EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
KECENDERUNGAN “SPLIT’ ANTARA SIKAP DAN PERILAKU PEDULI LINGKUNGAN DI KALANGAN USAHA KECIL *) Edy Siswoyo 1. Pe ndahuluan. Melalui situsnya, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (MNLH) menginformasikan
adanya usaha kecil dan agro industri yang “potensial” mencemari lingkungan, sebagai berikut ini
Tabe l 1. Data Usaha Kecil dan Agroindustri Yang Pote nsial Mence mari Lingkungan Propinsi
Unit Usaha
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogy akarta Jawa Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Ten gah Kalimantan Barat Lampung Sumatera Selatan Bengku lu Jambi Sumatera B arat Riau Sumatera Utara Nangro Aceh Darussalam Bangka Belitung Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
Juml ah
111 525 5115 8543 2624 1665 198 2550 636 375 792 76 108 974 4373 220 292 145 43 219 313 440 629 19224 824 1309 665
Tahun Pendataan Ole h Instansi Daerah
Tahun Data Diterima oleh MNLH
1988 1988 1988 2000 1999 1999 2000 2001 1999/2000 2002 2000 2000 2000 2002 2001 2000 2000 2000 2000
2002 2002 2002 2002 2002 2002 2003 2003 2003 /2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003
2002
2003
2002 2002 2001 2000 2000
2003 2003 2003 2003
52988
Sumber: Diolah dari Data Usaha Kecil dan Agroindustri Yang Potensial Mencemari Lingkungan, Urusan Pengelolaan Limbah Usaha Kecil, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, http://www.mn lh.go.id/usaha-kecil/
*) Makalah disajikan pada Seminar Telaah Hasil Penelitian Progra m Do ktor Sosiologi dan Kebijakan Sosial FISIP Universitas Indonesia, Se lasa, 19 April 2005
2
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Belakangan ini disadari bahwa tingkat keanekaragaman limbah yang sering menimbulkan keresahan masyarakat adalah bukan saja berasal dari usaha skala besar tetapi juga berasal dari industri rumah tangga/usaha kecil. Akibat akumulasinya , limbah yang masuk ke lingkungan akan berakibat menurunnya kualitas lingkungan. Untuk mengantisipasi hal tersebut Asdep Urusan Limbah Usaha Kecil telah menye lenggarakan beberapa kegiatan, baik yang berupa rapat-rapat koordinasi, diskusidiskusi maupun penyuluhan-penyuluhan teknis di berbagai daerah yang me libatkan para pejabat setempat, para pelaku usaha kecil, tokoh masyarakat dan juga perguruan tinggi setempat. Kegiatan-kegiatan itu masih berlangsung sampai saat tulisan ini disajikan1. HM Tamzil2 dalam pengalamannya sebagai seorang Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten Tingkat II Semarang, menunjukkan sedikitnya ada dua faktor penting yang ditempatkan sebagai tantangan dalam proses memelihara kelestarian lingkungan. Faktor pertama, pesatnya peningkatan jumlah penduduk. Hampir di semua belahan bumi ini populasi makin padat. Ini menambah beban bagi lingkungan, karena daya dukung sumber alam semakin tidak seimbang dengan laju tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. Lingkungan tidak pernah berhenti dieksploitasi dengan berbagai macam cara dan argumentasi. Faktor kedua, perkembangan industri. Sektor yang dibanggakan karena dianggap sangat andal dalam menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan ekonomi ini, ternyata harus dibayar amat mahal karena keterkaitan dengan dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Pesatnya perkembangan industri memberi andil besar bagi pencemaran lingkungan, fisik dan biologi. Persoalan lingkungan terutama yang disebabkan oleh industri belum dapat diatasi secara tuntas. Beberapa alasan sering dikemukakan oleh pemerintah, yakni persoalanpersoalan yang berka itan dengan lingkungan tidak bisa sekadar ditinjau dari faktor pencemaran, melainkan ada pertimbangan faktor la in seperti kesempatan kerja, investasi, dan kepentingan politis. Alasan ini terutama disampa ikan oleh daerah yang struktur industrinya didominasi oleh home industry, sehingga persoalan pengolahan limbah,
misa lnya , menjadi persoalan yang relatif sulit dituntaskan. Dalam konteks ini, lanjut Tamzil, pemerintah setempat biasanya menegaskan bahwa setiap industri harus mempunyai pengolahan limbah. Namun di sisi la in pengolahan limbah home industry tidaklah sederhana, karena terkait erat dengan masalah permodalan. Moda l produksi sudah relatif kecil, belum lagi bila terdapat kendala seperti ketersediaan bahan, lahan, dan tenaga. Seandainya pemerintah setempat bersikeras memaksakan aturan, semua home industry dikhawatirkan gulung tikar, dan dampaknya bisa menjadi lebih panjang. Ini menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah. Disampaikan juga bahwa persoalan limbah juga terjadi pada industri kategori sedang dan besar. Kelemahan yang sering terjadi karena industri sedang dan besar terkadang tidak menghitung biaya untuk pengolahan limbah dalam satuan cost production atau internal cost, sehingga cukup menyulitkan ketika diberlakukan kebijakan untuk membangun unit pengolahan limbah sendiri bagi industri sedang dan besar. Tersirat dari tulisan Tamzil tersebut adalah adanya faktor selanjutnya dari kemerosotan lingkungan, ya itu be lum adanya sistem dan mekanisme bersama yang efisien dan terpadu dalam penanganan limbah industri, dan faktor kesadaran masyarakat yang cenderung kurang peduli pada lingkungan. Pejabat negara era Orde Baru Radius Prawiro mengakui bahwa dalam mempromosikan pembangunan, pemerintah cenderung berkonsentrasi kepada lapangan kerja, prasarana, dan produksi barang dan jasa. Salah satu produk sampingan yang buruk dari pembangunan ekonomi ada lah polusi. Dalam masyarakat pedesaan dengan penduduk sedikit, polusi bisa dikatakan tidak ada. Dengan bertambahnya penduduk dan konsumsi, potensi polusi meningkat. Dalam masyarakat Indonesia yang modern, lingkungan terkontaminasi— terutama dalam bentuk polusi udara, air, dan polusi dari sampah industri dan manusia, sampah padat, seperti kemasan produk—telah menjadi masalah bahkan sampai ke desa-desa. Situasi ini telah menjadi semakin runyam dengan pesatnya urbanisasi dan industrialisasi di Indonesia.
INSANI No. 9./Th.XXIII/ Juli/ 2005
3
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Pada awal perkembangan Orde Baru, pemerintah menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan negara, dan oleh karena itu dibentuk lembaga untuk memberikan perhatian kepada masalah-masalah lingkungan hidup. Lembaga ini mempunya i peranan penting dalam mengelola dampak industrialisasi terhadap Indonesia, namun la ju pembangunan sudah sedemikian pesatnya sehingga tidak mungkin untuk menghindari dampak buruknya terhadap lingkungan. Kombinasi peningkatan penduduk dan peningkatan konsumsi yang menyertai pertumbuhan kekayaan berimplikasi bahwa tekanan terhadap lingkungan akan meningkat. Wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi, seperti Jawa dan Bali, menghadapi tantangan yang paling besar. Untungnya situasi ini tidaklah tanpa harapan. Kalau para perencana pembangunan bisa mempercepat proses pembangunan dengan mengikuti kebijakan-kebijakan yang tepat, maka prinsip yang sama bisa diterapkan terhadap pengelolaan lingkungan. Negara-negara sedang berkembang perlu memperhatikan bahwa kurang dari 40 tahun la lu, negara-negara industri yang paling ma ju merupakan polutan dunia terbesar. Baru pada tahun 1970-an environmenta lisme di seluruh dunia menjadi fokus kekhawatiran yang serius dan didukung dengan peraturan pemerintah yang berat. Pada perempat terakhir abad ini, kema juan yang dicapai di banyak negara-negara industri besar sekali. Bagi Indonesia, problem yang dihadapi adalah bagaimana meme lihara standar lingkungan yang tinggi tanpa mengorbankan pembangunan ekonomi. Proteksi lingkungan bisa menjadi beban berat bagi bisnis. Pada pihak la in, masyarakat harus membayar maha l karena standar lingkungan yang rendah dalam bentuk masalah kesehatan dan hilangnya produktivitas. Dengan semakin majunya pembangunan ekonomi Indonesia, pemerintah harus mencari cara baru yang lebih efisien untuk mengamankan lingkungan tanpa mengorbankan pembangunan. Dukungan bisnis dan masyarakat umum diperlukan agar usaha ini dapat berhasil3 . Dukungan dari masyarakat bisnis terutama untuk bisnis ska la besar sudah cukup banyak dipersoalkan, dan juga ditunjukkan. Dengan kata
4
la in, usaha skala besar cenderung lebih mampu mengatasi tuntutan ramah lingkungan jika dibandingkan dengan usaha kecil dan terlebih mikro. Bagaimana sesungguhnya response para pelaku usaha kecil terhadap tuntutan untuk ramah lingkungan, yang menurut wacana di atas mereka adalah potensial mencemari lingkungan? Apa yang harus dilakukan bagi usaha kecil itu agar tujuan ekonomi mereka sejalan dan tetap sejalan dengan tuntutan lingkungan? Di Indonesia, berbaga i wacana dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut juga sudah cukup banyak; namun hanya sebatas wacana, studi empiris sulit ditemukan. Karena itu yang lebih utama menurut hemat penulis adalah perlunya studi yang sistematis dengan mempergunakan kerangka pemikiran atau kerangka teori yang relevan dan researchable serta metodologi yang mampu menghasilkan data empiris yang akurat, yang pada akhirnya dapat mengarahkan solusi yang lebih tepat bagi permasalahan dilemma ekonomi dan lingkungan khusus bagi usaha kecil itu. Konstruk mengenai hubungan antara pembangunan atau ekonomi dengan lingkungan, dan lebih abstrak lagi adalah hubungan antara masyarakat dan alam, telah banyak dirakit oleh para ahli dan dapat digambarkan kira-kira sebagaimana tampak pada Diagram 1. Permasalahan lingkungan sebagai dampak pembangunan khususnya pembangunan ekonomi, bukan hanya dihadapi oleh Indonesia, tetapi sudah menjadi permasalahan global. Memang, kerusakan lingkungan yang terjadi sepanjang sejarah manusia adalah bersifat local dan tetap saja lebih kec il jika dibandingkan dengan besarnya bumi, dan bumi masih sa ja bergerak dan hidup. Akan tetapi sesudah meledaknya bom Atom tahun 1944 dan kemudian disusul dengan bom Hydrogen, kerusakan yang terjadi sudah bukan bersifat loca l lagi4 . Lebih-lebih semakin berkembangnya teknologi nuklir dan uranium, topik mengenai sustainabilitas pembangunan demi ke lestarian lingkungan dan kelestarian bumi serta demi kesejahteraan umat manusia mulai diperhatikan, dikaji dan dipublikasi oleh banyak kalangan, termasuk sosiologi.
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
NATURE
SOCIETY
ENVIRONMENT
ECONOMY/DEVELOPMENT
SMALL BUSINESS
LOCAL ENVIRONMENT
Diagram 1. Ske ma Asumsi Dasar 1 Kegiatan ekonomi merupakan bidang kajian yang tidak asing bagi sosiologi, mela lui apa yang kita kenal dengan Sosiologi Perekonomian5 , yang didalamnya mencakup kajian mengena i hubungan antara ekonomi dan lingkungan 6 . Secara lebih khusus ka jian ekonomi dan lingkungan dibahas tersendiri di dalam Sosiologi Lingkungan7 . Dalam ka jiankajian itu kita dapat menemukan dua perspektif besar, yaitu perspektif optimis yang berparadigma order dan perspektif pesimis yang berparadigma konflik. Kedua perspektif itu melihat bahwa memang ada gap antara ekonomi dan lingkungan. Namun demikian perspektif optimis cenderung melihat bahwa gap tersebut dapat diatasi, misalnya dengan konsep sustainable development atau ecological modernization. Di pihak lawan, perspektif pesimis cenderung menganggap bahwa kegiatan ekonomi, khususnya melalui kapita lisme, bagaimanapun cenderung merusak lingkungan dan cenderung menc iptakan masyarakat berisiko atau lebih dikena l dengan risk society. Perspektif pesimis cenderung menganggap bahwa sustainable development dan ecological modernization adalah isapan jempol be laka. Di tengah maraknya wacana dan kenyataan empiris mengenai kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekonomi, penulis tetaplah berpihak pada perspektif optimis bahwa masih ada waktu dan ja lan untuk melakukan social re-organization khususnya menuju kegiatan usaha kecil yang ramah lingkungan dengan mempertimbangkan kondisi internal maupun eksternal usaha kecil sebagaimana dideskripsikan pada paragraf 3. Social re-
organization macam apa yang diperlukan toward environmentaly small business? Why and How? Itulah pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam naskah ini. 2. Bebe rapa pe nelitian empirik. Judith Petts, Andrew Herd and Mary O’heocha (1998)8 melaporkan hasil pene litiannya yang bermaksud mengeksplorasi links antara perilaku lapisan manajemen dan non-manajemen terhadap lingkungan dan response secara organisasi di ka langan SME. Subyek penelitian adalah usaha kecil (10-49 pekerja) dan menengah (50-249) pekerja. Kelompok usaha mikro tidak diteliti karena potensi polusinya sulit diidentifikasi. Untuk mengatasi masalah akibat terlalu hetrogennya SME, pene liti mempergunakan multiple methods. Laporan ini mengidentifikasi lingkup dan cara dimana sik ap pribadi dapat dipicu untuk memotivasi, mengaktifkan dan membantu mengoperasionalkan respon perusahaan terhadap lingkungan. Dalam laporan ini ditunjukkan adanya sikap positif yang kuat terhadap lingkungan pada pribadi-pribadi. Pada perusahaan-perusahaan yang lebih proaktif, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya elemenelemen pembelajaran organisasional yang dapat membantu mengejawantahkan sikap menjadi perilaku yang efektif; dalam hal ini termasuk struktur manajemen yang mendukung, pelatihan dan komunkasi dua arah dan adanya tokohtokoh champion di dalam perusahaan; di samping adanya keterbatasan-keterbatasan perusahaan. Hasil pene litian juga menunjukkan bahwa tidak semua perusahaan dapat melakukan
INSANI No. 9./Th.XXIII/ Juli/ 2005
5
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
apresiasi tersebut sehubungan dengan hambatan struktural internal maupun keterbatasam
kemampuan perusahaan dalam sumber-sumber yang relevan.
Corp orate Organizational Learnin g
Individual Environmental Attitude
mengakses
Internal and External Corporate Relevant Resources
Socio-d emograp hic characteristic Behavioral Corp orate Environmental Resp onse
Individual Environmental Behavior
Diagram 2. Visualisasi Hasil Pene litian Judith Pe tts dkk (1998)
Fiona (1999) 9 melakukan penelitian yang bermaksud mencari pengertian dan makna dari sikap dan perilaku usaha kecil terhadap lingkungan. Dengan teknik penelitian kua litatif, data dikumpulkan mela lui wawancara mendalam terhadap 60 usaha kecil bidang jasa dan perbengkelan di kota Leeds, West Yokshire. Hasil yang diperoleh menyimpulkan bahwa usaha kecil menghadapi kesulitan serius dalam merespon tekanan-tekanan lingkungan. Sehubungan dengan karaktersitik uniknya, usaha kecil tidak dapat diharapkan ikut menerapkan solusi sebagaimana te lah dikembangkan untuk dan oleh usaha yang lebih besar, sekalipun skalanya telah diturunkan. Diindikasikan bahwa pemilik/manager tertentu dari manufaktur dan usaha kecil perlu berjuang untuk menjembatani gap antara attitude terhadap lingkungan dan behavior terhadap lingkungan; gap antara aspirasi dan praktek . Sebagian masalahnya
6
terletak pada dominannya paradigma lama yang menciptakan seperangkat nilai, ba ik pribadi maupun korporat, yang tidak mampu mengakomodasi persoalan-persoalan lingkungan dewasa ini. Akan tetapi hal tersebut tidak perlu membuat kita pesimis. Ada beberapa kekuatan pendorong yang diharapkan dapat merubah usaha kecil ke arah yang lebih susta inable. Sejumlah solusi muncul dan menawarkan jalan keluar pada level perusahaan, misalnya ekologi industri, atau pada leve l institusional, misalnya modernisasi ekologi. Akan tetapi yang masih perlu adalah dukungan yang lebih bagi pendidikan lingkungan dan program-program pelatihan serta kerangka regulasi yang lebih kuat dalam rangka mengatasi ketidakseimbangan anta factor-faktor resistan dan faktor-faktor pendorong yang dewasa ini memperlebar gap antara sikap dan perilaku lingkungan di kalangan usaha kecil.
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Individual Environmental Attitude
Ecological modernization and Regulation
Training and education p rogram
Paradigm, values, eco-literacy , economic barrier, inad equate institutional infrastructure, limited business supp ort Behavioral Corp orate Environmental Resp onse
Individual Environmental Behavior
Diagram 3. Visualisasi Hasil Pene litian Tile y Fiona (1999) Michael T. Rock dan Jean Aden (1999) melaporkan hasil survainya terhadap industriindustri manufaktur di Semarang10 . Survai dilakukan terhadap 121 industri menengah dan besar yang paling potensia l mencemari lingkungan, yaitu industri kimia , industri pengolahan makanan dan minuman, industri tekstil dan industri la innya terutama industri pemoresan kayu. Pengujian hipotesis mempergunakan analisis regresi. Kesimpulan yang dihasilkan ada lah bahwa perilaku untuk ramah lingkungan pada industri-industri Plant Size Age of plant Gov. Monitoring/Warning Co mmunity Pressure Fiscal and Finance Incentives
manufaktur di Semarang berhubungan signifikan dengan besarnya perusahaan, umur perusahaan, teguran dan monitoring dari pemerintah, tekanan dari masyarakat sekitar, dan keringanan fiscal serta kemampuan finansial perusahaan. Sedangkan mengenai berapa besarnya pengeluaran perusahaan untuk penggunaan peralatan pengendali polusi, lebih tergantung dari sector atau produk yang dihasilkan perusahaan. Industri kimia pada umumnya memiliki peralatan pengenda li polusi yang memerlukan biaya tinggi.
Plants sector Plants Environmental Behavior
Diagram 4. Visualisasi Hasil Pene litian Michae l T. Rock dan Je an Aden (1999) Martin Linde ll dan Necmi Karagozoglu (2001) 11 meneliti dan membandingkan opini para manager di negara-negara Nordic dan Amerika Serikat mengena i persoalan-persoalan lingkungan. 645 kuesioner dikirimkan kepada para manager senior terutama pada perusahaanperusahaan kehutanan dan kertas, eletronika, telekomunikasi dan percetakan. Dilaporkan response rate hanya sebesar 26 %, meliputi usaha kecil dengan kurang dari 50 pekerja
sampai ke perusahaan yang lebih besar dengan 10.000 pekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan alasan wak tu yang tersedia untuk penyesuaian dirasakan sangat pendek, maka para manager perusahaan di Amerika Serikat cenderung lebih luwes dalam mentaati peraturan perundangan lingkungan jika dibandingkan dengan para menager Nordic. Menurut pandangan para manajer Amerika , di samping terlalu ketat peraturan perundangan lingkungan
INSANI No. 9./Th.XXIII/ Juli/ 2005
7
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
di Amerika Serikat kurang memberikan dukungan terhadap adaptasi yang kreatif. Mengenai pro-activeness dan inovasi lingkungan, adalah tidak ada perbedaan antara manager AS dan Nordic. Akan tetapi para manager AS melaporkan kurangnya tenaga terlatih di perusahaannya. Mengenai Owners’ investment behavior Government p olicy
Management environment orientation (attitudes, values)
Resources: cap ital, -skilled labor, materials
Innovative actions in resp onse to environmental p roblems
environmental actions, baik manager di AS maupun di Nordic mengaku siap me lebihi kompetitornya. Akan tetapi para manager Nordic cenderung lebih bersikap poisitf terhadap competitive effects dan manfaat environmental measures.
Customer values and demands, Business opp ortunity
Comp etitive advantages
Performance
Diagram 5. Visualisasi Hasil Penelitian Martin Linde ll dan Necmi Karagozoglu (2001) Schaper (2002)12 melakukan studi yang bertujuan untuk menetapkan factor-faktor dapat memprediksi tingkat tanggungjawab lingkungan dari perilaku bisnis di kalangan UKM. Variabelvariabel yang diuji meliputi sikap mengenai lingkungan dari para pemilik/manajer, karakteristik demografik pemilik, dan variablevariabel eksternal seperti permintaan konsumen, ketersediaan modal, besarnya usaha, waktu dan sumber-informasi. Pengujian dilakukan terhadap 154 pemilik/manajer toko obat di Australia
Barat. Hasilnya menunjukkan tingginya “green” attitudes di kalangan pemilik/manajer usaha, tetapi tidak ada hubungan signifikan antara sikap tersebut dengan k inerja actual dari usaha tersebut. Karaktersitik demografis pemilik/mana jer juga tidak berhubungan dengan tingkat kinerja lingkungan. “Green” activities tampaknya berhubungan positif signifikan dengan waktu dan informasi yang dimiliki oleh manajer/pemilik.
Consummer demands Capital availability Firm size
Green attitudes
Information access Time to adapt Diagram 6. Visualisasi Hasil Pene litian Michae l Schape r (2002) Clare D’Souza dan Roman Preretiatko (2002) 13 melakukan survai mengenai hubungan 8
industrialisasi dengan pengelolaan lingkungan di dua kota industri di India, yaitu Gujarat dan
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Maharashtra. Sampel terdiri dari 63 industri kecil dan 49 industri besar. Dengan mempergunakan analisis Chi Square, peneliti menghasilkan 4 kesimpulan dari empat hipotesisnya. Yang pertama, ada perbedaan signifikan antara perusahaan kecil dan perusahaan besar dalam pemahamannya mengenai permasalahan kebijakan-kebijakan lingkungan; perusahaan kecil cenderung tidak memahami isues maupun kebijakan lingkungan. Yang ke dua, ada perbedaan signifikan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil dalam kesediaannya memampergunakan peralatan pengendali polusi. Perusahaan kecil cenderung tidak mempergunakan peralatan pengendali polusi dengan alasan kurang memberikan keuntungan. Yang ke tiga, dengan demikian dalam proses produksi, perusahaan kecil cenderung tidak mengikuti prosedur green manufacturing process sebagaimana di lakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Kemudian kesimpulan yang ke empat menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan kecil cenderung tidak mentaati perturan-peraturan lingkungan yang ada, kecuali jika sedang dikontrol oleh pemerintah. David H itchens, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, dan Samarthia Thankappan (2003)14 , me lakukan pene litian selama empat tahun guna mengukur hubungan antara persaingan usaha, budaya manajemen lingkungan, pentingnya bimbingan eksternal dalam penggunaan cleaner production, dan 1.
kinerja lingkungan pada usaha kecil dan menengah sektor manfaktur furniture di Irlandia, Jerman dan Itali. Penelitian dilakukan dengan kuesioner melalui pos dan juga wawancara setengah terstruktur. Masing-masing Negara diambil 100 sampel untuk kuesioner pos dan 33 sampel untuk wawancara. Daftar pertanyaan yang dipergunakan adalah daftar pertanyaan yang uga dipakai untuk sector textile finishing dan fruit and vegetable processing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendali biaya dan penguasaan pasar adalah penting, hampir sama pentingnya dengan regulasi. Akan tetapi inisiatif lingkungan yang dilakukan tidak memiliki impak terhadap kinerja biaya dan pasar. Tidak ada hubungan signifikan antara inisiatif lingkungan dengan kinerja perusahaan secara ekonomi. Inisiatif lingkungan juga tidak berhubungan dengan sikap manajemen lingkungan. Sementara itu bimbingan lingkungan meskipun re levan dan gratis, tidak dimanfaatkan oleh SME. Kendala yang dihadapi adalah permodalan, poor payback , prioritas rendah, kurang waktu dan tidak adanya ketrampilan atau bimbingan. Menurut pembimbing lingkungan, kendalanya adalah factor sumber daya, khususnya wak tu dan modal, skeptisme bahwa inisiatif lingkungan kurang memberi keuntungan ekonomi, dan kecenderungan resistance to change, persepsi terhadap lingkungan serta tidak dikehendakinya interupsi dalam kegiatan-kegiatan produksi.
Review on environ mental p ollution isuses
Firm size Economic contribution
2. 3.
Installation of pollution control equipment
Firm size
Green manufacturing p rocess
Firm size Laxity of enforcement
4.
Firm size
Regu latory comp liance
Diagram 7. Visualisasi Hasil Pene litian D’Souza, Clare and Roman Pe re tiatko (2002)
INSANI No. 9./Th.XXIII/ Juli/ 2005
9
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
External advice
Internal resources
Environmental management culture: • Priority, • Sceptism, • Perception, • Resistance to change
Economic effect
Treadmill production process
Environmental performance
Competitiveness
Diagram 8. Visualisasi Hasil Pene litian David Hitche ns, Jens Clause n, Mary Trainor, Michae l Keil, dan Samarthia Thankappan (2003) Ramjeawon (2004) 15 mendeskripsikan perbedaan kemampuan industri menengah dan industri kecil di Mauritius dalam me laksanakan Cleaner Production dan pengendalian polusi. Dilaporkan bahwa ke dua jenis industri yang diteliti me lalui studi kasus, adalah sama-sama membawa dampak pada lingkungan. Pada industri kecil yang diteliti, ya itu industri-industri pengolahan kulit yang pada umumnya tersebar di pemukiman penduduk, ditemukan tidak mampu dalam melaksanakan Cleaner Production dan pengendalian polusi. Ketidakmampuan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti: k etidak mampuan perusahaan dalam mengak ses sumber-sumber investasi untuk pengendalian polusi, tingkat teknologi yang rendah, kekurangan ruang dan waktu, tidak tersedianya tenaga yang terlatih dalam bidang lingkungan, dan memang tidak
ada kemauan dan komitmen dari pihak management untuk berinvestasi dalam perlindungan lingkungan, serta tidak adanya alokasi tanggungjawab yang jelas antara perencana dan pelaksanaan kegiatan, termasuk tidak adanya kontrol dari pemerintah. Pada industri yang lebih besar, yang da lam penelitian tersebut diwakili oleh industri pengolahan minuman beer, moda l dan teknologinya mampu menghasilkan Cleaner Production. Management perusahaan ini ada lah focus on quality, product improvement, on brand and company image, memilik i tanaga ahli pengendalian polusi dan kesadaaran lingkungan yang tinggi pada level management, dan memang ada kontrol dari pemerintah melalui monitoring effluent; serta bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat dalam rangka peningkatan teknologi dan pengendalian limbah.
Firm size, resources and technology Management Orientation Cleaner p roduction
Partnership with University / Research Institution Govern ment control
Diagram 9. Viasualisasi Hasil Penelitian T. Ramje awon (2004) Mark Pagell, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede dan Chwen Sheu (2004)16 10
melakukan penelitian terhadap para supply chain manager pada berbagai leve l perusahaan kecil,
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
menengah sampai ke yang besar. Sampel diambil sebanyak 64 perusahaan di Taiwan dan 39 perusahaan di Amerika Serikat. Para peneliti berangkat dengan asumsi bahwa environmental management yang dilakukan oleh para pelaku usaha adalah dilatar-belakangi oleh kondisi persaingan yang dihadapi. Dalam hal ini ada dua jenis lingkungan bisnis berdasarkan pola persaingannya, yaitu lingkungan yang bersifat hostility dan lingkungan yang bersifat dynamism. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa ke dua jenis lingkungan persaingan tersebut adalah sama, keduanya berhubungan positif terhadap tingkat investasi dalam
manajemen lingkungan. Hipotesis la innya adalah bahwa investasi dalam manajemen lingkungan memiliki dampak terhadap k inerja perusahaan. Dengan path analysis diperoleh kesimpulan bahwa lingkungan persaingan yang dinamis yang memiliki hubungan positif dengan investasi dalam manajemen lingkungan, sedangkan lingkungan yang bersifat hostility adalah tidak. Kesimpulan lainnya adalah bahwa investasi dalam manajemen lingkungan memang terbukti signifikan beruhubungan positif dengan kinerja perusahaan.
Comp etitiveness p attern
Business environtment
Environmental management
Business p erformance
Diagram 10. Visualisasi Hasil Pe nelitian Mark Page ll, Chen-Lung Yang, De nnis W. Krunwie de dan Chwe n She u (2004) Andreas Diekman dan Peter Preisendörfer (2003)17 melakukan pene litian mengenai the behavioral effets of environmental attitudes dalam kaitannya dengan ketersediaan biaya. Penelitian ini tidak khusus dilakukan tehadap para pengusaha kecil, melainkan kepada penduduk pada umumnya , ya itu di beberapa kawasan di Jerman Barat dan Jerman Timur, dengan sample masing-masing 1.095 dan 2.307 responden. Beberapa indikator environmental behavior yang diteliti ada lah relevan dengan indikator environmental behavior pada kegiatan usaha, seperti partisipasi dalam kegiatan daur ulang, pola konsumsi dan penggunaan produk eco-label dan penghematan energi dan air. Penelitian ini bermaksud menguji the low-cost hypothesis dari rational choices theory.
Dengan mempergunakan t-test penele liti melakukan komparasi aspek kepedulian lingkungan pada kegiatan yang memerlukan biaya tinggi dan kepedulian lingkungan pada kegiatan yang murah atau tidak memerlukan biaya tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kepedulian lingkungan cenderung terwujud dalam bentuk perilaku nyata jika tidak mengakibatkan atau memerlukan biaya tinggi lebih tinggi. Peneliti juga mengajukan hipotesis baru, bahwa pada dasarnya biaya tinggi dalam kehidupan masyarakat pada dasarnuya dapat ditekan melalui perencanaan sosial dan regulasi yang ba ik. Itu berarti hipotesis se lanjutnya adalah bahwa realisasi sikap peduli lingkungan menjadi tindakan nyata peduli lingkungan adalah ditentukan oleh perencanaan sosial dan regulasi yang ada.
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
11
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Policy structure and regu lation
Cost pressure
Environmental concern
Environmental behavior
Diagram 11. Visualisasi Hasil Pe nelitian Andre as Diekman dan Pete r Pre ise ndörfer (2003) Robert Emet Jones dan Riley E. Dunlap (1992/2001) 18 melakukan pene litian mengena i kaitan antara sikap kepedulian lingkungan dengan karakteristik sosial-politik dengan memanfaatkan data yang telah dikumpulkan oleh NORC General Socia l Survey mulai tahun 1973 sd. 1990, kecuali tahun 1979 dan 1981. Setiap surva i menjangkau antara 1.352 sd. 1.592 responden. Sikap kepedulian lingkungan diukur dengan jumlah penge luaran untuk kegiatankegiatan yang berkenaan dengan environmental protection. Sedangkan variable-variabel sosialpolitik me liputi umur, ideologi politik, pendidikan, tempat tinggal pada umur 16 tahun (masa anak/remaja), tempat tinggal sekarang, partai politik, sektor industri tempat bekerja, penghasilan keluarga, gender, race dan occupational prestige. Data dianalisis dengan mempergunakan analisis bivariat dan standardized regession coefficients, multiple
correlation coefficients. Hasilnya adalah bahwa prediktor sangat signifikan untuk kepedulian lingkungan adalah umur, dalam ha l ini didominasi oleh kalangan dewasa muda. Prediktor berikutnya, signifikan, adalah ideology politik, pendidikan, tempat tinggal masa remaja. Dalam hal ini kepedulian lingkungan didominasi opleh penganut ideology liberal, berpendidikan tinggi dan dibesarkan di kawasan urban. Pridiktor selanjutnya, cukup signifikan, adalah tempat tingga l sekarang, partai politik dan sector industri tempat bekerja, yang dalam hal ini adalah responden yang bertempat tinggal di kawasan urban, berafiliasi pada partai Demokrat dan tidak bekerja pada perusahaan ekstraktif. Survai memang tidak dimaksudkan untuk meneliti perilaku usaha kecil, namun cukup relevan untuk diterapkan pada penelitan kepedulian lingkungan para pelaku usaha kecil.
Umur Ideolo gi p olitik Pendidikan Temp at tinggal masa remaja
Kep edulian lin gkungan
Tempat tinggal sekaran g Partai politik Kelamin
Prestise okup asi
Sektor industri Penghasilan keluarga
Ras
Diagram 12. Visualisasi Hasil Pe nelitian Robert Emet Jones dan Rile y E. Dunlap (1992/2001)
12
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
David John Frank, Ann Hironaka dan Evan Schofer (2000) 19 melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nation-state environmentalism Negara-negara di dunia, dengan memanfaatkan data sekunder dari berbagai sumber internasional dari berbagai tahun. Nation-state environemtnalism diukur dengan jumlah taman nasional dan cagar alam yang dimiliki oleh masing-masing Negara, jumlah LSM internasional yang bergerak dalam bidang lingkungan keanggotaan Negara dalam organisasi-organisasi lingkungan internasional, penerapan perundang-undangan lingkungan dan kegiatan kementrian lingkungan. Indipenden
Pop ulation
variabelnya adalah institusionalisasi global perlindungan lingkungan nasiona l yang dalam hal ini jumlah perwakilan yang duduk di UNEP, keikutsertaan dalam konferensi lingkungan internasional dan perjanjian-perjanjian lingkungan internasiona l; k eterikatan dengan masyarakat dunia selain dalam hal lingkungan; dan situs-situs reseptor yang dimiliki Negara yang dalam ha l ini adalah jumlah organisasi domestik dalam bidang ekologi dan dalam bidang ilmu alam. Untuk variable control, peneliti menempatkan antara lain factor penduduk dan produksi besi dan baja.
Iron and steel p roduction
Global institutionalization of national environmental p rotection Nation-state environmentalism
Dense ties to world society
Development of receptor sites
Diagram 13. Visualisasi Hasil Pe nelitian David John Frank, Ann Hironaka dan Evan Schofer (2000) Dengan mempergunakan alat analisis OLS regression para peneliti menghasilkan kesimpulan pene litian tampak seperti pada diagram di atas. Meskipun sudah dikontrol dengan variable populasi dan produksi besi dan baja, institusionalisasi secara global atas program-program perlindungan lingkungan nasiona l tetap saja behubungan dengan nationstate environmentalism; demikian juga kedekatan atau keterikatan dengan masyarakat internasiona l serta dukungan para ilmuwan dan organisasi lingkungan domestik merupakan determinan yang signifikan bagi nation-state environmentalism tersebut. Hasil penelitian Frank dan kawankawan tersebut memperoleh tanggapan positif sekaligus kritik dari Frederick H. Buttel (2000) 20 . Dari segi metodologi, Butte l
mempertanyakan kejelasan ukuran nation-state environmentalism yang kurang mengukur aspek outcomes dari program-program perlindungan lingkungan. D i samping itu tingkat partisipasi nation-state pada kegiatan-kegiatan organisasiorganisasi lingkungan semestinnya dikontrol factor resources yang dimiliki. Dari segi referensi, Buttel juga meragukan beberapa hal, misa lnya tidak jelasnya referensi untuk disertakannya variable produksi besi dan ba ja sebagai variable control. Dari segi teori, Buttel menilai pene litian Frank tersebut cenderung conflict-free dan tidak sedikitpun menyebut geja la coercion atau contestation. Dari segi value, tampaknya Frank dan kawan-kawan berorientasi pada culture of Western rationality tanpa memperhatikan kontradiksi yang melekat di dalamnya seperti akumulasi modal ><
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
13
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
ketimpangan, dan birokrasi >< demokrasi. Hasil penelitian Frank dan kawan-kawan tersebut jelas bersifat persuasive ke arah penerapan strategi top down dari pada bottom up
Resources Global institutionalizat ion of national environmental protection
dalam kegiatan-kegiatan pelestarian lingkungan. Jika digambarkan, komentar Buttel tersebut kirakira seperti skema berikut.
Culture, value and rationality
Nation-state environmentalism and outcomes
Dense ties to world society Development of receptor sites
Diagram 14. Visualisasi Kome ntar Fre de rick H. Buttel (2000) Terhadap Hasil Penelitian David John Frank, Ann Hironaka dan Evan Schofe r (2000) 3. Karakte ristik Sosiologis Usaha Kecil. Sejauh ini pene litian-penelitan dan analisis mengenai sikap dan perilaku usaha kecil terhadap lingkungan sebagaimana yang telah dikemukakan, adalah tidak disengajakan sebagai penelitian sosiologis, da lam arti tidak mempergunakan teori-teori sosiologi karena memang tidak bermaksud untuk mengembangkan teori-teori sosiologi. Sedangkan penelitian-penelitian sosiologis yang ada, adalah bersifat makro dan tidak eksplisit membahas hubungan antara usaha kecil dan lingkungan sebagimana yang akan dilaksanakan dalam pene litian ini. Keadaan tersebut memberi peluang kepada penelitian ini untuk memanfaatkan secara kritis model-model analisis yang te lah dihasilkan oleh penelitianpenelitian non-sosiologis tersebut, -dan juga penelitian-pene litian sosiologis makro tersebut-, guna merekontruksi sebuah teori sosiologi mengenai sikap dan perilaku usaha kecil tehadap lingkungan. Subyek menarik yang tampaknya pelu diteliti secara lebih menda lam secara sosiologis adalah adanya split antara sikap dan perilaku untuk ramah lingkungan di kalangan usaha kecil. Sikap cenderung berhenti pada level 14
pengetahuan dan kognitif; akan tetapi sulit terwujud menjadi sebuah perilaku konkret. Penelitian-penelitian yang ada juga menunjukkan bahwa individu da lam hal ini usaha kecil berada dalam kondisi tarik-menarik antara resistant forces dan driving forces baik yang bersumber pada agent maupun structure. Penjelasan mengenai interaksi antara kegiatan usaha (bisnis) dan masyarakat juga dapat ditemukan misalnya da lam tulisan A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, membangun citra bisnis sebagai profesi luhur, Penerbit Kanisius 1991. Mengutip penjelasan Keith Davis dan William C. Frederick da lam bukunya mengenai Business and Society, Management, Public Policy, Ethic, Auckland, McGraw-Hill, 1984, Sony Keraf menunjukkan adanya dua hubungan pada interaksi dunia usaha dan masyarakat, yaitu hubungan primer dan hubungan sekunder 21 . Hubungan primer meliputi semua hubungan langsung yang diperlukan suaatu kegiatan usaha untuk me laksanakan fungsi dan misinya yang utama, ya itu memproduksi barang dan jasa untuk masyarakat. Hubungan-hubungan primer itu biasanya berlangsung me la lui pasar bebas, tempat terjadinya pertukaran barang dan jasa.
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
GROSIR, PEDAGANG ECERAN
M enyalurkan p roduk
M enjual tenaga M enanam modal
M anajer/Pemilik
KEGIATAN USAHA ●
Bersaing KEGIATAN USAHA SAINGAN
PEM EGANG SAHAM
PEKERJA
Meminjamkan uang KREDITOR
M embeli p roduk
KONSUMEN
M enjual bahan
PEMASOK
Diagram 15. Hubungan Prime r Kegiatan Usaha Sumber: A.Sonny Keraf, Etika Bisnis, Membangun citra bisnis sebagai profesi luhur, Penerbit Kanisius 1991, p :78
Hubungan sekunder meliputi berbagai hubungan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang merupakan akibat dari pelaksanaan fungsi dan misi utama kegiatan usaha. Hubungan-hubungan ini terja lin secara tidak langsung dan bukan merupakan hubungan yang paling menentukan kelangsungan hidup kegiatan usaha tersebut. Namun demikian Sonny Keraf mengingatkan bahwa mengabaikan hubungan sekunder adalah sikap yang kurang bijaksana, sebab dalam kenyataannya hubungan sekunder tersebut sangat berpengaruh terhadap hubungan primer dan seluruh operasi kegiatan usaha. Dengan demikian asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa proses ekonomi yang melibatkan usaha kecil itu juga me libatkan institusi-institusi la in yang ada di dalam masyarakat, yang selanjutnya akan membawa perubahan di dalam masyarakat, yang dalam hal ini adalah perubahan pada peningkatan potensi kesejahteraan sosial. Usaha Kecil atau lazim disebut UMK atau Usaha Mikro dan Kecil, seperti bentuk
usaha lainnya, berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Lingkungan dan konteks inilah yang membentuk ‘aturan ma in’ bagi segala jenis usaha dan mempengaruhi cara beroperasi perusahaan dan pasar. ADB-SME-TA 2000/2001 menunjukkan kondisi UMK dipengaruhi oleh tiga lingkungan utama, ya itu linkgungan pasar, lingkungan dunia usaha dan lingkungan yang lebih luas. Lingkungan pasar adalah lingkungan yang terdekat dengan UMK, terdiri dari penlanggan, buruh, ketrampilan dan teknologi, informasi, lokasi usaha, modal, jaringan, bahan baku dan peralatan. Lingkungan dunia usaha antara meliputi peraturan dan birokrasi seperti lisensi dan perijinan, perpajakan, proses dan standardisasi produk, perlindungan konsumen, serta berbagai bentuk layanan dan intervensi seperti layanan keuangan dan layanan penembangan usaha. Lingkungan yang lebih luas meliputi kondisi ekonomi makro, kondisi pemerintahan dan politik, kondisi layayan pemerintah, pengaruh internasional, kondisi masyarakat dan budaya, dan kondisi alam.
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
15
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
KOM UNITAS LOKAL
PENDAPAT UMUM
PEM ERINTAH Positif, negatif
Tenaga, lingkun gan Peraturan p ajak
M anajer/Pemilik
KELOM POK PENDUKUNG
KEGIATAN USAHA ●
Bersahabat, bermusuhan
Nasihat, riset
NEGARA ASING
Citra, p ublisitas
M EDIA MASSA
Tuntutan sosial
AKTIVIS SOSIAL
Diagram 16. Hubungan Sekunde r Kegiatan Usaha Sumber: A.Sonny Keraf, Etika Bisnis, Membangun citra bisnis sebagai profesi luhur, Penerbit Kanisius 1991, p :79.
Beberapa aspek untuk membedakan UMK misalnya berdasarkan orientasi kegiatan atau perilakunya, besarnya, gender, lokasi dan sektor usaha serta kepemilikannya. Satu klasifikasi yang sangat bermanfaat bagi pengembangan kebijakan adalah klasifikasi berdasarkan needs dan constraints yang dihadapi oleh UMK. Dalam hal ini ADB mengidentifikasi adanya dua jenis UMK, ya itu yang bersifat “survival” atau sama dengan “subsistence”, dan yang bersifat “viable” (ADB 1997:27-36). Konsep subsistensi pada dasarnya adalah sama dengan konsep subsistensi yang
16
dikemukakan oleh James C. Scot mengenai moral produksi petani di Asia Tenggara (LP3ES,1981) dan Hans Dieter Evers produksi massa apung di Jakarta (PRISMA VIII-Juni 1980). Dalam hal ini konsep subsistensi dipakai untuk menunjuk kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh golongan miskin adalah hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup minima l. Produksi pertanian di pedesaan dan barang maupun jasa di perkotaan adalah bukan untuk pasar, tetapi untuk dikonsumsi sendiri, tidak ada orientasi untuk pengembangan usaha, mela inkan hanya sebagai livelihood saja.
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Hubungan primer dengan masyarakat (Me mproduksi dan menjual)
Hubungan sekunder dengan masyarakat (Da mpa k sosial)
PEMEGANG SAHAM
PASAR BEBAS
KOM UNITAS LOKAL
PEKERJA
PEMERINTAH
KREDITOR
NEGARA ASING
PEMASOK
KEGIATAN USAHA
KELOMPOK AKTIVIS SOSIAL
GROSIR, PEDAGANG ECERAN
M EDIA MASSA
KONSUMEN
PENDAPAT UMUM
KEGIATAN USAHA SAINGAN
KELOMPOK PENDUKUNG
BUKAN PASAR
Diagram 17. Mode l Inte raktif Hubungan Kegiatan Usaha dan Masyarakat Sumber: A.Sonny Keraf, Etika Bisnis, Membangun citra bisnis sebagai profesi luhur, Penerbit Kanisius 1991, p :80.
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
17
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
LINGKUNGAN USAHA YANG LEBIH LUAS Ek on omi Makro *Kontrol keuangan & fiscal *Kebijakan perdagangan *Kebijakan perindustrian *Kebijakan sektor keuangan
Peme rintah an dan Politik, Nasional, Lokal *P roses legislatif dan pembuatan kebijakan *P eradilan *Keamanan dan stabilitas
Layanan pemerintah *Layanan dasar: Pendidikan, kesehatan *Infrastruktur *Fasilitas umum *Layanan keamanan
LINGKUNGAN DUNIA USAHA Pe ratu ran dan Birokrasi *Hukum, peraturan *Keamanan *P erpajakan *Lisensi dan P erijinan *Standardisasi produk dan proses *P erlindungan konsumen
Pen garuh luar *P erdagangan *Bantuan *Kecenderungan dan selera *T eknologi *Informasi
PAS AR P elanggan Bahan baku
UMK
In tervensi
T eknologi & Ketrampilan
*Jasa keuangan *Layanan pengembangan usaha *Layanan intermediasi
Informasi Lokasi usaha
P eralatan Jaringan
Buruh
Modal
Masyarak at dan Bu daya *Demografi *Selera konsumen *P erilaku dalam berusaha
Kondisi alam *Sumberdaya alam *Suaca *Siklus pertanian
Diagram 18. Lingkungan Usaha Mikro, Kecil dan Me nengah (Sumber: Asian Develop ment Bank.SM E Develop ment TA, 2002 Praktek Terbaik Dalam Menciptakan Suatu Lingkungan Kondusif Bagi UMK, Policy Pap ers 2001 / 2002, Policy Paper No. 1, ADB SME Develop ment TA, Kantor Mentri Negara Urusan Kop erasi dan UMK, p . 8, dengan p eny esuaian seperlunya)
Tabe l 2. Karakte ristik UMK Survial/Subsistence dan Viable Survival/Subsiste nce 1
Motivasi
2
Waktu
3
Syarat Ketrampilan
4
Penggunaan penghasilan
Sering karena terpaksa oleh keinginan untuk me mpero leh keuntungan alternative Biasanya bersifat part-time atau musiman, sekedar sebagai sumber sekunder penghasilan rumah tangga Biasanya tidak terla lu diperlukan, mudah dilaku kan sehinga menjad i overcrowded Penghasilan usaha cenderung dipakai untuk sekedar mempertahankan hidup dan untuk pengeluaran rumah tangga
Viable Memang berminat dan berniat untuk me lakukan usaha yang viable dan menguntungkan, berdasarkan pilihan Merupakan sumber utama penghasilan rumah tangga Pengala man dan ketra mp ilan sangat diperlukan Penghasilan usaha dipergunakan untuk reinvestasi pengembangan usaha, ada potensi pertumbuhan
Sumber: Asian Development Bank 1997, Microen terprise Development, Not By Credit Alon e, p p. 26-27
Dari segi orientasi tindakan ekonomi, memang ada dua jenis usaha, yaitu livelihood enterprises dan growth oriented enterprises. Livelihood 18
enterprises adalah usaha yang tujuannya hanya sebatas sebagai matapencarian. Sedangkan
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
growth oriented enterprises adalah usaha yang
berorientasi
pada
pengembangan
usaha.
Tabe l 3. Pe rbe daan Utama antara UMK Livelihood dan UMK Growth Oriented
Livelihood Enterprises 1 Kapitalisasi 2 Pendidikan 3 Ketra mpilan dan Pengalaman
4 Gender 5 Sektor 6 Ko mpetisi
7 Musim 8 Kontribusi terhadap penghasilan 9 Jumlah usaha
10
Penggunaan tenaga yang dibayar 11 Surplus dan Re investasi 12 Penggunaan kredit 13 Potensi
pertumbuhan
M icroenterprises
Relatif rendah Sedikit pendidikan formal Relatif rendah, kecuali ketra mp ilan tradisional seperti untuk kera jinan tangan; kegiatan berdagang sering merupakan arena latihan untuk ke mudian mera kit produk yang sama Partisipasi perempuan tinggi Umu mnya peternakan, perunggasan, makanan dan perdagangan kecil Kompetisi pasar sempurna, re latif bebas masuk, penggunaan tenaga keluarga intensif dan menawarkan kredit kepada buruh Musiman, ikut siklus tanaman, tahun sekolah, hari-hari besar Biasanya merupakan sumber sekunder, walaupun vital Biasanya merupakan salah satu dari beberapa usaha yang sama, sebagai kompensasi musim dan keuntungan rendah Jarang, umu mnya tenaga keluarga
Surplus terbatas dan sering dikeruk untuk pengeluaran rumah tangga Consigment dala m kegiatan dagang, profit sharing dalam peternakan, sewa di muk a untuk perahu atau kereta; dan menjadi net lender agar dapat bersaing. Produksi, penjualan, keuntungan dan penghasilan bisa meningkat, tetapi untuk kesempatan lapangan kerja terbatas; pertumbuhan sering terhambat oleh tingkat permintaan, ketersediaan bahan, keterbatasan tempat.
Lebih t inggi, tetapi a walnya sama Setidaknya sekolah menengah Lebih t inggi, u mu mnya didapat dari kursus-kursus atau dari pengalam kerja yang lalu
Partisipasi perempuan u mumnya lebih rendah, dengan beberapa pengecualian Lebih banyak manufaktur dan jasa yang memerlukan beberapa ketampilan Sering memanfaatkan pasar khusus dengan spesialisasi produk Kurang dipengaruhi oleh musim Sering merupakan sumber uta ma
Biasanya hanya satu-satunya
Umu mnya bukan ke luarga, ada juga yang keluarga dan anak-anak Umu mnya surplus direinves Kesempatan kred it leb ih luas, baik forma l maupun semi formal, serta lebih besar Memiliki potensi pertumbuhan: jumlah tenaga kerja, tenaga ke rja yang dibayar, dan tenaga yang berkualitas
Sumber: Asian Development Bank 1997, Microen terprise Development, Not By Credit Alon e, p p. 31-32
Neil J. Smelser dan Richard Swedberg dalam artike lnya mengenai The Sociological Perspective on the Economy (1996)22 , memandang proses-proses ekonomi sebagai bagian organik dari masyarakat yang secara konstan berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan la in yang ada di da lam masyarakat, yang
selanjutnya membawa impact pada perubahan variable-variabel institusiona l dan budaya. Dari perspektif sosiologi, tindakan ekonomi adalah bukan tindakan individua l, tetapi tindakan yang melibatkan banyak pihak dan banyak kepentingan dan pertimbangan, termasuk kepentingan dan pertimbangan non-ekonomi.
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
19
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Dalam hal ini pe laku tindakan ekonomi atau pelaku usaha merupakan actor as socially constructed entity, as "actor-in-interaction," or "actor-in-society". Dari premis Sme lser dan Swedberg tersebut, tampaknya kemungkinan terjadinya berbagai split dalam tindakan ekonomi mulai dari k nowledge, motivation and rationality-nya yang bervariasi sampai dengan perwujudannya dalam tindakan konkret yang ramah atau tidak terhadap lingkungan, adalah
Karakteristik Individual (Individual Factor/Agent)
wajar dan dapat dimengerti. Persoalan sosiologisnya adalah pihak mana yang lebih menentukan terjadinya split itu, agent, actor ataukan society and structure; kapan atau dalam kondisi apa dan mengapa. Jawaban atas pertanyaan sosiologis itu akan mempermudah para pengambil keputusan dan para pengurus masyarakat untuk menjawab pertanyaan selanjutnya, yaitu rekayasa sosial apa yang diperlukan.
Split Sikap dan Perilaku Ramah Lin gkun gan Kalan gan Usaha Kecil
Struktur Sosial (External Factor/ S tructure)
Diagram 19. Pe rsoalan Pokok Sosiologis Mengikuti Michael M. Bell (2004)23 , dari segi sosiologi, adanya odds antara sikap dan perilaku, atau dalam psikologi sosial lazim disebut dengan A-B split, adalah karena struktur sosial. Individu tidak memiliki choice yang lengkap untuk melakukan suatu tindakan. Kehidupan individual adalah socially organized dengan segala macam constraint dan opportunities yang ada di dalamnya; termasuk pembatasan dan kesempatan untuk melakukan organisasi sosia l itu sendiri. Masyarakat mampu menciptakan struktur sosial baru untuk
membimbing dan mengubah kehidupan individu. Struktur socia l tidak selamanya je lek. Hal tersebut tergantung pada bimbingan yang diberikan oleh struktur socia l tersebut mengenai apa yang harus kita lakukan. Struktur sosial tidak harus menciptakan A-B split. Melalui peninjauan kembali dan perencanaan kembali secara lebih sempurna, struktur sosial dapat membantu menyembuhkan splits dalam komunitas kita – termasuk komunitas terbesar kita : lingkungan di mana kita merupakan satu inescapable part.
Individual Attitude
Social structure
Collective Behavior (Corp orate)
Individual B ehavior
Diagram 20. Asumsi Dasar 2 Asumsi-asumsi tersebut mengingatkan penulis kepada teori The Active Society dari 20
Amitai W. Etzioni 24 dan The Structur of Socia l Action dari Talcot Parsons25 . Kedua tokoh ini
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
beranggapan bahwa split, gap dan bahkan inequlities adalah bagian dari social order. Warna moral dan etika untuk membangun good society dan good community pada teori-teori kedua tokoh ini tampak je las. Namun demikian mereka mengingatkan janganlah hendaknya kita berharap terlalu banyak bahwa di dalam masyarakat maupun komunitas tidak terdapat split, gap dan ketimpangan. Dalam hal inilah Parsons menekankan pentingnya mekanisme sosialisasi dan kontrol sosia l; sementara Etzioni lebih eksplisit, menekankan pentingnya peranan
Negara dan kaum elit yang seharusnya mempelopori gerakan voluntary simplicity and stewardship dalam rangka social change menuju masyarakat berkesadaran lingkungan 26 . Persoalan teoretis yang masih sa ja timbul adalah siapakah pelaku sosialisasi dan kontrol sosial itu, misa lnya : siapakah kaum elit itu dan dibentuk dari mana agar mereka memiliki nilai-nilai dan kesadaran lingkungan yang sama atau tidak mengalami A-B Split, dari individukah atau dari masyarakat?
Active S ociety M embers’ selfcontrol M embers’ selftransformation Continued increased in technology
Human values
Diagram 21. Visualisasi Teori Amitai W. Etzioni 1
CYBERNETIC FACTORS (ELITE) Knowledge Decision mak in g FORMAL ORGANIZATION (S TATE)
Power Collectivity (Environmentally Active/Pasive) M isalny a dalam bentuk gerakan voluntary simplicity and stewardship
Normative Utilitarian Coercive
Diagram 22. Visualisasi Teori Amitai W. Etzioni 2
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
21
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Subjective freedom, Subjective choice
Objective determinism, Objective constraints
Mode of orientation in personality systems :
M echanism of socialization:
Affectivity /Affective neutrality , Diffuseness/sp ecificity, Universalities/p articularism, Achievement/Ascrip tion, Self/Collectivity
M echanism of social control
Diagram 23. Viasualisasi Teori Parsons me ngenai Pattern Variable s.
Action Individual or S ocial S ystem Desired goal states
Evalu ation of effects
Corrective action
Effects on system or environment
(if needed)
Diagram 24. Diagram of a Feedback Loop Sumber: Johnson, Doyle Paul (1981), Sociological Theory, Classical Founders and Contemporary Perspectives, John Wiley & Sons, New York, p. 528
Demikian juga pada penje lasan Parsons maupun Johnson, struktur (sosiologis) memang cukup determinan; akan tetapi faktor subyektivitas dan rasiona litas (psikologis) dan bahkan aspek biologis individu tampaknya tidaak dapat diaba ikan. Dengan demikian untuk kepentingan praktis perumusan kebijakan, maka paradigma order saja tidak cukup; perlu diperlengkapi dan dilanjutkan dengan paradima pluralis dan bahkan paradigma konflik. Dengan kata lain, yang lebih diperlukan untuk memperoleh solusi pragmatis adalah pendekatan eklektik dan sistem terbuka. Untuk inilah diperlukan pemahaman mengenai berbagai perspektif sosiologis mengenai hubungan antara ekonomi dan lingkungan, sebagaimana diura ikan singkat berikut ini.
22
4. Peta Perspektif Sosiologi menge nai Ekonomi dan Lingkungan. Pemikiran John Stuart Mill mengenai hubungan antara masyarakat dan alam tertuang dalam esainya mengena i On Nature27 . Kata “alam” menurut Mill (ha l 23-33) memiliki dua makna. Yang pertama adalah menunjuk pada keseluruhan sistem dari benda-benda dengan agregat semua kelengkapannya. Arti yang ke dua menunjuk benda-benda yang berada di luar kendala atau intervensi manusia. Doktrin bahwa manusia harus mengikuti a lam adalah sudah sangat je las, karena secara empiris dan induktif manusia tidak memiliki power untuk me lakukan kegiatan lain kecuali mengikuti a lam; semua kegiatan manusia dilakukan me lalui dan dalam ketertundukan manusia pada hukum alam ba ik secara fisik maupun secara mental. Melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum a lam, bukan saja tidak rasional, tetapi juga tidak etis. Kewajiban manusia terhadap
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
alam adalah bekerjasama dengan alam, caranya adalah dengan terus menerus berusaha mememperbaiki setiap kerusakan alam yang terjadi. Pemikiran Mill tersebut dipengaruhi oleh pemikiran Comte yang mengemukakan bahwa manusia/masyarakat adalah bagian yang tak terpisahkan dari hukum alam. Sebagaimana kita ketahui, Comte mengemukakan hukum tiga tahap peradaban berpikir manusia , ya itu tahap teologis, tahap metafisis dan tahap positif. Comte melihat bahwa jenis peradaban tertetnu lenyeap dan digantikan oleh perdaban baru. Misalnya, para ilmuwan menggantikan peran para pendeta, dan para industrialis menggantikan peran para ksatria. Pada tahap positif perjuangan hidup manusia bukan sekedar berhadapan dengan sesama manusia masyarakat, tetapi juga berhadapan dengan alam, perang melawan alam, termasuk eksploitasi sistematik terhadap sumber-sumber alam 28 . Pada dasarnya Comte tidak keberatan terhadap kemampuan alami manusia untuk mengubah alam, sebab hal itu sesuai dengan prinsip hukum a lam. Hanya saja menurut Comte "Our direct natural power of acting upon our environment is extremely feeble and wholly disproportioned to our needs"29 He rbert Spe nce r menekankan bagaimana iklim dan kondisi alam la innya mempengaruhi masyarakat manusia, human nature dan juga human race. Fokus perhatian Spencer adalah pada struktur sosial dan institusiinstitusi sosial yang menurutnya berkembang secara evolusioner sesuai dengan hukum a lam. Sebagai contoh, ketika Spencer membedakan oraganisme sosial dan organisme individual. Organisme sosial atau masyarakat memiliki bagian-bagian yang jauh lebih bervariasi dari pada organisme individu. Sebagai individu, kita dapat mengatakan bahwa kita termasuk di antara bagian-bagian yang hidup, bagian-bagian yang kurang hidup dan bagian-bagian yang tidak hidup di sekeliling kita, yang berkooperasi dalam keseluruhan aktivitas. Demikian juga masyarakat; yang dimaksud masyarakat bukan hanya terbatas pada kesatuan yang paling vital yaitu human beings, tetapi juga termasuk hewanhewan piaraan, makhluk hidup yang lebih rendah, yang berada di bawah kontrol manusia, bekerjasama dengan manusia; bahkan struktur
yang jauh lebih rendah seperti tanaman yang kita kelola untuk supply materia l bagi hewan dan kegiatan manusia. Dengan kata lain … sociology can be a science only when it is understood that social order conforms to natural law30 . Emile Durkheim31 berusaha keras menolak peranan variabel lingkungan pada saat menjelaskan hakikat masyarakat. Sosiologi seharusnya tidak merambah bidang ka jian ilmu la in. Akan tetapi da lam disertasinya mengenai The Division of Labor in Society (1893/1933), variabel a lam atau lingkungan materi tidak dapat dihindarinya secara total. Penjelasan Durkhe im mengenai diferensiasi di dalam masyarakat, asumsi dasar yang dipergunakannya adalah bahwa pertumbuhan a lami penduduk dan permasalahan yang mengiringinya berkaitan dengan terbatasnya ruang dan sumber-sumber alam. Secara eksplisit Durkheim mengatakan bahwa: “Man depends upon only three kinds of environment: the organism, the external world and society”32 . Dalam tulisan-tulisan Durkhe im, kita dapat mengidentifikasi adanya tiga sub lapangan sosilogi, yaitu sosiologi umum, fisiologi sosia l dan morfologi sosia l. Fisiologi sosial membahas aspek kepadatan populasi dan distribusi ruang. Morfologi sosial membahas aspek perkembangan system sosial yang berkaitan dengan faktor fisik lingkungan territorial dan penggunaan tanah, misalnya studi mengenai pembentukan kota-kota, kota kecil dan bahkan negara. Dalam bukunya mengenai The Rules of Sociological Method (1895/1982) definisi masyarakat menurut Durkhe im meliputi juga lingkungan materi seperti ja lan, rel kereta api, saluran a ir, pakaian, dan segala things as a matter of course. Lingkungan sosial menurut Durkheim dibentuk oleh dua elemen penting, yaitu things and persons33 . Benda-benda memang merupakan kekuatan utama dalam pembentukan masyarakat, akan tetapi di ba lik semuanya itu adalah manusia sebagai penyebab awal. Durkheim memang tidak mengingkari bahwa tanpa alam tidak akan ada masyarakat, namun demikian manusia berada pada hirarkhi yang lebih tinggi dari pada alam; manusia memiliki kemampuan untuk mentrasformasi lingkungan atau alam sekitarnya. Dengan demikian Durkheim menolak pandangan bahwa
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
23
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
alam memiliki pengaruh langsung terhadap manusia. Sebaliknya masalah-masalah lingkungan bukanlah disebabkan langsung oleh ulah manusia, sebab alam memiliki sifat statis dan memiliki mekanisme yang senantiasa teratur34 . Berbeda dengan refleksi Emile Durkehim, pandangan Georg Simme l mengenai nexus antara masyarakat dan alam cenderung lebih berpijak pada sikap menta l yang naturalistic35 . Bagi Simmel, sosiologi adalah studi mengenai wechselwirkungen, yaitu interaksi timba l balik antar manusia dan antara manusia dengan dunia materi, dalam arti kausalitas timba l ba lik dan juga akibat timbal balik. Berbeda dengan Durkheim yang memandang masyarakat berada pada hierarkhi yang lebih tinggi dari dunia materi, Simmel lebih memandang ke duanya memiliki hak dan suara masing-masing. Bahkan Simme l sering berbicara mengenai surprise, amazement, admiration dan bahkan fanatical fascination tentang pemdangan alam yang ditemukan, tentang pencangkokan pohon, aatau tentang bangunan yang rusak kembali kepada alam. Manusia memang dapat membudidayakan alam –sehingga muncul konsep-konsep human-made nature culturalized nature dan cultivated nature, tetapi a lam tidak begitu saja menyerah. Alam dapat merusak kembali apa yang telah dibudidayakan oleh manusia. Namun demikian bencana alam dapat memiliki efek estetika. Sebaliknya, dan ha l ini yang justru belum dbahas oleh Simmel, budidaya manusia terhadap alam sering tidak menghasilkan estetika dan keindahan, melainkan kemerosotan dan kerusakan lingkungan. Sebagaimana Comte, Marx juga membahas masalah lingkungan, bahkan lebih mendalam dan menjadi salah satu dasar klasik bagi Sosiologi Lingkungan. Menurut Marx, alam adalah man’s inorganic body, dan karena itu keliru jika terdapat antagonisme antara manusia dan alam. Hubungan antara manusia dengan alam tidak dimulai dengan berfilsafat, tetapi dengan makan, minum, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Dalam pengertian Marx, alam adalah juga dan bukan hanya sebagai katagori sosial. Alam/lingkungan fisik tidak begitu saja muncul di dalam sejarah umat manusia , tetapi mela lui kreativitas manusia dan masyarakat. Marx memberi contoh misalnya 24
tanaman seperti kentang dan pohon cherry adalah not’natural’ bagi masyarakaaat Eropa modern, karena tanaman-tanaman itu dibawa orang ke Eropa beberapa ratus tahun sebelumnya36 . John Bellamy Foster37 pada saat menanggapi perdebatan mengenai ka itan antara krisis ekologi dan krisis ekonomi pada masyarakat kapitalistik, menganjurkan agar kita kembali kepada Marx dalam tanggapannya kepada Malthus dan Ricardo mengenai kapitalisme pertanian, khususnya mengenai dampak kapita lisasi pertanian terhadap kemerosotan kesuburan tanah sekaligus kemerosotan kesejahteraan pekerja. Meskipun tidak secara eksplisit, sesungguhnya sosiologi Marx tidak meremehkan adanya gejala eksploitasi sumber alam oleh kegiatan ekonomi kapitalistis, peranan alam bagi kesejahteraan, keterbatasan kemampuan sumber daya alam, sifat alam yang dapat berubah, dan peranan teknologi bagi kemerosotan lingkungan. Sementara itu Ross Mitche l38 menunjukkan bahwa pemikiran Thorste in Bunde Ve ble n khususnya mengenai conspicuous consumption, absentee ownership, natural resources exploitation, wasteful use of environmental resources, emulative consumerism, environmental crises, juga sangat berguna bagi penelitian-penelitian sosiologi lingkungan, mendampingi teori-teori klasik yang sudah ada. Secara umum, ontology Veblen mengenai masyarakat adalah materialistically grounded, class devided dan evolusioner. Sebagaimana dielaborasi dalam The Theory of The Leisure Class (1989)39 , Veblen mengidentifikasi adanya dua ke las dalam masyarakat, yaitu kelas pekerja yang disebutnya sebagai industrious class dan kelas pengusaha yang disebutnya dengan predatory class, yang termasuk di dalamnya adalah para pemilik perusahaan, akuntan, pengacara, manajer dan politisi. Perilaku predator pada kalangan pengusaha itu me luas sejak abad 19, ditandai dengan eksploitasi factor manusia dan bukan manusia dalam rangka efisiensi industri. Persaingan untuk memperoleh monopoli pasar, keinginan untuk memperoleh dan meningkatkan status sosial dengan menunjukkan perilaku conspicuous consumption di kalangan kelas predator membuat eksploitasi sumber-sumber
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
alam menjadi semakin besar-besaran dan cenderung wasteful use. Sampai sejauh ini, saya telah berusaha menunjukkan secara singkat beberapa pemikiran klasik mengenai hubungan antara kegiatan ekonomi, khususnya da lam masyarakat kapita listik, dengan kerusakan lingkungan. Pertanyaan yang tersisa adalah bagaimana masyarakat kapitalistik itu muncul dan membawa dampak pada kerusakan lingkungan? Miche l M. Bell40 menganjurkan agar kita kembali mene lusuri thesis mengenai The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism dimana Max We ber menunjukkan ba ik secara teoretis adanya paralle l antara etika protestant dan semangat kapita lisme modern. Secara empiris Max Weber juga menunjukkan perkembangan kapitalisme modern terdapat pada negara-negara yang dominan protestant. Itu bukan berarti etika protestan merupakan determinan bagi perkembangan kapita lisme, sebab pada akhirnya oleh ascetic rationalism perkembangan kapita lisme tersebut terjadi jauh melampaui dan melepaskan diri dari dogmatika protestan dan menjadi sekuler sampai pada apa yang disebut Max Weber dengan iron cage yang akan membakar habis seluruh persediaan terakhir sumber daya batubara. Menurut Bell, agama dapat saja menjadi latar belakang bagi kapita lisme dan juga transformasi lingkungan, akan tetapi hal itu tidak sendirian, mela inkan dapat dicari akarnya pada filsafat dan pemikiran barat Modern. Kajian mengenai economy and environment41 bahkan dalam ska la makro society and nature42 pada dasarnya bukan kajian baru dan asing bagi sosiologi. Bahkan Doyle Paul Johnson 43 menganjurkan satu alternatif teori sosiologi masa depan adalah teori sistem terbuka, yang sangat sangat dipengaruhi oleh Social Darwinism dan Sociobiology, di mana faktor lingkungan diperhitungkan sebagai variabel penting di da lam penje lasan sosiologis. Hanya saja sebagai satu cabang tersendiri dari sosiologi, kajian-ka jian tersebut baru mula i berkembang pada sekitar decade 60 – 70an yang kemudian dikategorikan oleh Catton dan Dunlap sebagai New Ecological Paradigm (NEP)44 pada sosiologi yang terjabarkan da lam teori
environmental sociology atau sosiologi lingkungan, mendampingi Dominant Western Worldview (DWW) dan Human Exemption Paradigm (HEP). Gregory M. Fuelkerson 45 mencoba mengidentifikasi perbedaan paradigma NEP dan paradigma-paradigma lainnya di dalam sosiologi sebagai berikut ini. Adapun arus utama teori-teori sosiologi lingkungan yang sudah berkembang sampai dewasa ini me liputi Risk Society Theory dan Ecological Modernization Theory pada level makro, dan Ecological Symbolic Theory dan Resources Dependency Theory pada level mikro46 . Risk Society Theory dan Ecological Symbolic Theory bernuansa teori konflik, sedangkan Ecological Modernization Theory dan Resources Dependency Theory bernuansa harmoni. Sebagai teori sosiologi, teori-teori ini tidak terpisah dari akar dan batang tubuh pemikiran maupun teori-teori sosia l klasik dan yang sudah kita pe lajari selama ini, terutama teori klasik John Stuart Mill, August Comte, Karl Marx, Thorstein Veblen, Herbert Spencer, Emile Durkhe im dan George Simmel. Risk Society The ory. Teori ni mencoba mengidentifikasi kaitan antara modernisasi teknologi dengan distribusi kemakmuran dan distribusi risiko yang secara empirik memang tidak seimbang dan potensia l mendorong terjadinya konflik sosia l. Artinya , modernisasi teknologi menghasilkan kemakmuran dan sekaligus risiko. Hanya saja secara global kemakmuran dan risiko itu terdistribusi secara tidak seimbang. Singkatnya, negara-negara maju memperoleh kemakmurannya dan berhasil mengatasi bad risk, sementara negara-negara berkembang kurang memperoleh kemakmurannya dan kurang mampu mengatasi risiko buruk dari kemajuan teknologi tersebut, termasuk teknologi yang diadopsinya. Tokoh teori ini antara lain adalah U lrich Beck dan Anthony Giddens. Pendalaman lebih lanjut mengenai Risk Society Theory ini akan saya uraikan antara la in berdasarkan tulisan-tulisan Barbara Adam, Ulrich Beck dan Joost Van Loon 47 dan Jens Zinn 48 .
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
25
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Tabe l 4. Paradigma-paradigma Sosiologi Domi nant Western Worl dview (DWW ) People are fundamentally diffe rent from all other creatures on earth, over which they have dominion.
Human Exe mptionalist Paradigm (HEP ) Hu mans have a cultural heritage in addition to (and distinct fro m) their genetic inheritance, and thus are unlike all other animal species.
Ne w Ec ological Paradigm (NEP) Assumptions While hu mans have exceptional about the characteristics (culture, nature of technology, etc.) they re main one human among many species that are beings interdependently involved with the global ecosystem. Assumptions People are masters of Social and cultural factors Hu man affa irs are influenced not about social their destiny; they can (including technology) are the only by social and cultural factors, causation choose their goals and ma jor determinants of human but also by intricate linkages of learn to do whatever is affairs. cause, effect, and feedback in the necessary to achieve web of nature; thus purposive them. human actions have many unintended consequences. Assumptions The world is vast, and Social and cultural Hu mans live in and are dependent about the thus provides unlimited environments are the crucia l on a finite b iophysical contexts of opportunities for context for human affa irs, and environment which imposes human humans. the biophysical environ ment is potent physical and biological society largely irre levant. restraints on human affa irs. Assumptions The history of humanity Culture is cu mulative; Although the inventiveness of about is one of progress; for thus technological and social humans and the powers derived constraint on every problem there is a progress can continue there fro m may seem for a while human solution, and thus indefinite ly, ma king all social to extend carry ing capacity limits, society progress need never problems ult imately soluble. ecological laws can not be cease. repealed. Sumber: Fulkerson, Gregory M. (2000), Environmental sociology, an Analysis of Tre nds, Western Michigan University, Ka la ma zoo, Michigan, p. 27; Catton, William R Jr., Dunlap, Riley E (1980); A New Eco logical Paradig m for Post-Exuberant Sociology, dalam R. Scott Frey ed. (2001), The Environme nt and Society Reader, Allyn and Bacon, Boston, p.351.
Ecological Mode rnization The ory. Teori ini cendurung optimis bahwa masalah degradasi lingkungan akibat industrialisasi akan dapat diatasi, antara lain dengan apa yang disebut dengan Corporate Environmental Responsibility (CER) melalui Model of Resources and Risk Management. Asumsi dasar teori ini antara la in adalah, pertama: modernisasi ekologis akan mengkoreksi the design flaws teknologi industri ke apa apa yang disebut dengan super industrialization yang lebih pro environment. Yang ke dua, penerapan teknologi ramah lingkungan da lam proses industria lisasi tersebut memerlukan regulasi yang ketat dari pemerintah. Yang ke tiga, modernisasi ekologi mengasumsikan adanya strategi manajemen lingkungan yang ba ik, khususnya dengan anticipatory planning practices yang berpegang pada precaution principle. Ke empat, modernisasi ekologis mengasumsikan diberlakukannya organizational internalization 26
of environmental responsibility bagi semua lembaga public maupun privat. Yang ke lima, untuk menghindari antagonisme dan konflik pada kebijakan lingkungan, maka modernisasi ekologis memerlukan satu jaringan dan kerjasama yang lebih luas untuk pengambilan keputusan. Tokoh teori ini adalah antara la in adalah Joseph Huber, Barry Commoner dan Udo Simonis. Pendalaman lebih lanjut teori ini akan penulis uraikan berdasaran tulisan Maurie J. Cohen49 , Joseph Murphy dan Andrew Gouldson 50, David A. Sonnenfeld and Arthur PJ. Mol51, dan Joseph Huber52 . Richard York, Eugene a. Rossa, dan Thomas Dietz (2003) 53 mencoba melakukan validasi terhadap teori-teori environmental impact dari dari perspektif ecological modernization, human ecology, dan political economy, dengan mempergunakan metoda ecological footprints yang mengukur area produktif dari agregat: luas lahan perkebunan,
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
luas lahan penggembalaan, luas hutan, luas lahan terbangun, dan luas lahan penyerap limbah karbon diok sida. Variabel indipenden meliputi populasi, non-dependen populasi, luas lahan percapita, letak geografis dan ik lim, GDP percapita, derajat kapitalisme, persentasi penduduk perkotaan, posisi internasional, hakhak politik warga, k emerdekaan warga, dan tingkat state-environmentalism. Data sebagian besar bersumber dari Freedom House dan WRI antara tahun 1997 – 2000. Analisis data mempergunakan OLS regression, menghasilkan kesimpulan yang seluruhnya bertentangan dengan perspektif ecological modernization, seluruhnya mendukung perspektif human ecology, dan sebagian mendukung perspektif political economy. Kondisi-kondisi material seperti populasi, produksi ekonomi, urbanisasi dan factor-faktor geografis semuanya mempengaruhi lingkungan dan menje laskan sebagian besar dari variasi environmental impact antar negara. Faktor-faktor dari perspektif neoliberal yang da lam ha l ini adalah perspektif ecological modernization, seperti kemerdekaan warga dan tingkat state environmentalism, tidak memiliki efek terhadap impak. Pada akhirnya para peneliti cenderung pesimis bahwa pembangungan berkelanjutan akan tercapai mela lui pendekatatan pertumbuhan ekonomi dan perubahan institusiona l. Ecological Symbolic The ory. Teori ini bermaksud menje laskan dalam skala mikro mengenai response masyarakat terhadap kemerosotan lingkungan sekitar. Fokus teori ini adalah ge jala ketidak-sadaran masyarakat mengenai hubungannya dengan lingkungan biofisik sekitarnya. Ketidak-sadaran ini tampak antara lain pada tidak berdayanya atau tidak berfungsinya lembaga-lembaga lokal/tradisional dalam masyarakat atas kerusakan lingkungan yang tidak disadari dan tidak dirasakan. Identitas lokal/lingkungan yang memiliki makna simbolik tertentu tampaknya menjadi hambatan bagi para ahli lingkungan dan juga gerakan-gerakan lingkungan da lam menje laskan dan menginformasikan adalah kerusakan lingkungan tersebut kepada masyarakat. Teori ini bernuansa teori konflik. Resources De pe nde ncy The ory. Asumsi teori ini adalah keba likan dari
Ecological Symbolic Theory. Diasumsikan bahwa pengetahuan dan juga lembaga-lembaga tradisiona l atau loka l justru memiliki peranan penting dalam pelestarian lingkungan. Dengan demikian pengetahuan ataupun lembaga tradisiona l tersebut dapat dimanfaatkan untuk pelestaraian lingkungan pendampingi proses industrialisasi. Teori ini bernuansa teori harmoni. 5. Kesimpulan: Hipotesis Eklektik. Dari keseluruhan uraian tersebut, ba ik dari temuan-temuan pene litian dan juga berdasarkan peta perspektif sosiologi mengenai hubungan antara ekonomi dan lingkungan, maka kesimpulan sementara yang dapat diperoleh adalah bahwa implementasi pengetahuan, sikap dan kesadaran lingkungan menjadi tindakan nyata ramah lingkungan pada kegiatan ekonomi termasuk usaha kecil, tidak dapat dilepaskan dari tarik-menarik antara dua kesatuan teoretis ya itu agent and structure - individu dan masyarakat, masyarakat dan Negara, mikro dan makro, lokal dan global, nasiona l dan internasional, tradisiona l dan modern; dan perdebatan antara berbagai paradigma dalam sosiologi: order, conflict dan pluralis, serta antara DWW, HEP dan NEP Pardigm. Merangkum laporan-laporan penelitian empirik sebagaimana telah disampaikan, kecenderungan terjadinya split antara sikap (mental) dan perilaku (tindakan nyata) kalangan usaha kecil terhadp lingkungan, dilatarbelakangi oleh banyak factor, baik yang bersifat resistance forces mapun yang bersifat driving forces baik pada tingkatan mikro individual maupun pada tingkatan makro struktur sosial, baik pada lingkup lokal maupun global. Pada tingkatan individua l, ditemukan adanya faktor-faktor karakteristik sosial demografis pe laku usaha, nilai-nilai yang dianut dan fator rasionalitas. Pada lingkungan sekitar kegiatan usaha ditemukan faktor-faktor sumbersumber atau potensi dan permasalahan lingkungan sekitar, norma, nilai, pengetahuan masyarakat setempat. Pada lingkungan pemerintahan setempat ditemukan faktor-faktor regulasi dan implementasi peraturan perundangan lingkungan, sosialisasi,
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
27
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
pengorganisasian dan penge lolaan lingkungan setempat. Peranan Negara, LSM dan kaum elit dalam kegiatan-kegiatan peduli lingkungan lokal maupun global tampaknya juga merupakan factor yang perlu diperhitungkan. Faktor kondisi pasar, akses permodalan dan permintaan konsumen juga merupakan faktor penting. 6. P e n u t u p Kesimpulan terbuka sebagaimana tersebut di muka jelas tidak dapat menetapkan satu single factor atau causa prima, melainkan contested factors. Konsekuensi praktisnya, semua variabel yang disebut di da lam hasil-hasil pene litian dan juga kemungkinan-kemunkinan lain yang masih bersifat asumsi dan hipotesa, perlu diteliti dan diuji secara empiris. Sedangkan untuk kepentingan penyusunan kebijakan dan perencanaan serta tindakan intervensi yang diperlukan, maka kegiatan ini tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah atau sendiri-sendiri menurut bidang kemampuan para ahli serta kewenangan masing-masing institusi/ departemen.
State, NGO and Elite p articip ation on glob al/ local environ mentalism
Kebijakan dan Perencanaan yang diperlukan adalah yang bersifat komprehensif, contested, meliputi semua aspek dan tingkatan, yang me libatkan semua stake holder yang berpartisipasi secara koordinatif menurut prinsip-prinsip demokrasi agar tidak ada yang ketingga lan dan saling menya lahkan. Indonesia memiliki Kantor MNLH, yang sudah mencoba menyusun kebijakan dan langkah-langkah koordinatif yang harus dilakukan untuk menjembatani gap antara pembangunan dan lingkungan me la lui apa yang dikenal dengan nama Agenda 21-Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan54 Pertanyaan yang tersisa adalah, sampai seberapa jauh Agenda 21 tersebut telah mengakomodasi permalahan split di kalangan usaha kecil? Jika sudah, bagaimana hasilnya? Jika belum, langkah apa yang harus kita tempuh? Pertanyaan-pertanyaan itu, termasuk laporan penelitian dan pengujian hipotesis telah dan terus dilakukan, akan dilaporkan dan dibahas pada INSANI edisi selanjutnya. Ikuti terus.
business opp ortunity (market structure, cap ital access, consumer d emands
Local environmental conditions: p roblems, resources knowledge, norms and values,
State environmentalism (local regu lation and socialization, organ ization and management).
Small business environmental attitude
Small business environmental behavior Small business owner’s social and demo grap hic characteristics, valu es and rationality
Diagram 25. Ske ma Hipotesis
28
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
Bahan Pustaka/End Note 1
Pengelolaan Limbah Usaha Kecil (2004), Kantor MNLH, Info Berita Terkini, http://www.men lh.go.id/usahakecil/ 2 Tamzil, HM. (2003), Gerakan Kultural Kebijakan Lingkungan, SUARA M ERDEKA Sabtu, 15 Februari 2003, http://www.suara merdeka.com/harian/0302/15/kha 2.ht m 3 Radius Pra wiro (1998), Indonesia’s Struggle for Economic Development, Pragmatism in Action, Oxford University Press, Singapore, New York, p. 338 4 Lihat Swee zy, Paul M. (2004), Capita lis m and the Environ ment, Monthly Re view Vol. 56 No. 5, Monday, November 08 2004, http://www.monthlyrevie w.org/1004p ms3.ht m 5 Smelser, Neil J. and Richard Swedberg (1996), The Socio logical Perspective on the Economy dala m Chapter 1 Neil J. Sme lser and Richard Swedberg, The Handbook of Economic Sociology, Princeton University Press and copyrighted, (c) 1996, Princeton University Press, pp.3-24 6 Lihat misalnya Berger, Johannes( 1994) The Econo my and the Environment, dala m Ne il Smelser and Richard Swedberg (eds) The Handbook of Economic Sociology, Princeton, NJ: Princeton University Press, pp. 768–97 7 Lihat misalnya Bell, Michael Mayerfe ld (2004), An Invitation to Environmental Sociology, Pine Forge Press, Sage Publications Inc; Thousand Oaks, London, New De lhi 8 Petts, Judith, Andrew Herd and Mary O’heocha (1998), Environ mental Responsiveness, Individuals and Organization Learning: SM E Experience, Journal of Environme ntal Planning and Management, Nov. 1998; 41, 6, pp. 711-730 9 Tilley, Fiona (1999),The Gap Bet ween The Environmental Attitudes and Environmental Behaviour of Small Firms, Business Strategy and the Environment, July/August, 199, 8, 4, pp. 238-248. 10 Rock, Michael T. and Jean Aden (1999), Init iating Environ mental Behavior in Manufacturing Plant in Indonesia, Journal of Environment and Development, Vo l 8 No. 4 Dec. 1999, Sage Publicat ion 1999, pp. 357-735. 11 Lindell, Ma rtin and Necmi Karago zoglu (2001) Corporate Environmental Behavior – A Co mparison Between Nordic and US Firms, Business Strategy and the Environment, Jan/Feb. 2001, pp. 38-52, John Wiley & Sons, Ltd and ERP Environ ment 12 Schaper, Michael (2002), Small Firms and Environmental Management, Pred ictor of Green Purchasing in Western Australian Pharmac ies, International Small Business Journal, Vol. 20(3) pp. 235-251. 13 D’Souza , Clare and Ro man Peretiatko (2002), The ne xus between industrializat ion and environment, A case studi of Indian enterprises, Environmental Management and Health, Vol. 13 No. 1, 2002, pp. 80-97. 14 Hitchens, David, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, Samarthia Thankappan (2003), Co mpetit iveness, Environmental Pe rformance and Management of SMEs, Greener Management International, Winter 2003; 44, pp. 45-57. 15 Ra mjeawon, T. (2004), A Case Study of Cleaner Production Opportunities In Sma ll and Medium Enterprises on Island of Mauritius, Electronic Green Jo urnal, Issue 20 Spring 2004. 16 Pagell, Mark, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede and Chwen Sheu (2004), Does Competitive Environment Influence the Efficacy of Investments in Environmental Management?, T he Journal of Supply Chain Management, 40, 3, Su mme r 2004, pp. 30-39. 17 Die kmann, Andreas and Peter Preisendörfer (2003), Green and Green back, The Behaviora l Effects of Environmental Attitudes in Low-Cost and High-Cost Situation, Rationality and Society, Vol. 15(4) 2003: 441472. 18 Jones, Robert Emmet and Riley Dunlap (1992), The Social Bases of Environ mental Concern: Have They changes Over Time?, R ural Sociology 57 (1992) pp. 28-47, Frey, R. Scott, ed. (2001), The E nvironment and Society Reder, Allyn and Bacon, Singapore, pp. 164-179. 19 Frank, Davin John, Ann Hironaka and Evan Schofer (2000), The Nation State and the Natural Environment Over the Twentieth Century, American Sociological Review, Feb. 2000, 65, 1, pp. 96-116. 20 Buttel, Frederick H. (2000), World Society. The Nation State, and The Environ mental Protection; Comment on Frank, Hironaka, and Schofer, Ame rican Sociological Review, Feb. 2000, 65, 1, pp. 117-121. 21 Kera f, Sonny A (1991) Etika Bisnis, Membangun citra bisnis sebagai profesi luhur, Penerbit Kanisius 22 Sme lser, Ne il J. and Richard Swedberg (1996) The Sociological Perspective on the Economy from Chapter 1 Neil J. Smelser and Richard Swedberg, The Handbook of Economic Sociology, Princeton University Press copyrighted, (c) 1996, Princeton University Press, http://www.efpu.hr/fet/dokumenti/sociologija/ekonomska_sociologija/ Sme lser.Swedberg.pdf INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
29
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
23
Be ll, M ichael Mayerfeld (2004), An Invitation to Environmental Sociology, Pine Forge Press – Sage Publications Inc; Thousand Oaks, London – New De lhi, pp. 223-250. 24 Lihat Perdue Willia m D. (1986), Sociological Theory, Mayfie ld Publishing Co., Palo Alto, California , pp. 111126, lihat juga Et zioni, Amita i (2000) "Creating good communit ies and good societies," Contemporary Sociology, Vo l. 29, Issue 1 (January 2000), pp. 188-195. http://www.gwu.edu/~ccps/etzioni/A276.html 25 Lihat Se id man , Steven (1998), Contested Knowledge, Social Theory in the Post modern Era, Second Edition, Blackwell Pub lishers, Oxford, pp. 100-105; Turner, Jonathan H., (1998), The Structure of Sociological Theory, Sixth Edit ion, Wadsworth Publishing Co., Belmont, CA, A lbany, NY., pp. 30-34. 26 Etzioni, Amitai (2004), The Post Affluent Society, Review of Social Economy, Vol. LXII No. 3 September 2004, Routledge, http://www.tandf.co.uk/journals 27 Mill, John Stuart (1874), On Nature, Lancaster E-text, prepared by the Philosophy Department at Lancaster University, fro m Nature, The Utility of Religion and Theism, Rationalist Press, 1904, http://www.lancs.ac.uk/users/philosophy/texts/mill_on.htm http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/index.ht m 28 Aron, Ray mond (1965). Main currents in sociological thought I. Basic Books, New York, p.60. 29 Co mte, Auguste (1988). Introduction to positive philosophy. Ed. by Frederick Fe rré. Hac kett, Ca mbridge/Indianapolis, p. 38. 30 Spencer, Herbert, The Principles of Sociology from Robert Bierstedt (1959), The Making of Society. New Yo rk: Modern Library, pp. 445-447. http://www2.pfeiffe r.edu/~lridener/DSS/Spencer/SPENCER.HTML 31 Gross, Matthias (2000), Classical Socio logy and the Restoration of Nature, the relevance of Emile Durkheim and Georg Simmel, Organization & Envir onment, Sept, 13, 3, Sage Publications, Inc. pp. 280 -284 32 Durkheim, Emile (1893/1933), T he Division of Labor in Society, Glencoe, Free Press, Illinois, p. 285 33 Durkheim, Emile (1895/1982), The R ules of Sociological Method and Selected Texts on Sociology and Its Method, Free Press, New York, p.136 34 Rat zel, Friedrich (1972), Emile Durkheim 1899, Anthropogeographie, Book Review, dala m Anthony Giddens eds. Emile Durkheim Selected Writings, Ca mbridge University Press, Cambridge, UK, pp.86-88. 35 Gross, Matthias (2000), Ib id, pp. 284 - 288 36 Lihat A. Konttinen (ed.) (1996), Green Moves, Political Stalemates. Annales Universitatis Turkuensis, B 215, pp. 16-24, http://wwwedu.oulu.fi/homepage/tjarviko/nature.htm 37 Lihat Foster, John Bellamy (2002), Cap italism and ecology: the nature of the contradiction, Monthly Revie w, September 1, 2002, http://www.findartic les.com/p/articles/mi_ m1132/is_4_54/ai_91659884, Foster, John Bellamy (1999), Marx’s Theory of Metabolic Rift : Classical Foundation for Environmental Sociology, The American Journal of Sociology, September 1999, 105, 2. 38 Mitchell, Ross E. (2001), Thorstein Veblen, Pioneer in Environ mental Sociology, Organization & Envir onme nt, Dece mber 14, 4, Sage Publications 2001, pp. 389-408 39 Veblen, T B (1899/1967), T he Theory of The Leisure Class: A n Economic Study of Institution, Funk & Wagnalls, New York. 40 Bell, Michael Mayerfe ld (2004), An Invitation to Environmental Sociology, Second Edition, Pine Forge Press, Sage Publications, Inc., Thousand Oaks, Londlon, Ne w De lhi, pp. 129-134. 41
Berger, Johann es (1994) The Econo my and the Environment, dalam Neil Smelser and R ichard Swedb erg (eds), The
Handbook of Economic Sociology, Princeton, NJ: Princeton University Press, pp. 768– 97. 42 Konttinen, A. (ed.) (1996), Green Moves, Political Stalemates. Annales Universitatis Turkuensis, B 215, pp. 16- 24, http://www.edu.oulu.fi/ho mepage/tjarviko/nature.htm 43 Johnson, Doyle Paul (1981), Sociological Theory, Classical Founders and Contemporary Perspectives, John Wiley & Sons, New Yo rk, pp. 507-531. 44 Catton, Willia m R Jr., Dunlap, Riley E (1980); A Ne w Ecological Parad ig m for Post-Exuberant Sociology, T he American Behavioral; Sep/Oct 1980; 24, 1; ABI/ INFORM Global pg. 15. Lihat juga Dunlap, Riley E (2002); Environmental Sociology, A Personal Perspective on Its First Quarter Century, Organization and Environment, Vo l. 15 No. 1, March 2002, Sage Publications 2002. 45 Fulkerson, Gregory M. (2000), Environmental sociology, an Analysis of Trends, Western Michigan University, Kala mazoo, Michigan. Lihat juga Dunlap, Riley E. (2002), Environ mental Sociology, A Personal Perspective on Its First Quarter Century, Organization and Environment, Vo l. 15 No. 1, March 2002, Sage Publications 2002. 46 Picou, Steve (1999), T heoretical Trends in Environme ntal Sociology: Implications for Resource Management in the Modern World, Paper presented at the Social and Economic Planning Conference, M inerals Management Service, August 24-26, 1999, Park City, Utah. 30
INSANI No. 9/Th.XXIII/Juli/2005
EdySiswoyo, Kecenderungan “Split” Sikap dan Perilaku
47
Adam, Barbara , Ulrich Beck and Joost Van Loon (2004), The Risk Society and Beyond, Critical Issues for Social Theory, Sage Publication, London, Thousand Oaks, New Delhi. 48 Zinn, Jens (2004), Sociology and Risk, Literature Review, Social Contexts and Responses to Risk – An Economic and Soc ial Research Council Network, Kent University, http://www.kent.ac.uk/scarr/papers/Sociology%20Literature%20Rev iew.pdf. 49 Cohen, Maurie J. (1998), Sc ience and Environment: Assessing Cultural Capacity for Ecologica l Modernization, P ublic Understand Science, 7 (1998) , IOP Publishing Ltd and The Science Museum, UK. Pp. 149-167. 50 Murphy, Joseph and Andrew Gouldson (1998), Integrating environment and economy through Ecological Modernization: an assessment of the impact of environmental policy on industrial innovation, OCEES Research Paper No. 16, Mansfield Colledge, Oxford, UK. 51 Sonnenfeld, David A. and Arthur PJ. Mol (2002), Ecologica l Modernization, Governance, and Globalization, Ep ilogue, American Begavioral Scientist, Vol 45 No. 9, May 2002, pp. 1456-1461. 52 Huber, Joseph (2001), Environmental Sociology in Search of Profile, Paper prepares for the autum meet ing of the section “Sociology and Ecology” of the German Soc iety of Socio logy, Bre men 9 November 2001. 53 York, Richard, Eugene A. Rosa, Thomas Diet z (2003), Footprints on the Earth: The Environ mental Consequences of Modernity, American Sociological Review, Apr. 2003, 68, 2, pp. 279-300. 54 State Ministry for Environment Republic of Indonesia and UNDP Progra m (1997), Agenda 21-Indonesia, A National Strategy for Sustainable Development, Perpustakaan Kementrian Lingkungan Hidup, Jaka rta.
EDY SISWOYO Lahir di Sa latiga, 28 April 1954. Sarjana Jurusan Sejarah Universitas Kristen Satya Wacana 1978, Magister Sosiologi Universitas Indonesia 1988. Pe merhati masalah-masalah sosial-e konomi, politik dan lingkungan, kandidat doktor - sedang menyelesaikan disertasi mengenai Sosiologi Lingkungan di Universitas Indonesia. Lektor, me mb ina mata kuliah Metode Penelitian Sosial pada Se kolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Polit ik Widuri. Se mua bahan pustaka dan data untuk naskah ini dapat diakses secara on-line. Hubungi:
[email protected], edysw@telko mnet,
[email protected] Telepon: 021 5854228, 021 9126263, 0812 1954228
INSANI No. 9/Th.XXIII/ Juli/2005
31