KAJIAN AKADEMIK QANUN KOTA SABANG
Tentang RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pemberian kewenangan kepada daerah yang semakin besar berimplikasi pada semakin besarnya kebutuhan daerah. Kebutuhan dimaksud untuk menunjang pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah. Untuk itu, diperlukan upaya penggalian dan peningkatan sumber-sumber penerimaan daerah. Meskipun secara yuridis, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah menjamin tersedianya dana untuk membiayai kewenangan daerah melalui penyediaan dana bagi hasil dan dana alokasi, namun dalam kenyataannya, dana tersebut belum memadai untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan kewenangan tersebut. Untuk menjamin terselenggaranya fungsi-fungsi pemerintahan daerah, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat di daerah secara optimal, diperlukan sumber-sumber penerimaan yang dapat digali dari daerah dalam bentuk pengenaan retribusi atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah. Menurut Suparmoko, pengertian retribusi secara umum adalah suatu pembayaran dari rakyat kepada negara di mana dapat terlihat adanya hubungan antara balas jasa yang langsung diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut. Kemudian Rochmat memberikan pengertian bahwa retribusi itu adalah pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara (Rochmat Soemitro dalam Kaho 1991 : 151). Selanjutnya menurut Syamsi, retribusi adalah iuran dari masyarakat tertentu (orang-orang tertentu) berdasarkan peraturan pemerintah yang prestasinya
1
ditujukan secara langsung, tetapi pelaksanaannya dapat dipaksakan meskipun tidak mutlak (Syamsi : 1988:87). Menurut Abdul Halim (2001:100) Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa retribusi daerah merupakan pembayaran yang dipungut oleh pemerintah daerah sebagai penyelenggaraan perusahaan atau usaha bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang telah diberikan oleh pemerintah daerah. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap orang yang menggunakan jasa yang disediakan oleh pemerintah dengan adanya kontra prestasi secara langsung yang diterima masyarakat pengguna jasa dimaksud. Dalam Pasal 1 angka 64 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Retribusi Daerah didefinisikan dengan pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Adapun yang menjadi tujuan dari pemungutan retribusi daerah antara lain adalah untuk mendapatkan keuntungan yang layak guna membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah dan pelayanan masyarakat di daerah. Menurut Pasal 108 UU No. 28 Tahun 2009, objek retribusi retribusi daerah digolongkan ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu: retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perijinan tertentu. Berdasarkan penggolongan jenis retribusi tersebut, Retribusi Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan termasuk dalam kategori jenis retribusi jasa umum, sebagaimana dimaksudkan Pasal 110 ayat (1) huruf b.Pengertian retribusi jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang Kota Sabang merupakan salah satu daerah otonom di Provinsi Aceh yang diberikan hak dan kewajiban serta kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai kewenangan yang dimilikinya. Perundangundangan telah memberikan kewenangan kepada Kota Sabang untuk menggali berbagai sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayahnya. Kewenangan
2
yang
luas
ini
senantiasa
ditujukan
untuk
peningkatan
pelaksanaan
pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Semakin
pesatnya
pertumbuhan
dan
mobilitas
penduduk
serta
perkembangan parawisata di Kota Sabang, berdampak pada adanya kebutuhan peningkatan pelayanan kebersihan baik di lingkungan perkampungan maupun perkotaan,
di
jalan-jalan utama
serta lorong-lorong.
Kondisi tersebut
berpengaruh terhadap kebutuhan pembiayaan oleh Pemerintah Kota Sabang. Mengingat besarnya biaya untuk pelayanan kebersihan dimaksud, maka sangat diperlukan peran serta masyarakat dalam bentuk pembayaran retribusi atas pelayanan persampahan/kebersihan. Salah satu langkah awal yang ditempuh oleh Pemerintah Kota Sabang dengan kewenangannya adalah membuat regulasi daerah dalam bentuk Qanun Retribusi pelayanan
Pelayanan Persampahan/Kebersihan. Dalam
rangka peningkatan
masyarakat dimaksud diperlukan peran serta masyarakat melalui
pembayaran retribusi, karena faktor keuangan merupakan hal yang esensial untuk memacu tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Sesuai ketentuan Pasal 12 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, bahwa suatu Rancangan Qanun Aceh dan Rancangan Qanun Kabupaten/Kota harus disertai dengan naskah akademik/kajian akademik. Naskah akademik merupakan tahapan penting dari proses pembentukan rancangan qanun dan merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari Rancangan Qanun. Penyusunan dan Pembahasan rancangan qanun Kota Sabang ini harus mengacu pula kepada Naskah akademik/kajian akademik ini. Oleh sebab itu naskah akademik/kajian akademik ini menjadi penting dan mempunyai nilai yuridis.
B. MAKSUD DAN TUJUAN 1. Maksud Naskah akademik ini dimasudkan untuk menjadi dasar penyusunan Rancangan Qanun Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Kota Sabang dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kebersihan/persampahan di Kota Sabang, sementara dalam kegiatan
3
pelayanan itu diperlukan peran serta masyarakat melalui pembayaran retribusi.
2. Tujuan. Naskah akademik ini ditujukan untuk menemukan basis argumentasi dan justifikasi
penyusunan
draft
Qanun
Retribusi
Pelayanan
Persampahan/Kebersihan, yang pada intinya : a. Besarnya biaya pelayanan kebersihan/persampahan, maka sangat diperlukan peran serta masyarakat dalam bentuk pembayaran retribuís. b. Adanya kepastian hukum terhadap pungutan terhadap pelayanan kebersihan/persampahan bagi orang/badan yang mendapatkan pelayanan persampahan/kebersihan.
C. METODE Suatu rancangan qanun harus disertai dengan naskah akademik/kajian akademik sebagaimana disyaratkan dalam Qanun Nomor 3 tahun 2007 tentang tata Cara Pembuatan Qanun. Untuk memenuhi syarat ini maka naskah akademik menjadi keharusan untuk setiap pembuatan Qanun. Untuk membuat naskah akademik menjadi layak dan sesuai dengan Qanun Nomor 3 Tahun 2007, maka proses penyusunannya melalui beberapa tahapan dengan menggunakan metode sebagai berikut: 1. Melakukan FGD dengan stakeholder dalam rangka mengidentifikasi, menginventarisir
permasalahan-permasalahan
yang
berhubungan
dengan retribusi. 2. Melakukan
analisis
permasalahan
yang
secara
komprehensif
berhubungan
terhadap
dengan
permasalahan-
retribusi,
pelayanan
persampahan/ kebersihan. 3. Melakukan penelitian lapangan pada pihak-pihak yang berhubungan dengan retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan. 4. Mengkaji dan menelaah bahan hukum primer, skunder dan tersier yang berkaitan dengan retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan untuk mendapatkan kerangka teoritis. 5. Menyusun Naskah Akademik/kajian akademik;
4
BAB II LANDASAN PENGATURAN
1. Landasan Filosofis Negara adalah organisasi kekuasaan, memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melindungi setiap warganya, yang secara konstitusional termaktub dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni “….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia……”( Simak Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945). Untuk memenuhi tanggung jawab negara dan atau daerah kepada warganya/masyarakat, maka pemerintah daerah memerlukan keuangan daerah. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki
kewenangan
dan
kemampuan
untuk
menggali
sumber-sumber
keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya (Adrian Sutedi, 2009, hal. 160.) Desentralisasi diartikan penyerahan tugas atau kewenangan kepada pemerintah tingkat bawah (decentralisatie, de overdracht van taken of bevoegdheden naar lagere overheden)( J.B.J.M, ten Berge, dalam Philipus M. Hadjon, 2001:3) Namun demikian kewenangan daerah dalam suatu negara kesatuan seperti halnya Indonesia, tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh dari suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya sekehendak daerah tanpa mempertimbangan kepentingan nasional secara keseluruhan,
walaupun
tidak
tertutup
kemungkinan
untuk
memberikan
kewenangan yang lebih luas kepada daerah. Untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik,ada beberapa faktor atau syarat yang harus mendapat perhatian. Menurut Kaho,beragam faktor yang mempengaruhi otonomi daerah adalah: (1) Manusia pelaksanaannya harus baik; (2) keuangan harus cukup dan baik; (3) peralatannya harus cukup dan baik;dan (4) organisasi dan manajemennya harus baik (Jose Riwu Kaho.,2007: 12). Dengan demikian, salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya
5
sendiri adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Sumber keuangan daerah tersebut dapat dipungut melalui pengutipan retribusi. Pemasukan daerah yang bersumber dari retribusi pada prinsipnya akan dikembalikan kepada masyarakat
dalam bentuk pelayanan, sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 64 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bahwa retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Pengertian retribusi secara umum adalah pembayaran-
pembayaran kepada daerah yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa daerah (Rochmad Sumitro, 1979:17) Atau merupakan, iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan atas jasa balik yang secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan di sini
bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak
merasakan jasa balik dari pemerintah, dia tidak dikenakan iuran itu (S.Munawir, 1980: 4).
2. Landasan Yuridis Pemungutan Retribusi oleh Pemerintah Daerah harus mengacu pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 1 angka 64 undang-undang tersebut ditegaskan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Sedangkan yang dimaksud dengan jasa menurut Pasal 1 angka 65 adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 hanya dikenal tiga jenis retribusi, yaitu retribusi jasa umum, jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu. Yang dimaksudkan dengan
jasa umum adalah jasa yang disediakan atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan
6
umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Salah satu jenis retribusi jasa umum ini ditegaskan dalam Pasal 110 ayat (1) huruf
b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009,
adalah retribusi pelayanan Kebersihan/persampahan. Dalam ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa “Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda”. Selain itu,
juga ditegaskan dalam ayat (2)
bahwa “Pemerintahan daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang”. 3. Landasan sosiologis Dari perspektif sosiologis, Retribusi pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi karena pembayaran Retribusi sematamata ditujukan untuk mendapatkan suatu prestasi dari pemerintah. Pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menyediakan fasilitas tertentu dan masyarakat yang menggunakan fasilitas itu wajib membayar Retribusi sebagai jasa pelayanan yang diberikan pemerintah, seperti halnya membayar Retribusi atas pelayanan persampahan/ kebersihan. Kebersihan merupakan kebutuhan bagi setiap anggota masyarakat, dan untuk menciptakan kebersihan tersebut diperlukan berbagai upaya untuk itu. Di sisi lain, bahwa setiap anggota masyarakat di perumahan, diperkantoran maupun di pasar dapat menciptakan sampah yang dapat mempengaruhi kebersihan. Untuk itu perlu ada upaya yang terencana dan sistematis untuk mengatasi itu, termasuk di dalamnya adalah pembiayaan. Masyarakat dan Pemerintah Kota Sabang mempunyai
kewajiban untuk mengatasi persoalan persampahan
tersebut, sehingga sampah tidak menjadi sumber penyakit dan dapat mempengaruhi kebersihan lingkungan. Pembiayaan
pelayanan
persampahan/kebersihan
ini,
selain
untuk
kebutuhan pembuangan dari sumbernya ke tempat pembuangan sementara dan
7
akhir, juga memperhitungkan pembiayaan lebih lanjut agar sampah-ampah tersebut dapat diproses lebih lanjut dan bermanfaat.
8
BAB III MATERI YANG DIATUR DALAM RANCANGAN QANUN
Pasal
179
Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
2006
tentang
Pemerintahan Aceh menyatakan, penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah bersumber dari: (a) Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; (c) Dana Otonomi Khusus; dan (d) lain-lain pendapatan yang sah. Selanjutnya, dalam Pasal 180 disebutkan, bahwa
Sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Aceh dan PAD kabupaten/kota terdiri atas: (a) pajak daerah; (b) retribusi daerah; (c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan milik
Aceh/ kabupaten/kota dan hasil penyertaan modal Aceh/kabupaten/
kota; (d) zakat; dan (e) lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli kabupaten/kota yang sah. Ketentuan Pasal 180 UU No. 11 Tahun 2006 menjadi
dasar
yuridis
bagi
Pemerintah
Aceh
dan
Pemerintah
kabupaten/Kota dalam memungut/mengutip retribusi yang merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah bagi Pemerintah Aceh dan atau Pemerintah kabupaten/kota. A. Sistematikan Rancangan Qanun Sistematika Rancangan Qanun Kota Sabang tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/kebersihan yang disusun adalah sebagai berikut : Menimbang : Dasar, filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan qanun. Mengingat : peraturan perundang-undangan yang relevan yang menjadi acuan dari pengaturan materi Rancangan Qanun. Bab I
: Ketentuan Umum
Bab II
: Nama, objek dan Subjek Retribusi
Bab III
: Golongan Retribusi
Bab IV
: Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa.
Bab V
: Prinsip Penetapan Struktur Dan Besarnya Tarif Retribusi.
Bab VI
: Tata Cara Pemungutan.
Bab VII
: Wilayah Pemungutan.
Bab VIII : Sanksi Administrasi.
9
Bab IX
: Tata Cara Pembayaran.
Bab X
: Tata Cara Penagihan.
Bab XI
: Kadaluarsa
Bab XII
: Tata Cara Penghapusan Retribusi Yang Kadaluarsa
Bab XIII : Pengawasan Bab XIV : Penyidikan Bab XV
: Ketentuan Pidana
Bab XVI : Ketentuan Penutup B. Materi Rancangan Qanun Pada bagian menimbang dikemukakan landasan penyusunan Rancangan Qanun Retribusi Pelayanan persampahan/keberihan. Sistematika konsideran menimbang berpedoman pada Qanun No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, terdiri dari:
Landasan Filosofis;
Landasan sosiologis; dan
Landasan yuridis. Substansi atau materi yang akan diatur dalam batang tubuh Rancangan
Qanun Pelayanan persampahan/kebersihan adalah sebagai berikut: 1. Bab I : Ketentuan Umum. Dalam bab ini diatur tentang pengertian dari istilah-istilah yang digunakan dalam pengaturan pasal-pasal dari Rancangan Qanun
tentang Retribusi
Pelayanan persampahan/kebersihan. Ketentuan Umum pada hakekatnya merupakan penafsiran otentik dari qanun. Istilah-istilah yang penting diberi pengertian. 2. Bab II : Nama, Objek dan Subjek Retribusi Dalam Bab ini mengatur tentang nama, obyek dan subyek retribusi. Penyebutan nama Retribusi Pelayanan persampahan/kebersihan dianggap sesuai dengan yang ada dalam undang-undang mengenai retribusi. Sedangkan
yang
menjadi
obyek
persampahan/kebersihan. Dalam Tahun
2009,
menyebutkan
retribusi
adalah
setiap
pelayanan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 28
bahwa
(1)
Objek
Retribusi
Pelayanan
Persampahan/Kebersihan adalah pelayanan persampahan/kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi: 10
a. pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara; b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan/pembuangan akhir sampah; dan c. penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah. Sedangkan yang dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya. Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh layanan persampahan/kebersihan. Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang mendapatkan pelayanan. 3. Bab III
: Golongan Retribusi, yang menggolongkan bahwa Retribusi
Pelayanan perampahan/kebersihan termasuk dalam golongan retribusi umum 4. Bab IV
: Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, yang mengatur
bahwa tentang cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa yaitu sesuatu yang mempengaruhi besar kecilnya jasa yang diperoleh oleh orang/badan. 5. Bab V : Prinsip Penetapan Struktur Dan Besarnya Tarif Retribusi, dalam bab ini ditegaskan bahwa yang menjadi Prinsip dalam penetapan tarif retribusi pelayanan persampahan/kebersihan didasarkan pada kebijakan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan komponen biaya retribusi. 6. Bab VI
: Tata Cara Pemungutan, yang menetapkan bahwa pungutan
didasarkan kepada Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang berupa surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi terhutang. 7. Bab VII
: Wilayah Pemungutan, bab ini menetapkan bahwa pungutan
dilakukan diwilayah Kota Sabang. 8. Bab VIII
: Sanksi Administrasi, dalam hal wajib retribusi terlambat
membayar, maka akan dikenakan denda berupa bungasekian persen atas setap bulan keterlambatan. 9. Bab IX
: Tata Cara Pembayaran, terhadap retribusi yang terhutang,
Pemerintah Kota Sabang
dapat memnentukan tanggal jatuh tempo
pembayaran, yang selanjutnya kan ditentukan dengan Keputusan Walikota. 10. Bab X : Tata Cara Penagihan, dalam bab ini diatur menganai tata cara penagihan dari retribusi yang telah jatuh tempo. 11. Bab XI
: Kadaluarsa, dalam bab ini juga perlu diatur mengenai retribusi
yang kadaluarsa.
11
12. Bab XII
:
Tata
Cara
Penghapusan
Retribusi
Yang
Kadaluarsa,
selanjutnya diatur juga cara menghapus retribusi yang kadaluarsa. 13. Bab XIII
: Pengawasan, bahwa kepala daerahlah yang akan melakukan
pengawasan untuk dapat berjalannya qanun ini. 14. Bab XIV
: Penyidikan, memuat ketentuan tentang pejabat dilingkungan
pemerintah Kota Sabang yang akan melakukan penyidian terhadap penyimpangan
yang
terjadi
dalam
qanun
ini.
Penyidikan
dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud adalah: a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti Keterangan atau Laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas; b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Retribusi Daerah tersebut; c. menerima keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah; d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain, berkenaan dengan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah; g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e; h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana Retribusi Daerah; i.
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.
menghentikan penyidikan; dan
12
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
dibidang
Retribusi
Daerah
menurut
hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 15. Bab XV
: Ketentuan Pidana, Rancangan Qanun ini juga mengatur
ketentuan pidana bagi wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah. Ancaman pidananya mengacu pada pada UU No. 28 Tahun 2009 yakni pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar. 16. Bab XVI
: Ketentuan Penutup, pada bagian penutup ditegaskan bahwa
qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar semua orang mengetahuinya
memerintahkan
pengundangan
Qanun
ini
dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Sabang.
13
DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumer Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Azhari A Samudra, Perpajakan Di Indonesia : Keuagan, Pajak dan Retribusi, Jakarta, Hecca Publishing, 2005. Jose Riwu Kaho. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,Identifikasi Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2007. J.B.J.M, ten Berge, dalam Philipus M. Hadjon, Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah, Makalah, Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2001.
Kesit Bambang Prakosa, Pajak Dan Retribusi Daerah, Yogyakarta, UII Press, 2003. Kustadi Arinta, Undang-undang Pajak Bumi, Bangunan Dan Bea Meterai 1985, Bandung, Alumni, 1986. Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah & Pajak Retribusi Daerah, Jakarta, Rajawali Pers, 2008. Rochmat Soemitro, Asas Dan Dasar Perpajakan, Bandung, Eresco, 1989. Pardiat , Pemeriksaan Pajak, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2007 P. Agung Pambudhi, Pengaruh Perda Terhadap Aktivitas Perekonomian Daerah (UMKM), Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007. R. Santoso Broto Diharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, Eresco, 1987. Sugianto, Pajak Dan Retribusi Daerah, Jakarta, Gramedia, 2008. Waluyo, Perpajakan Di Indonesia, Jakarta, Salemba Empat, 2006 Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Yoyakarta, Andi Yogyakarta, 2006
14