Keberlanjutan Becak di Kawasan Perkotaan Kabupaten Sumedang Farish Alauddin1 Ibnu Syabri, B.Sc., M.Sc., Ph.D.2 1
Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB 2 Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah Dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesa No. 10, Bandung, Jawa Barat Email:
[email protected]
Abstrak Sebagai salah satu moda transportasi paratransit, becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang semakin terpinggirkan. Meskipun terdapat banyak kritik terhadap keberadaan becak yang dianggap tidak sesuai lagi untuk digunakan di kawasan perkotaan, di sisi lain becak mempunyai keunggulan yang sampai saat ini belum dapat tergantikan oleh transportasi umum lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana kondisi keberlanjutan becak saat ini di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang berdasarkan karakteristik pelayanan becak dalam sistem transportasi kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif. Melalui metode ini digambarkan kondisi keberlanjutan becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. Adapun bentuk dari gambaran tersebut ditampilkan dalam bentuk data-data kuantitatif berupa tabel dan grafik.Pendekatan supply-demand transportasi digunakan sebagai analisis pada penelitian ini. Karakterisik dan kondisi supply-demand digunakan sebagai gambaran untuk menunjukkan kondisi keberlanjutan dari becak itu sendiri. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa keberlanjutan becak saat ini di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang masih kurang dari sisi ekonomi, meskipun dari sisi sosial dan lingkungan masih dapat dikatakan unggul. Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari pemerintah terhadap aspek ekonomi becak terutama untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dari becak.
Kata kunci:
Transportasi berkelanjutan, paratransit, becak
Pendahuluan Moda Transportasi paratransit atau yang lebih sering kita sebut dengan moda transportasi informal merupakan moda transportasi yang pelayanannya disediakan oleh operator dan dapat digunakan oleh setiap orang dengan kesepakatan diantara penumpang dan pengendara, dengan menyesuaikan keinginan dari pengguna (Mandala 2013). Di Asia Tenggara, moda transportasi paratransit mempunyai banyak nama, bentuk, dan jenis, namun pada umumnya moda transportasi paratransit tersebut berupa kendaraan roda tiga (three-wheelers), oplet, taksi bersama, dan minibus (Cervero 1992). Di antara beberapa jenis kendaraan paratransit tersebut, salah satu yang menjamur di Indonesia adalah becak. Becak mempunyai beberapa kelebihan seperti ongkos yang relatif murah, mobilitas yang tinggi, pelayanan yang dapat fleksibel (dapat pula mengangkut barang, menjangkau daerah terpencil di wilayah pedesaan, jika diperlukan dapat mengangkut lebih dari 2 penumpang), dan mampu menyediakan jasa door to door. Kabupaten Sumedang yang berpenduduk 1.121.787 jiwa pada tahun 2012, merupakan salah satu kota di Indonesia yang masih mempertahankan keberadaan becak di kawasan perkotaannya. Keberadaan becak di kota satelit yang berbatasan langsung dengan
Kabupaten Bandung ini telah ada dari sekitar tahun 70-an. Saat ini menurut data BPS Kabupaten Sumedang Tahun 2010 tercatat terdapat sekitar 8814 unit becak di Kabupaten Sumedang. Meskipun jumlah yang terbilang cukup masif, kondisi becak di Kabupaten Sumedang tidak terlepas dari masalah yang terjadi pada becak di berbagai kota lainnya. Sebagai kota yang berbatasan langsung dengan Bandung, Sumedang mendapatkan pengaruh terutama dari segi transportasi. Keberadaan becak di Kabupaten Sumedang juga mulai tergeser dengan keberadaan kendaraan-kendaraan bermotor modern, selain lalu lintas kendaraan di Kabupaten Sumedang juga semakin padat sehingga tidak lagi kondusif bagi becak. Dalam konsep transportasi berkelanjutan, keberadaan moda transportasi paratransit, terutama becak ini, justru merupakan salah satu moda penting yang harus bisa dipertahankan. Dari ketiga aspek keberlanjutan, becak dapat dikatakan paling memenuhi aspek lingkungan dan sosial, namun bermasalah di aspek ekonomi karena dianggap kurang menguntungkan. Meskipun begitu, pada kenyataannya di kota-kota kecil, becak dianggap masih mempunyai peran yang penting dalam pemenuhan mobilitas masyarakat kecil dan juga mendukung kegiatan ekonomi seperti jasa pengangkutan barang atau muatan serta berperan dalam pemenuhan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kecil. Dari kondisi-kondisi yang telah dijabarkan di atas, maka persoalan yang diangkat pada penelitian ini adalah bagaimana keberlanjutan becak sebagai moda transportasi paratransit di kawasan perkotaan kabupaten Sumedang berdasarkan kondisi dan karakteristik supply dan demand becak di kawasan perkotaan kabupaten Sumedang. Berdasarkan rumusan persoalan tersebut, maka pertanyaan yang perlu dijawab pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik pengguna becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang? 2. Seperti apapreferensi masyarakat pengguna becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang dalam menggunakan jasa becak? 3. Apa saja dan bagaimana kondisi faktor-faktor pendukung supply becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang? 4. Seperti apa karakteristik pelayanan becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang? Metode Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptifkuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang dikumpulkan. Penggunaan deskriptifkuantitatif bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk angka. Hal ini dilakukan karena intrepretasi yang dilakukan akan dibuat berdasarkan hasil analisis terhadap data-data statistik. Data-data statistik tersebut didapatkan dari hasil pengolahan data dari hasil survey primer maupun sekunder. Adapun berikut adalah metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini: 1. Pengumpulan data primer Data primer pada penelitian ini didapatkan melalui penyebaran kuesioner. Responden dari penelitian ini terdiri dari pengemudi becak dan juga masyarakat pengguna becak. 2. Pengumpulan data sekunder Data sekunder mencakup data mengenai kebijakan Pemerintah Kabupaten Sumedang terkait becak yang terdapat di dokumen peraturan daerah, dokumen terkait dan penelitian terkait. Selain itu juga dilihat dokumen-dokumen yang mungkin secara tidak langsung mempunyai kaitan dengan topik penelitian.
Farish Alauddin3
Kawasan Perkotaan Kabupaten Sumedang Kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang merupakan kawasan ibukota Kabupaten yang ditetapkan pada Perda Kab. Sumedang No. 34 Tahun 2003 Tentang RTRW Kawasan Perkotaan Ibukota Kabupaten Sumedang. Kawasan ini melingkupi 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan.
Gambar 1Kawasan Perkotaan Kabupaten Sumedang (Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kab. Sumedang, 2012)
Kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang mempunyai luas 11.125 Ha dengan jumlah penduduk total 13.181.384 jiwa. Kondisi topografi kemiringan lahan kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang termasuk ke dalam kategori daerah datar hingga berombak dengan kemiringan lahan 0–8%. Fungsi dari kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang didominasi oleh kawasan perumahan, perdagangan dan jasa, serta pemerintahan. Becak di Kawasan Perkotaan Kabupaten Sumedang Becak merupakan salah satu kendaraan angkutan umum yang mudah ditemui di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. Bersama andong, becak menjadi kendaraan tradisional yang khas di Kabupaten Sumedang. Keberadaan becak sendiri sudah ada sejak tahun 70-an di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. Persebaran becak di Kabupaten Sumedang terpusat di kawasan perkotaannya karena alasan geografis dari kawasan tersebut yang relatif datar dan pusat-pusat kegiatan, baik ekonomi maupun sosial.
Gambar 2Persebaran Becak di Kawasan Perkotaan Kabupaten Sumedang (Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kab. Sumedang, 2012)
Keberlanjutan Becak di kawasan Perkotaan Kabupaten Sumedang Melalui kondisi dan karakteristik supply dan demand becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang serta faktor pendukung lainnya didapatkan kondisi keberlajutan becak seperti berikut. 1. Karakteristik Pengguna Becak Golongan yang paling banyak menggunakan becak merupakan ibu rumah tangga berusia 31-40 tahun. Pada umumnya golongan tersebut merupakan golongan masyarakat yang sering menggunakan kendaraan umum dalam bepergian sehingga keberadaan becak yang notabenenenya dapat diakses dengan mudah (< 5 menit) dari rumah mereka. Dari kepemilikan kendaraan, pengguna becak juga kebanyakan tidak memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki SIM sehingga keberadaan dari kendaraan umum semakin dibutuhkan dalam melakukan perjalanan. Selain itu, taraf ekonomi pengguna becak juga tergolong menengah sehingga akan lebih sering dalam menggunakan kendaraan umum.
Farish Alauddin5
Tabel 1.Karakteristik Pengguna Becak Kriteria Usia Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Pekerjaan
Penghasilan/bulan Kepemilikan Kendaraan
Frekuensi Perjalanan Rata-rata Pengeluaran Perjalanan Aksesibilitas Angkutan Umum (Sumber: Alauddin, Farish, 2014)
Karakteristik Pengguna Becak Rata-rata: 31-40 tahun Perempuan SMA/Sederajat Ibu Rumah Tangga Pedagang Pelajar Rp. 1.000.000 – 3.000.000 Motor Tidak Memiliki Kendaraan Pribadi (82% tidak memiliki SIM) 1 – 2 kali dalam sehari Rp. 12.000/perjalanan < 5 menit (becak dan angkot)
Oleh karena itu, dapat dikatakan karakteristik pengguna becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang compatible terhadap keberadaan becak. Keberadaan becak mampu mendukung masyarakat dengan karakteristik seperti yang telah disebutkan dan keberadaan masyarakat dengan karakteristik tersebut dibutuhkan oleh becak untuk dapat mempertahankan demand terhadap becak. Baik becak maupun pengguna, akan samasama saling membutuhkan satu sama lainnya. 2. Preferensi dan Persepsi Masyarakat Pengguna Becak Berdasarkan karakteristik preferensi, budaya penggunaan becak masih dapat dikatakan berjalan. Becak digunakan dalam kegiatan sehari-hari terutama kegiatan berbelanja dan bekerja, namun lebih banyak untuk berbelanja. Dari alasan penggunaanpun kebanyakan karena membawa barang yang berat/banyak. Hal ini dikarenakan karakteristik pengguna becak yang mayoritas merupakan ibu rumah tangga, sehingga salah satu perjalanan yang sering dilakukan adalah untuk berbelanja. Selain karena alasan-alasan tersebut, budaya becak masih berjalan di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang karena faktor keamanan dan kenyamanan yang dianggap unggul oleh pengguna becak dibandingkan dengan moda transportasi umum lainnya. Tabel 2.Preferensi Penggunaan Becak Kriteria Frekuensi Penggunaan Becak Tujuan Penggunaan Becak Alasan Penggunaan Becak
Faktor Pelayanan
Preferensi 1 – 2 kali dalam seminggu Berbelanja Bekerja Membawa barang berat/banyak Tidak memiliki kendaran pribadi Tidak dapat mengendarai kendaraan bermotor Keamanan Kenyamanan
(Sumber: Alauddin, Farish, 2014)
Faktor pengguna mengalami mencakup
keamanan dan kenyamanan tersebut juga didukun pernyataan masyarakat becak bahwa selama menggunakan becak mereka (76%) tidak pernah pengalaman buruk dalam menggunakan becak. Pengalaman buruk ini hal-hal seperti kriminalitas, melaju terlalu cepat, kecelakaan, dan lain-lain.
Dengan adanya beberapa kelebihan tersebut, wajar apabila 91% responden mengatakan tetap setuju dan mendukung keberadaan becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. Tabel 3Persepsi Pengguna Becak Pandangan Terhadap Becak Pengalaman buruk menggunakan jasa pelayanan becak Pendapat terhadap keberaan becak Pendapat terhadap peralihan becak menjadi becak motor
Tanggapan Ya (24%) Tidak (76%) Setuju Tetap Ada (91%) Tidak Setuju (9%) Setuju Becak Diganti Becak Motor (42%) Tidak Setuju (58%)
(Sumber: Alauddin, Farish, 2014)
Terkait potensi perubahan menjadi becak motor, potensinya saat ini dapat dikatakan cukup besar. Berdasarkan pendapatan responden terhadap isu tersebut, meskipun mayoritas tidak setuju terhadap perubahan tersebut namun perbedaan persentase antara yang setuju dan yang tidak setuju tidak terlalu signifikan, yaitu hanya 16%. Responden yang tidak setuju merasakan lebih nyaman dan aman serta terbiasa menggunakan becak biasa atau kayuh dibandingkan dengan becak motor. Di sisi lain, responden yang setuju menyatakan becak motor unggul dari segi ongkos, karena walaupun sudah mengunakan bahan bakar dan mempunyai kecepatan lebih tinggi, namun perbedaan ongkos dengan becak kayuh tidak terlalu jauh sehingga dirasa lebih irit. 3. Karakteristik Becak (Pengemudi dan Kendaraan) Karakteristik pengemudi becak menunjukkan bahwa responden pengemudi becak mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap pekerjaan mengemudikan becak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu usia yang sudah tua, tingkat pendidikan yang rendah, dan tidak adanya keahlian lain. Mayoritas responden juga menyatakan sudah lama menekuni pekerjaan sebagai pengemudi becak dan tidak punya keinginan untuk beralih profesi ataupun mempunyai pekerjaan lain selain mengemudikan becak. Dengan demikian, mengemudikan becak merupakan pekerjaan utama dan mungkin satu-satunya yang dapat dikerjakan oleh responden. Tabel 4. Karakteristik Pengemudi Becak Kriteria Usia Tingkat Pendidikan Asal Daerah Lama Kerja Motivasi
Karakteristik Pengemudi Becak 51 – 60 Tahun SD Kabupaten Sumedang > 10 tahun Tidak mempunyai keahlian lain Alasan Ekonomi Mengemudikan becak mudah dilakukan Pekerjaan Sampingan Memiliki pekerjaan sampingan (30%) Tidak memiliki (70%) Keinginan Beralih Profesi Ingin beralih (28%) Tidak ingin beralih (72%) (Sumber: Alauddin, Farish, 2014)
Farish Alauddin7
Mayoritas pengemudi becak merupakan pemilik dari becak yang digunakannya. Becak yang digunakannya tersebut juga ternyata sudah sangat lama digunakan oleh pengemudinya. Rata-rata telah memiliki becak lebih dari 5 tahun. Di sisi lain, meskipun kebanyakan becak sudah berusia tua, frekuensi perawatan yang dilakukan oleh pengemudi becak dapat terbilang jarang, yaitu 2-3 bulan sekali. Hal ini dikarenakan, menurut beberapa responden becak tidak memerlukan terlalu sering perawatan dan jarang mengalami kerusakan. Dengan kata lain, salah satu alasan lain mengapa pengemudi becak bertahan untuk mengemudikan becak adalah karena becak tidak memerlukan terlalu banyak perawatan sehingga dianggap ekonomis. Tabel 5Karakteristik Becak (Kendaraan) Kriteria Kepemilikan
Karakteristik Becak Milik Sendiri (76%) Sewa (24%) Usia > 5 tahun Frekuensi Perawatan 2 – 3 bulan sekali Jenis Kayuh/Pedal (78%) Motor (22%) (Sumber: Alauddin, Farish, 2014)
4. Karakteristik Pelayanan Becak Pada dasarnya becak merupakan merupakan kendaraan umum yang hampir selalu tersedia setiap waktu. Selain melakukan pelayanan setiap hari, becak juga melakukan pelayanan hampir sepanjang hari, mulai dari waktu subuh atau dini hari sampai malam hari. Dari waktu-waktu tersebut, becak paling mudah untuk ditemui pada periode pagi hari sampai sore hari dengan durasi kerja 7-9 jam. Dalam rentang 7-9 jam tersebut, seorang pengemudi becak dapat melakukan rata-rata 3-5 kali perjalanan untuk melayani penumpang dengan jarak tempuh rata-rata 1-2 Km. Umumnya, jumlah becak yang beroperasi akan berkurang setelah jam 14.00 siang. Hal ini terkait dengan peakhours penumpang, yaitu pada saat pagi hari dan siang hari. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa pengguna becak menggunakan becak kebanyakan untuk berbelanja sehingga pagi hari menjadi peakhours dari pengguna becak menggunakan jasa becak, sedangkan siang hari umumnya digunakan para pengguna yang bekerja untuk pulang dari kantor ke rumah. Tabel 6Karakteristik Pelayanan Becak Kriteria Frekuensi Kerja/minggu Periode Kerja/hari Durasi Kerja/hari Jumlah Perjalanan/hari Jarak Tempuh/perjalanan Persaingan
Pelanggan Tetap PeakHours Penumpang Frekuensi jasa pengangkutan barang/muatan (Sumber: Alauddin, Farish, 2014)
Karakteristik Pelayanan Setiap hari Pagi – Sore 7 – 9 Jam 3 – 5 kali perjalanan 1 – 2 Km ojek/angkot (32%) dan becak motor (20%) Tidak ada (48%) Mempunyai pelanggan tetap (20%) Tidak memiliki (80%) Hari kerja, Siang hari dan pagi hari 1 - 2 kali dalam seminggu
Selain mendukung aktivitas masyarakat, becak juga mendukung produktivitas melalui jasa pengangkutan barang. Dalam 1 minggu, pengemudi becak rata-rata mempunyai frekuensi 1-2 kali dalam mengangkut barang/muatan. Jasa ini biasanya dilalukan oleh para pengemudi yang memilih lokasi mangkal di depan kawasan pertokoan dan pasar sehingga seringkali membutuhkan adanya jasa dari angkutan-angkutan tertentu untuk mengangkut barang/muatan dari dan ke kawasan tersebut. Dari kondisi pelanggan, mayoritas pengemudi becak di kawasan perkotaan tidak memiliki pelanggan tetap karena berlakuknya sistem tem. Dengan demikian, dalam satu harinya pengemudi becak di masing-masing kawasan hampir mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan penumpang atau dengan kata lain hampir tidak ada persaingan internal di antara pengemudi becak tersebut sendiri. Persaingan dalam mendapatkan penumpang justru lebih dengan moda transportasi bermotor seperti angkot/ojek, dan bahkan dengan becak motor. Empat puluh delapan persen yang tidak merasakan adanya persaingan, menyatakan bahwa persaingan hampir tidak terjadi karena masing-masing moda transportasi umum tersebut mempunyai jasa pelayanan yang berbeda-beda, baik dari segi wilayah maupun pelanggan. Berdasarkan hasil di atas, maka diambil kesimpulan bahwa becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang mempunyai kemampuan untuk mendukung secara ekonomi, baik untuk aktivitas sehari-hari dan produktivitas ekonomi. Jasa pelayanan becak juga tidak mengalami overlap dengan moda transportasi umum bermotor seperti angkot, namun dapat berlaku sebagai komplemen dan substitut, tergantung dari kebutuhan pelanggan. 5. Kondisi Ekonomi Pengemudi Becak Dalam sehari, pengemudi becak rata-rata mendapatkan pendapatan Rp.20.000– Rp.50.000. Jumlah ini dapat dikatakan sebanding dengan biaya operasional perhari yang umumnya berada di bawah Rp.15.000 dan biaya sewa (jika menyewa) yang berada di bawah Rp.5.000 perharinya. Dengan demikian, dalam 1 bulan, pengemudi becak bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp.600.000. Namun, menurut pendapat responden, jumlah tersebut masih dirasakan kurang untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Kondisi ini diperparah lagi dengan jumlah penumpang becak yang makin sedikit untuk didapatkan dalam seharinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebagai salah satu mata pencaharian, saat ini mengemudikan becak menjadi pekerjaan yang kurang dapat mendukung secara ekonomi. Tabel 7.Karakteristik Pendapatan Pengemudi Becak Kriteria Pendapatan Penghasilan Rp. 20.000 – 50.000 / hari Pendapatan Rata-rata Rp. 5.000/perjalanan Pendapatan Maksimal Rp. 50.000/perjalanan Biaya Operasional < Rp. 15.000/hari Biaya Sewa (Jika menyewa) < Rp. 5.000/hari (Sumber: Alauddin, Farish, 2014)
6. Potensi Peralihan Menjadi Becak Motor Peralihan menjadi becak motor disebabkan terutama oleh faktor ekonomi. Pengemudi becak atau pemilik becak menganggap dengan menggunakan becak motor maka pekerjaan sebagai pengemudi becak akan semakin praktis, tidak memerlukan tenaga, dan juga menghasilkan pendapatan tinggi.
Farish Alauddin9
Tabel 8Karakteristik Terkait Becak Motor Kriteria Keinginan melakukan modifikasi (khusus pengemudi becak kayuh) Lama waktu sejak mengalami modifikasi Perubahan Pendapatan Perubahan jumlah penumpang Pendapata Rata-rata Ongkos Pendapatan Maksimal Biaya Operasional (Sumber: Alauddin, Farish, 2014)
Karakteristik terkait Becak Motor Ya (44%) Tidak (66%) 7 – 11 bulan Meningkat (36%) Tidak mengalami perubahan (74%) Meningkat (55%) Tidak mengalami perubahan (45%) Rp. 20.000 – 50.000 / hari Rp. 50.000 – 75.000 / hari Rp. 10.000/perjalanan Rp. 30.000/perjalanan Rp. 15.000 – 30.000 / hari
Di sisi lain perlu diingat kembali bahwa becak pada dasarnya merupakan kendaraan bermotor sehingga mempunyai keberlanjutan secara lingkungan yang tinggi. Melalui tren peralihan menjadi becak motor ini, dikhawatirkan becak tidak lagi menjadi kendaraan yang ramah lingkungan. Potensi peralihan menjadi becak motor, pertama-tama dapat dilihat dari keinginan pengemudi becak untuk beralih atau tidak. Mayoritas responden (66%) menyatakan tidak ingin beralih ke becak motor karena alasan-alasan seperti tidak ada modal, tidak mengerti atau tidak bisa mengedarai motor, dan karena alasan filosofis. Di sisi lain, 44% responden yang menyatakan ingin beralih menjadi becak motor sendiri ternyata terkendala secara biaya sehingga tidak bisa melakukan modifikasi. Responden pengemudi becak yang sudah beralih menggunakan becak motor, mayoritas (74%) menyatakan mengalami peningkatan jumlah penumpang setelah beralih menggunakan becak. Namun, jumlah pendapatan perhari justru dirasakan tidak mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena penumpang becak cenderung untuk lebih memilih becak kayuh dibandingkan dengan becak motor untuk perjalan-perjalanan yang dekat sehingga penggunaannya menjadi lebih banyak dibandingkan becak motor. Selain itu, biaya operasional becak motor juga lebih tinggi dibandingkan becak kayuh, sehingga mengurangi pendapatan bersih yang didapatkan dalam sehari. Dengan demikian, sejauh ini potensi peralihan menjadi becak motor masih terbilang kecil. Hal ini berarti pertumbuhan jumlahnya untuk beberapa waktu ke depan tidak akan signifikan. Faktor yang paling berpengaruh adalah masih banyaknya pengemudi becak yang tidak berkeinginan untuk beralih menggunakan becak motor serta perubahan pendapatan setelah menjadi motor yang juga tidak terlalu signifikan. 7. Kondisi Kelembagaan Kelembaan merupakan salah satu faktor pendukung untuk mengetahui bagaimana keberlanjutan becak. Adapun 5 faktor yang akan menjadi perhatian pada analisis: Legalisasi di bidang sistem transportasi; Perencanaan transportasi; Organisasi transportasi; dan Pengawasan, sanksi hukum dan pembinaan. Legalisasi di bidang sistem transportasi Legalisasi di bidang sistem transportasi terkait mengenai keberadaan dari peraturanperaturan yang tertulis yang mengatur mengenai becak, terutama mengenai keberadaan
becak dan aspek operasional dalam keberadaan becak tersebut. Dari tinjauan literatur yang dilakukan, sejauh ini masih belum ada peraturan khusus yang mengatur becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. Hal ini menandakan pemerintah Kabupaten Sumedang belum menaruh perhatian lebih terhadap keberadaan becak, terutama dari segi operasional keberadaan becak terhadap sistem transportasi dari kawasan tersebut. Keberadaan becak dapat dikatakan dibiarkan begitu saja beroperasi di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. Perencanaan transportasi Sejalan dengan aspek faktor kelegalan, keberadaan becak masih belum diperhitungkan dalam perencanaan transportasi di Kabupaten Sumedang. Dari hasil pencarian data yang dilakukan terhadap Dinas Perhubungan Informasi dan Komunikasi Kabupaten Sumedang hanya terdapat data mengenai angkot sebagai angkutan umum yang menjadi bagian dari perencanaan transportasi di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. Organisasi transportasi Dari hasil survey terdapat responden pengemudi becak didapatkan hasil bahwa 64% pengemudi becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang menyatakan tergabung dalam komunitas/organisasi khusus pengemudi becak di Kabupaten Sumedang, yaitu Kopabasu (Koperasi Persatuan Becak Sumedang).
36%
64%
Ya Tidak
Gambar 2 Presentase Responden Yang Tergabung Dalam Komunitas Pengemudi Becak (Sumber: Alauddin, Farish, 2014)
Namun, dari hasil wawancara dengan responden, organisasi tersebut dirasakan sudah lama vakum tidak lagi berjalan sebagaimana semestinya. Walaupun begitu, ada beberapa sistem dari organisasi tersebut yang tetap diterapkan oleh para pengemudi becak, seperti pembagian lokasi mangkal dan sistem tem dalam mengangkut penumpang. Pengawasan dan sanksi hokum Dari segi pengawasan dan sanksi hukum, dikarenakan belum ada peraturan khusus yang mengatur operasional becak, maka pemerintah Kabupaten Sumedang masih mengacu pada pada UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam mengatur keberadaan dan ketertiban becak secara umum.
Farish Alauddin11
Gambar 3.Penertiban Becak Motor Di Kawasan Perkotaan Kabupaten Sumedang (Sumber: www.sumedangnews.com, diakses 10 Juni 2014)
Becak motor juga masih mengacu terhadap UU No. 22 tersebut terutama pasal 287 dan 288 mengenai kepemilikan SIM dan STNK. Adapun untuk modifikasi menjadi becak motor mengacu terhadap Pasal 277.
Gambar 4 Becak Motor Yang Terjaring Razia (Sumber: www.kabar-priangan.com, diakses 10 Juni 2014)
Kesimpulan Secara umum, kondisi keberlanjutan becak saat ini di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang masih dapat dikatakan cukup baik untuk dapat bertahan sebagai salah satu moda transportasi tidak bermotor. Meskipun pertumbuhan kendaraan-kendaraan bermotor yang tinggi mampu menyaingi kemampuan pelayanan becak dalam banyak hal, namun becak masih mempunyai peran atau posisi yang penting dalam pemenuhan pergerakan di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. Oleh karena itu, meskipun masih terdapat masalah dalam keberlanjutannya, namun dapat diperkirakan becak masih dapat bertahan di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang untuk beberapa tahun ke depan. Adapun untuk dapat lebih menggambarkan keberlanjutan becak tersebut, maka kondisi keberlanjutan tersebut dibagi ke dalam tiga aspek keberlanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga aspek tersebut menampilkan kelebihan dan kekurangan dari keberlanjutan becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang. 1. Aspek Ekonomi Saat ini becak mampu mendukung kebutuhan pergerakan di kawasan pergerakan Kabupaten Sumedang, baik untuk aktivitas masyarakat maupun produktivitas ekonomi. Dari hal tersebut, dapat dikatakan secara ekonomi becak mempunyai potensi keberlanjutan yang tinggi, namun di sisi lain terdapat masalah pada becak sebagai mata pencaharian. Becak pada dasarnya bukan hanya menjadi sekedar alat transportasi,
namun juga menjadi salah satu lapangan pekerjaan, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semakin becak dapat memberikan penghasilan/pendapatan yang baik bagi para pengemudi becak, maka akan semakin tinggi potensi becak untuk tetap dipertahankan sebagai salah mata pencaharian sehingga keberaan becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang dapat tetap terjamin. 2. Aspek Sosial Secara sosial, becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang masih mempunyai keberlanjutan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari aksesibilitas becak terhadap berbagai kalangan di masyarakat. Walau penggunaan becak mulai berkurang dengan adanya kendaraan bermortor, namun masyarakat di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang masih mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk tetap menggunakan becak dalam beberapa kegiatan sehari-hari karena faktor keamanan dan kenyamanan yang dimiliki becak. Meskipun penggunaan becak menjadi kebiaasan sehari-hari, namun aspek budaya dari becak masih kurang ditampilkan. Padahal, becak mempunyai potensi budaya yang tinggi, terutama dalam pariwisata. Sampai saat ini, penggunaan becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang masih hanya sebatas untuk penggunaan sehari-hari. Apabila, dikembangkan lagi becak dapat menjadi salah satu daya tarik budaya dari Kabupaten Sumedang. 3. Aspek lingkungan Pada saat ini jumlah becak motor masih belum mendominasi, namun apabila melihat potensi peralihannya dikhawatirkan jumlahnya akan semakin bertambah setiap tahunnya. Aspek lingkungan dari becak yang seharusnya menonjol karena sifatnya yang non-motorized dapat semakin berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah becak motor. Dengan demikian, diperlukan adanya solusi alternatif untuk menahan laju pertambahan jumlah becak motor, sehingga pengemudi becak bisa tetap meningkatkan pelayanan becak sekaligus pendapatannya tanpa perlu beralih ke becak motor. Selain ketiga aspek tersebut, salah satu faktor utama dari persoalan keberlanjutan becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang adalah kurang adanya dukungan dari sisi kelembagaan terhadap keberadaan becak. Perencanaan dan kebijakan yang ada belum sama sekali membahas becak secara khusus sehingga potensi dan permasalahan becak di kawasan perkotaan Kabupaten Sumedang tidak dapat secara maksimal ditangani. Padahal untuk dapat mendukung ketiga aspek keberlanjutan di atas, faktor kelembagaan juga sangat diperlukan agar dapat menunjang dan mengakomodasi ketiga aspek tersebut. Daftar Pustaka Cervero, R. (1992). Paratransit in Southeast Asia: A Market Response to Poor Roads. Berkeley: The University of California, Transportation Center. Joewono, T. B. (2005). The Characteristics of Paratransit and Non-Motorized Transport in Bandung, Indonesia. Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 6, 262-277. Joewono, T. B. (2007). User Perception of Private Paratransit Operation in Indonesia. Public Transportation, Vol. 10, No. 4. Mandala, Z. (2013, Juni). Transportasi Informal (Paratransit) dan Karakteristiknya. Yogyakarta. Syabri, I., Pradono, & Soegijanto, B. T. (2013). Embracing Paratransit in Bandung Metropolitan Area, West Java, Indonesia. Global Report on Human Settlements 2013.