KEBIJAKAN INTERAKTIF PADA IMPLEMENTASI KEWENANGAN DESA (Suatu Pola Interaksi Pemerintah Desa di Desa Pabean, Kec.Dringu, Kab. Probolinggo) Ike Wanusmawatie Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Abstraksi This research tries to analyze PP No. 72/2005 about village, especially in the side of interaction among village government and their other stakeholders. It is very important for measuring policy succession. The method used in this study is qualitative method by applying interactive model of data analysis. Result of research showed that there are ambiguity between implementing organization and the target group. It means that the goal of policy cannot be achieved because of deviation in policy formulation rather than deviation in the policy implementation. This study has important input for improvement of policy formulation, especially regarding village policy. Keyword: public policy, implementation as interaction, village authority
menunjukkan bahwasanya implementasi kebijakan desa berdasarkan hasil policy termination terhadap UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa sulit untuk dilaksanakan, apalagi merangsang target group untuk melaksanakannya. Kesulitan melaksanakan kewenangan desa tersebut tentunya menghasilkan pola interaksi antar stakeholders yang dapat menunjukkan bahwa kebijakan Desa ini berhasil atau tidak mencapai tujuannya, yaitu kemandirian desa. Oleh karena itu perlu kiranya untuk mengetahui dan menganalisa pola interaksi pemerintah desa dengan stakeholders nya sebagai salah satu alat untuk menilai keberhasilan sebuah kebijakan publik. Pemikiran ini sekaligus merupakan latar belakang rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini yaitu, “Bagaimanakah Kebijakan Interaktif pada Implementasi Kewenangan Desa?”
I. Pendahuluan Penelitian ini berusaha mengungkapkan realitas interaksi yang terjadi pada policy actors pada implementasi kewenangan desa di Desa Pabean, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo. Penelitian ini dilaksanakan pada pertengahan tahun 2005 hingga akhir 2007, ketika terjadi policy succession dari UU No. 22/1999 menuju UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 76/2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa jo PP No. 72/2005 Tentang Desa sebagai sebuah landasan kebijakan yang memuat tentang kewenangan Desa. Smith menyampaikan bahwa kebijakan yang ideal adalah suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi, dan merangsang target group untuk melaksanakannya (E.S. Quade, 1977: 261). Permasalahan di lapangan
54
Wanusmawatie, Kebijakan Interaktif Pada Implementasi Kewenangan Desa 55
II. Metode Penelitian Penelitian ini berbasis pada pendekatan kualitatif, dengan mengambil lokasi di Desa Pabean, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo. III. Pembahasan 1. Implementasi Kebijakan Publik Tahap implementasi kebijakan (policy implementation stage), oleh Howlett dan Ramesh(1995) digambarkan sebagai sebuah proses dimana program atau kebijakan dilaksanakan; dan menandakan penerjemahan sejumlah rencana ke dalam praktek (Howleet and Ramesh , 1995: 153). Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier(1979), menjelaskan bahwa fokus perhatian implementasi kebijakan adalah kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian (Mazmanian dan Sabatier (1979) dikutip Abdul Wahab, 2002: 65). Di sisi lain, ketika kebijakan diimplementasikan maka sebenarnya telah terjadi proses pengubahan. Selain itu perlu juga disadari bahwa apa yang terjadi pada tahap implementasi akan mempengaruhi hasil akhir kebijakan. Sebaliknya, peluang keberhasilan dalam mewujudkan hasil akhir yang diinginkan akan semakin besar apabila sejak dalam tahap merancang bangun kebijakan telah dipikirkan masakmasak berbagai kendala yang mungkin muncul saat diimplementasikan. Apabila proses ini diabaikan dimungkinkan perubahan kebijakan (policy change) terjadi seperti halnya penghentian (termination).
Cooper et.al, (1998) menjelaskan bahwasanya pertimbangan untuk melakukan tahap policy termination (penghentian kebijakan) atau policy transformation (perubahan kebijakan) dalam proses kebijakan adalah apabila sebuah kebijakan dianggap tidak efektif (ineffective), tidak sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini (inappropiateto the current situation) atau terlalu memakan banyak biaya (too costly) terutama biaya sosial dan politik (social politic cost). Meskipun demikian, (Bardach (1976) dikutip Parson, 1995: 576) menyampaikan bahwa penghentian (termination) sangat sulit dilakukan karena merupakan proses politik yang melibatkan banyak kepentingan (vested interest), sehingga akan menimbulkan dampak yang bersifat politis, oleh karena itu proses ini jarang dilakukan. Tipe perubahan kebijakan (policy change) yang sering dilakukan adalah suksesi kebijakan (policy succession) yaitu perubahan kebijakan yang tidak frontal melakukan penghentian seperti halnya penghentian (termination). Proses ini hanya menggganti kebijakan yang telah ada dengan kebijakan lain, sedangkan perubahannya tidak bersifat fundamental melainkan melanjutkan kebijakan yang telah ada (Hogwood and Peters, (1983) dikutip Parson, 1995: 572). 2. Perspektif Bawah-Atas (Bottom Up) dan Implementasi Interaktif Kemunculan implementasi interaktif atau biasa dikenal dengan implementation as interaction dari Thomas B. Smith (1973) diawali oleh kemunculan bottom up perspective (perspektif bawah atas) yang mulai mewarnai kebijakan publik di era post modern. Implementasi kebijakan sebagai interaksi (implementation as interaction), dari Smith(1973)
56 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
melibatkan empat komponen yaitu sebagai berikut: 1. The idealized policy, that is, the idealized patterns of interaction that those who have defined the policy are attempting to induce; 2. The target group, defined as those who are required to adopt new patterns of interaction by the policy. They are the people most directly affected by the policy and who must change to meet its demands; 3. The implementing organization, usually a unit of the government bureucracy, responsible for implementation of the policy; 4. The environmental factors, those elements in the environment that influence or are influenced by the policy implementation. The general public and the various special interest group are here. Again quoting Smith (1973) (E.S. Quade, 1977: 261) Dari keempat komponen tersebut seringkali faktor lingkungan diabaikan. Faktor lingkungan yang berbeda di suatu daerah menyebabkan sebuah kebijakan yang sama mengalami kegagalan. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan kultur, kondisi sosial, politik dan ekonomi yang terdapat dalam lingkungan tersebut. Dengan demikian ketegangan-ketegangan (tensions), fragmentasi (perpecahan), konflik, terjadi dan membuka peluang manuver di tingkat lokal. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai. Keadaan ini oleh Andrew Dunsire (1978) yang
dikutip oleh Abdul Wahab (2002: 61) dinamakan implementation gap. Setiap kebijakan publik memiliki resiko untuk gagal yang disebabkan oleh faktor pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy) atau kebijakan tersebut bernasib jelek (bad luck). Resiko kegagalan tersebut oleh Hoogwood dan Gunn (1986) dibedakan ke dalam dua kategori yaitu: 1. Non implementation (tidak terimplementasikan). Artinya suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana. Hal ini diasumsikan karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, tidak menguasai permasalahan dan permasalahan tersebut di luar jangkauan kekuasaannya. 2. Unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Hal ini terjadi disebabkan kondisi eksternal yang tidak menguntungkan, misalnya adanya pergantian elit kekuasaan (kondisi politik) dan bencana alam. Disamping kegagalan terdapat pula faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagian besar literatur kebijakan menjelaskan bahwa keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu logika kebijakan; sifat alami/hakekat dari kerjasama yang diperlukan; dan kemampuan, keahlian, serta keyakinan dari pelaksana kebijakan (Weimer dan Vining,1989: 305-306). Selain itu realitas implementasi kebijakan yang tidak boleh diabaikan adalah sifat/hakekat permasalahan, lingkungan, organisasi pelaksana (implementing agencies). Dengan demikian faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan dalam
Wanusmawatie, Kebijakan Interaktif Pada Implementasi Kewenangan Desa 57
implementasi kebijakan juga mengakomodir faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi. Oleh karena itu kegagalan dan keberhasilan memiliki faktor-faktor yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan diantara keduanya. 4. Desa a. Pemerintahan Desa Pemerintah Desa merupakan simbol formal dari kesatuan masyarakat desa. Pemerintah Desa sebagai badan kekuasaan terendah, selain memiliki wewenang asli untuk mengatur rumah tangga sendiri, juga memiliki wewenang dan kekuasaan sebagai pelimpahan dekosentrasi dari pemerintah di atasnya. Pemerintahan Desa diselenggarakan di bawah pimpinan seorang Kepala Desa beserta para pembantunya, mewakili masyarakat desa untuk hubungan ke luar maupun ke dalam masyarakat yang bersangkutan. Kepala Desa dibantu oleh Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya. Perangkat Desa lainnya ini terdiri atas Kepala Seksi (Kasi), Pelaksana Urusan (Kaur), dan Kepala Dusun (Kasun). Kemudian untuk urusan rumah tangga desa, pemerintah desa membuat peraturan desa. Peraturan Desa dibuat oleh Kepala Desa bersama BPD, dulu dikenal dengan sebutan Rapat (rembug) Desa dan Dewan Desa. Perdes dilaksanakan oleh Kepala Desa dan dipertanggung jawabkan kepada rakyat melalui BPD. b. Kewenangan Desa Secara de jure yaitu UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan Desa berubah istilah menjadi urusan pemerintahan yang mencakup: a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota. d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangperundangan diserahkan kepada desa. (UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah). Penelitian ini mengambil sebagian kategorisasi kewenangan secara historis dan legal formal yang terbagi menjadi menjadi empat jenis yaitu sebagai berikut (Eko, 2004:7): (1). Kewenangan Genetik Adapun beberapa jenis kewenangan ini yang sering dibicarakan adalah sebagai berikut: a. Kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri. b. Kewenangan mengelola sumberdaya lokal (sumber daya lokal adalah hak milik desa berupa seperti halnya tanah kas desa/tanah bengkok dll) c. Kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat. d. Kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk adat-istiadat). e. Kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community justice system). (2). Kewenangan Devolutif Kewenangan Devolutif, yaitu kewenangan yang harus ada atau melekat pada Desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal, meski desa belum diakui sebagai daerah otonom seperti kabupaten/kota. Desa, sebagai bentuk pemerintahan lokal memiliki perangkat pemerintah desa (eksekutif) dan BPD sebagai perangkat legislatif yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan desa sendiri.
58 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
(3). Kewenangan Distributif Kewenangan distributif adalah kewenangan mengelola urusan pemerintahan yang dibagi ataupun didelegasikan oleh pemerintah kepada desa. Berdasarkan perkembangannya, dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah maka urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten dapat diserahkan pengaturannya kepada desa. Selain itu kewenangan distributif juga dapat berasal dari urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa. Disisi lain Wasistiono (2001: 65) berpendapat bahwa daerah yang diakui sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang otonom memiliki empat kewenangan (hak) dasar. Keempat hak/ kewenangan dasar tersebut diturunkan ke dalam konteks Desa maka sebagai berikut: a. Kewenangan memilih pemimpin, yaitu berupa pemilihan kepala desa; b. Kewenangan untuk memiliki dan mengelola kekayaan sendiri (berupa tanah kas desa/tanah bengkok, serta barang-barang publik lainnya yang bersifat loka)l; c. Kewenangan untuk membuat aturan hukum (perdes); d. Kewenangan untuk mengangkat, menggaji dan memberhentikan pegawai (perangkat desa). Apabila dicermati secara seksama maka kewenangan dasar ini merupakan bagian dari kewenangan genetik yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan disebut sebagai kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal-usul desa (genetik). Selain bagian dari kewenangan genetik juga merupakan kewenangan devolutif sebagai konsekuensi sebuah unit pemerintahan negara yang ada di Desa.
5. Analisis a. Kebijakan Ideal (Idealized Policy) Penjelasan dari Smith (E.S. Quade, 1977: 261) bahwa kebijakan yang ideal adalah suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi, dan merangsang target group untuk melaksanakannya dapat digunakan sebagai bingkai untuk melihat pola interaksi yang ideal antara aktor kebijakan yang terlibat khususnya kelompok sasaran. Berdasarkan rumusan kebijakan maka penelitian pola interaksi yang ideal adalah sebagai berikut: (1). Pola interaksi pada kewenangan aspek genetik Dalam penjelasan pasal 7a PP No. 72/2005 Tentang Desa telah diintruksikan adanya pengidentifikasian jenis kewenangan genetik kemudian dikembalikan kepada Desa dan diperdakan. Namun, implementasi di lapangan diserahkan kepada Desa, Pemda tidak mengidentifikasi jenis kewenangan tersebut apalagi menetapkannya dalam bentuk perda, meskipun telah diatur dalam undang-undang maupun PP. Dikarenakan sulitnya menemukan urusan pemerintahan yang menjadi hak asal-usul desa maka untuk lebih memudahkan, mengikuti penggolongan yang dilakukan Zakaria (dikutip Eko 2004:7) yaitu pengelolaan tanah kas desa, membuat dan menjalankan hukum adat setempat, mengelola dan merawat adat-istiadat serta melaksanakan peradilan komunitas (yudikatif). Dari beberapa kegiatan ini maka pola interaksi yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: a. Pola interaksi Pemdes dengan pemerintah di atasnya.
Wanusmawatie, Kebijakan Interaktif Pada Implementasi Kewenangan Desa 59
Adapun yang dimaksud dengan Pemerintah di atasnya adalah Pemkab Probolinggo, khususnya pada Bagian Pemerintahan, Sub Bagian Pemerintahan Desa, beserta Camat Dringu, lebih tepatnya bagian pemerintahan sebagai perangkat daerahnya. Pola interaksi yang terjadi adalah mandiridimana Pemdes memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan pada aspek ini sesuai dengan perkembangan sistem nilai dan sosial budaya yang berkembang di desanya. Implementasi dari kewenangan ini hanya dipertanggungjawabkan kepada masyarakat setempat. Namun, pada kenyataannya, kewenangan ini tidak dapat dilaksanakan karena urusan pemerintahan yang sudah melekat pada desa berdasarkan asal-usul ini telah terkikis dan tidak dapat dijumpai lagi di Desa Pabean. b. Pola interaksi antara Pemdes dengan masyarakat Desa Pabean Pola interaksi ideal adalah timbal balik (resiprocal). Namun, di lapangan menunjukkan bahwa pola yang terjadi linier. Sehingga tidak memunculkan interaksi apalagi membentuk pola. Dari beberapa penggolongan hak asal-usul yang dilakukan Zakaria (dikutip Eko 2004:7) yang dapat dipotret di Desa Pabean ini diantaranya adalah melaksanakan adat-istiadat yang berkembang di masyarakat tanpa ada upaya pemeliharaan. Sedangkan kelompok kepentingan tidak muncul, kelompok pemuda (Karang Taruna Gagak Rimang) dan kelompok agama yang diwakili oleh kelompok pengajian tidak banyak berperan apalagi dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat. Semua terjadi karena dominasi kepala desa yang mampu meredam segala friksi yang terjadi di masyarakat sebelum muncul ke permukaan dan
menimbulkan ketegangan maupun konflik. c. Pola interaksi Pemdes Pabean dengan BPD. Diharapkan dalam setiap proses implementasi kewenangan aspek genetik terjadi jalinan kemitraan antara Pemdes dengan BPD. Berdasarkan observasi, peran BPD tidak ditemukan sama sekali dalam implementasi kewenangan ini, sehingga pola interaksinya juga tidak nampak. d. Pola interaksi Pemdes Pabean dengan pihak ketiga Pola interaksi yang diharapkan adalah timbal balik (resiprocal). Adapun yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah swasta ataupun Pemdes desa lainnya dalam rangka kerjasama untuk mengelola kewenangan genetik, khususnya dalam pengelolaan tanah kas desa. Di Desa Pabean pola interaksi ini tidak muncul karena memang tidak terdapat kerjasama dengan pihak ketiga. Secara umum pola interaksi yang ideal pada kewenangan genetik ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:
Gambar 1. Pola Interaksi pada Kewenangan Aspek Genetik. Sumber data: diolah Pola diatas adalah pola interaksi yang terjadi sesuai dengan PP No. 72/2005 Tentang Desa, dimana Pemdes Pabean secara timbal balik berinteraksi dengan BPD, begitu pula interaksinya
60 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
dengan masyarakat desa. Setiap hasil kerjasama dengan pihak ketiga yang dilakukan dengan prinsip timbal balik dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Sedangkan hubungannya dengan Pemkab dan Camat adalah koordinasi bukan pertanggung jawaban. (2). Pola interaksi pada kewenangan aspek distributif Pada kewenangan ini terbagi dua jenis kewenangan aspek distributif yaitu yang pertama, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten yang diserahkan pengaturannya kepada desa; dua, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa. Di Indonesia pembagian kewenangan tersebut didasarkan pada UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah melalui PP No 72/2005 Tentang Desa. Dengan demikian pola interaksi yangdiharapkan terjadi adalah sebagai berikut: a. Pola interaksi Pemdes Pabean dengan Pemkab Probolinggo Pola interaksi yang diharapkan terdapat dua bentuk yaitu mandiri dan supervisi (ditunjukkan pada anak panah no.1 dalam gambar 2a). Namun dalam kenyataannya, pola interaksi yang terjadi adalah formal linier terbatas pada pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang “otonomi desa”. Pemdes hanya melaksanakan Perda yang berkaitan dengan bidang “otonomi desa” tanpa ada ruang publik untuk mendiskusikan mengenai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten yang diserahkan kepada Desa. Dengan demikian supervisi maupun interdependensi tidak terjadi dimana secara substansi supervisi hanya bersifat formalitas saja.
b. Pola interaksi antara Pemerintah Desa dengan pihak ketiga adalah timbal balik (resiprocal) Implementasi di lapangan menunjukkan tidak ada pihak ketiga yang melakukan kerjasama dengan Pemdes Pabean dalam rangka pelaksanaan kewenangan pada aspek distrbutif. c. Pola interaksi antara Pemerintah Desa dengan masyarakat Desa adalah timbal balik (resiprocal). d. Pola interaksi antara Pemerintah Desa dengan BPD adalah kemitraan, timbal balik (resiprocal). Praktek implementasi di lapangan tidak nampak, karena kewenangan pada aspek ini belum bahkan dimungkinkan tidak terimplementasikan, menunggu kemauan politik (political will) pihak kabupaten, sehingga pola interaksi di lapangan tidak muncul. Pada akhirnya, pola interaksi kewenangan pada aspek distributif yang terdiri dari aspek distributif 1 dan 2 dapat dilihat pada gambar 2bdibawah ini. Perbedaan antara aspek distributif 1 dengan aspek distributif 2 terletak pada asal usul dan bidang /urusan yang diserahkan, yaitu urusan pemerintahan lainnya.
Gambar 2a. Pola Interaksi pada Kewenangan Apek Distributif 1 Sumber data: diolah
Wanusmawatie, Kebijakan Interaktif Pada Implementasi Kewenangan Desa 61
Gambar 2b. Pola Interaksi pada Kewenangan Apek Distributif 2 Sumber data: diolah (3). Pola interaksi pada kewenangan dasar DalamUU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun PP No. 76/2001 jo PP No. 72 Tentang Desa tidak disebutkan secara tertulis mengenai kewenangan dasar ini. Mengacu pada kategorisasi aspek dasar dari wasistiono (2001) maka kewenangan dasar yang dimiliki desa meliputi kegitan berikut: a. Memilih Kepala Desa b. Memiliki dan mengelola kekayaan desa c. Membuat Peraturan Desa (Perdes) d. Mengangkat, menggaji dan memberhentikan Perangkat Desa. Keempat kegiatan ini pola interaksi yang diharapkan (ideal) adalah sebagai berikut: a. Pola interaksi Pemdes Pabean dengan Pemkab Probolinggo Berdasarkan rumusan kebijakan dalam UU no. 22/1999 jo UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pola interaksi ideal adalah mandiri. Dalam keempat kegiatan aspek dasar tersebut, praktek di lapangan menunjukkan bahwa pola interaksi yang terjadi adalah ketergantungan dalam hal pembiayaan. Artinya kemandirian yang diharapkan
tidak nampak, interaksi koordinasi saja tidak cukup. b. Pola interaksi Pemdes Pabean dan BPD adalah kemitraan, (resiprocal) timbal balik Secara ideal pola interaksi yang diharapkan adalah timbal balik seperti yang telah dikemukakan dalam penjelasan UU No. 32/2004 tentang pemerintahan Daerah bahwa BPD adalah mitra kerja Pemdes. Dalam prakteknya interaksi yang terjadi diwarnai sedikit ketegangan terutama dalam pembuatan ataupun penetapan Perdes, salah satunya Perdes tentang APBDes. c. Pola Interaksi Pemdes dengan Pihak Ketiga Secara ideal pola interaksinya seperti yang telah dijabarkan dalam UU no. 32/2004 tentang pemerintahan Daerah adalah saling menguntungkan, timbal balik. Semua dapat terlihat terutama dalam pengadaan kertas suara, kotak suara maupun pengadaan alat-alat pemilihan kepala desa, kemudian pembentukan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) maupun pengelolaan kekayaan desa berhak melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dalam hal ini swasta maupun pemerintah desa lainnya. Namun, prakteknya ini tidak dilakukan sehingga pola interaksinya tidak muncul. d. Pola Interaksi pemdes dengan masyarakat Secara ideal tentunya pola interaksinya adalah timbal balik (resiprocal), karena semua aktivitas dalam kewenangan pada aspek dasar dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Begitu juga yang nampak dalam praktek implementasi di lapangan. Meskipun dominasi Kepala Desa dalam hubungan interaksi masyarakat di Desa sangat kental.
62 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
Dengan demikian pola interaksi ideal yang dapat digambarkan dalam kewenangan aspek dasar adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Pola Interaksi yg terjadi Dalam Implementasi Kewenangan Desa Aspek Distributif Aspek Genetik Distributif 1 Distributif 2
Dimensi 1. Pemdes dengan Masyarakat 2. Pemdes dengan BPD 3. Pemdes dengan Pemerintah di atasnya
Semi Resiprocal Semi Resiprocal
Semi Resiprocal Semi Resiprocal
Mandiri
Mandiri
-
-
-
-
Aspek Dasar Semi Resiprocal Semi Resiprocal Mandiri
Linier 4. Pemdes dengan Pihak ketiga
(khusus pd pemanfaatan tanah bengkok)
Sumber data: diolah. Gambar 3. Pola Interaksi pada Kewenangan Dasar Sumber data: diolah Dari ketiga aspek kewenangan desa diatas maka dapat disimpulkan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4. Pola Interaksi yg diidealisasikan oleh perumus kebijakan (Idealized Policy) Dalam Implementasi Kewenangan Desa Dimensi
Aspek Distributif Aspek Genetik Distributif 1 Distributif 2
Aspek Dasar
1. Pemdes dengan Masyarakat Desa
Resiprocal Resiprocal Resiprocal
Resiprocal
2. Pemdes dengan BPD
Resiprocal Resiprocal Resiprocal
Resiprocal
3. Pemdes dengan Pemerintah di atasnya Mandiri
4. Pemdes dengan Pihak ketiga
Mandiri/ supervisi
Mandiri/ supervisi
Resiprocal Resiprocal Resiprocal
Mandiri/ supervisi Resiprocal
Sumber data: diolah. Sedangkan dalam implementasinya idealized policy yang telah diuraikan di atas dapat disederhanakan ke dalam tabel di bawah ini:
(4).Kelompok Sasaran (TargetGroup) Dalam implementasi kebijakan pengaturan mengenai Desa, kelompok sasaran (target group) nya adalah masyarakat Desa Pabean. Namun dalam kenyataannya yang cenderung dominan sebagai kelompok sasaran (target group) adalah kelembagaan Desa bukan masyarakat Desa sebagai pemetik manfaat (beneficiaries) dalam arti sesungguhnya. Berdasarkan observasi menunjukkan bahwa organisasi Pemerintah Desa merupakan kelompok sasaran (target group) dari Pemkab Probolinggo dalam hal ini Bagian Pemerintahan khususnya yang menangani Pemerintahan Desa. Dengan demikian, Desa berusaha untuk melaksanakan apa yang telah diatur dalam Perda-Perda yang dihasilkan tersebut terkait tentang pengelolaan desa serta sibuk melaksanakan tugastugas rutin pelayanan masyarakat. Sehingga yang berubah pola perilaku dan pola interaksinya adalah organisasi Pemdes Pabean. Sedangkan perubahan perilaku, pola interaksi dari masyarakat belum nampak, apalagi manfaat yang dirasakan secara langsung. Dengan demikian masyarakat desa sebagai sasaran atau target group dalam
-
Wanusmawatie, Kebijakan Interaktif Pada Implementasi Kewenangan Desa 63
implementasi kewenangan Desa ini belum merasakan secara langsung manfaatnya. (5).Organisasi Pelaksana (Implementing Organization) Organisasi pelaksana biasanya didefinisikan sebagai suatu unit birokrasi pemerintah atau badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan (Quade, 1977: 261). Dengan demikian sangatlah tepat apabila yang dimaksud dengan unit birokrasi pemerintah atau badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan tentang Desa khususnya tentang Kewenangan Desa adalah Pemerintah Desa Pabean dalam hal ini Kepala Desa beserta perangkat desanya. Namun dalam prakteknya menunjukkan bahwa Pemerintahan Desa Pabean merupakan kelompok sasaran (target group) dari Pemkab Probolinggo. Pemdes Pabean merupakan objek sasaran dari berbagai Perda-perda tentang Desa. Kebijakan tentang Desa selama ini lebih banyak memfokuskan pada penguatan organisasi Desa. Pemdes Pabean selaku badan pelaksana kebijakan ini, cenderung hanya melaksanakan kewenangan distributif khususnya pada bidang organisasi pemerintahan desa yang bersifat rutin, sedangkan kewenangan lainnya yang termaktub dalam PP No. 72/2005 Tentang Desa belum mampu dilaksanakan. Sedangkan kewenangan pada aspek genetik dan aspek dasar dalam hal pengelolaan kekayaan desa seperti halnya tanah kas desa, pasar desa, tambak desa dan tambatan perahu belum maksimal. Padahal pada aspek tersebut nilai manfaatnya sangat tinggi bagi masyarakat Desa Pabean.
Implementasi kewenangan desa sebagai manifestasi dari kebijakan tentang Desa ditinjau dari perspektif implementasi sebagai interaksi (implementation as interaction), maka implementasi bukanlah sebuah proses yang berjalan secara linier, melainkan sebuah siklus yang saling berhubungan satu dengan lainnya (interaction). Pola interaksi yang terjadi antara masyarakat selaku benificiaries dengan Pemdes pada keseluruhan aspek kewenangan baik genetik, distributif dan dasar tidak sepenuhnya resiprocal (semi resiprocal) seperti yang digariskan pada tabel 4. Begitu pula yang terjadi dengan interaksi Pemdes dengan BPD. Semi resiprocal interaction seringkali terjadi antara Pemdes dengan BPD. Hal ini terjadi karena sumber daya yang ada di BPD belum memahami job drisciption sesungguhnya dikarenakan sifat lembaga yang baru sehingga dalam setiap interaksi antara BPD dengan Pemdes menjadi sedikit “tegang”. Mengintrodusir sebuah lembaga yang benar-benar baru bagi masyarakat Desa menimbulkan “implementation gap”, yang seharusnya telah diprediksi oleh Pemerintah pusat selaku policy maker. Sedangkan pola interaksi mandiri dalam hubungan Pemdes dengan pemerintah di atasnya diartikan tidak ada campur tangan Pemkab maupun Camat bahkan supervisi dalam rangka pendistribusian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemkab kepada Desa tidak terjadi. Supervisi memang harus dilakukan dalam rangka pengembalian kewenangan genetik dan pendelegasian kewenangan distributif. Dengan demikian interaksi timbal balik (resiprocal) akan terwujud. Pemkab belum memiliki political will untuk mendelegasikan kewenangan yang telah diamanatkan undang-undang, dengan berbagai
64 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
alasan pembenaran akan keputusannya tersebut. Dalam konteks kewenangan Desa interaksi yang terjalin antara Pemdes dengan Pemkab menghasilkan hubungan yang more less powerful dan more less dependent di pihak Pemdes. Disisi lain, peran badan pelaksana kebijakan tidak seutuhnya dimiliki oleh Pemdes Pabean karena pada kewenangan yang dianggap vital mampu menghasilkan pendapatan asli desa (PADEs) seperti pada aspek genetik dan distributif mereka tidak dapat melaksanakannya. Hal ini bukan karena keterbatasan sumber daya aparatur desa, namun pertama, kurang maksimalisasi atau kurang diberdayakan kemampuan yang dimilikinya dalam mengelola sumber kekayaan desa. Kedua, Pemkab tidak memberikan kepercayaan terhadap Desa dengan tidak menginventarisir apalagi mendelegasikan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan/hak desa untuk mengelolanya. Dengan demikian apa yang diharapkan oleh rumusan kebijakan (original intended) tidak terwujud. Apa yang telah diuraikan di atas menunjukkan adanya implementation gap dalam pelaksanaan implementasi kewenangan desa. Dengan demikian menguatkan pernyataan Dunsire (1978) yang dikutip oleh Abdul Wahab (2002: 61) bahwa dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai. Sedangkan besar kecilnya perbedaan tersebut sedikit banyak akan tergantung pada apa yang oleh William(1971; 1975) dikutip Abdul Wahab (2002) sebagai implementation capacity dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Oleh karena itu setiap kebijakan publik memiliki resiko untuk gagal yang disebabkan oleh faktor pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy) atau kebijakan tersebut bernasib jelek (bad luck). Dalam kasus implementasi kewenangan desa ini jelas kegagalan bukan sepenuhnya pada implementing agency melainkan pada aparatur yang dipilih (elected officials) yaitu Pemkab Probolinggo dan DPRD karena tidak memberikan kepercayaan Pemdes untuk berproses melaksanakan kewenangan yang menjadi haknya disertai supervisi jika memang diperlukan. IV. Penutup 1. Kebijakan interaktif tentang Desa termanifestasikan melalui pola interaksi antara Pemdes dengan masyarakat desa, Pemdes dengan BPD, Pemdes dengan Pemerintah di atasnya dan Pemdes dengan pihak ketiga bersifat semi resiprocal bahkan cenderung linier. 2. Implementingorganization/agency (Organisasi/badan pelaksana) dari kebijakan pengaturan desa dan Target Group (kelompok sasaran) terdapat dua yaitu Pemdes dan Pemkab selaku pelaksana dan Pemdes serta masyarakat desa selaku target group. 3. Fungsi badan pelaksana tidak bersifat tunggal melainkan ganda yaitu sebagai pelaksana yang bertanggung jawab terhadap proses implementasi kebijakan juga sebagai kelompok sasaran kebijakan.
Wanusmawatie, Kebijakan Interaktif Pada Implementasi Kewenangan Desa 65
Daftar Pustaka Abdul Wahab, Solichin, 2002. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta. Bagian Pemerintahan, Sekretariat Daerah Kabupaten Probolinggo. 2004, Rekapitulasi Permasalahan Desa. Departemen Dalam Negeri RI, Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa, Malang. 2005. Kebijakan Pemerintah Desa. Eko, Sutoro. 2004. Revitalisasi dan Distribusi Desa. Makalah. Disampaikan pada Lokakarya Penentuan Program Prioritas Pemberdayaan Masyarakat dan Pembaharuan Desa. Diselenggarakan atas kerjasama Ditjen PMD Depdagri, GTZ dan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Jakarta 28 Juli 2004. Howlett, Michael and Ramesh, M.1995. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystems. Oxford University Press. Parsons, Wayne. 1995. Public Policy: An Introduction To The Theory And Practice Of Policy Analysis. Edward Elgar Cheltenham, British UK And Lyme, US. Pemerintah Desa Pabean, 2004. Profil Desa Pabean. Quade. E.,S.,1977. Analysis for Publics Decesions. Elsevier New York. Sadu, Wasistiono. 2001. Esensi UU No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah (Bunga Rampai). Alqaprint Jatinangor. Bandung. Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Probolinggo. PP No. 76/2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. PP No. 72/2005 Tentang Desa. Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Undang-Undang No. 5/1979 Tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang No. 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Himpunan Keputusan Kepala Desa. Desa Pabean, Kecamatan Dringu. Kabupaten Probolinggo, Tahun Anggaran 2002. Himpunan Peraturan Desa. Desa Pabean, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, Tahun Anggaran 2002. Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Tentang Pengaturan Mengenai Desa. Bagian Pemerintahan Desa. Sekretariat Derah Kabupaten Probolinggo. Himpunan Peraturan Daerah Mengenai Desa di Kabupaten Probolinggo 2000-2003. Bagian Pemerintahan. Sekretariat Daerah Kabupaten Probolinggo 2003.