KEBIJAKSANAAN EKONOMI STABILISASI DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG: PELUANG DAN HAMBATANNYA DALAM PERDAGANGAN PEBAS1
Iwan Nugroho
Pendahuluan Mengamati keadaan negara sedang berkembang (NSB) dalam kaitannya dengan perdagangan internasional memang sangat menarik. Dikatakan sebagai pengekor dari negara maju ada benarnya, namun dikatakan penghambat dalam ratifikasi agreement juga sangat tidak beralasan. Kenyataanya NSB dengan jumlah penduduk delapan puluh persen dunia, merupakan pasar yang luar biasa bagi dua puluh persen penduduk negara maju. Buktinya, berkembangnya multinational corporations (MNCs) di NSB, paling tidak, memperlihatkan pola hubungan dua kelompok negara tersebut, meskipun diakui manfaatnya cenderung mengalir ke negara maju. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, sebagian NSB pun mulai maju pesat dari ketertinggalannya. Munculnya macan Asia, negara-negara Asia Tenggara dan Amerika Latin (seperti Venezuela, Mexico, atau Ekuador) ke dalam jajaran negara industri, membuktikan bahwa telah ada pembaharuan dalam struktur ekonomi domestik, yang tentu saja didukung kebijaksanaan ekonomi yang kondusif, dan dibarengi komitmen yang tinggi dari pemerintahnya. Studi de Janvry, Fargeix, and Sadoulet (1991) memperlihatkan bahwa dapat disusun kebijaksanaan yang memberikan (dampak) harmoni di antara kelompok masyarakat yang berpotensi memunculkan kesenjangan yaitu melalui persuasi dan meningkatkan fleksibilitas perekonomian (finansial dan produksi). Juga pola hubungan pemerintah dan swasta Korea Selatan, Hongkong, Taiwan (mirip halnya dengan Jepang) yang nampaknya mampu menuntun industri secara disiplin untuk meningkatkan daya saing tanpa ada kesenjangan antar industri domestiknya (Cook, 1991). Pendeknya NSB yang berhasil ini, tidak benarbenar sepenuhnya menerapkan konsep klasik atau neoklasik yang orientasinya adalah efisiensi, namun juga tidak berhenti mencari jalan (konsep) lain yang dikembangkan dari faktor-faktor positif (budaya atau sejarah) untuk digunakan mengembangkan perekonomiannya. Bahkan bagi Indonesia selama ini, arti dan makna stabilitas demikian dalam dan tinggi nilainya sehingga pemerintah tidak mau beresiko mengorbankannya sehingga berakibat mengganggu roda perekonomian.
1
Naskah telah terbit di Jurnal WIDYA HUMANIKA (JIUWG) (tahun 1999) 1(7):1-6. ISSN 1411-0652
Paper ini mencoba menelaah pilihan-pilihan kebijaksanaan stabilisasi di NSB dan melihat kemungkinan penerapan dan hambatan-hambatannya.
Karakteristik NSB Karakteristik NSB dapat ditinjau dari aspek manapun: sosial, ekonomi, politik maupun ideologinya. Namun demikian, tanpa mengurangi arti yang sesungguhnya, berikut diuraikan dari aspek ekonominya yang implisit di dalamnya memberi informasi dari aspek lainnya. Bruno (1979) merincinya sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Income per capita 300 hingga 1000 dolar Sangat tergantung impor, cendering price taker Pasar didominasi keadaan imperfect market Keadaan balanced of trade cenderung defisit Income functional share ditentukan oleh private consumption dan saving behaviour Kebijaksanaan fiskal lebih tergantung oleh indirect dibanding direct taxation (impor duty). Sistem finansialnya belum berkembang. Investasinya berasal dari pendapatan yang diperoleh dan bantuan pemerintah. Kredit perbankan sentralistik, dan interest ratenya ditetapkan baku (ceiling), lembaga keuangan tidak terorganisasikan dan marginal cost of borrowing mengandung resiko tinggi. Money supply disediakan dari defisit pemerintah dan balance of trade private sector.
Dalam keadaan seperti di atas, negara memiliki peran dan akses yang sangat besar terhadap seluruh aktifitas perekonomian: sebagai perumus kebijaksanaan, pelaku ekonomi (misalnya Badan Usaha Milik Negara atau BUMN), penarik pajak dan tarif, ikut menikmati keuntungan, pemberi subsidi, pembeli barang dan jasa: juga termasuk faktor produksi tenaga kerja atau modal luar negeri. Implisit atas keadaan ini, peran eksekutif umumnya lebih besar melebihi legislatif. Peran dan akses negara atas inisiatif eksekutif dengan mudah memaksa legislatif untuk merumuskan aspek legal perundangan sesuai yang dikehendaki eksekutif. Dalam rangka mempermudah akses negara kepada sumberdayanya atau untuk kepentingan pengelolaannya, secara spasial, umumnya NSB berkecenderungan memiliki struktur atau bentuk negara yang sentralistik atau negara kesatuan. Meskipun hal ini secara teoritis (atau ekonomi) tidak efisien karena melibatkan coordination cost yang mahal, namun ini adalah hal penting di dalam mendapatkan legitimasi secara politik dari masyarakatnya. Bentuk sentralistik, bahkan kemudian memiliki keuntungan ketika berhadapan dengan keputusan pengelolaan sumberdaya domestik yang melibatkan investor asing atau kepentingan negara lain, karena birokrasi pengamilan keputusan hanya ada di pemerintah pusat saja. Hal ini berlawanan dengan negara faderal, dimana birokrasi pengambilan keputusan harus melalui negara bagian dan pusat.
2
NSB dan Persetujuan Perdagangan Bebas Struktur pemerintahan NSB yang sentralistik punya kaitan dengan bagaimana persepsi dan sikap NSB dalam meratifikasi persetujuan perdagangan bebas. Seperti telah disebut dalam pendahuluan, sekalipun mungkin sebagai pengekor (karena tidak berkontribusi banyak dan hanya sebagai free rider), setidaknya NSB memahami bahwa di dalam persetujuan itu ada potensi manfaat ekonomi yang dapat digaet dan dinikmati untuk kesejahteraan rakyatnya. Output dunia diharapkan memberikan tambahan atau substitusi terhadap berbagai kendala struktural atau endowment disadvantages lainnya sehingga menggeser kurva transformasi dan social indifferent curve lebih tinggi dari sebelumnya. Atas dasar inilah, NSB secara prinsip, sangat menyetujui perdagangan bebas relatif lebih responsif dibanding negara-negara faderal. Fenomena NSB seperti demikian mengakibatkan ratification costnya menjadi kecil (Ruppel, Boadu, and Peterson, 1991) Menjadi pertanyaan menarik adalah bagaimana peran NSB dalam implementasi persetujuan perdagangan bebas. Mungkin disinilah keuntungan (satu sisi saja) NSB, meskipun tidak dari awal mengikuti rangkaian round sejak pembentukan GATT tahun 1947 (Tabel 1), tepatnya sejak Tokyo Round, namun NSB diberi kesempatan start belakangan pada tahun 2020, sementara negara maju tahun 2010. Tentu saja, timing start mungkin tidak berarti bila melihat kondisi perekonomian yang sebenarnya. Karenanya, NSB terutama yang ketergantungannya terhadap output dunia (baca: impor) sangat tinggi harusnya telah mempersiapkan aneka kebijaksanaan ekonomi yang tepat untuk menyongsong era di depan itu. Tabel 1. Round Perundingan dalam Kerangka GATT, Uruguay Round dan WTO
No N a m a
Tahun
Hasil Perundingan
Peserta
Perumusan perjanjian GATT dan perundingan mencakup 45000 item tarif senilai 10 miliar dolar Mencakup 5000 item tarif Mencakup 5000 item tarif Perundingan tarif mencakup perdagangan senilai 2.5 miliar dolar Perundingan mencakup 4400 item dengan nilai perdagangan 4.9 miliar dolar Perundingan tarif untuk perdagangan senilai 40 miliar dolar dan perundingan anti dumping Penghapusan tarif dan non tarif senilai 155 miliar dolar Perundingan penurunan tarif, sektor pertanian, dan perdagangan multilateral lainnya Kesepakatan perdagangan bebas melalui kelembagaan WTO secara spesifik: penetapan periode penurunan tarif secara konsisten
23
1
GATT Conference 1947
2 3 4
Annecy Round Torquay Round Geneva Round
1949 1950-51 1955-56
5
Dillon Round
1960-61
6
Kennedy Round
1964-67
7
Tokyo Round
1973-79
8
Uruguay Round
1986-94
9
WTO
1985
33 34 22 45 48 99 ± 120 ± 175
3
Kebijaksanaan Ekonomi Bagi NSB, dengan karakteristik yang diuraikan sebelumnya nampak tidak dapat berharap banyak dalam era perdagangan bebas, dalam arti pengaruh eksternal mungkin begitu kuat mempengaruhi keadaan domestiknya. Namun demikian, bukan tidak ada jalan untuk mengantisipasinya. Bruno (1979) mencoba menyusun model (Tabel 2) yang dapat digunakan untuk merumuskan kebijaksanaan bagi NSB atau industrinya belum maju. Tentu saja model itu didasari asumsi-asumsi, antara lain: ukuran negara kecil, terdiri sektor ekspor, impor dan non tradable, sektor ekspor menggunakan bahan baku impor, dan harga ekspor adalah harga dunia. Kemudian model-model tersebut dapat digunakan untuk menjustifikasi dari perubahan ekonomi dunia maupun upaya stabilisasinya. Tabel 2. Model-model Kebijaksanaan Stabilisasi dan Stagflasi untuk Negara Sedang Berkembang (Bruno, 1979) Kebijaksanaan Model Nomer1 Price adjusment 9 P = a0 ρ + a1 w + a2 p + a3 π + a4 U Output adjusment 10 X = - b 0 ρ - b 1 w - b 2 p + b3 π + b 4 U Wage adjusment 12 w = d0 + d 1 π Aggregat demand 13 Q = Q[y(δ1 + δ2φ), -ρ, π; Ix] Current trade deficit D = Pn N(w/pn, X) - Pe E(pe/w) 14 -1 The money supply 17 M = M m [-B(e, w, tn, -qe, X) + H0 (w, -yP, φ) -1 Aggregat financial costs 19 ρ = Ψ0r0 - Ψ1 [(m - 1) m + M] Defitional equations Real Income y = X + (e/p) [Pe E(pe/w) - Pn N(w/pn, X)] + (w/p) Lg Wage share φ = W/Y = (w/y)[Lx (pn/w, X) + Le (pe/w) + Lg] Price of imports and pn = e Pn (1 + tn), pe = e Pe (1 + qe) Policy parameter Balance of payment (e; tn, qe) Fiscal (Lg; tr , tw) Monetary (m, r0) 1 Nomer persamaan Kebijaksanaan Moneter dan Balance of Payment Andaikan saja terjadi perubahan seperti berikut. Harga raw material (pn) naik, maka output (X) menurun dan harganya (P) naik (lihat persamaan 9 dan 10). Keadaan ini menyebabkan external balance menjadi baik karena defisitnya (persamaan 14) berkurang. Namun hal ini ternyata diimbangi oleh naiknya defisit domestik (B, persamaan 17). Dalam kenaikan pn berarti ada kenaikan nominal harga dan penurunan wage share (φ), sekaligus pula penurunan defisit (H0) domestik sejalan (-B). Akibatnya maka terjadi kontraksi 4
moneter sekalipun dalam reserve rasio konstan. Tanpa ada justifikasi lainnya, misalnya oleh bank sentral (tidak ada faktor lain karena pasar kredit NSB sangat lemah), maka marginal cost of borrowing akan naik sekaligus akan menaikkan ρ (persamaan 19). Dengan keadaan cost push seperti ini, kebijaksanaan stabilisasi yang sangat mungkin adalah devaluasi. Alasan lain yang sejalan dengan fenomena di atas, bahwa kenaikan cost impor dapat disertai kenaikan aktifitas endogenous yang kemudian menaikkan pula marginal cost of borrowing dan ρ. Apa yang terjadi dengan kenaikan agregat demand. Satu hal yang jelas adalah menurunkan wage share, yang kemudian menurunkan tingkat konsumsi. Negara dapat mengantisipasinya dengan devaluasi dan menaikkan money supply. Kedua kebijaksanaan ini akan meredam harga maupun output. Kebijaksanaan Fiskal dan Balance of Payment Sementara kebijaksanaan fiskal digambarkan melalui uraian berikut. Katakan pemerintah menaikkan pajak tw dan/atau tr (dari upah dan profit), dalam keadaan M konstan, maka agregat demand harus dipenuhi (banyak-banyak) agar tidak terjadi inflationary effect. Namun ternyata ada trade-offnya; (1) kenaikan tw mendorong labor union meuntut kenaikan upah dan (2) kenaikan tr sebaliknya akan menurunkan insentif berinvestasi atau modal cenderung untuk ditabung saja (meskipun ini tidak spesifik di NSB). Mekanisme sama juga berlaku dengan penetapan tarif (tn), yang dapat mengakibatkan push cost. Ternyata, prakteknya devaluasi cukup baik mengatasi hal tersebut (dibanding kontraksi money supply) tanpa ada pengaruhnya terhadap real price dan wage atau perubahan output. Karenanya menjadi umum, tarif dan devaluasi merupakan pasangan kebijaksanaan yang baik. Model di atas juga memberi peluang NSB untuk memanfaatkan keuntungan-keuntungan dari perdagangan bebas. Katakan subsidi ekspor dinaikkan (qe), maka hal ini harus diikuti oleh kenaikan pajak profit (tr) agar supaya tidak terjadi kenaikan agregat demand (Q). Pada saat yang sama money supply boleh ditingkatkan untuk mengakomodasikan kenaikan sektor ekspor. Keadaan ini akan memperkuat balance of payment dan employment (karena di NSB selalu ada pengangguran) tanpa ada cost dari inflasi atau turunnya income share. Hambatan-hambatan Model-model di atas sebenarnya mampu menunjukkan alternatif kebijaksanaan yang dikehendaki NSB, contohnya dalam paragraf terakhir. Hanya saja sudah menjadi hal yang umum khususnya di NSB, bentuk-bentuk seperti subsidi, tarif, atau kredit murah ternyata menghasilkan distorsi lebih dari yang dibayangkan. Bahkan ada kecenderungan, bahwa fasilitas seperti ini diburu (secara secara diam-diam atau bahkan transparan) oleh pelaku ekonomi yang tidak didasari oleh konsepsi yang benar. Banyak yang kemudian fasilitas itu digunakan untuk sektor lain (capital flight), sementara sektor yang benar-benar membutuhkan menjadi merana dan tidak berkembang. Akibatnya, terjadilah pergeseran factor intensity yang pada gilirannya menghacurkan sektor-sektor yang diunggulkan. Sejalan dengan skedul yang telah disusun dalam kesepakatan WTO, maka penerapan tarif, subsidi, atau bentuk distorsi lain menjadi tidak laku lagi. Negara yang masih 5
menerapkan kebijaksanaan ini, selain kurang memiliki komitmen, juga akan berada dalam posisi yang dirugikan karena ada sluggishness dalam mendorong kurva transformasi lebih tinggi. Karenanya waktu yang tersedia menjelang deadline bagi NSB harus benar-benar diikuti secara konsisten melalui penurunan tarif yang bertahap. Penggabungan dalam APEC atau Mayarakat Eropa (ME) memberi keuntungan bagi masing-masing pesertanya, karena ada pemicu yang berusaha mendisiplinkan diri secara bertahap sekaligus memberi pelajaran dalam menyusun kebijaksanaan yang paling baik (tidak mengejutkan) bagi private sektornya. Pemerintah hendaknya memiliki komitmen yang tinggi (non discretion) dalam menetapkan penurunan tarif secara bertahap dan terbuka kepada industri. Tujuannya tidak lain agar tarif dapat mengurangi distorsi itu sendiri, serta meningkatkan dan mengkonvergensikan actual welfare dari expected welfare. Staiger and Tabellini (1991) mengemukakan kebijaksanaan yang berkomitmen (time consistent policy) mengharuskan pemerintah bertindak terencana dengan menetapkan tarif lebih dahulu untuk mempengaruhi keputusan private sector dalam mengalokasikan sumberdaya dan faktor produksinya. Lawannya adalah kebijaksanaan longgar (discretion), dimana pemerintah bertindak (menetapkan tarif) sesudah keputusan private sector, yang kemudian ternyata tidak efektif dalam menurunkan distorsi. Pengaruh dua kebijaksanaan terhadap mobilisasi distribusi pekerja dan upah diuraikan sebagai berikut. Kebijaksanaan tarif yang longgar mengakibatkan elastisitas perbedaan upah (antar sektor ex post) nilainya satu (ηw = 1) dan elastisitas output nilainya nol (ηy = 0). Ini artinya tarif tidak efektif lagi mendorong pekerja pindah ke sektor yang lebih menguntungkan karena tidak didukung oleh perubahan produksinya. Dengan kata lain, upah bergerak (perbedaannya) sama proporsinya dengan tarif. Sebaliknya kebijaksanaan komitmen mendorong ηw < 1 dan ηy > 0. Disini tarif memberi peluang kepada industri untuk mengantisipasi perubahan pergerakan tenaga kerja (dan upah) dan outputnya tanpa ada kesan mengejutkan atau melindungi. Baik pekerja maupun industri merasa diuntungkan akibat tarif sehingga membawa dampak peningkatan kesejahteraan.
Kesimpulan 1. NSB hendaknya tetap optimis menatap ke depan mengantisipasi perdagangan bebas dengan memanfaatkan peluang yang ada melalui kebijaksanaan ekonomi yang terencana dan matang. 2. Kebijaksanaan ekonomi stabilisasi atau perbaikan dapat memilih salah satu atau kombinasi dari kebijaksanaan balance of payment, fiscal, dan monetary. Satu hal yang harus diingat, memilih kebijaksanaan tarif hendaknya ditujukan untuk menghilangkan distorsi, dan tentu saja melalui kebijaksanaan yang berkomitmen 3. Meskipun masih ditemukan hambatan, NSB seharusnya segera meningkatkan sektor finansial dan membenahi fleksibilitas sektor produksi, dengan tujuan untuk mengimbangi dan mengurangi dampak buruk akibat dari suatu perubahan.
6
Daftar Pustaka Bruno, M. 1979. Stabilization and stagflation in semi-industrialized economy. In: Dornbusch, R. and J. A. Frenkel (eds.). International Economic Policy: Theory and Evidence. The Johns Hopkins, Baltimore, Maryland. 270-289 Cook, J. E. 1991. A competitive model of the Japanese firm. Journal of Policy Modelling. 13(1):93-114 de Janvry, A., A. Fargeix, and E Sadoulet. 1991. Political economy of stabilization programs: feasibility, growth, and welfare. Journal of Policy Modelling. 13(3):317345. Ruppel, F. J., F. O. Boadu, and E. W. F. Peterson. 1991. Faderalism, opportunism, and multilateral trade negotiations in agriculture. Amer. J. Agric. Econ. 73(4):1009-1019. Staiger, R. W. and G. Tabellini. 1991. Rules versus discretion in trade policy: an empirical analiysis. In: Baldwin, R. E. (ed.). Empirical Studies of Commercial Policy. The University of Chicago Press, Chicago. 11-40
7