KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Supandri NIM 1111048000014
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436H/2015M
ABSTRAK
SUPANDRI,
NIM
1111048000014,
KEDUDUKAN
LEMBAGA
NEGARA BANTU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia). Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara. Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2105 M. + 77 halaman + lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia. Hal ini terkait dengan sengketa kewenangan lembaga negara bantu khususnya KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia. Kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula
yang
memperoleh
legitimasi
berdasarkan
undang-undang.
Penelitian
ini
menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengedapankan pendekatan perundang-undangan, yaitu menggali data dan mencari sumber informasi melalui undangundang. Selain itu, data dari penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa lembaga negara bantu yaitu KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki kedudukan konstitusional. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah Konstitusi. Namun, bilamana yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terjadi kekosongan hukum.
Kata Kunci
: Kedudukan, Sengketa Lembaga Negara
Pembimbing : Feni Arifiani, S.Ag, M.H dan Zezen Zainal Muttaqin, SH.I, LLM Daftar Pustaka : Tahun 1961 s. Tahun 2015
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr, Wb Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak ujian yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KEDUDUKAN
LEMBAGA
NEGARA
BANTU
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (ANALISIS SENGKETA LEMBAGA KPK DENGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA)” ini dengan baik. Selesaianya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Asep Syaifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
3. Feni Arifiani, S.Ag, M.H dan Zezen Zaenal Mutaqin, SH.I, LLM selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian. 4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua. 6. Orang tua, khususnya Ibunda tersayang Ipah dan ayahanda Narin serta sanak saudara, terima kasih atas dukungan semangat yang tidak pernah padam serta do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril, materiil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan tulus, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. 7. Kekasih tercinta Ike Apriliyani yang memberi semangat dan dukungan penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi. 8. Teman-teman yang memberi semangat dan dukungan Amy Nurul Azmi, Puguh Try, Rudi Hartono yang memberi dukungan dan semangat penulis.
vi
9. Teman-teman ilmu hukum angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik konsentrasi hukum bisnis maupun konsentrasi hukum kelembagaan negara. Semoga skripsi ini ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umunya bagi pembaca. Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 22 Juni 2015
Supandri
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA .......................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................
iii
ABSTRAK ....................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .................................................................................
v
DAFTAR ISI ................................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
1
B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah .................................
6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan .........................................
7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ...............................................................
8
E. Metode Penelitian ..............................................................................
11
F. Sistematika Penulisan .......................................................................
13
BAB II LANDASAN TEORI A. Negara Hukum ..................................................................................
14
B. Konsep Pemisahan Kekuasaan ..........................................................
18
C. Konsep Lembaga Negara ...................................................................
21
1. Lembaga Negara Bantu ................................................................
24
2. Sengketa Lembaga Negara ...........................................................
29
BAB III TINJAUAN UMUM KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI A. Latar Belakang Pembentukan KPK ...................................................
viii
32
B. Tugas dan Wewenang KPK ...............................................................
34
C. Tugas dan Wewenang Polri ...............................................................
42
D. Hubungan KPK dengan Lembaga Negara Lainnya ...........................
44
BAB IV SENGKETA LEMBAGA NEGARA A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ....................
48
B. Sengketa Kewenangan Lembaga KPK dengan Lembaga Kepolisian Republik Indonesia.............................................................................
58
C. Penyelesaian Sengketa Lembaga KPK dengan POLRI ....................
67
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................
76
B. Saran ..................................................................................................
77
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
78
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa reformasi, Indonesia tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara sehingga semua lembaga Negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggaraan negara.1 Sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organ, principal state organ). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan perlembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama, sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, atau main state
1
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 2-3
1
2
institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip checks and balances.2 Disamping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud diatas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya selain Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk KY, harus dipahami dalam pengertian lembaga tinggi negara sebagai lembaga utama (main organs). Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan sebagai salah satu dari fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara sebagaimana disebutkan diatas, dalam ketatanegaraan disebut dengan auxiliary state organs (lembaga negara bantu).3 Walaupun tugasnya melayani atau membantu, akan tetapi menurut Sri Soemantri M, secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional.4
2
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 178 3 Ibid, h. 179 4 Sri Soemantri M. “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, (Surabaya: Airlangga University Press,) h. 204
3
Salah satu lembaga negara bantu yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu agenda penting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. 5 Cita-cita gerakan reformasi akan adanya suatu pemerintah yang bersih (clean government) dari korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang efisien, terbuka, dan bertanggung jawab kepada rakyat (good governance), didorong oleh semakin menguatnya tuntutan demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia, serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik. Akibat korupsi, rakyat harus membayar mahal untuk pelayanan publik yang buruk. Di dalam suatu rezim yang memiliki mesin otoritas yang kuat, sudah harus disadari bahwa pendekatan pemberantasan korupsi secara konvensional yang berbasis pada penegakan hukum dan perbaikan pengawasan melalui institusi kenegaraan, seperti yang sekarang tengah ditempuh, terbukti sudah tidak efektif lagi. Di sinilah rakyat, yang merupakan
korban
sesungguhnya
dari
perbuatan
penyalahgunaan
kekuasaan harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan pengawasan massal, yang melibatkan peran serta masyarakat di semua lapisan sosial dan profesi.6 Melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai 5
Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesia, 2004), h. 33 6 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 78
4
respon atas tidak efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin merajarela. Adanya KPK diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).7 Kekuasaan KPK yang dianggap sangat besar dalam praktiknya tidak jarang menimbulkan masalah atau bahkan konflik dengan lembaga negara lain, terutama lembaga kepolisian sebagaimana dapat dilihat dari beberapa konflik antar dua lembaga ini. Konflik ini muncul karena masing-masing lembaga memiliki kewenangan untuk menangani kasus korupsi tertentu. Konflik yang pernah terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Polisi Republik Indonesia terkait kewenangan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM) yang melibatkan kedua lembaga tersebut. berawal dari adanya perbedaan penafsiran terkait wewenang yang dimiliki oleh kedua lembaga antara KPK dan POLRI, perbedaan penafsiran tersebut menjadi latar belakang timbulnya overlapping (tumpang tindih) kewenangan penyidikan terhadap kasus tersebut. Secara garis besar, Polri berwenang terhadap semua tindak pidana yang berlaku dalam KUHP maupun diluar KUHP (termasuk tindak pidana korupsi) namun, perlu disadari adanya asas lex specialis derogate lex generalis membuat kedudukan KPK semakin kuat dalam penyelidikan, penyidikan bahkan penuntutan. 7
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN), 2005), h. 88
5
Konflik antara institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) telah beberapa kali terjadi, dan setiap kasusnya itu terjadi memberi dampak yang cukup luas dalam perpolitikan dan hukum di Indonesia. Masing-masing pihak dan pendukungnya memegang dasar argumentasi yang mengacu pada kewenangan institusi yang dijamin oleh hukum. Baik Polri maupun KPK merupakan institusi yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. KPK yang khusus bertugas di area tindak pidana korupsi ditambah dengan wewenang penuntutan. Selain Polri dan KPK, ada pula Kejaksaan yang memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Selintas, ada potensi konflik kewenangan antara ketiga institusi tersebut. Belakangan ini terjadi buntut dari penetapan status “tersangka” bagi calon tunggal Kapolri oleh KPK, bukan hanya beraroma benturan kewenangan antara Polri dan KPK, tetapi juga penggunaan kewenangan untuk kepentingan masing-masing institusi. KPK dituding menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan Polri, dan Polri dituding menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan KPK. Kedua pihak ini membawa dasar hukumnya masing-masing.8 Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia masih menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan, Karena lembaga negara bantu ini adalah sebagai salah satu institusi penegak hukum akan menjadi tema sentral dalam
8
www.Hukumpedia.com diakses pada 5 mei 2015.
6
pembahasan ini. Sebab, secara filosofis maupun praktis kedudukan dan legitimasi penegakan hukum merupakan pintu masuk baik bagi penegakan hukum maupun tata kelola kenegaraan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar masalah yang penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat pembatasan masalah yakni kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
UUD 1945. Serta sengketa
kelembagaan KPK dengan lembaga negara Kepolisian Republik Indonesia, dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.
2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan permasalahan kedudukan lembaga negara bantu khususnya KPK dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia dan sengketa kelembagaan antara KPK dengan Kepolisian RI.
Bagaimana penyelesaian sengketa yang telah dilakukan terkait sengketa kelembagaan KPK dengan kepolisian RI?
7
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah, secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui kedudukan lembaga KPK sebagai negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. b. Untuk mengetahui upaya penyelesaian konflik kelembagaan antara KPK dan lembaga Kepolisian. 2. Manfaat Penulisan Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan hukum tata negara dalam bidang lembagalembaga negara bantu (auxiliary state organs) dalam hal ini studi analisis kedudukan KPK, utamanya yang mengenai sengketa kelembagaan antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia dan segala aspek yang menyangkut kedudukan serta kewenangan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Selain dari pada itu adanya tulisan ini dapat menambah perbendaharaan koleksi karya
ilmiah dengan memberikan
kontribusi juga bagi perkembangan hukum tata negara Indonesia.
8
b. Manfaat Praktis Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan mengenai sengketa kelembagaan KPK sebagai lembaga negara bantu dengan Polri, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi pembaca terutama bagi pembentuk hukum khususnya Undangundang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan penelitian ini diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mereduksi perdebatan
dan
argumen
yang cenderung
negatif
terkait
kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu serta hubungan kerja komisi tersebut dengan organ-organ kekuasaan lain di negara indonesia.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu Adapun skripsi dan buku yang terkait dengan judul diatas sebagai berikut: 1.
Buku berjudul Memberantas Korupsi Bersama KPK yang ditulis oleh Dr. Ermansjah Djaja. Didalam buku ini Ermansjah Djaja menjelaskan tentang pemberantasan korupsi versi KPK, karena masih banyaknya masyarakat atau kelompok masyarakat yang belum mengetahui dan memahami tentang tugas dan kewajiban serta independensi KPK.
2.
Buku berjudul Seri Hukum Kepolisian dan Good Governance yang ditulis oleh Dr. Sadjijono S.H. M.Hum. Buku ini mengkaji secara
9
mendalam
tentang
landasan
filosofis,
teoritis
dan
yurudis
penyelenggaraan kepolisian dan mengaji konsep-konsep dasar untuk mewujudkan kepolisian yang baik serta konsep penyelenggaraan kepolisan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik. 3.
Buku berjudul Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945 yang ditulis oleh Dr. Patrialis Akbar, S.H. M.H. didalam buku ini dibahas mengenai sejarah kelembagaan sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 juga membahas tentang hubungan antar cabang kekuasaan negara menurut UUD 1945.
4.
Skripsi Sri Hayati Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan judul skripsi “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”. Sri Hayati membahas tentang bagaimana tugas dan wewenang serta perbandingan tugas dan wewenang antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia, adapun perbedaanya dalam skripsi ini membahas tentang kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia studi analisis KPK sebagai lembaga negara bantu dan membahas sengketa KPK dengan lembaga Polri.
5.
Skripsi Lintang Octiariska pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan judul skripsi “Eksistensi Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Sebagai
Lembaga
Negara
Independen
dalam
Sistem
10
Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Lintang Octiariska membahas tentang eksistensi KPK dan membahas tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu 10 tahun berdirinya komisi KPK. Adapun perbedaannya dengan judul skripsi yaitu membahas tentang kedudukan KPK dan analisis sengketa KPK dengan Polisi Republik Indonesia.
E. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan jenis penelitian hukum terkait dengan kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia khususnya analisis kedudukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penulis mencari
dan
menelaah
peraturan
perundang-undangan
yang
berhubungan dengan judul skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.
2. Pendekatan a. Pendekatan Perundang-undangan 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
11
2) Undang-undang
No.
30
Tahun
2002
Tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi 3) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia
3. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama, yang diperoleh dari UUD NRI 1945, Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumendokumen resmi, makalah, skripsi, jurnal hukum dan sebagainya. 4. Metode Pengumpulan Data Penuli menggunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan hukum kelembagaan negara dan lembaga negara bantu (KPK), pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. 5. Metode Pengelolaan dan Analisa Data Penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif, yaitu metode analisa data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi
12
objek
penelitian,
kemudian
dianalisa
secara
interpretative
menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada. 6. Metode Penulisan Penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi, maka sistematika penulisan skripsi sebagai berikut: Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kegunaan penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi. Bab II, Landasan Teori. Dalam bab ini dibahas mengenai negara hukum, konsep pemisahaan kekuasaan, lembaga negara dan lembaga negara bantu serta sengketa kelembagaan negara. Bab III, Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas dan wewenang KPK, tugas dan wewenang Polri, hubungan KPK dengan lembaga negara lainnya.
13
Bab IV, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada bab ini merupakan inti atau subtansi dari keseluruhan penelitian skripsi, bab ini membahas kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sengketa kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya, dan upaya penyelesaian sengketa lembaga KPK dengan Polri. Bab V, Penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Negara Hukum Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur dalam penjelasan UUD 1945, dalam perubahanya telah diangkat ke dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah negara hukum”, konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Bahkan, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk. Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno, Plato dalam bukunya “the statesman” dan “the law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik yang dapat dicapai (the best life possible)
dengan
supremasi
hukum.
Hukum
merupakan
wujud
kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya.1
1
George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-ChicagoSan Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart and Winston, 1961), h. 35
14
15
Konsep rechstaat lahir dari satu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria rechstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Konsep the rule of law dalam karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan common law adalah judicial.2 Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintahan diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya hubungan antara paham negara hukum dan kerakyatan sehingga ada sebutan negara hukum demokratis atau democratische rechstaat.3 Sebagai ciri negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Untuk ciri ini dapat dilihat pada Pasal 24 Undang-Undang Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Di dalam penjelasan terhadap Pasal 24 ini dijelaskan bahwa “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan di dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. Dengan begitu maka untuk ciri negara hukum dapat dipenuhi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Ciri lain dari negara hukum adalah legalitas dalam arti hukum dalam
2
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 72 3 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), h. 67
16
bentuknya. Ini dimaksudkan bahwa untuk segala tindakan seluruh warga negara, baik rakyat biasa maupun penguasa haruslah dbenarkan oleh hukum, di Indonesia berbagai peraturan untuk segala tindakan sudah ada ketentuannya, sehingga untuk setiap tindakan itu harus sah menurut aturan hukum yang telah ada. Untuk mengamankan ketentuan-ketentuan tersebut maka di Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan untuk memberi pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang dianggap melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh hukum. Jadi semua landasan yang menjadi cirii dari negara hukum dapat ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup memberikan
jaminan.
Yang
sering
menjadi
persoalan
adalah
pelaksanaanya di lapangan yang kerapkali menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya.4 Paham negara hukum harus dibuat jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri, pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).5
4
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 86-87 5 Yusril Ihza Mahendra, “Dinamika Tata Negara Indonesia”, (Jakarta: Gema Insani Press 1996), h. 159
17
Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Professor Utrecht membedakan dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formal atau negara hukum klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara hukum formal menyangkut pengertian hukum yang bersifat formal dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undang tertulis. Tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk menegakan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan istilah negara penjaga malam. Negara hukum material mencakup pengertian yang lebih luas termasuk keadilan didalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate).6 Konsepsi negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah negara memberikan perlindungan kepada warganya dengan cara berbeda. Negara hukum adalah suatu pengertian yang berkembang, terwujud sebagai respon atas masa lampau. Oleh karena itu, unsur negara hukum berakar pada sejarah dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara memiliki sejarah tersendiri yang berbeda.7
6
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar 1962), h. 9 Marwan Effendi, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 30-32 7
18
B. Konsep Pemisahan Kekuasaan Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaankekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Doktrin ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsikan sebagai pemisahan kekuasaan
(separation
of
power).
Filsuf
inggris
John
Locke
mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul Two Treatis on Civil Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (the Gloriuos Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh parlemen inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif, yang masing-masing terpisah satu sama lain.8 Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1748, filsuf prancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Espirit des Lois (the Spirit of the Laws). Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan 8
151
Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977), h.
19
penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahkan untuk menyelenggarakan ketiga kekuasaan tersebut. Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai berikut. Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik yang tertekan di bawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah secara absolut.. Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahaan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika kedua fungsi berada di satu orang atau badan karena dikhawatirkan akan melaksanakan pemerintahan tirani. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Hal ini dimaksud agar hakim dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Ketiga kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, harus terpisah satu sama lain, mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya. Pendapat tersebut tentu berbeda dengan John Locke yang memasukan
kekuasaan
yudikatif
ke
dalam
kekuasaan
eksekutif.
Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena kekuasaan tersebut dianggapnya sangat berbeda dengan kekuasaan eksekutif. Sebaliknya oleh Montesquieu, kekuasaan hubungan luar negeri
20
yang disebut oleh John Locke “federatif” dimasukannya ke dalam kekuasaan eksekutif.9 Kenyataannya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih efektif.10 Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat). Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai dari state auxiliary organ (U.S.A), quasi outonomous governmental organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya menggunakan istilah komisi untuk menyebut lembaga ini.11
9
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h.11 10 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 217 11 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 9
21
C. Konsep Lembaga Negara Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan yang dalam bahasa inggris disebut Non-Government Organization atau NonGovernmental Organization (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri dari atas interaksi sosial yang berstruktur.12 Dalam kamus hukum Belanda-Indonesia,13 kata staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk., kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Oleh 12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat H.A.S. Natabaya, dalam Jimly Asshiddiqie dkk. (editor Refly Harun dkk.)., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, h. 60-61. Lihat juga Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga-Lembaga Negara, Sekretariat Jendral MKRI dan KRHN, Jakarta, 2005, h. 29-30 13 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan cet2, 2002), h. 390
22
karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, dan alat perlengakapan sering kali dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi, menurut Natabaya, penyusun
UUD
1945
sebelum
perubahan,
cenderung
konsisten
menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) Tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara. Untuk memahami pengertian organ atau lembaga negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the Staate-Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever ful lls a Function determined by the legal order is an organ”.14 Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentuka oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions, be they of
14
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell and Russell, 1961), h. 192
23
a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction”. Lembaga-lembaga negara yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 tampaknya perumus UUD NRI Tahun 1945 dalam BPUPKI dan PPKI sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sejenis yang ada dalam sistem ketatanegaraan kerajaan Belanda. Kecuali MPR, lembaga-lembaga negara lain dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat dibandingkan dengan lembagalembaga di negeri belanda, yaitu Kepala Negara (Ratu), Kepala Pemerintahan Eksekutif (Perdana Menteri), Staten Generaal (parlemen) Rekenkamer
(pemeriksaan
Keuangan),
Raad
van
State
(Dewan
Pertimbangan Negara), dan Hogerechtshof (Mahkamah Agung).15 Lembaga negara terkadang disebut sebagai istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga negara saja. ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaanya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau ranking kedudukanya tentu saja tergantung pada derajat pengaturanya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk 15
Jimly Asshiddiqie, Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 5
24
Karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih efektif.16 Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat). Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai dari state auxiliary organs (U.S.A), quasi outonomous governmental organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya digunakan istilah komisi untuk menyebut lembaga ini.17
1. Lembaga Negara Bantu Kemunculan lembaga negara yang dalam pelakasanaan fungsinya tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad
16
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h. 217 17
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 9
25
ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Prancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembagalembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang.18 Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataanya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO nongovernmental organization). Secara teoritis lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan di biayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu 18
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 8
26
sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Adanya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: a. Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan b. Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah; Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataanya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.19
19
T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, (makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, Jakarta, 9 September 2004), h. 2
27
Colin Talbot, Profesor Kebijakan Publik dari Universitas Nottingham Inggris mengemukakan pendapat mengenai kriteria-kriteria terbentuknya lembaga-lembaga independen20 : a. Merupakan kepanjangan tangan dari lembaga pemerintahan utama/pusat b. Pejabat yang mengisinya tidak termasuk PNS tetapi melayani publik c. Keuangannya berasal dari anggaran negara d. Tidak bisa membuat peraturan yang mengikat ke luar, tetapi mereka diatur oleh aturan tertentu. Apabila ditelaah kriteria yang diberikan oleh Colin Talbot mengenai lembaga independen ini dan menerapkanya pada keberadaan lembaga KPK maka dapat terlihat bahwa KPK memenuhi kriteriakriteria tersebut. Keberadaan KPK yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sebenarnya merupakan kepanjangan tangan dari kewenangan yang dimiliki oleh Polri sebagai lembaga Utama (Polri) dianggap kurang efektif menjalankan tugasnya dengan wewenangnya yang luas maka dibentuklah lembaga baru yang mempunyai spesialisasi tugas tertentu dengan mengambil sebagian kewenangan lembaga utama agar lebih bersifat independen. Berikut pembagian lembaga negara berdasarkan Pembentukanya ; a. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 20
Christopher Pollit and Colin Talbot, Unbundled Government; A Critical Analysis of The Global Trend to Agencies, Quangos and Contractualisation, (London: Routledge, 2004), h.5
28
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 4. Presiden dan Wakil Presiden 5. Mahkamah Agung (MA) 6. Mahkamah Konstitusi (MK) 7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 8. Komisi Yudisial b. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang 1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 7. Komisi Kepolisian Nasional 8. Komisi kejaksaan 9. Dewan Pers c. Lembaga Negara Menurut Peraturan Di Bawah Undang-Undang 1. komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2. Dewan Maritim Nasional (DMN) 3. Komisi Ombudsman Nasional (KON)
29
4. Dewan Ekonomi Nasional (DEN) 5. Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN) 6. Dewan Riset Nasional (DRN) 7. Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS) 8. Dewan Buku Nasional (DBN), serta lembaga-lembaga non departemen. Lembaga negara yang disebutkan dalam kelompok 2 dan 3, dapat dikatakan sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Selain lembaga-lembaga tersebut di atas, masih terdapat banyak lembagalembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan perppu. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah dan berkurang mengingat lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan bergantung pada kebutuhan Negara. 2. Sengketa Lembaga Negara Hubungan antar satu lembaga dengan lembaga negara yang lainnya diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut, lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat dan saling mengimbangi satu sama lain. Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau perselisihan dalam menafsirkan Undang-Undang Dasar. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang
30
diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Sistem ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi.21 Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, disamping melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD, pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakan ketentuan yang terdapat dalam UUD. Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin dalam dua kewenangan tersebut, yaitu: (1) kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD; dan (2) kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya bersumber dari UUD.22 Luthfi Widagdo Eddyono membagi lembaga negara/organ negara: a.
Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara atribusi (oleh UUD 1945);
b.
Lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat
21
peraturan
perundang-undangan
(termasuk
komisi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010), h. 150 22 Harjono, Transformasi dan Demokrasi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2009), h. 140
31
independen,
independent
regulatory
agencies)
yang
tidak
bertanggung jawab kepada siapapun. c.
Lembaga negara yang wewenangnya diberika secara delegasi pembuat peraturan perundang-undangan termasuk komisi negara eksekutif (executive branch agencies) yang bertanggung jawab kepada Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari eksekutif.23 Lembaga negara organ kategori pertama dapat berperkara di
Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara kategori kedua dapat pula berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas, lembaga negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari eksekutif.
23
Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lmebaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor 3, Juni 2010), h. 41
BAB III Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Korupsi
A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada sejak era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan efektif, perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak hukum yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.1 Korupsi
sudah
dianggap
sebagai
masalah
internasional.
Pemberantasan korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Secara umum, tindak pidana ini tidak hanya mengakibatkan kerugian negara (keuangan negara), tetapi dapat mengakibatkan dampak yang sangat luas, baik di bidang sosial, ekonomi, keamanan, politik, dan budaya.2 Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh UU KPK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK didirikan untuk mengatasi permasalahan tentang korupsi yang selama ini dirasa gagal dalam
1
Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h. 31. 2 Romli Atmasasmita, “Perspektif Pengadilan Korupsi di Indonesia”. Dalam Seminar, ed., Pembentukan Pengadilan Korupsi, 30 Juli 2002 (Jakarta: KHN dan BPHN, 2002), h.1
32
33
penegakan hukumnya. Melihat dari sifatnya, KPK adalah lembaga ad hoc yang merupakan salah satu komisi negara bersifat membantu dalam mengawal dan mengawasi penegakan hukum
serta mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Pembentukan sebuah institusi khusus untuk menanggulangi masalah korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Akan tetapi pembentukan sebuah badan khusus dengan kewenangan yang demikian luas, di samping melakukan penyidikan, sekaligus melakukan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicatat sebagai suatu aspek pembaruan dalam hukum dan sistem peradilan pidana Indonesia. Untuk membentuk badan khusus seperti itu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang pemikiran untuk mengatasi masalah pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum dilaksanakan secara optimal. Badan-badan penegak hukum yang ada, yang selama ini diserahi tugas dan kewenangan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi, belum berfungsi secara efektif.3 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dibentuk dengan misi utama melakukan penegakan hukum, yakni dalam pemberantasn korupsi. Dibentuknya lembaga ini dikarenakan adanya pemikiran bahwa lembaga penegak hukum konvensional, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, dianggap belum mampu memberantasan
3
Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasanya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 219
34
korupsi.4 Oleh karena itu, perlu dibentuk lembaga khusus yang mempunyai kewenangan luas dan independen serta bebas dari kekuasaan manapun. Secara khusus urgensi pembentukan KPK dapat dilihat dari pokokpokok pikiran pembentukan KPK. Dalam pokok pikiran tersebut dijelaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sistemik dan meluas tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaian
korupsi
tidak
dapat
dilaksanakan
hanya
dengan
menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus dengan metode dan lembaga baru.5 Komisi Pemberantasan korupsi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang.
B. Tugas dan Wewenang KPK Komisi
Pemberantasan
Korupsi
mempunyai
tugas-tugas
sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Sebagai berikut:
4
Teten Masduki dan Danang Widoyoko, Menunggu Gebrakan KPK, Jantera 8 Tahun III, (T.t., T.p., Maret, 2005), h. 41 5 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia (Jakarta: Percetakan Negara RI, 2002), h. 40
35
1.
Melakukan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.
Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau lembaga Pemerintah NonDepartemen.
3.
Dalam melaksanakan tugas supervisi terhadap instansi yang melakukan
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi,
komisi
pemberantasan Korupsi berwenang: 4.
Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melakasanakan pelayanan public dan mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.
5.
Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
6.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
7.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara. Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13
36
dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, pendukung pelaksana tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang : 1.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pasal 7 berwenang : a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait d. Melakukan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi e. Meminta laporan instansi terkait pencegahan tindak pidana korupsi
2.
Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14 undang-undang nomor 30 tahun 2002 a. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dan diatur dalam Pasal 8, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
37
wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. b. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komisi pemberantasan korupsi berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian. c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan dan penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan komisi pemberantasan korupsi. Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 3 bahwa : 3.
Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejakasaan atau komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala rumah tahanan Negara untuk menempatkan di rumah tahanan tersebut. a. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga
38
segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada komisi pemberantasan korupsi. b. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 dan diatur dalam Pasal 9, dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) dengan alasan: 1) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti 2) Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan 3) Penanganan
tindak
pidana
korupsi
ditunjukan
untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya (a) Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi (b) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislative atau (c) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan
penanganan
tindak pidana
korupsi
sulit
dilaksanakan secara baik dan dapat di pertanggung jawabkan. 4.
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberitahukan kepada
39
penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani vii 5.
Dalam melakasanaka tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang di atur dalam Pasal 12 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, komisi pemberantasan korupsi berwenang: a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk meblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait e. Memerintahkan kepada pemimpin atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatanya f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait g. Menghentikan suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
40
h. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g dijelaskan bahwa: Ketentuan ini dimaksud untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan atau untuk menghindari kerugian Negara yang lebih besar. 1) Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri 2) Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi Dalam penjelasan Pasal 12 huruf I disebutkan: Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal komisi
pemberantasan
korupsi
melakukan
penahanan
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala rutan tahanan Negara untuk menrima penempatan tahananan tersebut dalam rumah tahanan. 3) Dalam melaksanakan tugas pencegahan diatur dalam Pasal 13 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:
41
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan kekayaan penyelenggara Negara 2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi 3. Menyelenggaraan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan 4. Merancang
dan
mendorong
terlaksananya
program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi 5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum 6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan korupsi 4) Dalam melaksanakan tugas monitor diatur dalam Pasal 14 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut: 1. Melakukan
pengkajian
terhadap
sistem
pengelolaan
administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintah 2. Memberi saran kepada pemimpin lembaga Negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, hasil pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi 3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Badan
42
Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa kehadiran KPK diharapkan menjadi pemicu terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan menjadi terpacu untuk bergerak cepat mengusut kasus-kasus korupsi. Kemudian pembentukan KPK merupakan a temporary way-out, jalan keluar sementara. Sejatinya, KPK bukan bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. KPK tidak didesain untuk menggantikan peran kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum, sehingga keberadaanya bersifat temporal. Oleh sebab itu, keberadaan KPK juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap fungsi KPK yang lain, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penegak hukum lainnya.6
C. Tugas dan Wewenang POLRI Tugas dan wewenag Polri secara umum diamanatkan langsung oleh UUD NRI Tahun 1945 pada amandemen ketiga, yaitu “sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum”. Tugas-tugas 6
Fahri Hamzah, Demokrasi Transisi Korupsi: Orkestra Pemberantasan Korupsi Sistemik, (Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012), h. 85-86
43
tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Tugas pokok Polri seperti tercantum dalam Pasal 13 UndangUndang Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan
hukum,
memberikan
perlindungan,
pengayoman
dan
pelayanan kepada masyarakat. Dalam rangka menyelenggarakan tugas khusus di bidang proses pidana seperti yang diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polri berwenang untuk : 1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; 3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8. Mengadakan penghentian penyidikan;
44
9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; 11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan 12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
D. Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Lembaga Negara Lainnya Mengenai hubungan kewenangan antar lembaga negara pasca amandemen UUD 1945 tercantum dalam konstitusi. Hal ini dikarenakan atas Perubahan UUD 1945 yang menerapkan konsep pemisahan kekuasaan dengan prinsip check and balances, sehingga antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lain bisa saling mengontrol. Prinsip check and balances itu telah memberikan peluang kepada kekuasaan yang satu untuk bisa ikut dalam kekuasaan yang lain. Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki independensi dan kebebasan dalam melakasanakan tugas dan kewenangannya, namun KPK tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang bekaitan dengan keorganisasian. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
45
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa pimpinan KPK yang terdiri dari satu ketua dan empat wakil anggota, yang semuanya merangkap sebagai anggota, dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden seperti yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 30 ayat (1). Segala hal yang berkaitan dengan hubungan kedudukan antara KPK dengan lembaga-lembaga negara lain selalu mengacu kepada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tugas dan kewenangan yang serupa dengan lembaga kejaksaan membuat KPK terkesan lebih dekat dengan cabang kekuasaan eksekutif dibandingkan dengan cabang kekuasaan legislatif maupun yudikatif. KPK juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan kekuasaan yudikatif. Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi7 mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi yang penuntutanya diajukan oleh KPK. Walaupun berada di lingkungan peradilan umum (terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 53 dan 54
7
Sejak 19 Desember 2006, pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) RI, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun sejak putusan MK RI tersebut dibacakan. Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h. 290
46
ayat (1), namun pengadilan Tipikor bersifat khusus karena berhubungan langsung dengan penuntut umum yang berasal dari KPK, bukan kejaksaan. Kedua hal inilah \, yaitu (1) pembentukan pengadilan Tipikor atas amanat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan (2) pelimpahan perkara oleh KPK kepada pengadilan Tipikor secara langsung tanpa melalui kejakasaan, yang mempertegas kekhususan hubungan kedudukan KPK dengan cabang kekuasaan yudikatif. Keterkaitan kedudukan antara KPK dengan cabang kekuasaan kehakiman juga terlihat pada pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan landasan oleh KPK sebagai dasar hukum yang menjamin eksistensi KPK, yaitu pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menyatakan bahwa badan-badan selain lembaga peradilan yang memiliki fungsi terkait dengan kekuasaan kehakiman dapat dibentuk dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Keberadaan KPK dalam menjalankan tugasnya menjalin hubungan fungsional dan koordinatif dengan lembaga penegak hukum yang telah ada yaitu Kepolisian dan Kejakasaan. Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK seperti yang telah tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi seperti telah disebut diatas. Dengan adanya pemberian kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi kepada KPK, maka KPK dapat melaksanakan sebagian kewenangan dari Kepolisian dan
47
Kejaksaan di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.8 Hubungan fungsional antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia bersifat timbal balik, hal ini didasari dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga negara tersebut dapat melakukan kerjasama dengan lembaga negara lain yang berfungsi menegakan hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6 huruf a dan b, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berfungsi memberantas korupsi. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan koordinasi, dan supervisi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau dengan Kejaksaan Negara Republik Indonesia. Sedangkan ketentuan mengenai lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan kerjasama denga lembaga atau instansi lain yang berfungsi memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang secara rinci menegaskan bahwa kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan kerjasama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di luar negeri yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi. 8
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), h. 16
BAB IV SENGKETA LEMBAGA NEGARA
A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia UUD 1945 Sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD NRI 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR, dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “check and balances”.1 Selain lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lambaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD juga diatur lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara 1
Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
48
49
Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan Pertimbangan Presiden. Namun pengaturan lembaga-lembaga negara tersebut
dalam
UUD
NRI
1945,
tidaklah
dengan
sendirinya
mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD NRI 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi negara) sebagai lembaga utama (main organs). Misalnya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu dari fungsi kekuasan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara ini hanya bertugas melayani atau dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan lembaga-lembaga negara utama sebagaimana yang disebutkan diatas, yang dalam ketatanegaraan disebut dengan state auxiliary bodies (lembaga negara bantu). Walaupun tugasnya melayani, akan tetapi menurut Sri Sumantri M,2 secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar juga tidak, boleh ditafsirkan sebagai satusatunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara
2
Sri Sumantri M, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Mneurut UUD NRI 1945, dalam Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga. Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan. (Surabaya: University Press), h. 204
50
yang bersangkutan. Sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian Negara dan kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUD NRI 1945 dibandingkan dengan tidak diaturnya sama sekali ketentuan mengenai Kejaksaan Agung dalam UUD NRI 1945, tidak dapat diartikan bahwa UUD NRI 1945 memandang Kepolisian Negara itu lebih penting ataupun lebih tinggi kedudukanya konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung. Demikian
pula halnya dengan komisi-komisi negara seperti
Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang daitur secara umum dalam UUD NRI 1945, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang belaka, untuk menentukan status hukum kelembagaanya maupun para anggota dan pimpinanya dibidang protokoler dan lain-lain sebagainya, tergantung kepada bentuk undang-undang yang mengaturnya. Oleh karena itu agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antar lembaga negara, pembentuk undang-undang harus berusaha dengan tepat merumuskan kebijakan hukum yang terperinci dan jelas dalam undangundang yang mengatur lembaga-lembaga negara dimaksud. Lahirnya komisi-komisi negara merupakan fenomena kenegaraan baru apabila dilihat dari sisi sistem ketatanegaraan dalam arti tatanan kelembagaanya. Namun dari sisi hakekat bernegara bangsa Indonesia, penting dikaji esensi atau hakekat komisi negara dalam perspektif
51
bernegara bangsa Indonesia, yang pada akhirnya sebagai penentuan eksistensi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Pembentukan komisi-komisi negara bukan saja dilakukan oleh Indonesia sebagai suatu negara yang baru mengalami transisi demokrasi. Hal serupa juga dilakukan Dikawasan Asia Tenggara, sekalipun merupakan fenomena yang hanya sedikit mendahului Indonesia. Pengalaman negara Thailand telah menjadi salah satu rujukan penting. Di era tahun 1990-an akhir adalah era disintegrasi dan masifikasi kelembagaan ditingkat negara yang juga difasilitasi melalui perubahan konstitusi.3 Latar belakang sejarah terbentuknya negara Indonesia, tentu sangat mempengaruhi rumusan tujuan negara Indonesia yang dirumuskan secara lengkap dalam alinea 4 pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi: (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam mencapai tujuan negara Indonesia, seluruhnya harus berdasar dan diukur dengan nilai-nilai pancasila. Pada dasarnya apabila dikaitkan dengan tujuan negara tersebut di atas, maka pembentukan komisi-komisi negara ini dilakukan karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar 3
A. Ahsin Thohari, Kedudukan Komisi-Komisi Negara Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 12 Tahun III April-Juni 2006, (Jakarta, 2006), h. 22-23
52
dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran komisi-komisi negara itu merupakan bentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.4 Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilaksanakan pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Banyak aspek perubahan yang telah dirasakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu aspek yang berubah yakni terhadap kelembagaan negara. Penataan ulang struktur ketatanegaraan Indonesia yang terus berlangsung sampai saat ini tidak serta merta berjalan dengan baik tanpa komplikasi ketatanegaraan. Dalam kasus tertentu, memang penataan itu dapat dikatakan relatif berhasil meskipun dengan catatan baru sebatas pembentukan lembaga dan bekerja sesuai dengan kewenanganya yang diberikan, tetapi tidak termasuk efektivitas kerja dan implikasinya yang signifikan terhadap ketatanegaraan yang lebih bertanggung jawab serta kedudukannya dalam konstitusi. Akan tetapi walaupun perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan beberapa kali, namun masalah dan berbagai problematika yang dihadapi Indonesia belum berujung pada titik penyelesaian. Seperti
4
T.M Lutfi Yazid, “Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-Cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, (Jakarta, 9 September 2004), h. 2
53
sistem/struktur ketatanegaraan saat ini, antara lain kehadiran lembagalembaga negara yang lahir atas kebutuhan politik (parlemen). Hal itu kemudian yang menjadi perdebatan ketatanegaraan Indonesia. Berbagai macam atas kehadiran lembaga negara itu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan KPK terdiri dari lima orang yang merangkap sebagai anggota dan semuanya merupakan pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintaha dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya senantiasa melekat pada lembaga ini. Berdasarkan Pasal 3 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK merupakan lembaga
negara
yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut menguraikan makna frase “kekuasaan manapun”sebagai berikut (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ); Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, lagislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan
54
perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan situasi ataupun dengan alasan apapun. “Tidak semua kasus tindak pidana korupsi di negeri ini ditangani dan diproses oleh KPK. Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satu kriteria kasus yang memerlukan penanganan oleh KPK adalah tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan pihak lain berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Selain itu, perkara tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat dan/atau merugikan negara minimal satu miliar rupiah juga dikategorikan sebagai kasus yang harus ditangani oleh KPK. Para pemohon uji materil Undang-Undang KPK mempersoalkan eksistensi KPK dengan menghadapkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20 undang-undang tersebut dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang negara hukum. Dikatakan bahwa ketiga Pasal UU-KPK tersebut bertentangan dengan konsep negara di dalam UUD 1945 yang telah menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat yang secara langsung mendapat fungsi konstitusional dari UUD yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY.5 Ketentuan Pasal 2 UU-KPK itu benar karena didasarkan pada upaya untuk melaksanakan pencapaian tujuan negara menurut UUD 1945 melalui
5
Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006.
55
bidang hukum serta didasarkan pada berbagai UU yang memerintahkan pemberantasan korupsi dan pembentukan KPK sesuai denga hak yang diberikan oleh UUD 1945 kepada legislatif. Pasal 3 juga benar dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan peradilan yang fungsinya tidak dapat dicampuri oleh lembaga lain. Kedua pasal tersebut justru dibuat untuk menyeimbangkan pertimbangan aspek doelmatigeheid dan rechtmatigeheid. Harus diingat bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hanya mengatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum” yang implentasinya di bidang peradilan diserahkan sepenuhnya kepada pembuat UU setelah UUD menetukan lembaga-lembaga pemegang kekuasaanya dan fungsi-fungsi pokoknya. Tidak ada pembatasan-pembatasan tertentu di dalam Pasal 1 ayat (3) itu. Bahkan jika dilihat dari sejarah perumusanya, Pasal 1 ayat (3) yang menyebut “negara hukum” tanpa embel-embel di “rechtsstaat” dalam kurung justru dimaksudkan agar orang tak terbelenggu oleh formalitasprosedural yang kaku melainkan dapat kreatif menegakan hukum berdasarkan kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan. Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28 UUD 1945 menyebut ketiganya sebagai asas yang harus dipergunakan dalam pembangunan dan penegakan hukum. Ada tiga prinsip yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan soal eksistensi KPK ini. Pertama, dalil yang berbunyi salus populi supreme lex, yang berarti “keselamatan rakyat (bangsa dan negara) adalah hukum yang tertinggi.” Jika keselamatan rakyat, bangsa, dan negara sudah
56
terancam karena keadaan yang luar biasa maka tindakan apa pun yang sifatnya darurat atau khusus dapat dilakukan untuk menyelamatkannya. Dalam hal ini, kehadiran KPK dipandang sebagai langkah darurat untuk menyelesaikan korupsi yang sudah luar biasa. Kedua, di dalam hukum dikenal adanya hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan yang bersifat khusus (lex specialis). Keumuman dan kekhususan itu dapat ditentukan oleh pembuat UU sesuai dengan kebutuhan, kecuali UUD jelas-jelas menentukan sendiri mana yang umum dan mana yang khusus. Dalam konteks ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan hukum khusus yang kewenangannya diberikan oleh UU selain kewenangan-kewenangan umum yang diberikan kepada kejaksaan dan Polri. Ketiga, pembuat UU (badan legislatif) dapat mengatur lagi lanjutan sistem ketatanegaraan yang tidak atau belum dimuat di dalam UUD sejauh tidak melanggar asas-asas dan restriksi yang jelas-jelas dimuat di dalam UUD. Oleh sebab itu, pembuatan UU apa pun yang tidak secara eksplisit diperintah atau dilarang oleh UUD dapat dilakukan oleh legislatif untuk melaksanakan UUD itu sendiri. Dalam kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari hak legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataanya yang menuntut perlunya itu.6 Sehubungan dengan keberadaan KPK sebagai lembaga negara yang tidak ditempatkan dalam konstitusi, Romli Atmasasmita berpendapat 6
Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 196-197
57
bahwa sistem ketatanegaraan tidak dapat diartikan hanya secara normatif ( hanya dari sudut ketentuan konstitusi ) tetapi juga dapat diartikan secara luas karena tidak semua lembaga negara diatur dalam konstitusi. Apabila suatu lembaga negara tidak ditempatkan di dalam UUD Negara RI 1945, bukan berarti lembaga negara tersebut tidak mempunyai kedudukan hukum atau inkonstitusional, karena sifat konstitusional suatu lembaga dapat dilihat dari fungsinya dalam melaksanakan tugas dan wewenang atas nama negara. Dengan demikian, keberadaan dan kedudukan lembaga negara ada yang tercantum di dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam UUD 1945 melainkan dibentuk berdasarkan undang-undang, termasuk KPK sebagai lembaga negara bantu.7 KPK
sebagai
lembaga
pemberantas
korupsi
yang
diberi
kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak “mengambil alih” kewenangan lembaga lain, melainkan “diberi” atau “mendapat” kewenangan dari pembuat UU sebagai bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum, peradilan dan kekuasaan kehakiman. Bahwa keberadaan KPK itu konstitusional, hal itu dapat didasarkan juga pada cakupan konstitusi tertulis yang menurut teori mencakup UUD (sebagai dokumen khusus) dan peraturan perundang-
7
Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h. 181
58
undangan (sebagai dokumen tersebar) mengenai pengorganisasian negara. Dari pengertian ini, maka kedudukan KPK adalah konstitusional karena bersumber dari salah satu dokumen tersebar sebagai bagian dari konstitusi yang sama sekali tidak bertentangan dengan dokumen khususnya.
B. Sengketa Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Lembaga Penegak Hukum Kepolisian Republik Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen diberi kewenangan khusus untuk menangani masalah korupsi di Indonesia. KPK ada karena tuntutan masyarakat Indonesia dan juga masyarakat bangsabangsa internasional akibat perbuatan korupsi yang cukup meresahkan dan merugikan masyarakat Indonesia dan internasional dalam segala bidang kehidupan. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan dua institusi penegak hukum yang secara khusus memiliki kewenangan menangani tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah pelaksana fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa KPK
59
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada saat negara Indonesia dilanda gelombang korupsi yaitu sekitar tahun 1968, Adnan Buyung Nasution pernah mengatakan bahwa “TNI/AD hendaknya mempelopori pemberantasan korupsi sebagaimana dulu pernah dilakukan ditahun 1950an di jaman demokrasi parlementer”. Jadi apa yang dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution tersebut merupakan salah satu alternatif dalam pemberantasan korupsi. Terutama apabila pelaku korupsi terdiri dari pejabat tinggi negara, yang dalam hal ini sering disebut melakukan “White Collar Crime”.8 Sengketa antara Polri-KPK tidak bisa dipisahkan dari Kasus Bank Century yang diduga terdapat penyelewengan, bukannya mendapat sanksi pemerintah justru mengucurkan dana Rp 6,7 Triliun, perlu diketahui pada waktu itu yang menjadi Gubernur Bank Indonesia adalah Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam penanganan Bank Century disinyalir terdapat fraud (kecurangan), kemudian kasus ini ditangani oleh KPK seperti biasa dalam mengkungkap kasus tersebut KPK melakukan penyadapan dan secara tidak sengaja dalam penyadapan tersebut masuklah telepon Komjen Pol Susno Duadji, inilah pemicu perseteruan secara kelembagaan antara Polri dan KPK. 8
h. 82
Artidjo Alkostar, Korupsi Politik Dinegara Modern, (Yogyakarta: FH UII Press, 2008),
60
Kapolri menjelaskan, kasus bermula saat Antasari membuat testimoni tentang penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar oleh sejumlah pimpinan KPK pada 16 mei 2009. Saat itu Antasari sedang ditahan atas kasus dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Karena testimoni tidak ditindaklanjuti polisi, antasari lalu membuat laporan resmi pada 6 Juli 2009 mengenai dugaan suap itu di Polda Metro Jaya. Laporan itu kemudian dilimpahkan ke Mabes Polri, lalu dilanjutkan ke penyelidikan dan penyidikan. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, Kapolri memperoleh fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua tersangka yaitu Bibit dan Chandra yang melanggar Pasal 21 Ayat 5 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Saat penyidikan, ditemukan keputusan pencekalan dan pencabutan terhadap Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra, pencekalan yang dilakukan oleh kedua tersangka tidak secara kolektif. Pencekalan terhadap Anggoro Widjojo dilakukan oleh Chandra Hamzah, pencekalan terhadap Joko Tjandra oleh Bibit S Riyanto, serta pencabutan pencekalan terhadap Joko Tjandra oleh Chandra Hamzah.9 Dari alat bukti, keterangan saksi, dan saksi ahli didapat empat alat bukti. Lalu pada tanggal 15 September 2009 pukul 23.20, dua pimpinan KPK nonaktif itu ditingkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka.
9
www.nasional.kompas.com inilah kronologi kasus penyidikan kasus Chandra dan Bibit. Diakses 5 Juli 2015.
61
Pada 2 Oktober 2009, berkas perkara Chandra Hamzah dikirimkan ke Kejaksaan dan berkas Bibit S Riyanto dikirimkan pada 9 Oktober 2009. Kemudian, penyidik melakukan penahanan pada 29 Oktober 2009 karena kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataanpernyataan di media serta forum diskusi. Kasus ini melibatkan petinggi Kepolisian dan KPK sehingga kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang menyebabkan kerugian Negara mencapai hampir Rp. 100.000.000,00 ini telah menghebohkan masyarakat Indonesia. Kasus ini pertama kali mencuat saat Bambang Sukotjo, Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia, membeberkan adanya dugaan suap proyek pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri tahun 2011. Ketegangan antara KPK dan Polri dimulai saat KPK melakukan penggeledahan digendung Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri terkait kasus simulator SIM. Sebenarnya baik KPK maupun Polri sudah sama-sama tahu bahwa masing-masing lembaga penegak hukum tersebut sedang menangani kasus yang sama di Korlantas Polri.10 Kekisruhan terjadi antara KPK dan Polri terkait siapa yang berwenang melakukan penyelidikan pada kasus korupsi simulator SIM. Masing-masing pihak mengklaim lebih dulu mengeluarkan surat perintah penyidikan (Sprinlid). Polri mengklaim penyelidikan kasus dugaan korupsi 10
http://nasional.news.viva.co.id SIM. Diakses 29 Mei 2015
KPK terima penghitungan kerugian kasus simulator
62
simulator SIM sesuai dengan sprinlid /55/V/2012/Tipikor tanggal 21 Mei 2012, dimana Polri telah melakukan introgasi dan pengambilan keterangan dari 33 saksi yang dinilai tahu tentang pengadaan simulator SIM roda 2 dan roda 4. Apabila dilihat dari sprinlid itu, maka otomatis Polri melakukan penyelidikan lebih dahulu, sebagaimana dikatakan Kabareskim Mabes Polri Komjen Pol Sutarman. Sedangkan untuk penyidikan kasus ini, Sutarman menyebut 31 Juli 2012 sebagai tanggal permulaan. Padahal, KPK seperti disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, telah lebih dulu melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus simulator SIM. KPK telah menyelidik kasus ini sejak 20 Januari 2012 dan menaikan ke tahap penyidikan 27 Juli 2012. Polri bersikukuh ingin menangani kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri yang juga sudah ditangani KPK, Polri berdalih bisa menangani kasus itu karena adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara KPK, Polri dan Kejagung. Padahal, beberapa pasal dalam MoU itu malah menguatkan KPK sebagai pihak yang seharusnya menangani kasus tersebut.11 Bagaimana sebenarnya bunyi kesepatakan atau MoU antara kedua instansi hukum itu soal penanganan tindak pidana korupsi, jika masingmasing
merasa
paling
berwenang
melakukan
penyelidikan
dan
penyidikan? Kesepakatan itu tertuang dalam Kesepakatan Bersama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
11
http://news.detik.com. Diakses 29 Mei 2015
63
Kejaksaan Republik Indonesia. Nomor: KEP-049/A/J.A/03/2012, nomor: B/23/III/2012, dan nomor: SP3-39/01/03/2012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikut kesepakatan dimaksud yang ditanda tangani pada 29 Maret 2012 di Kejagung, yaitu bagian kedua tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Pasal 8 MoU disebutkan: 1. Dalam hal para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan, maka penuntutan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindak lanjuti penyelidikan adalah instansi
yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah
penyelidikan atau kesepakatan para pihak. 2. Penyidikan yang dilakukan pihak kejaksaan dan Polri diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama tiga bulan sekali; 3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampaian bulanan atas kegiatan penyidikan yang dilaksanakan oleh kejaksaan dan pihak Polri; 4. Penyelidikam dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundangundangan dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh para pihak yang pelaksananya dituangkan dalam berita acara.12 Jika mengacu pada pasal 8 poin 1 dan 4, maka KPK adalah lembaga yang lebih berhak menangani kasus simulator SIM. Poin 1 menguatkan KPK pada sisi terlebih dahulu memulai penyelidikan kasus. Sedangkan poin 4 menguatkan KPK dengan adanya UU KPK No. 30 12
Riris Nazriyah, Kewenangan KPK dalam Penyidikan Kasus Simulator SIM, Jurnal Hukum Quia Iustum Vol. 19 No. 4 Yogyakarta 2012, h. 604
64
Tahun 2002 Pasal 50 yang menyebut KPK berhak mengambil alih kasus korupsi yang ditangani lembaga lain.13 Sedangkan pakar hukum pidana Universitas Indonesia , Gandjar Laksmana Bonaparta menegaskan langkah KPK sudah tepat dalam menangani kasus simulator SIM. Dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang KPK sudah sangat jelas, tidak ada yang multitafsir. Menurutnya berdasarkan aturan, KPK yang lebih berwenang mengusut kasus tesebut meskipun kedua lembaga sama-sama berdasarkan pada ketentuan hukum. Aturan perselisihan penanganan kasus korupsi hanya ada dalam UndangUndang KPK, tidak ditemukan dalam KUHP maupun Undang-Undang Kepolisian. Bahwa ada asas hukum lex specialis derogat legi generali artinya, hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang umum. Sehingga penerapan KUHP harusnya dikesampingkan dengan adanya UU KPK pada penanganan kasus korupsi simulator SIM tersebut. Dalam hubungan kewenangan antar lembaga negara terdapat banyak potensi sengketa yang dapat terjadi dan memerlukan perhatian. Potensi sengketa disebabkan oleh ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang
mengatur
fungsi,
tugas,
wewenang
suatu
lembaga
yang
mengakibatkan munculnya beragam penafsiran karena ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang mengatur kelembagaan negara.14
13
http://www.metrotvnews.com Yusril Kewenangan Polri Lebih Kuat dari KPK. Diakses 29 Mei 2015 14 Lukman Hakim, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataanya dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi 80 Mei-Agustus 2010), h.3
65
Pembahasan konflik antara Polri dan KPK dengan kasus Budi Gunawan yang sebenarnya bukan kasus pertama yang melibatkan dua nama institusi ini. Sebelumnya diketahui bersama kasus lain yang muncul di tahun-tahun sebelumnya yaitu kasus Susno Duadji dan Djoko Susilo yang juga mengangkat nama Polri dan KPK menjadi nama institusi yang rentan akan konflik kelembagaan. Perbedaan konflik KPK dan Polri yang melibatkan nama Budi Gunawan dengan konflik-konflik yang terjadi sebelumnya adalah bahwa dua konflik sebelum ini dianggap menjadi persoalan masing-masing elit, sedangkan pada konflik terakhir yang melibatkan nama Budi Gunawan tidak hanya dianggap sebagai persoalan elit tetapi dianggap sebagai persoalan institusi atau lembaga terkait yaitu Polri. Konflik berawal dari penetapan status “tersangka” Komjen Budi Gunawan yang merupakan Calon Tunggal Kapolri oleh KPK. Konflik ketiga kalinya yang terjadi antara KPK dan Polri ini dilanjutkan dengan laporan dan penangkapan pimpinan KPK oleh Polri. Kedua pihak dianggap saling menggunakan wewenangnya kepada pihak lawan dengan membawa dasar hukumnya masing-masing. Faktanya bahwa seharusnya dalam penegakan hukum, tujuan dan cara merupakan dua hal yang sama penting dan tidak dapat dipisahkan. Hukum tidak dapat mencapai tujuanya tanpa memperhatikan cara-cara yang benar dan baik dalam pencapaian tujuannya, karena tidak mungkin tujuan yang baik dapat tercapai dengan cara yang tidak baik. Sejauh ini
66
tujuan selalu dianggap lebih penting sehingga mengabaikan cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut yang seakan-akan diabaikan oleh KPK dan Polri dalam proses penegakan hukum terkait kasus dalam dua lembaga tersebut sehingga muncul lah pandangan masyarakat bahwa terdapat pelanggaran etika yang dilakukan baik oleh KPK maupun Polri. Dari konflik yang telah terjadi antara KPK dan Polri dapat dilihat bahwa kedua lembaga tersebut kurang memperhatikan kultural bangsa dan koordinasi dalam menjalankan wewenangnya masing-masing. Sehingga yang terjadi adalah persaingan antara KPK dan Polri karena menangani objek yang sama dengan masing-masing wewenangnya. Hal ini tentu membutuhkan solusi guna menghindari sengketa atau konflik yang sama terjadi kembali. Solusi yang dapat mencabut akar permasalahan tersebut adalah dengan cara pembatasan masing-masing wewenang lembaga secara konkrit dan lebih jelas. Disamping itu kedua lembaga harus bertindak sesuai dengan ketentuan undang-undang baik Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia ditambah dengan MoU yang sudah disepakati oleh kedua lembaga tersebut, serta koordinasi dapat dijalankan dengan baik dan benar.
67
C. Penyelesaian Sengketa Lembaga KPK dengan Lembaga Kepolisian Republik Indonesia Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara yang lainnya diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut, lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat, dan saling mengimbangi satu sama lain. sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan /atau perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar, sehingga tejadi
sengketa
kewenangan
lembaga
negara.
Apabila
sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah Konstitusi.15 bagaimana jika yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka terjadi kekosongan hukum.16 Namun, dalam praktek ketatanegaraan, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUD Negara Republik
Indonesia
1945
diselesaikan
oleh
presiden
dengan
mempertemukan pimpinan lembaga negara yang bersengketa. Dalam sengketa KPK dan Polri tentang dugaan korupsi simulator SIM Korps Lalu 15
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 150 16 Lukman Hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2009), h. 220
68
Lintas Polri, Presiden bertemu dengan pimpinan KPK dan Kepala Polri. Setelah pertemuan dengan kedua lembaga tersebut, Presiden membuat keputusan penanganan hukum dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan mantan Kepala Korlantas Inspektur jendral Djoko Susilo agar ditangani KPK. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap tegas dalam menyelesaikan sengketa KPK dengan Polri, dengan menetapkan empat kebijakan: 1. Kasus simulator SIM ditangani oleh KPK; 2. Proses hukum penyidik Novel Baswedan tidak tepat dari segi waktu dan cara; 3. Waktu penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur dalam peraturan pemerintah; 4. Revisi UU KPK kurang tepat dilakukan pada saat itu.17 Penyelesaian yang dilakukan oleh Presiden bukanlah penyelesaian hukum, karena itu tidak memiliki kekuatan mengikat. Pihak-pihak yang bersengketa dapat tidak mematuhi keputusan Presiden tersebut. Faktanya kemudian, Polri menggugat KPK karena KPK menyita berbagai dokumen milik Polri, yang menurut Polri tidak ada hubungannya dengan kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri. Penyelesaian konflik kasus simulator SIM sebenarnya telah diusahakan oleh kedua pihak yaitu diselesaikan atas dasar MoU yang telah 17
Teten Masduki, SBY Akhirnya Memimpin, Harian Kompas Rabu 10 Oktober 2012.
69
disepakati bersama oleh Polri, KPK dan Kejaksaan pada 29 Maret 2012 yang terdiri dari tiga surat yaitu Nomor B/23/III/2012 untuk Kepolisian, Nomor
SPJ-39/01/-03/2012
untuk
KPK,
dan
Nomor
KEP-
049/A/JA/03/2012 untuk Kejaksaan Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi upaya ini menemui jalan buntu karena isi dari MoU tersebut tidak sejalan dengan argumen masing-masing pihak yaitu KPK dan POLRI dan tidak sesuai dengan fakta-fakta terkait dengan kasus simulator SIM. Selain dengan MoU, sebenarnya upaya penyelesaian juga sudah diusahakan dengan menggunakan ketentuan dalam undang-undang KPK. Sebenarnya
undang-undang
KPK
sudah
cukup
memadai
untuk
menyelesaikan konflik kewenangan, karena dalam undang-undang KPK telah diatur tentang siapa saja yang berhak melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan untuk perkara tindak pidana korupsi, di dalam UU KPK juga sudah diatur mengenai prosedur dalam menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi. Akan tetapi hal ini juga menemui jalan buntu, karena Polri tidak bersedia menyerahkan berkas perkara dan tersangka kepada KPK. Penyelesaian konflik antara KPK dengan Polri pada pengangkatan Komjen Budi Gunawan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo juga bukan penyelesain secara hukum. Presiden membentuk Tim Independen untuk menangani kekisruhan KPK dan POLRI, Tim Independen
70
memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menentukan sikap. Kemudian Presiden memberhentikan Kapolri dan menunjuk Wakapolri Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.18 Selain masalah calon Kapolri, Presiden Jokowi juga memutuskan untuk menerbitkan keppres pemberhentian sementara pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang menghadapi masalah hukum. Maka hal ini sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjelaskan bahwa, “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatanya”. Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri konflik antara dua lembaga menginstruksikan kepada kepolisian dan meminta kepada KPK untuk mentaati aturan hukum dan kode etik yang berlaku.19 Dengan demikian, terjadi kekosongan hukum dalam hal terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam konstitusi. Sejauh ini, sengketa yang demikian dapat diselesaikan oleh Presiden dengan mempertemukan pimpinan lembaga negara yang sedang bersengketa. Selanjutnya presiden memberikan instruksi-instruksi yang harus dipatuhi oleh lembaga negara yang sedang bersengketa. Masalahnya adalah, penyelesaian dengan model demikian bukanlah penyelesaian yudisial, yang tentu tidak memiliki kekuatan hukum bahkan dapat tidak dipatuhi.
18
Novianto M. Hantoro, Pembenahan Kelembagaan KPK : Solusi Jangka Panjang Konflik KPK dan POLRI, Jurnal Hukum Vol. VII, No. 03/I/PG3DI/Februari 2015 19 http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150218_jokowi_ganti_kapolri diakses 12 Juni 2015
71
Mahkamah konstitusi Indonesia dalam hal mengadili sengketa kewenangan lembaga negara dibatasi pada lembaga negara yang kewenanganya hanya berasal dari UUD NRI 1945. Jika melihat konstitusi Korea Selatan dalam Pasal 111 ayat (1) menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan dalam hal: 1. The constitutionality of law upon the request of the court; 2. Impeachment; 3. Dissolution of a political part; 4. Competence dispute between state agencies, between state agencies and local governments, and between local government; and 5. Contitusional complaint as prescribed by act.
Walaupun Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki lima kewenangan, namun dalam hal ini yang dibahas hanya kewenangan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara. Dari ketentuan Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan dapat ditarik kesimpulan bahwa Mahkamah Korea Selatan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antara: a. Lembaga-lembaga negara; b. Lembaga negara dengan pemerintah daerah; c. Pemerintah daerah dengan pemerintah daerah. Di Jerman, kewenangan memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 93 ayat (3)
72
Konstitusi Federal Jerman disebutkan bahwa the Federal Constitution Court berwenang memutus: “In case of differences of opinion on the rights and duties of the Federation and the States (Lander), particularly in the execution of federal law by the States (Lander) and in the exercise of federal supervision; on other disputes involving public law, between the federation and the States (Lander, between different States (Lander) or within a State (Land), unless recourse to another court exist.20
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Jerman mengatur bahwa yang berhak untuk menjadi tergugat dan penggugat dalam perkara sengketa kewenangan adalah Presiden, Bundestag, Bun-desrat, pemerintah federal, serta bagian-bagian lembaga yang memiliki kewenangan tersendiri sesuai dengan ketentuan Konstitusi, atau Peraturan Tata Tertib Bundestag atau Bundesrat. Di samping itu, pemerintah federal dalam kasus sengketa kewenangan antarlembaga negara Federasi dan pemerintah negara bagian. Dalam kasus sengketa kewenangan antarlembaga negara bagian berhak menjadi penggugat dan tergugat dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara.21 Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dan Konstitusi Jerman dapat menyelesaikan setiap sengketa lembaga negara, tanpa memperhatikan apakah lembaga negara tersebut kewenanganya
20
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta : Penerbit Konstitusi Press, 2005), h. 6-7 21 C.F. Strong mengisyaratkan, bahwa konstitusi federal sesungguhnya adalah sebuah kesepakatan tentang hak dan kewajiban otoritas negara bagian dan otoritas federal. Jika muncul konflik antara kedua otoritas itu, maka otoritas yang melindungi supremasi konstitusi ditegakkan. Lihat, C.F. Strong, h. 144-145.
73
diberikan atau tidak oleh konstitusi. Dalam hal menyelesaikan setiap sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dan Jerman berbeda dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia. Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara terbatas pada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945.22 Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berpendapat bahwa bilamana konflik antar lembaga negara, pemerintah daerah dan lembaga-lembaga negara
tentang
tugas
dan
masing-masing
lembaga,
tidak
hanya
membahayakan prinsip check and balances antara kekuasaan publik, tetapi juga berisiko melumpuhkan fungsi pemerintahan yang penting. Hal ini dapat menimbulkan ancaman terhadap hak-hak dasar warga negara, yang menyerukan mekanisme koordinasi yang sistemis. Konstitusi Korea Selatan telah menganugerahi Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan mengadili sengketa kewenangan sebagian dari fungsi menjaga konstitusi.23 Prinsip yang diterapkan dalam konstitusi Korea Selatan sekaligus memenuhi konsep lembaga negara, tanpa perkecualian. Artinya bahwa, lembaga negara yang dimaksud dalam konstitusi Korea Selatan tidak membedakan antara lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi, undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lain.24 Dengan
22
Winasis Yulianto, Rekonseptualisasi Penyelesaian Senketa Kewenangan Lembaga Negara, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol XII, Nomor 1, Mei 2014, h. 1132 23 Alenia ini dan kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi Korea Selatan merupakan terjemahan dari website Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, http://english.court.go.kr/ diunduh Selasa 16 Juni 2015. 24 Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga Negara di Indonesia menjadi empat: lembaga negara yang dibentuk oleh UUD, undang-undang, Keputusan Presiden dan peraturan Menteri.
74
demikian, model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di Korea Selatan lebih memenuhi rasa kepastian hukum. Hal ini mengingat di Korea Selatan terdapat lembaga yudisial yang mengadili sengketa kewenangan lembaga negara tanpa melihat sumber kewenangan, yaitu Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam hal mengadili sengketa kewenangan
lembaga
negara
dibatasi
pada
lembaga
negara
yang
kewenangannya berasal dari UUD NRI 1945. Di luar lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara atribusi oleh UUD 1945, Mahkamah Konstitusi Indonesia tidak memiliki kewenangan mengadili. Oleh karena itu, pelajaran dari Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dapat diadopsi oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia.25
Bilamana kita cermati argumentasi filosofis pembentukan KPK dan Polri, seharusnya sengketa antara lembaga KPK dan Polri tidak perlu terjadi. Konsideran menimbang huruf a UU KPK maupun konsideran menimbang huruf a UU Polri, keduanya dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Dengan demikian ada kesamaan tujuan pembentukan KPK dan Polri, yaitu dalam kerangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.26
Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 66 25 Andy Omara mempergunakan istilah a good for the Indonesian Constitusional court, lihat Andy Omara, Lesson From Korean Constitutional Court: What Can Indonesia Learn From Korean Constitutional Court Experience?, Seoul: Korean Lagislation Research Institute, 2008, h. 50 26 Winasis Yulianto, Rekonseptualisasi Penyelesaian Senketa Kewenangan Lembaga Negara, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol XII, Nomor 1, Mei 2014, h. 1129
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberi kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak “mengambil alih” kewenangan lembaga lain, melainkan “diberi” atau “mendapat” kewenangan dari pembuat UU sebagai bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum, peradilan dan kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, keberadaan dan kedudukan lembaga negara ada yang tercantum di dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam UUD 1945 melainkan dibentuk berdasarkan undang-undang, termasuk KPK sebagai lembaga negara bantu. 2. Sengketa kewenangan lembaga KPK dengan Kepolisian yang terjadi pada tahun 2009 yaitu kasus Bibit dan Chandra, kasus Djoko Susilo pada tahun 2012, dan yang terakhir kasus penetapan calon Kapolri Budi Gunawan tahun 2015. Sengketa lembaga tersebut diselesaikan oleh Presiden dengan mempertemukan pimpinan lembaga negara yang sedang bersengketa. Penyelesaian dengan model demikian bukanlah penyelesaian yudisial, penyelesaian ini tidak memiliki kekuatan hukum dan dapat tidak dipatuhi. Lembaga negara yang kewenanganya
75
76
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka terdapat lembaga
yudisial
untuk
menyelesaikannya,
yaitu
Mahkamah
Konstitusi. Namun, Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka terjadi kekosongan hukum. Sengketa antara KPK dan Polri merupakan sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUD NRI 1945. Sumber kewenangan KPK adalah UU KPK, sedangkan kewenangan Polri adalah UU POLRI. Ini berarti bahwa kedua lembaga tidak dapat menjadi pemohon dalam sengketa lembaga negara yang menjadi otoritas Mahkamah Konstitusi.
B. Saran 1. Para penegak hukum harus lebih fokus pada batasan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang KPK dan tidak mengenyampingkan batasan tersebut dengan adanya MoU antara KPK, Polri dan Kejaksaan. Jika MoU tersebut tidak sesuai dengan undang-undang dan menyebabkan ketidakpastian hukum perlu dilakukan judicial review ke Mahkamah Agung. 2. Perlu dilakukan harmonisasi kembali Undang-Undang KPK baik antar pasalnya maupun dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga penegak hukum lainnya, perlu adanya lembaga yudisial yang dapat
77
menyelesaikan sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur oleh UUD 1945 demi adanya kepastian hukum. 3. Saling berebut wewenang dalam penanganan tindak pidana korupsi sebenarnya tidak perlu terjadi jika semua lembaga mempunyai kesungguhan tujuan yang sama memberantas korupsi di Indonesia, dan bukan berdasarkan kepentingan ego lembaga masing-masing. Maka bentuk-bentuk koordinasi antar lembaga KPK dengan Penegak hukum lainnya dilakukan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU :
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. ----------------------- . Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta : Konstitusi Press, 2006. ---------------------- . Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta : Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006. ---------------------- . Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung. Jakarta : Konstitusi Press, 2005. ---------------------- . Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. ---------------------- . Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Ali, Zaenudin. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2012. Arifin dkk, Firmansyah. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005. Azhary. Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif tentang UnsurUnsurnya. Jakarta: UI Press, 1995. Alkostar, Artidjo. Korupsi Politik Dinegara Modern. Yogyakarta: FH UII Press, 2008. Brian Z, Tamanaha. On the Rule of Law, History, Politics, Theory. Cambridge: University Press, 2006. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977. Collin Talbot, and Christoper Pollit. Unbundled Government; A Critical Analysis of The Global Trend to Agencies, Quangos and Contractualisation. London: Routledge, 2004. Danang Widoyoko, dan Teten Masduki. Menunggu Gebrakan KPK, Jentera 8 Tahun III. Maret, 2005.
Danil, Elwi. Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasanya. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Effendi, Marwan. Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia, 2005. Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana, 2009. Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987. Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Harjono, Transformasi dan Demokrasi. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009. Hamzah, Fahri. Demokrasi Transisi Korupsi : Orkestra Pemberantasan Korupsi Sistemik. Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012. Hakim, Lukman. Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2009. Hakim, Lukman. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataanya dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional. Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi 80 Mei-Agustus, 2010. Hantoro, Novianto M. Pembenahan Kelambagaan KPK: Solusi Jangka Panjang Konflik KPK dan POLRI. Jurnal Hukum Vol. VII, No. 03/I/PG3 DI/Februari, 2015. Kelsen, Hans.General Theory of Law and State. New York: Russell and Russell, 1961. Luthfi Yazid, T.M. Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-Cita Negara Hukum. Jakarta: Makalah disampaikan pada diskusi terbatas eksistensi kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, 2004. Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Muslim, Mahmudin. Jalan Panjang Menuju KPTPK. Jakarta : Gerakan Rakyat Anti Korupsi Indonesia, 2004.
Mahfud MD, Moh. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2001. --------------------- . Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1995. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010. Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta: Sinar Harapan, 1994. Nazriyah, Riris. Kewenangan KPK dalam Penyidikan Kasus Simulator SIM. Jurnal Hukum Quia Iustum Vol. 19, Nomor 4.Yogyakarta, 2012. Omara, Andy. Lesson From Korean Constitutional Court: What Can Indonesia Learn From Korean Constitutional Court Experience?. Seoul: Lagislation Research Institute, 2008. Soemantri M, Sri. Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Surabaya: Airlangga University Press. Sabine, George H. A History of Political Theory, Third Edition. New York: Holt Rinehart and Winston, 1961. Thohari, A. Ahsin. Kedudukan Komisi-Komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Jentera Jurnal Hukum Edisi 12 Tahun III, 2006. Triwulan Tutik, Titik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2010. Termorshuizen, Marjenne. Kamus Hukum Belanda-indonesia. Jakarta: Djambatan Cet-2, 2002. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Ichtiar, 1962. Utari, Sri, Karakter Demokrasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Dikaitkan dengan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Tesis: Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1998.
Widagdo Eddyono, Lutfhi. Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Jurnal Hukum Volume 7, Nomor 3, 2010. Yulianto, winasis. Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara. Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. XII, Nomor 1, 2014.
PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Perubaha Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 Judicial Review Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Memorandum of Understanding KPK, POLRI, Kejaksaan. SPJ-39/01/-03/2012, B/23/III/2012, KEP 049/A/JA/03/2012. Internet : http://www.metrotvnews.com Yusril Kewenangan Polri Lebih Kuat dari KPK. Diakses 29 Mei 2015. www.bbc.co.uk/indonesia/berita indonesia/2015/02/150218 jokowi ganti kapolri diakses 12 juni 2015. www.nasional.news.viva.co.id KPK terima simulator SIM diakses 29 Mei 2015.
penghitungan
http://english.court.go.kr/ diunduh Selasa 16 Juni 2015. www.detik.com diakses 29 Mei 2015
kerugian
kasus
www.nasional.kompas.com inilah kronologi kasus penyidikan kasus Chandra dan Bibit. Diakses 5 Juli 2015.
KAMUS : Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a.
b. c.
d.
Mengingat
bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional; bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi; bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
: 1. 2. 3.
4.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 3. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 3 Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pasal 4 Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 5 Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada : a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. kepentingan umum; dan e. proporsionalitas. BAB II TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN Pasal 6 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 7 Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. (1)
(2) (3)
(4)
Pasal 8 Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 9 Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 10 Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Pasal 11 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 12 (1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Pasal 13 Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut : a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara; b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 14 Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan. Pasal 15 Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban : a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi; b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya; c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan; d. menegakkan sumpah jabatan; e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
BAB III TATA CARA PELAPORAN DAN PENENTUAN STATUS GRATIFIKASI Pasal 16 Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut : a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat : 1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; 2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; 4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5) nilai gratifikasi yang diterima. Pasal 17 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan. (2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi. (3) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. (4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara. (5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan. (6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan. Pasal 18 Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dalam Berita Negara. BAB IV TEMPAT KEDUDUKAN, TANGGUNG JAWAB, DAN SUSUNAN ORGANISASI Pasal 19 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Pasal 20 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara : a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya; b. menerbitkan laporan tahunan; dan c. membuka akses informasi. Pasal 21 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:
a.
(3)
(4) (5) (6) (7)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; b. Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun sebagai berikut: a. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan b. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang, masing-masing merangkap Anggota. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah pejabat negara. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 22 Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi pemilihan. Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan dari masyarakat. Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan calon yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan. Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan mengajukan 8 (delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dipilih 4 (empat) orang anggota. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal panitia seleksi pemilihan dibentuk.
Pasal 23 Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 24 (1) Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah warga negara Indonesia yang karena kepakarannya diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 25 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi: a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi; c. menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi. (2) Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 26 (1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan 4 (empat) bidang yang terdiri atas: a. Bidang Pencegahan; b. Bidang Penindakan; c. Bidang Informasi dan Data; dan d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. (3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membawahkan: a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; b. Subbidang Gratifikasi; c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan. (4) Bidang Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b membawahkan: a. Subbidang Penyelidikan; b. Subbidang Penyidikan; dan c. Subbidang Penuntutan. (5) Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c membawahkan: a. Subbidang Pengolahan Informasi dan Data; b. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi; c. Subbidang Monitor. (6) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d membawahkan: a. Subbidang Pengawasan Internal; b. Subbidang Pengaduan Masyarakat. (7) Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan Subbidang Penuntutan, masing-masing membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai dengan kebutuhan subbidangnya. (8) Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 27 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal. (2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia. (3) Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. (4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 28 Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi. BAB V PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Pasal 29 Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani;
d. e. f. g. h. i. j. k. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
(10) (11) (12) (13)
berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurangkurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan; berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan; tidak pernah melakukan perbuatan tercela; cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia. Untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat. Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengumumkan penerimaan calon. Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja secara terus menerus. Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan terhadap nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan. Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia. Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi, Presiden Republik Indonesia menyampaikan nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua. Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara. Presiden Republik Indonesia wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 31 Proses pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan secara transparan. (1)
Pasal 32 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: a. meninggal dunia; b. berakhir masa jabatannya; c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;
(2) (3)
d. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya; e. mengundurkan diri; atau f. dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Pasal 33 (1) Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2) Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31. Pasal 34 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pasal 35 (1) Sebelum memangku jabatan, Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia. (2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membedabedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang kepada saya”. Pasal 36 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun; b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan; c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Pasal 37 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi. BAB VI PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN Bagian Kesatu Umum Pasal 38 (1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Pasal 39 (1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. (2) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 40 Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 41 Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 42 Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Bagian Kedua Penyelidikan Pasal 43 (1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Pasal 44 (1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. (3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan. (4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. (5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Bagian Ketiga Penyidikan Pasal 45 (1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Pasal 46 (1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hakhak tersangka. Pasal 47 (1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. (2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita; b. keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan; c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut; d. tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan e. tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut. (4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada tersangka atau keluarganya. Pasal 48 Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka. Pasal 49 Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti. Pasal 50 (1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan,
instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. (2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. (4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Bagian Keempat Penuntutan Pasal 51 (1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi. (3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum. Pasal 52 (1) Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri. (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus. BAB VII PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 53 Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 54 (1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. (2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden. Pasal 55 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) juga berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pasal 56 (1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc. (2) Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. (3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung. (4) Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman kepada masyarakat.
(1)
(2)
(1) (2)
(1) (2) (3)
Pasal 57 Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun; b. berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi; c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya; dan d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin. Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum; e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada proses pemilihan; f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc. Pasal 58 Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Pasal 59 Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 juga berlaku bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 60 (1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. (2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun di bidang hukum; e. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun pada proses pemilihan; f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal 61 (1) Sebelum memangku jabatan, hakim ad hoc wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia. (2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal 62 Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(1)
(2)
(3) (4)
BAB VIII REHABILITASI DAN KOMPENSASI Pasal 63 Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi. Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54. Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi yang harus dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB IX PEMBIAYAAN Pasal 64 Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 65
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Pasal 66 Dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang : a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa alasan yang sah; b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan; c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut. Pasal 67 Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 68 Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal 69 (1) Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi maka Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi bagian Bidang Pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 70 Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 71 (1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak berlaku; (2) Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 72 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 137 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, Ttd. Edy Sudibyo -----------------------------------PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. UMUM Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas
dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
pelaksanaannya
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang. Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: 1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; 2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; 3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism); 4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan. Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh ketentuanketentuan yang bersifat strategis antara lain: 1) ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik; 2) ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara; 3) ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
4) ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan 5) ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi. Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia. Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkahlangkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas. Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas.
Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan : a. “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b. “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya; c. “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. “kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; e. “proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i. Ayat (4)
Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Huruf a Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 12 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau korporasi. Huruf g Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar. Huruf h Cukup jelas Huruf i Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Huruf a Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas
Pasal 16 Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas
Huruf h Cukup jelas Huruf i Yang dimaksud dengan “jabatan lainnya” misalnya komisaris atau direksi, baik pada Badan Usaha Milik Negara atau swasta. Huruf j Yang dimaksud dengan “profesinya”, misalnya advokat, akuntan publik, atau dokter. Huruf k Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Yang dimaksud dengan “transparan” adalah masyarakat dapat mengikuti proses dan mekanisme pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Yang dimaksud “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan. Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menetapkan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Ketua Mahkamah Agung dapat menyeleksi hakim yang bertugas pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Berdasarkan ketentuan ini maka pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif. Pengumuman dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat masukan dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan untuk pemeriksaan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Yang dimaksud dengan “biaya” termasuk juga biaya untuk pembayaran rehabilitasi dan kompensasi. Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4250