KEGIATAN PEMBAHASAN PENYUSUNAN ASEAN HARMONIZED TARIFF NOMENCLATURE (AHTN) 2017
A. Pendahuluan Klasifikasi barang adalah suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk mempermudah pentarifan transaksi perdagangan, administrasi pengangkutan, maupun pengumpulan statistik. Terdapat banyak sistem klasifikasi di dunia antara lain Harmonized Commodity Description and Coding System (Harmonized System/HS), International Standard Industrial Classification/ISIC, Standard International Trade Classification/SITC serta Broad Economic Categories/BEC. Masingmasing sistem klasifikasi memiliki peruntukannya masing-masing. Berdasarkan pasal 14 ayat 2 Undang-undang Kepabenan Indonesia Nomor 10 tahun 1995 sebagaimana sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, penetapan klasifikasi barang diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Pada saat ini sistem pengklasifikasian barang di Indonesia didasarkan pada Harmonized System. Harmonized System (HS) mulai diterapkan di Indonesia berdasarkan PP No. 26 tahun 1988 dan diwujudkan dalam bentuk Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) 1989. BTBMI 1989 dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1989. B. Harmonized System/HS Harmonized System/HS merupakan suatu nomenklatur klasifikasi barang yang dibuat oleh World Customs Organisation (WCO). Indonesia telah meratifikasi konvensi HS dengan Keppres Nomor 35 tahun 1993. Berdasarkan keputusan Presiden tersebut, Indonesia telah menjadi Contracting Party dari “International Convention on the Harmonized Commodity Description and Coding Sistem”. Dan karenanya sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 81/KMK.05/1994 tanggal 16 Maret 1994 ditetapkan bahwa terhitung sejak 1 April 1994, struktur Klasifikasi barang dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI)/Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) mengacu kepada sistem klasifikasi dari HS Convention. Meskipun baru meratifikasi pada tahun 1993, sebenarnya Indonesia telah menggunakan BTBMI berdasarkan HS sejak tanggal 1 Januari 1989. Sistem klasifikasi barang bukan merupakan daftar barang. Sistem klasifikasi yang disusun oleh WCO terdiri dari 6 digit kode numerik yang disertai dengan deskripsi barang. Seluruh barang yang dapat diperdagangkan dikelompokkan ke dalam 21 Bagian dan 97 Bab. Setiap bab (2 digit pertama) akan dibagi kembali dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil yang disebut pos (4 digit pertama) dan setiap pos akan dibagi ke dalam sub-sub pos (6 digit). Jumlah keseluruhan sub pos WCO sekitar 5.300 sub pos. Keseluruhan sub pos tersebut telah mencakup keseluruhan barang yang umum diperdagangkan di seluruh dunia. Untuk memastikan terjadinya harmonisasi klasifikasi, Contracting Party harus menggunakan 4-digit dan 6-digit kode numerik tersebut, ketentuan-ketentuan, aturan-aturan, dan catatan dari Bab 1 s.d Bab 97 tanpa penyimpangan. Namun demikian, Contracting Party bebas untuk mengadopsi subkategori tambahan dan catatan. Sebagaimana negara lainnya di dunia, Indonesia sebagai Contracting Party dari WCO juga melakukan penambahan subkategori dalam sistem klasifikasinya. Sistem klasifikasi yang terdapat dalam BTKI saat ini terdiri dari 10 digit kode numerik. Sistem klasifikasi tersebut merupakan
pengembangan pengembangan lebih lanjut dari 6 digit kode numerik WCO dan 8 digit kode numerik ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature. Untuk dapat menginterpretasikan kode HS, WCO membuat Ketentuan Umum Untuk Menginterpretasikan Harmonized System/KUMHS. KUMHS terdiri dari 6 (enam) prinsip dasar. Selain KUMHS, juga terdapat catatan-catatan bagian dan catatan bab. WCO juga menerbitkan Explanatory Notes (EN). EN merupakan penjelasan lebih lanjut dari deskripsi barang yang terdapat dalam sistem klasifikasi WCO. C. ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) Dalam rangka kerjasama ASEAN, negara-negara anggota ASEAN berkeinginan untuk menyederhanakan transaksi perdagangan intra-ASEAN melalui suatu nomenklatur klasifikasi yang seragam. Kesepakatan ini terdapat dalam Artikel 1 ASEAN Agreement on Customs yang disepakati pada tahun 1997. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa salah satu tujuan dari perjanjian tersebut adalah “to simplify and harmonise Customs valuation, tariff nomenclature and Customs procedures”. Lebih lanjut dalam Artikel 4 disebutkan bahwa AHTN disusun berdasarkan pada 6 digit kode numerik HS yang disusun oleh WCO dan amandemen-amandemennya. Artikel 4 juga menyebutkan bahwa AHTN akan disusun menggunakan 8 digit kode numerik. Nomenklatur klasifikasi ini akan didukung oleh ketentuan pelaksanaan yang jelas dan transparan, serta keseragaman dalam aplikasinya. Sebagai tindak lanjut dari Artikel 4 ASEAN Agreement on Customs, negara-negara anggota ASEAN menyepakati Protocol Governing the Implementation of the ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature (Protokol) pada bulan Juni 2003. Adapun tujuan dari implementasi AHTN antara lain untuk fasilitasi perdagangan, untuk keseragaman klasifikasi barang di ASEAN, serta untuk meningkatkan transparansi pengklasifikasian barang di antara negara ASEAN. Implementasi AHTN oleh negara anggota ASEAN juga harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang telah disepakati dalam protokol yaitu: a. Transparansi Negara-negara anggota akan menerbitkan semua hukum, peraturan, dan pedoman yang berkaitan dengan AHTN dan membuat mereka tersedia untuk publik secara cepat, transparan, dan mudah diakses. b. Konsistensi Negara-negara anggota akan memastikan aplikasi yang konsisten dari AHTN di setiap negara anggota ASEAN. c. Efisiensi Negara-negara anggota akan memastikan bahwa AHTN digunakan untuk meningkatkan efisien dan administrasi pengeluaran barang untuk memfasilitasi perdagangan. d. Banding Negara-negara anggota wajib menyediakan mekanisme banding bagi importir dan eksportir terhadap keputusan klasifikasi yang dibuat berdasarkan AHTN. D. Struktur AHTN Artikel 4 dari ASEAN Agreement on Customs menyebutkan bahwa AHTN akan disusun menggunakan 8 digit kode numerik. Protokol menyebutkan secara lebih detil dalam Artikel 3 mengenai struktur AHTN. Artikel 3 Protokol menyebutkan bahwa nomenklatur AHTN terdiri dari 8 digit angka numerik dengan penambahan digit ketujuh dan kedelapan
yang disertai dengan deskripsi barangnya (angka ketujuh dan kedelapan selanjutnya disebut "ASEAN subpos "). AHTN haruslah merupakan versi terbaru dari Harmonized System/HS dan perubahan-perubahannya. Struktur klasifikasi dalam AHTN adalah sebagai berikut:
Gambar1. Struktur Klasifikasi AHTN Sebagaimana WCO, AHTN tidak hanya terdiri dari struktur klasifikasi saja namun juga terdapat Supplementary Explanatory Notes (SEN). SEN ini merupakan penjelasan lebih rinci dari uraian barang yang terdapat dalam AHTN. SEN diperlukan untuk memberikan pemahaman yang seragam terhadap AHTN oleh masing-masing negara anggota maupun para pengguna AHTN di negara-negara anggota. E. Penyusunan dan Amandemen AHTN Penyusunan AHTN dilakukan oleh negara anggota ASEAN melalui gugus tugas yang dibentuk oleh para Direktur Jenderal Bea dan Cukai se-ASEAN yang disebut dengan AHTN Task Force (AHTN TF). Anggota AHTN TF terdiri dari perwakilan pejabat kepabenan negara anggota ASEAN yang memiliki keahlian dalam klasifikasi barang. Lingkup kerja dari AHTN TF terdiri dari dua hal yaitu melakukan evaluasi terhadap AHTN dan memusyawarahkan sengketa klasifikasi barang di antara negara anggota. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, AHTN disusun berdasarkan HS WCO dan perubahan-perubahannya. Secara berkala, WCO melakukan perubahan-perubahan terhadap sistem klasifikasinya tersebut. Sejak tahun 1996, WCO telah 4 kali menerbitkan HS yaitu HS 1996, HS 2002, HS 2007, dan HS 2012. Perubahan yang dilakukan oleh WCO secara langsung akan berpengaruh terhadap AHTN. Karena itu, AHTN juga telah beberapa kali mengalami perubahan yaitu AHTN 2004, AHTN 2007 dan AHTN 2012. Selain karena perubahan HS yang dilakukan oleh WCO, amandemen AHTN juga dapat dilakukan terhadap sub pos ASEAN untuk melakukan penyederhanaan AHTN maupun karena adanya perubahan teknologi dan perdagangan. Dalam melakukan amandemen, AHTN TF telah menyusun kriteria-kriteria teknis sebagai berikut: a. Sub pos ASEAN dapat dibuat jika nilai perdagangan produk tersebut signifikan di negara anggota; b. Sub pos ASEAN tidak perlu dibuat jika tarif bea masuk di negara anggota adalah sama; c. Pembentukan subpos ASEAN harus mempertimbangkan konvensi internasional yang terkait dengan pembentukan nomenklatur tarif; d. Subpos nasional masing-masing negara anggota dapat dibuat untuk tujuan non-tarif statistik dan lainnya pada tingkat setelah 8 digit angka numerik AHTN; e. Pembentukan subpos ASEAN harus menghindari kriteria penggunaan akhir (end use)
f. Pembentukan subpos ASEAN harus mempertimbangkan kriteria amandemen HS; g. Review dari AHTN harus membantu pemahaman, interpretasi, dan klasifikasi barang yang seragam di bawah AHTN. F. Amandemen AHTN 2012 (Penyusunan AHTN 2017) Saat ini World Customs Organization (WCO) telah selesai melakukan pembahasan amandemen The Harmonized Commodity Description and Coding System 2012 (Harmonized System 2012/HS 2012). Amandemen tersebut selanjutnya akan menjadi sistem klasifikasi baru yang disebut dengan HS 2017 dan akan menggantikan HS 2012 yang dipakai oleh semua negara contracting party dari WCO saat ini. HS 2017 akan diberlakukan mulai 1 Januari 2017. Amandemen HS 2012 (HS 2017) yang dilakukan oleh WCO akan berpengaruh terhadap sistem klasifikasi di contracting party dari WCO termasuk negara anggota ASEAN. Karena itu, negara anggota ASEAN telah bersepakat untuk segera melakukan mandemen terhadap AHTN 2012 untuk menyesuaikan diri terhadap amandemen yang dilakukan oleh WCO dan perubahan lingkungan teknologi dan perdagangan. AHTN TF yang diberi mandat untuk melakukan amandemen AHTN telah melakukan Pertemuan Pertama pada tanggal 25 sd 27 Maret 2014 di Sekretariat ASEAN. Pada pertemuan tersebut telah diperoleh beberapa kesepakatan mengenai program kerja AHTN TF serta kriteria teknis dan prosedur amandemen AHTN. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kegiatan Focus Group Discussion/ Konsinyering Pertemuan AHTN TF ke-2 di
16-17 Juni 2014
Focus Group Discussion/ Konsinyering
Juli/ Agustus 2014
Focus Group Discussion/ Konsinyering Pertemuan AHTN TF ke-3 di Focus Group Discussion/ Konsinyering Focus Group Discussion/ Konsinyering Pertemuan AHTN TF ke-4 di Focus Group Discussion/ Konsinyering
Waktu
7-12 Juli 2014
Okt-14 Okt-14 Oktober/ November 2014 November 2014 Des-14 Des-14
Agenda Keterangan Persiapan Pertemuan AHTN TF ke-2 di Singapura Penyusunan Bab 1 s.d 29 Diseminasi Hasil Pertemuan AHTN TF ke-2 dan Persiapan AHTN TF ke-3 Persiapan Pertemuan AHTN TF ke-3 di Brunei Penyusunan Bab 30 s.d 49 Diseminasi Hasil Pertemuan AHTN TF ke-3 dan Persiapan AHTN TF ke-4 Persiapan Pertemuan AHTN TF ke-4 di Indonesia Penyusunan Bab 50 s.d 73 Diseminasi Hasil Pertemuan AHTN TF ke-4 dan Persiapan AHTN TF ke-5
Tabel 1. Rencana Kegiatan Penyusunan AHTN 2017 Tahun Anggaran 2014 Pertemuan AHTN TF direncanakan akan dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali. Setiap pertemuan AHTN TF akan membahas pos-pos tarif produk tertentu berdasarkan urutan bab dalam HS. Dalam rangka persiapan menghadapi pertemuan AHTN TF, Tim Tarif telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan kementerian/lembaga pembina sektor. Selanjutnya Tim Tarif akan secara teratur melakukan pertemuan dengan kementerian/lembaga untuk menindaklanjuti hasil pertemuan AHTN TF dan mempersiapkan pertemuan AHTN TF berikutnya. Tim Tarif telah menyusun rencana kegiatan penyusunan AHTN 2017 sebagaimana terdapat pada Tabel 1 di atas. G. Pengaruh Amandemen AHTN 2012 Terhadap BTKI 2012
Amandemen AHTN 2012 (AHTN 2017) akan berpengaruh secara langsung terhadap sistem klasifikasi yang diterapkan Indonesia dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). BTKI yang saat ini diterapkan Indonesia disusun berdasarkan AHTN 2012 dan disebut BTKI 2012 sehingga amandemen AHTN 2012 akan ditindaklanjuti dengan amandemen BTKI 2012. Hasil amandemen BTKI 2012 selanjutnya akan disebut BTKI 2017. BTKI 2017 hasil amandemen BTKI 2012 direncanakan menggunakan sistem penomoran 8 digit sehingga sistem klasifikasi BTKI 2017 akan sama persis dengan sistem klasifikasi AHTN sepenuhnya. Sistem penomoran dalam BTKI saat ini terdiri dari 10 (sepuluh) angka yang merupakan pengembangan dari AHTN yang terdiri dari 8 (delapan) angka. Penggunaan penomoran 8 (delapan) angka sesuai AHTN dilakukan dalam rangka: a. Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC). Dalam ASEAN Economic Community Blue Print (AEC Blue Print) disebutkan bahwa dalam rangka menuju ASEAN Single Market and Production Base, salah satu langkah strategis yang harus dilakukan adalah melakukan integrasi kepabeanan ASEAN melalui ASEAN Single Window (ASW). ASW akan menghubungkan 10 (sepuluh) National Single Windows (NSW) masing-masing negara ASEAN. Dalam ASW, customs declaration documents negara pengekspor akan dapat diakui sebagai customs declaration documents di negara tujuan ekspor (ASEAN Customs Declaration Document) sehingga mempercepat proses customs clearance. Penggunaan sistem klasifikasi yang seragam di ASEAN diharapkan akan mempercepat penerapan ASW dan ASEAN Customs Declaration Document sehingga akan meningkatkan transparansi perdagangan intra ASEAN dan daya saing industri dalam negeri. b. Fasilitasi produk ekspor Indonesia ke negara anggota ASEAN. Penerapan AHTN sepenuhnya dalam BTKI akan mengurangi permasalahan perbedaan pengklasifikasian produk ekspor Indonesia oleh institusi kepabeanan negara ASEAN lainnya sehingga diharapkan akan mengurangi hambatan perdagangan produk ekspor Indonesia di negara ASEAN tujuan ekspor. Di samping itu, dimasukkannya produk asal Indonesia dalam sistem klasifikasi AHTN akan menjadikan pengakuan negara ASEAN terhadap komoditi ekspor unggulan Indonesia. c. Meminimalisasi permasalahan transposisi HS dalam rangka pemenuhan komitmen penurunan/penghapusan tarif bea masuk dalam beberapa kerja sama FTA yang melibatkan Indonesia. H. Kegiatan Pembahasan Penyusunan AHTN 2017 Penggunaan BTKI 2017 dalam format 8 (delapan) angka akan menyebabkan pospos tarif nasional dalam 10 (sepuluh) angka yang selama ini dipakai menjadi hilang. Dalam BTKI 2012, terdapat 815 pos tarif nasional yang merupakan penambahan subkategori AHTN. Pos-pos tarif nasional tersebut tersebar pada semua sektor industri nasional. Dalam pembahasan penyusunan AHTN 2017, masing-masing kementerian/lembaga pembina sektor industri harus melakukan identifikasi pos-pos tarif yang akan diusulkan untuk menjadi pos-pos tarif AHTN. Identifikasi yang dilakukan oleh kementerian/lembaga pembina sektor industri meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Produk-produk baru unggulan Indonesia yang akan diusulkan untuk dimasukkan dalam sistem klasifikasi AHTN (pos tarif 8 (delapan) angka dalam AHTN); b. Produk-produk unggulan Indonesia yang ada dalam pos tarif nasional BTKI 2012 (pos tarif 10 (sepuluh) angka) yang perlu dipertahankan dan akan diusulkan untuk dimasukkan dalam sistem klasifikasi AHTN (pos tarif 8 (delapan) angka dalam AHTN); c. Produk-produk unggulan Indonesia yang telah ada dalam AHTN yang mungkin mengalami amandemen namun perlu tetap dipertahankan keberadaannya dalam AHTN karena terkait dengan kepentingan nasional tertentu lainnya; Sebagai tahap awal dalam melakukan identifikasi produk-produk yang akan diusulkan ke dalam AHTN, kementerian/lembaga pembina sektor industri dapat melakukan identifikasi produk-produk tersebut melalui kriteria-kriteria sebagai berikut: a. Pos tarif yang besaran tarif bea masuk umum (MFN) perlu diatur tersendiri/ dibedakan dengan pos tarif produk dalam kelompok produk tersebut; b. Pos tarif yang dalam rangka kerja sama perdagangan bebas memiliki besaran tarif bea masuk preferensi yang berbeda-beda; c. Pos tarif yang dikenakan bea keluar; d. Pos tarif yang terkena ketentuan larangan/pembatasan; e. Pos tarif yang perlu dilakukan pencatatan data statistik secara lebih spesifik; f. Pos tarif yang perlu diperbaiki/diubah uraian maupun penomorannya untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan; g. Pos tarif lainnya yang sering mengalami permasalahan dari sisi klasifikasi dan kebijakan tarif bea masuknya. Daftar usulan sebagaimana tersebut di atas harus disertai dengan dukungan data yang memadai sehingga delegasi Indonesia dapat memperjuangkan kepentingan nasional secara maksimal. Data-data yang harus disertakan sebagai lampiran usulan antara lain: a. Uraian dan spesifikasi teknis barang secara lengkap yang dapat dapat memberikan informasi mengenai identifikasi barang seperti foto barang, proses pembuatan, komposisi, fungsi, dan informasi terkait lainnya. Informasi ini akan menjadi bagian dalam Supplementary Explanatory Notes ASEAN 2017 jika produk tersebut disetujui sebagai pos tarif AHTN; b. Nilai perdagangan intra dan ekstra ASEAN selama periode tahun 2012 dan 2013; c. Dasar pertimbangan lainnya yang dapat dijadikan pembenaran mengenai pentingnya produk tersebut bagi Indonesia sehingga perlu dimasukkan dalam pos tarif AHTN;