KEBIJAKSANAAN PENDIDIKAN SEBAGAI SUB SISTEM KEBIJAKSANAAN NEGARA (SUATU TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN) Oleh:
I Ketut Suda Dosen Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia
Abstrak Artikel ini membahas tentang bagaimana kebijaksanaan pendidikan sebagai subsistem kebijaksanaan negara dirumuskan dan dilaksanakan di negeri ini. Secara normatif kebijaksanaan pendidikan yang dibuat di Indonesia seharusnya mampu memberi perlindungan kepada setiap warga negara guna memperoleh haknya untuk menikmati pendidikan yang berkualitas tanpa kecuali. Namun, dalam praktiknya banyak kebijaksanaan pendidikan yang dirumuskan di negeri ini yang justru mengebiri hak-hak warga negara untuk menikmati pendidikan bermutu, khususnya bagi masyarakat miskin. Lahirnya kebijaksanaan rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah bertaraf internasional yang disingkat RSBI/SBI adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap hak setiap warga negara untuk menikmati pendidikan bermutu, secara halus. Pasalnya, sekolah pada kategori ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga secara ekonomis tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Memang pengingkaran ini tidak dilakukan secara terang-terangan, tetapi melalui cara yang sistematis, sehingga masyarakat ekonomi kelas menengah bawah secara sistemik, tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah pada kategori ini. Kata-kata kunci: kebijaksanaan pendidikan, RSBI/SBI, pendidikan bermutu.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana dipahami bersama bahwa kebijaksanaan pendidikan merupakan salah satu kebijaksanaan negara (public policy). Dikatakan salah satu kebijaksanaan negara sebab selain kebijaksanaan pendidikan, negara masih mempunyai banyak kebijaksanaan lain, seperti kebijaksanaan di bidang ekonomi, politik, pertahanan keamanan, agama, kebudayaan, hukum, dan lain-lain. Terkait dengan itu, maka dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan pendidikan merupakan sub sistem dari kebijaksanaan negara secara keseluruhan. Anderson (1979) memberikan pengertian tentang
kebijaksanaan negara sebagai berikut: ‘’Kebijaksanaan negara adalah kebijaksanaankebijaksanaan
yang
dikembangkan
oleh
badan-badan
atau
pejabat-pejabat
pemerintah terkait dengan bidang-bidang tertentu’’. Sedangkan pendidikan menurut UU No.20/2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa, dan negara. Jadi dalam konteks ini, yang dimaksud kebijaksanaan pendidikan adalah aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dalam rangka pelaksanaan pendidikan yang seharusnya diikuti dan dilaksanakan serta mengikat siapapun yang dimaksudkan untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut. Namun, dalam kenyataannya di lapangan banyak tindakan yang diambil oleh pelaku pendidikan yang justru tidak mengacu pada kebijaksanaan pendidikan sebagaimana digambarkan di atas. Andaikata pun itu dilakukan asalkan mempunyai alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku hal tersebut masih bisa dipahami. Akan tetapi tindakan yang sulit diterima adalah ketika apa yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan di lapangan tidak mengacu pada kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan, dan juga tidak berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal sehat. Misalnya, kebijaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun sebagaimana diamanatkan oleh UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 11 (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Selanjutnya, pasal 11 (2) UU tersebut secara tegas mengatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Tim Cemerlang, 2007:72). Namun, dalam kenyataannya banyak masyarakat (baca:orang tua siswa) yang mengeluhkan adanya punggutan bagi pelaksanaan pendidikan dasar sembilan tahun, di berbagai daerah di Indonesia tanpa alasan yang masuk akal.
Seperti yang dialami Suryadi di Bengkulu, anaknya yang akan masuk ke SMPN 6 Kota Bengkulu dipungut biaya pendaftaran Rp 2 juta dengan alasan dana pindah rayon. Punggutan tersebut menurut Suryadi cukup memberatkan, apalagi pendapatan keluarganya hanya mengandalkan hasil pertanian. Suryadi tidak sanggup kalau harus membayar dana pindah rayon Rp 2 juta, belum lagi dana pembelian seragam dan perlengkapan sekolah lainnya. Menurut Suryadi sebelum seleksi melalui sistem komputer atau online, dana pindah rayon tersebut tidak disebutkan sama sekali. Setelah anaknya lulus seleksi dan harus mendaftar ulang ke sekolah tersebut ternyata dikenakan biaya pindah rayon Rp 2 juta. "Pungutan itu ditempel resmi di kantor kepala sekolah bahwa itu aturan dari Wali Kota Bengkulu," kata Suryadi (Republika. CO.ID, Kamis, 7 Juli 2011).
Dari gambaran di atas, ternyata apa yang diamanatkan secara ideal oleh undang-undang No. 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, khususnya tentang wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dalam kenyataannya justru berbanding terbalik. Siswa yang seharusnya dibebaskan dari berbagai jenis punggutan, malah dikenai dana-dana yang peruntukannya kurang masuk akal, seperti yang dialami oleh Suryadi. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai
kebijaksanaan
pendidikan gratis di satu sisi dan di sisi lain pihak manajemen sekolah terus saja melakukan punggutan kepada para siswanya inilah penulis tertarik untuk melakukan kajian secara lebih intensif terhadap permasalahan dimaksud. II. PEMBAHASAN 2.1 Kebijaksanaan Pendidikan Gratis dan Alasan Pihak Manajemen Sekolah Memunggut Biaya Pendidikan pada Tingkat Pendidikan Dasar Kebijaksanaan pendidikan gratis pada level pendidikan dasar sebenarnya berlandaskan pada ketentuan UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan nasonal. Pasal 11 (2) undang-undang ini secara tegas mengatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Untuk
merealisasikan
kebijaksanaan
pendidikan
gratis, sebagaimana
diamanatkan oleh pasal 11 (2) UU No.20/2003 ini kemudian pemerintah dalam hal ini Menteri
Pendidikan
Nasional
mengeluarkan
Surat
Edaran
Menteri
No.186/MPN/KU/2008, tanggal 2 Desember 2008 tentang kebijaksanaan pendidikan gratis.
Hal demikian berakibat terjadinya arus balik, dari idealisme yang sudah ada sebelumnya karena dengan surat edaran tersebut sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar (khususnya SMP Negeri) yang sebelumnya biasa memunggut dana untuk keperluan oprasional sekolah dari orang tua siswa, kini tidak dibolehkan lagi kecuali sekolah pada kategori Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Hal demikian mengakibatkan pihak menajamen sekolah menjadi kelabakan dalam mencari dana untuk keperluan oprasional sekolah. Namun, sebelumnya pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah menggulirkan dana bantuan oprasional sekolah yang disingkat dengan BOS (Biaya Operasional Sekolah). Menurut Susilo (2007:69) ada tiga asumsi yang menjadi alasan mengapa pemerintah mengeluarkan dana BOS kepada satuan-satuan pendidikan sekolah antara lain, Pertama, fenomena mahalnya buku pelajaran di sekolah yang secara umum memberatkan siswa; Kedua, keberadaan komite sekolah yang selama ini dipertanyakan netralitasnya membuat fungsi kontrol badan tersebut menjadi lemah. Akibatnya, banyak kebijakan komite sekolah yang mendukung keinginan pihak manajemen sekolah tanpa melihat kemampuan orang tua siswa terkait dengan masalah finansial; Ketiga, sikap kepala sekolah yang sering memanfaatkan situasi dengan berlindung di balik komite sekolah membuat manajemen sekolah menjadi semakin tidak kondusif. Namun, penting diungkapkan di sini bahwa dana BOS yang digulirkan pemerintah kepada satuan-satuan pendidikan sekolah jumlahnya relatif kecil, sehingga kurang mencukupi kebutuhan riil di lapangan. Di sisi lain kuatnya pengaruh sistem ekonomi pasar melanda negeri ini membuat institusi sekolah juga mengalami kesulitan untuk menghindar dari jeratan sistem ekonomi pasar tersebut. Akibatnya, apa yang terjadi pada tatanan baru sistem ekonomi Indonesia secara pelan-pelan telah menggeser tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat. Artinya, semua lembaga sosial termasuk lembaga pendidikan yang tidak mampu mengadaptasi sistem ekonomi pasar akan mengalami kemerosotan gengsi (martabat). Dengan kondisi seperti itu, maka institusi, orang atau apapun namanya yang mampu mengikuti irama ekonomi pasar akan bisa bertahan dan martabatnya akan tetap tinggi dalam masyarakat. Sebaliknya, yang tidak bisa mengikuti irama ekonomi pasar tidak akan dihargai, karena cara masyarakat menghargai orang atau institusi
lebih banyak dilihat dari harganya di pasar. Kuatnya pengaruh sistem ekonomi pasar melanda kehidupan masyarakat dewasa ini, membuat kehidupan dunia sekolah juga ikut terpengaruh. Sekolah yang secara filosofis seharusnya dianggap sebagai arena untuk mencerdaskan anak bangsa, kini telah bergeser menjadi ajang untuk menentukan simbol status. Artinya, sekolah dapat dijadikan alat untuk menentukan posisi dan status sosial tertentu. Demi logika ini, maka proses untuk membawa siswa pada kesadaran akan kedewasaan tidak lagi menjadi orientasi mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan, tetapi yang lebih penting dalam hal ini adalah apa yang terlihat secara kasat mata di permukaan (penampilanisme). Untuk bisa tampil modern dan elegan, maka pihak pengelola sekolah ingin membeli komoditas yang lain, misalnya gedung sekolah harus tampak mewah, sarana pembelajaran harus didukung oleh teknologi canggih, dan fasilitas transportasi untuk mobilitas sekolah harus bagus. Jadi, dalam konteks ini sekolah juga mengalami kesulitan untuk menghindarkan diri dari sikap hidup konsumeristik-kapitalistik (Suda, 2009). Akibatnya, cost yang dibutuhkan untuk membiayai oprasional sekolah menjadi sangat tinggi, dan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan seperti inilah pihak manajemen sekolah harus menggali berbagai sumber daya untuk bisa mendapatkan dana. Biasanya sumber dana yang paling potensial dapat diakses oleh para pengelola pendidikan adalah orang tua siswa. Kondisi inilah yang membuat mengapa pihak pengelola sekolah tetap saja melakukan punggutan kepada para orang tua siswa, meskipun pemerintah telah menggulirkan dana BOS untuk membiayai oprasional sekolah. Ketika punggutan yang dilakukan pihak sekolah kepada orang tua siswa, tidak menjadi beban berat bagi orang tua siswa hal tersebut tidak menjadi masalah. Tetapi sebaliknya, jika punggutan yang dilakukan pihak sekolah justru membebani orang tua siswa sehinga banyak anak-anak usia sekolah harus berhenti bersekolah hanya karena mereka tidak mampu membayar, ini yang menjadi persoalan. Pasalnya, di satu sisi undang-undang menjamin hak setiap warga negara untuk menikmati pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi (baca:undang-undang tentang sistem pendidikan nasional), sementara di sisi lain realitas di lapangan menunjukkan banyak anak yang tidak bisa menikmati pendidikan karena persoalan ekonomi.
Selain itu, rendahnya daya tampung sekolah, khususnya untuk Sekolah Menengah Pertama, sering berakibat banyak anak yang tidak berkesempatan untuk menikmati pendidikan meski hanya sampai di tingkat pendidikan dasar. Seperti diberitakan KORAN TEMPO (10 Juli 2009), di Purbalingga sekitar 1.394 lulusan SD atau yang sederajat belum mendapatkan sekolah. Sementara di Surabaya sedikitnya 4.023 orang siswa lulusan SD tidak bisa masuk ke SMP Negeri. Meski dalam berita itu tidak dijelaskan apakah ribuan lulusan SD tersebut berasal dari keluarga yang mapu atau dari keluarga yang tidak mampu, juga tidak diberitakan apakah mereka melanjutkan ke SMP swasta atau berhenti sekolah? Namun, dapat ditebak hanya ada dua pilihan bagi mereka setelah tidak mendapatkan kursi di SMP Negeri, yakni melanjutkan pendidikan ke SMP swasta atau berhenti bersekolah. Andaikan pilihan pertama yang dipilih, yakni menlanjutkan pendidikan ke SMP swasta, berarti orang tua siswa harus menyiapkan dana untuk berbagai keperluan seperti uang pangkal, uang SPP, dan lain-lain. Bagi orang tua siswa yang berkecukupan, hal itu tidak menjadi persoalan, tetapi sebaliknya bagi orang tua siswa yang berkekuarangan
satu-satunya pilihan adalah tidak menyekolahkan anaknya, atau
dengan kata lain drop out. Jika sebagian besar dari ribuan lulusan SD sebagaimana dilansir Koran Tempo di atas berasal dari keluarga yang tidak mampu, maka pendidikan gratis sebagaimana dijanjikan melalui iklan Depdiknas sama sekali tidak bermakna apa-apa bagi mereka. Jadi, dalam konteks ini orang tua siswa menjadi korban macam-macam, yakni di satu sisi mereka menjadi korban iklan pendidikan gratis, dan di sisi lain mereka juga menjadi korban ketidakadilan kebijakan pendidikan yang dilaksanakan di negeri ini.
2.2 Kebijaksanaan Pendidikan Gratis sebagai Bagian dari Kebijaksanaan Negara Kebijaksanaan pendidikan adalah kebijaksanaan pemerintah (negara) dalam bidang pendidikan. Mengingat kehidupan negara tidak dapat dilepaskan dari sistem politik negara bersangkutan, maka kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuat negara termasuk kebijaksanaan dalam bidang pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dari sistem politik negara bersangkutan. Keterkaitan ini dapat dilihat pada bagaimana kebijaksanaan tersebut dirumuskan, dilegitimasikan, dikhalayakan, dikomunikasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi (Imron, 2008:20).
Terkait dengan komunikasi kebijaksanaan pendidikan dalam praktiknya sering terjadi komunikasi yang tidak apair. Seperti kebijaksanaan pendidikan gratis, secara normatif kebijaksanaan pendidikan gratis khususnya di tingkat pendidikan dasar (tingkat SD dan SMP) secara jelas telah diatur dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 11 undang-undang tersebut secara tegas mengatur tentang wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Mengingat pendidikan dasar merupakan kewajiban bagi setiap warganegara yang berusia 7 sampai 15 tahun, maka pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan dimaksud. Sebagai bagian dari kebijaksanaan negara, maka kebijaksanaan pendidikan gratis seharusnya tidak hanya merupakan bualan para politisi saat kampanye untuk meraih kedudukan politiknya. Akan tetapi, dalam pratiknya banyak politisi di negeri ini yang menjadikan isu kebijaksanaan pendidikan gratis ini hanya sebagai komoditi politik. Dikatakan demikian sebab begitu mereka terpilih menjadi pejabat negara, dengan gampangnya mereka melupakan apa yang pernah dijanjikan saat mereka kampanye. Jika meminjam gagasan Susetyo (2005) maka dapat dikatakan pendidikan dijadikan alat komoditas untuk meraih kekuasaan politik secara legal tapi tidak bermoral. Berangkat dari uraian di atas, dan jika dikaitkan dengan pandangan Soyomukti (2008:59) yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan ajang pertarungan ideologis, di negeri ini nampak ada benarnya. Dikatakan benar sebab pada kenyataannya apa yang menjadi tujuan pendidikan saat ini berbenturan dengan berbagai kepentingan lainnya. Atau dengan kata lain sekolah sering dijadikan wilayah atau tempat di mana kesadaran diperebutkan oleh berbagai kepentingan. Misalanya, kepentingan untuk membebaskan manusia dari rasa kebodohan, dari kemiskinan, dan di sisi lain pendidikan juga menjadi ajang bagi kesadaran untuk melanggengkan sistem penindasan (baca: kekuasaan). Bahkan di era yang serba materialistik-kapitalistik dewasa ini sekolah sering dijadikan arena bagi pertarungan ideologi kapitalisme global. Hal ini tampak jelas dari pandangan Pilliang (2004:365) mengenai logika pendidikan dan logika kapitalisme yang mengatakan:
bahwa berbagai ilmu seperti manajemen, perbankan, akuntansi, ekonomi, teknologi, arsitektur, dan desain yang diajarkan dalam berbagai lembaga pendidikan dalam model dan paradigmanya yang sekarang adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam citra kapitalisme. Artinya, paradigma-paradigma keilmuan serta logika-logika yang dikembangkan di dalamnya mempunyai hubungan yang saling menghidupkan dengan logika-logika kapitalisme. Jika mengacu pada Piliang (2004) mengenai masuknya logika kapitalisme ke dalam lembaga pedidikan, maka kebijaksanaan pendidikan gratis yang merupakan bagian integral dari kebiajakansanaan negara, hanya menjadi gincu pemanis bibir. Sebab pada kenyataannya, banyak anak dari kalangan keluarga miskin tidak bisa menikmati haknya untuk medapatkan pendidikan berkualitas tanpa kecuali sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang tentang sistem pendidikan nasonal. Sementara secara politis, banyak para politisi di negeri ini dengan bahasa yang tinggi mengatakan bahwa jika dirinya bisa mendapatkan kekuasaan maka hal yang pertamatama dilakukannya adalah membuat kebijakan pendidikan gratis. Tetapi dalam kenyataanya kebijakan pendidikan gratis tetap menjadi mimpi buruk bagi kaum miskin atau kaum tertindas di negeri ini. Atau dengan kata lain pendidikan berkualitas hanya menjadi milik kaum borjuis atau kaum kapitalis yang secara nyata menguasai sistem produksi. Jadi, yang ingin penulis katakan pada kesempatan ini bahwa kebijaksanaan pendidikan gratis sebagai bagian dari kebijaksanaan negara masih bersifat utopis, artinya secara riil belum menyentuh kepentingan masyarakat lapisan bawah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan gratis masih jauh panggang dari api. Padahal sebagaimana disadari bersama bahwa pendidikan merupakan sarana utama untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Selain itu, menikmati pendidikan merupakan hak dasar yang seharusnya dimiliki oleh setiap warganegara di negeri ini. Jika meminjam gagasan Freire (dalam Yunus, 2007:1) yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, sampai pada ketertinggalan di negeri ini, dapat dikatakan masih perlu menempuh jalan yang panjang dan penuh berliku. Pasalnya, sekolah yang seharusnya dilihat sebagai arena untuk membebaskan manusia dari rasa kebodohan, kemiskinan, dan ketertindasan
sebagaimana ditengarai Freire di atas, dalam kenyataannya di Indonesia pendidikan justru dijadikan sebagai mesin citra kapitalisme, yakni sekolah sering dianggap sebagai ajang untuk meraih keuntungan ekonomi. Ketika hal ini terjadi maka benarlah apa yang dikatakan Pilliang (2004) bahwa di era yang serba kapitalistik dewasa ini ekspansi sistem kapitalisme ke dalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah kondisi bertautnya logika pendidikan dengan logika kapitalisme yang menganggap wajar saja pendidikan itu mahal sebab pendidikan dianggap sebagai investasi untuk masa depan para remaja. Artinya, ada semacam anggapan bahwa wajar jika pendidikan itu dibiayai mahal, sebab dengan pendidikan nantinya orang akan dapat menghasilkan sesuatu yang dapat melebihi semua investasi yang mereka tanam sebelumnya.
2.3 Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia suatu Tinjauan Filosofis Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dikacaukan antara istilah kebijakan pendidikan dengan kebijaksanaan pendidikan, padahal kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Menurut Imron (2008:17) kata kebijaksanaan merupakan terjemahan dari kata policy (Ing.) yang berarti mengurus kepentingan umum. Sementara kata kebijakan berasal dari kata wisdom (Ing.) yang berarti kearifan pimpinan kepada bawahan atau masyarakatnya. Berangkat dari batasan tersebut, maka kebijaksanaan pendidikan dimaksudkan di sini adalah atauran-aturan dalam proses penyelenggaraan pendidikan yang dikeluarkan oleh negara dan bersifat mengikat sipapun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut tanpa pandang bulu. Sementara kebijakan dimaksudkan adalah kearifan pimpinan kepada bawahan atau rakyatnya, dalam arti pimpinan yang arif bisa saja bertindak di luar aturan yang berlaku kepada seseorang atau sekelompok orang sejauh apa yang dilakukan oleh pimpinan tersebut mempunyai alasan yang kuat atau alasan yang dapat diterima oleh akal sehat. Jika mengacu pada uraian di atas dan mengaitkannya dengan kebijaksanaan pendidikan di Indonesia, maka pandangan Suhartono (2008:18) tentang fisafat hidup masyarakat abad ke-21 tampaknya menunjukkan unsur kebenaran. Menurut Suhartono (2008:18) ‘’puncak industrialisasi abad ke-21 ditandai dengan semakin
kukuh dan tegaknya filsafat hidup positivisme-materialisme, dan gaya hidup ekonomikapitalistik’’. Dalam kondisi kehidupan masyarakat seperti itu, ada kecenderungan masyarakat mencari kekayaan material sebanyak mungkin dengan jalan apapun dan ini pulalah yang mendorong timbulnya sistem ekonomi kapitalistik yang cenderung memonopoli barang-barang produksi mulai dari proses produksi sampai mekanisme pasar. Akibat sistem ekonomi yang sangat kapitalistik ini, maka hampir semua aspek kehidupan di muka bumi ini diwarnai oleh sistem ekonomi tersebut, tidak terkecuali kehidupan dunia pendidikan. Akibat lainnya pendidikan yang seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai objektivitas, keilmuan, nilai-nilai sosial, dan kebijakan sebagai niai dasar dalam pencaharian pengetahuan kini dimuati oleh nilai-nilai komersial sebagai refleksi keberpihakan kebijakan pendidikan pada kekuasaan kapital (Pilliang,2004). Ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang menganut filsafat hidup materialistik-kapitalistik ini, maka bukan tidak mungkin dapat pula menggiring berbagai kebijakasanaan pendidikan di negeri ini mengarah pada kehidupan yang kapitalistik. Dengan demikian tidak mengherankan jika kemudian di Indonesia lahir berbagai kebijaksanaan pendidikan yang diwarnai oleh sistem ekonomi kapitalis ini. Seperti contoh, adanya kebijaksanaan pendidikan yang direfleksikan dalam bentuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah bertaraf internasional (SBI), dan sekolah unggulan, yang kesemuanya itu bermuara pada kebijaksanaan pendidikan mahal. Kebijaksanaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah Bertaraf Internasional yang disingkat RSBI/SBI keberadaannya di Indonesia mulai tahun ajaran 2007/2008. Kebijaksanaan Depdiknas Tahun 2007 tentang Pedoman Penjaminan Mutu sekolah/madrasah bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menekankan bahwa sekolah/madrasah bertaraf internasional merupakan sekolah/madrasah yang sudah memenuhi seluruh standar nasional pendidikan (SNP). Selain itu, RSBI/SBI juga diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Coopration and Development dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional.
Berangkat dari konsepsi ini, maka pada tataran teks ideal RSBI/SBI seharusnya merupakan sekolah yang cukup mumpuni. Sebab penyelenggaraan RSBI/SBI selain mengacu pada gagasan di atas, juga dilandasi oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme. Filosofi eksistensialisme menekankan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentatif. Sementara filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dengan sub-sub sektornya. Namun, yang terjadi dalam kenyataannya kebijaksanaan RSBI/SBI tidak lebih dari sebuah realitas sosial yang mengarah pada proses terbangunnya sebuah ‘’kasta’’ baru dunia pendidikan. Disebut demikian karena sebagaimana dikatakan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Stria Dharma dalam pertemuannya dengan sejumlah anggota komisi X DPR RI: Bahwa RSBI/SBI justru akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Sebab janji RSBI/SBI sebagai sekolah berkelas dunia dengan segala sistem manajemennya, mutu guru, infrastruktur, dan berbagai kriteria lainnya tidak akan bisa dipenuhi. Pasalnya, kesiapan sumber daya manusia terutama tenaga pengajar yang ada belum memadai. Hal ini diperkuat oleh Itje Cothidjah salah seorang guru Bahasa Inggris yang sering diminta tolong mengajari guru SBI belajar Bahasa Inggris mengatakan dirinya merasa sedih dan prihatin. Pasalnya, Guru-guru SBI itu hanya belajar Bahasa Inggris dalam kurun waktu lima hari, mereka langsung disuruh mengajar materi pelajaran dalam Bahasa Inggris (Fajar Bali, 2010). Hal ini tentu merupakan sesuatu yang imposibel jika tidak mau disebut nonsense. Dampak yang paling terasa dengan kebijaksanaaan RSBI/SBI ini adalah terciptanya diskriminasi dan kastanisasi
dalam dunia pendidikan, sehingga
pendidikan/sekolah bisa menjadi ajang komersialisasi yang sangat menjanjikan. Dalam konteks ini, Soyomukti (2008:59) dalam bukunya yang berjudul ‘’Pendidikan Berperspektif Globalisasi’’ mengatakan bahwa pendidikan tidak jarang dijadikan ajang pertarungan ideologis. Oleh karena dalam kenyataannya apa yang menjadi tujuan pendidikan sering berbenturan dengan berbagai kepentingan lainnya. Misalnya, benturan antara kepentingan untuk membebaskan anak manusia dari segala bentuk kebodohan dan sistem penindasan di satu sisi, dengan kepentingan pihak tertentu
untuk menjadikan sekolah/pendidikan sebagai arena pertangungan ideologi kapitalisme di sisi lain. Ketika ideologi kapitalisme masuk ke dalam logika pendidikan, maka komersialisasi pendidikan sulit dihindari. Komersialisasi pendidikan dalam realitasnya berhubungan pula dengan keberadaan citra (image) dan gaya hidup (life style). Bertolak dari gagasan ini maka pilihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang berlabel RSBI atau SBI tidak bisa dilepaskan dari citra dan gaya hidup. Dalam konteks ini bisa dibilang sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah citra (objek) yang berfungsi sebagai juru bicara gaya hidup, baik dalam hal identitas diri maupun status Sosial. Di sisi lain gaya hidup harus dipertontonkan di ruang publik agar orang lain mengetahuinya (Bawa Atmadja, dkk. 2008). Kondisi ini sangat sesuai dengan tuntutan gaya hidup kaum borjuis, atau kaum kapitalis sehingga tidak pelak jika dikatakan sekolah RSBI/SBI identik dengan sekolah kaum borjuis atau kaum kapitalis yang dalam hidupnya selalu menganut budaya tontonan yang bercirikan pada aneka aktivitas kepenontonan. Berkenanan dengan hal itu, maka dapat dikatakan sekolah RSBI/SBI dalam kenyataannya tidak hanya terkait dengan hasrat untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, tetapi berhubungan pula dengan aktivitas kepenontonan. Artinya, orang tua siswa menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah RSBI/SBI tidak semata-mata agar anaknya pintar dan cerdas, tetapi juga ingin mempertontonkan citra diri ataupun gaya hidup dalam konteks status sosial lengkap dengan berbagai simbol statusnya, seperti pakaian yang fassionable, hand phone dengan segala kecanggihannya, mobil mewah, dan lain-lain. Gagasan ini terkait pula dengan ciri budaya tontonan, yakni kepuasan hidup manusia tidak saja melakukan aktivitas menonton, tetapi juga ditonton oleh orang lain (Bawa Atmadja, dkk. 2008). Dengan demikian secara konotatif dapat dikatakan bahwa sekolah RSBI/SBI lebih tepat disebut sebagai ajang kepenontonan dibandingkan sebagai ajang pencetakan sumber daya manusia yang berkualitas.
III. SIMPULAN Dengan mengacu pada uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan antara lain pertama, kebijaksanaan pendidikan sebagai subsistem kebijaksanaan negara dalam praktiknya acapkali kurang berpihak pada kepentingan rakyat banyak, sehingga sering dikatakan sebagai kebijaksanaan yang bersifat utopia. Seperti, kebijaksanaan pendidikan gratis, yang sasarannya ditujukan pada siswa di jenjang pendidikan dasar, pada kenyataannya pihak manajemen sekolah pada jenjang ini tetap saja melakukan punggutan dengan berbagai sebutan yang pada ujungnya bermuara pula pada beban yang harus ditanggung orang tua siswa. Bagi orang tua siswa yang berkecukupan, hal ini tentu tidak akan menjadi masalah tetapi bagi orang tua siswa yang berkekuarangan hal demikian akan menjadi persoalan yang cukup serius. Kedua, kebijaksanaan pendidikan gratis di Indonesia seharusnya mampu memberikan jaminan bagi perlindungan terhadap hak-hak warga negara untuk menikmati pendidikan yang bermutu. Namun, dalam kenyataannya hal itu masih jauh panggang dari api, sebab realitasnya banyak anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak bisa menikmati haknya untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu di negeri ini. Pasalnya, sistem ekonomi pasar sebagai penjelmaan dari sistem ekonomi kapitalis telah malang-melintang masuk ke ranah sistem pendidikan sekolah di Indonesia. Akibatnya, sekolah yang dulunya dipandang sebagai ajang untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan dalam rangka memanusiakan manusia, kini telah berubah menjadi ajang untuk meraup keuntungan ekonomi. Ketiga, secara filosofis banyak kebijaksanaan pendidikan yang diambil oleh pemerintah di negeri ini, telah dipengaruhi oleh kebijaksanaan di bidang ekonomi, sehingga banyak sekolah pada kenyataannya menerapkan manjemen bisnis. Akibatnya, sekolah yang awalnya merupakan lembaga sosial yang bersifat nirlaba, kini banyak yang beorientasi pasar. Artinya, sekolah yang seharusnya dijadikan arena untuk mencerdaskan kehidupan anak manusia, kini telah berubah menjadi arena untuk mencari keuntungan. Hal ini tercermin dari adanya kebijaksanaan pendidikan pada kategori sekolah RSBI/SBI yang cenderung memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun, orang tua siswa juga rebutan mencari sekolah model ini, meskipun biayanya tinggi. Hal ini disebabkan orang tua ingin mempertontonkan citra diri ataupun gaya hidup dalam konteks status sosial lengkap dengan berbagai sombol-status sosialnya,
seperti pakaian yang fassionable, hand phone dengan segala kecanggihannya, mobil mewah, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, James E., 1979. Public Policy Making. New York Holt, Rinehart and Winston. Atmadja, Nengah Bawa, dan Anantawikrama Tungga Atmadja 2008. ‘’Sekolah + (Bertaraf Internasional, Unggulan, Favorit) = Biaya Mahal = Komersialisasi Pendidikan’’ (Makalah yang diseminarkan). Harian Fajar Bali, 2010. Imron Ali, 2008. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, Proses, Produk dan Masa Depannya. Jakarta:Sinar Grafika Offset. Koran Tempo, 10 Juli 2009. Piliang, Yasraf Amir, 2004. Dunia yang Dilipat. Tamsya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jala Sutra. Republika. CO.ID, Kamis, 7 Juli 2011). Suda I Ketut, 2009. Merkantilisme Pengetahuan dalam Bidang Pendidikan. Surabaya: Paramita. Suhartono Suparlan, 2008. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. Susetyo, Beny. 2005. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta: LKiS Susilo, M. Joko. 2007. Pembodohan siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus. Suyomukti, Nurani, 2008. Pendidikan Berperspektif Global. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. Tim Cemerlang, 2007. Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yunus, M. Firdaus. 2007. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire Y.B Mangunwijaya. Yogyakarta Logung Pustaka.