perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS KEDUDUKAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Alby Prilia Anggana NIM. E0008008
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS KEDUDUKAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Oleh Alby Prilia Anggana NIM. E0008008
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 27 November 2012
Pembimbing I
Pembimbing II
M. Madalina, S.H., M.Hum
Isharyanto, S.H., M.Hum
NIP. 1960102419860220011
NIP. 197805012003121002
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) ANALISIS KEDUDUKAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Alby Prilia Anggana NIM. E0008008
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari Tanggal
: Selasa : 27 November 2012
DEWAN PENGUJI 1. Sugeng Praptono, S.H., M.H Ketua 2. Aminah, S.H., M.H Sekretaris 3. M. Madalina, S.H., M.Hum Anggota
Mengetahui Dekan,
(Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum) NIP. 195702031985032001
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Alby Prilia Anggana NIM :E0008008
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : ANALISIS KEDUDUKAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA
NEGARA
INDEPENDEN
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 27 November 2012 Yang membuat pernyataan
Alby Prilia Anggana NIM. E0008008
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Alby Prilia Anggana, E0008008. 2012. ANALISIS KEDUDUKAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Selain itu juga untuk mengetahui fungsi KPI dalam penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi dokumen dengan teknik analisis berupa metode logika deduktif. Hasil penelitian menunjukan, bahwa KPI memenuhi karakteristik lembaga negara independen. Terdapat hubungan check and balances antara KPI dengan cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. KPI ditinjau menurut fungsi kelembagaan merupakan lembaga penunjang yang menjalankan fungsi administratif dan fungsi legislatif. Ditinjau menurut hierarki kelembagaan, KPI dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, secara hierarki KPI termasuk ke dalam kategori organ lapis dua kelompok kedua. Fungsi KPI sebagai penyusun dan pengawas berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara masyarakat, lembaga penyiaran dan pemerintah. Dalam menjalankan fungsinya KPI berkoordinasi dengan lembaga penyiaran dan pemerintah, sebagai upaya menjembatani kepentingan masyarakat dengan institusi pemerintah dan lembaga penyiaran.
Kata Kunci : Komisi Penyiaran Indonesia, Lembaga Negara Independen, Sistem Ketata Negaraan Republik Indonesia
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Alby Prilia Anggana, E0008008. 2012. AN ANALYSIS ON THE POSITION OF INDONESIAN BROADCASTING COMMISSION AS AN INDEPENDENT INSTITUTION IN REPUBLIC OF INDONESIA STATE GOVERNANCE SYSTEM, Faculty of Law of Sebelas Maret University The objective of research is to study and to answer the problems of the Indonesian Broadcasting Commission (KPI) existence as an independent institution in Republic of Indonesia state governance system. In addition, it also aims to find out the function of KPI in broadcasting organization in Indonesia. This study was a normative legal research that was descriptive in nature using statute and conceptual approaches. The material sources used were primary law materials and secondary law materials. Technique of collecting law material used was document study with deductive logic method as the technique of analysis. The result of research showed that KPI had met the characteristics of independent state institution. There were check and balances conection between KPI and the executive, legislative, and judicative powers. KPI, viewed from institutional function, is the supporting one performing the administrative and legislative functions. Viewed from institutional hierarchy, when found based on the Act Number 32 of 2002 about Broadcasting, it belonged to the second group of second-layer organ category. The function of KPI was as broadcasting regulation maker and supervisor connecting the people (society), broadcasting agency, and government. In performing its function, KPI coordinated with the broadcasting agency and government, as the attempt of bridging the society interest with the governmental institution and broadcasting agency.
Keywords: Indonesian Broadcasting Commission, Independent State Institution, Republic of Indonesia State Governance System.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Talk less, do more
Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan tapi imajinasi. -Albert Einstein-
Hidup itu seperti naik sepeda. Agar tetap seimbang, kau harus terus bergerak. -Albert Einstein-
Jadilah bagian dari perubahan yang ingin kamu saksikan di dunia ini. -Adolf Hitler-
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ini penulis persembahkan untuk :
Allah SWT
Terima kasih untuk memberikan limpahan rahmat, karunia, dan hidayahMu
Mama dan Papa tercinta
Terima kasih untuk doa, dukungan, perhatian, cinta dan kasih sayang yang mengalir tiada henti
Kakakku dan Adik-adiku tersayang
Terimakasih untuk dukungan, motivasi, doa, semangat dan keceriaan
Ibu M. Madalina, S.H., M.Hum Bapak Isharyanto, S.H., M.Hum
Terimakasih telah membimbing dengan sabar dan pemberian ilmu yang ikhlas hingga penulisan hukum ini selesai
Teman-teman dekat dan sahabat Terimakasih untuk dukungan, motivasi, dan berbagi pengalaman dalam suka dan duka
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul
ANALISIS KEDUDUKAN KOMISI PENYIARAN
INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM engan lancar tanpa halangan yang berarti. Penulisan hukum ini diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terselesaikan dengan lancar dan baik tanpa dukungan dan kerjasama dari semua pihak. Untuk alasan itulah penulis merasa perlu mengucapakan terima kasih kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS sekaligus sebagai Pembimbng Akademis yang telah memberikan bimbingan dan petuah selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret Surakarta. 2. Ibu M. Madalina, S.H., M.Hum, selaku pembimbing I penulisan hukum (skripsi) yang telah dengan sabar meluangkan waktu untuk membimbing penulis serta telah memberikan bantuan dan arahan kepada penulis sehingga, penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini. 3. Bapak Isharyanto, S.H., M.Hum, selaku pembimbing II penulisan hukum (skripsi) yang telah dengan sabar meluangkan waktu untuk membimbing penulis serta memberikan bantuan dan arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini. 4. Bapak S. Rahmat M. Arifin, S.Si, selaku ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Daerah Istimewa Yogyakarta. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang semoga dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis. 6.
Mama dan Papa, Kakakku serta adik-adikku dan seluruh keluarga besar yang senantiasa memberikan motivasi, semangat, kasih sayang serta doa untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
7. Teman-teman Kos yang selalu memberikan
canda, tawa dan dukungan
kepada penulis. 8. Teman-teman DPR Army (Dibawah Pohon Rindang) yang selalu memberikan canda, tawa dan dukungan kepada penulis. 9. Teman-teman di BEM FH UNS, untuk setiap ilmu dan pengalaman untuk bekal penulis. 10. Teman-teman di Fakultas Hukum UNS terutama angkatan 2008 yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis. 11. Segenap karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan pelayanan
kepada penulis selama berada di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 12. Semua pihak yang
ikut dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta, 27 November 2012
Penulis
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN.............................................................................
iv
ABSTRAK............................................................................................................
v
ABSTRACT.........................................................................................................
vi
MOTTO................................................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN..........................................................................
viii
KATA PENGANTAR.........................................................................................
ix
DAFTAR ISI........................................................................................................
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................................
1
B. Perumusan Masalah........................................................................
4
C. Tujuan Penelitian............................................................................
4
D. Manfaat Penelitian..........................................................................
5
E. Metode Penelitian...........................................................................
6
F. Sistematika Penulisan Hukum........................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA 11 1. Tinjauan tentang Sistem Ketatanegaraan Indonesia...................
11
a. Pengertian Sistem Ketatanegaraan Indonesia.........................
11
b. Prinsip Check and Balances
13
2. Tinjauan tentang Lembaga Negara............................................
16
a. Pengertian Lembaga Negara
16
b. Pembedaan Lembaga Negara
18
1) Dari segi Hierarki
18
2) Dari segi Fungsinya.................
20
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Pengertian Lembaga Negara Independen 3. Tinjauan tentang Penyiaran.........................................................
25
a. Pengertian Penyiaran
26
b. Pengertian Sistem Penyiaran
26
c. Hukum Penyiaran
27
d. Lembaga Penyiaran
28
1) Lembaga Penyiaran Publik
28
2) Lembaga Penyiaran Swasta
29
3) Lembaga Penyiaran Komunitas
29
4) Lembaga Penyiaran Berlangganan
30
4. Tinjauan tentang
30
a. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
30
b. Visi dan Misi KPI
31
c. Wewenang KPI
32
d. Tugas dan Kewajiban KPI
32
e. Keanggotaan KPI
33
B. Kerangka Pemikiran BAB III
21
34
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia Sebagai Lembaga Negara Independen Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
36
1. Independensi Kelembagaan KPI
36
2. Check and Balances KPI terhadap cabang kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia
39
a. Check and balances antara KPI dengan cabang kekuasaan Eksekutif
41
1) Cabang kekuasaan Eksekutif terhadap KPI
42
2) KPI terhadap Cabang kekuasaan Eksekutif
42
b. Check and balances antara KPI dengan cabang kekuasaan Legislatif
44
1) Cabang kekuasaan Legislatif terhadap KPI
45
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) KPI terhadap Cabang kekuasaan Legislatif
46
c. Check and balances antara KPI dengan cabang kekuasaan Yudikatif
47
1) Cabang kekuasaan Yudikatif terhadap KPI
47
2) KPI terhadap Cabang kekuasaan Yudikatif
49
3. KPI ditinjau Menurut Fungsi Kelembagaan
49
a. Kekuasaan Eksekutif
50
b. Kekuasaan Legislatif
51
c. Kekuasaan Yudikatif
52
4. KPI ditinjau Menurut Hierarki Kelembagaan
53
B. Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia Sebagai Lembaga Negara Independen Dalam Penyelenggaraan Penyiaran Di Indonesia
54
1. Wewenang KPI Dalam Penyelenggaraan Penyiaran di Indonesia
54
a. Menetapkan standar program siaran
54
b. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran
55
c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
57
d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
58
e. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat
58
2. Tugas dan Kewajiban KPI Dalam Penyelenggaraan Penyiaran di Indonesia
59
a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia b. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran
59 60
c. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait
commit to user xiii
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang
61
e. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggara
61
f. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran BAB IV
62
PENUTUP A. Kesimpulan
63
B.
65
DAFTAR PUSTAKA
66
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), telah mengubah kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan berubah menjadi lembaga tinggi negara yang kedudukannya sederajat dengan Presiden, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif tersebut sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain dengan prinsip check and balances. Selain itu amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga demokrasi baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial serta diwarnai
dengan munculnya lembaga-lembaga atau
komisi-komisi
independen yang membantu, mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan (Jimly Asshiddiqie, 2010: 2). Perubahan yang tercermin dalam Amandemen UUD 1945 berlangsung dalam skala yang sangat luas dan mendasar, adanya prinsip check and balances bertujuan mengatur dengan sebaik-baiknya dan membatasi kekuasaan sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditangulangi. Berkembangnya demikian banyak lembaga yang bersifat
independen
tersebut
mencerminkan
adanya
kebutuhan
untuk
mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun oleh aparat penyelenggara negara yang pada masa sebelumnya terkonsentrasi. Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Pesatnya pembentukan lembaga-lembaga Negara baru, sebagian besar merupakan gejala mendunia yang disebabkan karena adanya berbagai perubahan sosial dan ekonomi. Hal ini memaksa banyak Negara melakukan eksperimentasi
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
kelembagaan melalui pembentukan berbagai organ Negara yang dinilai lebih efektif, efisien, powerfull, dan tentu saja akomodatif terhadap tuntutan rakyat. Pada konteks Indonesia, perubahan ekonomi dimaksud adalah inflasi harga yang tidak terkendali, dan rendahnya nilai tukar (kurs) rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat, sedangkan perubahan sosial sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah gerakan reformasi. Gerakan reformasi merupakan kesepakatan luhur bangsa, yang menjadi pijakan amandemen UUD 1945, dan rahim bagi pembentukan komisi negara independen (Gunawan A. Tauda, 2012 : 88). Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yaitu prinsip keberagaman isi (Diversity of Content) dan prinsip keberagaman kepemilikan (Diversity of Ownership). Pelayanan informasi yang sehat yaitu berdasarkan prinsip keberagaman isi (Diversity of Content) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan prinsip keberagaman kepemilikan (Diversity of Ownership) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja (Komisi Penyiaran Indonesia, http://www.kpi.go.id/tentang-kpi/kelembagaan/dasar-pembentukan). Penempatan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran merupakan salah satu perwujudan demokrasi guna memberikan pelayanan informasi publik yang sehat bagi masyarakat serta menjamin masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar sesuai dengan hak asasi manusia, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Adanya prinsip keberagaman kepemilikan (Diversity of Ownership) juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
memberikan jaminan iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Berbeda dengan semangat dalam undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu UndangUndang Nomor 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang semata-mata digunakan bagi kepentingan pemerintah. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesarbesarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan
(Komisi
Penyiaran
Indonesia,
http://www.kpi.go.id/tentang-
kpi/kelembagaan/dasar-pembentukan) Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar dalam semangat Undang-Undang tersebut yaitu, lahirnya sebuah badan pengatur independen yang bernama Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI).
Independen
dimaksudkan
untuk
mempertegas
bahwa
pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu dimana pengelolaan sistem penyiaran masih berada ditangan pemerintah (pada waktu itu rejim Orde Baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang fungsi utamanya mengatur hal-hal mengenai penyiaran dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
berperan dalam mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat, yang merupakan wujud peran serta masyarakat akan penyiaran serta mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 untuk menyusun peraturan dan melakukan pengawasan dalam hal penyiaran. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan dalam penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, perlu diketahui secara jelas mengenai kedudukan KPI dalam sistem ketatanegaraan. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dalam
rangka
penulisan
skripsi
dengan
judul
ANALISIS
KEDUDUKAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
INDEPENDEN
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA.
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian, diperluan untuk memberikan kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana Eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia? 2. Apakah fungsi Komisi Penyiaran Indonesia dalam penyelenggaraan penyiaran di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai oleh penulis. Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
1. Tujuan Obyektif a. Untuk mendeskripsikan eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen dalam dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. b. Untuk mendeskripsikan fungsi Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen dalam
penyelenggaraan
penyiaran di
Indonesia. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperluas dan menambah pengetahuan bagi penulis di bidang Hukum Tata Negara khususnya berkaitan dengan kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia. b. Untuk melengkapi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta . c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya. b. Dapat memperkaya referensi dan literatur dalam kepustakaan hukum sebagai bahan untuk mengadakan penelitian bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
2. Manfaat Praktis a. Untuk memberikan sumber tambahan pengetahuan yang diharapkan dapat digunakan
sebagai
bahan
informasi
bagi
pihak-pihak
lain
yang
membutuhkan terutama hal-hal yang berkaitan dengan Komisi Penyiaran Indonesia. b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi,penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai perskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 35). Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan, menyusun data guna mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang hasilnya dituangkan dalam penulisan ilmiah (skripsi). Adapun metode penelitian dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif yaitu suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Jhonny Ibrahim, 2008: 57). Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai kedudukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah mempertegas hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran secara lengkap dan sistematif terhadap obyek yang diteliti (Soerjono Soekanto,2010 : 10). 3. Pendekatan Penelitian Terdapat beberapa pendekatan dalam penelitian hukum, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 93). Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang yang dimaksud adalah menelaah undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang diangkat, dalam hal ini yang di maksud lebih mengarah pada UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sedangkan pendekatan konseptual dipilih untuk membantu peneliti memahami filosofi aturan hukum dari masing-masing ahli hukum serta memahami dasar suatu konsep yang melandasi suatu aturan hukum, untuk selanjutnya penelitian ini menganalisis kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen dalan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. 4. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder : a. Bahan Hukum Primer
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
Bahan hukum primer merupakan sumber data yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 141). Bahan hukum primer yang digunakan dalam pemelitian ini adalah : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 3) Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/05/2009 tentang Kelembagaan KPI. 4) Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran . 5) Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai Bahan hukum primer, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 141). Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum yang mendukung penulisan hukum ini. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan bahan hukum sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas. Dari data tersebut kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan
selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai
dengan tujuan dan permasalahan penelitian. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Metode penalaran yang dipilih penulis dalam penelitian ini adalah metode penalaran deduktif, yaitu metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
Marzuki, 2010 : 47). Dalam penelitian ini, bahan hukum yang telah didapatkan penulis, kemudian diolah dan dianalisa untuk ditarik suatu kesimpulan terkait dengan eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia serta fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam penyelenggaraan penyiaran.
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam subsub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai kajian pustaka dan landasan teori dari para ahli maupun doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang sistem ketatanegaraan, tinjauan tentang penyiaran, tinjauan tentang Komisi Penyiaran Indonesia . Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan sebagai jawaban perumusan masalah. Terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini, yaitu: 1. Eksistensi
Komisi
Penyiaran
Indonesia
dalam
sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. 2. Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen dalam penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. BAB IV
PENUTUP Pada bab ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan dan saran dari penulis terkait dengan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Sistem Ketatanegaraan Indonesia a. Pengertian Sistem Ketatanegaraan Indonesia ra perangkat unsur yg secara teratur saling
pandangan, teori, asas, dsb: pemerintahan negara (demokrasi, totaliter, a negara diartikan seperangkat prinsip dasar yg mencakupi peraturan susunan pemerintah, bentuk negara,
Sistem ketatanegaraan suatu negara terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai bentuk negara (kesatuan atau federal), bentuk pemerintahan (republic
atau
kerajaan),
sistem
pemerintahan
(parlementer
atau
presidensiil), jabatan-jabatan negara atau lembaga-lembaga negara yang meliputi cara mengisi jabatan negara, hubungan antara jabatan-jabatan negara, wewenang jabatan negara, hubungan antara rakyat dengan negara dan satuan-satuan organisasi pemerintahan di tingkat pusat dan daerah. Setiap sistem ketatanegaraan mengandung dua aspek yakni aspek utama yang berkenaan dengan kekuasaan lembaga-lembaga negara beserta hubungannya satu sama lain diantara lembaga-lembaga negara tersebut, dan aspek hubungan antara lembaga negara dengan warga negara (Lukman Hakim, 2010 : 42). Sistem ketatanegaraan Indonesia yang dimaksud di sini adalah seperangkat prinsip dasar dan aturan yang mengenai susunan negara atau pemerintahan, bentuk negara atau pemerintahan, hubungan tata kerja antar lembaga negara atau pemerintahan dan sebagainya yang menjadi dasar pengaturan negara atau pemerintahan di Indonesia. Dengan pengertian
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
sistem ketatanegaraan Indonesia yang demikian ini, maka pada hakikatnya esensi sistem ketatanegaraan Indonesia ini adalah Hukum Tata Negara Indonesia, yang meliputi hukum konstitusi dan konvensi ketatanegaraan (the Law of the Constitution dan the Convention of the Constitution) (Widodo Ekatjahjana, 2008 : 20). Indonesia diidealkan dan dicita-citakan sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat
desain makro penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). (Jimly Asshiddiqie, 2006: 1).
adalah di tangan rakyat dan dilakukan berdasar Undangsesungguhnya telah cukup mengisyaratkan Indonesia adalah negara demokrasi meski tidak ekplisit dinyatakan demikian. Hanya ditegaskan (rechtstaat). Menurut Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Budiyanto, ada empat prinsip yang menjadi ciri dari negara hukum, yaitu : 1) Pengakuan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia 2) Pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia 3) Legalitas pemerintahan (pemerintahan berdasarkan hukum) 4) Pengadilan untuk menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia (Budiyanto, 2003: 51).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie ada 12 (dua belas) prinsip negara hukum modern (rechtsstaat), yaitu: 1) Supremasi hukum (Supremacy of Law) 2) Persamaan dalam hukum (Equality before the law) 3) Asas Legalitas (Due process of law) 4) Pembatasan kekuasaan 5) Organ-organ eksekutif independen 6) Peradilan bebas dan tidak memihak 7) Peradilan tata usaha negara 8) Peradilan tata negara 9) Perlindungan HAM 10) Bersifat demokratis (Democratische Rechsstaat) 11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat) 12) Transparansi
dan
kontrol
sosial
(Jimly
Asshiddiqie,
www.jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indon esia.pdf). Berdasarkan ciri-ciri di atas, dapat diketahui bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Selain itu telah disebutkan juga Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 menjamin akan terpenuhinya hak-hak warga negara. Di antaranya dalam Pembukaan alenia I menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Sedangkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 terdapat dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 31. Ciri yang menyangkut peradilan yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh kekuatan apapun dapat ditemukan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
b. Prinsip Check and Balances Tujuan bernegara yang dipandang paling sesuai dengan semangat masyarakat modern adalah melindungi hak asasi manusia dan memajukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
kesejahteraan umum. Di sisi lain, negara dihadapkan pada hukum besi kekuasaan yang sudah diakui dan terjadi sepanjang sejarah, yaitu power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, seperti yang pernah dinyatakan Lord Acton. Untuk itu, berbagai sistem ketatanegaraan telah dikembangkan, baik dari sisi teoritis maupun praktis. Salah satu sistem tersebut adalah diterapkannya prinsip check and balances, atau prinsip saling mengawasi dan mengimbangi. Prinsip check and balances dapat dilacak awal mulanya dari teori pemisahan kekuasaan. Prinsip ini lahir agar dalam pemisahan kekuasaan tidak terjadi kebuntuan hubungan antarcabang kekuasaan serta untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan Politics menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama, kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan berupa prinsip-prinsip yang harus ditaati warga negara, yang disebut kekuasaan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk melaksanakan peraturan-peraturan, yang disebut kekuasaan eksekutif. Ketiga, kekuasaan untuk menyatakan apakah anggota masyarakat bertingkah laku sesuai dengan peraturan legislatif dan apakah kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan peraturan legislatif tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang ada, yang disebut kekuasaan yudikatif (Uni Sosial Demokrat, Janedjri M Jafar. Konstitusi Indonesia
Checks
and
Balances
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7826&coid=3&caid=21 &gid=3). Ketika gerakan reformasi berhasil menjebol tembok sakralisasi UUD 1945, banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat, terutama kalangan akademisi, berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD 1945 agar ia mampu membangun sistem ketataanegaraan dan sistem politik yang demokratis. Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu ditawarkan adalah usulan tentang sistem dan mekanisme check and balances di dalam sistem ketatanegaraan dan sistem politik. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumya dapat dikatakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
bahwa check and balances itu tidak ada. Dalam pembuatan undangundang misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatifnya maupun pengesahannya.Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu peluang bagi dilakukannya Amandemen atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah memasukan sistem check and balances antara lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara Presiden dan DPR, maka dominasi Presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR (Mahfud MD,2010 :66-67). Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yang semula dimiliki oleh Presiden menjadi dimiliki oleh DPR berdasarkan hasil Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka yang disebut sebagai lembaga legislatif utama adalah DPR, sedangkan lembaga eksekutif adalah Presiden. Walaupun dalam proses pembuatan suatu undang-undang dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden dalam hal ini adalah sebagai colegislator, bukan sebagai legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA (dan badan-badan peradilan di bawahnya) dan MK berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Hubungan antara kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh Presiden, kekuasaan legislatif oleh DPR dan kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA dan MK merupakan perwujudan sistem check and balances. Sistem check and balances dimaksudkan untuk mengimbangi pembagian kekuasaan yang dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antarlembaga. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan suatu kekuasaan selalu ada peran lembaga lain (Jimly Asshiddiqie, 2010: 22). UUD 1945 hasil amandemen, menentukan prinsip kedaulatan rakyat yang dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip check and balances. Cabang kekuasaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
legislatif tetap berada di MPR, tetapi majelis ini terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Untuk melengkapi pelaksanaan tugas-tugas pengawasan, disamping lembaga legislatif dibentuk pula Badan Pemeriksa Keuangan. Cabang kekuasaan eksekutif
berada ditangan
Presiden
dan
Wakil
Presiden. Untuk
memberikan nasehat dan saran kepada Presiden dan Wakil Presiden, dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung. Sedangkan cabang kekuasaan kehakiman dipegang oleh MA dan MK. MPR tetap merupakan rumah penjelmaan seluruh rakyat yang strukturnya dikembangkan dalam dua kamar, yaitu DPR dan DPRD. Prinsip perwakilan daerah dalam DPRD harus dibedakan hakikatnya dari prinsip perwakilan rakyat dalam DPR. Maksudnya ialah agar seluruh aspirasi rakyat benar-benar dapat dijelmakan ke dalam MPR yang terdiri dari dua pintu. Kedudukan MPR yang terdiri dari dua lembaga perwakilan itu itu adalah sederajad dengan Presiden dan MA dan MK. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances. Dengan adanya prinsip check and balances, maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi dan bahkan dikontrol dengan sesebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya ( Jimly Asshiddiqie, 2003: 6).
2.
Tinjauan tentang Lembaga Negara a. Pengertian Lembaga Negara Lembaga Negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, lembaga negara disebut dengan istilah political institution, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara (Firmansyah Arifin dkk, 2005: 29).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
Sementara di Indonesia sendiri, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara atau organ negara (Jimly Asshiddiqie, 2006:31). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata lembaga antara lain diartikan badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu
Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Organisasi Non Pemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut Non Government Organization apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran (Jimly Asshiddiqie, 2006: 31). Bentuk-bentuk organisasi negara baik pada tingkat nasional maupun daerah, dewasa ini berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, berdasarkan gagasan Montesquieu yang terkenal dengan doktrin trias politica, sulit melepaskan diri dari pengertian bahwa lembaga negara itu selalu terkait dengan tiga cabang alat-alat perlengkapan negara, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hingga konsep lembaga negara juga selalu harus terkait dengan pengertian ketiga cabang kekuasaan itu (Jimly Asshiddiqie, 2006: 33). Organisasi negara memiliki dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk dan wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, jerman: vorm), sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah UUD 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah (Cornelis Lay, 2006: 21).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
Lembaga negara terkadang disebut dengan
istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD 1945, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari undang-undang, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau
ranking
kedudukannya
tentu
saja
tergantung
pada
derajat
pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD 1945 merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan undang-undang merupakan organ undang-undang, sementara yang hanya dibentuk berdasarkan keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya (Jimly Asshiddiqie, 2006: 42). b. Pembedaan Lembaga Negara 1) Dari segi Hierarki Pembedaan lembaga negara berdasarkan hierarki antar lembaga negara itu penting untuk ditentukan, karena harus ada pengaturan
mengenai
perlakuan
hukum
terhadap
orang
yang
menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai yaitu, kriteria
hierarki
bentuk
sumber
normatif
yang
menentukan
kewenangannya dan kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara (Jimly Asshiddiqie, 2006: 105). Dari segi hierarkinya dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu: (a) Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yaitu: (1) Presiden dan Wakil Presiden; (2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); (3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
(4) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); (5) Mahkamah Konstitusi (MK); (6) Mahkamah Agung (MA); (7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (b) Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja, Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945, dan ada pula yang mendapatkan
kewenangannya
dari
undang-undang.
Yang
mendapatkan kewenangan dari UUD 1945, misalnya, adalah: (1) Menteri Negara; (2) Tentara Nasional Indonesia; (3) Kepolisian Negara; (4) Komisi Yudisial; (5) Komisi pemilihan umum; (6) Bank sentral. Dari keenam lembaga atau organ negara tersebut di atas, yang secara tegas ditentukan nama dan kewenangannya dalam UUD 1945 adalah Menteri Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, dan Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan
kewenangan
pokoknya,
penyelenggara pemilihan umum
yaitu
(pemilu).
sebagai
lembaga
Akan tetapi, nama
lembaganya apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum tidak disebut dengan huruf besar (Jimly Asshiddiqie, 2006: 106). Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan, Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, Tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal selama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang. Kemudian lembaga negara yang dibentuk dan mendapat kewenangan dari Undang-Undang, yaitu: (1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; (2) Komisi Pemberantasan Korupsi; (3) Komisi Penyiaran Indonesia; (4) Komisi Pengawas Persaingan Usaha; (5) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; (6) Komisi Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya. (c) Kelompok ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden belaka.
Artinya, keberadaannya secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan presiden. Jika presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu presiden berwenang untuk itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya
tergantung
kepada
kebijakan
presiden
(Jimly
Asshiddiqie, 2006: 108). 2) Dari segi Fungsinya Berdasarkan pembedaan tersebut ada lembaga negara yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami perbedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah, yaitu ranah kekuasaan eksekutif atau pelaksana, kekuasaan legislatif atau fungsi pengawasan dan kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial (Jimly Asshiddiqie, 2006: 112).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
c. Pengertian Lembaga Negara Independen Lembaga Negara pada tiga dasarwasa terakhir abad ke-20 mengalami perkembangan yang pesat. Dalam perkembangannya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu, bukan yang berfungsi utama. Lembagalembaga baru tersebut diantaranya, state auxiliary institutions, atau state auxiliary organ yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti institusi negara penunjang atau organ negara penunjang. Para ahli hukum tata negara Indonesia tidak memiliki padanan kata yang sama untuk menyebut lembaga ini. Banyak istilah untuk menyebut jenis-jenis lembaga tersebut, diantaranya adalah lembaga negara independen, lembaga negara pembantu, lembaga negara penunjang, lembaga negara melayani dan lembaga negara mandiri. Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri atau apa pun namanya di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi (T.M. Luthfi Yazid, 2004: 2). Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang menunukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (independent bodies) atau lembaga pengawas yang dianggap sebagai suatu kebutuhan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki. Kelima, adanya pengaruh dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi (Patrialis Akbar, Dinamika Lembaga-lembaga Negara Mandiri di Indonesia Pasca Perubahan
Undang-Undang
Dasar
1945,
http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/658-dinamika-lembagalembaga-negara-mandiri-di-indonesia-pasca-perubahan-undang-undangdasar-1945.html , diakses pada Jumat, 15 Juni 2012 pukul 20.00 WIB). Lembaga negara independen sekilas memang menyerupai organisasi non pemerintah atau non governmental organization (NGO) karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan. Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur nonnegara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara independen sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan
masyarakat,
rela
untuk
memberikan
kesempatan
kepada
masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas
horizontal.
Munculnya
lembaga
negara
independen
dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya (Fariz pradipta, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Hukum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Ketatanegaraan
Indonesia,
http://farizpradiptalaw.blogspot.com/2009/12/kedudukan-lembaga-negarabantu-didalam.html, diakses pada Jumat, 15 Juni 2012 pukul 21.00 WIB). Lembaga-lembaga independen itu sebagian lebih dekat ke fungsi legislatif dan regulatif, sebagian lagi lebih dekat ke fungsi administratifeksekutif, dan bahkan ada juga yang lebih dekat kepada cabang kekuasaan yudikatif kadang-kadang lembaga-lembaga baru tersebut menjalankan fungsi yang bersifat campuran, dan bersifat independen (independent bodies). Misalnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia fungsinya lebih dekat ke fungsi perjuangan aspirasi seperti DPR tetapi sekaligus dekat dengan fungsi pengadilan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jelas hubungannya sangat dekat dengan fungsi pengawasan oleh DPR. Meskipun demikian, substansi tugas BPK itu sebenarnya juga mempunyai sifat quasi atau semi peradilan (Jimly Asshiddiqie, 2006: 23). Komisi Yudisial jelas lebih dekat ke cabang kekuasaan kehakiman. Di samping itu, ada pula organ Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan sebagainya. Berbeda dari Komisi Yudisial yang tercantum eksplisit dalam Pasal 24B UUD 1945, ketiga lembaga terakhir ini belum diatur dalam UUD 1945, melainkan hanya diatur dalam undangundang. Namun, pengaturan mengenai hal ini terkait erat dengan delegasi pengaturan yang ditentukan oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Karena itu, ketiga lembaga tersebut dapat dikatakan memiliki constitutional importance yang setara dengan lembaga lain yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945, seperti TNI, Kepolisian, dan Komisi Yudisial. Dalam sistem demokrasi dan negara hukum, kita tidak mungkin menganggap Kepolisian lebih penting daripada Kejaksaan Agung hanya karena Kepolisian diatur keberadaannya dalam UUD 1945 sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali belum ditentukan keberadaannya dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
UUD 1945. Demikian pula dengan lembaga-lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lain sebagainya yang dibentuk berdasarkan ketentuan undang-undang. Pada umumnya lembaga-lembaga ini bersifat independen dan mempunyai fungsi campuran Antara sifat legislatif, eksekutif, dan/atau sekaligus yudikatif (Jimly Asshiddiqie, 2006: 24). Pembentukan lembaga-lembaga negara bantu tersebut juga harus memiliki landasan pijak yang kuat dan paradigma yang jelas. Dengan demikian, keberadaannya dapat membawa manfaat bagi kepentingan publik pada umumnya serta bagi penataan sistem ketatanegaraan pada khususnya.
dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembaga-lembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Prinsip konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan demikian, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hak-hak dasar warga negara semakin terjamin serta demokrasi dapat terjaga. 2) Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan
eksekutif
dalam
praktik
pemerintahan
pada
masa
prareformasi telah menghambat proses demokrasi secara sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antar cabang kekuasaan tersebut mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and balances menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Pembentukan organ-organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD Negara RI Tahun 1945 untuk menciptakan mekanisme checks and balances. 3) Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya. Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga-lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga-lembaga negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya kewenangan antar lembaga
yang
ada
sehingga
menimbulkan
tidak
efektifnya
penyelenggaraan pemerintahan. 4) Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat. Pada dasarnya, pembentukan lembaga negara ditujukan untuk memenuhi kesejahteraan warganya serta menjamin hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan serta pembentukan lembaga-lembaga politik dan hukum harus mengacu kepada prinsip pemerintahan, yaitu harus dijalankan untuk kepentingan umum dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta tetap memelihara hak67).
3. Tinjauan tentang Penyiaran a. Pengertian Penyiaran Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran memberikan pengertian mengenai penyiaran, yaitu pada Pasal 1 angka 2 yang berbunyi: Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Penyiaran dipahami sebagai pemancarluasan rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran, sebagai cara untuk menciptakan pengalaman bersama bagi jutaan orang yang tinggal bersama dalam komunitas atau negara. Dengan demikian akan tercipta dampak berupa dorongan sosial dan terciptanya proses adaptasi sosial (Geof Mulgan, 1995: 136). Penggunaan istilah penyiaran secara makro mengacu pada media elektronik radio dan televisi. Menurut peneliti media dari Mudoch University, Krishna Sen, media penyiaran televisi adalah kehidupan pribadi dari sebuah negara bangsa (the private life of the nation state). Hal ini menyangkut kepentingan pribadi dan ruang publik sehingga di banyak negara media penyiaran diatur oleh badan khusus yang dibentuk oleh negara (Krishna Sen, 1997 : 11). b. Pengertian Sistem Penyiaran Sistem Penyiaran adalah rangkaian penyelenggaraan penyiaran yang teratur dan menggambarkan interaksi berbagai elemen di dalamnya seperti tata nilai, institusi, individu, broadcaster, dan program siaran. Sistem penyiaran melengkapi pula prosedur dan klasifikasi yang tersimpul dalam aturan main, seperti undang-undang. Ruang lingkup lahirnya wacana sistem penyiaran berita semakin luas dan kompleks karena adanya pendanaan dan pengawasan publik atas media siaran radio dan televisi (masduki, 2007: 3). Sedangkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, mendefinisikan mengenai sistem penyiaran nasional, pada Pasal 1 angka 10 : Sistem penyiaran nasional adalah tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran nasional sebagai upaya mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c. Hukum Penyiaran Hukum Penyiaran merupakan bagian terkecil dari kajian Hukum Telekomunikasi. Hukum Telekomunikasi sendiri adalah hukum khusus atau lex specialis yang mengkaji dan mengatur hal-hal yang berkenaan dengan telekomunikasi. Hukum telekomunikasi bersandar pada konvensikonvensi, perjanjian-perjanjian internasional, dan kebiasaan internasional (international costumary law) yang sejak awal komunikasi terpelihara dan terus berkembang hingga saat ini. Disamping itu setelah ditetapkannya International Telecommunication Union (ITU) sebagai organ khusus PBB yang mengatur masalah telekomunikasi, peraturan-peraturan internasional seperti konvensi, konstitusi, dan resolusi ITU menjadi pedoman utama dalam pembentukan aturan nasional. Akan tetapi, mengingat eksklusifitas kedaulatan
negara,
maka
setiap
negara
berhak
untuk
membuat
peraturannya sendiri berkaitan dengan penyelenggaraan telekomunikasi (domain reserve). Hal ini diakui dalam pramble ITU Constitution bahwa ...fully recognizing the sovereign right of each State to regulate its telecommunication...
-4). Berdasarkan itu untuk
mengkaji perihal penyiaran, akan terdapat empat substansi hukum yang berbeda, tetapi memiliki keterkaitan satu sama lain, yaitu : 5) Aspek Hukum Teknis Substansi yang pertama ialah persoalan teknikal atau aspek teknologi (Technology aspect). Tergolong dalam substansi hukum pertama adalah hal-hal yang berkaitan dengan teknik operasional lembaga penyiaran, seperti penggunaan spektrum frekuensi, sampai dengan digitalisasi penyiaran. Dalam hal ini, pranata hukum nasional dengan pranata hukum internasional saling terkait. 6) Aspek Hukum Perizinan Aspek hukum perizinan penyiaran di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
peraturan pelaksana lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah paparan tentang sistem stasiun jaringan dan prediksi tentang mekanisme perizinan sistem penyiaran digitalisasi. 7) Aspek Hukum Program Siaran Aspek hukum program siaran meliputi aturan tentang boleh dan tidak boleh suatu program siaran untuk disiarkan, standar program dan isi siaran, serta aturan-aturan hukum lain yang harus dipatuhi oleh praktisi penyiaran. Dalam konteks ini, hanya akan berkaitan dengan sistem hukum nasional Indonesia, karena ITU sendiri tidak mengatur secara khusus hal-hal yang berkenaan dengan konten. Hal tersebut dapat dipahami mengingat adanya perbedaan antar sistem hukum dan yang terutama budaya suatu negara dengan negara lainnya. 8) Aspek Hukum Pidana Dalam Penyiaran Ketentuan-ketentuan pidana
yang dipaparkan tidak hanya
bersumber dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, tetapi ketentuan pidana lainya yang berkaitan erat atau dapat dikenakan kepada praktik penyiaran yang bersumber dari peraturan perundangundangan yang lainnya ( judhariksawan, 2010 :6-7). d. Lembaga Penyiaran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, telah membagi lembaga penyiaran kedalam empat jenis yaitu: 1) Lembaga Penyiaran Publik Lembaga Penyiaran Publik (LPP) adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum
yang didirikan oleh negara, bersifat
independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. LPP terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara Republik Indonesia. Di daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan Lembaga Penyiaran Publik lokal, dengan catatan tidak atau belum dilayani oleh RRI maupun TVRI setempat. Lembaga Penyiaran Publik di tingkat pusat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik berasal dari iuran penyiaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, siaran iklan, dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. 2) Lembaga Penyiaran Swasta Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran. LPS adalah lembaga yang bersifat profit oriented atau bisnis murni, dengan modal awal dan pemegang sahamnya harus bersumber dari modal dalam negeri. 3) Lembaga Penyiaran Komunitas Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya. LPK diselenggarakan tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata. Dimaksudkan untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam
mencapai kesejahteraan,
dengan
melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan informasi yang menggambarkan identitas bangsa. LPK merupakan komunitas nonpartisan yang keberadaan organisasinya tidak mewakili organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas internasional, tidak terkait dengan organisasi terlarang, dan tidak untuk kepentingan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
propaganda bagi kelompok
atau
golongan
tertentu.
Dari sisi
pembiayaan , LPK didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas tersebut. 4) Lembaga Penyiaran Berlangganan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) adalah lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih
dahulu
memperoleh
izin
penyelenggaraan
penyiaran
berlangganan. LPB diselenggarakan berdasarkan klasifikasi: Lembaga Penyiaran
Berlangganan
melalui
satelit,
Lembaga
Penyiaran
Berlangganan melalui kabel, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui terestrial. Dalam menyelenggarakan siarannya, LPB harus mempunyai izin atas setiap program siaran dalam setiap saluran melakukan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan atau disalurkan, menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas saluran untuk menyalurkan program dari lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta, dan menyediakan 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) siaran produksi luar negeri paling sedikit 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri. Pembiayaan Lembaga Penyiaran Berlangganan berasal dari iuran berlangganan, dan usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
4. Tinjauan tentang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) a. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan sebuah lembaga independen
di
Indonesia
yang
berfungsi
sebagai
regulator
penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya. Komisi ini berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
Anggota KPI Pusat terdiri dari 9 anggota komisioner yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan KPI Daerah terdiri dari 7 anggota komisioner yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, anggaran program kerja KPI Pusat dibiayai oleh APBN dan KPI Daerah
dibiayai
oleh
APBD
(Komisi
Penyiaran
Indonesia,
http://www.kpi.go.id/tentang-kpi/kelembagaan/profil-kpi). KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta
mewakili
kepentingan
masyarakat
akan
penyiaran,
dengan
mengembangkan program-program kerja dan memperhatikan tujuan yang diamanatkan sesuai Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3, yang berbunyi: Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut organisasi KPI dibagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang kelembagaan, struktur penyiaran dan pengawasan isi siaran. Bidang kelembagaan menangani persoalan hubungan antar kelembagaan KPI, koordinasi KPID serta pengembangan kelembagaan KPI. Bidang struktur penyiaran bertugas menangani perizinan, industri dan bisnis penyiaran. Sedangkan bidang pengawasan isi siaran menangani pemantauan isi siaran, pengaduan masyarakat, advokasi dan literasi media (Komisi
Penyiaran
Indonesia,
http://www.kpi.go.id/tentang-
kpi/kelembagaan/profil-kpi).
b. Visi dan Misi KPI Visi dan misi merupakan dua hal yang menentukan arah bagi setiap lembaga, atau bahkan individu, yang di dalamnya terdapat cita-cita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), merupakan sebuah lembaga yang diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan penyiaran , dalam situs resmi KPI, disebutkan visi dan misi KPI adalah sebagai berikut: 1) Visi : Terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. 2) Misi : a) Mengembangkan kebijakan pengaturan, pengawasan dan pengembangan isi siaran; b) Melaksanakan kebijakan pengawasan dan pengembangan terhadap struktur sistem siaran dan profesionalisme penyiaran; c) Membangun kelembagaan KPI dan pastisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; d) Meningkatkan kapasitas sekretariat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia, http://www.kpi.go.id/tentangkpi/kelembagaan/visi-dan-misi). c. Wewenang KPI Disebutkan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dalam menjalankan fungsinya, KPI berwenang : 1) menetapkan standar program siaran;menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; 2) mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; 3) memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; 4) melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. d. Tugas dan Kewajiban KPI Selain wewenang di atas, menurut Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, KPI mempunyai tugas dan kewajiban, yaitu : 1) menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia; 2) ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; 3) ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait; 4) memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
5) menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan 6) menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. e. Keanggotaan KPI Secara organisatoris, dijelaskan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, anggota KPI pusat berjumlah sembilan orang dipimpin oleh seorang ketua dan wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota, sedangkan KPI daerah berjumlah tujuh orang yang pimpinannya juga terdiri atas seorang ketua dan wakil ketua yang dipilih dengan cara yang sama. Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI pusat dan KPI daerah, selama tiga tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Sebagai lembaga negara KPI dibiayai oleh negara, untuk KPI pusat dibiayai dari APBN, KPI daerah dibiayai dari APBD. Dijelaskan dalam Pasal 10 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, KPI Daerah anggotanya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka. Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Republik
Indonesia,
untuk
anggota
KPI
Daerah
secara
administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
B. Kerangka Pemikiran
Lembaga Negara Independen
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Eksistensi KPI sebagai Lembaga Negara Independen dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Fungsi KPI dalam penyelenggaraan penyiaran di Indonesia
Kedudukan KPI sebagai Lembaga Negara Independen dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Keterangan Kerangka Pemikiran : Kerangka pemikiran dalam bentuk skema diatas menjelaskan alur pemikiran
penulis
dalam
mengangkat,
menggambarkan,
menelaah
dan
menjabarkan serta menemukan jawaban atas kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Setelah dilakukan empat perubahan dalam amandemen UUD 1945, memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara serta munculnya berbagai lembaga negara independen yang bersifat sebagai penunjang (auxiliary state organs) dari lembaga-lembaga negara utama sebagai bentuk eksperimentasi kelembagaan. Salah satunya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yaitu lembaga negara yang diedialkan independen dalam artian bebas dari campur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
tangan cabang kekuasaan manapun, dan karenanya berada di luar ranah kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar dalam semangat Undang-Undang tersebut yaitu, lahirnya sebuah lembaga negara independen yang bernama KPI. KPI berperan dalam mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat, yang merupakan wujud peran serta masyarakat akan penyiaran serta mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, menarik untuk dikaji mengenai bagaimana eksistensi KPI sebagai lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan
Republik
Indonesia,
dan
apa
penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, sehingga
saja
fungsi
KPI
dalam
kedudukan KPI sebagai
lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dapat terjawab.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. EKSISTENSI KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
INDEPENDEN
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
KPI merupakan lembaga negara yang independen, maka sebelum dibahas lebih lanjut mengenai eksistensi KPI sebagai lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia perlu diketahui dan dipahami lebih jauh mengenai independensi Kelembagaan KPI, terlebih dahulu Penulis menguraikan beberapa karakteristik kelembagaan, ciri dan sifat komisi negara independen menurut para ahli, sebagai berikut: 1. Independensi Kelembagaan KPI a. Wiliam F. Funk, & Richard H. Seamon, menguraikan karakteristik komisi negara independen sebagai berikut : 1) Pemberhentian
anggota
berdasarkan
sebab-sebab
komisi yang
yang diatur
hanya
dapat
dalam
dilakukan
undang-undang
pembentukan komisi yang bersangkutan (mekanisme hukum). 2) Kepemimpinan yang kolektif, bukan seorang pimpinan. 3) Kepemimpinan tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partai politik tertentu (non partisan). 4) Masa jabatan para pimpinan komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms). b. Wiliam F. Fox Jr., secara ringkas menjelaskan bahwa : 1) Suatu komisi negara adalah independen bila dinyatakan secara tegas oleh parlemen dalam undang-undang komisi tersebut (syarat normatif). 2) Presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan komisi.
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
c. Milakovich dan Gordon, secara rinci menentukan karakteristik komisi negara independen sebagai berikut : 1) Komisi ini memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusan diambil secara kolektif. 2) Anggota atau para komisioner lembaga ini tidak menjalani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya. 3) Masa jabatan para komisioner ini biasanya definitif dan cukup panjang. 4) Periode jabatannya bersifat staggered. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembagalembaga terkait. 5) Jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. 6) Keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan. Guna kepentingan identifikasi apakah KPI merupakan sebuah lembaga negara yang independen maka penulis merangkum atau mengintegrasikan keseluruhan karakteristik yang berfungsi sebagai pisau analisis, yang penulis dasarkan pada pendapat: a Wiliam F. Funk, & Richard H. Seamon, b Wiliam F. Fox Jr., c Milakovich dan Gordon, sebagaimana diuraikan sebelumnya, mengingat banyaknya kesamaan pendapat di antara para ahli tersebut : 1) Independensi komisi dinyatakan secara tegas oleh pembentuk undangundang dalam undang-undang komisi tersebut. Karakteristik ini, penulis kategorikan sebagaai syarat normatif. 2) Independen, dalam artian bebas dari pengaruh, kehendak, ataupun control dari cabang eksekutif. Karakteristik ini, penulis kategorikan sebagai syarat yang harus ada (conditio sine qua non) apabila suatu lembaga negara dikategorikan sebagai komisi negara independen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
3) Pemberhentian dan pengangkatan anggota komisi menggunakan mekanisme
tertentu
yang
diatur
khusus,
bukan
semata-mata
berdasarkan kehendak Presiden (political appointee). Mekanisme tertentu yang diatur khusus ini berarti pengangkatan atau perekrutan anggota komisi dilakukan melalui tahapan atau cara pemilihan yang diatur dan ditentukan khusus dalam peraturan perundang-ndangan yang berlaku. Sedangkan pemberhentian anggota komisi dilakukan melalui mekanisme tersendiri, termasuk karena alasan pelanggaran hukum. 4) Kepemimpinan kolektif kolegial, jumlah anggota atau komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. 5) Kepemimpinan tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partai politik tertentu. 6) Masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms). 7) Keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat nonpartisan. Istilah non partisan mengacu pada artian keanggotaan yang bukan berasal dari partai, atau berhenti dari keanggotaan partai politik.
Independensi kelembagaan KPI tercermin dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa -hal
kekuasaan lain. Pasal ini juga menunjukan bahwa KPI merupakan sebuah lembaga negara, pen amanat dari undang-undang. Pemberhentian
dan
pengangkatan
anggota
KPI
menggunakan
mekanisme tertentu yang diatur khusus, bukan semata-mata berdasarkan kehendak Presiden. Mekanisme dimaksud, pengangkatan diatur dalam Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sedangkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
pemberhentian diatur dalam Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11. Kepemimpinan KPI bersifat kolektif kolegial, jumlah anggota KPI Pusat 9 (Sembilan) orang dan KPI Daerah berjumlah 7 (tujuh) orang. Masa jabatan para pemimpin KPI definitif, dan habis secara bersamaan. Hal ini tercermin dalam Pasal 9 ayat
Pusat dan KPI Daerah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1
KPI hanya memenuhi karakteristik masa jabatan pimpinan definitif, namun tidak menggunakan penggantian secara bertahap (staggered terms). Independensi
dari KPI
juga
dapat dilihat
dari
independensi
keanggotaan KPI. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
menjadi anggota KPI harus dipenuhi syarat sebagai berikut, bukan anggota l Keanggotaan KPI tidak ditujukan untuk menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat nonpartisan. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1), yang tidak ditujukan untuk menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat nonpartisan. Berdasarkan analisis diatas, tampak jelas bahwa KPI memenuhi karakteristik syarat normatif dan syarat teoritis dengan catatan tidak menggunakan penggantian secara bertahap (staggered terms). Dengan demikian, KPI merupakan komisi negara independen.
2. Check and Balances KPI terhadap cabang kekuasaan Eksekutif, Legislatif Dan Yudikatif dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia Meninjau keberadaan KPI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut konsep pembagian kekuasaan pada prinsipnya KPI berperan sebagai lembaga
negara
penyelenggaraan
yang penyiaran
menjalankan
fungsi
pengawasan
di Negara Indonesia.
terhadap
Prinsip pembagian
kekuasaan yang dianut Negara Indonesia adalah pembagian kekuasaan (separation of power) yang sesuai dengan prinsip check and balances. Teori
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
pembagian kekuasaan mempunyai tujuan agar kekuasaan negara tidak berada dalam satu tangan, melainkan tersebar dalam cabang-cabang kekuasaan negara yang diwujudkan dalam pembentukan lembaga negara. Kekuasaan lembagalembaga negara masih dapat saling bersentuhan antara satu sama lain yang dibagi secara horisontal. Negara Indonesia sendiri tidak menganut teori pembagian kekuasaan Trias Politica dari Montesque secara mutlak. Dalam tatanan nasional maupun daerah, organisasi-organisasi negara yang dibentuk lebih bervariasi untuk mencerminkan tiga ranah kekuasaan penyelenggara negara yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, pemegang tiga cabang kekuasaan negara tersebut tidak hanya tiga organ saja, tetapi tersebar dalam beberapa organ negara baik yang berfungsi di ranah legislatif, eksekutif, yudikatif. Organisasi tersebut tidak murni mencerminkan Teori Trias Politica karena sudah tidak relevan bagi perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan pada pendekatan bahwa UUD 1945 telah menganut sistem distribusi kewenangan antara lembaga negara secara fungsional (functionally
distributed
system),
Harjono
menjelaskan,
UUD
1945
menetapkan fungsi-fungsi tertentu untuk menyelenggarakan ketatanegaraan. Fungsi-fungsi tersebut berupa penetapan dan pengubahan undang-undang dasar,
pembuat undang-undang,
pelaksanaan
pemerintahan,
pelaksana
peradilan, dan fungsi lain untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan agar tercipta good corporate governance. Dengan demikian, dapat dikatakan pada dasarnya check and balances komisi negara independen terhadap tiga poros kekuasaan asli bertujuan untuk mewujudkan good corporate governance, dan mempertahankan negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum ataupun negara hukum yang demokratis. Komisi negara independen yang memiliki
constitutional importance (KPK,
KOMNAS HAM) maupun yang dibentuk berdasarkan undang-undang (PPATK, KPPU, KPI), merupakan lembaga negara yang melaksanakan fungsi lain untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, agar tercipta tercipta good corporate governance (Gunawan A. Tauda, 2012: 150)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
Lebih lanjut, rincian bentuk-bentuk check and balances antara KPI dan tiga poros kekuasaan asli yaitu eksekutif , legislatif, dan yudikatif, penulis uraikan pada subtopik selanjutnya. Guna kepentingan praktis penelitian, penelusuran terkait dititikberatkan pada konstitusi Republik Indonesia, dan dasar hukum pembentukannya saja, adapun penerapan dan penggunaan produk-produk hukum tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan. Pada dasarnya, bentuk-bentuk check and balances ini bersifat normatif, dalam artian penulis dasarkan hanya pada hukum positif ( UUD1945 dan undangundang), uraian-uraian teoritik akan digunakan sebagai penunjang yang penggunaanya disesuaikan kebutuhan.
a. Check and balances antara KPI dengan cabang kekuasaan Eksekutif Penyelenggaraan penyiaran idealnya harus bebas dari kepentingan politik dan pemodal, masing-masing negara harus menemukan cara sendiri bercita-cita untuk mencapai tujuan ini, tantangannya adalah untuk menciptakan sebuah regulasi yang tepat berdasarkan pemahaman jelas mengenai pentingnya kebebasan penyelenggaraan penyiaran dari pengaruh dan kontrol penguasa. Pada konteks ketatanegaraan kontemporer, bertujuan mempertahankan cita negara hukum yang demokratis (Toby Mendel and Eve Salomon, 2011: 15). Cabang kekuasaan eksekutif merupakan sasaran utama dari komisi negara independen untuk pelaksanaan pembatasan dan penyeimbangan yang merupakan perwujudan dari check and balances, mengingat sebagian besar kewenangan komisi negara independen tadinya berada pada eksekutif. Latar belakang pembentukan KPI dilandasi semangat, salah satunya, agar tidak terjadi campur tangan kekuasaan eksekutif dalam penyelenggaraan penyiaran dan menghindari adanya propaganda bagi rezim yang sedang berkuasa. Hal ini dilakukan guna membatasi dan mengendalikan kekuasaan presiden, mengingat begitu potensialnya lembaga eksekutif ini menyalahgunakan kekuasaannya untuk bertindak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
sewenang-wenang dan melanggengkan kekuasaan menuju pemerintahan yang koruptif, uniformistik, sentralistik, ataupun totaliter.
1) Cabang kekuasaan Eksekutif terhadap KPI Sebagai pemegang kekuasaan administratif tertinggi, kepala negara, dan co-legislator yang powerful, bentuk check and balances Presiden terhadap KPI dapat dirinci sebagai berikut : a) Membentuk dan meniadakan KPI melalui (1) undang-undang bersama DPR, dan (2) peraturan pemerintah pengganti undangundang yang finalisasinya tergantung pada political will DPR. b) Menentukan besarnya anggaran yang dibutuhkan KPI, melalui pembahasan dan persetujuan atas rancangan undang-undang APBN. c) Menetapkan,
menambahkan,
dan
mengurangi
kewenangan-
kewenangan pada KPI untuk melaksanakan tugas dan fungsi tertentu melalui undang-undang, bersama-sama DPR. d) Mengesahkan
(validasi),
melakukan
pengangkatan
dan
pemberhentian komisioner KPI selaku kepala negara, Presiden menetapkan anggota KPI Pusat atas usul DPR RI dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul DPRD Provinsi.
2) KPI terhadap Cabang kekuasaan Eksekutif
menetapkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang untuk mempengaruhi, mengendalikan, dan mengarahkan kebijakankebijakan, baik menjalankan tugas dan fungsinya. Sebagai gantinya KPI dapat menetapkan peraturan baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal kelembagaan (self regulatory body), untuk menjelaskan undang-undang tertentu sebagaimana mestinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
Adapun bentuk-bentuk check and balances komisi negara independen terhadap cabang kekuasaan eksekutif, sebagai berikut : a) Penyelenggaraan penyiaran di era Orde Baru (PraAmandemen UUD 1945) dikendalikan dan diketuai oleh Menteri Penerangan, yang secara struktural merupakan pembantu Presiden. Oleh sebab itu, pada masa Orde Baru belum ada sebuah lembaga legal yang independen yang mengatur mengenai penyelenggaraan penyiaran, menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang semata-mata digunakan bagi kepentingan pemerintah. Lahirnya KPI menjadi syarat dasar terlaksananya sebuah sistem penyiaran dimana menempatan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran sebagai salah satu perwujudan demokrasi guna memberikan pelayanan informasi publik yang sehat bagi masyarakat, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. b) Melakukan koordinasi, pengawasan, penindakan , dan pencegahan atas campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Alasan utama dibentuknya KPI dikarenakan sistem penyiaran merupakan alat strategis yang rawan dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan. Perlu ditambahkan pula pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. c) Melakukan monitoring atas penyelenggaraan sistem penyiaran oleh KPI. Pengawasan KPI bertujuan untuk menciptakan sistem penyiaran yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan, menunjukan bahwa KPI merupakan satusatunya komisi negara independen yang memiliki kewenngan monitoring terhadap penyelenggaraan penyiaran. d) Perlindungan dan penegakan HAM warga negara salah satunya oleh KPI yaitu, menjamin masyarakat dalam memperoleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
informasi yang benar sesuai dengan hak asasi manusia, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Adanya prinsip keberagaman kepemilikan (Diversity of Ownership) juga memberikan jaminan iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran
di
Indonesia.
Kendati
demikian,
perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhanHAM terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.
b. Check and balances antara KPI dengan cabang kekuasaan Legislatif Check and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lainnya. Tujuan konsepsi ini adalah untuk menghindari adanya konsentrasi kekuatan pada check
check and balances,
sebagai suatu pengontrolan, pengawasan, atau pembatasan yang satu dengan yang lain agar pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebasbebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Sedangkan balance
-
masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani. Adapun operasionalisasi dari teori check and balances dilakukan melalui Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan, Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan, Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan satu terhadap cabang pemerintahan lainnya, Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan satu terhadap yang lainnya, Pemberian wewenang kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir jika ada pertikaian antara badan eksekutif dan legislatif (Munir Fuady, 2009:124). Kajian ini berpijak pada anggapan dasar bahwa KPI dalam konteks ketatanegaraan modern, termasuk didalamnya Republik Indonesia, merupakan cabang kekuasaan tersendiri di luar konsepsi trias politica
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Montesquieu, yang dapat dimaknai sebagai bagian dari teori the new separation of power, ataupun the fourth branch of government. Sehingga bentuk-bentuk check and balances antara KPI dan tiga poros kekuasaan asli memiliki landasan konseptual untuk diuraikan. Dengan demikian, berdasarkan cara-cara operasionalisasi teori check and balances yang telah dikemukakan diatas, berikut dikemukakan bentuk-bentuk check and balances antara KPI dengan tiga poros kekuasaan asli (Munir Fuady, 2009:125).
1) Cabang kekuasaan Legislatif terhadap KPI DPR sebagai lembaga negara legislatif memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Selain itu, dalam melaksanakan fungsinya, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, serta hak-hak lain yang ditentukan konstitusi maupun undang-undang. Berdasarkan fungsi dan hak DPR ini, bentuk check and balances DPR tehadap KPI dapat dirinci sebagai berikut : a) Membentuk dan meniadakan KPI melalui konstitusi (bersama DPD dalam wadah MPR) dan undang-undang. b) Menyediakan dan menentukan besarnya anggaran yang dibutuhkan KPI, melalui pembahasan dan persetujuan atas rancangan undangundang APBN. c) Menetapkan,
menambahkan,
dan
mengurangi
kewenangan-
kewenangan pada KPI untuk melaksanakan tugas dan fungsi tertentu melalui undang-undang. Hal ini terkait erat dengan doktrin delegasi kewenangan (delegation doctrine), bahwa KPI dibentuk oleh parlemen untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu saja. Guna mempermudah KPI dalam menjalankan tugas dan fungsinya, parlemen atas nama rakyat mendelegasikan kewenangan kepada KPI, yang biasanya terbatas pada urusan-urusan yang diberikan. Kewenangan-kewenangan ini secara garis besar berupa quasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
legislatif, misalnya, menciptakan aturan-aturan yang mengikat dan berlaku untuk umum, sebagai contoh peraturan KPI mengenai pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. d) Melakukan pengawasan terhadap KPI, dikarenakan hampir semua komisi negara independen bertanggung jawab kepada publik, dan -hak lainnya yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Pengawasan oleh DPR, merupakan hal yang logis, dikarenakan komisi negara independen berdasarkan dibentuk
oleh
legislator,
dan
pada
delegation doctrine, dasarnya
merupakan
perpanjangan tangan dari parlemen itu sendiri. e) Menyetujui (verifikasi) pengangkatan dan pemberhentian pimpinan (komisioner) KPI. Anggota KPI Pusat dipilih oleh DPR RI dan KPI Daerah dipilih oleh DPRD Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka. Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul DPR RI dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul DPRD Provinsi.
2) KPI terhadap cabang kekuasaan Legislatif Check and balances KPI terhadap cabang kekuasaan legislatif hampir sama sekali tidak ada. Keterbatasan check and balances ini merupakan
kewajaran,
dikarenakan
komisi
negara independen
berdasarkan delegation doctrine, dibentuk oleh legislator, dan pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan dari parlemen itu sendiri. MPR, dan DPD) sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat tidak dapat dibatasi dan diimbangi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
c. Check and Balances antara KPI dengan cabang kekuasaan Yudikatif Cabang kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang mandiri untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD1945, dilakukan MA dan MK serta badan peradilan yang berada dibawahnya. MA dan MK dalam menjalankan fungsinya ditunjang oleh badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Artinya selain MA dan MK, serta KY dan Kepolisian Negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lain yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Lembaga-lembaga dimaksud misalnya, Kejaksaan Agung, Komnas HAM, KPK, dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian-uraian tersebut,
seluas apapun kewenangan
quasi yudikatif komisi negara independen,
tidak dapat menggantikan kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga pelaksana kekuasaan yang telah ada (MA dan MK).
1) Cabang Kekuasaan Yudikatif terhadap KPI Cabang kekuasaan yudikatif yang dimaksud dalam penelitian ini tentunya MA dan MK, yang keduanya memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda. MA adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Mengutip Jimly Asshidiqie, MA pada pokoknya merupakan pengawal undang-undang. Sedangkan MK, merupakan pengawal UUD 1945. Di samping berfungsi sebagai pengawal konstitusi, MK juga biasa disebut lembaga yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945 (Jimly Asshiddiqie, 2006: 152-153). Sebagai the guardian of Indonesian law, bentuk check and balances MA terhadap KPI dapat diuraikan sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
a) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sesuai dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Produk hukum dimaksud adalah peraturan yang dibentuk oleh KPI sebagai self
regulatory body, yang diajukan judicial
review ke MA. Tingkatan dan kekuatan hukum mengikat peraturan KPI mengacu pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Pasal 20 ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Judicial review
ini dapat
dikategorikan sebagai bentuk pembatasan dan penyeimbangan MA terhadap KPI. Kendati bersifat self regulatory body, KPI tidak dapat sekehendak hati membentuk peraturan yang mengikat dan belaku umum, dikarenakan KPI dibatasi terutama oleh kewenangan tertentu yang ditentukan pada dasar hukum pembentukannya dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. b) Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, apabila diminta ataupun tidak diminta, MA dapat memberikan fatwa (pertimbangan, keterangan, nasihat) atas permasalahan hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan, yang termasuk didalamnya lembaga negara independen salah satunya KPI. Sebagai the guardian of constitution, bentuk check and balances MK terhadap KPI dapat diuraikan sebagai berikut: a) Menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945 sesuai yang termaktub dalam Pasal 24C UUD 1945. Undangundang yang dimaksud adalah undang-undang yang menjadi dasar hukum pembentukan, ataupun undang-undang yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan KPI dalam melaksanakan
tugas
dan
fungsinya.
Pada
tatanan
praktik
ketatanegaraan, telah merubah, menambah, mengurangi, atau membatalkan pasal dan atau ayat tertentu dari undang-undang yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
menjadi dasar hukum pembentukan, ataupun undang-undang yang berkaitan secara langsung maupun tidak dalam
melaksanakan
tugas
dan
langsung dengan KPI
fungsinya,
yang diajukan
konstitusionalnya ke MK. b) Kewenangan MK untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 Pasal 24C, sebagai missal, Putusan MK Nomor 30/SKLN-IV/2006, yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara antara pemohon yaitu KPI dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informasi selaku termohon, dengan keputusan, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima.
2) KPI terhadap Cabang Kekuasaan Yudikatif Tampaknya, Cabang kekuasaan yudikatif sama sekali tidak tersentuh check and balances KPI. Keterbatasan check and balances ini merupakan kewajaran, dikarenakan kekuasaan kehakiman bukan merupakan cakupan dari KPI sehingga tidak dapat dibatasi dan diimbangi oleh KPI.
3. KPI ditinjau Menurut Fungsi Kelembagaan Lembaga negara independen dianggap penting untuk menjamin tegaknya demokrasi, oleh karena itu, lembaga negara independen merupakan lembaga negara yang diedialkan independen dalam artian bebas dari campur tangan cabang kekuasaan manapun, dan karenanya berada di luar ranah kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Namun pada saat yang sama, komisi negara independen memiliki fungsi dan karakter yang bersifat gabungan diantara ketiganya. Dalam bahasa Funk dan Seamon, komisi Negara independen tidak jarang mempunyai kekuasaan
commit to user
quasi legislative, quasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
executive dan quasi judicial power ( wiliam F. Funk,& Richard H. Seamon, 2001: 23-24). Menurut teori kelembagaan dari Jimly Asshiddiqie berdasarkan pembedaan dari segi fungsinya lembaga-lembaga negara dapat dikategorikan sebagai organ utama atau organ primer (primary constitutional organs) dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami perbedaan diantara keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah: a) kekuasaan eksekutif atau pelaksana ( administrator, bestuurzorg); b) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan; c) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial (Jimly Asshiddiqie, 2006: 113).
a. Kekuasaan Eksekutif KPI merupakan lembaga negara penunjang yang menjalankan program
dan
kegiatan
baik
teknis
maupun
administrasi
terkait
penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, jika dihubungkan dengan teori tentang kelembagaan negara yang menyebutkan bahwa lembaga negara dapat dibedakan menurut fungsinya, KPI termasuk lembaga negara penunjang yang menjalankan fungsi eksekutif (pelaksana administratif), hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 8 ayat (3), ketentuan tersebut menjelaskan bahwa KPI memiliki tugas dan kewajiban menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia, ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran, memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang
serta menyusun
perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas
di
bidang
penyiaran.
Dalam
menjalankan
fungsi,
wewenang ,tugas dan kewajibannya, KPI Pusat bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan kepada DPR, sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
b. Kekuasaan Legislatif Sistem
pengawasan
dan
kekuasaan
legislatif
ketatanegaraan
Indonesia dipegang oleh tiga lembaga negara, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR),
Permusyawaratan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
(MPR).
Daerah Jika
(DPD)
dikaitkan
dan
Majelis
dengan
fungsi
pengawasan dan pelaksanaan kekuasaan legislatif, KPI menjalankan fungsi legislasi
(pembuat
peraturan
perundang-undangan),
yaitu
dalam
menjalankan fungsinya, KPI mempunyai wewenang menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, kewenangan tersebut dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain fungsi legislasi KPI juga memiliki fungsi pengawasan, fungsi pengawasan yang dilakukan oleh KPI adalah mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, kewenangan tersebut dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. KPI bukanlah cabang dari MPR, DPR, atau DPD. Menurut Pasal 2 UUD 1945 menyatakan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD
yang dipilih
melalui pemilu. Jadi lembaga-lembaga
yang
menjalankan fungsi legislatif dan pengawasan menurut UUD 1945 ada tiga yaitu MPR, DPR dan DPD, dalam arti KPI bukan cabang dari kekuasaan ketiga lembaga tesebut. KPI menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan sesuai dengan kewenangannya menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. KPI merupkan salah satu unsur pengawas masyarakat. Dalam sistem pemerintahan Indonesia pengawasan dapat dilakukan lembaga-lembaga diluar organ pemerintahan (pengawasan eksternal) dan dapat pula dilakukan oleh lembaga-lembaga dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri (pengawasan internal). KPI bertindak sebagai pengawas eksternal pemerintahan. Subjek yang diawasi oleh KPI yaitu lembaga atau perseorangan
yang
tugas
pokoknya
commit to user
berkaitan
dengan
dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
penyelengaraan penyiaran, antara lain Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). Mengenai kedudukan KPI dalam sistem pengawasan masyarakat, menurut Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran, dalam melakukan fungsi pengawasan, KPI bertugas menerima laporan atas aduan, sanggahan serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran, kemudian menampung, meneliti dan menindaklanjuti laporan tersebut. Berdasarkan
pemaparan
tersebut,
dapat
dilihat
bahwa
KPI
menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislasi dan pengawas, maka dapat disimpulkan bahwa KPI merupakan lembaga penunjang ( auxiliary state organ) yang memiliki fungsi legislatif.
c. Kekuasaan Yudikatif Lembaga pelaksana atau pelaku dalam bidang kekuasaan kehakiman ada dua yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, disamping keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. KPI tidak termasuk kategori lembaga penunjang (auxiliary state organs) yang berada dalam ranah kekuasaan kehakiman, meskipun KPI mempunyai fungsi
penegakan
hukum
khususnya penyelenggaraan
penyiaran, namun KPI tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Dengan demikian KPI bukanlah lembaga peradilan, kedudukan
KPI
lebih
merupakan
lembaga
administratif
karena
kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif. sehingga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
dapat disimpulkan bahwa KPI bukan merupakan lembaga yang memiliki fungsi yudikatif.
4. KPI ditinjau Menurut Hierarki Kelembagaan Beberapa lembaga negara independen adalah organ konstitusi (constitusional organs), yang berarti eksistensi dan fungsinya diatur dalam konstitusi. Keberadaan lembaga negara dalam konstitusinya yang meliputi kewenangan, tugas, keanggotaan, hubungan kerja dengan lembaga lain, dan sebagainya, sehingga keberadaannya sangat tegas dan tidak menimbulkan kontrovesi di dalam struktur ketatanegaraan (Denny Indrayana, 2008 : 266). Dari segi hierarkinya, lembaga negara dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, ada yang mendapatkan kewenangan
dari
UUD
1945,
dan
ada
pula
yang
mendapatkan
kewenangannya dari undang-undang. Organ lapis tiga adalah organ konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan dibawah undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Organ lapis dua ini terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan kewenangan, yaitu dari UUD 1945 dan undang-undang. Lembaga yang mendapatkan kewenangan dari UUD 1945, misalnya adalah Menteri Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, dan Komisi Yudisial. KPI pada saat dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dari dasar pembentukan berupa undang-undang ini, maka secara hierarki KPI termasuk dalam kategori organ lapis dua kelompok kedua. KPI dapat disebandingkan dengan lembaga-lembaga negara (organ lapis dua) yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 atau undang-undang, misalnya Menteri Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Bank sentral,
Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
Usaha, dan komisi atau lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undangundang lainnya.
B. FUNGSI KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM PENYELENGGARAAN PENYIARAN DI INDONESIA Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah memberikan landasan usaha dalam menciptakan sistem penyiaran nasional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kepentingan masyarakat serta industri penyiaran Indonesia. Landasan hukum tersebut telah memberikan rekomendasi kepada KPI untuk dapat mewujudkan tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang melalui penciptaan infrastruktur yang tertib dan teratur, serta arus informasi yang harmonis antara pusat dan daerah antar wilayah di Indonesia juga antara Indonesia dan dunia Internasional. Dalam rangka menjalankan fungsi penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, KPI memiliki kewenangan, tugas dan kewajiban yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk menjelaskan fungsi KPI sebagai lembaga negara independen dalam penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, Penulis menguraikan kewenangan, tugas dan kewajiban KPI, sebagai berikut : 1. Wewenang KPI Dalam Penyelenggaraan Penyiaran di Indonesia a. Menetapkan Standar Program Siaran Standar Program Siaran (SPS) adalah standar isi siaran yang berisi tentang batasan-batasan, pelarangan, kewajiban, dan pengaturan penyiaran, serta sanksi berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran yang ditetapkan oleh KPI. SPS ditetapkan agar lembaga penyiaran dapat menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol, perekat sosial, dan pemersatu
bangsa.
Berdasarkan
Pasal
2
Peraturan
KPI
Nomor
02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran, SPS bertujuan untuk: 1) memperkokoh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera; 2) mengatur program siaran untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat; dan 3) mengatur program siaran agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Penyusunan SPS di inisiatifkan oleh KPI dengan melibatkan anggota staf ahli dari KPI serta mengundang ketua dan beberapa anggota komisioner KPID yang dianggap potensial untuk membuat rancangan SPS, setelah rancangan SPS tersusun, kemudian dibahas dalam Sidang Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) yang merupakan forum tertinggi antara KPI dengan KPID. Dalam Sidang RAKORNAS apabila rancangan SPS telah disepakati, rancangan tersebut di rekomendasikan kepada Tim Penyusunan dan Penyempurnaan Peraturan KPI Bidang Isi Siaran kemudian ditetapkan oleh ketua KPI untuk selanjutnya berlaku sebagai SPS. SPS secara berkala dinilai kembali oleh KPI sesuai dengan perubahan Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia, peraturan perundang-undangan dan perkembangan norma-norma yang berlaku, serta pandangan umum dari masyarakat. b. Menyusun peraturan dan menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adalah ketentuan-ketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sebagai panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional. Dasar dan tujuan P3 dijelaskan dalam Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, nilai-nilai agama, norma-norma lain yang berlaku serta diterima masyarakat, kode
Perilaku Penyiaran ditetapkan berdasarkan asas kemanfaatan, asas keadilan, asas kepastian hukum, asas kebebasan dan tanggung jawab, asas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
keberagaman, asas kemandirian, asas kemitraan, asas keamanan, dan etika
1) menjunjung tinggi dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) meningkatkan kesadaran dan ketaatan terhadap hukum dan segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia; 3) menghormati dan menjunjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya bangsa yang multikultural. 4) menghormati dan menjunjung tinggi etika profesi yang diakui oleh peraturan perundang-undangan; 5) menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi; 6) menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 7) menghormati dan menjunjung tinggi hak dan kepentingan publik; 8) menghormati dan menjunjung tinggi hak anak-anak dan remaja; 9) menghormati dan menjunjung tinggi hak orang dan/atau kelompok masyarakat tertentu; dan 10) menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik. Penyusunan P3 oleh KPI dilakukan dengan melibatkan anggota staf ahli dari KPI serta mengikutsertakan ketua dan beberapa anggota komisioner KPID yang dianggap potensial untuk membuat rancangan P3, setelah rancangan P3 tersusun, kemudian dibahas dalam Sidang Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) yang merupakan forum tertinggi antara KPI dengan KPID. Dalam Sidang RAKORNAS apabila rancangan P3 telah disepakati, rancangan tersebut di rekomendasikan kepada Tim Penyusunan dan Penyempurnaan Peraturan KPI Bidang Isi Siaran kemudian ditetapkan oleh ketua KPI untuk selanjutnya berlaku sebagai P3. P3 secara berkala dinilai kembali oleh KPI sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan perkembangan norma-norma yang berlaku serta pandangan dari masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran Pengawasan KPI Pusat terkonsentrasi penyiaran nasional, KPID terkonsentrasi penyiaran lokal/daerah. Pengawasan isi siaran KPI dilakukan melalui dual side. Pertama, melalui pemantauan aktif selama 24 jam menggunakan alat perekam program siaran dan kedua, melalui fasilitasi pengaduan oleh masyarakat. Pemantauan aktif dilakukan untuk program siaran televisi nasional meliputi 10 lembaga penyiaran swasta (RCTI, TPI, SCTV, INDOSIAR, TRANSTV, GLOBAL TV, TRANS7, ANTV, METRO TV, TV ONE) 1 lembaga penyiaran publik (TVRI) dan program siaran televisi lokal/daerah bagi KPID. Proses pengawasan isi siaran televisi dan radio meliputi kegiatan-kegiatan yang dimulai dari perekaman, pemilahan, editing, analisis, dan hasil rekapitulasi. Untuk sampai pada satu bentuk perlakuan terhadap pelanggaran isi siaran, KPI/KPID bersama tim ahli melakukan analisis mendalam dan cermat. Hal ini dimaksudkan agar kepentingan publik terselamatkan dan sebaliknya lembaga penyiaran dan industri penyiaran menjadi sehat dan berkualitas (KPID KALBAR, http://kpid-kalbar.org/?menu=pengawasanpenyiaran). Pengawasan oleh KPI pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan pelanggaran terhadap P3 dan SPS. Melalui pengawasan diharapkan KPI mampu mengakomodir kepentingan masyarakat sebagai penikmat isi siaran. Penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaaan dan perlindungan terhadap masyarakat khususnya anak dan perempuan, adalah dasar P3 dan SPS. Sehingga melalui pengawasan tercipta isi siaran yang sehat dan berkualitas dengan tidak mengabaikan fungsi hiburan dan informasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran Peraturan dan Pedoman perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran Program siaran yang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar P3 dan SPS dijatuhkan sanksi administratif oleh KPI, berdasarkan Pasal 75 ayat (2) sanksi administratif dapat berupa : 1) teguran tertulis; 2) penghentian sementara mata acara setelah melalui tahap-tahap tertentu; 3) pembatasan durasi dan waktu siaran; 4) denda administratif; 5) pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu; 6) tidak diberi perpanjangan izin penyiaran; 7) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Setiap pelanggaran yang terbukti dilakukan oleh lembaga penyiaran akan tercatat secara administratif dan akan mempengaruhi keputusan KPI berikutnya, termasuk dalam hal perpanjangan izin lembaga penyiaran yang bersangkutan. Bila KPI menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran, KPI akan mengumumkan pelanggaran tersebut kepada publik. e. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat Bentuk koordinasi dan kerjasama KPI dengan Pemerintah, sebagai contoh KPI bekerja sama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam pemberian izin siaran dan izin frekuensi siaran stasiun televisi, Peraturan
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
No.
28/P/M.KOMINFO/9/2008 tentang tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran menegaskan bahwa masa berlaku izin televisi adalah 10 tahun sekali. Setelah itu, pengelola frekuensi televisi harus kembali mengajukan perpanjangan izin siaran ke KPI dan izin penggunaan frekuensi ke Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
KPI juga membuat perjanjian kerjasama atau nota kesepahaman dengan beberapa lembaga pemerintah dan masyarakat, misalnya nota kesepahaman KPI dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) tentang penegakan hukum pidana di bidang penyiaran, nota kesepahaman KPI dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) tentang penanganan laporan pelanggaran kampanye pemilihan umum melaui media massa elektronik, nota kesepahaman KPI dengan Lembaga Sensor Film (LSF) tentang penyensoran dan pengawasan tayangan televisi, nota kesepahaman KPI dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Literasi dan pemantauan siaran. Ruang lingkup kesepahaman dan kesepakatan tersebut meliputi tukar menukar informasi secara berkesinambungan, Pemberian bantuan teknis dalam pelaksanaan tugas masing-masing bidang, dan melakukan sosialisasi bersama. Koordinasi antara KPI dengan Lembaga Penyiaran dilakukan, salah satunya dengan cara mengundang lembaga penyiaran dalam Rapat Forum Bersama (RFB). Bentuk Koordinasi KPI dengan masyarakat dilakukan dengan kegiatan diskusi publik, evaluasi dengar pendapat, sosialisasi, dan menyediakan pusat layanan pengaduan.
2. Tugas dan Kewajiban KPI Dalam Penyelenggaraan Penyiaran di Indonesia a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia KPI sebagai lembaga independen mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran untuk menyusun peraturan (P3 dan SPS) dan melakukan pengawasan dalam hal penyiaran, dengan adanya kewenangan tersebut artinya lembaga penyiaran berkewajiban mentaati peraturan yang telah dibuat oleh KPI dan menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Pelayanan informasi yang sehat yang dimaksud adalah terjaminnya hak warga negara mendapatkan informasi yang beragam baik berdasarkan jenis program
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
maupun isi program dan program siaran yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. b. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran Penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit geostasioner yang merupakan sumber daya alam yang terbatas sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan efisien, tercapai suatu efisiensi infrastruktur yang baik akan menjamin meratanya penerimaan siaran bagi masyarakat Untuk mewujudkan keteraturan penggunaan spektrum frekuensi diperlukan infrastruktur penyiaran yang memadahi pula, maka KPI sebagai lembaga yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran bersama Pemerintah terkait saling berkoordinasi dalam pengaturan infrastruktur penyiaran. Yang termasuk infrastruktur penyiaran yaitu menara pemancar, antena, saluran transmisi, dan sebagainya. c. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait Penyiaran telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan pemerintah. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 5 huruf g
prinsip keberagaman kepemilikan (Diversity of Ownership) dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja, sehingga dapat mewujudkan iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia. KPI bersama dengan pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, mengatur mengenai pembatasan pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
wilayah
siaran maupun di beberapa wilayah siaran.
kepemilikan
silang
antara
lembaga
penyiaran
Membatasi
swasta
yang
menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara lembaga penyiaran swasta dan perusahaan media cetak, serta antara lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi lembaga penyiaran berlangganan. d. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang Lembaga Penyiaran merupakan penyedia informasi sekaligus berperan
sebagai
dinamisator
masyarakat
yang
bertujuan
untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan sebagai komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. KPI sebagai lembaga yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran bertugas menciptakan kondisi informasi yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di Indonesia, serta mengembangkan pola jaringan yang adil dan terpadu dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Yang dimaksud dengan pola jaringan yang adil dan terpadu adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antar daerah serta antara daerah dan pusat. e. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran KPI menyediakan fasilitas untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan pengaduan berupa layanan pengaduan melalui pesan singkat (sms), jejaring sosial (facebook, twitter) email dan Website. Penyedian fasilitas tersebut sebagai upaya memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial dan berpartisipasi dalam memajukan penyiaran nasional, sehingga pengembangan penyiaran mengarah pada terciptanya siaran yang berkualitas, bermartabat, mampu menyerap, dan merefleksikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
aspirasi masyarakat yang beraneka ragam, untuk meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh buruk nilai budaya asing. Data mengenai aduan masyarakat yang masuk ke KPI akan dilakukan tindak lanjut dengan meneliti, melakukan analisis mendalam dan cermat terhadap laporan dari masyarakat tersebut, apabila isi siaran atau lembaga penyiaran dimaksud terbukti melanggar P3 dan SPS, KPI memberikan peringatan berupa surat klarifikasi dan teguran kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. f. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran KPI memiliki tugas dan kewajiban dalam mengembangkan sumber daya manusia di bidang penyiaran, hal ini diwujudkan dengan memberikan sosialisasi (seminar, lokakarya, diskusi dan kegiatan literasi) dan pelatihan kepada masyarakat umum, masyarakat yang bekerja di bidang penyiaran, dan lembaga penyiaran. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat, terbinanya jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasakan uraian-uraian pada bab sebelumnya mengenai analisis kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Eksistensi KPI dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dapat Penulis uraikan beberapa hal penting sebagai berikut : a) Independensi kelembagaan KPI tercermin dalam Undang-Undang Nomor
merupakan lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal
b) Bentuk check and balances antara KPI dengan cabang kekuasaan Eksekutif, antara lain Presiden dapat membentuk dan meniadakan KPI melalui undang-undang bersama DPR, menentukan besarnya anggaran yang dibutuhkan KPI melalui rancangan undang-undang APBN, bersama DPR menetapkan kewenangan-kewenangan pada KPI melalui undangundang, Mengesahkan (validasi), melantik komisioner. Bentuk check and balances antara KPI dengan cabang kekuasaan Legislatif, antara lain membentuk dan meniadakan KPI melalui konstitusi dan undang-undang, melakukan
pengawasan
terhadap
KPI,
menyetujui
(verifikasi)
pengangkatan dan pemberhentian komisioner KPI. Bentuk checks and balances antara KPI dengan cabang kekuasaan Yudikatif, antara lain MA berwenangan untuk menguji peraturan yang dibentuk oleh KPI terhadap undang-undang sesuai dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, MK berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945 dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara sesuai yang termaktub dalam Pasal 24C UUD 1945.
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
c) KPI ditinjau menurut fungsi kelembagaan, termasuk lembaga negara penunjang yang menjalankan fungsi eksekutif (pelaksana administratif) dan fungsi legislatif. d) Ditinjau menurut hierarki kelembagaan, KPI pada saat dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dari dasar pembentukan berupa undang-undang ini, secara hierarki KPI termasuk dalam kategori organ lapis dua kelompok kedua. KPI dapat disebandingkan dengan lembaga-lembaga negara (organ lapis dua) yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 atau undang-undang. 2. KPI dalam rangka menjalankan fungsinya memiliki kewenangan menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan tersebut mencakup semua proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. KPI memiliki tugas dan kewajiban menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar, ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran dan membangun iklim
persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran,
memelihara tatanan informasi nasional, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran sebagai upaya menjembatani kepentingan masyarakat dengan institusi pemerintah dan lembaga penyiaran. Dalam menjalankan tugas dan kewajiban tersebut, KPI berkoordinasi dengan lembaga penyiaran dan pemerintah, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
B. Saran Berdasarkan seluruh uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya Penulis dapat memberikan saran sebagai berikut : 1. Kedudukan KPI dalam sistem ketatanegraan Republik Indonesia adalah sebagai lembaga negara penunjang. Dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia suatu lembaga negara dapat diakui atau disejajarkan dengan lembaga negara lain jika nama dan kewenanganya tersebut tercantum dalam UUD 1945. Saran dari Penulis agar KPI dapat disejajarkan dengan lembagalembaga negara lain, maka kewenangannya perlu diatur secara tegas dalam UUD1945. 2. Perlu adanya peningkatan efektifitas fungsi bagi KPI, sehingga fungsi KPI tidak sebatas memberikan rekomendasi, yang tentunya dapat dijalankan atau tidak oleh lembaga penerima rekomendasi. Patut dipahami pula bahwa independensi fungsi KPI terciderai apabila suatu rekomendasi tidak dijalankan.
commit to user