POKOK-POKOK PEMIKIRAN (IDE DASAR) ASAS-ASAS HUKUM PIDANA NASIONAL ·> Oleh : Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H:*>
PENGANTAR: 1.
Seminar Asas-Asas Hukum Pidana Nasional ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari upaya penyusunan dan pembentukan KUHP Nasional. Dalam rangka pembaharuan dan pembentukan KUHP Nasional itu, sangatlah penting untuk dikaji dan dipahami terlebih dahulu pokok-pokok pemikiran (ide-dasar) yang melatarbelakangi disusunnya rancangan KUHP Nasional.
2. Kajian/diskusi mengenai pokok-pokok pemikiran (ide-dasar) ini menjadi sangat penting, karena membangun atau melakukan pembaharuan hukum ("law reform", khususnya "penal reform") pada hakikatnya adalah "membangun/memperbaharui pokokpokok pemikiran/konsep/ide-dasarnya", bukan sekedar memperbaharui/mengganti perumusan pasal (UU) secara tekstual. Oleh karena itu, kajian/diskusi tekstual mengenai Konsep/RUU KUHP harus didahului atau disertai dengan diskusi konseptual. 3.
Kajian konseptual mengenai pokok-pokok pemikiran (ide-dasar) Asas-Asas Hukum Pidana (Materiel) Nasional sudah cukup lama dilakukan, yaitu sejak dibahasnya Konsep I tahun 1964 sampai sekarang. Konsep pertama tahun 1964 berjudul "Konsep RUU Tentang Asas-Asas dan Dasar-Dasar Pokok Tata Hukum Pi dana dan Hukum Pidana Indonesia". Konsep pertama ini dibahas dalam Kongres PERSAHI di Surabaya tahun 1964, antara lain o1eh almarhum Prof. Moeljatno yang mengajukan prasaran berjudul . "Atas Dasar atau Asas-Asas Apakah Hukum Pidana Kita Dibangun?". Pokok-pokok pemikiran tersebut bergu1ir terns dan diperkaya o1eh
•> Disajikan dalam Seminar Nasional tentang "Asas-asas Hukwn Pidana Nasional", diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM bekeljasama dengan FH UNDlP, di Hotel Ciputra, Semarang, tgl26- 27 April2004 ••> Fakultas Hukwn Universitas Diponegoro Semarang
13
4.
pemikiran-pemikiran yang berkembang sampai saat ini. Jadi masalah ini sudah merupakan proses kajian yang cukup panjang (sekitar 40 tahun) dan bahkan "bergenerasi" (dari generasi "kakek guru" sampai ke "cucu murid"). Hasil kajian itu kemudian dicoba untuk dituangkan, diimplementasikan, dan diformulasikan dalam Konsep/RUU KUHP. Untuk bahan diskusi dalam Seminar ini, ada baiknya ditelusuri dan dikaji ulang (review/reorientasi/re-evaluasi) latar belakang pokokpokok pemikiran atau ide dasar Asas-Asas Hukum Pidana di dalam Konsep/RUU KUHP.
LATAR BELAKANG POKOK-POKOK DASAR) KONSEP KUHP BARU
PEMIKIRAN
(IDE
Latar belakang pokok pemikiran atau ide dasar penyusunan Konsep KUHP Barn dapat dilihat dari berbagai sudut/aspek: A.
Dari Sudut/Aspek Kebijakan Pembaharuan Hukum Nasional
1.
Penyusunan Konsep KUHP Barn dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharnan dan sekaligus perubahan/penggantian KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) warisan zaman kolonial Belanda. Jadi berkaitan erat dengan ide ''penal reform" (pembaharnan hukum pidana) yang pada hakikatnya juga merupakan bagian dari ide yang lebih besar, yaitu pembangunan/pembaharuan (sistem) hukum nasional.
2.
Upaya melakukan pembaharnan hukum pidana (''penal reform'') pada hakikatnya termasuk bidang ''penal policy" yang merupakan bagian dan terkait erat dengan "law enforcement policy", "criminal policy", dan "social policy". Ini berarti, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya: a. merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharni substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum; b. merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat; c. merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (yaitu "social defence" dan
"social welfare ');
14
d.
merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali ("reorientasi dan re-evaluasi") pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilainilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio-kultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanlah pembaharuan ("reformasi") hukum pidana, apabila orientasi nilai dan hukum pidana yang dicitacitakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).
Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (''policy oriented approach'') dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("value oriented approach''). 3.
Bertolak dari pemikiran di atas, maka penyusunan Konsep KUHP Baru tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan Sistem Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini berarti, pembaharuan Hukum Pidana Nasional seyogianya juga dilatarbelakangi dan bersumber/berorientasi pada ide-ide dasar ("basic ideas") Pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma : (a) moral religius (Ketuhanan), (b) kemanusiaan (humanistik), (c) kebangsaan, (d) demokrasi, dan (e) keadilan sosial.
4.
Di sam ping bertolak dari ide keseimbangan Pancasila, pembaharuan hukum pidana di Indonesia (khususnya penyusunan Konsep KUHP Baru), dilatarbelakangi oleh ide yang berulang kali dinyatakan dalam berbagai forum seminar nasional maupun internasional, bahwa : pembaharuan hukum pidana dan penegakan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali dan mengkaji sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, antara lain dalam hukum agama dan hukum adat. Ide demikian tertuang atau terlihat antara lain di dalam : a.
kesepakatan pertemuan ilmiah nasional (antara lain dalam Seminat Hukum Nasional 111963; IV/1979; Vl/1995; VIII/2003; dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional 1980);
b.
kebijakan legislatif nasional (antara lain dalam UU No. 1 Drt. 1951 dan UU No. 14/1970 jo. UU No. 35/1999);
15
c.
laporan Kongres PBB mengenai "The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders" (antara lain Kongres V/1975; Kongres Vl/980; Kongres Vll/1985; Kongres VIII/1990) 1
1
Laporan Kongreske V (1975): a. ".... it was necessary, in the long tenn, to rethink the whole of criminal policy in a spirit of rationalization, planning and democratization. ..... .......... the criminal justice system should be transformed so as to be more responsive to contemporary social necessities, the aspirations of the whole population and the demands of a scientific evaluation of needs and means in preventing and containing criminality" (halaman 20); b. "It was important that traditional forms of primary social control should be revived and developed" (halaman 24). Laporan Kongres ke VI (1980) : a. "... development (berarti termasuk pembangunan di bidang hukwn, pen.) was not criminogenic per se, but could become such if it was not rationally planned, disregarded cultural and moral values, and did not include integrated social defence strategies" (halaman 42); b. "... the importation of foreign cultural patterns which did not harmonize with the indigenous culture had had a criminogenic effect" (halaman 42 ); Laporan Kongres ke VII (1985): a. "Crime prevention and criminal justice should not be treated as isolated problems to be tackled by simplistic, fragmentary methods, but rather as complex and wide-ranging activities requiring systematic strategies and differentiated approaches in relation to : (a) The socio-economic, political and cultural context and circwnstances of the society in which they are applied; (b) The developmental stage,, ....................... ; (c) The respective traditions and customs, making maximwn and effective use ofhwnan indigenous options". (laporan halaman 10); b. Written laws and societal structure and values : "The conflicts existing in many countries between indigenous and traditions for the solution of socio-legal problems and the frequently imported or super-imposed foreign legislation and codes should be reviewed with a view to assuring that official nonns appropriately reflect current societal values and structures" (halaman 13); c. Traditional forms of social control : · "When new crime prevention measures are introduced, nece.ssary precautions shoul be taken not to disrupt the smooth and effective functioning of traditional systems, fuli attention being paid to the preservation of cultural identities and the protection of human rights" (halaman 14). Laporan Kongres ke VIII (1990) : "The trial process should be consonant with the cultural, realities and social values of society, in order to make it understood and to permit it to operate effectively within the community it serves. Observance of human rights, equality, fairness and consistency should be ensured at all stages of the process" (halaman 5).
16
..
;,
5.
Berbagai pemyataan (statement) pertemuan ilmiah yang dikemukakan di atas (baik nasional maupun internasional) jelas menunjukkan, bahwa perlu ada harmonisasi/sinkronisasi/ konsistensi antara pembangunan/pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosiofilosofik dan sosio-kultural yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya pembaruan hukum pidana (KUHP) nasional, perlu dilakukan pengkajian dan penggalian nilai-nilai nasional yang bersumber pada Pancasila dan yang bersumber pada nilai-nilai yang ada di masyarakat (nilai-nilai religius maupun nilai-nilai budaya/adat).
6.
Upaya pembaharuan hukum pidana (KUHP) Nasional yang saat ini sedang dilakukan, khususnya dalam rangka menggantikan KUHP warisan zaman kolonial, memerlukan kajian komparatif yang mendasar/fundamental, konseptual, kritis dan konstruktif. Salah satu kajian altematif/perbandingan yang sangat mendesak dan sesuai dengan ide pembaharuan hukum nasional saat ini, ialah kajian terhadap keluarga hukum (''family law") yang lebih dekat dengan karakteristik masyarakat dan sumber hukum di Indonesia. Karakteristik masyarakat Indonesia lebih bersifat monodualistik dan pluralistik; dan berdasarkan berbagai kesimpulan seminar nasional, sumber hukum nasional diharapkan berorientasi pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu yang bersumber dari nilai-nilai hukum adat dan hukum agama. Kajian komparatif dari sudut "traditional and religious law family" itu tidak hanya merupakan suatu kebutuhan, tetapi juga suatu keharusan. Bahkan dalam salah satu kesimpulan dan rekomendasi (saran pemecahan masalah) Hasil Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII tahun 2003 di Kuta, Denpasar, Bali, ditegaskan antara lain :2 Menjadikan ajaran agama sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi, dan sumber evaluasi yang kreatif dalam membangun insan hukum yang berakhlak mulia, sehingga wajib dikembangkan upaya-upaya konkret dalam muatan kebijakan pembangunan hukum nasional yang dapat : memperkuat landasan budaya keagamaan yang sudah berkembang dalam masyarakat;
2
Lihat Rumusan Hasil Seminar Pembangunan Hukum Nasional VTII, angka 11 sub B. 7, termuat dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VTII, Buku l, BPHN Depkeh dan HAM 2003, Halaman 7
17
memfasilitasi perkembangan keberagaman dalam masyarakat dengan kemajuan bangsa; mencegah konflik sosial antar meningkatkan antar umat bangsa. 7.
umat
beragama
dan
Rekomendasi untuk melakukan kajian/penggalian hukum yang hidup (yang bersumber dari nilai-nilai hukum agama dan hukum tradisional/adat) juga menjadi kecenderungan kongres-kongres internasional di bidang hukum pidana dan kriminologi. Dalam berbagai kongres PBB yang diselenggarakan lima tahun sekali mengenai "The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders" sering dinyatakan, bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/ diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat "obsolete and unjust" (telah usang dan tidak adil) serta "outmoded and unreal" (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya, karena sistem hukum pidana di beberapa negara yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial, tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada "diskrepansi" dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh Kongres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan ("a contributing factor to the increase of crime"). Bahkan dinyatakan, bahwa kebijakan pembangunan (termasuk di bidang hukum) yang mengabaikan nilai-nilai moral dan kultural, antara lain dengan masih diberlakukannya hukum asing warisan zaman kolonial, dapat menjadi faktor kriminogen. 3 Bertolak dari kondisi demikian, kongres PBB menghimbau agar dilakukan "pemikiran kembali keseluruhan kebijakan kriminal" ("to rethink the whole of criminal policy"), termasuk di bidang kebijakan hukum pidana.
3 Dalam laporan Kengres PBB VI (Ibid., halaman 45) antara lain dinyatakan : "Acapkali, ketiadaan konsistensi antara undang-undang dengan kenyataan merupakan faktor kriminogen; semakin jauh UU bergeser dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, semakin besar ketidakpercayaan akan keefektifan sistem hukum itu". (Often, lack of consistency between laws and reality was criminogenic; the farther the law was removed from the feeling and the values shared by the community, the greater was the lock of confidence and trust in the efficacy of the legal system).
18
8.
Hal yang menarik dari kecenderungan intemasional di dalam melakukan upaya "pemikiran kembali" dan "penggalian hukum" dalam rangka memantapkan strategi penanggulangan keiahatan yang integral, ialah himbauan untuk melakukan "pendekatan yang berorientasi pada nilai" ("value oriented approach''), baik nilai-nilai kemanusiaan maupun nilai-nilai identitas budaya dan nilai-nilai moral keagamaan. Jadi terlihat himbauan untuk melakukan "pendekatan humanis", "pendekatan kultural ", dan "pendekatan religius" yang diintegrasikan ke dalam pendekatan rasional yang berorientasi pada kebijakan ("policy oriented approach'').
9.
Himbauan untuk melakukan pendekatan kultural dan religius, menyebabkan pula adanya perhatian untuk "menoleh" dan "mengkaji" sistem hukum yang bersumber pada nilai-nilai hukum tradisional dan hukum agama. Misalnya dalam kongres inter nasional kriminologi ke-1 0 di Hamburg pemah ditampilkan makalah-makalah dari keluarga hukum tradisional dan hukum agama, yaitu dari Cina dan Arab Saudi. Pembicara dari Cina, Xiang Guo, menya-jikan makalah berjudul "The Present Violent Crime and Preventive Strategies in China". Pembicara dari Arab Saudi, M. Aref, menyajikan makalah berjudul "Criminality and Crime Prevention in Developing Countries" yang antara lain mengemukakan tentang "Islamic perspective for crime prevention", sedangkan pembicara lainnya, M. Zeid, menyajikan makalah berjudul "Crisis of Penal Sanction in Contemporary Societies" yang mengemukakan antara lain tentang "Revitalization of Islamic Sanction in Islamic Societies".
10. Di samping kajian komparasi dan harmonisasi dari sudut "traditional and religious law system", pembaharuan hukum pidana nasional juga dituntut untuk melakukan kajian komparasi dan harmonisasi dengan perkembangan pemikiran dan ide-ide mutakhir dalam teori/ilmu hukum pidana dan dalam kesepakatan global/ intemasional. Ide-ide itu antara lain mengenai ide keseimbangan antara ''prevention of crime", "treatment of offender", dan "treatment of society"; keseimbangan antara "social welfare" dengan "social defence"; keseimbangan orientasi antara "offender" (individualisasi pidana) dan "victim" (korban); ide penggunaan "double track system" (antara pidanalpunishment dengan tindakanltreatment!measures); ide penggunaan pidana penjara secara selektif dan limitatif, yang identik dengan ide "the ultimo-ratio character of the prison sentence" atau "alternative to imprisonment or custodial sentence"; ide "elasticity/flexibility of sentencing"; ide 'judicial corrective to the legality principle" untuk menembus
19
kekakuan; ide "modifikasi pidana" ("modification of sanction"; the alteration/annulment/revocation of sanction"; "redetermining of punishment''); dan ide "permaafan/pengampunan hakim" ("rechferlijk pardon/judicial pardon/dispensa de pena). B. Dari Sudut/Aspek Kesatuan Sistem Hukum Pidana 1.
KUHP hanya merupakan suatu bag ian/sub-sistem dari "sistem pemidanaan" ("sentencing system'') atau bagian/sub-sistem dari "sistem penegakan hukum pidana". Oleh karena itu, disadari sejak awal bahwa upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak dapat dilakukan hanya dengan mengajukan Konsep/RUU KUHP (hukum pidana materiel), tetapi juga harus disertai dengan Konsep/RUU mengenai hukum acara pidana (KUHAP) dan Konsep/RUU Pelaksanaan Pidana.
2.
Penyusunan hukum pidana materiel/substantif (termasuk KUHP) pada hakikatnya merupakan penyusunan suatu "sistem yang bertujuan" ("purposive system) dan merupakan bagian/sub-sistem dan tahap-tahap ---kebijakan fungsionalisasi/operasionalisasi hukum pidana. Oleh karena itu; harus ada keterjalinan atau kesatuan mata rantai antara tahap pembuatannya (tahap kebijakan formulasi/legislatif) dengan tahap penerapan (tahap kebijakan aplikasi/yudikatif) dan tahap pelaksanaannya (tahap kebijakan eksekusi/administratif).
IMPLEMENTASI DAN RE-EVALUASI POKOK-POKOK PEMIKIRAN (IDE DASAR) DALAM KONSEP KUHP (ASASASAS HUKUM PIDANA NASIONAL) I.
Materi Konsep KUHP (sistem hukum pidana materiel dan asasasasnya), ingin disusun/diformulasikan dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar yang telah diungkapkan di atas. Secara garis besar dapat disebut "ide keseimbangan", yang antara lain mencakup : keseimbangan monodualistik antara "kepentingan umum/masyarakat" dan "kepentingan individu/perorangan"; keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana; keseimbangan antara unsur/faktor "objektif' (perbuatanllahiriah) dan "subjektif' (orang/batiniahlsikap batin); ide "daad-dader strafrecht"; keseimtiangan antara kriteria "formal" dan "materiel";
20~
keseimbangan antara "kepastian hukum", "kelenturan/elastisitas/ fleksibilitas", dan "keadilan"; keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/ intemasionalluniversal; 2.
ide dasar "keseimbangan" itu diwujudkan dalam ketiga permasalahan pokok hukum pidana, yaitu dalam masalah "tindak pidana", masalah "kesalahan/pertanggungjawaban pidana", dan masalah "pidana dan pemidanaan"
3.
Dalam masalah "TINDAK PIDANA", implementasi ide keseimbangan itu antara lain sebagai berikut : a.
Masalah Sumber Hukum (Asas/Landasan Legalitas): Sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, tidak hanya didasarkan pada asas legalitas formal (berdasarkan UU) tetapi juga didasarkan pada asas legalitas materiel yaitu dengan memberi tempat kepada "hukum yang hidup/hukum tidak tertulis", Perluasan asas legalitas materiel ini didasarkan pada : (a) landasan kebijakan legislatif nasional setelah kemerdekaan; (b) landasan kesepakatan ilmiah/seminar nasiomil; (c) landasan sosiologis; dan (d) landasan intemasional dan komparatif Dari kajian bahan-bahan intemasional dan perbandingan, dijumpai adanya bentuk-bentuk perlunakan/penghalusan atau pergeseran/perluasan terhadap asas legalitas formal, antara lain : diakuinya "the general principles of law recognized by the community of nations" sebagai sumber hukum (lihat Pasall5: 2 ICCPR dan KUHP Kanada); diakuinya "permaafan/pengampunan hakim" ("rechterlijk pardon/judicial pardon/dispensa de pena'') sebagai bentuk "Judicial corrective to the legality principle" (antara Jain terlihat di Belancfu, Yunani, Portl1gal). Jl'.
Di samping itu, perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari "cyber.-ctime" merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas "lex eerta", karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti. b.
Kriteria (rambu-rambu) Sumber Hukun'l Materiel: Di dalam Konsep belum ada penegaSan mengenai kriteria atau rambu-rambu mengenai sumber hukum materiel mana yang
21
dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas). Pasal I (3) Konsep hanya menegaskan, bahwa ketentuan dalam ayat (1), yaitu asas legalitas formal, tidak mengurangi berlakunya "hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa seorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan". Perumusan Pasal I ayat (3) itu tentunya masih memerlukan kajian ulang mengenai kriteria/rambu-rambunya, antara lain diusulkan rambu-rambu sbb. :
c.
a.
Sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila), yaitu sesuai dengan nilai/paradigma moral religius, dengan nilai/ paradigma kemanusiaan/humanis, dengan nilai/ paradigma kebangsaan, dengan nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan/hikmah kebijaksanaan), dan dengan nilai/ paradigma keadilan sosial;
b.
Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa ("the general principles of law re-cognized by the community ofnations'').
Masalah "retro aktif' : Bertolak dari ide keseimbangan. Konsep iuga dapat menerima ketentuan Psl. 1 (2) WvS/KUHP yang memberi kemungkinan berlaku surutnya UU ("retro aktif'). Psl. I (2) ini dipandang sebagai "pasangan", "pelengkap" dan "penyeimbang" dari Psl. 1 (1) yang memuat asas "lex temporis delicti" atau asas "non retro aktif'. •
d.
Kajian Ulang Terhadap Masalah "Retro Aktir': •
22
Namun perumusan Psl. 1 (2) WvS dalam Konsep KUHP (yang dirumuskan dalam Pasal 2:1), mengalami perubahan/perluasan. Menurut Konsep, ide "retro aktif' dan asas "menerapkan aturan yang lebih menguntungkanl meringankan" dalam hal ada perubahan UU, tidak hanya berlaku untuk tersangka/terdakwa sebelum keputusan hakim berkekuatan tetap, tetapi juga berlaku (diperluas) untuk terpidana atau sete1ah keputusan berkekuatan tetap.
Pasal 1 (2) KUHP dan Pasal 2 (1) Konsep KUHP yang memberi kemungkinan peraturan berlaku "retro aktif' 1ebih
berorientasi pada kepentingan individu pelaku (Offender'') Artinya, penyimpangan terhadap asas "non retro aktif' (yaitu boleh "retro aktif') apabila memenuhi syarat/kriteria, bahwa "perubahan UU itu menguntungkan/meringankan terdakwa (individu)"-. •
e.
Sekiranya berorientasi pada asas keseimbangan, patut dikaji ulang kriteria berlaku surutnya UU (retro aktit) dalam Pasal 1 (2) KUHP dan Pasal2 (1) Konsep itu dengan memberi tempat juga pada kriteria "perlindungan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat".
Masalah ATPER (Aturan Peralihan) : •
Dilihat dari ide keseimbangan, sebenamya masih patut dipersoalkan apakah kebijakan formulasi mengenai ATPER ("aturan peralihan") seperti termuat dalam Psl. 1 (2) KUHP dapat dipertahankan atau tidak. Hal ini patut dipertanyakan, karena sebenamya dalam masalah ATPER (sehubungan dengan masa transisi karena adanya perubahan UU), ada beberapa altematif sikap/ide-dasar/prinsip yang dapat dipilih untuk menentukan perundang-undangan mana yang berlaku dalam masa transisi (dalam hal terjadi perubahan UU).
•
Alternatif sikap/kebijakan yang dapat dipilih itu ialah :
I.
Yang berlaku adalah "UU lama";
II.
Yang bertaku adalah "UU barn";
III. Yang berlaku meringankan";
adalah
"UU
yang
menguntungkan/
IV. Yang berlaku adalah "UU lama" dengan ketentuan, "UUbarn dapat diterapkan apabila menguntungkan (Gabungan I & III); V.
•
Yang berlaku adalah "UU barn" dengan ketentuan, "UU lama dapat diterapkan apabila menguntungkan" (Gabungan II & III).
Kelima altematif di atas, dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) model kebijakan formulasi ATPER, yaitu :
23
•
4.
Kebijakan formulasi ATPER (aturan peralihan) yang berorientasi pada ide/nilai "kepastian hukum" (yaitu alternatif I dan II); dipengaruhi "aliran klasik" yang berorientasi pada "perbuatan";
B.
Kebijakan formulasi ATPER yang berorientasi pada ide/nilai "keadilan" (yaitu alternatif III); dipengaruhi "aliran modern" yang berorientasi pada "orang"; dan
C.
Kebijakan formulasi ATPER yang berorientasi pada ide/nilai "keseimbanqan antara kepastian hukum dan keadilan" (alternatif IV dan V); gabunqan aliran klasik dan modern.
Dilihat dari model-model kebijakan formulasi di atas, KUHP/ WvS yang sekarang berlaku di Indonesia (dan juga diadopsi oleh Konsep untuk sementara ini), memilih model B (alternatif Ill). Sekiranya Konsep KUHP Barn akan bertolak dari ide "keseimbangan", maka model ketiga (sub C) sepatutnya dapat dikaji dan dipertimbangkan sebagai alternatif untuk melakukan perubahan terhadap Pasal 1 (2) KUHP.
Dalam masalah "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA", implementasi ide keseimbangan itu antara lain sebagai berikut : a. Asas "tiada pidana tanpa kesalahan" (asas culpabilitas) yang merupakan asas kemanusiaan, dirumuskan secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas yang merupakan asas kemasyarakatan; b. Konsep tidak memandang kedua syarat/asas itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Dalam hal-hal tertentu, Konsep memberi kemungkinan untuk menerapkan asas. "strict liability", asas "vicarious liability", dan asas "pemberian maaf/pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk pardon" a tau ''judicial pardon 'J. c.
24
A
Di dalam asas "Judicial pardon" terkandung ide/pokok pemikiran: 1. menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan; 11. menyediakan "klep/katup pengaman" ("veiligheidsklep''); 111. bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas ("Judicial corrective to the legality principle 'J,
tv. pengimplementasian/pengintegrasian nilai atau paradigma "hikmah kebijaksanaan" dalam Pancasila; v. pengimplementasian/pengintegrasian "tujuan pemidanaan" kedalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan/pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya "tindak pidana" (asas legalitas) dan "kesalahan" (asas culpabilitas), tetapi juga pada "tujuan pemidanaan". d.
5.
Kewenangan hakim untuk memberi maaf ("rechterlijk pardon ") dengan tidak menjatuhkan sanksi pidanaltindakan apapun, diimbangi pula dengan adanya asas "culpa in causa" (atau asas "actio Iibera in causa") yang memberi kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggung-jawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafka.n (tidak memidana) diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada alasan penghapus pidana (Pasal52 Konsep).
Dalam masalah "PIDANA DAN PEMIDANAAN". implementasi ide keseimbangan itu antara lain sebagai berikut : a.
Tujuan Pemidanaan : Bertolak dari pemikiran, bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan ("purposive system") dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan maka konsep merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu "perlindungan masyarakat" dan "perlindungan/ pembinaan individu".
b.
Syarat Pemidanaan : Bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok itu, maka syarat pemidanaan menurut Konsep juga bertolak dari keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Oleh karena itu syarat pemidanaan didasarkan pada dua pilar/asas yang sangat fundamental, yaitu "asas legalitas" (yang merupakan asas kemasyarakatan)
25
dan "asas kesalahan/culpabilitas" (yang merupakan asas kemanusiaan/individual). c.
Masalah Pidana : Bertolak dari ide perlindungan masyarakat, maka Konsep tetap mempertahankan jenis-jenis pidana berat, yaitu pidana mati dan penjara seumur hidup. Namun dalam juga mempertimbangkan kebijakan formulasinya perlindungan/kepentingan individu (ide "individualisasi pidana"), yaitu dengan diadakannya ketentuan mengenai:
d.
1.
"penundaan pelaksanaan pidana mati" atau "pidana mati bersyarat" (Psi. 82 Konsep 2000), dan
2.
dapat diubahnya pidana penjara seumur hidup menjadi penjara 15 tahun apabila terpidana telah menjalani pidana minimal 10 tahun dengan berkelakuan baik (Psi. 65 Konsep 2000), sehingga dimungkinkan terpidana mendapatkan "pelepasan bersyarat" ("conditional release/parole").
•
Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlindungan korban dan pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu di dalam masyarakat. Untuk memenuhi aspek ini, Konsep menyediakan sanksi tambahan berupa "pembayaran ganti rugi" dan "pemenuhan kewajiban adat". Jadi di samping pelaku tindak pidana mendapatkan sanksi pidana, korban/masyarakatpun mendapatkan perhatian dan santunan dalam sistem pemidanaan.
•
Aspek perlindungan masyarakat lainnya di dalam Konsep adalah dengan diadakannya ancaman pidana minimal khusus untuk delik-delik tertentu. Namun Konsep juga memberi kemungkinan peringanan terhadap ancaman pidana minimal itu apabila ada alasan-alasan peringanan pidana bagi terpidana (Pasal 125:3 Konsep 2000) dan pidana minimal khusus tidak berlaku terhadap anak (Pasal117 ayat 3).
Masalah Pedoman/Aturan Pemidanaan : Masalah keseimbangan antara kepastian/kekakuan dengan kelenturan (elastisitas/fleksibilitas) juga diimplementasikan dalam "pedoman dan aturan pemidanaan", antara lain sbb. :
26
Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara tunggal (bersifat imperatiflkaku), namun hakim dapat memilih altematif pidana lainnya yang tidak tercantum dalam perumusan delik atau mengenakan pidana secara kumulatif dengan pidana lain (Psl. 54 dan 55 Konsep 2000); Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara altematif, namun hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana secara kumulatif (Psl. 56 Konsep 2000); W alaupun sudah ada putusan pemidanaan yang berkekuatan tetap, masih dimungkinkan adanya modifikasi/perubahan/penyesuaian/peninjauan kembali of sanction"; asas "the (asas "modification alteration/annulment/revocation of sanction'~ terhadap putusan tersebut berdasarkan : !
~---.
a.
adanya perubahan UU atau perubahan "legislative policy" (Psl. 2 Konsep 2000);
b.
adanya perubahan/perbaikan/perkembangan pada diri . terpidana(Psl: 53 Konsep 2000).. -~--~- ..
Walaupun pada prinsipnya Konsep bertolak dari ide keseimbangan, namun dalam hal ada perbenturan antara kepastian hukum dan keadilan, Konsep memberikan pedoman agar "dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum" (Pasal 16 Konsep 2000).
PENUTUP Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pokok-pokok pemikiran atau ide-dasar Asas-Asas Hukum Pidana Nasional diharapkan berorientasi pada : 1.
ide ''penal reform", khususnya dalam menunjang ide pembaharuan SHN (Sistem Hukum Nasional);
2.
ide dasar ("basic berorientasi pada : a. b. c.
ideas")
keseimbangan
Pancasila,
yaitu
paradigma moral religius (ketuhanan); paradigma kemanusiaan (humanistik); paradigma kebangsaan;
27
d. e. 3.
ide dasar yang berkembang dalam pertemuan nasional/ intemasional, antara lain : a. ide harmonisasi nilai yang ada di masyarakat (sosio-filosofik/sosiokultural/sosio-politik); b. ide kesatuan sistem (keterpaduan/integralitas) hukum pidana; c. ide keseimbangan monodualistik; d. ide keseimbangan antara ''prevention of crime", "treatment of offender", dan "treatment of society"; e. ide keseimbangan antara "social welfare" dengan "social defence"; f. ide keseimbangan orientasi antara "offender" (individualisasi pidana) dan "victim" (korban); g, . ide penggunaan "double track system" (antara pidana/ punishment ·dengan tindakan/treatment/measures ); h. ide penggunaan pidana penjara secara selektif dan limitatif, yang identik dengan ide "the ultimo-ratio character of the prison
J.
sentence" atau "alternative to imprisonment or custodial sentence"; ide "elasticityljlexibility ofsentencing"; ide "judicial corrective to the legality principle" untuk menembus
k.
kekakuan; ide "perubahan/penyesuaian/modifikasi pidana" ("modification of
1.
1.
28
paradigma demokrasi; paradigma keadilan sosial;
sanction"; the alteration/annulment/revocation of sanction"; "redetermining ofpunishment''); ide "permaafan/pengampunan hakim" ("rechterlijk pardon/ judicial pardon/dispensa de pena).