PEDOMAN PENYUSUNAN KEGIATAN TAHUNAN I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias harus diterjemahkan atau dijabarkan lebih rinci melalui penyusunan kegiatan/sub-kegiatan. Tanpa didukung oleh kegiatan/sub-kegiatan yang berkualitas dan terancang dengan baik, maka akan sangat sulit untuk mencapai tujuan program yang merupakan bagian dari upaya untuk mencapai Visi dan Misi yang telah ditetapkan oleh BRR. Berdasarkan hasil evaluasi kegiatan Tahun Anggaran 2005 dan hasil review dan revisi Kegiatan Tahun Anggaran 2006, masih ditemui beberapa kelemahan yang terkait dengan penyusunan program dan kegiatan/subkegiatan. Kelemahan tersebut antara lain, belum adanya integrasi dan sinergi antar kegiatan maupun antar sub-kegiatan, beberapa perancang kegiatan di masing-masing sektor belum memahami dengan baik arah, kebijakan dan skala prioritas dalam penyusunan kegiatan/sub-kegiatan yang dikaitkan dengan tahap-tahap pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, dan masih terkesan adanya ego sektoral yang cukup tinggi. Di satu sisi memang tidak dapat dipungkiri, kelemahan-kelemahan ini muncul karena begitu kompleks dan besarnya permasalahan yang harus dihadapi. Namun di sisi lain, harus diakui pula “blue print” yang seharusnya menjadi dokumen acuan penyusunan program pasca bencana NAD-Nias belum dapat dijadikan dokumen perencanaan dan prioritas program. Belajar dari kompleksitas permasalahan khususnya terkait perencanaan dan pelaksanaan pada dua tahun anggaran tersebut, maka dipandang perlu untuk menerbitkan Pedoman Penyusunan Program dan Kegiatan APBN BRR sebagai acuan dalam pengajuan program dan kegiatan/sub-kegiatan yang akan dibiayai melalui DIPA BRR. Hal ini dimaksudkan agar tercipta kegiatan/sub-kegiatan yang saling berintegrasi dan bersinergi baik antar kegiatan/sub-kegiatan maupun antar sektor dengan sasaran dan target-target yang terukur dan rasional serta jadwal pelaksanaan yang jelas sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan Anggaran Belanja Negara yang tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan sehingga dapat berjalan konsisten dengan program rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias. 1.2. Maksud dan Tujuan Pedoman ini diharapkan dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan kinerja perancangan kegiatan/sub-kegiatan di Lingkungan BRR, sehingga akan tercipta program-program rehabilitasi dan rekonstruksi yang berkualitas dengan sistem implementasi yang terancang dengan baik, terarah dan terpadu, dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan tepat waktu dengan tetap berpegang teguh pada asas tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), berhasil guna dan berdaya guna, dan tentunya juga harus transparan dan akuntabel. Sedangkan manfaat langsung adanya pedoman ini, bagi penanggung jawab kegiatan/sub-kegiatan (kedeputian) dan satker sebagai pelaksana, adalah
1
dapat secara tegas menunjukkan kapasitas masing-masing perancang kegiatan dan menampilkan kualitas kegiatan yang akan dilaksanakan, disamping memudahkan dalam tahap pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Sementara itu dari sisi perencanaan dan penganggaran, pedoman ini akan memudahkan dalam memadukan dan menyeragamkan format usulan rancangan kegiatan/sub-kegiatan sehingga antar rancangan kegiatan/sub-kegiatan dapat dibandingkan dan dinilai tingkat kelayakan secara objektif dan adil, baik dari aspek substansi maupun dari sisi pembiayaan. Sejalan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BRR dalam rangka menghasilkan langkah-langkah komprehensif untuk pembangunan kembali NAD dan Nias, kriteria-kriteria yang dikembangkan dalam pedoman ini dapat menjadi rumusan strategi dan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi terkait penyusunan rencana, program dan anggaran. Pedoman ini juga dapat menjadi kerangka generik untuk pendayagunaan sumber daya yang lebih efektif, terutama keterlibatan komitmen yang lebih besar dari semua pihak, mulai dari yang terkait dengan pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, sampai dengan pihak yang bertanggungjawab atas monitoring dan evaluasi pencapaian sasaran, baik di tingkat Satker maupun Kedeputian BRR. Sedangkan tujuan khusus disusunnya pedoman ini adalah: 1. Sebagai koridor formal dalam merancang kegiatan/sub-kegiatan. 2. Sebagai instrumen untuk menilai secara objektif kegiatan yang layak (feasible) untuk didanai melalui DIPA BRR berdasarkan aspek dan kriteria penilaian yang telah ditetapkan. 3. Sebagai acuan untuk menajamkan rancangan program/kegiatan agar lebih efektif, terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, kebijakan dan strategi BRR. 4. Sebagai dasar untuk justifikasi penolakan bagi Tim Pengarah Kegiatan terhadap rancangan kegiatan sub/kegiatan yang diajukan. II. PERSIAPAN PENYUSUNAN PROGRAM DAN KEGIATAN/SUB-KEGIATAN 2.1 Persiapan Umum Mulai APBN-P 2006, alokasi dana per-sektor hanya merupakan ceiling (pagu indikatif) dalam menyusun rancangan kegiatan/sub-kegiatan, sedangkan faktor penentu kegiatan/sub-kegiatan untuk dapat dibiayai atau tidak melalui DIPA BRR sangat tergantung dari kualitas rancangan kegiatan/sub-kegiatan itu sendiri, yaitu kesiapan data pendukung dengan rasional pengajuan kegiatan/sub-kegiatan berupa Log Frame, TOR dan RAB, disertai dengan kejelasan Indikator Kinerja, keterkaitan antara Tujuan, Kriteria Keberhasilan (key performance) dan Sasaran yang dapat dicapai setelah melaksanakan kegiatan-kegiatan dimaksud dalam kurun waktu pelaksanaan kegiatan (siklus anggaran). 2.2 Persiapan Khusus Kedeputian Sektor membuat rancangan kegiatan/sub-kegiatan berdasarkan usulan langsung dari masyarakat, Satker, Departemen Teknis, Bappeda, dan Dinas terkait dalam bentuk surat atau dokumen yang disampaikan kepada Kepala Badan Pelaksana dan tembusannya disampaikan kepada Deputi
2
Sektor terkait, Pusat Perencanaan Stretegis dan Pendananan (PPSP), dan Deputi Anggaran dan Akuntansi. Selanjutnya Kedeputian terkait melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Penetapan indikator “key performance” untuk masing-masing kegiatan/sub-kegiatan; b. Evaluasi semua sasaran dan semua kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan kegiatan/sub-kegiatan; c. Menilai rasional perkiraan belanja barang dan jasa, belanja modal, biaya pemeliharaan dan perjalanan, yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dalam bentuk RAB Paket kegiatan; d. Analisa perkiraan biaya administrasi umum (“overhead cost”) Satker dalam melaksanakan kegiatannya disesuaikan dengan HSU yang berlaku; e. Menghimpun dan mengkonsolidasi anggaran untuk masing-masing Satker yang berada di bawah koordinasi Kedeputian; f. Menghimpun dan mengkonsolidasikan rancangan kegiatan/sub kegiatan ke dalam satu dokumen anggaran tunggal (bahan RKA-KL); g. Analisa kebutuhan jumlah kegiatan dalam satu Satker, sebaiknya dalam satu Satker hanya memiliki 3 kegiatan, sehingga apabila dibutuhkan revisi bisa lebih mudah karena hanya terjadi antar sub-kegiatan (lihat lampiran-2); h. Menetapkan penanggung jawab kegiatan level direktur di lingkup Kedeputian.
III. KRITERIA PENYUSUNAN PROGRAM DAN KEGIATAN/SUB-KEGIATAN Kriteria penyusunan kegiatan/sub-kegiatan harus merujuk pada Surat Edaran Kepala Badan Pelaksana No:01/BRR/III/2006 tanggal 17 Maret 2006 dan Memorandum Kepala Pusat Perencanaan Strategis & Pendanaan No:18/PPSP/III/2006 tanggal 18 Maret 2006 serta mempertimbangkan Arah, Kebijakan dan Strategi BRR, yaitu: 1. Rancangan kegiatan mempunyai dampak jangka panjang dan memenuhi aspek keberlanjutan, dengan ciri-ciri antara lain: a. Kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan masa kini dan mendukung kehidupan di masa depan. b. Kegiatan yang dapat mengatasi persoalan masa kini dan dapat memberikan alternatif solusi terhadap persoalan di masa mendatang. c. Adanya keterkaitan antar sub-kegiatan sehingga setiap kegiatan pada masing-masing sub-kegiatan dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi. 2. Program yang bersifat strategis, dengan ciri-ciri antara lain: a. Saling bersinergi dengan sektor lain sehingga mempunyai benefit dan dampak yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat untuk menuju kehidupan yang lebih baik. b. Harmonisasi antara kegiatan berskala besar dan skala kecil secara serasi, sehingga nilai tambah dari kegiatan tersebut dapat dinikmati secara adil oleh masyarakat. c. Menggunakan pendekatan yang utuh dan terpadu, terutama untuk kegiatan yang memiliki sifat keberlanjutan, saling keterkaitan (sequensial) dan saling ketergantungan (inter-depedency).
3
3. Khusus untuk non-fisik harus ada muatan Peningkatan Kapasitas dan Pemberdayaan Kapasitas lokal termasuk masalah gender, dengan ciriciri antara lain: a. Kegiatan menekankan pada kemitraan dengan lembaga lokal terkait, dengan demikian diharapkan lembaga tersebut dapat memainkan peran penting dalam pembangunanan selanjutnya. b. Kegiatan menekankan pada peningkatan kapasitas kalangan tokoh masyarakat dan tenaga pendidik serta mengandung unsur-unsur pemberdayaan perempuan, dengan demikian diharapkan kalangan tersebut akan dapat mentranfer pengetahuan yang diperoleh kepada masyarakat banyak. c. Kegiatan menekankan pada peran aktif generasi muda dan memberi perhatian terhadap perempuan dan anak-anak dalam rangka penyiapan generasi penerus. d. Kegiatan menekankan pada upaya peningkatan kualitas SDM masyarakat lokal. e. Kegiatan menekankan pada fungsi pengentasan kemiskinan dan peningkatan ekonomi lokal. 4. Sistem implementasi harus terancang dengan baik, dengan ciri- ciri antara lain: a. Memiliki pencapaian sasaran yang jelas, manfaat dan dampak pelaksanaan kegiatan bagi kehidupan masyarakat pasca bencana alam. b. Adanya sistem monitoring dan evaluasi terhadap efektifitas pelaksanaan kegiatan/sub-kegiatan sehingga tepat sasaran. c. Mengangkat beberapa poin kritis dalam pelaksanaan proyek rehabilitasi dan rekonstruksi yang terkait dengan administratif pelaksanaan kegiatan, terutama untuk kegiatan yang bersifat swakelola. 5. Sasaran harus terukur dan sejalan dengan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi, dengan ciri-ciri antara lain: a. Alasan-alasan pentingnya dilaksanakan proyek serta key success yang berkaitan dengan proyek baik secara teknis, lingkungan maupun sosial, ekonomi dan budaya; b. Untuk menghindari terjadinya peluang tumpang-tindih, lokasi dan jumlah penerima manfaat harus jelas; c. Kriteria beneficieries harus jelas sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru seperti: kecemburuan sosial yang dapat berdampak apatis terhadap kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias yang tengah dilakukan. IV. PENYUSUNAN LOG-FRAME, TOR DAN RAB 4.1. Log-Frame/Kerangka Logis Log Frame/Kerangka Logis adalah bagan yang menggambarkan keterkaitan sasaran, kegiatan, output, immediate outcome dan final outcome. 4.2. TOR Secara Umum TOR (Terms of Reference)/Kerangka Acuan Kerja adalah dokumen yang menjadi acuan untuk implementasi suatu kegiatan, maka substansi dari paket pekerjaan tersebut harus tergambarkan dengan jelas dan rinci didalam dokumen ini. Hal-hal yang harus dimunculkan di dalam TOR, antara lain:
4
a. Latar Belakang Berisi uraian tentang alasan diadakannya suatu paket pekerjaan dalam mendukung capaian sasaran kegiatan/sub-kegiatan dikaitkan dengan program rehabilitasi dan rekonstruksi secara umum. b. Tujuan dan Sasaran Berisi uraian tentang capaian akhir dari suatu paket pekerjaan yang berkaitan dengan upaya mencapai Visi dan Misi BRR dan capaian antara sebelum mencapai capaian akhir. c. Lokasi dan Penerima Manfaat Berisi uraian tentang lokasi rinci suatu kegiatan dan jumlah penerima manfaat. Selain itu dapat juga dijelaskan kegiatan apa saja yang sudah, sedang, dan akan dilakukan di lokasi tersebut sehingga dapat dilihat keterkaitan dan sinergi antar kegiatan. d. Metodelogi Berisi uraian tentang pendekatan atau model yang digunakan untuk mengetahui kondisi saat ini yang digambarkan oleh data yang valid dan akurat, menjelaskan tentang kondisi yang akan dituju dan cara untuk mencapainya serta cara mengontrol dan mengendalikan kegiatan. e. Input, Output, Outcome Berisi uraian tentang mekanisme dan proses suatu kegiatan, input berisi penjelasan tentang misalnya sepesifikasi dan desain teknis, standar dan aturan main, serta data pendukung lainnya. Outputs dan Outcome berisi penjelasan tentang keluaran/produk dan hasil/manfaat langsung dari suatu kegiatan. Untuk kegiatan non-fisik seyogynya ditambah dengan benefit dan prakiraan dampak dari suatu kegiatan. Prakiraan Dampak yang mungkin mucul harus dijelaskan dan kemudian perlu juga ditambahkan bagaimana cara memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif yang mungkin akan muncul. f. Indikator Keberhasilan Berisi uraian tentang penjelasan dan ukuran indikasi keberhasilan dari suatu kegiatan. Ukuran yang ditetapkan merupakan hal yang realistis dan rasional untuk dicapai. g. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Berisi uraian tentang tahapan pelaksanaan kegiatan dikaitkan dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan kegiatan tersebut. Kegiatan yang akan dilakukan perlu diperinci dalam paket pekerjaan mulai dari persiapan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, tindak lanjut serta pelaporan dengan menggunakan model bar-chat atau network diagram.
5
4.3. TOR Yang Melibatkan Pola Kemitraan Kegiatan/Sub-kegiatan yang dilakukan dengan swakelola melibatkan pihak ketiga setidaknya dalam TOR juga memuat hal-hal, antara lain: a. Rasional Kegiatan/Sub-Kegiatan yang Diusulkan melalui Kemitraan Uraian mengenai pentingnya kegiatan kemitraan dengan lembaga lokal terkait (terutama dari aspek capacity building) yang akan dilaksanakan didasarkan atas analisis situasi internal dan eksternal dan kebutuhan untuk bermitra dengan Lembaga Mitra. Butir-butir penyajian rasional kegiatan antara lain: 1. Permasalahan yang dihadapi atau dampak yang ditimbulkan seandainya kegiatan yang diusulkan tidak terakomodasi atau tidak dapat dilakukan; 2. Pentingnya paket kegiatan/sub-kegiatan yang diusulkan (dikaitkan dengan peningkatan kapasitas, relevansi dengan rehabilitasi dan rekonstruksi, efisisensi, efektifitas, dan produktivitas); 3. Peluang atau potensi yang memungkinkan dapat terlaksananya paket kegiatan/sub-kegiatan dan tercapainya tujuan proyek. b. Tujuan dan Manfaat Kemitraan yang Diusulkan Tujuan : uraikan hasil yang ingin dicapai dari paket pekerjaan yang akan dilaksanakan, jika perlu dirinci ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus atau tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek dari pekerjaan yang akan dilaksanakan. Manfaat : uraikan manfaat meliputi manfaat teoritis dan praktis yang diperoleh BRR, masyarakat dan lembaga mitra lokal dalam kaitannya dengan peningkatan kapasitas lokal. Manfaat dapat dirinci lebih spesifik kedalam manfaat yang diperoleh, contohnya untuk kegiatan SubBidang Pendidikan, manfaat meliputi: 1. Manfaat bagi Perguruan Tinggi, Sekolah: a. Dosen, Guru b. Mahasiswa, Murid c. Program Studi, Jurusan 2. Manfaat bagi Pihak Ketiga (Lembaga Mitra Lokal) 3. Manfaat bagi pihak lain (kalau ada) c. Alasan Keterlibatan Mitra Beri alasan mengapa mitra tersebut yang terpilih. Deskripsikan secara singkat dan padat profil lembaga mitra. Nama lengkap dan alamat lembaga mitra yang akan terlibat dalam pekerjaan serta Informasi mengenai profil lembaga mitra secara lengkap tampilkan dalam lampiran. d. Strategi dan Mekanisme Pelaksanaan Kegiatan Dalam bagian ini dijelaskan tentang (1) tahap-tahap kegiatan, (2) strategi apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya
6
lokakarya untuk mengembangkan program bersama, pelatihan, seminar, rapat koordinasi, penerapan pembelajaran yang inovatif secara bersama, dll. (3) mekanisme pelaksanaan yang menggambarkan proses dan prosedur kegiatan, serta (4) peran lembaga mitra tersebut. e. Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Uraikan secara jelas bagaimana cara memantau dan mengevaluasi kegiatan kemitraan yang akan dilakukan serta siapa saja yang terlibat dalam proses pemantauan dan evaluasi untuk melihat pencapaian tujuan kegiatan yang melibatkan lembaga mitra. Termasuk di dalamnya tindak lanjut dari hasil kegiatan pemantauan dan evaluasi. f. Rincian Biaya untuk Lembaga Mitra Perlu disebutkan secara tegas besarnya biaya yang diperlukan dalam kegiatan untuk mitra kerjasama. Kemampuan pembiayaan harus disebutkan secara tegas. Komponen penggunaan dana untuk pihak mitra, meliputi : 1. Komponen honorarium. 2. Komponen bahan dan peralatan untuk pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebutuhan. 3. Komponen Perjalanan. 4. Biaya lain-lain termasuk biaya seminar, pelaporan, dan kegiatan lain yang belum termasuk dalam komponen (1), (2), dan (3). Rincian penggunaan dana untuk masing-masing komponen di atas harus jelas dan sesuai HSU dan HSPK yang berlaku.
4.4. RAB (Rincian Anggaran Biaya) RAB merupakan dokumen yang tidak terpisahkan dengan dokumen RKA-KL, jika komponen biaya tidak dapat digambarkan secara rinci dalam dokumen RKA-KL, maka komponen tersebut harus tergambarkan secara rinci didalam RAB.
V.PENILAIAN KELAYAKAN KEGIATAN/SUB-KEGIATAN Penetapan rancangan kegiatan/sub-kegiatan yang dapat diterima, dilakukan melalui Penilaian Kelayakan Kegiatan/Sub-Kegiatan yang dilakukan dalam dua tahapan seleksi, yaitu seleksi tahap-1 berupa kelengkapan administratif dan seleksi tahap-2 berupa penilaian teknis yang meliputi penilaian substansi dan kewajaran biaya. 5.1. Persyaratan Kelayakan Administratif Kelayakan administratif sebagai berikut:
merupakan
seleksi
tahap-1
mencakup
a. Kesesuaian format proposal dengan kerangka yang ditetapkan. b. Adanya Log Frame, TOR, dan RAB.
7
hal-hal
5.2. Persyaratan Kelayakan Teknis (substansi dan biaya) Rancangan kegiatan/sub-kegiatan yang lolos penilaian tahap-1 kemudian diikutsertakan pada penilaian tahap-2 yang mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Substansi Pada tahap ini, kelayakan yang dinilai mencakup isi dari Log-frame yaitu bagan yang menggambarkan keterkaitan sasaran, kegiatan, output, immediate outcome dan final outcome. Paling tidak ada tiga hal utama yang harus diperhatikan agar rencana kegiatan benar dan logis, yaitu: • •
•
Hasil akhir dari Kegiatan-Kegiatan yang tercakup harus sinergis mendukung sasaran Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Sub-Kegiatan - Sub-kegiatan yang tercakup dalam Kegiatan harus mencerminkan koordinasi yang baik antar sektor dan merupakan bagian dari sasaran utama. Hubungan antara output dari masing-masing kegiatan dengan immediate outcome dan selanjutnya dengan final outcome harus benar dan lengkap.
Bila log frame telah dinyatakan memenuhi kriteria di atas, maka kemudian dilanjutkan penilaian terhadap substansi yang tergambar di dalam TOR. Pada tahap ini selain harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, keputusan akhir suatu kegiatan dinyatakan baik atau tidak secara substansi ditentukan oleh Tim Pengarah Kegiatan (unsur-unsur-nya ditunjuk oleh Kepala Bapel), jika diperlukan akan ditindaklanjuti dengan site-visit yang hasilnya merupakan saringan terakhir untuk mendapatkan alokasi dana. b. Biaya RAB merupakan penghubung antara paket pekerjaan dengan capaian kegiatan/sub-kegiatan yang akan dilaksanakan. Penilaian rancangan kegiatan yang tergambar pada RAB harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. Pusat Perencanaan Strategis dan Pendanaan (PPSP) bersama dengan Deputi Anggaran dan Akutansi akan menganalisa kewajaran biaya meliputi hal-hal antara lain: • • •
Rancangan Kegiatan dengan Kesesuaian alokasi dana untuk pos-pos penggunaan yang ditetapkan dalam HSU dan HSPK. Kesesuaian jumlah dana yang diusulkan dengan plafon yang ditetapkan. Rincian dana dalam bentuk RAB sesuai denga HSU dan HSPK yang telah ditetapkan.
Rancangan kegiatan/sub-kegitan yang lolos seleksi tahap-2 ini selanjutnya dengan mempertimbangkan prioritas program dan pagu indikatif per sektor disusun kedalam format RKA-KL menjadi sebuah dokumen Rancangan RKA-KL.
VI. KEGIATAN ISSUES)
YANG
Untuk kegiatan/sub fungsional bersama
CAPAIAN
SASARANNYA
MULTI
SEKTOR
(CROSS
CUTTING
kegiatan multi sektor yang mempunyai sasaran (cross cutting issues), misalnya kegiatan yang
8
terkait pengentasan kemiskinan, peningkatan kapasitas kelembagaan lokal, dan lain-lain, perlu mekanisme koordinasi antar sektor dan pembagian peran masing-masing. Karena bila tidak ditangani dengan baik, danya daerah cross cutting ini dapat menyebabkan terjadinya tumpang tindih/overlapping antar kegiatan/sub-kegiatan pada akhirnya dapat menyebabkan pemborosan keuangan negara dan permasalahan baru. Dalam rangka mencegah dan mengurangi potensi masalah tersebut, dapat dilakukan upaya-upaya, sebagai berikut: 1. Perlu adanya forum koordinasi antar sektor yang bertujuan untuk menghindari tumpang-rindih antar kegiatan masing-masing. 2. Sektor harus memahami dengan baik domain kewenangan masing-masing, sehingga tercapai kesepakatan mengenai sektor yang leading dan sektor yang menjadi supporting. Pusat Perencanaan Strategis dan Pendanaan (PPSP) diharapkan dapat memfasilitasi forum koordinasi antar sektor yang memiliki potensi tumpang-tindih dan menetapkan kewenangan dan peran masing-masing. Dengan dilakukannya upaya-upaya di atas, diharapkan nuansa kegiatan/sub-kegiatan yang dihasilkan menjadi lebih kaya dan dapat saling melengkapi. Sementara dari sisi penganggaran dengan telah ditetapkannya sektor yang menjadi lead dan sektor yang menjadi supporting, maka anggaran dapat dipusatkan pada leading sector yang secara tupoksi berwenang sehingga potensi duplikasi kegiatan dan inefisiensi anggaran secara dini dapat dihindari. Misalnya, Kegiatan yang bernuansa peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah seharusnya merupakan domain Kedeputian yang menangani Kelembagaan. Namun, ketika kegiatan tersebut terkait dengan peningkatan Kapasitas Penilik Tenaga Kerja, Kedeputian Pengembangan Ekonomi dan Bisnis menjadi supporting kegiatan, artinya dananya tetap di Kedeputian Kelembagaan, tapi substansi kegiatan dirancang bersama-sama. Demikian juga, untuk kegiatan/sub-kegiatan yang bernuansa pengentasan kemiskinan, leading sector-nya Kedeputian Bidang Agama, Sosial dan Budaya, sedangkan Kedeputian yang menangani Pendidikan, Kesehatan serta Pengembangan Ekonomi dan Bisnis menjadi supporting sector. Juga, untuk kegiatan/sub-kegiatan yang bertujuan mendorong terjadinya reformasi kelembagaan pemerintah yang merupakan domain Kedeputian Kelembagaan, namun harus bersinergi dan tetap berkoordinasi dengan Kegiatan Pembinaan Pranata Adat yang ada di Sub-bidang Budaya.
VII. INTEGRASI DAN SINKRONISASI PROGRAM ANTAR SEKTOR Perancang kegiatan/sub-kegiatan harus memiliki visi dan pemahaman yang baik tentang arah, tujuan dan strategi program rehabilitasi dan rekonstruksi terkait kewenangan bidang masing-masing. Dengan demikian, pada saat menyusun rancangan kegiatan/sub-kegiatan, perancang kegiatan sudah dapat melihat dan mempertimbangkan secara menyeluruh berbagai aspek (multi-facet) termasuk keterkaitan dengan sektor-sektor lain, sehingga antar kegiatan/sub-kegiatan dapat saling bersinergi mendukung program rehabilitasi dan rekonstruksi.
9
Sebagai ilustrasi, ketika sebuah kawasan permukiman baru terbentuk, selanjutnya pasti dibutuhkan sarana dan prasana fisik pendukung lainnya, seperti sarana ibadah berupa mesjid atau gereja, sarana kesehatan berupa rumah sakit atau puskesmas, sarana pendidikan berupa sekolah atau pesantren, tempat aktivitas ekonomi berupa pasar, dan fasilitas publik lainnya berupa meunasah, children center, dan juga adanya kebutuhan membentuk pranata dan kelembagaan sosial. Kegiatan/sub-kegiatan yang tersebar (scaterred) atau terkotak pada masing-masing sektor dengan tujuan sendiri-sendiri tanpa adanya integrasi dan sinkronisasi antar sektor, akan berdampak tidak baik pada capaian program BRR secara keseluruhan, yang pada akhirnya menyebabkan program rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan tidak efektif dan efisien. Pengintegrasian dan sinkronisasi program/kegiatan/sub-kegiatan sektor tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
antar
1. Membentuk gugus tugas (task force) yang membahas arah dan prioritas program masing-masing bidang/sub-bidang setiap tahun anggaran, sehingga masing-masing sektor dapat saling bersinergi. 2. Sebelum terbentuknya gugus tugas tersebut, antar Kedeputian agar saling menginformasikan rancangan kegiatan/sub kegiatan masingmasing. Dalam rangka integrasi dan sinkronisasi ini, peranan gugus tugas ini menjadi penting dalam menetapkan arah program tahunan. Pusat Perencanaan Strategis dan Pendanaan membentuk dan mengetuai gugus tugas (task force) di atas, sektor-sektor menunjuk masing-masing perwakilan yang kompeten untuk menjadi anggota gugus tugas (task force) tersebut, yang selanjutnya akan ditetapkan melalui SK Kepala Bapel.
VIII. PROSES PENYUSUNAN DIPA (APBN & APBN-P) Tahapan proses penyusunan DIPA BRR dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Usulan kegiatan dari Departemen, Bappeda, dan Dinas masuk berbentuk surat atau dokumen yang disampaikan kepada Kepala Bapel dan tembusannya disampaikan kepada Deputi Sektor terkait, Pusat Perencanaan Strategis & Pendananan (PPSP) dan Deputi Anggaran & Akutansi; 2. Deputi Sektor membuat Rancangan Kegiatan berdasarkan usulan seperti tersebut diatas dan usulan dari Satker maupun usulan langsung dari masyarakat; 3. Rancangan Kegiatan disampaikan Kepada PPSP dan selanjutnya PPSP melakukan proses seleksi tahap-1 terkait dengan syarat kegiatan berupa Log Frame, TOR, dan RAB; 4. Rancangan Kegiatan yang lolos dari seleksi tahap-1 kemudian menjalani proses seleksi tahap-2 terkait dengan pembahasan substansi. Pada tahap ini selain harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh PPSP keputusan akhir suatu kegiatan dinyatakan baik atau tidak secara substansi ditentukan oleh Tim Pengarah Kegiatan; 5. Rancangan Kegiatan yang lolos seleksi tahap-2, selanjutnya dengan mempertimbangkan prioritas program dan pagu indikatif tahunan persektor yang dikeluarkan oleh Bappenas/Depkeu, disusun kedalam format Renja-KL menjadi sebuah dokumen Rancangan Renja-KL.
10
Berdasarkan Renja-KL tersebut, maka Kegitan yang ada diperinci ke dalam sub-kegiatan, untuk selanjut di susun dalam bentuk paket kegiatan format RKA-KL; 6. Rancangan RKA-KL kemudian oleh PPSP dan Deputi Anggaran & Akutansi dan juga dikawal oleh Sektor terkait diajukan ke DPR dan Depkeu untuk dibahas; 7. Hasil proses pembahasan dengan DPR dan Depkeu berupa dokumen RKA-KL yang disahkan oleh Deputi Anggaran & Akutansi dan dokumen DIPA yang disahkan oleh Kepala Bapel; Tahapan diatas merupakan siklus penyusunan Program tahunan untuk APBN maupun APBN-P, perbedaannya hanya terletak pada jadwal waktu penyusunan saja. Rincian lengkap dapat dilihat pada gambar Bagan Alur Jadwal dan Proses Penyusuan DIPA untuk APBN dan APBN-P (Lampiran-3 & Lampiran-4).
IX. PENUTUP Dengan terbitnya Pedoman Penyusunan Program dan Kegiatan/Sub-Kegiatan ini, diharapkan perancang kegiatan/sub-kegiatan dapat dengan mudah melakukan perancangan kegiatan/sub-kegiatan pada unit kerjanya, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing, sehingga pada akhirnya akan tercipta program/kegiatan yang baik dan berkualitas dalam rangka membangun kembali dan mewujudkan harapan baru, mengubah bencana sebagai titik tolak awal kebangkitan masyarakat dan wilayah NAD-Nias pasca bencana. Pada akhirnya, diharapkan dengan adanya Pedoman ini akan lahir dan program yang tepat, mampu memberikan langkah-langkah yang bagi pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca demi Terwujudnya Masyarakat Aceh dan Nias yang Bermartabat, Demokratis dan Sejahtera.
Banda Aceh, Mei 2006 Kepala Badan Pelaksana BRR NAD-Nias
Kuntoro Mangkusubroto
11
strategi terarah, bencana Amanah,