”.59 3.3.3 Kabupaten Subang GKP Sukamandi adalah satu-satunya jemaat GKP yang ada di Kabupaten Subang. GKP Sukamandi sendiri sudah lama berdiri dewasa yang sebelumnya menginduk ke GKP Cikampek. Posisinya yang berada di samping jalur Pantura Subang ternyata tidak membawa pengaruh yang signifikan untuk pertumbuhan anggota jemaat secara kuantitas. Relasi dengan masyarakat pun cukup baik tetapi yang sering menjadi permasalahan adalah masyarakat yang berasal dari kecamatan lain (Kecamatan Ciasem). Karena masyarakat Ciasem sangat keras dalam 57 58 59
Hasil wawancara dengan Bp. Jhoni P, 9 Januari 2015, Sadang Hasil wawancara dengan Bp. Ari Welang, 9 Januari 2015, Sadang Hasil wawancara dengan Ibu Lina Heumasse, 9 Januari 2015, Sadang
24
berhubungan dengan agama Kristen. Pdt. Rosita mengatakan, “memori kelam yaitu ketika gedung gereja GKP Sukamandi hampir dibakar oleh kelompok-kelompok anti-toleran.” Saat ini anggota jemaat pun mencoba berelasi dengan masyarakat tetapi harus berhati-hati terutama dalam sikap hidup dan perbuatan sehari-hari. Relasi dengan pemerintah daerah yang terjalin cukup baik ternyata membawa pengaruh yang baik bagi keberadaan GKP Sukamandi hingga saat ini.60 3.4 Cara Bertahan Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta Menurut hasil penelitian, maka ada beberapa cara yang dipakai jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta untuk dapat bertahan (survive) dan berkembang, yaitu: a. Dalam rangka pembinaan iman maka melalui kebaktian-kebaktian yang ada jemaatjemaat di berikan pemahaman iman yang baik supaya tetap bertahan dengan imannya. Bukan hanya di kebaktian Minggu saja tetapi juga di kebaktian kategorial lainnya. b. Membangun relasi dengan pemerintah setempat. Dengan adanya hubungan yang baik dengan pemerintah, maka jemaat-jemaat dapat mengetahui permasalahan yang sedang terjadi di wilayahnya, sehingga jemaat dapat memberikan kontribusi aktif di dalamnya. c. Memakai budaya Sunda di dalam kegiatan-kegiatan khusus, seperti kebaktian penahbisan pendeta. Dengan demikian jemaat-jemaat diberikan pemahaman bahwa gereja tidak menutup diri terhadap budaya yang ada melainkan menyadari bahwa gereja hadir di budaya tersebut. d. Membuat kerjasama dengan umat agama lain, khususnya dengan umat agama Islam. Melalui JAKATARUB (Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama), GKP dapat membangun relasinya dengan agama-agama lain.
4. ANALISA KEHADIRAN GKP KLASIS WILAYAH PURWAKARTA DI TENGAH MASYARAKAT SUNDA Berdasarkan data yang telah disebutkan, maka penulis akan menganalisa strategi kehadiran GKP Klasis Wilayah Purwakarta di tengah masyarakat Sunda. Charles Darwin yang terkenal dengan teori evolusinya berpendapat bahwa setiap makhluk hidup akan berjuang untuk 60
Hasil wawancara dengan Pdt. Rosita J. Permana, Bp. R. Nainggolan, Bp. Sukamto, Ibu Lina, Ibu Yatini, 4 Sukamandi
Januari 2015,
25
tetap bertahan hidup dan meneruskan keturunannya, di mana setiap makhluk hidup yang tidak mampu maka akan punah dan tergerus oleh roda besi kehidupan. Pernyataan tersebut kemudian dimaknai apabila ingin bertahan maka makhluk hidup harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya dan berevolusi (berubah secara perlahan-lahan mengikuti proses adaptasi). GKP Klasis Wilayah Purwakarta telah mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang sebagian besar adalah orang Sunda dan beragama Islam. Menurut penulis, sebagai komunitas iman GKP mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya. Bukan untuk meniadakan melainkan bersama-sama dengan masyarakat menggumuli permasalahan sosial yang terjadi seperti kemiskinan, kesehatan masyarakat, dan lingkungan hidup. Teori survival strategy menyatakan bahwa suatu komunitas dapat bertahan karena adanya model emansipasi, yang memiliki ciri adanya kecenderungan untuk memperbaiki posisi seseorang, dan adanya keinginan mengubah posisi orang lain serta adanya kerjasama untuk saling mendukung.61 Dari temuan di lapangan, penulis melihat bahwa GKP Klasis Purwakarta berusaha memperbaiki posisi seseorang dengan bekerjasama untuk saling mendukung. Pelayanan kesehatan seperti pengobatan gratis menurut teori survival strategy iniharus dilihat sebagai usaha kerjasama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang ada di sekitarnya. Tidak terbatas pada pelayanan kesehatan, tetapi juga pelayanan diakonia lain yang bersifat transformatif. Usaha kerjasama untuk memperbaiki posisi seseorang membuat GKP Klasis Wilayah Purwakarta dapat bertahan. GKP juga dapat bertahan karena mengadaptasi kebudayaan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Misalnya ketika ibadah menggunakan lagu-lagu rohani berbahasa Sunda, memakai bahasa Sunda, bersikap sebagaimana orang Sunda hidup. Suku Sunda memang dikenal sulit untuk menerima berita Injil, tetapi sebenarnya mereka sangat ramah dan rasa kekeluargaan yang sangat kental dengan sesama orang Sunda. Falsafah hidup orang Sunda yaitu, bageur jeung batur sakasur, sadapur, sasumur, salembur, sagubernur62 (yang artinya baik dengan teman sekamar, sedapur, sesumur, sekampung, dan segubernur). GKP memahami filosofi yang inklusif
61
Y. Y. F. R. Sunarjan, Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014), 119.
62
Pdt. Supriatno dalam Sepenggal Waktu Serumpun Kesaksian (Kumpulan Khotbah) (Bandung: Sinode Gereja Kristen Pasundan, 2004), 97.
26
tersebut, yang membangun suasana bersahabat dengan keluarga, tetangga, dan lingkungan yang lebih luas tanpa dibatasi kesamaan suku atau agama. Melihat strategi bertahan GKP Klasis Wilayah Purwakarta ditinjau dari teori survival strategy tidak dapat dipahami terbatas pada pelayanan sosial seperti di bidang kesehatan saja. Survival strategy juga dipakai dalam mengantisipasi perubahan sosial yang terjadi. Perubahan jaman yang semakin pesat dan maju, mau tidak mau GKP Klasis Wilayah Purwakarta juga bersiap menghadapinya. Dari hasil pengamatan penulis, GKP Klasis Wilayah Purwakarta sudah siap. Ini dibuktikan dengan anggota jemaatnya yang majemuk dan tinggal di wilayah yang majemuk. Jemaat berbaur dengan masyarakat dan bergaul dengan mereka didukung oleh pesanpesan khotbah yang disampaikan. Hampir sebagian besar khotbah-khotbah berisi tentang bagaimana hidup berelasi dengan sesama di tengah kemajemukan dan kekuatan untuk memelihara iman. Avery Dulles S.J. yang memberikan model-model gereja yang ada. Terdapat enam model-model gereja dari seluruh dunia dengan seluruh perkembangannya. Keenam model gereja tersebut antara lain: gereja sebagai institusi, gereja sebagai persekutuan mistis, gereja sebagai sakramen, gereja sebagai pewarta, gereja sebagai hamba, dan gereja sebagai persekutuan murid. Jemaat-jemaat GKP Klasis wilayah Purwakarta memang tidak lepas dari salah satu model gereja yang ada, tetapi dari keenam model gereja tersebut, maka model gereja sebagai hamba dan model gereja sebagai persekutuan murid perlu dilihat sebagai acuan untuk menganalisa temuan lapangan. Gereja sebagai hamba mau mengatakan bahwa gereja sebagai pelayan bagi dunia yang semakin aktif dan bebas.63 Gereja harus meneladani sikap Yesus yang selalu beserta umat manusia di dalam kekurangan dan kesusahannya. Yesus mau melayani mereka yang menderita kekurangan dan hidup dalam kesusahan. Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Tubuh Kristus, Hamba yang menderita dan karena itu ia harus menjadi gereja yang melayani . masing-masing orang Kristen dipanggil menjadi manusia bagi sesamanya.64 Menurut penulis, jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta telah menjadi Tubuh Kristus dan menjadi Hamba yang menderita. Jemaat Bojongsari misalnya, tetap melayani umat Tuhan walaupun menghadapi tantangan yang cukup berat. Anggota jemaatnya yang terdiri dari suku minoritas, kemudian juga beragama minoritas tidak membuat semangat jemaat untuk 63 64
Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 84. Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 49.
27
melayani sesama kemudian memudar. Strategi yang diterapkan tidak selalu harus strategi yang besar dan sulit, tetapi dengan menjadi hamba yang melayani gereja juga dapat terus bertahan di tengah arus jaman. Pengaruh perkembangan zaman yang terus berubah tidak selamanya membawa dampak positif bagi masyarakat. Ada banyak masyarakat yang menjadi korban karena ketidakadilan, penindasan, dan kemiskinan yang diakibatkan oleh perubahan jaman. Gereja tidak boleh tinggal diam dalam status quo. Gereja harus bergerak dengan menjadi hamba yang turut menderita bersama-sama dengan mereka. Pelayanan yang gereja lakukan juga harus menyentuh masyarakat tanpa harus membeda-bedakannya sebagaimana karakter dari Yesus Kristus. Dengan demikian gereja akan dapat tetap bertahan di tengah perubahan jaman dan tidak ditinggalkan oleh umatnya. Gereja juga dapat bertahan di tengah masyarakat mayoritas. Bukan berarti gereja mengalah, melainkan memberi diri untuk melayani dan menjadi pionir untuk umat lainnya. Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta sendiri sudah mulai membuka diri dan melebur dengan masyarakat. Mereka hidup tidak eksklusif yang dibuktikan dengan diterimanya anggota jemaat di beberapa jabatan pemerintahan. Membangun relasi yang baik dengan sesama dan memeliharanya. Menurut hemat penulis, mempertahankan dan merawat apa yang sudah dibangun atau dicapai cukup sulit sehingga diperlukan kerendahan hati dan kemauan diri untuk melayani sesama demi menjaga relasi yang sudah terjalin dengan baik tersebut. Meskipun berbaur dengan masyarakat dan melayani masyarakat yang mayoritasnya beragama Islam, anggota jemaat tidak kehilangan jati dirinya sebagai pengikut Kristus. Masih menyambung pada model gereja menurut Dulles, jemaat-jemaat Klasis Wilayah Purwakarta juga merupakan gambaran dari model gereja sebagai persekutuan murid. Sebagai “masyarakat lain dari yang lain” dengan misi mengingatkan umat akan nilai transenden dari Kerajaan Allah dimana para murid memberikan kesaksian.65 Gereja sebagai persekutuan murid memerlukan berbagai macam karunia dan panggilan, tetapi semua murid diharapkan untuk menyangkal diri, melayani dengan rendah hati, lemah lembut terhadap mereka yang berkekurangan dan sabar dalam kesusahan. Gereja harus meneruskan bentuk misi yang diberikan Yesus kepada pengikut-pengikut-Nya, harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan jaman.66 Jika di jemaat Sukamandi, Purwakarta, Cikampek, dan Bojongsari pernah mengalami pertentangan dari masyarakat sekitar oleh karena kehadiran mereka sebagai gereja, maka perlu 65 66
Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 188. Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 53-54.
28
dilihat juga bagaimana murid-murid Yesus mengalami hal yang sama karena cara hidup mereka yang berbeda dengan masyarakat mayorits lainnya. Ada strategi yang dapat diterapkan yaitu tetap melayani dengan rendah hati dan menjalin komunikasi yang baik sebagaimana model ini menyatakan bahwa misi yang di berikan kepada gereja tetap harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan jaman. Saat ini mungkin gereja bertemu dengan permasalahan kemanusiaan seperti kemiskinan, penyakit, korupsi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, radikalisme agama. Gereja tidak boleh menutup mata karena gereja berhadapan langsung dengan semua itu. Misi gereja harus disesuaikan dengan kebutuhan dan pergumulan jaman. Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta mulai menyadari bahwa kehadiran mereka di tengah masyarakat untuk melayani mereka dan ikut ambil bagian dalam permasalahan yang terjadi. Sehingga misi gereja bukan lagi untuk menobatkan atau bahasa ekstrimnya mengkristenkan orang lain, tetapi bersama-sama dengan masyarakat melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di tengah lingkungannya. Julianus Mojau dalam memberikan macam-macam model kehadiran gereja di Indonesia. Dengan memperlihatkan pemikiran-pemikiran dari para teolog di Indonesia, Mojau akhirnya mengkategorikan ke dalam tiga bagian besar tentang kehadiran gereja di Indonesia. Salah satunya adalah model teologi sosial pluralis. Model teologi sosial pluralis adalah sebuah usaha teologis yang ingin merespons realitas masyarakat dan bangsa Indonesia yang plural. Salah satu tokohnya adalah Zakharia Ngelow di mana ia memberikan alasan mengapa model ini perlu dikembangkan di Indonesia karena orang Kristen di Indonesia masih merasa diri mereka sebagai kaum minoritas, penuh kekhawatiran di bayang-bayangi oleh agama Islam, serta kentalnya warisan teologi yang piestis dari bangsa Barat. Karena alasan tersebut maka Ngelow memberikan lagi model, salah satunya adalah model pelayanan sosial tanpa label kristiani. Menurut Ngelow yang diperlukan oleh kekristenan dewasa ini bukanlah jenis kekristenan yang mengutamakan keberagamaan ritual-individual, melainkan yang menekankan etika sosial, kontekstual, dan yang terbuka terhadap hubungan dialogis dengan agama-agama lain. Ia juga mengkritik keras Gerakan Kharismatik yang sangat fundamental dan eksklusif.67 Ngelow ingin
67
Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 343.
29
setiap pelayanan yang dilakukan baik oleh gereja, lembaga, maupun perorangan tidak lagi membawa label kristiani. Hal itu dilakukan dengan semangat melayani dan membebaskan. Di Cikampek, ada peristiwa di mana warga masyarakat yang menerima bantuan dari gereja tetapi kemudian bantuan tersebut dibuang begitu saja. Ini menunjukkan bahwa gereja harus melakukan pelayanan kepada sesama dengan memperhatikan situasi dan gereja juga harus berefleksi diri. Apakah bantuan yang diberikan murni untuk melayani dan membebaskan atau untuk menobatkan seseorang demi pertambahan jumlah jemaat? Menurut penulis, kasus yang terjadi di Cikampek menjadi pelajaran bagi gereja-geraja yang lain dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta juga melakukan pelayanan kepada masyarakat seperti pengobatan gratis, bantuan beasiswa, dan lain sebagainya. Akan tetapi, pelayanan tersebut masih dilakukan dengan membawa label kristiani.68 Seperti misalnya masih membawa nama Kristen dibalik pelayanan yang dilakukan namun dengan penjelasan bahwa tujuan dari pelayanan tersebut murni untuk membantu bukan untuk menobatkan orang supaya masuk Kristen. Berdasarkan pemahaman dan hasil penelitian di lapangan, menurut penulis, jemaatjemaat di Klasis Purwakarta sudah tepat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan tidak membeda-bedakannya. Pelayanan dan bantuan yang diberikan pun diterima dengan baik meskipun masih diberi label kekristenan. Kekristenan yang mau diperkenalkan oleh GKP adalah kekristenan yang mau melayani tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada penolakan, tetapi GKP dapat tetap hadir dan bertahan di tengah masyarakat Sunda. GKP tidak menjadi kurung batokeun yang eksklusif dan menutup dirinya melainkan membuka diri bagi sesama.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil wawancara dan analisa dengan teori-teori yang ada, maka ada beberapa faktorfaktor dominan yang menyebabkan GKP dapat bertahan di tengah-tengah masyarakat Sunda, yaitu:
68
Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 343.
30
-GKP adalah gereja wilayah dan bukan gereja suku sehingga dimanapun GKP hadir dan dimana ada orang yang mau beribadah kepada Tuhan tanpa memandang dari suku apapun, di sana GKP dapat terus bertahan. Di mana ada filosofi orang Sunda yaitu, bageur jeung batur sakasur, sadapur, sasumur, salembur, sagubernur (yang artinya baik dengan teman sekamar, sedapur, sesumur, sekampung, dan segubernur). -Jemaat-jemaat GKP tinggal di tengah-tengah masyarakat yang majemuk tapi bukan berarti mereka harus menutup diri. Jemaat bergaul dengan lingkungannya sekalipun di tengah masyarakat Sunda yang menganut agama Islam. Jemaat melebur tetapi tidak larut, karena jemaat mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Peran pendeta sebagai pembina umat tidak dapat dilepaskan karena pesan-pesan khotbah yang disampaikan tidak hanya tentang membangun relasi dengan Tuhan, tetapi juga berisi tentang bagaimana berelasi dengan sesama. -Pelayanan yang dilakukan oleh gereja tidak terbatas pada orang dari suku atau agama tertentu. Meski demikian tujuan dari pelayanan tersebut bertujuan untuk mengenalkan kekristenan atau dalam bahasa lain mengkristenkan orang, tetapi sebagai bentuk tugas panggilan gereja untuk bersama-sama begumul dengan permasalahan yang terjadi di sekelilingnya.
5.2 Saran - Bagi gereja : Gereja dituntut untuk terus merawat relasi dan mengembangkan strategi lain untuk dapat terus bertahan. Oleh karena itu, para pendeta pembina iman umat juga harus mengingatkan dan menyadarkan umatnya akan pentingnya menjaga relasi yang baik dengan sesama. Tema Pekan Keluarga tahun 2014 yaitu “Merawat Kemajemukan, Menabur Persaudaraan” menjadi contoh konkret yang harus terus dikembangkan ke depannya. Tidak hanya sebatas pada pekan keluarga tetapi juga perlu adanya pekan-pekan khusus untuk menyadarkan kembali anggota jemaat tentang tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang Kristen. Juga diadakan program kebersamaan yang menjadi bukti nyata membangun relasi dengan masyarakat
sekitar, terlepas
dari
program
rutin
seperti
pengobatan
gratis.
Mengembangkan kearifan lokal sehingga tidak menjadi asing di tanah sendiri.
- Bagi warga jemaat : Di mana anggota jemaat berada, perlu memupuk rasa persaudaraan dengan siapa pun tanpa membeda-bedakan suku dan agama. Belajar untuk berefleksi diri dan 31
beradaptasi dengan lingkungan, berbaur namun tidak larut di dalamnya. Mengembangkan sikap hidup yang toleran dan melayani sesama dengan dasar kasih. Semangat piestis dalam memberitakan Injil memang perlu, tapi harus disadari tempat, lingkungan, dan situasi yang ada. Menanamkan pemahaman bahwa penginjilan bukan dilakukan untuk mengkristenkan atau menobatkan seseorang, melainkan untuk membebaskan seseorang dari beban yang mengikatnya.
32
DAFTAR PUSTAKA Abineno, J. L. Ch. Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Aritonang, Pdt. Dr. Jan. S. Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008. Atje, Koernia Soejana. Benih Yang Tumbuh 2. Jakarta: Badan Pekerja Sinode GKP, 1974. Badan Binalitbang GKP. Profil Gereja Kristen Pasundan. Bandung: Majelis Sinode GKP, 2007. Daulay, Richard M. Kristenisasi Dan Islamisasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 20014. Dulles, Avery SJ. Model-Model Gereja. Ende: Penerbit Nusa Indah, 1990. Kasali, Rhenald. Re-Code Your Change DNA. Jakarta: PT Gramedia, 2007. Kisawara, C. SJ. Gereja Memasyarakat Belajar Dari Kisah Para Rasul. Yogyakarta: Kanisius, 1987. Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia, 1981. Mojau, Julianus. Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Nuban Timo, Pdt. Dr. Ebenhaezer. Gereja Lintas Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013. ____________________________. Umat Allah Di Tapal Batas. Kupang: Dicetak oleh Alfa Design, 2010. Parsons, Talcott. The Social System. New York: The Free Press, 1951. Ritzer, George. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
33
Setyawan, Yusak B. Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiologi Fakultas Teologi UKSW. 2013 Singgih, Emmanuel Gerrit. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. _____________________. Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Sunarjan, Y. Y. F. R. Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014. Supriatno, Pdt., Dani, Onesimus Pdt., Daryatno, Pdt., Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja Bagi Sesama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Supriatno, Pdt. (ed.) Sepenggal Waktu Serumpun Kesaksian (Kumpulan Khotbah). Bandung: Sinode Gereja Kristen Pasundan, 2004. Suwartiningsih, Sri. Absennya Negara Dan Survival Strategy Komunitas Terabaikan (Studi Pemulung di TPA Sampah Jatibarang Semarang). Salatiga: Widya Sari, 2010. van den End, Dr. Th. Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. van den End, Dr. Th. Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Di Jawa Barat 18581963. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. van Kooij, Pdt. Dr. Rijnardus A., Pdt. Sri Agus Patnaningsih, M.Th., Yam’ah Tsalatsa A,. SIP. Menguak Fakta Menata Karya Nyata. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. Woga, Edmund. Dasar-Dasar Misiologi. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Wolterbeek, J. D. Babad Zending Di Pulau Jawa. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995. NARASUMBER Wawancara dengan Bp. Rasimin, Kamis, 24 Desember 2014 pukul 10:45 WIB di Pos Keb. Jatiluhur. Wawancara dengan Ibu Yenti dan Ibu Rini, Kamis, 24 Desember 2014 pukul 11:15 WIB di Pos Keb. Jatiluhur. Wawancara dengan Bp. Anton, Kamis, 24 Desember 2014 pukul 18:40 WIB di GKP Purwakarta. 34
Wawancara dengan Bp. Sahat dan Ibu Isvandi, Kamis, 24 Desember 2014 pukul 18:55 WIB di GKP Purwakarta. Wawancara dengan Pdt. Deru Utama Noron M.Th., Kamis, 24 Desember 2014 pukul 19:00 WIB di GKP Purwakarta. Wawancara dengan Pdt. Rosita Julian Permana S.Th., Bp. R. Nainggolan, Bp. Sukamto, Ibu Lina, Ibu Yatini, Minggu, 4 Januari 2015 pukul 12:03 WIB di GKP Sukamandi. Wawancara dengan Pdt. Maria Aprina S.Si-Teol., Kamis, 8 Januari 2015 pukul 09:45 WIB di GKP Karawang. Wawancara dengan Pdt. Andris Suhana S.Si-Teol., dan Pdt Anna M. Sarnijem S.Th., Kamis, 8 Januari 2015 pukul 10:30 WIB di GKP Karawang. Wawancara dengan Pdt. Winda Yustanti S.Si-Teol., Bp. Sutanto, Bp. Priyo Sudibyo, Bp. Robert Pua (dalam Rapat Majelis Jemaat), Kamis, 8 Januari 2015 pukul 19:00 WIB di GKP Telukjambe. Wawancara dengan Bp. Jhony Poli, Jumat, 9 Januari 2015 pukul 11:12 WIB di rumah Bp. Jhony Poli. Wawancara dengan Bp. Ari Welang, Jumat, 9 Januari 2015 pukul 12:00 WIB di rumah Bp. Ari Welang. Wawancara dengan Ibu Lina Heumasse, Jumat, 9 Januari 2015 pukul 12:42 WIB di rumah Ibu Lina Heumasse. Wawancara dengan Pdt. Heryanto Pakpahan S.Si-Teol., Minggu, 11 Januari 2015 pukul 17:27 di Cikampek.
35