KEBERLAKUAN ALASAN KEAMANAN NASIONAL SEBAGAI PENGECUALIAN TERHADAP ASAS NON-REFOULEMENT SHAFIRA NINDYA PUTRI Pembimbing: Melda Kamil Ariadno dan Hadi Rahmat Purnama Alasan keamanan nasional dikenal sebagai salah satu pengecualian dari asas nonrefoulement yang merupakan kerangka perlindungan terhadap warga negara asing di suatu negara.. Dalam satu sisi, kedaulatan setiap negara dalam hubungan internasional harus dihormati. Hal ini termasuk menyangkut permasalahan tindakan-tindakan yang dilakukan negara untuk menjaga keamanan nasional mereka. Di sisi lain, pertumbuhan rezim perlindungan yang ditawarkan oleh asas non-refoulement telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi metode pemenuhan dan perlindungan HAM yang dikenal di berbagai kerangka hukum HAM internasional maupun regional sebagai norma yang tidak dapat diderogasi. Hal ini mengakibatkan non-refoulement sering diaplikasikan sebagai norma yang tidak dapat dikecualikan bahkan didiskusikan untuk meraih status norma jus cogens, norma tertinggi dalam hirarki hukum internasional. Pada kondisi tersebut, negara-negara dihadapkan kepada tantangan dalam menggunakan alasan keamanan nasional untuk mengenyampingkan kewajiban non-refoulement dalam rangka menerapkan kebijakan domestik dalam memerangi terorisme. Kata Kunci: Non-refoulement, keamanan nasional, penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, jus cogens National security is recognized as one of the exceptions of non-refoulement, a protection framework for aliens in foreign countries. On one hand, state’s sovereignty is honored in international relation. This includes state’s discretion to take measures to safeguard their national security. On the other hand, the growth of protection regime offered by non-refoulement principle has developed so as to be a method in fulfilling and protecting non-derogable human rights which is recognized under numerous international and regional human rights instruments. This has caused non-refoulement to be applied without exceptions even being discussed as attaining the status of jus cogens, the highest norm in the hierarchy of international law. In this condition, states are challenged to invoke national security to set aside their non-refoulement obligation in enforcing their national policy to combat terrorism. Keywords: Non-refoulement, national security, torture, cruel, inhuman and degrading treatment, jus cogens
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
PENDAHULUAN Asas non-refoulement awalnya dikenal sebagai kerangka perlindungan pengungsi yang melarang negara penerima untuk mengusir individu yang bersangkutan ke wilayah dimana ia akan mengalami persekusi. Seiring dengan adanya perkembangan di dalam hukum hak asasi manusia internasional, asas non-refoulement dijadikan metode pemenuhan dan perlindungan hak-hak yang tidak dapat diderogasi, salah satunya hak untuk bebas dari penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan manusia. Ini menjadikan asas non-refoulement sering kali diaplikasikan tanpa pengecualian dan didiskusikan meraih status norma jus cogens, norma tertinggi dalam hirarki hukum internasional. Dengan proposisi demikian, negara-negara di dunia dihadapkan kepada pilihan yang sulit dalam menerapkan kebijakan anti-teror, termasuk melakukan deportasi individu-individu yang diduga mempunyai keterlibatan dalam kegiatan terorisme. Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat tiga pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimanakah perkembangan sejarah dari asas non-refoulement dalam memberikan perlindungan kepada warga negara asing? 2. Apakah terdapat pengecualian terhadap asas non-refoulement dan bagaimanakah keberlakuan alasan keamanan nasional sebagai pengecualian asas non-refoulement? 3. Bagaimanakah penerapan asas non-refoulement dan penggunaan alasan keamanan nasional sebagai pengecualian dalam praktik negara-negara? PEMBAHASAN Sejarah menunjukkan bahwa salah satu kegiatan manusia yang telah dilakukan sejak berpuluh-puluh ribu tahun yang lalu adalah berpindah tempat.1 Orang-orang yang kemudian berpindah tempat dari kediaman aslinya ke negeri lain dikategorikan secara luas sebagai migran.2 Di dalam diagram yang mewadahi orang-orang yang berpindah tempat tinggal ke negara lain ini, kemudian dapat dikategorikan juga sebagian dari orang-orang tersebut sebagai pengungsi. Pengungsi yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah orang-orang yang melakukan pengungsian ke luar wilayah negara mereka disebabkan karena ancaman 1
Daniel G. Groody, C.S.C., “Crossing The Divide: Foundation of A Theology of Migration and Refugees,” Theological Studies 70 (2009), hlm. 638. 2
International Organization for Migration (IOM), International Migration Law: Glossary on Migration, (Geneva: International Organization for Migration, 2004), hlm. 40.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
yang mereka hadapi di negara mereka sebagai akibat dari perbedaan ras, agama, kewarganegaraan, ataupun keanggotan di dalam kelompok sosial dan afiliasi politik.3 Walaupun definisi pengungsi kini telah meluas,4 namun benang merah yang dapat ditarik adalah bahwa individu-individu tersebut menghadapi ancaman persekusi yang dapat menimbulkan kerusakan fisik dan mental yang tidak dapat diperbaiki dan melanggar hak-hak fundamental dari seorang individu.5 Pada tahun 1933 dibuat dan disahkanlah sebuah perjanijan internasional mengenai status dan perlindungan terhadap pengungsi yang dikenal dengan Convention relating to the International Status of Refugees of 28 October 1933 (selanjutnya akan disebut sebagai “1933 Refugee Convention”). Konvensi ini mempunyi ruang lingkup yang hanya meliputi pengungsi dari Rusia, Armenia dan pengungsi lainnya yang sudah berasimilasi di kedua wilayah tersebut. Masih dalam periode pasca Perang Dunia I, pada tahun 1938 dibentuklah konvensi yang sama namun memfokuskan ruang lingkup kepada pengungsi yang berasal dari Jerman. Konvensi ini disebut Convention concerning the status of refugees coming from Germany of 10 February 1938. Selama dan pasca Perang Dunia II, masalah pengungsi kemudian menjadi masalah yang makin kompleks. Orang-orang, di benua Eropa khususnya, yang terlantar dan terpaksa meninggalkan tempat tinggal asalnya dikarenakan tragedi holocaust, berjumlah sangat banyak. Banyak dari orang-orang ini yang tidak dapat kembali ke daerah asalnya karena alasan persekusi, terutama atas dasar ras dan etnis mereka. Seusai perang orang-orang ini kemudian tidak serta-merta dapat kembali ke negara asal dikarenakan telah ada perubahan ideologi yang mendasar.6 Menyadari bahwa pentingnya masalah ini untuk diselesaikan, pemerintah-pemerintah juga berinisiatif untuk berunding dan membentuk suatu kerangka 3
United Nations General Assembly, Convention relating to the Status of Refugees, U.N. Treaty Series Vol. 189 p. 137, 28 Juli 1951 (“1951 Refugee Convention”), Pasal 1 butir A(2). 4
“Pengungsi adalah seseorang yang terpaksa meninggalkan negaranya karena agresi dari luar, pendudukan, dominasi asing atau kejadian yang mengganggu ketertiban umum secara serius di salah satu bagian atau di seluruh negara asal atau negara kebangsaan.” Convention Governing Specific Aspects of Refugee Problems in Africa, 1001 U.N. Treaty Series 45, Pasal 1 ayat (2); “Pengungsi adalah seseorang yang terpaksa meninggalkan negaranya karena hidup, keselamatan atau kebebasannya telah terancam oleh kekerasan umum, agresi asing, konflik dalam negeri, pelanggaran berat atas hak asasi manusia atau keadaan-keadaan lain yang mungkin mengganggu ketertiban umum secara serius.” Cartagena Declaration on Refugees, Annual Report of the Inter-American Commission on Human Rights OAS Doc OEA/Ser.L/V/II.66/doc.10, rev 1, 190-3, 22 November 1984, Pasal III(3). 5
High Court of Australia, Chan Yee Kin v. Minister for Immigration and Ethnic Affairs, HCA 62, 1989, para. 36. 6
United Nations High Commissioner for Refugees (“UNHCR 1”), Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, (Jenewa: Department of International Protection of UNHCR, 2005), hlm. 6.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
hukum yang dapat menjadi pegangan untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi ini. Kemudian lahirlah the 1951 Convention relating the Status of Refugees (selanjutnya akan disebut sebagai “1951 Refugee Convention”). Ruang lingkup konvensi ini terbatas baik dalam segi geografis dan temporis. Secara geografis, konvensi ini hanya berlaku kepada pengungsi yang berasal dari benua Eropa dan secara temporis konvensi ini hanya berlaku kepada pengungsi yang mencari suaka berdasarkan peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1951.7 Namun berdasarkan protokol yang dikeluarkan pada tahun 1967, pembatasan ruang lingkup secara geografis dan temporis ini pun
dihapuskan8
mengingat
perkembangan
masalah
pengungsi
yang
semakin
mengkhawatirkan seperti permasalahan eksodus pengungsi Hungaria pada tahun 1956 ke Swiss akibat terjadinya revolusi dan pengungsi Algeria yang mengungsi di Maroko dan Tunisia menyusul perang kemerdekaan di Algeria.9 Di dalam 1951 Refugee Convention terdapat asas-asas yang bertujuan untuk memberikan perlindungan maksimal kepada pengungsi. Salah satunya adalah asas non-refoulement yang melarang dikembalikannya pengungsi ke negara asalnya dimana jiwa dan keselamatan mereka akan terancam dengan alasan ras, agama, keanggotan pada kelompok sosial tertentu dan afiliasi politik.10 Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat internasional terhadap perkembangan perlindungan hak asasi manusia, penginkorporasian asas nonrefoulement ke dalam instrumen hukum hak asasi manusia internasional menjadi salah satu metode untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Contohnya, pada International Covenant on Civil and Political Rights (selanjutnya akan disebut “ICCPR”), asas non-refoulement menjadi metode untuk memastikan pemenuhan hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari tindakan dan hukuman kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.11 Hal yang sama juga diadopsi oleh European Convention on Human 7
Ibid., hlm. 8.
8
United Nations High Commissioner for Refugees (“UNHCR 2”), Introductory Note of Convention relating to Status of Refugees, hlm 4. 9
UNHCR 1, Op. Cit.
10
Herbanu F. Irfantoro, “Prinsip Non -Refoulement dan Penerapannya dalam Kaitaannya dengan Pemberian Suaka kepada Pengungsi,” (Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2002), hlm. 7; UNHCR, supra note 12, hlm. 3; 1951 Refugee Convention, Pasal 33. 11
United Nations Human Rights Committee (“UNHRC”), General Comment No. 31 [80], The Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant, CCPR/C/21/Rev.1/Add.13, 26 May 2004, para. 12; Lihat juga: Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary, cet..2, (Kehl: N.P. Engel Publisher, 2005), hlm. 185; Charles Chitat Ng v. Canada, CCPR/C/49/D/469/1991, UN Human Rights Committee (HRC), 7 January 1994, para. 6.2.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
Rights (selanjutnya disebut sebagai “ECHR”),12 dan Convention Against Torture (selanjutnya disebut sebagai “CAT”) dalam menyertakan asas non-refoulement sebagai kewajiban negara yang bersifat eksplisit maupun implisit. Pengadopsian asas non-refoulement tidak hanya terjadi pada instrumen hukum internasional melainkan juga terdapat di berbagai legislasi negara-negara seperti Jerman,13 Turki,14 dan Austria15. Dengan luasnya pengadopsian asas non-refoulement ke dalam berbagai macam instrumen hukum16 serta legislasi negaranegara17, asas non-refoulement telah meraih status sebagai hukum kebiasaaan internasional.18 Eksistensi asas non-refoulement yang telah diperluas ruang lingkupnya dari asas yang mendasari pemberian perlindungan terhadap pengungsi menjadi metode untuk memenuhi kewajiban negara dalam melindungi hak-hak fundamental individu, menarik pandangan terhadap asas non-refoulement kearah yang berbeda. Daripada dianggap sebagai suatu kewajiban yang berdiri mandiri dan hanya mempunyai status hukum kebiasaan internasional, asas non-refoulement dapat dikategorikan sebagai bagian dari pemenuhan hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan perbuatan dan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Pandangan seperti ini telah diberikan oleh Manfred Nowak,19 Human Rights Committee (selanjutnya disebut sebagai “HRC”), sebagai badan yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB dalam memonitor implementasi ICCPR, dan European Court of Human Rights (selanjutnya akan disebut “ECtHR”) dalam beberapa preseden. Ketiga hak di atas dalam banyak kesempatan telah dikategorikan sebagai nonderogable rights atau hak-hak yang tidak dapat dikecualikan.20 Paling tidak, ini yang diatur di 12
Soering v. The United Kingdom, 1/1989/161/217, Council of Europe: European Court of Human Rights, 7 July 1989, para. 90. 13
Republik Federasi Jerman, Federal Law on Compulsory Measures in Aliens Law (Botschat zum Bundesgesetzuber Zwangsmaznahmen im Auslanderrect, 22 Desember 1993. 14
Turki, Law of Foreignersand International Protection, Law No. 6458, 4 April 2013.
15
Austria, Federal Act on the Exercise of Aliens’ Police, the Issue of Documents for Aliens and the Granting of Entry Permits (2005 Aliens’ Police Act- Fremdenpolizeigesetz 2005), 1 Januari 2006. 16
“Perjanjian internasional yang berulang kali diadakan mengenai hal yang sama dapat menimbulkan suatu kebiasaan dan menciptakan lembaga hukum melalui proses hukum kebiasaan internasional.” Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: P.T. Alumni, 2003), hlm. 147. 17
North Sea Continental Shelf Cases (Federal Republic of Germany v. Denmark; Federal Republic of Germany v. Netherlands) , I.C.J. Reports 1969, p.3, International Court of Justice (ICJ), 20 February 1969, para. 74-77. 18
UNHCR, Declaration of States Parties to the 1951 Convention and or its 1967 Protocol relating to the Status of Refugees, HCR/MMSP/2001/09, 16 January 2002, Pasal 4; Walter Kalin, Das Prinzip des Nonrefoulement (Bern: European University Studies,1982). 19
Manfred Nowak, Op.Cit.
20
Ibid., hlm. 93.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
dalam Pasal 4 ICCPR yang menyatakan bahwa hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia adalah hak yang tidak dapat dikecualikan bahkan pada keadaan darurat.21 Proposisi ini kemudian mengundang diskusi bahwa asas non-refoulement sendiri dapat dikategorikan sebagai kewajiban yang juga tidak dapat dikecualikan dan menerima status sebagai norma jus cogens. Hal ini kemudian membawa dilema untuk negara-negara dalam menjalankan kewajiban non-refoulement nya terutama setelah peristiwa 9/1122 yang menandai gerakan terorisme kontemporer yang mengancam keamanan nasional negara. Seperti yang telah secara singkat dijelaskan di atas, asas non-refoulement tidak memperbolehkan negara untuk memindahkan individu dari wilayahnya ke tempat dimana individu tersebut akan mengalami resiko persekusi. Apabila negara menghadapi individuindividu yang memberikan ancaman terhadap keamanan nasional mereka sebagai akibat dari keterlibatan orang-orang tersebut di dalam kegiatan terorisme, dalam rangka memenuhi kewajiban non-refoulement, negara tidak akan dapat melakukan tindakan yang dapat mengeluarkan individu-individu yang mempunyai dugaan keterlibatan dalam kegiatan terorisme. Pasal 33 ayat (2) mengatur bahwa perlindungan non-refoulement tidak dapat diberikan apabila terdapat dasar yang cukup untuk menganggap seorang pencari suaka atau pengungsi sebagai suatu bahaya terhadap keamanan negara anggota dimana ia telah dijatuhkan hukuman berkekuatan hukum akan kejahatan yang serius, atau merupakan bahawa bagi masyarakat negara tersebut.23 Pengaturan ini kemudian memberikan negara hak untuk mengusir pengungsi yang masuk kedalam kategori yang telah disebutkan.24 Ambang dari pengaplikasian pengecualian ini sangat tinggi.25 Standar pembuktiannya bahkan lebih tinggi daripada Pasal 1F yang mengatur bahwa status pengungsi tidak dapat diberikan kepada individu yang telah melakukan kejahatan yang melanggar kedamaian, kejahatan politik yang serius di luar negara pengungsian, dan telah diputuskan bersalah untuk tindakan-tindakan 21
United Nations General Assembly, International Covensant on Civil and Political Rights (“ICCPR”), U.N. Treaty Series Vol. 999 p. 171, 19 Desember 1966, Pasal 4 ayat (2). 22
Sudha Setty, “What’s in a Name? How Nations Define Terrorism Ten Years After 9/11”, (University of Pennsylvania Journal of International Law, Vol. 33:1, 2011). 23
Ibid., Pasal 1 butir (F); Lihat juga: Paul Weis, The Refugee Convention 1951: The Travaux Preparatoires Analysed, with a Commentary 325 (Julian Weis ed., 1995), Pasal. 33 ayat (2). 24
UNHCR, “Letter from Thomas Albrecht, Deputy Regional Representative, U.N. High Comm’r for Refugees, to Paul Engelmayer”, http://www.unhcr.org/refworld/pdfid/43de2da94.pdf diakses pada 12 Mei 2013. 25
Rene Bruin dan Kees Wouters, “Terrorism and the Non-Derogability of Non-refoulement”, International Journal of Refugee Law, (2003), hlm. 16.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
yang berlawanan dengan tujuan dan asas PBB.26 Hathaway dan Harvey berpendapat bahwa standar yang lebih tinggi tersebut terutama berlaku untuk membuktikan alasan yang cukup ("reasonable ground") daripada membuktikan alasan yang serius ("serious reasons [for considering]") dalam memenuhi unsur Pasal 1F.27 Namun demikian, Pasal 33 ayat (2) tidak mengidentifikasi tindakan-tindakan yang seperti apa yang dapat mengancam keamanan nasional. Merupakan diskresi negara untuk menentukkan hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional sehingga memungkinkan pengaplikasian akan pengecualian ini ke dalam ruang lingkup yang luas.28 Akan tetapi, di dalam menginterpretasikan sebuah perjanjian internasional ataupun pasal dalam perjanjian internasional, maka perlu selalu diingat bahwa rezim hukum yang berlaku adalah Vienna Convention on the Law of Treaties (selanjutnya akan disebut sebagai “VCLT”).29 Pasal 31 dan 32 dari VCLT memuat metode penginterpretasian pasal-pasal dari sebuah perjanjian internasional.
30
Metode utama yang
harus diaplikasikan dalam melakukan interpretasi terhadap suatu ketentuan di dalam perjanjian internasional adalah dengan itikad baik mengacu kepada arti ketentuan tersebut secara harfiah sesuai dengan sasaran dan tujuan dari perjanjian internasional tersebut.31 Dalam menginterpretasikan frasa “bahaya” (“danger”), negara akan menggunakan diskresinya untuk menentukkan apakah seseorang mempunyai bahaya terhadap keamanan nasional negara tersebut. Hal ini tidak kemudian serta-merta memberi kebebasan yang tiada batas. Akan tetapi hal ini harus dilakukan dengan itikad baik.32 Apabila refoulement akhirnya dilakukan tanpa adanya bahaya, negara bisa dituntut pertanggungjawabannya atas pelanggaran perjanjian hukum internasional.33 Seyogyanya, menurut UNHCR di dalam 1997 Note on the Principle of Non-refoulement, pengaplikasian pengecualian yang dimuat di dalam 26
Ibid.
27
James C. Hathaway dan Colin Harvey, “Framing Refugee Protection in the New World Disorder”, Cornell International Law Journal (2001), hlm. 288. 28
Sir Elihu Lauterpacht dan Daniel Bethlehem, “The Scope and Content of the Principle of Nonrefoulement: Opinion” dalam Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection,(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 135. 29
“The present Convention applies to treaties between States.” United Nations, Vienna Convention on the Law of Treaties (“UNHCR”), U.N. Treaty Series Vol. 1155, p. 331, 23 May 1969, Pasal 1. 30
Ibid., Pasal 31 dan 32.
31
“A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object and purpose.” Ibid., Pasal 31 (1). 32
UNHCR 1, Op. Cit.
33
Ibid.,
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
Pasal 33 ayat (2) harus dilakukan dengan kehati-hatian yang besar dikarenakan konsekuensi serius yang akan timbul dimana individu tersebut akan mengalami persekusi di negara dimana pengusiran akan berlaku.34 Pasal 33 ayat (2) tidak mengatur standar apa yang bisa diterapkan oleh negara-negara anggota konvensi dalam menentukkan kapan dan pada kesempatan seperti apa seorang pengungsi atau pencari suaka merupakan bahaya untuk negara tersebut. Pada saat penyusunan naskah konvensi, delegasi Inggris dan Perancis mengajukan bahwa setiap negara baiknya diberikan diskresi secara total dalam menentukkan apa yang dapat memicu sesuatu untuk dikenal sebagai bahaya yang mengancam keamanan nasional negara tersebut.35 Akan tetapi Lauterpacht dan Bethlehem berpendapat bahwa dalam mengaplikasikan Pasal 33 ayat (2) terdapat beberapa batasan, yaitu36: 1. Perlu disadari bahwa alasan keamanan nasional dan keselamatan publik merupakan satu-satunya pengecualian asas non-refoulement yang dimuat di dalam 1951 Refugee Convention. 2. Pengaplikasian dari pengecualian ini merupakan tunduk pada peringatan bahwa pengecualian tersebut tidak akan berlaku di dalam situasi dimana ancaman terjadi pada saat yang sama dengan adanya ancaman penyiksaan, perbuatan atau hukuman kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia atau hak asasi manusia yang tidak dapat diderogasi lainnya. 3. Mengingat akan karakteristik kemanusiaan dari non-refoulement dan konsekuensi serius terhadap individu yang akan dikembalikan ke negara dimana ia akan mendapat bahaya, pengecualian dari non-refoulement harus diinterpretasikan secara terbatas dan diaplikasikan dengan kehatia-hatian.37 4. Pengecualian yang diatur di dalam Pasal 33 ayat (2) hanya dapat diberlakukan dengan ketaatan yang ketat sesuai dengan proses hukum. Hal ini secara eksplisit diminta di dalam Pasal 32 ayat (2) dalam kasus pengusiran. 5. Di dalam keadaan negara ingin menggunakan pengecualian non-refoulement, negara diharuskan untuk mengambil semua langkah-langkah yang cukup untuk memastikan transfer akan individu yang bersangkutan ke negara ketiga yang aman (safe third country) dimungkinkan. 34
UNHCR, ‘Note on the Principle of Non-refoulement’,UN doc. EC/SCP/2, August 1997.
35
UNHCR 1, Op. Cit.
36
Lauterpacht dan Bethlehem, Op. Cit., hlm. 133-4.
37
UNHCR, “Note on the Principle of Non-refoulement”, Op. Cit.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
Di dalam hukum internasional, terdapat beberapa instrumen hukum hak asasi manusia yang mengatur larangan akan praktik penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.38 Di dalam ICCPR sendiri, Pasal 7 mengatur bahwa tidak ada seorangpun yang diperbolehkan untuk disiksa, diperlakukan atau dihukum dengan kejam, tidak manusiawi atau dengan merendahkan martabat manusia.39 Di dalam penyusunan naskah Pasal 7 ICCPR ini, HRC membahas secara jelas bahwa formulasi frasa “no one shall be”, menimbulkan karakteristik dasar dari larangan penyiksaan sebagai hak individual dan tidak hanya merupakan kewajiban dari negara.40 Di dalam berbagai instrumen hukum internasional tersebut, keadaan-keadaan darurat yang dapat menderogasi hak-hak asasi manusia diatur di dalam Pasal 4 ICCPR, Pasal 15 ECHR, dan Pasal 27 Int-AmCHR. Contohnya, di dalam Pasal 4 ayat ICCPR diatur sebagai berikut: “1. In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the State Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religoion or social origin. 2. No derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 and 18 may be made under this provision.” Di dalam contoh lainnya yaitu Pasal 15 ECHR, pengaturan mengenai derogasi hak individual berbunyi sebagai berikut: “1. In time of war or other public emergency threatening the life of the nation any High Contracting Party may take measures from derogation from its obligation under this Convention to the extent strictly requires by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with its other obligations under international law. 2. No derogation from Article 2, except in respect of deaths resulting from lawful acts of war, or from Articles 3, 4 (paragraph 1) and 7 shall be made under this provision.” Dapat dilihat dari kedua contoh tersebut bahwa pengecualian terhadap hak-hak individu dapat dilakukan oleh negara, namun tidak untuk pemenuhan dan perlindungan hak 38
ICCPR, Op. Cit., Pasal 7; ECHR, Op. Cit., Pasal 3; Int-AmCHR, Op. Cit., Pasal 5; CAT, Op. Cit.,
Pasal 1. 39
“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment.” ICCPR, Op. Cit.,
Pasal 7. 40
Nowak, Op. Cit., hlm. 159.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
hak, salah satunya, hak untuk bebas dari penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Sehingga di dalam penerapan, pemenuhan dan perlindungannya, termasuk dengan metode non-refoulement, hak untuk bebas dari penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan manusia tidak dapat dikecualikan, termasuk atas alasan keamanan nasional apabila dilihat dari kacamata rezim hukum hak asasi manusia internasional. Non-refoulement sendiri, di dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, dipandang bahwa secara berkembang telah meraih status norma jus cogens.41 Dengan demikian, non-refoulement hadir lebih dari sekedar pengaturan di dalam perjanjian internasional yang memerlukan kesepakatan atau tindak voluntarisme suatu negara untuk tunduk terhadap asas non-refoulement.42 Orakhelashvili juga berpendapat bahwa penetuan suatu norma sebagai norma jus cogens, tidak diperlukan pendeklarasian dari putusan suatu badan pengadilan. Akan tetapi berdasarkan sebuah konsensus yang dapat dilihat dalam dua tahap, yaitu: 1. Tahap kategorisasi. Pada tahap ini yang difokuskan adalah karakteristik dasar dari norma tersebut dan faktor-faktor apa yang membuat norma tersebut harus ditaati; 2. Tahap normatif. Pada tahap ini yang diperiksa adalah apakah norma yang ingin dikategorikan sebagai norma jus cogens dikenal di dalam rezim hukum internasional.43 Dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi bagaimana asas non-refoulement telah mencapai status norma jus cogens, seyogyanya diterapkan tes yang dipersyaratkan oleh Pasal 53 VCLT, yaitu, pertama, bahwa asas non-refoulement merupakan asas yang diterima dan dikenal oleh masyarakat internasional secara keseluruhan; kedua, asas non-refoulement merupakan norma yang tidak dapat diderogasi dan dikecualikan.44 Menurut Dr. Sigit Riyanto, Kepala Departemen Bidang Studi Hukum Internasional di Universitas Gadjah Mada yang pernah berkecimpung dalam permasalahan hukum pengungsi dengan UNHCR, dalam
41
Allain, Op. Cit., hlm. 533-8.
42
Ibid., hlm. 537. Lihat juga: Gerald L. Neuman, “Import, Export and Regional Consent in the InterAmerican Court of Human Rights”, Europe Jurnal of International Law 19 101, 102 (2008). 43
Alexander Orakhelashvili, Peremptory Norms in International Law, (Oxford: Oxford University Press, 2006), hlm. 36. 44
VCLT, Op. Cit., Pasal 53.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
wawancara pada tanggal 27 Mei 2013 menyatakan bahwa setidaknya asas non-refoulement memenuhi dua kriteria di atas dengan pembuktian sebagai berikut: 1. Asas
non-refoulement
adalah
norma
hukum
internasional
yang
terinstitusionalisasi ke dalam berbagai perjanjian internasional multilateral seperti 1951 Refugee Convention 2. Asas non-refoulement juga telah menjadi hukum kebiasaan internasional yang dibuktikan dengan praktik negara-negara bahkan sebelum asas terebut diadopsi kedalam instrument hukum internasional.45 Negara yang melakukan praktik non-refoulement tidak terbatas pada negara-negara anggota 1951 Refugee Convention dan 1967 Protocol, tetapi negara-negara selain itu juga menghormati dan mengaplikasikan asas non-refoulement.46 3. Pada perkembangan selanjutnya, khususnya dalam instrumen hukum internasional yang diadopsi oleh masyarakat internasional terutama dalam hal perlindungan pengungsi, asas non-refoulement telah juga diafirmasi dan dikenal secara eksplisit. Hal tersebut terbukti dengan pengadopsian asas nonrefoulement di dalam OAU Convention, the 1984 Cartagena Declaration on Refugees, the Inter-American Commission on Human Rights, dan the 1967 Declaration on Territorial Asylum.47 4. Adopsi dan afirmasi mengenai asas non-refoulement oleh negara-negara yang diejawantahkan
melalui
keputusan
yang
dikeluarkan
oleh
Executive
Committee UNHCR. Keputusan-keputusan tersebut merefleksikan konsensus negara-negara dalam kapasitas mereka untuk memberikan opini dan nasihat mengenai aspek-aspek perlindungan internasional untuk pengungsi dan pencari suaka di seluruh dunia. Keputusan Executive Committee UNHCR yang secara khusus membahas non-refoulement adalah Conclusion No.25 tahun 1982,48 Conclusion No. 55 tahun 1989,49 dan Conclusion No. 79 tahun 1996.50 45
Jean Allain, “The Jus cogens Nature of Non-refoulement”, International Journal of Refugee Law, Oxford: Oxford University Press, (2001), hlm. 338; Lihat juga: Guy S. Goodwin-Gill, The Refugee in International Law, (Oxford: Clarendon Paperbacks, 1998), hlm. 166-7. 46
Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., “The Refoulement Principple and Its Relevance in International Law System”, Indonesian Journal of International Law Vol. 7 No. 4 (Juli 2010)., hlm. 745. 47
REDRESS & ILPA, 2006, Non Refoulement Under Threat, di dalam Seminar yang diadakan atas kerjasama The Redress Trust (REDRESS) dan The Immigration Law Practitioners Association (ILPA) 16 May 2006, Matrix Chamber, London. 48
“(b) Reaffirmed the importance of the basic principles of international protection and in particular the principle of non-refoulement which has progressivelt acquiring the character of a peremptory rule of
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
5. Fakta bahwa non-refoulement diaplikasikan sebagai metode pemenuhan dan perlindungan hak untuk bebas dari penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di berbagai instrumen hukum hak asasi manusia baik dalam tingkat regional maupun internasional yang tidak memperbolehkan adanya derogasi atau pengecualian akan hak tersebut.51 Dengan demikian, mengacu kepada analisis-analisis di atas yang diberikan oleh sarjana-sarjana hukum internasional, terdapat pandangan yang kuat bahwa asas nonrefoulement merupakan norma jus cogens yang tidak dapat diderogasi sehingga seyogyanya sebagai norma jus cogens, non-refoulement diaplikasikan tanpa adanya pengecualian. Namun demikian, tidak sedikit pula sarjana yang berpendapat bahwa non-refoulement belum meraih status sebagai norma jus cogens. Lauterpacht dan Bethlehem misalnya berpendapat bahwa non-refoulement belum meraih status jus cogens dengan mengedepankan fakta bahwa masih terdapat pengecualian asas non-refoulement yaitu yang tertuang di Pasal 33 ayat (2).52 Walaupun dalam perkembangannya terdapat kecenderungan untuk menolak adanya pengecualian terhadap asas non-refoulement, akan tetapi Lauterpacht dan Bethlehem masih berpendapat bahwa 1951 Refugee Convention tidak bisa dibaca tanpa menyertakan pengecualian yang ada di Pasal 33 ayat (2).53 Hal ini dibuktikan oleh kedua sarjana tersebut dengan mengedepankan apresiasi terhadap pengecualian tersebut oleh negara-negara, di dalam UNHCR,54 serta pendapat dari komentator lainnya55 yang setuju bahwa ada situasi international law.” UNHCR, Executive Committee Conclusion No. 25, “General Conclusion on International Protection”, 1982. 49
“(d) Expressed deep concern that refugee protection is seriously jeopardized in some States by expulsion and refoulement of refugees or by measures which do not recognize the special situation of refugees and called on all States to refrain from taking such measures in particular from returning or expelling refugees contrary to fundamental prohibition against these practices.”, UNHCR, Executive Committee Conclusion No. 55, “General Conclusion on International Protection”, 1989. 50
“Distressed at the widespread violations of the principle of non-refoulement and of the rights of refugees, in some cases resulting in loss of refugee lives, and seriously disturbed at report indicating that large numbers of refugees and asylum seekers have been refouled and expelled in highly dangerous situations: recalls the principle of non-refoulement is not subject to derogation.” UNHCR, Executive Committee Conclusion No. 70, “General Conclusion on International Protection”, 1996. 51
ICCPR, Op. Cit., Pasal 4 ayat (2); ECHR, Op. Cit., Pasal 15 ayat (2); Int-AmCHR, Op. Cit., Pasal
52
Lauterpacht dan Bethlehem, Op. Cit., hlm. 132.
53
Ibid.
27.
54
“…while the principle of non-refoulement is basic, it is recognized that there may be certain legitimate exceptions to the principle.” UNHCR, “Note on the Principle of Non-Refoulement “, November 1997. 55
Goodwin-Gill, misalnya, berpendapat bahwa non-refoulement bukanlah asas yang absolut ketika “keamanan nasional”dan “ketertiban umum”telah lama dikenal sebagai justifikasi dan derogasi dari asas tersebut. Lihat: Goodwin-Gill, Op. Cit., hlm. 139.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
tertentu yang diperbolehkan untuk memfasilitasi negara dalam melakukan refoulement.56 Namun dalam menutup pernyataan di atas, Lauterpacht dan Bethlehem menegaskan bahwa pengaplikasia Pasal 33 ayat (2) harus dilakukan dengan sifat terbatas seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya.57 Dengan adanya perbedaan pendapat berdasarkan analisis secara teoritis maupun faktual, status asas non-refoulement memang masih menjadi subjek diskusi di antara sarjana hukum internasional. Hal ini juga dilakukan oleh badan-badan peradilan baik regional maupun nasional dalam menyelesaikan isu yang berhubungan dengan masalah nonrefoulement dan kepentingan keamanan nasional suatu negara. Di dalam evolusi menuju kewajiban non-refoulement yang lebih besar yang diemban oleh negara, negara telah mengedepankan pertimbangan keamanan sebagai sebuah argumentasi yang melawan adanya perkembangan status non-refoulement lebih jauh.58 Dalam tahap negosiasi penyusunan 1951 Refugee Convention, negara-negara telah berargumentasi bahwa kekhawatiran akan kemanan nasional adalah alasan yang berdasar atas perlindungan non-refoulement.59 Pada saat penyusunan ICCPR, negara-negara menolak sebuah proposal yang membatasi pengusiran warga negara asing apabila individu tersebut telah dijatuhi hukuman pidana.60 Alasannya adalah keinginan negara untuk tetap memegang kendali dalam menentukan keluar masuknya warga negara asing ke dalam wilayah mereka.61 Alasan yang sama berujung kepada argumen Amerika Serikat yang menentang diikut sertakannya metode non-refoulement dalam pemenuhan dan perlindungan hak untuk bebas dari perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan manusia di dalam CAT.62 Di dalam kasus Soering v. United Kingdom dan Chahal v. United Kingdom, Inggris sendiri dengan gigihnya menentang interpretasi Pasal 3 ECHR yang mengikutsertakan perlindungan non-refoulement yang bersifat absolut.63 56
Lauterpacht dan Bethlehem, Op. Cit., hlm. 133.
57
Ibid.
58
Vijay M. Padmanabhan, “To Transfer or Not To Transfer: Identfing and Protecting Relevant Human Rights Interests in Non-refoulement”, Fordham Law Review (2011), hlm. 89. 59
Kathleen M. Keller, “ A Comparative and International Law Perspective on the United States (Non) Compliance with Its Duty of Non-refoulement”, Yale Human Rights and Development Law Journal, (1999). 60
Nowak, Op. Cit.
61
Ibid.
62
Manfred Nowak, United Nations Convention Against Torture: A Commentary, (2008), hlm. 200.
63
Soering v. United Kingdom, Op. Cit., para. 34-5; Lihat juga: Chahal v. United Kingdom, Op. Cit.,
para. 1855.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
Namun demikian, alasan keamanan nasional yang berasal dari ancaman gerakan terorisme modern dianggap telah meningkatkan kekhawatiran terhadap dampak dari nonrefoulement kepada keamanan nasional. Secara tidak mengejutkan, negara-negara sekarang lebih khawatir pada saat non-refoulement mencegah repatriasi seorang warga negara asing yang bertujuan untuk melakukan sesuatu yang berujung dengan korban warga sipil yang masif.64 Mempertimbangkan adanya kemungkinan besarnya kerusakan yang disebabkan oleh serangan teroris, negara-negara berkeinginan untuk menggunakan media yang paling berpengaruh untuk memerangi ancaman tersebut. Negara-negara menilai repatriasi warga negara asing sebagai sebuah alat keamanan dikarenakan adanya kemudahan secara umum yang dicapai oleh tindakan pengusiran. Secara substantif, hukum hak asasi manusia hanya mempersyaratkan bahwa keputusan pengusiran tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang, yang artinya keputusan tersebut harus berdasarkan hukum yang berlaku.65 Pengusiran sangat penting bagi negara-negara karena mereka sering tidak mempunyai pilihan lain untuk memitigasi ancaman. Berbeda dengan apa yang disarankan oleh beberapa penulis,66 penuntutan secara pidana sering kali dianggap tidak dapat dilaksanakan karena hambatan substantif dan prosedural yang signifikan.67 Masalah pembuktian juga menjadi masalah. Bukti-bukti yang dikedepankan oleh negara-negara dalam kasus terorisme seringkali melibatkan informasi dari badan intelejen.68 Untuk bisa dapat diterima sebagai bukti di dalam pengadilan pidana, informasi dari badan intelejen ini harus dapat diterima sesuai dengan peraturan terkadang merupakan sesuatu yang mustahil.69 Inggris misalnya, tidak akan menerima penyadapan elekronik sebagai bukti di pengadilan pidana, yang berarti bukti kuat akan niat dan rencana dari terdakwa tidak akan dapat dikedepankan.70 Pun bukti tersebut dapat diterima, negara-negara mungkin akan dihadapi dengan kesulitan besar dalam membeberkan sumber dan metode yang digunakan dalam mengumpulkan bukti-bukti tersebut.71 Di Amerika Serikat, seorang terdakwa 64
Padmanabhan, Op. Cit., hlm. 89.
65
ICCPR, Op. Cit., Pasal 13.
66
Bruin dan Wouters, Op. Cit. Lihat juga: Richard B. Zabel dan James J. Benjamin Jr., “In Pursuit of Justice: Prosecuting Terorrism Cases in the Federal Courts”, (2008). 67
Jack Goldsmith, “Long Term Terrorist Detention and Our National Security Court 4”, Brookings Institute Working Paper of the Series on Counterterrorism and American Staturory Law, (2009). 68
Ibid.
69
Ibid.
70
Inggris, Regulation of Investigatory Powers Act, 2000, section 17.
71
ICCPR, Op. Cit., Pasal 14 ayat (13)(e); Lihat juga: ECHR, Op. Cit. Pasal 6 ayat (3)(d).
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
mempunyai “constitutional confrontation right” yang akan mengkompromikan semua sumber intelejen yang merupakan sumber dari bukti-bukti yang dipergunakan oleh Jaksa Penutut Umum.72 Memproses para warga negara asing yang diduga terlibat dalam gerakan terorisme dianggap tidak memitigasi ancaman yang dimiliki oleh mereka terhadap keamana nasional negara-negara. Hal ini muncul ketika masa hukuman yang dijatuhi telah selesai, maka negara akan kembali kepada titik awal untuk menangani warga negara asing yang sama.73 Lain halnya apabila pengusiran dapat diberlakukan, warga negara asing tersebut akan diberikan akses yang sulit untuk kembali ke negara tersebut.74 Menimbang kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh proses peradilan secara pidana, banyak sarjana seperti Goldsmith dan Monica Hakimi75 dan Presiden Amerika Serikat76 berpendapat bahwa detensi administratif bisa menjadi pilihan lain. Akan tetapi negara-negara lain merasa ini bukan sebagai pilihan berdasarkan setidaknya tiga alasan: 1. Detensi adminsitratif tidak diizinkan berdasarkan beberapa rezim hukum hak asasi manusia, kecuali dalam keadaan darurat.77 ECHR telah diinterpretasikan untuk melarang detensi adminsitratif yang berdasarkan tujuan keamanan,78 kecuali apabila keadaan untuk menderogasi terpenuhi.79 2. Walaupun pengusiran secara definisi memang ditujukkan kepada warga negara asing, sulit untuk menerapkan detensi administratif dalam konteks yang sama. Contohnya, di dalam kasus A v. Secretary of State for the Home 72
Robert M. Chesney, “Terrorism, Criminal Prosecution and the Preventive Detention Debate”, South Texas Law Review, (2009). 73
Saadi v. Italy, Appl. No. 37201/06, Council of Europe: European Court of Human Rights, 28 February 2008. 74
Joel Brinkley, “From Afghanistan to Saudi Arabia, via Guantanamo”, N.Y. Times, (16 Oktober 2004), kolom A4. 75
Goldsmit, Op. Cit., hlm. 4-5; Lihat juga: Monica Hakimi, “International Standards for Detaining Terrorism Suspects: Moving BeyonD THE Armed Conflict Criminal Divide”, Yale Journal of International Law, (2008). 76
Barack Obama,” President Barack Obama, Remarks by the President on National Security,” 21 May 2009, http://www.whitehouse.gov/the_press_office/Remarks-by-the-President-on- National-Security-5-21-09, diakses pada 2 Juni 2013. 77
“…an armed conflict, international conflict usually represents the prototype of public emergency that threatens the life of the nation…Quantitavely speaking, civil war other cases of serious, violent internal unrest are by far the reasons most often asserted for declaring a state of emergency.” Nowak, Op. Cit., hlm. 8990. 78
ECtHR, Op. Cit., Pasal 5; Lihat juga: Hakimi, Op. Cit., hlm. 392.
79
ECHR, Lawless v. Ireland (No.3), 3 Eur.Ct.H.R. (ser.A) (1961).
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
Department,80 Pengadilan tingkat akhir Inggris membatalkan hukum imigrasi yang mengizinkan detensi yang tidak terbatas dalam hal menunggu deportasi pada saat Sekretaris Negara telah menyatakan bahwa seorang warga negara asing diduga adalah seorang teroris, dan kehadirannya di Inggris merupakan ancaman terhadap keaman nasional.81 Dikarenakan ECHR melarang adanya detensi administratif tidak terbatas, maka pihak pemerintah Inggris berusaha untuk menderogasi ketentuan tersebut. Majelis hakim kemudian menolak dengan alasan ketentuan imigrasi nasional yang digunakan oleh pihak pemerintah sesungguhnya tidak mempersyaratkan keadaan darurat untuk diberlakukan.82 Majelis hakim kemudian mengedepankan alternatif lain dalam menangani Tuan A dan dakwaan ancaman yang ia berikan terhadap keamanan nasional Inggris dengan melakukan pengawasan dan pembarasan terhadap pergerakannya.83 3. Tindakan-tindakan lain, seperti persyaratan prosedural, yang lebih ringan dari detensi administratif akan lebih sulit dalam memitigasi ancaman. Dengan demikian, tanpa diperbolehkannya pengusiran, negara-negara akan berada dalam posisi dimana tidak ada pilihan lain yang secara langsung dapat memitigasi ancaman yang dimiliki oleh warga negara asing. Organisasi hak asasi manusia dan sarjana telah menyarankan negara untuk melakukan kerja sama dengan negara ketiga untuk melakukan pemukiman kembali (resettlement) di negara ketiga tersebut sebagai sebuah solusi untuk masalah yang timbul dari perlindungan non-refoulement yang kian kuat statusnya di dalam hirarki hukum internasional.84 Akan tetapi, contoh usaha untuk melakukan repatriasi tahanan Teluk Guantanamo mendemonstrasikan sebuah kesia-siaan dimana berhasil atau tidaknya usaha tersebut bergantung kepada kemauan negara ketiga untuk menerima warga negara asing yang telah dilabelkan sebagai individu yang berbahaya.85 Sulit untuk meyakinkan negara ketiga tanpa 80
A v. Secretary of State for the Home Department, United Kingdom House of Lords, UKHL 56
81
Ibid., para. 73; Lihat juga: Inggris, Anti-terrorism, Crime and Security Act, 2001.
82
Ibid., para. 44.
83
Ibid., para. 35, 44, dan 155.
[2004].
84
Human Rights Watch, “Ill-Fated Homecomings: A Tunisian Case Study of Guantanamo Repartriations”, (2007). 85
Dan Ephron, “Life After Gitmo”, Newsweek, 25 November 2008, http://www.thedailybeast.com/newsweek/2008/11/25/life-after-gitmo.html , diakses pada 2 Juni 2013; Lihat
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
insentif yang nyata untuk menerima warga negara asing yang mempunyai potensi bahaya. Negara-negara yang akhirnya menerima rencana seperti ini biasanya melakukan hal terssebut berdasarkan alasan kemanusiaan walaupun sering digertak dengan tekanan diplomatik dari negara kewarganegaraan sang warga negara asing tersebut. Contohnya, RRC yang ‘menekan’ negara lain untuk tidak menerima suku muslim Uighurs yang lari dari wilayah RRC dikarenakan pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami sebagai pihak yang dituduh melakukan gerakan terorisme di dalam wilayah RRC.86 Kesimpulannya, kenyataan yang dihadapi oleh negara-negara pada saat ini adalah kegiatan terorisme yang dilakukan oleh warga negara asing meningkatkan ancaman terhadap keamanan nasional mereka, terutama dengan menguatnya konsep perlindungan nonrefoulement.87 Pada saat warga negara asing tidak dapat direpatriasi, penahan secara pidana maupun secara prosedur imigrasi, juga tidak dapat dilakukan. Berkembangnya konsep nonrefoulement dan statusnya sebagai norma jus cogens ternyata tidak melahirkan solusi untuk negara dalam menghadapi ancaman gerakan terorisme yang semakin meningkat di era modern ini. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan analisis yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Kewajiban non-refoulement setelah mengalami perkembangan, tidak hanya berperan untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi dan pencari suaka saja. Asas nonrefoulement mempunyai tempat yang signifikan di dalam hukum internasional mengenai, tidak hanya pengungsi, namun juga mencakup hukum hak asasi manusia. Non-refoulement dijadikan sebagai metode pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, salah satunya adalah hak untuk bebas dari penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Hak ini, di setiap instrumen hukum yang memuatnya, diatur sebagai hak yang absolut dan tidak dapat dikecualikan dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan darurat (public emergency) sekalipun.
juga: Peter Finn, “Wolf Criticizes Counterterrorism Nominee Over Detainee-Resettlement Plans”, Washington Post, (15 Juli 2011), kolom A7. 86 87
Julian E. Barnes, “Palau Deal May Not End Uighur Issue”, L.A. Times, (11 Juni 2009), kolom A16. Padmanabhan, Op. Cit., hlm. 94.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
2. Dalam periode pengembangan awalnya, non-refoulement diatur dengan ditemani adanya pengecualian terhadap asas tersebut. Tiga perjanjian internasional yang mengejawantahkan asas non-refoulement di dalam pengaturan mereka, mengatur bahwa secara garis besar ada dua dasar yang dapat mengecualikan asas nonrefoulement yaitu alasan keamanan nasional dan ketertiban umum. Akan tetapi, dari konstruksi yang dapat dilihat dari poin kesimpulan pertama, asas non-refoulement kini dianggap dapat dipandang sebagai norma jus cogens. Diskusi mengenai status baru asas non-refoulement sebagai norma jus cogens dititikberatkan pada pengakuan nonrefoulement sebagai kewajiban internasional dalam memberikan perlindungan terhadap semua individu dan perkembangan pengaplikasian non-refoulement sebagai metode pemenuhan dan perlindungan hak yang tidak dapat dikecualikan. Akan tetapi fakta ini seolah-olah belum menampikkan kehadiran alasan keamanan nasional yang semenjak tahun 1933 diatur sebagai pengecualian dari asas non-refoulement. Banyak negara yang masih mengandalkan pengecualian ini sebagai alat untuk menerapkan kebijakan domestik mereka. 3. Dalam penerapan asas non-refoulement, negara-negara masih terlihat berkeinginan untuk menggunakan alasan keamanan nasional dalam mengenyampingkan kewajiban non-refoulement mereka. Akan tetapi keputusan tersebut mengalami kesulitan seiring dengan terjadinya penolakan-penolakan oleh badan peradilan baik domestik, regional dan internasional. Negara kemudian dihadapkan dengan keadaan yang dilematis dalam menerapkan kebijakan anti-teror mereka. DAFTAR PUSTAKA BUKU Kalin, Walter. Das Prinzip des Non-refoulement. Bern: European University Studies, 1982. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: P.T. Alumni, 2003. International Organization for Migration. International Migration Law: Glossary on Migration, Jenewa: International Organization for Migration, 2004. Nowak, Manfred. United Nations Convention Against Torture: A Commentary. (2008). ______________. U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary, cet.2. Kehl: N.P. Engel Publisher, 2005.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
Orakhelashvili, Alexander. Peremptory Norms in International Law. Oxford: Oxford University Press, 2006. UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional. Jenewa: Department of International Protection of UNHCR, 2005. Weis, Paul. The Refugee Convention 1951: The Travaux Preparatoires Analysed, with a Commentary. 1995. ARTIKEL Allain, Jean. “The Jus cogens Nature of Non-refoulement.” dalam International Journal of Refugee Law, (2001). Bruin, Rene dan Kees Wouters. “Terrorism and the Non-Derogability of Non-refoulement.” dalam International Journal of Refugee Law, (2003). Chesney, Robert M. “Terrorism, Criminal Prosecution and the Preventive Detention Debate.” South Texas Law Review, (2009). Goldsmith, Jack. “Long Term Terrorist Detention and Our National Security Court 4.” Brookings Institute Working Paper of the Series on Counterterrorism and American Staturory Law, (2009). Groody C.S.C, Daniel G. “Crossing The Divide: Foundation of A Theology of Migration and Refugees.” dalam Theological Studies 70, (2009). Hakimi, Monica. “International Standards for Detaining Terrorism Suspects: Moving Beyond the Armed Conflict Criminal Divide.” Yale Journal of International Law, (2008). Hathaway, James C. dan Colin Harvey. “Framing Refugee Protection in the New World Disorder.” dalam Cornell International Law Journal, (2001). Keller, Kathleen M. “A Comparative and International Law Perspective on the United States (Non) Compliance with Its Duty of Non-refoulement.” Yale Human Rights and Development Law Journal, (1999). Lauterpacht, Sir Elihu dan Daniel Bethlehem. “The Scope and Content of the Principle of Nonrefoulement: Opinion.” Dalam Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Neuman, Gerald L. “Import, Export and Regional Consent in the Inter-American Court of Human Rights.” Europe Jurnal of International Law 19 101, 102, (2008).
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
Padmanabhan, Vijay M. “To Transfer or Not To Transfer: Identifying and Protecting Relevant Human Rights Interests in Non-refoulement”, Fordham Law Review, (2011). Riyanto, Sigit. “The Refoulement Principle and Its Relevance in International Law System.” Indonesian Journal of International Law Vol. 7 No. 4 (Juli 2010). Setty, Sudha. “What’s in a Name? How Nations Define Terrorism Ten Years After 9/11.” dalam University of Pennsylvania Journal of International Law, (2011). Zabel, Richard B. dan James J. Benjamin Jr. “In Pursuit of Justice: Prosecuting Terorrism Cases in the Federal Courts”, (2008). PERATURAN Austria. Federal Act on the Exercise of Aliens’ Police, the Issue of Documents for Aliens and the Granting of Entry Permits (2005 Aliens’ Police Act- Fremdenpolizeigesetz 2005), 1 Januari 2006. Inggris. Anti-terrorism, Crime and Security Act. 2001. ______. Regulation of Investigatory Powers Act. 2000. Inter-American Commission on Human Rights. Cartagena Declaration on Refugees, 1984. Organization of Africa Union. Convention Governing Specific Aspects of Refugee Problems in Africa, 1969. Republik Federasi Jerman. Federal Law on Compulsory Measures in Aliens Law (Botschat zum Bundesgesetzuber Zwangsmaznahmen im Auslanderrect, 22 Desember 1993. Turki. Law of Foreignersand International Protection, Law No. 6458, 4 April 2013. United Nations. Convention relating to the Status of Refugees, 1951. ____________. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966 _____________. Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969.
KASUS A v. Secretary of State for the Home Department. (Mahkamah Agung Inggris, 2004). Chan Yee Kin v. Minister for Immigration and Ethnic Affairs, (Pengadilan Negeri Australia, 1989). Charles Chitat Ng v. Canada, (UN Human Rights Committee, 1994). Lawless v. Ireland. (European Court of Human Rights, 1961). North Sea Continental Shelf Cases (Federal Republic of Germany v. Denmark; Federal Republic of Germany v. Netherlands) , (Mahkamah Internasional, 1969). Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
Saadi v. Italy. (European Court of Human Rights, 2008). Soering v. The United Kingdom, (European Court of Human Rights, 1989). INTERNET Ephron, Dan. “Life After Gitmo.” http://www.thedailybeast.com/newsweek/2008/11/25/lifeafter-gitmo.html. Diunduh pada 2 Juni 2013. Obama, Barack. “President Barack Obama, Remarks by the President on National Security,” 21
May
2009.
http://www.whitehouse.gov/the_press_office/Remarks-by-the-
President-on- National-Security-5-21-09. Diunduh pada 2 Juni 2013. UNHCR. Letter from Thomas Albrecht, Deputy Regional Representative, U.N. High Comm’r
for
Refugees,
to
Paul
Engelmayer.”
http://www.unhcr.org/refworld/pdfid/43de2da94.pdf. Diunduh pada 12 Mei 2013. LAIN-LAIN Barnes, Julian E. “Palau Deal May Not End Uighur Issue.” L.A. Times. (11 Juni 2009). Kolom A16. Human Rights Watch. “Ill-Fated Homecomings: A Tunisian Case Study of Guantanamo Repartriations.” (2007). Irfantoro, Herbanu F.
“Prinsip Non -Refoulement dan Penerapannya dalam Kaitaannya
dengan Pemberian Suaka kepada Pengungsi,” Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2002. REDRESS & ILPA. “Non Refoulement Under Threat.” di dalam Seminar yang diadakan atas kerjasama The Redress Trust (REDRESS) dan The Immigration Law Practitioners Association (ILPA) Matrix Chamber, London, 16 May 2006. UNHCR. Declaration of States Parties to the 1951 Convention and or its 1967 Protocol relating to the Status of Refugees, 2002. ______. Executive Committee Conclusion No. 25, “General Conclusion on International Protection”, 1982. ______. Executive Committee Conclusion No. 55, “General Conclusion on International Protection”, 1989. ______. Executive Committee Conclusion No. 70, “General Conclusion on International Protection”, 1996. ______. Introductory Note of Convention relating to Status of Refugees. Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013
______. Note on the Principle of Non-refoulement. UN doc. EC/SCP/2, August 1997. United Nations Human Rights Committee. General Comment No. 31 [80], The Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant, 2004.
Keberlakuan alasan…, Shafira Nindya Putri, FH UI, 2013