KEBERTERIMAAN WACANA TENTANG TEMPAT DUDUK PRIORITAS (PRIORITY SEATS) DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Tazka Adiati 1110013000050
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK
Tazka Adiati., 1110013000050, Keberterimaan Wacana tentang Tempat Duduk Prioritas (Priority Seats) dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia. Skripsi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta 2014. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan keberterimaan wacana tentang tempat duduk prioritas (priority seats) yang terdapat dalam kendaraan dan wilayah publik. Imbauan dalam bentuk stiker sebagai wacana merupakan alat komunikasi pihak penulis dan pembaca. Penulisan atau pembuatan wacana tidak terlepas dari tujuan pembuatan dan keberterimaannya sebagai imbauan bagi masyarakat. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Brown dan Yule tentang pemahaman wacana terkait lima hal. Metodologi penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan analisis keberterimaan wacana terhadap imbauan tempat duduk prioritas (priority seats), penulis menyimpulkan bahwa wacana tersebut berterima secara kognisi, tetapi tidak dipatuhi dalam praktik. Ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana tersebut bukan lagi menjadi tanggung jawab wacana, melainkan pengaplikasian etika dan moral yang dibina sejak kecil selama ia hidup. Kata kunci: Keberterimaan wacana, tempat duduk prioritas.
i
ABSTRACT
Tazka Adiati., 1110013000050, “Priority Seats Discourse Acceptability and Its Implication to the Learning of Indonesian”, A thesis presented to the Departement of Indonesian Language and Literature Faculty of Tarbiyah and Education, State Islamic University of Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014. This research aims to describe priority seats discourse acceptability found in public transportation and in public areas. An appeal in the form of stickers as discourse constitutes a communication means of the writers or producer and the reader. The discourse writing a production is related to the aim of the production and its acceptability as an appeal to the society. This research uses Brown and Yule’s theory about discourse comprehension which consists of five things. This research uses descriptive-qualitative method. Based on the analysis of discourse acceptability towards an appeal for priority seats the writer concludes that the discourse is accepted cognitively but not in practice. The disobedience of the society towards the priority seat appeal is no longer the responsibility of the discourse but the application/implementation of ethics and morality which has been developed since one’s childhood.
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Robbil Alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para malaikat-Nya. Peneliti menyadari terdapat kesulitan dan hambatan yang dihadapi baik dari faktor materi, pengumpulan bahan dan sumber, motivasi dalam diri peneliti, serta hambatan-hambatan lainnya. Namun berkat izin dan pertolongan Allah SWT, kesungguhan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak akhirnya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dra. Nurlena, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Didin Syafruddin, MA., PLT Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3. Dra. Hindun, M.Pd., Sekretaris Program Studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 4. Makyun Subuki, M.Hum. Dosen pembimbing yang selalu sabar dan teliti dalam mengoreksi dan membimbing peneliti serta telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberi petunjuk serta pengarahan kepada peneliti. 5.
Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmunya sejak awal peneliti duduk di bangku perkuliahan, dan seluruh dosen yang turut memberikan ilmunya selama peneliti belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
6. Kedua orangtua peneliti, Alm. Drs.Slamet Ahmadi dan Henny Komariyah yang telah memotivasi sekaligus menginspirasi peneliti selama hidup. Terima kasih atas segala doa yang dipanjatkan untuk anakmu. 7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang mengisi perkuliahan ini lebih hidup dan indah. Khususnya teman-teman kelas B, kalian luar biasa. 8. Teruntuk sahabat-sahabat kosan. Terima kasih untuk perhatian, pengertian, motivasi kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 9. Seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga kebaikan yang kalian berikan, dapat tergantikan oleh pahala dan rezeki dari Allah SWT. Peneliti berharap dan berdoa kepada Allah SWT, agar seluruh pengorbanan yang telah diberikan kepada peneliti, akan mendapatkan balasan yang setimpal di sisi-Nya. Penulis juga mengharapkan saran dan kritik bersifat membangun dari berbagai pihak sehingga tugas akhir ini akan menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Jakarta, Oktober 2014
Tazka Adiati
iv
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ABSTRAK………………………………………………………………...............i KATA PENGANTAR……………………………………………………..…….iii DAFTAR ISI………………………………………………………………...……v BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….1 B. Identifikasi Masalah…………………………………………………...3 C. Pembatasan Masalah…………………………………………………..3 D. Perumusan Masalah…………………………………………………...3 E. Tujuan Penelitian……………………………………………………...3 F. Manfaat Penelitian…………………………………………………….4 G. Metodologi Penelitian…………………………………………………4 1. Metode Penelitian…………………………………………………4 2. Data dan Sumber Data…………………………………………….7 3. Teknik Pengumpulan Data………………………………………..8 4. Langkah Analisis Data……………………………………………9 5. Penelitian yang Relevan………………………………………….10 BAB II: LANDASAN TEORI A. Wacana…………………………………………………………………...12 1. Pengertian Wacana…………………………………………………...12 v
2. Kriteria Wacana…………………………………………………………….…14 3. Pertalian dalam Penafsiran Wacana………………………………….17
B. Etika……………………………………………………………………...26 1. Pengertian Etika……………………………………………………...26 2. Konteks Menentukan Etika…………………………………………..27 3. Nilai Moral…………………………………………………………...28 4. Gejala Penurunan Moral…………………………………………..…29 5. Individualisme…………………………………………………….....29 6. Komponen Karakter yang Baik……………………………………...29
BAB III: PEMBAHASAN A. Wacana Tempat Duduk Prioritas………………………………………...34 B. Pemahaman Teks Wacana……………………………………………….37 C. Perilaku Masyarakat……………………………………………………..56 D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia……………………61 BAB IV: PENUTUP A. Simpulan…………………………………………………………………65 B. Saran……………………………………………………………………..66 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIODATA PENULIS
vi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Wacana dianggap praktik sosial yang meliputi unsur linguistik dan
nonlinguistik. Dalam kesehariannya, masyarakat banyak bersentuhan dengan berbagai bentuk praktik sosial, secara tidak langsung pun telah bersentuhan dengan wacana. Secara linguistik, wacana dapat dipahami oleh pembaca yang mampu memahami makna dari unsur-unsur kata yang terkandung di dalam wacana. Baik secara linguistik maupun nonlinguistik, wacana tidak dapat ditolak secara sembarangan. Hal ini berkaitan dengan salah satu kriteria wacana yakni keberterimaan atau akseptabilitas.
Akseptabilitas mengharapkan sebuah wacana diakui oleh resipien-resipien dalam sebuah situasi tertentu. Kriteria ini tentu saja berhubungan dengan konvensionalitas dan tidak berarti bahwa resipien dapat dengan mudah menolak teks ‘secara sembarangan’. Faktanya, pembaca dapat menerima pesan yang disampaikan tetapi tidak mematuhinya. Begitu sebuah wacana dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan suatu maksud, dalam hal ini diharapkan maksud dari wacana tersebut dapat tepat sasaran. Tetapi tidak semua wacana dapat membuat audiens melakukan apa yang dimaksudkan oleh wacana tersebut. Sebagian masyarakat pasti masih mengingat kisah Dinda yang mencaci ibu hamil di media sosial Path karena meminta tempat duduknya. Kasus Dinda dikenal dengan Dinda Kereta, merupakan salah satu fenomena ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana yang disajikan. Banyak reaksi yang muncul dari berbagai kalangan baik pengguna kereta atau kendaraan lain, dengan sendirinya Dinda mendapat sanksi sosial dari perbuatannnya tersebut.
1
2
Fenomena ini sering terjadi kemudian terlupa, tetapi berbahaya jika dibiarkan. Wacana diterima namun tidak dipatuhi. Untuk memahami wacana tempat duduk prioritas dan peruntukkannya tidaklah sulit selama penumpang bisa membaca dan memahami maksud bacaan, tetapi jelas wacana di atas tidak dipatuhi penumpang sebagai sasaran wacana. Sekilas, wacana hanya dipandang sebagai teks yang tertempel tanpa guna atau bahkan hanya sebagai hiasan. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis yakin ketidakpatuhan terhadap wacana juga terjadi di dalam angkutan umum lain, tidak hanya di dalam angkutan kereta api. Permasalahan ketidakpatuhan terhadap keberterimaannya sebagai bentuk kepatuhan penumpang yang dijadikan sasaran wacana. Keberterimaan wacana di dalam masyarakat kita dinilai masih baik, tetapi kepatuhannya terhadap wacana dipertanyakan. Mengapa demikian? maka itu, peneliti menetapkan hal tersebut sebagai permasalahan penelitian yang akan dibahas. Dalam dunia pendidikan, siswa diajarkan memahami praktik-praktik sosial kemasyarakatan. Secara sadar maupun tidak, siswa diberikan pengetahuan tentang perilaku dalam bermasyarakat. Sekolah sebagai salah satu sarana menciptakan perilaku bermasyarakat kepada siswa berkewajiban menanamkan pendidikan moral sejak siswa memulai bersekolah. Perihal keberterimaan wacana tentang tempat duduk prioritas pun termasuk ke dalam salah satu bentuk praktik sosial yang akan dialami oleh siswa. Oleh karena itu, penelitian kaberterimaan wacana tentang tempat duduk prioritas ini akan peneliti kaitkan dengan perilaku moral siswa di sekolah serta pembelajarannya. Kegiatan belajar mengajar bahasa indonesia di Sekolah Menengah Pertama, kepada siswa diajarkan materi mengidentifikasi dan menulis slogan atau poster. Pada materi ini, kepada siswa diajarkan cara mengidentifikasi poster atau slogan kemudian diminta untuk membuat poster atau slogan. Dalam memahami slogan atau poster sebagai imbauan, peneliti harapkan siswa tidak hanya dapat mengidentifikasi dan menulisnya, tetapi dapat mengimplementasikan slogan atau
3
poster sebagai imbauan untuk kepentingan bersama, imbauan yang memerlukan tindakan selanjutnya sebagai satu bentuk perilaku bermasyarakat. Maka dari itu, peneliti akan membahas keberterimaan wacana tentang tempat duduk prioritas (priority seats) dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, masalah yang akan diidentifikasi sebagai berikut: 1. Wacana merupakan unit linguistik terbesar dalam bentuk apapun yang dapat dikaji unsur linguistik maupun nonlinguistik. 2. Keberterimaan wacana merupakan salah satu kriteria yang tidak mudah ditolak oleh pembaca „secara sembarangan‟. 3. Dinda Kereta merupakan salah satu fenomena yang menggambarkan ketidakpatuhan masyarakat terhadap teks wacana yang disajikan. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti akan membatasi pembahasan penelitian ini agar lebih jelas dalam penjabarannya. Permasalahan dibatasi pada keberterimaan wacana tentang tempat duduk prioritas (priority seats) dan impliksinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia. D. Perumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dirumuskan melalui pertanyaan penelitian, bagaimana keberterimaan wacana tentang tempat duduk prioritas (priority seats) dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia? E. Tujuan Penelitian Penelitian
ini
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
mendeskripsikan
keberterimaan wacana tempat duduk prioritas (priority seats) dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa indonesia.
4
F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Akademik Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber belajar dalam kajian analisis wacana tentang keberterimaan wacana. 2. Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pada pihak lain, seperti masyarakat, pelajar, atau mahasiswa jurusan bahasa yang ingin mengetahui keberterimaan wacana tempat duduk prioritas (priority seats). G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, sehingga metode yang digunakan adalah deskripsi analisis. Peneliti hanya mendeskripsikan keadaan atau fenomena yang ada. Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah. Masalah tersebut diteliti dengan menggambarkan keadaan sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Dalam penelitian kualitatif data yang dikumpulkan lebih mengambil bentuk kata-kata atau gambar daripada angka-angka.1 Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.2 Bodgan dan Taylor mengemukakan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati.3
1
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
cet. 2, h.3 2
Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet. 3, h.4 3 Bodgan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h.3
5
Penelitian deskriptif bertujuan untuk memecahkan masalahmasalah aktual yang sedang dihadapi, untuk mengumpulkan data atau informasi untuk disusun, dijelaskan dan dianalisis. Penelitian ini biasanya tanpa hipotesis. Jika ada hipotesis biasanya tidak diuji menurut analisis statistik.4 Metode penelitian kualitatif dilakukan secara intensif, peneliti ikut berpartisipasi di lapangan, mencatat secara hati-hati apa yang terjadi, melakukan analisis reflektif terhadap berbagai dokumen yang ditemukan di lapangan, dan membuat laporan penelitian secara mendetail.5 Penelitian deskriptif dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melukiskan variabel atau kondisi “apa yang ada” dalam suatu situasi. Penelitian deskriptif biasanya tidak diarahkan untuk menguji hipotesis.6 Penelitian kualitatif ini peneliti gunakan untuk mengumpulkan data berupa bentuk kata-kata atau gambar bukan angka dengan tujuan memecahkan masalah-masalah aktual yang sedang dihadapi, untuk mengumpulkan data atau informasi untuk disusun, dijelaskan dan dianalisis. Dari segi terbatasnya data-data yang dianalisis, penelitian ini menggunakan studi kasus sebagai salah satu metodenya. Menurut Bogdan dan Biklen, studi kasus adalah kajian yang rinci atas suatu latar, atau satu objek atau suatu tempat penyimpanan dokumen, atau suatu peristiwa tertentu. Selanjutnya, diungkapkan bahwa dalam metode kualitatif terdapat tiga studi kasus, yaitu (1) Historical organizational case studies, yaitu studi yang memusatkan perhatiannya pada organisasi tertentu dalam kurun waktu tertentu, (2) Observational 4
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), cet.8,
h. 8 5
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2011) , cet. 1, h. 16 6 Donald Ary, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional), h. 415
6
case studies, yaitu suatu studi yang memusatkan perhatiannya pada observasi partisipan, dan fokus studi adalah suatu organisasi (sekolah, pusat rehabilitasi) atau beberapa segi organisasi seperti ruang kelas, ruang guru, ruang cafeteria, dan sebagainya, (3) Life history, yang memusatkan perhatiannya pada riwayat hidup seseorang.7 Studi kasus menempatkan objek penelitian sebagai kasus, yaitu fenomena yang dipandang sebagai suatu sistem kesatuan yang menyeluruh, tetapi terbatasi dalam kerangka konteks tertentu. Memandang konteks sebagai fenomena yang bersifat kontemporer, yang sedang terjadi, telah selesai terjadi, tetapi masih memiliki dampak yang dapat dirasakan pada saat penelitian dilaksanakan, atau dapat menunjukkan perbedaan dengan fenomena yang biasa terjadi.8 Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus historical organizational case studies, yakni studi yang memusatkan perhatiannya pada organisasi tertentu dalam kurun waktu tertentu. Peneliti akan memusatkan perhatian pada penggunaan tempat duduk prioritas (priority seats) dalam waktu tertentu. Berdasarkan kajian wacana yang dianggap sebagai praktik sosial yang meliputi unsur linguistik dan nonlinguistik. Secara linguistik, kajian wacana tempat duduk prioritas (priority seats) akan peneliti lakukan dengan analisis wacana. “The analysis of discourse is necessarily the analysis of language in use”.9 “Analisis wacana merupakan analisis terhadap bahasa yang digunakan”. Bahasa yang digunakan oleh manusia merupakan bahasa
7
Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for an Introduction the Theory and Method. (London, 1982). 8 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h.121 9 Brown & Yule, Discourse Analysis. (Melbourne: Cambridge University Press, 1998), h.1
7
yang dikaji tidak hanya dalam bentuk linguistik, tetapi juga melihat secara keseluruhan bentuk-bentuk praktik sosial yang beriringan. “The discourse analyst is commited to an investigation of what that language is used for”.10 “Menganalisis wacana berarti menganalisis penggunaan bahasa
sesuai fungsinya”. Fungsi bahasa itu sendiri
sebagaimana diungkapkan Brown & Yule, “That function which language serves in the expression of content we will describe as transactional, and that function involved in expressing social relations and personal attitudes we will describe as interactional”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa “Fungsi bahasa yang berfungsi dalam mengekspresikan isi dikenal sebagai fungsi transaksional, dan fungsi yang terlibat dalam mengekspresikan hubungan
sosial
interaksional”.
dan
sikap
pribadi
digambarkan
sebagai
11
Menganalisis wacana seperti yang diungkapkan Brown & Yule, berarti menganalisis bahasa sesuai dengan fungsinya. Fungsi bahasa pun
dibedakan
menjadi
dua,
yaitu
fungsi
yang
terlibat
mengekspresikan isi sebagai fungsi transaksional, dan fungsi yang terlibat mengekspresikan hubungan sosial dan sikap pribadi sebagai fungsi interaksional. Peneliti akan menganalisis wacana termpat duduk prioritas
(priority
seats)
dengan
mempertimbangkan
fungsi
interaksional yang mengekspresikan hubungan sosial dan sikap pribadi baik individu atau pun kelompok.
2. Data dan Sumber Data Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan foto tempat duduk prioritas (priority seats) di setiap kendaraan umum beserta imbauanimbauan lain yang terkait dengan tempat duduk prioritas. Penetapan 10
Ibid, h.1
11
Ibid, h.1
8
berdasarkan fenomena ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana di dalam angkutan kereta commuter line.
Untuk tujuan ini, peneliti mengambil data dari foto yang peneliti ambil sendiri juga bantuan teman, kemudian dari internet untuk menemukan bentuk-bentuk nyata ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana yang disajikan. Peneliti menggunakan beberapa foto, salah satunya merupakan foto inti sedangkan yang lainnya merupakan foto pendamping,
untuk
membandingkan
dan
merepresentasikan
ketidakpatuhan terhadap sebuah teks wacana.
3. Teknik Pengumpulan Data
Studi dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar, maupun elektronik. Dalam penelitian ini teknik dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen berupa gambar wacana tempat duduk prioritas (priority seats) dengan cara mengambil foto sendiri dan bantuan teman. Adapun dokumen lain berupa representasi ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana tempat duduk prioritas (priority seats) peneliti mengunduh gambar dari internet. Menurut Sugiyono, dalam Imam Gunawan menjelaskan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang. Menurut Bungin teknik dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sosial untuk menelusuri data historis.12
12
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 175
9
Pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang ilmu pengetahuan seperti gambar, kutipan, dan bahan referensi lain. Dokumentasi diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku, internet, dan artikel yang tulisannya berkaitan dengan judul.
4. Langkah Analisis Data
Setelah mendapatkan data-data tambahan yang cukup, proses selanjutnya yang akan dilakukan adalah menganalisis data. Data yang pertama kali akan dianalisis adalah foto tempat duduk prioritas (priority seats) yang terdapat di kendaraan umum. Kemudian menjelaskan tugas teks tersebut sebagai teks yang termasuk ke dalam keberterimaan wacana. Analisis selanjutnya yaitu mengungkap ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana yang disajikan. Data yang diperoleh akan diolah dengan penjelasan, merujuk pada teori Gillian Brown dan George Yule. Meliputi lima hal: pemahaman fungsi komunikatif pesan yaitu memahami maksud dari teks wacana tempat duduk prioritas (priority seats), pemahaman intensi pembicara merupakan pemahaman teks terhadap teks kadang tidak bergantung kepada apa yang terdapat secara verbal, top-down and bottom-up processing merupakan pemahaman audiens terhadap teks melalui apa yang terdapat dalam teks pada saat yang sama audiens memprediksi apa yang selanjutnya dimaksudkan oleh teks berdasarkan konsep, inferensi logis merupakan kesimpulan logis yang didasarkan kepada pemahaman pembaca, representasi pengetahuan merupakan proses memperoleh kembali informasi yang tersimpan dalam ingatan dan menghubungkannya dengan wacana yang dihadapi. 5. Penelitian yang Relevan Penelitian ini tidak mungkin dilakukan jika tidak ada penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Rotua
10
Siregar dari Universitas Sumatera Utara dengan skripsi yang berjudul “Analisis Sarana Kohesi pada Tajuk Rencana dalam Harian Sinar Indonesia Baru”. Penelitian tersebut mendeskripsikan sarana-sarana kohesi gramatikal dan menganalisis sarana kohesi pada tajuk rencana harian Sinar Indonesia Baru. Penelitian lain dilakukan pula oleh Putri Budi Winarti dengan judul “Representasi Intertekstual (Kutipan Langsung dan Kutipan Tidak Langsung) dan Tekstual (Ketransitifan) dalam Wacana Berita Bom Bunuh Diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo”. Penelitian ini merepresentasikan segi intertekstual dan tekstual. Sumber data dari penelitian tersebut berupa data tertulis dalam bentuk berita yang diambil dari Surat Kabar Media Indonesia, Republika, dan Kompas. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Gatut Lestari dengan judul “Intensionalitas dalam puisi Baju-baju karya K.H.A. Mustofa Bisri”. Penelitian ini menghasilkan satu kesimpulan bahwa dalam mewujudkan intensinya, penulis (penutur) telah mengantisipasi pemahaman pembaca terhadap maksud penutur. Selaras dengan itu, teks puisi "Baju-baju" adalah wujud dari maksud serta pemikiran penulis yang dikemas sedemikian rupa dalam kohesi dan koherensi. Akan tetapi, teks puisi tersebut tidak dapat lepas dari konteks dan situasi, maka teks tersebut bersifat terbuka. Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah pada penelitian ini, peneliti membahas salah satu kriteria wacana. Penelitian sebelumnya, membahas kriteria wacana kohesi, intensionalitas, dan intertekstualitas, sedangkan pada penelitian ini peneliti hanya membahas kriteria keberterimaan wacana.
Dalam penelitian ini penulis juga berpedoman pada buku K. Bertens yang berjudul “Etika”. Buku tersebut menyajikan teori tentang etika sehingga mempermudah peneliti untuk melakukan penelitian sehubungan dengan perilaku manusia yang timbul sebagai bentuk keberterimaan wacana.
11
Selanjutnya, penelitian ini akan menggunakan berbagai referensi yang terkait dengan penelitian dengan tujuan memudahkan dilakukannya penelitian ini.
BAB II LANDASAN TEORI A. Wacana Wacana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah komunikasi verbal; percakapan; keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan; satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh seperti novel, buku, artikel, pidato atau khotbah. kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat; pertukaran ide secara verbal.1 Kata wacana dalam bahasa Indonesia dipakai sebagai padanan (terjemahan) kata discourse dalam bahasa Inggris. Secara etimologis kata discourse itu berasal dari bahasa Latin discursus ‘lari kian kemari’. Menurut Wabster dalam Baryadi kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari dis dan currere ‘lari, berjalan kencang’. Wacana atau discourse kemudian diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam linguistik, wacana dimengerti sebagai satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat.2
Menurut Douglas dalam Mulyana, istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana.3 Istilah wacana pun didefinisikan sebagai rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan yang dinamakan wacana.4
1
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi IV. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), Cet.I, h. 1552 2 Baryadi Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. (Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli). h.1 3 Mulyana. 2005. Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. (Yogyakarta: Tiara Wacana). h.3 4 Hasan Alwi, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. (Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka). h.419
12
13
“Three main categories noted above: (1) anything beyond the sentence, (2) language use, and (3) a broader range of social practice that includes nonlinguistic and nonspecific instances of language.” Brown & Yule menyatakan bahwa, “Terdapat tiga sudut pandang dalam mendefinisiskan dan mengkaji wacana, yaitu (1) menganggap wacana sebagai unit linguistik, apapun bentuknya, yang lebih besar daripada kalimat, (2) menganggap wacana sebagai praktik penggunaan bahasa, (3) menganggap wacana sebagai praktik sosial yang meliputi unsur linguistik dan nonlinguistik”.1
Mengacu kepada definisi yang dijelaskan Brown & Yule, wacana merupakan seperangkat unit linguistik yang bentuknya lebih besar daripada kalimat, praktik penggunaan bahasa, dan merupakan praktik sosial yang meliputi unsur linguistik maupun nonlinguistik. Bertolak pada pandangan yang ketiga, wacana dapat dianalisis dengan menmpertimbangkan segala sesuatu di luar unsur linguistik, seperti aspek budaya dan kemasyarakatan.
Unsur antarwacana atau ko-teks penting pula dalam menentukan penafsiran makna karena dalam wacana pengertian sebuah teks atau bagian-bagiannya sering ditentukan oleh pengertian yang diberikan oleh teks lain. Teks di sini dapat berwujud ujaran, paragraf, ataupun wacana, dan bahkan sebuah rambu-rambu lalu lintas.2 Dalam menafsirkan pengertian yang terkandung dalam wacana, kita dapat menerapkan apa yang disebut prinsip penafsiran lokal. Prinsip ini menyatakan bahwa pesapa tidak membentuk konteks lebih besar daripada yang diperlukan untuk sampai pada suatu tafsiran. Dalam menyesuaikan perilaku dengan kebiasaan dalam masyarakat, orang memerlukan bimbingan atau pedoman. Bimbingan secara langsung bagi manusia tiada lain ialah akalnya sendiri, dan karena itu akal bagi manusia merupakan
1
Deborah Schiffrin, Deborah Tannen, dan Heidi Ehernberger Hamilton, 2001, The Handbook of Discourse Analysis, (Malden: Blackwell Publisher), h.1 2 Ibid h.425
14
pembimbing yang tangguh. Jadi, manusia mempergunakan akal yang didasarkan atas pengalamannya. Dengan kata lain ia menerapkan prinsip analogi. Prinsip analogi merupakan dasar yang dipakai oleh pembicara maupun pendengar untuk menentukan tafsiran dalam konteks. Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, dijelaskan oleh Alwi yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, sarana. Konteks wacana meliputi: a.
Konteks fisis (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa komunitas, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari pada peran dalam peristiwa komunikasi itu.
b.
Konteks
epistemis
(epistemic
context)
atau
latar
belakang
pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh para pembicara maupun pendengar. c.
Konteks linguistik (linguistic context) yang terdiri atas kalimatkalimat atau tuturan tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.
d.
Konteks sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar (mitra tutur).3
a. Kriteria Wacana Renkema mengatakan bahwa untuk mempertimbangkan apakah satuan lingual itu dapat dikatakan sebagai wacana atau bukan dibutuhkan tujuh kriteria. Ketujuh kriteria itu ialah: “Cohesion is the connection that results when the interpretation of a textual element is dependent on another element in the text”. (1) “kekohesian, yaitu hubungan yang dihasilkan pada saat interpretasi suatu unsur bergantung pada unsur lain di dalam teks”. 3
Hasan Alwi, dkk, 1998, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3, (Jakarta: Balai Pustaka).
15
Ini berarti bahwa kekohesian menyangkut hubungan semantis antarunsur di dalam teks; “Coherence is the connection that is brought about by something outside the text. This “something” is usually knowledge which a listener or reader is assumed to have”. (2) “kekoherensian, yaitu hubungan yang didasari oleh sesuatu yang datangnya dari luar teks. Sesuatu tersebut mengacu pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penutur atau petutur”; Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat yang membentuk
wacana.
Koherensi
juga
merupakan
hubungan
perkaitan
antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya.4 “Intentionality means that writers and speakers must have the conscious intens of achieving specific goals with their message, for instance, coveying information or arguing an opinion”. (3) keintensionalan, menyangkut tujuan dan fungsi bahasa yang dimiliki partisipan dalam berkomunikasi. “Acceptability requires that a sequence of sentences be acceptable to the intended audience in order to qualify as a text”. (4) “keberterimaan, mengacu pada rangkaian kalimat yang berterima dan dapat dipahami oleh interlokutor (petutur/pembaca) agar dapat dikualifikasikan sebagai teks”; “Informativeness is necessary in discourse; a discourse must contain new information”. 4
Hasan Alwi, dkk, 1998, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3, (Jakarta: Balai Pustaka), h.427-428
16
(5) “Keinformatifan, berarti bahwa suatu teks harus memuat informasi-informasi baru dan harus dapat dipahami oleh interlokutor”; “Situasionality is essential to textuality. so, its important which the discourse has been produced”. Kesituasionalan sangat penting untuk tekstualitas. Maka itu, penting wacana tersebut yang diproduksi. (6) “Kesituasionalan, menyangkut situasi, tempat, dan waktu teks tersebut dihasilkan; dan “Intertextuality means that a sequence of sentence is related by form or meaning to other sequences of sentences”. “intertekstualitas berarti bahwa suatu rangkaian kalimat ini terkait dengan bentuk atau makna rangkaian lain dari kalimat”. (7) keintertekstualan, mengacu pada keterhubungan suatu wacana dengan wacana lain yang telah diketahui.5
b. Kriteria Keberterimaan Akseptabilitas merupakan cermin intensionalitas. Sebuah teks harus diakui oleh resipien-resipien dalam sebuah situasi tertentu. Kriteria ini tentu saja berhubungan dengan konvensionalitas dan tidak berarti bahwa resipien dapat dengan mudah menolak teks „secara sembarangan‟. Dengan demikian akseptabilitas berkaitan dengan tingkat kesiapan pendengar dan pembaca untuk mengaharapkan sebuah teks yang berguna dan relevan.6
5
Jan Rekema, 1993, Discourse Studies: An Introduction Textbook. (Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company). 6 Stefan Titscher, Michael Mayer, Ruth Wodak, Eva Vetter. Metode Analisis Teks&Wacana/PPL. Pustaka Belajar. 2009, dalam Dadang Nurjaman, http://jurnal.upi.edu/file/Metafora_Teks_Bahasa_Sunda_dalam_Status_Facebook_1.pdf
17
“Acceptability
requires that a sequence of sentences be acceptable to the
intended audience in order to qualify as a text”. Renkema mengemukakan bahwa, “keberterimaan mengharuskan rangkaian kalimat dapat diterima pembaca yang dituju agar memenuhi syarat sebagai sebuah teks”. Kriteria sebuah wacana yang mengharuskan teks diterima oleh pembaca mempunyai kejelasan kalimat yang runtut seperti yang dikemukakan oleh Renkema. Sebuah teks yang berguna dan relevan juga diharuskan dalam pemahaman menerima sebuah teks sebagai wacana.
c. Pertalian dalam Penafsiran Wacana Di samping pengetahuan tentang struktur kalimat, penganalisis juga mempunyai pengetahuan tentang format-format standar lain untuk menyampaikan informasi. Asas lain yang diandalkan juga, bahwa walaupun mungkin tidak ada sambungansambungan bahasa formal yang menghubungkan untaian-untaian bahasa yang berdekatan,
kenyataan
letaknya
yang
berdekatan
menyebabkan
kita
menafsirkannya sebagai berhubungan. Dengan cepat kita akan mengisi setiap sambungan yang diperlukan.7
1. Penilaian fungsi komunikatif Pendekatan-pendekatan identifikasi arti sosial berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh penutur dengan ujaran, berkenaan dengan analisis-analisis yang mengidentifikasikan perbuatan-perbuatan berdasarkan rangkaian dengan struktur konvensional tempat perbuatan-perbuatan itu terjadi. Labov dalam Brown & Yule berpendapat bahwa ada „kaidah-kaidah penafsiran yang menghubungkan apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan‟ dan berdasarkan kaidah-kaidah sosial, tetapi bukan kaidah bahasa, seperti itulah kita menafsirkan beberapa rangkaian percakapan sebagai bertalian dan rangkaian lainnya tidak.8
7
Gillian Brown & George Yule, 1996, Analisis Wacana, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,), h. 222 8
Ibid, 225
18
Pembaca diminta untuk memahami maksud atau rangkaian pesan sebuah teks yang disajikan, pembaca atau pun pendengar akan memahami maksud dari sebuah teks dengan cara mengaitkan informasi yang diterima dengan hal-hal di luar kaidah bahasa. Hal tersebut merupakan hal yang berkaitan dengan sikap-sikap sosial.
2. Tindak bahasa Teori tindak bahasa berasal dari pendapat Austin (1962) bahwa meskipun kalimat sering dapat dipakai untuk memberitakan perihal keadaan, pengujaran kalimat-kalimat tertentu, dalam keadaan-keadaan tertentu, harus dianggap sebagai pelaksana suatu tindakan.9 Teori tindak bahasa menginginkan ujaran yang diikuti tindakan setelahnya. Pembaca atau pendengar sasaran teks wacana diharapkan melakukan tindakan setelah mendengar dan memahami pesan.
3. Penggunaan pengetahuan tentang dunia Pengetahuan umum tentang dunia menopang penafsiran kita, tidak hanya mengenai wacana, tetapi sebenarnya juga mengenai segala segi pengalaman kita. Bearugrande dalam Brown & Yule, „persoalan bagaimana orang-orang mengetahui apa yang terjadi dalam teks adalah suatu kasus khusus persoalan bagaimana orang-orang mengetahui apa yang terjadi di dunia seluruhnya.‟ Pengetahuan umum tentang dunia berkaitan dengan pengalaman terdahulu yang dimiliki seseorang untuk memahami sebuah teks wacana. Memahami wacana di atas kertas, seperti yang disebutkan Bearugrande merupakan cara mereka mengetahui apa yang terjadi tentang dunia dengan seluruhnya. Melihat informasi yang ditempel di sebuah papan informasi misalnya, seseorang akan melakukan proses membaca yang diteruskan pada analogi sederhana yang dimiliki sebelumnya, kemudian pengetahuan tersebut akan diaktifkan kembali secara perlahan.10 9
Ibid, h.230 Ibid, h.233
10
19
4. Pemrosesan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas Dapat kita bayangkan pemrosesan wacana yang masuk sebagai gabungan (sekurang-kurangnya) dua kegiatan. Pada satu pihak pemrosesan, kita berusaha menemukan arti kata-kata dan struktur kalimat dan membentuk arti gabungan kalimat itu (pemrosesan dari bawah ke atas). Pada waktu itu juga, kita meramalkan, berdasarkan konteks plus arti gabungan kalimat-kalimat yang telah diproses, apa kemungkinan besar arti kalimat berikutnya (pemrosesan dari atas ke bawah). Jika pemrosesan atas-bawah tergantung kepada pengaktifan yang kita lakukan atas sebagian kecil saja dari pengetahuan latar belakang pada suatu saat, maka harus ada suatu cara untuk mengatur dan menyimpan pengetahuan itu agar memudahkan cara mencapainya.11 Teks yang disajikan sebagai sebuah wacana dapat hadir dan dipahami secara bersamaan meski ternyata prosesnya berbeda. Seseorang yang mencoba memahami teks akan menguraikan kalimat-kalimat tersebut dengan mengartikan secara gramatikal, kemudian mencoba meramalkan apa yang selanjutnya dimaksud oleh teks tersebut.
5. Realisasi pengetahuan latar belakang Sudah ada beberapa usaha untuk memberikan realisasi „pengetahuan tentang dunia‟ yang konvensional atau tidak berubah-ubah sebagai dasar bagi penafsiran wacana. Realisasi-realisasi ini, yang terdapat pada pendekatan-pendekatan komputasional pemahaman wacana, terutama dipakai untuk menjelaskan tipe informasi yang dapat diramalkan, oleh penulis/penutur dianggap dapat digunakan pembaca/pendengar bilamana situasi tertentu dideskripsikan. Segi realisasi pengetahuan ini umumnya sesuai dengan ciri khas pendekatan-pendekatan yang berhubungan yang akan kami deskripsikan, sejauh semuanya menganggap pemahaman wacana sebagai pemrosesan informasi dalam ingatan. Riesback dalam Brown dan Yule, misalnya dengan tegas menyatakan bahwa „pemahaman adalah suatu proses ingatan‟. Memahami wacana, dalam arti
11
Ibid, h.233-235
20
ini, pada dasarnya adalah proses memperoleh kembali informasi yang tersimpan dalam ingatan dan menghubungkannya dengan wacana yang dihadapi.12 Maka, menjadi
mungkin
membayangkan pengetahuan-pengetahuan
tentang dunia sebagai sesuatu yang tersusun menjadi perangkat-perangkat bidang pengetahuan yang terpisah, tetapi saling berhubungan yang, apabila dikumpulkan, akan melengkapi pengetahuan-pengetahuan yang digeneralisasikan, yang rupanya digunakan manusia dalam memahami wacana. a) Kerangka Suatu cara merealisasikan pengetahuan latar belakang yang dipakai dalam pembuatan dan pemahaman wacana terdapat pada teori kerangka Minsky. Minsky berpendapat bahwa pengetahuan kita disimpan dalam ingatan dalam bentuk struktur-struktur yang disebutkan „kerangka-kerangka‟, dan yang merealisasikan situasi-situasi yang tak berubah-ubah. Pemakaiannya dengan cara: “bilamana seseorang menghadapi situasi baru (atau mengadakan perubahan besar dalam pandangannya terhadap masalah yang dihadapinya sekarang), dari ingatannya ia akan memilih suatu struktur yang disebut kerangka. Ini adalah kerangka yang diingat dan disesuaikan agar cocok dengan kenyataan, yaitu dengan mengubah perincian-perincian seperlunya.” Ungkap Minsky dalam Brown dan Yule.13 Hendaknya penyelidikan
diingat
bahwa pembicaraan
fenomena
bahasa,
tetapi
Minsky terutama ditujukan
kepada
bukan cara
merealisasikan pengetahuan. Karena salah satu macam pengetahuan adalah pengetahuan bahasa, maka ada kerangka-kerangka untuk „kenyataan-kenyataan‟ bahasa. Secara khas kerangka merupakan realisasi pengetahuan tentang dunia yang tetap.
Teori kerangka yang diungkapkan oleh Minsky merupakan pemanfaatan ingatan yang dimiliki seseorang ketika menghadapi wacana untuk
12 13
Ibid, h.235-237 Ibid, 238-240
21
dipahami. Memahami dengan mengingat kembali kerangka yang cocok dengan kenyataan yang dihadapinya sekarang. b) Skrip Pengertian skrip dikembangkan lewat analogi dengan kerangka Minsky, tetapi „dikhususkan untuk menangani rangkaian-rangkaian peristiwa‟ oleh Schank & Abelson dalam Brown & Yule. Konsep skrip dipakai oleh Abelson untuk menyelidiki hubungan antara sikap dan perilaku, tetapi bilamana diterapkan pada pemahaman teks, ini mencakup analisis tertentu mengenai pemahaman bahasa yang disarankan oleh Schank sebagai ketergantungan konseptual. Pada hakikatnya ada bagi setiap usaha untuk menggabungkan
pengetahuan
dunia
dalam
memahami
wacana.
Rangkaian-rangkaian peristiwa yang disusun untuk mengetahui hubungan antara sikap dan perilaku yang dikaitkan dengan teks. Keterkaitannya dengan teks ada pun ketergantungan secara konseptual, memahami teks wacana dengan usaha menggabungkan pengetahuan yang dimiliki tentang dunia.14 c) Skenario Sanford & Garrod dalam Brown & Yule, memilih istilah skenario untuk mendeskripsikan
„medan
referensi
luas‟
yang
digunakan
untuk
menafsirkan teks-teks tertulis, „karena seseorang dapat membayangkan pengetahuan tentang latar dan situasi sebagai berupa skenario interpretatif di belakang teks‟. Sanford & Garrod menegaskan bahwa keberhasilan pemahaman berdasarkan skenario tergantung kepada efektifnya pembuat teks
dalam
mengaktifkan
skenario-skenario
yang
tepat.
Mereka
menunjukkan bahwa „untuk memancing skenario, sebuah teks harus merupakan deskripsi sebagian (partial description) yang spesifik mengenai unsur skenario itu sendiri‟.15 Teks yang dibuat dengan scenario spesifik akan lebih mudah dipahami oleh pembaca karena seseorang membayangkan pengetahuan 14 15
Ibid, h.241-242 Ibid, h. 245-246
22
tentang latar dan situasi di belakang teks. Terdapat skenario-skenario yang diaktifkan lebih cepat jika teks yang disajikan lebih spesifik. Pemrosesan teks ini pun melibatkan realisasi-realisasi pengetahuan yang ada sebelumnya. d) Skemata Skemata dianggap sebagai determinis, menjadikan orang yang mengalami cenderung untuk menafsirkan pengalamannya dengan cara yang tetap. Skemata dapat dilihat sebagai pengetahuan latar belakang yang teratur rapi dan yang menyebabkan kita menduga atau meramalkan segi-segi dalam penafsiran wacana. Pengetahuan latar belakang kita diatur dan disimpan dengan schemata yang tetap, bersama dengan struktur-struktur skematis lain tertentu yang lebih luwes. Dengan cara apapun direalisasikannya, schemata rasanya memberikan kepada penganalisis wacana suatu cara untuk menjelaskan pembuatan dan pemahaman wacana yang tidak terjadi ab initio (sejak awalnya) pada setiap kesempatan. Seperti kerangka, skrip, dan skenario, schemata merupakan sarana realisasi pengetahuan latar belakang yang kita gunakan, dan kita anggap orang-orang lain dapat menggunakannya juga, pada waktu membuat dan menafsirkan wacana.16 Skemata itu merupakan representasi pengetahuan pesapa untuk memahami apa yang dibaca atau didengar, konsep itu merupakan unsur dasar dalam memroses segala informasi baru. Konsep itu digunakan dalam menafsirkan data inderawi, baik yang bersifat linguistik maupun yang nonlinguistik, untuk menelusuri dari ingatan, mengatur tindakan, menentukan tujuan, mengalokasikan sumber, dan membimbing alur pada sistem. Teori
skemata
adalah
teori
tentang pengetahuan, tentang
bagaimana pengetahuan disajikan, dan tentang bagaimana sajian itu memberikan kemudahan dalam memahami pengetahuan itu. Menurut teori skemata, semua pengetahuan dikemas dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itulah yang disebut skemata. Dalam kemasan-kemasan pengetahuan itu 16
Ibid, h. 222-249
23
juga terkandung informasi tentang bagaimana pengetahuan itu mesti dipergunakan.17 Sepanjang suatu skema mendasari suatu konsep yang disimpan dalam ingatan sesuai dengan makna konsep itu, maka makna disimpan menurut situasi atau peristiwa yang sesuai dengan model atau yang mewakili konsep itu.
e) Skemata sebagai pentas Struktur intern suatu skema pada dasarnya sesuai dengan naskah suatu
pentas.
Skema
mempunyai
variabel-variabel
yang
dapat
diasosiasikan dengan aspek-aspek yang berlainan dalam lingkungan pemakaiannnya. Pengetahuan seperti nilai khusus variabel-variabel dan hubungan di antaranya disebut kendala variabel. Kendala variabel itu mempunyai dua fungsi penting dalam teori skemata. Pertama dapat digunakan untuk mengenali berbagai aspek situasi dengan variabelvariabel skema. Kedua, kendala variabel dapat berfungsi sebagai unsur atau nilai yang diperlukan dalam membuat terkaan awal bagi variabelvariabel yang nilainya belum kita ketahui.18
f) Struktur pengendalian skemata Terdapat dua sumber dasar yang dapat digunakan untuk mengaktifkan skemata yang masing-masing diacu sebagai pengaktifan atas-ke-bawah (top down) dan pengaktifan bawah-ke-atas (bottom-up). Pengaktifan atas-ke-bawah bermula dari rincian menuju ke keseluruhan. Sebaliknya
pengaktifan
bawah-ke-atas
bermula
dari
keseluruhan.
Pengetahuan yang tersematkan dalam skemata itu merupakan kerangka bagi teori-teori yang kita bangun. Konfigurasi skemata itulah yang akhirnya menjadi dasar bagi pemahaman kita.19 17
Hasan Alwi, dkk, 2003, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka), h.443 18 Ibid, h.444 19 Ibid, h.446
24
g) Model mental Johnson-Laird dalam Brown & Yule mengemukakan bahwa kita memang mampu menguraikan arti kata, tetapi bahwa biasanya kita tidak berbuat demikian untuk memahami kalimat-kalimat yang sederhana. JohnsonLaird menyarankan agar kita menggunakan kata-kata dalam kalimat sebagai „petunjuk-petunjuk untuk membentuk model mental yang biasa diketahui‟. Model mental adalah realisasi dalam bentuk model batin perihal keadaan yang ditandai dengan kalimat. Menurut Johnson Laird: Suatu fungsi penting bahasa adalah memungkinkan seseorang mendapat pengalaman orang lain mengenai dunia atas kuasanya: tidak secara langsung memahami perihal keadaan, tetapi pendengar membentuk modelnya berdasarkan ucapan penutur. Johnson Laird berpendapat bahwa dalam pendekatan pemahaman model mental tidak ada kaidah-kaidah penyimpulan.20
6. Referensi Penentuan kesimpulan-kesimpulan yang akan dibuat Pengertian kesimpulan yang agak umum dan dipergunakan untuk mendeskripsikan proses yang harus dilalui pembaca (pendengar) agar arti harfiah tentang apa yang ditulis (atau dikatakan) sampai pada apa yang dimaksud disampaikan oleh penulis (penutur).21
7. Kesimpulan sebagai mata rantai yang hilang Sanford dan Garrod mengatakan bahwa apabila mata rantai itu sudah menjadi bagian realisasi pengetahuan (misalnya kerangka, skema) yang diaktifkan oleh suatu bagian teks, tidak diperlukan pemrosesan lagi untuk memahami referensi berikutnya bagi unsur lain dalam realisasi pengetahuan itu.
20 21
Brown & Yule, Op.cit., h. 250-251 Ibid, h.256
25
Maka, rasanya kita mempunyai (sekurang-kurangnya) dua kategori mata rantai yang hilang. Macam yang satu dibuat secara otomatis dan tidak mengakibatkan waktu pemrosesan tambahan dan yang lain tidak secara otomatis, tetapi merupakan hasil anggapan jembatan dan menyebabkan waktu pemrosesan tambahan. „Mata rantai yang hilang adalah kalimat yang secara formal dapat diidentifikasikan dan yang dapat ditunjukkan merupakan hubungan, yang secara formal padu, antara kalimat-kalimat teks. Menyediakan mata rantai yang hilang merupakan bagian latihan dalam realisasi teks, tetapi itu tidak sama dengan mengadakan realisasi apa yang dilakukan orang dalam memahami teks.22
8. Kesimpulan sebagai hubungan nonotomatis Beaugrande dalam Brown & Yule berpendapat bahwa dalam pemahaman kita terhadap apa yang kita baca dan dengar, ada „penyebaran pengaktifan‟ yang „secara wajar merupakan akibat dari pengaktifan konsep dalam ideasi dan pemahaman tanpa dorongan yang diarahkan secara khusus‟. Sebaliknya, „dorongan-dorongan yang diarahkan secara khusus ini dengan sengaja ditujukan untuk mengatasi tempat-tempat yang lowong atau celah-celah dalam pemahaman pembaca (atau pendengar) terhadap apa yang dibacanya (atau didengarnya) dan lebih
banyak
dianggap
memungkinkan
kita
(kesimpulan-kesimpulan)
sebagai
kesimpulan-kesimpulan.
membayangkan sebagai
yang
Pembedaan
ini
hubungan-hubungan
nonotomatis
memerlukan
yang
usaha
lebih
interpretatif pada pihak pembaca (atau pendengar) daripada hubungan-hubungan yang diadakan melalui pengetahuan yang sudah ada.23 Gagasan tentang hubungan „otomatis‟ dapat juga berguna apabila diterapkan pada segi pemahaman teks yang telah dibicarakan berdasarkan „inferensi informasi‟ menurut Waren dalam Brown & Yule. Karena tipe informasi yang dideskripsikan rupanya melibatkan hubungan-hubungan otomatis di antara kalimat-kalimat teks, mungkin fenomena itu telah diberi ciri yang tidak tepat 22 23
Ibid, h. 257 Ibid, h. 260
26
sebagai contoh „inferensi‟ (penyimpulan). Lebih lanjut Waren menyatakan bahwa, dalam pemahaman kita mengenai teks, kita terus menerus perlu mengetahui jawaban seperangkat pertanyaan who, what, where, dan when.24
B. Etika Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 s.m).25 Etika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).26 Kata “moral” memiliki etimologi sama dengan “etika”, sekalipun bahasa asalnya berbeda. Jika kata “moral” dipakai sebagai kata sifat artinya sama dengan “etika” menurut arti pertama, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. “Moralitas” (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”. Kita berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.27 Menjelaskan istilah etika dengan moral dapat dihubungkan menjadi etika adalah ilmu yang membahas tentang moral atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Menggunakan istilah etika untuk mengkaji hal yang berkaitan dengan moral dalam bahasa Arab dikenal dengan akhlak.
24
Ibid, h. 261-262 K. Bertens, 2011, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h 4 26 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), Cet.I, h. 383 25
27
K. Bertens. Op.cit, h. 4-5
27
a) Konteks untuk Menentukan Etika Pandangan etis tradisional berstandar pada asumsi tertentu mengenai apa yang disebut „baik‟, tetapi dengan beberapa permasalahan di dalam tiap-tiap paradigma utama. Terdapat tiga paradigma utama yang secara historis berasal dari dan perilaku manusia: (a) Aristoteles berasumsi bahwa kita dapat sepenuhnya menyetujui apa yang disebut „baik‟yang seharusnya menjadi tujuan kita dan apa yang tidak kita setujui sebagai sesuatu yang berada di bawah standar ideal. Persoalan mengenai paradigma tersebut adalah apa yang dianggap baik bagi kita sebagai sesuatu yang ideal diselimuti oleh
harapan dan ketakutan
irasional, dan kemudian dapat menjadi sesuatu yang benar-benar mengerikan bagi orang lain. (b) Kant berasumsi akan adanya suatu bentuk perintah untuk menuruti serangkaian tindakan yang benar yang kemungkinan besar tidak benarbenar hadir pada masing-masing individu. Model psikologi manusia sesuai dengan paradigma tersebut ketika diasumsikan setiap individu memiliki hati nurani berdasarkan kemampuan individu untuk berpartisipasi dalam masyarakat sebagai manusia beradab dan bijaksana. Persoalannya adalah beberapa orang yang melakukan tindakan paling brutal merasa telah mengikuti beberapa versi keputusan moral dan merasa sudah sesuai dengan sifat manusia yang sewajarnya. (c) Bentham berasumsi bahwa kita sebaiknya memperhitungkan kerugian dan keuntungan dari tindakan atas individu yang berbeda, bahwa masuk akal untuk menentukan bagaimana ketakutan, kebaikan dapat didistribusikan di antara mereka.28
28
Ian, Parker, 2008, Psikologi Kualitatif, ANDI, h 29-30.
28
b) Nilai Moral Terdapat dua macam nilai dalam kehidupan ini yaitu moral dan nonmoral. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan adalah hal-hal yang dituntut dalam kehidupan ini.
c) Nilai moral yang diajarkan di sekolah Kejujuran, adalah salah satu bentuk nilai. Dalam hubungannya dengan manusia, tidak menipu, berbuat curang, atau mencuri, merupakan salah satu cara dalam menghormati orang lain. Sikap adil mengharuskan kita memperlakukan orang-orang dengan sama dan tidak membeda-bedakan. Toleransi, merupakan bentuk refleksi dari sikap hormat. Meskipun toleransi dapat berbaur menjadi sebuah relativitas netral untuk menghindari berbagai prasangka yang menyangkut etika, toleransi pada akhirnya adalah tanda dari salah satu arti kehidupan yang beradab. Toleransi merupakan sebuah sikap yang memiliki kesetaraan dan tujuan bagi mereka yang memiliki pemikiran, ras, dan keyakinan yang berbeda. Toleransi adalah sesuatu yang membuat dunia setara dari berbagai bentuk perbedaan. Disiplin diri, membentuk diri kita untuk tidak mengikuti keinginan hati yang mengarah pada perendahan nilai diri atau perusakan diri, tetapi untuk mengejar apa-apa yang baik bagi diri kita, dan untuk mengejar keinginan sehat/positif dalam kadar yang sesuai. Tolong menolong membimbing kita untuk berbuat kebaikan dengan hati. Sikap peduli sesama (dengan arti “berkorban untuk”) membantu kita untuk tidak hanya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab kita, tetapi juga merasakannya.29
29
Ibid, h. 74-76
29
d) Gejala penurunan moral Secara umum, masyarakat berpandangan bahwa individualisme yang menekankan pada kepentingan pribadi telah melahirkan keegoisan yang menjadi gaya hidup yang harus dihargai keberadaannya. Banyak orang memiliki pemikiran yang sama: “setiap orang telah menyimpangkan sistem yang telah berlaku, dan saya akan menjadi orang bodoh jika tidak mengikuti perilaku tersebut”.30 e) Individualisme Tahun 1960-an, masyarakat secara umum melihat sebuah perubahan yang mengarah ke sikap “individualisme”. Sikap tersebut ditunjukkan dengan penghargaan tinggi, penghormatan, dan kewenangan yang lebih bersifat individu, termasuk subjektivitas dan rasa memiliki terhadap diri secara individu.
Hal
tersebut menekankan bahwa hak-hak memiliki nilai yang melebihi dari tanggung jawab, dan kebebasan lebih menjadi pilihan dibandingkan dengan komitmen. Hal tersebut kemudian membawa masyarakat untuk lebih mementingkan keinginan mereka dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan mereka sebagai individu yang memiliki kebebasan daripada memenuhi apa yang menjadi kewajiban mereka sebagai bagian dari suatu kelompok, seperti keluarga, komunitas, masyarakat, dan warga Negara.31 f) Komponen karakter yang baik a. Pengetahuan moral Terdapat banyak jenis pengetahuan moral yang berbeda yang perlu kita ambil seiring kita berhubungan dengan perubahan moral kehidupan. a) Kesadaran moral Para orang muda perlu mengetahui bahwa tanggung jawab moral mereka yang pertama adalah menggunakan pemikiran mereka untuk melihat suatu situasi yang emerlukan penilaian moral—dan kemudian 30
Ibid, h.18 Thomas Lickona, 2013, Mendidik untuk Membentuk Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara), h.18, cet III 31
30
untuk memikirkan dengan cermat apa yang dimaksud dengan arah tindakan yang benar. Aspek kedua dari kesadaran moral adalah memahami informasi dari permasalahn yang bersangkutan b) Mengetahui nilai moral Nilai-nilai moral seperti menghargai kehidupan dan kemerdekaan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, penghormatan, disiplin diri, integritas, kebaikan, belas kasihan, dan dorongan atau dukungan mendefinisikan seluruh cara tentang menjadi pribadi yang baik. Ketika digabung, seluruh nilai ini menjadi warisan moral yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. b. Penentuan perspektif Kita tidak dapat menghormati orang lain dengan sangat baik dan bertindak dengan adil terhadap kebutuhan mereka apabila kita tidak memahami orang yang bersangkutan. Satu sasaran pendidikan moral haruslah membantu para siswa mengalami dunia dari sudut pandang orang lain, terutama sudut pandang orang-orang yang berbeda dari diri mereka sendiri. c. Pemikiran moral Pemikiran moral melibatkan pemahaman apa yang dimaksud dengan moral dan mengapa harus aspek moral. Mengapa penting untuk menepati janji? Lakukan pekerjaan terbaik saya? Membagikan apa yang saya miliki dengan orang lain? d. Pengambilan keputusan Mampu memikirkan cara seseorang bertindak melalui permasalahn moral dengan cara ini merupakan keahlian pengambilan reflektif. Pendekatan apakah pilihan saya? Apakah konsekuensi yang ada terhadap pengambilan keputusan moral telah diajarkan kepada anakanak?. e. Pengetahuan pribadi Mengetahui diri sendiri merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit untuk diperoleh, namun hal ini perlu bagi pengembangan
31
karakter. Menjadi orang yang bermoral memerlukan keahlian untuk mengulas kelakuan kita sendiri dan mengevaluasi perilaku kita tersebut secara kritis. Kesemuanya merupakan kualitas pemikiran yang membentuk pengetahuan moral, membentuk kontribusi yang penting bagi sisi kognitif karakter kita. b. Perasaan moral a. Hati nurani Hati nurani memiliki empat sisi yaitu sisi kognitif—mengetahui apa yang benar—dan
sisi
emosional—merasa
berkewajiban
untuk
melakukan apa yang benar. Bagi orang-orang dengan hati nurani, moralitas itu perlu diperhitungkan. Mereka berkomitmen untuk menghidupi nilai moral mereka karena nilai tersebut berakar sangat dalam pada diri pribadi seorang yang bermoral. Hati nurani manusia dalam hubungan susila budi manusia sepanjang memberikan pengertian tentang baik dan jeleknya perbuatan yang
akan
dan
sudah
dilaksanakan,
pengertian
memberikan
kelimpahan rasa perasaan kepada manusia setelah perbuatan terjadi.32 b. Harga diri Harga diri yang tinggi tidak menjamin karakter yang baik. Tantangan sebagai
pendidik
adalah
membantu
orang-orang
muda
mengambangkan harga diri berdasarkan pada nilai-nilai seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan serta berdasarkan pada keyakinan kemampuan diri mereka sendiri demi kebaikan. c. Empati Empati merupakan identifikasi dengan, atau pengalaman yang seolaholah terjadi dalam, keadaan orang lain. Empati memampukan kita untuk keluar dari diri kita sendiri dan masuk ke dalam diri orang lain. Salah satu tugas pendidik moral adalah mengembangkan empati yang
32
H. Burhanuddin, Salam, Etika Individual, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h.131
32
tergeneralisasi, jenis yang melihat di luar perbedaan dan menanggapi kemanusiaan bersama. d. Mencintai hal yang baik Bentuk karakter yang tertinggi mengikutsertakan sifat yang benarbenar tertarik pada hal yang baik. Ketika orang-orang mencintai hal yang baik, mereka senang melakukan hal yang baik. Mereka memiliki moralitas keinginan, bukan hanya moral tugas. Kemampuan untuk menemukan pemenuhan layanan tidak terbatas pada menjadi penolong; kemampuan ini merupakan bagian dari potensi moral orag biasa, bahkan anak-anak. e. Kenali diri Emosi dapat menjadi alasan yang berlebihan. Itulah alasannya mengapa kenali diri merupakan kebaikan moral yang diperlukan. Kenali diri membantu kita untuk beretika bahkan ketika kita tidak menginginkannya. f. Kerendahan hati Kerendahan hati merupakan kebaikan moral yang diabaikan namun merupakan bagian yang esensial dari karakter yang baik. Kerendahan hati merupakan keterbukaan yang sejati terhadap kebenaran dan keinginan untuk bertindak guna memperbaiki kegagalan kita. c. Tindakan moral Tindakan moral, untuk tingkatan yang besar, merupakan hasil atau outcome dari dua bagian karakter lainnya. a. Kompetensi Kompetensi moral memiliki kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Untuk membantu orang lain yang mengalami kesusahan, kita harus mampu merasakan dan melaksanakan rencana tindakan. Hal ini lebih mudah dilakukan apabila kita telah berpengalaman menolong orang dalam situasi yang luar biasa sebelumnya.
33
b. Keinginan Pilihan yang benar dalam situasi moral biasanya merupakan pilihan yang sulit. Diperlukan keinginan untuk menjaga emosi di bawah kendali pemikiran. Diperlukan keinginan untuk meilhat dan berpikir melalui seluruh dimensi moral dalam suatu situasi. Keinginan berada pada inti dorongan moral. c. Kebiasaan Dalam situasi yang besar, pelaksanaan tindakan moral memperoleh manfaat dari kebiasaan. Kebiasaan yang baik terbentuk akan bermanfaat bagi diri sendiri bahkan ketika dalam situasi yang berat.33
33
Thomas Lickona, h.81-100
BAB III PEMBAHASAN
A. Wacana Tempat Duduk Priorita (Priority Seats) Pada pembahasan sebelumnya, peneliti menjelaskan penggunaan foto inti dan foto pendamping untuk melakukan analisa terhadap kajian keberterimaan wacana. Berikut disajikan foto inti:
Sedikit peneliti uraikan mengenai foto di atas, foto di sisi atas merupakan foto yang peneliti ambil sendiri pada tanggal 15 juni 2013. Foto tersebut ada pada setiap sisi ujung gerbong kereta. Setiap rangkaian/gerbong, memiliki empat sisi tempat duduk yang di atasnya tertempel stiker priority seats. Stiker tersebut berisi imbauan kepada seluruh penumpang kereta commuter line agar memperhatikan penumpang lain yang termasuk ke dalam kategori prioritas untuk mengisi tempat duduk tersebut. Dalam bagian atas stiker, terdapat “Tempat Duduk Prioritas”, imbauan bagi penumpang yang berhak duduk pada tempat duduk prioritas. Telah tertera pula penumpang yang berhak, yaitu (a) penumpang
34
35
manula, (b) wanita yang sedang hamil, (c) penyandang cacat, dan (d) ibu yang membawa anak. Imbauan tersebut pun dilengkapi dengan kalimat: “Mohon partisipasi pelanggan lainnya untuk mengingatkan kepada yang tidak berhak atas tempat duduk prioritas ini”.
Sedangkan foto di atas merupakan foto tempat duduk prioritas yang diambil oleh teman peneliti pada 30 Juni 2014. Foto tersebut diambil di kendaraan transjakarta tertempel di atas setiap tempat duduk prioritas. Stiker priority seats ini tertempel berdampingan dengan imbauan lain, seperti imbauan untuk tidak makan dan minum, imbauan untuk tidak melakukan tindak asusila. Berbeda dengan stiker priority seats yang terdapat di kereta commuter line, stiker tidak terdapat imbauan secara verbal yang berbentuk kalimat, hanya tertera gambar secara visual yang dapat dilihat oleh penumpang transjakarta. Dapat dilihat pada gambar, terdapat (a) gambar seorang yang berdiri dengan tongkat, (b) seorang perempuan hamil, (c) seorang perempuan dengan anak balita, dan (d) seorang penyandang cacat yang digambarkan dengan duduk di kursi roda. Tempat duduk prioritas yang diperuntukkan bagi penumpang prioritas, tetapi
36
gambar tersebut tidak menunjukkan penumpang duduk. Stiker tersebut digambarkan dengan seorang yang berdiri, kecuali (d) seorang penyandang cacat. Dalam kesempatan lain, peneliti temukan imbauan tentang tempat duduk prioritas di tempat umum, disajikan sebagai berikut:
Tempat-tempat umum seperti bandara misalnya, terdapat pula imbauan tempat duduk prioritas untuk manula, tetapi imbauan tersebut hanya berupa kalimat yang ditempel di bagian atas kursi-kursi yang menjadi tempat duduk prioritas. Imbauan tempat duduk prioritas tersebut ditempel pada kaca besar di sebuah ruang tunggu bandara Polonia, Medan. Peneliti dapatkan foto tersebut dari internet. Persis di bawah stiker imbauan tersebut terdapat empat kursi yang disediakan untuk lansia. Secara umum, gambar-gambar atau stiker imabauan kurang lebih mempunyai maksud pesan yang sama, yaitu imbauan bagi seluruh penumpang agar tempat duduk prioritas diisi atau diduduki oleh penumpang yang berhak dan partisipasi aktif penumpang atau orang lain untuk mengingatkan perihal tempat duduk prioritas.
37
B. Pemahaman Teks Wacana Pemahaman terhadap teks sebagai rangkaian pesan, akan peneliti deskripsikan terkait dengan lima hal yang dimaksud Brown dan Yule, Dengan mempertimbangkan fungsi komunikatif pesan, pembaca diminta memahami maksud yang ingin disampaikan teks secara umum. Fungsi komunikatif pesan merupakan hal yang dimaksud di dalam teks dapat dipahami oleh
audiens/penerima
pesan.
Teks
yang
disajikan
sebagai
wacana
mengharapakan audiens dapat memahami pesan yang ingin disampaikan melalui pemahaman ini. Pemahaman terhadap intensi pembicara. Pemahaman teks kadang tidak bergantung kepada apa yang terdapat secara verbal, melainkan kepada maksud suatu ujaran. Perhatikan teks wacana berikut,
Secara verbal, imbauan wacana tempat duduk prioritas tersebut hanya menyatakan, “Tempat Duduk Prioritas│priority seats” kemudian pada bagian bawah setiap gambar (a) “Lanjut usia”, (b) “Wanita Hamil”, (c) “Penyandang Cacat”, (d) “Ibu Membawa Anak”. Pemahaman intensi pembicara memaksudkan pemahaman tentang wacana pada ranah ini dengan serangkaian kalimat, “Tempat Duduk Prioritas │Priority Seats” merupakan rangkaian judul yang tidak
38
dihubungkan dengan, (a) “Lanjut Usia”, (b) “Wanita Hamil”, (c) “Penyandang Cacat”, (d) “Ibu Membawa Anak”. Serangkaian kalimat tersebut tidak dihubungkan dengan kata hubung “untuk” yang membuat tujuan kalimat itu menjadi lebih jelas. Kalimat tersebut akan menjadi seperti, (a) “Tempat Duduk Prioritas│priority seats untuk Manusia Lanjut Usia” atau (b) “Tempat Duduk Prioritas│priority
seats
untuk
Wanita
Hamil”,
dan
“Tempat
Duduk
Prioritas│priority seats untuk Penyandang Cacat”. Meskipun tidak hadirnya kata hubung “untuk” dalam serangkaian kalimat tersebut sebagai kata hubung, pemahaman pembaca untuk memahami wacana tersebut tidak berubah. Intensi pembicara yang terkadang tidak bergantung kepada apa yang terdapat secara verbal, pembaca dapat memahami maksud suatu ujaran dalam hal ini wacana tempat duduk prioritas tersebut. Pada teks wacana lain, perhatikan teks wacana di bawah ini,
Merujuk pada pemahaman intensi pembicara yang kadang tidak bergantung kepada apa yang terdapat dalam wacana secara verbal, teks wacana di atas sama sekali tidak terdapat kalimat penunjuk atau penanda lain berupa kalimat verbal. Teks wacana tersebut tidak menggunakan kalimat sebagai sarana pemahamannya. Tetapi gambar-gambar (a) orang yang menggunakan tongkat merupakan manusia lanjut usia, (b) orang yang perutnya besar merupakan ibu hamil, (c) orang yang terdapat membawa anak kecil merupakan ibu yang
39
membawa anak, dan (d) orang yang duduk di kursi merupakan perwakilan gambar dari penyandang cacat. Perhatikan pula gambar berikut,
Stiker tempat duduk prioritas di atas juga tidak terdapat imbauan secara verbal. Terdapat gambar-gambar yang mewakili objek sesungguhnya. Pemahaman intensi pembicara yang kadang tidak memedulikan kehadiran sarana verbal, membuat pembaca dapat memahami teks tersebut dengan melihat objek pada gambar yang mewakili objek sesungguhnya. Gambar pertama, (a) orang yang menggunakan tongkat, gambar tersebut mewakili objek sesungguhnya di mana orang-orang yang sudah tua cenderung menggunakan tongkat untuk membantu mereka melakukan aktivitas. Gambar kedua, (b) orang yang menggunakan tongkat untuk menopang sebagian tubuhnya, terlihat juga salah satu kakinya dalam keadaan tidak begitu baik. Penggambaran ini merupakan perwakilan dari objek sesungguhnya yaitu perwakilan orang yang cacat atau penyandang disabilitas. Selanjutnya, gambar ketiga (c) seorang ibu hamil. Gambar tersebut menampilkan seorang yang menggunakan baju besar karena perutnya hamil. Keempat, (d) penggambaran seseorang yang menggendong anak. Penggambaran orang yang menggendong anak ini pun merupakan perwakilan daripada objek sesungguhnya. Pemahaman ini memang tidak memedulikan kalimat sebagai sarana, tetapi pembaca dapat memahami dengan cara mengaitkan gambar dengan objek
40
seungguhnya. Kemudian pembaca menghubungkan pengetahuannya tentang objek tersebut. Bekerjanya pemahaman pembaca menurut pemahaman intensi pembicara tidak lain terkait juga dengan konteks yang mengikutinya. Sebagian konteks berupa tersedianya tempat duduk bawah imbauan tersebut, serta adanya proses memperoleh
kembali
menghubungkannya
informasi
dengan
yang
wacana
tersimpan
yang
dihadapi
dalam yakni
ingatan
dan
representasi
pengetahuan. Dengan menghubungkan pemahamannya terhadap wacana yang dihadapi dan memperoleh kembali informasi yang tersimpan, maka didapatlah suatu pemahaman bahwa seseorang yang boleh duduk di tempat duduk tersebut adalah (a) manusia lanjut usia, (b) ibu hamil, (c) ibu membawa anak, dan (d) penyandang cacat.
Pemahaman intesi pembicara kadang tidak bergantung kepada apa yang terdapat secara verbal, melainkan kepada maksud suatu ujaran. Gambar atau stiker tempat duduk prioritas tersebut menggunakan kalimat sebagai sarana verbal untuk dapat memberikan pemahaman kepada penerima pesan. Kalimat-kalimat tersebut menyatakan, “Kursi Prioritas Priority Seats” kemudian terdapat gambar sebagai penegasan terhadap objek sasaran penumpang/pengguna prioritas, pada setiap
41
bagian bawah gambar terdapat penegasan kembali secara verbal, (a) “Lansia Elderly”, (b) Wanita hamil Pregnant Women” (c) “Kendala fisik Physically Challenged”, (d) Membawa anak Those with Infants”. Serangkaian judul yang sama sekali tidak dihubungkan dengan kata-kata di bawahnya merupakan kalimat yang kurang jelas dan tidak utuh. Pembaca dapat memahami maksud teks tersebut dengan cara melihat objek yang diwakili oleh gambar dengan menghubungkan pengetahuannya tentang orang-orang yang menjadi penumpang prioritas. Perhatikan gambar di bawah ini,
Gambar tersebut merupakan salah satu teks wacana tentang tempat duduk prioritas. Teks tersebut menggambarkan tiga orang yang termasuk kategori penumpang atau orang yang prioritas. Mereka adalah (a) orang yang menggunakan tongkat atau orang yang sudah tua, (b) ibu hamil, dan (c) orang yang dalam keadaan sakit diwakili dengan tanda tambah berwarna merah dalam lingkaran. Stiker tersebut juga dilengkapi dengan kalimat, “Utamakan tempat duduk bagi orang hamil dan manula”. Rangkaian kalimat tersebut sangat jelas dan dapat dipahami oleh pembaca jika teks hanya disajikan dalam bentuk verbal. Sebagaimana diketahui bahwa memhami dengan cara intensi pembicara kadang tidak peduli terhadap apa yang terdapat secara verbal, namun dalam stiker si atas, kalimat verbal sudah dapat menjelaskan dan pembaca dapat dengan mudah memahaminya.
42
Dengan jelas bahwa pemahaman teks kadang tidak bergantung kepada apa yang terdapat secara verbal, wacana disajikan secara verbal dengan imbauan yang telah penulis jelaskan sebelumnya. Pada suatu tingkat, wacana tersebut sebagai imbauan kepada penumpang, pada tingkat lain sebagai permintaan untuk berbuat. Sebagai permintaan untuk berbuat inilah yang menjadi dasar dari maksud suatu ujaran. Wacana yang disajikan mempunyai maksud agar penumpang yang tidak termasuk ke dalam penumpang prioritas memberikan tempat duduk untuk penumpang prioritas. Lebih jauh, bahwa tempat duduk prioritas tidak untuk diduduki oleh penumpang lain. Karena peruntukkannya jelas hanya untuk penumpang prioritas. Top-down and bottom-up processing. Kita memahami teks melalui apa yang terdapat dalam teks dan, pada saat yang sama, memprediksi apa yang selanjutnya dimaksudkan oleh teks berdasarkan konteks. Perhatikan teks wacana berikut,
Top-down
and
bottom-up
processing
mempertimbangkan
segala
pemahaman berdasarkan apa yang terdapat dalam teks, pada saat yang sama pembaca memprediksi apa yang selanjutnya dimaksudkan oleh teks tersebut. Pada teks wacana di atas, terdapat kalimat, “Mohon partisipasi pelanggan lainnya untuk
43
mengingatkan kepada yang tidak berhak atas tempat duduk prioritas ini”. Pada kalimat tersebut dengan jelas penulis meminta secara persuasi kepada pembaca untuk mengingatkan kepada pelanggan lain agar saling mengingatkan yang tidak berhak menduduki tempat duduk tersebut. Merujuk pada Top-down and bottomup processing, setelah pembaca membaca kalimat, “Mohon partisipasi pelanggan lainnya untuk mengingatkan kepada yang tidak berhak atas tempat duduk prioritas ini”, pada saat yang sama mereka menemukan maksud dari kalimat tersebut. Berbeda halnya dengan teks wacana berikut,
Secara verbal, seperti yang sudah peneliti sebutkan sebelumnya, pada teks wacana di atas, sama sekali tidak menggunakan sarana verbal sebagai penyampai maksud. Namun hal tersebut dapat dijelaskan dalam intensi pembicara dengan mengaitkan representasi pengetahuan sebagai cara memahaminya. Top-down and bottom-up processing mempertimbangkan segala pemahaman berdasarkan apa yang terdapat dalam teks. Teks tersebut hanya menampilkan gambar (a) orang yang menggunakan tongkat merupakan manusia lanjut usia, (b) orang yang perutnya besar merupakan ibu hamil, (c) orang yang terdapat membawa anak kecil merupakan ibu yang membawa anak, dan (d) orang yang duduk di kursi merupakan perwakilan gambar dari penyandang cacat. Pembaca yang mencoba memahami teks tersebut akan melihat gambar, pada saat yang sama memprediksi
44
apa yang selanjutnya dimaksud oleh teks. Pemahaman ini pun tidak luput dari keikutsertaan representasi pengetahuan pembaca untuk memahaminya. Siapa saja yang membaca teks wacana tempat duduk prioritas (priority seats) di atas akan memahami bahwa wacana tersebut merupakan imbauan tempat duduk prioritas, pada saat yang sama, pembaca memprediksi apa yang dimaksudkan oleh teks berdasarkan konteks. Konteks adalah lingkungan yang dimasuki sebuah kata. Konteks dapat membuat perbedaan pengertian yang sangat mencolok. Bahkan kombinasi yang sama dari kata-kata dapat menghasilkan makna yang sangat berbeda dalam lingkungan kontekstual. Hasan Alwi dkk, menambahkan bahwa konteks dalam wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Perhatikan gambar di bawah ini,
Stiker tempat duduk prioritas tersebut tidak menggunkan sarana kalimat sebagai penyampai maksud pesan. Kegiatan membaca yang dilakukan oleh pembaca dengan cara memahami proses dari atas ke bawah-bawah ke atas merupakan cara yang dikaitkan dengan representasi pengetahuan pembaca. Representasi pengetahuan pembaca mencakup kerangka/ frame, skrip, skenario, dan skemata. Pembaca akan membaca teks tersebut kemudian menghubungkan apa yang dilihatnya dengan pemahaman deskripsi kerangka „orang yang membutuhkan tempat duduk‟, pelabelan berdasarkan kerangka ini tidak akan
45
berubah dalam pengetahuan kita. Pembaca yang membangun kerangkanya tentang „orang yang membutuhkan tempat duduk‟ ialah (a) orang yang sudah tua, (b) orang yang sedang hamil, (c) orang yang menggendong anak, dan (d) orang penyandang cacat. Kegiatan membaca dengan menghubungkan dengan skrip yaitu dengan cara „berdasarkan dugaan‟. Dugaan-dugaan yang timbul bisa bermacammacam bentuknya, jika pembaca memiliki dugaan bahwa tempat duduk prioritas boleh diduduki selama tidak ada penumpang prioritas, maka dugaan tersebut akan melekat dalam pemahamannya. Cara memahami dengan bentuk schemata yaitu menafsirkan teks yang disajikan dengan cara mengaitkan teks dengan pengalaman yang dimiliki pembaca sebelumnya. Teks yang menggambarkan (b) ibu hamil sebagai penumpang prioritas yang membutuhkan tempat duduk. Ketika pembaca teks memiliki pengalaman tentang ibu hamil yang kuat berdiri lama, maka pembaca akan menafsirkan teks yang disajikan berdasarkan pengalamannya. Kemungkinan tindakan yang diambil adalah tidak adanya kesadaran pembaca untuk memprioritaskan ibu hamil sebagai penumpang prioritas. Perhatikan gambar berikut,
Proses memahami dengan cara top-down and buttom-up processing merupakan hal yang tidak mudah dan tidak sulit. Pembaca mencoba memahami teks dengan melihat teks wacana dan pada saat yang sama memprediksi maksud dari teks tersebut. Stiker tersebut menginformasikan terhadap pembaca bahwa,
46
“Kursi Prioritas │Lansia, Wanita hamil, Kendala fisik, Membawa balita”, serangkaian kalimat tersebut belum cukup dapat dipahami oleh pembaca yang belum memiliki pengetahuan sebelumnya tentang tempat duduk prioritas. Kegiatan memahami penerima wacana diminta untuk mencari pengetahuannya terkait penumpang yang disebutkan dan peruntukkan kursi bagi mereka. Berbeda dengan gambar berikut ini,
Gambar tersebut lebih memudahkan pembaca untuk memahaminya. Stiker tersebut digambarkan dengan gambar menyerupai objek (a) manusia yang sedang berdiri dengan tongkat, (b) ibu yang hamil, dan (c) manusia yang diberikan tanda plus sebagai lambang kesehatan, artinya orang yang sakit ketika itu menjadi penumpang prioritas. Gambar-gambar tersebut digambarkan dengan berdiri, tidak duduk. Terdapat pula tanda panah yang menunjukkan arah tempat duduk yang dimaksud dalam teks. Tempat duduk yang tersedia juga mendukung pemahaman teks tersebut berdasarkan konteks yang tersedia. Kegiatan membaca teks wacana yang disajikan, pada saat itu pembaca melakukan top-down processing, berusaha memahami teks yang tersedia, di sini penumpang mengalami proses „menguraikan‟ kalimat-kalimat pada teks yang dijumpainya. Pada saat yang sama pula, penumpang tersebut memprediksi apa yang selanjutnya dimaksud oleh teks, penumpang memproses bottom-up processing. Kekuatan memprediksi atas-bawah itulah yang memungkinkan pembaca/penumpang untuk menghadapi, melalui pemrosesan atas-bawah, salah satu ujaran dalam teks menentukan pesan apa yang paling besar kemungkinannya
47
dimaksudkan. Setelah teks tersebut dipahami oleh pembaca, pada saat yang sama mereka juga memprediksi maksud dari pesan tersebut. Ketika pembaca memahami teks, bahwa tempat duduk prioritas (priority seats) hanya untuk penumpang cacat, ibu hamil, ibu membawa anak, dan manusia lanjut usia, mereka memprediksi maksud pesan, bahwa penumpang lain yang tidak termasuk kategori prioritas tidak dibenarkan untuk duduk di tempat duduk prioritas. Berdasarkan pertimbangan ini wacana dinyatakan berterima. Melalui pemrosesan atas-bawah dan bawah-atas, pembaca dapat memahami teks dan memprediksi maksud dari teks selanjutnya. Pemahaman berikutnya inferensi logis. Merupakan kesimpulan logis yang didasarkan kepada pemahaman pembaca. Dalam inferensi logis, dideskripsikan secara lain oleh Hidyard & Olson dalam Brown & Yule, inferensi logis biasanya dibuat oleh pembaca untuk membuat hubungan dengan dasar bahwa perbuatan A menyebabkan perbuatan B. a. Sebagai penghubung garis terputus (missing link). Dalam memahami teks, terkadang kita memerlukan waktu. Pembaca yang melakukan kegiatan membaca teks wacana tempat duduk prioritas tentunya memerlukan waktu untuk
menguraikan
kalimat-kalimat.
Selain
menguraikan
kalimat,
pembaca juga mencoba menguhubungkan pengetahuannya sebagai penghubung garis terputus setelah mereka membaca. b. Koneksi nonotomatis. Dalam pemahaman kita, terhadap apa yang kita baca dan dengar, ada „penyebaran pengaktifan‟ yang „secara wajar merupakan akibat dari pengaktifan konsep dalam ideasi dan pemahaman tanpa dorongan yang diarahkan secara khusus‟.1 Sebaliknya, „dorongandorongan yang diarahkan secara khusus ini dengan sengaja ditujukan untuk mengatasi tempat-tempat yang lowong atau celah-celah dalam pemahaman pembaca (atau pendengar) terhadap apa yang dibacanya (atau didengarnya) dan lebih layak dianggap sebagai kesimpulan-kesimpulan. Pembedaan ini memungkinkan kita membayangkan hubungan-hubungan 1
Gillian Brown & George Yule, 1996, Analisis Wacana, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,), h. 260
48
nonotomatis sebagai yang memerlukan usaha yang lebih interpretatif pada pihak pembaca (atau pendengar) daripada hubungan-hubungan yang diadakan melalui pengetahuan yang sudah ada.
Perbedaan antara
pemrosesan teks-teks yang mengandung hubungan-hubungan otomatis dan yang mengandung hubungan nonotomatis, tipe hubungan nonotomatis-lah yang sebaiknya dianggap sebagai contoh inferensi, sebab ada bukti (waktu tambahan yang diperlukan) bahwa pembaca harus mengalami „kerja‟ interpretatif tambahan sedikit dalam pemrosesan teks. Hal ini berarti hubungan „otomatis‟ dan „nonotomatis‟ tidak mungkin diidentifikasikan tanpa tergantung kepada orang-orang yang mengamati teks. Perhatikan teks wacana berikut,
Koneksi nonotomatis mengambil peranan yang cukup penting, dalam memahami teks di atas untuk mengambil contoh sebagai inferensi. Perhatikan gambar-gambar orang yang duduk dengan informasi singkat berupa kalimat imbauannya. Dalam pemrosesan teks tersebut, pembaca melakukan kerja tambahan sebagai usaha yang lebih interpretatif. Informasi-informasi yang berupa keterangan “Tempat Duduk Prioritas │Priority Seats” merupakan rangkaian judul yang tidak dihubungkan dengan, (a) “Lanjut Usia”, (b) “Wanita Hamil”, (c) “Penyandang Cacat”, (d) “Ibu Membawa Anak”, dan kalimat, “Mohon partisipasi
49
pelanggan lainnya untuk mengingatkan kepada yang tidak berhak atas tempat duduk prioritas ini”, kurang cukup untuk menjelaskan maksud dari teks wacana tersebut. Sebagai inferensi yang kemudian diartikan untuk menarik kesimpulan, pembaca perlu mengisi „ruang-ruang kosong‟ dalam tafsirannya. Ruang-ruang kosong tersebut diisi dengan pengetahuan latar belakang yang ada. Koneksi nonotomatis juga terjadi pada teks berikut,
Untuk memahami teks wacana di atas, pembaca perlu melakukan kerja tambahan, usaha yang lebih interpretatif sebagai inferensi. Gambar di atas kurang lebih menunjukkan (a) orang yang menggunakan tongkat merupakan manusia lanjut usia, (b) orang yang perutnya besar merupakan ibu hamil, (c) orang yang terdapat membawa anak kecil merupakan ibu yang membawa anak, dan (d) orang yang duduk di kursi merupakan perwakilan gambar dari penyandang cacat. Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan hadirnya tempat duduk prioritas, dan tidak dihadirkan pula keterangan tentang siapa saja yang berhak duduk di tempat duduk prioritas tersebut selain gambar-gambar yang disajikan di atas. Inilah yang disebut sebagai „pengisian ruang-ruang kosong‟ yang harus dilakukan oleh pembaca untuk memahami teks wacana sehingga dapat dikatakan sebagai inferensi.
50
Perhatikan gambar berikut,
Serupa dengan gambar sebelumnya, pemahaman terhadap gambar ini pun memerlukan kerja tambahan pada pihak pembaca untuk memahami dan mengambil kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan didapat pembaca dengan mengisi ruang kosong/menguraikan makna dari setiap tanda yang tersedia. Pembaca berusaha untuk mengaktifkan kembali pengetahuannya terkait dengan objek di dalam gambar, kemudian menghubungkan dengan konteks. Pembaca akan menyimpulkan dengan cara yang tetap, artinya pembaca yang telah memiliki pengetahuan tentang tempat duduk prioritas tidak memerlukan waktu/kerja tambahan untuk memahami teks. Sedangkan para pembaca yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang tempat duduk prioritas akan memerlukan kerja tambahan untuk memahami teks. Perhatkan teks wacana di bawah ini,
51
Inferensi yang dilakukan pembaca untuk memahami teks tersebut tidaklah cukup sulit. Dalam pemrosesan teks tersebut, pembaca melakukan kerja tambahan sebagai usaha yang lebih interpretatif. Informasi-informasi yang berupa keterangan “Kursi Prioritas │Lansia, Wanita hamil, Kendala fisik, Membawa balita”, dapat dipahami dengan cara menarik kesimpulan. Pembaca akan menarik kesimpulan dengan penyajian sarana verbal yang singkat, dan dilengkapi gambar yang mewakili objek sesungguhnya. Pembaca yang belum memiliki pengetahuan sebelumnya tentang penumpang prioritas, harus menguraikan jabaran dari gambar-gambar tersebut. Apa yang disebut sebagai „kerja‟ tambahan merupakan proses pemahaman yang coba diisi oleh pembaca dengan mengaitkan konteks yang ada. Merujuk teori Brown & Yule, hubungan-hubungan otomatis dan nonotomatis akan terbentuk berdasarkan siapa yang menjadi sasaran wacana. Hubungan otomatis yang terjadi, kepada penumpang yang sudah sering membaca teks tersebut, sehingga tidak memerlukan waktu tambahan untuk proses pemahaman. Hubungan nonotomatis di sini akan terjadi jika, pembaca atau penumpang yang membaca wacana tersebut adalah penumpang pemula yang baru saja menumpang kereta api, dan baru pertama kali membaca wacana tempat duduk prioritas. Bagi mereka, memahami teks wacana harus dimasukkan pada kesempatan tertentu karena pemasukan itu memerlukan waktu untuk memahami teks. c. Pengisian ruang kosong dalam interpretasi. Hal ini masih berkaitan erat dengan penarikan kesimpulan-kesimpulan. Memahami teks dengan cara membaca sepintas lalu, akan berbeda dengan memahami teks untuk keperluan penilaian selanjutnya. Pembaca yang melakukan membaca untuk kepentingan kedua, akan melibatkan „kerja‟ tambahan untuk mengisi celah-celah kosong dalam tafsirannya. Sebagian besar pemahaman kita tentang apa yang kita baca dan dengar (dan lihat), bagaimanapun, merupakan hasil dari usaha kita untuk memberi arti
52
kepada motivasi, tujuan, rencana, dan alasan para peserta dalam peristiwa-peristiwa yang dideskripsikan atau kita saksikan. Latar pada waktu sekarang ini, dapat kita katakan bahwa teks yang padu dengan sedikit „mata rantai yang hilang‟ akan memerlukan sedikit sekali informasi, tetapi tidak akan menuntut banyak „kerja‟ interpretatif, melalui penyimpulan pada pihak pembaca. Akan tetapi, biasanya teksteks yang umumnya akan dihadapi sedikit sekali perpaduan, mengandaikan banyak sekali pengetahuan latar belakang yang ada, dan biasanya menuntut pembaca untuk membuat kesimpulan-kesimpulan apa saja dan semaunya agar dapat memahami apa yang disampaikan. Memahami pesan dengan pengisisan ruang kosong dalam interpretasi merujuk kembali tujuan membaca teks tersebut. Jika pembaca melakukan kegiatan membaca hanya untuk sepintas lalu, maka mereka tidak melakukan „kerja‟ tambahan yang membuat mereka mempersiapkan diri untuk mengisi celahcelah kosong. Melalui penyimpulan pada pihak pembaca, teks wacana yang disajikan memang sedikit sekali perpaduan, pembaca akan banyak menggunakan pengetahuan latar belakang dan membuat kesimpulan-kesimpulan dalam memahami teks tersebut. Representasi pengetahuan pada dasarnya adalah proses memperoleh kembali informasi yang tersimpan dalam ingatan dan menghubungkannya dengan wacana yang dihadapi. Membayangkan pengetahuan tentang dunia sebagai sesuatu yang tersusun menjadi perangkat-perangkat bidang pengetahuan yang terpisah, tetapi saling berhubungan yang apabila dikumpulkan, akan melengkapi pengetahuan-pengetahuan yang digeneralisasikan, yang rupanya digunakan manusia dalam memahami wacana. Representasi pengetahuan ini meliputi: d. Frame (bingkai), merupakan kerangka kerja, dalam bentuk organisasi pengetahuan, yang membimbing pembaca untuk memahami wacana. Kerangka ini dijelaskan lebih umum sebagai „proses mengepaskan apa yang dikatakan kepada seseorang ke dalam kerangka yang dibentuk
53
oleh apa yang sudah diketahuinya. Ketika pembaca membaca wacana yang disajikan, yang memberi informasi kepada bahwa tempat duduk tersebut merupakan tempat duduk prioritas, yang tidak dapat diduduki oleh penumpang lain, sekaligus imbauan kepada penumpang untuk saling mengingatkan peruntukan tempat duduk prioritas tersebut. „Pemahaman‟ mengenai informasi tersebut dapat dideskripsikan berdasarkan „kerangka orang yang membutuhkan tempat duduk‟. Informasi tentang siapa saja orang-orang yang termasuk penumpang prioritas untuk duduk di tempat duduk prioritas itu merupakan label informasi yang tak berubah-ubah pada kerangka pengetahuan kita. Dengan kata lain, kita tidak harus diberitahu bahwa penumpang prioritas menduduki tempat duduk prioritas. Pembuat wacana menduga kita sudah memiliki pengetahuan itu, dan teori kerangka Minsky memberikan penjelasan tentang bagaimana dugaan itu mempengaruhi wacana yang dibuat.
e. Script (skrip), yaitu dependensi konseptual dalam pemahaman teks yang memperlihatkan ekpektasi pembaca terhadap sebuah teks. Dalam perkembangan analisis konseptual kalimat Riesbeck & Shanck dalam Brown & Yule, mendeskripsikan cara kita memahami apa yang kita baca atau dengar yang begitu banyak „berdasarkan dugaan‟. Artinya, ada usaha untuk menggabungkan pengetahuan dunia dalam memahami wacana, yang begitu banyak dugaan-dugaan yang dibuat oleh pembaca atau pendengar untuk memahami teks yang disajikan. Pembaca yang membaca teks wacana tempat duduk prioritas (priority seats), akan menggabungkan pengetahuan tentang dunia dalam memahami wacana. Adapun dugaan-dugaan yang dibuatnya tentang tempat duduk prioritas (priority seats), merupakan informasi atau dugaan yang berkaitan dengan siapa saja penumpang prioritas, apa yang seharusnya dilakukan ketika menemukan penumpang prioritas, atau lebih jauh, tindakan
54
dugaan jika pembaca menemukan ketidakberterimaan wacana yang direpresentasikan dengan ketidakpatuhan terhadap wacana itu sendiri.
f. Scenario (skenario), yaitu wilayah referensi yang diperluas, demi pemahaman teks. Memperluas referensi untuk menafsirkan teks ini dilakukan „karena seseorang dapat membayangkan pengetahuan tentang latar dan situasi sebagai berupa skenario interpretatif di belakang teks‟. Apabila kita membaca teks wacana tempat duduk prioritas, kita akan membayangkan pengetahuan, bahwa ibu hamil, penyandang cacat, ibu membawa anak, dan manula tidak kuat berdiri dalam waktu sekian menit, bahwa mereka sangat membutuhkan tempat duduk. Dengan diaktifkannya skenario „peruntukkan tempat duduk prioritas‟ lebih cepat dibaca, dengan skenario-skenario yang dibuat untuk diaktifkan juga sudah tepat, maka pembaca sudah berhasil memahami teks tersebut. Efektifnya pembuatan
teks
dalam
mengaktifkan
skenario
akan
membawa
keberhasilan pemahaman pada pihak pembaca.
g. Schemata (skemata), yaitu struktur kompleks pengetahuan yang lebih tinggi yang menentukan seseorang dalam memahami pengalamannya. Skemata dianggap sebagai deterministis, menjadikan orang yang mengalami cenderung untuk menafsirkan pengalamannya dengan cara yang
tetap.
Melakukan
pemahaman
dengan
menggunakan
pengalamannya dengan cara yang tetap membuat pembaca terkadang terjebak dalam keadaan pengalamnannya. Seorang pembaca yang memiliki pengalaman tentang tempat duduk prioritas dengan baik, dalam arti mereka mengetahui bahwa ibu hamil, ibu membawa anak, manusia lanjut usia, dan penyandang cacat sangat membutuhkan tempat duduk, maka berbekal pengalaman yang tetap tadi mereka akan melakukan tindakan memberi tempat duduk, atau mereka akan
55
berpartisipasi secara aktif untuk mengingatkan pembaca lain peruntukkan tempat duduk prioritas (priority seats). Hal lain juga dapat terjadi pada seorang pembaca yang menafsirkan wacana tempat duduk prioritas (priority seats) dengan kurang baik, dalam arti sebaliknya.
Pemahaman wacana terkait lima hal yang diungkapkan oleh Brown & Yule, diantaranya fungsi komunikatif pesan, intensi pembicara, top-down and buttom-up processing, inferensi logis, dan representasi pengetahuan merupakan cara memahami pesan yang terdapat dalam wacana. Memahami dengan cara tersebut, Brown & Yule membuktikan bahwa penerima pesan atau pembaca dengan kondisi normal dapat memahami wacana. Wacana yang disajikan, dalam hal ini adalah wacana tempat duduk prioritas (priority seats), dapat dipahami oleh pembaca atau dengan kata lain wacana berterima. Keberterimaan wacana dipahami dengan tingkat keberterimaannya yang berbeda, dari yang lebih mudah hingga yang tersulit. Melihat pembaca yang datang dari berbagai usia, kemampuan memahami wacana dari tingkat yang paling mudah adalah teks wacana yang menggunakan sarana verbal sebagai pendukung wacana tersebut. Pembaca atau penerima pesan lebih dekat dengan sarana verbal dibandingkan dengan sarana gambar sebagai tanda. Sarana gambar sebagai
tanda
mewakili
objek
sesungguhnya
pun
dinilai
mendukung
keberterimaan pembaca dalam memahami wacana. Hal ini berarti, teks wacana yang tidak dilengkapi sarana verbal lebih sulit untuk dipahami.
56
C. Perilaku Masyarakat Setelah mengetahui bagaimana pemahaman tersebut dapat dicerna oleh masyarakat, peneliti akan menyajikan fenomena yang tampak sebagai representasi perilaku masyarakat terhadap teks wacana yang disajikan. Berikut disajikan foto pendamping:
57
Gambar Perilaku Masyarakat terhadap Teks Wacana
Gambar-gambar di atas sedikit banyak dapat menjelaskan mengenai perilaku masyarakat pengguna kereta api dan sarana publik, yang banyak dari mereka membaca teks wacana tempat duduk prioritas (priority seats). Pada gambar sisi kiri atas pada hlm.50, terlihat seorang ibu hamil yang duduk di lantai kereta api commuter line, keadaan kereta tampak tidak terlalu penuh sementara penumpang lain yang juga seorang wanita terlihat duduk saja. Pada gambar kedua di tengah atas terlihat sepasang nenek dan kakek yang termasuk ke dalam kategori penumpang prioritas berdiri berdesakkan, sementara seorang wanita yang nampaknya masih muda memakai masker terlihat seperti sedang tidur. Gambar selanjutnya pada kanan atas terlihat seorang ibu yang menggendong anak tengah berdiri, sementara dua orang muda duduk santai di tempat duduk prioritas, teks wacana tempat duduk prioritas (priority seats) juga telah ditempel dengan jelas pada kaca jendela. Hal serupa terjadi pada gambar di sisi kiri bawah pada hlm.50, seorang penyandang cacat terlihat duduk di lantai kereta, sementara di tempat duduk prioritas beberapa penumpang lelaki yang sehat dan tidak termasuk ke dalam penumpang prioritas duduk santai membaca koran pada tempat duduk prioritas. Gambar terakhir pada sisi kanan bawah terlihat di sebuah ruang tunggu bandara Polonia, Medan. Beberapa orang muda dan sehat terlihat menduduki
58
kursi yang disediakan khusus untuk manula (manusia lanjut usia) sesuai dengan teks wacana yang tertempel pada kaca jendela, sementara terlihat di sudut kanan ada seorang nenek duduk di bawah beralaskan suatu benda yang dimungkinkan miliknya sendiri. Gambar-gambar di atas hanya sebagian kecil bentuk perilaku masyarakat yang ternyata tidak mematuhi wacana yang disajikan. Bentuk ketidakpatuhan di atas hanya sebagian kecil yang dapat diabadikan oleh beberapa pembaca teks wacana yang lainnya. Banyak bentuk serupa sebagai bentuk ketidakpatuhan yang tidak dapat diabadikan. Perilaku yang tercermin dalam gambar-gambar di atas merupakan gambaran
umum
perilaku
masyarakat
Indonesia
yang
sebagian
besar
menggunakan angkutan umum sebagai alat transportasi. Pengguna alat transportasi masal seperti kereta, bis, dan pesawat, memang tidak semua melakukan hal yang sama terhadap penumpang prioritas, tetapi ada sebagian masyarakat yang masih melakukan pelanggaran atau penyimpangan terhadap hak penumpang prioritas. Baik pengguna transportasi umum maupun pribadi, ketidakpatuhan terhadap imbauan masih saja terjadi. Hal ini tentu membuka pengetahuan kita bahwa betapa banyaknya masyarakat Indonesia yang masih berperilaku kurang baik. Ketidakpatuhan terhadap imbauan tidak dapat diklasifikasikan kelompok penumpang. Baik perempuan, laki-laki, tua ataupun muda dapat melakukan hal yang sama, tidak mematuhi imbauan yang ditujukan untuk kebaikan bersama. Masyarakat yang tidak mematuhi imbauan pun tidak mengenal latar belakang ekonomi, pada gambar tersebut sekilas terlihat mereka yang datang dari tingkat ekonomi rendah, sedang, maupun atas tidak melaksanakan imbauan yang diberikan. Menarik ketika beberapa orang melakukan hal tersebut kemudian timbul pertanyaan, apakah wacana yang disajikan tidak dipahami sehingga orang-orang tersebut berperilaku demikian? Adakah alasan lain yang melatarinya? Tentu
59
pertanyaan-pertanyaan tersebut memiliki jawaban. Pemahaman wacana terkait lima hal yang dikemukaan oleh Brown & Yule telah dibahas sebelumnya oleh peneliti, fungsi komunikatif pesan, intensi pembicara, top-down and bottom-up processing, inferensi logis, dan representasi pengetahuan. Wacana yang disajikan untuk tujuan diterima masyarakat dan memiliki pesan yang dimasudkan untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang diwacanakan, memang diterima. Masyarakat sepenuhnya memahami rangkaian pesan wacana tempat duduk prioritas tersebut, tetapi masyarakat belum melakukan tindakan sesuai dengan maksud pesan. Hal ini membuktikan bahwa, secara kognisi wacana berterima, tetapi tidak dipatuhi. Secara kriteria dan tingkat kepemahaman masyarakat dapat dikatakan bahwa wacana berhasil, persoalan wacana tidak dipatuhi oleh masyarakat bukan lagi menjadi tanggung jawab wacana sebagai praktik sosial. Menjelaskan perihal masyarakat yang tidak mematuhi wacana tempat duduk prioritas (priority seats) tentu membutuhkan disiplin ilmu lain. Dalam hal ini peneliti mengaitkannya dengan disiplin ilmu filsafat ke dalam penjelasan etika. Menjelaskan istilah etika dengan moral dapat dihubungkan menjadi etika adalah ilmu yang membahas tentang moral atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Menggunakan istilah etika untuk mengkaji hal yang berkaitan dengan moral dalam bahasa Arab dikenal dengan akhlak. Konteks yang ditawarkan Aristoteles menghendaki adanya suatu persetujuan atas hal yang disebut „baik‟ bagi sebagaian orang yang berada di bawah standar ideal. Hal ini juga memiliki kelemahan pada sebagian yang lain karena ketakutan terhadap hal di bawah standar ideal tadi. Konteks yang ditawarkan Kant lebih nyata, sebagian orang akan mengikuti serangkaian tindakan yang dikatakan benar. Memang tindakan yang dikatakan benar tidak benar-benar hadir dalam setiap diri manusia. Setiap individu diyakini memiliki kesadaran nurani yang diikuti olehnya sebagai bentuk mengikuti serangkaian tindakan yang dikatakan benar. Tujuannya tidak lain untuk mensejajarkan diri dengan manusia lain sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki adab dan kebijaksanaan. Dalam kaitan dengan wacana tempat duduk prioritas (priority seats), apa yang
60
disebutkan oleh Kant dapat dijumpai pada bentuk-bentuk wacana yang berterima dan gambaran representasi dengan tindakan tidak duduk di tempat duduk prioritas, atau pun saling mengingatkan antar sesama pengguna atau penerima wacana peruntukkan tempat duduk prioritas (priority seats). Persoalan yang juga dijelaskan Kant mengenai konteks etika, ketika manusia melakukan tindakan yang bertentangan sekalipun sangat brutal ia merasa telah mengikuti keputusan moral dan sudah menjadi bagian dari manusia yang beradab dan bijaksana. Persoalan ini menyangkut kesadaran nurani yang kurang tepat, berkaitan dengan wacana tempat duduk prioritas (priority seats), seperti yang sudah peneliti tampilkan sebagai bentuk ketidakpatuhan wacana. Audiens sebagai penerima wacana masih menduduki tempat duduk prioritas yang bukan menjadi haknya, lebih jauh mereka yang tidak mematuhi ada pula yang tidak ingin memberi tempat duduknya seperti kasus Dinda Kereta yang pernah terjadi sebelumnya. Penerima wacana yang tidak mematuhi teks merasa telah mengikuti keputusan moral yang sesuai dan mengikuti sifat manusia yang sewajarnya. Demikian konteks etika yang ditawarkan oleh Kant mencakup dua hal yang berseberangan. Bentham berpendapat bahwa kita sebaiknya memperhitungkan kerugian dan keuntungan dari tindakan atas individu yang berbeda. Tindakan yang dilakukan setiap individu pasti berbeda, Bentham menegaskan bahwa sebaiknya kita memperhitungkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh setiap individu, apakah tindakan tersebut membawa keuntungan atau kerugian. Pembicaraan mengenai etika atau moral berperan penting dalam segala aspek kehidupan. Dalam keseharian, moral atau akhlak diperlukan untuk mengarahkan manusia kepada pilihan-pilihan tindakan yang berakhir pada tujuan nilai moral bukan sebaliknya. Berkaitan dengan wacana yang dibahas sebelumnya, peneliti menemukan salah satu gejala penurunan moral yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Gejala ini ditadai dengan lahirnya individualisme pada 1960-an, berhasil mengubah pola pikir masyarakat dalam memandang individu lain yang bertindak nonmoral. Individualisme menempatkan manusia yang bertindak nonmoral sebagai teladan
yang tindakannya
mendapat
61
pemakluman. Pemakluman selanjutnya mengubah masyarakat berpikir tindakan nonmoral individualis merupakan hal yang wajar bahkan dibutuhkan untuk penghargaan tertinggi terhadap individu memandang dirinya. D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum menentukan beberapa tujuan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, di antaranya mampu mengungkapkan informasi dalam bentuk rangkuman, teks berita, slogan/poster dan mampu menulis slogan/poster untuk berbagai keperluan dengan pilhan kata dan kalimat yang bervariasi, serta persuasi. Terlepas dari tujuan khusus tersebut, pembelajaran di sekolah apa pun pembelajarannya, anak didik perlu diberi pendidikan karakter yang baik. Pendidikan karakter yang dimplementasikan ke dalam kurikulum sudah dipandang baik di atas kertas, belum sepenuhnya terlaksana dalam praktik yang sebenarnya.
1. Pendidikan Karakter Pendidikan moral bukanlah sebuah topik baru dalam pendidikan. Pada kenyataannya, pendidikan moral ternyata sudah seumur pendidikan itu sendiri. Berdasarkan penelitian sejarah dari seluruh negara yang ada di dunia, pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku berbudi. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.2
2
Muchlas Samani, Hariyanto, 2011, Pendidikan Karakter, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), h. 42
62
Pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Menurut Winton dalam Samani dan Hariyanto, pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguhsungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya.3 Sebagai suatu institusi sosial, sekolah harus memberlakukan suatu sikap moral: sekolah meminta para siswa untuk patuh terhadap guru-guru mereka, melarang bertengkar, memberikan mereka hukuman jika berbuat curang. Sekolah juga memberikan contoh sikap yang dapat para siswa teladani dari guru-guru mereka, terhadap guru-guru lain ataupun orang dewasa lainnya. Misalnya sikap adil, menghargai, dan peduli.4 Terdapat tiga proposisi sentral dalam pendidikan karakter yang dikemukakan oleh Anne Lockwood, “Pertama, bahwa tujuan pendidikan moral dapat dikejar/dicapai, tidak semata-mata membiarkannya sekadar sebagai kurikulum tersembunyi yang tidak terkontrol, dan bahwa tujuan pendidikan karakter telah memiliki dukungan yang nyata dari masyarakat dan telah menjadi konsensus bersama. Kedua, bahwa tujuan-tujuan behavioral tersebut adalah bagian dari pendidikan karakter, dan ketiga, perilaku antisosial sebagai bagian kehidupan anak-anak adalah sebagai hasil dari ketidakhadiran nilai-nilai dalam pendidikan.5 Pendidikan karakter yang dipandang oleh Anne Lockwood merupakan suatu hal yang dapat dicapai, tidak hanya sebagai kurikulum di atas kertas. Kurikulum di Indonesia yang terus mengalami pembaruan belum sepenuhnya dapat diimplementasikan. Kurikulum yang dibuat dan terus diperbaharui belum menunjukkan kredibilitasnya. Hal ini menunjukkan tidak adanya dukungan serius dari semua pihak yang terlibat, Untuk pendidikan, tidak ada pihak yang tidak
3
Ibid, h.43 Thomas Lickona, Mendidik untuk Membentuk Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h.81-100, cet III h.81 5 Muchlas Samani, Hariyanto, 2011, Pendidikan Karakter, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), h. 45 4
63
terlibat, pendidikan atau mendidik menjadi tanggung jawab semua pihak, baik orangtua, guru, siswa, dan masyarakat. Kedua, bahwa tujuan behavioral untuk menjadi bagian dari pendidikan karakter itu sendiri. Tujuan-tujuan behavioral yang berupa perilaku manusia sudah sepatutnya menjadi bagian dari pendidikan karakter, setiap tujuan yang berkaitan dengan perilaku manusia sudah otomatis menjadi bagian penting dari pendidikan karakter. Ketiga, kehidupan antisosial anak-anak merupakan hasil dari pendidikan yang mengabaikan nilai-nilai. Sudah terlihat dengan jelas, sikap antisosial atau individualisme semakin marak, anakanak dibiarkan tidak bersosialisasi, tidak menghargai orang lain, sekelumit nilainilai yang mulai hilang. Anak Indonesia khususnya anak-anak yang tinggal di perkotaan sudah melakukan hal tersebut. Inilah salah satu bukti bahwa pendidikan yang dilakukan selama ini tidak dilaksanakan berkarakter. 2. Karakter yang baik Seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles mendefinisikan karakter yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar sehubungan dengan diri seseorang dan orang lain. Karakter yang baik memiliki ciri terdiri dari mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik—kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan. Ketiga hal ini diperlukan untuk mengarahkan suatu kehidupan moral; ketiganya ini membentuk kedewasaan moral. Ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang kita inginkan bagi anak-anak kita, sudah jelas bahwa kita menginginkan anak-anak kita untuk mampu menilai apa yang benar, sangat peduli tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini itu benar—meskipun berhadapan dengan godaan dari dalam dan tekanan dari luar.6 Melaksanakan pendidikan karakter memiliki banyak bentuk yang dapat dilakukan guru sebagai fasilitator pendidikan. Salah satu bentuk pendidikan karakter seperti yang telah disebutkan di atas, menciptakan kebiasan baik. Dalam 6
Thomas Lickona, h.81
64
kaitannya, kebiasaan yang baik untuk mencintai hal baik, menolong orang lain, dan berempati terhadap sesama manusia. Terdapat bentuk-bentuk lain yang bisa dilakukan guru untuk menumbuhkan pribadi yang baik. Pembelajaran bahasa Indonesia merupakan
sebuah sarana untuk
menumbuhkan kecintaan siswa terhadap hal baik. Poster atau slogan yang diajarkan pada kelas delapan Sekolah Menengah Pertama diharapkan mampu menambah pengetahuan siswa tentang imbauan yang bersifat kepentingan bersama juga bermanfaat untuk semua manusia. Pembelajaran yang dilakukan berkaitan dengan poster dan slogan memang tertuju pada kemampuan siswa untuk menulis poster atau slogan, tidak untuk meresapi dan melaksanakan tindakan yang baik. Hal tersebut bukanlah alasan untuk menjadikan siswa hanya mampu menulis poster atau slogan, melainkan menumbuhkan rasa kebermanfaatan dari poster dan slogan yang dibuat oleh mereka. Dengan demikian, siswa dapat memperhitungkan pemikiran orang lain ketika membaca poster atau slogan tersebut. Dari sanalah pembelajaran bahasa Indonesia dapat menciptakan kebiasaan baik, kebiasaan toleransi, kebiasaan berempati. Melalui pendeskripisan wacana yang peneliti lakukan di atas, kiranya seluruh pelaksana kegiatan pendidikan, baik guru, siswa, maupun orangtua dapat mengajarkan serta mendidik siswa dengan tujuan menjadi pribadi yang lebih baik. Turut serta berperan aktif dalam belajar, bekerja sama, menciptakan kebiasaan baik, mencintai hal baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan terhadap wacana tempat duduk
prioritas
(priority
seats),
didapatkan
informasi
mengenai
keberterimaan wacana. Keberterimaan wacana tempat duduk prioritas (priority seats) sepenuhnya bergantung kepada kemampuan pembaca sebagai pembaca. Pengetahuan kemampuan pembaca untuk memahami setiap ujaran secara verbal yang tertulis dalam wacana tersebut. Tidak hanya kemampuan pembaca dalam memahami, tetapi pembaca juga memiliki pengetahuan latar belakang yang terkait dengan wacana dan penumpang atau pembaca lain yang merupakan penumpang prioritas. Kemampuan pembaca untuk memahami wacana tempat duduk prioritas, dengan mempertimbangkan lima hal yang diungkap Brown & Yule sudah dapat dipahami. Wacana dapat diterima oleh pembaca sebagai sasaran wacana. Keberterimaan wacana tersebut dipandang sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak secara sembarangan. Secara kognitif, wacana tempat duduk prioritas (priority seats) diterima. Temuan lain yang ditemukan adalah adanya ketidakpatuhan pembaca terhadap keberterimaan wacana tempat duduk prioritas (priority seats). Ketidakpatuhan pembaca tidak ada kaitannya dengan keberterimaan wacana. Keberterimaan wacana merupakan wilayah kognisi, sedangkan ketidakpatuhan merupakan wilayah etika atau moral. Ketidakpatuhan tersebut bukan lagi menjadi tanggung jawab wacana sebagai praktik sosial, melainkan tugas etika yang dibina sejak manusia dapat memahami sesuatu.
65
66
A. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut: 1. Keberterimaan wacana tentang tempat duduk prioritas (priority seats) hendaknya diikuti dengan kepatuhan audiens. 2. Kepatuhan audiens terhadap wacana tersebut hendaknya dilakukan sebagai bentuk teladan bagi audiens lain yang belum mematuhi. 3. Pendidikan etika secara umum dapat dilakukan oleh semua praktisi pendidikan dalam rangka membangun karakter yang baik. 4. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya pembelajaran poster dan slogan agar membuat siswa memahami maksud pembuatan poster imbuan. Lebih lanjut, pembelajaran ini dapat menumbuhkan empati yang baik dalam diri siswa terhadap orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anselm Strauss & Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. 3. 2009 Ary, Donald. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. tt Baryadi Praptomo. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli. 2002. Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011 Bogdan dan Biklen. Qualitative Research For An Introduction The Teory And Method. London. 1982. Bodgan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.I. 2008. Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers. Cet. 2. 2011. Gatut Lestari. Jurnal: “Intensionalitas dalam puisi Baju-baju karya K.H.A. Mustofa Bisri”. FSU Vol. 8, No.1. 2001. Gillian Brown & George Yule. Analisis Wacana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1996 -----. Discourse Analysis. Melbourne: Cambridge University Press. 1998. Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik. Jakarta: Bumi Aksara. 2013. Hasan, Alwi. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka. 1998. Lickona, Thomas. Mendidik untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara, 2013. Mulyana. Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2005 Parker, Ian. Psikologi Kualitatif. ANDI. 2008. Putri Budi Winarti. Skripsi: “Representasi Intertekstual (Kutipan Langsung dan Kutipan Tidak Langsung) dan Tekstual (Ketransitifan) dalam Wacana Berita Bom Bunuh Diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo”. Bandung: Universitas Padjajaran. 2012. Renkema, Jan. Discourse Studies: An Introduction Textbook. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. 1993.
Rotua Siregar. Skripsi: “Analisis Sarana Kohesi pada Tajuk Rencana dalam Harian Sinar Indonesia Baru”. Medan: Universitas Sumatera Utara. 2009. Salam, H. Burhanuddin. Etika Individual. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2000. Samani, Muchlas, Hariyanto. Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2011. Schiffrin, Deborah, Deborah Tanen, Heidi E. Hamilton. The Handbook of Discourse Analysis. Malden: Blackwell Publisher. 2001. Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Cet. 1. 2011. S. Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Cet.8. 2010. Stefan Titscher, Michael Mayer, Ruth Wodak, Eva Veter. Metode Analisi Teks & Wacana/PPL. Pustaka Belajar. 2009 dalam Dadang Nurjaman, http://jurnal.upi.edu/file/Metafora_Teks_Bahasa_Sunda_dalam_Status_Facebook_1.pdf
LAMPIRAN FOTO
A. Foto Tempat Duduk Prioritas 1.
2.
3.
4.
5.
6.
B. Foto Bentuk Ketidakpatuhan Masyarakat Terhadap Wacana Tempat Duduk Prioritas. 7.
8.
10. 9.
11.
C. Keterangan Foto 1. Foto tempat duduk prioritas. Difoto oleh peneliti pada 13 Juni 2013 pukul 18.28 WIB di dalam kereta commuterline relasi Tanah AbangMaja. 2. Foto tempat duduk prioritas. Difoto oleh Rizkia Auliani pada 20 Maret 2014 pukul 13.00 WIB di dalam Transjakarta. 3. Foto tempat duduk prioritas. Diunduh pada 20 April 2014 pukul 10.00 WIB. Diunduh dari http://ikaba2002.blogspot.com/2014/08/matinyarasa-empati.html 4. Foto tempat duduk prioritas. Diunduh pada 14 November 2014 pukul 16.00 WIB, diunduh dari http://atika0508.blogspot.com/2014/02/kursiprioritas-prioritas-buat-siapa.html 5. Foto tempat duduk prioritas. Diunduh pada 17 November 2014 pukul 08.00 WIB, diunduh dari https://secemerlangpagi.wordpress.com/2013/04/09/apa-itu-kursiprioritas-saya-adalah-prioritas-ketika-di-angkutan-umum/ 6. Foto tempat duduk prioritas. Diunduh pada 15 November 2014 pukul 20.00 WIB, diunduh dari http://tikitakablog.wordpress.com/2012/12/12/urusi-saja-bahasanasional-kita-sendiri/ 7. Foto bentuk ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana yang disajikan. Diunduh pada 20 Juni 2013 pukul 13.00 WIB, diunduh dari http://tercerahkan.com/kamu-pasti-malu-melihat-artikel-ini-kita-tidakramah-seperti-yang-orang-kira/ 8. Foto bentuk ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana yang disajikan. Diunduh pada 21 Juni 2013 pukul 09.00 WIB, diunduh dari http://tercerahkan.com/kamu-pasti-malu-melihat-artikel-ini-kita-tidakramah-seperti-yang-orang-kira/ 9. Foto bentuk ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana yang disajikan. Diunduh pada 20 Juni 2013 pukul 13.30 WIB, diunduh dari http://www.kaskus.co.id/post/529e0324a2cb176030000211/1
10. Foto bentuk ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana yang disajikan. Diunduh pada 21 Juni 2013 pukul 13.40 WIB, diunduh dari https://naningisme.wordpress.com/2014/04/19/kursi-prioritas/ 11. Foto bentuk ketidakpatuhan masyarakat terhadap wacana yang disajikan. Diunduh pada 22 Juni 2013 pukul 17.00 WIB, diunduh dari http://www.kaskus.co.id/thread/53fb8c61c3cb17b16f8b45e6/bedebahorang-orang-yang-paling-gak-punya-perasaan
LAMPIRAN
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP )
Sekolah
: MTs Soebono Mantofani
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas / Semester
: VIII / 2
Standar Kompetensi
: Menulis 12. Mengungkapkan informasi dalam bentuk rangkuman, teks berita, slogan / poster
Kompetensi Dasar
: 12.3 Menulis slogan / poster untuk berbagai keperluan dengan pilhan kata dan kalimat yang bervariasi, serta persuasif.
Indikator
: (1) Mampu mengidentifikasi slogan/poster (2) Mampu menulis slogan / poster sesuai dengan konteks (3) Mampu menyunting slogan / poster
Alokasi Waktu
: 2 x 40 menit ( 1 x pertemuan )
A. Tujuan Pembelajaran Siswa dapat menulis slogan / poster untuk berbagai keperluan dengan pilihan kata dan kalimat yang bervariasi serta persuasif.
B. Materi Pembelajaran 1. Jenis-jenis slogan / poster pendidikan 2. Langkah-langkah pembuatan slogan / poster
C. Metode Pembelajaran 1. Tanya jawab
2. Demonstrasi 3. Inkuiri ( penemuan )
D. Kegiatan Pembelajaran Kegiatan Awal
a. Apersepsi dengan melakukan
Alokasi waktu 10 menit
tanya jawab tentang poster yang pernah dilihat. b. Siswa berdiskusi tentang poster dan hubungannya dengan iklan. c. Guru menginformasikan tujuan pembelajaran. d. Siswa diajak menemukan berbagai macam slogan/poster untuk berbagai keperluan. Kegiatan Inti
a. Siswa dijelaskan tentang pembuatan slogan/poster b. Siswa dijelaskan tentang tujuan pembuatan slogan/poster c. Guru menjelaskan pentingnya membuat slogan/poster dengan tujuan tertentu secara jelas dan mudah dipahami pembaca d. Siswa mengamati berbagai slogan/poster dengan berbagai tujuan e. Siswa dibagi ke dalam lima kelompok untuk membuat masing-masing
Alokasi waktu 50 menit
slogan/poster dengan tujuan berbeda. f.
Setiap kelompok mempresentasikan slogan/poster yang dibuat, baik tujuan pembuatannya maupun manfaat bagi pembaca.
g. Kelompok lain menanggapi slogan/poster tersebut
Kegiatan Penutup
a.
Guru mengevaluasi siswa
Alokasi waktu 20 menit
dengan memberi pertanyaan seputar indikator. b. Siswa diminta membuat kesimpulan secara berkelompok dari pembelajaran hari ini. c. Guru membuat kesimpulan dari kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh siswa. d. Guru merefleksi pembelajaran kegiatan hari ini dengan kehidupan sehari-hari. e. Guru menutup pembalajaran dengan memberikan penguatan akhir dan salam.
E. Sumber dan Media Pembelajaran 1. Sumber Pembelajaran a. Setiorini, Yulianti dan Wahono. 2008. Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VIII.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. b. Aminudin. 2004. Cendikia Berbahasa Indonesia. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. c. Tim Penyususn Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UPI. 2008. Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs (Bahan Ajar PLPG). Bandung: UPI. d. Slogan dan poster pendidikan
2. Media Pembelajaran a. poster b. kartu soal
F. Penilaian 1. Teknik Penilaian
: penugasan
2. Bentuk Instrumen : tugas proyek 3. Instrumen a. Buatlah slogan sekolahmu! b. Buat satu buah poster pendidikan! c. Identifikasi dan suntinglah slogan yang dibuat temanmu! 4. Kunci Jawaban Tergantung jawaban siswa
5. Pedoman Penilaian a. Rubrik Penilaian Instrumen No
Instrumen
a
Tulislah slogan sekolahmu!
Aspek Persuasif
Jelas
Menarik
Kriteria
Skor
Ya
5
Tidak
2
Jelas
5
Tidak jelas
2
Menarik
5
Tidak menarik Skor maksimum
2 15
b. Rubrik Penilaian Instrumen No
Insrtumen
Aspek
b
Tulislah poster pendidikan!
Persuasif
Jelas
Menarik
Ejaan
Pilihan kata
Kriteria
Skor
Ya
5
Tidak
2
Jelas
5
Tidak jelas
2
Menarik
5
Tidak menarik
2
Benar semua
5
Banyak salah
3
Salah semua
2
Tepat
5
Kurang tepat
3
Tidak tepat
2
Penggunaan Benar semua
5
kalimat
Banyak salah
3
Salah semua
2 30
Skor maksimum
c. Rubrik Penilaian Instrumen No c
Insrtumen
Aspek
Kriteria
Tulislah slogan
Pengecekan
Diketahui slogan
sekolahmu!
persuasif
bersifat persuasif atau
Skor 5
tidak 0 Tidak diketahui
slogan bersifat persuasi atau tidak Pengecekan
Diketahui slogan
kejelasan
jelas atau tidak
5
slogan Tidak diketahui
0
slogan jelas atau tidak Pengecekan
Diketahui slogan
menarik
menarik atau tidak
5
tidaknya Tidak diketahui
0
slogan menarik atau tidak 15
Skor maksimum
d. Rubrik Penilaian Instrumen
No d
Insrtumen
Aspek
Kriteria
Tulislah poster
Pengecekan Diketahui slogan
pendidikan!
persuasif
Skor 5
bersifat persuasi atau tidak 0 Tidak diketahui slogan bersifat persuasi atau tidak
Pengecekan Diketahui slogan jelas kejelasan
5
atau tidak
slogan Tidak diketahui slogan
0
jelas atau tidak Pengecekan Diketahui slogan menarik
5
menarik atau tidak
tidaknya Tidak diketahui slogan
0
menarik atau tidak Pembetulan Semua kesalahan ejaan
5
dibetulkan/tidak ada kesalahan
Sebagian kesalahan
3
dibetulkan
Kesalahan tidak
0
dibetulkan Pembetulan Semua kesalahan
5
pilihan kata dibetulkan/tidak ada kesalahan
Sebagian kesalahan
3
dibetulkan
Kesalahan tidak
0
dibetulkan Pembetulan Semua kesalahan kalimat
5
dibetulkan/tidak ada kesalahan
Sebagian kesalahan dibetulkan
3
Kesalahan tidak
0
dibetulkan 30
Skor maksimum
Keterangan:
Skor maksimal a. 15 b. 30 c. 15 d. 30
Jumlah Skor Maksimal = 100 Penghitungan nilai akhir dalam skala 0 – 100 adalah sebagai berikut
Perolehan Skor Nilai Akhir =
x
Skor Ideal (100)
Skor Maksimal (100)
Ciputat, 12 Maret 2014 Mengetahui
Guru MataPelajaran,
Kepala MTs Soebono Mantofani
Abdul Azis, S.Pd.
Tazka Adiati
BIODATA PENULIS
TAZKA ADIATI. Anak pertama dan terakhir pasangan Slamet Ahmadi dan Heny Komariah lahir di Jakarta, 05 Oktober 1992 bertempat tinggal di jalan Cemara 1 Blok C II B 12A RT 06/06, griya Parungpangjang, Bogor. Mengawali pendidikannya dari pendidikan TK Bina Umat, SDN 1 Parungpanjang lulus tahun 2004, SMPN 1 Parungpanjang lulus tahun 2007, SMAN 3 Tangerang lulus tahun 2010, dan tengah menyelesaikan pendidikan jenjang S1 pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Wanita yang berdarah jawa sunda ini tengah mengisi waktunya dengan mengajar di Jakarta Montessori School sebagai guru matapelajaran Bahasa Indonesia.