KECERDASAN ADVERSITAS (Adversity Quotient) MAKALAH Disusun dan Dipresentasikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan dan Pembelajaran
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Nurlaila N.Q.M Tientje, M.Pd
Disusun Oleh :
AJIZ SULAEMAN SITI KHADIJAH SITI RUKIYAH TITIN SUMANTI
NPM NPM NPM NPM
: : : :
072115020 072115046 072115047 072115050
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PAKUAN PROGRAM PASCASARJANA BOGOR 2015
KATA PENGANTAR
Bismilahirahmanirahim, Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, akal, dan pikiran hingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Adapun makalah yang disusun yaitu berjudul “Kecerdasan Adversitas (Adversity Quotient)”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi
Pembelajaran. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas makalah ini. Penulis juga mohon maaf jika ada kesalahan baik dalam segi materi maupun dari segi penulisan. Semoga tugas makalah ini dapat diterima dan dapat bermanfaat, dan mudah-mudahan untuk kedepannya penulis dapat menulis makalah dengan baik dan benar.
Bogor, Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul Kata Pengantar .......................................................................
i
Daftar Isi …………………………………………………………….. ............. ii BAB I. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ................................................
1
B. Rumusan Masalah ........................................................
2
C. Tujuan Penulisan ..........................................................
2
BAB II. Pembahasan A. Definisi Kecerdasan Adversity Quotient ..........................
3
B. Pengertian Adversity Quotient .......................................
5
C. Dimensi Adversity Quotient ...........................................
8
D. Mengembangkan Adversity Quotient ..............................
9
E. Adversity Quotient di Sekolah ........................................
9
F. Ilmu Pengetahuan Pembentuk Adversity Quotient ..........
9
BAB III. Penutup A. Kesimpulan .................................................................. Daftar Pustaka
12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Adversity quotient merupakan bentuk kecerdasan yang melatar belakangi
kesuksesan
seseorang
dalam
menghadapi
sebuah
tantangan disaat terjadi kesulitan atau kegagalan. Penelitian tentang
adversity quotient
ini, dikembangkan berawal dari keberagaman
dunia kerja yang cukup kompleks dengan persaingan yang cukup tinggi, sehingga banyak individu merasa stres menghadapinya. Individu yang mengalami hal tersebut di karenakan kendali diri, asal usul dan pengakuan diri, jangkauan, serta daya tahan yang kurang kuat dalam menghadapi kesulitan dan permasalahan yang dirasa cukup sulit dalam hidupnya, biasanya berakhir dengan kegagalan sehingga menjadi individu yang tidak kreatif dan kurang produktif. Berdasarkan pada hal di atas, performansi adversity quotient sebagai kecerdasan yang melatarbelakangi kesuksesan dalam menghadapi tantangan setelah terjadi kegagalan, mulai banyak digali dan di teliti khususnya dalam dunia pendidikan saat ini, banyak para ahli dan pakar pendidikan saat ini mencari dan mencoba mengembangkan pentingnya adversity quotient pada peserta didik sebagai calon individu yang di harapkan menjadi SDM yang tetap kuat berkualitas dan tetap berprestasi dalam bidangnya di masa depan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mencoba meneliti dan mendeskripsikan tentang adversity quotient.
1
B. Rumusan Masalah Pada makalah ini penulis merumuskan masalah pada hal-hal sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan adversitas (adversity
quotitient) ? 2. Ada berapa kelompok dan ada berapa bentuk kecerdasan adversitas (adversity quotitient) ? 3. Bagaimana kecerdasan adversitas (adversity quotitient) menjadi tolak ukur kesuksesan?
C. Tujuan Penulisan Beberapa tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mangetahui
pengertian
kecerdasan
adversitas
(adversity
quotitient). 2. Mengetahui kelompok dan bentuk-bentukkecerdasan adversitas (adversity quotitient) 3. Mengetahui
bagaimana
kecerdasan
adversitas
(adversity
quotitient) menjadi tolak ukur kesuksesan.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI KECERDASAN ADVERSITY (ADVERSITY QUOTIENT) Secara umum, kecerdasan dapat dipahami pada dua tingkat. Pertama, kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Kedua, kecerdasan sebagai sebuah kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah
yang dihadapi oleh
seseorang dapat segera
dipecahkan (problem solved), dan dengan demikian pengetahuan pun menjadi bertambah.1 Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat dipahami dengan mudah bahwa kecerdasan merupakan pemandu (guide) bagi individu untuk mencapai berbagai sasaran dalam hidup yang dijalaninya secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas, akan mampu memilih strategi-strategi pencapaian sasaran yang jauh lebih baik daripada orang yang kurang cerdas. Artinya, orang cerdas sepantasnya lebih sukses dibanding orang yang kurang cerdas. Konsep tentang kecerdasan adversity atau adversity intelligence (AI) dibangun berdasarkan hasil studi empirik yang dilakukan oleh banyak ilmuwan serta lebih dari lima ratus kajian di seluruh dunia, dengan memanfaatkan tiga disiplin ilmu pengetahuan, yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi,
dan
neurofisiologi.
Kecerdasan
adversity
memasukkan dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan aplikasinya dalam dunia nyata. Konsep kecerdasan adversity pertama kali digagas oleh Paul G. Stoltz.
1
M Ronie Dani, 2006,”The power of Emotional & Adversity Quotient For Teacher”. PT. Mizan Publika, Jakarta Selatan.
3
Pengertian kecerdasan adversity tertuang ke dalam tiga bentuk, yaitu: pertama,
kecerdasan
adversity
sebagai
suatu
kerangka
kerja
konseptual yang baru yang digunakan untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, kecerdasan adversity sebagai suatu ukuran untuk mengetahui reaksi seseorang terhadap kesulitan yang dihadapinya. Ketiga, kecerdasan adversity sebagai seperangkat
peralatan
yang
memiliki
landasan
ilmiah
untuk
merekonstruksi reaksi terhadap kesulitan hidup.2 Agar kesuksesan menjadi nyata, maka kombinasi dari ketiga unsur tersebut yaitu pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses. Secara
garis
besar
konsep
kecerdasan
adversity
menawarkan
beberapa manfaat yang dapat diperoleh, yaitu: 1. Kecerdasan adversity merupakan indikasi atau petunjuk tentang seberapa tabah seseorang dalam menghadapi sebuah kemalangan 2. Kecerdasan adversity memperkirakan tentang seberapa besar kapabilitas seseorang dalam menghadapi setiap kesulitan hidup dan ketidakmampuannya dalam menghadapi kesulitan 3. Kecerdasan adversity memperkirakan siapa yang dapat melampaui harapan, kinerja, serta potensinya, dan siapa yang tidak 4. Kecerdasan adversity dapat memperkirakan siapa yang putus asa dalam menghadapi kesulitan dan siapa yang akan bertahan Orang yang mengubah kegagalannya menjadi batu loncatan mampu memandang kekeliruan atau pengalaman negatifnya sebagai bagian dari hidupnya, belajar darinya dan kemudian maju terus.
2
Stoltz, P.G 2000. Keperawatan Jiwa. Edisi-5. Jakarta. EGC Suara Pembaruan. 2006. Kecerdasan
4
B. PENGERTIAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ) AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor
yang
dapat
menentukan
bagaimana,
jadi
atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia,” Menurut Stoltz, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan
cita-citanya dibandingkan
orang yang AQ-nya lebih rendah. Untuk memberikan gambaran, terminologi para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:3 a.
Quitter adalah para pekerja yang
sekadar untuk bertahan
hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan. Menolak untuk mendaki lebih tinggi Lagi Gaya hidupnya tidak menyenangkan atau datar dan tidak “lengkap” Bekerja sekedar cukup untuk hidup cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen yang sesungguhnya jarang sekali memiliki persahabatan yang sejati dalam menghadapi perubahan mereka cenderung melawan atau lari dan cenderung menolak dan menyabot perubahan terampil dalam menggunakan kata-kata
yang
sifatnya
membatasi,
seperti
“tidak
mau”,
“mustahil”, ini konyol” dan sebagainya. Kemampuannya kecil atau bahkan tidak ada sama sekali; mereka tidak memiliki visi dan keyakinan akan masa depan, konribusinya sangat kecil. b.
Camper (berkemah di tengah perjalanan) Para
camper lebih
baik, karena biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau“segini juga udah cukup” adalah moto 3
Stoltz. G poul. Adversity Quotient.2000. Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta.Grasindo
para
campers.
Orang-orang
ini
sekurang-kurangnya
sudah
merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters.
Sayangnya
banyak
potensi
diri
yang
tidak
teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai.
Mereka mau untuk mendaki, meskipun akan “berhenti”
di pos tertentu, dan merasa cukup sampai disitu
Mereka cukup
puas telah mencapai suatu tahapan tertentu (satisficer) Masih memiliki sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha. Mengorbankan
kemampuan
individunya
untuk
mendapatkan
kepuasan, dan mampu membina hubungan dengan para camper lainnya. Menahan diri terhadap perubahan, meskipun kadang tidak menyukai perubahan besar karena mereka merasa nyaman dengan kondisi yang ada Mereka menggunakan bahasa dan katakata yang kompromistis,misalnya, “ini cukup bagus”, atau “kita cukuplah sampai di sini saja”. Prestasi mereka tidak tinggi, dan kontribusinya tidak besar juga. Meskipun telah melalui berbagai rintangan, namun mereka akan berhenti juga pada suatu tempat dan mereka “berkemah” di situ.
c.
Climber yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan
menuntaskan pekerjaannya. Mereka
mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu
bahwa
akan
banyak
rintangan
dan
kesulitan
yang
menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” Mereka membaktikan dirinya untuk terus “mendaki”, mereka adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan Hidupnya “lengkap” karena telah melewati dan mengalami semua tahapan sebelumnya. Mereka menyadari bahwa akan banyak imbalan yang diperoleh dalam
5
jangka panjang melalui “langkah-langkah kecil” yang sedang dilewatinya Menyambut baik tantangan, memotivasi diri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik dalam hidup; mereka cenderung membuat segala sesuatu terwujud Tidak takut menjelajahi potensi-potensi tanpa batas yang ada di antara dua manusia; memahami dan menyambut baik risiko menyakitkan yang ditimbulkan karena bersedia menerima kritik Menyambut baik setiap perubahan, bahkan ikut mendorong setiap perubahan tersebut ke arah yang positif Bahasa yang digunakan adalah bahasa dan kata-kata yang penuh dengan kemungkinankemungkinan; mereka berbicara tentang apa yang bisa dikerjakan dan cara mengerjakannya; mereka berbicara tentang tindakan, dan tidak sabar dengan kata-kata yang tidak didukung dengan perbuatan Memberikan kontribusi yang cukup besar karena bisa mewujudkan potensi yang ada pada dirinya Mereka tidak asing dengan situasi yang sulit karena kesulitan merupakan bagian dari hidup Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan
quitter . jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar
(Thomas Alfa Edison) itu menjadi salah satu contoh ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ
memang
(emotional
tidak quotient)
sepopuler milik
kecerdasan Daniel
emosi Goleman,
kecerdasan finansial (financial quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey.AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan
tertentu,
setiap orang bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQnya.
6
Para climber, setidaknya ada tujuh kapasitas yang dibutuhkan untuk mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, yaitu: 1. Para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak pernah jemu untuk terus mencoba karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi 2. Para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sesuatu yang nisbi sifatnya 3. Para
peraih
prestasi
memandang
kegagalan-kegagalan
sebagai insiden-insiden tersendiri 4. Para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistis 5. Para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatankekuatannya 6. Para peraih prestasi menggunakan multi pendekatan dalam meraih prestasi 7. Para peraih prestasi mudah bangkit kembali. Beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi,
mengambil
risiko,
ketekunan,
belajar,
merangkul
perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan. Untuk menciptakan perubahan dalam hidup seseorang harus bertekad untuk terus mendaki melawan rintangan. Untuk itu individu harus mampu mengembangkan kecerdasan adversity yang tinggi dan mengenali tiga tahap adversity yang disusun dengan model piramid mulai dari dasar sebagai berikut :
7
Siswa Masyarakat
Cita-cita
Tempat kerja
Masa depan berprestasi
Individu Aktifitas di sekolah dan (masyarakat)
(Gambar.1) Piramida tingkat kesulitan (AQ) Adversity Quotient individu
(Gambar.2) Piramida tingkat kesulitan (AQ)
Adversity quotient pada siswa Akselerasi)
Model bentuk piramida ini di mulai dari bawah kemudian naik ke atas, model ini dimulai dari puncak kemudian turun ke individu. Dengan cara tersebut menggambarkan dua efek. Pertama, model ini menggambarkan menumpuknya kesulitan di masyarakat, di tempat kerja, dan kesulitan individu, yang di hadapi oleh setiap individu sepanjang perjalanan hidup yang penuh dengan kesulitan, karena kesulitan di sini ada di mana-mana, nyata, dan tidak dapat dihindari. Namun kesulitan tersebut tidak perlu sampai menghancurkan semangat hidup individu tersebut. C. DIMENSI ADVERSITY QUOTIENT (AQ) Dimensi AQ dapat diringkas dalam kata CO2RE yaitu:
C adalah Control, seberapa besar control yang Anda rasakan saat Anda dihadapkan pada persoalan yang sulit, bermusuhan dan berlawanan?
O2 adalah Origin dan Ownership. Siapa atau apa yang menjadi asal muasal suatu kesulitan? Dan sejauh mana Anda berperan memunculkan kesulitan?
R adalah Reach. Seberapa jauh suatu kesulitan akan merembes ke wilayah kehidupan Anda yang lain?
8
E adalah Endurance. Berapa lama kesulitan akan berlangsung? Berapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung?
D. MENGEMBANGKAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ) Cara mengembangkan dan menerapkan AQ dapat diringkas dalam kata LEAD yaitu:4 L
adalah Listened yang salah
E
adalah Explored (gali) asal dan peran Anda dalam persoalan ini
A
adalah Analized (analisalah) fakta-fakta dan temukan beberapa factor yang mendukung Anda
D
adalah Do (lakukan) sesuatu tindakan nyata.
(dengar) respon Anda dan temukan sesuatu
E. ADVERSITY QUOTIENT DI SEKOLAH Paul Stoltz dalam bukunya menulis, adversity Quotient di dunia pendidikan akan membuat guru memiliki dan mengembangkan daya tahan dan keuletan dalam hal menyampaikan pengetahuan yang bermakna dan bertujuan. Sungguh seorang guru dengan kecerdasan adversitas yang teruji akan mampu menghadapi segala dinamika yang terjadi dengan arifnya, tidak hanya dinamika di profesinya, bahkan juga dalam kehidupan pribadi. Ini pada gilirannya akan menjadi „virus‟ yang menulari dan mengukir karakter para pembelajarannya F. ILMU PENGETAHUAN PEMBENTUK AQ Istilah AQ (Adversity Quotient) ini dipopulerkan oleh Poul Stoltz1, dalam
bukunya
yang
berjudul
Adversity
Quotient
Mengubah
Hambatan Menjadi Peluang, buku tersebut di susun berdasarkan 4
Ir.Agus Nggermanto, 2001,”Quantum Quetient (kecerdasan Quantum) Cara praktik melejitkan IQ,EQ dan SQ yang harmonis” . PT.Nuansa, Bandung.
9
pengalamanya terjun di dunia kerja dan menjadi konsultan di dunia pendidikan selama beberapa tahun. Dengan memanfaatkan tiga cabang Ilmu Pengetahuan.5 a.
Psikoneuroimunologi Penelitian
akhir-akhir
ini
di
bidang
psikoneuroimunologi
membuktikan bahwa ada kaitan langsung dan dapat diukur antara apa yang seseorang pikirkan dan rasakan dengan apa yang terjadi di dalam tubuh orang tersebut b.
Neurofisiologi Menurut Dr. Mark Nuwer, kepala neurofisiologi di UCLA Medical Centers dalam Stoltz (2000:109), mengatakan bahwa proses belajar berlangsung di wilayah sadar bagian luar yaitu cerebral cortex. Lama kelamaan jika pola pikiran atau perilaku tersebut diulang maka kegiatannya akan berpindah ke wilayah otak bawah sadar yang bersifat otomatis, yaitu basal ganglia. Jadi, semakin sering seseorang mengulangi pikiran atau tindakan yang destruktif, maka pikiran atau tindakan itu juga akan semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis. Begitu pun sebaliknya, semakin sering seseorang mengulangi pikiran atau tindakan yang konstruktif, maka pikiran atau tindakan itu juga akan semakin dalam, cepat, dan otomatis. Untuk merubah kebiasaan yang buruk atau destruktif, misalnya AQ rendah, maka seseorang harus mulai di wilayah sadar otak dan memulai jalur saraf baru. Perubahan dapat bersifat segera, dan pola-pola lama yang destruktif akan beratrofi dan lenyap karena tidak digunakan
5
Stoltz. G poul. Adversity Quotient.2000. Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta.Grasindo
10
c.
Psikologi Kognitif Bagian yang membahas tentang teori ketidakberdayaan yang dipelajari, atribusi, kemampuan menghadapi kesulitan, keuletan, dan efektifitas diri/pengendalian
11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor
yang dapat menentukan bagaimana, jadi
atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia. Menurut Stoltz, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah. Ada tiga kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu: low-AQ dinamakan Quitters, kelompok yang melarikan diri dari tantangan AQ sedang/moderat dinamakan Campers high-AQ dinamakan Climbers, kelompok yang suka mencari tantangan AQ mempunyai tiga bentuk
yaitu (1) AQ sebagai suatu kerangka
kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua jenis kesuksesan, (2) merupakan suatu ukuran untuk mengetahui
respon
terhadap
kesulitan,
dan
(3)
merupakan
serangkaian peralatan dasar yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan. Agar kesuksesan menjadi nyata maka gabungan dari ketiga unsur di atas yaitu pengetahuan baru, tolak ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar meraih sukses.
12
DAFTAR PUSTAKA
M Ronie Dani, 2006,”The power of Emotional & Adversity Quotient For Teacher”. PT. Mizan Publika, Jakarta Selatan.
Stoltz, P.G 2000. Keperawatan Jiwa. Edisi-5. Jakarta. EGC Suara Pembaruan. 2006. Kecerdasan
Stoltz. G poul. Adversity Quotient.2000. Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta.Grasindo
Ir.Agus Nggermanto, 2001,”Quantum Quetient (kecerdasan Quantum) Cara praktik melejitkan IQ,EQ dan SQ yang harmonis” . PT.Nuansa, Bandung.