KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : NAUFAL EL RAMADHIAN NIM:109048000037
KONSENTERASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/2014 M
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 09 Januari 2014
Naufal El Ramadhian
iii
ABSTRAK NAUFAL EL RAMADHIAN. NIM 109048000037. KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. xi + 91 halaman + halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia serta tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach) pada norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang menjelaskan mengenai kedudukan Ombudsman lembaga pengawas pelayanan publik dan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sudah jelas dan final dengan dikeluarkannya UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan diperkuat dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, sehingga tugas dan wewenang ORI dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan optimal. Kata kunci:
Kedudukan Ombudsman, Lembaga Pengawas pelayanan Publik, Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan Tugas serta Wewenang Dugaan Pelanggaran, Ombudsman Republik Indonesia, Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Pembimbing
: Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum Dwi Putri Cahyawati, SH, MH.
Daftar Pustaka
: Tahun 1979 sampai Tahun 2014
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam nikmat yang diantaranya nikmat iman, islam, ihsan dan nikmat sehat wal-afiat serta rahmatnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan
skripsi
ini
dengan
judul
“KEDUDUKAN
OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA” ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan, nasehat, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1.
Prof. Dr. K.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. Ketua dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
v
3.
Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum., dan Dwi Putri Cahyawati, SH, MH., dosen Pembimbing 1 dan 2 yang telah memberikan arahan dan masukan serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4.
Nur Rohim Yunus, LLM., dan Fitria SH, MR., dosen penguji 1 dan 2 yang telah memberikan saran, masukan, serta arahan dalam proses penyusunan skripsi ini.
5.
Segenap staf Perputakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf Perpustakaan Universitas Indonesia, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6.
Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum, yang telah memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat, mendapat rahmat dari Allah SWT dan menjadikan keberkahan bagi penulis. Semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau dengan menjadikan semua kebaikan dan keikhlasan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
7.
Kedua orang tuaku ayahanda Ateng Sukmayadi dan Ibunda Cucun Sunoarti yang ku sayangi dan ku hormati, terimakasih tak terhinga atas kasih sayang, do’a, bimbingan, nasehat, materi serta segala yang telah diberikan untuk ananda. Serta Adik-adikku Nawafi El Bikri, Naila Aufa El Silmi dan Ryhan Maulana Akbar yang selalu menghibur, memotivasi dan memberikan arti penting sebagai seorang putra sulung.
vi
8.
Keluarga besar alm. H. Aswad Bin Saih, H. Ujang Djumhaedin, pak Budi, dan pak Odih Hendramadji serta Keluarga Besar alm. Moh. Syafei baik itu Uwa, para Om dan tante yang selalu memberikan doa dan dukungan baik moril, materil dan spiritual bagi penulis.
9.
Sahabat hatiku Dwi Astuti Handayani Putri (Wiwid) yang selalu disampingku, memberikan perhatiannya kepadaku, memberikan motivasi dan dukungan serta do’a dalam proses penyusunan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum yang kucintai, khususnya prodi Ilmu Hukum angkatan 2009 (Ilham, Fajri, Fandi, Wawan, Fuji, Budi, Rizky,Taufan, Silmi, Iffah, Alin, Affidah, Sisca, Vera, Luspina, Gagat, Zaki, Jajang, Holil Imam, Maul, Saddam dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu). Terimakasih yang tak terhingga atas kebersamaannya, memotivasi, dan selalu menghibur dikala sedang gelisah. 11. Sahabat-sahabat Futsal Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sahabat Futsal Kecret-Kocrot FC yang selalu memberikan dorongan dalam proses skripsi. 12. Sahabat-sahabat kosan Inun, Ilham, Wawan, Daqoiq, Lili, Doblenk, Fiman, Oye, Rezha, Riko, Teqie, Radi, Indra, Soleh, Taufik, Zay, Long, dan semua sahabat kosan inun yang tidak bisa penulis sampaikan satu-persatu. Karena selalu menghibur dengan candaan, bantuan dan motivasi selama proses pembuatan skripsi ini.
vii
13. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amien). Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Jakarta, 31 Desember 2013 Penulis,
Naufal El Ramadhian
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii ABSTRAK ................................................................................................................ iv KATA PENGANTAR .............................................................................................. v DAFTAR ISI………………………………………………………………………. ix DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................. 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 5 D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................... 5 E. Kerangka Konseptual ...................................................................... 7 F. Metode Penelitian............................................................................. 9 G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 14
BAB II
KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan ................................. 16 B. Konsep Checks and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia .......................................................................................... 30 ix
C. Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik ................................................. 35 BAB III
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
OMBUDSMAN
REPUBLIK
INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Ombudsman ............................................ 44 B. Sejarah Berdirinya Ombudsman Republik Indonesia ...................... 48 C. Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia ..................... 55 D. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia................. 56 BAB IV
KEDUDUKAN PENGAWAS
OMBUDSMAN PELAYAN
PUBLIK
SEBAGAI DALAM
LEMBAGA STRUKTUR
KETATANEGARAAN INDONESIA A. Ombudsman Republik Indonesia dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ........................................................................................... 64 B. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam Menangani Kasus Berupa Dugaan Pelanggaran Pelayanan Publik Yang Dilakukan Oleh Penyelenggara Negara ................................. 74 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 84 B. Saran ................................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 87
x
DAFTAR LAMPIRAN 1. Bagan alur penyelesaian laporan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia 2. Alur penanganan laporan masyarakat atas tindakan maladministrasi oleh penyelenggara negara kepada Ombudsman Republik Indonesia 3. Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia 4. Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa ini, hukum merupakan sebuah instrumen untuk memperoleh sebuah keadilan. Hukum merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan yang berwenang yang berisi perintah ataupun larangan untuk mengatur tingkah laku manusia guna mencapai keadilan, keseimbangan dan keselarasan dalam hidup serta untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam hidup. Sesuai dengan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.1 Bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.2 Sebagaimana ada dalam makna alinea ke-4 pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
1
A. Abdullah dan Abdul Rozak, Demokrasi (Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani), (Jakarta: ICCE bekerja sama dengan Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. 3), h. 68. 2
Makna alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
1
2
Indonesia. Ironisnya, pada saat ini hukum tidak berjalan sesuai dengan das sein (apa yang seharusnya). Pada dasarnya yang bertanggung jawab atas ketidaksesuaian hukum yang telah terjadi saat ini adalah pemerintah, karena pemerintah merupakan organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta Undang-undang di wilayah tertentu. Fungsi utama pemerintah adalah memberikan
pelayanan,
menyelenggarakan
pembangunan
dan
menyelenggarakan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya, dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban yang mengayomi dan mensejahterakan masyarakatnya3. Selaras dengan prinsip-prinsip pokok Good & Clean Governance bertujuan merealisasikan pemerintahan yang professional dan akuntabel, baik, bersih dan berwibawa. Kemudian sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan tujuan utama dari implementasi good and clean governance. Pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah
3
Lihat Hardiyansyah Ahmad, dalam Artikel Pelayanan Publik, di akses pada 24 Agustus 2013 melalui www.google.com,
3
dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap Penyelenggara Negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.4 Namun peraturan yang mengatur Ombudsman ini telah banyak menuai kontroversi yang mengakibatkan kurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah yang mengatur semua jenis pengawasan peyelenggaraan pelayanan publik. Seperti halnya UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang substansi materi muatan hukumnya hampir sama dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang secara kontinuitas akan menimbulkan dualisme kewenangan. Masyarakat memiliki peranan dalam proses membangun penegakan Hukum untuk memperoleh keadilan, karena mereka adalah bagian, dan juga sasaran, dari keadilan itu sendiri. Masyarakat adalah komponen yang semestinya merasakan keadilan, dan bukan sebaliknya, menjadi obyek serta korban ketidakadilan. Masyarakat juga memiliki hak untuk melakukan pengawasan karena penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan Negara yang berdasarkan atas mandat yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pengawasan oleh Ombudsman adalah pengawasan riil, yaitu pengawasan untuk memperoleh pelayanan sebaik-baiknya dari aparatur pemerintah.
4
Antonius Sujata, dkk, Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 14.
4
Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah dijelaskan, penulis tertarik untuk membahas penelitian ini dengan judul “KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA”. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, Penulis akan membatasi permasalahan yang akan dibahas hanya Kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia kemudian tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan ulasan yang penulis paparkan dalam latar belakang dan permasalahan yang penulis sudah batasi, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia ?
5
b. Bagaimana tugas dan wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Selaras dengan pembatasan dan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk : a. Untuk
mengetahui
kedudukan
Ombudsman
sebagai
lembaga
pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. b. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan tugas dan wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, Penulis melakukan penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini di beberapa sumber yang Penulis temukan, penelitian tersebut yaitu :
6
1. Judul Skripsi : PERAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA PERWAKILAN PROPINSI JAWA TIMUR DALAM PENYELESAIAN LAPORAN ATAS DUGAAN MAL ADMINISTRASI PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK. (Studi Kasus di Wilayah Kerja Kota Surabaya). Penulis : Heru Prasetyo / Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur / 2012 Penelitian ini didasarkan Permasalahan tentang Peran Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Propinsi Jawa Timur Dalam Penyelesaian Laporan Atas Dugaan Mal-administrasi Penyelenggara Pelayanan Publik. Sedangkan penulis, menitikberatkan permasalahan tentang Kedudukan Ombudsman Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik 2. Judul Skripsi : PERANAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA. Penulis : Lina Rubiyanti/ UMY/ 2010 Penelitian ini didasarkan pada permasalahan Peranan Ombudsman RI Untuk mewujudkan Good Governance di Indonesia dan mengkaji Ombudsman RI dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam kinerja penanganan laporan. Sedangkan
penulis
didasarkan
pada
permasalahan
tentang Kedudukan
Ombudsman Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta
7
wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. E. Kerangka Konseptual Institusi pengawasan yang bernama “Ombudsman” pertama kali lahir di Swedia, namun demikian sebenarnya Swedia bukanlah Negara pertama yang membangun Sistem pengawasan Ombudsman. Pada zaman Romawi telah terdapat intitusi “Tribunal Plebis” yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak masyarakat lemah dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Model yang demikian juga dapat dijumpai pada kekaisaran Cina Dinasty Tsin pada tahun 221 SM.5 Ombudsman menurut Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia adalah Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan
mengawasi
penyelenggaraan
pelayanan
publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
5
Jeremi Pope, Pengembangan Sistem Integritas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999) h. 115.
8
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kemudian dalam menaungi Lembaga Ombudsman yang pada awalnya telah dibentuk Komisi Ombudsman Nasional, yang diuraikan pada Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional yang dikatakan “Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan Negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, maka hal-hal yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional sudah dihapus dan digantikan dengan Undang-undang terbaru. Dalam literatur peraturan perUndang-undangan, Perbedaan Keputusan Presiden dengan Peraturan, yakni suatu keputusan (beschikking) selalu bersifat individual, kongkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, suatu peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus (dauerhaftig). Keputusan Presiden adalah norma Hukum yang bersifat
9
konkret, individual, dan sekali selesai. Begitupun dengan Ombudsman yang menurut Undang-undang terbaru Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia membaharui Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional. F.
Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, Sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; Sistematis adalah berdasarkan suatu Sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.6 Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.7 Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif/normatif yuridis, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan 6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, Cet. III), h. 42. 7
Ibid., h. 42.
10
perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.8 2. Pendekatan penelitian Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan yaitu: a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) Suatu
penelitian
normatif
tentu
harus
menggunakan
pendekatan perndang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.9 Penelitian ini dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya tentang Kedudukan Ombudsman dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia
dan
wewenang
Ombudsman
dalam
menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. b. Pendekatan konsep (conceptual approach) Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep tentang
Ombudsman
Republik
Indonesia
dalam
mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik sehingga diharapkan penormaan 8
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18. 9 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, 2008, Cet. IV), h. 303.
11
dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang bermakna ganda. c. Pendekatan historis (historical approach), dan Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih mendalam tentang suatu lembaga. Dengan mengetahui latar belakang dan sejarah suatu lembaga, maka dapat diketahui permasalahan apa saja yang dihadapi dan mempengaruhi lembaga tersebut.10 d. Pendekatan perbandingan (comparative approach). Setiap
kegiatan
ilmiah
lazimnya
menerapkan
metode
perbandingan. Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum yang lain.11 Dari perbandingan itu, maka dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan kedua Sistem hukum itu. Persamaanpersamaan akan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang diselidiki, sedangkan perbedaan-perbedaan disebabkan oleh adanya
10
11
Ibid., h. 318.
Hal tersebut karena sejak semula seorang ilmuwan harus dapat mengadakan identifikasi terhadap masalah-masalah yang akan ditelitinya. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, Cet.VII), h. 81.
12
perbedaan suasana, iklim, budaya, dan sejarah masing-masing bangsa yang bersangkutan.12 3. Bahan Hukum a.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim13. Dalam penelitian ini yang termasuk bahan Hukum primer adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Pubik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan,
naskah
akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ombudsman Republik Indonesia,
dan
Peraturan
Perundang-undangan
terkait
dengan
Ombudsman Republik indonesia. b.
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
12
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum (Malang: Bayumedia Publishing, 2006, Cet. II),h. 313. 13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010, Cet.VI), h. 141.
13
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan.14 c.
Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.15
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Dalam mengumpulkan Bahan hukum, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum yang telah didapatkan itu
kemudian
dikumpulkan
berdasarkan
rumusan
masalah
dan
diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya. 5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih Sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 141.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 143.
14
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi16. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana Kedudukan Hukum dalam Sistem kelembagaan Negara dan Tugas dan Wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun penulis berdasarkan buku petunjuk “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012” dengan Sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun sistematikanya sebagai berikut: BAB I :
PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah; Batasan dan Rumusan Masalah; Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu; Metode Penelitian; dan Sistematika Penulisan.
BAB II :
KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN Bab ini Menjelaskan Mengenai Teori Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan;
16
Konsep
Checks
and
Balances
Dalam
Sistem
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2006, Cet. II), h. 393.
15
Ketatanegaraan Indonesia; dan Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik. BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA Pada
bab
ini
akan
diuraikan
mengenai
sejarah
berdirinya
Ombudsman; yang terdiri atas pengertian, sejarah singkat sifat, asas dan tujuan, falsafah, visi dan misi, kemudian struktur organisasi; serta fungsi tugas dan wewenang lembaga Ombudsman. BAB IV: OMBUDSMAN PELAYANAN
SEBAGAI
LEMBAGA
PENGAWAS
PUBLIK
DALAM
STRUKTUR
KETATANEGARAAN INDONESIA Dalam bab ini menjelaskan tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran terhadap penyelengaraan pelayanan publik. BAB V : PENUTUP Berisi kesimpulan dan saran penulis yang didapatkan berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya.
BAB II KEKUASAN LEMBAGA INDEPENDEN A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan Salah satu ciri Negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraaan kekuasaaaan Negara. Meskipun kedua istilah rechstsstaat dan rule of law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.17 Pada awalnya, teori pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikenal sekarang merupakan pengembangan atas reformasi dari teori “pemisahan kekuasaan”. Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali di Eropa barat sebagai antitesa terhadap kekuasaan raja yang absolute sekitar abad pertengahan, yaitu antara abad 14 samapai dengan abad ke 15. Kemudian pada abad ke 17 dan ke 18, lahirlah suatu konsep atau gagasan untuk menarik kekuasaan membuat peraturan dari raja dan selanjutya diserahkan kepada suatu badan kenegaraan yang berdiri
17
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 281.
16
17
sendiri. Begitu pula pada akhir abad pertengahan terhadap kekuasaan kehakiman telah diserahkan kepada suatu badan perwakilan.18 Istilah
“Pemisahan
kekuasaan”
dalam
bahasa
Indonesia
merupakan
terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing.19 Kemunculan teori pemisahan kekuasaan mengalami proses yang cukup panjang. Hal itu dapat dicermati mulai dari penggunaan istilah “Trias Politica”. Istilah trias politica awalnya oleh Emmanuel Kant, begitu pula secara substansi pemikiran yang melandasinya sudah terlebih dahulu dan ditulis oleh Aristoteles. 1. Teori Pemisahan Kekuasaan John Locke John Locke dilahirkan 26 Agustus 1632 dalam suatu keluarga dengan kelas ekonomi menengah di Wrington, Inggris Barat. Ayahnya adalah seorang tuan tanah dan pengacara. Ia memberikan pengaruh sangat besar pada cara berfikir Locke.20
18
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1990), h. 2.
19
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 285. 20
Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 13.
18
John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari inggris, dia hidup pada tahun 1632-1704, di bawah kekuasaan pemerintahan willem III, yang bersifat pemerintahanya adalah monarki yang sudah agak terbatas.21 Memang demikianlah, bahwa seluruh ajaran John Locke terutama ajarannya tentang negara dan hukum. John Locke dalam bukunya “Two Tritieses of Government” yang terbit Tahun 1690. Locke adalah seorang filusuf Inggris yang pertama kali menggagaskan pentingnya kekuasaan dalam negara dipisahkan menjadi tiga bidang: pertama, kekuasaan membentuk Undang-Undang (legislatif), kedua, kekuasaan eksekutif, dan ketiga, kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang mencakup juga kekuasaan mengadili. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang meliputi semua kekuasaan yang tidak termasuk dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif.22 2. Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu Montesquieu adalah seorang ahli pemikir besar yang pertama diantara ahliahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari perancis. Nama lengkapnya adalah Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu. Dia adalah seorang sarjana hukum, hidup pada tahun 1688-1755. Dia adalah seorang autodidact, yaitu
21
22
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), h. 106.
Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988), h. 140.
19
seorang yang dengan pemikiran dan tenaganya sendiri telah memperoleh kemajuan terutama dalam lapangan ilmu pengetahuan.23 Montesquieu berpendapat bahwa negara dalam bangunannya seperti UndangUndang, kebiasaan dan tradisinya adalah berlainan. Yang menyebabkan berlainannya hal-hal di atas negara yang pernah dan masih ada itu adalah perbedaan
yang
terdapat
dalam
situasi
bangsa
masing-masing,
sifat
kebudayaannya, dan lain-lain syarat mengenai alam dan kebudayaannya seperti iklim, tanah, kebiasaan, dan lain-lain.24 Montesquieu membangun suatu ajaran atau teori pemisahan kekuasaan yang mengilhami teori John Locke. Hal itu tergambar dengan jelas dalam bukunya “De L’esprit Des Lois” yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut dirumuskan “The Doctrine Of Separation Of Power States That The Legislative, Executive, And Judicial Functions Of Government Should Be Independent”. (doktrin pemisahan kekuasaan negara ke dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang independen: legislatif, eksekutif, dan yudikatif). 3. Teori Pembagian Kekuasaan C. van Vollenhoven Donner Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur 23
Soehino, Ilmu Negara, h. 116.
24
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Ilmu Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 159.
20
(penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.25 Catur praja yang pertama adalah regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu, Bestuur yang identik fungsi pemerintahan eksekutif, rechtspraak (peradilan) dan politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan peri kehidupan bernegara.26 Dari 3 teori di atas ada beberapa perbedaan antara teori John Locke dengan Montesquieu27 kemudian perbedaan pendapat dengan C. van Vollenhoven Donner, diantaranya pada kekuasaan kehakiman atau pengadilan, perbedaan yang mendasar antara Locke dan Montesquieu. Bagi John Locke, berpendapat bahwa kehakiman atau pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bahkan oleh John Locke pekerjaan pengadilan disebutkan pertama-pertama sebagai pelaksanaan Undang-undang. Namun bagi Montesquieu meskipun pemerintah dan pengadilan duaduanya melaksanakan hukum, namun ada perbedaan sifat antara dua macam pekerjaan itu, yaitu pemerintah menjalankan hukum dalam tindakan sehari-hari,
25
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 34. 26
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 284. 27
Nama lengkap Montesquieu yang sebenarnya adalah Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu.
21
sedangkan pengadilan hanya bertindak mengambil suatu putusan menurut hukum dalam hal suatu pihak mengemukakan suatu pelanggaran hukum oleh lain pihak. Berbeda
dengan
pendapat
Montesquieu,
bestuur
menurut
Van
Vollenhoven tidak hanya melaksanakan Undang-undang saja tugasnya, karena dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah mempertahankan hukum secara preventif (preventive rechtszorg), mengadili (menyelesaikan perselisihan) dan membuat peraturan (regeling).28 Di samping itu, dalam studi ilmu administrasi publik atau public administration dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan ke dalam dua fungsi saja. Kedua fungsi itu adalah : (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy making function); dan (ii) fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function).29 Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negaranegara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila 28
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988), h.147. 29
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 284.
22
diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang.30 Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembagalembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental organization). Lembaga negara bantu sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik,31 membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya.32 Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam
30
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006 ). h. 8. 31 31
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 11. 32
Ibid., h. 9
23
ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan, seperti yang dinyatakan oleh Yves Meny dan Andrew Knapp :33 “Regulatory and monitoring bodies are a new type autonomous administration which has been most widely develoved in the United States (where it is sometimes referred to as the headless fourth branch’ of the government). It takes the form of what are generally known as Independent Regulatory Commisions” Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya.
33
Yves Meny dan Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition, (Oxford: Oxford University Press, 1998), h. 281.
24
Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2) Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah;34 Jennings,
sebagaimana
dikutip
Alder
dalam
Constitutional
and
Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut.35 1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik. 2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.
34
John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: The Macmillan Press LTD, 1989), h. 232-233. 35
Ibid., h. 225.
25
3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum. 4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis. 5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/ alternatif penyelesaian sengketa). Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antar lembaga negara. Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam tiga kelompok.36 Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah
36
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca AmandemenUUD 1945, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 184
26
UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted power). Ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden.37 Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembagalembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.38 Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu yang bersifat mandiri dan independen di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang mengakar dan sulit diberantas
37
Jimly Asshidiqie, “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca-Perubahan UUD 1945 dan Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Nasional”. (makalah disampaikan pada seminar dan lokakarya nasional perkembangan ketatanegaraan pascaperubahan UUD 1945 dan pembaruan pendidikan hukum Indonesia, Jakarta, 7 September 2004), h. 7 38
T.M. Lutfhi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, (makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, Jakarta, 9 September 2004), h. 2.
27
2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. 3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada dalam melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan pada masa transisi menuju demokrasi, baik karena persoalan internal maupun persoalan eksternal. 4. Adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan, baik yang disebut sebagai state auxiliary institutions/organs/agencies maupun institutional watchdog (lembaga pengawas), yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga negara yang telah ada merupakan bagian dari sistem yang harus diperbaiki. 5. Adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan tersebut sebagai prasyarat menuju demokratisasi. Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya.
28
Lembaga Negara adalah merupakan lembaga-lembaga atau organ publik yang menjalankan pemerintahan dan tidak berada dibawah kendali presiden. Bersifat “mandiri” secara etimologis berarti menunjukan kemampuan berdiri sendiri. Ini menjelaskan bahwa istilah mandiri menunjuk pada tidak adanya pengaruh dari luar atau bebas dari campur tangan kekuasaan lain atau ketidaktergantungan dengan suatu lembaga kepada lembaga lainnya. Menurut Jimly Asshidiqie bahwa independensi lembaga-lembaga Negara sangat diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Kemudian beliau menyebutkan lembaga-lembaga sekarang ini menikmati kedudukan independen, diantaranya pada tingkatan pertama, yaitu Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan Bank Indonesia sebagai Bank Central. Pada tingkatan kedua juga muncul lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (sekarang Ombudsman Republik Indonesia), Komisi Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan Komisi peniyaran Indonesia (KPI). Secara garis besar Lembaga Negara di Indonesia terbagai dalam dua kelompok, yaitu lembaga negara yang dibentuk melalui UUD dan lembaga negara yang dibentuk di luar UUD. Lembaga Negara yang pembentukannya diluar UUD seringkali disebut lembaga negara tambahan (ekstra auxiliary) atau lembaga
29
negara secondary, dalam artian merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam konstitusi, namun dibentuk melalui Undang-undang (regulatory body). Keberadaan Ombudsman di Indonesia memang sangat dibutuhkan masyarakat dewasa ini dengan pertambahan penduduk dan beragamnya masalah yang dialami oleh masyarakat dalam mendapatkan haknya sebagai warga negara. Sehingga masyarakat dapat melaporkan keluhan yang dialaminya dengan cepat kepada lembaga yang independen dan dengan tanpa biaya yaitu Ombudsman Republik Indonesia. Pengaturan Ombudsman dalam Undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undangundang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki kekuatan memaksa (subpoena power), rekomendasi yang bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi ombudsman dalam menangani laporan. Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang muncul, bahwa semuanya memiliki makna pemisahan kekuasaan bertujuan agar penguasa atau pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsi pemerintahan mengindari dan tidak melakukan tindakan sewenang-wenang, menjamin hak-hak warga negara, dan
30
memberikan
ruang
gerak
terhadap
pelaksanaan
prinsip
kebebasan
dan
kemerdekaan.39 B.
Konsep Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkanlah teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan politik
menjadi
3
bentuk,
yaitu
kekuasaan
legislative
(legislative
power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk undangundang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga, aliansi antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara asing. Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Baron Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica. Dalam teorinya, kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
39
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah, (Bandung: Alumni, 2009), h. 31.
31
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang suatu Negara. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan hukum tersebut. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman. Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan Negara tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak demikian, kebebasan akan terancam. Namun pada kenyataannya, teori yang di idealkan Monstesquieu tersebut tidak dapat diterapkan pada Negara-negara dewasa ini. Kenyataannya ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari sinilah dikembangkan teori checks and balances. Check and balances mengacu pada variasi atau aturan prosedur yang memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi kekuasaan lainnya.40 Judicial review adalah bukti pelanggaran batas atas prinsip pemisahan kekuasaan, demikian juga impeachment presiden oleh legislatif. Tindakan-tindakan saling mengimbangi dan mengawasi yang sekarang ini dipahami sebagai check and balances.
40
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h. 63.
32
Ketika gerakan reformasi berhasil menjebol sakralisasi UUD 1945, banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat terutama kalangan akademisi, berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD 1945 agar mampu membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang demokratis. Gagasan ini menjadi niscaya karena berlakunya UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik ternyata di Indonesia tak pernah lahir sistem politik yang demokratis sehingga selalu timbul korupsi dalam berbagai bidang kehidupan.41 Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu ditawarkan adalah usulan tentang sistem dan mekanisme checks and balances didalam sistem politik dan ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya dapat dikatakan bahwa checks and balances itu tidak ada. Dalam pembuatan UU misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatifnya maupun pengesahannya. Selama era Orde Baru, tak pernah ada RUU datang dari inisiatif DPR. Bahkan RUU yang semula berasal dari presiden pun pernah ditolak untuk disahkan oleh presiden sendiri setelah disetujui oleh DPR melalui pembahasan bersama pemerintah selama tak kurang dari 8 bulan. Dominasi eksekutif dalam membuat, melaksanakan, dan menafsirkan UU menjadi begitu kuat didalam sistem politik yang executive heavy42 karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan UU. Waktu itu, tidak ada peluang pengujian oleh lembaga yudisial dalam apa yang 41
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 67. 42
Executive heavy, adalah kekuasaan terlalu dominan berada di tangan Presiden (hak prerogatif dan kekuasaan legislatif). melalui http://www.siputro.com/2012/09/sejarah-amandemen-uud-1945/, diakses pada tanggal 14 Januari 2014.
33
dikenal sebagai judicial review atau (constitutional review) seperti sekarang. Review atas UU hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislative melalui legislative review atau political review, padahal lembaga tersebut didominasi oleh presiden.43 Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 tidak mengenal check and balances. MPR dianggap sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi diantara lembaga-lembaga lainnya. Yang mana berbeda dengan ajaran John Locke bahwa Negara tidak boleh dipimpin atau dikuasai oleh seseorang atau satu lembaga yang sifatnya absolut sehingga menjadi sewenang-wenang. MPR menetapkan UUD, mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Presiden ialah pengelenggara kekuasaan di bawah MPR yang berkewajiban menjalankan haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR serta tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Oleh karena itu, siapapun Presiden yang dapat menguasai MPR, kekuasaannya akan langgeng. Begitupun sebaliknya, jika Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar kemungkinan diturunkan dari kursi kepresidenannya. Sistem check and balance mulai diterapkan setelah amandemen UUD 1945.
Setiap
cabang
kekuasaan
saling
mengawasi
dan
mengimbangi
pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar tiap
43
cabang
pemerintahan
dapat
membatasi
kekuasaan
pemerintahan
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 68.
34
lainnya. Kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga tinggi lainnya. Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya amandemen atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah memasukan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara presiden dan DPR, maka dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Dan jika dalam waktu 30 hari sejak (disahkan) oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai UU dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden [Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka gagasan checks and balances mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 yang mengatur bukan pengujian isi (uji materi) saja, tetapi juga pengujian prosedur (uji formal). Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap perundangundangan yang diatasnya.44
44
Ibid.
35
C.
Urgensi
Kewenangan
Ombudsman
Dalam
Bentuk
Pengawasan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan (yang biasanya terdiri atas beberapa wewenang) adalah kekuasaan terhadap segolongan orangorang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja.45 Sedangkan pengawasan, Secara harfiah dari segi tata bahasa, kata “kontrol” berarti pengawasan, pemeriksaan dan pengendalian.46 George R.Terry memberi arti dari pengawasan (control) adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil yang sesuai dengan rencana.47 Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang 45
Prajudi Atmosudirdja, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII (edisi revisi) cet. Ke-10, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 78. 46
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4, Perum dan Percetakan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1955), h. 523 dan 1134. 47
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan (Bandung: PT.Alumni, 2004), h.89.
Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,
36
berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi seluas apa kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai: “pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.” atau “suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya.” Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan. Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang
37
muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana
mestinya.
Dalam konteks ini,
pengawasan menjadi
sama
pentingnyadengan penerapan good governance itu sendiri. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control). Sasaran pengawasan
adalah temuan
yang menyatakan terjadinya
penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat dilakukan adalah: a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan; b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan; c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana. Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang bersifat struktural maupun fungsional. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia. Selain itu juga terdapat Organisasi Non Pemerintah ataupun Lembaga Swadaya
38
Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara. Berbagai lembaga negara, Aparatur Pengawas Struktural, Pengawas Fungsional serta Organisasi Non Pemerintah tersebut dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut:48 1. Lembaga Pengawas Struktural sebagaimana selama ini dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan terkait. Dalam menghadapi dan ataupun menindaklanjuti laporan sangat ditentukan oleh atasan. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri. 2. Lembaga Pengawas Fungsional meskipun tidak bersifat intern namun substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan. Dengan kata lain Aparat Pengawas Fungsional selain cakupannya sangat sempit juga kurang memperhatikan
48
penyimpangan-penyimpangan
yang
sering
menjadi
Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 70.
39
keluhan langsung masyarakat kerena pengawasan yang dilakukan merupakan kegiatan rutin. 3. Lembaga Pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi memang melakukan pengawasan namun pada satu sisi substansi yang diawasi terlalu luas dan bersifat politis karena memang secara kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan Lembaga Politik serta mewakili kelompok-kelompok politik sehingga pengawasannya juga tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan kelompok yang mereka wakili. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan pada satu sisi substansi yang diawasi cukup luas yaitu mengenai Keuangan Negara yang mencakup kebijakan ataupun pengelolaannya, namun dari sisi lain juga dapat dikatakan terlalu sempit karena hanya mengenai segi keuangannya saja, sementara aspek-aspek lain dalam penyelenggaraan negara belum disentuh, apalagi kepentingankepentingan warga yang bersifat individual dan bukan merupakan penyimpangan sistem ataupun kebijakan jelas belum terakomodasikan. 4. Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah menjadi trend dan berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan kurang terfokus maka lebih banyak ditanggapi dengan sikap “acuh tak acuh”. Terlebih lagi pengawasan yang dilakukan sering kurang data dan lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan fakta perlu lebih memperoleh perhatian. Terdapat jarak ataupun “jurang” yang cukup jauh dan dalam antara aparat pemerintah dengan organisasi non
40
pemerintah yang disebabkan perbedaan landasan keberadaan mereka masing-masing. Lembaga Swadaya Masyarakat eksistensinya berasal dari masyarakat itu sendiri sementara lembaga negara secara formal dilandasi oleh perundang-undangan yang berlaku sehingga dengan bertitik tolak dari landasan yang berbeda tersebut muncul sikap resistensi satu sama lain. Resistensi tersebut makin dalam manakala menghadapi suatu permasalahan konkrit di mana Lembaga Pemerintah menggunakan parameter pranata yang bersifat formil serta prosedur yang struktural hierarkis sementara Organisasi
Non
Pemerintah
mendekati
permasalahan
berdasarkan
kenyataan-kenyataan yang dihadapi dengan prosedur yang tidak hierarkis karena LSM memang bukan merupakan institusi struktural. Memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas kiranya dapat dikemukakan bahwa ternyata masih terdapat celah-celah secara mendasar yang belum merupakan sasaran pengawasan dari Ombudsman Republik Indonesia. Dari aspek kelembagaan juga belum ada lembaga yang secara optimal memperoleh pengakuan dan diterima sebagai pengawas. Bahkan juga belum ada prosedur yang dapat menjembatani antara mekanisme yang bersifat kaku sebagai akibat sistem struktural hierarkis di satu pihak dengan mekanisme pendek dari suatu organisasi yang tidak struktural hierarkis. Dengan demikian diperlukan suatu jalan keluar yang diharapkan pada satu sisi merupakan jalan tengah bagi kepentingan pengemban sistem struktural hierarkis serta kepentingan pengemban sistem non struktural, namun pada sisi lain
41
mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku. Oleh karena itu, Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Dilandasi oleh kondisi baik yang mencakup substansi pengawasan, prosedur maupun kelembagaan maka Ombudsman Republik Indonesia merupakan salah satu alternatif. Tentu di dunia ini tidak ada satu lembagapun yang dapat merupakan obat ajaib dalam arti menyembuhkan segala macam penyakit dengan seketika. Tetapi setidak-tidaknya sekarang ini sudah kurang lebih 130 negara memiliki Ombudsman (dengan sebutan bermacam-macam) baik Ombudsman Nasional maupun Ombudsman Daerah dan lebih dari 50 negara telah mencantumkannya dalam konstitusi. Apabila banyak negara telah memiliki Ombudsman
tentunya
mereka
merasakan
perlunya
institusi
ini
dalam
penyelenggaraan negara demi kesejahteraan masyarakat.49 Sekarang ini Ombudsman Republik Indonesia telah menjadi salah satu ciri dari suatu negara yang ingin menegakkan demokrasi, menyelenggarakan pemerintahan yang baik, menghormati Hak Asasi Manusia serta memberantas praktek-praktek korupsi.
49
72.
Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, h.
42
Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan Ombudsman Republik Indonesia memiliki kapasitas dalam bentuk pengawasan terhadap pelayanan publik oleh penyelenggara Negara. Karena pengawasan merupakan indikator pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sejatinya seperti apa. Dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia selain melakukan pengawasan juga memiliki kewenangan sebagai berikut: - Memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pihak pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait dengan suatu laporan, keluhan, atau informasi yang disampaikan kepada Ombudsman Daerah. - Memeriksa semua keputusan dan atau dokumen-dokumen lainnya yang ada pada pihak pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait, untuk mendpatkan kebenaran dari laporan, keluhan, dan atau informasi. - Atas inisiatif sendiri memanggil dan meminta keterangan secara lisan atau tertulis, kepada penyelengggara negara, pemerintah daerah atau penegak hukum berkaitan dengan dugaan pelanggaran asas-asas penyelenggaraan negara, pemerintah daerah atau penegak hukum yang bersih dan bebas dari KKN, penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakan yang sewenang-wenang. - Membuat rekomendasi atas usul-usul dalam rangka penyelesaian masalah antara pihak pelapor dan pihak terlapor serta pihak-pihak lainnya yang terkait.
43
- Mengumumkan hasil temuan dan rekomendasi untuk diketahui oleh masyarakat. Kemudian kewenangan Ombudsman Republik Indonesia relevan dengan konsep Islam yang menjelaskan tentang kewenangan yang seharusnya dilakukan oleh setiap manusia yang dengan kata lain dikatakan sebagai aparatur penyelenggaraan Negara yang seharusnya melihat rencana apa yang akan dilakukan dikemudian hari, agar tidak menyalahgunakan kewenangannya, sebagaimana Firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al Hasyr (59): 18 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[Q.S. Al-Hasyr(59): 18]
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Ombudsman Istilah Ombudsman pertamakali dikenalkan dalam konstitusi Swedia pada tahun 1718 dengan sebutan Ombudsman yang berarti “perwakilan”, yaitu menunjuk seorang pejabat atau badan yang independen bertugas menampung keluhan warga negara atas penyimpangan atau pekerjaan buruk yang dilakukan pejabat atau lembaga pemerintahan. Sebelumnya, fungsi pengawasan atas tindakan penyelenggara negara dan perlindungan terhadap hak-hak warga juga telah diperkenalkan dalam sistem tata negara kekaisaran Romawi dengan Tribunal Plebis melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan.50 Model seperti ini terjadi pula pada Kekaisaran China 221 SM dengan membentuk Control Yuan bertugas
melakukan
pengawasan terhadap
pejabat-pejabat
kekaisaran
(pemerintahan) dan bertindak sebagi perantara bagi masyarakat yang ingin melaporkan keluhan dan aspirasi kepada Kaisar, kekhalifahan Umar Bin Khathab (634-644 M) yang memposisikan diri sebagai muhtasib (orang yang menerima keluhan) kemudian membentuk Qadi al Quadat (Ketua Hakim
50
Jeremi Pope, Pengembangan Sistem Integritas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999) h. 115.
44
45
Agung) dengan mandat khusus melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan.51 Pada mulanya institusi Ombudsman dikenal di Swedia, dan baru setengah abad belakangan ini sistem Ombudsman menyebar ke seluruh penjuru dunia.52 Ombudsman parlementer kedua dibentuk 1919 di Finlandia, dan tahun 1955 di Denmark. Sistem Ombudsman telah mencantumkan institusi Ombudsman kedalam konstitusinya.53 Berdasarkan beberapa aspek Ombudsman dapat dibagi menjadi beberapa jenis.54 Dari kurun waktu pembentukannya, dapat dibedakan menjadi Ombudsman klasik dan Ombudsman modern. Ombudsman klasik dapat ditelusuri sejak pertama kali Raja Charles XII membentuk Highest Ombudsman, Chief Justice di Turki dan Qadi Al Qudat di zaman Umar Bin Khattab. Ombudsman modern berdiri sejak 1953 di Denmark dan 1962 di New Zealand. Ombudsman di Swedia di kategorikan sebagai Ombudsman modern. Apabila dilihat dari mandat dan mekanisme pertanggungjawabannya, dibedakan menjadi dua jenis, yakni pertama Ombudsman parlementer, yakni 51
Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h.
45. 52
Antonius Sujata dan Surachman, Ombudsman Indonesia ditengah Ombudsman Internasional (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2007), h. 29. 53
Budi Masthuri, Urgensi Pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, diakses pada tanggal 15 Januari 2014 melalui www.hukumonline.com. 54
Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, h. 6-8.
46
Ombudsman yang dipilih oleh parlemen, dan bertanggungjawab (laporan) kepada parlemen. Contohnya Swedia, Finlandia, dan Denmark. Dan kedua, Ombudsman eksekutif, yakni yang dipilih oleh Presiden, Perdana Menteri atau Kepala Daerah. Contohnya Indonesia dan Australia. Sekarang ini institusi Ombudsman di seluruh dunia telah diakui sebagai ciri negara yang penuh semangat untuk memberantas korupsi, sebagai ciri negara yang ingin menegakkan demokrasi serta sebagai ciri negara yang bertekad menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, bukan hanya perbuatan administrasi pemerintahan yang bertentangan dengan hukum dan undang-undang yang merupakan tindakan/perilaku “mal-administrasi” tetapi juga perilaku, yang sekalipun berdasarkan dan sesuai dengan undangundang, namun yang menimbulkan akibat ketidakadilan (injustice) atau hardship (kesulitan yang sangat besar dan/atau tidak seimbang). Intinya, setiap negara yang memiliki Ombudsman, ingin melindungi hak rakyatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Dennis Pearce, Ombudsman Australia:55 the Ombudsman is undoubtedly the most valuable institution from the viewpoint of both citizen and bureaucrat that has evolved during this century (Ombudsman tanpa ragu-ragu merupakan lembaga yang paling berharga yang berkembang di abad ini; baik dari sudut pandang warga negara, amupun dari sudut pandang birokrat). Sebabnya ialah karena :
55
Linda C. Reif, The International Ombudsman Anthology (Netherlands: International Ombudsman Institute, 1999), h. 97.
47
The office of Ombudsman is (Lembaga Ombudsman adalah): 1.
Quick by comparison with other review bodies; (Cepat pelayanannya dibanding lain-lainnya lembaga pengawasan).
2.
Informal and therefore more accessible to complainants. (Informal, dan karena itu lebih mudah terjangkau oleh pelapor).
3.
Cheap for both complainant and decision maker; and (Murah untuk pelapor maupun terlapor; dan)
4.
Not threatening to decision makers-or not as threatening as other review mechanism. (Tidak mengancam pengambil keputusan/aparat negara, atau Tidak sebegitu mengancam dibanding dengan lain-lain mekanisme pengawasan). Jadi, sebab mengapa di lain-lain negara lembaga Ombudsman segera
diterima sebagai lembaga pengawas, adalah karena Ombudsman: 1.
Lebih cepat hasilnya dari pada penyelidikan atau investigasi oleh lainlain lembaga yang ada;
2.
Caranya tidak berbelit-belit,
tidak formal dan lebih mudah
dicapai/didatangi oleh para pelapor; 3.
Murah (gratis), baik bagi pelapor maupun pengambil keputusan;
4.
Tidak mengancam, tetapi menghimbau (merekomendasi) alat atau aparat negara/pemerintah; sehingga aparat tidak merasakan campur
48
tangan Ombudsman sebagai ancaman, tetapi justru sebagai bantuan bagi birokrasi untuk memperbaiki kinerja para penyelenggara negara pemerintahan. B. Sejarah Berdirinya Ombudsman Republik Indonesia 1. Pengertian Ombudsman Republik Indonesia Menurut pasal 2 keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, yang dimaksud dengan “Ombudsman Nasional adalah Lembaga Pengawasan masyarakat yang berasaskan pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.” Sedangkan menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud dengan “Ombudsman adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggaraan negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta Badan Swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah.”
49
2. Sejarah Singkat Ombudsman Republik Indonesia Ombudsman di Indonesia sudah ada sejak 2000, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang membentuk Komisi Ombudsman Nasional (KON) melalui Keppres Nomor 44/2000, sebagai bagian dari program pembangunan demokrasi di Tanah Air dengan jalan menghidupkan mekanisme Checks and Balances, di mana setiap warga negara (civil society) diberi kesempatan berperan dalam melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sebagai tokoh yang sangat pro demokrasi, dan di masa pemerintahannya (yang singkat) itu telah dilahirkan berbagai gagasan, program dan lembaga untuk membangun dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Pada 2001 dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi
Arah
Kebijakan
Pemberantasan
KKN
yang
menyebutkan bahwa sebagai upaya pemberantasan KKN direkomendasikan antara lain membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Ombudsman melalui undang-undang. Berdasarkan fakta tersebut, jika ditinjau dari perspektif politik hukum, maka eksistensi KPK dan Ombudsman adalah amanat rakyat untuk memberantas korupsi. Sebagai tindak lanjut dari Tap MPR tersebut dibentuklah UU Nomor 30/2002 tentang KPK dan UU Nomor 37/2008 tentang Ombudsman RI.
50
Melalui UU Nomor 37/2008, terjadi penguatan kelembagaan terhadap Ombudsman yang semula berstatus sebagai Komisi Ombudsman Nasional (KON) berubah status menjadi lembaga negara dengan nama Ombudsman Republik Indonesia. 3. Sifat, Asas dan Tujuan Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia selanjutnya disebut (UU ORI) dalam menjalankan tugas dan wewenangnya memiliki 8 asas yang dijelaskan hanya beberapa seperti asas
keadilan
yang
menghendaki
agar
dalam
melakukan
tindakan
pemerintahan tidak berlaku sewenang-wenang atau berlaku tidak layak. Artinya
pemerintah
tidak
boleh
bertindak
sewenang-wenang
atau
menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk kepentingan pribadinya. Kemudian asas akuntabilitas, yang bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintahan sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances
51
system) dan asas keseimbangan artinya ada keseimbangan antara pemberian sanksi terhadap suatu kesalahan seseorang pegawai, janganlah hukuman bagi seseorang berlebihan dibandingkan dengan kesalahannya.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman bertujuan:
a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;
b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;
c. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;
d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek- praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;
e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
52
4. Falsafah Ombudsman Republik Indonesia56
Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman Republik Indonesia selalu mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip yang dianutnya sehingga menjadi jati diri yang melekat bagi setiap anggotanya.
Tujuh falsafah tersebut yaitu :
-
Saling Menghargai
Melayani setiap pribadi dengan prinsip - prinsip kesopanan dan saling menghargai sebagai manusia sederajat.
-
Keteladanan
Menjadi teladan dan pelopor dalam prinsip keterbukaan, kesederajatan, tidak memihak, serta pelopor dalam pembaharuan dan selalu konsisten dalam keputusan.
-
Kesetaraan
Mempelopori adanya kesetaraan dan selalu membuka akses bagi setiap orang tanpa memandang status ekonomi, keluarga, bahasa, agama,
56
Falsafah Ombudsman Republik Indonesia di akses pada 25 Agustus 2013 melalui http://www.ombudsman.go.id/index.php/en/tentangkami/falsafah.html
53
kesukuan dan ras, termasuk juga tidak memandang dari segi kondisi fisik, jenis kelamin, umur ataupun status perkawinan.
-
Pemberdayaan Masyarakat
Mendorong dan membantu masyarakat yang menggunakan sarana publik dalam mencari pemecahan bagi setiap masalahnya.
-
Pembelajaran yang Berkesinambungan
Menjadi pelopor dan pendorong dalam hal pembelajaran yang berkesinambungan bagi setiap staf, pemerintahan dan masyarakat.
-
Kerjasama
Selalu menggunakan prinsip-prinsip kerjasama, empati dan niat baik dalam setiap tugas.
-
Kerjasama Tim
Mengkombinasikan perbedaan latar belakang dan pengalaman dalam mencapai satu tujuan dan komitmen untuk sukses.
54
5. Visi dan Misi Ombudsman Republik Indonesia57
Sebagai institusi publik yang bersifat mandiri, Komisi Ombudsman Nasional bersikap independen dalam melaksanakan tugas serta fungsinya. Untuk menunjang kerja secara optimal Komisi Ombudsman Nasional dibutuhkan sistem dan mekanisme yang efisien dan efektif agar sasaran (goal) yang hendak dicapai dapat terwujud. Komisi Ombudsman Nasional memerlukan suatu Visi dan Misi dalam membangun institusi Ombudsman agar menjadi pedoman dasar dalam mencapai tujuan. Tujuan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah untuk mencegah para penguasa menyalahgunakan wewenangnya atau menyalahgunakan diskresinya ; dan membantu penguasa agar menjalankan kinerjanya secara efektif dan efisien, serta mendorong penyelenggara negara selalu mempertahankan akuntabilitas dan kejujuran.58
-
Visi
Mewujudkan Pelayanan Publik Prima yang Menyejahterakan dan Berkeadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
-
Misi
57
Visi dan Misi Ombudsman Republik Indonesia diakses pada 26 Agustus 2013 melalui http://www.ombudsman.go.id/index.php/en/tentangkami/visimisi.html 58
30.
Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, h.
55
1. Melakukan tindakan pengawasan, menyampaikan saran dan rekomendasi serta mencegah maladministrasi dalam pelaksanaan pelayanan public 2. Mendorong penyelenggara negara dan pemerintahan agar lebih efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme 3. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaraan hukum masyarakat dan supremasi hukum yang berintikan pelayanan, kebenaran serta keadilan 4. Mendorong terwujudnya sistem pengaduan masyarakat yang terintegrasi berbasis teknologi informasi
C. Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia Menurut Peraturan Ombudsman RI No.4 Tahun 2010, Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia terdiri atas: a. Ketua, Wakil, dan Anggota Ombudsman; Ketua Ombudsman terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota, kemudian 1 (satu) orang Wakil Ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang anggota. Dalam hal Ketua Ombudsman berhalangan, Wakil Ketua
Ombudsman
menjalankan
tugas
dan
kewenangan
Ketua
Ombudsman. b. Sekretariat Jenderal; Ombudsman dibantu oleh sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang
Sekretaris
Jenderal.
Sekretaris
Jenderal
diangkat
dan
56
diberhentikan oleh Presiden. Adapun Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepegawaian. c. Asisten Ombudsman ; dan Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Ombudsman dibantu oleh
asisten
Ombudsman.
Asisten
Ombudsman
diangkat
atau
diberhentikan oleh Ketua Ombudsman berdasarkan persetujuan rapat anggota Ombudsman. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian serta tugas dan tanggung jawab asisten Ombudsman diatur dengan Peraturan Ombudsman. d. Perwakilan Ombudsman Perwakilan Ombudsman adalah kantor Ombudsman di provinsi atau kabupaten/kota
yang
mempunyai
hubungan
hierarkis
dengan
Ombudsman. D. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman
Republik
Indonesia
berfungsi
mengawasi
tugas
penyelenggaraan negara untuk melindungi masyarakat berkenaan dengan pelayanan kepada masyarakat. Tugas yang harus dilakukan oleh Ombudsman meliputi kegiatan melayani, menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat berkaitan dengan keluhan terhadap pelayanan umum oleh penyelenggara negara, melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga-
57
lembaga negara, lembaga swadaya masyarakat dan badan kemasyarakatan dalam rangka memaksimalkan fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman, sosialisasi Ombudsman, mempersiapkan jaringan, organisasi dan tenaga Ombudsman Daerah, melakukan tugas-tugas lain untuk mencapai tujuan Ombudsman Republik Indonesia maupun melakukan investigasi atas inisiatif sendiri.59
Ombudsman Republik Indonesia berwenang menerima laporan dan mempelajari laporan tersebut apakah termasuk dalam ruang lingkup kewenangan, meminta keterangan secara lisan atau tertulis kepada para pihak, memeriksa dan meminta dokumen-dokumen serta meminta fotocopy, membuat rekomendasi dan bila perlu mengumumkan kepada publik. Ombudsman juga dapat menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak terkait misalnya Presiden, Kepala Daerah atau DPR dalam rangka perbaikan peraturan atau perbaikan layanan umum.
Selain kewenangan di atas Ombudsman menyampaikan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai tindaklanjut apabila terdapat laporan yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman bertugas: 59
Antonius Sujata, dkk, Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 22.
58
a. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
b. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d. Melakukan
investigasi
atas
prakarsa
sendiri
terhadap
dugaan
Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f. Membangun jaringan kerja;
g. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang- undang.
Selanjutnya dalam menjalankan fungsi dan tugas, menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 38 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman berwenang:
59
a. Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Ombudsman berwenang: b. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; c. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan; d. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau photocopy dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; e. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan; f. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; g. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; h. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang:
60
a. Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik; b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
Berkaitan dengan mekanisme pengawasan oleh Ombudsman, menurut ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, menyatakan bahwa :
(1) Ombudsman memeriksa Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
(2) Dalam hal Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor untuk melengkapi Laporan;
(3) Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus melengkapi berkas Laporan;
(4) Dalam hal Laporan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelapor dianggap mencabut Laporannya.
61
Selanjutnya ketentuan Pasal 26 menyatakan :
(1) Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan substantif;
(2) Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman:
a. tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau
b. berwenang melanjutkan pemeriksaan.
Berdasarkan
ketentuan
tersebut,
pada
dasarnya
mekanisme
pengawasan Ombudsman adalah diawali dengan adanya laporan, untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh Ombudsman. Jadi apabila tidak adanya laporan, maka pengawasan Ombudsman bersifat pasif.
Dalam memeriksa Laporan tersebut Ombudsman tidak hanya mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya pemanggilan, namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar penyelenggara negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan
62
ini berarti tidak semua laporan harus diselesaikan melalui mekanisme rekomendasi.
Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan laporan. Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat memanggil terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila terlapor dan saksi telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa (subpoena power). (Penjelasan UU 37/2008).
Untuk menegakkan UU 37/2008, diatur pula mengenai pemberian sanksi administratif dan pidana. Sanksi administrastif diberlakukan bagi terlapor dan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman, sedangkan sanksi pidana diberlakukan bagi setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan.
Di berbagai negara, rekomendasi Ombudsman hanya bersifat mengikat secara moral (morally binding), di Indonesia bersifat mengikat secara hukum (legally binding).
Apabila ada warga negara Indonesia atau
penduduk yang merasa ada pelayanan publik yang tidak baik, maka berhak menyampaikan laporan kepada Ombudsman secara gratis dengan ketentuan:
63
-
Disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
-
Laporan pengaduan harus disertai kronologi kasus yang dijabarkan secara jelas dan sistematis serta ditandatangani.
-
Mencantumkan identitas diri, antara lain fotokopi KTP/ SIM/paspor.
-
Melampirkan fotokopi data pendukung secukupnya.
-
Laporan pengaduan tertulis dapat dikirim melalui pos, diantar langsung ke kantor Ombudsman Republik Indonesia, atau melalui website (www.ombudsman.go.id)
BAB IV KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA A. Ombudsman Republik Indonesia Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Amandemen UUD 1945 menetapkan lembaga-lembaga negara di pemerintahan pusat adalah :60 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2. Presiden/Wakil Presiden dan Kementerian Negara; 3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); 5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 6. Mahkamah Agung (MA); 7. Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga-lembaga negara di pemerintahan daerah menurut amandemen UUD 1945, adalah : 1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); 2. Pemerintahan Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota).
60
Saiful Anwar, Sendi-sendi Hukum Tata Negara Indonesia (Era Reformasi), (Medan: Gelora Madani Press, 2004), h. 101.
64
65
Ketatanegaraan
Indonesia
menurut
amandemen
UUD
1945
juga
menempatkan “lembaga negara penunjang” (Auxilary Institutional Constitution), yaitu lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi untuk membantu lembaga negara yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi negara demi terwujudnya tujuan negara. Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia menegaskan bahwa kedudukan Ombudsman adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Dari kedudukan ini, perlu diperjelas dimanakah posisi Ombudsman Republik Indonesia dalam ketatanegaraan RI. UUD 1945 hasil perubahan menempatkan semua lembaga negara berada dalam posisi yang saling imbang dan kontrol (check’s and balances). Tidak ada lembaga negara yang lebih dominan dari pada lembaga Negara lainnya, seperti masa supremasi MPR sebelum perubahan UUD 1945. Teori-teori klasik menjabarkan bahwa lembaga negara adalah alat kelengkapan negara yaitu institusi-institusi yang melaksanakan fungsi-fungsi negara. Teori ini terkenal dengan nama Trias Politica yang membagi beberapa fungsi negara ke dalam fungsi pembuat undang-undang (legislatif), fungsi penyelenggara pemerintahan (eksekutif), dan fungsi peradilan (yudikatif). Dalam perkembangan ketatenegaraan, teori ini sudah tidak lagi memadai untuk
66
melakukan analisis hubungan antar cabang kekuasaan negara. Ketatanegaraan Indonesia sendiri, terutama setelah perubahan UUD 1945 telah berkembang begitu pesat sebagai upaya mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Tidak hanya itu, lembaga-lembaga negara lain dan komisi-komisi negara juga telah tumbuh diluar UUD 1945. Dengan kata lain kelembagaan negara di Indonesia tak bisa lagi dianalisis dengan pendekatan pemisahan kekuasaan model Trias Politica. Secara garis besar lembaga negara di Indonesia terbagai dalam dua kelompok, yaitu lembaga negara yang dibentuk melalui UUD 1945 dan lembaga negara yang dibentuk di luar UUD 1945. Lembaga negara yang pembentukannya diluar UUD 1945 seringkali disebut lembaga negara tambahan (extra auxiliary) atau lembaga negara secondary, dalam artian merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam konstitusi, namun dibentuk melalui Undang-undang. Karena itu memahami kelembagaan negara Indonesia harus dilakukan melalui pendekatan tugas dan fungsinya. Tidak lagi seperti dulu, yang mengarah hanya kepada lembaga-lembaga yang pembentukan dan fungsinya diberikan oleh UUD 1945. Ombudsman Republik Indonesia selanjutnya disebut ORI merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam UUD 1945. Kelahirannya dilakukan oleh Undang-undang dalam rangka pengawasan kinerja aparatur negara dan pemerintahan serta menampung keluhan masyarakat. Lembaga yang menjalankan fungsi seperti ini belum diatur dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, dalam sistem
67
pemisahan kekuasaan, ORI dapat dikatagorikan sejajar dan tidak dibawah pengaruh satu kekuasaan lain. Dengan tugas dan fungsi seperti itu, keberadaan ORI sangat vital dalam pemenuhan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian tujuan bernegara. Sehubungan dengan kedudukan ORI seperti di atas, maka Ombudsman bukan lagi menjadi domain pemerintah seperti halnya masa berlakunya Keppres No. 44 Tahun 2000. Pemerintah sudah tidak dapat lagi membentuk Ombudsman atau61 Untuk menjangkau tugas dan fungsi pengawasan, serta menampung keluhan masyarakat sampai ke daerah, oleh UU No. 37 Tahun 2008, ORI diberi keleluasaan membentuk Perwakilan di Daerah. Ombudsman daerah atau dengan istilah lain yang badan-badan dengan nama lain yang secara prinsip menjalankan tugas dan fungsi ORI. Tugas mengawasi kinerja lembaga negara dan pemerintahan serta menampung keluhan masyarakat telah beralih dan dilakukan oleh lembaga negara tersendiri dan menjalankan tugas dan fungsinya secara mandiri. ada sekarang secara bertahap harus diintegrasikan menjadi kepanjangan (perwakilan) ORI. Dengan demikian pengawasan akan terstruktur dan terkoordinasi dengan baik mengenai standar, meknisme, prosedur, dukungan fasilitasi, dan lain-lain. Menyangkut peran dan kewenangan Ombudsman yang perlu diperkuat, salah satu caranya
61
adalah dengan menegaskan
posisi
dan kewenangannya
secara
Ibnu Tricahyo, Posisi Ombudsman Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia, makalah ini disampaikan pada Diskusi Panel Ombudsman RI dan KPP tanggal 12 Pebruari 2009.
68
konstitusional (constitutional organ and authority). Dalam sejarahnya, Komisi Konstitusi pernah memasukkan usulan Pasal 24 G yang mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR periode 1999-2004. Namun, gagasan memberikan landasan konstitusional Ombudsman telah gagal, dan faktor inilah yang menyebabkan melemahnya posisi dan wewenang Ombudsman dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Memberikan landasan konstitusional terkait dengan posisi dan wewenang Ombudsman sangatlah penting, mendesak dan perlu diperluas tidak sekadar pengawasan atas pelayanan publik penyelenggara negara, melainkan pula terlibat dalam proses mendorong sistem peradilan yang efektif dan profesional. Dalam kaitan terlibat dalam proses mendorong sistem peradilan yang efektif dan profesional, Ombudsman bisa diberikan fungsi untuk memantau penyelenggaraan persidangan yang independen (atas dasar pengaduan masyarakat) serta aktif dalam proses pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan jangkauan meluas wewenang Ombudsman, maka eksistensi Komisi Yudisial perlu dipertimbangkan kembali dengan penegasan fungsi yang bisa (digantikan) dimiliki Ombudsman, yang selaras dengan penamaan dan fungsi kekuasaannya.62
62
Herlambang Perdana Wiratraman, Sinkronisasi Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Presidensial. POLITIK HUKUM AMANDEMEN KELIMA UUD 1945, Makalah disampaikan pada Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara dengan tema: “Memperkuat Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Melalui Perubahan Kelima UUD Negara Republik Indonesia 1945”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PusKon) Universitas 45 Makassar dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Makassar 29 Juni-1 Juli 2007.
69
Perubahan UUD 1945 perlu pula mengatur secara tegas dan progresif tanggung jawab utama negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia. Konsepsi progresifitas atau pemajuan hak-hak asasi manusia menjadi penting agar penyelenggara negara lebih memprioritaskan tanggung jawabnya, baik terhadap hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Dalam UUD 1945, tanggung jawab negara tidak diatur secara khusus terkecuali rumusan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945) sebagaimana kewajiban individu dalam hak-hak asasi manusia (Pasal 28J UUD 1945). Usulan kongkritnya, Pasal-pasal tentang tanggung jawab negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia haruslah dibuat secara khusus, yang menjadi landasan konstitusionalnya (misalnya: memasukkan klausul ”terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia” dalam Pasal 7A UUD 1945). Selain itu, perlu dipertimbangkan pula bila hendak melakukan perubahan total UUD 1945 (bukan bersifat amandemen), yakni menempatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia terlebih dahulu dalam Pasal-Pasal pembuka atau awal dalam struktur konstitusinya sebelum Perubahan UUD 1945 perlu pula mengatur secara tegas dan progresif tanggung jawab utama negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia. Konsepsi progresifitas atau pemajuan hakhak
asasi
manusia
menjadi
penting
agar
penyelenggara
negara
lebih
memprioritaskan tanggung jawabnya, baik terhadap hak-hak sipil dan politik
70
maupun hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Dalam UUD 1945, tanggung jawab negara tidak diatur secara khusus terkecuali rumusan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945) sebagaimana kewajiban individu dalam hak-hak asasi manusia (Pasal 28J UUD 1945), pengaturan tentang kekuasaan dan kelembagaan negara yang menjalankan kekuasaannya. Untuk memperkuat kedudukan dan kewenangannya, Ombudsman telah melakukan kerjasama dengan beberapa instansi pemerintahan lainnya, seperti : 1. Ombudsman
Republik
penandatanganan
MoU
Indonesia
dengan
terkait
kerjasama
Mabes
POLRI
pelaksanaan
melakukan kewenangan
Ombudsman pada tanggal 26 Mei 2011. Dengan menggandeng POLRI, peran Ombudsman ke depan bisa lebih optimal.63 Kerjasama ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan penyidikan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UU No. 37 Tahun 2008 tentang ORI, yang menjadi bagian pengawasan eksternal untuk mengawasi masalah laporan dari masyarakat. Jadi, bagian pengawas eksternal POLRI adalah Komisi Kepolisian. Sedangkan pengawas internal adalah Irwasum (Inspektur Pengawasan Umum). Selain diawasi oleh lembaga Ombudsman, POLRI juga membantu Ombudsman melaksanakan tugas-tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yg berlaku. Di dalam pelaksanaan di lapangan Komisi Ombudsman dan POLRI bekerja sama, dengan komitmen apabila ada 63
Polri dan Ombudsman Tandatangani MoU, diakses pada tanggal 15 Januari 2014 melalui http://news.liputan6.com/read/336267/polri-dan-ombudsman-tandatangani-mou.
71
permasalahan dalam kepolisian, maka wajib ditindaklanjuti dan diawasi oleh Ombudsman. Jika ada kesulitan-kesulitan dalam pengawasan Ombudsman dapat meminta bantuan kepada kepolisian negara.64 Dalam Pasal 13 dan 44 UU No. 37 Tahun 2008, Ombudsman tidak dapat dilakukan sendiri dalam hal pemanggilan paksa, untuk itulah Ombudsman membutuhkan bantuan POLRI dalam mengatasi masalah ini. Kemudian, MoU ini berisikan peningkatan kualitas koordinasi dalam rangka penyidikan tindak pidana. Sedangkan kerja sama yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan laporan pengaduan dari masyarakat yang dialami korban tindakan kesewenangwenangan yang telah dilakukan aparat pemerintah, penyelenggara negara, BUMN, BUMD, dan siapapun yang menyelenggarakan misi pelayanan publik di seluruh sektor lingkungan POLRI atas bantuan KaPOLRI. Selama ini Ombudsman mengalami kesulitan dalam hal memanggil pihak terlapor karena tidak adanya upaya paksa. Sesuai kewenangannya dalam UU 37 tahun 2008 Komisi Ombudsman wajib menindaklanjuti pejabat instansi terlapor. Apabila pejabat instansi terlapor yang dipanggil Ombudsman tidak mengindahkan panggilan itu tiga kali berturut-turut maka Ombudsman bersama POLRI akan memanggil paksa.
64
Pidato KAPOLRI Timur Pardopo, pada Penandatanganan MoU POLRI dan Komisi Ombudsman di Mabes POLRI, Jl. Trunojoyo, Jaksel, Kamis 26 Mei 2011.
72
2. Kerjasama Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).65 Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melakukan pembahasan rencana kerjasama tahap awal dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada hari Senin, 11 Juli 2011. Bertempat di Ruang Abdurrahman Wahid Lt.7 Kantor Ombudsman, pembahasan yang langsung dipimpin oleh Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai membahas beberapa poin kerjasama yang sedianya akan dilakukan bersama-sama ORI dan LPSK. Kerjasama antara ORI dan LPSK tidak terbatas pada Inpres No.09/2011 melainkan juga meliputi aspekaspek lain seperti mekanisme yang akan dijalankan terkait kesepakatankesepakatan yang telah dibuat antar lembaga penegak hukum. Mekanisme tersebut merupakan sarana implementasi dari kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat LPSK dengan lembaga-lembaga lain. Semendawai mencontohkan LPSK telah membuat kesepakatan dengan Mahkamah Agung (MA) yang menghasilkan komitmen Pimpinan MA H.Arifin Tumpa untuk membuat Surat Edaran kepada pengadilan-pengadilan seluruh Indonesia untuk memberikan penanganan berbeda terhadap para kolaborasi keadilan (Justice Collaborator). Abdul Haris Semendawai mengajak ORI untuk melakukan kemitraan dalam bentuk kerjasama kantor (Join Office) dengan kantor-kantor perwakilan ORI didaerah, perlindungan bagi pelapor-pelapor Ombudsman. Menurut 65
Ombudsman RI Teken Kerja Sama dengan LPSK, diakses pada tanggal 15 Januari 2014 melalui http://news.okezone.com/read/2011/08/18/339/493513/ombudsman-ri-teken-kerja-samadengan-lpsk.
73
Danang Girindrawardana hubungan LPSK dan Ombudsman dapat lebih dalam lagi yakni menciptakan sistem informasi dan konsolidasi lembaga-lembaga dengan tetap berada pada koridor Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Wakil Ketua Ombudsman Azlaini Agus menambahkan bahwa Ombudsman telah melakukan perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan pelapor, namun tampaknya pada beberapa kasus tertentu perlindungan kerahasiaan tersebut dirasakan belum cukup. Hasil dari pembahasan tahap awal ini adalah pembentukan tim serta penyusunan substansi-substansi kerjasama ORI dan LPSK, kerjasama dengan media massa sebagai penggalang dukungan masyarakat, sosialisasi internal. Kegiatan tindak lanjut ini akan dirancang sesegera mungkin dengan terfokus pada penandatanganan MoU, konsolidasi antar lembaga KPK, LPSK, ORI dan lembaga-lembaga lain yang terkait dan pembangunan system informasi dan kerjasama antar lembaga. 3. Kerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.66 Dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepakatan Bersama dengan Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, Ombudsman juga telah melaksanakan beberapa kegiatan terkait pengawasan terhadap pelayanan publik di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah Roadshow ke beberapa Lembaga Pemasyarakatan di Semarang, Salatiga, Solo, dan Yogyakarta pada bulan April 2010. Periode bulan November 2010
66
Ombudman Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2010, Ombudman Republik Indonesia: Jakarta, 2010. h. 57.
74
Ombudsman telah melakukan kerjasama dengan dua instansi yaitu Direktorat Jenderal
Lembaga
Pemasyarakatan
dan
Kementerian
Dalam
Negeri.
Menindaklanjuti Nota Kesepahaman dengan Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan dalam upaya melindungi hak-hak narapidana dan penghuni rumah tahanan, telah diselenggarakan Rapat Koordinasi dengan instansi penegak hukum di Jakarta dan sekitarnya, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan, pada tanggal 23 November 2010 bertempat di Hotel Akmani, Jakarta.
B. Tugas Dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia Dalam Menangani Kasus Berupa Dugaan Pelanggaran Pelayanan Publik Yang Dilakukan Oleh Penyelenggara Negara Dalam menjalankan tugas dan fungsi, menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman berwenang: ayat (1) Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Ombudsman berwenang: a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, terlapor,atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan;
75
c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor; d. Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan; e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; f. Membuat
rekomendasi
mengenai
penyelesaian
laporan,
termasuk
rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang: a. Menyampaikan saran kepada Presiden, Kepala Daerah, atau pimpinan penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik; b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala Daerah agar terhadap undang- undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Mal-administrasi. Kewenangan disalahgunakan
oleh
yang
dimiliki
aparatur
penyelenggara
pemerintahan
atau
pemerintah oknum
yang
sering tidak
76
bertanggungjawab sehingga mengakibatkan buruknya institusi atau lembaga dalam menjalankan kewenangannya yang menimbulkan terjadi krisis kepercayaan pada masyarakat terutama dalam segi pelayanan publik. Oleh karena itu, Ombudsman Republik Indonesia dibentuk untuk menindaklanjuti perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan atau oknum yang tidak bertanggungjawab dalam melakukan pelayananan publiknya. Penulis menganalisis Pembentukan Ombudsman Republik Indonesia dilatarbelakangi beberapa landasan: 1.
Pertama, fungsi dan tugas penyelenggaraan negara pada hakikatnya adalah mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.
2.
Kedua, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil oleh penyelenggara negara.
3.
Ketiga, dalam praktik, banyak sekali penyimpangan, penyelenggara negara tidak melayani tetapi minta dilayani dan rakyat menjadi objek/menjadi korban/menjadi abdi penyelenggara Negara, serta tidak ada tolak ukur yang jelas mengenai pemberian pelayanan.
4.
Keempat, pelaksanaan pelayanan oleh penyelenggara negara perlu diawasi karena lanyaknya penyimpangan, juga untuk mencegah penyimpangan. Dengan demikian, konsep mengenai Ombudsman yang pada intinya adalah untuk melakukan pengawasan terhadap pemberian pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara negara; secara langsung atau tidak langsung akan
77
berdampak bagi upaya untuk memberantas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Konsep Ombudsman Republik Indonesia memandang korupsi secara lebih luas, yaitu tidak hanya dari aspek hukum melainkan aspek sosiologis yaitu segala bentuk perilaku yang bersifat koruptif. Dalam perkembangan terakhir, konsep tentang Ombudsman telah dilandasi dengan UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia bahkan diperkuat dengan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ombudsman penyalahgunaan pemerintah
dan
Republik
kewenangan sekaligus
Indonesia dan
dugaan
membantu
diperlukan
untuk
maladministrasi aparatur
negara
menghadapi oleh
aparatur
melaksanakan
penyelenggaraan negara secara efisien dan adil. Ombudsman akan mendorong pemegang kekuasaan negara melaksanakan pertanggungjawaban secara baik. Beberapa alasan mendasar mengapa banyak negara termasuk Indonesia membentuk Lembaga Ombudsman: - Pertama, secara institusional Ombudsman bersifat independen baik struktural, fungsional maupun personal. Sifat independen ini akan sangat mempengaruhi efektivitasnya karena dalam bertindak senantiasa bersikap objektif, adil, dan tidak berpihak. - Kedua, sasaran pengawasan adalah pemberian pelayanan. Artinya dalam bertindak, aparat menjadi pelayan sehingga warga masyarakat diperlakukan sebagai subjek, bukan objek/korban pelayanan.
78
- Ketiga, prosedur atau mekanisme yang digunakan dalam proses pengawasan tidak berbelit-belit dan juga dimungkinkan proses penyelesaian melalui mediasi dengan prinsip saling memberi saling menerima. - Keempat, Lembaga Ombudsman dengan tegas dan terbuka menyatakan pengawasan yang dilakukan atau laporan yang ditindaklanjuti tidak dipungut biaya.
Kelima,
Ombudsman
juga
menganut
prinsip
bahwa
dalam
menyelesaikan laporan senantiasa mendengarkan dua pihak oleh karena itu tidak melayani surat kaleng. Konsep tentang lembaga Ombudsman sangat mengakomodasi partisipasi masyarakat, dengan cara memberikan peran yang seimbang antara penyelenggara negara yang memiliki kewajiban memberi pelayanan dengan masyarakat yang memiliki hak memperoleh pelayanan. Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik
dinyatakan
bahwa
peran
serta
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk kerjasama pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik juga masyarakat dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik. Masyarakat berhak mengadukan pelayanan publik kepada Ombudsman Republik Indonesia. Pejabat yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan, yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berupa pembebasan dari jabatan,
79
penurunan pangkat, atau sanksi administrasi lainnya. Jika melanggar ketentuan pidana, dapat dituntut hukuman badan ataupun ganti rugi. Implementasi UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dan juga UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik merupakan salah satu terobosan yang cukup revolusioner dan inovatif dalam sistem hukum di Indonesia. Pejabat negara yang melakukan penyimpangan dan direkomendasikan oleh Ombudsman maka, wajib melaksanakan rekomendasi tersebut. Harus diketahui pula, sekalipun diberi wewenang yang sangat luas, hampir semua Ombudsman menggunakan daya persuasif (power of persuasion).67 Cara yang demikian itu disebabkan kenyataan bahwa rekomendasi-rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum. Oleh sebab itu pula Institusi Ombudsman
dijuluki
“Mahkamah
Pemberi
Pengaruh”
(Magistrature
of
Influence)68 atau seperti dikemukakan oleh Donald C. Rowat Ombudsman tidak lebih dari anjing penjaga pihak Legislatif. Ia boleh menggonggong, tetapi tidak boleh menggigit.69 Berkaitan dengan mekanisme kewenangan oleh Ombudsman, menurut ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI, menyatakan bahwa : 67
Penjelasan Sheila Gottehrer pada sesi informal Lokakarya Dua Hari tentang Ombudsman Daerah (Denpasar, Bali, 21-22 February 2002). 68
Antonius Sujata dan RM Surachman, dalam makalah “Pengantar Peluncuran Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional (sebuah Antologi oleh Antonius Sujata dan RM Surachman), (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 117. 69
Ibid.,
80
(1) Ombudsman memeriksa laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; (2) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada pelapor untuk melengkapi laporan; (3) Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus melengkapi berkas laporan; (4) Dalam hal laporan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pelapor dianggap mencabut laporannya. Selanjutnya ketentuan Pasal 26 menyatakan : (1) Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan substantif; (2) Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman: a. Tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau b. Berwenang melanjutkan pemeriksaan. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya mekanisme pengawasan Ombudsman adalah diawali dengan adanya laporan, untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh Ombudsman. Jadi apabila tidak adanya laporan, maka pengawsan Ombudsman bersifat pasif.
81
Dalam
memeriksa
laporan
tersebut
Ombudsman
tidak
hanya
mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya pemanggilan, namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar penyelenggara negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan laporan atas dugaan mal-administrasi dalam penyelenggaraan
semua
laporan
harus
diselesaikan
melalui
mekanisme
rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan laporan. Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat memanggil terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila terlapor dan saksi telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat
meminta
bantuan
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
untuk
menghadirkan yang bersangkutan secara paksa (subpoena power). Untuk menegakkan UU No. 37 Tahun 2008, diatur pula mengenai pemberian sanksi administratif dan pidana. Sanksi administrastif diberlakukan bagi terlapor dan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman, sedangkan sanksi pidana diberlakukan bagi setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan. Dengan demikian, kekuatan hukum atas rekomendasi Ombudsman semakin dipertegas, demi terwujudnya keadilan bagi masyarakat Indonesia. Di berbagai negara, rekomendasi
82
Ombudsman hanya bersifat mengikat secara moral (morally binding), di Indonesia bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Untuk masalah yang telah ditangani oleh Ombudsman kebanyakan mengenai persoalan yang tidak dapat terselesaikan secara internal di dalam instansi-instansi sendiri yang menjadi kewenangan Ombudsman adalah sebagai berikut : 1. Menunda pelayanan 2. Tidak sopan, 3. Menyalahgunakan kekuasaan, 4. Tidak adil, 5. Minta imbalan, dan 6. Di luar peraturan yang berlaku. Apabila ada warga negara Indonesia atau penduduk yang merasa ada pelayanan publik yang tidak baik, maka berhak menyampaikan laporan kepada Ombudsman secara gratis dengan ketentuan: a. Disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. b. Laporan pengaduan harus disertai kronologi kasus yang dijabarkan secara jelas dan sistematis serta ditandatangani. c. Mencantumkan identitas diri, antara lain fotokopi KTP/ SIM/paspor. d. Melampirkan fotokopi data pendukung secukupnya. e. Laporan pengaduan tertulis dapat dikirim melalui pos, diantar langsung ke Kantor ORI, atau melalui website.
83
Perlunya akses publik yang mudah bagi masyarakat, maka Ombudsman menyediakan sistem pelaporan via internet. Ombudsman telah melakukan reach out (peninjauan) ke masyarakat, agar lebih banyak masyarakat mengetahui dan melapor pada Ombudsman. Namun, cara masyarakat untuk melapor ke Ombudsman harus mudah. Tidak seperti ketika melapor kepada polisi yang harus dituliskan dalam BAP (berita acara pemeriksaan) yang kadang malah membuat takut. Untuk itu, saat ini Ombudsman telah mendesain sistem pengaduan masyarakat lewat internet. Tujuannya, agar masyarakat bisa mengajukan pengaduan dari mana saja. Mengingat fungsi Ombudsman sebagai lembaga penguatan masyarakat, efektifitasnya juga dinilai dari sejauh mana aksesibilitas masyarakat terhadap lembaga tersebut.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, peneliti dapat menyimpulkan bahwa: 1.
Kedudukan Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, dapat dikatakan sebagai lembaga independen, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Ombudman Republik Indonesia (ORI) merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam UUD 1945. Kelahirannya dilakukan oleh Undang-undang dalam rangka pengawasan kinerja aparatur negara dan pemerintahan serta menampung keluhan masyarakat. Lembaga yang menjalankan fungsi seperti ini belum diatur dalam UUD 1945. Lembaga negara yang pembentukannya diluar UUD 1945 seringkali disebut lembaga negara tambahan (ekstra auxiliary) atau lembaga negara secondary, dalam artian merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam konstitusi, namun dibentuk melalui Undang-undang. Oleh sebab itu, dalam sistem pemisahan kekuasaan, ORI dapat dikatagorikan sejajar dan tidak dibawah pengaruh satu kekuasaan lain. Dengan tugas dan fungsi seperti itu, keberadaan ORI sangat vital dalam pemenuhan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat 84
85
sebagai bagian tujuan bernegara. Dilandasi oleh kondisi baik yang mencakup substansi pengawasan, prosedur maupun kelembagaan maka Ombudsman Republik Indonesia merupakan salah satu alternatif untuk mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku. 2.
Tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia menurut UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia justru tidak bertumpang tindih dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Bahkan,
dalam
perkembangan
terakhir,
konsep
tentang
Ombudsman telah dilandasi dengan UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang diperkuat dengan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ombudsman Republik Indonesia telah menjadi salah satu ciri dari suatu negara yang ingin menegakkan demokrasi, menyelenggarakan pemerintahan yang baik, menghormati Hak Asasi Manusia serta memberantas praktek-praktek korupsi. Konsep UU tentang Ombudsman Republik Indonesia dan juga UU tentang Pelayanan Publik merupakan salah satu terobosan yang cukup revolusioner dan inovatif dalam sistem hukum di Indonesia. Semua Ombudsman menggunakan daya persuasif (power of persuasion). Cara yang demikian itu disebabkan kenyataan bahwa rekomendasi-rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum (not legally binding). Oleh sebab itu pula
86
Institusi
Ombudsman
dijuluki
“Mahkamah
Pemberi
Pengaruh”
(Magistrature of Influence). B.
Saran Dari hasil penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran dan masukan terhadap tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelengaraan pelayanan publik lebih baik kedepannya nanti. Dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelengaraan pelayanan publik, tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia hendaknya: 1. Mengikutsertakan masyarakat agar berpartisipasi dalam konteks pelayanan publik sehingga meminimalisir terjadinya krisis kepercayaan pada masyarakat. 2. Rekomendasi-rekomendasi ombudsman untuk kedepannya nanti diharapkan dapat mengikat secara hukum (legally binding) agar rekomendasirekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia dapat memiliki kekuatan hukum yang kuat selama tidak bertentangan dengan hukum dan asas hukum yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kitab Suci Al Qur’an B. Buku-Buku Abdul Rozak dan Abdullah. Demokrasi (Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani), Cet. Ke-3. Jakarta: ICCE bekerjasama dengan Kencana Prenada Media Group, 2008. Alder, John. Constitutional and Administrative Law, London: The Macmillan Press LTD, 1989. Anwar, Saiful. Sendi-Sendi Hukum Tata Negara Indonesia (Era Reformasi), Medan: Gelora Madani Press, 2004. Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010. _______________. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. _______________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Atmosudirdjo, Prajudi. Administrasi dan Manajemen Umum, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. _________________. Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII (edisi revisi) cet. Ke-10. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994. Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: PT.Alumni, 2004. Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. IV. Malang: Bayumedia, 2008. Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah, Bandung : Alumni, 2009.
87
88
Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka, 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Perum dan Percetakan, Cet. Ke-4. Jakarta: Balai Pustaka, 1955. Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Ilmu Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988. Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum, Cet. VI. Jakarta: Kencana, 2010. Masthuri, Budhi. Mengenal Ombudsman Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 2005. MD, Moh. Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke-2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Meny, Yves dan Andrew Knapp. Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition, Oxford: Oxford University Press, 1998. Pope, Jeremi. Pengembangan Sistem Integritas Nasional, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999. Reif, Linda C. The International Ombudsman Anthology, Netherlands: International Ombudsman Institute, 1999. Soehino. Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1980. Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Cet. VIII. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Sujata, Antonius, dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002.
89
Sujata, Antonius dan RM Surachman, Ombudsman Indonesia ditengah Ombudsman Internasional, Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2007. Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Cet. 1. Jakarta: Kencana, 2010. Utrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, 1990. Wattimena, Reza A. A. Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007. Zoelva, Hamdan. Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. C. Makalah, Artikel dan Koran. Asshidiqie, Jimly. “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca-Perubahan UUD 1945 dan Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Nasional”, Makalah disampaikan pada seminar dan lokakarya nasional perkembangan ketatanegaraan pascaperubahan UUD 1945 dan pembaruan pendidikan hukum Indonesia, Jakarta, 7 September 2004. Effendi, Sofyan. Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance, Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN 22 September 2005. Gottehrer, Sheila, dalam Lokakarya ”Ombudsman Daerah”, Denpasar, Bali, 2122 February 2002). http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik, diakses pada tanggal 13 Oktober 2013. http://news.liputan6.com/read/336267/polri-dan-ombudsman-tandatangani-mou diakses pada tanggal 15 Januari 2014. http://news.okezone.com/read/2011/08/18/339/493513/ombudsman-ri-tekenkerja-sama-dengan-lpsk diakses pada tanggal 15 Januari 2014. http://www.scribd.com/doc/11319551/Pengertian-Pelayanan-Publik, pada tanggal 12 Oktober 2013.
diakses
90
http://www.siputro.com/2012/09/sejarah-amandemen-uud-1945/, diakses pada tanggal 14 Januari 2014. Masthuri, Budi, Urgensi Pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, diakses pada tanggal 15 Januari 2014 melalui www.hukumonline.com. Sujata, Antonius dan RM Surachman, dalam makalah “Pengantar Peluncuran Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional (sebuah Antologi oleh Antonius Sujata dan RM Surachman), Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002. Tricahyo, Ibnu, dalam makalah “Posisi Ombudsman Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Jakarta: Diskusi Panel Ombudsman RI dan KPP, 2009. Wiratraman, Herlambang Perdana, dalam makalah “Sinkronisasi Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Presidensial. POLITIK HUKUM AMANDEMEN KELIMA UUD 1945”, pada Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara dengan tema: “Memperkuat Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Melalui Perubahan Kelima UUD Negara Republik Indonesia 1945”, Makassar: Pusat Studi Konstitusi (PusKon) Universitas 45 Makassar dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 2007. Yazid, T.M. Lutfhi. “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, Jakarta, 9 September 2004. D. Peraturan Perundang-undangan Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional; Laporan Tahunan 2010, Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta: Ombudman Republik Indonesia, 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia di Daerah; Rancangan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia oleh DPR pada periode 1999-2004;
91
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia; Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan;
ALUR PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT ATAS TINDAKAN MALADMINISTRASI OLEH PENYELENGGARA NEGARA KEPADA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 28 ayat (1) Dalam hal Ombudsman berwenang melanjutkan pemeriksaan, ombudsman dalam melakukan pemeriksaan dapat : a. memanggil secara tertulis Terlapor, saksi, ahli, dan/atau penerjemah untuk dimintai keterangan; b. meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor; dan/atau Adukan keluhan Anda atas pelayanan publik oleh Penyelenggara Negara1
Anda sebagai Pelapor2
c. melakukan pemeriksaan lapangan.
GRATIS (tanpa biaya)
Melaporkan kepada Ombudsman3
Pasal 28 ayat (2) Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan substantif dapat melihat dokumen asli dan meminta salinan dokumen yang berkaitan dengan pemeriksaan Atas tindakan Maladministrasi4 oleh Penyelenggara Negara (sebagai Terlapor5)
Syarat (Pasal 24): • Memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, dan alamt lengkap Pelapor; • Memuat uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan secara rinci; • Sudah menyampaikan Laporan secara langsung kepada pihak Terlapor atau atasannya, tetapi Laporan tersebut tidak mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya; • Peristiwa, tindakan atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan belum lewat 2 (dua) tahun sejak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang bersangkutan terjadi; • Dalam keadaan tertentu, penyampaian Laporan dapat dikuasakan kepada pihak lain; dan dalam keadaan tertentu, nama dan identitas Pelapor dapat dirahasiakan
Ombudsman RI Memeriksa Laporan
Jika lengkap, Ombudsman RI segera memeriksa secara substansial. Pasal 26 ayat (1)
Jika kurang lengkap, Ombudsman RI akan memberitahukan secara tertulis kepada pelapor
Paling lambat 30 hari Pelapor melengkapi Jika lewat 30 hari, Pelapor dianggap mencabut laporannya. Pasal 25 : • Ombudsman lebih lanjut memeriksa Laporan; • Dalam hal laporan terdapat kekurangan; • Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor untuk melengkapi Laporan; • Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus melengkapi berkas Laporan; • Dalam hal Laporan tidak dilengkapi dalam waktu 30 hari, Pelapor dianggap mencabut Laporannya.
Dari hasil pemeriksaan, Ombudsman RI dapat menetapkan : - Berwenang melanjutkan - Tidak berwenang melanjutkan
• Dalam hal Ombudsman tidak berwenang melanjtukn pemeriksaan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dalam waktu paling lambat 7 9tujuh) hari terhitung sejak tanggal hasil pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua Ombudsman. • Pemberitahuan dapat memuat saran kepada Pelapor untuk menyampaikan Laporannya kepada instansi lain yang berwenang.
• Dalam memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip inddependen, nondiskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya. • Selain prinsip tersebut, Ombudsman wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak serta mempermudah Pelapor dalam menyampaikan penjelasannya.
1.
Penyelenggara Negara adalah pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
Pelapor adalah warga Negara Indonesia atau penduduk yang memberikan Laporan kepada Ombudsman.
3.
Ombudsman adalah lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber darii anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
4.
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenanng untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan
5.
Terlapor adalah Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang melakukan Maladministrasi yang dilaporkan kepada Ombudsman.
Sumber : Pembahasan Ombudsman RI dalam Brosur Layanan ORI.
REKOMENDASI OMBUDSMAN RI Dalam hal ditemukan Maladministrasi Ombudsman RI memberikan Rekomendasi*
Rekomendasi memuat sekurang-kurangnya
Rekomendasi disampaikan kepada pelapor, terlapor, atasan pelapor
Pasal 37 ayat (2) Rekomendai memuat sekurang-kurangnya : uraian tentang Laporan yang disampaikan kepada ombudsman ; • • •
Uraian tentang hasil pemeriksaan; Bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan Kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai halhal yang perlu dilaksanakan Terlapor dan atasan Terlapor.
Pasal 37 ayat (3) Rekomendai disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, dan atasan Terlapor dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Rekomendasi ditandatangani oleh Ketua Ombudsman
Pasal 38 • • Pasal 39 Terlapor dan atasan Terlapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
•
•
Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman Atasan Terlapor wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang pelaksanaan Rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya Rekomendasi. Ombudsman dapat meminta keterangan Terlapor dan/atau atasannya dan melakukan pemeriksaan lapangan untuk memastikan pelaksanaan Rekomendasi. Dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan Rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Sumber : Pembahasan Ombudsman RI dalam Brosur Layanan ORI
* Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien serta sekaligus merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyeleggara negara dan pemerintahan; c. bahwa dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat agar terwujud aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, perlu dibentuk lembaga Ombudsman Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Mengingat
: 1. Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang . . .
-22. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menetapkan
:
MEMUTUSKAN: UNDANG-UNDANG TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. 2. Penyelenggara . . .
-32. Penyelenggara Negara adalah pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 3. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. 4. Laporan adalah pengaduan atau penyampaian fakta yang diselesaikan atau ditindaklanjuti oleh Ombudsman yang disampaikan secara tertulis atau lisan oleh setiap orang yang telah menjadi korban Maladministrasi. 5. Pelapor adalah warga negara Indonesia atau penduduk yang memberikan Laporan kepada Ombudsman. 6. Terlapor adalah Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang melakukan Maladministrasi yang dilaporkan kepada Ombudsman. 7. Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik. BAB II SIFAT, ASAS, DAN TUJUAN Pasal 2 Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Pasal 3 . . .
-4Pasal 3 Ombudsman dalam menjalankan wewenangnya berasaskan: a. b.
kepatutan; keadilan;
c.
non-diskriminasi;
d. e.
tidak memihak; akuntabilitas;
f.
keseimbangan;
g.
keterbukaan; dan
h.
kerahasiaan.
tugas
dan
Pasal 4 Ombudsman bertujuan: a. mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; b. mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; c. meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik; d. membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktekpraktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme; e. meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan. BAB III TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 5 (1)
Ombudsman berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (2) Ombudsman . . .
-5(2) (3)
Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di provinsi dan/atau kabupaten/kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja perwakilan Ombudsman di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG Bagian Kesatu Fungsi dan Tugas
Pasal 6 Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. Pasal 7 Ombudsman bertugas: a. menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; b. melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan; c. menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; d. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; e. melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan; f. membangun jaringan kerja; g. melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan h. melakukan tugas lain yang diberikan oleh undangundang. Bagian Kedua . . .
-6Bagian Kedua Wewenang
(1)
(2)
Pasal 8 Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Ombudsman berwenang: a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; b. memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan; c. meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; d. melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan; e. menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; f. membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; g. demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi. Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang: a. menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik; b. menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi. Pasal 9 . . .
-7Pasal 9 Dalam melaksanakan kewenangannya, Ombudsman dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan putusan. Pasal 10 Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan. BAB V SUSUNAN DAN KEANGGOTAAN OMBUDSMAN Bagian Kesatu Susunan Pasal 11 (1)
Ombudsman terdiri atas: a. 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota; b. 1 (satu) orang Wakil Ketua merangkap anggota; dan c. 7 (tujuh) orang anggota.
(2)
Dalam hal Ketua Ombudsman berhalangan, Wakil Ketua Ombudsman menjalankan tugas dan kewenangan Ketua Ombudsman. Pasal 12
(1) (2)
(3)
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Ombudsman dibantu oleh asisten Ombudsman. Asisten Ombudsman diangkat atau diberhentikan oleh Ketua Ombudsman berdasarkan persetujuan rapat anggota Ombudsman. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian serta tugas dan tanggung jawab asisten Ombudsman diatur dengan Peraturan Ombudsman. Pasal 13
(1)
Ombudsman dibantu oleh sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris . . .
-8(2) (3)
(4)
(5)
Sekretaris Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi, fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab Sekretariat Jenderal diatur dengan Peraturan Presiden. Ketentuan mengenai sistem manajemen sumber daya manusia pada Ombudsman diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Keanggotaan Pasal 14
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden. Pasal 15 (1)
(2)
(3)
Sebelum mengajukan calon anggota Ombudsman kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden membentuk panitia seleksi calon anggota Ombudsman. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat. Panitia seleksi mempunyai tugas: a. mengumumkan pendaftaran penerimaan calon anggota Ombudsman; b. melakukan pendaftaran calon anggota Ombudsman dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja; c. melakukan seleksi administrasi calon anggota Ombudsman dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengumuman pendaftaran berakhir; d. mengumumkan daftar nama calon untuk mendapatkan tanggapan masyarakat;
e. melakukan . . .
-9e.
(4)
melakukan seleksi kualitas dan integritas calon anggota Ombudsman dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal seleksi administrasi berakhir; f. menentukan dan menyampaikan nama calon anggota Ombudsman sebanyak 18 (delapan belas) orang kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal seleksi kualitas dan integritas berakhir. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia seleksi bekerja secara terbuka dengan memperhatikan partisipasi masyarakat. Pasal 16
(1)
(2)
(3)
(4)
Dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak menerima nama calon dari panitia seleksi, Presiden mengajukan 18 (delapan belas) nama calon anggota Ombudsman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf f kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat wajib memilih dan menetapkan 9 (sembilan) calon yang terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden. Calon Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman terpilih disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden. Presiden wajib menetapkan pengangkatan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 17 Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pasal 18 . . .
- 10 Pasal 18 Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman berhak atas penghasilan, uang kehormatan, dan hak-hak lain yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 Untuk dapat diangkat menjadi Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman seseorang harus memenuhi syarat-syarat: a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. sarjana hukum atau sarjana bidang lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum atau pemerintahan yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan publik; e. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun; f. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; g. memiliki pengetahuan tentang Ombudsman; h. tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; dan j. tidak menjadi pengurus partai politik. Pasal 20 Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dilarang merangkap menjadi: a. pejabat negara atau Penyelenggara Negara menurut peraturan perundang-undangan; b. pengusaha; c. pengurus atau karyawan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; d. pegawai negeri; e. pengurus partai politik; atau f. profesi lainnya. Pasal 21 . . .
- 11 -
(1)
(2)
(1)
(2)
Pasal 21 Sebelum menduduki jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman harus mengangkat sumpah menurut agamanya atau mengucapkan janji di hadapan Presiden Republik Indonesia. Bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya untuk memperoleh jabatan ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun”. “Saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Ketua Ombudsman/Wakil Ketua Ombudsman/anggota Ombudsman dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji akan memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan yang berlaku”. “Saya bersumpah/berjanji akan memelihara kerahasiaan mengenai hal-hal yang diketahui sewaktu memenuhi kewajiban saya.” Pasal 22 Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombusman berhenti dari jabatannya karena: a. berakhir masa jabatannya; b. mengundurkan diri; c. meninggal dunia. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dapat diberhentikan dari jabatannya, karena : a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. tidak lagi memenuhi persyaratan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; c. dinyatakan melanggar sumpah/janji; d. menyalahgunakan . . .
- 12 d.
(3)
(4)
menyalahgunakan kewenangannya sebagai anggota Ombudsman, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; e. terkena larangan merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20; f. dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; g. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya. Apabila Ketua Ombudsman berhenti atau diberhentikan, Wakil Ketua Ombudsman menjalankan tugas dan wewenang Ketua Ombudsman sampai masa jabatan berakhir. Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dari jabatan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Presiden. BAB VI LAPORAN Pasal 23
(1)
(2)
Setiap warga negara Indonesia atau penduduk berhak menyampaikan Laporan kepada Ombudsman. Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya atau imbalan dalam bentuk apa pun. Pasal 24
(1)
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat lengkap Pelapor; b. memuat uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan secara rinci; dan
c. sudah . . .
- 13 c.
(2) (3)
(4)
sudah menyampaikan Laporan secara langsung kepada pihak Terlapor atau atasannya, tetapi Laporan tersebut tidak mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas Pelapor dapat dirahasiakan. Peristiwa, tindakan atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lewat 2 (dua) tahun sejak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang bersangkutan terjadi. Dalam keadaan tertentu, penyampaian Laporan dapat dikuasakan kepada pihak lain. BAB VII TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN LAPORAN
(1) (2)
(3)
(4)
(1)
(2)
Pasal 25 Ombudsman memeriksa Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Dalam hal Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor untuk melengkapi Laporan. Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus melengkapi berkas Laporan. Dalam hal Laporan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelapor dianggap mencabut Laporannya. Pasal 26 Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan substantif. Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman: a. tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau b. berwenang melanjutkan pemeriksaan. Pasal 27 . . .
- 14 Pasal 27 (1)
Dalam hal Ombudsman tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal hasil pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua Ombudsman.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat saran kepada Pelapor untuk menyampaikan Laporannya kepada instansi lain yang berwenang. Pasal 28
(1)
(2)
Dalam hal Ombudsman berwenang melanjutkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b, Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan dapat: a. memanggil secara tertulis Terlapor, saksi, ahli, dan/atau penerjemah untuk dimintai keterangan; b.
meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor; dan/atau
c.
melakukan pemeriksaan lapangan.
Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melihat dokumen asli dan meminta salinan dokumen yang berkaitan dengan pemeriksaan. Pasal 29
(1) Dalam memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip independen, nondiskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya. (2)
Selain prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak serta mempermudah Pelapor dalam menyampaikan penjelasannya. Pasal 30 . . .
- 15 Pasal 30 (1)
Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan wajib menjaga kerahasiaan, kecuali demi kepentingan umum.
(2)
Kewajiban menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak gugur setelah Ombudsman berhenti atau diberhentikan dari jabatannya. Pasal 31
Dalam hal Terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa. Pasal 32 (1)
Ombudsman dapat memerintahkan kepada saksi, ahli, dan penerjemah mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberikan kesaksian dan/atau menjalankan tugasnya.
(2)
Bunyi sumpah/janji yang diucapkan oleh saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: “Demi Allah/Tuhan saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan sungguh- sungguh menyatakan kebenaran yang sebenar-benarnya mengenai setiap dan seluruh keterangan yang saya berikan”.
(3)
Bunyi sumpah/janji yang diucapkan oleh ahli dan penerjemah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: “Demi Allah/Tuhan saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas saya dengan tidak memihak dan bahwa saya akan melaksanakan tugas saya secara profesional dan dengan sejujur-jujurnya”. Pasal 33 . . .
- 16 Pasal 33 (1)
Dalam hal Ombudsman meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, Terlapor harus memberikan penjelasan secara tertulis dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan penjelasan.
(2)
Apabila dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Terlapor tidak memberi penjelasan secara tertulis, Ombudsman untuk kedua kalinya meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor.
(3)
Apabila permintaan penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari tidak dipenuhi, Terlapor dianggap tidak menggunakan hak untuk menjawab. Pasal 34
Dalam melaksanakan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c, Ombudsman dapat melakukan pemeriksaan ke objek pelayanan publik tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pejabat atau instansi yang dilaporkan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan, ketertiban, dan kesusilaan. Pasal 35 Hasil pemeriksaan Ombudsman dapat berupa: a.
menolak Laporan; atau
b.
menerima Laporan dan memberikan Rekomendasi. Pasal 36
(1)
Ombudsman menolak Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dalam hal: a.
Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pihak yang dilaporkan;
b. Substansi . . .
- 17 -
(2)
b.
substansi Laporan sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali Laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan;
c.
Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan dan menurut Ombudsman proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu yang patut;
d.
Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan;
e.
substansi yang dilaporkan ternyata wewenang Ombudsman;
f.
substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliasi oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; atau
g.
tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi.
bukan
Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dan Terlapor dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal hasil pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua Ombudsman. Pasal 37
(1)
Ombudsman menerima Laporan dan memberikan Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dalam hal ditemukan Maladministrasi.
(2)
Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya: a.
uraian tentang Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b.
uraian tentang hasil pemeriksaan;
c.
bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan
d.
kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan Terlapor dan atasan Terlapor. (3) Rekomendasi . . .
- 18 (3)
Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, dan atasan Terlapor dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Rekomendasi ditandatangani oleh Ketua Ombudsman. Pasal 38
(1)
Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman.
(2)
Atasan Terlapor wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang pelaksanaan Rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya Rekomendasi.
(3)
Ombudsman dapat meminta keterangan Terlapor dan/atau atasannya dan melakukan pemeriksaan lapangan untuk memastikan pelaksanaan Rekomendasi.
(4)
Dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan Rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian Rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Pasal 39
Terlapor dan atasan Terlapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), ayat (2), atau ayat (4) dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 40 Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dilarang turut serta memeriksa suatu Laporan atau informasi yang mengandung atau dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan dirinya. Pasal 41 . . .
- 19 Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan penyelesaian Laporan diatur dengan Peraturan Ombudsman. BAB VIII LAPORAN BERKALA DAN LAPORAN TAHUNAN
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 42 Ombudsman menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Laporan berkala disampaikan setiap 3 (tiga) bulan sekali dan laporan tahunan disampaikan pada bulan pertama tahun berikutnya. Ombudsman dapat menyampaikan laporan khusus kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden selain laporan berkala dan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan setelah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden oleh Ombudsman. Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya memuat mengenai: a. jumlah dan macam Laporan yang diterima dan ditangani selama 1 (satu) tahun; b. pejabat atau instansi yang tidak bersedia memenuhi permintaan dan/atau melaksanakan Rekomendasi; c. pejabat atau instansi yang tidak bersedia atau lalai melakukan pemeriksaan terhadap pejabat yang dilaporkan, tidak mengambil tindakan administratif, atau tindakan hukum terhadap pejabat yang terbukti bersalah; d. pembelaan atau sanggahan dari atasan pejabat yang mendapat Laporan atau dari pejabat yang mendapat Laporan itu sendiri; e. jumlah dan macam Laporan yang ditolak untuk diperiksa karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1); f. laporan . . .
- 20 f.
laporan keuangan; dan
g.
kegiatan yang sudah atau yang belum terlaksana dan hal-hal lain yang dianggap perlu. BAB IX PERWAKILAN OMBUDSMAN DI DAERAH Pasal 43
(1)
Apabila dipandang perlu, Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota.
(2)
Perwakilan Ombudsman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan hierarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan.
(3)
Kepala perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu oleh asisten Ombudsman.
(4)
Ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman secara mutatis mutandis berlaku bagi perwakilan Ombudsman. BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 44
Setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 45 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Komisi . . .
- 21 a.
b.
c.
d.
Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional dinyatakan sebagai Ombudsman menurut UndangUndang ini; Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Ombudsman yang baru; semua Laporan yang sedang diperiksa oleh Komisi Ombudsman Nasional tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan Undang-Undang ini; dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini, susunan organisasi, keanggotaan, tugas, dan wewenang serta ketentuan prosedur pemeriksaan dan penyelesaian Laporan Komisi Ombudsman Nasional harus disesuaikan dengan Undang-Undang ini. Pasal 46
(1)
(2)
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, nama “Ombudsman” yang telah digunakan sebagai nama oleh institusi, lembaga, badan hukum, terbitan atau lainnya yang bukan merupakan lembaga Ombudsman yang melaksanakan fungsi dan tugas berdasarkan Undang-Undang ini harus diganti dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini. Institusi, lembaga, badan hukum, terbitan atau lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap menggunakan nama “Ombudsman” secara tidak sah. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 47
Undang-Undang diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar . . .
- 22 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 139
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
I.
UMUM Reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yaitu kehidupan yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, menciptakan keadilan, dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek Maladministrasi antara lain terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan demi terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur Penyelenggara Negara dan pemerintahan dan penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik. Untuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan pelayanan publik dan penegakan hukum diperlukan keberadaan lembaga pengawas eksternal yang secara efektif mampu mengontrol tugas Penyelenggara Negara dan pemerintahan. Pengawasan internal yang dilakukan oleh pemerintah sendiri dalam implementasinya ternyata tidak memenuhi harapan masyarakat, baik dari sisi obyektifitas maupun akuntabilitasnya. Dari kondisi di atas, pada Tahun 2000, Presiden berupaya untuk mewujudkan reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan dengan membentuk Komisi Ombudsman Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000. Komisi Ombudsman Nasional bertujuan membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme serta meningkatkan perlindungan hak masyarakat agar memperoleh pelayanan publik, keadilan, dan kesejahteraan.
Untuk . . .
-2Untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang Komisi Ombudsman Nasional, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang salah satunya memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan undang-undang.
Sebelum ada Komisi Ombudsman Nasional pengaduan pelayanan publik hanya disampaikan kepada instansi yang dilaporkan dan penanganannya sering dilakukan oleh pejabat yang dilaporkan sehingga masyarakat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Selain itu, untuk menyelesaikan pengaduan pelayan publik, selama ini dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan tersebut memerlukan waktu cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, diperlukan lembaga tersendiri yakni Ombudsman Republik Indonesia yang dapat menangani pengaduan pelayanan publik dengan mudah dan dengan tidak memungut biaya. Ombudsman Republik Indonesia tersebut merupakan lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Dalam Undang-Undang ini, ditegaskan bahwa yang dimaksud Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, yang dilakukan oleh swasta atau perseorangan tersebut, antara lain pekerjaan yang dilakukan oleh swasta atau perseorangan berdasarkan kontrak yang dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dalam Undang-Undang ini ditentukan mengenai pedoman Ombudsman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dengan mendasarkan beberapa asas yakni kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan. Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai tugas Ombudsman, antara lain memeriksa Laporan atas dugaan
Maladministrasi . . .
-3Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Dalam pelaksanaan tugas memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip independen, non-diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya serta wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak dan mempermudah Pelapor. Dengan demikian Ombudsman dalam memeriksa Laporan tidak hanya mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya pemanggilan, namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar Penyelenggara Negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti tidak semua Laporan harus diselesaikan melalui mekanisme Rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan Laporan. Dalam melakukan pemeriksaan atas Laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat memanggil Terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila Terlapor dan saksi telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa (subpoena power). Dalam Undang-Undang ini ditentukan pula bahwa Ombudsman menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan, atau dapat menyampaikan laporan khusus kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang dapat dijadikan bahan bagi Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden untuk mengambil kebijakan dalam membangun pelayanan publik yang lebih baik. Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman di daerah, jika dipandang perlu Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota yang mempunyai hubungan hierarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan. Untuk menegakkan Undang-Undang ini diatur mengenai pemberian sanksi administratif dan pidana. Sanksi administrastif diberlakukan bagi Terlapor dan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi Ombudsman, sedangkan sanksi pidana diberlakukan bagi . . .
-4bagi setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan. II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “hubungan organik” adalah hubungan yang bersifat struktural atau hierarkis dengan lembaga negara atau lembaga lain. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Yang dimaksud “negara hukum” adalah negara yang dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan, dan bertanggung jawab. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 . . .
-5Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Ketentuan mengenai pengumuman hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi bukan merupakan kewajiban bagi Ombudsman. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ketentuan ini tidak berlaku apabila Ombudsman melakukan pelanggaran hukum.
Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Dalam ketentuan ini mengenai asisten Ombudsman jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
-6Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Panitia seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat, keanggotaannya dipilih berdasarkan kemampuan dan keahlian.
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Dalam ketentuan ini, usia dihitung sejak tanggal yang bersangkutan mendaftar. Huruf f Cukup jelas. Huruf g . . .
-7Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan “pengurus partai politik” adalah pengurus harian, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Syarat tidak menjadi pengurus partai politik dilakukan dengan surat pernyataan kesediaan untuk mengundurkan diri apabila diangkat menjadi anggota Ombudsman. Pasal 20 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pengusaha” adalah orang yang mempunyai usaha yang bidang usahanya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas dan wewenang Ombudsman. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undang di bidang kepegawaian. Huruf e Lihat penjelasan Pasal 19 huruf j. Huruf f Yang dimaksud dengan ”profesi lainnya”, antara lain, dokter, akuntan, advokat, notaris, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 . . .
-8Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “berhalangan antara lain, sakit atau melalaikan tugas.
tetap”,
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “sebagaimana mestinya” adalah pihak Terlapor memperlambat penyelesaian, tidak dilakukan penyelesaian menurut prosedur internal di instansi Terlapor, tanggapan atau tindak lanjut belum menyelesaikan . . .
-9menyelesaikan Maladministrasi yang terjadi atau sama sekali tidak memperoleh tanggapan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dapat dikuasakan kepada pihak lain”, adalah dalam menyampaikan Laporan Pelapor dapat menguasakan kepada pihak lain dimana penerima kuasa tidak harus advokat atau orang mempunyai kualifikasi tertentu sebagaimana dipersyaratkan dalam beracara di pengadilan. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak” adalah dilakukan dengan seksama dan penuh perhatian, dengan mengutamakan pendekatan persuasif. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 . . .
- 10 Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak” adalah pejabat dan/atau instansi yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyampaian Laporan yang dilakukan oleh orang yang sama mengenai persoalan yang sama yang telah diselesaikan oleh Ombudsman, antara lain, dengan cara mediasi dan konsiliasi. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 . . .
- 11 Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ”mempublikasikan” dalam ketentuan ini dilakukan melalui media masa baik cetak maupun elektronik. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Dalam ketentuan ini pengaturan mengenai tata cara pemeriksaan dan penyelesaian Laporan yang diatur dengan peraturan Ombudsman termasuk pengaturan pelaksanaan Rekomendasi. Pasal 42 Ayat (1) Laporan yang disampaikan Ombudsman bukan merupakan bentuk pertanggungjawaban baik kepada Dewan Perwakilan Rakyat maupun Presiden. Namun, dapat dijadikan bahan baik bagi Dewan Perwakilan Rakyat maupun Presiden untuk mengambil kebijakan dalam membangun pelayanan publik yang lebih baik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “laporan khusus”, antara lain, Laporan yang menjadi perhatian masyarakat dan laporan yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang segera ditindak lanjuti.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
- 12 Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “mutatis mutandis” adalah ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman yang berlaku bagi Ombudsman juga berlaku bagi perwakilan Ombudsman dengan melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4899