Editorial
Mengadvokasi Sistem Pelayanan Kesehatan/Kedokteran Terpadu
Fachmi Idris* Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang
Pendahuluan Dokter Arumugam pada pidato akhirnya sebagai President World Medical Association periode 2006-2007 di Copenhagen, Denmark, 6 Oktober 2007 menyampaikan “…dari pengalaman mengunjungi berbagai negara anggota asosiasi dokter se-dunia (WMA), terdapat berbagai variasi dalam pelaksanaan praktik dokter di setiap negara, … dan hal itu terjadi karena perbedaan sistem kesehatan di negara masing-masing…”. Pernyataan Arummugam tersebut sangat menarik karena semakin memperkuat hipotesis (atau lebih tepatnya sebuah tesis) yang selalu dibicarakan di lingkungan WMA bahwa dokter hanya akan “berpraktik dengan baik” di dalam “sistem kesehatan yang baik”. Sistem kesehatan yang baik tentu akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir status kesehatan satu bangsa. Para pakar juga menyatakan hal yang sama, bahwa sistem dan kebijakan kesehatanlah yang pada akhirnya menggambarkan situasi pasien di sebuah negara. Termasuk hubungannya dengan praktik kedokteran atau lebih spesifik lagi kaitannya dengan perilaku praktik para dokternya. Seperti
*Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
apa yang pernah ditulis oleh Bodenheimer dan Grumbach, bahwa: “…health policy affects the patients we see on daily basis…”1, Health policy atau policy itu sendiri, menurut Pencheon pada dasarnya “…set out grand principles or course of actions…..”2 Dengan demikian, policy yang berbuah pada satu arahan yang jelas, pada satu kesisteman yang baik, pada akhirnya akan menentukan proses dan capaian praktik kedokteran di satu negara. Apa yang dicapai bangsa Indonesia di dalam 63 tahun kemerdekaannya, khususnya di bidang kesehatan, terutama sistem kesehatan sebenarnya cukup baik. Bank Dunia melaporkan di dalam Investing in Indonesia’s Health, Health Expenditure Review, 2008: “…Indonesia has made major improvements over the three decades in its health system, but is struggling to achieve important health outcomes, especially among the poor…”. Sebaliknya, masukan berharga juga diberikan di dalam laporan tersebut, yaitu: “….the performance of the current health system is inadequate for achieving today’s and future health outcomes…”.3 Masukan Bank Dunia tersebut bukanlah hal mengagetkan, apalagi bila sebagai sesuatu yang baru. Kelompok profesi kedokteran yang bernaung di dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir “agak rajin” mengintroduksi perlunya kajian dan
363
Mengadvokasi Sistem Pelayanan Kesehatan/Kedokteran Terpadu pengembangan sistem kesehatan yang dapat menciptakan sistem praktik kedokteran yang baik di Indonesia. Di dalam Mukernas IDI XVII (di Jakarta, tahun 2005), IDI telah menetapkan tema tentang: “reorientasi peran dan posisi IDI dalam era UUPK dan UU SJSN menuju terciptanya sistem pemeliharaan dan pelayanan kedokteran terpadu”.4 Keberadaan tema itu diperkuat lagi di dalam tema Muktamar XXVI IDI (di Semarang, tahun 2006), yaitu: “pemantapan peran dan posisi IDI menuju sistem pelayanan kedokteran terpadu (dengan subtema: profesionalisme dokter Indonesia di era Undang-Undang Praktik Kedokteran, Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Globalisasi)”.5 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa IDI memiliki perhatian yang besar untuk memberikan kontribusi bagi perbaikan sistem kesehatan di negara tercinta ini. Semangat dan kontinuitas tema tentang perlunya pembenahan sistem kesehatan akan mewarnai tema Mukernas IDI XVIII (direncanakan di Bandung, 29 Okt-2 Nov 2008). Untuk itu, panitia pengarah Mukernas XVII sudah menetapkan tema, yaitu: “seabad kiprah dokter Indonesia adalah momentum untuk memperkuat kemandirian profesi kedokteran melalui sistem pelayanan kedokteran terpadu di era globalisasi dalam rangka menyehatkan bangsa”. Selain penentuan tema, ditetapkan pula subtema Mukernas, yakni: “penerapan sistem pelayanan kedokteran terpadu melalui pemantapan sistem referal praktik kedokteran”.6
Pentingnya Berpikir Kesisteman Mengapa IDI tidak bosan-bosan mendorong terbentuknya sistem praktik kedokteran yang baik menurut kacamata profesi dokter? Apa pula yang dimaksud dengan sistem pelayanan kedokteran terpadu (sisyandokdu) yang sudah disebut-sebut di atas? Mengapa istilah sisyandokdu tersebut selalu muncul di tema-tema Muktamar dan Mukernas IDI dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini? Untuk menjawab pertanyaan di atas harus dikembalikan ke hakekat tugas dan tanggung-jawab keberadaan organisasi profesi kedokteran. Pada hakikatnya, organisasi profesi adalah advocating body untuk anggotanya dalam rangka menjaga dan menegakkan martabat dan kehormatan profesi. Untuk dokter di Indonesia dilakukan oleh IDI. Hal tersebut dapat pula berarti bahwa fungsi IDI adalah badan yang selalu bergerak untuk mengadvokasi suatu kegiatan, kondisi atau sistem yang menjamin bahwa dokter-dokter Indonesia dapat berpraktik sesuai harkat atau martabatnya. Sistem praktik tersebut adalah sistem praktik yang menjamin terciptanya martabat dokter, yaitu terjaminnya sikap profesional dan situasi sejahtera bagi dokter. Dalam pengertian sehari-hari, praktik yang bermartabat merupakan satu proses yang di dalamnya terdapat jaminan bahwa profesionalisme dapat dijalankan sebagaimana seharusnya (Gambar 1).7,8
Gambar 1. Kerangka Pikir IDI sebagai Advocating Body 7
364
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
Mengadvokasi Sistem Pelayanan Kesehatan/Kedokteran Terpadu Pentingnya anggota profesi berpraktik bersendikan profesionalisme merupakan indikator bagi organisasi untuk membina dan membela anggotanya. Anggota profesi harus terus dibina agar selalu baik sesuai dengan azas profesionalisme. Pembinaan itu penting sekali karena pada dasarnya anggota profesi dapat saja tergelincir menjadi tidak profesional. Kemungkinan itu selalu ada karena praktik kedokteran pada dasarnya mengandung dua kondisi yang dapat menyebabkan hal itu terjadi, yaitu kondisi pertama, ketidaktahuan pasien (patient ignorance) yang dapat mendorong terjadinya kondisi kedua, yakni dokter dapat memancing timbulnya keinginan yang berlebihan dari pasien saat menjalani konsultasi/pengobatan (induce demand).9 Gambaran tentang peran organisasi profesi dalam menjaga harkat dan martabat profesi dalam proses praktik anggota profesinya melalui pembinaan dan pembelaan anggota, tidak akan berjalan dengan baik apabila input untuk proses tersebut ternyata tidak baik (Gambar 1). Anggota profesi yang akan praktik harus terseleksi (credentialing) dengan baik. Credentialing meliputi dua aspek, yaitu aspek kompetensi teknis dan kelaikan etika.7,8 Undang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) yang pada dasarnya menyeleksi dokter (melalui sistem registrasi ulang setiap lima tahun sekali) sangat membantu pekerjaan organisasi profesi dalam proses membina anggota profesi. Di dalam UUPK, organisasi profesi melalui kolegiumnya dan perhimpunan terkait diberikan kewenangan untuk melakukan credentialing atas kualitas input dokter yang akan berpraktik, yaitu melalui mekanisme penerbitan sertifikat kompetensi (sebagai syarat untuk registrasi ulang). 10 Sertifikat kompetensi adalah instrumen credentialing organisasi profesi dalam menjaga kompetensi pengetahuan dan keterampilan anggota profesinya. Selain proses credentialing dalam kompetensi teknis, organisasi profesi juga dapat berperan dengan memberikan catatan khusus (pembinaan) tentang kelaikan etika anggota profesi selama menjalankan praktik kedokteran. Apabila dalam catatan pembinaan tersebut, selama menjalankan praktiknya, ternyata anggota profesi tidak dapat digembleng lagi menjadi dokter yang baik, yaitu dokter yang dapat menjaga harkat dan martabat kehormatan profesi secara keseluruhan maka organisasi profesi dapat saja tidak merekomendasikan anggota profesi tersebut pada saat registrasi ulang. Proses mencatat dan memberikan rekomendasi etik tersebut merupakan bagian dari proses menjaga agar input dokter yang akan berpraktik, terjaga kelaikan perilakunya secara etik. Anggota profesi yang kompeten dan laik, baik dari sisi pengetahuan, keterampilan dan perilaku, diharapkan dapat menjalankan praktiknya secara profesional dan otonom. Meskipun demikian, proses praktik kedokteran yang baik membutuhkan berbagai input lain (Gambar 1). Untuk itu, input lain yang berpengaruh terhadap upaya terciptanya suasana yang kondusif bagi dokter untuk berpraktik sesuai Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
harkat dan martabat serta kehormatan profesi, harus selalu disesuaikan dengan kondisi lingkungan (termasuk lingkungan kebijakan) yang ada. Untuk itu, organisasi profesi harus secara kritis menganalisis input tersebut. Input tersebut meliputi mekanisme pembiayaan dalam praktik kedokteran, dan standar atau pedoman yang harus diikuti dalam menjalankan praktik, manajemen atau model praktik kedokteran yang menjamin dokter dapat praktik secara profesional. Sistem Praktik Kedokteran yang Baik Sistem praktik kedokteran yang baik tidak dapat menyerahkan proses menjamin harkat dan martabat serta kehormatan profesi kepada diri seorang dokter secara individual. Mengharapkan dokter sepenuhnya mematuhi sumpah hipocrates dan kode etik profesinya atas kesadaran sendiri akan sangat berat ketika pergeseran nilai dan situasi sosial yang terjadi tidak menunjang. Dokter akan menjadi baik apabila sistem sosialnya baik. Sebaliknya, dokter berpeluang besar menjadi tidak baik apabila sistem lain yang berinteraksi dan berinterrelasi dengannya menunjang terciptanya “ketidak-baikan” tersebut. Isu umum yang selalu terjadi secara periodik, misalnya tentang dugaan kolusi dokter dan perusahaan farmasi lebih disebabkan terbukanya kemungkinan kolusi tersebut dengan sistem yang ada pada saat ini. Begitu juga dengan berbagai isu lain yang mesti diselesaikan, misalnya tumpang tindih kompetensi dan kewenangan antar dokter spesialis tertentu yang berbuah pada “konflik” yang tidak perlu. Tentang keluhan masyarakat, misalnya di salah satu media cetak yang menyatakan “dokter adalah dewa penyembuh yang haus rupiah”. Tentang disparitas kesejahteraan dokter yang cukup besar, misalnya ada istilah kelompok dokter “dhuafa” dan dokter “tajir”. Dan, tentang kegelisahan dokter dalam praktik yang sewaktu-waktu dapat diciduk aparat hukum yang tidak lagi melihat aspek inspaning verbintenis (penilaian atas upaya) atas praktik dokter. Warga profesi (anggota IDI, selanjutnya disebut IDI) harus mengadvokasi terciptanya sistem praktik kedokteran yang baik. Sistem praktik kedokteran yang baik diharapkan dapat mengeliminasi pengaruh sistem atau lingkungan sekitar yang buruk. Saat ini, UUPK sebagai satu instrumen untuk menata kesisteman dalam praktik kedokteran yang baik sudah mulai berjalan. Paling tidak dengan UUPK mutu dokter sebagai input dalam sistem praktik kedokteran mulai dibenahi yaitu melalui penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Dokter yang mendapat STR (dengan asumsi mutunya sudah baik), hanyalah salah satu unsur dalam penataan sistem praktik kedokteran. IDI harus mengadvokasi perkembangan unsur-unsur lain secara lebih optimal. Utamanya, unsur pembiayaan dan sistem atau model praktik yang baik. Output sistem praktik kedokteran yang baik adalah dokter dapat melayani masyarakat (melakukan pelayanan 365
Mengadvokasi Sistem Pelayanan Kesehatan/Kedokteran Terpadu kedokteran) secara bermutu. Apabila pelayanan dilakukan dengan bermutu akan berdampak terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Pelayanan kedokteran yang bermutu harus mencerminkan pula semangat “keadilan” bagi dokter. Artinya, dokter yang memberikan pelayanan yang bermutu haruslah tercukupi kesejahteraannya.11 Dengan kesejahteraan yang cukup, dokter dapat berkonsentrasi mengembangkan dan mengabdikan ilmunya, karena pada dasarnya dokter harus terus menerus belajar (melalui pengembangan keprofesian berkelanjutan), yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Asumsi bahwa kalau menjadi dokter pastilah sejahtera, harus dikaji ulang secara baik. Dengan sistem saat ini, hanya dokter yang memiliki “akses tertentu” (dalam hal pendidikan maupun untuk berpraktik), yang dapat mencapai taraf kesejahteraan yang diharapkan. Sistem praktik kedokteran yang baik harus menjamin terciptanya kesejahteraan bagi semua dokter pada setiap level praktiknya, baik pada level layanan primer (dokter praktik umum, “dokter keluarga”), level layanan sekunder (dokter spesialis) maupun level layanan tersier (dokter subspesialis). Untuk terciptanya kesejahteraan dokter, pengaturan standar (a.l. standar kompetensi dan kewenangan, dan standar jasa medik minimal) menjadi satu keharusan. Standar tersebut, sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional yaitu tentang upaya kesehatan perorangan, dalam pelaksanaannya harus juga diikuti dengan “mekanisme rujukan yang baik” antar level pelayanan kedokteran. Dengan demikian, sistem praktik kedokteran yang baik adalah sistem praktik yang: 1. Menjamin kepastian subsistem pembiayaan kedokteran—dengan standar jasa medik dan mekanisme pembayaran—yang akan mengoptimalkan kesejahteraan dokter sesuai harkat dan martabat keprofesiannya melalui sistem pembiayaan kesehatan berbasis asuransi kesehatan sosial nasional; 2. Menjamin mekanisme subsistem rujukan kedokteran berjalan dengan baik yang dapat mendorong dokter secara “harmonis” mengerjakan praktik profesinya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, baik inter maupun intra level jenjang pelayanannya; 3. Menjamin subsistem pendidikan dokter dapat mengatur secara jelas standar pendidikan dan standar kompetensi—”batas batas” kompetensi yang menghasilkan kewenangan dokter—dalam menunjang subsistem rujukan dan subsistem pembiayaan yang akan dikembangkan.5,8,12 Sisyankesdokdu akan Membangun Sistem Kesehatan yang Baik Deskripsi minimal dari sistem kesehatan dapat dikatagorikan dalam dua subsistem, yaitu subsistem pelayanan kesehatan (terdiri atas pelayanan kesehatan 366
masyarakat dan pelayanan kedokteran) serta subsistem pembiayaan kesehatan. 13 Menurut Djojosugito, sistem kesehatan satu negara sangat terkait dengan sistem politik dan ekonomi yang dianut serta “partai” yang berkuasa.14 Sederhananya, terdapat 2 kutub sistem kesehatan, yaitu sistem yang berdasarkan atas kebebasan individu mutlak dengan sistem ekonomi-politik kapitalis-liberalis (Amerika Serikat, sebagai contohnya) dan sistem yang berdasarkan atas kekuasaan sentralistis negara dengan sistem ekonomi-politik sosialiskomunis (Rusia, sebagai contohnya). Umumnya, pelayanan kesehatan di negara penganut liberalisme sangat mementingkan hak individu (baik masyarakat pengguna jasa maupun pemberi jasa). Kualitas pelayanan mengikuti mekanisme pasar. Hanya yang punya uang cukup yang mendapat pelayanan. Kompetisi dalam memberikan pelayanan sangat tinggi. Jaminan pembiayaan diserahkan kepada individu secara pribadi, misal dalam bentuk asuransi komersial (walaupun masih ada tanggung jawab negara untuk kelompok tertentu). Pelayanan kesehatan di negara penganut sosialisme, sifatnya tersentral. Tanggungjawab pelayanan dan pembiayaan diambil alih oleh negara, misal di Nordic Countries.9 Semua masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang sama sesuai standar yang ditetapkan. Penyedia jasa pelayanan dibayar tetap. Bagaimana di Indonesia? Ternyata, beban pembiayaan kesehatan hampir sebagian besar ditanggung langsung masyarakat dalam bentuk pembayaran langsung (out of pocket atau fee for service). Dalam sistem kesehatan, subsistem pembiayaan merupakan faktor penting. Penataan subsistem pembiayaan kesehatan dalam bentuk mobilisasi sumber dana masyarakat, sangat terkait dengan penataan subsistem pelayanan kesehatan (subsistem rujukan). Menata keterpaduan antara subsistem pembiayaan dan subsistem rujukan, ternyata memerlukan pula penataan subsistem pendidikan. Penataan keterpaduan inilah yang akhirnya melahirkan konsep sistem pelayanan kesehatan/kedokteran terpadu atau sisyankesdokdu (Gambar 2).5,8,12
Gambar 2. Sistem Pelayanan Kesehatan/Kedokteran Terpadu 8
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
Mengadvokasi Sistem Pelayanan Kesehatan/Kedokteran Terpadu Melalui sisyankesdokdu akan terjadi penataan sistem pembiayaan berbasis sistem Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM); berbasis “National Social Health Insurance”; berbasis Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dapat mewujudkan kemampuan masyarakat untuk menjangkau pelayanan kesehatan (selanjutnya, dibaca: pelayanan kedokteran) yang bermutu, adil dan merata. Sejalan dengan itu, sistem akan menata subsistem pelayanan kesehatan tingkat pertama agar sesuai dengan prinsip JPKM, yaitu menginisiasi pelayanan kesehatan yang bersifat pra-upaya dengan pembiayaan prabayar (model pelayanannya dijalankan melalui prinsip dokter keluarga). Penutup Sisyankesdokdu adalah—sekali lagi—sebuah sistem yang memadukan tiga subsistem di dalamnya, yaitu: sistem rujukan praktik kedokteran, sistem pembiayaan berdasarkan asuransi kesehatan sosial dan sistem pendidikan yang mengatur kompetensi setiap dokter praktik. Melalui siyankesdokdu, profesionalisme (dalam hal pelayanan kedokteran) akan “tergiring” sendirinya secara alamiah karena adanya kendali mutu dan kendali biaya melalui subsistem pembiayaan kesehatan yang efisien. Konsep pembiayaan pra-upaya dengan perhitungan kapitasi (pada pelayanan kedokteran tingkat pertama) juga akan “mendorong” secara alamiah mutu profesionalisme dokter melalui pendekatan dokter keluarga. Dokter penerima rujukan hanya melayani rujukan yang “seharusnya” sesuai dengan profesi dan kompetensi keilmuan yang dimilikinya. Dengan demikian (dan menjadi harapan seluruh bangsa), sistem
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
tersebut dapat menjaga harkat dan martabat dokter Indonesia jauh lebih baik dibandingkan saat ini. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12.
13. 14.
Bodenheimer TS, Grumbach K. Understanding health policy, a clinical approach. 4th ed. Singapore: Mc Graw Hill; 2005. Pencheon D, Guest C, Melzer D, Muir Gray JA. Oxford handbook of public health practice. 2nd ed. Oxford University Press; 2006. The World Bank Office Jakarta: investing in Indonesia’s health, health expenditure review. 2008. Ikatan Dokter Indonesia: Hasil Mukernas IDI XV Jakarta. 2005. Ikatan Dokter Indonesia: Hasil Muktamar IDI XXVI Semarang. 2006. Ikatan Dokter Indonesia: Term of reference Mukernas IDI XVI Bandung. 2008. Idris, F. Dokter juga manusia, upaya memperbaiki mutu pelayanan kesehatan. Jakarta: PB IDI; 2006. Idris F. Pelayanan kesehatan yang berkeadilan, harapan yang tidak kunjung datang. Pidato Dies Natalis ke-43 Universitas Sriwijaya, Palembang, 2003. Lonnorth K. Public health in private hand. Sweden: Goteborg; 2000. Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Jakarta; 2004. Idris F. IDI sebagai lembaga advokasi anggotanya. Pidato Pengukuhan Ketua Umum PB IDI. 2006. Idris F. Sosok dokter profesional-cendikia dalam visi ideologi ketahanan bangsa. Jurnal Katalis/Edisi khusus kelahiran pancasila dan satu abad Kebangkitanan nasional: 86-96. Azwar A. Pengantar administrasi kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Binarupa Aksara; 1996. Djojosugito MA. Reformasi sistem kesehatan. Semiloka Reformasi Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia; 1998.
SS
367