KEDUDUKAN PEREMPUAN MENURUT AL-QUR’AN Ali Aljufri* Abstract Research on the discourse of women and the things associated with them are contained in the Koran that is very important to investigate because it is a reality from age to age. Because of the development of the discourse of women in the social sciences review, the thematic interpretation of women is relevant to review. Issues concerning women really get serious attention from the sources of Islamic law. The Qur'an mentions the theme of women in many places. Even a number of suras in the Qur'an is taken from the name of women or women's issues. There are in the form of gender such as al-Nisa, or the person's name like Mary or is the problem of women as in sura al-Talaq. Kata Kunci: perempuan, Alqur’an, hak-hak Pendahuluan Alqur’an adalah kitab suci yang lebih dari adil terhadap perempuan. Al-qur’anlah yang untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia mengakui perempuan sebagai entitas yang sah dan memberi mereka hak dalam perkawinan, perceraian, harta dan warisan. Sejarah Islam awal menunjukkan secara konkrit betapa Rasul telah melakukan perubahan radikal terhadap kondisi masyarakat Arab khususnya terkait dengan posisi dan kedudukan perempuan. Rasul memperkenalkan hak waris bagi perempuan di saat perempuan diperlakukan hanya sebagai obyek atau bagian dari komoditas yang diwariskan. Rasul menetapkan kepemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandang kepemilikan mahar adalah hak monopoli orangtua dan wali perempuan. Rasul melakukan koreksi total pada praktik poligami yang tanpa batas. rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi di tengah masyarakat yang hanya memandang ibu sebagai mesin produksi. Rasul menempatkan istri sebagai mitra sejajar suami.
236 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 235-246
Kosa kata tentang perempuan dalam al-Qur’an sangat variatif. Perempuan kadang disebut al-nisa. Kata ini bahkan menjadi salah satu nama surah dalam al-Qur’an. Kata al-Nisa menunjukkan jender perempuan. AlNisa juga bermakna istri-istri. 1 Kata al-mar’ah sebagai bentuk mufrad dari al-nisā hampir seluruhnya bermakna istri.2 Asal Kejadian Perempuan Diskursus tentang perempuan dalam perspektif al-Qur’an berkaitan erat dengan asal-usul penciptaan laki-laki dan perempuan. Hal ini telah dijelaskan Allah dalam surah al-Nisa ayat 1. Ayat ini menjelaskan penciptaan manusia dari nafs wahidah. Walaupun tidak dijelaskan apa yang dimaksud nafs wāhidah, banyak pakar tafsir yang memahaminya dengan Adam. Seperti Jalaludin al-Suyuti dan Ibn Katsir. Akan tetapi Muhamad Abduh dalam tafsir al-Mannar memahami kata al-nafs dengan makna ‚jenis‛ . Dalam pandangan Athiyyah Saqar, bahwa penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam bukanlah pendapat yang disepakati ulama, jadi sangat mungkin menurutnya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam yaitu dari tanah.3 Adapun Thaba’thabai menyatakan bahwa ayat di atas menegaskan bahwa peremuan diciptakan dari jenis yang sama degan Adam.4 Menurut Qusaish Shihab, Ini menunjukkan ayat tersebut, tidak mendukung paham sebagaian mufassir yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam.5 Jadi tidak ada informasi dari al-Qur’an yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan laki-laki. Kata Nafs dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 295 kali dan tidak ada yang berkonotasi Adam secara khusus melainkan menunjuk kepada berbagai pengertian sesuai konteks pembicaraan seperti jiwa dalam sura Yusuf ayat 53. 6 ada pula yang merujuk pada pengertian jenis atau bangsa seperti dalam surah al-Nahl ayat 72.
1
Lihat antara lain al-Baqarah ayat 187, 222, 223 dan 226. Lihat surah al-Tahrim ayat 10. 3 Athiyyah Saqar, Fatawa al-Azhar (Kairo: Al-Azhar al-Syarif ) 4 Thabathabai, Tafsir al-Mizan (Bairut: Muasasah al-A’lami lil al-Mathbuat 1991), 210 5 Qurash Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan 1996), 300 6 Lajnah Pentashhihahn Mushhaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an Tematik, Jilid II (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2009), 4. 2
Ali Aljufri, Kedudukan Perempuan Menurut Al-Qur’an
237
Menurut Quraish Shihab, ada banyak teks a-Qur’an yang mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa dan persamaan kedudukannya.7 Demikianlah terlihat al-Qur’an mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan pandangan yang keliru tentang perempuan dan asal kejadian perempuan. Apresiasi al-Qur’an Terhadap Perempuan. Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai indikator yang menunjukkan bentuk-bentuk penghargaan terhadap perempuan. Mulai dari penamaan surah secara khusus yang bermakna perempuan yaitu surah al-Nisa’sampai dengan larangan membuat masalah terhadap perempuan. Seluruh ide tentang perempuan dalam Al-Quran dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat perempuan dan mempersamakan hak dan kewajibannya dengan laki-laki melalui proses (sekali lagi, proses) pembebasannya dari kungkungan adat dan kebudayaan serta kelembagaan sosial Arab Jahiliyah. Proses pembebasan itu dapat dikenali dengan jelas dari beberapa isu dalam Kitab Suci yang menyangkut pengecaman dan pengutukan atas praktikpraktik Arab Jahiliyah berkenaan dengan perempuan: 1. Masalah wa’du al-banāt (pembunuhan bayi perempuan). Praktik yang amat keji ini timbul pada orang orang Jahiliah karena pandangan mereka yang amat rendah kepada kaum perempuan, sehingga lahirnya seorang bayi perempuan dianggap akan membawa beban aib kepada keluarga. Praktik ini dibasmi total oleh al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menyebut bayi perempuan yang lahir sebagai berita gembira dari Allah. AlQur’an mengutuk melalui firman dalam Q., 81: 8-9 berupa gambaran tentang pertanggungan jawab yang amat besar pada hari kiamat, dan dalam Q., 16: 58-59, berupa gambaran dalam nada kutukan tentang sikap orang Arab Jâhiliyah yang merasa tercela karena lahirnya jabang bayi perempuan. 2. Masalah al-‘ajal ( yaitu adat menghalangi atau melarang perempuan dari nikah setelah talak, sengaja untuk mempersulit hidupnya. Larangan ini ada dalam Q., 2: 232, yang terjemahnya demikian: Dan jika kamu menalak perempuan, kemudian telah tiba saat (idah) mereka, maka janganlah kamu menghalangi mereka untuk nikah dengan (calon-calon) suami mereka jika terdapat saling suka antara mereka dengan cara yang baik. Demikianlah dinasehatkan kepada orang dari kalangan kamu yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan itulah yang lebih suci bagi kamu serta lebih bersih. Allah mengetahui, dan kamu tidak mengetahui‛. 7
Qurash Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan 1996), 303.
238 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 235-246
3. Masalah al-qisamah (suatu kebiasaan buruk yang cukup aneh di kalangan orang Arab Jahiliyah, berupa larangan kepada kaum wanita dalam keadaan tertentu untuk meminum susu binatang seperti kambing, onta, dan lain-lain, sementara kaum pria diperbolehkan. Penyebutan disertai pengutukan tentang kebiasaan ini ada dalam Q., 6: 139, yang terjemahnya adalah demikian: Mereka (orang Arab Jâhiliyah) berkata, ‚Apa yang ada dalam perut ternak ini melulu hanya untuk kaum pria kita, dan terlarang untuk isteri-isteri kita.‛ Tetapi kalau (bayi binatang itu) mati, maka mereka (laki-perempuan) sama-sama mendapat bagian. Dia (Allah) akan mengganjar (dengan azab) pandangan mereka itu, dan sesungguhnya Dia Maha Bijak dan Maha Tahu‛. 4. Masalah al-zhihār, suatu kebiasaan buruk yang juga cukup aneh pada orang Arab Jâhiliyah, berupa pernyataan seorang lelaki kepada isterinya bahwa isterinya itu baginya seperti punggung (zhahr) ibunya, sehingga terlarang bagi mereka untuk melakukan hubungan suami isteri, sebagaimana terlarangnya seseorang untuk berbuat hal itu kepada ibunya sendiri. Kutukan terhadap praktik aneh yang menyiksa perempuan ini terdapat dalam Q., 58: 1-3. 5. Masalah al-îlā’, yaitu kebiasaan sumpah seorang suami untuk tidak bergaul dengan isterinya, sebagai hukuman kepadanya. Pada orang Arab Jahiliyah sumpah itu tanpa batas waktu tertentu, dan dapat berlangsung sampai setahun atau dua tahun. Al-qur’an membolehkan sumpah serupa itu jika memang diperlukan, tapi hanya sampai batas waktu empat bulan, atau talak. Sumpah tidak bergaul dengan isteri lebih dari empat bulan tanpa menceraikannya adalah tindakan penyiksaan dan perendahan derajat kaum perempuan. Larangan atas praktik ini terdapat dalam Q.s 2: 226-227.
Masalah-masalah tersebut merupakan sebagian dari contoh yang paling nyata dari proses pembebasan perempuan dari kungkungan adat yang merampas dan atau membatasi kebebasannya. Dari proses pembebasan itu, menurut seorang feminis Muslim Zainab al-Ma‘ādî, perempuan kemudian diangkat derajatnya menjadi sama dengan laki-laki, baik dalam harkat dan martabat maupun dalam hak dan kewajiban. Sudah tentu seperti yang ada
Ali Aljufri, Kedudukan Perempuan Menurut Al-Qur’an
239
pada setiap budaya, temasuk budaya modern pembebasan dan penyamaan derajat itu tidak mungkin melupakan dan mengingkari kenyataan perbedaan fisiologis antara laki-laki dan perempuan. Penegasan tentang kesamaan derajat asas perempuan dan laki-laki itu dapat dibaca dalam berbagai surah dan ayat, antara lain Q.S 49: 13; Q.S 53: 45-46; Q.S 4: 1, dan Q.S 7: 190. Nabi Saw. pernah membuat penyataan kutukan kepada praktik mengingkari persamaan lelaki dan perempuan itu sebagai praktik Jahiliyah. Diriwayatkan bahwa beliau berkeliling kota Makkah setelah pembebasannya, lalu berpidato dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah, dan bersabda, ‚Alhamdulillâh, segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kamu sekalian dari sikap tercela Jahiliyah. Wahai sekalian manusia, manusia itu hanya dua macam: yang beriman dan bertakwa serta mulia pada Allah, dan yang jahat dan sengsara serta hina pada Allah‛. Kemudian beliau membaca QS. 49: 13,
Wahai sekalian umat manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian dari lelaki dan perempuan, lalu Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ialah agar kamu saling kenal (dengan sikap saling menghargai). Sesungguhnya yang paling mulia pada Allah di antara kamu ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Maha Teliti‛. Dan sudah tentu bagi para wanita Muslimah, juga bagi siapa saja, penting sekali peristiwa turunnya sebuah ayat yang menegaskan persamaan derajat pria dan wanita. Seorang isteri Nabi saw., yaitu Umm Salamah, pernah menyampaikan kepada beliau semacam keluhan bahwa al-Qur’an hanya menyebutkan kaum lelaki dan tidak menyebutkan kaum perempuan, maka berkenaan dengan peristiwa itu turunlah firman Allah:
ث َن ا َّن ث ص ِإدقِإ يَن َن ْلاقَن نِإتِإ يَن َن ْلاقَن نِإتَن ِإ ْل ِإ َن ِإ َنص ِّد قِإ يَن ث َن ْلا ُم ت َن َن ْلا َن ِإا ِإ يَن َن ْلا َن ِإا َن ِإ ث َن َّن َن اِإ ِإ يَن اُم ُمز َنو ُم ْل َن ْلا َن اِإ َن ِإ اذ ِإك ِإز يَن هللاَن َن ِإ ًر
ِإ َّن ْلا ُم ْل ِإ ِإ يَن َن ْلا ُم ْل ِإ َن ِإ ث َن ْلا ُم ْل ِإ ِإ يَن َن ْلا ُم َن ا َّن ث َن ا َّن َن ا َّن ث ص اِإ ِإز يَن ص اِإ َنز ِإ ص ِإدقَن ِإ ص آِإ ِإ يَن َن ا َّن ث َن ا َّن ث َن ْلا َن ْلا ُم ت َن ص آِإ َن ِإ َنص ِّد قَن ِإ َنك ِإ زًر َن َّن ث ّأ َن َّن هللاُم اَن ُم َّن ْلغفِإ َنزةًر َن َنوْل زًر اذ ِإك َنز ِإ
Sesungguhnya mereka yang berserah diri (‚ber islam‛) lelaki dan perempuan, yang beriman lelaki dan perempuan, mereka yang taat lelaki dan perempuan, mereka yang jujur lelaki dan perempuan, mereka yang tabah lelaki dan perempuan, mereka yang khusyu‘ lelaki dan perempuan, mereka yang berderma lelaki dan perempuan, mereka yang berpuasa lelaki dan perempuan, mereka yang menjaga
240 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 235-246
kehormatannya lelaki dan perempuan, mereka yang banyak ingat kepada Allah lelaki dan perempuan, Allah menyediakan bagi mereka semua ampunan dan pahala yang agung (Q. 33: 35). Penyebutan hampir hanya jenis kelamin kebahasaan lelaki dalam alQur’an sesungguhnya adalah karena bahasa Arab memang mengenal jenis lelaki-perempuan, sekalipun tentang benda-benda mati, bukan dengan maksud diskriminasi. Namun penegasan dalam firman itu sungguh sangat bermakna bagi tekanan kepada hakikat kesamaan derajat pria dan wanita yang diajarkan Islam. Sebenarnya kaum perempuan Islam tidak perlu merasa kuatir dengan harkat dan martabat mereka dalam agamanya. Jika penyimpangan terjadi, maka selalu dapat diluruskan kembali dengan merujuk kepada sumber-sumber suci. Dengan merujuk kepada semangat dasar dan kearifan asasi atau hikmah ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi, kita dapat mengetahui bahwa banyak memang praktik dalam sebagian dunia Islam yang merendahkan kaum perempuan itu tidak berasal dari agama, tapi dari adat dan kultur setempat. Islam merupakan gerakan reformasi yang paling dahsyat. Al-Qur’an telah berhasil merevolusi tradisi jahiliah menjadi sebuah peradaban maju. Dalam masyarakat pra Islam tidak ada norma masyarakat dan kaum perempuan yang paling menderita. Mereka tidak mempunyai hak apapun. Mereka tidak mempunyai hak mewarisi dan tidak punya hak atas anak mereka sendiri. Al-Qur’an datang dengan mengakui perempuan sebagai entitas yang sah bahkan al-Qur’an mengatakan bahwa hak-hak mereka adalah sama dengan kewajiban mereka. Untuk menjalankan reformasi tersebut al Qur’an sendiri maupun Nabi, melancarkan strategi-strategi melalui pernyataan-pernyataan yang bernada persuasi, gradual, membuka ruang publik bagi perempuan dan memberikan hak yang sebelumnya terlarang, pada satu sisi dan mereduksi otoritas laki-laki, pada sisi yang lain. Tindakan terhadap perempuan yang nusyuz, misalnya, dilakukan dengan merubah tradisi. Dalam tradisi Arab saat itu isteri yang membangkang suami adalah memukul, merendahkan dan bahkan melukainya. Kenyataan ini dilihat oleh al-Qur’an sebagai tradisi kekerasan yang harus dirubah. Al-Qur’an menyampaikan langkah persuasif sekaligus bertahap menasehati, membiarkannya tidak digauli dan baru kemudian memukulnya. Hak-Hak Perempuan Di antara cara yang baik untuk memahami perempuan adalah melalui penjelasan yang diturunkan oleh yang menciptakan perempuan. Inilah sumber penjelasan terbaik. Al-Qur’an berbicara tentang perempuan dalam
Ali Aljufri, Kedudukan Perempuan Menurut Al-Qur’an
241
berbagai surah dan pembicaraan tersebut berhubungan dengan berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada ayat yang menjelaskan tentang profile perempauan yang shalihah dan durhaka. Namun tidak dipungkiri di antara teks teks al-Qur’an yang berbicara tentang perempuan, sering dipahami sebagaian orang dengan cara yang keliru sehingga menghasilkan kesimpulan yang keliru pula. Di antaranya adalah tentang peran sosial perempuan dalam masyarakat. Ada asumsi yang berkembang dalam masyarakat bahwa perempuan menurut agama tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial, peran perempuan hanya sebatas dalam wilayah domestik. Ada pula yang memandang bahwa perempuan bebas melakukan aktifitas dalam kehidupan sosial sama halnya dengan laki-laki. Benarkah kedua pandangan tersebut? Inilah yang menjadi fokus dalam makalah ini sehingga sebagai seorang muslimah kita dapat menempatkan diri kita di tempat yang benar dan sesuai syariah. Untuk lebih fokus menjawab masalah ini, pembahasan ini meliputi beberapa sub yaitu: 1)
Perempuan Bekerja di Luar Rumah.
Tujuan utama Allah memberikan kesempatan kepada manusia hidup di dunia termasuk perempuan adalah bekerja dengan baik. Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur’an surah al-Muluk: Dalam ayat ini setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk dapat mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk dapat bekerja dalama bekerja dan melakukan tugas-tugasnya. Ayat yang secara jelas menunjukkan hal tersebut adalah surah al-Nisa ayat 32.
Dalam menjelaskan ayat ini Muhammad Rasyīd Ridhā menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan anjuran kepada kita untuk menunjukkan kemampuan terbaik kita. Rasyid Ridha menegaskan bahwa bekerja diwajibkan bagi laki-laki dan perempuan. Allah mengarahkan perempuan dan laki-laki agar mencari keutamaan dengan usaha dan kerja keras tidak dengan angan-angan.8 Secara lebih tegas Ibn Asyur menyatakan, ‚setiap 8
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Mannar, Jilid V, 58
242 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 235-246
manusia baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan bagiannya dalam menikmati fasilitas duniawi yang diperuntukkan baginya sebagai balasan atas kerja kerasnya.9 Ayat berikut dengan jelas menunjukkan hal ini:
وزه
ه ح وة ط بت ا جش
يا
ن ى هو
ي ذكز . و
لصا ك نو
ي اأح ي
Kaum perempuan pada masa nabi digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan tetapi tetap terpelihara akhlaqnya. Dalam al-Qur’an figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang mempunyai kompetensi di bidang politik, seperti Ratu Bilgis yang mengepalai sebuah kerajaan, mempunyai kompetensi di bidang ekonomi seperti dalam kisah nabi Musa di Madyan, mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan pribadi atau bersikap kritis terhadap keadaan sekelilingnya. Namun dalam beraktifitas, ada beberapa catatan yang diberikan oleh Muhammad al-Ghazali seperti yang dikutip oleh Muhammad Quraish Shihab yaitu: a. Perempuan tersebut memiliki kemampuan yang jarang dimiliki oleh laki-laki-laki. b. Pekerjaan yang dilakukannya hendaklah layak bagi perempuan. Yang perlu ditambahkan adalah adalah ketika keluar rumah perempuan harus tampil dengan sikap dan penampilan yang terhormat. c. Perempuan bekerja untuk membantu tugas pokok suaminya d. Bahwa perempuan perlu bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan hidup keluarganya jika tidak ada yang menjamin atau kalaupun ada tetapi tidak mencukupi.10 Dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an tidak melarang perempuan bekerja baik di dalam atau di luar rumah dengan catatan pekerjaan itu dilakukan dalam suasana yang tetap menjaga kehormatannya dan memelihara tuntutan agama. 2)
Hak dan Kewajiban Menuntut Ilmu.
Uraian ini dimulai dari apresiasi al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat dari betapa seringnya al-Qur’an menyebut kata ilm dengan segala derivasinya yang mencapai lebih dari 800an kali. Dalam ayat yang pertama kali turun dalam surah al-A‘laq, ayat 1-5 9
Ibn Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir, jilid V, 32. Quraish Shihab, Perempuan, 262-263
10
Ali Aljufri, Kedudukan Perempuan Menurut Al-Qur’an
243
tergambar dengan jelas betapa kitab suci al-Qur’an memberi perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan. Allah menurunkan petunjuk pertama adalah terkait dengan salah satu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Yang dalam redaksi ayat menggunakan redaksi iqra. Dalam konteks modern sekarang makna iqra dekat dengan makna reading with understanding. Yang perlu mendapat perhatian adalah apapun aktifitas iqra yang kita kerjakan, maka syarat yang ditekankan oleh al-Qur’an adalah harus bismirabbik (dengan nama Tuhan). Hal ini mengandung arti seperti yang dinyatakan Abdul Halim Mahmud, bahwa dengan kalimat Iqra bismirabbik, al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan umtuk membaca, tetapi membaca adalah lambang segala aktifitas yang dilakukan oleh manusia baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Maksudnya adalah, Bacalah demi Tuhanmu, Bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu, kalau disimpulkan ayat ini bermakna, Jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuan semuanya demi Allah Tuhanmu. Perintah ini juga berlaku kepada kaum perempuan yang konsekwensi logisnya bermakna bahwa kaum prempuanpun dituntut untuk selalu berusaha melakukan iqra dalam arti berusaha untuk selalu menuntut ilmu sesuai bidang yang diminatinya. Dalam QS Thaha ayat 114, Allah berfirman: رسق ى ا راى سدنى . Inilah salah satu doa yang dipanjatkan oleh perempuan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Ayat ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu adalah salah satu bentuk ibadah yang bernilai tinggi yang harus dilakukan oleh setiap muslim/muslimah. Al-Qur’an juga memberikan pujian kepada ulul albab yang berzikir dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Mereka yanng dinamai ulul albab tidak terbatas pada lak-laki saja tetapi juga perempuan. Ini menunjukkan bahwa kaum perempuan dapat berfikir, mempelajari dan mengamalkan apa yang telah mereka hayati setelah berzikir dan apa yang mereka ketahui tentang alam raya ini. Sejarah membuktikan bahwa banyak tokoh perempuan yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sehingga menjadi rujukan dari sekian banyak tokoh lakilaki. Sejumlah nama perempuan terekam dalam beberapa literatur sejarah sebagai perempuan terkemuka dan terpandang karena kedalaman ilmunya. Pada masa Rasulullah Aisyah salah satu istri beliau terkenal akan keluasan ilmunya, pada masa Khulafa Rasyidin, Ummu Abdillah bin Zubair yang terkenal karena pengetahuannya yang komprehenship tentang agama. Amrah binti Abdurahman misalnya sebagai seorang ahli fikih juga salah seorang alimah yang memberikan fatwa di Madinah setelah sahabat
244 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 235-246
Rasulullah. Sayyidah Sakinah binti Husein adalah salah satu tokoh perempuan yang menjadi idola perempuan pada masanya. Dalam hal ini Mahmud Syalthut menyatakan, ‚Tabiat kemanusiaan antara laki-lai dan perempuan dapat dikatakan sama. Allah telah menganugrahkan kepada perempuan sebagaimana menganugrahkan kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanankan aktifitas yang bersifat umum atau khusus. Karena itu hukum-hukum syariatpun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (laki-laki) menjuak dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan. Yang satu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan. 11 Paparan di atas membawa pada kesimpulan bahwa keberadaan perempuan sebagai ulama tidak bisa dipungkiri dalam realitas sejarah Islam. Islam secara normatif memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu dan mengabdikan ilmu mereka kepada masyarakat. Akan tetapi dalam realitas empirik harus diakui pengakuanterhadap keulamaan perempuan sangat kurang sehingga jumlah ulama perempuan masih sedikit. Untuk memperbanyak jumlah ulama dari kalangan perempuan di masa depan, kaum perempuan harus memperoleh dan menggunakan akses dan peluang dalam lembaga keagamaan terutama lembaga pendidikan yang seluas-luasnya. Di samping itu kaum perempuan sendiri harus meningkatkan kwalitas diri dan kemampuan intelektualitasnya melalui jalur pendidikan juga meningkatkan inisiatif, motivasi dan prestasinya yang merupakan elemen penting profesionalisme sehingga dengan itu akan lahir ulama perempuan yang profesional. 3)
Hak hak Dalam Bidang Politik
Membicarakan hak-hak politik perempuan setidaknya memunculkan dua pandangan kontroversial. Pandangan pertama, pandangan yang mengklaim bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa Islam mengakui hak politik perempuan sama dengan laki-laki. Ada beberpa alasan yang dikemukakan kelompok pertama adalah QS al-Ahzab ayat 33. Ayat ini menegaskan bahwa tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah di rumah. Dalil kedua adalah QS al-Nisa ayat 34. Ulama sepakat mendefinisikan kata 11
Mahmud Syalthut, Min Taujuhat al-Islam (Kairo: Dar alQalam)
Ali Aljufri, Kedudukan Perempuan Menurut Al-Qur’an
245
qawam sebagai pemimpin, pelindung penanggung jawab, pendidik dan pengatur.dalil ketiga adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang menyatakan Lan yuflihanna qaumun walau amruhum Imra’ah. Ayat dan hadis di atas menurut pandangan pertama ini merupakan justifikasi bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki. Implikasinya dari pemahaman seperti ini adalah bahwa perempuan tidak memiliki hak politik yang setara dengan yang dimiliki kaum laki-laki. Pandangan kedua yang mengakui hak politik perempuan juga menggunakan ayat dan hadis yang sama sebagai landasan teologis dengan pandangan pertama. Hanya saja mereka memilki interpretasi yang berbeda terhadap dalil-dalil tersebut. Salah satu ayat yang dikemukakan oleh pemikir Islam tentang adanya hak politik perempuan adalah surah al-Tawbah ayat 71:
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Pengertian kata awliya menyangkut kerjasama, bantuan dan penguasaan. Ayat itu menunjukkan bahwa, laki-laki dan perempuan mempunyai hak politik, hak kepemimpinan publik, terbukti keduanya berkewajiban menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.12 Menanggapi ayat yang dikemukakan pendapat pertama, yang tidak membolehkan perempuan berperan dalam bidang politik lebih cenderung melihat ayat ini dari konteks yang melatar belakangi turunya, yaitu dalam masalah rumah tangga, bukan dalam masalah politik. Qawwâmûn merupakan pernyataan kontektual bukan normatif, seandainya al-Qur`an menghendaki laki-laki sebagai qawwâmûn, redaksinya akan menggunakan pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan semua keadaan, tetapi al-Qur`an tidak menghendaki seperti itu. 12
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 315, lihat juga Lajnah Pentashih Mushhaf al-Qur’an, Tafsir Tematik al-Qur’an, h, 69. Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yokyakarta: LKiS, 2003)
246 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 235-246
Daftar Pustaka Ahmed, Leila. Women and Gender in Islam historical Roots of a Modern Debate, London: Yale University Press, 1992. Amīn, Qāsim. Taḥrīr al-Mar’ah, Kairo:Dār al-Maʻārif, 1970. Angineer, Asghar Ali. Islam dan Pembebasan, diterj. Hairu Salim. Yogyakarta: LKiS, 1987. Ibn Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir Kairo: Dar al-Fikr Lajnah Pentashhihahn Mushhaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an Tematik , Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2009 Mernissi, Fatima. Women and Islam an Historical and Teological Enquiry, T.tp: Basil Blackweel, 1991. Rasyid Ridha , Muhammad, Tafsir al-Mannar, Kairo: Dar al-Fikr Saqar, Athiyyah , Fatawa al-Azhar (Kairo : Al-azhar al-Syarif ) Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung Mizan 1996 Syaltut Mahmud, Min Taujihat al-Islam, Cairo Dar al-Qalam Wadud, Amina, Wanita dalam al-Qur’an, diterj. (Bandung:Penerbit Pustaka, 1994), *Dosen Tetap Jurusan Ushuluddin STAIN Datokarama Palu