Kebenaran Tak Tebahasakan Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan
Priscilla B. Hayner
Pengantar Timothy Garton Ash
Elsam 2005 Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan oleh Priscilla B. Hayner (Diterjemahkan dari Unspeakable Truth, Facing the Challenge of Truth Commissions, New York dan London: Routledge, 2002). Penerjemah Tim Penerjemah Elsam Editor I/Penyelaras Terjemahan Eddie Riyadi Terre Editor II/Penyelaras Bahasa Erasmus Cahyadi Terre.
Desain Sampul:
Layout:
Cetakan Pertama, Februari 2005
Hak terjemahan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Buku ini diterbitkan dengan bantuan dana dari European Union (European Commission – EIDHR). Isi buku ini menjadi tanggung jawab dari ELSAM, dan tidak mencerminkan pandangan dari European Union.
Penerbit ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519 E-mail:
[email protected],
[email protected]; Web-site: www.elsam.or.id
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Ucapan Terima Kasih Banyak orang dan organisasi di berbagai negara telah memberikan sumbangan dengan caranya masing-masing dalam pembuatan buku ini. Pertama, gagasan sederhana untuk menulis buku ini terlaksana berkat adanya proyek penulisan buku dengan sebuah riset yang melelahkan dan penyediaan dana penulisan dari John D. and Catherine T. MacArthur Foundation pada 1995. Setahun kemudian, saya menerima dukungan tambahan dari U.S. Institute of Peace. Kedua pendanaan ini memungkinkan diterbitkannya buku ini. Secara khusus kedua pendanaan tersebut membiayai perjalanan panjang saya yang sangat diperlukan untuk menangkap roh sebenarnya dari apa yang dituliskan dalam buku ini. Namun demikian, pandangan-pandangan yang dikemukakan di dalam buku ini tidak perlu dianggap sebagai mewakili atau mencerminkan pandangan kedua lembaga tersebut. Kedua, buku ini sangat berhutang banyak pada kesudian begitu banyak orang di berbagai belahan dunia ini yang telah merelakan waktu dan tenaganya duduk bersama saya untuk membagikan dan mengungkapkan pengalaman dan perspektif mereka. Saya sangat berhutang kepada begitu banyak pembela hak asasi manusia dan para survivor dari tindakan kekerasan negara di masa lalu. Saya juga berhutang banyak pada pegawaipegawai pemerintah yang sudi diajak berbicara, kaum akademisi, para jurnalis, para pelayan gereja, dan masih banyak yang lainnya, yang tak terhitung jumlahnya di berbagai belahan dunia ini. Mereka semua begitu bermurah hati dengan waktu mereka dan memberikan informasi yang begitu kaya dan detail dalam menjawab pertanyaan dan kuesioner saya. Buku ini tak pernah bisa ditulis dan hadir di hadapan pembaca tanpa keterlibatan mereka. Selanjutnya saya terbantu sekali dalam perjalanan saya oleh sejumlah penerjemah dan penunjuk jalan yang luar biasa. Di Afrika Selatan, saya dibantu oleh Wally Mbhele, S’Kumbuzu Miya, Lucky Njozela, Joseph Dube, dan Lebo Molete. Mereka semua memberikan bimbingan dan melakukan penerjemahan dalam beberapa kunjungan yang tak terlupakan ke daerah-daerah sekitar Johannesburg, Durban dan Cape Town, dan ke Soweto dan Daveyton secara berturut-turut selama kunjungan-kunjungan saya ke negeri itu. Begitu juga halnya dengan Nancy Bernard di Haiti, Hannes Michael Kloth di Berlin, Sören Asmus di Bonn, dan Conor Christie dan Roberto Luis di Mozambique. Tatkalah saya melakukan perjalanan saya ke negeri-negeri asing, saya sangat terberkati dengan tumpangan yang diberikan oleh kawan-kawan lama di berbagai kota di negeri-negeri yang saya kunjungi itu. Saya berterima kasih sekali atas tumpangan dan keramahan yang diberikan oleh Roberto Petz di Maputo, Mozambique; Sergio Hevia, Carla Pellegrin Friedman dan Roberto dan Valentina Hevia di Santiago; Patricia Bernardi dan Luis Fondebrider di Buenos Aires; dan Andrew Russel dan Judy Kallick di Guatemala Ciyt. Di Afrika Selatan, terima kasih yang hangat kuberikan kepada John Daniel dan keluarganya di Durban, Janet Cherry di Port Elizabeth, dan Jeanelle de Gruchy dan Madeleine Fullard di Cape Town. Sejumlah orang telah membaca bab-bab dalam buku ini ketika masih berbentuk draf dan memberikan sumbangan saran dan kritik yang sangat berguna. Dalam kaitan dengan itu saya hendak menyampaikan terima kasih untuk Bronwen Manby, Mimi Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Doretti, Peter Rosenblum, Helen Duffy, Alex Vines, Jim Ross, Lisan Inman, Brandon Hamber, Debi Munczek, Michael O’Brien, dan saudari saya Anne Hayner dan saudaraku John Hayner – kesemua orang ini telah memberikan sumbangan yang penting. Saya juga berterima kasih kepada orang-orang yang sangat ringan tangan dalam membantu: Richard Carver, Douglass Cassel, Margaret Crahan, Ron Kassimir, Naomi Roht-Arriaza dan Paul van Zyl. Mereka semua memberikan komentar dengan memberikan beberapa detail pada manuskrip buku ini ketika sudah dalam posisi siap diterbitkan. Sumbangan mereka ini membuat naskah buku ini semakin baik dan siap terbit. Meski demikian, saya sendirilah yang bertanggung jawab atas berbagai kekeliruan dan kesalahan yang mungkin masih tak tertinggal. Para editor di Routledge telah menjadi orang-orang yang menyenangkan dalam kerja sama. Secara khusus saya hendak menghaturkan terima kasih kepada Eric Nelson, editor saya, baik karena dedikasinya maupun karena pemahamannya yang jernih atas maksud penulisan dan penerbitan buku ini. Saya juga berterima kasih kepada Krister Swartz, editor produksi saya yang telah memberikan sumbangan besar dalam proses penerbitan buku ini, dan Amy Shipper dan T.J. Mancini, yang telah melakukan pekerjaan sebagai editor kritis dan peran produksi pada permulaan dan akhir proses penerbitannya. Saya sangat berhutang kepada agen saya, Malaga Baldi, atas bimbingan dan bantuannya yang tak kenal lelah. Banyak juga teman dan rekan kerja yang memberikan dukungan tak terkira, membakar entusiasme, dan masukan yang semuanya sangat bernilai bahkan lebih daripada yang mereka sadari. Pada tempat pertama saya berterima kasih kepada Mimi Doretti, yang memberikan dukungan dan gagasan-gagasan yang bagus untuk keseluruhan buku ini, dan juga yang bersama George Lopez pertama kali memberanikan saya menulis buku ini, persis sebelum saya sendiri mempunyai ide demikian. Bronwen Manby secara instingtif memahami pertanyaan yang saya ajukan dan geluti, dan menawarkan masukan kritis ke dalam upaya saya untuk memperjelas dan menghadirkan pemikiran saya ke hadapan publik. Saya berterima kasih kepada Amie Dorman atas bantuannya yang sigap pada awal proyek ini, dan Jonathan Klaaren, Paul van Zyl, Bill Berkeley, Belinda Cooper, Monroe Gilmour, Gwi-Yeop Son dan masih banyak yang lainnya – yang tak dapat saya sebut namanya satu demi satu di sini – yang telah memberikan banyak bantuan, kontak dan memberikan dorongan semangat untuk proyek ini terutama pada tahap-tahap penting selama perjalanan saya. Penghargaan saya juga ditujukan kepada World Policy Institute, di New School University di New York, di mana proyek saya ini bermarkas selama lebih dari satu tahun. Ucapan terima kasih secara khusus saya alamatkan kepada Anthony Romero, Mary McClymont, dan Larry Cox di Ford Foundation, yang telah menjadi pendukung kuat saya dalam menggarap karya ini. Sebagai hasil dari konsultasi saya dengan Ford Foundation, mereka semua telah memberikan kemudahan yang sangat membantu saya dalam melakukan perjalanan saya sendiri dan mengerjakan penulisan buku ini. Saya juga patut mengucapkan terima kasih kepada Robert Crane, Presiden dari Joyce MertzGilmore Foundation, yang telah memberikan kemungkian bagi saya dalam melakukan perubahan-perubahan yang perlu ketika menggeluti subjek buku ini secara lebih serius sembari tetap bekerja bagi Yayasan ini sampai paruh pertama tahun 1996. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tampaknya saya tak mungkin pernah memasuki pengembaraan menggeluti masalah ini tanpa adanya proyek pendanaan pada tahun 1992 dari Center for the Study of
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Human Rights di Columbia University’s School of International and Public Affairs, yang membolehkan saya melakukan kerja secara dekat dengan komisi kebenaran di El Salvador selama hampir tiga bulan. Secara khusus saya menghaturkan terima kasih kepada direktur Pusat Studi tersebut, Paul Martin, atas dukungan dan minatnya yang tak kunjung padam. Di Columbia University Law School, Alejandro Garro memberikan bantuan awal sekali ketiak pertama sekali saya melakukan upaya menangani dan menggeluti permasalahan yang diangkat dalam buku ini. Akhirnya, saya hendak menyampaikan terima kasih saya kepada semua anggota keluarga saya atas dorongan dan dukungan yang tak habis-habisnya. Sebagai tambahan untuk Anne dan John, yang telah disebutkan di atas dalam memberikan masukan editorial, saya hendak mengucapkan terima kasih atas dukungan dari saudari-saudari saya Marji dan Kate Hayner dan Irena Hayner Stammer. Dengan senang hati saya mempersembahkan buku ini kepada kedua orang tua saya, Norman dan Margaret Hayner, yang memberikan dukungan, dorongan, dan keterlibatan yang intens dan tak kunjung padam. Keberadaan beliau berdua di samping saya telah memainkan peran yang sangat penting dalam pilihan saya menggeluti jalan yang tengah saya tempuh sekarang ini.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Prakata Seri Setelah lebih dari 32 tahun hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang otoriter dengan dukungan ideologi militerisme yang menindas, dan kembali memasuki era keterbukaan, reformasi dan demokrasi, bangsa Indonesia sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Bahkan perbincangan sistematis tentang upaya-upaya penyelesaian hukum dan politis belum menjadi agenda utama banyak kalangan, baik DPR maupun pemerintah. Kalaupun ada, orang cenderung bersikap pragmatis dan seadanya, sehingga mengabaikan prosedur dan sasaran yang sesungguhnya. Kita pun belum memiliki perangkat yang memadai untuk menangani berbagai dampak traumatik dari akibat pelanggaran HAM masa lalu. Sementara di sisi lain, dampak traumatik tersebut semakin kelihatan seperti dalam munculnya aksi-aksi kekerasan masyarakat, resistensi ataupun ketidakpatuhan (social disobedience), atau bahkan melalui keinginan dan upaya untuk melepaskan diri dari negara RI Salah satu masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah bagaimana menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu secara tepat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bahasan mengenai penyelesaian pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu seyogianya berada di dalam bingkai wacana “transitional justice” karena momentum awal wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah pergantian rezim dari rezim Orde Baru yang otoriter menuju rezim baru yang lebih demokratis. Lalu, apa sebenarnya transitional justice? Pertanyaan ini penting karena wacana transitional justice lebih luas daripada “sekadar” penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran hak asasi manusia. Landasan moralnya adalah pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat dan hak asasi manusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu ke tertib hukum, sehingga menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan. Persoalannya adalah, apa dan bagaimana sikap kita terhadap tindakan pelanggaran HAM masa lalu tersebut? Apakah dengan menghukum atau memaafkan? Apakah yang harus dibuat untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut? Bagaimana dampaknya bila tidak terselesaikan? Bagaimana nasib para korban? Dan bagaimana kita dapat menjamin untuk menghindari terjadinya kekerasan atau pelanggaran HAM yang sama pada masa depan? Banyaknya pertanyaan yang harus kita jawab bersama itulah yang menggugah kami, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menerbitkan buku seri transitional justice ini. Selama ini, debat wacana tentang masalah keadilan pada masa transisi selalu mengacu pada literatur negara lain yang nota bene terbatas penggunaannya sebagai bahan komparasi semata. Perkembangan literatur dan bahan bacaan tentang transitional justice dengan konteks Indonesia untuk keperluan konsumsi umum memang masih sangat terbatas. Untuk itulah, seri ini hadir. Untuk mengisi ruang kosong dalam wacana kajian umum tentang “bagaimana kita sebaiknya menyikapi masa lalu” yang selama ini seolah-olah terpinggirkan. Kiranya perlu dicatat bahwa berbagai tawaran dalam seri kali ini bukanlah dimaksudkan sebagai semacam pedoman penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu. Seri ini diterbitkan dengan maksud untuk mengajak kita semua menyadari bahwa ada persoalan mendasar dan mendesak yang harus kita benahi dalam praktek bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Mendasar, karena menyangkut harkat dan martabat manusia – yang menjadi korban kekerasan dan pelaku kekerasan itu sendiri. Mendesak, karena yang dipertaruhkan adalah pelurusan sejarah, eksistensi kekinian manusia, selain tentu saja masa depan kemanusiaan kita. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah kemanusiaan yang secara prinsip merupakan masalah universal, bukan melulu menjadi masalah kajian satu bidang ilmu tertentu. Itulah mengapa, kendatipun semua uraiannya menukik pada satu tema yang sama, namun pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini sangat multidimensional dengan karakter komprehensionalitas bahasan yang cukup kental. Sekaligus hal ini menggambarkan bahwa betapa sangat rumitnya kekerasan masa lalu itu baik pada tataran teoritis maupun praktis. Tidak kurang di sini ada pendekatan filosofis yang mencoba menelusup jauh ke dalam wilayah kelam kekerasan itu. Ia mempertanyakan berbagai ide dasar, gagasan, konsep, keyakinan yang menjadi pembungkus wajah keras masa lalu itu, termasuk mempertanyakan pertanyaan tentang kekerasan itu sendiri. Ada pula pendekatan historis yang menawarkan penjelajahan ruang dan waktu dengan menampilkan berbagai pengalaman negeri lain dalam penyelesaian tindak kejahatan hak asasi manusia di masa lalu. Selain itu, ada pula yang membedahnya dengan pisau analitis – sebab bagaimanapun, karakter kekerasan itu sendiri sangat beragam – namun tetap dalam bingkai komprehensif. Itulah beberapa di antara berbagai pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini. Akhirnya, selamat membaca.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Kata Pengantar Oleh Timothy Garton Ash
“Bagaimana kita membuat suatu komisi kebenaran?” tanya seorang gadis berwajah sangat serius, seorang gadis Burma yang duduk di deretan paling depan. Itu terjadi pada musim semi tahun 2000, bertempat di markas Aung San Suu Kyi, markas National League for Democracy. Saat itu banyak agen dan intel tentara memenuhi ruangan tersebut. Atas undangan Aung San Suu Kyi, saya tampil sebagai pembicara dengan topik transisi menuju demokrasi. Apa yang diharapkan oleh para audiens – yang mempertaruhkan kebebasan dan kehidupan mereka dengan menghadiri pertemuan semacam itu – tampaknya yang paling penting, pada hemat saya, adalah cita-cita bahwa suatu hari nanti mereka akan menyaksikan orang-orang yang telah menghancurkan negeri emas mereka duduk dan berkeringat di hadapan sebuah komisi kebenaran. “Bagaimana kita membuat sebuah komisi kebenaran?” demikian ia bertanya; saat itu sungguh ingin sekali rasanya saya mengulurkan tanganku kepadanya, menyerahkan buku Priscilla Hayner yang tengah anda buka ini. Buku ini menghadirkan suatu upaya yang paling komprehensif, serius, sarat nuansa, dan otoritatif untuk menjawab pertanyaan sang gadis tadi, sebuah pertanyaan yang diajukan bukan oleh seorang gadis Burma semata melainkan oleh semua orang di seluruh dunia ini, yang sedang mengalami atau telah melalui masa-masa transisi yang sangat sulit dari rezim diktator. Semakin tinggi kesadaran di benak begitu banyak orang bahwa negeri-negeri yang mengalami kekelaman seperti itu dapat dan seharusnya belajar dari pengalaman negeri-negeri lain yang telah mengalami kekerasan masa lalu. Yang ditimba bukan sekadar bagaimana membangun suatu pasar ekonomi, membuat sebuah konstitusi atau membarui tatanan hukum, tetapi juga tentang bagaimana menyikapi dan menangani masa lalu yang sulit itu. Ada begitu banyak ungkapan atau konsep untuk urusan pelanggaran masa lalu ini, yang masingmasingnya menekankan prioritas berbeda-beda. Hampir semua kita menyadari bahwa masalah “apa yang akan dilakukan terhadap masa lalu itu” merupakan suatu bagian utama dan intrinsik dalam transisi. Sebenarnya, hal ini bisa membuat perbedaan antara kesuksesan dan kegagalan. Priscilla Hayner meletakkan studinya tentang komisi kebenaran secara kokoh dalam konteks yang lebih luas itu. Ia memulai dengan begitu elegan yaitu dengan sebuah pertanyaan yang paling fundamental: “mengingat atau melupakan”? Ia mengamati bahwa jalan terbaik untuk dilalui ke depannya hampir selalu merupakan perpaduan antara mengingat dan melupakan – bahkan, kendati terdengar begitu paradoks, mengingat untuk melupakan. Kadang cara terbaik menutup luka lama adalah dengan membukanya kembali, karena, sebagaimana diamati oleh salah satu rekan diskusinya, luka lama itu ditutup asal-asalan saja, dan kita masih saja harus membersihkan infeksi lama yang ditinggalkannya. Sepanjang buku ini ia secara konstan mempertanyakan bagaimana mode atau cara “mematahkan masa lalu” berkaitan dengan yang lain, semisal memeriksa kehidupan masa lampau (vetting) atau “lustrasi” (permurnian, lustration) dan, secara khusus prosedur yudisial untuk menghukum para pelaku. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bagaimana pencarian kebenaran mempengaruhi keadilan? Pertanyaan ini mengangkat isu yang fundamental dan bahkan sangat filosofis. Namun penekanan Hayner di sini lebih pada deskripsinya yang rinci dan analisisnya yang tajam atas dua puluh satu komisi kebenaran di berbagai belahan dunia ini. Selain membaca pustaka penunjang, ia sendiri telah melakukan perjalanan kunjungan ke negeri-negeri yang dihantui masa lampaunya itu, dan bahkan beberapa bagian dari bahan analisisnya justru didapatkannya dari wawancara-wawancara yang dilakukannya di pelbagai negeri itu. Yang mengesankan saya adalah rinciannya tentang manusia. Hayner adalah seorang yang dalam bahasa Prancis disebut spectateur engagé. Kita temukan pada satu bagian pemikirannya bahwa ia menganjurkan kepada pemerintah Amerika Serikat supaya sebaiknya menambahkan pada daftar larangan visa (visa-ban) untuk orang-orang yang jelas-jelas ditemukan bersalah atas kekekarasan masa lalu oleh sebuah komisi kebenaran. (Tetapi, sayangnya, hal itu belum terjadi.) Mendapatkan pengetahuan yang dapat digunakan merupakan ciri khas dan keunggulan buku ini; untuk itulah buku ini ditulis. Tujuannya adalah, sebagaimana ditulisnya sendiri, “merekam dan mempelajari berbagai model penyelesaian kekerasan dan kejahatan masa lalu dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih baik dan meningkatkan kualitas praktik yang sama di masa depan …”. Ia dengan tegas mengungkapkan bahwa kita bisa belajar dari komisi kebenaran yang kecil, yang mungkin tak menghasilkan apa-apa (inconclusive) atau mati muda (aborted), termasuk juga dari komisi-komisi kebenaran yang berhasil mengeluarkan laporan yang sangat bagus. Hal itu juga berarti kita mengakui keterbatasan pencapaian yang bisa diperoleh oleh komisi kebenaran, dalam masa yang sangat singkat di mana komisi kebenaran biasanya dibentuk. Ia misalnya sangat skeptis atas klaim-klaim penyapuan dengan efek berskala besar dari tindakan “penyembuhan” terapeutik atau “rekonsiliasi” nasional. Buku ini mengandung pesan moral yang kental. Penting dan perlu dibaca, bahkan perlu dibaca di pelbagai belahan dunia. Dan, segera setelah buku ini diterbitkan, saya mengirimkan satu kopi ke Burma.
Oxford, Juni 2000.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Daftar Isi
Prakata Seri Ucapan Terima Kasih Pengantar oleh Timothy Garton Ash Daftar Isi Bab 01:
Pendahuluan
Bab 02:
Menyikapi Kejahatan di Masa Lalu
Bab 03:
Mengapa Perlu Komisi Kebenaran?
Bab 04:
Lima Contoh Komisi Kebenaran
Bab 05:
Enam Belas Komisi Kebenaran yang Kurang Dikenal
Bab 06:
Apa Itu Kebenaran?
Bab 07:
Kebenaran versus Keadilan: Apakah Keduanya dapat Dipertukarkan?
Bab 08:
Menyebut Nama Tertuduh
Bab 09:
Sembuh dari Masa Lalu
Bab 10:
Memandang ke Masa Depan
Bab 11:
Reparasi atas Kejahatan Negara
Bab 12:
Membiarkan Masa Lalu Sebagaimana Adanya
Bab 13:
Komisi Kebenaran dan Mahkamah Pidana Internasional: Bertentangan atau Komplementer?
Bab 14:
Melihat Komisi dari Dalam: Masalah dan Penyelesaian
Bab 15:
Tantangan dan Bantuan dari Pihak Luar
Epilog: Melihat ke Depan Penutup: Memperluas Jangkauan Pencarian Kebenaran Resmi Catatan Bibliografi Lampiran
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 1 Pendahuluan
“Apakah anda mau mengingat, atau melupakan?” Demikian saya pernah bertanya kepada seorang pegawai pemerintahan Rwanda pada akhir 1995, hanya satu tahun setelah genosida di negeri itu menyebabkan kematian lebih dari 500.000 orang. Ia telah kehilangan tujuh belas anggota keluarga dekatnya selama tiga setengah bulan aksi pembunuhan. Kebetulan saja ia sedang tidak negeri itu ketika tragedi itu terjadi, dan karena itu hanya ia satu-satunya yang tertinggal dari seluruh keluarganya. Ketika ia menggambarkan kejadian itu, ia mengungkapkan dengan perasaan pasrah yang mendalam, “Seiring perjalanan waktu setiap hari, kita mampu melupakan lebih.” Maka saya pun bertanya, “Apakah anda mau mengingat, atau melupakan?” Ia ragu. “Kami harus mengingat apa yang telah terjadi supaya mencegahnya dari keterulangannya,” demikian ia menjawab dengan pelan. “Tetapi kami harus melupakan perasaan, emosi, yang menyertainya. Hanya dengan melupakanlah kita mampu berjalan terus.” Saya duduk dengan sang pegawai tersebut ketika kami melakukan kunjungan bersama sekelompok pengunjung internasional ke tempat peringatan pembantaian massal, di mana tulang belulang dan pakaian-pakaian mereka yang sudah compangcamping tapi belum hancur bersama daging mereka dihamparkan di lantai sebuah gereja. Tatkala saya mengamati tempat ini dan tempat-tempat lainnya di hari-hari berikutnya, dan mencoba mencerap sepenuhnya horor yang telah dialami sang pegawai ini atau juga oleh yang lainnya, saya pun menyadari bahwa tak ada jawaban lain lagi atas pertanyaan saya di atas tadi. Kita harus mengingat, tetapi kita juga kadang harus begitu menginginkan tindakan melupakan. Saya mendapatkan sensasi yang sama pada beberapa bulan kemudian, ketika berbicara dengan seorang buruh pertanian di pedalaman El Salvador. Sebuah komisi kebenaran yang dibentuk oleh PBB, tiga tahun sebelumnya, telah menyelidiki pelbagai pelanggaran selama perang saudara dua belas tahun di negeri itu. Dan saya mengunjungi desanya, di sebuah daerah yang dikenal luas sebagai tempat yang secara politis telah mengalami kerusakan oleh peperangan. Saya bertanya kepadanya apakah kerja komisi kebenaran yang telah dibentuk PBB itu sampai ke sana, dan apa dampak yang telah ditimbulkannya bagi mereka. Ketika saya menanyakan tentang perang, ia menggambarkan aksi-aksi pembunuhan yang ia lihat dilakukan oleh tangan-tangan para tentara: bagaimana leher ayahnya digorok, bagaimana seorang tetangga yang sedang hamil dibunuh secara brutal. Apakah ia telah berbicara kepada komisi kebenaran? Demikian saya bertanya. Apakah ia telah memberikan kesaksian? Tidak, ia belum melakukannya. “Sangat susah untuk mengingat hal ini, sangat pedih untuk mengingat,” katanya. Dan kita bisa merasakan hal itu ketika ia mengungkapkan kisahnya. “Oh, bagaimana mereka membunuh para gerilyawan,” katanya. “Saya tak suka mengingat semua hal ini. Apa baiknya bagi kami kalau pergi ke komisi kebenaran? Saya akan kehilangan sehari kerja saya, dan tak satu hal pun akan berubah.” Ia berhenti sejenak. “Mengingat itu mendatangkan kepedihan. Namun sangat penting memperjuangkan tegaknya hukum.” Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Mengingat itu tidak mudah, namun melupakan juga tidak mungkin. Ada pelbagai macam taktik bertahan hidup secara emosional dan psikologis bagi mereka yang telah mengalami kekerasan brutal. Sementara beberapa korban, semisal pria Salvador ini, berkeinginan untuk melupakan, korban-korban lain yang saya temui dan saya ajak bicara dengan mantap menegaskan bahwa hanya dengan mengingat sajalah mereka bisa mengalami pemulihan. Hanya dengan mengingat, mengisahkan cerita mereka, dan mempelajari tiap rincian sampai sekecil-kecilnya tentang apa yang telah terjadi dan siapa yang bertanggung-jawab atas semua tragedi masa lampau itu, mereka baru bisa meninggalkan masa lampau di belakang mereka. Di Afrika Selatan, berkali-kali saya mendengar para korban-yang-bertahan-hidup (survivor) mengatakan bahwa mereka bisa memaafkan para pelaku pelanggaran itu hanya jika para pelaku itu mengakui kebenaran secara menyeluruh dan utuh. Hampir tak terpahami bahwa mendengarkan hal-hal rincian yang bahkan paling memilukan dari tindakan penyiksaan dan pembunuhan terhadap seseorang yang paling dikasihi akan mendatangkan kedamaian. Di Afrika Selatan, banyak survivor yang mampu mendengarkan kisah-kisah ini melalui acara pengakuan di hadapan publik (public hearing) dari orang-orang yang mencari amnesti atas kejahatankejahatan yang mereka lakukan di masa lalu. Satu syarat bagi penerimaan amnesti adalah adanya penyingkapan atau pengungkapan yang sepenuh-penuhnya secara rinci atas kejahatan yang telah mereka lakukan. Termasuk juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara langsung oleh para korban atau anggota keluarga yang bertahan hidup. Di wilayah pinggiran kota Port Elizabeth, bagian pantai selatan Afrika Selatan dan di sebuah tempat yang merupakan pusat kegiatan anti-apartheid yang militan pada 1980-an, saya berbicara dengan Elizabeth Hashe, seorang wanita kulit hitam yang sudah berusia tua, yang suaminya adalah seorang aktivis dan yang hilang tiga belas tahun sebelumnya bersama dua orang rekannya. Bertentangan dengan yang kebanyakan terjadi di Amerika Latin dan di mana pun juga, “penghilangan” aktivis politik (penculikan dan yang berakhir dengan pembunuhan, dan pembuangan seseorang tanpa jejak) merupakan sesuatu yang tak umum di Afrika Selatan, dan karenanya fakta bahwa ketiga orang tersebut hilang telah menjadi perhatian besar masyarakat di sana. Ada penyelidikan resmi ketika mereka hilang, dan polisi dengan yakin sekali mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu di mana orang-orang itu berada. Hanya dengan kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan-lah nasib mereka akhirnya terungkap. Saya berbicara dengan Nyonya Hashe pada saat istirahat minum teh di tengah-tengah acara melelahkan selama dua minggu pengakuan-di-hadapan-publik, setelah mendengarkan selama empat hari pengakuan seorang polisi yang sangat detail tentang bagaimana mereka menculik dan membunuh suaminya dan kedua orang rekannya itu, memanggang tubuh mereka selama enam jam hingga mereka menjadi abu, dan membuang sisanya ke Sungai Ikan (Fish River). Apa yang Nyonya Hashe pikirkan atas apa yang didengarnya itu? Demikian saya bertanya. Apa artinya hal itu baginya? “Sekurang-kurangnya sekarang saya mengetahui sepenggal dari kisah tersebut. Lebih baik mengetahui, mengetahui bagaimana mereka dibunuh,” kata Nyonya Hashe. Monica Godolozi, satu lagi dari tiga janda yang ditinggal mati oleh suami mereka, tidak ikhlas memberikan maaf. Seperti kebanyakan para audiens di ruang dengarkesaksian yang penuh sesak dan sangat brisik itu, ia begitu yakin bahwa para polisi itu tidaklah menceritakan kebenaran secara utuh. Mereka sebenarnya masih menutup-nutupi Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
fakta soal penyiksaan yang terjadi atau mereka lakukan sebelum ketiga korban itu dibunuh. Ketika para polisi itu menyangkal telah melakukan penyiksaan dan kekerasan, para audiens pun menyoraki mereka dengan teriakan panjang dan keras; banyak di antara ratusan orang yang hadir di ruangan itu kemungkinan besar telah menjadi atau pernah menjadi korban polisi tersebut. Nyonya Godolozi mengatkan kepada saya, “Saya tak akan memaafkan mereka. Tak ada satu hal pun yang bisa mereka lakukan lagi agar saya bisa memaafkan mereka. Kecuali, jika menceritakan kebenaran, lalu bolehlah. Siapa pun yang menceritakan kebenaran, akan saya maafkan dia. Tetapi tidak untuk orang yang menceritakan kebohongan.” Nyonya Hashe tidak sepakat. “Bukankah kita menginginkan kedamaian bagi Afrika Selatan? Bagaimana kita menemukan kedamaian jika kita tidak memaafkan? Suami saya telah memperjuangkan perdamaian untuk seluruh Afrika Selatan. Bagaimana kau bisa membenarkan sebuah kesalahan dengan sebuah kesalahan lain lagi?” Satu tahun sebelumnya, Nyonya Hashe kelihatan begitu pedih dan perih ketika ia memberikan kesaksian di hadapan komisi pada salah satu dari acara dengar-kesaksian-publiknya yang pertama. Berkat belajar dari apa yang telah terjadi pada suaminya – atau paling kurang dari apa yang dikisahkan oleh orang yang membunuhnya, di mana sisa tubuhnya dibuang, dan banyak rincian lainnya lagi tentang bagaimana ia mati – membuatnya berubah; tetapi bagi Nyonya Godolozi, hal itu bukan merupakan sesuatu yang mudah diterima. Bertentangan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, banyak rakyat Afrika Selatan masih menuntut keadilan dan penghukuman yang tegas bagi para pelaku kejahatan di masa lalu. Di mana keadilan tidak mungkin, kebutuhan minimal untuk memaafkan, paling ditekankan, akan diberikan untuk mendapatkan kebenaran yang sepenuhnya, sejujurnya, dan tak tertutupi oleh apa pun juga. Para janda Afrika Selatan itu, sang petani Salvador, dan pegawai pemerintahan Rwanda, semuanya mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh korbankorban individual dan oleh seluruh bangsa setelah suatu periode represi politik yang brutal. Saya telah pergi ke Afrika Selatan, El Salvador, dan Rwanda, sebagaimana juga saya telah melakukan berbagai perjalanan ke sejumlah negeri, untuk memahami bagaimana sebuah negeri dan rakyatnya memulihkan diri dari suatu masa yang sarat dengan kekejaman yang meluas. Secara khusus, saya tertarik dengan dampak dari pencarian kebenaran resmi, di mana semua kekejaman masa lalu didokumentasikan dan dipublikasikan, dan diselidiki oleh sebuah komisi khusus, seperti yang pernah dilakukan di El Salvador dan Afrika Selatan. Saya mendengar suara-suara yang serupa di manamana, kisah-kisah kebrutalan yang memedihkan, perih, perjuangan, dan bertahan hidup. Rincian penindasan memang berbeda-beda, sebagaimana juga tergantung pada respon individual dan nasional negara yang berbeda-beda. Namun saya segera melihat apa yang bisa dibayangkan oleh seseorang: bahwa penindasan meluas semacam itu telah meninggalkan suatu warisan kekuasaan. Kerusakan timbul melampaui kepedihan dan kehilangan yang segera terlihat. Di mana ada penyiksaan, di sana ada korban berjalan, korban terluka. Di mana ada pembunuhan, atau pembantaian massal, di sana selalu ada saksi atas pembantaian brutal dan semena-mena itu, dan ada para anggota keluarga menjadi begitu takut dan tenggelam dalam kesedihan mendalam. Di mana ada orang dihilangkan, diculik oleh pemerintah tanpa meninggalkan jejak, di sana selalu ada orang tercinta yang selalu menantikan berita. Di mana ada tahun-tahun kepedihan tak Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
terbicarakan dan keheningan yang dipaksakan, di sana selalu ada ketakutan yang menyebar luas, ketakutan yang melemahkan; dan ketika penindasan berakhir, selalu ada kebutuhan untuk perlahan belajar mempercayai pemerintah, polisi, tentara, dan untuk memperoleh kepercayaan diri dalam kebebasan bebicara dan secara terbuka mengungkapkan kepedihan. Dunia ini telah digerakkan oleh perubahan politik dalam tahun-tahun belakangan ini, perubahan yang ditandai oleh pergantian rezim kejam dan represif dengan pemerintahan demokratik atau semi-demokratik. Dari perang saudara dan represi di Amerika Tengah hingga ke rezim diktator di Amerika Selatan; dari berakhirnya rezim apartheid di Afrika Selatan hingga ke konflik kekerasan tanpa akhir di Afrika Tengah; dari penyingkiran pemerintahan komunisme di Eropa Timur hingga ke pelbagai transisi politik dan perubahan politik yang cepat di Asia, pemerintahan-pemerintahan baru telah menyapu bersih rezim-rezim lama dan merayakan kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru. Kebanyakan perubahan ini terjadi setelah runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 dan akhir yang cepat dari Perang Dingin, yang telah menyingkirkan dorongan untuk menggalang dukungan internasional terhadap rezim-rezim yang korup dan menyalahgunakan kekuasaannya. Ketika suatu masa pemerintahan otoritarian atau perang saudara berakhir, sebuah negara dan rakyatnya berdiri di persimpangan jalan. Apa yang mesti dilakukan terhadap masa lalu yang dipenuhi kisah tentang para korban, pelaku, mayat-mayat yang dikuburkan entah di mana, ketakutan yang menghantui, dan tiadanya pengakuan resmi dari negara? Apakah masa lalu ini harus dibongkar kembali, dilestarikan, diakui atau dimintakan maaf? Bagaimana sebuah bangsa yang bermusuhan dipersatukan kembali, pihak-pihak yang bermusuhan dirukunkan kembali, dalam konteks sejarah yang penuh kekerasan dan bahkan terasa begitu getir dan perih, yang menambah perih dan pedihnya luka? Apa yang harus dilakukan dengan ratusan atau ribuan pelaku yang tetap saja berjalan melenggang dengan bebasnya? Dan bagaimana sebuah pemerintahan yang baru mencegah kekejaman serupa dari pengulangannya di masa depan? Di satu pihak para survivor secara individual berjuang membangun kembali kehidupan yang rapuh, mengurangi perihnya kenangan yang membakar yaitu kenangan akan penyiksaan dan penderitaan di masa lalu atau kenangan akan pembantaian yang mereka saksikan dan alami. Sementara di pihak lain, masyarakat sebagai satu keseluruhan harus menemukan sebuah jalan untuk bergerak terus, mencipta kembali ruang yang dapat ditinggali, ruang kedamaian nasional, membangun rekonsiliasi antara para pihak yang bermusuhan, dan mengamankan peristiwa-peristiwa di masa lampau. Beberapa orang berpendapat bahwa cara terbaik untuk berjalan ke depan adalah dengan menguburkan masa lalu. Karena, menggali kembali hal-hal yang mengerikan di masa lalu dan menunjukkan kesalahan hanya akan membawa kepedihan dan akan membelah-belah suatu bangsa atau negeri secara lebih parah. Namun, bisakah suatu masyakarat membangun masa depan demokrasi di atas fondasi sejarah yang gelap, disangkal atau dilupakan sama sekali? Pada tahun-tahun belakangan, tampak jelas setiap negeri yang bangkit dari sejarah kekelaman masa lalunya mau tidak mau menghadapi pertanyaan ini. Di beberapa negeri, hal ini telah menjadi bahan perdebatan selama negosiasi damai, di mana “masa lalu” sering kali menjadi isu mata-agenda pembicaraan yang pertama dan paling mengundang perdebatan. Di mana pun, pemerintahan yang baru telah menghadapi isu tersebut, dengan pertanggungjawaban untuk kejahatan masa lalu Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
sering kali merupakan satu dari isu yang paling penting bagi pemerintahan yang baru, khususnya ketika ribuan korban atau survivor melakukan aksi penuntutan. Negeri-negeri yang dibahas dalam buku ini telah keluar dari rezim represif atau kediktatoran yang menyebar di berbagai belahan dunia, dan keluar dari masa-masa itu melalui berbagai bentuk transisi yang berbeda-beda. Perubahan bisa terjadi pada akhir perang saudara, melalui kejatuhan rezim militer, atau melalui pemberontakan rakyat menentang rezim represif yang dikombinasikan dengan angin perubahan dalam dukungan internasional. Namun dalam masing-masing dari pelbagai bentuk transisi politik yang berbeda-beda ini, pertanyaan dan kesulitan-kesulitan yang persis sama tetap saja mengemuka. Buku ini menggali pelbagai kesulitan yang bersembunyi di balik pertanyaanpertanyaan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk memahami dengan lebih baik tentang bagaimana negara dan individu menyikapi kekejaman berat di masa lalu, dan secara khusus untuk memahami peran yang dimainkan oleh komisi-komisi kebenaran. Nama komisi kebenaran itu sendiri merupakan nama yang diberikan untuk badan resmi yang didirikan untuk melakukan penyelidikan dan membuat laporan tentang pola-pola pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan telah berhasil membawa masalah ini menjadi pusat perhatian internasional, khususnya melalui acara dengar-pendapat umum atau kesaksian publik baik dari pihak korban maupun pelaku yang sama-sama menggambarkan rincian kekejaman dari kejahatan di masa lalu. Kendatipun hanya sedikit komisi kebenaran serupa yang muncul sebelum komisi kebenaran Afrika Selatan, namun kebanyakan komisi kebenaran tersebut tidak melakukan acara kesaksian publik, dan tak satu pun yang menyertakan tawaran atau tuntutan akan adanya amnesti secara individual (mungkin karena sarat problem etis). Hal seperti itu tampak sukses di Afrika Selatan. Tawaran dan peluang seperti itu memungkinkan para pelaku kejahatan mau mengakui kekejaman mereka di masa lalu di hadapan kamera televisi yang tayangannya disaksikan oleh seantero publik Afrika Selatan. Meskipun sejumlah negara “demokrasi baru” juga sedang mempertimbangkan untuk mendirikan komisi kebenaran seperti itu – seperti di Indonesia, Kolombia, dan Bosnia – dan beberapa komisi kebenaran baru saja dibentuk di Nigeria dan Sierra Leone, namun tetap saja beberapa aspek tertentu dari badan ini tidak mudah dipahami. Ada miskonsepsi umum, sebagai misal, tentang bagaimana badan ini bekerja secara khas – di bawah kekuasaan apa, dan sering kali di bawah kendali utama siapa – dan juga tentang dampak yang mungkin diberikan oleh keberadaan lembaga tersebut. Ada juga masalah menyangkut harapan yang dibebankan kepada lembaga tersebut dalam kaitan dengan nasib para korban, kebijakan yang dibuat, dan masyarakat secara umum. Buku ini secara mendasar ditulis dengan dorongan utama untuk memperjelas secara persis tentang apa gerangan hakikat badan ini; apa yang dilakukannya dan apa potensi yang bisa disumbangkannya; dan apa batasan-batasannya. Saya sering kali dikejutkan dengan jalan bagaimana pemahaman kebenaran, dan pemahaman komisi kebenaran, dipahami dan dibincangkan sebelumnya. Juga sering dikejutkan oleh asumsi yang sering dipegang tentang apa itu proses pencarian kebenaran dan apa yang akan dihasilkannya. Sayangnya, banyak asumsi yang menyenangkan telah dikemukakan secara berulang-ulang dengan penegasan tanpa teruji oleh para penulis dan pemikir yang malah cerdas dan dikenal cermat, dan para pemimpin politik. (Saya sendiri tidak begitu bebas juga dari kecenderungan seperti ini, dalam beberapa tulisan saya Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
tentang masalah ini sebelumnya.) Beberapa pernyataan yang paling sering diulang-ulang, dan yang mungkin paling kita harapkan sebagai pernyataan yang benar, adalah tentang pengamatan dan pertimbangan yang cermat dan berhati-hati. Sebenarnya, mereka semua tidaklah begitu teguh kokoh dengan pendirian itu bahkan di bawah suatu tes pembuktian yang anekdotal. Sebagai contoh, apakah kebenaran bisa mengarah pada rekonsiliasi? Atau, dengan kata lain, apakah perlu mengetahui kebenaran agar rekonsiliasi tercipta? Barangkali, pertanyaan inilah yang paling sering dikemukakan dalam wilayah pencarian kebenaran. Dan, adalah mungkin mengarah pada bukti dan mengutip para korban yang selamat untuk memperlihatkan bahwa bukti itu benar; kadang-kadang memang demikian, bagi sementara orang atau dalam situasi tertentu. Namun, memang mudah untuk membayangkan bahwa hal yang sebaliknya barangkali juga benar. Atau, yang jauh lebih penting lagi adalah bahwa rekonsiliasi, sebagai sebuah konsep yang memang membingungkan, mungkin lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang sangat jauh dari soal mengetahui atau mengakui kebenaran tentang kesalahan-kesalahan masa lalu. Sebagai contoh (sebagaimana akan saya tunjukkan lebih rinci dalam uraian selanjutnya), rekonsiliasi yang benar mungkin tergantung pada suatu tujuan yang jelas pada adanya ancaman kekerasan yang lebih lanjut; program pemulihan atau ganti-rugi bagi mereka yang telah menjadi korban; perhatian pada ketimpangan struktural dan kebutuhan material yang mendasar dari komunitas yang menjadi korban; adanya keterkaitan alamiah dalam masyarakat yang menyatukan semua pihak yang sebelumnya saling bermusuhan; atau, paling sederhana (kendati sering kali kurang disadari), sekadar berlalunya waktu. Selain itu, sering kali diyakini bahwa menggali kebenaran dan memberikan para korban kesempatan untuk bicara bisa mendatangkan penyembuhan atau pengalaman “katarsis”. Namun demikian, hal ini tetap mengandung suatu asumsi yang dapat dipertanyakan, sekurang-kurangnya dalam beberapa kasus. Kendatipun bukti ilmiah yang kecil tetap tersedia bagi pertanyaan ini, namun jelaslah bahwa pengertian tentang proses penyembuhan ini sekurang-kurangnya menjadi semakin perlu diperhatikan. Sementara itu, penyelidikan ini hampir-hampir tidak bisa menjadi suatu proses penyembuhan bagi mereka yang secara aktual bertanggung-jawab terhadap pencarian dan pengungkapan kebenaran. Para staf dan komisioner dari lembaga-lembaga ini – dan kadang-kadang para jurnalis yang mengikuti atau meliput kerja sebuah komisi kebenaran – sering kali memperlihatkan begitu banyak tanda mengalami tekanan yang berat dan trauma setelah menjalani pekerjaannya itu selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, setelah mendengarkan ratusan demi ratusan kisah-kisah yang mengerikan dari para korban atau saksi. Yang lebih mengherankan lagi, staf administrasi yang bertanggung-jawab bagi pengelompokan dan pemasokan data ke komputer – yang membuat tabulasi dari berlusinlusin jenis penyiksaan, penyelewengan, pembunuhan, mutilasi, atau kekejaman mengerikan lainnya – kadang-kadang adalah orang-orang dalam komisi itu sendiri yang justru paling banyak dipengaruhi oleh informasi-informasi itu. Namun sepanjang kadar tertentu skeptisisme – atau mungkin juga realisme – dalam hal yang ditangani lembaga-lembaga ini, harus juga ada suatu apresiasi yang lebih baik bagi sumbangan-sumbangan yang kadang-kadang sangat berarti tetapi tidak banyak diketahui, yaitu sumbangan-sumbangan yang kadang-kadang mereka berikan pada kesempatan tertentu. Di Cili, hampir sepenuhnya berdasarkan temuan dari komisi kebenaran negara tersebut, negara telah membayar ribuan keluarga lebih dari $5.000 per Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
tahun sebagai ganti rugi bagi pelanggaran yang dilakukan militer selama pemerintahan Augusto Pinochet, sebagai tambahan terhadap upaya pemulihan lainnya. Sama halnya juga, sebagian berdasarkan catatan komisi kebenaran di Argentina, negara telah menyediakan tiga juta dollar, sebagai bayaran sejumlah hampir $220.000 per keluarga, bagi para korban selama “perang kotor” di negara tersebut. Reformasi yudisial dilakukan di El Salvador yang mengikuti penyelidikan komisi kebenaran PBB yang didirikan di sana. Di Afrika Selatan, hanya sedikit orang saja sekarang membela atau mencoba membenarkan sistem apartheid, atau mempertanyakan fakta bahwa praktik-praktik busuk, seperti penyiksaan yang meluas di pelbagai markas-markas polisi, digunakan untuk melanggengkan kebijakan apartheid. Di beberapa negara, seperti Argentina, laporan komisi telah mendapatkan begitu banyak perhatian, dan menjadi buku yang sangat laku dan dicari-cari. Namun, barangkali yang tetap saja paling tidak mendapat perhatian adalah soal kesulitan yang paling berat dalam melaksanakan upaya-upaya tersebut, kesulitan pendokumentasian dan penghadiran “kebenaran” – terlepas dari bagaimana hal itu didefinisikan di pelbagai negara – dalam periode penyelidikan yang singkat dan intensif, ketika isu-isu yang sedang dieksplorasi sering kali tetap menjadi yang paling sensitif dan ketika tugas-tugas komisi adalah untuk mencapai dan sekadar menghadirkan kisah-kisah dari ribuan demi ribuan korban. Dilihat secara lebih cermat, tampak menjadi lebih jelas bahwa komisi-komisi kebenaran sangat berbeda watak dan hakikatnya dari pengadilan, dan fungsinya pun berbeda, demikian juga sasarannya. Jelas juga bahwa banyak pertanyaan metodologis yang merupakan soal penting bagi komisi-komisi kebenaran tidak bisa dijawab dengan beralih begitu saja ke norma-norma hukum yang sudah mapan atau prinsip-prinsip umum yang sudah baku, tidak juga dapat diselesaikan dengan menggunakan pedoman-pedoman universal. Alih-alih, pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan perhatian yang cermat terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik dan konteks dari masing-masing negara. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ini – bagaimana sebuah komisi melakukan tugasnya dengan paling baik dalam hal pengumpulan, penyusunan atau pengorganisasian, pengevaluasian terhadap pelbagai tuntutan dari para korban dan pihak lain; apakah perlu dilakukan dengar-kesaksian publik atau perlu dilakukan semua penyelidikan secara handal; apakah komisi perlu menyebut nama pelaku tertentu dalam laporannya; dan banyak lagi lainnya – akan dijawab secara berbeda di tiap-tiap negara. Tugas ini menjadi lebih sulit oleh adanya fakta bahwa banyak dari pertanyaan ini bersifat unik terhadap jenis penyelidikan kebenaran yang luas ini dan tidak selalu berakhir dengan pengadilan, sebagai contoh, di mana prosedur-prosedur yang standar telah lama sekali menjadi mapan. Pencarian kebenaran resmi, demikian ia kemudian sering dinamakan, merupakan suatu urusan yang berat dan rumit. Berdasarkan hasil pelbagai wawancara yang saya lakukan di berbagai belahan dunia, di mana saya mempunyai kesempatan untuk berbicara secara detail dengan para komisioner dan staf dari berbagai komisi kebenaran yang sudah ada, juga dengan para korban, pembela, dan para pengambil kebijakan yang telah mengamati atau berpartisipasi dalam proses ini, sejumlah hal umum kemudian muncul ke permukaan. Pertama, harapan terhadap komisi-komisi kebenaran hampir selalu lebih besar daripada apa yang secara paling masuk akal bisa diharapkan dari badan-badan tersebut. Harapan-harapan ini mungkin berupa rekonsiliasi yang cepat dan segera, pemulihan yang signifikan bagi para korban, penyelesaian yang menyeluruh bagi begitu Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
banyak kasus individual, atau berupa suatu proses yang menghasilkan pertanggungjawaban para pelaku dan reformasi kelembagaan yang signifikan. Karena adanya pelbagai alasan yang akan saya eksplorasi secara menyeluruh dalam bab-bab selanjutnya, hanya sedikit dari harapan-harapan tersebut dapat dipenuhi oleh komisi kebenaran. Pada taraf tertentu, kekecewaan bukanlah suatu hal yang tidak umum terjadi ketika komisi kebenaran menyelesaikan tugasnya (atau ketika pemerintah menerima tetapi tidak berupaya melaksanakan rekomendasi dari laporan komisi kebenaran). Sementara ada ruang tertentu bagi pengembangan, beberapa dari harapan tersebut sangat tidak realistik dalam situasi di mana ada ribuan demi ribuan korban, di mana institusiinstitusi demokratik tetap lemah, dan di mana keinginan para pelaku untuk mengungkapkan penyesalan atau berpartisipasi dalam upaya rekonsilasi sangat lemah. Namun, ironisnya, harapan-harapan besar ini dan kekecewaan yang diakibatkannya itu sering kali mencegah orang dari sikap menghargai kontribusi signifikan yang telah diberikan dan dilakukan oleh badan-badan tersebut. Kedua, banyak dari problem paling sulit yang dihadapi oleh komisi-komisi kebenaran tampaknya merupakan permasalahan yang umum bagi kerja-kerja penyelidikan. Hal ini tampak dalam kerja komisi-komisi baru yang selalu terbentur pada pertanyaan-pertanyaan yang sama dan asumsi-asumsi yang salah. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman dan praktik-praktik di masa lalu yang bisa jadi akan sangat membantu dalam menemukan model yang diinginkan di masa depan. Namun sayangnya, banyak komisi baru justru memulai kerjanya tanpa mempelajari pengalaman-pengalaman komisi-komisi sebelumnya itu. Fakta ketiga, yang menjadi semakin tampak jelas hanya pada waktu belakangan ini, adalah bahwa badan-badan tersebut bisa melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang berjangka waktu lama, suatu hal yang sama sekali tidak diperkirakan pada awalnya. Tampaknya hal ini menjadi semakin benar secara khusus dalam kaitannya dengan persoalan keadilan dan pertanggungjawaban. Secara khusus pada waktu belakangan ini, pelbagai arsip dan laporan dari beberapa komisi kebenaran di masa lalu sangat diandalkan dalam upaya untuk menuntut para tertuduh dalam arena internasional. Tibatiba saja, kegunaan dari kepemilikan atas catatan yang terdokumentasi dengan baik, yaitu catatan dan dokumentasi dari pelbagai kejahatan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya telah menjadi tampak jelas, bahkan ketika soal pengadilan domestik tidak menjadi pertimbangan yang utama. Semua isu ini akan dibahas secara detail dalam keseluruhan buku ini (judul masing-masing bab kiranya memperlihatkan dengan jelas soal subjek bahasannya). Buku ini disusun secara tematik, diarahkan pada seputar isu yang paling sering dihadapi dan digeluti oleh pelbagai komisi yang telah ada, atau seputar pertanyaan yang paling banyak diajukan oleh para pengamat kinerja dan kerja komisi ini dari luar lapangan. Dalam upaya memunculkan wajah proses ini, saya menggambarkan lima komisi yang lebih substansial dari pelbagai komisi yang diuraikan dalam buku ini secara lebih rinci – yaitu komisi yang ada di Argentina, Cili, El Salvador, Afrika Selatan, dan Guatemala – dan mengacu pada komisi-komisi tersebut lebih banyak ketimbang yang lainnya dalam keseluruhan uraian dalam buku ini. Keenam-belas komisi lainnya akan digambarkan secara lebih ringkas tapi jelas. (Sejumlah bagan pendukung, termasuk suatu daftar kronologis dari dua puluh satu komisi paling mutakhir, dapat dilihat pada lampiran 1.) Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Buku ini dimaksukan untuk membangun jembatan antara teori dan praktik; untuk benar-benar menghadirkan pengalaman para korban, harapan para pembela hak asasi manusia, dan dilema yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan ketika mereka berkutat atau terlibat dalam proses-proses ini. Utamanya, keputusan untuk menggali rincian masa lalu yang sangat sulit harus diserahkan kepada suatu negara dan rakyatnya sendiri. Dan, beberapa negara bahkan memiliki alasan tertentu untuk membiarkan masa lalunya sebagaimana adanya. Namun, adalah suatu asumsi yang aman, bahkan kendati terdapat variasi yang begitu besar dalam situasi transisi politik, bahwa kita semua akan segera melihat pelbagai contoh komisi kebenaran yang bisa diandalkan dalam masa sekarang ini.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 2 Menyikapi Kejahatan di Masa Lalu
Penerbitan Transitions from Authoritarian Rule pada tahun 1986, sebuah karya yang terdiri dari empat jilid yang terfokus pada Amerika Latin dan Eropa Timur, membantu mendefinisikan suatu medan yang baru, yaitu mempelajari bagaimana (dan dalam tekanan apa) terjadinya transisi demokratik setelah satu masa pemerintahan yang represif.i Sementara pertanyaan mengenai “menyelesaikan masalah di masa lalu” bukan menjadi fokus utama studi ini, para pengarang buku tersebut menemukan pertentangan yang sukar antara keinginan untuk menguburkan masa lalu, untuk mencegah kemarahan para penjahat yang berkekuasaan, dan tuntutan etis dan politis untuk mempertanggung-jawabkan kejahatan rezim lalu. Para pengarang tersebut menunjukkan dilema ini sebagai “masalah amat sukar” yang tidak ada penyelesaiannya secara memuaskan, dan memberikan catatan kaki bahwa perbedaan mendasar antara masalah ini dan masalah-masalah transisional lainnya adalah bahwa masalah ini “tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus dicoba diselesaikan oleh para pemimpin”.ii Para penulis tersebut kemudian menyatakan bahwa “solusi paling buruk dari sejumlah solusi buruk adalah dengan mengabaikan isu ini”, dan strategi yang paling kurang buruknya, berdasarkan pertimbangan etis dan politis, adalah dengan mengadili para pelaku kejahatan. Dengan mengabaikan masalah hukum internasional, yang tidak disentuh para penulis tersebut namun belakangan ini sering kali menjadi kerangka dalam pembahasan masalah tersebut, yang paling menarik dalam pembahasan ini adalah sempitnya lingkup pilihan yang mungkin dalam menyikapi kejahatan-kejahatan tersebut. Ketika buku tersebut selesai ditulis, Komisi Nasional Orang Hilang di Argentina baru saja mulai bekerja. Hampir tidak ada pengakuan internasional terhadap pencarian kebenaran non-yudisial sebagai alat keadilan transisional. Demikian juga tidak ada pengakuan mengenai lingkup luas strategi-strategi non-yudisial lainnya yang kini sering kali digunakan dalam transisi pasca-otoritarian. Dalam waktu kurang dari lima belas tahun, gambaran ini telah berubah secara dramatis. Dunia kini tampaknya menghadapi masalah keadilan dan pertanggungjawaban secara terus-menerus, baik setelah akhir rezim militer atau pemerintahan represif, atau setelah perang saudara. Telah menjadi jelas bahwa terdapat sejumlah besar hal yang timbul dari kondisi-kondisi tersebut yang tidak bisa diselesaikan secara memuaskan oleh pengadilan – bahkan bila badan peradilan bekerja dengan baik, dan tidak ada batasan dalam menghukum para pelaku kejahatan, yang jarang ditemui. Banyak pendekatan alternatif dan komplementer mengenai pertanggungjawaban secara perlahan-lahan dikembangkan. Kebutuhan konkret para korban dan komunitas yang dirusakkan oleh kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan penuntutan, selain memberikan sedikit kelegaan bila para pelaku tersebut dibuktikan bersalah. Kondisi-kondisi institusional atau kemasyarakatan yang memungkinkan kekerasan besar-besaran untuk terjadi – struktur militer, peradilan atau perundang-undangan yang seharusnya membatasi tindakan pejabat, Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
misalnya – bisa tidak berubah meskipun pemerintahan berganti menjadi lebih demokratis dan kurang menindas. Banyak pertanyaan tetap tidak terjawab, tentang apa yang terjadi pada masa penindasan, dan ketegangan antar-komunitas tetap ada, malah semakin parah, jika diabaikan begitu saja. Dengan banyak masalah dan problem yang beragam ini bidang “keadilan transisional” mulai terbentuk selama beberapa tahun terakhir ini, sebagai bagian dari bidang luas mengenai transisi demokratik. Pertanyaan mendasar, yaitu mengenai bagaimana menyikapi kejahatan negara secara besar-besaran (atau pelanggaran oleh kelompok yang bertentangan dengan negara), menimbulkan sejumlah besar pertanyaan legal, politis, bahkan psikologis. Bidang ini – sejauh mana ia telah berkembang sebagai suatu bidang – telah berkembang sebagai jawaban terhadap kebutuhan dan kondisi yang berbeda-beda dari berbagai negara transisional di dunia, dan semakin meningkatnya ketertarikan publik dan harapan internasional bahwa perlu ada pertanggungjawaban setelah terjadi kekejaman. Kini merupakan anggapan umum bahwa kejahatan-kejahatan tersebut, dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, harus dihadapi dan diselesaikan.iii Sebuah negara bisa memiliki sejumlah sasaran dalam usahanya menyikapi pelanggaran-pelanggaran di masa lalu: untuk menghukum para pelaku, menemukan kebenaran, memberikan ganti rugi, menghormati para korban dan mencegah pelanggaran di masa depan. Bisa juga terdapat tujuan lainnya, seperti mendorong rekonsiliasi nasional dan mengurangi konflik tentang masa lalu, atau menunjukkan perhatian pemerintahan baru terhadap hak asasi manusia untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional. Demikian juga, terdapat berbagai mekanisme atau kebijakan yang digunakan untuk mencapai sasaran tersebut: melakukan pengadilan di pengadilan domestik atau internasional; menurunkan para pelaku kejahatan dari jabatannya di pemerintahan atau militer; membentuk komisi penyidikan; memberikan akses individual ke dokumendokumen keamanan negara; memberikan ganti rugi kepada para korban; membangun monumen; atau melakukan reformasi terhadap militer, polisi atau sistem pengadilan. Keadilan yang ditegakkan melalui pengadilan biasanya merupakan tuntutan pertama dan terpenting, namun juga paling sukar. Banyak usaha menuntut dan menghukum mereka yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran berat di bawah rezim yang lama mengalami kegagalan. Biasanya, seperti di El Salvador, Afrika Selatan dan Cili, transisi politik melibatkan kompromi politis, yang mencakup imunitas dari penuntutan kepada para penindas di masa lalu, bahkan mempertahankan sebagian kekuasaan mereka atau melibatkan mereka dalam pemerintahan yang baru. Bila diktator atau pelaku lainnya membantu merancang penghentian pemerintahan mereka, mereka biasanya membatasi kemungkinan pertanggungjawaban kejahatan mereka. Meskipun pemerintahan baru (yang mungkin dahulu menentang rezim lama, bahkan ditahan atau disiksa karena tindakan mereka) berusaha keras, dan meskipun para korban dan pembela mereka menuntut keadilan, keadilan pasca-transisi merupakan sesuatu yang jarang ditemukan. Bila ada pengadilan, biasanya hanya sedikit yang diadili, dan kadang-kadang bahkan gagal membuktikan kesalahan mereka yang “diketahui” bersalah. Di hampir semua negara yang saya kunjungi di Amerika Latin, Afrika dan lain-lain, saya menemukan perjuangan sukar untuk mendapatkan keadilan, dan frustrasi mengenai sedikitnya pelaku kejahatan yang diadili dan ketidakmampuan pengadilan. Setelah sebuah pemerintahan diktator atau penindas berakhir, badan pengadilan biasanya berantakan, para hakim dikompromikan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
secara politis, korup atau takut; tidak ada keahlian dan sumber daya. Jumlah pelaku kejahatan bisa amat besar. Jadi, bahkan bila sistem pengadilan pun masih cukup mampu melaksanakan pengadilan secara adil dan tidak ada pemberian amnesti umum, hanya sebagian kecil dari keseluruhan saja yang bisa dituntut. Pengadilan di pengadilan internasional juga terbatas. Dibandingkan jumlah besar tertuduh penjahat perang, hanya sedikit saja yang dituntut oleh Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda; keduanya merupakan badan ad hoc bentukan PBB. Benar bahwa menuntut para pelaku senior, meskipun sedikit, bisa memberikan efek yang signifikan. Namun kedua pengadilan tersebut, terutama untuk Yugoslavia, mengalami kesulitan menangkap mereka yang dituduh, terutama yang paling senior. Mahkamah Pidana Internasional (ICC – International Criminal Court) yang permanen, yang disetujui pada pertengahan tahun 1998, mungkin akan menghadapi masalah serupa. Beberapa negara Eropa Timur memiliki strategi “lustrasi”, yaitu menurunkan orang-orang yang berkaitan dengan rezim lama dari jabatannya di pelayanan publik. iv Namun praktik lustrasi ini mendapat kritikan karena tidak memiliki jaminan proses segera dan karena bergantung pada laporan intelijen masa lalu yang mungkin keliru. Banyak kebijakan lustrasi diterapkan tanpa mempertimbangkan perlindungan terhadap mereka yang dituduh secara keliru, atau mereka yang afiliasinya dengan rezim lama sangat terbatas atau singkat. v Kebijakan lustrasi tidak diterapkan di luar Eropa Timur. Dalam hampir semua kondisi hal ini tidak dapat diterapkan, karena tidak lazim bagi sebuah rezim untuk memiliki catatan lengkap mengenai kolaborator; karena catatan yang mungkin ada bisa dimusnahkan pada saat transisi; dan karena negosiasi transisi sering kali mencakup kesepakatan bahwa pegawai sipil rezim lama tidak akan dihukum. Beberapa negara lain telah mencoba mencopot anggota militer yang dicatat melakukan pelanggaran hak asasi. El Salvador membentuk komisi khusus mengenai hal ini, Komisi Ad Hoc, sebagai bagian kesepakatan damai yang mengakhiri perang saudara selama dua belas tahun. Komisi ini menyarankan bahwa lebih dari seratus perwira senior militer dicopot; dengan tekanan kuat dari komunitas internasional (dan dukungan laporan komisi kebenaran yang menyusulnya) mereka semua dipurnawirawankan dari jabatannya. Ketika Haiti menghapus angkatan bersenjatanya dan membentuk pasukan polisi sipil yang baru, ia berusaha menyaring pelamar dan menyingkirkan mereka yang diketahui melakukan pelanggaran di masa lalu dalam angkatan bersenjata lama. Hanya di Eropa Timur terdapat akses individual terhadap catatan keamanan negara (terutama di bekas Jerman Timur namun juga sedang dipertimbangkan negara-negara lainnya). Karena represi di Eropa Timur tergantung pada suatu jaringan informan yang luas, terbukanya catatan tersebut membuka inti sistem represi tersebut. Kolaborator rezim lama ditemukan pada semua tingkatan, dan korban individual dapat menemukan dan secara personal mengkonfrontasi para pelapor mereka, kadang-kadang teman atau anggota keluarga.vi Namun, bila catatan tersebut tidak ada atau karena sifat represi dan transisi di wilayah lain berbeda, sistem yang memberikan akses individual pada catatan keamanan jarang dipertimbangkan dalam negara-negara transisional di luar Eropa Timur.vii Selain pengadilan, pencopotan dan akses individual ke catatan intelijen, negaranegara transisional telah berjuang dengan sejumlah besar kebutuhan yang timbul dari masa pelanggaran besar-besaran. Ini mencakup pemberian ganti rugi kepada korban dan komunitas; pemberian penghargaan terhadap mereka yang dibunuh, dihilangkan atau Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
menjadi korban dengan cara lainnya; dan melakukan perubahan institusional atau kebijakan untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut di masa depan. Sasaran-sasaran tersebut bisa dicapai melalui sejumlah mekanisme, namun kini sering kali diusahakan melalui proses penyidikan dan pengakuan kebenaran sepenuhnya mengenai pelanggaran di masa lalu. Sebagian karena batasan jangkauan peradilan, dan sebagian karena kesadaran bahwa pengadilan yang berhasil pun tidak menyelesaikan konflik dan penderitaan akibat pelanggaran di masa lalu, pemerintahan transisional semakin beralih ke pencarian kebenaran resmi sebagai komponen utama dalam usaha menyikapi pelanggaran di masa lalu. Penyidikan luas terhadap pelanggaran besar-besaran oleh kekuatan negara, dan kadang-kadang juga menyidik pelanggaran yang dilakukan oposisi bersenjata, telah mendapatkan nama generik “komisi kebenaran”, sebuah istilah yang merujuk pada penyidikan yang spesifik, meskipun memberikan variasi yang luas antara berbagai komisi. Saya menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada badan-badan yang memiliki ciri berikut ini: (1) komisi kebenaran berfokus pada masa lalu; (2) mereka menyidik pola-pola pelanggaran selama suatu jangka waktu, bukan peristiwa spesifik; (3) sebuah komisi kebenaran bersifat sementara, biasanya bekerja selama enam bulan hingga dua tahun, dan menyelesaikan tugas mereka dengan memberikan laporan; dan (4) komisi tersebut secara resmi dibentuk, disepakati dan diberi kekuasaan oleh negara (dan kadang-kadang juga oleh oposisi bersenjata sebagai bagian kesepakatan damai). Status resmi ini memberikan komisi kebenaran akses lebih luas pada sumber informasi resmi, keamanan lebih untuk menjalankan investigasi sensitif, dan kemungkinan lebih besar bahwa laporan dan sarannya akan mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah. Sudah ada paling tidak dua puluh satu komisi kebenaran resmi yang dibentuk di seluruh dunia sejak tahun 1974, meskipun memiliki nama yang berbeda-beda. viii Ada “komisi orang hilang” di Argentina, Uganda dan Sri Lanka, “komisi kebenaran dan keadilan” di Haiti dan Ekuador, “komisi klarifikasi sejarah” di Guatemala, dan “komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Cili. Yang lainnya dibentuk di Jerman, El Salvador, Bolivia, Chad dan lain-lain. Sementara terdapat banyak persamaan antara badan-badan tersebut, mandat dan kuasa penyidikan spesifik mereka berbeda karena mencerminkan kebutuhan dan realitas politik masing-masing negara. Tabel 1 menampilkan kedua puluh satu komisi kebenaran tersebut secara kronologis; masingmasing dideskripsikan di bab 4 dan 5. Masing-masing dari kedua puluh satu komisi tersebut memenuhi definisi di atas, meskipun perlu dicatat bahwa beberapa badan tersebut tidak menganggap dirinya sebagai “komisi kebenaran” atau dianggap demikian oleh masyarakat – terutama bila dibandingkan penyidikan lebih lanjut yang jauh lebih serius dan lebih berhasil. Misalnya, sukar untuk menganggap dua penyidikan oleh Kongres Nasional Afrika (ANC), yang terjadi sebelum transisi di Afrika Selatan dan membantu membangun momentum untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang lebih besar di kemudian hari, sebagai contoh komisi kebenaran. Warga Afrika Selatan tidak menganggap kedua penyidikan tersebut sebagai komisi kebenaran. Di negara lain, misalnya Uruguay dan Zimbabwe, komisi-komisi dianggap terlalu sempit, lemah atau dikendalikan politik, atau terlalu singkat untuk memberikan dampak, untuk mendapatkan nama komisi kebenaran, dan di beberapa dari negara tersebut masih ada tuntutan untuk membentuk komisi kebenaran yang serius dan terpercaya. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Jika dipertimbangkan hanya dari persepsi masyarakat, tingkat dampak, atau keberhasilan menemukan kebenaran, beberapa dari kedua puluh satu komisi tersebut harus dihilangkan dari daftar. Namun, untuk keperluan buku ini, yaitu mencatat dan belajar dari berbagai model di masa lalu untuk memahami lebih baik dan memperbaiki usaha tersebut di masa depan, penyidikan-penyidikan yang lebih kecil, lemah atau dibentuk secara berlainan (seperti oleh ANC) tersebut perlu dicantumkan. Kedua penyidikan ANC itu bisa berperan sebagai contoh penting bagi sebuah kelompok oposisi bersenjata di masa depan yang memiliki keinginan serius untuk memenuhi norma hak asasi internasional dan menyidik pelanggaran yang dilakukannya, misalnya. Penyidikan yang terbatas atau problematik di Uruguay, Zimbabwe dan Uganda (1974) memberikan contoh baik mengenai bagaimana tidak membentuk komisi kebenaran. Dalam berbagai cara, kasuskasus problematik ini menjelaskan lebih baik daripada komisi yang berhasil mengenai syarat minimal yang harus dipenuhi untuk berhasil. Terdapat sejumlah sasaran yang diharapkan dapat dicapai badan-badan kebenaran tersebut – dari rekonsiliasi nasional hingga penyembuhan korban individual, dari menghentikan impunity hingga memberikan perlindungan untuk mencegah perulangan pelanggaran di masa depan – yang akan digambarkan dalam bab 3 dan lebih lanjut ditinjau dalam buku ini. Karena komisi kebenaran meliput banyak hal yang merupakan subjek pengadilan, banyak pengamat secara keliru membandingkan atau menyamakan komisi kebenaran dengan pengadilan, atau mencemaskan bahwa pembentukan komisi kebenaran akan menurunkan kemungkinan dilaksanakannya pengadilan pada hal-hal serupa. Namun komisi kebenaran tidak seharusnya disamakan dengan badan-badan peradilan, dan juga bukan pengganti pengadilan. Pada satu tingkat, komisi kebenaran jelas memiliki kekuatan yang tidak sebesar pengadilan. Mereka tidak bisa memenjarakan seseorang, tidak bisa memaksakan saran dan bahkan hampir semua tidak punya kekuatan untuk memaksa seseorang untuk datang dan menjawab pertanyaan. Hingga saat ini, komisi Afrika Selatan merupakan satu-satunya yang memberikan amnesti individual, dan dapat membujuk sejumlah pelaku untuk membeberkan secara terbuka pelanggaran mereka. Hampir semua komisi kebenaran tidak campur tangan atau menyamai tugas sistem peradilan. Namun meskipun memiliki kekuatan legal yang terbatas, mandat yang luas untuk berfokus pada pola-pola kejadian, termasuk sebab dan akibat kekerasan politik, memungkinkan komisi kebenaran untuk menyidik lebih jauh dan mendapatkan kesimpulan yang lebih lengkap daripada dimungkinkan oleh pengadilan individual. Keluasan dan fleksibilitas komisi kebenaran adalah kekuatannya. Sebagai contoh, komisi kebenaran biasanya dapat menggambarkan tanggung jawab negara dan institusi-institusinya dalam melaksanakan atau membiarkan kekerasan terjadi – tidak hanya militer dan polisi, namun juga badan peradilan itu sendiri. Pendekatan komisi kebenaran yang berpusat pada korban untuk mendapatkan ribuan kesaksian dan menerbitkan hasil temuannya dalam laporan resmi dan terbuka memberikan bagi para korban pengakuan oleh badan resmi negara bahwa klaim mereka benar dan bahwa kekejaman itu salah. Lebih lagi, hampir semua komisi diwajibkan untuk memberikan catatan mereka kepada penuntut peradilan untuk tindakan legal bila dimungkinkan, kalau ditemukan bukti kejahatan kriminal. Usaha pencarian kebenaran pertama yang dikenal luas, Komisi Nasional untuk Orang Hilang di Argentina, secara umum dianggap sebagai langkah pertama menuju proses pengadilan, dan memang informasi yang didapatkan dari komisi ini sangat penting dalam pengadilan kemudian. Dalam kasus lain, komisi kebenaran bekerja Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dalam konteks amnesti yang sudah ada. Atau, bila badan peradilan yang bias dan korup tidak memungkinkan pengadilan, komisi tersebut dianggap paling tidak dianggap sebagai langkah minimal menuju pertanggungjawaban, terutama bila komisi secara terbuka mengumumkan nama-nama mereka yang bertanggung-jawab untuk pelanggaran. Selain keempat ciri di atas, kedua puluh satu komisi kebenaran tersebut memiliki elemen serupa: semua dibentuk untuk menyidik peristiwa yang belum lama terjadi, biasanya pada saat transisi politik; semua menyidik represi bermotif politik yang digunakan untuk mempertahankan atau mendapatkan kekuasaan dan melemahkan lawan politik; dan pada masing-masing kasus, pelanggaran terjadi secara luas, biasanya mempengaruhi ribuan orang. Hampir semua komisi tersebut dibentuk sebagai komponen utama transisi dari satu pemerintah ke pemerintah lain, atau dari perang saudara ke perdamaian. Apakah dan seberapa jauh mereka berhasil dalam peran ini masih bisa dibahas lebih lanjut, namun tujuan, waktu dan tugas komisi-komisi tersebut serupa dalam ciri-ciri tersebut. Sebaliknya, terdapat jenis-jenis lain penyelidikan resmi terhadap pelanggaran hak asasi di masa lalu yang bisa disebut sebagai “komisi kebenaran sejarah”. Komisi seperti ini adalah penyelidikan yang didukung pemerintah masa kini terhadap pelanggaran yang dilakukan negara bertahun-tahun sebelumnya (dan berakhir bertahun-tahun sebelumnya juga). Penyidikan ini tidak dianggap sebagai bagian transisi politik, dan mungkin memang tidak berkaitan dengan kepemimpinan atau praktik politik masa kini, namun berfungsi sebagai klarifikasi kebenaran sejarah dan memberikan penghormatan kepada korban atau keluarga korban yang semula tidak dikenal. Peristiwa yang disidik oleh komisi tersebut biasanya bukanlah represi politis secara luas, namun praktik yang mempengaruhi kelompok etnik, rasial atau lainnya secara spesifik. Komisi kebenaran sejarah biasanya mencatat praktik yang tidak dikenal secara luas oleh mayoritas penduduk, sehingga laporannya dapat memberikan akibat yang serius meskipun kejadiannya sudah bertahun-tahun lewat. Di Australia, misalnya, pemerintah meminta badan pengawas hak asasi manusia permanennya, Human Rights and Equal Opportunity Commission, untuk meninjau catatan pelanggaran negara terhadap penduduk negara tersebut. Penyidikannya selama setahun mencatat kebijakan negara untuk mengambil paksa anak-anak penduduk asli dari keluarganya dan menempatkannya dalam keluarga kulit putih untuk mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat mainstream Australia. Praktik ini berlanjut hingga awal dekade 1970-an. Dengan terbitnya laporan komisi ini, Bringing Them Home, pada tahun 1997, kisah ini menjadi skandal nasional dan menjadi isu utama dalam pemilihan umum, karena masyarakat Australia marah terhadap praktik yang semula tidak diketahuinya ini, sementara pemerintah menolak untuk meminta maaf secara resmi atas nama pemerintahan sebelumnya.ix Enam puluh ribu eksemplar laporan tersebut dibeli dalam tahun pertama terbitnya. Setiap tahun dirayakan “Hari Minta Maaf”, sebagaimana disarankan oleh komisi, dan “buku minta maaf” diterbitkan untuk ditandatangani masyarakat. Dalam waktu setahun, lebih dari 100 ribu warga Australia menandatangani buku-buku tersebut; tanda tangan mereka memenuhi ratusan buku. Kanada juga tergerak untuk meninjau kembali kebijakan dan hubungannya dengan komunitas penduduk asli. Ketegangan yang meningkat antara penduduk asli dan negara Kanada mendorong dibentuknya komisi khusus untuk mempelajari kebijakan negara dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan. Penelitian selama lima tahun oleh komisi Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
tersebut mencakup tinjauan sejarah 500 tahun kebijakan terhadap penduduk asli, menyimpulkan bahwa kebijakan asimilasi, yang dimulai pada masa kolonial dan dilanjutkan negara Kanada selama 150 tahun, tidaklah benar. x Pemerintah merespon dengan rencana mendetail untuk penerapan saran komisi tersebut.xi Dalam alur sejarah yang serupa, Sekretaris Energi Amerika Serikat, Hazel O’Leary, menunjuk Komisi Penasihat Eksperimen Radiasi pada Manusia pada tahun 1994 untuk meninjau eksperimen yang dilakukan pada pasien medis, tahanan dan komunitas tanpa sepengetahuan mereka di Amerika Serikat sejak pertengahan dekade 1940-an hingga pertengahan 1970-an. Laporan komisi ini memberikan “pandangan yang tanpa preseden terhadap lembar hitam sejarah Amerika,” menurut satu pengamat.xii Dengan tujuan untuk memberikan ganti rugi kepada para korban, Kongres Amerika Serikat membentuk Komisi Relokasi dan Penahanan Warga pada Masa Perang, pada tahun 1982, untuk mempelajari kebijakan dan dampak dari tindakan menahan warga JepangAmerika selama Perang Dunia Kedua. Banyak saran laporan komisi ini telah diterapkan, termasuk permintaan maaf secara formal dari pemerintah dan undang-undang yang memberikan US$ 1,2 milyar sebagai kompensasi kepada para korban.xiii Terdapat praktik lain oleh pemerintah Amerika Serikat yang setelah bertahun-tahun diberikan ganti rugi atau permintaan maaf, tanpa penyidikan formal oleh pemerintah. Sebagai contoh, bertahun-tahun setelah pers melaporkan penelitian rahasia mengenai sifilis yang dilakukan pada warga kulit hitam yang miskin di Tuskegee, Alabama, tanpa sepengetahuan mereka, antara tahun 1932 hingga 1970-an, Presiden Bill Clinton meminta maaf secara resmi pada tahun 1997. Eksperimen ini tercatat dengan baik oleh para penulis independen dan media, dan pemerintah sudah memberikan ganti rugi lebih dari US$ 9 juta kepada para korban dan keluarganya di luar jalur pengadilan, sehingga penyidikan pemerintah dianggap tidak perlu. xiv (Lihat Tabel 2 tentang daftar komisi kebenaran sejarah.) Akhirnya, ada contoh-contoh lain penyidikan resmi atau setengah resmi terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang menjalankan perannya seperti komisi kebenaran. Ini semua dilakukan pada masa transisi politik dan berperan penting dalam kondisi politik yang bersangkutan, namun lingkup dan kekuasaannya terbatas, atau hanya merupakan pendahulu komisi kebenaran “penuh” (lihat tabel 3). Sebagai contoh, setelah mendapat tekanan dari keluarga korban dan pers, Leo Valladares, ketua Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia di Honduras dan ombudsman yang ditunjuk oleh pemerintah, secara independen menjalankan penyidikan terhadap 179 kasus penghilangan oleh angkatan bersenjata pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an. Valladares bekerja atas inisiatifnya sendiri, tanpa bantuan pemerintah, dan mendasarkan penyidikannya terutama pada laporan pers dan informasi publik lainnya. Ia tetap menyerukan pentingnya komisi kebenaran bahkan sesudah ia menerbitkan laporannya yang mendokumentasikan penghilangan tersebut pada tahun 1994.xv Di Irlandia Utara, seorang “komisioner untuk para korban” ditunjuk oleh sekretaris negara Inggris untuk Irlandia Utara pada tahun 1997, dan diberi mandat untuk “mencari cara-cara yang mungkin untuk mengakui penderitaan yang dirasakan korban kekerasan yang timbul dari masalah selama 30 tahun terakhir”. Komisioner ini mewawancarai ratusan korban kekerasan, namun tidak melakukan analisis atau penyelidikan yang mendalam. Dalam laporannya, yang diterbitkan hanya beberapa minggu setelah Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
kesepakatan damai Jumat Agung 1998, komisi tersebut menyarankan perlunya komisi kebenaran di masa depan.xvi Beberapa tahun sebelum pembantaian massal di Rwanda mencapai tingkat kategori genosida, kekerasan pada awal 1990-an menghasilkan kesepakatan untuk membentuk komisi penyidik kekejaman, sebagai bagian kesepakatan damai antara pemerintah dan oposisi bersenjata. Ketika pemerintah tidak mengambil langkah untuk membentuk komisi tersebut, kelompok hak asasi Rwanda mengundang empat organisasi hak asasi internasional, yakni dari Amerika Serikat, Kanada, Prancis dan Burkina Faso, untuk melakukan penyidikan tersebut. Meskipun presiden mengumumkan sambutan-baiknya terhadap komisi non-pemerintah ini dan sejumlah menteri memberikan bantuan, namun tampak jelas bahwa presiden dan angkatan bersenjata tidak menyukai penyidikan ini. Bahkan, beberapa saksi mengalami serangan yang mungkin merupakan “peringatan” terhadap kerja sama mereka dengan komisi tersebut. Laporan komisi tersebut, yang diterbitkan pada tahun 1993, memberikan dampak terbesar pada pemerintahan Eropa, terutama Prancis dan Belgia, yang hingga saat itu memberikan dukungan aktif terhadap pemerintah Rwanda. xvii Namun laporan dan saran-sarannya tidak berhasil mencegah pecahnya kekerasan genosida yang timbul hanya setahun sesudahnya. Sebuah penyidikan dan laporan mendalam seperti komisi kebenaran bisa juga menjadi bagian dalam penyidikan yudisial formal, meskipun hal ini jarang terjadi. Di Ethiopia, sebuah Kantor Penuntut Khusus berusaha untuk mencatat pola-pola pelanggaran luas pada masa rezim Mengistu, untuk mempersiapkan pengadilan lebih dari dua ribu tertuduh pelaku kekejaman, dan kemudian menerbitkan temuannya dalam sebuah laporan. Selama beberapa tahun kantor tersebut membuat sistem-komputer canggih dan puluhan staf untuk mengumpulkan nama dan detail yang memberatkan tuduhan dari catatan yang ditinggalkan rezim tersebut. Ia mengumpulkan informasi yang penting, namun rencana laporan kebenaran akhirnya dibatalkan. Kantor Penuntut Khusus tetap menggunakan hasil dokumentasi ini di pengadilan, dan menyatakan bahwa pola-pola kejadian ini merujuk pada kebijakan genosida pada masa Mengistu. Sementara itu, para penuntut tidak hanya menggunakan pengadilan untuk menghukum, namun juga untuk mencatat pengalaman para korban. Lebih dari lima ratus saksi dipanggil selama lima tahun pertama pengadilan dari sekitar 50 tertuduh; semua korban menceritakan kisah yang serupa, meskipun kesaksian tersebut tidak secara langsung memberatkan mereka yang sedang diadili, menurut para pengamat. Pengadilan ini masih belum berakhir; setelah mengundang 8001.000 saksi korban, diperkirakan bahwa pembela akan mengundang saksi yang jumlahnya serupa.xviii Sementara itu, sekitar 200 tertuduh lain masih ada di tahanan sambil menunggu pengadilan. Usaha Ethiopia untuk menggabungkan dua sasaran: menceritakan kebenaran seluas-luasnya dan menuntut secara hukum ke dalam satu proses jelas memiliki masalah, dan mendapatkan kritikan dari pengamat internasional. Pada tahun-tahun belakangan ini terdapat pula sejumlah model menarik penyidikan internasional yang memiliki sifat resmi atau setengah resmi, dan menjalankan pula sebagian tugas yang biasanya dikerjakan komisi kebenaran. Sebagai contoh, Panel Internasional Tokoh untuk Penyidikan Genosida dan Peristiwa yang Berkaitan di Rwanda Tahun 1994 dibentuk oleh Organisasi Persatuan Afrika pada akhir tahun 1998, mulai bekerja pada bulan Januari 1999 dan menyelesaikan laporannya pada bulan Juni 2000. Penelitiannya difokuskan pada sejarah dan kondisi sekitar konflik di Rwanda yang menyebabkan genosida pada tahun 1994, dan dampak kekerasan yang timbul, dengan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mendasarkan kesimpulannya antara lain dari makalah yang ditulis oleh para ahli. Pemerintah Rwanda bekerja-sama dengan penyidik. Kemudian, pada tahun 1999, pemerintah Swedia membentuk Komisi Independen Internasional untuk Kosovo, yang diketuai hakim agung Afrika Selatan, Richard Goldstone, untuk menyelidiki penyebab, akibat dan opsi internasional untuk menyikapi konflik di Kosovo; komisi ini diminta untuk menerbitkan laporannya pada akhir tahun 2000. Akhirnya, terdapat sejumlah penyidikan kejahatan perang, yang sering kali diistilahkan sebagai komisi penyidik internasional, komisi kejahatan perang, atau komisi pakar, yang juga harus dibedakan dari komisi kebenaran. Badan-badan demikian, seperti yang dibentuk untuk meneliti peristiwa di bekas Yugoslavia, Rwanda dan Timor Leste (yang juga sering kali memiliki nama yang panjang dan rumit), dibentuk oleh PBB untuk mengevaluasi bukti yang tersedia bagi kemungkinan pengadilan internasional. xix Komisi-komisi tersebut mengumpulkan bukti, dan kadang-kadang kesaksian dari para korban, dan kemudian memberikan laporan; jadi serupa dengan tugas komisi kebenaran. Namun badan-badan tersebut tidak disahkan oleh negara yang sedang diselidiki, dan mereka juga tidak diarahkan untuk mempelajari pola-pola keseluruhan, sebab dan akibat dari kekerasan, namun hanya menyelidiki bukti kejahatan dan pelanggaran hukum internasional. Dalam hampir semua kasus, komisi tersebut mendahului penunjukan tribunal internasional ad hoc, seperti di bekas Yugoslavia dan Rwanda. Terdapat pula contoh penting proyek non-pemerintah yang mendokumentasikan pola-pola pelanggaran rezim yang sudah lewat, biasanya dilakukan oleh organisasi hak asasi manusia, dan kadang-kadang dengan dukungan kelompok agama (Gereja). Meskipun memiliki batasan (terutama mengenai akses ke informasi pemerintah), proyek tidak resmi ini kadang kala memberikan hasil yang mengejutkan. Di Brasil, misalnya, sebuah tim penyidik bisa secara diam-diam memfotokopi semua laporan pengadilan yang berkaitan dengan keluhan para tahanan politik yang mengalami siksaan – sejumlah satu juta lembar. Tanpa banyak pemberitaan, dengan dukungan Uskup Agung São Paulo dan Dewan Gereja-Gereja Dunia, tim itu menggunakan bahan tersebut untuk menulis Brasil: Nunca Maís, sebuah laporan yang menganalisis praktik penyiksaan yang dilakukan rezim militer selama jangka waktu 15 tahun.xx Di Uruguay, organisasi non-pemerintah Servicio Paz y Justicia (SERPAJ) menerbitkan Uruguay: Nunca Más, sebuah laporan yang jauh lebih mendalam daripada hasil penyelidikan resmi sebelumnya yang disetujui parlemen, yang bekerja di bawah mandat yang amat terbatas dan dukungan politis yang kecil. xxi Departemen Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung Guatemala melakukan proyek besar untuk mendokumentasikan puluhan tahun pelanggaran dan pembantaian sebelum komisi kebenaran resmi mulai bertugas, dengan harapan melengkapi dan memperkuat hasil kerja komisi tersebut.xxii Di Rusia, organisasi non-pemerintah Memorial dibentuk pada tahun 1987 untuk mendorong pertanggungjawaban dan penemuan fakta mengenai hal-hal yang terjadi di masa lalu. Staf organisasi ini berhasil mendapatkan arsip yang lengkap mengenai pelanggaran yang dilakukan negara hingga tahun 1917, dan menerbitkan sejumlah buku dengan nama para korban dan analisis terhadap kebijakan represif negara.xxiii Terdapat banyak faktor dan sejumlah partisipan yang membantu membentuk kemungkinan dan batasan untuk transisi sebuah negara, yang pada gilirannya akan mempengaruhi realitas pasca-transisi. Ini mencakup kekuatan kelompok atau individu yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran dan kemampuan mereka mengendalikan pilihan kebijakan transisional; seberapa vokal dan terorganisirnya masyarakat sipil sebuah Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
negara, termasuk kelompok hak asasi dan kelompok korban; dan kepentingan, peran dan keterlibatan komunitas internasional. Selain itu, pilihan transisional akan dipengaruhi oleh jenis dan intensitas kekerasan atau represi yang sudah terjadi dan sifat politis transisi tersebut. Dan akhirnya, terdapat aspek-aspek budaya politik dan sosial – suatu perangkat pilihan, kecenderungan, kepercayaan dan harapan yang sukar didefinisikan – yang mempengaruhi apa dan bagaimana menghadapi masa lalu. Namun jumlah korban tampaknya tidak mempengaruhi seberapa jauh masa lalu akan berpengaruh pada masa depan, demikian juga tuntutan untuk pertanggungjawaban. Di beberapa negara, sejumlah kecil korban kekerasan pemerintah menimbulkan dampak politik serius dan respon emosional dari masyarakat. Pada tahun 1997, Spanyol mengalami skandal politis berkaitan dengan kematian 27 aktivis pada awal dekade 1980-an. Suriname, di pantai utara Amerika Selatan, masih mengalami dampak politis dari pembunuhan 15 tokoh aktivis politik pada tahun 1982, dan hingga tahun 1998 pemerintah masih mempertimbangkan pembentukan komisi untuk menyelidiki pembunuhan tersebut. Di Uruguay, puluhan ribu anggota masyarakat berdemonstrasi pada tahun 1996, 1997 dan 1998 untuk menuntut pertanggungjawaban penuh terhadap hilangnya 135 sampai 190 orang dua puluh tahun sebelumnya. Bahkan dengan jumlah korban yang relatif kecil, tuntutan untuk kebenaran dan keadilan bisa sama besarnya dengan di negara-negara yang mengalami pembantaian berskala jauh lebih besar. Beberapa pengamat, setelah melihat berbagai komisi yang telah ada beserta laporan yang dihasilkannya, tidak menyepakati penggunaan nama generik komisi kebenaran bagi badan-badan tersebut. “Mereka seharusnya disebut ‘komisi fakta dan fiksi’ atau ‘komisi sebagian kebenaran’,” demikian seorang pengamat setengah bercanda. Beberapa orang, termasuk mantan staf badan-badan tersebut, lebih memilih istilah generik komisi penyidikan, yang akan menghilangkan tekanan untuk memberikan laporan yang lengkap dan komprehensif. Selain itu, karena komisi Afrika Selatan telah mendapatkan perhatian luas internasional, beberapa orang secara keliru menyamakan komisi kebenaran dengan pemberian amnesti. Misalnya, pada tahun 1995, seorang wakil khusus PBB untuk Burundi mendapatkan tentangan keras terhadap sarannya untuk membentuk komisi kebenaran untuk menyelidiki kekerasan yang baru terjadi di negara Afrika Tengah tersebut, karena semua orang berpikir bahwa itu akan berarti pemberian amnesti bagi semua pelaku kejahatan. Namun ketika ia menyarankan pembentukan komisi penyidikan, idenya segera mendapatkan dukungan, dan sebuah Komisi Penyidikan Internasional untuk menyelidiki kekerasan dibentuk beberapa bulan kemudian.xxiv Namun secara umum, nama komisi kebenaran sudah diterima, dan sekarang secara umum sudah dipahami sebagai: penyelidikan resmi terhadap pola-pola pelanggaran di masa lalu. Komisi-komisi yang belakangan cenderung untuk menggunakan nama tersebut; di Cili, El Salvador, Haiti dan Afrika Selatan, nama komisi di masing-masing negara itu merupakan variasi dari komisi kebenaran. Di Guatemala, para penganjur hak asasi manusia pada awalnya kecewa karena komisi penyidikan mereka tidak disebut sebagai komisi kebenaran, namun “komisi klarifikasi sejarah” yang dianggap lebih lemah.xxv Di pihak lain, penggunaan nama komisi kebenaran dan rekonsiliasi secara generik – karena pengaruh komisi Afrika Selatan – tidak tepat dan harus dihindari, karena banyak dari komisi kebenaran tidak menjadikan rekonsiliasi sebagai sasaran utama kerja mereka, dan juga tidak mengasumsikan bahwa rekonsiliasi akan terjadi sebagai akibat kerja mereka. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Jelas bahwa lebih banyak negara akan menggunakan pencarian kebenaran resmi pada tahun-tahun ke depan, dan penyidikan tersebut akan dibentuk dengan cara-cara yang berbeda, dengan kekuasaan, mandat dan harapan yang berubah tergantung pada kondisi dan prioritas setempat. Di hampir semua negara yang baru saja terlepas dari pemerintahan otoriter atau perang saudara – dan di banyak negara yang masih mengalami represi atau kekerasan, namun ada harapan untuk transisi dalam waktu dekat – mulai timbul ketertarikan untuk membentuk komisi kebenaran, baik diusulkan oleh para pejabat negara atau aktivis hak asasi manusia maupun anggota masyarakat sipil lainnya.xxvi Tugas komisi kebenaran ini tidak mudah. Komisi kebenaran merupakan entitas yang sulit dan kontroversial; ia dihadapkan pada tugas amat berat yang nyaris tidak mungkin; dan biasanya waktu dan sumber daya yang tidak cukup untuk menyelesaikannya; komisi harus menghadapi kebohongan, bantahan, tipuan dan ingatan pedih para korban untuk menemukan kebenaran yang berbahaya dan masih dilawan sebagian penguasa. Pada akhir masa tugas komisi, negara tersebut bisa saja masih belum puas dengan laporan mengenai kebenaran masa lalu dan beberapa pertanyaan masih belum terjawab. Namun dengan keterbatasan tersebut, proses dan hasil komisi kebenaran masih dapat memberikan kontribusi penting dalam transisi yang sulit, yang secara mendasar mengubah pemahaman dan penerimaan sebuah negara mengenai aspek-aspek tersukar dalam sejarahnya. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 3 Mengapa Perlu Komisi Kebenaran?
Jauh dari sekadar menemukan dan mengumumkan kebenaran, badan-badan kebenaran resmi sering kali diserahi tugas yang luas. Dalam beberapa kasus, mereka menjadi inisiatif paling menonjol dari pemerintah menyangkut kejahatan-kejahatan di masa lampau dan menjadi titik pangkal utama usaha-usaha lain untuk pertanggungjawaban, ganti rugi dan program reformasi. Alasan-alasan yang dikemukakan di belakang pembentukan komisi kebenaran berbeda dari negara ke negara. Sebagai contoh, beberapa menekankan pada rekonsiliasi nasional dan pentingnya menutup buku sejarah hitam masa lalu; yang lain menjadikannya sebagai langkah menuju penuntutan yang akan mengikuti; sedangkan yang lain melihat penyelidikan ke masa lalu sebagai usaha menjauhkan kebijakan pemerintah baru dari rezim lama dan menonjolkan suatu era baru yang menghargai hak-hak asasi manusia. Meskipun memiliki tekanan yang berbeda-beda, sebuah komisi kebenaran memiliki salah satu atau bahkan semua dari lima tujuan utama berikut ini: (1) untuk menemukan, menjelaskan dan secara resmi mengakui adanya pelanggaran di masa lalu; (2) memenuhi kebutuhan spesifik para korban; (3) memberikan kontribusi pada keadilan dan pertanggungjawaban; (4) menggariskan pertanggungjawaban institusional dan menyarankan reformasi; dan (5) untuk mendorong rekonsiliasi dan mengurangi konflik mengenai yang sudah terjadi.
Menjelaskan dan Mengakui Kebenaran Tujuan utama komisi kebenaran adalah penemuan fakta resmi: untuk menyusun catatan yang akurat mengenai masa lalu sebuah negara, mengklarifikasi peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan menghilangkan tabir bantahan dan tutup mulut dari suatu masa yang penuh pertentangan dan menyakitkan. Sejumlah besar wawancara dengan korban, yang merupakan ciri komisi-komisi kebenaran, memungkinkan sebuah gambaran mendetail mengenai pola-pola kekerasan salama jangka waktu tertentu dan dalam wilayah yang luas, yang menciptakan rekaman sejarah yang hilang. Detail dan keluasan informasi dalam sebuah laporan komisi kebenaran biasanya memiliki kualitas yang jauh lebih baik daripada catatan sejarah lainnya, dan memberikan kepada masyarakat suatu catatan tertulis dan lengkap mengenai peristiwa-peristiwa yang sebelumnya sering kali diperdebatkan. Selain menggambarkan pola-pola umum, beberapa komisi kebenaran juga memecahkan kasuskasus penting, bahkan menunjuk nama pelaku atau aktor intelektual tingkat tinggi dari kejahatan-kejahatan penting yang belum terselesaikan. Pengakuan resmi dan publik terhadap pelanggaran-pelanggaran di masa lalu secara efektif memecahkan keheningan dari suatu topik yang sebelumnya hanya dibicarakan secara diam-diam, dianggap “berbahaya” sebagai pembicaraan umum, jarang dilaporkan secara jujur oleh pers, dan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
jelas berada di luar batasan pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Pada hakikatnya, laporan komisi kebenaran menggali kembali sejarah sebuah negara dan membukanya untuk penilaian masyarakat. Di beberapa negara, aktivis hak-hak asasi menekankan bahwa komisi kebenaran tidak menemukan kebenaran yang baru, namun membuka tabir kebohongan dan bantahan terhadap kebenaran yang sudah dikenal luas namun tidak dibicarakan. Bantahan yang keras lazim terdapat di negara-negara yang pemerintahan represifnya bergantung pada dukungan aktif atau pasif dari masyarakat, atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat, untuk menjalankan kebijakannya dan mempertahankan kekuasaan. Aktivis anti-apartheid di Afrika Selatan menekankan bahwa tidak mungkin seorang warga Afrika Selatan tidak tahu bahwa penyiksaan, pembunuhan dan taktik-taktik represif lainnya biasa digunakan pada masa rezim apartheid; bahwa mereka pasti tahu kecuali kalau secara sadar mereka menutup mata untuk menghalangi kebenaran tersebut. Maka beberapa warga Afrika Selatan menyatakan bahwa kontribusi komisi tersebut yang paling penting adalah menghilangkan kemungkinan bantahan itu berlanjut. Meskipun pada awalnya ada bantahan dari para pendukung apartheid ketika cerita-cerita menyedihkan itu mulai terdengar, dengan berlanjutnya kerja komisi, dan terutama setelah para pelaku mengakui dan menjelaskan penyiksaan dan pembunuhan yang mereka lakukan, adalah tidak mungkin untuk terus menolak kebenaran kesaksian tersebut. Sebagaimana dinyatakan penulis Michael Ignatieff, “Masa lalu merupakan perdebatan, dan fungsi komisi kebenaran, seperti sejarawan yang jujur, adalah untuk memurnikan perdebatan tersebut, untuk menyempitkan kemungkinan kebohongan yang bisa diterima.”i Namun dibandingkan dengan warga kulit putih, warga kulit hitam Afrika Selatan biasanya tidak terlalu terkejut dengan bukti-bukti pelanggaran oleh negara: mereka adalah korban dan saksi pelanggaran-pelanggaran itu sendiri. Bahkan, dalam beberapa situasi yang memerlukan keberadaan komisi kebenaran pasca-transisi, para korban biasanya sudah memahami apa yang terjadi dan siapa yang bertanggung-jawab, dan para peneliti hanya mengkonfirmasi hal-hal tersebut. Di beberapa negara, kekejaman terjadi dengan tanggung jawab secara terbuka oleh para pelakunya (seperti penculikan politik, atau pengumuman mengenai siapa kelompok atau individu yang menjadi sasaran), atau oleh personil berseragam yang meninggalkan saksi terhadap tindakan mereka (seperti penculikan aktivis di muka umum, atau pembantaian massal oleh angkatan bersenjata). Tentang hal bahwa para korban sudah merasa mengetahui kebenaran, sehingga tidak mendapatkan kebenaran baru dari komisi tersebut, masih ditambah lagi dengan fakta bahwa para korban yang bersaksi kepada komisi kebenaran jarang mendapatkan informasi baru mengenai kasus mereka sendiri. Karena jumlah besar kesaksian yang didengarkan dan waktu serta sumber daya yang terbatas, komisi kebenaran hanya bisa melakukan investigasi mendalam pada sejumlah kecil kasus. Hampir semua kesaksian yang didengar dicatat secara akurat dan dianalisis secara statistikal, namun sayangnya tidak diteliti secara mendalam. Bagi beberapa korban dan orang yang selamat, komisi kebenaran tidaklah memberikan kebenaran baru, namun hanya secara formal mengakui kebenaran yang telah mereka ketahui. Dalam proses pengumpulan kesaksian dan penerbitan laporan resmi, komisi tersebut menawarkan pengakuan resmi terhadap fakta-fakta yang lama terkubur. Presiden bisa menggunakan kesempatan penerimaan resmi laporan komisi untuk memberikan pernyataan maaf resmi atas nama negara. Ketika Presiden Patricio Aylwin Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mengumumkan laporan resmi komisi kebenaran Cili, yang disiarkan di televisi nasional, ia memohon maaf dan ampun dari keluarga korban, yang dianggap sebagai suatu hal yang mengharukan setelah sekian lama disepelekan.ii Ia kemudian mengirimkan satu eksemplar laporan kepada keluarga setiap korban yang tercatat, dengan surat yang menunjukkan di halaman mana mereka dapat menemukan kasus yang bersangkutan. Pembedaan antara pengetahuan (knowledge) dan pengakuan (acknowledgment) ini sering kali menjadi perhatian pengamat komisi kebenaran, yang pertama kali dikemukakan pada salah satu konferensi besar pertama mengenai keadilan transisional pada tahun 1988.iii “Pengakuan berimplikasi bahwa negara telah mengakui dosanya dan mengakui bahwa ia telah berbuat keliru,” demikian menurut Aryeh Neier, presiden Open Society Institute dan mantan direktur eksekutif Human Rights Watch.iv Juan Mendez, seorang pengacara hak asasi manusia, menulis bahwa “Pengetahuan yang diakui secara resmi, dan dijadikan sebagai ‘bagian dari pengetahuan umum’ … mendapatkan suatu kualitas misterius yang tidak ada bila ia sekadar ‘kebenaran’. Pengakuan resmi paling tidak mulai menyembuhkan luka-luka”.v Pengakuan resmi menjadi kuat terutama karena bantahan resmi telah sangat mendalam. Beberapa pengamat menekankan perlunya kebenaran resmi, dan kemudian soal ketepatan komisi kebenaran, dengan membandingkan sejauh mana suatu pemerintah berusaha menyembunyikan sifat asli rezim tersebut. Aryeh Neier menyatakan bahwa kebutuhan untuk menemukan kebenaran ditentukan oleh seberapa tersembunyi kekejaman yang terjadi: “Faktor yang terpenting adalah, sementara pelanggaran dilakukan, apakah dilakukan usaha-usaha penipuan? Beberapa pemerintahan mencoba mempertahankan legitimasi internasional sementara melakukan pelanggaran – seperti sejumlah pemerintah Amerika Latin, vis-à-vis hubungan mereka dengan Amerika Serikat.” Kejahatan di beberapa negara secara sengaja dilakukan dengan cara yang bisa disembunyikan dengan mudah: tentara yang mengenakan pakaian sipil dan mengendarai mobil yang tidak bertanda, orang-orang yang menghilang tanpa jejak. “Semua hal tentang kejahatan tersebut diusahakan agar bisa dibantah. Bilamana penipuan merupakan inti pelanggaran, kebenaran mendapatkan nilai penting yang besar. Pengungkapan kebenaran dalam kondisi tersebut memiliki ‘power’ yang besar,” menurut Neier.vi Penghilangan orang merupakan bentuk penipuan terbesar dalam penggunaan kekejaman, dengan tujuan jelas untuk berbohong dan menyembunyikan fakta. Namun tidak hanya penghilangan individual yang bisa disembunyikan; bahkan pembantaian besar-besaran sering kali terjadi di beberapa negara, dan secara resmi ditolak keras bahkan bila ada fakta yang mengarah demikian. Ratusan pembantaian terjadi di daerah pegunungan Guatemala pada awal dekade 1980-an pada waktu operasi militer untuk memusnahkan gerilyawan bersenjata dan para pendukungnya. Namun, akses orang luar ke wilayah-wilayah tersebut dihalangi, mencegah kabar tersebar. Bahkan banyak korban yang selamat tidak tahu bahwa kejadian serupa terjadi di tempat lain: mereka dicegah oleh militer untuk bepergian ke wilayah sekitar, sehingga banyak yang beranggapan bahwa desa mereka merupakan satu-satunya sasaran. Bahkan dalam kondisi di mana peristiwa-peristiwa tampaknya tercatat jelas, fakta-fakta mendasar sering kali masih diperdebatkan dengan sengit, kadang kala sengaja dikelirukan untuk kepentingan politis. Meskipun ada laporan mendalam mengenai perang di Bosnia, ada tiga versi kebenaran resmi yang bertentangan di Bosnia mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam perang tersebut, masing-masing versi diajarkan di sekolah yang Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
berada di komunitas yang berbeda – Muslim, Kroasia atau Serbia – dan memperkuat titik-titik dasar konflik yang bisa meledak di masa depan. Pada tahun 1998, warga Bosnia mulai mempertimbangkan ide komisi kebenaran untuk menyusun satu catatan sejarah yang disepakati dan berdasar fakta.
Memenuhi Kebutuhan dan Kepentingan Korban Sebuah perbedaan mendasar antara peradilan dan komisi kebenaran adalah pada sifat dan lingkup perhatian mereka pada para korban. Fungsi sistem peradilan terutama adalah meneliti tindakan-tindakan spesifik dari para tertuduh pelaku. Selama berlangsungnya proses peradilan, korban-korban diundang untuk bersaksi seperlunya untuk mendukung kasus tersebut, biasanya sangat sempit, hanya merujuk pada peristiwa yang merupakan kejahatan yang dituntut tersebut. Biasanya sangat sedikit korban yang diundang untuk bersaksi, dan kesaksian mereka biasanya secara langsung dan agresif dibantah oleh para pembela di pengadilan. (Dalam beberapa kasus, korban juga memegang peranan penting dalam mendorong proses pengadilan.) Berbeda dengan pengadilan, hampir semua komisi kebenaran dirancang untuk menempatkan fokus utamanya pada para korban. Meskipun komisi bisa meneliti keterlibatan pelaku individual dalam pelanggaran, dan bisa mendapatkan informasi penting dari para tertuduh pelaku dan orang lain dalam sistem represi, sebagian besar waktu dan perhatian dipusatkan pada para korban. Mereka biasanya mendengarkan kesaksian dari sejumlah besar saksi dan korban, dan mendengarkan semua pengakuan tersebut dalam menganalisis dan menggambarkan pola kejadian secara luas. Dengan mendengarkan cerita pada korban, mungkin di depan umum, dan menerbitkan laporan yang secara luas menggambarkan pengalaman penderitaan, komisi secara efektif memberikan suara kepada para korban dan menjadikan penderitaan mereka diperhatikan oleh masyarakat. Dengan berlanjutnya proses di komisi kebenaran Afrika Selatan, para terapis yang bekerja bersama para korban penyiksaan melihat naiknya pemahaman dan penghargaan masyarakat pada kebutuhan para korban. Bagi beberapa korban, proses ini bisa memberikan efek katarsis atau penyembuhan. Komisi bisa melayani kebutuhan korban dengan berbagai cara: beberapa merancang program ganti rugi bagi korban dan keluarganya karena kekerasan politik, dan dalam beberapa kasus, daftar korban yang dikumpulkan komisi kebenaran berfungsi sebagai daftar ahli waris untuk program ganti rugi. (Tentang hal ini, bab 11 akan membahasnya lebih jauh.) Akhirnya, pada tingkatan yang sederhana, banyak keluarga dari mereka yang hilang sangat ingin mendapatkan status legal anggota keluarga mereka yang hilang tersebut secara resmi. Banyak masalah sipil tidak bisa diselesaikan tanpa surat kematian – seperti surat wasiat atau mengakses rekening bank atas nama orang yang hilang tersebut. Di Sri Lanka, Argentina dan tempat lainnya, masalah ini sangat menambah penderitaan para korban yang selamat (survivor). Di Argentina, negara menetapkan status hukum baru “dihilangkan secara paksa”, yang setara dengan surat kematian. Hal ini memungkinkan pemrosesan masalah sipil tanpa menyatakan bahwa orang tersebut telah meninggal. Status ini diberikan kepada semua yang didokumentasikan oleh komisi kebenaran. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Berkontribusi pada Keadilan dan Pertanggungjawaban Alih-alih menggantikan peradilan, sebuah komisi kadang-kadang membantu pertanggungjawaban para pelaku. Banyak komisi memberikan catatan mereka kepada badan peradilan, dan bila ada sistem pengadilan yang berfungsi, bukti dan kemauan politis yang cukup, bisa dilakukan pengadilan. Beberapa komisi menunjuk nama pelaku kejahatan, sehingga paling tidak memberikan sanksi moral. Beberapa menyarankan sanksi lain yang bisa diterapkan tanpa pengadilan, seperti menurunkan pelaku kejahatan dari posisinya di militer di mana mereka bisa melakukan pelanggaran lebih lanjut.
Menggariskan Pertanggungjawaban Institusional dan Menyarankan Reformasi Selain menyelidiki peran pelaku individual, komisi kebenaran juga mampu menilai tanggung jawab institusional dalam pelanggaran yang luas, dan menunjukkan kelemahan pada struktur institusi atau perundang-undangan yang perlu diubah untuk mencegah pelanggaran lagi di masa depan. Mungkin saja sebuah komisi mencegah pelanggaran di masa depan dengan hanya menerbitkan laporan akurat pelanggaran yang terjadi, dengan harapan bahwa rakyat akan mengenali dan menolak untuk kembali ke pemerintahan yang represif. Namun kedamaian di masa depan mungkin akan lebih bergantung pada perubahan institusi yang melakukan pelanggaran, seperti polisi dan militer, juga institusi yang bertanggung jawab mencegah pelanggaran dan menghukum orang yang berbuat salah, seperti badan peradilan. Komisi kebenaran memiliki posisi yang unik untuk melaksanakan tugas evaluatif dan preskriptif ini, karena mereka bisa mendasarkan kesimpulan dan saran mereka pada studi yang cermat atas catatan mereka, sementara menjadi badan yang independen dari sistem-sistem yang sedang dinilai. Biasanya tidak ada badan negara lain yang bisa meneliti kinerja dan kelemahan sistem peradilan, misalnya. Pada akhirnya, penerapan reformasi yang disarankan komisi kebenaran berdasar pada kepentingan dan kemauan politik penguasa. Hampir semua saran komisi tidak mengikat, namun berguna untuk mengarahkan perubahan dan menciptakan tekanan yang bisa digunakan masyarakat madani.
Mendorong Rekonsiliasi dan Mengurangi Konflik Akal sehat menyatakan bahwa masa depan tergantung dari masa lalu: semua orang harus menghadapi peninggalan kejahatan di masa lalu atau tidak akan ada dasar untuk membangun masyarakat yang baru. Kuburkan dosa dalam-dalam, dan mereka akan bangkit lagi esok. Cobalah menyuruh hantu masa lalu diam, dan mereka akan menghantuimu selamanya – dengan risiko kekerasan, kemarahan, rasa sakit dan pembalasan di masyarakat. Dengan secara langsung mengkonfrontasi konflik yang telah terjadi, konflik tersebut diharapkan tidak meledak menjadi kekerasan atau konflik politik di masa depan. Tentu saja, menyelesaikan ketidaksepakatan dan konflik laten bisa membantu meredakan ketegangan. Namun, dalam beberapa kondisi, dalam perubahan yang rentan, memberitakan kebenaran malah bisa meningkatkan ketegangan, terutama bila Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
menyangkut tokoh-tokoh penting atau angkatan bersenjata yang melakukan kejahatan berskala besar. Karena itu, tentu dapat dipahami jika pemerintah memasuki lingkup ini dengan kehati-hatian tinggi.vii Namun, banyak pendukung pencarian kebenaran menyatakan bahwa maaf dan rekonsiliasi akan terjadi setelah kebenaran diketahui semua orang. Bagaimana bisa memaafkan bila korban tidak tahu siapa yang dimaafkan dan apa kesalahan yang dimaafkan? Tujuan rekonsiliasi sudah diasosiasikan erat dengan beberapa komisi kebenaran di masa lalu, sehingga sering kali dikira bahwa rekonsiliasi merupakan bagian integral atau bahkan utama dari tujuan penciptaan komisi kebenaran, yang tidak selalu benar. Akhirnya, selain tujuan spesifik untuk melakukan pencarian kebenaran, beberapa pengamat menganggap bahwa menemukan dan mengumumkan kebenaran mengenai pelanggaran merupakan tugas negara, sebagaimana dinyatakan dalam hukum internasional; dan ada hak untuk mendapatkan kebenaran yang inheren pada semua korban, dan masyarakat secara keseluruhan. Hukum hak asasi manusia internasional mewajibkan negara untuk menyelidiki dan menghukum pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia; dalam kewajiban tersebut terimplikasi hak rakyat untuk mendapatkan hasil penyelidikan tersebut, demikian dinyatakan para aktivis hak asasi. Frank LaRue dari Center for Human Rights Legal Action, di Guatemala, dan Richard Carver yang semula dari Article 19, di London, merupakan pelopor pandangan ini, pada tahun 1993. Carver menulis, “Article 19 menganggap bahwa terdapat ‘hak untuk mengetahui kebenaran’ yang terkandung dalam hak untuk ‘mencari, menerima dan memberitahukan informasi’ yang dijamin Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.” Ia juga mengutip “hak untuk menerima informasi” serupa dalam Perjanjian Afrika mengenai Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Rakyat. viii Para pembela dan pengamat hak asasi juga menunjuk keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika mengenai kasus Velásquez Rodríquez pada tahun 1988, yang berkesimpulan bahwa negara memiliki kewajiban untuk meneliti nasib mereka yang dihilangkan dan memberikan informasi tersebut kepada para keluarga mereka.ix Harapan-harapan yang banyak dan beragam ini merupakan alasan yang penting bagi setiap negara untuk melaksanakan pencarian kebenaran secara resmi. Tujuan ini cukup penting untuk menuntut energi, biaya, waktu dan usaha yang besar. Sayangnya, kompleksitas dan sensitivitas tugas ini berarti bahwa banyak komisi memiliki kesulitan untuk mencapai tujuan ini. i ii iii iv v vi vii viii ix
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 4 Lima Contoh Komisi Kebenaran
Kedua-puluh-satu komisi yang digambarkan dalam bab ini dan bab-bab selanjutnya mewakili begitu banyak institusi serupa di berbagai belahan dunia. Daftar berisikan kedua-puluh-satu komisi tersebut barangkali bukan merupakan suatu daftar yang memadai, namun semuanya mencakupi kebanyakan dan merupakan yang paling penting sekarang ini.i Daftar ini bertumbuh sangat cepat: pada pertengahan 1999, Nigeria dan Sierra Leone mengumumkan pembentukan komisi kebenaran. Komisi kebenaran Nigeria dibentuk melalui keputusan presiden persis setelah berakhirnya rezim militer, sementara komisi kebenaran Sierra Leone dibentuk dalam kesepakatan damai yang mengakhiri perang saudara sembilan tahun. Pada permulaan tahun 2000, sekurang-kurangnya setengah lusin negara lainnya mempertimbangkan untuk membentuk komisi kebenaran juga. Lima komisi kebenaran yang penting – ditilik dari ukuran, akibat pada transisi politik dan perhatian nasional dan internasional yang mereka terima – digambarkan dalam bab ini secara mendalam. Kelima komisi ini – di Argentina, Cili, El Salvador, Afrika Selatan dan Guatemala (secara kronologis) – memberikan masukan mendalam mengenai kinerja badan kebenaran ini, dan sering kali dirujuk dalam buku ini. Sementara, keenam-belas komisi lainnya akan diuraikan dalam bab 5. Empat dari lima komisi di bab ini berada di Amerika Latin, yang bisa memberikan kesan keliru bahwa sebagian besar komisi kebenaran dibentuk di sana. Sebenarnya, Afrika memiliki lebih banyak komisi kebenaran. Untuk berbagai alasan, komisi kebenaran di Amerika Latin cenderung penting, biasanya merupakan inisiatif utama untuk melawan transisi yang terlalu kompromis, dan menarik perhatian publik yang signifikan. Banyak badan serupa di Afrika lebih kecil, kurang berhasil dan kurang menonjol. Kini, setelah perhatian internasional yang besar pada komisi kebenaran dan rekonsiliasi Afrika Selatan, pemerintah di seluruh dunia lebih serius dalam menyikapi komisi kebenaran. Komisi kebenaran yang kini dibentuk biasanya besar dan serius, dan mendapatkan perhatian dan masukan internasional yang besar pula. Lima komisi di sini dianggap sebagai contoh yang perlu ditiru – atau sebagai bahan yang patut dipelajari.
Argentina Angkatan bersenjata merebut kekuasaan di Argentina pada tahun 1976, dan memerintah negeri tersebut, melalui beberapa junta militer yang berturut-turut, selama tujuh tahun. Selama itu, dalam operasi anti-komunis yang kejam untuk menghabisi para “subversif”, antara 10-30 ribu orang dihilangkan oleh militer – ditangkap, disiksa dan dibunuh, mayatnya dibuang agar tidak ditemukan, dan nasib mereka tidak diketahui oleh para keluarga yang ditinggalkan. Hanya setelah perang antara Argentina dan Inggris memperebutkan Malvinas, yang berakhir dengan kekalahan yang memalukan dan menimbulkan kemarahan publik, militer mengalah ke pilihan rakyat dan mengembalikan kekuasaan kepada perintahan sipil pada tahun 1983. Sebelum melepaskan kekuasaan, karena takut untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya, junta militer memberikan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
imunitas kepada dirinya dari tuntutan dan memerintahkan pemusnahan semua dokumen yang berkaitan dengan represi militer. Presiden baru yang dipilih, Raul Alfonsín, langsung menghadapi masalah hak asasi manusia begitu ia menjabat. Sebuah komisi penyidik orang hilang mulai dibicarakan pada hari pertama ia menjabat, menurut kesaksian seorang penasihat kepresidenan. Dan dalam satu minggu, Komisi Nasional Orang Hilang (disingkat CONADEF dalam bahasa Spanyol) dibentuk atas perintah presiden.ii Alfonsin menunjuk sepuluh anggota komisi “yang memiliki kemahsyuran nasional dan internasional, dipilih karena posisi mereka yang konsisten dalam membela hak asasi manusia dan wakil kelompok yang beragam”.iii Kedua kamar dalam kongres juga diminta untuk menunjuk wakil untuk komisi, meskipun hanya satu yang menuruti. Komisi tersebut dipimpin oleh pengarang terkenal Ernesto Sabato. Organisasi non-pemerintah sudah melobi untuk komisi yang dibentuk parlemen, yang bisa memiliki kekuatan jauh lebih besar daripada komisi yang ditunjuk presiden, dan pada awalnya menolak bekerja-sama dengan komisi Alfonsin, karena ia tidak berkekuatan untuk memaksa para tertuduh pelaku atau institusi militer memberikan pengakuan. Hampir semua organisasi hak asasi manusia akhirnya memutuskan untuk membantu proses penyelidikan itu, memberikan sejumlah besar laporan mengenai orang hilang, meskipun kecemasan mereka akhirnya terbukti: komisi tidak mendapatkan kerja sama dari angkatan bersenjata, meskipun berulang-kali diminta kerja samanya. Meskipun komisi tidak mengadakan kesaksian publik (public hearing), ia memiliki profil publik yang penting. Staf komisi memeriksa pusat penahanan, kuburan rahasia dan fasilitas polisi; orang-orang buangan yang pulang dari luar negeri diminta bersaksi. Komisi juga mendapatkan pernyataan di kedutaan dan konsulat Argentina di seluruh dunia. Komisi ini juga bekerja erat dengan keluarga orang hilang untuk menemukan orang yang mungkin masih hidup, namun tidak ada yang ditemukan demikian. Komisi mendapatkan lebih dari 7 ribu pernyataan selama sembilan bulan, mendokumentasikan 8.960 orang hilang. Di antara mereka yang diwawancarai, terdapat lebih dari 1.500 orang yang selamat dari kamp penahanan militer, yang memberikan gambaran mendetail mengenai kondisi di kamp dan jenis siksaan yang dialami. Penyelidikan utama komisi berfokuskan pada identifikasi kamp tahanan dan penyiksaan, sering kali mengunjungi bekas kamp bersama korban yang selamat untuk membantu mengkonfirmasi lokasi. Sebuah daftar berisikan 365 bekas kamp siksaan dicantumkan dalam laporan akhir komisi, dengan sejumlah foto. Setelah sembilan bulan, komisi memberikan laporan lengkapnya, Nunca Más (Never Again – Jangan Lagi) kepada presiden.iv Sebuah laporan yang lebih ringkas, dalam bentuk buku diterbitkan oleh penerbit swasta bekerja-sama dengan pemerintah. Laporan ini segera menjadi best-seller: 40 ribu kopi terjual pada hari pertama, dan 150 ribu dalam delapan minggu pertama. Buku ini telah dicetak ulang lebih dari dua puluh kali, terjual hampir 300 ribu kopi, dan merupakan salah satu buku yang paling laku dalam sejarah Argentina. Lebih dari lima belas tahun setelah terbit pertama, buku laporan ini masih bisa ditemukan dijual di banyak kios emperan di Buenos Aires. Sementara itu, amnesti yang diberikan rezim militer kepada dirinya sendiri segera dicabut oleh pemerintah sipil, dan komisi menyerahkan laporannya langsung ke kantor kejaksaan tinggi. Informasi yang didapatkan komisi, terutama sejumlah besar saksi yang diidentifikasikan dalam catatannya, berperan penting dalam pengadilan anggota senior junta militer, dan berhasil memenjarakan lima jenderal.v Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Cili Pada bulan September 1973, Jenderal Augusto Pinochet menjatuhkan pemerintahan sipil Cili, menindas lawan politik secara brutal, dan memerintah Cili selama 17 tahun. Rezim ini memiliki kebijakan anti-komunis yang fanatik untuk menjustifikasi penindasannya, yang mencakup penangkapan massal, penyiksaan, pembunuhan dan penghilangan. Kekerasan terburuk terjadi pada tahun-tahun pertama setelah kudeta, ketika sekitar 1.200 orang dibunuh atau dihilangkan, dan ribuan lagi ditangkap, disiksa dan akhirnya dilepaskan. Pengadilan diam saja, dan tidak melakukan apa pun untuk melawan tindakan rezim tersebut. Sementara itu, organisasi non-pemerintah, termasuk proyek hak asasi manusia berbasis gereja menantang hampir semua kasus penahanan ilegal atau penghilangan, dan berhasil menyusun catatan tiap kasus meskipun jarang berhasil di pengadilan. Pada tahun 1978, Pinochet mengumumkan undang-undang amnesti, yang melarang tuntutan pada hampir semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi setelah kudetanya. Meskipun rezim itu sedemikian brutal, banyak warga Cili tetap mendukung Pinochet, terutama unsur-unsur kanan, dan ketika ia melakukan plebisit pada tahun 1988, ia hanya kalah tipis. Patricio Aylwin dipilih dan mulai menjabat presiden pada bulan Maret 1990, meskipun dengan batasan-batasan terhadap demokrasi. Pinochet telah mengubah konstitusi pada tahun 1980 untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya, dan mempertahankan otonomi dan pengaruh politik militer; termasuk bahwa ia tetap menjadi panglima tertinggi militer hingga tahun 1998 dan kemudian menjadi senator seumur hidup. Amnesti tersebut membatasi pilihan Aylwin dalam merespon pelanggaran yang terjadi pada masa Pinochet. Setelah memutuskan bahwa sukar untuk membatalkan amnesti, Aylwin menyelidiki dan berusaha menemukan kebenaran tentang masa lalu. Hanya enam minggu setelah pelantikannya, dalam salah satu inisiatif terpenting pemerintahannya, Aylwin membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi melalui keputusan presiden. Aylwin menunjuk delapan orang untuk komisi tersebut, empat yang mendukung Pinochet, termasuk mantan pejabat, dan empat oposan, sehingga menghindarkan persepsi mengenai bias di kerja komisi. Strategi ini berhasil baik, dan laporan akhir didukung mutlak oleh semua anggota. Komisi ini diketuai oleh seorang mantan senator, Raúl Rettig. Mandat komisi Cili ini memerintahkannya untuk menyelidiki “penghilangan setelah penangkapan, eksekusi, dan penyiksaan yang berakibat pada kematian yang dilakukan oleh agen pemerintah atau pegawai pemerintah, juga penculikan dan usaha pembunuhan yang dilakukan individual atas dasar politis”.vi Mandat ini mengecualikan kasus penyiksaan yang tidak berakibat pada kematian. Jadi, meskipun komisi ini menggambarkan praktik penyiksaan dengan mendetail dalam laporannya, mereka yang disiksa dan selamat tidak dicatat sebagai korban. Kasusnya tidak diselidiki, dan tetap terdapat ketidakjelasan mengenai jumlah korban penyiksaan yang selamat (perkiraan berkisar antara 50-200 ribu). Korban penyiksaan juga tidak mendapatkan ganti rugi dalam program pelaksanaan rekomendasi komisi tersebut.vii Komisi ini diberi waktu sembilan bulan untuk menyelesaikan kerjanya. Ia sangat dibantu oleh informasi dari LSM, termasuk catatan mendetail tentang ribuan kasus yang dibawa ke pengadilan pada masa rezim militer. Dalam semua kasus, walaupun dokumentasinya mendetail, komisi juga mendengarkan kesaksian dari keluarga mereka Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
yang hilang atau dibunuh. Mandatnya yang terbatas dan jumlah kasus yang relatif kecil memungkinkannya melakukan penyelidikan mendetail terhadap tiap kasus, menggunakan enam puluh orang staf. “Dengan mulai bekerjanya komisi,” demikian laporan tersebut, “Komisi percaya bahwa tugas utamanya adalah menentukan apa yang sebenarnya terjadi dalam tiap kasus pelanggaran berat hak asasi manusia. Hanya dengan menentukan apa yang terjadi dalam tiap kasus individual, komisi bisa menggambarkan secara lengkap fenomena keseluruhan pelanggaran hak-hak mendasar ini”.viii Komisi ini juga memasang iklan di pelbagai surat kabar di seluruh dunia untuk meminta informasi dari para buangan. Ia tidak memiliki kekuatan subpoena, dan mendapat kerja sama yang sangat kecil dari angkatan bersenjata. ix Dari 3.400 kasus yang diberikan, 2.920 dianggap merupakan cakupan mandatnya.x Laporan komisi setebal 1.800 halaman diselesaikan pada bulan Februari 1991. Ini merupakan tuntutan kuat terhadap praktik rezim Pinochet, yang menggambarkan kekejaman yang terjadi dan respon aktor domestik dan internasional. Dari kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, menurut definisi komisi itu, lebih dari 95% merupakan akibat tindakan agen-agen negara. xi Komisi ini juga membahas pelanggaran yang dilakukan unsur kiri bersenjata yang relatif kecil, yang bertanggung jawab atas 4% pelanggaran yang dicatat, meskipun laporan ini mengungkapkan kebohongan argumen utama militer untuk menjustifikasi taktik kasarnya, bahwa negara mengalami “perang internal” yang menuntut penggunaan kekerasan terhadap lawannya.xii Akibat proses ini terhadap anggota komisi itu sendiri kuat sekali. Salah seorang anggota komisi, yang sebelumnya mengetuai komisi hak asasi yang tidak efektif di bawah rezim Pinochet, mengatakan kepada pers setelah pengumuman laporan itu, “Apa yang saya ketahui sekarang, tidak terbayangkan sebelumnya.”xiii Setelah membaca laporan tersebut selama beberapa minggu, Presiden Aylwin mengumumkannya ke publik dengan sebuah pernyataan emosional di televisi nasional. Berbicara atas nama negara, ia memohon maaf dari para korban dan menekankan perlunya maaf dan rekonsiliasi, dan meminta angkatan bersenjata untuk “menunjukkan pemahaman pada duka yang ditimbulkannya”.xiv Pinochet membalas dengan sebuah pernyataan yang panjang mengenai “ketidaksepakatan secara mendasar” terhadap laporan itu dan menekankan bahwa angkatan bersenjata “telah menyelamatkan kebebasan dan kedaulatan tanah air” dengan melakukan kudeta pada tahun 1973. Namun ia tidak mempertanyakan secara spesifik aspek mana pun dalam kesimpulan laporan itu.xv Jumlah kopi laporan yang dicetak itu relatif hanya sedikit, meskipun laporan lengkap direproduksi sebagai lampiran di sebuah surat kabar harian. Terdapat rencana untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional dan kegiatan-kegiatan pendidikan mengenai laporan tersebut. Namun, dalam empat minggu setelah peluncuran laporan itu, tiga serangan yang dilakukan kelompok kiri bersenjata terhadap elite politik kanan, terutama pembunuhan rekan dekat dan kepercayaan Pinochet, Senator Jaime Guzman, mengalihkan perhatian negeri tersebut dari laporan itu ke ancaman teroris kekiri-kirian; dan usaha rekonsiliasi pun dibatalkan. Pembunuhan itu “praktis menghentikan diskusi mengenai laporan Rettig” menurut Human Rights Watch.xvi Setahun kemudian, dilaporkan bahwa “Laporan Rettig, dengan pengungkapan dan kesimpulannya yang menghentak itu, tidak muncul lagi”.xvii Meskipun perhatian publik terhadap laporan itu hanya sedikit, namun kerja komisi tersebut memiliki akibat langsung mendorong sebuah program pemulihan atau ganti rugi Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
yang signifikan bagi keluarga korban yang tewas atau hilang. Sebuah undang-undang disahkan untuk membentuk komisi susulan, Badan Nasional untuk Pemulihan dan Rekonsiliasi. Tugasnya adalah untuk menemukan sisa-sisa orang hilang, menyelesaikan kasus yang masih belum selesai, mengorganisasi catatan komisi agar bisa terbuka kepada masyarakat, dan menjalankan program ganti rugi.xviii Meskipun sudah ada kerja komisi kebenaran, masalah pelanggaran di masa lalu tetap tidak bisa dibicarakan dengan nyaman oleh publik dan pers selama beberapa tahun. Sebagaimana diceritakan satu korban penyiksaan pada tahun 1996, membicarakan pelanggaran semasa pemerintahan Pinochet dalam konteks sosial apa pun dianggap “berselera buruk”. Hanya setelah Pinochet turun dari jabatannya sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata untuk menjabat sebagai senator pada awal tahun 1998, dan ditangkap di London pada akhir tahun 1998 atas permintaan ekstradisi dari Spanyol, masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu mulai didiskusikan dan diperdebatkan di Cili. Kontroversi yang muncul dari permintaan Spanyol untuk mengadili Pinochet secara mendasar menggeser lingkup politik Cili mengenai pelanggaran hak asasi manusia, yang mendorong peningkatan kegiatan yudisial domestik mengenai beberapa kasus, terutama mengenai orang hilang. Sementara itu, hakim Spanyol yang meminta ekstradisi Pinochet bergantung pada laporan komisi kebenaran itu dalam membangun dan mempresentasikan kasus itu, bahkan menjadikan laporan tersebut sebagai pertimbangan dalam perintah penangkapannya.
El Salvador Dengan bantuan militer dan lain-lain senilai $ 4,5 milyar dari Amerika Serikat pada dekade 1980-an, pemerintah El Salvador melakukan perang selama 12 tahun melawan gerilyawan kiri Farabundo Martí, mulai tahun 1980 hingga kesepakatan damai di bawah PBB pada akhir tahun 1991. Perang ini diwarnai oleh puluhan ribu pembunuhan politik dan penghilangan, juga pembantaian massal penduduk sipil tidak bersenjata; diperkirakan 1,4% persen penduduk El Salvador tewas dalam konflik ini.xix Salah satu kasus yang paling menonjol adalah pembunuhan enam pastor Jesuit pada tahun 1989, yang membantu mendorong tekanan internasional untuk mengakhiri perang.xx Selama perang itu, laporan pelanggaran hak asasi manusia menjadi titik kontroversi penting, terutama di Kongres Amerika Serikat dan dalam tubuh pemerintahan Reagan, yang menolak keras keberadaan pelanggaran yang dilakukan pemerintah El Salvador. Sebuah kesepakatan mengenai pembentukan Komisi Kebenaran untuk El Salvador dicantumkan dalam kesepakatan damai, yang semula disepakati pada bulan April 1991, lewat setahun setelah komisi di Cili menyelesaikan laporannya, yang menjadi titik awal (dan sumber ide) untuk para negosiator perdamaian. Para penandatangan kesepakatan itu mempertimbangkan spesifikasi tepat kasus mana saja yang harus diselidiki oleh komisi itu. Namun, tidak dicapai kesepakatan pada kasus-kasus penting, dan mandatnya dibiarkan terbuka, untuk meneliti “tindakan kekerasan serius” yang terjadi sejak tahun 1980 “yang akibatnya pada masyarakat menjadikannya harus diketahui publik”.xxi Komisi ini ditangani langsung oleh PBB dan didanai oleh sumbangan-sumbangan anggota-anggota PBB (terutama dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa), namun memiliki ketergantungan penuh dalam kerjanya. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Mandat yang diterima memberikan komisi ini kesempatan enam bulan untuk menyelesaikan tugasnya, namun ia juga mendapatkan perpanjangan dua bulan untuk melakukan semua investigasi dan menyelesaikan laporannya. Anggota komisi ini, yang ditunjuk langsung oleh sekretaris jenderal PBB dengan persetujuan kedua pihak, adalah tokoh internasional yang penting: Belisario Betancur, mantan presiden Kolombia, Thomas Buergenthal, mantan Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika dan profesor hukum di Universitas George Washington, dan Reinaldo Figueredo Planchart, mantan menteri luar negeri Venezuela. Komisi ini dibantu oleh sekitar dua puluh staf untuk pengumpulan kesaksian dan investigasi, ditambah sekitar dua puluh lima staf sementara yang ditambahkan pada bulan-bulan terakhir untuk data entry dan proses informasi. Karena alasan objektivitas, tidak ada warga El Salvador yang dimasukkan dalam staf. Komisi ini mengumpulkan kesaksian dari kurang lebih 20.000 korban dan saksi, melaporkan lebih dari 7 ribu kasus pembunuhan, penghilangan, penyiksaan, perkosaan dan pembantaian. Ia juga mengumpulkan fakta dari sumber sekunder, termasuk kelompok hak asasi nasional dan internasional, yang merujuk pada 20 ribu korban lainnya. Ia menyelidiki beberapa puluh kasus menonjol atau representatif, dan mendatangkan tim antropologi forensik dari Argentina untuk menggali kembali sisa-sisa pembantaian massal di kota El Mozote, yang menjadi pusat pertikaian internasional. Meskipun angkatan bersenjata secara keseluruhan nyaris tidak membantu, beberapa perwira tinggi bersedia bertemu secara diam-diam dengan komisi itu untuk memberikan informasi internal yang penting – kadang-kadang di luar negeri, karena ancaman terhadap nyawa mereka. xxii Meskipun terdapat tekanan untuk melunakkan laporannya, komisi mendapatkan kesimpulan kuat pada puluhan kasus kontroversial, menunjuk lebih dari 40 perwira tinggi militer, hakim dan oposisi bersenjata sebagai penanggung-jawab kekerasan tersebut. Komisi itu menyimpulkan bahwa lebih dari 95% pelanggaran dilakukan oleh pihak pemerintah atau angkatan bersenjata. Penerbitan laporan komisi itu, From Madness to Hope (Dari Kegilaan ke Harapan), merupakan “peristiwa politik penting di El Salvador”, menurut Komite Pengacara untuk Hak Asasi. Beberapa hari menjelang keluarnya laporan, spekulasi mengenai siapa saja yang akan dituduh “mencapai tingkat histeria massa”. xxiii Secara keseluruhan, laporan tersebut diterima dengan baik oleh para aktivis dan organisasi hak asasi manusia di El Salvador dan Amerika Serikat. Namun, komisi itu dikritik karena tidak membuat laporan lengkap mengenai berbagai aspek penting kekerasan, misalnya operasi “komando pembunuh”, dan peran Amerika Serikat dalam mendukung pasukan pemerintah. Militer El Salvador menjawab laporan itu dengan pernyataan panjang di televisi pemerintah yang dibacakan menteri pertahanan, yang juga dituduh dalam laporan itu. Didampingi oleh seluruh staf tinggi militer, ia mengutuk laporan itu sebagai “tidak adil, tidak lengkap, ilegal, tidak etis, bias dan kurang ajar” dan mengeluh karena “komisi itu tidak memasukkan dalam laporannya sifat dan asal muasal serangan komunis terhadap El Salvador”.xxiv Presiden sipil Alfredo Cristiani memberitahu pers bahwa laporan itu gagal memenuhi keinginan rakyat El Salvador untuk rekonsiliasi nasional, yaitu untuk “memaafkan dan melupakan masa lalu yang pedih ini”.xxv Lima hari setelah laporan itu terbit, sebuah aturan amnesti luas disahkan, mencegah tindakan legal terhadap para pelaku, sehingga menekan ketertarikan publik pada laporan itu. xxvi Namun, penunjukan nama dalam laporan komisi itu menyediakan dukungan penting untuk pemecatan pelanggar hak asasi manusia dari angkatan bersenjata, terutama Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mereka yang namanya diberikan oleh komisi ad hoc yang dibentuk oleh kesepakatan damai dengan tugas membersihkan angkatan bersenjata dari pelanggar hak asasi manusia. Tapi tidak semua nama yang ditunjuk mengalami nasib demikian. Empat bulan setelah diterbitkannya laporan, menteri pertahanan René Emilio Ponce dan beberapa orang lainnya yang dituduh bertanggung-jawab pada kekejaman-kekejaman itu dipurnawirawankan dengan penuh penghargaan, setelah bertugas selama tiga puluh tahun. Dalam upacara pelepasan, Presiden Cristiani memuji mereka karena telah bertugas dengan “penuh jasa, efisien dan loyal pada tugas tertinggi yang diminta negara”.xxvii Akibat tekanan internasional yang kuat, beberapa saran penting dari laporan itu secara bertahap diterapkan dalam beberapa tahun, terutama dalam bidang reformasi yudisial. Beberapa pengamat melihat bahwa hasil kerja komisi kebenaran lebih banyak terasa di Amerika Serikat daripada di El Salvador. Pemerintah Amerika Serikat bereaksi pada laporan itu dengan menunjuk sebuah panel untuk meneliti dampak kebijakan luar negeri dan operasi sehari-hari Departemen Negara, meskipun laporan panel itu dikritik karena dianggap terlalu sempit. Presiden Bill Clinton juga memerintahkan peninjauan kembali dan pembukaan dokumen rahasia yang berkaitan dengan peran Amerika Serikat dalam perang itu.
Afrika Selatan Setelah empat puluh lima tahun praktik apartheid di Afrika Selatan, dan sekitar tiga puluh tahun perlawanan bersenjata terhadap negara apartheid oleh sayap bersenjata Kongres Nasional Afrika (ANC – African National Congress) dan lain-lain, negeri ini mengalami pembantaian, pembunuhan, penyiksaan, penahanan berkepanjangan dan diskriminasi ekonomi dan sosial yang parah terhadap mayoritas penduduk non-kulit putih. Jumlah korban terbesar timbul dalam konflik antara ANC dengan Partai Kemerdekaan Inkatha yang didukung pemerintah, terutama di wilayah timur, KwaZulu Natal. Pemikiran mengenai komisi kebenaran sudah diusulkan sejak tahun 1992, namun baru setelah Nelson Mandela dipilih sebagai presiden pada tahun 1994, pembicaraan serius mengenai bentuk komisi kebenaran nasional dilakukan. xxviii Isu yang paling menjadi masalah selama negosiasi dalam penyusunan konstitusi sementara pada akhir tahun 1993 adalah soal apakah diberikan amnesti atau tidak bagi para pelanggar, sebagaimana diinginkan militer dan pemerintah. Pada saat-saat terakhir, disepakati bagian penutup konstitusi yang menyatakan bahwa “amnesti akan diberikan terhadap tindakan, kelalaian dan pelanggaran yang berkaitan dengan tujuan politik dan terjadi dalam lingkup konflik di masa lalu”. Kemudian amnesti ini dikaitkan dengan proses penemuan kebenaran. Setelah mendapat cukup masukan dari masyarakat, termasuk dua konferensi internasional untuk meneliti kebijakan keadilan transisional di negara-negara lain, dan setelah ratusan jam dengar pendapat, parlemen Afrika Selatan mengesahkan UndangUndang Promosi Persatuan dan Rekonsiliasi Nasional pada pertengahan tahun 1995. Setelah proses nominasi dan pemilihan publik, 17 anggota komisi dipilih, diketuai Uskup Agung Desmond Tutu. Komisi ini dilantik pada bulan Desember 1995, namun persiapan-persiapan menunda kerja dan penyelidikan mereka hingga bulan April 1996. Dari semua komisi kebenaran yang sudah ada, mandat komisi ini adalah yang paling kompleks dan rumit, dengan kekuatan-kekuatan yang diimbangkan dan jangkauan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
penyelidikan yang luas. Ditulis dalam bahasa hukum yang teliti dan mencapai dua puluh halaman berspasi satu, undang-undang ini memberikan kepada komisi kekuatan untuk memberikan amnesti individual, menggeledah dan menyita barang bukti, memanggil saksi dan menjalankan program perlindungan saksi yang lengkap. Dengan staf sejumlah 300 orang, anggaran $18 juta per tahun untuk dua setengah tahun, dan empat kantor besar, komisi ini jauh lebih besar dari semua komisi kebenaran sebelumnya. Komisi ini dirancang untuk bekerja dalam tiga komite yang saling terkait: Komite Pelanggaran Hak Asasi bertanggung-jawab untuk mengumpulkan pernyataan dari para korban dan saksi dan mencatat sejauh mana terjadinya pelanggaran hak asasi, Komite Amnesti memproses dan memutuskan aplikasi individual untuk amnesti, dan Komite Pemulihan dan Rehabilitasi merancang dan mengajukan saran untuk program pemulihan. Komisi ini mendengarkan kesaksian dari lebih 21 ribuan saksi dan korban, 2 ribu di antaranya muncul dalam dengar-kesaksian publik. Laporan media terhadap komisi ini sangat intens: hampir semua surat kabar memberitakan sejumlah cerita mengenai komisi ini setiap hari, dan berita radio dan TV sering kali dimulai dengan laporan terkini dari komisi itu. Empat jam dengar publik disiarkan oleh radio nasional secara langsung setiap harinya, dan progam TV laporan khusus komisi kebenaran yang disiarkan setiap Minggu malam segera menjadi program berita yang paling populer.xxix Komisi ini juga mengadakan dengar-kesakian publik khusus yang berfokus pada sektor atau institusi penting dalam masyarakat dan respon atau partisipasi mereka dalam praktik pelanggaran. Kegiatan ini berfokus pada komunitas religius, legal, bisnis dan buruh, sektor kesehatan, media, penjara dan angkatan bersenjata. Dengar-kesaksian khusus lainnya membahas penggunaan senjata kimia dan biologi terhadap lawan pemerintah apartheid, pemaksaan wajib militer, kebijakan partai politik dan bagaimana anak-anak dan perempuan dipengaruhi kekerasan itu. Komisi ini juga mengadakan dengar-kesaksian mengenai keterlibatan individual, yang paling terkenal adalah Winnie Mandikizela Mandela, yang menginginkan dengar-kesaksiannya diadakan di muka umum, bukan privat, sebagaimana direncanakan komisi tersebut. Dua minggu dengar-kesaksian Mandikizela Mandela mendorong penyelidikan polisi terhadap keterlibatannya dalam sejumlah tindakan kriminal dan menghentikan keinginannya untuk mendapatkan posisi politik yang menonjol. Sayangnya, kadang kala komisi ini tidak menggunakan kekuatan-kekuatan yang ia miliki, dan sering kali dikritik karena menempatkan rekonsiliasi di atas penemuan kebenaran. Komisi ini menggunakan kekuatan memanggil saksi, penggeledahan dan penyitaan hanya beberapa kali, untuk mencegah protes dari berbagai pihak. Dan, komisi ini menunda atau memutuskan untuk tidak memanggil atau menggeledah beberapa individu atau institusi penting, termasuk markas besar angkatan bersenjata dan ANC, yang menolak (dalam kasus militer) atau lambat (dalam kasus ANC) untuk memberikan informasi yang diminta. Komisi ini juga dikritik keras oleh organisasi hak asasi manusia karena tidak memanggil menteri dalam negeri sekaligus presiden Partai Kemerdekaan Inkatha, Mangosuthu Buthelezi, karena mencemaskan reaksi yang diwarnai kekerasan. Terobosan terpenting komisi ini, dan kekuatannya yang paling kontroversial, adalah untuk memberikan amnesti individual bagi kejahatan bermotif politik yang dilakukan antara tahun 1960 hingga bulan April 1994. Komisi ini mendapatkan lebih dari tujuh ribu aplikasi untuk amnesti. xxx Amnesti diberikan hanya kepada mereka yang mengaku secara lengkap keterlibatan mereka dalam kejahatan dan menunjukkan motif Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
politik. Terhadap pelanggaran hak asasi yang mendalam (dibandingkan kejahatan bermotif politik terhadap hak milik atau penyelundupan senjata, misalnya), orang yang meminta amnesti harus melakukan dengar-kesaksian publik untuk menjawab pertanyaan dari komisi, pengacara para korban dan keluarganya, dan dari korban itu sendiri.xxxi Komite Amnesti mempertimbangkan beberapa faktor apakah seseorang layak mendapat amnesti. Di antaranya, komite mempertimbangkan hubungan antara tindakan, kelalaian atau pelanggaran dengan tujuan politik yang dicari, terutama “proporsionalitas” di antara mereka. xxxii Semua kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan pribadi atau karena kesalahan pribadi tidak diberikan amnesti. Permintaan maaf dan penyesalan juga tidak diwajibkan untuk mendapatkan amnesti. Dengan adanya pengungkapan kepada publik secara mendetail yang menjadi syarat amnesti untuk kejahatan-kejahatan yang paling mengerikan dan brutal, jelas bahwa tawaran kebenaran-untuk-amnesti ini hanya akan diambil oleh mereka yang takut pada ancaman jerat hukum. Diharapkan bahwa beberapa pengadilan yang dilakukan pada awal masa tugas komisi akan menambah persepsi ancaman jalur hukum. Beberapa pengadilan untuk kasus-kasus era apartheid yang mencolok berhasil mengajukan tuntutan mereka dan berakibat pada hukuman yang panjang dan mendorong jumlah pengajuan amnesti. Namun, ketika sebuah pengadilan penting lain – mantan menteri pertahanan Magnus Malan dan sembilan belas orang lainnya – berakhir dengan pembebasan, jelas bahwa ancaman hukuman tidak cukup kuat untuk membujuk para pelaku tingkat tinggi untuk mengambil jalur amnesti. Tenggat waktu untuk mengambil tawaran amnesti ini ditentukan satu tahun sebelum komisi itu dibubarkan, agar para pelaku mencemaskan mereka diselidiki semakin jauh dalam dengar-kesaksian amnesti yang lebih lanjut. Selain itu, untuk meningkatkan tekanan pada para pelaku agar meminta amnesti, komisi mengadakan investigasi di balik pintu, merahasiakan nama yang terlibat dan kejahatan yang dibahas. Namun pada akhirnya, banyak pelaku memilih untuk tidak mengambil amnesti, terutama para pemimpin politik rezim apartheid dan perwira tinggi angkatan bersenjata. Sejumlah keputusan amnesti penting menarik perhatian. Para pelaku pembunuhan Steve Biko, aktivis anti-apartheid, ditolak amnestinya karena mereka menyatakan bahwa kematiannya tidak disengaja. Panel menolak argumen ini, karena pembunuhan yang “tidak disengaja” tidak bisa dikaitkan dengan sasaran politik, dan karena tidak satu pun tertuduh mengakui kejahatannya, secara logis mereka tidak seharusnya mendapatkan amnesti.xxxiii Panel juga mempertanyakan apakah para pendaftar amnesti tersebut sudah menceritakan seluruh kebenaran.xxxiv Dalam kasus lain, komisi menyatakan bahwa pelanggaran yang timbul semata-mata dari rasisme tidak dapat diberi amnesti, karena tidak memiliki motif politik dan persetujuan baik implisit maupun eksplisit dari badan politis atau negara – meskipun terdapat inkonsistensi dalam keputusan komite mengenai hal ini dan isu-isu lainnya.xxxv Komisi kebenaran ini merupakan yang pertama memiliki kekuatan dan keputusannya, yang ditantang dalam badan pengadilan, dan terlibat dalam sejumlah besar perang legal dalam masa tugasnya. Mungkin yang paling penting, tiga keluarga korban yang penting menantang konstitusionalitas kekuatan komisi itu untuk memberikan amnesti. Kasus ini dimenangkan oleh komisi, oleh Peradilan Konstitusional Afrika Selatan. xxxvi Sebuah kasus lain diajukan ke pengadilan untuk memaksa komisi memberitahukan lebih dahulu siapa saja yang akan dituduh dalam dengar-kesaksian publik; pengadilan memutuskan bahwa komisi harus memberikan peringatan kepada Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mereka. Tuntutan diajukan kepada mantan presiden P. W. Botha setelah ia menolak perintah panggilan untuk hadir di depan komisi. Pengadilannya menjadi ajang komisi untuk mengumumkan sejumlah besar bukti-bukti yang memberatkannya, termasuk pengetahuannya dan persetujuannya terhadap sejumlah besar kejahatan negara. Dihadapkan pada informasi ini, dukungan publik terhadap Botha menciut. Ia diadili, didenda $2.000, dan dijatuhi satu tahun hukuman percobaan. Dalam peninjauan kembali, kasus ini dibatalkan karena alasan teknis.xxxvii Laporan komisi yang sebanyak lima jilid ini diumumkan pada bulan Oktober 1998, dan menimbulkan kontroversi yang tidak diharapkan beberapa hari sebelumnya. Mantan presiden F. W. de Klerk berhasil menghalangi komisi, paling tidak secara sementara, dari menyebut namanya dalam laporan. xxxviii Selain itu, ANC, yang tidak suka dengan pengungkapan tindakannya di masa lalu, berusaha menghalangi penerbitan laporan itu dengan melakukan tantangan di pengadilan pada detik-detik terakhir; pengadilan memenangkan komisi hanya beberapa jam sebelum laporan direncanakan untuk diterbitkan. Laporan ini secara resmi dipertimbangkan di parlemen beberapa bulan sesudahnya, ketika wakil presiden Thabo Mbeki, sebagai presiden ANC, menyatakan bahwa ANC memiliki “keraguan serius” mengenai proses dan laporan komisi itu, terutama ditemukan bahwa “akibat temuan [komisi itu] adalah mendelegitimasi atau mengkriminalisasi sebagian besar perjuangan kita untuk pembebasan”.xxxix Setelah beberapa hari perdebatan dan komentar, pemerintah tidak membuat komitmen untuk menerapkan saran-saran komisi tersebut. Komisi amnesti tidak berhasil menyelesaikan tinjauannya atas semua aplikasi amnesti pada tenggat waktu yang ditentukan. Ia melanjutkan dengar-kesaksian publik selama hampir dua tahun setelah terbitnya laporan utama komisi kebenaran, dengan proyeksi waktu penyelesaian di akhir tahun 2000. Sementara itu, komisi lain berusaha untuk menyusun program pemulihan, dengan anggaran yang minimal, dan memfinalkan daftar korban yang akan menerima pemulihan itu. Seluruh anggota komisi akan bertemu kembali pada tahun 2000 untuk menerbitkan tambahan ke lampirannya yang akan mencantumkan hasil akhir penyelidikan dan dengar-permintaan amnesti.
Guatemala Perang saudara di Guatemala, antara pemerintah anti-komunis melawan Unidad Revolucionaria Nacional Guatemalteca (URNG) yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun dan menewaskan dan menghilangkan sekitar 200 ribu orang. Strategi antipemberontakan yang dilakukan negara amatlah brutal, dengan pembumi-hangusan ratusan desa dan pembunuhan puluhan ribu penduduk sipil; banyak di antaranya terjadi dalam pembantaian besar-besaran. Perang berlanjut pada tingkat yang lebih rendah hingga dekade 1990-an, ketika negosiasi yang dimoderatori PBB akhirnya menghentikan peperangan. Salah satu isu yang paling kontroversial selama negosiasi tersebut adalah mengenai bagaimana pelanggaran hak asasi manusia yang sudah terjadi akan disikapi dalam masa transisi ke perdamaian. Negosiasi Guatemala sudah dimulai ketika laporan komisi kebenaran El Salvador diterbitkan pada awal tahun 1993, dan contoh ini menjadi titik awal Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
referensi Guatemala dalam mempertimbangkan komisi kebenaran. Paling penting adalah bahwa para pejabat angkatan bersenjata Guatemala menekankan bahwa model El Salvador menunjuk nama para pelaku tidak akan dilakukan di Guatemala. Kesepakatan untuk membentuk Komisi Klarifikasi Sejarah (nama lengkapnya adalah Komisi untuk Klarifikasi Pelanggaran Hak Asasi dan Tindakan Kekerasan yang Berakibat Penderitaan Rakyat Guatemala – The Commission to Clarify Past Human Rights Violations and Acts of Violence That Have Caused the Guatemalan People to Suffer) ditandatangani di Oslo, Norwegia, pada bulan Juni 1994 oleh pemerintah dan URNG. Namun, diperlukan tiga tahun lagi untuk ditandatanganinya kesepakatan damai akhir dan komisi mulai bekerja. Pemikiran mengenai komisi kebenaran mendapatkan respon positif dari masyarakat luas dan kelompok korban di Guatemala, dan mereka melobi para negosiator untuk mempengaruhi syarat-syaratnya. Namun pada akhirnya, aturan pembentukan komisi kebenaran memiliki beberapa batasan yang sebenarnya ditolak keras kelompok-kelompok tersebut. Secara spesifik, mereka menentang stipulasi bahwa komisi ini tidak dapat “memberikan tanggung jawab kepada individu dalam kerja, saran dan laporannya”; bahwa kerja komisi ini “tidak memiliki tujuan atau akibat yudisial”; dan bahwa ia hanya memiliki waktu enam bulan untuk menyelesaikan kerjanya, dengan perpanjangan waktu enam bulan.xl Kelompok-kelompok masyarakat luas melampiaskan kemarahan kepada URNG, karena mau menandatangani kesepakatan itu; menurut beberapa peserta negosiasi, reaksi keras terhadap kesepakatan komisi kebenaran itu nyaris menggagalkan pembicaraan damai itu sendiri.xli Namun, kemudian setelah anggota komisi ditunjuk dan komisi mempekerjakan sejumlah besar staf yang berbakat, masyarakat mulai yakin pada komisi itu dan mendukung kerjanya. Penyelidikan juga mendapatkan dukungan dan kepercayaan yang berlanjut dari kedua pihak, dan akhirnya bekerja selama 18 bulan, dengan menafsirkan tenggat waktu 12 bulan sebagai hanya berlaku pada tahap investigasinya saja. Sebagaimana dirancang dalam kesepakatan, ketua komisi tersebut bukan orang Guatemala, sementara dua anggota lainnya orang Guatemala. Sekretaris jenderal PBB Kofi Annan menunjuk Christian Tomuschat, profesor hukum Jerman yang pernah menjadi ahli independen Guatemala untuk PBB beberapa tahun sebelumnya, sebagai ketua.xlii Kedua anggota komisi yang lain ditunjuk Tomuschat dengan kesepakatan kedua pihak; mandat komisi menyatakan bahwa yang satu haruslah “warga Guatemala dengan sifat yang terpuji”, dan yang satu dipilih dari daftar yang diajukan para rektor universitas di Guatemala.xliii Anggota yang terpilih adalah Otilia Lux de Cotí, seorang ilmuwan Maya, dan Edgar Alfredo Balsells Tojo, seorang pengacara. Setelah masa persiapan tiga setengah bulan, komisi secara formal disahkan pada tanggal 31 Juli 1997. Komisi bekerja dalam beberapa tahap, dengan staf sebesar 200 orang pada masa puncaknya (dengan 14 kantor lapangan), hingga kurang dari 100 orang pada tahap analisis, penyelidikan dan penulisan laporan. Staf komisi mencakup baik warga Guatemala maupun bukan, meskipun untuk alasan keamanan dan untuk menunjukkan netralitas, tidak ada kepala kantor lapangan atau departemen yang merupakan warga negara Guatemala. Kantor lapangan dibuka selama empat atau lima bulan untuk mendengarkan kesaksian. Banyak desa di Guatemala amat terisolasi, terletak jauh di atas gunung dan jauh dari jalan. Staf komisi kadang-kadang harus melalui jalan setapak untuk mencapai komunitas yang terpisah-pisah itu – kadang kala berjalan selama enam sampai delapan jam melalui pegunungan sebelum tiba di desa untuk mengundang kesaksian dari komunitas Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
tersebut. Kadang-kadang, staf menemukan bahwa para penduduk desa tidak tahu bahwa ada kesepakatan damai dan bahwa perang saudara sudah berakhir – terutama di desa-desa di dekat Meksiko dan di sisi pegunungan yang tidak bisa menerima sinyal radio dari Guatemala. Dalam beberapa kasus, selama pertemuan desa ketika para staf komisi memperkenalkan diri, mereka dituduh sebagai gerilyawan – “para gerilyawan selalu datang dan membicarakan hak asasi manusia”, demikian alasan para penduduk – meskipun biasanya dua dari tiga staf yang datang adalah orang asing. Meskipun hal ini tampaknya berasal dari mereka yang ingin menyembunyikan sesuatu, tuduhan ini menghalangi beberapa penduduk untuk memberikan kesaksian. Komisi ini meminta pembatalan kerahasiaan dokumen-dokumen pemerintah Amerika Serikat, dengan bantuan LSM Arsip Keamanan Nasional di Washington D.C. Keberhasilan usaha ini memberikan informasi mendetail bagi Arsip Keamanan Nasional untuk menyusun database yang menggambarkan struktur dan personel angkatan bersenjata Guatemala selama bertahun-tahun. Jauh lebih sedikit informasi diberikan oleh angkatan bersenjata Guatemala, yang mengklaim bahwa mereka tak punya catatan peristiwa yang diselidiki.xliv Komisi juga memasukkan data dari LSM, terutama dua proyek yang dijalankan sebagai usaha pencarian kebenaran alternatif beberapa tahun sebelum dibentuknya komisi kebenaran resmi. Yang pertama, Proyek Pengenangan Sejarah dari Kantor Hak Asasi Manusia Gereja Katolik (REMHI – Recovery of Historical Memory Project of the Catholic Church’s Human Rights Office), mengumpulkan ribuan pernyataan melalui lebih dari 600 pewawancara lokal dan bekerja melalui jaringan gereja. Sebagian besar kesaksian ini direkam dan ditranskrip, yang meninggalkan catatan yang kaya dan mendetail sebagai tambahan terhadap database kasus dan laporan yang diterbitkan. xlv LSM yang kedua, Pusat Internasional untuk Penyelidikan Pelanggaran Kemanusiaan (CIIDH – Centro Internacional para Investigaciones en Derechos Humanos), yang bekerja melalui organisasi pribumi berbasis massa, juga mengumpulkan ribuan kesaksian. Laporannya diselesaikan segera sebelum terbitnya laporan komisi kebenaran resmi.xlvi Database dari kedua proyek ini diberikan kepada komisi resmi, yang menggunakannya untuk memperkirakan total jumlah orang yang dibunuh atau hilang dan untuk mengkonfirmasi pola-pola keseluruhan. Komisi menyelesaikan laporannya yang panjang dan menyentak pada bulan Februari 1999, mengumumkannya kepada publik dalam upacara emosional di Teater Nasional di ibu kota. Laporan ini menggambarkan tindakan “kekejaman luar biasa … seperti membunuh anak-anak yang tidak berdaya, sering kali dengan membenturkannya ke tembok atau melemparkannya hidup-hidup ke dalam liang, dan menimbunnya dengan mayat orang dewasa; amputasi organ tubuh; penombakan; penyiraman bensin dan pembakaran hidup-hidup…” dan mencatat bahwa ada “iklim teror” yang melanda negeri sebagai akibat kekejaman itu. “Negara menggunakan operasi militer untuk mencapai pemusnahan fisik atau intimidasi mutlak” oposisi, karena “sebagian terbesar korban kejahatan negara bukanlah kombatan dalam kelompok gerilya, melainkan penduduk sipil”. xlvii Selain perkosaan, pembunuhan dan penghilangan, komisi menggambarkan operasi bumi hangus negara yang melaluinya penduduk sipil, yang dicurigai memberikan dukungan pada gerilya bersenjata, dibantai tanpa pandang bulu, dan desa-desa dibumihanguskan. Sebagai contoh, di satu wilayah, komisi melaporkan bahwa antara 70 hingga 90% desa dibakar habis. Komisi juga menganalisis biaya ekonomi konflik Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
bersenjata, menyimpulkan bahwa biaya perang, termasuk hilangnya produksi karena kematian, mencapai 121% GDP pada tahun 1990. xlviii Komisi mencatat total 42 ribu korban, termasuk 23 ribu dibunuh dan 6 ribu hilang, dan mencatat 626 pembantaian massal. Sembilan puluh tiga persen pelanggaran dilakukan oleh militer atau paramiliter yang didukung negara, 3 persen oleh gerilyawan. Kesimpulan terpenting komisi ini, mungkin, berdasar pola kekerasan di empat wilayah negeri yang paling parah mengalami kekerasan, “agen negara Guatemala, dalam kerangka operasi anti-pemberontakan selama tahun 1981-1983, melakukan tindakan genosida terhadap kelompok-kelompok bangsa Maya”. xlix Akhirnya, meskipun komisi tidak menyebutkan nama yang terlibat, ia menyimpulkan bahwa “mayoritas pelanggaran hak asasi manusia terjadi dengan pengetahuan atau perintah otoritas tertinggi negara”.l Mandat komisi ini juga memerintahkannya untuk “menganalisis faktor dan kondisi” terjadinya kekerasan, termasuk faktor “internal dan eksternal”.li Dalam bahasa yang tegas, laporan menunjuk pada rasisme, ketidakadilan struktural, dan “sifat institusi yang anti-demokratik” sebagai sumber mendasar konfrontasi bersenjata, juga Doktrin Keamanan Nasional yang anti-komunis selama Perang Dingin, terutama dukungan Amerika Serikat terhadap kebijakan represif negara Guatemala.lii Dalam laporannya, komisi juga memberikan sebuah bab panjang mengenai rekomendasi. Tiga minggu setelah terbitnya laporan, pemerintah menjawab dengan pernyataan yang panjang bahwa menurutnya semua sarannya sudah dicantumkan dalam kesepakatan damai. liii Namun, satu tahun berikutnya, presiden baru terpilih Alfonso Portillo berkomitmen dalam pidato pelantikannya bahwa ia akan menjalankan saran Komisi Klarifikasi, dan memasukkan mantan anggota komisi Otilia Lux de Cotí menjadi anggota kabinetnya. Segera kemudian, pemimpin pribumi Rigoberta Menchú Tum mengajukan sebuah tuntutan di Spanyol terhadap presiden Kongres di Guatemala, José Efraín Ríos Montt, untuk keterlibatannya dalam kekejaman pada awal dekade 1980-an. Ia melampirkan laporan lengkap Komisi Klarifikasi Sejarah untuk mendukung kasusnya. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix xxx xxxi xxxii xxxiii xxxiv xxxv xxxvi xxxvii xxxviii xxxix xl xli xlii xliii xliv xlv xlvi xlvii xlviii xlix l
.
li lii liii
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 5 Enam Belas Komisi Kebenaran yang Kurang Dikenal Meskipun enam belas komisi kebenaran yang dibicarakan dalam bab ini berukuran lebih kecil dan tidak mendapat perhatian internasional sebesar lima komisi kebenaran yang dibahas dalam bab sebelumnya, namun beberapa di antaranya memiliki peran penting dalam transisi di negaranya. Banyak dari enam belas komisi ini, yang digambarkan dalam urutan kronologis, menawarkan pelajaran yang penting, terutama dalam menunjukkan mandat yang luas dan metode operasi yang berbeda-beda yang telah digunakan. Tidak semuanya berhasil. Sementara hampir semua komisi tersebut dijalankan dengan baik – meskipun pembentukannya mungkin memiliki motif politik tertentu – beberapa penyelidikan tersebut mengalami masalah besar dalam usahanya mendokumentasikan kejahatan di masa lalu, atau tidak pernah mendapatkan perhatian nasional yang signifikan atau kepercayaan dari masyarakat, untuk bisa menjadi kekuatan yang besar di negaranya. Karena kurangnya dukungan politik atau perubahan kondisi politik pada masa penyelidikannya, atau karena tekanan untuk membatasi penyidikan agar tidak membahayakan pemimpin atau perwira tinggi militer, beberapa komisi gagal menyelesaikan tugasnya atau mengalami kesulitan yang besar dalam usahanya. Dua dari komisi di bawah ini (Bolivia dan Ekuador) tidak menyelesaikan tugasnya. Komisi akhirnya menghentikan penyelidikannya dan negara pun membubarkan komisi sebelum tugasnya selesai. Dua komisi lain menyelesaikan laporan yang dirahasiakan, paling tidak pada awalnya, karena dianggap terlalu berisiko untuk diumumkan dalam kondisi politik yang berubah-ubah (Burundi), atau dianggap memiliki informasi yang tidak sesuai dengan kepentingan pimpinan politik (Zimbabwe). Sebuah laporan lain, di Haiti, diumumkan oleh pemerintah baru setelah mengalami banyak penundaan, dan tidak pernah sampai ke tangan masyarakat. Banyak komisi mengalami masalah pengelolaan, operasional atau pendanaan yang mendasar, tidak memiliki pemimpin yang cakap untuk menjalankan tugas organisasi yang berat dalam waktu yang singkat. Paling tidak satu komisi dibentuk dengan tujuan utama untuk menghentikan kritikan internasional (komisi Uganda 1974 pada masa Idi Amin Dada); meskipun komisi tersebut berusaha bekerja seserius mungkin, jelas bahwa kepentingan presiden bukanlah untuk memajukan penghargaan hak asasi manusia. Komisi Uganda 1974 merupakan satu dari sedikit komisi dalam buku ini yang bukan merupakan bagian dari transisi politik mendasar, seperti akhir kediktatoran atau hasil kesepakatan untuk menghentikan perang saudara. Selain itu, komisi di Zimbabwe, meskipun dibentuk pada akhir masa represi terhadap penduduk di daerah selatan negeri tersebut, tidak menandai transisi politik nasional yang besar. Di pihak lain, bahkan dengan semua batasan tersebut, banyak dari komisi-komisi kecil atau kurang terkenal ini memiliki keberhasilan kecilnya, dan kadang-kadang memberikan kontribusi yang mengejutkan, dan perlu dipelajari dalam usaha memperbaiki badan-badan serupa di masa depan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Uganda 1974 Komisi Penyelidikan Penghilangan Orang di Uganda sejak 25 Januari 1971 dibentuk oleh Presiden Idi Amin Dada di Uganda pada bulan Juni 1974, dengan mandat untuk menyelidiki tuduhan penghilangan oleh militer pada tahun-tahun pertama masa pemerintahan Amin.i Komisi tersebut dibentuk sebagai jawaban tekanan yang semakin besar untuk menyelidiki penghilangan tersebut, terutama dari komunitas internasional, dan terdiri dari seorang hakim ekspatriat Pakistan sebagai ketua, dua superintenden polisi Uganda, dan seorang perwira militer Uganda. Disahkan melalui perintah presiden sesuai Undang-Undang Komisi Penyelidikan 1914, komisi tersebut memiliki kekuasaan untuk memaksa seseorang untuk memberikan kesaksian dan kekuasaan untuk meminta bukti dari sumber resmi, meskipun akses informasi dihalangi oleh berbagai sektor pemerintahan, termasuk polisi militer dan intelijen militer. Komisi tersebut mendengarkan 545 saksi dan mendokumentasikan 308 kasus penghilangan; kesaksian diberikan secara publik kecuali bila diminta sebaliknya. “Memandang kesulitan berat yang dihadapi dan kondisi politik yang tidak bersahabat, apa yang dicapai komisi tersebut sungguh luar biasa”, tulis Richard Carver, yang pada saat itu menjabat sebagai direktur riset Human Rights Watch divisi Afrika. Carver melanjutkan, “Komisi tersebut menyimpulkan bahwa Unit Keamanan Rakyat dan Badan Riset Negara, keduanya badan keamanan khusus yang dibentuk Amin, memiliki tanggung jawab terbesar atas ‘penghilangan’ tersebut. Komisi juga mengkritik perwira angkatan bersenjata untuk penyalahgunaan kekuasaan, juga kegiatan polisi militer dan intelijen”.ii Komisi tersebut menyimpulkan sejumlah saran spesifik untuk perbaikan polisi dan angkatan bersenjata, dan pelatihan pejabat hukum pada bidang hak-hak legal masyarakat. Sebagai komisi yang bekerja di bawah dan memberikan saran kepada pemerintahan yang sama dengan yang diselidikinya, prioritas pertamanya adalah untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut oleh pemerintah. Namun komisi tersebut dibentuk tanpa keinginan politik atau komitmen untuk perubahan dalam kebijakan atau praktik hak asasi manusia, dan laporan komisi tersebut nyaris tidak memiliki dampak terhadap tindakan pemerintah Amin. Presiden Amin tidak mengumumkan laporan komisi (ia juga tidak diwajibkan melakukan hal tersebut dalam syarat pembentukan komisi), dan tidak ada saran komisi yang dijalankan. Sebagaimana kini dikenal luas, pelanggaran oleh pemerintahan Amin meningkat pesat pada tahun-tahun sesudahnya, menjadikan Amin dikenal sebagai “penjagal dari Uganda”. Hanya ada satu kopi laporan tersebut di negara itu.iii Carver menanyakan, “Lalu apakah semua itu adalah pemborosan waktu?” Ia menjawab tidak, dengan tiga alasan. Ia menunjukkan pentingnya komisi itu dalam membantah pandangan revisionis mengenai dekade 1970-an di Uganda; fakta bahwa penghilangan berkurang pada waktu singkat ketika komisi melakukan penyelidikan; dan fakta bahwa pengetahuan tentang kekejaman ini memberikan beban tanggung jawab kepada pendukung internasional Amin yang terus mendukungnya sepanjang dekade 1970-an.iv Komisi Uganda 1974 nyaris terlupakan dari sejarah: pada saat dibentuknya Komisi Uganda untuk Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada tahun 1986, tidak ada referensi pada komisi serupa yang telah bekerja hanya 12 tahun sebelumnya.v Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bolivia Komisi kebenaran pertama di Amerika Latin dibentuk di Bolivia, ketika pemerintah Presiden Hernán Siles Zuazo mendirikan Komisi Nasional Penyelidikan Penghilangan hanya beberapa hari setelah kembalinya pemerintahan demokratis pada bulan Oktober 1982. Delapan anggota komisi, yang dipilih sebagai wakil masyarakat, merupakan sekretaris hakim agung; masing-masing satu anggota DPR dan MPR; masing-masing satu wakil dari angkatan bersenjata, federasi buruh dan federasi petani; dan satu wakil dari dua organisasi hak asasi manusia nasional. Komisi tersebut terkenal pada masanya, dan mengumpulkan kesaksian mengenai 155 penghilangan antara 1967 hingga 1982. Pada beberapa kasus, komisi berhasil menemukan sisa-sisa dari orang yang dihilangkan, namun pada akhirnya tidak ada kasus yang diselidiki hingga tuntas, demikian menurut Loyola Guzmán, sekretaris eksekutif komisi dan wakil dari organisasi hak asasi manusia. vi Sayangnya, mandat komisi tidak memungkinkan penyelidikan mendalam tentang kebenaran, karena penyiksaan, penahanan ilegal dan berkepanjangan serta pelanggaran lain tidak dibahas. Komisi meminta bantuan enam staf teknis dan mendapat bantuan dana terbatas dari pemerintah, namun tidak memiliki cukup sumber daya dan dukungan politik untuk menyelesaikan kerjanya, menurut Guzmán. Setelah dua tahun, komisi bubar tanpa ada laporan akhir; Guzmán kemudian berusaha untuk mendapatkan akses ke bahan-bahan yang telah dikumpulkan komisi dengan harapan untuk menerbitkan sebuah laporan.vii Komisi ini segera tersingkir setelah dimulainya pengadilan pada pertengahan dekade 1980-an terhadap 49 mantan perwira dan agen paramiliter pemerintahan Luis García Meza Tejada (seorang komandan militer yang merebut kekuasaan pada tahun 1980 dan memerintah negara, dengan kebijakan yang represif, selama lebih dari setahun). Pada akhirnya, kombinasi komisi kebenaran, pengadilan dan usaha pribadi untuk menemukan kebenaran memberikan hasil yang dianggap secara keseluruhan positif oleh Human Rights Watch.viii
Uruguay Setelah sebelas tahun berada di bawah kekuasaan militer, pada bulan April 1985, parlemen Uruguay membentuk Komisi Penyelidikan Keberadaan Orang-Orang “Hilang” dan Penyebabnya. Setelah tujuh bulan, komisi melaporkan 164 penghilangan selama masa pemerintahan militer, dan memberikan bukti keterlibatan pasukan keamanan Uruguay, yang diteruskan ke Kejaksaan Agung Uruguay. Seperti di Bolivia, mandat komisi yang terbatas menghalangi komisi menyelidiki banyak taktik yang represif, terutama penahanan ilegal atau penyiksaan, yang jauh lebih banyak terjadi daripada penghilangan. Sebagaimana ditulis penganjur hak asasi manusia Cili, José Zalaquett, “Sebuah praktik sistematis ‘penghilangan’ seperti di Argentina, atau dalam skala lebih kecil, di Cili, bukanlah metodologi represi militer Uruguay”.ix Ia melanjutkan, “Meskipun merupakan pengetahuan umum di Uruguay dan luar negeri bahwa penyiksaan dipraktikkan secara sistematis selama pemerintahan militer, tidak ada catatan resmi mengenai praktik ini. Militer tidak mengaku secara terang-terangan bahwa mereka melakukan itu. Secara rahasia Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mereka berusaha menjustifikasi penyiksaan sebagai cara terakhir dan sebagai pilihan yang paling kecil keburukannya dibandingkan pilihan lainnya”.x Presiden Uruguay secara umum menentang semua usaha menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana dicatat Robert Goldman dari American University, yang mengamati proses transisi di negeri tersebut.xi Wilder Tayler, sekretaris eksekutif Institut Studi Hukum dan Sosial Uruguay mengatakan betapa ia kecewa dengan laporan komisi itu. Komisi itu merupakan move politik, menurutnya, “bukan usaha serius demi hak asasi manusia”. xii Dalam laporannya, komisi tersebut memang menyimpulkan bahwa militer Uruguay terlibat dalam penghilangan yang diselidiki, dan menyerahkan temuannya ke pengadilan. Namun, komisi ini maupun komisi lain yang menyelidiki pembunuhan dua anggota parlemen “mampu menemukan bukti kuat mengenai proses pengambilan keputusan institusional yang mengarah pada kejahatan tersebut”, tulis Alexandra Barahona de Brito, yang mempelajari kebijakan kebenaran dan keadilan Uruguay dan Cili. xiii “Meskipun koordinasi tindakan represif antara militer Argentina dan Uruguay dan tanggung jawab institusional militer Uruguay ‘terbukti’ oleh kesaksian beberapa orang”, tulis Barahona de Brito, komisi mengubah laporan akhirnya pada saat-saat terakhir, di bawah tekanan politis, dan mengklaim bahwa ia tidak bisa menyimpulkan bahwa “pelanggaran prosedur” tersebut merupakan kebijakan atau tanggung jawab institusional.xiv Laporan komisi, meskipun merupakan dokumen publik, tidak didistribusikan secara luas, juga temuannya tidak diumumkan secara resmi. Kedua komisi tersebut “gagal menemukan kebenaran nasional” dan “lingkup bahasannya yang terbatas tidak menuntut penjelasan resmi atau jawaban dari pemerintah sebelumnya dan otoritas militer”, tulis Barahona de Brito. xv Sebagai jawaban atas keterbatasan penyelidikan resmi tersebut, sebuah organisasi non-pemerintah melaksanakan program kebenarannya sendiri, yang berakhir dengan penerbitan laporan pelanggaran pada masa pemerintahan militer yang jauh lebih mendalam.xvi
Zimbabwe Sebagaimana di Uruguay, kerja Komisi Penyelidikan Zimbabwe juga tidak terkenal, namun untuk alasan yang berbeda: laporannya tidak pernah diumumkan ke publik, dan tidak seorang pun di luar pemerintahan yang sudah melihatnya. Komisi penyelidikan dibentuk di Zimbabwe pada tahun 1985 untuk menyelidiki represi pemerintah terhadap “pemberontak” di wilayah Matabeleland. Komisi tersebut bekerja di bawah pengawasan presiden, dan diketuai seorang pengacara Zimbabwe; setelah beberapa bulan penyelidikan ia menyampaikan laporannya langsung ke presiden pada tahun 1984 [sic!]. Sementara pada awalnya pemerintah berjanji untuk mengumumkan temuan komisi tersebut, lebih dari setahun setelah selesainya kerja komisi menteri kehakiman mengumumkan tanpa penjelasan bahwa laporan komisi tidak akan diumumkan. xvii Meskipun pada waktu itu komisi tersebut tidak mendapatkan banyak perhatian dari dalam negeri, terdapat tekanan yang meningkat dari LSM nasional dan internasional untuk mengumumkan laporan tersebut pada tahun-tahun setelah selesainya penyelidikan komisi tersebut. Sementara di satu sisi organisasi hak asasi manusia menekankan pentingnya pertanggungjawaban terhadap kejahatan, di sisi lain keluarga Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
korban menginginkan pengakuan resmi terhadap pembunuhan itu; salah satu alasannya agar mereka bisa mendapatkan kompensasi. Isu ini menjadi semakin kontroversial karena pemerintah menolak mengakui kematian beberapa ribu penduduk sipil dalam konflik itu.xviii Pemerintah menolak menerbitkan laporan itu. Karena ketegangan antara dua kelompok etnik terbesar di Zimbabwe, pemerintah mengklaim bahwa penerbitan laporan itu bisa menimbulkan kekerasan sebagai pembalasan, dan berusaha keras untuk meredam tuntutan untuk penerbitan kebenaran tersebut. Dua belas tahun setelah berakhirnya kekerasan di Matabeleland, seorang juru bicara senior pemerintahan berkata bahwa “jika kita tidak membicarakannya, ia akan mati sendiri, sehingga kita bisa membangun masyarakat sebagaimana kita inginkan”. xix Sementara itu, tidak ada tanda-tanda pertanggungjawaban untuk pelanggaran berat itu. Pada tahun 1992, komandan brigade yang bertanggung-jawab untuk sebagian besar dari kekejaman itu dipromosikan menjadi komandan angkatan udara, yang menimbulkan kritikan keras dari organisasi hak asasi manusia; banyak perwira yang terlibat dalam represi tetap menjabat posisi tinggi dalam pemerintahan. Untuk melawan diamnya pemerintah mengenai masalah ini, dua organisasi hak asasi manusia Zimbabwe menyusun laporan pada tahun 1997 yang secara teliti mendokumentasikan penindasan pada dekade 1980-an berdasarkan wawancara mendalam dengan para korban.xx Sebelum menerbitkan laporannya, mereka menyampaikannya ke pemerintah untuk minta pendapat, namun tidak pernah ada jawaban.
Uganda 1986 Ketika pasukan pemberontak pimpinan Yoweri Museveni menjatuhkan pemerintahan Milton Obote pada bulan Januari 1986, Uganda telah mengalami lebih dari dua puluh tahun teror dan kekejaman oleh pemerintah. Isu hak asasi manusia dinyatakan sebagai pusat perhatian pemerintahan yang baru, dan dalam beberapa bulan kemudian pemerintahan Museveni menunjuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki pelanggaran yang terjadi. Dengan dibentuk melalui keputusan menteri kehakiman dan jaksa agung, serta diketuai oleh seorang hakim agung, komisi ini diberi tanggung jawab untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia oleh kekuatan negara yang terjadi sejak kemerdekaan Uganda pada tahun 1962 hingga bulan Januari 1986, ketika Museveni mulai berkuasa (namun mengabaikan pelanggaran yang mungkin dilakukan pasukan pemberontak Museveni). Yang menjadi bahasan komisi ini luas, mencakupi penangkapan dan penahanan secara semena-mena, penyiksaan dan pembunuhan oleh pasukan keamanan . Dan komisi ditugaskan untuk “menyelidiki … cara-cara yang mungkin untuk mencegah terulangnya” pelanggaran demikian.xxi Komisi melakukan dengar-kesaksian publik di seluruh negara, beberapa di antaranya disiarkan secara langsung oleh radio dan televisi pemerintah. Pada tahun-tahun awalnya, komisi menjadi pusat perhatian publik, mendapatkan dukungan dan reaksi emosional dari masyarakat. Namun komisi ini tidak diberi tenggat waktu untuk menyelesaikan tugasnya, dan lama-kelamaan, komisi kehabisan dana dan mengalami kebuntuan. Karena terjadi pelanggaran hak asasi dalam pemerintahan baru yang tidak dapat dipermasalahkan oleh komisi ini, masyarakat kehilangan ketertarikannya. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Pada tahun kedua operasinya saja, komisi tersebut berhenti bekerja sama sekali selama empat bulan karena tidak ada dana; ia meminta dana dari Ford Foundation untuk melanjutkan kerjanya.xxii Pada awal tahun 1991 komisi sekali lagi menyatakan kesulitan dana, dan mendapatkan sumbangan dari pemerintah Denmark untuk menyelesaikan penyelidikannya dan memberikan laporan.xxiii Pada tahun 1995, setelah sembilan tahun penyelidikan, komisi menyerahkan laporannya kepada pemerintah. Seribu kopi laporan tersebut dicetak (demikian juga 20 ribu kopi rangkuman setebal 90 halaman), namun hingga akhir tahun 1996, ketika saya mengunjungi negara tersebut, sangat sedikit orang di dalam maupun di luar Uganda telah melihat laporan tersebut atau mengetahui keberadaannya. Laporan yang sudah dicetak disimpan dalam kantor pusat komisi tersebut. Alasan yang diberikan untuk tidak mengedarkan laporan tersebut adalah bahwa komisi hak asasi manusia yang baru, yang akan menyelidiki isu-isu dan keluhan tentang hak asasi manusia yang baru, masih harus ditunjuk terlebih dahulu untuk mengawasi distribusinya.xxiv Namun hingga tiga tahun sesudahnya, setelah komisi yang baru sudah ditunjuk dan bekerja, laporan dan rangkuman tersebut masih saja belum didistribusikan.
Nepal Pemerintah sementara Perdana Menteri Krishna Prasad Bhattarai membentuk dua komisi penyelidikan pada tahun 1990 untuk menyelidiki penyiksaan, penghilangan dan eksekusi di luar hukum yang terjadi pada masa Sistem Panchayat antara tahun 1961 hingga 1990. Komisi pertama segera dihapuskan setelah ia ditunjuk; ketua komisi itu dianggap sebagai kolaborator dengan rezim lama dan dianggap tidak dapat diandalkan, sehingga dua anggota lain yang mewakili dua kelompok hak asasi manusia mengundurkan diri sebagai protes. Komisi kedua ditunjuk, Komisi Penyelidikan untuk Menemukan Orang Hilang selama Periode Panchayat, yang salah satu anggotanya adalah pendiri kelompok hak asasi manusia penting di Nepal, Pusat Jasa Sektor Informal. Komisi tersebut diberi mandat untuk menyelidiki dan mengidentifikasi tempattempat penahanan terakhir mereka yang hilang, dan mengidentifikasikan para korban. Ia berhasil menyelidiki sekitar 100 kasus, namun tidak dapat menunjuk pelaku atau memanggil para pejabat untuk memberikan pengakuan, dan polisi pada umumnya mengabaikan permintaan komisi tersebut untuk mendapatkan informasi.xxv Komisi tersebut menyelesaikan laporan dua jilidnya pada tahun 1991. Selama beberapa tahun berikutnya, Amnesti Internasional dan kelompok hak asasi manusia setempat berulang-ulang mendesak pemerintah agar menerbitkan laporan komisi tersebut dan menuntut jaminan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia diseret ke pengadilan.xxvi Laporan tersebut akhirnya diumumkan pada tahun 1994, meskipun baru sedikit dari sarannya yang sudah diterapkan.
Chad Pada tanggal 29 Desember 1990, satu bulan setelah berkuasa, presiden baru Chad, Idriss Déby, membentuk Komisi Penyelidikan Kejahatan dan Penyitaan Paksa melalui Keputusan Presiden yang Dilakukan oleh Mantan Presiden Habré dan atau Kroninya. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Komisi tersebut diserahi tugas untuk “menyelidiki pemenjaraan, penahanan secara ilegal, pembunuhan, penghilangan, penyiksaan dan tindakan kekejaman, pelanggaran lain terhadap fisik atau mental, dan semua pelanggaran hak asasi manusia dan perdagangan narkotik” dan “untuk mempertahankan pada kondisi seperti saat ini semua tempat dan alat penyiksaan”.xxvii Komisi tersebut diberi tangggung jawab untuk mengumpulkan dokumentasi, mencatat kesaksian dan menyita benda-benda seperlunya untuk “menjelaskan kebenaran”. Dua belas orang ditunjuk sebagai anggota komisi, termasuk dua pejabat hukum, empat pejabat polisi kehakiman, dua pejabat administrasi sipil, dengan wakil jaksa agung sebagai presiden komisi. Selain menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, komisi juga ditugaskan untuk menyelidiki korupsi terhadap dana milik negara yang dilakukan mantan presiden Hissein Habré dan kroni-kroninya. Karena kurangnya tempat untuk kantor, komisi itu terpaksa berkantor di tempat bekas penahanan rahasia, tempat terjadinya penyiksaan dan pembunuhan yang paling kejam, sehingga banyak korban enggan datang untuk memberikan kesaksian. Seperti komisi di Uganda, komisi Chad juga mengalami hambatan serius karena kurangnya sumber daya. Laporan komisi itu menjelaskan beberapa tantangannya: [K]urangnya sarana transportasi … melumpuhkan komisi untuk waktu yang lama. Pada awalnya, komisi memiliki dua mobil kecil, sebuah kendaraan 504 dan Suzuki kecil, sementara kendaraan all-terrain diperlukan untuk bepergian ke daerah di luar N’Djaména. Pada tanggal 25 Agustus 1991 sebuah kendaraan all-terrain Toyota diberikan kepada komisi, namun pada tanggal 13 Oktober 1991, Toyota dan Suzuki itu dirampas oleh pihak-pihak yang bertempur. Sebulan kemudian Toyota itu ditemukan kembali, namun Suzuki itu baru ditemukan pada tanggal 3 Januari 1992 … Ini menyebabkan komisi tidak dapat mengirimkan penyidik ke daerah pedalaman selama waktu itu.xxviii
Penerbitan laporan pada bulan Mei 1992 mengejutkan banyak orang karena detailnya, dan bukti keterlibatan pemerintah asing dalam mendanai dan melatih para pelanggar. Jamal Benomar, direktur Program Hak Asasi Manusia di Carter Center pada waktu itu, hadir pada upacara pengumuman laporan tersebut, dan menggambarkan responnya: Temuan itu mengejutkan: paling tidak 40 ribu orang dibunuh oleh pasukan keamanan pada masa rezim Habré. Bukti mendetail diberikan mengenai keterlibatan personal Habré dalam penyiksaan dan pembunuhan pada tahanan. Korps diplomatik yang hadir dalam acara tersebut amat terkejut untuk mendengar bahwa penyelidikan tersebut menemukan fakta bahwa anggota dinas keamanan, DDS (Direktorat Dokumentasi dan Keamanan), yang melakukan semua pembunuhan dan pelanggaran lain, dilatih hingga jatuhnya rezim Habré pada bulan Desember 1990 oleh personel Amerika Serikat baik di Amerika Serikat maupun di N’Djamena. DDS mendapatkan dana bulanan sebesar 5 juta FCFA dari pemerintah Amerika Serikat. Jumlah ini digandakan sejak tahun 1989. Irak juga merupakan kontributor terhadap DDS, demikian pula Prancis, Zaire dan Mesir. Bahkan, seorang penasihat Amerika Serikat bekerja untuk direktur DDS di kantor pusat, tempat terjadi penyiksaan dan pembunuhan tiap hari.xxix
Keterlibatan Amerika Serikat di Chad telah ditemukan oleh Amnesti Internasional sejak beberapa tahun sebelumnya, demikian menurut Benomar, namun “skala besar genosida” yang terjadi menimbulkan keterlibatan Amerika Serikat “sukar dipercaya pada waktu itu, bahkan bagi beberapa orang dalam masyarakat hak asasi manusia internasional”.xxx Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Komisi Chad juga merupakan komisi kebenaran pertama yang menunjuk nama orang yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan satu-satunya komisi hingga kini yang melampirkan foto mereka. Beberapa pejabat tinggi dalam pemerintah baru termasuk dalam daftar pelanggar. Pemerintah Chad yang membentuk komisi ini kemudian dituduh telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara serius, sehingga motivasi pembentukan komisi itu menjadi dipertanyakan. Beberapa pengamat hak asasi manusia memiliki kesan bahwa pembentukan komisi ini hanyalah untuk memperbaiki citra presiden baru. Meskipun Amerika Serikat bertahun-tahun mendukung rezim Habré, seorang pejabat departemen luar negeri Amerika Serikat, ketika ditanya pendapatnya mengenai komisi, hanya mengatakan, “Bukankah itu cuma Déby yang ingin membuktikan bahwa Habré memang seorang brengsek?”xxxi Beberapa tahun kemudian, laporan komisi ini menjadi penting kembali, karena para pembela hak asasi manusia internasional menjadikannya sebagai sumber utama untuk informasi dalam usaha internasional untuk menuntut Habré. Sementara terdapat batasan penting dalam laporan itu, menurut mereka, laporan itu merupakan satu-satunya catatan mendetail dan sudah diterbitkan mengenai kejahatan hak asasi di bawah rezim Habré. Karena itu, laporan itu dipandang penting dalam menunjukkan para korban dan saksi lain yang bisa digunakan dalam pengadilan.xxxii
Afrika Selatan: Kongres Nasional Afrika Sebuah kasus menarik dalam berbagai model komisi kebenaran, komisi kebenaran ANC merupakan satu-satunya contoh komisi kebenaran yang dibentuk oleh kelompok perlawanan bersenjata untuk menyelidiki dan mengumumkan pelanggarannya sendiri.xxxiii Sebagaimana dengan komisi kebenaran bentukan pemerintah, ANC tidak membentuk komisi ini semata-mata karena inisiatifnya sendiri. Telah terdapat banyak keluhan mengenai pelanggaran dalam kamp-kamp tahanan ANC. xxxiv Kemudian, pada tahun 1991, tiga puluh dua mantan tahanan di kamp ANC, semuanya bekas anggota aktif ANC yang ditahan karena dituduh sebagai agen pemerintah, membentuk komisi untuk melawan ANC dalam kasus pelanggaran di kamp tahanan. Komite Mantan Pelarian, demikian mereka menyebut dirinya, memunculkan perhatian internasional terhadap isu ini, memaksa ANC untuk melakukan penyelidikan. Pada bulan Maret 1992, presiden ANC, Nelson Mandela, menunjuk Komisi Penyelidikan terhadap Keluhan oleh Mantan Tahanan Kongres Nasional Afrika.xxxv Komisi ini diarahkan untuk memfokuskan diri pada peristiwa yang terjadi di kamp tahanan ANC di seluruh Afrika bagian selatan, termasuk Angola, Tanzania dan Zambia. Tugas Komisi Penyelidikan ini sebagaimana ditentukan oleh ANC memerintahkan mereka untuk “melakukan penyelidikan yang lengkap dan mendalam” terhadap keluhan mantan tahanan, dan memberikan saran untuk tindakan yang sebaiknya diambil ANC sebagai hasil temuan komisi itu.xxxvi Dua dari tiga anggota komisi itu adalah anggota ANC, namun yang ketiga (sekaligus penulis laporan) tidak berafiliasi dengan ANC. Setelah tujuh bulan, komisi menyerahkan kepada Mandela sebuah laporan setebal 74 halaman yang lugas, mencatat “kebrutalan mengejutkan” di kamp-kamp ANC yang sudah terjadi. Laporan itu mencatat bahwa penyiksaan dan pelanggaran lain secara teratur Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dilakukan terhadap para tahanan. Meskipun tidak menyebutkan nama mereka yang bertanggung-jawab, laporan tersebut menyarankan bahwa “perhatian segera diberikan untuk melakukan identifikasi dan menyikapi mereka yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran kepada para tahanan”. Laporan tersebut juga menyerukan agar ANC bertanggung-jawab untuk “membersihkan dirinya sendiri”. xxxvii Komisi tersebut juga menyarankan agar laporan tersebut diterbitkan dan dibentuk sebuah badan independen untuk menyelidiki lebih lanjut penghilangan dan kejadian lain yang berada di luar lingkup kerja komisi ini. Laporan tersebut segera diumumkan ke masyarakat dan pers, meskipun kemudian ANC mulai mempertanyakan akurasi laporan tersebut dan menolak untuk mendistribusikannya lebih lanjut.xxxviii Laporan ini mendapatkan perhatian internasional yang cukup dan memaksa ANC untuk memberikan jawaban terbuka terhadap tuduhan tersebut: Nelson Mandela mengambil alih tanggung jawab kolektif sebagai pimpinan ANC untuk “pelanggaran dan kesalahan prosedural yang serius” yang sudah terjadi, namun menekankan bahwa tidak perlu menyalahkan individu atau menuntut tanggung jawab individual.xxxix
Jerman Pada bulan Maret 1992, parlemen Jerman membentuk komisi untuk menyelidiki dan mencatat praktik pemerintahan Republik Demokrasi Jerman (Jerman Timur) selama tahun 1949 hingga 1989, yaitu Komisi Penyelidikan untuk Peninjauan Sejarah dan Akibat Kediktatoran SED di Jerman.xl (SED, atau Partai Persatuan Sosialis, merupakan partai penguasa di Jerman Timur yang mengendalikan negara tersebut selama sekitar 40 tahun.) Struktur dan tugas komisi itu mengikuti garis besar yang ditentukan untuk komisi penyelidikan parlementer di Jerman, dengan wakil dari partai politik sesuai dengan keterwakilan mereka di parlemen. Dua belas dari dua puluh enam anggota komisi adalah ahli dari luar parlemen, terutama sejarawan. Mantan aktivis hak asasi manusia Jerman Timur, Rainer Eppelman, menjadi ketua komisi ini. Penindasan di bawah sistem Jerman Timur berbeda dengan kekerasan luas yang terjadi di wilayah-wilayah lainnya yang dibahas di buku ini. Meskipun memang terjadi represi fisik,xli banyak oposan terhadap sistem mengalami akibat yang tidak terlalu keras: mereka dilarang masuk universitas, dilarang bekerja sesuai keinginannya, atau selalu diawasi dan diganggu oleh pemerintah, misalnya. Mandat komisi ini tidak terfokus pada pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran, namun penyelidikan terhadap kebijaksanaan pemerintah dan pelaksanaannya. Komisi ini ditujukan untuk “melaksanakan analisis politiko-historis dan membuat tinjauan politiko-etis” terhadap struktur dan praktik partai SED; pelanggaran hak asasi manusia dan degradasi lingkungan hidup yang terjadi; pelanggaran konvensi dan norma hak asasi manusia internasional, termasuk represi politik, mental dan psikososial; peran ideologi dalam pendidikan, sastra dan kehidupan sehari-hari; peran gerakan oposisi; hubungan gereja-negara; kemandirian badan peradilan; dan hubungan antara Jerman Barat dan Timur. Kerja komisi ini terutama berbasis pada penelitian, dengan menyusun lebih dari seratus makalah mengenai beragam topik. Hampir semua ditulis oleh para sejarawan yang menggunakan berkas-berkas yang dibuka sejak jatuhnya Jerman Timur. Komisi ini Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mengadakan lebih dari empat puluh dengar-kesaksian publik, yang di dalamnya dipresentasikan makalah-makalah tersebut. Meskipun komisi ini tidak membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk memberikan kesaksian, lebih dari seratus “saksi kontemporer”, termasuk perwakilan dari organisasi bantuan korban dan sejumlah korban itu sendiri, memberikan laporan mengenai penderitaan dan represi dalam dengarkesaksian publik tersebut. Komisi ini tidak memiliki kekuasaan untuk subpoena, dan beberapa mantan pejabat senior pemerintahan yang diundang untuk memberi kesaksian menolaknya, sebagian karena cemas bahwa kesaksian mereka akan dijadikan alat untuk menuntut mereka di pengadilan. Laporan lengkap komisi ini, yang diumumkan pada akhir sidang parlemen pada tahun 1994, tebalnya mencapai lebih dari 15 ribu halaman, diterbitkan dalam 18 jilid, dan memuat semua makalah dan kesaksian yang ada. Para anggota dan staf komisi ini lebih menganggap komisi ini dan laporannya sebagai proyek akademis dan berorientasi penelitian daripada sebagai proses yang secara aktif melibatkan masyarakat.xlii Banyak fungsi tipikal komisi kebenaran dijalankan melalui mekanisme lain di Jerman. Berkasberkas milik Stasi (polisi rahasia), dibuka untuk individu. xliii Berkas-berkas ini memungkinkan mereka yang menjadi korban informan Stasi untuk menemukan siapa yang melaporkan mereka dan mengkonfrontasi mereka secara personal – baik secara pribadi maupun di depan kamera TV.xliv Sebagaimana disarankan oleh komisi, sebuah badan lanjutan dibentuk oleh parlemen pada tahun 1994, yaitu Komisi Penyelidikan mengenai Meminimalkan Dampak Kediktatoran SED dalam Proses Penyatuan Jerman. Selain melanjutkan penyelidikan ke hampir semua topik yang diselidiki komisi pertama, badan ini juga memiliki mandat untuk melihat lingkup-lingkup baru, seperti ekonomi, pendidikan dan kehidupan sehari-hari di Jerman Timur dan dampak kebijakan unifikasi sejak tahun 1990.
Kongres Nasional Afrika II Segera setelah komisi ANC yang pertama menyelesaikan kerjanya pada tahun 1992, presiden ANC, Nelson Mandela, membentuk sebuah komisi penyelidikan lagi untuk menyikapi tuduhan pelanggaran di kamp-kamp tahanan ANC. Komisi pertama dikritik karena bias (dua dari tiga anggotanya adalah anggota ANC) dan tidak memberikan cukup kesempatan bagi para tertuduh untuk membela diri. Bahkan, komisi pertama tersebut menyarankan agar “dipertimbangkan pembentukan sebuah badan independen yang dianggap imparsial, dan mampu mendokumentasikan kasus-kasus pelanggaran dan menjalankan saran-saran yang ada dalam laporan komisi ini”.xlv Sebuah komisi yang baru yaitu Komisi Penyelidikan terhadap Tuduhan Kekejaman dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Tahanan ANC oleh Anggota ANC diketuai oleh tiga orang, satu dari Amerika Serikat, Zimbabwe dan Afrika Selatan, yang dianggap independen.xlvi Komisi ini sangat berbeda dengan komisi ANC yang pertama. Ia berjalan mirip pengadilan formal, dengan pengacara untuk mewakili para “korban” dan sebuah tim pembela untuk mewakili para “tertuduh”, yaitu mereka yang dituduh melakukan pelanggaran. Komisi ini melaksanakan dengar-kesaksian publik selama lima minggu pada musim panas tahun 1993, dengan sekitar 50 orang saksi, termasuk 11 tertuduh pelanggar Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
hak asasi manusia. Para tertuduh diberi kesempatan untuk mengkonfrontasi dan bertanya kepada para korban, dan didampingi oleh pengacara yang mereka tunjuk sendiri. Richard Carver, yang mengamati dengar-kesaksian publik itu untuk Amnesti Internasional, menganggap pendekatan komisi ini tidak praktis dan kurang berpikir panjang. Hal ini memperkuat pandangannya bahwa “jangan mencampur-adukkan fungsi” peradilan dengan pencarian kebenaran. xlvii Namun, laporan komisi ini diterima secara positif oleh hampir semua pengamat, termasuk Carver. Diserahkan pada bulan Agustus 1993, kesimpulannya ternyata serupa dengan laporan komisi pertama, yaitu menunjukkan pelanggaran berat di kamp-kamp tahanan ANC selama beberapa tahun. Tentang satu kamp tahanan, misalnya, komisi ini menyimpulkan bahwa, “Quadro direncanakan untuk menjadi sebuah pusat rehabilitasi. Namun, yang terjadi malah tempat ini menjadi ‘tempat sampah’ bagi semua yang bermasalah dengan Departemen Keamanan, apakah mereka pendukung setia yang dituduh sebagai agen musuh, tertuduh mata-mata atau tahanan. Semua mengalami penyiksaan, perlakuan buruk dan perendahan martabat yang terlalu sering sehingga tempat ini tidak pantas menyandang nama pusat rehabilitasi”.xlviii Format laporan ini juga agak berbeda dengan laporan pertama. Setelah secara singkat menggambarkan peristiwa yang terjadi, jenis dan jumlah pelanggaran, dan sebab struktural serta pola-pola pelanggaran, laporan ini berkonsentrasi pada deskripsi masing-masing kasus yang ia tangani, dan ditutup dengan daftar individu yang melanggar hak masing-masing korban dan hak-hak apa saja yang dilanggar. ANC merespon laporan ini dengan pernyataan panjang yang memuji komisi itu untuk kerjanya, menerima kesimpulannya secara garis besar (meskipun membantah bahwa ada “kebijakan pelanggaran secara sistematis”), dan menyerukan pembentukan komisi kebenaran untuk meneliti pelanggaran oleh kedua pihak yang bertikai di Afrika Selatan sejak tahun 1948: Kami menganggap laporan komisi Skweyiya dan Motsuenyane sebagai langkah awal dalam proses keterbukaan nasional mengenai semua pelanggaran hak asasi manusia oleh semua pihak. Dengan demikian, kami menyerukan pembentukan Komisi Kebenaran, serupa dengan badan-badan yang dibentuk di beberapa negara pada tahun-tahun terakhir ini untuk menyikapi masa lalunya. Tugas komisi demikian adalah untuk menyelidiki semua pelanggaran hak asasi manusia … dari semua pihak. Ini tidak akan menjadi Pengadilan Nuremberg. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi semua pelanggaran hak asasi manusia dan pelakunya, untuk menyarankan suatu aturan bagi semua pegawai negara, untuk menjamin kompensasi yang tepat bagi para korban dan membangun dasar untuk rekonsiliasi. Selain itu, ia akan menjadi dasar moral bagi keadilan dan mencegah terulangnya pelanggaran di masa depan.xlix
Hanya delapan bulan kemudian, ANC memenangkan pemilihan presiden demokratis pertama di negara itu dan mengkonkretkan seruan mereka untuk komisi kebenaran tersebut.
Sri Lanka Pada bulan November 1994, presiden baru Sri Lanka, Chandrika Bandaranaike Kumaratunga, membentuk tiga Komisi Penyelidikan terhadap Penangkapan Semena-mena atau Penghilangan, dengan mandat untuk menyelidiki “apakah ada orang yang secara Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
paksa ditangkap atau dihilangkan dari tempat tinggalnya” sejak 1 Januari 1988. Komisi-komisi itu juga diperintahkan untuk menyelidiki keberadaan orang-orang yang hilang dan untuk mempertimbangkan bukti-bukti untuk menuntut mereka yang dituduh terlibat. Ketiga komisi itu menerima mandat yang sama, namun masing-masing memiliki wilayah tugas yang berbeda-beda dan bekerja secara independen di wilayah tugasnya sendiri. Dengan hanya sedikit kerja sama antara mereka, masing-masing menafsirkan mandatnya secara agak berbeda, dan menyusun patokan operasional dan metodologis yang berbeda untuk melaksanakan kerjanya. Periode yang dicakup oleh komisi ini mencakup baik konflik bersenjata antara pemerintah dan Front Pembebasan Rakyat di selatan antara tahun 1987 hingga 1990, dan konflik di timur laut antara pemerintah dan Macan Pembebasan Tamil Eelam, yang mulai pada bulan Juni 1990. Organisasi hak asasi manusia memprotes titik awal yang ditetapkan pada tahun 1988, karena mengabaikan banyak penghilangan yang terjadi sebelumnya.l Selain itu, konflik dengan Macan Tamil pecah lagi selama masa kerja komisi itu, dengan banyak penghilangan lagi, namun ini juga diabaikan.li Akses komisi ke daerah timur laut untuk menyelidiki penghilangan di masa lalu menjadi terbatas karena konflik itu. Ketiga komisi itu mendokumentasikan lebih dari 27 ribu penghilangan, dengan sebuah panel anggota komisi yang mendengarkan tiap-tiap keluhan yang dilaporkan kepada mereka. Setelah menyerahkan keluhan mereka secara tertulis, masing-masing dipanggil ke depan panel untuk wawancara selama 5 hingga 15 menit untuk menjawab pertanyaan mendasar mengenai kasusnya. lii Komisi-komisi ini memiliki kekuasaan subpoena dan memanggil beberapa pejabat untuk memberi kesaksian, terutama dari angkatan bersenjata, namun hampir semua menolak keras tuduhan keterlibatan mereka dalam pelanggaran dan menyatakan bahwa semua catatan dari masa itu sudah dihilangkan. Laporan akhir ketiga komisi itu diserahkan kepada presiden pada bulan September 1997. Sebagian karena tekanan dari Amnesti Internasional dan kelompok hak asasi manusia lainnya, ketiga laporan itu diumumkan secara terbuka kepada publik.liii Sekali lagi, perbedaan antara ketiga komisi itu tampak: laporan yang terpanjang, yang mencakup wilayah barat dan selatan, setebal 178 halaman, dengan 300 halaman lampiran, sedangkan laporan komisi untuk provinsi tengah dan barat laut hanya setebal 5 halaman. Laporan ketiga berada di tengah-tengah. liv Sebuah komisi lanjutan dibentuk untuk memproses kasus-kasus yang belum diselesaikan oleh ketiga komisi, diketuai oleh ketua komisi untuk provinsi barat dan selatan, Manouri Kokila Muttetuwegama. Perang yang berlanjut melemahkan dampak kerja komisi ini, terutama karena presiden tergantung pada dukungan militer selama perang berlanjut, sehingga tidak mau mengkritik atau menentang catatan pelanggaran hak asasi manusia oleh angkatan bersenjata. Akibatnya, ia tidak memberikan komentar secara publik untuk laporan-laporan itu, tidak mendorong pengadilan para pelaku yang diidentifikasi, dan lambat dalam menjalankan saran komisi itu. Ganti rugi finansial diberikan kepada keluarga sejumlah korban, meskipun para penasihat hukum mereka kecewa dengan jumlah yang kecil dan lambatnya penerapan program ganti rugi ini. Namun kemudian, kerja komisi ini pada akhirnya memberikan kontribusi untuk penuntutan para tertuduh. Amnesti Internasional melaporkan pada tahun 1999 bahwa “penyelidikan terhadap … pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk kasus-kasus yang disarankan untuk diselidiki lebih lanjut oleh ketiga komisi penyelidikan … berlanjut. Menurut kantor Kejaksaan Agung, penyelidikan terhadap 485 dari 3.861 Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
kasus demikian sudah selesai pada pertengahan bulan Oktober [1998] dan 150 tertuduh pelaku sudah disidangkan di Pengadilan Tinggi”.lv
Haiti Tiga tahun setelah presiden Haiti, Jean-Bertrand Aristide, dijatuhkan dalam sebuah kudeta, ia kembali menjabat pada tahun 1994 dengan dukungan tentara internasional, mandat untuk menyelesaikan masa jabatannya, dan seruan publik untuk menyikapi kejahatankejahatan yang terjadi pada masa pemerintahan militer de facto selama tiga tahun. Ketika semakin jelas bahwa Aristide akan menjabat kembali, sejumlah warga Haiti di pengasingan dan penganjur hak asasi manusia bertemu beberapa kali untuk menyarankan pembentukan komisi kebenaran setelah Aristide kembali. Ini menjadi dorongan bagi Aristide untuk membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Keadilan beberapa bulan setelah kembalinya, dengan anggota empat warga Haiti dan tiga anggota internasional.lvi Namun, sejak awal kerjanya, komisi ini memiliki masalah administratif dan organisasional, terutama kekurangan dana untuk menjalankan tugasnya. Ia juga gagal merengkuh banyak kelompok hak asasi manusia yang pada awalnya sangat mendukung usulan pembentukan komisi kebenaran, sehingga mendapatkan kritikan lagi dari mereka yang seharusnya menjadi pendukung, dan gagal mendapatkan perhatian dari masyarakat luas. Meskipun memiliki masalah-masalah, komisi ini bisa mengirimkan stafnya ke lapangan selama beberapa bulan dan mengumpulkan kesaksian dari hampir 5.500 saksi, mengenai sekitar 8.600 korban. Setelah sepuluh bulan, komisi menyelesaikan laporannya pada bulan Februari 1996 dan menyerahkannya kepada Aristide hanya satu hari sebelum ia turun dari kursi kepresidenan. Aristide menyerahkan laporan itu kepada presiden yang baru, namun baru sesudah satu tahun, setelah mendapatkan tekanan keras dari kelompok hak asasi manusia, laporan tersebut diumumkan (Alasan untuk penundaan ini tidak dijelaskan dengan baik, namun menteri kehakiman pada satu kesempatan menjelaskan bahwa biaya mereproduksi laporan itu amat tinggi.lvii) Namun laporan itu tidak pernah tersebar luas di Haiti, dan tidak mudah ditemukan oleh masyarakat. Tidak ada tanda-tanda bahwa pemerintah secara serius menjalankan saran-sarannya yang luas, terutama mengenai reformasi sistem peradilan di negara tersebut. Saran komisi tersebut yang paling mengejutkan masyarakat internasional adalah menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membentuk tribunal internasional agar mengadili mereka yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia selama pemerintahan militer, karena komisi itu tidak percaya pada kemampuan sistem pengadilan nasional untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Komisi tersebut melampirkan nama para tertuduh dalam laporannya yang diberikan kepada presiden, namun menyarankan agar nama-nama tersebut tidak diumumkan sampai dijalankan tindakan yudisial yang tepat bagi mereka.
Burundi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Pada akhir tahun 1993, setelah usaha kudeta dan pembunuhan Presiden Melchior Ndadaye, kekerasan antar-etnik dalam skala besar pecah di Burundi. Dengan laporan pembantaian lebih dari 50 ribu orang, pemerintah Burundi meminta PBB untuk membentuk komisi penyelidikan internasional untuk menyelidiki, dengan harapan untuk menghentikan lingkaran kekerasan yang dicemaskan akan terjadi.lviii Beberapa misi pencari fakta PBB juga menyarankan penyelidikan demikian, demikian pula beberapa kelompok hak asasi manusia internasional yang mencemaskan situasi tersebut. Namun Dewan Keamanan PBB ragu-ragu untuk memulai penyelidikan yang dicemaskan bisa menimbulkan kekerasan lebih lanjut, terutama setelah tetangga Burundi di utara, Rwanda, mengalami genosida mengerikan pada bulan April 1994. Bahkan mereka yang mendukung rencana komisi tersebut mengakui adanya risiko menimbulkan kekerasan. Amnesti Internasional menulis bahwa “kerja komisi itu jelas akan menimbulkan kecemasan pada para pelaku pelanggaran hak asasi manusia dan bisa menimbulkan ketegangan di Burundi”, namun melihat pula bahwa pembentukan komisi penyelidikan internasional sebagai “langkah penting dalam memecahkan lingkaran impunity dan kekerasan di Burundi”.lix Dewan Keamanan PBB akhirnya membentuk komisi melalui sebuah resolusi pada bulan Juli 1995, hampir dua tahun setelah usaha kudeta dan pembantaian massal. Pedoman kerja komisi ini mengikuti saran wakil khusus sekretaris jenderal PBB untuk Burundi, yakni Pedro Nikken. Pengacara Venezuela ini pernah ikut serta dalam tim negosiasi PBB di El Salvador beberapa tahun sebelumnya, dan membantu menyusun pedoman kerja untuk komisi kebenaran di sana. Ia menyarankan badan yang amat serupa untuk Burundi. lx Resolusi itu memerintahkan agar komisi itu “menemukan fakta mengenai pembunuhan presiden Burundi pada tanggal 21 Oktober 1993, pembantaian dan tindakan kekerasan serius lainnya yang menyusul”, dan “menyarankan tindakan legal, politis dan administratif … untuk mengadili mereka yang bertanggung-jawab untuk peristiwa tersebut, mencegah terulangnya hal demikian dan pada umumnya, menghapus impunity dan mendorong rekonsiliasi nasional di Burundi”.lxi Setelah sepuluh bulan penyelidikan rahasia, laporan tersebut akan diterbitkan pada bulan Juli 1996, namun pada hari ketika laporan tersebut direncanakan akan diumumkan, terjadi kudeta di Burundi, yang menunda pengumuman laporan itu. Menurut New York Times, laporan itu “ditunda penerbitannya oleh beberapa anggota Dewan Keamanan yang cemas bahwa penerbitannya akan mendorong lebih banyak pertumpahan darah di Burundi”. Namun, sebulan kemudian PBB mengumumkan laporan itu, yang menjelaskan “tindakan genosida” yang terjadi di Burundi pada bulan Oktober 1993, menyarankan bahwa jurisdiksi internasional diterapkan pada tindakan tersebut, dan menyarankan penyelidikan lebih lanjut terhadap peristiwa-peristiwa sebelum 1993, bila kondisi keamanan memungkinkan.lxii Namun kekerasan terus terjadi secara sporadis di Burundi, dan saran-saran dalam laporan itu masih belum dijalankan.
Ekuador Telah ada banyak tuduhan pelanggaran berat hak asasi manusia di Ekuador sejak tahun 1979, ketika pemerintah sipil mengambil alih kekuasaan dari pemerintah militer, dan terdapat seruan untuk penyelidikan mendalam, pengadilan mereka yang Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
bertanggung-jawab dan pemberian ganti rugi bagi para korban. Sebagai hasil dari tuntutan itu, Departemen Pemerintahan dan Kepolisian membentuk Komisi Kebenaran dan Keadilan pada bulan September 1996.lxiii Komisi ini beranggotakan tujuh orang: satu wakil departemen pemerintahan dan kepolisian, tiga wakil organisasi hak asasi manusia internasional yang bekerja di negara itu, dan tiga wakil organisasi hak asasi manusia nasional. Komisi itu diberi kuasa untuk menerima kesaksian mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak tahun 1979, melakukan penyelidikan, dan memberikan bukti seperlunya kepada pengadilan. Komisi ini diberi waktu satu tahun untuk menyelesaikan penyelidikan dan laporannya, dengan kemungkinan perpanjangan waktu.lxiv Setelah tiga bulan, komisi ini menerima informasi mengenai hampir 300 kasus, dan sudah menyelidiki kuburan korban-korban penyiksaan atau pembunuhan. lxv Namun meskipun pada awalnya pemerintah memiliki komitmen untuk memberikan dukungan dan fasilitas untuk membantu menyelesaikan kerjanya, anggota komisi kecewa karena kurangnya sumber daya dan pegawai yang terlatih.lxvi Pada bulan Februari 1997, hanya lima bulan setelah pembentukannya, komisi ini berhenti bekerja. Amnesti Internasional menyatakan bahwa kegagalan komisi ini untuk menerbitkan temuannya “memperkuat impunity atas ratusan kasus penyiksaan, penghilangan dan pembunuhan”.lxvii
Nigeria Setelah 15 tahun pemerintahan militer, Olusegun Obasanjo dipilih sebagai presiden Nigeria pada awal tahun 1999. Hanya beberapa minggu setelah menjabat, ia membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada bulan Juni 1999. Anggotanya ditunjuk oleh Presiden Obasanjo, dengan pensiunan hakim yang dihormati, Chukwudifu Oputa, sebagai ketuanya. Komisi ini mendapatkan mandat yang amat luas dan pada awalnya diberi waktu hanya 90 hari untuk menyelesaikan tugasnya. Mandatnya memerintahkan untuk “menentukan atau meyakinkan sebab, sifat dan jangka pelanggaran hak asasi manusia atau pelanggaran yang berkaitan dengan kematian secara misterius dan pembunuhan atau usaha pembunuhan yang terjadi di Nigeria antara 1 Januari 1984 dan 28 Mei 1999”.lxviii Komisi pada awalnya menafsirkan “pelanggarn hak asasi manusia” secara amat luas, termasuk kasus pemecatan tanpa kompensasi layak. Ketika ia mulai mendengarkan kesaksian, dalam waktu hanya beberapa minggu saja komisi ini menerima hampir 10 ribu kesaksian tertulis; yang sekitar 9 ribu di antaranya berkaitan dengan masalah perburuhan. Setelah dipertimbangkan kembali (dan setelah mengadakan pertemuan dengan mantan anggota komisi kebenaran Guatemala, Cili dan Afrika Selatan), komisi mengevaluasi rencananya dan berfokus pada pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.lxix Karena permintaan komisi itu, Presiden Obasanjo juga memperpanjang masa tugasnya menjadi satu tahun, memberi waktu untuk persiapan, dan memperluas periode yang dibahasnya, menjadi hingga tahun 1966, ketika pertama kali terjadi kudeta militer di Nigeria. (Batasan semula pada tahun 1984, yang merupakan tahun terakhir ketika negara itu berada di bawah pemerintahan sipil, dikritik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia karena mengabaikan tiga tahun masa jabatan Presiden Obasanjo sebagai pimpinan negara militer pada akhir dekade 1970-an). Presiden Obasanjo memberikan dukungan kuat Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
pada kerja komisi itu, dan berjanji untuk bersaksi di depan komisi itu, apabila ada tuduhan terhadapnya. Komisi ini juga diberi mandat untuk “mengidentifikasi orang atau orang-orang, otoritas, institusi atau organisasi yang bisa diminta pertangggungjawabannya” terhadap pelanggaran yang sedang diselidiki, dan untuk “menentukan apakah pelanggaran demikian merupakan kebijakan negara yang disengaja atau kebijakan salah satu organ atau institusinya atau … apakah mereka merupakan tindakan organisasi politik, gerakan kemerdekaan atau kelompok lainnya”. lxx Komisi ini dijadwalkan untuk memulai penyelidikan dan mengadakan dengar-kesaksian publik pertamanya pada awal tahun 2000, ketika buku ini naik cetak [dalam edisi bahasa Inggrisnya, ed.]. Sierra Leone Dalam sebuah kesepakatan damai yang ditandatangani di Lomé, Togo pada tanggal 7 Juli 1999, pemerintah Sierra Leone dan pemimpin kelompok pemberontak terbesar, Uni Front Revolusioner (RUF), menghentikan perang saudara selama sembilan tahun yang ditandai dengan tindakan kekejaman yang luar biasa. Perang ini terkenal di lingkungan internasional karena pelbagai perbuatan yang mengerikan (terutama dilakukan oleh pemberontak) yaitu memotong kaki dan tangan penduduk sipil, tampaknya dengan tujuan hanya untuk menimbulkan teror dan berusaha menekan dukungan kepada pemerintah.lxxi Kesepakatan damai ini mencakup sebuah amnesti umum tanpa syarat bagi semua pihak yang bertikai, yang mendapatkan kritikan keras dari kelompok-kelompok hak asasi manusia lokal maupun internasional, dan lain-lainnya. lxxii Dalam usaha untuk mengimbangi amnesti ini, dan karena adanya tekanan domestik dan internasional untuk suatu bentuk pertanggungjawaban terhadap kekejaman yang terjadi, kedua pihak setuju untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sementara tidak memberikan banyak detail mengenai tugas, kekuasaan dan mandatnya, kesepakatan damai itu memerintahkan komisi untuk “membahas impunity, menghentikan lingkaran kekerasan, memberikan forum bagi para korban dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk menuturkan cerita mereka, [dan] untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai masa lalu dalam rangka memfasilitasi penyembuhan dan rekonsiliasi”.lxxiii Komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia waktu itu, Mary Robinson, menawarkan untuk membantu pemerintah Sierra Leone dalam pembentukan komisi ini, dan memulai proses konsultatif luas selama menyusun pedoman kerja. Proses konsultatif ini, yang mencakup pertemuan dengan sejumlah besar wakil masyarakat sipil dan pejabat pemerintah untuk mengerjakan mandat investigatif, kekuasaan dan jangkauan komisi itu, berhasil menciptakan pedoman yang kuat untuk komisi itu dan dasar yang kuat untuk dukungan kerjanya.lxxiv Kantor Robinson menyerahkan saran akhir mengenai pedoman kerja komisi itu kepada pemerintah Sierra Leone pada bulan Desember 1999. Undang-undang yang memberikan kekuasaan hukum bagi komisi itu disahkan oleh Parlemen Sierra Leone pada bulan Februari 2000, mengikuti saran dari PBB, yang memberikan komisi ini kekuasaan investigatif yang luas, termasuk kekuasaan subpoena dan penyitaan.lxxv Terdapat pula proses konsultatif luas dalam pemilihan anggota komisi, untuk menjamin kredibilitas dan netralitas dalam sebuah keanggotaan komisi yang terdiri dari empat warga negara dan tiga anggota dari luar negeri. Komisi ini dijadwalkan untuk mulai bekerja pada pertengahan tahun 2000, setelah masa persiapan selama tiga bulan. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix xxx xxxi xxxii xxxiii xxxiv xxxv xxxvi xxxvii xxxviii xxxix xl xli xlii xliii xliv xlv xlvi xlvii xlviii xlix l li lii liii liv lv
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
lvi lvii lviii lix lx lxi lxii lxiii lxiv lxv lxvi lxvii lxviii lxix lxx lxxi lxxii lxxiii lxxiv lxxv
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 6 Apa Itu Kebenaran?
Komisi kebenaran didedahi harapan untuk memenuhi arahan yang diberikan kepadanya dalam mandat tertulis, atau terms of reference, sebagai dasar pendiriannya. Mandat beberapa komisi di masa lalu secara eksplisit menjelaskan pelanggaran yang harus dicatat dan diselidiki, namun yang lain hanya memberikan arahan umum mengenai jenis pelanggaran yang harus diselidiki dan kasus mana saja yang harus diliput dalam penyelidikannya. Arahan-arahan ini, yang biasanya disusun melalui keputusan presiden, legislasi nasional atau sebagai bagian kesepakatan damai, bisa menggambarkan kekuatan komisi, membatasi atau memperkuat jangkauan penyelidikannya, dan menentukan lingkup waktu, subjek dan geografi penyelidikan komisi tersebut, dan mendefinisikan kebenaran yang akan didokumentasikan. Bila garis besar kebenaran sudah ditentukan secara amat jelas dan spesifik, beberapa komisi menemukan keterbatasannya untuk melihat hanya sebagian pelanggaran yang sudah terjadi. Sebagai contoh, beberapa komisi kebenaran hanya bertugas untuk meneliti penghilangan, seperti di Argentina, Uruguay dan Sri Lanka; namun pembatasan eksplisit demikian berisiko mengabaikan sebagian besar kebenaran. Komisi Uruguay tidak berhasil menemukan sebagian besar pelanggaran hak asasi yang terjadi di bawah rezim militer karena mandat yang terbatas; penahanan ilegal dan penyiksaan, yang merupakan pelanggaran dalam jumlah terbesar, diabaikan. Di Cili, komisi meneliti penghilangan, eksekusi, penyiksaan yang berakibat pada kematian, penculikan politis dan usaha penghilangan nyawa oleh penduduk sipil untuk tujuan politis.i Namun mandatnya tidak memungkinkan komisi menyelidiki penyiksaan yang tidak berakibat pada kematian. Hal ini dikritik oleh pengamat hak asasi internasional dan membuat jumlah korban relatif rendah, dengan demikian tidak realistik. Bagi komisi-komisi yang memiliki mandat yang lebih fleksibel, suatu gambaran kebenaran yang lebih luas bisa muncul. Penyusun pokok-pokok arahan di El Salvador, di bawah tekanan pembicaraan damai bersama PBB, mempertimbangkan kasus-kasus spesifik mana saja yang akan diteliti, namun akhirnya membiarkan mandatnya relatif terbuka, menyatakan bahwa komisi harus membuat laporan “tindakan kekerasan yang serius … yang akibatnya pada masyarakat mendatangkan tuntutan bahwa masyarakat wajib mengetahuinya”. ii Setelah membaca redaksi ini, komisi memutuskan untuk mengumpulkan kesaksian dari ribuan korban, menyimpulkan pola kekerasan keseluruhan, dan melaporkan 30 kasus secara mendalam, yang semuanya jauh lebih mendalam daripada yang semula diinginkan para pemberi mandat. Kasus-kasus yang dipilih untuk diselidiki secara mendalam diinginkan sebagai perwakilan korban, pelaku, dan jenis pelanggaran yang lazim dalam 12 tahun perang saudara. Bahasa yang menguraikan tentang komisi El Salvador merupakan model yang baik: sebagai aturan dasar, arahan harus cukup luas dan lentur untuk memungkinkan penyelidikan pada semua bentuk pelanggaran hak asasi, memberikan keputusan kepada komisi mengenai kasus-kasus spesifik mana yang diinvestigasi dan dilaporkan. Selain pembatasan secara eksplisit dalam mandat komisi, anggota komisi juga mungkin menerapkan batasan mengenai apa yang diselidiki atau dilaporkan komisi. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Karena batasan waktu, sumber daya dan staf, atau informasi yang tidak cukup atau tidak andal, atau karena tekanan politis, anggota komisi bisa menghindari topik-topik tertentu atau memutuskan untuk menghilangkan informasi dari laporan akhir. Di Afrika Selatan, komisi diarahkan untuk menyelidiki pelanggaran kejam terhadap hak asasi, yang didefinisikan sebagai “pembunuhan, penculikan, penyiksaan dan perlakuan buruk yang parah”,iii namun tidak diarahkan untuk mencakup semua praktik pelanggaran di bawah apartheid. Komisi ini terutama dikritik karena tidak melakukan penyelidikan pada praktik “pemindahan paksa”, kebijakan apartheid yang memindahkan paksa jutaan warga kulit hitam ke tanah-tanah gersang. Hal ini mungkin dijustifikasi karena beban kerja komisi yang amat berat dan karena kebijakan ini diinstitusikan melalui undang-undang dan didokumentasikan dengan baik. Namun hal ini mencegah banyak warga Afrika Selatan melihat pengalaman pribadi mereka tergambar dalam kerja komisi. Beberapa pengamat mengkritik keras kegagalan komisi untuk memasukkan praktik apartheid jenis ini dan praktik-praktik apartheid lainnya ke dalam laporannya. Cendekiawan Uganda, Mahmood Mamdani, di Universitas Cape Town, selama masa kerja komisi itu merupakan salah satu kritikus yang terkuat. Ia menyatakan bahwa komisi itu menciptakan “mitos dasar Afrika Selatan baru”. Karena, komis ini mengajukan “kebenaran yang dikompromikan” yang “melupakan sebagian besar korban dari catatan sejarah” dengan mengabaikan praktik apartheid yang penting seperti pemindahan paksa. Tuduhan ini meskipun provokatif tidak disepakati sebagian besar warga Afrika Selatan dan dianggap oleh sebagian besar pengamat sebagai melebih-lebihkan.iv Komisi kebenaran mencatat bahwa sudah ada Komisi Pertanahan yang secara konstitusional dibentuk untuk membahas masalah-masalah demikian, dan sudah membahas pemindahan paksa, secara umum, dalam laporannya. Namun, karena perhatian besar yang didapatkan komisi, dan ingatan yang kurang mengenai apartheid pada para pemuda Afrika Selatan, mungkin baik bagi sejarah untuk paling tidak satu kali mengadakan dengar-kesaksian publik yang disiarkan melalui TV mengenai praktik apartheid yang legal namun melanggar hak asasi, bahkan seandainya sudah ada catatan yang jelas. Interpretasi komisi mengenai “kebenaran” juga akan ditentukan oleh personalitas dan prioritas personal kepemimpinannya. Sebagai contoh, di Sri Lanka, presiden membentuk tiga komisi yang terpisah secara geografis untuk menyelidiki penghilangan selama tujuh tahun sebelumnya. Komisi-komisi tersebut dibentuk pada hari yang sama dan mendapat mandat yang sama, namun masing-masing bekerja secara independen di bagian negara yang ditunjuk, dan masing-masing menjalankan mandatnya secara agak berbeda. Para pengamat hak asasi yang mengamati kerja komisi-komisi itu dan hadir dalam dengar pendapat komisi menggambarkan bahwa satu komisi jelas berorientasi pada identifikasi pelaku dan mengarahkan penuntutan; yang lain berfokus pada kerugian finansial pada keluarga korban dan ganti ruginya; dan yang ketiga secara lebih akademis bertujuan pada rekonsiliasi dan psikologi penyembuhan nasional.v Satu dari tiga komisi itu pada awalnya mengadakan dengar-kesaksian publik, sementara yang lainnya melakukannya secara privat (akhirnya dengar-kesaksian publik dihentikan setelah ada ancaman bagi para pemberi kesaksian). Dan meskipun mandat komisi ini adalah untuk menyelidiki penghilangan (biasanya penculikan dan mungkin pembunuhan, namun jenazah tidak ditemukan), salah satu dari tiga komisi memutuskan untuk juga memasukkan korban-korban yang langsung dibunuh dalam daftar orang hilang – menafsirkan istilah itu lebih dekat ke “dihilangkan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dari dunia ini” – meskipun sebenarnya secara jelas tidak diberikan oleh mandatnya, menurut para pengamat. Beberapa komisi kebenaran sudah menyelidiki pelanggaran baik oleh kekuatan negara dan oposisi bersenjata. Setelah perang saudara, menyelidiki kedua pihak amat penting bagi legitimasi komisi itu terhadap masyarakat, dan penting bagi persatuan dan rekonsiliasi nasional. Di El Salvador, Guatemala dan Afrika Selatan, pelanggaran oleh oposisi bersenjata merupakan bagian penting dalam penyelidikan komisi, meskipun jumlahnya secara proporsional amatlah kecil. Di pihak lain, di Cili, kelompok kiri bersenjata amat kecil dan pelanggaran yang dilakukannya dianggap tidak penting bila dibandingkan dengan pelanggaran yang dilakukan agen negara. Di sana, banyak pengamat hak asasi menolak keputusan agar komisi kebenaran melaporkan pembunuhan baik oleh negara maupun oleh oposisi bersenjata. Karena, fokus ganda ini melemahkan kemarahan yang timbul dari pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan yang dilakukan oleh negara. Sebuah isu yang menarik adalah sejauh mana laporan komisi kebenaran mencantumkan analisis atau komentar mengenai peran aktor internasional dalam kekerasan politik di sebuah negara. Dalam semua kasus yang dibahas di sini, terdapat aktor internasional – biasanya pemerintah asing – yang membantu mendanai, mempersenjatai, melatih atau membantu dengan cara lain salah satu atau kedua pihak dalam konflik. Bila kekuatan pemerintah domestik sudah melakukan pelanggaran hak asasi yang parah dan berkelanjutan, peran pemerintah asing dalam mendukung kekejaman demikian perlu diselidiki atau paling tidak diakui secara formal dalam laporan kebenaran, terutama bila pelanggaran diketahui dengan baik pada saat dukungan diberikan, sebagaimana biasanya terjadi. Hampir semua komisi kebenaran belum melakukan penyelidikan terhadap peran internasional secara mendalam; beberapa di antaranya sama sekali tidak menyertakan persoalan peran internasional itu dalam laporan akhirnya. Komisi kebenaran di Chad mungkin merupakan yang termaju di bidang ini. Meskipun tidak melakukan investigasi mendalam, laporan komisi menyebutkan secara jelas jumlah dana eksternal yang diberikan kepada rezim, juga sejauh mana pelatihan diberikan kepada badan intelijen yang bertanggung-jawab pada pelanggaran yang paling parah – fakta yang sebelumnya tidak diketahui dengan baik oleh publik maupun komunitas hak asasi internasional: Amerika Serikat berada di baris teratas negara-negara yang secara aktif menyediakan DDS (Direktorat Dokumentasi dan Keamanan, badan intelijen) bantuan keuangan, material dan teknis. Amerika merangkul DDS di bawah sayapnya dalam bulan-bulan pertama keberadaannya. Ia melatih, mendukung dan memberikan kontribusi efektif bagi pertumbuhannya, hingga kejatuhan diktator. … Penasihat Amerika dari kedutaan besar merupakan tamu teratur direktur DDS. … Selain itu, Prancis, Mesir, Irak dan Zaire semua memberikan kontribusi … dana, pelatihan dan peralatan, atau berbagi informasi. Kerja sama keamanan antara badan intelijen negara-negara yang disebutkan di atas dan DDS sangatlah intens dan berlanjut hingga jatuhnya tiran.vi
Meskipun terdapat catatan panjang dukungan internasional bagi kedua pihak dalam perang saudara El Salvador, terutama bantuan keuangan yang ekstensif dari pemerintah Amerika Serikat pada militer El Salvador, laporan komisi kebenaran tidak berkomentar mengenai peran aktor internasional. Ia hanya memberikan penggambaran bahwa pemerintah Amerika Serikat “mentolerir, dan tampaknya tidak memperhatikan secara resmi” sekelompok orang buangan El Salvador di Miami, Florida yang “secara langsung Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
memberi dana dan secara tidak langsung menjalankan milisi-milisi bersenjata tertentu” di El Salvador, terutama antara tahun 1979-1983. Laporan itu menyatakan “akan sangat berguna bila penyelidik lain yang memiliki sumber daya dan waktu yang lebih panjang mengungkapkan kisah tragis ini agar orang-orang yang terkait dengan aksi teroris di negara lain tidak lagi ditolerir di Amerika Seriakt”.vii Komisioner Thomas Buergenthal menyatakan bahwa bila ada orang asing yang ditemukan secara langsung terlibat dalam pelanggaran, komisi akan menyatakan demikian. Tujuan mandat komisi ini bukanlah untuk mengungkapkan sejauh mana pihak internasional terlibat, demikian lanjut Buergenthal; bila komisi berusaha menyelidiki keterlibatan asing dalam perang itu – yang mungkin mencakup Kuba, Nikaragua, dan Uni Soviet, selain Amerika Serikat – ia tidak akan bisa menyelesaikan tugas utamanya: untuk menjelaskan kondisi dan sejauh mana terjadinya kekerasan politik di negara itu.viii Namun, penerbitan laporan komisi kebenaran paling tidak mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk meninjau kembali kebijakannya dahulu mengenai El Salvador dan membuka ribuan dokumen yang semula dirahasiakan. Laporan komisi kebenaran Cili berkomentar mengenai reaksi komunitas internasional terhadap rezim militer, termasuk pembekuan hubungan diplomatik oleh beberapa negara dan usaha organisasi antar-pemerintah dan LSM internasional untuk menentang pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Laporan itu juga secara singkat menggambarkan hubungan ekonomi dan politik Amerika Serikat yang berkelanjutan dengan rezim itu, yang tetap normal pada tahun-tahun represi yang paling parah.ix Komisi-komisi kebenaran baru-baru ini biasanya mengkaji isu ini secara lebih jujur dan langsung (dan dibandingkan komisi El Salvador, memang memiliki sumber daya dan waktu yang lebih luas untuk melakukan penyelidikan yang lebih mendalam). Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala menunjukkan konteks Perang Dingin, termasuk doktrin keamanan nasional yang amat dipegang Amerika Serikat, sebagai salah satu faktor di belakang perang saudara yang brutal di negara itu. Dalam memberikan laporan kepada masyarakat, ketua komisi Christian Tomuschat menyatakan bahwa “hingga pertengahan dekade 1980-an, pemerintah dan perusahaan Amerika Serikat memberikan tekanan untuk mempertahankan struktur sosio-ekonomi negara ini yang kuno dan tidak adil. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat, melalui lembaga-lembaga resminya, termasuk CIA, memberikan dukungan langsung dan tidak langsung pada beberapa operasi ilegal negara”.x Dalam kunjungannya beberapa waktu setelah laporan diumumkan, Presiden Bill Clinton mengakui nilai penting kerja komisi itu, dan menyatakan bahwa Amerika Serikat “keliru” dalam mendukung kekuatan militer yang terlibat dalam represi yang kejam dan luas, dan mencatat bahwa “Amerika Serikat tidak boleh mengulang kesalahan itu”.xi Bahkan dengan mandat yang lentur dan keinginan untuk mengumpulkan informasi secara adil mengenai semua pola pelanggaran, sebuah komisi bisa gagal mencatat pelanggaran-pelanggaran tertentu yang terjadi secara luas. Kemungkinan pelanggaran yang paling kurang muncul dalam laporan adalah yang dialami perempuan, terutama pelecehan seksual dan perkosaan. Banyak komisi mendapatkan jauh lebih sedikit kesaksian mengenai kejahatan seksual daripada jumlah atau proporsi yang diperkirakan. Di Afrika Selatan, misalnya, sangat sedikit kasus kejahatan seksual yang dibawa ke komisi, dibandingkan praktik luas perkosaan yang diketahui telah terjadi oleh pasukan keamanan dan kekerasan horisontal yang terjadi di wilayah KwaZulu Natal.xii Komisi ini sadar bahwa Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
jumlah laporan perkosaan yang ia terima tidak secara akurat mewakili kenyataan yang ada;xiii demikian pula disadari komisi-komisi lainnya. Kurangnya laporan ini disebabkan berbagai faktor. Dalam banyak kebudayaan, perkosaan memiliki stigma sosial yang besar dan malu bagi para korbannya, dan perempuan dapat dipahami untuk merasa tidak nyaman memberikan kesaksian mengenai kejahatan seksual di muka umum, bahkan secara privat, bila detailnya kemudian diterbitkan. Terdapat pula tendensi umum di kalangan perempuan untuk merendahkan pengalaman mereka, dan malah justru memberikan penekanan pada kisah laki-laki di keluarga mereka.xiv Komisi-komisi bisa secara tidak sadar mendorong gejala ini: beberapa pelanggaran yang dialami perempuan dilaporkan sebagai “pengalaman sekunder”, menurut Beth Goldblatt, peneliti Pusat Studi Hukum Terapan di Universitas Witwatersrand di Johannesburg, Afrika Selatan, yang mempelajari bagaimana komisi merespon kesaksian dari perempuan. “Perempuan yang berbicara pada komisi sering kali digambarkan sebagai ibu, saudara atau istri”, kata Goldblatt.xv Laporan kebenaran Guatemala juga menjelaskan bagaimana dalam hampir semua kesaksian yang diterimanya, “perkosaaan digambarkan sebagai aspek sekunder atau ‘tambahan’ terhadap pelanggaran lainnya”.xvi Hampir semua komisi kebenaran tidak proaktif dalam mencari, mendorong dan memfasilitasi kesaksian perempuan. Banyak anggota komisi mendapatkan jabatannya tanpa memahami berbagai faktor yang menjadi penghalang untuk mencatat pengalaman perempuan, sehingga usaha pendidikan oleh pihak luar untuk komisi tersebut bisa berharga. Di Afrika Selatan, lembaga advokasi korban non-pemerintah dan ahli hak perempuan berpartisipasi dalam lokakarya dengan anggota komisi kebenaran, mendorong kebijakan yang inklusif dan mendukung perempuan. Sebagian karena hasil masukan ini, komisi Afrika Selatan melaksanakan beberapa dengar-kesaksian khusus untuk perempuan, dengan panel anggota komisi yang semuanya perempuan, dan dalam satu kasus, mengizinkan saksi untuk bersaksi dari balik layar, jauh dari jangkauan kamera TV. Meskipun terdapat usaha dan kesadaran mengenai isu ini, pada akhirnya komisi mengakui dalam laporannya bahwa “definisi pelanggaran parah terhadap hak asasi yang digunakan komisi ini berakibat pada kebutaan pada jenis-jenis pelanggaran yang utamanya dialami perempuan”.xvii Sejumlah strategi bisa digunakan untuk mendorong perempuan untuk datang dengan cerita mereka, namun hanya komisi kebenaran yang paling belakangan saja yang mulai mendekati masalah ini dengan cara yang serius. Kebijakan komisi kebenaran di Haiti mengarahkannya untuk memberikan perhatian khusus pada “kejahatan yang berkaitan dengan seksualitas terhadap korban perempuan yang dilakukan untuk tujuan politis”, yang kemudian menimbulkan perhatian yang terfokus pada masalah ini sepanjang masa kerjanya dan satu sub-bab dalam laporannya diberikan untuk kejahatan seksual. xviii Pendekatan ini, yaitu memberikan perhatian kepada masalah ini dalam mandat, perlu diperhatikan secara serius di tempat lainnya. Komisi kebenaran juga harus menyediakan petugas perempuan untuk mendengarkan kesaksian dari korban perempuan, untuk memberikan kenyamanan kepada para perempuan dalam melaporkan pelanggaran seksual, dan harus menawarkan kerahasiaan untuk para korban yang tidak mau namanya dituliskan. Di beberapa negara, perempuan lebih mau melaporkan kejahatan seksual kepada orang asing, karena dianggap tidak akan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari mereka, yang bisa menjadi alasan untuk memasukkan orang asing dalam tim pengumpulan kesaksian. Namun meskipun terdapat cara-cara khusus ini, sebuah komisi tidak bisa Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mengasumsikan bahwa pernyataan dan kesaksian yang ia terima pada kejahatan-kejahatan tertentu sudah mencerminkan jumlah total yang terjadi. Bila perempuan memilih untuk tetap diam, praktik perkosaan dan kejahatan seksual lainnya harus tetap diakui dalam laporan akhir, bila dipercaya bahwa praktik tersebut tersebar luas. Jika komisi kebenaran tidak berhati-hati dalam menyikapi masalah ini, kemungkinannya adalah hal ini akan tetap tertutup dan tersembunyi dari buku sejarah – juga tidak akan ada kebijakan, pendidikan atau pemberian ganti rugi kepada para korban berkaitan dengan hal ini, atau juga peningkatan kesadaran publik atau mengurangi pelanggaran seksual di masa depan. Komisi kebenaran belakangan ini jauh lebih memperhatikan isu ini. Beberapa komisi, meskipun menghadapi kesulitan dalam mengumpulkan kesaksian dari perempuan, bisa membahas subjek ini secara efektif. Laporan Guatemala memuat sebuah bab yang panjang dan menyentak yang menggambarkan – dengan kutipan yang mengejutkan dari saksi korban – praktik perkosaan massal dan praktik kejahatan seksual yang kejam terhadap perempuan. Berdasarkan bukti sebelumnya, komisi menyimpulkan bahwa “ini bukanlah tindakan yang terisolasi atau sporadis, namun merupakan bagian rencana strategis” yang secara khusus mengarah pada perempuan bangsa Maya.xix Komisi kebenaran di masa lalu kadang-kadang mendapatkan informasi mengenai kejahatan seksual terhadap perempuan, namun tidak melaporkannya, karena menganggap bahwa perkosaan bukan bagian mandat mereka untuk melaporkan kejahatan bermotif politis. Dalam laporannya mengenai sebuah kasus penting dari tahun 1980, komisi kebenaran El Salvador tidak mencantumkan dalam laporannya bahwa tiga biarawati Amerika Serikat dan satu pekerja awam diperkosa oleh tentara sebelum mereka dibunuh. Meskipun komisi menyimpulkan bahwa perkosaan memang terjadi, ia hanya melaporkan bahwa para perempuan itu diculik dan dibunuh. Seorang anggota komisi menyatakan bahwa karena tidak ada bukti bahwa perintah untuk memperkosa datang dari atas, dan diasumsikan bahwa tindakan tersebut merupakan inisiatif para tentara itu sendiri, ini tidak dianggap sebagai tindakan bermotif politik, maka tidak dimasukkan ke dalam laporan.xx Mungkin logika ini tidak akan dipakai lagi sekarang. Sejak tahun 1993, ketika laporan komisi El Salvador diterbitkan, perkosaan dan kejahatan seksual lainnya jelas diakui sebagai kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kondisi tertentu.xxi Selain itu, semakin banyak penghargaan terhadap pentingnya menggambarkan secara mendetail pengalaman perempuan dalam catatan sejarah pelanggaran yang terjadi. Pertanyaan apakah suatu kejahatan seksual juga adalah kejahatan yang bermotif politik, sehingga merupakan lingkup kasus komisi kebenaran, tampaknya cukup membingungkan bahkan bagi komisi-komisi yang muncul belakangan. Seorang komisioner yang bertanggung-jawab untuk Komite Amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan menyatakan bahwa mereka langsung menolak memberikan amnesti bagi satu kasus perkosaan tanpa melihat lebih lanjut, karena dalam logika mereka, tidak mungkin kejahatan demikian bermotif politik. Mereka menunjukkan kasus ini untuk memberi contoh seberapa jauh bentuk kejahatan yang dimintakan amnesti. “Bagaimana seorang mengatakan bahwa ia memperkosa orang lain karena ia berasal dari partai politik lain? Ini tidak mungkin”, demikian alasan mereka, merujuk pada kekerasan antara Kongres Nasional Afrika dan Partai Kemerdekaan Inkatha.xxii Namun bila anggota komisi amnesti melihat pada kesaksian mengenai pelanggaran berat hak asasi manusia yang diterima dari korban-korban, pasti mereka akan menemukan banyak laporan perkosaan, yang mungkin mirip sekali dengan aplikasi amnesti tersebut. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Selain mandat yang diberikan kepada komisi, laporannya juga akan mencerminkan metodologi yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi. Banyak isu metodologi mendasar, dan pengalaman komisi di masa lalu dalam membahas hal ini, dibahas dalam bab 14. Faktor yang paling mendasar dalam mempengaruhi jenis kebenaran yang akan dicatat komisi itu adalah sistem manajemen informasi yang digunakan untuk mengumpulkan, mengorganisir dan mengevaluasi sejumlah besar informasi yang ada. Pada tahun-tahun belakangan, komisi kebenaran yang besar menggunakan sistem database yang canggih untuk mencatat dan menganalisis detail ribuan atau puluhan ribu kesaksian dari korban dan saksi. Yang lain, termasuk komisi di wilayah-wilayah selatan Amerika Selatan dan komisi di Sri Lanka, tidak menggunakan sistem komputer yang canggih, namun menghitung dengan tangan atau menggunakan program komputer sederhana untuk melacak informasi sederhana yang terkumpul dalam kesaksian. Banyak yang menyatakan bahwa sistem database yang kuat merupakan unsur penting dalam kerja komisi kebenaran. Betul bahwa banyak jenis analisis tidak bisa dilakukan tanpa penggunaan program demikian, terutama bila jumlah kasusnya ribuan. Namun, fokus yang terlalu mengarah pada pembuatan database dalam pengumpulan informasi justru bisa membatasi produk kebenaran akhir. Beberapa orang yang terlibat erat dalam komisi kebenaran mulai memberikan kritikan pada sistem manajemen informasi yang standar dalam komisi kebenaran modern, yang berdasarkan pada tabulasi mendetail tindakan-tindakan spesifik melalui database, dan mulai mempertanyakan apakah pendekatan ini memungkinkan komisi untuk menjawab beberapa pertanyaan yang ingin mereka tanyakan. Janis Grobbelaar, seorang manajer informasi di komisi Afrika Selatan, adalah satu dari sedikit sosiolog yang menjadi staf dalam komisi kebenaran. Ketika ia masuk komisi itu pada bulan April 1996, ketika komisi baru memulai kerjanya, salah satu pertanyaan pertamanya adalah mengenai metode penelitian komisi tersebut, dan ternyata komisi itu belum memikirkan masalah ini secara mendalam. Menurutnya, pendekatan berdasarkan database mencerminkan perspektif “positivisme logis akontekstual, yang berfokus pada tindakan, nama pelaku dan nama korban, namun tidak menanyakan mengapa dan bagaimana”. Ia melanjutkan, “Untuk kepentingan praktis, ini memang yang paling tepat. Anggota komisi bisa sepakat dengan ke-bebasnilai-an dan positivisme. Namun saya lebih tertarik dengan variabel-variabel kualitatif: melihat narasi dalam cerita para korban, menemukan mengapa. Apakah kita tahu mengapa semua ini terjadi? Kita hanya tertarik untuk menunjukkan apa yang terjadi”.xxiii Konteks yang lebih luas mengenai kebenaran-kebenaran tertentu bisa saja tidak muncul dari fokus mendalam pada tindakan-tindakan tertentu. Grobbelaar melakukan surveinya secara informal untuk memahami dinamika tersebut, mewawancarai banyak pewawancara kesaksian yang mengalami kontak langsung dengan para korban. “Siapa yang mendatangi komisi?” ia bertanya. “Ini merupakan pertanyaan penting. Jawabannya adalah: orang miskin, baik material maupun psikologis. Pengalaman dan ketertarikan mereka untuk berkesaksian berkaitan dengan kekurangan material mereka”. Dan Grobbelaar menyimpulkan bahwa hampir semua korban berusaha menyampaikan kepada komisi bahwa “‘Rekonsiliasi harus memiliki kaitan material. Beri saya sesuatu agar saya bisa bertahan.’ Bagaimana orang mengalami apartheid di negara ini? Sebagai masyarakat yang miskin, hampir tidak memiliki kesempatan untuk mengubahnya,” demikian menurut Grobbelaar. Jadi fokus komisi pada tindakan, korban dan pelaku tidak berhasil Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mencerminkan realitas yang lebih besar: bagaimana apartheid dialami, dan dari mana orang berusaha menyembuhkan luka itu? Daniel Rothenberg, seorang antropolog Amerika Serikat yang menjadi staf komisi kebenaran Guatemala pada bulan-bulan pertama, mulai mempertanyakan beberapa dari pertanyaan di atas. Ia melihat bahwa praktis tidak ada ilmuwan sosial lain yang menjadi staf, dan bagaimana sistem manajemen informasi dan metodologi penelitian lapangan dibuat oleh orang yang, selain para konsultan database, tidak memiliki pengalaman dalam penelitian lapangan atau proyek wawancara dan pengumpulan data berskala besar. “Kita baru sadar seberapa jauh ilmu sosial menawarkan bantuan untuk penyelidikan ini ketika ia tidak diikutsertakan dalam kerja komisi kebenaran”, demikian menurutnya. Model yang digunakan komisi memiliki keunggulannya, menurut Rothenberg, namun ada yang perlu dipertanyakan mengenai memutuskan metodologi sebelum memutuskan apa yang ingin didapatkan. Pertanyaan mendasar yang seharusnya membentuk sifat komisi kebenaran – kebenaran apa, dan untuk siapa – mungkin tidak cukup dipahami oleh komisi Guatemala pada awalnya. Mereka yang membuat pertanyaan metodologis melakukannya dengan pola pikir legal, yang membuat pertanyaan berdasarkan tindakan pelanggaran hak asasi spesifik. Seharusnya, menurut Rothenberg, komisi kebenaran harus menentukan sasarannya terlebih dahulu, baru mendatangkan para ahli untuk merancang database yang akan menentukan hasil akhir.xxiv Pertanyaan serupa ditanyakan pula di tempat lain. Jean Claude Jean, direktur jenderal Institut Kebudayaan Karl Leveque di Port-au-Prince, Haiti, dan mantan direktur koalisi hak asasi manusia, menjelaskan bagaimana bayangannya mengenai komisi kebenaran sangat berbeda dari apa yang akhirnya dibentuk. Ia ikut serta dalam usaha kelompok-kelompok LSM untuk mempersiapkan arahan bagi rancangan komisi kebenaran Haiti, namun setelah komisi itu dibentuk dan bekerja selama beberapa bulan, ia menerbitkan makalah yang mengkritik kerjanya, terutama pendekatan metodologisnya. “Kita perlu membuat metodologi dulu, untuk memahami apa yang akan dilakukan dengan informasi yang didapatkan,” menurutnya. “Hanya membuat laporan teknis mengenai kasus-kasus tidaklah berguna, dan juga tidak dipahami oleh masyarakat. Untuk mendapatkan kebenaran, melawan impunity, mempertahankan ingatan dan mendapatkan keadilan, syarat utama adalah bahwa rakyat berpartisipasi dalam penyelidikan dan proses kerja komisi.” Lebih dari informasi spesifik mengenai kasus-kasus, publik ingin memahami bagaimana cara kerja represi, bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda bekerja, dan siapa dalang represi itu. “Komisi kebenaran harus menjadi milik publik. Saya ingin masyarakat melihat proses dan menemukan posisi mereka dalam proses itu. Saya ingin komisi ini digunakan untuk mendorong perdebatan publik.”xxv Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan itu mengarah pada tujuan yang diinginkan untuk dicapai komisi itu. Tujuan sebuah komisi kebenaran bisa lebih dari satu: menggapai para korban, mencatat dan mengkonfirmasi kasus untuk program ganti rugi, mencapai kesimpulan tegas dan tidak dapat dibantah mengenai kasus dan pola pelanggaran yang kontroversial, menggerakkan negara ke proses penyembuhan nasional, memberi kontribusi pada keadilan, menulis laporan yang dapat diakses publik, menggariskan reformasi, atau memberikan suara bagi para korban. Masing-masing tujuan itu menggariskan pendekatan yang berbeda dalam proses kerja. Namun karena semua proses yang berakar pada pendataan kesaksian secara mendetail dan penggunaan database canggih menuntut energi yang terfokus, pendekatan demikian cenderung mendefinisikan proses dalam komisi Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
kebenaran itu sendiri, dan melalui lembaran koding data yang digunakan, definisi kebenaran yang akan dikumpulkan. Tidaklah jelas benar bagaimana metode pengumpulan data lainnya, namun perlu dipertimbangkan baik-baik bagi komisi kebenaran di masa depan, alih-alih mengambil begitu saja model yang digunakan oleh komisi serupa sebelumnya. Apakah komisi kebenaran bisa mendokumentasikan kebenaran tanpa mengumpulkan ribuan kesaksian yang mendetail? Apakah bisa sebuah komisi kebenaran berfokus pada dampak sosiologis, fisik dan psikologis dari alat-alat represi yang berada di luar “pelanggaran hak asasi manusia yang berat”, mungkin melalui sejumlah studi kasus mengenai dampak represi secara luas? Beberapa komisi mencoba melakukan ini melalui bab-bab deskripsi mengenai efek kekerasan, seperti di Guatemala; di masa depan sebaiknya diupayakan lebih banyak model kebenaran deskriptif ini. Mandat Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala memerintahkan penyelidikan pada “faktor dan kondisi” kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk faktor “internal and eksternal”. xxvi Staf tim riset dibentuk untuk membahas sebab konflik bersenjata, strategi dan mekanisme kekerasan, dan dampak kekerasan. Ini mencakup analisis arus pengungsian, dampak ekonomi konflik bersenjata, dan akibat lain dari perang selama 30 tahun. Demikian juga, beberapa penyelidik di kantor lapangan melaksanakan wawancara mendalam dengan para pemimpin komunitas dan lainnya yang tidak memiliki kasus spesifik untuk dilaporkan, namun bisa memberikan informasi kontekstual mendetail mengenai bagaimana komunitas mereka dipengaruhi kekerasan, atau perkembangan dan dinamika oposisi bersenjata di wilayah itu selama bertahun-tahun. Direktur salah satu kantor lapangan komisi itu menggambarkan bagaimana ia merekam pernyataan selama enam sampai delapan jam dari satu tokoh komunitas untuk menggambarkan sejarah dan perkembangan konflik di wilayahnya. Peneliti itu mencatat seluruh kesaksian di komputernya. Selain itu, dari kantor pusat di ibu kota, komisi membuat daftar “saksi kunci” yang diundang untuk memberikan kesaksian bukan mengenai kasus spesifik, namun mengenai konteks perang dan kekerasan itu. Ini mencakup mantan presiden, perwira tinggi, pemimpin gereja, pemimpin komunitas Maya dan lain-lain. Tidak semua pihak tersebut menerima undangan itu dan memberikan kesaksian, dan tidak semua yang datang menjawab semua pertanyaan. Namun banyak yang memberikan informasi kontekstual. Sebuah usaha pencarian kebenaran lain di Guatemala, REMHI (Recovery of Historical Memory Project), yang dilaksanakan Departemen Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung Guatemala sebelum komisi kebenaran resmi mulai bekerja, memberikan pendekatan lain tentang pengumpulan informasi mengenai kekejaman di masa lalu. Format wawancara standar yang digunakan proyek ini memiliki unsur kualitatif – bukan sekadar kuantitatif atau faktual – yang menanyakan lebih dari sekadar tindakan kekerasan, namun juga berfokus pada konteks dan akibat peristiwa tersebut, dan dirancang agar mendukung si saksi secara emosional dan psikologis. Selain mengumpulkan fakta mengenai pelanggaran hak asasi yang spesifik, pewawancara juga meminta saksi untuk menggambarkan korban, termasuk sifat-sifatnya (Apakah ia ayah yang baik? Apakah ia ceria?); untuk menggambarkan bagaimana peristiwa tersebut berpengaruh pada saksi atau komunitas secara keseluruhan, dan juga berbicara tentang bagaimana peristiwa itu terjadi, dan apa yang akan dilakukan saksi atau komunitasnya sekarang. “Jelas bahwa kompleksitas dan kedalaman apa yang terjadi jauh melebihi pelanggaran hak individual”, menurut Marcia Mersky, anggota staf senior di proyek itu. Ia Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
menunjukkan catatan bahwa sering kali penghancuran simbol religius atau kultural, atau pemaksaan partisipasi seluruh komunitas dalam mutilasi jenazah anggota komunitas, misalnya, merupakan hal yang paling menyakitkan dan destruktif. Hal seperti itu tidak akan muncul dalam metode tradisional pencarian fakta. Untuk memperlancar arus wawancara, setiap sesi direkam, dan banyak yang ditranskrip, yang memungkinkan kutipan panjang dari korban untuk dimasukkan dalam laporan REMHI. “Ide utamanya adalah membuat orang-orang berbicara,” menurut Mersky.xxvii Dengan bergantung pada anggota komunitas untuk mencatat kesaksian, setelah dilatih di kantor nasional, proyek REMHI jauh lebih terfokus pada proses dan dampak pengumpulan kesaksian daripada pembuatan laporan akhir.xxviii Pertanyaan mengenai jenis informasi yang harus dikumpulkan sebuah komisi bisa memiliki beban politik dan emosional yang amat besar. Komisi Argentina secara sadar tidak meminta para saksi menggambarkan karakteristik fisik orang-orang hilang untuk mengidentifikasi sisa-sisa jenazah, suatu hal yang kemudian disesalkan di waktu berikutnya setelah kerangka yang tidak teridentifikasi digali kembali. Anggota komisi menyatakan bahwa mereka menolak meminta informasi tersebut, suatu cerminan posisi politis dan emosional banyak organisasi hak asasi manusia dan keluarga korban, yang juga terpantul ke dalam diri para staf komisi. Posisi keluarga kadang-kadang amat tegas: orang yang hilang itu diambil dalam keadaan hidup, dan selayaknya dikembalikan dalam keadaan hidup pula. “Hal ini dapat dijelaskan dan dijustifikasi,” menurut satu anggota komisi, ketika ditanya mengapa komisi tidak meminta data fisik. “Ini merupakan argumen para Madres (kelompok aktivis ibu-ibu yang anaknya dihilangkan): ‘Mereka mengambil anak kami hidup-hidup dan kami minta mereka kembali hidup, kami tidak akan mengakui apa pun yang menganggap bahwa anak kami sudah mati.’”xxix Akibatnya, komisi terpaksa menganggap bahwa orang yang hilang masih dianggap hidup. Terdapat satu konsekuensi yang mengherankan dari posisi ini. Dalam daftar yang berisi 8.960 orang hilang yang ditulis sebagai lampiran laporan komisi, usia tiap korban yang dicatat bukan usia waktu penghilangan, namun usianya pada tahun 1984, tahun ketika laporan komisi itu diterbitkan – yang kini dianggap tidak mungkin. Tidaklah mungkin bagi komisi yang masa kerjanya pendek untuk mencatat secara mendetail tentang cakupan dan akibat pelanggaran yang luas yang terjadi selama bertahun-tahun, untuk juga menyelidiki semua kasus yang dihadapkan. Namun, ia bisa memberikan kebenaran luas mengenai pola-pola luas kejadian tersebut, dan menunjukkan bahwa memang ada kekejaman dan siapa yang bertanggung-jawab. Jika komisi berhati-hati dan kreatif, ia bisa mencapai lebih dari sekadar memaparkan fakta-fakta pelanggaran. Komisi juga bisa memberikan kontribusi besar dalam memahami bagaimana rakyat dan negara secara keseluruhan dipengaruhi, dan faktor-faktor apa saja yang memberikan kontribusi pada kekerasan. i ii iii iv v vi vii viii ix
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 7 Kebenaran versus Keadilan: Apakah Keduanya dapat Dipertukarkan?
Selama negosiasi untuk mengakhiri perang saudara di Guatemala, angkatan bersenjata Guatemala mendukung ide pencarian kebenaran secara resmi. Dalam pertemuan dengan para pembela hak asasi manusia internasional pada tahun 1994, Mario Enriquez, menjadi menteri pertahanan pada waktu itu, menyatakan posisinya dengan jelas. “Kami sangat mendukung komisi kebenaran,” katanya. “Persis seperti di Cili: kebenaran, namun tanpa pengadilan.” Cerita ini diberikan oleh direktur divisi Amerika Human Rights Watch, José Miguel Vivanco, untuk menggambarkan kecemasan di kalangan pembela hak asasi bahwa pencarian kebenaran secara resmi sering kali digunakan sebagai cara menghindari pengadilan oleh para pelanggar hak asasi. Pada akhirnya, mandat untuk membuat komisi di Guatemala secara eksplisit melarangnya untuk memiliki “efek atau tujuan yudisial”, meskipun tidak jelas apa yang dimaksud dengan frase ini.i (Apakah, dengan interpretasi yang amat sempit, hal ini membatasi penggunaan informasi yang didapat komisi ini oleh penuntut, misalnya? Pada awalnya ini tidak jelas.) Komisi-komisi lain juga mengajukan kecemasan ini. Di El Salvador, penerbitan laporan komisi kebenaran segera disusul undang-undang amnesti secara luas. Di Afrika Selatan, keadilan diperdagangkan: komisi kebenaran menawarkan kebebasan dari tuntutan sebagai imbalan kebenaran seutuhnya mengenai kejahatan bermotif politik. Kasus-kasus ini dan lainnya mendorong kecurigaan bahwa komisi kebenaran malah akan melemahkan prospek keadilan yang sebenar-benarnya di pengadilan, bahkan bahwa komisi secara sengaja digunakan sebagai cara untuk menghindarkan para pelaku dari tanggung jawab. Namun tinjauan serius dari pengalaman yang ada, dan hubungan langsung antara penemuan kebenaran dan usaha penuntutan, menantang kesimpulan demikian. Bahkan dalam kasus ketika tampak ada tujuan untuk mempertukarkan keadilan dengan penyelidikan yang lebih lemah terhadap kebenaran, seperti tampak di Guatemala, El Salvador dan Afrika Selatan, hubungan sebenarnya antara kebenaran dan usaha mencapai keadilan, dan akibat langsung dari usaha penyelidikan kebenaran non-yudisial terhadap prospek keadilan, sebenarnya tidak terlalu jelas. Pengalaman menunjukkan bahwa pencarian kebenaran kadang-kadang secara langsung memperkuat usaha penuntutan sesudahnya, sebagaimana akan digambarkan di bawah ini. Lebih lanjut lagi, komisi kebenaran biasanya dipergunakan bila sistem pengadilan lemah atau nyaris tidak bekerja, atau korup dan berbias politik, dan memiliki prospek yang lemah untuk penuntutan yang serius – ada atau tidak ada komisi kebenaran – bahkan bila tidak ada amnesti yang ditawarkan. Dan akhirnya, badan-badan demikian sering kali mampu memberikan kontribusi terhadap usaha pertanggungjawaban lainnya – dan prospek keadilanii di masa depan – dalam cara-cara yang tidak bisa digunakan pengadilan. Badan kebenaran non-yudisial tidak dan seharusnya tidak dipergunakan untuk mengganti tindakan yudisial terhadap para pelaku, dan baik korban maupun masyarakat di Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
negara-negara yang memiliki komisi kebenaran pun tidak menganggap demikian. Meskipun subjeknya bisa bertumpang tindih karena sama-sama berkaitan dengan kejahatan di masa lalu, pengadilan dan komisi memiliki tujuan yang berbeda, dan yang satu tidak bisa menjalankan fungsi yang lain. Cendekiawan dan pembuat kebijakan yang kadang-kadang menyatakan bahwa usaha pencarian kebenaran non-yudisial dapat menggantikan penuntutan dengan berhasil – seperti di New York Times bahwa pengadilan kejahatan internasional Yugoslavia seharusnya digantikan dengan pencarian kebenaran non-yudisial – salah memahami peran-peran yang berbeda itu, dan kurang mempertimbangkan nilai penting penuntutan legal bagi para korban dan masyarakat luas. Namun, meskipun terdapat peran yang berbeda, jelaslah dalam banyak kesepakatan damai akhir-akhir ini, dan dalam deskripsi mereka yang terlibat dalam banyak perundingan damai, bahwa terdapat hubungan yang alamiah dan dekat – paling tidak dipersepsikan demikian – antara usaha pencarian kebenaran non-yudisial dan penyelidikan/penuntutan yudisial. Jika amnesti disepakati atau diberikan, para perunding perdamaian atau pemimpin demokratik yang baru bisa menggunakan komisi kebenaran untuk menemukan suatu bentuk pertanggungjawaban pelanggaran di masa lalu, atau memodifikasi amnesti dengan kekuasaan yang diberikan pada komisi kebenaran, misalnya. Mereka bisa menggunakan komisi kebenaran sebagai cara menurunkan pelaku pelanggaran dari posisi kekuasaan, bahkan bila tidak bisa diadili dan dihukum. Mereka bisa juga memutuskan, di meja perundingan, untuk mencapai kesepakatan mengenai komisi kebenaran bersama amnesti luas (blanket amnesty), seakan-akan keduanya merupakan satu paket, seperti di Sierra Leone. Namun meskipun terdapat fakta jelas mengenai hubungan dekat antara komisi kebenaran dan keadilan terkompromi atau keadilan terbatas, saya akan menjelaskan bahwa komisi kebenaran seharusnya tidak dilihat sebagai pengganti penuntutan. Komisi kebenaran juga bukan merupakan pilihan kedua, bila keadilan “riil” tidak dapat dicapai, sebagaimana kadang-kadang dinyatakan oleh para pembela hak asasi. Sebaliknya, komisi bisa, dan mungkin akan, memberikan kontribusi positif pada keadilan dan penuntutan, kadang-kadang dengan cara yang paling tidak terbayang sebelumnya. Suatu kesulitan dalam membedakan komisi kebenaran dan pengadilan, dan peran-peran mereka yang berbeda, bisa dipahami. Dan, pembedaan antara keduanya diperlukan untuk memahami interaksi mereka. Pencarian kebenaran resmi dan pengadilan pelaku kejahatan hak asasi sering kali dipertimbangkan, dan dilaksanakan, pada saat yang hampir sama, terutama pada saat transisi politik, dan sering kali tumpang tindih dalam subjek yang dibahas. Namun pengadilan berfokus sempit pada identifikasi tanggung jawab legal individual pada kejahatan spesifik dan pemberian hukuman bagi mereka yang bersalah. Sebaliknya, komisi kebenaran, sebagaimana dicatat di atas, tidak memiliki kekuatan untuk menjalankan pengadilan, dan hanya komisi Afrika Selatan memiliki kekuasaan untuk memberikan amnesti. Komisi biasanya menyelidiki dan melaporkan, dan tidak lebih jauh dari itu, berfokus pada penggambaran pola-pola luas kejadian selama bertahun-tahun, dan kebijakan serta praktik spesifik yang menyebabkannya. Selain itu, komisi juga memberikan gambaran kasus individual hanya sebagai contoh dari pola itu atau untuk menggarisbawahi peristiwa penting.iii Komisi kebenaran dan pengadilan bisa bekerja dengan sebagian bahan yang sama, dan komisi bisa membuat keputusan yang mirip keputusan hukum dalam menyimpulkan tanggung jawab institusional atau individual. Namun kekuasaan, struktur dan tujuan mereka berbeda. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Kesulitan Mencapai Keadilan dalam Pengadilan Karena berbagai alasan yang biasanya tidak terkait dengan komisi kebenaran, keberhasilan penuntutan terhadap pelanggar hak asasi di negara-negara dalam masa transisi dari otoritarianisme biasanya amat rendah. Alih-alih sebagai pengganti tindakan yudisial, dalam banyak kasus komisi kebenaran berperan sebagai pelengkap sistem pengadilan yang amat lemah, membantu mengisi kekosongan yang timbul dari “diam”-nya pengadilan, inkompetensi atau ketidakmampuan pengadilan untuk menyelesaikan ribuan kasus kejahatan yang perlu diselesaikan. Bila dilihat sepintas, pada transisi setelah pelanggaran hak asasi secara besarbesaran, pengadilan yang berhasil mengadili para pelaku amatlah jarang, dan bila pun berhasil, tidak menyentuh penanggung-jawab yang tertinggi. Sebagai contoh, di Guatemala, Haiti dan Uganda – negara-negara yang mengalami sejumlah besar pelanggaran dan tidak ada hukum amnesti yang menghalangi pengadilan bagi banyak dari kejahatan tersebut iv – hanya ada sekitar dua puluhan pengadilan kasus pembunuhan, penyiksaan dan pelanggaran hak asasi serius lainnya yang dilakukan agen rezim terdahulu. Sebagian besar adalah pengadilan serdadu rendah, bukan perwira senior yang merencanakan atau mengarahkan kekejaman itu. Rwanda hanya sedikit lebih baik: ada hampir 150 pengadilan domestik dalam 3 tahun setelah genosida tahun 1994, meskipun ada lebih dari 130 ribu tahanan yang menunggu saat pengadilan.v Terdapat banyak alasan mengapa sedemikian sedikit pengadilan terhadap pelanggaran hak asasi dijalankan: sistem yudisial yang nyaris mandek, pejabat yang korup atau bisa disuap, dan kurangnya bukti konkret merupakan alasan-alasan biasa. Sistem yudisial yang kekurangan dana tidak memiliki program perlindungan saksi, dan banyak yang takut untuk memberikan bukti. Polisi atau jaksa penuntut tidak memiliki kemampuan untuk menyelidiki dan mempresentasikan kasus yang kuat, hakim dan jaksa bergaji rendah, dan pengadilan bekerja dengan amat sedikit sumber daya fisik dan keuangan dan tanpa dukungan administrasi. Di beberapa negara, terutama Amerika Latin, amnesti luas diberikan untuk mencegah pengadilan kejahatan politik, sering kali diciptakan oleh rezim pelanggar sebelum meninggalkan kekuasaan.vi Kadang-kadang, kurang terdapat kemauan politik untuk mempermasalahkan isu yang sukar atau berbahaya secara politis, terutama muncul dari pemimpin nasional yang tidak sepakat dengan pengadilan yang “memecah belah” dan mahal, atau muncul dalam keengganan jaksa atau hakim untuk mengajukan kasus mereka. Di Amerika Latin, angkatan bersenjata yang kuat mencegah atau membatasi penuntutan anggota mereka dari kejahatan mereka, bahkan bila tidak ada pemberian amnesti secara eksplisit. Di Kolombia dan Guatemala, hakim yang mencoba menyelidiki pelanggaran oleh militer dibunuh, sehingga mencegah hakim lain melakukan hal serupa. Bahkan di Afrika Selatan, yang relatif aman dan terdapat sistem pengadilan yang cukup baik untuk menjalankan pengadilan yang serius (meskipun masih belum direkonstruksi dari masa-masa apartheid), pembatasan pengadilan cukup jelas. Dua pengadilan berprofil tinggi mengenai kasus era apartheid dilaksanakan tahun 1996, setelah dua tahun penyelidikan intensif dan biaya 8 juta dollar untuk pengadilan saja, tidak termasuk biaya penyelidikan. Meskipun terdapat bukti yang cukup, salah satu dari kedua pengadilan itu berakhir dengan kebebasan semua dari 20 orang tertuduh. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Catatan mengenai impunity ini tetap ada meskipun terdapat kewajiban hukum untuk mengadili kejahatan demikian. Beberapa dari kewajiban hukum ini ada dalam traktat internasional, misalnya Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Lainnya (CAT), atau Konvensi Mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Banyak ahli hukum menyatakan bahwa hukum kebiasaan internasional (customary international law), yang memiliki penerapan secara universal, terlepas dari traktat apa pun, juga memberikan kewajiban mengenai tuntutan kepada kejahatan terhadap kemanusiaan, yang menjadikan amnesti bagi kejahatan demikian ilegal. Interpretasi dan jangkauan hukum internasional sedang berkembang pesat, dan terdapat ketidaksepakatan mengenai apa yang dilarang dan apa yang diwajibkan. Namun, beberapa kewajiban tertentu, sebagaimana ada dalam traktat, amatlah jelas.vii Beberapa pakar hak asasi manusia menunjukkan alasan moral dan politis bahwa impunity hanya akan menimbulkan lebih banyak pelanggaran di masa depan.viii Namun, yang penting di sini adalah bahwa bila hukum internasional jelas mewajibkan penuntutan kepada mereka yang dituduh melakukan kejahatan terhadap hak asasi manusia, tindakan serius terhadap pelakunya masihlah jarang, dan banyak amnesti luas masih tetap berlaku.ix
Kebenaran versus Keadilan: Tinjauan terhadap Pengalaman Tujuan yang dinyatakan hampir semua komisi kebenaran adalah untuk memperkuat atau memberikan kontribusi pada keadilan di pengadilan. Banyak yang sudah mengajukan catatan-catatan kasus mereka ke pengadilan atau otoritas penuntut dan menyarankan penuntutan, atau menyarankan cara-cara memperkuat sistem pengadilan untuk masa depan. Namun, apakah dari hasil kerja komisi terjadi penuntutan ditentukan oleh banyak faktor di luar kendali komisi: kekuatan dan independensi sistem hukum; kemauan politik lembaga eksekutif dan yudikatif untuk menantang pelaku yang berkekuasaan tinggi; kekuatan oposisi politik atau LSM yang mendorong penuntutan dan berusaha menghalangi atau membatalkan amnesti; dan keahlian, pengalaman dan sumber daya yang dimiliki sistem hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus besar. Namun tidak ada alasan mengapa sebuah komisi tidak bisa memberikan kontribusi pada pengadilan di kemudian hari. Bagian-bagian berikut ini meneliti hubungan antara komisi kebenaran dan prospek keadilan di enam negara: mendorong amnesti di El Salvador; memberikan bukti untuk mendukung tuntutan di Argentina, Uganda dan Haiti; bekerja di bawah amnesti yang telah ada di Cili, dan kemudian memperkuat tuntutan internasional di kemudian hari; dan menawarkan amnesti sebagai imbalan kebenaran di Afrika Selatan.
Mendorong Amnesti di El Salvador Amnesti luas yang segera menyusul laporan komisi kebenaran di El Salvador mewarnai ingatan seluruh anggota komisi tersebut, baik warga El Salvador maupun mereka yang memperhatikan transisi di sana. El Salvador merupakan kasus terjelas hingga kini tentang bagaimana amnesti diundang-undangkan sebagai reaksi langsung terhadap laporan komisi kebenaran, namun detail kisah ini menyebabkan kesimpulannya masih belum jelas. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Laporan komisi kebenaran El Salvador yang menggunakan bahasa yang keras, mencakup nama lebih dari 40 pejabat tinggi yang terlibat dalam pelanggaran berat, meskipun terdapat tekanan dari pemerintah untuk tidak menyebutkan nama. Sebagai respon terhadap laporan ini (dan juga rumor mengenai ancaman kudeta militer yang marah), presiden El Salvador segera mengajukan RUU di parlemen untuk memberikan “amnesti luas, absolut dan tanpa syarat” kepada “semua yang dengan satu dan lain hal terlibat dalam kejahatan politik, (atau) kejahatan dengan dampak politik”. Hanya lima hari setelah laporan komisi kebenaran diterbitkan, parlemen mengesahkan undang-undang ini, yang didukung mantan oposan bersenjata.x Kenyataannya, laporan komisi kebenaran itu tidaklah mengusulkan penuntutan mereka yang disimpulkan bersalah dalam kejahatan yang mengerikan, yang mengejutkan dan mengecewakan para penganjur hak asasi. Ia juga tidak menolak pemberian amnesti luas, yang bisa saja menyulitkan pengesahan UU amnesti tersebut, karena telah disepakati bahwa saran komisi tersebut mengikat. Banyak yang percaya bahwa pelanggaran eksplisit saran komisi tersebut sedemikian segera setelah terbitnya laporan akan mendapatkan celaan dari komunitas internasional.xi Menurut seorang anggota staf senior, para anggota komisi sempat mempertimbangkan pemberian amnesti, menimbang kondisi sistem peradilan yang begitu bias. Namun sebagai gantinya, dalam laporan itu satu halaman penuh digunakan untuk membahas mengapa pengadilan yang adil tidak mungkin dilakukan yaitu karena ketidakmampuan dan bias pengadilan, dan karena itu harus ditunda hingga reformasi yudisial dilakukan. Apa yang tertulis dalam halaman tersebut dikomentari oleh seorang ketua organisasi hak asasi internasional sebagai “merusak susu sebelanga” dengan menghilangkan harapan dan tuntutan agar sistem peradilan bekerja. xii Laporan itu menyatakan: Satu aspek jelas yang menyedihkan dari situasi ini adalah ketidakmampuan yang amat jelas dari sistem peradilan, baik untuk menyelidiki kejahatan maupun untuk menerapkan hukum, terutama mengenai kejahatan yang dilakukan dengan dukungan langsung maupun tidak langsung dari institusi negara. … Kita harus bertanya, apakah sistem pengadilan mampu, dalam kondisi sekarang ini, untuk memenuhi tuntutan keadilan. Jika kita melihat masalah ini dengan mendalam, pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan tegas. … Pertanyaannya bukanlah apakah yang bersalah harus dihukum, namun apakah keadilan bisa ditegakkan. Moralitas publik menuntut bahwa mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan yang digambarkan di sini harus dihukum. Namun, El Salvador tidak memiliki sistem pelaksanaan keadilan yang memenuhi tuntutan minimum objektivitas dan imparsialitas sehingga keadilan dapat ditegakkan. Dengan kondisi semacam ini, jelas bahwa, untuk sekarang, sistem yudisial satusatunya yang bisa dipercaya oleh komisi untuk melaksanakan keadilan dengan cara yang sebenar-benarnya adalah sebuah sistem yang sudah direstrukturisasi sesuai dengan xiii kesepakatan perdamaian.
Komisi ini mendapatkan kritikan keras karena tidak membahas masalah amnesti. Seorang ahli tentang El Salvador menulis, “Dengan segala kemungkinan, tampaknya komisi kebenaran tidak akan dapat mencegah pemerintah memberikan amnesti luas segera setelah laporannya diterbitkan. Namun komisi tidak menyarankan penuntutan, tidak berkomentar mengenai amnesti, tidak menyerukan usaha untuk menentukan nasib para korban atau mengidentifikasi mereka yang bertanggung-jawab, dan memberikan hanya sedikit kontribusi pada diskusi mengenai cara-cara kompensasi. Seandainya komisi kebenaran menggariskan jenis-jenis kejahatan yang tidak bisa diberi amnesti menurut hukum Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
internasional atau menuntut bahwa amnesti dikaitkan dengan pengungkapan seluruh fakta (seperti di Afrika Selatan), pemerintah harus “membayar mahal” untuk amnesti itu”.xiv Meskipun mendapat kritikan keras demikian, anggota komisi Thomas Buergenthal membela posisi komisi. Ia menyatakan bahwa menyarankan penuntutan ketika pengadilan secara serius tidak dimungkinkan hanya akan membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk. “Mereka akan menjalankan proses pengadilan dan pada akhirnya membebaskan para tertuduh,” demikian katanya, yang akan memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk membantah temuan komisi itu. “Dan bagaimana cara mengharapkan orang bersaksi melawan mereka? Siapa yang akan bersaksi melawan Menteri Pertahanan [René Emilio] Ponce, misalnya? Saya yakin, pengadilan akan memberikan dampak yang sebaliknya dari yang diharapkan. Tidak ada yang akan memberikan kesaksian, dan semuanya akan dibebaskan, kecuali kelompok kiri. Orang-orang bahkan nyaris terlalu takut untuk berbicara dengan kami.” xv Namun Buergenthal mengakui bahwa komisi bisa saja menggunakan pendekatan yang berbeda. Mungkin merupakan kesalahan untuk tidak berkomentar mengenai amnesti, misalnya, dengan mewajibkan pemilihan umum atau semacam proses nasional atau debat publik sebelum amnesti dibicarakan dalam parlemen. Cukup mungkin bahwa parlemen El Salvador akan memberikan amnesti bagi kejahatan-kejahatan demikian bahkan bila komisi kebenaran tidak memberikan namanama para tertuduh, dan bila ia menyarankan demikian. Kesepakatan damai tahun 1991 tidak menyelesaikan masalah ini, dan hanya sepakat bahwa isu amnesti akan dipertimbangkan enam bulan setelah selesainya komisi kebenaran bertugas. Mereka yang menentang UU amnesti, seperti Komisi Pengacara untuk Hak Asasi Manusia yang bermarkas di New York, mengakui bahwa amnesti tampaknya tidak bisa dihindarkan. Komisi ini menulis: “Sebagaimana segera dikatakan oleh pemerintah, partai-partai politik menandatangani kesepakatan (pada tahun 1992) bahwa amnesti luas akan diberikan setelah laporan komisi itu. Yang dipermasalahkan adalah waktu, lingkup dan bagaimana amnesti berkaitan dengan saran-saran komisi kebenaran”.xvi Apakah El Salvador akan memberikan amnesti luas atau tidak, jelas bahwa pembahasan RUU yang singkat itu merupakan reaksi langsung terhadap penunjukan nama pelaku dalam laporan komisi, dan merupakan kekecewaan besar bagi mereka yang berharap bahwa komisi kebenaran akan menjadi satu langkah menuju akuntabilitas. Seperti dijelaskan di muka, perwira tinggi militer yang disebut namanya dalam laporan itu dipurnawirawankan dari angkatan bersenjata beberapa bulan kemudian, meskipun dengan penghargaan militer penuh. Meskipun tidak pernah diumumkan, beberapa pengamat melihat amnesti ini sebagai paket, sebagai pertukaran agar militer mau turun. Meskipun ini sangat memalukan sebagai satu bentuk pertanggungjawaban, paling tidak tampak ada satu akibat langsung dari kesimpulan tegas komisi ini.
Bukti untuk Mendukung Penuntutan: Argentina, Uganda dan Haiti Berlawanan dengan El Salvador, komisi nasional di Argentina berperan penting dalam pengadilan terhadap mantan anggota junta militer, berperan sebagai model hubungan positif antara komisi kebenaran dan penuntutan di masa depan. Komisi Argentina selalu dipersepsikan oleh masyarakat sebagai pendahulu pengadilan. Dan memang, ketika kerja komisi ini selesai, anggota komisi menyerahkan catatan-catatan kasusnya langsung ke Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
penuntut. Hal ini memungkinkan mereka segera membangun tuntutan terhadap 9 anggota paling senior rezim militer sebelumnya, dengan akses ke sejumlah besar saksi primer. Menurut wakil jaksa penuntut untuk pengadilan yang paling menonjol, terhadap pemimpin senior rezim militer, Luis Moreno Ocampo, pengadilan itu “tidak akan mungkin” bila tidak ada informasi dari komisi, yang dikenal sebagai CONADEP. “Mungkin bisa dilakukan pengadilan tanpa laporan dari CONADEP, namun tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu, juga dalam jumlah kasus solid yang diberikan,” menurutnya.xvii Dalam waktu sedikit lebih dari 5 bulan, penuntut memperhatikan hampir 9 ribu catatan kasus, memilih lebih dari 800 saksi untuk hadir dalam pengadilan, mencakup sekitar 700 kasus individual. Pengadilan dimulai hanya 18 bulan setelah junta militer turun dari kekuasaan, ketika momentum untuk pertanggungjawaban dan ketertarikan publik masih tinggi. Pengadilan merupakan pertunjukan yang menyentak mengenai kengerian yang direncanakan, memungkinkan publik untuk mendengar kisah langsung dari mereka yang terjerat pusat penyiksaan militer dan masih selamat. Karena komisi mencatat kesaksian secara privat, ini merupakan kesempatan bagi publik untuk melihat para saksi secara langsung menceritakan kisah mereka. Pada akhirnya, lima dari sembilan yang diadili diputus bersalah untuk pembunuhan, penyiksaan dan tindakan kekerasan lainnya, dengan hukuman dari 4 setengah tahun hingga seumur hidup. Sementara rakyat Argentina marah pada hukuman yang rendah dan pembebasan, komunitas negara memuji salah satu keberhasilan pengadilan domestik terhadap mantan pemimpin dalam negara demokrasi baru. Banyak pengadilan lain direncanakan, bergantung pada catatan dari CONADEP, namun segera dipotong. Di bawah tekanan militer, dibuat peraturan yang membatasi penuntutan hanya pada pelanggaran selama “perang kotor”. xviii Ketika presiden Carlos Menem menjabat pada tahun 1989, ia segera memaafkan mereka yang sudah diputus bersalah. Komisi kebenaran di negara lain juga memberikan informasi mereka ke pengadilan dengan saran untuk penuntutan, namun kurang berhasil. Di Uganda, misalnya, komisi kebenaran yang bertugas antara tahun 1986-1995 menyerahkan banyak kasus ke tim penyelidikan polisi bila cukup bukti untuk melakukan penuntutan. Setelah penyelidikan, polisi diharapkan mengirimkan tiap kasus ke jaksa penuntut umum. Namun amat sedikit kasus yang berhasil dibawa ke meja hijau. Menurut ketua komisi Uganda, Jaksa Agung Arthur Oder, komisi menyerahkan sekitar 200 kasus untuk penyelidikan lebih lanjut; jaksa penuntut umum akhirnya menuntut sekitar 50, dan memberikan hukuman untuk sekitar 12 kasus, terutama untuk pelanggaran ringan seperti usaha penculikan atau konspirasi. xix Laporan komisi menyarankan agar semua yang terkait dalam pelanggaran diadili, namun anggota komisi mengakui bahwa hal ini tidak realistis. Oder menyatakan bahwa, “Terdapat mungkin 50 ribu orang yang bertanggung-jawab atas kejahatan itu. Mungkin 10 ribu bisa diidentifikasi. Ada 2-3 ribu yang ditunjuk dalam dokumen komisi. Tapi paling banyak hanya 1-2 ribu yang bisa didatangkan”.xx Namun, karena berbagai alasan, jelas bahwa angka di atas jauh lebih tinggi daripada jumlah yang akhirnya dibawa ke pengadilan. Kegagalan sistem pengadilan untuk menuntut kasus-kasus ini, meskipun ada bukti kuat dan ribuan saksi langsung, mencerminkan sejumlah masalah, termasuk infrastruktur, politis dan psikologis. Uganda merupakan contoh bagus mengenai berbagai jenis tantangan yang menghadapi negara yang berusaha membuat sistem pengadilannya bekerja. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Saya bertanya kepada mantan jaksa Uganda, Alfred Nasaba, tentang mengapa begitu sedikit kasus dari komisi yang dibawa ke pengadilan. Ia menyatakan bahwa hanya satu dari tiga kasus komisi diberikan kepadanya oleh polisi selama ia menjadi jaksa, antara tahun 1991-1995. Dan dalam masing-masing kasus, timnya tidak berhasil mendapatkan saksi untuk memberikan kesaksian. “Para saksi berubah pikiran, dan kemudian tidak datang untuk membuktikan kasus mereka,” jelasnya. Dalam kasus lain, saksi meninggal atau menghilang, atau tidak mau bekerja-sama untuk alasan yang tidak jelas.xxi Penasihat kepresidenan Uganda untuk hak asasi manusia, dan mantan jaksa agung, George Kanyeihamba, memberikan alasan serupa. “Ini bukan masalah kapasitas. Ini merupakan pertanyaan tentang pembuktian. Sukar membuktikan kasus ini di pengadilan. Para saksi merasa terintimidasi dan terlalu takut untuk memberikan kesaksian.” xxii Terdapat rasa takut yang tersebar luas terhadap pembalasan bila seseorang bersaksi di pengadilan Uganda. Bahkan komisi kadang-kadang menemukan bahwa saksi datang lagi ke dengar-kesaksian dan membantah ucapan mereka sebelumnya, sekalipun sudah direkam. Jelas bahwa mereka mendapat tekanan untuk mencabut cerita mereka, apalagi bila mereka menunjuk nama. Tentu saja para saksi semakin ragu-ragu lagi apabila mereka diharapkan membantu memenjarakan orang. Di sebuah negara yang terkenal di seluruh dunia karena kebrutalan rezim Idi Amin dan Milton Obote, tampak mengherankan bahwa tuntutan pengadilan bisa gagal karena kurangnya bukti. Menteri kehakiman, Bart Katureebe, menceritakan sebuah kisah untuk menjelaskan bagaimana ini bisa terjadi. Ketika ia masih seorang pengacara muda pada dekade 1970-an, di bawah pemerintahan Idi Amin, ia menjadi pegawai rendahan di Departemen Kehakiman. Satu hari, ia dan rekan-rekannya melihat dari jendela mereka di lantai 4, tentara-tentara memasukkan seseorang ke dalam bagasi mobil, hampir bisa dipastikan akan mengalami siksaan berat, mungkin akan dibunuh. “Namun jika Anda membawa saya ke pangadilan sebagai saksi, saya tidak bisa menunjuk siapa yang bersalah. Saya tidak bisa mengenali mereka dari tempat saya. Dan semua orang lain di tempat itu kabur. Jika ada yang melihat kejadian seperti itu, mereka selalu menghindar. Jadi tidak ada saksi mata yang bisa menunjuk siapa tepatnya yang melakukan hal itu.”xxiii Menteri Kehakiman Katureebe melanjutkan bahwa mereka yang paling bersalah, bahkan mereka yang posisinya tinggi dalam hierarki, justru malah paling sukar untuk diadili. “Jika Idi Amin dibawa ke Uganda sekarang, mungkin ia tidak bisa diadili berdasarkan hukum kami. Ia tidak terlibat langsung dalam tindakan-tindakan itu. Diperlukan kasus spesifik, dan bukti yang belum dirusak, untuk membuktikan kasus itu.” Ia bertanya, apakah aturan-aturan pembuktian yang normal bisa ditinggalkan, agar dapat menuntut seorang mantan despot? Di Uganda, keputusannya adalah tidak, demi keadilan dan hukum. “Bukti yang diberikan kepada komisi demikian dapat dipercaya sehingga Anda akan menganggap bahwa ia pasti akan dihukum. Namun bila mereka dibawa ke pengadilan, dengan aturan pembuktian yang berbeda, mereka dibebaskan dari tindakan pelanggaran yang spesifik. Ini membuat kasus-kasus lain tidak jadi diajukan,” lanjut Katureebe. Seorang mantan wakil presiden dan menteri pertahanan semasa Idi Amin kini hidup sebagai orang bebas di Uganda, setelah dibebaskan di pengadilan. “Kebijakan kami di Uganda adalah: bila ada kasus, tuntut dia. Kalau tidak bersalah, biarkan dia hidup sebagai warga negara biasa. Kebijakan ini sudah memberikan hasil.” Argumen Menteri Kehakiman Katureebe, bahwa para pemimpin hanya bisa diadili bila mereka terlibat dalam kejahatan spesifik, tidaklah tepat benar. Bahkan, dalam teori Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
“tanggung jawab komando” yang sudah diterima dalam hukum internasional, seorang atasan sipil atau militer harus bertanggung-jawab tidak saja untuk perintahnya yang melanggar hukum, namun juga untuk tindakan bawahannya bila (1) ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahannya melakukan atau akan melakukan tindakan demikian, dan (2) ia tidak melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah hal demikian atau menghukum bawahannya. (Penuntutan yang berhasil terhadap pemimpin junta di Argentina, misalnya, bergantung pada prinsip ini.)xxiv Namun, penuntutan tetap memerlukan kemauan politis. Anggota komisi di Uganda bercerita mengenai kasus yang demikian jelas, yang catatan tertulisnya saja sudah cukup untuk menuduh, namun si tertuduh hanya ditahan sebentar, dilepaskan dengan jaminan, dan kasusnya tidak diselidiki secara serius. Banyak orang yang dikenal sebagai pembunuh berkeliaran di Uganda, sebagaimana dipahami anggota komisi. “Saya baru bertemu salah satu dari mereka di bank,” menurut ketua komisi Oder. “Seorang pejabat tinggi dalam komunitas Muslim di sini. Ada bukti jelas tentang kejahatannya, tapi ia tetap bebas.”xxv Dan masih ada tantangan lain. Unit penyelidikan polisi di Uganda sangat kekurangan staf, sumber daya dan kemampuan, karena pembersihan besar-besaran di jajaran kepolisian pada masa Idi Amin. Ada atau tidak adanya bukti, pengadilan mengenai kejadian masa sebelum 1986 tampaknya tidak mungkin terjadi di Uganda. Hal itu diperparah dengan hanya sedikitnya saksi yang mau mengusahakan untuk memenjarakan tetangganya, penyidik yang terlalu banyak pekerjaan dan terlalu sedikit kemampuan, dan hanya sedikit ketertarikan mengenai pengadilan tentang peristiwa pada masa rezim sebelumnya. Faktor-faktor lain telah mengalahkan hasil kerja komisi kebenaran. Di Haiti pada awalnya juga direncanakan bahwa informasi dari komisi kebenaran akan digunakan untuk menuntut mereka yang terlibat dalam pelanggaran. Mandat komisi ini menyuruhnya untuk menyerahkan informasi tersebut ke departemen kehakiman. Sementara komisi menyelesaikan kerjanya, Menteri Kehakiman René Magloir (mantan anggota komisi yang turun untuk menjadi menteri kehakiman) memberitahu saya bahwa kantornya sedang mempersiapkan diri untuk menerima laporan itu.xxvi Namun meskipun terdapat usaha untuk mendorong pengadilan tingkat tinggi, hanya sedikit kasus yang sudah maju selama tahun-tahun sejak pemerintahan demokratik kembali ke Haiti pada tahun 1994 dan komisi kebenaran menyerahkan catatannya ke departemen kehakiman pada awal tahun 1996. Para pengacara internasional yang bekerja pada beberapa dari kasus itu menyatakan bahwa terdapat ketakutan akan pembalasan pada pada saksi, pengacara, hakim dan bahkan polisi, yang mempersulit penuntutan. Kelompok-kelompok bersenjata berat yang bertanggung-jawab pada pelanggaran di masa lalu masih aktif di seluruh negeri, dan banyak orang tidak mau mempertaruhkan nyawa mereka dengan mencoba menyelidiki, menuntut atau menjadi saksi melawan orang-orang yang masih sangat berbahaya itu.
Amnesti yang Sudah Diberikan di Cili Cili menunjukkan bahwa meskipun sudah terdapat pemberian amnesti, informasi dari komisi kebenaran bisa digunakan di pengadilan paling tidak untuk menentukan identitas pelaku dalam beberapa kasus individual. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Militer Cili menganugerahkan amnesti luas kepada dirinya sendiri pada tahun 1978, yang mencakup hampir semua kejahatan yang ia lakukan sejak merebut kekuasaan pada tahun 1973. Ketika ia menyerahkan kekuasaan pada tahun 1990, amnesti ini tetap diberlakukan. Sementara kejahatan yang terjadi sejak tahun 1978 bisa dituntut, mayoritas pelanggaran serius terjadi pada tahun-tahun pertama masa kekuasaan militer, dan dicakup dalam aturan amnesti tersebut. Namun pengadilan yang membahas masa awal ini tetap berjalan; peraturan amnesti ditafsirkan hanya melarang pemberian hukuman, namun tidak bisa mencegah penyelidikan, bahkan interogasi di pengadilan untuk menentukan pertanggungjawaban atas kejahatan-kejahatan. Ketika Presiden Patricio Aylwin Azocar mulai berkuasa pada tahun 1990, ia berpikir untuk membatalkan UU amnesti, dan mendapat tekanan untuk melakukan hal itu dari kelompok hak asasi manusia dan keluarga korban. Pada akhirnya, ia membiarkan aturan tersebut tetap berlaku. Beberapa pengamat mengklaim bahwa ini merupakan keputusan politis, karena ia masih diawasi oleh militer yang masih kuat. Aylwin dan para penasihatnya pada waktu itu menekankan bahwa mereka tidak mendapat cukup dukungan di Parlemen untuk menghilangkan ketentuan amnesti itu.xxvii Meskipun terdapat amnesti itu, Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi diwajibkan melaporkan ke pengadilan semua fakta yang ia temukan tentang kejahatan. Dengan terbitnya laporan komisi tersebut, Presiden Aylwin mengumumkan posisinya mengenai bagaimana UU amnesti semestinya ditafsirkan, memerintahkan pengadilan untuk tidak menggunakan UU tersebut hingga tiap kasus sudah diselidiki dengan dalam – yang kemudian dikenal sebagai “Doktrin Aylwin”. Dalam sebuah pidato yang disiarkan secara nasional, Aylwin mengatakan, “Hari ini saya memberikan catatan dan sebuah kopi laporan [komisi kebenaran] ke Kejaksaan Agung, memintanya untuk memerintahkan pengadilan di bawahnya untuk mempercepat semua pengadilan yang sudah mulai berjalan yang melibatkan pelanggaran hak asasi, dan memulai pengadilan kasus-kasus baru yang muncul dari laporan ini. Menurut saya, amnesti sekarang ini, yang dihargai oleh pemerintah, tidak boleh menjadi halangan terhadap penyelidikan yang diperintahkan pengadilan mengenai pertanggungjawaban terhadap pelanggaran hak asasi, terutama dalam kasus orang hilang”.xxviii Dengan interpretasi UU ini, beberapa keluarga berhasil di pengadilan dalam mengidentifikasi pelaku dan bahkan melihat mereka menjadi tertuduh.xxix Pada tahun 1999, situasi mulai berubah secara dramatis, karena Kejaksaan Agung Cili memutuskan bahwa amnesti tidak lagi berlaku dalam kasus penghilangan. xxx Menyusul penangkapan Pinochet di London pada akhir tahun 1998, sejumlah besar kasus yang menyangkut pelanggaran berat oleh rezim militer mulai maju di pengadilan Cili. Karena mulai mencemaskan posisi legalnya yang lemah, militer mengharapkan kompromi dengan para pengacara hak asasi manusia, agar tetap memberikan amnesti untuk kejahatan sebelum tahun 1978, sebagai imbalan “semua informasi yang bisa kami dapatkan untuk menemukan tempat penguburan mereka yang dihilangkan”, menurut seorang perwira militer senior.xxxi Negosiasi masih berjalan ketika buku ini dicetak [dalam edisi aslinya].
Amnesti sebagai Cara Menemukan Kebenaran di Afrika Selatan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Hanya di Afrika Selatan sebuah komisi kebenaran diberi kekuasaan untuk memberikan amnesti. Namun amnesti ini diberikan dengan syarat: amnesti akan diberikan secara individual kepada mereka yang menceritakan seluruh hal yang mereka ketahui mengenai kejahatan mereka di masa lalu dan bisa membuktikan bahwa kejahatan tersebut memiliki motif politis. Ketika pemerintahan pasca-apartheid mulai berkuasa pada tahun 1994, ia diwajibkan oleh konstitusi sementara untuk memberikan semacam amnesti, namun konstitusi itu hanya menyebutkan “akan diberikan amnesti” tanpa menjelaskan bagaimana penerapannya. Menteri kehakiman baru, Dullah Omar, menghabiskan bulan-bulan pertama dalam jabatannya berkutat dengan masalah implementasi amnesti ini “dengan cara yang bisa diterima oleh moralitas masyarakat”. Amnesti segera dikaitkan dengan rencana komisi kebenaran nasional yang saat itu mulai berkembang: amnesti diberikan hanya sebagai pertukaran dengan kebenaran. Sebuah pemberian amnesti akan menjadi pemikat untuk mendapatkan kerja sama dari para pelaku dalam proses penemuan kebenaran, dan ancaman penuntutan akan menjadi pentungan.xxxii Lebih dari 18 bulan setelah ide itu pertama kali diusulkan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru terbentuk memulai dengar-kesaksian dan menerima pengajuan permintaan untuk amnesti. Pengajuan amnesti semakin banyak menjelang tenggat waktu: komandan senior polisi, anggota tim komando, bahkan anggota pemerintahan dari ANC. Secara keseluruhan, ada lebih dari 7 ribu pengajuan amnesti untuk kejahatan yang spesifik. Sayangnya, banyak pengajuan yang datang dari mereka yang sudah dipenjara, dan hampir semua anggota senior pemerintah apartheid tidak mengirimkan pengajuan dan tetap membantah adanya kejahatan. Namun, dalam pengakuan, pengaju amnesti memberikan kesaksian mengenai bagaimana operasi direncanakan, mengapa sasaran tertentu dipilih, bentuk kekejaman dan siksaan apa yang dialami sebelum korban dibunuh, dan siapa dalam garis komando – dan sejauh mana ke atas – yang memberikan perintah atau mengetahui tindakan tersebut. Bila diberikan, amnesti membebaskan individu dari tuntutan tindak kriminal untuk tindakan tersebut. Amnesti juga mengalihkan tanggung jawab ganti rugi kepada negara. Penuntutan untuk kekejaman di masa lalu tetap berlanjut, bahkan sementara komisi sedang bekerja. Dua tim penyelidikan khusus dibentuk segera setelah pemilihan umum tahun 1994 untuk menyelidiki kasus kekerasan politik yang penting. Ketika mereka yang akan dituntut mulai diselidiki, dan mendengar nama mereka disebut dalam pengakuan mantan rekan mereka, beberapa pelanggar segera mengirimkan permohonan amnesti. Hubungan antara komisi kebenaran dan kantor penuntut umum – terutama Tim Penyelidikan Khusus Jaksa Penuntut Umum Jan d’Oliveira dari Transvaal – kadangkadang tegang. Dua tahun penyelidikan kejahatan, bahkan nyaris menjadi penangkapan, dihentikan karena para tersangka meminta amnesti. Dalam pandangan seorang penyelidik senior dari Tim Penyelidikan Khusus, timnya berperan “mengejar semua domba ke dalam kandang komisi kebenaran… Tanpa kami, banyak yang tidak akan mengaku. ‘Terobosan besar’ komisi itu adalah hasil dari kerja kami mengejar orang-orang itu.”xxxiii Komisi itu sendiri merasa dipersulit karena kantor jaksa penuntut umum hanya memberikan akses terbatas ke catatan-catatan kasusnya. Komisi memiliki kekuasaan untuk memaksa pembukaan catatan tersebut, namun memilih untuk tidak melakukannya karena kurang waktu dan mencegah mempertegang hubungan lebih lanjut. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Kebenaran dari Pengadilan? Banyak yang beranggapan bahwa pengadilan merupakan pilihan lebih baik daripada komisi kebenaran, tidak hanya karena mereka memberikan keadilan, namun karena dalam pengadilan terungkap kebenaran. Sebagai contoh, pengadilan mantan anggota junta di Argentina pada pertengahan dekade 1980-an mendapatkan perhatian yang luas. Media melaporkan pengadilan tersebut dengan panjang, dan sebuah surat kabar harian baru didirikan hanya untuk memfokuskan diri pada pengadilan itu, dan mendapatkan pangsa pasar yang luas. Meskipun laporan komisi kebenaran itu sendiri amat laku terjual, pengadilan-pengadilan tersebut memberikan kesaksian langsung dari ratusan korban dan saksi, dan dari pelaku sungguhan di depan meja hijau. Kisah-kisah yang diceritakan amat menggugah, dan dengan detail yang jelas, dan mendapatkan perhatian negara itu selama berbulan-bulan. Namun, tujuan pengadilan bukanlah untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi untuk menemukan apakah standar pembuktian kejahatan dapat dipenuhi pada kasus-kasus yang spesifik. Sederajat kebenaran bisa ditemukan dalam proses ini, tapi pengadilan terbatas dalam kemampuan mengungkapkan kebenaran karena ada aturan pembuktian yang sering mengecualikan informasi penting. Di Afrika Selatan, beberapa pengadilan pada saat bersamaan mendapatkan pemberitaan pers mengenai cara kerja tim pembunuh milik pemerintah dan konspirasi buatan pemerintah untuk mendorong kekerasan politik di kota-kota pada dekade 1980-an. Namun, meskipun terdapat pengadilan yang berprofil tinggi, panjang dan sangat terbuka selama tahun-tahun belakangan ini, warga Afrika Selatan menemukan keterbatasan pendekatan pengadilan untuk mendapatkan kebenaran. Sepanjang tahun 1996, paling tidak dua pengadilan penting diadakan bersamaan di Afrika Selatan. Yang pertama menuduh mantan menteri pertahanan, Magnus Malan, dan sembilan belas orang lainnya untuk merencanakan dan melaksanakan pembantaian tiga belas orang pada tahun 1987. Setelah pengadilan yang panjang, dengan sebuah tim penuntut yang tidak serius, yang diketuai jaksa yang ditunjuk oleh pemerintah apartheid sebelumnya, semua tertuduh dibebaskan. Pembebasan mereka memberikan kegembiraan bagi rezim lama dan semua pendukungnya. Pengadilan yang kedua, terhadap Kolonel Eugene de Kock, mantan ketua tim pembunuh dari polisi rahasia, berakibat pada pembuktian terhadap kesalahannya atas 89 tuduhan, termasuk 6 pembunuhan, dua konspirasi dan 80 kasus membawa senjata tanpa izin dan penipuan. Para penuntut juga mempersiapkan kasus-kasus berprofil tinggi lainnya. Paul van Zyl, seorang pengacara yang juga anggota senior staf Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, menyatakan bahwa “pengadilan memiliki efek penjelas yang terbatas. Ini berkaitan dengan kesalahan individual, bukan sistem secara keseluruhan. Pengadilan menciptakan dinamika ‘kita melawan mereka’. Sebuah pengadilan tidak membahas mengenai keterlibatan kita. Ini membuat tampaknya mereka bersalah, bukan kita. Jadi semua warga kulit putih Afrika Selatan bisa melihat pada Eugene de Kock dan mengatakan, ‘penjahat’, tanpa menyadari bahwa merekalah yang menjadikannya demikian. Ibu-ibu rumah tangga kelas menengah dan pengusaha kulit putih yang mendukung Partai Nasional memungkinkan Eugene de Kock menjadi demikian. Namun pengadilan tidak akan memunculkan hal itu”. xxxiv Meskipun terdapat efek penjelas sekunder dari pengadilan, sebagaimana diakui van Zyl dan lain-lain, sebuah pengadilan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
lebih berkaitan dengan menentukan kesalahan mengenai kasus spesifik, bukan penjelasan yang lebih luas. Sistem pengadilan Afrika Selatan lebih kuat dan lebih netral daripada di negara-negara transisi pasca-otoritarian lainnya. Usaha-usaha di negara-negara lain untuk mengadili para tersangka pelaku kejahatan bermotif politik malah cenderung mengaburkan daripada mengungkapkan kebenaran. Sebuah pengadilan di El Salvador pada tahun 1991 mengenai pembunuhan enam pastor Jesuit, penjaga rumah tangga dan putrinya pada tahun 1989, berakibat suatu kekacauan karena ada kesaksian yang bertentangan dan prosedur pengadilan yang tidak lazim. Pengadilan itu dilakukan sebelum komisi kebenaran dibentuk oleh PBB, dan bisa menunjukkan suatu derajat pertanggungjawaban untuk pelanggaran oleh negara. Di negara-negara di mana jarang terdapat pengadilan perwira militer, hal demikian mendapatkan banyak perhatian pers dan diikuti dengan saksama oleh pengamat hak asasi manusia internasional. Namun pengadilan itu malah semakin mendiskreditkan lembaga peradilan. Sebagaimana dicatat profesor hukum Amerika Serikat, Robert Goldman, mengenai pengadilan itu, untuk Komisi Pengacara Hak Asasi Manusia, “Pelaksanaan pengadilan ini tidak memberikan keyakinan terhadap sistem keadilan bagi tindakan kriminal di El Salvador. Secara struktural dan operasional, ia memiliki ciri-ciri yang telah ditinggalkan sistem hukum lainnya, seperti hakim yang melakukan peran penyelidikan dan penghukuman, juri yang bebas mengabaikan hukum dan akal dalam memberikan keputusan, arahan pembuktian yang kuno dengan aturan pengecualian yang diterapkan secara selektif, dan penggunaan pengakuan ekstrayudisial yang sudah dicabut. … Jika pengadilan ini, dengan perhatian publik yang demikian kuat, menunjukkan cara kerja sistem, maka ada sebab untuk kecemasan tentang bagaimana pelaksanaan pengadilan kasus kriminal biasa”.xxxv Pembelaan disusun sebagai satu serangan terhadap komunitas internasional yang menekan pemerintah agar melakukan pengadilan, dan memberikan ancaman kepada juri bila mereka membuat “keputusan yang salah”. Keputusan itu sendiri (yang memutuskan bahwa dua dari sembilan orang itu bersalah untuk pembunuhan) “sangat menimbulkan pertanyaan dan dalam satu hal tidak rasional”, menurut Goldman. “Yang terjadi dalam ruang pengadilan di San Salvador mengungkapkan sedikit kebenaran dan keadilan parsial”.xxxvi
Bagaimana Komisi Kebenaran Bisa Memberikan Kontribusi kepada Keadilan Sebagaimana digambarkan di atas mengenai kasus Argentina, sebuah komisi kebenaran bisa secara langsung memperkuat pengadilan dengan bantuan kumpulan informasinya mengenai kejahatan, yang bisa langsung diserahkan kepada otoritas penuntut. Bahkan, semakin jelas bahwa catatan milik komisi kebenaran bisa dipergunakan sebagai sumber bukti untuk bertahun-tahun ke depan, tidak hanya untuk pengadilan domestik, namun juga untuk pengadilan yang dilakukan pada tingkat internasional. Baltasar Garzón, hakim Spanyol yang menuntut Augusto Pinochet, sangat bergantung pada laporan komisi kebenaran Cili untuk menyusun tuntutannya. Demikian pula, organisasi hak asasi internasional menggunakan laporan komisi kebenaran Chad dalam usaha menuntut mantan pemimpin Chad, Hissein Habré. Hal serupa bisa terjadi di negara-negara lain. Selain itu, terdapat pula cara lain mengenai bagaimana komisi kebenaran bisa memberikan kontribusi atau memberikan dampak bagi keadilan. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Menilai Peran Pengadilan di Bawah Sistem Represi Agak berbeda dari menyerahkan kasus pelanggaran untuk ditindak pengadilan, sebuah komisi kebenaran bisa juga memberikan kontribusi potensial di bidang lain yang berada di luar jangkauan pengadilan: menilai peran hakim dan sistem pengadilan secara keseluruhan dalam mempertahankan atau mentolerir pelanggaran oleh penguasa. Di beberapa negara, pengadilan tetap bekerja secara relatif independen bahkan dalam tahun-tahun terparah represi. Di Cili, misalnya, militer menunjukkan independensi pengadilan untuk melegitimasikan pemerintahannya dan membantah keberadaan masalah hak asasi; sementara itu, pengadilan tidak menggunakan kekuatannya untuk menghentikan pelanggaran. Afrika Selatan, El Salvador, Guatemala dan negara-negara lainnya juga mengalami pola-pola yang serupa: hakim mengabaikan atau mendukung secara aktif kebijakan dan tindakan penguasa, mengabaikan atau menutupi bukti atau menolak menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran oleh negara. Laporan kebenaran Guatemala menggambarkan bagaimana “[i]mpunitas mewarnai negara sedemikian rupa sehingga mengendalikan seluruh negara”. xxxvii Komisi kebenaran bisa menganalisis pola-pola demikian dan secara lengkap mendokumentasikan peran sistem pengadilan dalam memungkinkan represi. Meskipun militer, polisi atau perwira intelijen adalah pelaku pelanggaran, lembaga pengadilanlah yang gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk mengendalikan otoritas mereka. Jika badan pengadilan bekerja dengan baik dan berfungsi secara independen, pola-pola kekerasan dan pelanggaran oleh penguasa bisa saja terbatasi. Komisi kebenaran Cili memberikan satu bab penuh mengenai “sikap pengadilan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi antara 11 September 1973 dan 11 Maret 1990”, memasukkan kelemahan sistem pengadilan di bawah pemerintahan militer. Laporan itu menyatakan bahwa “pengawasan legal amatlah kurang” sementara “sistem pengadilan berfungsi secara normal dalam hampir semua bidang kegiatan nasional yang konfliknya sampai ke pengadilan”, dan bahwa “kekuasaan pengadilan hanyalah satu-satunya dari tiga cabang kekuasaan yang terus berjalan”.xxxviii Laporan itu kemudian menyalahkan pengadilan untuk parahnya kekerasan, menyatakan bahwa, “Postur yang diambil pengadilan selama pemerintahan militer, meskipun secara tidak disengaja, bertanggung-jawab untuk memperparah proses pelanggaran hak asasi manusia secara sistematik”, sehingga menawarkan “agen-agen represi, suatu jaminan bahwa mereka akan mendapatkan impunitas untuk tindakan kriminal mereka, tanpa mempedulikan kejahatan yang mereka lakukan”.xxxix Laporan Argentina, Nunca Más, juga memiliki satu bab mengenai “Badan Pengadilan pada Masa Represi” menunjukkan kegagalan habeas corpus, penguburan tanpa pencatatan identitas oleh pengubur dari pengadilan, persetujuan hakim terhadap penggeledahan polisi terhadap kantor organisasi hak asasi, dan keanehan-keanehan lain. “Alih-alih berperan sebagai rem terhadap absolutisme sebagaimana harusnya ia lakukan, ia malah menjadi struktur pengadilan gadungan, suatu topeng untuk menutupi mukanya”.xl Berbeda dengan Cili, pejabat-pejabat tertinggi badan pengadilan Argentina diganti pada saat kudeta, termasuk seluruh hakim agung, dan semua hakim yang tersisa harus bersumpah untuk mendukung sasaran junta militer. Lapoan itu menggambarkan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
bagaimana badan pengadilan yang baru dibentuk itu “mendukung pengambilalihan kekuasaan dan memungkinkan penyelewengan hukum terjadi dengan tampilan legal”.xli Laporan komisi Uganda memiliki satu bab mengenai “Hilangnya Pengadilan yang Jujur dan Publik di Depan Sidang yang Independen dan Tidak Memihak” yang menggambarkan praktik ilegal dan tidak adil dari pengadilan militer dan sipil, memberikan contoh mendetail dari catatan pengadilan. Ia antara lain menyimpulkan bahwa pengadilan militer “tidak independen dan imparsial. Ia berperan lebih sebagai, dan untuk kepentingan rezim militer, bukan untuk keadilan”.xlii Laporan El Salvador menunjukkan masalah dalam pengadilan sepanjang analisisnya. Ia menunjukkan, misalnya, bagaimana hakim menyembunyikan bukti, dan tidak bersedia untuk bekerja-sama dengan penyelidikan oleh komisi. Dalam satu kasus penting, pembantaian di El Mozote pada bulan Desember 1981, laporan menyimpulkan bahwa ketua hakim agung Mauricio Gutiérrez Castro, “melakukan intervensi dengan sangat memihak untuk alasan yang bias politik, dalam proses pengadilan kasus tersebut”.xliii Akhirnya, komisi menyimpulkan bahwa “[s]ituasi yang digambarkan dalam laporan ini seharusnya tidak akan terjadi bila sistem yudisial berfungsi sebagaimana seharusnya”.xliv Secara lebih mendetail, ia menerangkan, “Tidak satu pun dari tiga cabang pemerintahan – yudisial, legislatif atau eksekutif – mampu meredam kendali militer terhadap masyarakat. Badan pengadilan menjadi lemah karena ia diintimidasi dan dasar atau hakikatnya mengalami pembusukan; karena ia tidak pernah memiliki independensi institusional dari badan legislatif dan eksekutif, efektivitasnya semakin menurun. Pada akhirnya, karena diamnya atau ketaatannya yang menyedihkan, ia menjadi faktor yang memberikan kontribusi pada tragedi yang dialami negeri ini.xlv Akhirnya, hanya komisi di Afrika Selatan yang sudah mengadakan dengarkesaksian untuk menganalisis peran pengadilan dalam mendukung atau mengizinkan represi negara. Ketika para hakim menolak undangan untuk berpartisipasi dalam dengar-kesaksian itu (kecuali satu hakim), komisi mempertimbangkan untuk menerbitkan panggilan, namun akhirnya membatalkan hal itu.
Menyarankan Reformasi Yudisial Memahami peran pengadilan dalam represi tentu saja mengarah pada analisis mengenai apa yang harus diubah. Mungkin kontribusi paling langsung yang bisa diberikan bagi keadilan di masa depan adalah dengan mereformasi sistem keadilan pidana untuk menjamin bahwa pengadilan, penuntut dan polisi dapat mencegah pelanggaran lebih lanjut oleh kekuatan negara, dan menjamin bahwa tertuduh penjahat mendapatkan perlakuan yang adil. Beberapa komisi di masa lampau, termasuk di Cili dan El Salvador, telah memberikan saran spesifik dan mendetail, dan sebagian dari saran itu telah dijalankan. Di El Salvador, misalnya, komisi merekomendasikan pengurangan konsentrasi kekuasaan pada sistem pengadilan yang dipegang oleh kejaksaan agung (terutama oleh ketuanya) dengan menghapuskan kekuasaan untuk sertifikasi dan pengawasan hakim dan pengacara. Ia juga menyarankan pembentukan dewan independen dengan kekuasaan untuk menunjuk dan memecat hakim, dan badan lain untuk sertifikasi pengacara; peningkatan gaji hakim; pembuatan pengadilan baru; dan penguatan sekolah hukum. Selain itu, komisi menyarankan bahwa undang-undang tertentu diubah untuk melindungi hak mereka yang Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dituduh melakukan kejahatan: bahwa pengakuan ekstrayudisial dilarang untuk dipergunakan sebagai bukti di pengadilan (untuk mencegah penyiksaan), dan bahwa ketaatan dengan batas waktu penahanan sebelum pengadilan diterapkan dengan ketat. Banyak saran ini diterapkan, dan komisi kebenaran harus diberi pujian untuk andilnya dalam memberikan perubahan ini. Komisi di Cili juga menyarankan seperangkat perubahan untuk memperkuat pengadilan dan mendorong kepedulian hak asasi manusia. Komisi menghadapi fakta bahwa badan pengadilan, meskipun tidak dibubarkan pada masa kediktatoran, membiarkan penghilangan dan pembunuhan tanpa sanksi. Saran komisi ini luas, mencakup pengubahan dalam artikel tertentu dalam KUHP Cili untuk mensyaratkan bukti yang kuat sebelum penangkapan, usaha untuk menjamin ketaatan polisi terhadap perintah pengadilan, pembuatan badan independen untuk menunjuk dan mempromosikan hakim secara objektif, dan memasukkan topik hak asasi manusia dalam pendidikan hukum. Komisi kebenaran lain juga memberikan saran yang serupa.
Mendorong Ketaatan pada Hukum dan Memenuhi Kewajiban Internasional Beberapa pengacara hak asasi manusia menyatakan bahwa komisi kebenaran bisa dipakai sebagai cara memperkuat ketaatan hukum setelah suatu masa pemerintahan otoriter yang tidak taat hukum. Hampir semua orang menyadari ketidakmungkinan menuntut semua orang yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang serius, bila jumlahnya besar; dan beberapa orang melihat komisi kebenaran sebagai bagian dari jawaban masalah ini. Jika diberi kekuatan yang tepat, komisi bisa membantu menjalankan tugas negara di bawah hukum internasional untuk menjawab pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara masif. Rob Weiner, direktur program Amerika Latin Komisi Pengacara untuk Hak Asasi Manusia di New York, menyatakan bahwa tiga langkah harus dijadikan syarat minimal bagi sebuah negara yang baru saja mengalami pelanggaran masif hak asasi manusia: penyelidikan fakta-faktanya oleh otoritas yang relevan, kemungkinan bagi para korban untuk maju dan menuturkan cerita mereka, dan temuan fakta-fakta secara formal. xlvi Dengan deskripsi yang serupa dengan komisi Afrika Selatan, Weiner menyatakan bahwa syarat tertentu bisa diberikan kepada amnesti: bahwa ada pengumuman dan publikasi fakta yang relevan oleh penguasa, termasuk identitas pelaku; amnesti hanya diberikan kepada mereka yang meminta secara individual; aplikan menceritakan seluruh peran mereka dalam tindakan atau kelalaian yang dimintakan amnesti; dan bahwa korban bisa minta ganti rugi dari negara, bahkan bila ia tidak dapat menuntut pelaku untuk memberikan ganti rugi (syarat terakhir ini tidak ada dalam amnesti Afrika Selatan). Weiner juga menyatakan bahwa pengajuan amnesti harus diputuskan oleh badan pengadilan biasa, dan bukan badan atau komisi ad hoc. Komisi Afrika Selatan memiliki kekurangan karena meninggalkan “sistem pengadilan reguler di pinggiran, ketika ia harusnya berperan sebagai protagonis dalam membangun kredibilitas sistem legal”, tulisnya. Yang paling penting adalah bahwa “lingkup politik harus digunakan untuk mendukung kedaulatan hukum, bahkan sekalipun negara mengampuni yang salah”. xlvii Model Weiner mengasumsikan adanya sistem yudisial yang bekerja dan dapat dipercaya, yang sayangnya tidak selalu demikian. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Penganjur hak asasi manusia selama beberapa tahun sudah menganjurkan agar traktat hak asasi manusia internasional mewajibkan pemerintah untuk menyelidiki dan mengumumkan kepada korban atau keluarga mereka semua temuan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebuah komisi kebenaran merupakan satu cara bagaimana pemerintah dapat memenuhi kewajiban ini.
Apakah Seluruh Kebenaran Merupakan suatu Bentuk Keadilan? Beberapa korban dan anggota keluarga korban menyatakan bahwa mendengarkan seluruh kebenaran diumumkan sudah memberikan rasa keadilan bagi mereka. Setelah bertahun-tahun membantah atau mendiamkan, pengakuan pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan bisa menyentak. Dan bila nama pelaku diterbitkan dalam laporan komisi, mungkin hal itu akan memberikan sanksi moral dan malu bagi para pelaku, bahkan bila tidak ada sanksi legal dan hukuman. Namun pertanyaan mengenai penunjukan nama menunjuk pada inti satu pertanyaan yang paling sukar mengenai komisi kebenaran: berapa banyak kebenaran yang harus diceritakan komisi kebenaran? i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix xxx xxxi xxxii xxxiii
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
xxxiv xxxv xxxvi xxxvii xxxviii xxxix xl xli xlii xliii xliv xlv xlvi xlvii
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 8 Menyebutkan Nama Tertuduh
Hanya beberapa isu tentang komisi kebenaran yang menimbulkan sedemikian banyak kontroversi, dan salah satunya adalah apakah sebuah komisi harus mengumumkan nama-nama orang yang ditemukannya bertanggung-jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Pertanyaan ini telah diperdebatkan dengan sengit oleh banyak komisi kebenaran, dan tetap menjadi sumber ketegangan dalam pembentukan komisi-komisi baru. Pertikaian ini timbul dari dua prinsip yang bertentangan, yang masing-masing mendapat pendukungnya dari kalangan pembela hak asasi manusia. Yang pertama adalah bahwa prosedur hukum (due process) mensyaratkan orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan dapat membela dirinya sebelum dinyatakan bersalah. Prosedur ini dilanggar bila sebuah komisi, yang bukan merupakan badan peradilan dan tidak memiliki prosedur ketat yang sama, menyebutkan nama-nama orang yang dituduh melakukan kejahatan. Prinsip yang kedua adalah bahwa mengisahkan seluruh kebenaran mencakup pula menyebutkan nama orang-orang yang bertanggung-jawab untuk kejahatan hak asasi manusia bila ada bukti jelas kesalahan mereka. Menyebutkan nama mereka adalah bagian dari proses pengisahan kebenaran, dan amat penting terutama bila badan peradilan tidak berfungsi cukup baik sehingga dapat diharapkan terjadi pengadilan yang adil. Mandat yang diberikan kepada hampir semua komisi kebenaran tidak memberikan jawaban pada pertanyaan ini, tidak melarang dan juga tidak mewajibkan mereka untuk menyebutkan nama pelaku; keputusan diserahkan kepada komisi itu sendiri. Sementara hampir semua komisi kebenaran berhak untuk menyebutkan nama-nama pelaku, hanya beberapa yang melakukannya: El Salvador, Chad, komisi kedua Kongres Nasional Afrika, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Di balik hampir semua komisi kebenaran terdapat perdebatan, pertentangan dan ketidaksepakatan tentang isu ini antar-sesama komisioner, antara komisioner dengan para staf, atau antara komisi dengan pemerintah yang membentuknya. Belakangan ini, dengan semakin dipahaminya komisi kebenaran, mandat komisi baru cenderung untuk secara eksplisit menyebutkan kekuasaannya. Sebagai contoh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan diberi mandat untuk melakukan penyelidikan terhadap “identitas semua orang, badan, institusi dan organisasi” yang terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia dan untuk “mempersiapkan laporan lengkap yang menunjukkan aktivitas dan temuannya”, i yang dianggap mencakup penyebutan nama-nama pelaku yang ditemukan. Sebaliknya, mandat komisi Guatemala menyatakan bahwa ia tidak bisa “menyatakan bahwa seseorang bertanggung-jawab, dalam kerja, saran dan laporannya”. Stipulasi atau ketentuan ini menimbulkan protes keras dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan korban yang melihat bahwa hal ini sangat membatasi kerja komisi. Bila diberikan kepada komisi itu sendiri, keputusan untuk menyebutkan nama dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak hanya terkait dengan prosedur hukum, sebagaimana ditunjukkan contoh-contoh di bawah. Dalam beberapa kasus, ada tekanan politik eksplisit atau implisit terhadap sebuah komisi untuk tidak mencantumkan nama dalam laporannya. Beberapa komisi terutama mencemaskan risiko keamanan dari menyebutkan nama: entah bagi saksi yang memberikan nama tersebut, anggota atau staf komisi, atau terhadap kemungkinan pembalasan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
(dalam bentuk pengadilan rakyat) bagi mereka yang disebut namanya, terutama bila tidak ada kemungkinan pencapaian keadilan melalui pengadilan. Komisioner harus pula mengukur kualitas informasi mereka, kedalaman penyelidikan mereka dan sumber-sumber dari mana mereka menarik kesimpulan, dan apakah ada risiko bahwa kesimpulan mereka tidak tepat. Komisi-komisi kebenaran yang mengidentifikasikan pelaku dalam laporannya menjelaskan bahwa laporan komisi bukanlah keputusan legal dan tidak memastikan bahwa seseorang bersalah atas nama hukum. Namun, meskipun ada penjelasan tersebut, mereka yang disebut namanya dalam laporan komisi kebenaran dianggap pasti bersalah, titik; perbedaan antara kejahatan secara legal dan temuan komisi mengenai tanggung jawab terhadap suatu kejahatan tidak dipahami oleh hampir semua orang. Akibatnya, komisi di masa lalu berusaha keras untuk mengatasi masalah apakah dan bagaimana mempergunakan temuan mereka mengenai tanggung jawab individual, standar pembuktian dan prosedur hukum apa yang dipergunakan, dan apakah menyebutkan nama dalam masa transisi politik yang rentan bisa menimbulkan risiko yang besar.
Keputusan Komisi-Komisi di Masa Lalu Komisi pertama yang berkutat dengan masalah ini adalah Komisi Nasional Orang Hilang di Argentina pada tahun 1983-1984. Lebih dari seribu pelaku disebutkan namanya dalam kesaksian yang diberikan kepada komisi ini, terutama oleh para saksi penculikan dan mereka yang selamat dari kamp penahanan. Namun mandat komisi menyebutkan bahwa “Komisi tidak bisa memberikan keputusan tentang tindakan-tindakan dan kondisi yang merupakan bagian dari ranah badan peradilan”.ii Sebagai akibatnya, beberapa anggota komisi menyatakan bahwa mereka tidak memiliki pilihan untuk mengumumkan nama-nama pelaku tersebut. “Menurut keputusan presiden tentang pembentukan komisi ini, kami tidak memiliki kekuasaan untuk membuat pernyataan formal tentang pertanggungjawaban individual,” kata komisioner Eduardo Rabossi. “Kami hanya berhak untuk menyelidiki nasib orang yang dihilangkan dan ke dalam prosedur atau sistem penghilangan. Kami harus meninggalkan penyelidikan lebih lanjut kepada badan peradilan.”iii Orang lainnya mengisahkan hal ini secara lebih kompleks. Keputusan akhir untuk tidak mengumumkan nama-nama tersebut menjadi perdebatan sengit di dalam komisi. Senator Graciela Fernandez Meijide, pada waktu itu menjabat sebagai direktur staf senior dalam komisi dan kini tokoh politik penting Argentina, hadir dalam setiap pertemuan para komisioner, meskipun ia tidak memiliki hak suara. Putra Meijide sendiri hilang dalam perang saudara, dan fotonya yang sedang tersenyum diletakkan di meja dalam kantor ibunya, ketika saya bertemu dengannya. Meijide berperan aktif dalam perdebatan mengenai penyebutan nama tersebut, dan tidak setuju dengan keputusan akhir para komisioner. Komisi tidak memiliki kekuasaan untuk memanggil para pejabat untuk memberikan pengakuan, tidak pula untuk mengadakan penyelidikan mendalam tentang kasus-kasus tertentu. Namun Meijide menekankan pada waktu itu, seperti juga sekarang, bahwa terdapat banyak informasi objektif dari sumber-sumber resmi yang bisa dan seharusnya diumumkan.iv Melalui kesaksian dari lebih dari 600 orang yang selamat dari kamp penahanan, dan kunjungan langsung ke tempat-tempat tersebut yang membuktikan keberadaannya, komisi mendapatkan bukti kuat tentang keberadaan 340 tempat penyiksaan. Tidaklah sukar untuk mengumpulkan catatan-catatan resmi tentang komando militer tiap-tiap daerah, yang diterbitkan di surat kabar setiap akhir tahun. Terdapat struktur hierarkis dan geografis yang ketat dalam angkatan bersenjata Argentina, sehingga dapat diasumsikan bahwa mereka yang menjadi komandan di daerah tertentu pada Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
akhirnya bertanggung-jawab terhadap pelanggaran yang terjadi di daerahnya. Meijide menyatakan bahwa seharusnya nama-nama tersebut diumumkan, dengan demikian paling tidak memberikan sanksi moral bagi para pelanggar tersebut. “Pembicaraan tersebut berjalan dengan alot, berlangsung selama berjam-jam; dan pada akhirnya saya kalah,” kata Meijide tentang perdebatan tersebut. “Tetapi, sementara saya mengakui kekalahan saya, saya mengatakan bahwa semua orang tahu bahwa saya pasti akan kalah, meskipun benar.” Tidak semua komisioner menentang pengumuman nama-nama pelaku pelanggaran, dan keputusan akhir diambil dengan pemungutan suara. Komisi tidak mengambil posisi pada pertanggungjawaban orang-orang tertentu untuk kejahatan tertentu, namun dalam laporan tetap terdapat nama orang-orang yang dituduh sebagai pelaku, dalam paparan kesaksian korban dan saksi yang banyak dikutip dalam laporan tersebut. “Kami memutuskan bahwa bila terdapat nama dalam kutipan tertentu, kami tidak akan menghapusnya. Namun kami tidak akan mengumumkan seluruh nama yang ada,” kata komisioner Rabossi. Sebagai contoh, dalam kutipan berikut ini, seorang korban mengungkapkan kesaksiannya, Keesokan harinya saya dipukuli lagi oleh beberapa orang. Saya mengenali suara Inspektur Kepala Roselli … dan saya juga bisa mengenali suara penasihat Kepala Polisi, seorang kolonel yang juga memukuli saya …. Pada dini hari tanggal 16 saya dibawa dari toilet oleh perwira yang bertugas, Francisco Gontero, yang dari jarak empat atau lima meter, mengokang senjata kaliber-45-nya, dan v menembakkan tiga peluru, yang salah satunya menembus kaki kanan saya di lutut.
Seorang lain memberikan kesaksian demikian, Kepala saya ditutupi dan kemudian saya disiksa, dan lalu dipindahkan ke mess perwira Resimen Infanteri 9, di mana mereka melakukan simulasi eksekusi dan juga menyiksa orang. Salah satu pengunjung yang saya lihat sendiri, bahkan menginterogasi saya, adalah komandan Brigade 7, Jenderal Cristino Nicolaides. Seorang pengunjung lain adalah komandan Korps Angkatan Darat Kedua pada waktu itu, Jenderal Leopoldo Fortunato Galtieri, pada pertengahan bulan November vi 1976.
Hampir semua tahanan ditutup matanya selama masa penahanan mereka, dan tidak bisa melihat atau mengingat suara penyiksa mereka, dan banyak kutipan yang memberikan gambaran jumlah penyiksa yang ada saat itu, atau nama yang digunakan untuk memanggil sesama penyiksa. Dalam catatan pendahuluan pada awal laporannya, komisi berusaha untuk menghindari implikasi bahwa orang-orang yang disebutkan dalam kesaksian tersebut pasti bersalah, dengan menyatakan, “Berkaitan dengan nama orang yang disebutkan di sini dalam hubungan dengan peran yang mereka lakukan, atau dimuat dalam transkrip pernyataan yang menuduhkan keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa yang memiliki konsekuensi legal, Komisi Nasional tidak berusaha memastikan tanggung jawab mereka dalam kasus tersebut. Komisi tidak memiliki kompetensi dalam hal ini, karena otoritas untuk melakukan hal ini dimiliki oleh badan peradilan, sesuai dengan statuta dan konstitusi Argentina”.vii Sementara itu, komisi mencantumkan daftarnya tentang orang-orang yang terlibat pelanggaran dalam laporan rahasianya kepada presiden. Segera setelah laporan komisi kebenaran diumumkan, seseorang dari dalam komisi membocorkan daftar lengkap pelaku kepada pers. “Sebanyak 1.351 Orang Bersalah”, demikian headline yang mengejutkan tersebut, dan masing-masing dari 1.351 nama pemimpin militer, sipil dan agama tersebut dimuat dengan posisi atau jabatannya.viii Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Daftar ini tidak menimbulkan dampak konkret bagi sebagian terbesar dari 1.351 nama tersebut (kecuali beberapa yang diadili), namun beberapa mantan penyiksa atau perwira senior dalam rezim militer sering kali dikenal di publik, kadang-kadang oleh orang yang mereka siksa, dan mereka hidup dalam masyarakat yang tidak akan memaafkan mereka. Sebagaimana dijelaskan pengacara hak asasi manusia Juan Méndez lebih dari dua belas tahun setelah berakhirnya pemerintahan militer, “Ratusan penyiksa terbebas dari pengadilan, bahkan tindakan sipil untuk mendapatkan ganti rugi. Namun banyak dari mereka dikenali oleh masyarakat, dan sementara negara tidak menganggap mereka bersalah demi hukum dan impunitas, masyarakat sering kali menunjukkan bahwa kejahatan mereka tidak dilupakan. Bila mereka berada di jalan atau tempat umum, Videla, Massera, Camps dan lain-lainnya, mereka sering kali mendapatkan tindakan pembalasan yang spontan, meskipun tanpa kekerasan: pelayan menolak melayani mereka, orang-orang menjauhi mereka, bahkan beberapa mengabaikan pengawal mereka dan menunjukkan pandangan sebagian besar warga Argentina tentang mereka.”ix Menurut New York Times pada tahun 1997, purnawirawan kapten angkatan laut Alfredo Astiz, yang terkenal karena tindakan brutal dan wajahnya yang tampan, “mengalami puluhan kali serangan belakangan ini oleh orang-orang yang mengatakan bahwa ia menyiksa mereka atau kerabatnya”. Namun artikel yang sama juga menjelaskan bahwa banyak pelaku yang kini “tidak takut untuk berjalan-jalan, karena hanya sedikit orang yang mengenali mereka”.x Di Cili, komisi juga memutuskan untuk tidak memuat nama pelaku dalam laporan akhirnya. Para komisioner Cili menggambarkan keputusan ini sebagai berdasar pada kehati-hatian dan kurangnya penyelidikan terhadap masing-masing kasus. Sebagaimana di Argentina, keputusan ini juga mendapatkan ketidaksetujuan dari dalam komisi, dari mereka yang memahami kasus-kasus tersebut dengan baik. Mandat komisi Cili dalam hal ini lebih jelas daripada pendahulunya di Argentina, dengan menyatakan bahwa komisi tidak boleh “menjalankan tugas badan peradilan yang merupakan bagian pengadilan. … Dengan demikian, ia tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil posisi apakah orang tertentu bertanggung-jawab secara hukum untuk hal-hal tertentu”.xi Asisten presiden yang merancang mandat tersebut untuk Presiden Aylwin, Gisela von Muhlenbrok, memberi tahu saya bahwa tujuannya adalah untuk melarang menyebutkan nama para pelaku.xii Namun, komisi tersebut menganggap bahwa mandat tersebut berarti mereka tidak dilarang atau diwajibkan menyebutkan nama pelaku, selama keputusan tentang kesalahan demi hukum ditinggalkan kepada badan pengadilan, namun pertanyaan ini baru mulai dijawab pada bulan keenam dari sembilan bulan masa kerjanya. “Pertanyaan yang diberikan para komisioner kepada saya,” kata pimpinan staf waktu itu, Jorge Correa, “adalah, ‘Apakah kita punya cukup informasi untuk mengumumkan bahwa si Anu adalah pelaku tindakan tertentu?’ Pertanyaan itu adalah argumen yang kuat: saya membutuhkan waktu tiga tahun penyelidikan lebih lanjut untuk dapat menyebutkan nama dengan penuh kepastian. Dan hal itu bukan bagian dari kerja komisi.”xiii “Sering kali kami tahu siapa yang melakukan penyiksaan,” lanjut Correa, “namun kami tidak tahu siapa yang menembak orang-orang yang tidak selamat. Kami mungkin bisa mengetahui beberapa dari mereka, namun hal itu menutut penyelidikan lebih lanjut untuk melacak setiap tuduhan ke sumbernya, saksi utama, untuk memvalidasi akurasinya. Jauh lebih mudah untuk mengatakan, ‘Orang ini dihilangkan’, daripada ‘Orang ini dihilangkan, dan si Anu bertanggung-jawab’.”xiv Beberapa tokoh hak asasi manusia internasional menyatakan bahwa ketiadaan nama-nama pelaku di Cili adalah refleksi dari kekuasaan yang masih dimiliki para pelaku, yang tidak Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
memberikan kesempatan atau keinginan bagi komisi untuk menunjukkan nama orang yang bersalah.xv Bahkan, kini ketika para komisioner Cili membicarakan keputusan mereka, Anda dapat melihat gambaran tekanan politik yang mereka hadapi saat itu. “Secara implisit kami diharuskan” untuk tidak menyebutkan nama, kata satu anggota komisi, Laura Novoa. “Mandat komisi lahir dari kompromi politik, dan kami bekerja dalam pembatasan tersebut.” xvi Namun, terjadi satu perdebatan yang amat panjang dan panas ketika para komisioner bertemu untuk membuat keputusan tentang hal ini. Seorang anggota komisi tetap menentang keras penghilangan nama itu, namun karena sadar bahwa ia berada dalam posisi minoritas, akhirnya menerima konsensus tersebut. Para staf komisi, yang tahu persis informasi apa yang dimiliki komisi, tidak menerima begitu saja keputusan ini. Nyaris terjadi “kerusuhan” oleh para staf, kata komisioner Novoa, ketika komisi menyatakan bahwa ia tidak akan mengumumkan nama para pelaku. “Kami bertemu dengan para staf dan harus menenangkan mereka. Kami lebih tua, dan mungkin, lebih bijaksana, jadi kami merasa tahu lebih banyak.” Para anggota staf mengkonfirmasi hal ini, namun mereka menjelaskan penolakan mereka yang keras tersebut. “Ketika kami mulai bekerja, kami tidak pernah membayangkan akan mendapatkan informasi yang kami temukan,” kata seorang anggota staf senior, seorang pengacara, ketika saya bertemu dengannya pada tahun 1996. “Kami menyelidiki setiap kasus, dan menyusun bukti-bukti pendukung untuk masing-masing kasus tersebut.” xvii Sebagai bagian penyelidikan mereka, para staf menggunakan cara-cara seperti digunakan polisi dalam penyelidikan kejahatan. “Sering kali terdapat saksi dalam penculikan,” jelasnya. “Seorang tetangga, pasangan, seorang lain yang ditahan di kamp yang sama dan selamat. Kami mendapatkan foto anggota militer yang diketahui terlibat dalam pelanggaran, dan kami menunjukkan foto-foto tersebut kepada para saksi. Sering kali saksi-saksi dapat mengidentifikasi orang tersebut dari foto.” Komisi juga mendapatkan pengakuan dari pelaku dalam beberapa kasus. Meskipun tidak ada kerja sama resmi oleh angkatan bersenjata, sekitar 20 purnawirawan datang dan memberikan kesaksian secara rahasia. Hampir semua tinggal di luar Cili (karena mereka yang berada di negeri itu mencemaskan dampak pembicaraan mereka, demikian saya diberi tahu). Seorang anggota staf menjelaskan bahwa kepergiannya ke Eropa untuk mencatat kesaksian “mengubah hidupnya”.xviii Ia melanjutkan: Satu kasus yang kami bahas adalah seorang laki-laki yang diculik dari bus ketika membawa dua anaknya yang masih kecil ke sekolah, sambil memegang tangan mereka. Ingatan terakhir yang dimiliki kedua anak itu tentang ayah mereka adalah ia direnggut dari tangan mereka, dan tidak pernah ditemukan lagi. Ketika mereka mendatangi komisi lima belas tahun sesudahnya, itu adalah kali pertama mereka menceritakan pengalaman tersebut, dan kali pertama mereka menyatakan betapa peristiwa tersebut mempengaruhi hidup mereka, dan menimbulkan ingatan selama bertahun-tahun. Mereka bahkan tidak pernah saling membicarakan hal itu. Itu adalah pengalaman yang sangat emosional; mungkin kami semua menangis setelah kesaksian itu. Lalu, ketika kami pergi ke Eropa, secara kebetulan saya mencatat kesaksian orang yang menculik laki-laki tersebut. Bayangkan bagaimana peristiwa itu mempengaruhi saya! Saya akan memberikan satu contoh lagi: satu orang, juga di Eropa, datang untuk memberikan kesaksian dan menggambarkan bagaimana ia menerbangkan orang dengan helikopter dan melemparkan mereka ke laut. Para korban tersebut biasanya dibius lebih dulu, namun kadang-kadang ada yang terbangun, dan biasanya mereka dipukul kepalanya hingga tewas baru dilemparkan. Minggu berikutnya, saya mendengarkan kesaksian putri salah satu korban tersebut, yang dilemparkan ke dalam laut. Anak ini amat yakin bahwa ayahnya masih hidup – di sebuah pulau entah di mana, di dalam penjara rahasia, di negara lain, di mana pun. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya tidak mungkin “membunuh” ayahnya dengan menjelaskan apa yang saya ketahui, delapan belas tahun setelah peristiwa tersebut, dengan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
keyakinannya tersebut. Peristiwa itu dimuat dalam laporan, namun saya tidak bisa memberitahukan apa yang saya ketahui.
“Apakah ia tahu identitas semua orang yang ia bunuh?” tanya saya, karena setahu saya di negara lain, seperti Argentina, tidaklah demikian; namun anggota staf ini tidak bersedia bercerita lebih lanjut. “Ini adalah informasi yang masih dirahasiakan”, katanya. “Seharusnya Anda tidak boleh tahu.” Enam tahun sudah berlalu sejak komisi menyampaikan laporannya, dan lebih dari 20 tahun sejak sebagian besar kejahatan tersebut terjadi. Saya sadar bahwa hampir semua informasi ini takkan pernah tersebar luas. Berapa banyak nama pelaku yang Anda miliki, berapa yang Anda yakini, tanya saya lagi. Ia tetap tidak mau memberikan informasi spesifik; ia hanya mengatakan “banyak, jauh di atas empat puluh orang” (yaitu jumlah pelaku yang disebutkan namanya oleh komisi El Salvador). Dengan informasi tentang para pelaku kejahatan mengerikan itu, staf tersebut merasa frustrasi karena nama-nama tersebut tidak akan pernah dipublikasikan. “Kami sangat ingin menyebarluaskan nama-nama tersebut, paling tidak agar mendapatkan sanksi sosial, bila tidak akan ada keadilan melalui jalur hukum. Namun para komisioner memutuskan untuk tidak melakukan hal itu,” kata staf ini. “Kami bahkan menyarankan agar laporan tersebut menjelaskan demikian ‘si Anu dikontak mengenai keterlibatannya dalam kasus tertentu’, tanpa menyatakan bahwa komisi memiliki bukti jelas kesalahannya.” Namun para komisioner tetap menolaknya. “Dalam banyak kasus, kami memiliki nama lengkap para pembunuh. Memang hal ini tidak ada dalam laporan, tapi kalau Anda tanya siapa orang yang melemparkan tawanan dari helikopter, saya tahu siapa orangnya.” Bertentangan dengan Argentina, daftar nama yang dikumpulkan komisi Cili ini tidak pernah disebarluaskan ke masyarakat. Bahkan, hampir semua warga Cili mungkin tidak tahu keberadaan daftar tersebut, tapi beberapa orang dalam memberitahukan bahwa daftar tersebut diam-diam digunakan oleh presiden untuk mempertimbangkan perwira senior yang akan dipromosikan. Tidak ada seorang pun yang dicopot dari jabatannya karena pelanggaran yang ia lakukan, namun sejak tahun 1991, demikian saya diberitahu, tidak ada orang yang namanya ada dalam daftar tersebut yang mendapat promosi jabatan tinggi.xix Pada musim semi 1993, tepat dua tahun setelah komisi Cili selesai bekerja, komisi El Salvador sedang menyelesaikan laporannya di gedung kantor pusat PBB pada minggu-minggu terakhir masa tugasnya. Komisi tersebut mendapatkan informasi penting tentang keterlibatan pejabat senior pemerintahan, angkatan bersenjata dan peradilan dalam pelanggaran serius di masa lalu, dan ada bocoran bahwa mereka berencana untuk menyebutkan nama-nama pelaku pelanggaran. Dengan semakin dekatnya tenggat waktu, komisi mendapatkan tekanan kuat dari pemerintahan El Salvador untuk menghapus nama-nama tersebut dari laporan. Tersebar isu kudeta bila ada nama perwira militer senior yang disebutkan, dan isu tersebut menarik perhatian pers dan masyarakat El Salvador. Berbagai badan PBB dan komunitas diplomatik internasional ikut serta, dan bersidang dengan komisi, bahkan memberikan tekanan pada isu itu. Komisi merasa terkejut pada posisi pemerintah El Salvador pada masalah itu. Komisioner Thomas Buergenthal menuliskan bahwa pada waktu mereka pertama kali bertemu dengan presiden Alfredo Cristiani dan para pimpinan militer El Salvador pada awal bekerjanya komisi, mereka mendukung bila komisi mengidentifikasi para “oknum” dalam militer yang bersalah, sehingga melindungi nama baik institusi tersebut.xx Namun, lanjut Buergenthal, “sikap pemerintah berubah secara dramatis setelah mereka tahu bahwa Komisi mendapatkan bukti yang Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
memberatkan para pejabat tinggi pemerintahan, terutama Jenderal René Emilio Ponce, Menteri Pertahanan, dan Jenderal Juan Orlando Zepeda, Wakil Menteri Pertahanan.”xxi Pemerintah “mengadakan kampanye diplomatik yang keras untuk memaksa kami menghapus nama-nama dari laporan,” lanjut Buergenthal. “Presiden Cristiani mendorong berbagai pemimpin Amerika Latin, Amerika Serikat dan Sekretaris Jenderal PBB untuk menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk mencegah pencantuman nama-nama,” dan juga mengirimkan delegasi pemerintah untuk bertemu dengan komisi di New York. “Argumen untuk menentang penerbitan tersebut adalah bahaya terhadap proses perdamaian dan rekonsiliasi nasional, ancaman kudeta, dan klaim ketidakmampuan pemerintah untuk mencegah pembalasan terhadap mereka yang memberikan informasi pada Komisi.”xxii Beberapa anggota Front Pembebasan Farabundi (FMLN = Martí National Liberation Front), setuju dengan posisi pemerintah dan mempertimbangkan untuk bersama-sama dengan pemerintah mengubah mandat komisi, yang bisa mereka lakukan. Namun, setelah “perdebatan yang panjang dan panas antara para pimpinan FMLN,” menurut Buergenthal, FMLN memutuskan untuk tidak mengubah mandat, dan menyerahkan keputusan tentang pencantuman nama kepada komisi.xxiii Meskipun mendapatkan tekanan keras, komisi tetap melanjutkan apa yang ia kerjakan, dan menyebutkan nama lebih dari 40 orang dari kedua belah pihak dalam laporannya, namun terutama para perwira militer. Laporan tersebut menunjukkan tanggung jawab individual untuk perencanaan dan pelaksanaan pembunuhan, melakukan pembantaian penduduk sipil, dan menghalangi penyelidikan hukum, dengan menggambarkan keterlibatan masing-masing nama yag disebutkan. Tentang pembunuhan para pastor Jesuit, misalnya, laporan berbunyi demikian:
Komisi Kebenaran mendapatkan temuan berikut: 1.
2.
3.
Terdapat bukti kuat bahwa pada malam 15 November 1989, Kolonel René Emilio Ponce, bersama dan dengan kerja sama Jenderal Juan Rafael Bustillo, Kolonel Juan Orlando Zepeda, Kolonel Inocente Orlando Montano dan Kolonel Francisco Elena Fuentes, memberikan perintah kepada Kolonel Guillermo Alfredo Benavides untuk membunuh Romo Ignacio Ellacuría tanpa meninggalkan saksi. … Kemudian terdapat bukti bahwa para perwira tersebut dan lain-lainnya, dengan pengetahuan mereka tentang apa yang terjadi, mengambil langkah-langkah untuk menyembunyikan kebenaran. … Terdapat bukti mutlak bahwa (a) Pada malam 15 November yang sama, Kolonel Guillermo Alfredo Benavides memberitahu para perwira di Akademi Militer tentang perintah pembunuhan tersebut. Ketika ia bertanya apakah ada yang tidak setuju, semua orang tidak xxiv menjawab.
Tentang pembunuhan Uskup Agung San Salvador, Mgr. Oscar Romero, ketika sedang mempersembahkan misa pada tahun 1980, laporan menggambarkan demikian: Komisi mendapatkan temuan berikut: 1.
2.
Mantan Mayor Roberto D’Aubuisson memberikan perintah untuk membunuh Uskup Agung dan memberikan instruksi mendetail kepada anggota pasukannya yang berperan sebagai tim pembunuh untuk mengorganisir dan mengawasi pembunuhan tersebut. Kapten Alvaro Saravia dan Kapten Eduardo Avila, bersama dengan Fernando Sagrera dan Mario Molina, secara aktif terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembunuhan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
3.
4. 5.
6.
Amado Antonio Garay, pengemudi mantan Kapten Saravia, ditugaskan untuk mengantarkan penembak jitu ke Kapel. Garay menyaksikan secara langsung, ketika dari sebuah Volkswagen merah berpintu empat, si penembak jitu menembakkan satu peluru kaliber-22 untuk membunuh Uskup Agung. Walter Antonio “Musa” Alvarez, bersama mantan Kapten Saravia, terlibat dalam “pembayaran” para pelaku penembakan. … Mahkamah Agung berperan aktif dalam mencegah ekstradisi mantan Kapten Saravia dari Amerika Serikat dan mencegah penahanannya di El Salvador. Dengan demikian, ia xxv menjamin impunitas bagi mereka yang merencanakan pembunuhan tersebut.
Menteri Pertahanan dan ketua Mahkamah Agung juga disebutkan namanya dalam laporan. Menyadari bahwa namanya akan disebutkan, menteri pertahanan mengajukan surat pengunduran diri pada hari Jumat, tiga hari sebelum laporan diserahkan (meskipun jabatannya dipertahankan oleh presiden selama empat bulan ke depan). Para komisioner menggambarkan keputusan untuk tetap menyebutkan nama sebagai logika yang sederhana. Sebagaimana dijelaskan dalam bab pendahuluan, Bisa dikatakan, karena metodologi penyelidikan yang digunakan Komisi tidak memenuhi standar prosedur hukum, laporan seharusnya tidak menyebutkan nama-nama orang yang dianggap oleh Komisi berperan dalam tindak kekerasan tertentu. Namun Komisi menganggap bahwa ia tidak memiliki pilihan selain mencantumkan nama-nama tersebut. Dalam kesepakatan perdamaian, kedua pihak menjelaskan bahwa “seluruh kebenaran harus diketahui”, dan dengan demikian dibentuklah Komisi. Kini, seluruh kebenaran tidak bisa diungkapkan tanpa menyebutkan nama-nama. Bukankah Komisi tidak diminta untuk menulis laporan akademis tentang El Salvador, namun ia diminta untuk menggambarkan tindakan-tindakan kekerasan yang luar biasa dan untuk memberikan saran demi pencegahan terulangnya tindakan-tindakan demikian? Tugas ini tidak bisa dilakukan secara abstrak dengan menahan informasi … bila terdapat kesaksian yang dapat dipercaya, terutama bila orang-orang yang dikenali tersebut memiliki jabatan tinggi dan menjalankan fungsi resmi yang terkait langsung dengan pelanggaran atau usaha menutupi pelanggaran. Tidak menyebutkan nama hanya akan memperkuat impunitas yang diminta kedua pihak xxvi untuk dihentikan.
Denga memaparkan asumsinya bahwa nama-nama tersebut akan dimuat, bahkan sejak awal kerja komisi, Buergenthal menjelaskan, “Hingga isu itu menjadi subjek perdebatan panas di dalam dan luar El Salvador menjelang akhir penyelidikan kami, tak pernah terpikirkan oleh saya bahwa laporan tidak akan memuat nama-nama pelaku pelanggaran. Pada waktu pertama kali saya membaca mandat Komisi, saya menyimpulkan bahwa salah satu tugas kami adalah mengidentifikasikan siapa yang melakukan tindakan kekerasan serius yang harus kami selidiki. Para rekan saya, kemudian saya ketahui, mendapatkan kesimpulan yang sama …. Bagaimana kami bisa mengumumkan ‘seluruh kebenaran’ tentang suatu pembunuhan atau pembantaian, misalnya, tanpa menunjukkan pelakunya, meskipun kami tahu?”xxvii Sentimen para komisioner ini diperkuat dengan fakta bahwa badan peradilan amat lemah dan memiliki bias politik. Menurut Buergenthal, “Bila ada sistem peradilan yang efektif di El Salvador pada saat penulisan laporan kami, ia bisa menggunakan laporan sebagai dasar penyelidikan independen terhadap mereka yang dituduh bersalah melakukan pelanggaran. Dalam kondisi tersebut, pantas bila Komisi tidak mencantumkan nama dalam laporannya, tetapi memberikan informasi yang relevan kepada polisi atau pengadilan untuk tindakan yang sesuai. Namun … sistem peradilan El Salvador korup, tidak efektif dan tidak bisa memberikan keputusan yang tidak memihak dalam kasus-kasus ‘politis’ demikian.”xxviii Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Melihat bahwa tidak akan ada keadilan atau hukuman dari pengadilan, dan bahwa mereka yang namanya disebut masih mungkin memegang jabatan tinggi di El Salvador selama bertahun-tahun, komisi menyarankan bahwa semua nama yang disebutkan dicopot dari jabatan kenegaraannya (baik militer maupun sipil), dilarang untuk memegang jabatan sipil selama 10 tahun berikutnya, dan selamanya dikeluarkan dari dinas kemiliteran atau kepolisian. Menurut mandat komisi, saran yang diberikannya bersifat mengikat, namun pemerintah menolak saran untuk melarang orang mengajukan diri untuk memegang jabatan, dengan alasan bahwa hak tersebut dijamin oleh konstitusi. Sekretaris jenderal PBB setuju, dan membiarkan saran tersebut diabaikan. xxix Laporan juga menyarankan agar seluruh anggota Mahkamah Agung segera mengundurkan diri dan diganti. Ini ditolak mentah-mentah, dan ketua Mahkamah Agung bahkan berkoar bahwa “hanya Tuhan” yang bisa menyuruhnya turun.xxx Komisi mendapatkan kritikan karena tidak menyebutkan nama-nama dengan persebaran yang merata, dan karena tidak menjelaskan keputusan mengapa mereka memasukkan nama-nama tertentu dan tampaknya menghilangkan beberapa nama lain. Para pengamat hak asasi manusia kecewa terutama karena tidak ada nama pemimpin sipil yang disebutkan namanya berkaitan dengan kelompok-kelompok pembunuh, yang diyakini telah dibiayai oleh elite ekonomi kanan, terutama setelah tersebar rumor bahwa komisi kebenaran sebenarnya sudah mendapatkan nama-nama tersebut. “Karena Komisi Kebenaran untuk El Salvador dianggap oleh masyarakat telah mendapatkan nama pelaku lebih banyak daripada yang ia umumkan, perlu diberikan penjelasan sejelas-jelasnya tentang mengapa beberapa nama diumumkan dan beberapa nama lain disembunyikan”, tulis Juan Méndez, yang mengatakan hal ini sebagai salah satu kelemahan terbesar komisi itu.xxxi Fakta bahwa komisi hanya menyebutkan nama-nama tokoh dari salah satu sektor dalam FMLN (yang memiliki 5 sektor), menyebabkan dampak yang serius, dan kemungkinan memiliki andil bagi pecahnya FMLN segera sesudahnya. “Laporan tersebut malah mempersatukan Kanan dan memecah belah Kiri,” kata George Vickers, kepala Kantor Washington untuk Amerika Latin, sebuah kelompok kebijakan dan advokasi. xxxii Namun Vickers dan lainnya mengakui bahwa FMLN memang sudah mengalami perpecahan dan laporan komisi itu hanya mempercepat prosesnya. Buergenthal membela keputusan komisi itu. Ketika membicarakan kelompok FMLN yang para pemimpinnya diumumkan namanya, ia menyatakan, “Kami tahu bahwa kelihatannya kami memang mengincar mereka [Angkatan Perang Revolusioner Rakyat], namun kami tidak mendapatkan bukti untuk menyebutkan nama-nama lainnya. Sebenarnya akan sangat bagus seandainya kami bisa menyeimbangkan jumlah nama yang disebutkan – antara FMLN dan pemerintah, dan antara kelompok-kelompok dalam FMLN – namun kami tidak bisa melakukannya. Kami tidak memiliki pilihan: kami tidak mau menyebutkan nama-nama bila kami tidak memiliki bukti amat kuat dan kami tidak yakin, dan kami tidak mau mengabaikan namanama yang kami miliki dan didukung oleh bukti-bukti kuat. Sayangnya memang persebaran nama tersebut tidak merata.xxxiii Apa dampak menyebutkan nama? Beberapa orang dicopot dari jabatannya, terutama mereka yang sebelumnya sudah disebutkan namanya oleh Komisi Ad Hoc yang dibentuk untuk membersihkan angkatan bersenjata dari para pelanggar hak asasi manusia. Presiden semula menolak mencopot beberapa perwira senior yang ditunjuk oleh Komisi Ad Hoc, namun setelah mereka disebutkan lagi namanya oleh komisi kebenaran, ia akhirnya mengalah. Paling tidak satu orang tidak berhasil mendapatkan jabatan penting karena namanya disebutkan oleh komisi.xxxiv Ketika Mahkamah Agung yang baru dipilih setahun berikutnya (melalui prosedur yang baru dan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
tidak dipolitisasi), tidak ada anggota dari mahkamah yang lama dipilih lagi, termasuk ketuanya, meskipun ia telah melobi untuk penunjukan ulang. Namun, pada keseluruhannya, tidak banyak dampak yang dihasilkan dengan penunjukan nama tersebut. Beberapa orang diusulkan untuk mendapatkan jabatan pemerintahan senior: ketua Mahkamah Agung yang disebutkan namanya dalam laporan karena menutupi bukti dan menghalangi penyelidikan pelanggaran serius oleh pemerintah, beberapa bulan kemudian ditunjuk untuk mewakili pemerintah dalam Komite Hukum Antar-Amerika, sebuah badan dalam Organisasi Negara-Negara Amerika. Dalam tinjauannya tentang pelaksanaan saran-saran komisi kebenaran, sekretaris jenderal PBB menyatakan bahwa hal ini “tidak sesuai dengan semangat, bahkan dengan kata-kata, yang ada dalam saran-saran Komisi.”xxxv Para warga El Salvador menganggap bahwa mereka yang dikeluarkan dari angkatan bersenjata tidak mendapatkan konsekuensi yang serius. Sebagaimana dijelaskan seorang aktivis dengan kecewa, mereka “dipurnawirawankan dengan pujian dan ucapan selamat, dengan penghargaan dan jaminan penuh. Mereka semua mendapat tunjangan yang besar; sama sekali bukan hal yang memberatkan.”xxxvi Impunitas ini berlanjut ke tingkat internasional. Praktis tidak ada pembatasan visa untuk masuk ke Amerika Serikat bagi mereka yang namanya disebutkan, misalnya. Saya bertanya ke Biro Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengapa orang-orang yang disebut namanya sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas perencanaan dan pelaksanaan pembantaian bisa memasuki Amerika Serikat untuk konferensi dan liburan. Komisi kebenaran sebagian didanai pemerintah Amerika Serikat, dan kesimpulannya juga dianggap akurat. Pertanyaan saya menimbulkan respon antusias dari staf senior yang saya temui pada tahun 1996, tiga tahun setelah laporan El Salvador diumumkan, yang menyatakan bahwa pemikiran tersebut tidak pernah terpikirkan sebelumnya, namun mereka mungkin bisa membuat sistem di mana nama-nama yang disebutkan dalam laporan komisi kebenaran (dan penyelidikan tingkat tinggi lainnya) karena keterlibatan dalam pelanggaran di masa lalu akan dicatat dalam komputerkomputer pemerintah Amerika Serikat. Paling tidak, dalam aplikasi dari orang tersebut untuk mendapatkan visa ke Amerika Serikat akan terlihat bahwa ia pernah melakukan pelanggaran serius. Namun ketika saya menghubungi Departemen Luar Negeri setahun kemudian, saya diberi tahu bahwa ide tersebut tidak diterima. Kongres Nasional Afrika tidak puas dengan komisi pertamanya yang dibentuknya pada tahun 1992 untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan pelanggaran di kamp tahanan ANC, karena ada anggapan bahwa orang-orang dituduh tanpa mendapat kesempatan membela diri. Namun toh dalam laporan itu hanya satu nama yang disebutkan sebagai pelaku pelanggaran terhadap tahanan, dan laporan tersebut menjelaskan bagaimana orang itu, kepala Departemen Intelijen ANC pada awal hingga pertengahan dekade 1980-an, mengakui pelanggaran-pelanggaran yang ia lakukan dalam kesaksiannya kepada komisi. xxxvii Komisi mengumpulkan sebuah daftar rahasia orangorang yang mendapatkan tuduhan pelanggaran, dan mengirimkannya kepada presiden ANC, Nelson Mandela, namun ANC mengeluh karena komisi hanya mewawancarai para korban, namun tidak memberikan kesempatan bagi para tertuduh untuk memberikan jawaban. Keluhan ini mendorong Mandela untuk membentuk komisi kebenaran yang baru, pada tahun 1993, untuk menyelidiki kebenaran tuduhan-tuduhan tersebut dan apakah orang-orang yang dituduh tersebut benar-benar melanggar aturan organisasi. Semua permasalahan tentang metodologi dan prosedur diserahkan kepada komisi. Pelaksanaan kerja komisi ANC kedua ini berjalan seperti badan pengadilan, dan laporan komisi pun mencerminkan pendekatan ini. Dengar pendapat komisi dan laporannya disusun berdasarkan tuduhan sejumlah korban (yang dalam laporan disebut sebagai “para pengadu”) Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
terhadap beberapa pelaku spesifik (dalam laporan disebut “tertuduh”), yaitu para anggota ANC yang dituduh melakukan pelanggaran. Satu anggota komisi, Margaret Burnham, pengacara dari Boston, menjelaskan metodologi mereka sebagai hasil alamiah dari latar belakang mereka: dua dari tiga anggota komisi adalah pengacara yang berpengalaman, dan ia sendiri adalah seorang hakim. “Kami melakukan apa yang kami tahu”, katanya. “Kami bukan badan peradilan, namun tugas kami adalah untuk menarik kesimpulan faktual tentang apa yang terjadi dan siapa yang bertanggung-jawab.”xxxviii Sebelas tertuduh hadir di hadapan komisi, masing-masing dengan sebuah tim pengacara (pembela utama, ditunjuk oleh ANC, adalah Dullah Omar, yang kemudian menjadi menteri kehakiman, dan juga memiliki peran penting dalam menyusun referensi untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Laporan komisi menyimpulkan tuduhan terhadap masing-masing orang, dan menjelaskan apakah bukti yang ada mendukung atau tidak mendukung tuduhan terhadap mereka. Lebih lanjut, laporan menyarankan agar orang-orang yang diidentifikasikan bertanggung-jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia “dikenakan sanksi disipliner dan/atau hukuman sesuai aturan yang berlaku di ANC”.xxxix ANC menolak menjalankan saran ini, namun menjawab laporan itu dengan seruan untuk membentuk “komisi kebenaran” secara nasional yang akan mencatat pelanggaran dan pelakunya dari semua pihak konflik, menyarankan aturan untuk semua pegawai negeri, dan menjamin kompensasi yang layak bagi para korban.xl Proposal ini pada akhirnya mendorong ke arah terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi Haiti adalah komisi yang mungkin pertama kali melihat ke hasil kerja komisi-komisi lainnya dalam memutuskan apa yang akan ia lakukan dengan banyaknya nama pelaku yang ia dapatkan, meskipun pengalaman komisi-komisi lain tersebut tidak banyak memberikan jawaban bagi dilemanya yang sukar. Dengan adanya bukti yang ia miliki, dan lingkungan politik dan sosial yang mudah meledak, termasuk adanya bahaya terjadi pembalasan bagi mereka yang namanya disebutkan, hingga saat-saat terakhir komisi masih mengalami kebingungan tentang apakah ia harus menyebutkan nama, dan bila ya, bagaimana. Staf komisi di Haiti memberi tahu saya bahwa banyak nama pelaku yang disebutkan berulang kali oleh saksi atau korban. Dari sekitar lima ribu kesaksian yang didapatkan, sekitar setengahnya menyebutkan nama, menurut seorang anggota staf yang membantu mengumpulkan dan mentabulasi informasi bagi pusat data utama. Sering kali satu nama disebutkan dalam 20 hingga 25 kesaksian; nama satu orang disebutkan dalam 70 kesaksian. Ketika staf komisi mencetak seluruh informasi ini, didapatkan daftar nama sebanyak 200 halaman, dengan masing-masing baris menuliskan nama tertuduh, kasus yang dilaporkan, dan saksi atau korban yang memberikan kesaksian. Para staf berharap bahwa para komisioner akan menggunakan daftar ini untuk mencapai kesimpulan bahwa nama beberapa pelaku harus diumumkan.xli Dalam sebuah pertemuan dengan para komisioner, staf menyarankan agar orang-orang yang disebutkan berulang kali dalam laporan, mungkin yang lebih dari 20 kali, misalnya, harus disebutkan dalam laporan komisi. “Dalam kondisi demikian, kita bisa yakin, dan tidak perlu pembuktian lebih lanjut,” kata seorang anggota staf ketika kerja komisi sudah berakhir. “Di setiap wilayah, ada 3 sampai 5 nama yang jelas [kebersalahannya], mungkin keseluruhannya ada 50 nama. Bila semua orang menceritakan cerita yang sama, bila seluruh komunitas menunjuk satu orang, apa lagi yang diperlukan? Buktinya sangat kuat.”xlii Komisi tidak memiliki waktu atau sumber daya untuk menyelidiki masing-masing tuduhan, sehingga daftar tersebut seluruhnya didasarkan pada kesaksian dari para korban atau saksi. Para staf menyatakan bahwa laporan bisa memuat nama-nama tersebut tanpa memberikan keputusan tentang kesalahan mereka, dengan menyatakan bahwa “orang-orang ini disebutkan Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dalam kesaksian dari para korban”. Mereka juga menyatakan bahwa komisi bisa menggunakan prinsip internasional “pertanggungjawaban perintah”, yaitu komandan di sebuah distrik bisa dituntut pertanggungjawabannnya untuk pelanggaran di wilayahnya bila ia tahu atau seharusnya tahu tentang kejadian tersebut dan tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya.xliii Para komisioner merasa bahwa prosedur hukum harus dihargai, dan berusaha untuk menanyai orang-orang yang disebutkan namanya yang kebetulan berada dalam penjara, untuk memberikan kesempatan untuk menjawab tuduhan. Namun komisi tidak berusaha mencari yang lain: beberapa tidak memiliki alamat tetap, dan banyak di antara mereka yang mungkin masih bersenjata. Komisi mencemaskan pembalasan terhadap para pelaku yang dituduh, terutama bila publik menganggap bahwa keadilan melalui pengadilan tidak mungkin tercapai. Anggapan ini sebenarnya tidak keliru juga mengingat buruknya catatan pengadilan Haiti tentang kasus-kasus serupa di masa lalu. Pada akhirnya, para komisioner memutuskan untuk memberikan nama-nama tersebut dalam lampiran rahasia yang diberikan kepada presiden. Dengan berharap bahwa akan diadakan pengadilan setelah laporan komisi keluar, para komisioner beranggapan bahwa keadilan akan tercapai dengan memberikan bukti-bukti kepada pengadilan dan menyarankan proses pengadilan. Laporan tersebut menyarankan agar nama-nama dalam lampiran rahasia tersebut diumumkan “setelah otoritas yang kompeten menjalankan tindakan yudisial dan administratif yang diperlukan” – yaitu, setelah nama-nama tersebut diajukan ke pengadilan.xliv Namun, hingga beberapa tahun sesudahnya, amat sedikit proses pengadilan yang berjalan, dan daftar tersebut tampaknya masih belum akan diumumkan. Komisi-komisi lainnya menghadapi isu ini dengan cara-cara yang berbeda. Laporan komisi kebenaran di Chad, yang diterbitkan tahun 1992, mencantumkan nama dan foto mereka yang dianggap sebagai pelanggar terberat hak asasi manusia. Ketika laporan tersebut diumumkan, banyak dari mereka yang memegang jabatan dalam pemerintahan atau angkatan bersenjata yang baru, terutama dalam badan intelijen, angkatan darat atau polisi. Laporan tersebut menuntut agar semua yang pernah menjabat dalam Direktorat Dokumentasi dan Keamanan (DDS), yaitu badan intelijen di masa lalu yang terkenal kekejamannya, dicopot dari jabatannya. “Para agen DDS adalah maling, penyiksa dan pembunuh, dan harus dijauhkan dari badan intelijen yang baru”, demikian menurut laporan. xlv Namun tidak ada pencopotan atau pengadilan setelah laporan tersebut diumumkan, dan tidak banyak dampak yang dialami mereka yang namanya disebutkan. Mandat yang diberikan kepada dua komisi kebenaran belakangan ini, di Guatemala dan Afrika Selatan, menjawab pertanyaan tentang penulisan nama secara langsung dan jelas. Namun kedua komisi masih harus mengartikan tujuan sebenarnya dari redaksi penulisan mandat tersebut. Selain itu, komisi juga harus menentukan dengan tepat bagaimana ia menyikapi nama-nama pelaku yang ditemukannya dalam penyelidikan. Ketika Guatemala menegosiasikan perjanjian damai pada tahun 1994 untuk membentuk Komisi Klarifikasi Sejarah, pemerintah dan militer tidak mau mengikuti jejak tetangga mereka di sebelah selatan, El Salvador. “Kami tidak mau melakukan seperti yang mereka lakukan di El Salvador,” mantan ketua tim negosiasi pemerintah, Hector Rosada, memberi tahu saya. Ia juga mengatakan bahwa tidak ada yang mereka sukai dari komisi tersebut, dan terutama bahwa ia menunjuk nama pelaku dari tingkat tinggi. xlvi Rosada, yang menjelaskan tugasnya di meja perundingan sebagai “berbincang-bincang dengan militer dan mencari tahu apa yang mereka inginkan”, menyatakan bahwa negosiasi tentang komisi kebenaran amat sukar dan menegangkan. Dalam mandat yang diberikan, komisi akhirnya dilarang untuk memberikan “pertanggungjawaban oleh individu dalam kerja, saran dan laporannya”, xlvii sebuah pernyataan yang menimbulkan kemarahan para pembela hak asasi manusia dan kelompok korban. Namun bahkan pembatasan ini Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
masih bisa memberikan interpretasi. Selama bekerjanya komisi, ketua komisi, Christian Tomuschat, menulis bahwa “laporan akhir, yang memang tidak akan menunjuk orang-orang tertentu sebagai pihak yang bertanggung-jawab, mungkin tetap akan mencantumkan nama sejumlah besar orang, yang selama tahun-tahun terburuk dalam konflik memegang jabatan tinggi dalam pemerintahan atau dalam struktur UNRG [oposisi bersenjata]. Jelas, laporan tidak akan menuduh orang-orang tersebut melakukan pelanggaran hak asasi manusia, namun pengamat akan bisa menarik kesimpulan dari fakta yang diberikan dalam laporan”.xlviii Mungkin pula bahwa komisi bisa menggambarkan pelaku pelanggaran dengan posisi yang mereka jabat, dan memberikan kepada pers atau organisasi non-pemerintah kesempatan untuk mengaitkan jabatan dengan nama yang sesuai. Rosada menyatakan bahwa komisi bisa memiliki fleksibilitas dalam menafsirkan mandatnya. Sebagaimana ia katakan, “Ia tidak bisa mengatakan, ‘si Anu bertanggung-jawab’, namun ia bisa mengataan bahwa peristiwa X terjadi dan orang-orang dari unit Y dan Z ada di tempat. Ia hanya tidak boleh mencantumkan nama dalam laporannya. Namun dalam arsip komisi pasti terdapat nama, dan mandat tidak menyatakan apa pun tentang apa yang harus dilakukan terhadap arsip tersebut.” xlix Seorang anggota lain dari tim negosiasi pemerintah, Antonio Arenales Forno, yang merancang pedoman pokok komisi kebenaran, mengakui bahwa arti tepat dari “tidak memberikan pertanggungjawaban kepada individu” memang tidak jelas. Ia berpikir bahwa redaksi ini memungkinkan komisi untuk mengatakan bahwa “komandan batalyon ini pada waktu itu dan di tempat ini” bertanggung-jawab. “Kalau hal demikian tidak dimungkinkan, tidak ada hasil apa pun dari komisi,” katanya.l Namun pada akhirnya, komisi memilih tidak mengaitkan jabatan dengan tanggung jawab. Identifikasi yang dilakukan oleh komisi itu hanyalah pernyataan bahwa pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran “terjadi dengan sepengetahuan atau perintah pimpinan tertinggi negara”. li Para aktivis hak asasi Guatemala cukup puas karena dengan pernyataan ini dan buktibukti lainnya yang ada dalam laporan, mereka memiliki dasar kuat untuk menuntut orang-orang yang memegang jabatan tinggi negara pada saat terjadinya kekerasan yang parah.lii Bertentangan dengan hampir semua komisi kebenaran lainnya, nama para tertuduh diumumkan secara teratur selama masa kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan, terutama melalui dengar-kesaksian publik. Para korban, saksi, pelaku lain dan komisioner menyebutkan nama orang-orang yang diketahui atau dituduh bertanggung-jawab terhadap kejahatan; beberapa dari mereka yang disebutkan namanya datang untuk bersaksi untuk mendapatkan amnesti, atau dipanggil oleh komisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Pasal 30 dari akta pembentukan komisi menyatakan bahwa “bila dalam penyelidikan atau dengar-kesaksian yang diselenggarakan Komisi, (a) seseorang terimplikasi sehingga bisa merugikannya; atau (b) Komisi mempertimbangkan membuat keputusan yang bisa merugikan orang yang terimplikasi demikian”, maka Komisi harus “memberinya kesempatan untuk memberikan pandangannya kepada Komisi dalam jangka waktu tertentu mengenai hal yang sedang dipertimbangkan atau untuk memberikan kesaksian kepada Komisi”, dengan prosedur yang akan ditetapkan oleh komisi.liii Segera setelah mulai bekerja, komisi dituntut ke pengadilan oleh dua pensiunan polisi yang mempermasalahkan interpretasi pasal tersebut. Khususnya, mereka mempermasalahkan periode yang diberikan dan informasi apa yang perlu diberikan komisi sebelum diadakannya dengar-kesaksian publik. Mahkamah Agung Afrika Selatan menerima tuntutan kedua polisi tersebut dan memutuskan bahwa komisi harus memberitahukan tuntutan demikian dan dokumentasi secukupnya seperti kesaksian, bukti dan semacamnya, agar tertuduh pelaku dapat mengidentifikasi peristiwa tersebut dan memberikan responnya. liv Maka, komisi menetapkan prosedur operasi untuk pemberitahuan secara tertulis 21 hari di depan kepada Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
orang-orang yang kemungkinan akan disebut namanya dalam sesi terbuka. Persyaratan ini memberikan beban berat bagi komisi dan sangat memperlambat kerjanya.lv Komisi menggunakan prosedur yang sama bagi mereka yang namanya hendak ditulis dalam laporan. Anggota komisi Richard Lyster menjelaskan proses itu demikian: Ini berupa mengirimkan surat kepada mereka, memberitahukan temuan Komisi tentang mereka … yang pada efeknya, mengirimkan tuduhan tentang keterlibatan mereka dalam pelanggaran berat hak asasi manusia, dan melampirkan dokumentasi yang cukup untuk memungkinkan mereka menjawab tuduhan itu dan untuk mengakui, membantah, menolak, menjustifikasi dll. tuduhan tersebut dengan jawaban tertulis. Kemudian, jawaban tersebut akan diteliti oleh komisioner yang mendapatkan temuan di atas, dan seorang komisioner lain, dan mereka akan memutuskan apakah jawaban tertulis tersebut bisa membuat mereka mengubah temuan tersebut. Jika tidak, temuan tersebut akan difinalkan dan diratifikasi oleh seluruh Komisi. Jika jawaban tertulis dari pelaku yang dituduh tersebut memiliki bahan atau informasi yang cenderung mengubah temuan tersebut, dilakukanlah perubahan, dan dalam beberapa kasus, nama lvi orang tersebut dihapus dari daftar pelaku.
Mengingat banyaknya keperluan administratif dan waktu yang diperlukan untuk memberi tahu tertuduh, prosedur tersebut sangat membatasi berapa banyak orang yang bisa disebutkan namanya dalam laporan akhir. lvii Satu anggota staf memperkirakan bahwa ia menghilangkan hampir 80 persen nama dalam rancangan aslinya untuk salah satu bagian laporan, hanya untuk mengurangi beban administratif mengirimkan pemberitahuan dan memberikan bukti-bukti pendukung. Sebuah tim yang meliput wilayah lainnya menyatakan bahwa mereka menghilangkan sekitar 10 persen nama dari rancangan asli mereka, untuk alasan yang sama. lviii Komisioner Richard Lyster memperkirakan bahwa mungkin 600 nama dihapus dari laporan karena komisi tidak bisa mengontak mereka, atau karena proses amnesti masih belum selesai. Dalam kondisi demikian, baik pemohon atau siapa pun yang terkait dalam permohonan amnesti bisa disebutkan namanya, karena hingga satu hari sebelum kedatangan mereka di depan komisi amnesti, mereka bisa menarik atau mengubah permohonannya.lix “Dan untuk melengkapi semua beban kami,” kata Lyster, “karena informasi terus datang bahkan hingga saat penerbitan laporan, kami kehilangan kesempatan untuk mengirimkan pemberitahuan kepada sekitar 500 tertuduh pelaku, karena kami tidak punya waktu untuk mempersiapkan pemberitahuan, melacak keberadaan mereka, mengirimkan surat dan memformulasikan temuan akhir kami. Bagi saya, inilah aspek-aspek yang paling meresahkan dan menjengkelkan dari Komisi ini. Kami tahu bahwa kami membiarkan ribuan pelanggar serius lolos begitu saja. Ini juga memperkuat anggapan umum bahwa komisi berada di pihak para pelaku, dan berusaha keras untuk mengakomodasi mereka.”lx Pada akhirnya, komisi menyebutkan nama ratusan orang yang ikut ambil bagian atau mendukung dan mendorong pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk mantan presiden P. W. Botha, Winnie Mandikizela Mandela, dan para anggota Dewan Keamanan Negara, kabinet inti pemerintahan apartheid, dan menyarankan agar “dipertimbangkan adanya proses pengadilan bila terdapat bukti bawa seseorang telah melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia”, dan bila orang tersebut tidak meminta amnesti atau permintaannya ditolak. lxi Sehari sebelum laporan tersebut akan diumumkan, mantan presiden F. W. de Klerk mengadukan komisi ke pengadilan untuk mencegah penyebutan namanya dalam laporan, dengan alasan bahwa komisi memfitnahnya.lxii Alih-alih mengikuti proses peradilan dengan keharusan membaca dan merespon keluhan de Klerk yang setebal dua ribu halaman itu, komisi menghapus namanya dari laporan dan mendapatkan perpanjangan waktu selama empat bulan untuk meninjau petisinya. Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Persoalan tentang Apakah Sebaiknya, dan Bagaimana, Mengumumkan Nama Pelaku Hampir semua pakar hukum hak asasi manusia sepakat bahwa komisi harus mengumumkan nama para pelaku bila terdapat informasi yang cukup meyakinkan, terutama bila badan peradilan di negara tersebut kurang efektif, namun mereka tetap harus menghargai standar-standar proses peradilan sebelum melakukannya. Sebagai contoh, Juan Méndez, mantan pengajar hukum di Universitas Notre-Dame, kemudian direktur eksekutif Institut Hak Asasi Manusia Antar-Amerika dan mantan penasihat hukum Human Rights Watch, menyatakan bahwa bila tidak bisa diharapkan adanya pengadilan di negara tersebut, maka sangat penting bagi komisi untuk mengumumkan nama-nama pelaku. Ia membantah argumen yang menganggap bahwa komisi melampaui kekuasaannya bila melakukan demikian. “Kita semua menyebutkan nama orang, atau menuduh, sebelum tindakan mereka dibuktikan. Pers menuduh, polisi menuduh: bila seseorang dituduh mencuri kendaraan, misalnya, namanya dituliskan dalam berita. Ini hanyalah tuduhan: bukan pernyataan bersalah”.lxiii Banyak pakar hak asasi manusia lainnya sepakat dengan Méndez, dan menganggap bahwa hal tersebut adalah langkah penting dalam melawan impunitas, dan pelaksanaan yang sesuai dengan proses hukum relatif mudah dilakukan.lxiv Sebaliknya, José Zalaquett, seorang pakar hak asasi manusia internasional, mantan anggota dewan eksekutif Amnesti Internasional, dan anggota komisi kebenaran Cili, mempunyai posisi yang agak berbeda, dan mengingatkan bahayanya bila badan non-yudisial menentukan kesalahan. Dalam pengantar terjemahan bahasa Inggris laporan komisi Cili, Zalaquett menyatakan bahwa di Cili, “Menyebutkan nama pelaku yang tidak membela diri mereka dan tidak diberi kesempatan demikian secara moral setara dengan menghukum orang tanpa melalui proses hukum. Ini bertentangan dengan aturan hukum dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.”lxv Belakangan, Zalaquett dikutip menyatakan bahwa komisi kebenaran “tidak boleh melewati batasan tipis antara komisi etika dan peradilan jalanan. Bila mereka mulai menjatuhkan tanggung jawab kepada individu, mereka melanggar prinsip-prinsip dasar aturan hukum.”lxvi Dalam sebuah wawancara, Zalaquett menjelaskan posisinya bahwa ia menerima bahwa kadang kala tepat bagi komisi kebenaran untuk menyebutkan nama pelaku. Ia tidak menolak pengumuman nama pelaku oleh komisi Afrika Selatan, misalnya, karena adanya proses penyaringan dan prosedur hukum yang ditaati. Namun untuk kasus-kasus lainnya – termasuk komisi El Salvador – Zalaquett menyatakan bahwa mengumumkan nama hanya beberapa pelaku saja secara mendasar tidak adil, karena hanya akan merugikan beberapa pelaku yang “sial” karena tidak ada komisi yang bisa menyelidiki semua tertuduh pelaku, sehingga hanya akan ada beberapa nama yang muncul.lxvii Dalam korespondensi, ia melanjutkan: Posisi saya tentang pengumuman nama didasarkan pada hak asasi dan prosedur …. Posisi saya bisa digambarkan demikian: komisi kebenaran resmi boleh menyelidiki pertanggungjawaban moral pemerintah, berkonsentrasi pada para korbannya, dan memang demikian yang dilakukan sebagian terbesar komisi. Dalam beberapa kasus, seperti di Afrika Selatan, mereka boleh mendekati tanggung jawab hukum tentang individu. Kalau mereka berkonsentrasi pada tanggung jawab moral, sifat resmi mereka, dan proses yang mereka lakukan berarti bahwa bila mereka menyebutkan nama, orang-orang yang disebut namanya tersebut akan dianggap bersalah, tanpa melalui proses hukum. Ini tidak benar menurut standar hukum, dan juga moral. Kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menimbang kasus-kasus individual di luar prosedur hukum sangat besar. Kedua, prinsip audiensi bilateral, artinya kedua pihak harus didengar, harus dijunjung tinggi. Ketiga, dalam merekonstruksi masyarakat setelah trauma berat, hak asasi manusia harus dijunjung tinggi. Ini berarti bahwa keadilan harus dicapai melalui cara Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
yang adil. Penting bagi komisi untuk memberikan pelajaran ketaatan pada hukum dan hak asasi manusia, meskipun orang-orang lain tidak melakukan hal demikian di masa lalu. Namun demikian, bila prosedur hukum ditaati seperti di Afrika Selatan, saya tidak memiliki masalah dengan hal itu. Problem saya bukanlah pada hak atau keadilan, namun lebih pada apa yang lxviii patut dianggap sebagai hal yang benar.
Sementara prosedur hukum penting untuk ditaati, disepakati secara luas bahwa prosedur bagi komisi kebenaran lebih longgar daripada pengadilan pidana. Dalam pengadilan, ada syarat-syarat minimal yang diterima secara umum: tertuduh harus mendapat pemberitahuan lebih dulu tentang tuntutannya, dan diberi kesempatan dan waktu cukup untuk membela dirinya, termasuk hak untuk mendapatkan pembela dan memanggil serta menghadapi saksi-saksi. Namun persyaratan ini lahir karena tingkat hukuman yang dihadapi pelaku. Konsekuensi disebut namanya oleh komisi kebenaran jauh lebih ringan daripada bila diputuskan bersalah oleh pengadilan. Meskipun mungkin merusak reputasi, sebuah komisi biasanya tidak memiliki kekuasaan untuk menghukum mereka yang diumumkan namanya. Ia bisa menyarankan pengadilan lebih lanjut atau sanksi sipil lainnya, namun hal ini pun masih memerlukan tinjauan lebih lanjut sebelum diterapkan. Komisi-komisi di masa lalu sangat memahami perbedaan standar prosedur hukum tersebut. Douglass Cassel, seorang penasihat senior komisi kebenaran El Salvador, menulis bahwa komisi “tidak menganggap bahwa ia melakukan semua hal berdasar prosedur hukum. Sementara para tertuduh biasanya diberi tahu tentang kasus yang melibatkan mereka, dan diberi kesempatan untuk membantah atau menjelaskan keterlibatan mereka, mereka tidak diberi tahu identitas saksi, apalagi untuk mengkonfrontasi mereka dalam pengadilan terbuka”. Prosedur yang digunakan komisi, tulis Cassel, berdasar “realitaa di El Salvador bahwa para saksi tidak aman terhadap pembalasan dan menganggap mereka terancam. Dengan realitaa ini, satu-satunya cara bagi komisi untuk mencapai kebenaran adalah untuk menghilangkan prosedur yang bisa membahayakan mereka”.lxix Setiap komisi yang berencana untuk mendapatkan temuan tentang tanggung jawab individual harus menentukan persyaratan prosedurnya dan membuat sistem untuk menjamin ketaatan padanya. Standar dan prosedur tersebut akan berbeda dari satu komisi ke komisi lainnya, namun gambaran umumnya relatif jelas. Hampir semua pakar hukum sepakat dengan tiga pedoman utama. Pertama, orang yang hendak disebut namanya dalam laporan harus diinformasikan tentang tuduhan yang dihadapkan kepada mereka dan diberi tahu bahwa komisi hendak mengumumkan nama mereka dalam laporan terbuka. Kedua, orang-orang tersebut harus diberi kesempatan untuk merespon bukti-bukti yang memberatkan mereka dan memberikan pembelaan, baik secara tertulis maupun langsung, dengan prosedur yang ditentukan komisi. Namun, hak ini tidak harus mencakup hak untuk mengkonfrontasi penuduh atau bahkan untuk mengetahui sumber tuduhan, jika komisi percaya bahwa informasi tersebut bisa membahayakan saksi. Zalaquett juga menyarankan bahwa laporan perlu memuat bahwa orang-orang yang disebutkan namanya telah membantah tuduhan yang diberikan, bila itu terjadi, dan mungkin memberikan versi mereka mengenai peristiwa yang terjadi secara singkat.lxx Namun hal ini akan melemahkan kesimpulan komisi, dan hampir semua komisi memilih untuk tidak melakukan hal ini dan menjadi satu-satunya sumber kesimpulan. Ketiga, komisi harus menyatakan dengan jelas bahwa kesimpulannya tentang tanggung jawab individual tidak sama dengan keputusan hukum, yang merupakan bagian dari ranah pengadilan. Human Rights Watch, yang berbasis di New York, dalam sebuah surat panjang kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, sepakat dengan standar-standar prosedural Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
yang digunakan: ia mendorong komisi untuk “mengumumkan nama-nama yang dipercayai dengan dukungan bukti kuat bertanggung-jawab terhadap pelanggaran berat, terutama mereka yang bertanggung-jawab dalam pembuatan kebijakan di tingkat tinggi”, dan menyatakan bahwa “perlindungan prosedur hukum secara penuh yang diperlukan dalam pengadilan pidana tidak perlu digunakan bila bertujuan untuk identifikasi publik”. lxxi HRW juga menyarankan beberapa pedoman lain dalam mengumumkan nama, dan mengatakan bahwa “perlu ada perbedaan yang jelas antara berbagai jenis pertanggungjawaban yang ada – misalnya, jika seseorang secara langsung memerintahkan atau melaksanakan pelanggaran tertentu, atau bila ia menerapkan atau membuat kebijakan yang diketahui dapat menimbulkan pelanggaran berat”. Juga, selain memberikan kesempatan merespon bagi mereka yang hendak dicantumkan namanya, komisi harus “memberi kesempatan untuk menjelaskan mengapa nama mereka sebaiknya tidak diumumkan, misalnya karena ancaman bagi keselamatan mereka, dan menjadikannya pertimbangan bagi keputusan akhir”.lxxii Sementara pada prinsipnya sederhana, penerapan prosedur demikian bisa sukar dan merepotkan, seperti dijelaskan di atas dalam kasus Afrika Selatan. Belum ada komisi lain yang berusaha untuk menghargai prosedur hukum setaat yang dilakukan komisi Afrika Selatan. Dan pengalaman komisi tersebut jelas menunjukkan kesulitan untuk melakukan hal ini dengan baik. Selain pertimbangan prosedur hukum, sebuah komisi juga harus menentukan berapa banyak bukti yang diperlukannya untuk menyimpulkan temuan, dan standar pembuktian apa yang harus dipenuhi. Sebagai contoh, komisi El Salvador memiliki aturan dua sumber, yaitu mensyaratkan konfirmasi dari dua sumber yang independen dan kredibel untuk mengkonfirmasi sebuah fakta. Berbeda dengan itu, komisi Afrika Selatan hanya mensyaratkan satu sumber, untuk mengkonfirmasi kisah yang diceritakan oleh saksi dan untuk menentukan kebersalahan pelaku, mengasumsikan bahwa sumber tersebut cukup meyakinkan. Standar yudisial untuk memutuskan bahwa seseorang melakukan kejahatan adalah dengan memberikan bukti yang “tidak dapat diragukan lagi”. Komisi kebenaran biasanya tidak berusaha untuk memenuhi standar yang tinggi tersebut. Sementara tidak ada praktik yang seragam, standar yang mulai diterima di kalangan komisi adalah standar “kesetimbangan probabilitas”, yang berarti bahwa lebih banyak bukti yang menunjukkan bahwa sesuatu itu benar alih-alih tidak benar.lxxiii Sebagai contoh, komisi Afrika Selatan menjelaskan metodologinya sebagai berikut: “Dengan sifat investigatif dalam proses komisi ini dan dampak legal yang terbatas dari pencantuman nama, komisi mendapatkan temuan tentang identitas mereka yang terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia berdasarkan kesetimbangan probabilitas. Ini memerlukan derajat pembuktian yang lebih rendah daripada hukum pidana konvensional. Ini berarti bahwa, bila terdapat berbagai versi tentang suatu peristiwa, komisi harus menentukan versi mana yang lebih mungkin terjadi atau lebih dapat diterima akal, dengan memperhatikan semua bukti yang ada”.lxxiv Komisi El Salvador menentukan tiga tingkat keyakinan – bila terdapat bukti amat kuat, substansial atau cukup untuk mendasari sebuah temuan – dan mencantumkan tingkat keyakinan tersebut bagi setiap temuannya dalam laporan. Menurut laporan tersebut, ia menerapkan “kriteria ketat dalam menentukan tingkat reliabilitas bukti … [dan] menyebutkan nama hanya bila ia amat yakin dengan bukti yang ada”.lxxv Menurut seorang penasihat senior komisi tersebut, dalam tingkat bukti cukup tidak ada nama yang disebutkan. Komisi-komisi lain yang juga mengumumkan nama para pelaku tidak menjelaskan standar pembuktian yang mereka gunakan, yang sebenarnya tidak adil baik bagi para pembaca laporan maupun bagi para tertuduh. Komisi-komisi di masa depan harus mencantumkan dengan jelas dalam laporannya jumlah atau kualitas bukti yang mendasari Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
temuan mereka (seperti satu atau dua sumber primer atau sekunder), dan juga tingkat keyakinan bagi temuan komisi tersebut. Terdapat cara-cara alternatif untuk mencantumkan nama para tertuduh dalam laporan komisi kebenaran, selain dengan menyatakan kesimpulan komisi tentang tanggung jawab orang-orang tertentu. Alih-alih dipresentasikan dalam bentuk setara dengan keputusan pengadilan, laporan komisi bisa disetarakan dengan ringkasan kesaksian yang diberikan di pengadilan, dan komisi berperan seperti peliput alih-alih sebagai hakim. Sebuah komisi bisa meringkas bukti-bukti yang ada, mencantumkan nama yang disebutkan oleh para saksi bila bisa dipercaya, tanpa memberikan kesimpulan yang kuat tentang kebersalahan mereka. Bila komisi mengadakan penyelidikan lebih lanjut dan mendapatkan kesimpulan yang kuat, ia bisa memaparkan temuannya secara mendalam, dengan menggunakan standar yang dijelaskan di atas. Model ini mendekati saran yang diberikan oleh para staf komisi Haiti, yang meminta agar komisi tersebut mencantumkan nama “sebagaimana diberikan oleh para saksi”, terutama yang berulang kali muncul. Ini juga serupa dengan pendekatan yang digunakan komisi Argentina, yang mencantumkan nama-nama para pelaku bila mereka disebutkan dalam kutipan kesaksian (meskipun pendekatan komisi ini tidak berimbang, karena kutipan-kutipan tersebut diambil hanya dari sebagian kecil kesaksian yang ada, sehingga nama pelaku yang termuat dalam laporan adalah mereka yang “sial”). Meskipun terdapat pertimbangan serius tentang memfitnah orang-orang tertentu, dan nilai penting yang harus diberikan pada hak jawab bagi mereka yang dituduh, sebuah komisi kebenaran harus berusaha sejauh mungkin untuk mendapatkan kebenaran yang seluas-luasnya, termasuk nama-nama orang yang terlibat dalam pelanggaran. Nama-nama pelaku pelanggaran di tingkat bawah bisa diabaikan bila terdapat ancaman bagi keselamatan mereka maupun saksi yang melaporkan mereka, terutama bila mereka berada di komunitas yang mengalami pelanggaran tersebut. Sebuah komisi harus memfokuskan perhatian pada mereka yang mengorganisir atau mengesahkan pelanggaran besar-besaran, termasuk mereka yang memegang jabatan senior militer atau politik yang dengan sepengetahuan mereka membiarkan tindakan-tindakan tersebut terjadi. Bila keadilan sukar dicapai melalui pengadilan, sebuah komisi berperan penting dengan paling tidak secara terbuka membeberkan hal-hal yang selayaknya membuat para pelaku itu malu. Sebuah komisi harus mempertimbangkan pemberian sanksi non-yudisial bagi mereka yang namanya dimuat dalam laporan, misalnya melarang mereka memegang jabatan publik atau jabatan dalam militer atau badan intelijen, melarang mereka bekerja dalam badan keamanan swasta, dan mencabut hak mereka untuk memegang senjata api. Sementara rekomendasi tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh komisi itu sendiri, ini bisa mendorong para anggota legislatif untuk menerapkan strategi pertanggungjawaban dan mengurangi ancaman pelanggaran lebih lanjut di masa depan oleh orang-orang tersebut, selain kemungkinan yang kecil untuk berhasil mengadili mereka. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix xxx xxxi xxxii xxxiii xxxiv xxxv xxxvi xxxvii xxxviii xxxix xl xli xlii xliii xliv xlv xlvi xlvii xlviii xlix l li lii liii liv lv lvi lvii lviii lix lx lxi lxii lxiii lxiv lxv lxvi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
lxvii lxviii lxix lxx lxxi lxxii lxxiii lxxiv lxxv
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 9 Sembuh dari Masa Lalu
“Orang selalu bertanya, ‘Mengapa membuka luka lama yang sudah sembuh?’” demikian kata Horacio Verbitsky, seorang jurnalis Argentina yang terkenal, kepada saya. “Karena, luka itu ditutup secara buruk. Pertama, infeksinya harus disembuhkan, bila tidak, luka lama itu akan terbuka dengan sendirinya.”i Dengan kata-kata ini, Verbitsky menyimpulkan satu dari pandangan mendasar mereka yang meyakini pentingnya menemukan kebenaran. Verbitsky kehilangan banyak temannya dalam “perang kotor” di Argentina. Pada tahun 1996, ia membantu membuka kembali masalah ini di Argentina dengan melaporkan pengakuan Francisco Scilingo, seorang purnawirawan perwira angkatan laut yang mengaku melemparkan tahanan politik hidup-hidup dari pesawat ke laut.ii Ketika kisah Scilingo itu tersebar ke publik, Argentina menemukan betapa banyak dari masa lalunya yang sulit itu masih belum selesai, baik secara emosional maupun faktual. Meskipun ada kerja Komisi Nasional Orang Hilang tiga belas tahun sebelumnya, isu ini sekali lagi menjadi pusat perhatian, dengan artikel di surat kabar hampir setiap hari selama berbulan-bulan. Dan, ribuan orang berdemonstrasi di jalan-jalan untuk mendapatkan kebenaran dari pemerintah dan angkatan bersenjata mengenai apa yang terjadi pada mereka yang hilang. Luka-luka masyarakat dan korban individual yang tidak sembuh bisa terus membusuk lama setelah perang berakhir atau akhir rezim yang represif.iii Sebuah negara perlu memperbaiki hubungan-hubungan yang rusak antara kelompok-kelompok etnik, agama, regional atau politik, antara tetangga, dan antara partai politik. Singkatnya, penyembuhan masyarakat bisa pula disebut rekonsiliasi – sebuah masyarakat yang berdamai dengan masa lalunya dan kelompok-kelompok saling berdamai, yang menjadi topik bab ini. Individulah yang mengalami penderitaan paling besar dari trauma psikologis mendalam yang timbul dari peristiwa yang luar biasa. Banyak korban yang selamat dari represi politik berat mengalami kesulitan psikologis dan emosional yang menyakitkan selama bertahun-tahun. Benar bahwa beberapa yang selamat dari trauma cukup kuat, atau terpaksa, untuk meredam ingatan traumatisnya dan terus melanjutkan kehidupan sehari-hari, bahkan tampak sembuh dari peristiwa itu dan memiliki jiwa yang sehat. Namun banyak pula yang tidak seberuntung itu, dan menderita karena ingatan penyiksaan atau menjadi saksi pembunuhan orang yang dicintainya. Banyak yang menganggap bahwa peran penting komisi kebenaran adalah untuk membantu para korban menyembuhkan luka batin dengan memberikan mereka forum untuk menceritakan kisah mereka. Ketika saya bertanya kepada spesialis kesehatan jiwa di komisi kebenaran Afrika Selatan mengenai apakah bercerita akan mendorong kesembuhan, ia mengutip pernyataan neneknya, “Lebih baik keluar daripada dipendam,” menurutnya. iv Terdapat sejumlah besar studi yang menyatakan bahwa memendam penderitaan emosional mendorong timbulnya masalah psikologis. Bahkan, salah satu dasar dalam psikologi modern adalah kepercayaan bahwa menyatakan perasaan seseorang, terutama membicarakan pengalaman yang traumatik, diperlukan untuk penyembuhan dan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
kesehatan mental. Sering dikatakan bahwa setelah suatu masa kekerasan politik yang besar-besaran dan pemaksaan untuk diam, memberikan kesempatan bagi para korban dan saksi untuk menceritakan kisah mereka kepada sebuah komisi resmi – terutama yang hormat, mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, dan tertarik pada kisah mereka – dapat membantu mereka mendapatkan kembali kehormatan mereka dan membantu penyembuhan. Para psikolog secara mutlak mengkonfirmasi logika sederhana ini. “Trauma masa lalu tidak akan menghilang dengan sendirinya. … Trauma masa lalu selalu bisa memiliki dampak emosional bagi seseorang. Rasa sakit dan trauma yang dipendam bisa mengganggu kehidupan emosional, memiliki dampak psikologis yang buruk dan bahkan bisa menimbulkan penyakit fisik,” tulis psikolog Afrika Selatan, Brandon Hamber, dalam makalah awal mengenai harapan hasil kerja komisi kebenaran di sana. Dengan menyimpulkan pelbagai literatur psikologi dan pendapat para pakar, Hamber melanjutkan, “Restorasi psikologis dan penyembuhan hanya akan terjadi dengan menyediakan tempat untuk para korban yang selamat untuk merasa didengarkan dan semua detail peristiwa traumatik untuk dialami kembali dalam lingkungan yang aman.”v Mereka yang selamat dari trauma berat yang berusaha memendam pengalamannya bisa melihat dampaknya muncul dalam penyakit baik fisik maupun psikologis, atau kerusakan dalam hubungan keluarga atau sosialnya. Judith Herman, seorang profesor psikiatri di Harvard, menunjuk ketegangan antara keinginan seorang korban untuk berbicara dan insting mereka untuk mengubur ingatan mereka. “Respon yang lazim terhadap kekejaman itu adalah untuk mengabaikan semua kisah perih itu dari kesadaran. Sejumlah pelanggaran norma sosial sedemikian parahnya untuk bisa dibicarakan secara terbuka: inilah arti kata unspeakable (tak terbicarakan, tak terungkapkan, tak terbahasakan). Namun, kekejaman demikian tidak dapat dikuburkan begitu saja. Sama kuatnya dengan keinginan untuk membantah adanya kekejaman itu adalah keyakinan bahwa bantahan itu tidak berguna … Mengingat dan menceritakan kebenaran mengenai peristiwa mengerikan adalah prasyarat baik untuk pengembalian tatanan sosial maupun untuk penyembuhan korban individual.”vi Komisi kebenaran atau cara lain untuk menyikapi masa lalu bisa membantu melawan apa yang disebut psikolog Yael Danieli sebagai “konspirasi diam” yang sering berkembang di sekitar kekerasan politik dan cenderung mengintensifkan perasaan “isolasi, kesepian dan ketidakpercayaan terhadap masyarakat yang sudah ada” pada para korban.vii Pengakuan resmi terhadap peristiwa yang semula dibantah, terutama oleh sebuah badan yang disponsori pemerintah, seperti sebuah komisi kebenaran, bisa memiliki dampak yang amat kuat. Namun mereka yang menyarankan bahwa “berbicara mendorong penyembuhan” biasanya memakai asumsi yang tidak selalu tepat untuk diterapkan pada komisi kebenaran. Hampir semua studi mengenai penyembuhan dari kekerasan politik mengukur dampak positif dari dukungan psikologis selama jangka waktu tertentu; studi demikian menunjukkan bahwa bila para korban mendapatkan lingkungan yang aman dan mendukung untuk membicarakan penderitaan mereka, hampir semua mendapatkan dampak positif. Gejala trauma yang terpendam, seperti mimpi buruk, masalah emosional dan kesulitan tidur, biasanya berkurang.viii Namun, komisi kebenaran tidak menawarkan terapi jangka panjang; mereka memberikan kesempatan satu kali untuk menceritakan pengalaman mereka, biasanya kepada seorang asing yang belum tentu akan mereka temui
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
lagi. Beberapa pengalaman mengenai akibat terhadap korban yang menceritakan pengalaman mereka kepada komisi kebenaran sangatlah positif; yang lain amatlah mencemaskan. Hingga kini belum ada studi mengenai dampak psikologis komisi kebenaran terhadap mereka yang selamat, namun dari bukti yang ada, beberapa pertanyaan serius muncul.
Kebutuhan untuk Bercerita Komisi kebenaran tampaknya mencukupi – paling tidak mulai mencukupi – kebutuhan beberapa korban untuk menceritakan kisah mereka dan didengarkan. Mungkin diperlukan beberapa bulan oleh komunitas korban untuk mempercayai komisi kebenaran, namun ketika kepercayaan ini tumbuh, sering kali tampak antrian panjang di luar kantor-kantor komisi kebenaran – antrian para korban yang ingin melaporkan kisah mereka. Di beberapa kota di Haiti, misalnya, ratusan orang berbaris ketika staf komisi kebenaran datang untuk mencatat kesaksian mereka, meskipun para pelaku kejahatan itu sering kali bisa melihat mereka datang untuk memberikan kesaksian mengenai kejahatan mereka. Banyak orang mendapatkan risiko tinggi untuk bercerita, di Haiti maupun di manapun. Mereka sering kali menunggu berjam-jam, kembali esok harinya bila perlu. Di beberapa negara, para korban yang selamat harus berjalan jauh, kadang berjalan kaki, untuk mencapai kantor komisi. Tidaklah selalu jelas apa yang memotivasi para korban maupun saksi untuk datang. Meskipun ada usaha oleh staf komisi untuk menjelaskan tujuan dan kewenangan mereka, misalnya, beberapa korban tetap saja mengharapkan bahwa komisi akan mengadakan proses hukum terhadap para pelaku pelanggaran. Sedangkan yang lain mengharapkan bahwa komisi akan memberikan kompensasi untuk penderitaan mereka. Banyak pekerja hak asasi manusia dan jurnalis melaporkan suatu kebutuhan dasar para korban untuk mengenang kisah pengalaman kekerasan yang mereka alami, tanpa hubungan dengan proses resmi atau komisi kebenaran apa pun. Banyak cerita mengenai hal ini: beberapa tahun sebelum komisi kebenaran mulai bertugas di Guatemala, sebuah tim antropologi forensik Guatemala, yang menggali tulang-tulang dari tempat-tempat penguburan massal, mengadakan pertemuan terbuka di suatu wilayah yang mengalami kekerasan politik, untuk menerbitkan laporannya. Mereka mengira bahwa kurang dari 100 orang yang akan datang, namun 500 orang datang. Tim forensik tersebut heran karena pertemuan tersebut menjadi suatu sesi kesaksian. Dua anggota tim tersebut menjelaskan, “Kami membuka sesi tanya jawab setelah presentasi, dan mereka langsung berbaris – untuk memberikan kesaksian mengenai pengalaman mereka. Mereka hanya ingin menceritakan kisah mereka – di depan 500 orang, yang tidak semua mereka kenal – siapa tahu ada yang melaporkan ke militer siapa yang mengatakan apa.”ix Seorang warga Amerika Serikat yang tinggal di Guatemala bercerita bahwa kekerasan di masa lalu selalu saja muncul dalam pembicaraan bila ia pergi ke pegunungan. “Kamu bisa saja membicarakan hal apa pun – harga jagung, cuaca – lalu orang-orang tiba-tiba bercerita mengenai kekejaman yang mereka alami.”x Dari Afrika Selatan, ada cerita yang sama: ketika undang-undang untuk komisi kebenaran sedang didiskusikan dan diperdebatkan pada tahun 1994-1995, sekelompok kecil korban berusaha melobi untuk undang-undang yang lebih keras. Kelompok ini segera menjadi kelompok yang mendapat dukungan korban, dan tiba-tiba puluhan orang hadir
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dalam pertemuan mereka. “Semua orang bangkit dan bercerita – kira-kira 40 orang pada pertemuan pertama,” kata psikolog Brandon Hamber dari Pusat Studi Kekerasan dan Rekonsiliasi, yang mendorong terbentuknya kelompok tersebut. “Sebuah bagian penting dari kelompok itu adalah memberikan kesempatan untuk bercerita.”xi Komisi kebenaran bisa memberikan lingkungan yang aman bagi korban untuk menceritakan pengalaman mereka. Setelah komisi kebenaran Afrika Selatan bekerja selama setahun, Hamber memiliki kritik terhadap beberapa aspek komisi itu, namun menulis, “Memberikan kesempatan bagi para korban untuk bercerita, terutama dalam forum publik, sangat berguna bagi banyak orang. Tidak dapat dibantah bahwa banyak dari korban dan keluarganya memandang proses ini berguna secara psikologis.”xii Ini terjadi pula di Cili, paling tidak bagi beberapa korban. Elizabeth Lira, seorang psikolog Cili yang bekerja bersama korban kekerasan politik, berkata bahwa tindakan sederhana seperti mengakui terjadinya pengalaman traumatik seseorang bisa menjadi amat penting untuk kesembuhan psikologis mereka. “Di Cili, mendatangi komisi kebenaran seperti datang ke sebuah keluarga: ada perasaan aman, bendera di meja, mandat dari presiden dan komisi yang mengatakan, ‘Kami ingin mendengar apa yang ingin Anda katakan.’” Selama lebih dari lima belas tahun, negara mengabaikan mereka, menyatakan bahwa semua penderitaan mereka bohong. Tiba-tiba, sebuah komisi resmi bersedia mendengarkan cerita mereka dan mengakui secara publik bahwa penghilangan itu memang benar terjadi. Karena kelompok-kelompok hak asasi manusia memberikan komisi Cili detail-detail hampir semua kasus penghilangan, kesaksian dari keluarga korban tidak memberikan banyak informasi yang baru. Namun menurut Lira, “Aspek simbolis mendengarkan kesaksian dari keluarga korban jauh lebih penting.”xiii
Perasaan Lega Seorang menteri Afrika Selatan, S.K. Mbande, mengkoordinasikan usaha untuk mengumpulkan pernyataan untuk komisi kebenaran di kota Daveyton, tidak jauh dari Johannesburg. Saya mengunjunginya di rumahnya untuk menanyakan pengalamannya mengumpulkan pernyataan dari sedemikian banyak korban. Ketika beberapa orang bercerita, menurutnya, mereka “bercerita setengah bohong dan setengah benar, karena menceritakan seluruh kebenaran masih tidak aman. Beberapa memberikan kesaksian karena mereka disuruh oleh pemerintah atau gereja. Namun beberapa orang mengalami trauma dan takut, dan merasa tidak aman untuk membicarakannya. Jika seseorang diperkosa oleh anggota militer atau polisi, tidak mudah baginya untuk menceritakan hal itu, apalagi di depan suami atau anak-anaknya. Maka kamu harus mencari tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan mereka. Beberapa orang lupa apa yang terjadi, atau karena trauma, menceritakan hal yang berbeda, atau berubah-ubah, karena mereka tidak dapat mengingat jelas. Menurut pandangan saya, bercerita membantu dalam proses penyembuhan, namun tidak selalu demikian. Bagi sebagian, hal itu menyebabkan mereka merasa lebih buruk.” “Bagaimana terjadinya penyembuhan?” tanya saya. “Setelah bercerita, mereka lebih santai. Mereka menceritakan apa yang ada di dalam hati mereka, yang selama ini mereka tutupi. Setelah bercerita, mereka menanyakan di mana orang tersebut dikubur, siapa yang membunuh mereka – pertanyaan mengapa, di
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mana dan bagaimana. Namun mereka menjadi terbuka kepada si pencatat kesaksian itu dan sering kali mengatakan bahwa mereka merasa jauh lebih baik.” Seorang pencatat kesaksian setempat, Boniwe Mafu, menyetujui pandangan ini. “Beberapa orang tidak ingin datang, apalagi bercerita. Bercerita akan mengingatkan mereka, dan membuat mereka merasa sakit,” kata Pendeta Mbande. “Beberapa orang datang, namun tidak berbicara, hanya menangis – kadang-kadang selama 30 menit. Atau mereka berbicara, namun di tengah-tengah mereka menangis.” Ia berhenti sebentar untuk berpikir. “Di masa lalu, Anda tahu, tidak banyak orang tahu bahwa ada orang-orang yang sakit di masyarakat ini, karena trauma. Hanya sekarang saja orang-orang tahu bahwa ada trauma itu, dan jelas bahwa beberapa orang perlu bantuan. Benar bahwa komisi kebenaran ini merupakan proses penyembuhan – kalaupun bukan 100 %, ya 60 %.” “Sebanyak enam puluh % orang sembuh, atau kepulihan seseorang sebesar 60 %?” tanya saya. “Bisa keduanya. Mungkin sebanyak 60 % orang merasa lebih baik, namun mereka juga hanya pulih 60 %.”xiv Putra Nyonya Sylvia Dlomo-Jele yang berusia belasan tahun dibunuh pada tahun 1988, dan ibunya ini mendatangi komisi kebenaran untuk menceritakan kisahnya. Saya mengunjunginya di Soweto, di luar Johannesburg, untuk bertanya bagaimana pengalamannya dengan komisi itu. “Memberikan kesaksian berbeda bagi tiap orang,” menurutnya, “namun ketika saya berkesaksian di acara dengar-kesaksian publik, sangatlah baik. Itu merupakan kesempatan pertama saya bercerita mengenai apa yang terjadi pada saya. Setelah kematian anak saya, saya selama bertahun-tahun tidak membicarakan hal itu. Ini membunuh saya. Saya berpikir, ‘Mengapa saya, Tuhan?’ Ini memberikan masalah besar bagi saya. Kami bergantung pada anak kami, meskipun ia masih muda. Memberikan kesaksian, bercerita kepada semua orang mengenai apa yang terjadi pada saya – menyakitkan, namun juga melegakan. Cara mereka mendengarkan saya, ketertarikan mereka pada cerita saya, itu baik bagi saya. Namun benar, bahwa banyak orang merasa lebih buruk. Satu ibu yang saya kenal mengatakan, ‘Saya tidak mau membicarakan hal itu, anak saya tidak akan kembali.’”xv Sayangnya, Sylvia meninggal hanya setahun setelah pembicaraan kami, segera setelah proses amnesti bagi para pembunuh putranya, Sicelo Dlomo. Secara tak terduga, dalam proses amnesti tersebut ditemukan bahwa pembunuh anaknya adalah rekanrekannya di ANC, untuk alasan dan kondisi yang tidak jelas, suatu hal yang terlalu berat untuk diterimanya. Meskipun ia sangat mendukung hak untuk mengetahui kebenaran, satu pernyataan pada upacara penguburannya demikian: “Ironisnya, pada akhirnya, yang membunuhnya adalah stress karena kematian [putranya] dan fakta mengenai pembunuhannya oleh rekan-rekannya”. xvi Para pembunuh itu diberi amnesti pada bulan Februari 2000, oleh Komisi Amnesti, yang dikritik keras oleh beberapa pengamat.xvii Saya bertemu dengan seorang korban lain dari Afrika Selatan, Simpson Xakeka, di kantor komisi kebenaran di Johannesburg. Ia ditembak pada satu parade di Daveyton, tahun 1991. Saya bertanya bagaimana perasaannya saat memberikan kesaksian, yang ia lakukan beberapa waktu sebelumnya. Dalam bahasa Zulu, ia mengatakan, “Ketika saya berbicara, rasa sakit itu datang lagi. Saya dibuat untuk mengalami lagi peristiwa itu. Namun ketika wawancara dimulai, rasa sakit itu berkurang. Sukar membicarakan hal itu.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Namun lebih mudah bagi saya untuk berbicara karena si pencatat kesaksian bisa berempati; ia mengikuti semua yang saya katakan.” “Secara emosional hal itu membantu banyak. Ini membantu saya menerima hal itu. Namun secara fisik hal itu tidak membantu. Saya masih memiliki peluru di dada saya, saya masih merasa sakit. Namun secara emosional saya terbantu banyak.” Saya bertanya bagaimana hal itu bisa membantu. “Ada pandangan dalam budaya kami,” menurutnya, “bahwa ‘menceritakan semua melegakan’. Saya tidak akan lupa apa yang terjadi, namun membicarakan itu memberikan kelegaan emosional. Ketika saya bertemu dengan yang lain dan bercerita, itu membantu. Namun saya menekankan bahwa saya tidak akan lupa pada apa yang telah terjadi.”xviii Staf komisi di banyak negara menyatakan bahwa proses pemberian kesaksian amatlah kuat dan bersifat katarsis. Menceritakan pengalaman bisa sangat emosional, terutama bagi mereka yang sebelumnya tidak pernah bercerita. Namun para psikolog mempertanyakan pandangan bahwa satu kali katarsis dapat memberikan penyembuhan psikologis yang mendalam. Dalam kondisi klinis, hampir semua terapis tidak akan mendorong seseorang untuk mempermasalahkan penderitaannya yang paling dalam terlalu segera, terutama bila berakar pada trauma yang dalam. Tujuan utama komisi kebenaran bukan terapi. Alih-alih, tujuannya adalah mendapatkan sebanyak mungkin informasi mendetail dari jumlah korban terbesar untuk membuat analisis akurat mengenai pelanggaran selama jangka waktu tertentu. Dipandu oleh kebutuhan demikian, korban dan saksi yang datang ke komisi kebenaran diminta untuk menceritakan pengalaman mereka yang mengerikan secara keseluruhan dalam satu pertemuan singkat, biasanya sekitar satu jam. Wawancara ini difokuskan pada mencatat detail spesifik mengenai peristiwa yang disaksikan atau dialami, tepat ke pusat ingatan yang paling menyakitkan. Para saksi bisa menunjukkan tanda-tanda gangguan emosional dengan menangis, sesenggukan, atau meratap, namun hampir semua pewawancara – mungkin ahli hukum, relawan hak asasi manusia, atau orang awam lain yang digaji untuk mencatat kesaksian – kurang atau tidak memiliki kemampuan untuk merespon trauma pada tingkat ini. Sebaliknya, saksi lain bisa datang tanpa emosi, sehingga mungkin menimbulkan misinterpretasi atau kesalahpahaman si pencatat kesaksian. Seorang anggota staf di El Salvador, yang mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan pelatihan mengenai cara menangani korban trauma, mengatakan, “Seingat saya, hampir semua orang menyikapi kehilangan mereka dengan menjadi nyaris tanpa emosi mengenai apa yang sudah terjadi, bagaimanapun menyedihkannya. Saya hanya ingat seorang ibu kelas menengah yang anaknya dihilangkan pada awal dekade 1980-an, dan datang dengan suaminya, dan masih histeris, seperti peristiwa itu baru terjadi kemarin. Ia tampaknya masih merasa kehilangan karena itu. Saya ingat seseorang berkomentar bahwa ibu itu tidak dapat menghadapi kejadian tersebut. Saya kira saya mungkin akan merangkul ibu tersebut, namun itu adalah insting saya.”xix Karena banyaknya jumlah korban yang datang dan singkatnya waktu yang tersedia bagi komisi untuk menyelesaikan kerjanya, hingga kini, komisi kebenaran tidak bisa menawarkan dukungan psikologis serius. Komisi juga tidak bisa merespon keluhan psikologis melalui telepon atau permintaan informasi mengenai kelanjutan penyelidikan pada kasus tertentu. Di Afrika Selatan, komisi kebenaran berusaha untuk membuat sistem rujukan bagi korban yang mengalami trauma ke badan independen untuk dukungan psikologis lebih jauh, namun sistem rujukan ini tidak berjalan baik dan tidak dipakai luas.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Selain itu, banyak korban tinggal jauh dari kota-kota, sehingga tidak mendapatkan layanan tersebut. Komisi biasanya menyelidiki sedikit kasus secara mendalam, menggunakan mayoritas kesaksian hanya untuk analisis pola-pola statistik. Dalam kasus-kasus yang mungkin diselidiki secara mendalam dan ditemukan faktanya mengenai apa yang terjadi dan bahkan lokasi jenazah mereka yang dibunuh, mereka yang ditinggalkan bisa mendapatkan penyelesaian bagi masalah mereka. Sidang amnesti di Afrika Selatan, misalnya, ketika para pelaku menjelaskan detail brutal penyiksaan dan pembunuhan yang mereka lakukan, tampaknya memuaskan mereka yang selamat atau ditinggalkan. Dalam beberapa kasus, komisi Afrika Selatan berhasil menggali kembali kuburan rahasia dan mengembalikan jenazah ke anggota keluarga, bahkan mengadakan upacara kematian yang layak, yang jelas berdampak amat kuat dan positif bagi keluarga korban.
Bahaya Trauma Ulangan “Selama masih ada tangisan, ada anggapan bahwa penyembuhan masih berjalan,” kata Brandon Hamber dari Pusat Studi Kekerasan dan Rekonsiliasi. “Bagi beberapa orang, itu adalah langkah pertama; bagi yang lainnya, itu merupakan langkah akhir, atau penyelesaian. Namun banyak orang yang merasa remuk sesudahnya.”xx Demikian pula, psikiater Harvard, Judith Herman, memberi tahu saya bahwa “semua orang yang menunjukkan ketertarikan dan memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menceritakan kisah mereka bisa memberikan efek terapi. Beberapa korban bisa menggunakan kesempatan ini secara positif. Bagi yang lainnya, ini mengekspos mereka dan tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk ke mana-mana.”xxi Sebagaimana diakui psikolog, dan jelas terlihat dengan berbicara dengan mereka yang telah memberikan kesaksian ke komisi kebenaran, korban dan saksi bisa mengalami trauma ulangan dengan bersaksi ke komisi, yang bisa separah gejala-gejala fisik, seperti kebingungan, mimpi buruk, kelelahan, hilangnya nafsu makan, dan kesulitan tidur. Gejala-gejala ini bisa muncul segera setelah peristiwa traumatik, namun bisa datang lagi dengan mengingat detail peristiwa itu. Dalam bidang psikologi, gejala ini disebut sebagai gangguan stres pascatrauma (posttraumatic stress disorder – PTSD).xxii Bila korban dan saksi diminta untuk menceritakan pengalaman menyedihkan mereka dalam satu kesempatan, dan tidak diberi dukungan sesudahnya, dampak emosional dan psikologis bisa amat berat. Kesulitan untuk sembuh dari kekerasan politik dipersulit dengan kaitannya terhadap masalah ekonomi dan sosial mendasar, yang mungkin dijadikan lebih parah oleh peristiwa itu sendiri, seperti kematian pencari nafkah dalam keluarga. Kadang-kadang, trauma bisa mendorong masalah lain seperti penyalahgunaan zat-zat kimia atau kerusakan hubungan personal. Michael Lapsley, seorang pendeta aktivis di Afrika Selatan, pernah berbicara dengan banyak korban yang berusaha memahami respon mereka kepada komisi kebenaran. Lapsley kehilangan kedua tangannya karena bom surat yang dikirim oleh pemerintah Afrika Selatan pada tahun 1990, ketika ia sedang dalam pengasingan di Zimbabwe. Ia selamat dan berhasil sembuh dari bom itu, dan kini memiliki dua kait logam sebagai ganti tangan. Sejak pengeboman itu ia sudah menasihati banyak korban kekerasan politik di Afrika Selatan. Dan sementara menekankan bahwa ia mendukung kerja komisi kebenaran,
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
ia menekankan pula bahaya komisi kebenaran yang mendekati penyembuhan secara terlalu simplistis: “Jika kamu memiliki luka fisik, kamu akan melepas perban, membersihkan luka itu dan memperbannya kembali. Namun seseorang menelanjangi dirinya di depan komisi kebenaran, dan tidak mendapat kesempatan cukup untuk berpakaian kembali. … Naif bila dianggap hanya diperlukan lima menit untuk sembuh. Kita akan menghabiskan waktu seratus tahun ke depan untuk mencoba sembuh dari luka sejarah.” Ketika komisi kebenaran datang untuk beberapa hari di sebuah kota untuk mencatat kesaksian, ia memang memberi kesempatan untuk berbicara, dan menjadikan penderitaan mereka pusat perhatian, namun Lapsley melihat bahwa dengar-kesakian tersebut sering kali meninggalkan warga dengan perasaan kosong: “Sirkus sudah datang, dan pergi – lalu apa?” mereka bertanya kepadanya. Asumsi bahwa mengetahui fakta mengenai apa yang terjadi akan selalu membantu penyembuhan terlalu simplistis, dan kadang-kadang tidak benar, menurut Lapsley. Bahkan, beban dari mengetahui bisa menjadi amat berat. “Setelah kamu tahu siapa melakukan apa – mungkin seorang yang dicintai terlibat, misalnya – apa yang akan dilakukan? Sekarang kamu harus menyikapi fakta yang sudah kamu ketahui itu.”xxiii Marius Schoon, seorang warga Afrika Selatan yang istri dan anaknya terbunuh oleh bom yang dikirim pasukan keamanan negara, mengatakan, “Saya tidak ingin tahu siapa yang mengirim atau menempatkan bom itu. Saya lebih suka membenci sebuah sistem daripada orang lain, dan sejauh saya tahu pasukan keamanan dari pemerintah Partai Nasional adalah pihak yang bertanggung-jawab. Itu cukup buat saya,” demikian katanya. Dua belas tahun setelah pembunuhan itu, melalui kerja komisi kebenaran, ia tahu siapa tepatnya yang melakukan pembunuhan itu. “Dari bulan Maret tahun lalu, ketika saya dengar [Craig] Williamson (seorang spion untuk pemerintah apartheid) terlibat, bagi saya sama sekali tidaklah memberikan perdamaian bahwa hal-hal yang sudah saya terima, bagaimanapun buruknya, tiba-tiba ada di depan saya lagi. Sekarang masalahnya menjadi personal. Sangat bisa jadi saya akan menembaknya.”xxiv Di sebelah selatan Johannesburg, di kota kulit hitam Sebokeng, saya bertemu seorang ibu dan anak yang selamat dari pembantaian 38 orang di rumahnya pada pertengahan dekade 1980-an, sebuah kekejaman yang dikenal sebagai ‘pembantaian tuguran’. Saya mengunjungi mereka di rumah mereka pada tahun 1996, dua minggu setelah mereka mendatangi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk memberikan kesaksian dalam acara dengar-kesaksian publik. Sebuah poster Tracy Chapman tergantung di dinding ruang tamu, di sebelah televisi, di seberang lubang peluru yang tertinggal dari serangan sembilan tahun sebelumnya. Penerjemah saya dan saya masuk ke ruang tamu yang sempit dengan sang ibu, Margaret Nangalembe. Anaknya sedang tidak ada di rumah. Penerjemah saya dan saya hanya tahu bahwa mereka baru saja memberikan kesaksian, dan kami ingin tahu pandangan ibu itu. Ia hanya membicarakan komisi kebenaran itu secara garis besar dan sopan, hingga saya bertanya apakah ia menganggap komisi kebenaran itu suatu hal yang baik. “Saya tidak bisa mengatakan apakah komisi kebenaran itu baik atau buruk, tapi bagi saya sendiri, ia menjadikan kondisi makin buruk. Kehidupan saya memburuk sejak dengar-kesaksian publik itu,” menurutnya. Ia menjelaskan sejumlah gejala PTSD. “Komisi itu menjadikan saya terpikir mengenai hal-hal itu lagi. Pada hari kami mendatangi komisi, saya mulai mengingat lagi apa yang terjadi, dan sekarang semua itu teringat-ingat, hari pembantaian itu dan apa yang terjadi.”xxv
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Pada waktu dengar-kesaksian publik itu, sang ibu mengalami emosi yang berlebihan sehingga ia terpaksa dibawa keluar dari ruangan; anaknya, Albert “Mandla” Mbalekelwa Nangalembe, menyelesaikan presentasi tersebut. Staf komisi kebenaran berusaha menenangkan mereka, namun mereka pulang dalam keadaan terganggu emosinya. Gejala fisiknya mulai timbul keesokan harinya, dan ketika ia melihat film mengenai pembantaian tersebut pada laporan televisi hari Minggu, ia menjadi semakin buruk. “Saya merasa pening. Kepala saya selalu terasa pusing. Saya tidak bisa berjalan agak jauh tanpa kelelahan: kaki saya terasa aneh. Saya tidak bisa tidur malam hari.” Setelah pembantaian, menurutnya, “butuh waktu lama untuk kembali normal. Saya selalu merasa bingung; sepertinya semua menjadi gelap. Anak saya membawa saya ke dokter spesialis di kota dan saya diberi pil dan disuntik, dan saya menjadi lebih baik. Saya sudah pergi ke klinik setempat untuk minta pengobatan lagi. Saya diberi beberapa tablet, namun tampaknya tidak berguna.” Saya bertanya apakah ia menyesal karena sudah pergi ke komisi kebenaran. “Saya benar-benar ingin menceritakan kisah saya ke komisi,” menurutnya. “Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya menyesal. Toh saya pasti akan menyaksikannya di TV, karena yang lain pasti akan memberikan kesaksian.” Namun masih belum jelas, apa yang akan ia dan anaknya dapatkan dari komisi kebenaran dalam bentuk konkret. Mereka ingin bantuan dalam memperbaiki benda-benda yang rusak pada waktu serangan: atap masih bocor dari lubang peluru, dan pintu depan tidak bisa dikunci dengan baik karena dibuka paksa, namun komisi belum menjanjikan apa pun, tidak juga penyelidikan. Putranya “Mandla” pulang dan bergabung dalam pembicaraan. Ia masih muda, cerdas, pandai berbicara dan mengesankan, mungkin usianya sekitar 30-an. Ia menggambarkan banyak gejala serupa ibunya: ia tidak bisa tidur, bermimpi buruk, ia sulit makan. “Ada banyak gangguan, yang amat serius,” ia berkata. Ia menelpon komisi kebenaran seminggu setelah dengar-kesaksian publik untuk menanyakan apakah sudah ada kemajuan penyelidikan. Komisi belum menjawab. “Komisi kebenaran itu memulai suatu hal yang menurut saya tidak dapat mereka selesaikan,” ia katakan. “Banyak penyelidikan diperlukan. Bagaimana menyembuhkan orang, saya tidak tahu, tapi ada yang perlu dilakukan.” Ia juga mencemaskan pembalasan dari para pelaku karena bersaksi ke komisi: “Kami berada dalam kondisi yang amat berbahaya. Ada bahaya kami diserang karena berbicara. Mereka bisa mengatakan ‘kita habisi saja mereka’.”xxvi Ia membantu membentuk sebuah kelompok lokal dukungan korban setelah pembantaian, dikenal sebagai Korban Kekerasan Vaal. Kini kelompok itu terfokus pada komisi kebenaran, dan hampir semua tidak senang dengan lambatnya komisi itu bekerja. “Kami tidak akan menentang komisi kebenaran, namun kami masih belum jelas; kami tidak tahu apa yang sedang terjadi,” demikian kata Mandla. Namun kelompok itu membantu mempersatukan mereka. “Kami bertemu setiap bulan untuk melihat apa yang dilakukan oleh komisi kebenaran dan apakah ada ancaman terhadap siapa pun.” Meskipun ia menderita akibat bersaksi, ia menolak mengkritik komisi kebenaran. “Kami menganggap komisi tersebut cukup berharga. Kami tidak mengatakan komisi itu tidak berguna; saya tidak ingin negatif. Saya berpandangan positif. Dunia harus mengetahui kebenaran tentang hal ini.” Ketika ia mengantar kami ke mobil, ia berterima kasih atas kunjungan kami. “Mungkin saya akan bisa tidur malam ini, karena saya sudah membicarakan hal ini.”
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Kemudian, pada sebuah kunjungan ke Soweto, saya mendengar sebuah cerita yang jauh lebih buruk. Pemandu dan penerjemah saya di Soweto bekerja paruh waktu sebagai pencatat kesaksian untuk komisi kebenaran, dan menceritakan seorang korban yang disiksa secara kejam sewaktu ditahan beberapa tahun sebelumnya. Ia sangat terpengaruh oleh siksaan itu, dan kehidupan sehari-harinya amat terganggu, namun ia tetap melapor ke komisi kebenaran, dan memberikan gambaran penyiksaannya secara mendetail. Sebagai akibat memberikan kesaksian, ia mengalami gangguan kejiwaan yang parah dan terpaksa dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Ia berada di rumah sakit jiwa itu selama tiga bulan sebelum ia sembuh dari ingatannya dan bisa keluar.xxvii Pusat Trauma untuk Korban Kekerasan dan Penyiksaan di Capetown memperkirakan, dari ratusan korban yang bekerja bersama mereka, bahwa 50 sampai 60 persen dari mereka yang memberi kesaksian mengalami masalah setelah itu, atau menyesal karena telah ikut serta (meskipun tahu bahwa mereka tidak sedang mengadakan studi ilmiah atau survei mengenai hal itu).xxviii Spesialis utama untuk kesehatan mental di komisi kebenaran Afrika Selatan, Thulani Grenville-Grey, mengakui adanya bahaya di bidang yang dijalani komisi kebenaran itu, namun membelanya, mengatakan bahwa lebih baik sakit daripada diam saja. “Lebih baik menantang kesedihanmu. Bukanlah hal buruk untuk mengulang trauma itu: kamu harus menjadi lebih buruk sebelum bisa sembuh. Memang hal itu mengerikan, namun memberikan perubahan yang real.”xxix
Pemandu, Perujukan dan Bentuk-Bentuk Dukungan Lainnya Potensi trauma ulangan bukanlah kejutan bagi para pendamping korban kekerasan politik. Enam bulan sebelum komisi kebenaran Afrika Selatan mulai bekerja, misalnya, seorang psikolog Afrika Selatan mengingatkan potensi bahaya: “Sangat penting untuk diperhatikan agar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak menggali ingatan yang menyakitkan atau membangkitkan kenangan buruk tanpa memberikan jaminan bahwa tersedia dukungan yang tepat bagi mereka. Sangat mungkin komisi kebenaran akan menimbulkan rasa pedih, marah dan dendam jika orang yang berkontak dengannya tidak mendapatkan pendampingan dan dukungan yang memadai.”xxx Komisi kebenaran Afrika Selatan memberikan perhatian serius terhadap kecemasan tersebut, dan memberikan dukungan psikologis lebih jauh daripada komisi kebenaran lainnya dalam struktur operasionalnya. Komisi tersebut mempekerjakan empat spesialis kesehatan jiwa, yang berperan untuk “menjamin bahwa komisi memiliki sensitivitas psikologis terhadap trauma,” menurut Thulani Grenville-Grey, ketua spesialis kesehatan jiwa. Ia mengorganisir kerjanya dengan mengakui bahwa “pendekatan yang sensitif terhadap psikologi atau pendekatan yang suportif dalam pencatatan kesaksian, serupa dengan seorang dokter yang baik; ada perbedaan yang amat besar bila dilakukan dengan baik, namun bukanlah syarat mutlak.”xxxi Pelatihan untuk para pencatat kesaksian, yaitu staf komisi yang paling sering berhubungan dengan para korban, bisa menjadi sangat penting karena dampak membicarakan trauma bisa dipengaruhi oleh reaksi si pendengar. Meskipun anggota komisi dan stafnya berkeinginan baik, banyak dari mereka belum memiliki pengetahuan untuk menyikapi kasus-kasus ekstrem luka emosional dan psikologis.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Dengan memperhatikan risiko ini, komisi Afrika Selatan memberikan pelatihan dasar bagi para pencatat kesaksian untuk merespon tanda-tanda trauma. Komisi itu juga mempekerjakan “pemandu”, yang bertugas untuk memberikan dukungan konstan bagi mereka yang memberikan kesaksian di muka umum. Pemandu akan memberikan prosedur dengar-kesaksian dan menjawab pertanyaan pada pagi harinya, duduk di sebelah saksi pada waktu mereka berbicara, dan memberikan dukungan setelahnya. Beberapa komisi kebenaran lain menerapkan struktur dukungan serupa dalam kerjanya, meskipun dalam tingkat yang lebih terbatas. Di Cili dan Argentina, psikolog dan pekerja sosial dilibatkan dalam staf komisi dan menghadiri beberapa wawancara dengan korban, misalnya. Namun tentu saja komisi kebenaran memiliki beban kerja yang amat berat, sehingga hanya dapat memberikan bantuan yang amat terbatas. Selain di Afrika Selatan, Cili dan Argentina, komisi lain kurang memperhatikan kemungkinan dampak trauma ulangan yang ditimbulkan dari kerja mereka. Komisi di Haiti dan El Salvador tidak memberikan pendidikan psikologis bagi stafnya, seperti bagaimana mengorek kesaksian dengan cara yang sensitif, dan tidak ada anggota staf yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan para korban. Tidak ada komisi di luar Afrika Selatan yang berusaha menciptakan sistem perujukan atau follow-up bagi korban yang mengalami trauma. Tentu saja, pendampingan psikologi formal bukan model yang paling tepat di negara-negara yang kemungkinan memiliki komisi kebenaran. Di sebagian besar negara tersebut, tidak terlalu banyak psikolog, sangat sedikit orang yang memiliki kebiasaan untuk meminta pendampingan formal, dan sedikit sumber daya yang tersedia untuk “kemewahan” tersebut. Ini terjadi bahkan di Afrika Selatan yang relatif maju. Di seluruh Provinsi Belahan Utara Afrika Selatan, suatu daerah yang terutama terdiri dari pedesaan dengan penduduk lebih dari 5 juta orang, hanya ada tiga praktisi kesehatan jiwa, dan tidak ada psikolog klinis di departemen kesehatan setempat. xxxii Di negara tetangganya, Mozambik, hanya ada 19 orang psikolog dan 1 psikiater di seluruh negeri, dan hanya sedikit dari mereka yang berpraktik.xxxiii Di Sierra Leone, hanya ada seorang psikolog. Yang mungkin lebih penting daripada kurangnya personel atau sumber daya, adalah pandangan bahwa psikologi Barat mungkin tidak tepat bagi kebudayaan tertentu. Dampak kebudayaan terhadap bagaimana seseorang merespon dan sembuh dari trauma berat belum dipahami dengan baik. “Dalam kasus PTSD, keragaman yang disebabkan budaya baru mulai diselidiki,” menurut dua psikiater, Cécile Rousseau dan Aline Drapeau, dari Montreal. Sebagai titik awal, mereka mencatat bahwa “kebudayaan memberikan cara untuk berduka cita. Dalam kasus trauma, kebudayaan, yang jelas terlibat dalam proses penyembuhan, bisa sama pentingnya dalam menentukan bagaimana dan seberapa mendalam trauma dirasakan kembali.”xxxiv Jadi, dengan batasan sumber daya dan keragaman karena budaya, sumber dukungan ideal bagi korban di banyak masyarakat adalah organisasi komunitas, dukun, gereja atau keluarga besar atau teman-teman. Namun setelah bertahun-tahun diam dan takut, banyak orang yang merupakan bagian dari struktur pendukung itu ragu-ragu untuk membicarakan kekerasan politik secara terbuka, sehingga biasanya enggan untuk mengambil peran pendamping itu. Terlebih lagi, jelas bahwa beberapa jenis kekerasan, terutama pemerkosaan, tidak akan mudah dibicarakan dengan pimpinan komunitas atau bahkan dalam keluarga. Untuk alasan-alasan tersebut, orang bisa tetap diam mengenai peristiwa-peristiwa traumatik di masa lalu, bahkan di rumah sendiri, dan bahkan setelah mereka memberikan pernyataan kepada komisi.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Penyembuhan bisa dipengaruhi oleh ganti rugi yang diberikan, dan banyak komisi mengambil peran penting dalam menyarankan program ganti rugi. Alih-alih kompensasi moneter dari negara, menurut psikiater Harvard, Judith Herman, korban menginginkan restitusi dari para pelaku. Para korban menginginkan “perasaan bahwa para penjahat itu dipaksa memberikan sesuatu sebagai ganti, atau mencoba memperbaiki kesalahan. Orang-orang sangat menginginkan agar mereka yang bertanggung-jawab harus menghadapi dampak tindakan mereka, dan melakukan tindakan konkret. Perasaan keadilan inilah yang dicari, dan berbeda dari hukuman.”xxxv Dalam ketiadaan struktur formal untuk membantu korban trauma, lahirlah kelompok pendamping korban dari inisiatif mereka sendiri. Di Argentina dan Cili, kelompok yang mewakili keluarga orang hilang diorganisir bahkan dalam masa kediktatoran, pertama berfokus agar mereka yang hilang dikembalikan hidup-hidup. Di Argentina, Ibu-Ibu Plaza de Mayo menjadi terkenal karena demonstrasi mingguannya di depan istana negara, yang masih berlanjut hingga kini, meskipun kelompok ini sudah pecah karena perbedaan politik. Dua dekade setelah mulainya penghilangan di Argentina, kelompok Anak-Anak Orang Hilang dibentuk, terdiri dari para pemuda yang kehilangan orang tua mereka. Di Afrika Selatan, organisasi yang terbentuk jauh melebihi di tempat lain. Kelompok yang terbesar, Khulumani, yang berarti “berbicaralah” dalam bahasa Zulu, pada awalnya dibentuk untuk mewakili suara korban dalam lobby di sekitar pembentukan komisi kebenaran, namun segera menawarkan dukungan bagi para korban melalui kelompok pendampingan. Banyak kelompok Khulumani lokal dibentuk berkaitan dengan kecemasan terhadap komisi kebenaran – akses terhadap informasi, perkembangan kebijakan ganti rugi, kebijakan amnesti dan lain-lain. Khulumani juga memberikan perhatian besar dalam pendidikan komunitas mengenai komisi kebenaran. Mereka memproduksi sebuah drama yang menggambarkan ketegangan, frustrasi dan keuntungan dari komisi kebenaran, yang melakukan tur di kota-kota kaum kulit hitam. Dalam proses kerjanya, Khulumani mengembangkan akar lokal yang kuat; hingga akhir tahun 1997, organisasi itu sudah memiliki 5 ribu anggota di seluruh negeri, yang mayoritasnya berkulit hitam dan merupakan komunitas yang paling menjadi korban. Selain mengikuti aktivitas komisi dan perkembangan kasus-kasusnya, banyak kelompok Khulumani lokal mengadakan pertemuan untuk saling memberi dukungan, kadang-kadang mengadakan upacara untuk mengenang mereka yang terbunuh. Struktur dukungan sendiri ini sangat berguna bagi banyak korban, yang menekankan pentingnya pertemuan-pertemuan ini dalam penyembuhan dari sakitnya. Banyak yang melihat bahwa “penderitaan saya tidak separah mereka”, ketika mereka datang ke pertemuan dan melihat ada orang lain yang lebih menderita dari mereka. Para pendiri Khulumani mengakui bahwa kelompok mereka tidak akan terbentuk tanpa komisi kebenaran, meskipun kini berdiri sendiri. Mereka yang bekerja-sama dengan para korban melihat dampak positif Khulumani dan organisasi serupa, dan melihat kemungkinan trauma ulangan yang jauh lebih kecil bagi para anggotanya. Banyak yang menganggap bahwa dukungan Khulumani jauh lebih memberikan penyembuhan daripada komisi itu sendiri.xxxvi Pendeta S.K. Mbande, di Daveyton, memberitahu saya bahwa kelompok pendamping merupakan “salah satu buah dari komisi. Orang-orang datang bersama dan menyembuhkan diri sendiri – sesuatu yang tidak terjadi sebelumnya, ketika ketakutan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
melanda semua orang. Sejak adanya komisi kebenaran, ada kebebasan, dan ini membuat mereka berkumpul.”xxxvii
Trauma Psikologis Mempengaruhi Informasi yang Terkumpul Komisi-komisi harus siap untuk mendapatkan kesalahan-kesalahan yang timbul dari pengumpulan informasi dari saksi-saksi yang mengalami trauma. “Orang-orang yang mengalami kekejaman sering kali bercerita dengan cara yang sangat emosional, bertentangan, dan terputus-putus, sehingga mengurangi kredibilitas mereka,” tulis Judith Herman.xxxviii Tepatnya kapan terjadinya suatu peristiwa? Apa yang terjadi paling awal? Siapa saja yang hadir? Apa tepatnya yang Anda lihat? Detail-detail demikian yang mengabur setelah lama akan semakin membingungkan karena adanya trauma psikologis. Menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mendetail, jawaban-jawaban bisa tidak jelas atau bertentangan. Seorang anggota staf komisi kebenaran di Haiti menggambarkan bagaimana kesaksian dari beberapa korban hanyalah satu kalimat: “Ibu saya dibunuh”. Itu saja yang bisa dikatakan saksi. Pewawancara tidak tahu mengapa, namun saksi itu tidak tahu atau tidak bisa berbicara lebih lanjut. Banyak kesaksian lain dimulai dengan aneh, tanpa keteraturan: “Mereka mulai dari bagian terakhir, atau mulai cerita dengan kisah pencurian kambing mereka, yang tampaknya tidak berkaitan. Ini sering terjadi, dan sangatlah membingungkan untuk memahami apa cerita sebenarnya”.xxxix Memang, buku panduan referensi psikiatri Amerika Serikat menjelaskan salah satu gejala umum PTSD adalah “ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma”. Buku itu melanjutkan, “Orang sering kali melakukan usaha yang disengaja untuk menghindari pemikiran, perasaan atau perbincangan mengenai peristiwa yang traumatik … ini akan menimbulkan amnesia mengenai aspek yang penting” dari peristiwa yang bersangkutan.xl Pilihan operasional yang dibuat oleh komisi bisa membantu menentukan dampak psikologisnya. Beberapa dari pilihan tersebut cukup konkret, seperti pemilihan ruang kantor. Di Chad, komisi mengalami kesulitan tempat, sehingga berkantor di bekas kantor badan intelijen – yang dipakai sebagai tempat penyiksaan oleh pemerintah sebelumnya. Jelas bahwa para korban enggan untuk datang ke kantor itu untuk memberikan kesaksian. Seperti ditulis dalam laporan komisi, “Perlu diakui bahwa lokasi kantor pusat Komisi sedemikian hingga tidak mendorong para korban untuk datang dan bersaksi … [d]ibutuhkan sejumlah besar bujukan untuk meyakinkan dan menghilangkan kecemasan orang-orang tersebut”.xli Di El Salvador, komisi berkantor di jantung ibu kota, tempat lingkungan yang paling kaya. Sebagian terbesar dari mereka yang memberikan kesaksian merasa tidak nyaman di sana. Dalam konflik politis dan perang di negara tersebut, wilayah tersebut merupakan tempat tinggal kaum kanan, termasuk pendukung paramiliter dan tentara. Banyak korban yang datang, namun dengan keragu-raguan. Seorang pastor yang mengantarkan orang-orang ke komisi itu dari luar kota menceritakan kejadian di dalam mobil ketika mereka mendekati kantor komisi. “Ketiga (atau keempat) orang di dalam mobil itu ketakutan kalau-kalau mereka terlihat datang ke komisi dan akan dibalas. Mereka sangat ketakutan. Bahkan ketika kami meninggalkan kantor komisi, mereka semua terus
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
menganggap ‘Mereka melihat kami, mereka memfoto kami, mereka memperhatikan’. Ketakutan terhadap lingkungan itu sangat intens.”xlii
“Spons Trauma”: Traumatisasi Sekunder pada Staf Komisi dan Jurnali Ahli kesehatan mental Afrika Selatan, Thulani Grenville-Grey, menggambarkan staf komisi sebagai “spons” yang menyerap penderitaan, rasa sakit dan trauma dari cerita yang mereka dengarkan. “Mereka mengalami gejala-gejala pasca-trauma yang biasa, sehingga kami mendorong mereka untuk membicarakan apa yang mereka dengar setiap minggu.”xliii Akibat trauma ini sangat terasa oleh komisi, yang berbentuk rasa mudah tersinggung, agresi, kesulitan tidur, mimpi buruk, paranoia, pusing, penyakit lambung, penyalahgunaan obat-obatan dan masalah fisik maupun tindakan lainnya. Para anggota komisi sering kali terbangun pada jam 2 atau 3 pagi, membayangkan gambaran dalam dengar-kesaksian kemarinnya, dan anggota komisi dari komisi-komisi kebenaran lainnya mengalami hal serupa. Beberapa komisi kebenaran mengakui pentingnya menyikapi secara formal beban psikologis pada anggotanya sendiri. Komisi di Afrika Selatan dan Cili, sebagai contoh, memiliki sesi-sesi debriefing untuk stafnya. Biasanya, seorang pencatat kesaksian di komisi kebenaran mencatat lima sampai sepuluh pernyataan tiap hari, namun bisa jauh lebih tinggi. Di Guatemala, seorang staf mendapatkan 27 kesaksian dalam sehari, bekerja 14 jam sehari, tujuh hari seminggu tiap minggu – meskipun mereka menolak mengakuinya, karena mereka dikontrak PBB dan hal itu melanggar aturan PBB. Setelah kantor lapangan di Guatemala ditutup, dan komisi melihat dampak yang terjadi pada stafnya, mereka mengorganisir sesi debriefing dengan ahli jiwa, namun mungkin sudah terlambat. Tindakan paling positif yang dilakukan adalah tindakan direktur kantor lapangan Guatemala yang memaksa stafnya untuk beristirahat dari ritme kesaksian yang brutal tersebut. Namun biasanya, staf komisi kebenaran tidak mendapatkan cukup banyak alat untuk memproses rasa sakit dan penderitaan yang mereka dengarkan sehari-hari. Seorang staf komisi di El Salvador, pengacara Amerika Serikat, Lauren Gilbert, menggambarkan pengalaman yang ia ingat: Saya ingat satu kali (hanya satu kali) saya benar-benar merasa muak dalam sebuah wawancara sehingga harus pergi ke toilet. Itu tentang seorang perempuan muda, rekan seorang anggota FMLN [oposisi bersenjata di El Salvador], yang diculik dan disiksa Policía de Hacienda. Ia disiksa secara mengerikan selama hampir tiga minggu (ia dipukuli; kain penutup matanya diolesi asam, sehingga kalau ia menangis matanya terbakar; pergelangan tangan dan giginya dipatahkan; ia diperkosa hingga hamil). Ia tidak bisa melakukan aborsi karena “melanggar hukum”, dan membenci bayinya dan menjadi amat gemuk. Ibunya, yang memberikan kesaksian, juga kehilangan seorang anak lain, laki-laki, yang ditembak mati. Ibu ini, seperti banyak lainnya, menceritakan semua ini nyaris tanpa emosi; sangat dingin. Saya pikir bahwa pada satu titik saya “tersambung” dengan ibu ini dan meratapi identitasnya yang hilang, penghancuran identitasnya oleh polisi. Saya pikir itu merupakan kali pertama saya benar-benar memahami arti penyiksaan. Saya ingin agar kasus ini dimasukkan ke dalam laporan kami. Saya berusaha menemukan perempuan itu, namun kami tidak dapat menemukan rumahnya. Saya pergi ke penjara tempat penahanannya, namun tidak banyak catatan yang ada, sehingga tidak ada cara memastikan xliv kebenaran kesaksian itu. Pada akhirnya kasusnya tidak dimasukkan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Meskipun mendengarkan cerita-cerita tersebut menyakitkan, para staf pada akhirnya sering kali mengalami hal yang positif. Di El Salvador, misalnya, Gilbert mengingat, “Mengenai sikap kami, atau saya, terhadap semua kesaksian itu, saya merasa bahwa dalam setiap wawancara yang saya rekam, dengan menulis ceritanya, mengetik ulang di komputer, dan membacakannya kembali kepada mereka untuk diedit dan ditandatangani, saya merasa melakukan suatu katarsis bagi kami berdua. Perasaan berhasil merekam apa yang sudah terjadi amatlah kuat.”xlv Sejumlah komisi menemukan bahwa staf yang paling terganggu oleh kisah-kisah penyiksaan dan pelanggaran bukanlah mereka yang berinteraksi langsung dengan para korban, malah petugas data entry yang melakukan koding dan memasukkan informasi ke dalam database. Ini mungkin karena para pencatat kesaksian bisa melihat tanda-tanda kebertahanan para korban tersebut, dan memasukkannya ke dalam konteks. Selain tidak mengalami kontak langsung dengan para korban, para koder dan staf data entry juga memproses jumlah kesaksian yang jauh lebih besar dan bekerja dengan data yang mengerikan. Di Afrika Selatan, misalnya, kode mengenai kekerasan, sejumlah tiga setengah halaman, satu spasi, menggambarkan ratusan jenis kekerasan, penyiksaan dan pelanggaran. Daftar ini diawali dengan penculikan paksa, amputasi, pemukulan kepala ke tembok, berlanjut ke pencabutan gigi, pencabutan kuku jari, penyeretan di belakang kendaraan, penguburan hidup-hidup, pembakaran dengan bahan kimia – dan semua itu baru dari halaman pertama. Sekitar 150 bentuk lainnya menyusul di halaman kedua: deprivasi tidur, perendaman kepala dalam air, penyebaran penyakit secara sengaja, pemaksaan untuk melihat penyiksaan orang lain, mutilasi genital, pemerkosaan secara massal, penggantungan beban di alat kelamin, pemenggalan, pembakaran anggota tubuh dan penyobekan perut. Para koder dan pemroses data menghabiskan hari-hari kerja membaca pernyataan, memberikan kode dan memasukkannya ke komputer, dalam tekanan waktu. Bila terjadi dengar-kesaksian publik dan liputan media secara intensif terhadap kerja komisi, jurnalis yang mengikuti komisi kebenaran bisa juga menunjukkan tanda-tanda traumatisasi sekunder. Ini terutama terjadi di Afrika Selatan, di mana ada puluhan jurnalis cetak, radio dan TV yang mengikuti kerja komisi secara penuh waktu. Setelah satu tahun komisi bekerja, jurnalis Antjie Krog, yang memimpin tim lima orang untuk radio, menulis dampak berat yang timbul terhadapnya dan rekan kerjanya dari meliput kerja komisi. Ketika komisi mulai bekerja, demikian ia menulis, seorang spesialis kesehatan jiwa dari komisi mengingatkan para jurnalis tersebut untuk memperhatikan gejala-gejala stres. “Kalian akan mengalami gejala yang sama dengan para korban,” demikian mereka diberitahu. “Kalian akan merasa tak berdaya, tanpa harapan, tak bisa berkata-kata.” “Saya amat terkejut karena dalam sepuluh hari saja saya sudah mengalami semua itu,” tulis Krog; ia melanjutkan, Melaporkan kerja komisi kebenaran menjadikan hampir semua dari kami lelah secara fisik dan kacau secara mental … Minggu demi minggu, dari satu bangunan ke bangunan lain, dari satu kota penuh debu ke kota lain, kami terus dibayang-bayangi. Kami tidak bisa lepas darinya. Selamanya. … Kami mengembangkan cara-cara untuk mengurangi dampaknya. Kami tidak lagi masuk ke aula tempat dilakukannya kesaksian. Kami melihat dari
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
monitor yang disediakan. Bila ada yang mulai menangis, kami mulai menulis/mencoret-coret/melihat ke arah lain. … Rambut saya mulai rontok, gigi saya mulai goyang. Saya mengalami gatal-gatal … saya tidak bisa membicarakan hal lain. Namun saya sama sekali tidak membicarakan hal itu.xlvi
Kesimpulan Dari bukti yang tersedia, jelas bahwa beberapa korban, mereka yang selamat, dan para saksi, merasa jauh lebih baik setelah memberikan kesaksian, gembira karena mendapat kesempatan untuk berbicara, dan merasa diakui dan didukung oleh kerja komisi. Beberapa orang merasakan kelepasan dan kelegaan, terutama bila berbicara di muka umum, suatu proses yang dianggap oleh anggota komisi dan pengamat lain sebagai peristiwa yang menyentuh dan memulih-sembuhkan (cathartic). Namun mereka kemudian bisa juga merasa lebih buruk, terutama bila mereka berharap bahwa kasus mereka akan diselidiki namun pada akhirnya tidak mendengar apa pun dari komisi di kemudian hari. Beberapa yang merasa lebih baik, dan beberapa yang merasa lebih buruk, tidak diketahui, karena tidak ada yang meneliti dampak jangka pendek dan panjang pada korban yang mengikuti proses komisi kebenaran. Selain dampak langsung pada mereka yang memberikan kesaksian, kekuatan peristiwa pengakuan terhadap kebenaran yang selama ini dibantah juga perlu diperhatikan. Di Guatemala, upacara pengumuman laporan komisi ke masyarakat, yang dihadiri oleh lebih dari dua ribu orang, merupakan peristiwa yang amat emosional, dengan hampir semua pengunjung menangis setelah mendengarkan kebenaran akhirnya diumumkan secara resmi. Bahkan para aktivis hak asasi manusia yang sudah “keras” pun menganggap peristiwa itu sebagai katarsis. Hasil kerja komisi juga bisa memiliki dampak sekunder yang positif bagi para korban. Dengan membuka peristiwa sejarah dan trauma yang ditimbulkannya, komisi membantu mengidentifikasi kebutuhan psikologis mendasar para korban. Sebagai contoh, seorang pendamping korban trauma di Cape Town memberitahu saya bahwa kerja komisi kebenaran sama sekali mengubah pemahaman publik mengenai kebutuhan mereka yang menjadi korban. “Kini, bila saya mengatakan ‘pelayanan untuk korban’, mereka memahaminya. Sebelum ada komisi kebenaran, hanya ada keheranan. Komisi menciptakan iklim yang memungkinkan penyembuhan. Ada pesan yang kuat bahwa ‘kita boleh mulai menyelesaikan masalah ini’.”xlvii Sementara itu, ada hal-hal yang bisa dilakukan komisi untuk meningkatkan kemungkinan timbulnya dampak positif bagi korban secara perorangan. Sebagai contoh, sebuah komisi seharusnya mempekerjakan seorang spesialis kesehatan mental dan memberikan pelatihan kepada para pencatat kesaksian mengenai bagaimana menyikapi tanda-tanda stres pada korban; merujukkan mereka ke layanan psikologis dan struktur dukungan dan memberikan sesi pelatihan atau informasional bersama pemimpin masyarakat, agama, pemimpin tradisional atau lainnya untuk menjelaskan kemungkinan terjadinya PTSD dan kebutuhan dukungan terhadap korban; menunjuk seseorang untuk menjawab pertanyaan korban individual maupun organisasi; dan mendorong pengembangan kelompok-kelompok non-pemerintah. Bila mungkin, komisi harus
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
memfasilitasi penggalian kembali kuburan mereka yang dibunuh dalam kekerasan politik, bekerja-sama dengan kelompok korban dan memperhatikan keinginan mereka yang ditinggalkan; dalam banyak budaya, kemungkinan memberikan penguburan yang layak bagi mereka yang dicintai merupakan hal yang amat penting dalam penyembuhan luka batin. Akhirnya, komisi harus berusaha untuk mendorong proses penyembuhan jangka panjang, mungkin melalui saran yang memiliki sasaran tertentu, dan mengakui bahwa kontribusinya hanyalah langkah pertama dalam proses panjang penyembuhan nasional dan individual. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix xxx xxxi xxxii xxxiii xxxiv xxxv xxxvi xxxvii xxxviii xxxix xl xli xlii xliii xliv xlv
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
xlvi xlvii
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 10 Memandang ke Masa Depan: Rekonsiliasi dan Reformasi
Mungkin tujuan terpenting dari semua komisi kebenaran adalah untuk mencegah terjadinya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut di masa depan. Sebuah komisi bisa mencapai tujuan ini dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan dendam. Secara lebih konkret, hampir semua komisi kebenaran memberikan saran untuk diadakannya reformasi militer, kepolisian, sistem peradilan dan politik untuk mencegah pelanggaran dan memperkuat mekanisme respon terhadap pelanggaran, bila tetap terjadi. Kedua tujuan tersebut – memajukan rekonsiliasi dan mendorong reformasi institusional – merupakan tantangan yang berat bagi komisi-komisi kebenaran selama ini. Dan, meskipun telah ada beberapa kontribusi penting yang diberikan, banyak komisi masih belum berhasil mencapai tujuan yang semula diharapkan. Ini menjadi sumber kekecewaan bagi banyak orang yang memiliki harapan besar pada kekuatan transformasional yang dimiliki komisi kebenaran, namun bila diteliti lebih dalam, hal ini tidak mengherankan. Kedua tujuan ini tergantung pada sejumlah aktor atau elemen luar – sebagai contoh, kemauan politik, inisiatif kepresidenan atau parlementer, dan kesiapan pada tingkat masyarakat dan perorangan untuk berubah. Sehingga, usaha sekeras apa pun oleh sebuah komisi yang menjelaskan kebenaran, bila tidak didukung pihak-pihak lainnya, tidak akan berhasil mencapai semua perubahan tersebut. Rekonsiliasi sering kali dicantumkan sebagai sasaran dalam proses perdamaian nasional, namun sering kali tidak jelas apa yang diartikan dengan istilah tersebut. Oxford English Dictionary mendefinisikan “reconcile” sebagai “to bring (a person) again into friendly relations … after an estrangement … To bring back into concord, to reunite (persons or things) in harmony [Berbaik kembali dengan seseorang … setelah masa-masa keterasingan … Mengakurkan kembali, menyatukan kembali (orang atau barang) ke kondisi harmonis]. i Dalam konteks konflik atau kekerasan politik, rekonsiliasi dijabarkan sebagai “mengembangkan saling penerimaan yang bersifat damai antara orang-orang atau kelompok yang bermusuhan atau dahulunya bermusuhan”.ii Sering kali terdapat anggapan bahwa mengetahui kebenaran tentang masa lalu merupakan syarat mutlak untuk terjadinya rekonsiliasi. Di tempat-tempat seperti Afrika Selatan, ini merupakan prinsip dasar dalam seruan pembentukan komisi kebenaran, dan perhatian internasional terhadap komisi itu menimbulkan anggapan bahwa semua komisi kebenaran terutama dibentuk untuk mendorong rekonsiliasi. Pada kenyataannya, tingkat pemberian tekanan pada rekonsiliasi sebagai tujuan pencarian kebenaran bervariasi secara besar di antara komisi-komisi kebenaran. Tidak semua komisi kebenaran memiliki tujuan ini, namun komisikomisi yang juga berusaha untuk mendorong rekonsiliasi – seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi di Cile – menemukan bahwa tujuan ini sukar dicapai.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Harus ada perbedaan yang jelas antara rekonsiliasi individual dan rekonsiliasi nasional atau politik. Kekuatan proses komisi kebenaran adalah untuk mendorong rekonsiliasi pada tingkat nasional atau politik. Dengan berbicara secara terbuka mengenai peristiwa-peristiwa di masa lalu yang dipertentangkan, dan dengan mengizinkan sebuah komisi independen untuk menyelesaikan kasus-kasus yang menonjol, sebuah komisi bisa meredakan ketegangan yang mungkin tampak dalam parlemen nasional atau badan-badan politik lainnya. Sebuah pertanggungjawaban resmi dan kesimpulan tentang fakta-fakta bisa memungkinkan pihak-pihak yang bertentangan untuk berdebat dan memerintah secara bersama-sama tanpa konflik laten dan kepahitan tentang kebohongan di masa lalu. Ini tidak berarti bahwa ingatan atau pengetahuan tentang masa lalu tidak akan berpengaruh pada politik masa kini, namun jika fakta-fakta mendasar tetap menjadi sumber konflik atau kepahitan, hubungan politik bisa menjadi tegang. Dalam transisi dari perang saudara yang dinegosiasikan, ketegangan yang laten menjadi perhatian tersendiri, karena pihak-pihak yang bermusuhan langsung datang dari medan pertempuran ke meja perundingan. Pada tingkat individual, rekonsiliasi jauh lebih kompleks, dan jauh lebih sukar untuk dicapai melalui komisi nasional. Memang ada contoh-contoh di mana proses komisi kebenaran menimbulkan penyembuhan dan pemberian maaf bagi beberapa orang, namun mengetahui kebenaran secara global atau bahkan mengetahui kebenaran spesifik tentang kasus seseorang belum tentu menimbulkan rekonsiliasi si korban itu dengan pelaku pelanggarannya. Pemberian maaf, penyembuhan dan rekonsiliasi adalah proses yang amat personal, dan kebutuhan serta reaksi tiap-tiap orang pada pendamaian dan kebenaran bisa berbeda-beda. Sejak sebelum pembentukannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan dipresentasikan sebagai cara untuk melakukan rekonsiliasi bagi sebuah negara yang terpecahbelah dan menyembuhkan luka-luka jiwanya. Pesan dari komisi itu jelas dan kokoh, mendorong masyarakat untuk berharap bahwa rekonsiliasi bisa dan akan tercapai setelah komisi itu bekerja selama dua setengah tahun. Pada sesi-sesi dengar-kesaksian publiknya, sebuah spanduk besar dipasang di belakang para komisioner yang berbunyi, “Kebenaran: Jalan Menuju Rekonsiliasi”. Poster-poster yang mempromosikan komisi itu menyatakan, “Mari saling berbicara. Dengan menceritakan kebenaran. Dengan menceritakan kisah kita, sehingga kita bisa berjalan bersama mencapai rekonsiliasi”. Dalam beberapa sesi kesaksian yang pertama, Uskup Agung Desmond Tutu kadang-kadang menanyakan kepada para korban apakah mereka siap memaafkan dan berdamai setelah menceritakan pengalaman mereka (paling tidak ada satu saksi yang dengan sopan menjawab tidak pada pertanyaan itu – dan menyatakan pula bahwa komisi tidak bisa dan seharusnya tidak memintanya untuk melakukan hal itu, atau juga memberikan maaf atas namanya). Bahkan Komite Amnesti dalam komisi itu, yang bertanggung-jawab pada nasib mereka yang mengaku bersalah, terpengaruh oleh pengutamaan rekonsiliasi ini: seorang anggota Komite Amnesti memberi tahu saya bahwa mereka mendasarkan keputusannya sebagian pada “apa yang bisa mendorong rekonsiliasi”, karena mereka menganggap bahwa tujuan tersebut merupakan sasaran mendasar kerja komisi itu.iii Dengan demikian, keberhasilan komisi sebagian diperhitungkan dari apakah dan seberapa besar “rekonsiliasi” ditimbulkan oleh hasil kerjanya. Menjelang selesainya laporan pada pertengahan tahun 1998, pers dan publik mulai sadar bahwa tidak ada rekonsiliasi besar-besaran yang terjadi. Banyak orang bahkan menganggap bahwa negara menjadi semakin buruk, hubungan antara kelompok-kelompok yang diharapkan untuk membaik malah menjadi semakin buruk. Market Research Africa melakukan survei nasional yang hasilnya menunjukkan bahwa dua per tiga anggota masyarakat menganggap bahwa keterbukaan fakta-fakta tersebut menjadikan warga Afrika Selatan marah dan merusakkan hubungan antar-ras. “Di antara mereka yang ditanyai, 24 %
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
menganggap bahwa orang-orang merasa marah dan pahit, 23 % menyatakan bahwa komisi kebenaran akan menyebabkan rasa sakit. Hanya 17 % yang menganggap bahwa masyarakat akan saling memaafkan”, demikian laporan tersebut.iv Hasil survei tersebut dikutip dalam artikel-artikel di seluruh dunia, dengan inferensi bahwa komisi kebenaran Afrika Selatan pada akhirnya tidaklah terlalu berhasil.v Pada saat itu, komisi sudah lama menyadari bahwa sasaran awalnya untuk mencapai rekonsiliasi sepenuhnya tidak realistis. Uskup Agung Tutu mulai mengajukan sasaran baru yang lebih mungkin dapat dicapai: agar komisi “mendorong” rekonsiliasi, bukan mencapainya, sebagaimana tersurat dalam nama Undnag-Undang tentang Pendorongan Persatuan dan Rekonsiliasi Nasional yang membentuk komisi tersebut. Namun, meskipun secara umum terdapat kekecewaan, tetap tidak terjadi refleksi serius oleh pers atau masyarakat tentang apa yang dimaksudkan dengan rekonsiliasi, atau apa yang diperlukan untuk mencapainya dalam sebuah masyarakat seperti Afrika Selatan, di mana komunitas-komunitas dipisahkan tidak hanya oleh ras dan jarak fisik, namun juga oleh kondisi dan kesempatan ekonomi. Komisi kebenaran tidak mengabaikan kekecewaan dan rasa frustrasi tersebut dalam laporannya. Sebagai contoh, ia mengutip secara panjang lebar sebuah laporan peneliti luar tentang komunitas Duduza, sebuah kota kaum kulit hitam yang berpenduduk sekitar 100 ribu orang, yang mungkin mewakili perasaan warga kota-kota lainnya: Publikasi tentang pembentukan dan kinerja komisi, dan juga kerjanya di Duduza, paling tidak memaksa warga untuk memikirkan kembali bagaimana mereka mengartikan rekonsiliasi dan pemberian maaf. Bagi beberapa orang, ini dipandang secara ilmiah – dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang ada dan menyusun pemikiran tentang apa yang harus diubah, yaitu bagaimana rupa komunitas yang sudah mengalami rekonsiliasi. Bagi yang lainnya, ini menjadi refleksi personal, yang melibatkan rasa kebencian, kesalahan dan takut. Berpikir tentang rekonsiliasi berarti berpikir tentang proses mengatasi hambatan psikologis yang selama ini menghantui mereka, hingga bertahun-tahun. … Sementara beberapa korban masih menganggap bahwa ide rekonsiliasi, terutama pemberian maaf, sebagai pemikiran yang memuakkan, bagi sebagian besar warga, Komisi memberikan kontribusi terhadap komitmen yang lebih besar untuk mencapai rekonsiliasi. Ia telah menyediakan tempat untuk mencapai rekonsiliasi. … Ia dianggap sebagai forum yang menyediakan platform untuk mengisahkan pengalaman, mengungkapkan kebenaran, meminta pertanggungjawaban pelaku, ganti rugi, penyesalan dan pemberian maaf. Ini merupakan tahap-tahap dalam proses yang dipahami dan diterima sebagai sesuatu yang sah. … Rekonsiliasi tidak terjadi begitu saja. Seseorang tidak bisa dengan serta-merta memutuskan bahwa ia bersedia memberikan maaf dan melupakan apa yang sudah terjadi. Hampir semua korban di komunitas ini menjalankan proses rekonsiliasi. Belum tentu mereka menginginkan pembalasan, namun di pihak lain, belum tentu juga mereka mau melupakan masa lalu, seakan-akan tidak ada apa pun yang terjadi. Mereka menuntut untuk mengetahui kebenaran yang terjadi dan mendapat waktu untuk memikirkannya. Mereka sering kali tidak mau memberikan maaf, kecuali para pelaku menunjukkan penyesalan dan mereka mendapatkan ganti rugi. … Para korban belum siap untuk menjalankan proses rekonsiliasi, kecuali mereka mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi. Mereka sering kali menyatakan bahwa mereka bersedia memberikan maaf, namun mereka ingin tahu siapa yang perlu mereka maafkan dan untuk apa. Suatu keinginan untuk berdamai tergantung pada kemampuan tiap orang untuk menyikapi dan memproses pengetahuan tentang kebenaran ini. Bila masa lalu tetap disembunyikan, proses rekonsiliasi akan dibangun di atas dasar yang amat rentan. Komisi memberikan andil bagi sebagian pengungkapan kebenaran, namun banyak orang yang masih belum mendapatkan kebenaran tentang detail-detail vi kasus mereka.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Sebagaimana digambarkan oleh pengamat ini di Duduza, di mana terdapat pengungkapan informasi tentang kasus-kasus spesifik, dan di mana para pelaku menunjukkan penyesalan, terdapat contoh-contoh kuat pemberian maaf dan rekonsiliasi yang timbul langsung sebagai hasil kerja komisi kebenaran. Terdapat banyak peristiwa rekonsiliasi komunitas atau individual yang menonjol, terutama dalam kesaksian para pemohon amnesti yang dihadapkan dengan para korbannya. Seorang pengacara menggambarkan sesi kesaksian di Richards Bay, tempat anggota Partai Kemerdekaan Inkatha meminta amnesti untuk pembunuhan beberapa anggota Kongres Nasional Afrika. Para kerabat korban pada awalnya marah dan bersikap agresif terhadap para pemohon tersebut. Namun dinamika ini segera berubah sepanjang sesi dengar-kesaksian tersebut: Setiap hari ada ratusan orang yang menghadiri sesi tersebut, memenuhi aula yang digunakan. Perlahan-lahan, mereka mulai berempati bagi para pemohon, demikian pula para anggota komisi, yang menanyakan semakin sedikit pertanyaan, karena mereka sadar bahwa para pemohon tersebut menceritakan semua hal yang mereka ingat dan memiliki komitmen untuk menceritakan keseluruhan kebenaran. Sehari sebelum sesi diakhiri diadakan pertemuan informal antara komunitas dan para pemohon, yang di dalamnya ditanyakanlah banyak pertanyaan tentang insiden-insiden spesifik. Satu persatu kerabat yang ditinggalkan maju dan memaafkan para pemohon, dan berterima-kasih untuk mendapatkan seluruh kebenaran, mengetahui apa yang terjadi dan siapa yang terlibat serta memberikan perintah. Pada akhir pertemuan dibuat keputusan untuk memaafkan para pemohon dan memberi tahu komisi bahwa komunitas tersebut menganggap bahwa para pemohon telah mengungkapkan seluruh kebenaran, dengan keterbatasan ingatan manusia, bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan motif politik, dan bahwa mereka tidak akan menentang pemberian amnesti. Kami semua kemudian menyanyikan Nkosi Sikelele, dan kemudian Mkhize memimpin doa vii atas permintaan komunitas. Pada akhir pertemuan, warga memeluk para pemohon tersebut.
Sementara sebagian terbesar sesi kesaksian untuk mendapatkan amnesti tidak berakhir dengan cara demikian, terdapat beberapa contoh lain yang serupa rekonsiliasi individual atau komunitas yang merupakan hasil langsung dari proses pencarian kebenaran secara resmi. Rekonsiliasi juga terjadi di tingkat-tingkat lainnya, seperti di ruang rapat sebuah perusahaan besar yang sebelumnya tidak pernah membicarakan secara formal isu rasial. Sebuah perusahan gula yang besar yang berpartisipasi di dalam dengar-kesaksian sektoral komunitas usaha menggunakan peristiwa tersebut untuk melakukan tinjauan internal yang serius pada catatan sikap perusahaan tersebut. Sebuah kelompok eksekutif perusahaan sejumlah 20 orang yang terdiri dari gabungan berbagai ras bertemu delapan kali selama beberapa bulan untuk mempersiapkan pernyataan resmi untuk dipresentasikan pada komisi kebenaran. Namun, pada awalnya, seorang eksekutif senior berkulit putih yang terlibat dalam proses itu memberi tahu saya bahwa pertama-tama mereka harus mencapai kesepakatan dalam bidang istilah. “Pertemuan pertama sangat tegang: kami menghabiskan waktu satu setengah jam hanya untuk menentukan bagaimana kami saling memanggil: kami merasa bahwa sebaiknya kami tidak menggunakan istilah ‘kulit hitam’, sebagaimana anggapan kaum berkulit putih, namun menggunakan istilah ‘Afrika’. Kami ingin memanggil keturunan India ‘Asiatik’, namun mereka mengatakan, ‘Jangan, panggil kami keturunan India.’ Jadi, kami memahami bahwa ‘kulit hitam’ mencakup Afrika, India dan kulit berwarna. Kami belum pernah membicarakan hal ini sebelumnya, juga tentang masa lalu. … Ini berkaitan dengan nilai-nilai, apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Pada akhirnya, kami berhasil menyusun pernyataan bersama untuk dipresentasikan kepada komisi.” Pada kunjungan saya ke Cili di tahun 1996, lima tahun setelah Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi menyelesaikan kerjanya, saya menemukan bahwa banyak warga Cili menekankan bahwa rekonsiliasi nasional telah berhasil dicapai. Direktur badan yang melanjutkan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
kerja komisi kebenaran, Alejandro Gonzalez, mendefinisikan rekonsiliasi sebagai “penghargaan pada aturan-aturan demokrasi. Terdapat dialog yang beradab antara pemerintah dan oposisi, dan tidak ada yang ingin mengambil alih kekuasaan secara tidak demokratis”.viii Orang-orang lain memberikan gambaran yang serupa. Namun, sementara menekankan bahwa rekonsiliasi nasional telah terjadi, banyak warga Cili menggambarkan hubungan personal mereka yang masih tegang akibat hal-hal yang terjadi di masa lalu. Mantan korban dan pendukung rezim Augusto Pinochet bekerja dan hidup bertetangga, namun dengan kesepakatan tersirat untuk tidak membicarakan masa lalu atau perbedaan pandangan mereka yang signifikan. Jika muncul isu-isu tentang masa lalu, yang timbul adalah perasaan tidak nyaman. Ketika Pinochet ditangkap di London pada akhir tahun 1998, jurang yang ada dalam masyarakat tersebut semakin tampak jelas. Sementara negeri tersebut menyikapi ketegangan yang terjadi, semakin jelas bahwa tidak tercapai konsensus mengenai fakta-fakta mendasar tentang apa yang telah terjadi di masa lalu.ix Tingginya dukungan bagi mantan rezim Pinochet, dan tingkat justifikasi yang digunakan untuk mendukung posisi ini, sangat bertentangan dengan pandangan Afrika Selatan pasca-apartheid tentang masa lalunya (meskipun saya tidak mencoba menyamakan bentuk dan akibat penindasan di kedua negara tersebut). Rekonsiliasi dalam bentuk ini – pemahaman bersama tentang sejarah sebuah negara dan kesalahan-kesalahan yang terjadi – benar-benar tercapai di Afrika Selatan dan tidak menjadi perdebatan lagi. Sangat bertentangan dengan dukungan sebagian warga Cili kepada Pinochet, sangat sedikit orang di Afrika Selatan yang akan mengaku bahwa mereka mendukung apartheid – bahkan meskipun sebagian terbesar warga kulit putih mempertahankan pemerintahan tersebut selama empat dekade. Dalam bantahan ini, kita dapat melihat tingkat keberhasilan rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan, yang sebagian besar merupakan hasil dari kerja komisi kebenaran. Saat ini, hampir tidak ada satu orang pun yang akan menunjukkan keuntungan apartheid, sebagaimana juga tidak seorang pun akan membantah bahwa pernah terjadi penyiksaan dalam skala besar di kantor polisi dan penjara di Afrika Selatan. Bertentangan dengan Afrika Selatan dan Cili, sebagaimana dicatat di depan, beberapa komisi kebenaran sama sekali tidak berusaha untuk mencapai rekonsiliasi sebagai tujuan kerja mereka. Sebagai contoh, rekonsiliasi tidak dijadikan tujuan komisi di Argentina, dan pemikiran untuk mengadakan rekonsiliasi – dalam kondisi yang ada – mendapatkan tentangan. Sebagaimana respon jurnalis Horacio Verbitsky ketika saya menyebutkan kata itu, “Rekonsiliasi bagaimana? Setelah anak Anda diculik, disiksa, dihilangkan, dan pelakunya membantah pernah melakukannya – apakah Anda ingin ‘berdamai’ dengan pelaku hal itu? Kata ‘rekonsiliasi’ tidak memiliki arti di sini. Diskursus politik tentang rekonsiliasi tidak memiliki nilai moral, karena membantah realitas yang terjadi. Tidak layak mengharapkan rekonsiliasi setelah apa yang telah terjadi.”x Patricia Valdez, mantan direktur komisi kebenaran El Salvador dan ketua lembaga Poder Ciudadano, organisasi Argentina untuk mendorong inisiatif demokratik, menyatakan demikian, “Tidak ada orang yang membicarakan rekonsiliasi di Argentina, tidak seorang pun menyebutkan kata itu. Bukan berarti mereka menentang hal itu, namun kata itu tidak ada artinya di sini. Belum ada orang yang secara serius mengajukan pertanyaan tersebut”.xi Juan Méndez, mantan penasihat hukum Human Rights Watch dan mantan direktur Institut Hak Asasi Manusia Inter-Amerika menyatakan bahwa rekonsiliasi di Argentina “diartikan oleh mereka yang ingin agar tidak ada hal-hal yang dilakukan untuk menyikapi masa lalu. Rekonsiliasi dipahami oleh para korban sebagai, ‘Kita diminta untuk berdamai dengan para penyiksa, dan mereka tidak perlu melakukan apa-apa’.” NGO-NGO disudutkan, sementara militer diizinkan untuk memberikan definisi pada istilah itu, kata Méndez.xii
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Sangat sedikit tokoh masyarakat yang membicarakan rekonsiliasi di Argentina. Salah satunya adalah Presiden Carlos Menem, yang menggunakannya sebagai alasan untuk memberikan pengampunan di tahun 1990 kepada para pemimpin militer yang pada waktu itu sedang dipenjarakan atas kejahatan mereka di bawah rezim militer. Justifikasi rekonsiliasi ini adalah klaim politis yang tidak mendapatkan dukungan rakyat, yang terlihat dari demonstrasi spontan puluhan ribu orang yang turun ke jalan untuk menentang pengampunan ini. “Tentu saja, rekonsiliasi adalah tujuan yang mulia, namun tidak bisa dipaksakan melalui keputusan presiden begitu saja,” tulis Human Rights Watch merespon pengampunan tersebut. “Akan lebih mudah menerima alasan rekonsiliasi, bila ada tanda-tanda serius bahwa militer benar-benar menyesali perannya dalam ‘perang kotor’, dan bersedia mencapai rekonsiliasi dengan para korban mereka. Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya: militer melihat pengampunan tersebut sebagai satu langkah ke arah pengakuan terhadap ‘kemenangan mereka dalam menghancurkan subversi’. Pada hari pembebasannya, Videla [mantan presiden pertama rezim militer] mengirimkan surat terbuka ke pimpinan tertinggi militer yang menyatakan bahwa angkatan darat telah dituduh melakukan kejahatan yang tidak ia lakukan dan layak mendapatkan permintaan maaf dari masyarakat”.xiii Demikian pula, komisi-komisi yang mengurus orang-orang yang diculik dan dihilangkan di Sri Lanka tidak menyarankan bahwa rekonsiliasi atau pemaafan akan timbul sebagai akibat kerja mereka; mereka memandang tugas mereka adalah mencatat siapa yang dihilangkan dan menyarankan keluarga mana saja yang perlu mendapat ganti rugi.xiv Menyarankan rekonsiliasi individual tidak layak, menurut pandangan penganjur hak asasi manusia, karena tidak seorang pelaku pun yang menyatakan penyesalannya atau mengaku bertanggung-jawab. Alih-alih menyarankan pemaafan, komisi menyerukan pengadilan dan mengajukan nama para tertuduh kepada pengadilan untuk ditindaklanjuti.
Seperti Apa Rupa Rekonsiliasi? Rekonsiliasi memiliki implikasi membangun atau membangun kembali hubungan yang tidak lagi dihantui konflik dan kebencian masa lalu. Namun bagaimana mengukur kemajuan rekonsiliasi? Jika ada proses rekonsiliasi yang sedang berjalan, atau suatu masyarakat sudah mulai mencapai rekonsiliasi, apa tanda-tandanya? Singkatnya, bagaimana rupa rekonsiliasi? Untuk mengukur apakah rekonsiliasi sudah atau mulai berakar, saya menyarankan tiga pertanyaan.xv Bagaimana masa lalu disikapi di lingkup publik? Apakah ada rasa pahit tentang masa lalu dalam hubungan politik atau publik lainnya? Apakah konflik atau pelanggaran di masa lalu diproses atau diserap sedemikian rupa sehingga orang bisa membicarakannya – bila tidak mudah, paling tidak secara sopan – bahkan dengan mantan lawan? Bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang dahulunya bertikai? Terutama, apakah hubungan masih didasarkan pada masa lalu? Referensi terus-menerus pada masa lalu mungkin menandakan permusuhan. Terdapat banyak contoh ingatan yang pahit yang justru bisa mendorong kekerasan baru atau sengaja digunakan para pemimpin untuk menimbulkan ketegangan antar-komunitas. Hubungan yang baru terbentuk antara pihak-pihak yang semula bermusuhan bisa bergantung pada kepentingan atau tantangan baru yang berpengaruh pada semuanya. Pengikatpengikat ini bisa berupa proyek pembangunan atau rekonstruksi ekonomi, ikatan keluarga atau komunitas, bahkan perang dengan musuh lain. Perang Malvinas untuk sementara menyatukan warga Argentina untuk mendukung angkatan bersenjatanya, meskipun selama bertahun-tahun menjadi penindas. Di Amerika Serikat, Perang Dunia Pertama berperan penting
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dalam menggabungkan kembali secara psikologis Utara dan Selatan, setengah abad setelah berakhirnya Perang Saudara. Apakah ada banyak versi tentang masa lalu? Melakukan perdamaian atau rekonsiliasi tidak semata-mata mengembalikan hubungan baik, namun juga “mendamaikan” fakta-fakta atau kisah-kisah yang bertentangan, “membuat fakta-fakta atau pernyataan-pernyataan yang bertentangan menjadi konsisten, bersesuaian atau kompatibel satu sama lain”.xvi Sebagaimana dijelaskan beberapa penulis Afrika Selatan, rekonsiliasi adalah “menghadapi kebenaran yang menyakitkan untuk mengharmoniskan pandangan-pandangan yang tidak berimbang sehingga konflik-konflik dan perbedaan yang masih akan terjadi paling tidak berada dalam satu lingkup pemahaman”.xvii Para penulis tersebut melanjutkan, “Rekonsiliasi, dalam artiannya secara luas, adalah ‘tutup buku’ tentang masa lalu. Satu elemen penting dalam proses ini adalah penghentian siklus menuduh-membantah-balas menuduh yang memecah-belah. Rekonsiliasi terjadi bukan dengan melupakannya, namun dengan menyelesaikannya melalui proses evaluasi – sebagaimana akuntan menyelesaikan proses pembukuan”.xviii Di negara-negara di mana konflik atau kekerasan yang terpendam berulang kali pecah selama bertahun-tahun, akar masalahnya sering kali adalah perbedaan mendasar persepsi tentang masa lalu; misalnya konflik Palestina-Israel dan kebencian antara Serbia dan tetanggatetangganya. Di Amerika Latin, perbedaan mendasar persepsi tentang penyebab atau justifikasi perang saudara atau kudeta militer kadang-kadang mencegah terjadinya rekonsiliasi yang konkret. Di El Salvador, para perwira senior militer terus membantah fakta-fakta tentang kejadian yang sudah jelas, misalnya bersikukuh bahwa pembantaian di El Mozote – yang dibuktikan dengan penggalian kembali kuburan para korban – sama sekali bukanlah pembantaian, namun pertempuran biasa antara gerilyawan dan militer.xix Bila masih terdapat versi-versi masa lalu yang berbeda secara mendasar, atau bantahan tentang peristiwa-peristiwa penting demikian, rekonsiliasi hanya akan terjadi di permukaan. Tidak ada satu versi kebenaran yang mutlak: tiap orang memiliki ingatannya sendiri, yang kadang kala bertentangan; namun mengungkapkan kebohongan dan bantahan bisa memungkinkan sebuah negara untuk mencapai satu versi sejarah yang akurat pada umumnya. Ada beberapa fakta yang sedemikian mendasar sehingga harus diterima secara luas sebelum terjadi rekonsiliasi secara konkret.
Faktor-Faktor Apa Sajakah yang Mendorong Rekonsiliasi? Jika pertanyaan-pertanyaan di atas membantu mengidentifikasi apakah rekonsiliasi terjadi, lalu apa faktor atau elemen spesifik yang bisa memberikan sumbangannya pada perkembangannya? Pertanyaan ini sebaiknya dipertimbangkan dari sudut pandang para korban, karena para pelaku cenderung menganggap bahwa rekonsiliasi telah tercapai, sementara tidak demikian dengan para korban. Saya menyarankan lima elemen berikut ini sebagai elemen pendukung, bahkan kadang-kadang mutlak perlu, untuk membuat rekonsiliasi berakar. Sementara komisi kebenaran atau mekanisme lainnya untuk menyelesaikan kesalahan di masa lalu memiliki peran penting, mekanisme-mekanisme tersebut bukan penentu satu-satunya atau yang terpenting dalam memfasilitasi rekonsiliasi. Hanya beberapa dari elemen berikut yang secara langsung dipengaruhi oleh kerja komisi kebenaran. Penghentian kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal ini tampaknya jelas perlu, namun kadang kala terabaikan. Sebuah transisi ke perdamaian atau demokrasi memiliki arti bahwa perang
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
atau konflik terbuka sudah berakhir, namun tidak berarti bahwa semua kekerasan politik atau ancaman kekerasan sudah berakhir; sering kali tidak demikian keadaannya. Apakah dalam bentuk kelompok paramiliter yang tidak terkendali yang terus ada di Haiti setelah kembalinya pemerintahan demokratis; ancaman atau pertikaian di perbatasan, antara pemerintah Rwanda dan kelompok Hutu bersenjata yang berpangkalan di Kongo; atau pasukan militer/paramiliter yang terus mengancam aktivis-aktivis di beberapa bagian Amerika Latin, ancaman kekerasan politik atau intimidasi sering kali berlanjut lama setelah gencatan senjata formal atau penandatanganan perjanjian damai. Bila ancaman demikian berlanjut, rekonsiliasi bisa tidak berakar. Pengakuan dan pemberian pemulihan (ganti rugi). Pengakuan resmi terhadap fakta-fakta masa lalu, baik oleh para pelaku itu sendiri atau wakil dari badan-badan yang bersangkutan (seperti pernyataan presiden untuk menyambut laporan komisi kebenaran), bisa memiliki peran krusial dalam proses penyembuhan masyarakat. Pengakuan demikian berfungsi untuk mengakui pemahaman bersama tentang sejarah dan menghentikan bantahan dari pihak-pihak tertentu. Para korban sering kali menyatakan bahwa mereka tidak bisa memaafkan para pelaku, dan tidak ingin atau tidak mampu melakukan rekonsiliasi, sampai orang-orang yang menyebabkan penderitaan mereka mengaku, dan idealnya, meminta maaf dan memberikan ganti rugi secara simbolis. Agar bisa efektif, pengakuan tersebut harus lebih dari sekadar pernyataan yang bisa ditafsirkan luas, seperti sekedar pernyataan bahwa “kami melakukan kesalahan”. Pengikat masyarakat. Dalam banyak kondisi, sebaiknya didorong proyek yang menyatukan kelompok-kelompok yang tadinya bertikai untuk mendapatkan keuntungan bersama, seperti program pembangunan atau rekonstruksi. Tingkat kontak yang terjadi antara pihak-pihak tersebut akan menentukan apakah terjadi rekonsiliasi. Di beberapa negara, terutama di Amerika Latin, sering kali tidak ada kaitan yang sudah terbentuk antara pihak-pihak yang bermusuhan, terutama bila konflik terjadi antara kelompok politik atau kelas. Banyak konflik di Afrika terjadi antara kelompok etnik atau regional yang tidak memiliki ikatan yang kuat untuk menyatukan masyarakat tersebut. Untuk mendorong rekonsiliasi, perlu dijawab pertanyaan tentang bagaimana membangun atau membangun kembali ikatan tersebut. Menyelesaikan ketidaksetaraan struktural dan kebutuhan material. Di mana terjadi ketidaksetaraan yang parah akibat penindasan di masa lalu, rekonsiliasi tidak bisa dijadikan sekadar proses psikologis atau emosional. Di Afrika Selatan, banyak yang menekankan pentingnya memecahkan masalah ketidaksetaraan ekonomi yang dialami kaum kulit hitam, bila ingin mencapai persatuan nasional. Ilmuwan Uganda Mahmood Mamdani, yang berada di Universitas Capetown pada tahun 1997, mengatakan bahwa komisi kebenaran Afrika Selatan seharusnya tidak berfokus pada korban dan pelaku, namun pada korban dan pihak-pihak yang diuntungkan oleh apartheid. Dalam pandangan Mamdani, “Bila fokus diberikan pada para pelaku, para korban dianggap sebagai hanya minoritas aktivis politik, bila ingin terdapat pengakuan bahwa sebagian terbesar rakyat adalah korban, fokus harus dialihkan dari para pelaku ke pihak-pihak yang diuntungkan. Perbedaannya di sini: fokus pada para pelaku mendorong tuntutan keadilan berupa pengadilan terhadap kejahatan mereka, fokus pada mereka yang diuntungkan mendorong keadilan sebagai keadilan sosial”.xx Komisi kebenaran di Afrika Selatan mengakui pentingnya menyelesaikan masalah ekonomi untuk mencapai rekonsiliasi, meskipun menyatakan bahwa tugas itu berada di luar mandatnya. Dalam bab tentang rekonsiliasi di dalam laporan komisi, dinyatakan demikian, “Rekonsiliasi membutuhkan komitmen, terutama dari mereka yang pernah diuntungkan dan terus diuntungkan oleh diskriminasi di masa lalu, untuk menyikapi ketidaksetaraan yang tidak adil dan kemiskinan yang merendahkan martabat kemanusiaan”.xxi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Waktu. Rekonsiliasi jarang terjadi dengan segera. Beberapa negara tidak bisa secara serius menghadapi masa lalu hingga puluhan tahun. Di beberapa negara, usaha-usaha seperti komisi kebenaran, pemberian ganti rugi dan pengadilan memulai proses penyembuhan, namun ingatan dan rasa sakit yang dialami tetap bertahan dan menjadi perhatian selama bertahun-tahun. Pada akhirnya, rekonsiliasi di tingkat masyarakat akan bergantung pada faktor-faktor dan dinamikadinamika yang tidak selalu bisa diramalkan atau dikendalikan.
Memberikan Saran untuk Perubahan dan Tindak Lanjut Lainnya Sukar bagi sebuah komisi kebenaran untuk memajukan rekonsiliasi karena perkembangannya sangat tergantung pada kepentingan, keinginan dan partisipasi masyarakat luas, kadang-kadang bahkan melibatkan para pelaku itu sendiri. Demikian pula, sukar untuk mendorong reformasi kebijakan atau institusional yang serius karena hal demikian tergantung pada keinginan pimpinan politik, bahkan kepala angkatan bersenjata. Meskipun terdapat kesulitan untuk melakukan hal-hal tersebut, komisi kebenaran sudah memberikan kontribusi penting dalam bidang ini. Sebagai contoh, bila seseorang ditangkap di El Salvador sebelum pertengahan dekade 1990-an, pengakuan yang ia berikan bisa dipakai untuk melawannya di pengadilan – termasuk pengakuan yang didapatkan dengan penyiksaan. Para penganjur hak asasi manusia telah berulang kali menekankan bahwa penggunaan “pengakuan ekstra-yudisial” demikian menimbulkan masalah, karena bisa mendorong interogasi yang abusif dan karena tidak ada cara untuk menarik kembali pengakuan tersebut. Namun, di El Salvador, penggunaan pengakuan tersebut bukan hal yang aneh. Terlebih lagi, seorang hakim atau pengacara di El Salvador sangat tergantung pada “kebaikan hati” Mahkamah Agung, terutama ketuanya, untuk mendapatkan dan mempertahankan hak untuk berpraktik hukum. Mahkamah Agung yang terkenal dengan bias politiknya yang ke kanan, secara aktif menghalangi penyelidikan terhadap pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Ketua Mahkamah Agung, Mauricio Gutiérrez Castro, sangat dikenal untuk posisinya yang berpihak ke pemerintah dan tekanan yudisialnya. Mahkamah Agung mengendalikan praktis seluruh sistem peradilan, dan hampir tidak ada hakim atau pengacara yang bisa atau mau menentang posisi mahkamah tersebut. Pada tahun 1997, pengakuan ekstra-yudisial dibatalkan keabsahannya melalui amandemen konstitusional. Menyiksa tersangka kejahatan untuk memaksanya mengaku dan menggunakan pengakuan tersebut untuk melawan mereka di pengadilan tidak diizinkan lagi. Selain itu, struktur penunjukan dan pengawasan hakim juga diubah: terdapat Dewan Peradilan yang independen untuk mengawasi dan mencopot hakim, dan berada dalam sistem pemilihan hakim yang luas dan demokratis. Sejumlah perbaikan lain dalam sistem peradilan juga dilakukan, seperti pengurangan masa penahanan dan adanya kemungkinan ganti rugi untuk korban kesalahan yudisial. Pada akhir tahun 1996, disahkan Hukum Acara Pidana yang baru untuk melindungi hak-hak prosedural para korban dan saksi.xxii Perbaikan-perbaikan tersebut adalah hasil langsung dari saran-saran yang diberikan oleh komisi kebenaran El Salvador, meskipun perbaikan tersebut tidak terjadi dengan mudah. Menurut mandatnya, saran yang diberikan komisi kebenaran bersifat mengikat, namun parlemen El Salvador ragu-ragu untuk menerapkan banyak saran perbaikan, dan diperlukan tiga tahun perdebatan internal, kebuntuan, tekanan internasional dan akhirnya mediasi oleh wakil senior PBB yang dikirim dari New York untuk kesepakatan kompromi yang menyetujui banyak saran
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
reformasi yudisial tersebut.xxiii Para anggota parlemen konservatif menentang beberapa dari saran tersebut, seperti penolakan terhadap pengakuan ekstra-yudisial, karena mereka menganggap bahwa penggunaan hal itu adalah alat penting untuk melawan peningkatan kejahatan. Kesepakatan akhir memungkinkan pengakuan demikian di pengadilan hanya bila diambil dengan kehadiran seorang pengacara. Pada tahun-tahun setelah laporan komisi kebenaran diterbitkan, PBB memberikan perhatian mendalam pada saran-saran yang diberikan komisi, dan memberikan tekanan untuk penerapannya. Misi PBB di El Salvador mengadakan pertemuan bulanan dengan wakil kedua pihak dalam perjanjian damai (pemerintah dan mantan gerilyawan) untuk meninjau saran manakah yang sudah diterapkan dan mendorong penerapan saran-saran lainnya. Kantor sekretaris jenderal PBB di New York menganalisis saran-saran tersebut dengan teliti, dan menerbitkan laporan mendetail tentang institusi mana yang bertanggung-jawab untuk saran tertentu, dengan laporan lanjut secara periodik untuk mencatat saran mana sajakah yang sudah diterapkan. Menurut Jeff Thale, peneliti El Salvador di Kantor Amerika Latin di Washington, Hukum Acara Pidana yang baru, yang mencakup banyak perubahan mendasar itu, “tidak akan disusun tanpa saran yang diberikan komisi kebenaran. Adalah seruan komisi kebenaran untuk reformasi yudisial tersebut yang memberikan mandat kepada PBB untuk mendorong hal tersebut.” xxiv Banyak saran untuk perbaikan serupa diberikan oleh NGO atau pemerintah luar negeri yang memiliki kepentingan dengan hak asasi manusia, namun laporan komisi kebenaranlah yang memfokuskan perhatian dan tekanan pada hal ini. Sayangnya, meskipun seharusnya bersifat mengikat, masih banyak saran yang ada dalam laporan yang belum diimplementasikan. Pakar dan pembela hak asasi manusia Amerika Serikat, Margaret Popkin, yang merupakan pengamat El Salvador menyatakan bahwa, “Jelas, lebih banyak diberikan tekanan untuk menerapkan perbaikan struktural dan institusional daripada penerapan sanksi administratif atau pencekalan orang-orang yang disebut namanya dalam laporan, atau tindakan yang ditujukan untuk mendorong rekonsiliasi nasional.”xxv Sementara beberapa laporan komisi kebenaran di masa lalu hanya memberikan saran yang amat singkat dan umum, laporan komisi kebenaran belakangan ini jauh lebih mendalam, dan mencakup sebuah bab yang mendetail tentang reformasi spesifik dalam berbagai sektor pemerintahan dan kemasyarakatan. Saran dalam laporan komisi El Salvador mencapai 15 halaman, Afrika Selatan 45 halaman, dan Cili lebih dari 55 halaman. Sebuah komisi bisa mengumpulkan masukan dari sejumlah besar pakar dalam mempersiapkan sarannya, atau bahkan mengadakan sesi dengar-kesaksian publik untuk diskusi dan masukan dari para peminat. Komisi Guatemala, misalnya, mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri pertemuan terbuka, yang didatangi lebih dari 400 orang – termasuk anggota parlemen dan pemimpin masyarakat sipil dari seluruh spektrum politik – dan bersama-sama mereka merancang sederetan rencana untuk saran kebijakan. Laporan komisi telah menyarankan perbaikan spesifik dalam sektor peradilan, militer dan politik: pengadilan para pelaku atau pencopotan dari jabatan mereka di militer atau kepolisian; ganti rugi untuk korban, penyelidikan lebih lanjut terhadap isu yang belum selesai dibahas komisi yang sudah ada; usaha penanaman budaya hak asasi manusia di masyarakat, termasuk pendidikan hak asasi manusia yang mendalam; dan komitmen nasional terhadap standar norma hak asasi manusia internasional melalui ratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional. Beberapa komisi memberikan saran yang sedemikian mendasar, yang menunjukkan betapa lemahnya dasar politik dan hak asasi manusia di negara yang bersangkutan. Misalnya, laporan komisi Uganda 1986, yang selesai pada tahun 1995, menyarankan agar konstitusi baru menjamin “sistem
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
pergantian presiden dan pemerintahan secara damai melalui pemilihan umum secara teratur”, agar “ada larangan bagi presiden untuk terus menjabat bila masa jabatan sudah berakhir”, dan sistem pengawasan dan perimbangan antara berbagai cabang pemerintahan.xxvi Namun hingga kini baru saran-saran yang diberikan komisi El Salvador yang memiliki kekuatan mengikat. Undang-undang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Sierra Leone, yang disahkan pada bulan Februari 2000, juga memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk menerapkan saran-saran yang diberikan komisi, dengan menyatakan, “Pemerintah harus dengan taat dan segera menerapkan saran-saran dalam laporan yang diarahkan pada badan-badan negara dan mendorong atau memfasilitasi penerapan saran-saran yang diarahkan pada kelompok lainnya”.xxvii Hampir semua komisi lain hanya bisa memberikan saran perubahan yang diperlukan, dengan harapan bahwa momentum transisi politik dan keinginan kepemimpinan baru yang demokratis akan mendorong presiden atau parlemen untuk menjalankan saran-saran perbaikan tersebut. Dengan demikian, banyak saran komisi kebenaran tidak bisa diterapkan sepenuhnya; dan di beberapa negara, misalnya Haiti, saran komisi tidak pernah menjadi pertimbangan serius oleh para pembuat kebijakan. Namun saran yang diberikan oleh komisi yang dibentuk negara biasanya lebih memiliki bobot politis daripada yang diberikan badan advokasi non-pemerintah, sehingga bisa membantu menekankan perbaikan-perbaikan yang paling diperlukan. Jika dilakukan dengan baik, saran yang diberikan komisi kebenaran bisa berperan sebagai peta bagi kelompok advokasi dan pemerintah asing atau badan pendana untuk mendorong perubahan. Beberapa komisi memberikan saran untuk dibentuknya badan lebih lanjut untuk mengawasi penerapan saran-saran mereka. Di Cili, disarankan pembentukan Badan Nasional Ganti Rugi dan Rekonsiliasi, yang disahkan melalui undang-undang sebagai “layanan masyarakat terdesentralisasi yang diawasi presiden. … Sasarannya adalah untuk koordinasi, pelaksanaan dan pendorongan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memenuhi saran yang dikandung dalam laporan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi”.xxviii Selain mendefinisikan mandat badan tersebut, undang-undang tersebut juga mendefinisikan ganti rugi finansial dan hak-hak lain yang diberikan kepada para korban dan keluarganya. Mandat yang diberikan selama dua (kemudian diperpanjang menjadi tiga) tahun tersebut mencakup pencarian jenazah orang yang dihilangkan, menyelesaikan kasus yang belum selesai dibahas komisi, mengorganisir arsip-arsip komisi dan menerapkan ganti rugi spesifik. Hingga kini, belum ada tinjauan yang mendalam tentang berapa banyak dari ratusan saran yang diberikan komisi kebenaran telah dijalankan. Banyak dari saran tersebut memerlukan tindakan legislatif, atau bahkan reformasi konstitusional, sementara lainnya hanya memerlukan inisiatif kepresidenan atau perubahan administratif. Bahkan setelah bertahun-tahun, beberapa dari saran tersebut masih ada dalam pertimbangan atau masih didorong oleh aktivis non-pemerintah. Namun jelas bahwa catatan penerapan saran komisi kebenaran adalah salah satu aspek terlemah dari komisi kebenaran hingga kini. Tanpa kekuasaan untuk memaksa, dan sering kali tanpa badan resmi untuk mengawasi dan mendorong penerapan saran-saran tersebut setelah komisi kebenaran menyerahkan laporannya dan ditutup, di banyak negara banyak saran-saran yang bagus yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ada cara-cara untuk memperbaiki catatan ini di masa depan. Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Sierra Leone, misalnya, selain mewajibkan pemerintah untuk menerapkan saran-saran dalam laporan akhirnya, juga menyerukan pembentukan komisi tindak lanjut untuk mengawasi penerapannya. Komisi Sierra Lenone ini juga mewajibkan pemerintah dan komisi tindak lanjut tersebut untuk menerbitkan laporan kemajuan yang sudah dicapai setiap tiga bulan. i
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 11 Reparasi atas Kejahatan Negara
Setelah suatu masa pelanggaran besar-besaran, para korban dan mereka yang selamat sering kali mengalami luka fisik dan psikologis. Mereka juga sering kali hidup dalam kondisi ekonomi yang amat sulit sebagai akibat hilangnya pencari nafkah dalam keluarga, kerusakan hak milik, atau ketidakmampuan untuk bekerja. Banyak korban membutuhkan bantuan medis mendasar sebagai akibat pelanggaran, seperti penyiksaan brutal yang menimbulkan cacat permanen, namun banyak yang tidak mampu untuk mendapatkan perawatan minimal sekalipun. Karena hampir semua pelanggaran ini dilakukan oleh kekuatan negara, dalam mayoritas kejadian, banyak korban akan mendapatkan reparasi atau pemulihan yang substansial dari negara jika mereka bisa membawa kasusnya ke pengadilan dan membuktikan klaim mereka. Namun sebagian besar korban tidak memiliki bukti kuat yang diperlukan maupun sumber daya hukum untuk memperkarakan kasus mereka. Dan di beberapa negara, amnesti luas tidak hanya menghalangi pengadilan kriminal namun juga klaim kerugian dari masyarakat. Jadi, salah satu tuntutan yang terjelas terhadap pemerintah setelah masa pelanggaran adalah mendapatkan pemulihan dari negara untuk membantu kebutuhan dasar para korban. Memang pemberian uang dalam jumlah berapa pun tidak akan mengganti kehilangan seorang anggota keluarga. Namun pemberian pemulihan, bahkan dalam jumlah tidak begitu besar, dapat sangat membantu mereka yang hidup dalam kemiskinan. Pemulihan seperti itu juga bisa bermakna psikologis yaitu untuk mengakui kesalahan dan memberikan permintaan maaf resmi secara simbolis. Hukum internasional secara jelas menunjukkan kewajiban negara untuk memberikan pemulihan terhadap pelanggaran yang dilakukan kekuatan negara. Sebagaimana dicantumkan dalam banyak dokumen hak asasi manusia mendasar, termasuk traktat hak asasi manusia regional dan internasional, dan diperkuat dalam keputusan pengadilan internasional, negara harus memberikan upaya pemulihan atau ganti rugi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia.i Ini bisa mengambil bentuk tidak hanya pembayaran uang kepada korban. Reparasi atau pemulihan bisa mengambil beberapa bentuk, termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, satisfaksi dan jaminan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Restitusi bertujuan untuk sejauh mungkin mengembalikan keadaan ke kondisi sebelum terjadinya kekerasan; kompensasi berkaitan dengan semua kerugian yang bisa dinilai secara ekonomi sebagai akibat kekerasan; rehabilitasi mencakup perhatian legal, medis, psikologis dan lain-lain; sementara satisfaksi dan jaminan ketidakterulangan berusaha untuk mengakui keberadaan pelanggaran dan mencegah terulangnya kembali di masa depan. Biasanya, gabungan dari jenis-jenis pemulihan tersebut bisa digunakan. Banyak pemerintah tidak mampu memberikan kompensasi finansial langsung kepada masing-masing korban dan mereka yang selamat secara proporsional dengan kerugian yang dialami, terutama bila anggota keluarga dibunuh atau dihilangkan. Di negara-negara yang amat miskin, atau bila ratusan ribu orang dibunuh atau dihilangkan, kompensasi moneter secara substansial bagi tiap individu tidaklah dimungkinkan, bahkan meskipun para korban layak mendapatkannya dan klaim di pengadilan secara legal masuk akal. Beberapa negara mempertimbangkan pajak untuk pemberian pemulihan, atau “pajak kekayaan”, menurut warga Afrika Selatan, namun sebagian besar kebijakan pemulihan hingga saat ini tidak menggunakan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
pajak khusus untuk menutupi biaya. Hal ini memang tampak ironis yakni bahwa pemerintahan demokratis yang baru harus membayar pemulihan untuk praktik pelanggaran pemerintah sebelumnya. Dan, beban finansial ditanggung oleh seluruh negara, sementara pelaku kejahatan secara individual tidak harus menanggung biaya tersebut, bahkan bila mereka memperkaya diri dalam masa kekuasaannya (kecuali sebagai jawaban terhadap tuntutan pengadilan terhadap pelaku individual, bila dimungkinkan karena tidak ada amnesti). Sebagaimana dinyatakan beberapa korban, penemuan kebenaran mengenai pelanggaran hak asasi, penawaran permintaan maaf, dan pengenangan terhadap korban atau bentuk pengakuan resmi lainnya merupakan salah satu aspek pemulihan, sehingga kerja komisi kebenaran bisa menjadi bagian penting dalam paket pemulihan lengkap. Lebih lanjut lagi, saran-saran komisi untuk mereformasi institusi negara, dan usahanya untuk menciptakan suasana penyembuhan bagi para korban yang memberikan kesaksian, juga merupakan elemen pemulihan yang penting. Namun banyak keperluan korban perlu dibantu dengan ganti rugi moneter, terutama bila diperlukan bantuan medis untuk penyembuhan. Staf komisi kebenaran biasanya mendapatkan banyak permintaan untuk kompensasi sewaktu mencatat kesaksian, dan sering kali dapat melihat kondisi para korban yang gawat. Bahkan, banyak korban dan mereka yang selamat mendatangi komisi dengan harapan bahwa komisi tersebut akan memberikan semacam kompensasi untuk penderitaan mereka. Terutama bagi mereka yang sangat miskin, kemungkinan untuk mendapatkan bantuan finansial tampaknya menjadi alasan utama mereka datang dan memberikan kesaksian. Wawancara dengan anggota staf komisi kebenaran dan dengan para korban yang memberikan kesaksian menunjukkan bahwa harapan tersebut sering kali sangat besar, bahkan meskipun komisi menjelaskan bahwa ia tidak berkuasa untuk memberikan pemulihan terhadap kerugian yang ditimbulkan negara. Setelah mendengar permohonan para korban dan melihat kondisi mereka yang amat memerlukan bantuan, hampir semua komisi kebenaran memberikan saran yang keras untuk menciptakan program pemulihan. Karena komisi kebenaran biasanya menyusun sebuah daftar korban, catatannya merupakan sumber utama untuk mengawali program pemulihan, dan dalam beberapa kasus, misalnya di Cili dan Argentina, program pemulihan yang signifikan secara langsung bergantung pada catatan komisi tersebut. Namun, sebuah komisi biasanya hanya mencatat sebagian kecil dari jumlah total korban, dan jarang sekali memiliki sumber daya untuk mengecek ulang masing-masing pernyataan kesaksian yang ia terima. Jadi, dalam hampir semua kasus, komisi kebenaran tidak berada dalam posisi yang baik untuk memberikan daftar akhir para calon penerima pemulihan, juga tidak bisa menggariskan spesifikasi program pemulihan. Ia lebih bisa memberikan saran-saran umum dan tinjauan luas mengenai kebutuhan korban, yang bisa berfungsi sebagai titik awal untuk pengembangan program pemulihan yang substansial. Pengalaman beberapa negara yang digambarkan di bawah ini menunjukkan luas dan ragam program pemulihan di seluruh dunia yang sebagian bergantung pada informasi yang didapatkan dari kerja komisi kebenaran.
Cili: Pemulihan Substansial untuk Jumlah Korban Terbatas Hingga tahun 1997, 4.886 warga Cili tiap bulan menerima cek dari pemerintah, dan sebagian besar akan terus menerima cek bulanan seumur hidup, sebagai bagian “program pensiun” pemerintah untuk anggota keluarga mereka yang dibunuh atau dihilangkan di masa kediktatoran militer. Ukuran cek tersebut bergantung pada berapa banyak anggota keluarga dekat yang masih hidup: ahli waris tunggal menerima sekitar US$ 345 per bulan; jika ada pasangan, orang tua, anak atau orang tua dari anak-anak korban, jumlah total yang diberikan bisa mencapai US$ 482 atau lebih. Selain itu, anggota keluarga mereka yang dibunuh atau
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dihilangkan menerima bantuan pendidikan dan kesehatan yang cukup besar dan tidak diwajibkan ikut serta dalam wajib militer. Anak-anak korban mendapatkan beasiswa penuh untuk universitas dan pendidikan profesional, hingga usia 35 tahun, dan tambahan bulanan untuk menutupi biaya hidup dan alat-alat sekolah. Jumlah keseluruhan biaya yang harus dibayarkan negara untuk program pemulihan ini, pada tahun-tahun ketika jumlah mereka yang berhak mendapatkannya paling besar, mendekati US$ 16 juta per tahunnya.ii (Lihat Tabel 6 untuk gambaran mendetail pemulihan ini.) Program pemulihan ini merupakan hasil langsung dari Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi di Cili, yang menyimpulkan laporannya dengan saran untuk pemberian pemulihan simbolis dan finansial. Sebuah badan yang dibentuk kemudian, Badan Nasional untuk Pemulihan dan Rekonsiliasi, dibentuk untuk meneliti kasus-kasus yang belum terselesaikan dan menerapkan saran komisi, termasuk pemulihan. iii Nama korban yang dimuat dalam laporan akhir komisi kebenaran diresmikan sebagai daftar sah penerima tunjangan, selain orang-orang lain yang ditentukan sebagai korban sebagai hasil penyidikan Badan Nasional. Nilai pemulihan tersebut sedikit lebih tinggi daripada upah minimum bulanan di Cili, dan beberapa warga jelas tergantung pada tunjangan tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang lebih mampu, cek tersebut tidak menjadi tambahan yang signifikan, namun masih tetap penting karena nilai simbolisnya. “Setiap kali cek tersebut datang merupakan pengakuan terhadap kejahatan itu,” menurut putri seorang korban. “Setelah bertahun-tahun dibantah, bulan demi bulan, ini merupakan pengakuan bahwa kamilah yang benar.”iv Seorang lain yang ditinggalkan, Carla Pellegrin Friedman, kehilangan saudaranya karena kekerasan yang dilakukan angkatan bersenjata Cili. Ia mengangkat senjata melawan rezim Augusto Pinochet, namun tak lama kemudian ia ditangkap, disiksa dan dibunuh. Bagi Carla, cek bulanan dari pemerintah merupakan “pengakuan kesalahan negara” karena membunuh saudaranya. Seperti orang-orang lain, ia berusaha menemukan siapa yang bertanggung-jawab atas pembunuhan itu melalui pengadilan, namun undang-undang amnesti diterapkan dan kasus tersebut ditutup sebelum ditentukan siapa yang bertanggung-jawab. “Keluarga kami hanya memiliki tiga hal,” ia memberitahu saya, yaitu “sebuah cek yang datang tiap bulan, nama saudara saya dalam laporan komisi kebenaran Rettig, dan namanya yang terpampang pada tembok kenangan di pemakaman nasional.”v Program pemulihan di Cili terbatas, karena mereka yang selamat dari siksaan atau penahanan ilegal tidak termasuk di dalamnya. Program ini dibatasi oleh batasan definisional yang sama dengan yang membatasi kerja komisi kebenaran; komisi kebenaran tidak bisa meneliti kasus penyiksaan individual atau memasukkan nama korban penyiksaan, sehingga program pemulihan juga nyaris tidak membantu mereka. Hanya keluarga mereka yang dibunuh dan dihilangkan mendapatkan pensiun, bantuan pendidikan dan medis serta bebas wajib militer. Bantuan yang diberikan kepada korban penyiksaan hanyalah akses bebas untuk program medis yang mencakup bantuan sosial, konseling psikologis dan bantuan psikologis, dan bantuan ini tidak banyak diketahui, kurang banyak digunakan para korban penyiksaan dan kualitasnya diperdebatkan.vi Mereka yang menjabat dalam Badan Nasional yang menjalankan program pemulihan dapat melihat ketidakadilan terhadap korban penyiksaan. Pimpinan Badan Nasional, Andrés Domínguez Vial, memberitahu saya bahwa “Seorang perempuan datang ke kantor saya dan mengatakan, ‘Tragedi keluarga saya adalah bahwa mereka tidak membunuh ayah saya. Ia hancur, tapi masih hidup. Mungkin akan lebih baik kalau mereka membunuhnya.’ Ayahnya cacat total, tapi keluarganya tidak mendapatkan pemulihan.”vii Staf yang lain menggambarkan tamu-tamu ke kantor, yang anggota keluarganya mendapatkan luka serius atau cacat tubuh dan memerlukan bantuan segera, seperti seseorang yang dibutakan dalam kekerasan politik di masa kediktatoran militer. Namun tidak ada jalan bagi mereka selain pergi ke klink medis
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
pemerintah yang terbatas, atau organisasi non-pemerintah yang mencoba membantu orang-orang seperti mereka.
Argentina: Program yang Lebih Inklusif Di sebuah ruang belakang di lantai dua bangunan tua tempat kantor Hak Asasi Manusia pemerintah di pusat kota Buenos Aires, terdapat dua belas filing cabinet (lemari arsip) masing-masing dengan empat laci, di sepanjang tembok, sebuah meja kecil di tengah dan beberapa rak yang dipenuhi laporan hak asasi manusia di sisi lain. Sebelas di antaranya memuat koleksi lengkap catatan Komisi Nasional Orang Hilang Argentina: satu map untuk masing-masing dari 8.960 orang yang dilaporkan hilang pada masa rezim militer. Di hampir semua map, hanya ada dua atau tiga lembar kertas, yang merupakan pernyataan asli keluarga korban. Sementara komisi Cili menyidik masing-masing kasus secara mendalam, dan beberapa map kasus bisa sampai 3-5 sentimeter tebalnya, komisi Argentina hanya mengambil kesaksian dari anggota keluarga atau kawan-kawan korban, juga mereka yang selamat dari “penghilangan sementara” dan mereka yang menyaksikan orang-orang yang dipenjarakan. Komisi tersebut kemudian menyusun daftar korban berdasarkan kesaksian ini saja. Pada umumnya ia tidak menyelidiki kasus individual, kecuali untuk mencoba menemukan orang hilang yang mungkin masih hidup. Lebih lagi, banyak dari map tersebut, sekitar sepertiganya, hanya berisi informasi yang diberikan kepada komisi dari organisasi non-pemerintah – informasi yang berdasar laporan pada organisasi tersebut pada saat penghilangan, namun tidak dilaporkan kembali ke komisi.viii Kumpulan catatan tersebut merupakan jantung informasi untuk program pemulihan yang dirancang untuk semua keluarga mereka yang dihilangkan. Keluarga siapa saja yang didaftar sebagai orang hilang bisa dengan mudah mengklaim pemulihan, meskipun kasus-kasus tersebut tidak pernah secara formal diselidiki secara mendalam. Karena pada saat kerja komisi tersebut tidak ada bayangan bahwa akan ada pemberian ganti rugi finansial, klaim palsu dianggap tidak akan terjadi. Alih-alih pensiun bulanan, seperti di Cili, keluarga korban penghilangan mendapatkan uang senilai US$ 220.000 dalam bentuk bond pemerintah dan didistribusikan antara orang-orang yang ditinggalkan.ix Filing cabinet kedua-belas yang terletak di ruangan muka menyimpan catatan kasus-kasus baru yang dikumpulkan Kantor Hak Asasi Manusia, yang tidak dimasukkan ke dalam laporan komisi kebenaran. Pada saat saya mengunjungi kantor tersebut, ada beberapa orang tua di resepsionis, menunggu saat dipanggil untuk memberikan pernyataan untuk memulai proses mengklaim pemulihan. Sebuah eksemplar lampiran Nunca Más yang telah berulang kali dibaca, yang berisi 9.960 kasus yang tercatat oleh komisi, tergeletak di meja penerimaan; pertanyaan pertama yang ditanyakan kepada tamu adalah apakah kasusnya berada dalam daftar tersebut. Kasus yang baru harus dikonfirmasikan melalui pers atau laporan kepada badan hak asasi manusia nasional atau internasional pada waktu kejadian, atau bukti petisi habeas corpus yang diberikan kepada pengadilan ketika orang tersebut dihilangkan, untuk mengetahui keberadaannya atau membebaskannya. Undang-undang pemulihan untuk keluarga mereka yang dihilangkan baru berlaku di Argentina pada tahun 1994, sepuluh tahun setelah komisi kebenaran menyelesaikan laporannya, dan diterapkan di bawah kekuasaan presiden Carlos Menem, yang telah mengampuni para perwira militer dan mencoba menghentikan pembicaraan lebih lanjut mengenai kejahatan di masa lalu. Tidak terdapat tuntutan publik yang luas untuk pemulihan, karena prioritas mereka yang ditinggalkan adalah menemukan jenazah mereka yang hilang, mendapatkan kebenaran sepenuhnya, dan mengadili mereka yang bersalah; selain itu, mendapatkan bayaran sebagai ganti kematian mereka yang dicintai merupakan pemikiran yang
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
memuakkan beberapa orang. Maka agak aneh bahwa kemudian setelah bertahun-tahun dibuatlah program pemulihan yang signifikan. Program pemulihan ini tampaknya didorong oleh kasus-kasus yang dibawa ke Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika, sebuah organ dalam Organisasi Negara-Negara Amerika, oleh sejumlah mantan tahanan politik yang menuntut kompensasi untuk waktu ketika mereka berada dalam penjara. Setelah tiga tahun proses hukum di depan komisi tersebut, pada tahun 1991 pemerintah Argentina mencapai kesepakatan damai dengan para mantan tahanan tersebut.x Untuk setiap hari dalam tahanan, masing-masing mendapatkan uang senilai gaji harian tertinggi pegawai negeri Argentina: US$ 74 per hari, US$ 2.200 per bulan, US$ 26.400 per tahun, hingga maksimum US$ 220.000 (setara dengan 100 bulan dengan gaji ini). Para mantan tahanan ini mendapatkan kompensasi mereka melalui keputusan presiden, namun Kongres Argentina segera mengumumkan undang-undang yang memberikan pemulihan yang sama kepada semua mantan tahanan politik.xi Yang unik bagi Argentina, program pemulihan ini kemudian diberikan pula kepada mereka yang dibuang paksa setelah ditahan – mereka, yang setelah berada dalam masa tahanan, dibawa ke lapangan terbang, dimasukkan pesawat dan dilarang untuk kembali ke Argentina.xii Untuk setiap hari dalam pembuangan paksa, mereka menerima uang senilai sehari masa penahanan. Juan Méndes, profesor di Notre Dame School of Law, dan mantan direktur eksekutif Institut Hak Asasi Manusia Inter-Amerika, merupakan salah satu yang mendapatkan kompensasi untuk pembuangan paksa, selain pemenjaraannya. Ia mencatat bahwa tidak semua yang dibuang dapat mengklaim pemulihan, karena “Perlu dicatat bahwa pembuangan paksa merupakan kategori legal yang amat presisi: mereka yang berada di tahanan pada masa darurat dan kemudian pada satu saat diizinkan untuk pergi ke pembuangan alih-alih tetap berada dalam tahanan. Dalam perkiraan saya, jumlahnya mencapai seribu orang. Banyak orang lain dibebaskan di Argentina, dan bila mereka kemudian pergi keluar negeri untuk ‘pembuangan’, pemerintah tidak membayar untuk masa pembuangan tersebut, karena dalam teori mereka boleh pulang. Suatu bentuk pembuangan lain, yang jauh lebih umum, juga tidak termasuk dalam skema pemberian pemulihan: keluar negeri sebelum ditangkap, dibunuh atau dihilangkan.”xiii Tiga tahun kemudian, pada tahun 1994, sebagai pengakuan terhadap ketidakadilan memberikan ganti rugi moneter kepada mereka yang dipenjarakan, namun tidak diberikan kepada keluarga mereka yang dihilangkan – dan dihadapkan keputusan pengadilan yang memberikan US$ 250 ribu hingga 3 juta untuk “kerugian moral” kepada keluarga mereka yang hilangxiv – Kongres Argentina mengumumkan undang-undang yang memperluas pemberian pemulihan kepada mereka yang dihilangkan dan dibunuh. xv Pada tahun 1998, pemerintah Argentina berniat untuk menggunakan US$ 3 miliar untuk menutupi biaya program pemulihan tersebut. Bagi banyak orang di Argentina, lebih penting daripada kompensasi moneter adalah penciptaan status hukum baru “dihilangkan secara paksa”.xvi Kategori legal baru ini memenuhi sejumlah tuntutan utama mereka yang ditinggalkan. “Dihilangkan paksa” merupakan ekuivalen legal kematian untuk kepentingan catatan sipil, memungkinkan keluarga untuk memproses surat wasiat, membagikan warisan, menutup rekening bank seseorang dan lainlain, tanpa menyatakan bahwa ia mati. Bahkan, secara resmi undang-undang menyatakan bahwa masih ada kemungkinan kembalinya seseorang yang memiliki status tersebut – suatu hal yang diinginkan ada dalam aturan baru tersebut oleh mereka yang ditinggalkan. Sebelum tahun 1994, untuk memproses surat wasiat, menjual rumah, dan menutup rekening bank, sebuah keluarga harus menyatakan bahwa ia “kemungkinan mati”, sebuah mekanisme legal dalam hukum Argentina untuk mereka yang keberadaannya tidak diketahui selewat jangka waktu tertentu. Pernyataan tersebut, yang tidak memberikan pengakuan terhadap tanggung jawab negara atau keterlibatan militer, merupakan kompromi psikologis dan politis yang tidak
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
akan dilakukan banyak keluarga (meskipun tekanan ekonomi akhirnya mendorong beberapa keluarga). xvii Undang-undang baru yang memungkinkan keluarga mendapatkan “sertifikat penghilangan paksa” menjadi dikenal sebagai “undang-undang kejujuran sejarah”. Argentina merupakan negara pertama yang menciptakan status hukum ini; negara-negara lainnya kemudian mengikuti jejaknya. Dalam proses penerapan undang-undang pemulihan di Argentina, kantor hak asasi manusia pemerintah berhasil mendokumentasikan lebih banyak kasus dan korban daripada oleh komisi kebenaran. Komisi tersebut hanya ditugaskan untuk mendokumentasikan korban yang “hilang”, tidak mencakup mereka yang langsung dibunuh atau meninggal dalam tahanan, dan jenazahnya ditemukan dan diidentifikasi. Komisi tersebut juga tidak mencatat mereka yang selamat dari penahanan dan penyiksaan. Sebanyak 8.960 orang yang didokumentasikan komisi adalah mereka yang diculik militer atau polisi dan tidak pernah terlihat lagi, hidup atau mati. Dalam proses penerapan program pemulihan, Kantor Hak Asasi Manusia Departemen dalam Negeri memulai penghitungan pertama terhadap semua non-kombatan yang dibunuh pada masa rezim militer (selain mereka yang dihilangkan), yang diperkirakan mencapai ribuan.xviii Pemulihan bagi keluarga jauh lebih kontroversial di Argentina daripada di Cili. Dalam pergulatan politik yang berlanjut di Argentina lebih dari 15 tahun setelah akhir masa kekuasaan militer, sebuah kelompok yang mewakili keluarga korban mengutuk program pemulihan sebagai “uang darah”, dan anggotanya menolak menerima. “Kehidupan tidak ternilai harganya. Pemulihan itu hanya membeli suara hati, dan menjual darah. Presiden mungkin akan berkata, ‘Kalian harus diam, kalian sudah dibayar,’” demikian menurut Mercedes Meroño, dari organisasi Mothers of the Plaza de Mayo, ketika saya mengunjungi kantor organisasi tersebut di pusat kota Buenos Aires. “Kehidupan tidak bisa diberi harga. Beberapa hal tidak bisa diperjualbelikan, terutama harga diri.”xix Namun, seiring perjalanan waktu, mayoritas keluarga mereka yang dihilangkan menerima pemulihan tersebut, demikian pula mantan tahanan politik.
Di Tempat-Tempat Lainnya: Program yang Lebih Terbatas Banyak komisi kebenaran lain menyarankan pemberian ganti rugi finansial untuk para korban, dan beberapa berlanjut dalam program yang terbatas. Komisi kebenaran Afrika Selatan membeberkan saran mendetail untuk program pemulihan, mencakup finansial, simbolis dan pengembangan komunitas. Selama masa kerjanya, komisi bertemu dengan wakil pemerintah untuk membuat kesepakatan sementara agar mendukung saran komisi tersebut, yang memerlukan lebih dari US$ 600 juta untuk bantuan finansial langsung kepada lebih dari 25 ribu korban. Dengan komitmen verbal dari pemerintah, komisi kemudian mengumumkan rencana kebijakan program pemulihannya, dan menjelaskan bahwa hanya korban yang terdaftar pada komisi itu yang akan berhak untuk ikut serta dalam program tersebut. Ini meningkatkan jumlah kesaksian secara signifikan di beberapa daerah, terutama KwaZulu Natal. Rencana komisi ini adalah bahwa setiap korban, atau keluarga mereka yang dibunuh, akan menerima sekitar US$ 3.500 per tahun selama enam tahun berturut-turut; suatu jumlah yang sedikit lebih besar akan diberikan kepada keluarga yang besar atau yang terletak di daerah pedesaan, di mana biaya hidup lebih tinggi. Terdapat pula harapan bahwa biaya akan disediakan selama masa kerja komisi untuk pemberian pemulihan sementara bagi yang sangat membutuhkan, untuk mereka yang datang ke komisi dengan kebutuhan medis atau lainnya yang mendesak. Namun alokasi pertama untuk pemulihan yang diberikan kepada Dana Kepresidenan yang baru di Departemen Kehakiman baru dimulai pada tahun 1998, hanya beberapa bulan sebelum komisi menyelesaikan laporan akhirnya, dan jumlah yang diberikan hanya US$ 16 juta (100 juta rand), jauh di bawah saran komisi. Pemerintah mengindikasikan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
rencana untuk memberikan 200 juta Rand lagi pada tahun kedua, dan 300 juta Rand pada tahun ketiga program ini. Selain itu, pemerintah Denmark, Swiss dan Belanda masing-masing memberikan sumbangan sebesar antara US$ 150 hingga 250 ribu ke Dana Kepresidenan untuk pemulihan. Dana Kepresidenan yang baru ini hanya dijabat oleh tiga orang, dan sebagian terbesar dokumentasi administratif para korban dilakukan oleh komisi kebenaran itu sendiri. Bahkan setelah laporan komisi diterbitkan pada tahun 1998, Komisi Pemulihan dan Rehabilitasi di dalam komisi kebenaran menambah jumlah stafnya untuk memproses klaim pemulihan (sebagaimana disebutkan di depan, seluruh komisi kebenaran tetap bekerja terutama untuk memproses klaim amnesti yang masih berjalan). Masing-masing korban yang sudah memberikan pernyataan kepada komisi harus ditemui lagi untuk mengisi formulir aplikasi; karena banyak yang tidak memiliki alamat surat, komisi menyewa petugas lapangan untuk menemukan masing-masing calon dan membantu mereka mengisi formulir yang diperlukan. Untuk memberikan pembayaran ganti rugi langsung ke rekening bank, komisi juga membantu banyak penerima untuk membuka rekening bank. Setelah satu tahun, sekitar 2.500 pembayaran diberikan, sejumlah antara 2 sampai 6 ribu Rand (US$ 330-1.000), dalam bentuk ganti rugi sementara, dengan harapan bahwa pembayaran lebih lanjut akan menyusul. Diharapkan bahwa sekitar 100 juta Rand akan dihabiskan untuk pembayaran sementara saja.xx Namun, meskipun pemerintah telah memberikan komitmen, tampaknya penambahan dana untuk pemulihan secara signifikan tidak mungkin. Ini merupakan titik frustrasi dan kekecewaan yang mendalam bagi para korban dan kelompok hak asasi manusia di Afrika Selatan. Dan mereka terus berusaha menekan pemerintah agar memperhatikan isu ini selama tahun 2000. Permasalahan pemulihan merupakan isu penting pula terhadap komisi Haiti, karena mayoritas korban yang datang ke komisi mengharapkan sebentuk bantuan, banyak di antara mereka yang hidup dalam kemiskinan, beberapa cacat dan tidak bisa bekerja. Laporan komisi mencerminkan masalah ini, memberikan saran kuat untuk pembentukan “komisi pemulihan” sebagai kelanjutan komisi kebenaran, untuk menentukan “kewajiban legal, moral dan material” terhadap para korban, dan menyarankan agar dana diambil dari negara, sumbangan pribadi nasional dan internasional, dan sumbangan suka rela anggota PBB.xxi Saran ini tidak pernah secara serius dianggap oleh pemerintah Haiti, tidak juga diberi perhatian oleh pemerintah asing atau badan bantuan pemerintah asing itu. Dengan kondisi kemiskinan yang parah di negara tersebut, pemerintah yang kesulitan sumber daya, dan kebutuhan mendasar untuk reformasi dan stabilitas politis, tampaknya saran ini tidak akan mendapatkan perhatian lebih lanjut. Laporan komisi kebenaran El Salvador juga menyatakan perlunya pembentukan dana khusus, yang dikelola oleh “badan otonom dengan kekuasaan legal dan administratif yang diperlukan untuk memberikan kompensasi material yang sebanding kepada para korban kekerasan dalam waktu sesingkat-singkatnya”, dan menyarankan agar satu persen dari semua bantuan internasional untuk El Salvador disisakan untuk dana tersebut.xxii Baik pemerintah El Salvador maupun komunitas internasional tidak antusias dengan rencana ini, dan dana tersebut tidak pernah dibentuk. Tidak ada pembicaraan serius mengenai pemulihan bagi para korban kekerasan selama perang dua belas tahun ini berlanjut. Tentu saja, komisi kebenaran tidak disyaratkan untuk keberadaan program pemulihan, juga untuk menyusun daftar sah para korban atau ahli waris. Terdapat contoh-contoh penting program kompensasi yang dijalankan setelah pelanggaran luas negara yang dibentuk oleh perundang-undangan nasional dan dikelola secara independen, tanpa kaitan dengan komisi kebenaran. xxiii Jerman sudah memberikan program pemulihan yang terluas dan terkomprehensif hingga kini, berupa paket perundang-undangan domestik dan kesepakatan internasional dengan negara lain untuk memberikan kompensasi kepada para korban kejahatan Nazi. Selama lima puluh tahun terakhir, lebih dari US$ 60 miliar diberikan oleh negara Jerman
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dalam bentuk tunai kepada para korban dan keluarga mereka yang terbunuh.xxiv Selama lima belas tahun setelah akhir kekuasaan militer di Brazil, pemerintah membentuk komisi pemulihan untuk memberikan sekitar US$ 100 ribu bagi keluarga dari masing-masing 135 orang hilang. xxv Pemerintah Amerika Serikat juga memberikan pemulihan kepada warga Jepang-Amerika yang ditahan di kamp selama Perang Dunia Kedua, meskipun program ini baru dijalankan setelah 40 tahun, dan hanya memberikan kepada mereka yang masih hidup.xxvi Program pemulihan lain yang lebih terbatas diterapkan pula di beberapa negara lain.xxvii
Kesulitan Merancang dan Menerapkan Program Pemulihan Baik dirancang oleh komisi, pemerintah maupun wakil rakyat, mereka yang ingin membuat program pemulihan yang adil mengalami batasan dan dilema sulit yang serupa. Tantangan pertama adalah dalam merancang program yang adil dan inklusif. Apakah uang tunai atau seperangkat jasa diberikan kepada mereka yang menjadi korban, atau campuran keduanya? Bagaimana cara mengkuantifikasi kehilangan orang yang dicintai, atau cedera fisik berat atau cacat tubuh, dengan kompensasi moneter? Apakah semua korban sebaiknya mendapatkan kompensasi yang sama, bahkan bila beberapa mengalami penderitaan lebih berat? Jika tingkat bantuan yang berbeda tidak dibuat, bagaimana bisa adil bila seorang korban yang hanya disiksa sehari mendapat kompensasi yang sama dengan seorang yang dipenjarakan dan disiksa selama bertahun-tahun, atau keluarga yang kehilangan seorang yang dicintainya? Namun bila ada pembedaan antara korban, sukar pula untuk membedakan tingkat penderitaan atau kerugian. Lebih lagi, dapatkah diterima untuk mengabaikan beberapa korban – seperti di Cili yang mengabaikan korban penyiksaan dari bantuan moneter? Banyak orang yang telah merancang kebijakan pemulihan menyimpulkan bahwa tidak mungkin membedakan tingkatan penderitaan, meskipun beberapa program memberikan kompensasi yang berbeda tergantung pada jumlah masa tahanan atau apakah terjadi cedera berat. Di Afrika Selatan, negara mengikuti saran komisi kebenaran, yang lebih murah, yaitu memberikan bantuan langsung bagi para korban untuk mereka gunakan sesuai kebutuhannya – medis, pendidikan atau kebutuhan dasar lain, nisan bagi saudara yang dibunuh, atau biaya hidup sehari-hari – alih-alih menentukan dan membagikan layanan publik. Penyesuaian yang dilakukan di Afrika Selatan, sebagaimana disebutkan pada awal uraian dalam bab ini, adalah pembayaran yang lebih tinggi bagi mereka yang keluarganya lebih besar atau di daerah pedalaman. Kesulitan yang kedua adalah penerapan dan pengelolaan program pemulihan. Sebuah pendekatan yang amat individual memerlukan kontak langsung dengan ribuan korban atau ahli warisnya, dan suatu sistem untuk membuktikan klaim. Di mana komisi kebenaran diberi tanggung jawab untuk menentukan daftar ahli waris, seperti di Afrika Selatan dan Cili, mereka harus mengkonfirmasi masing-masing pernyataan korban satu persatu, yang sangat menyita waktu, dan dalam kasus Afrika Selatan, mengalihkan perhatian komisi dari penyelidikan lebih luas terhadap pola kejahatan dan tanggung jawab dan penyelidikan khusus terhadap peristiwa-peristiwa penting. Ketika komisi Afrika Selatan menjalankan proses administratif terhadap klaim, diperlukan kerja yang semakin intens dan spesifik-kasus. Prosedur yang intensif ini dimungkinkan karena komisi ini diperpanjang masa kerjanya hingga dua tahun setelah penyampaian laporannya. Di Argentina, Kantor Hak Asasi Manusia Departemen Dalam Negeri menjalankan pengelolaan ini, sementara di Cili komisi lanjutan dari komisi kebenaran melaksanakan tugas tersebut. Pada akhirnya, sebuah badan pemerintah harus memberikan waktu dan sumber daya yang besar untuk pengelolaan program pemulihan yang diindividualkan. Berkaitan dengan waktu dan staf yang diperlukan untuk memeriksa dan menindaklanjuti klaim, dan karena program pemulihan harus terbuka bagi mereka yang tidak
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
memberikan kesaksian di depan komisi kebenaran, penerapan program pemulihan sebaiknya tidak dijalankan oleh komisi kebenaran itu sendiri. Lebih lagi, tugas penemuan kebenaran oleh komisi dapat terbelokkan bila mandat komisi mencakup memberikan atau menyarankan pemulihan kepada mereka yang datang untuk memberikan kesaksian, atau jika ada hubungan langsung antara daftar korban di komisi dan penerima pemulihan. Kemungkinan mendapatkan uang dari kesaksian dapat memberikan insentif untuk bersaksi palsu, dan memberikan beban tambahan bagi komisi untuk memverifikasi tiap-tiap pernyataan sebelum informasi tersebut digunakan untuk membuat kesimpulan luas mengenai apa yang sudah terjadi. Jalan yang terbaik adalah bagi komisi kebenaran untuk memberikan saran umum untuk program pemulihan, namun meninggalkan detail dan penerapan program tersebut kepada badan lain yang menyusulnya, sehingga memungkinkan komisi untuk berkonsentrasi pada penyelidikan dan kesimpulan yang lebih luas. Pada akhirnya, pembentukan program pemulihan yang luas akan tergantung pada kepentingan politis untuk secara resmi mengakui dan meminta maaf atas kejahatan negara di masa lalu, dan komitmen negara untuk memperbaiki kesalahannya. Tentu saja tidak semua bentuk pemulihan adalah ganti rugi dalam bentuk uang. Bila sumber daya amat terbatas, atau jumlah korban amat besar, pemulihan simbolis atau berorientasi komunitas bisa diterapkan, seperti pembangunan monumen, hari besar nasional, atau sekolah atau pusat komunitas baru yang dinamai sesuai para korban atau sebagai peringatan terhadap pembantaian massal. Pemulihan demikian bisa berperan penting dalam membantu penyembuhan psikologis para korban. Namun, bagi mereka yang ditinggalkan oleh pencari nafkah dalam keluarga atau mengalami masalah emosional atau fisik, ganti rugi finansial, bantuan medis atau dukungan lainnya akan diperlukan untuk bisa memperbaiki kerusakan. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 12 Membiarkan Masa Lalu Sebagaimana Adanya
Mengapa beberapa negara berlalu dari perang saudara yang mengerikan atau kekerasan negara besar-besaran, dan tidak berminat untuk menggali kembali detail-detail masa lalu mereka? Setelah melihat korban-korban dan para anggota keluarga mereka di Argentina, El Salvador, Sri Lanka, Afrika Selatan dan negara-negara lainnya yang menuntut kebenaran seutuhnya, orang mungkin mengasumsikan bahwa pertanggungjawaban secara penuh dan mendetail merupakan hal atau keinginan yang universal. Jelas, terdapat kecenderungan di lingkungan advokasi internasional bahwa pencarian kebenaran secara resmi perlu selalu direkomendasikan untuk negara-negara yang baru saja mengalami pemerintahan otoriter. Kebijakan Amnesty Internasional dan Human Rights Watch (HRW), dua organisasi hak asasi manusia internasional yang terbesar, menyerukan penyelidikan untuk menemukan kebenaran mengenai pelanggaran berat hak asasi manusia, di mana pun.i Banyak yang mengutip hukum internasional untuk memperkuat “hak untuk mendapatkan kebenaran” yang mewajibkan pemerintah untuk melakukan penyelidikan. Beberapa pandangan ini tidak mau berkompromi. Penasihat hukum senior di HRW, Wilder Tayler, menyatakan bahwa secara prinsip, kewajiban internasional untuk menyelidiki kebenaran tidak mengizinkan pengecualian sama sekali.ii Posisi Amnesty Internasional mengenai pertanggungjawaban menekankan tiga prinsip: kebutuhan untuk menemukan kebenaran yang disembunyikan, kebutuhan untuk mengembalikan kehormatan dan nama baik para korban, dan kebutuhan untuk menunjuk individu yang bersalah dan mengadili mereka. Namun, direktur hukum Amnesty Internasional menjelaskan bahwa salah satu aspek dari kebijakan ini perlu ditekankan atau diabaikan tergantung keinginan dan kebutuhan para korban dalam situasi-situasi yang spesifik.iii Demikian pula, prinsip internasional yang dikenal sebagai “prinsip melawan impunity” yang diajukan pada tahun 1997 oleh Utusan Khusus PBB, Louis Joinet, mencantumkan rekomendasi pembentukan komisi penyelidikan untuk menemukan kebenaran mengenai masa lalu di sebuah negara transisi. “Pelaksanaan hak untuk mendapatkan kebenaran secara penuh dan efektif sangatlah penting untuk mencegah terulangnya [pelanggaran berat hak asasi manusia] di masa depan”, demikian saran tersebut. iv Dokumen tersebut melanjutkan, “Pengetahuan masyarakat mengenai sejarah penindasan mereka merupakan bagian dari pengetahuan umum, sehingga harus diperhatikan melalui tindakan tepat dari negara. Tindakan-tindakan demikian harus diarahkan untuk memelihara ingatan kolektif tersebut agar tidak punah, dan terutama, mencegah perkembangan pandangan yang revisionis dan negasionis”. v Saran-saran kebijakan tersebut didasarkan pada keinginan untuk melawan impunity, membangun budaya pertanggungjawaban, dan memberikan penghormatan bagi para korban. Di
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
sebagian besar negara dan kondisi peralihan, saran-saran tersebut tepat dan bahkan membantu dalam menekan pemerintah yang ogah-ogahan membuka rahasia kejahatan mereka. Fokus Joinet adalah pada pemeliharaan dokumentasi resmi, yang penting dalam semua masyarakat, baik dengan atau tanpa badan pencari kebenaran. Bahkan, terdapat contoh di berbagai bagian dunia mengenai bahaya mengizinkan negara mengabaikan kejahatan masa lalunya. Pakar hak asasi manusia Afrika, Richard Carver, menyatakan bahwa beberapa negara di Afrika memiliki kebijakan demikian, dan terdapat beberapa dampak jangka panjang yang negatif dari kegagalan mereka untuk menyikapi masa lalunya. Sebagai contoh, di Malawi, beberapa bagian dari pola represif masa lalu, seperti perundang-undangan sensor, mendapat dukungan dari mereka yang dahulunya menentang kebijakan demikian di bawah rezim yang lama. Jika peraturan demikian dan dampak-dampaknya “diekspos ke masyarakat, gejala represif itu mungkin masih akan ada, tapi akan ada resistensi publik yang lebih besar”, menurut Carver. Ia menyarankan mengenai perlunya semacam proses untuk menemukan dan mengumumkan kebenaran, yang tidak selalu berbentuk komisi kebenaran; tentu saja ada sejumlah cara lain untuk menyikapi dan mendokumentasikan masa lalu, melalui studi historis dan akademis, melalui teater, proyek dokumentasi atau melalui organisasi non-pemerintah.vi Juga terdapat kondisi ketika saran mengenai “kebenaran di atas segala-galanya” tidak tepat, atau paling tidak ketika saran untuk pembentukan badan resmi pencari kebenaran seperti komisi kebenaran tidak tepat. Masih kurang diketahui bahwa pencarian kebenaran secara resmi memiliki perbedaan mendasar dari mekanisme pertanggungjawaban transisional lainnya. Kebenaran bisa menyakitkan – terutama kepada para korban, selain mereka yang lain. Menggali detail konflik masa lalu bisa membahayakan dan mengurangi stabilitas, jauh lebih daripada pengadilan, dan bisa mengganggu hubungan yang rapuh dalam komunitas yang baru mulai berdamai. Penyelidikan kebenaran biasanya menuntut keterlibatan aktif dan emosional oleh para korban, yang biasanya diminta kesaksiannya. Hal ini juga menuntut keterlibatan nasional secara luas dan sumber daya yang besar dalam masa transisi yang memiliki banyak prioritas penting lainnya. Semua ini memang bukan alasan untuk tidak membentuk komisi kebenaran atau untuk tidak menekan pemerintah agar mengakui kejahatannya. Namun mereka menunjuk alasan-alasan selain politik untuk menjelaskan mengapa ada tentangan terhadap proses penemuan kebenaran secara formal. Saya sepakat bahwa terdapat “hak untuk mengetahui kebenaran” yang dimuat dalam konvensi internasional dan diperkuat oleh pengadilan internasional. Namun, apakah hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran merupakan suatu kewajiban? Artinya, bila orang-orang yang paling terkena dampaknya, yaitu para korban, tidak berminat atau tidak siap untuk menghadapi kengerian masa lalu itu, apakah mereka diwajibkan untuk melakukannya? Apakah kadang-kadang terdapat aspek-aspek konflik, transisi atau kebudayaan atau sejarah suatu masyarakat yang membuat proses demikian tidak diminati atau tidak membantu? Saya akan melihat dua kasus, di Mozambik dan Kamboja, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kedua negara itu mengalami kekerasan politik mengerikan pada dekade terakhir ini, namun di kedua negara dan karena alasan yang berbeda, terdapat penolakan terhadap ide pencarian kebenaran skala besar dalam transisi politik mereka. Ketika saya mengunjungi Mozambik, saya berbicara dengan orang-orang dari pelbagai spektrum politik, termasuk korban, akademisi, pejabat pemerintah dan lainlain, dan mendengar pernyataan yang singkatnya berbunyi, “Tidak, kami tidak ingin
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
memasuki kembali rawa-rawa konflik, kebencian dan penderitaan ini. Kami ingin berfokus pada masa depan. Untuk saat ini, masa lalu masih terlalu menjadi bagian dari masa kini untuk diselidiki. Untuk saat ini, lebih baik diam daripada berkonfrontasi, daripada menimbulkan penderitaan baru. Meskipun kami tidak akan lupa, kami ingin berusaha seakan-akan kami melupakan hal ini.” Demikian pula, di Kamboja, yang memiliki alasan berbeda, terdapat pula penolakan terhadap usaha menggali kembali sejarah.vii Apa yang mendorong kurangnya keinginan untuk menemukan kebenaran? Ada empat elemen yang terdapat di negara-negara demikian. •
•
•
•
Rasa takut terhadap dampak negatif: persepsi bahwa kekerasan akan meningkat, perang timbul lagi, atau kekerasan dan perang yang ada tidak akan berhenti, bila dosa lama diutak-atik lagi. Kurangnya keinginan politik: kurang atau tidak ada keinginan pemimpin politik untuk menemukan kebenaran dan kurang ada tekanan dari luar pemerintah untuk melakukan demikian. Prioritas penting lainnya: kehancuran ekstensif sebagai akibat perang atau kekerasan, sentimen luas di masyarakat untuk berfokus pada kehidupan sehari-hari dan pembangunan kembali, dan kurangnya struktur institusi mendasar untuk mendukung proses pencarian kebenaran. Mekanisme atau pilihan alternatif: karakteristik nasional bisa menjadikan usaha menemukan kembali kebenaran tidak diperlukan atau tidak diinginkan, seperti adanya mekanisme tidak resmi dari komunitas untuk menyikapi kekerasan atau kebudayaan yang menolak menghadapi konflik secara langsung.
Keinginan untuk menemukan kebenaran bisa menunggu beberapa lama, seiring semakin kuatnya institusi atau menurunnya ketegangan yang memicu konflik. Sebuah negara perlu menunggu bertahun-tahun untuk dapat menghadapi dan secara jujur menyelidiki beberapa peristiwa. Hal ini tidak membantah perlunya melakukan penyelidikan dalam masa transisi, sebagaimana lazimnya. Namun dalam beberapa kondisi, hal ini tidak mungkin atau tidak sesuai dengan kebutuhan negara atau para korban. Pembentukan dan operasi secara efektif dari sebuah komisi kebenaran kadangkadang memerlukan dorongan dan perhatian dari komunitas internasional, terutama untuk melawan resistensi dari mantan pelaku yang mungkin masih memegang kekuasaan. Namun pada akhirnya keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan pencarian kebenaran secara luas harus dilakukan oleh negara itu sendiri. Pertanyaan mengenai bagaimana dan apakah komunitas internasional bisa mempertimbangkan kepentingan sebuah negara, dan kapan dan bagaimana mendukung seruan lokal untuk membentuk komisi kebenaran, dibicarakan lebih lanjut di bawah ini. Namun, pertamatama, kasus Mozambik, dan lalu Kamboja, menunjukkan bahwa sebuah negara bisa secara sah memilih untuk tidak melakukan pencarian kebenaran secara resmi pada saat transisi.
Mozambik: Cara-Cara Alternatif untuk Menyikapi Masa Lalu
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tetangga Afrika Selatan di sebelah timur laut, Mozambik, mencapai perdamaian melalui perundingan setelah bertahun-tahun mengalami peperangan pada saat yang berdekatan dengan berakhirnya apartheid di Afrika Selatan. Kesepakatan perdamaian pada tahun 1992 itu mengakhiri 16 tahun peperangan dan mendorong dilaksanakannya pemilihan umum pada tahun 1994.viii Sebagaimana di Afrika Selatan, “rekonsiliasi” merupakan fokus utama transisi dan tatanan politik yang baru. Namun rekonsiliasi dipahami secara berbeda di kedua negara itu. Bila di Afrika Selatan terdapat pandangan luas, paling tidak pada awal bekerjanya komisi kebenaran, bahwa “semakin banyak kebenaran, semakin banyak kita membicarakan masa lalu, semakin banyak pula rekonsiliasi”, di Mozambik pandangan yang diterima, meskipun tidak terdengar, adalah bahwa “semakin kita mengabaikan masa lalu, semakin mungkin dilakukan rekonsiliasi”. Nyaris tidak ada perhatian di Mozambik untuk mempertanggungjawabkan kejahatan di masa lalu. Di sebuah negara di mana terbunuh sejuta penduduk sipil, ribuan orang disiksa dan tercatat tindakan mengerikan seperti mutilasi dan barbarisme, nyaris tidak ada seruan di tingkat nasional untuk keadilan, pertanggungjawaban, hukuman atau pencopotan jabatan – di mana banyak dari mereka yang bertanggung-jawab terhadap kejahatan di masa lalu menjabat, di parlemen atau di angkatan bersenjata. Amnesti umum untuk “kejahatan terhadap negara” diumumkan oleh parlemen sepuluh hari setelah ditandatanganinya perjanjian damai pada tahun 1992, meskipun banyak pejabat senior pemerintah dan oposisi tidak mengetahuinya bahkan setelah beberapa tahun.ix Hal ini memang tidak dibicarakan; tidak ada perhatian serius mengenai penuntutan individu untuk kekejaman mereka di masa lalu. Pengadilan yang adil di Mozambik sangatlah sukar. Alex Vines, pakar Mozambik di HRW, menjelaskan bahwa konflik di sana “luar biasa ruwet”, sehingga akan menjadi amat sukar untuk menyalahkan seseorang secara individual, dan “tidak banyak fakta yang kuat di Mozambik, dan dokumentasi mengenai para penjahat besar sudah diutak-atik”. Sebagai akibatnya, menurutnya, jika ada pengadilan, mudah untuk menyalahkan mereka yang sebenarnya tidak bersalah sebagai pembalasan dendam pribadi atau demi keuntungan ekonomis.x
Kekejaman yang Terlalu Banyak Beberapa orang menganggap bahwa tidak ada keinginan untuk melihat kembali masa lalu di Mozambik karena masa lalu terlalu mengerikan. Mereka yang mengamati Mozambik selama dua dekade terakhir menggambarkannya sebagai perang yang paling brutal yang pernah dialami dunia. Taktik-taktik yang mengerikan digunakan terutama oleh pasukan gerilya Renamo (sebuah singkatan dalam bahasa Portugis untuk menyebut Perlawanan Nasional Mozambik). “Dari awal hingga akhir, tak mungkin terhitung semua kejadian mengerikan di Mozambik,” menurut Ken Wilson, seorang pejabat program Ford Foundation dan pakar internasional mengenai Mozambik. xi Seorang jurnalis pernah memberi tahu saya bahwa ia mencoba membuat daftar pembantaian di negara tersebut. “Anda tidak bisa mencatat semuanya. Anda akan memenuhi halaman demi halaman. Tiap minggu akan ada berita bahwa lima puluh orang lagi dibunuh di suatu tempat,” ia menjelaskan. Beberapa menganggap bahwa ide komisi kebenaran tidaklah realistis karena tidak mungkin untuk secara adil mendokumentasikan keseluruhan apa yang terjadi.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Kekerasan yang terjadi “amat membingungkan di tingkat lokal, dan sukar untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi,” kata Wilson. “Bagaimana cara memahami apa yang sebenarnya terjadi di Mozambik? Itu amatlah ruwet. Hal-ikhwal peperangan yang terjadi berubah dari tahun ke tahun. Dan siapa yang harus bertanggung-jawab untuk apa yang terjadi? Di pihak pemerintah, bagaimana menentukan pertanggungjawaban para tentara yang namanya tidak tercatat, tidak pernah memperoleh gaji, yang komandannya tidak pernah ada bersama mereka dan sama sekali tidak ada catatan mengenai mereka? Dan banyak tindakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok setengah bandit. … Tidak terbayangkan untuk berusaha menemukan siapa yang melakukan apa.” Renamo dibentuk oleh Rhodesia pada tahun 1977, dan setelah kemerdekaan Rhodesia (menjadi Zimbabwe), dukungan untuk Renamo beralih ke Afrika Selatan, dengan dukungan dari elemen-elemen sayap kanan yang ingin menjatuhkan pemerintahan Marxis [di Mozambik]. Sementara para gerilyawan itu mendapatkan dukungan internasional setelah beberapa tahun, perang itu dikobarkan oleh pihak luar. Tujuan Afrika Selatan adalah untuk mendestabilisasi Mozambik (yang dianggap sebagai pangkalan operasi ANC dan elemen-elemen bersenjatanya, yang menentang kekuasaan kaum kulit putih di Afrika Selatan) sehingga mereka menggunakan Renamo untuk meneror penduduk dan merusakkan infrastruktur ekonomi negara itu.xii Taktik Renamo mencakup menculik anak-anak menjadi anggota gerilya dan memaksa mereka melakukan kekejaman di desa mereka sendiri, agar mereka tidak akan kembali. Renamo sering kali memutilasi korban mereka untuk menyebarkan ketakutan, sering kali memotong telinga atau bibir korbannya, hidup atau mati. Pemerintah Mozambik, yang dikenal sebagai Frelimo (Front Pembebasan Mozambik), juga bertanggung-jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran serius, namun tidak sebesar jumlah maupun kekejaman yang dilakukan Renamo. Praktik Frelimo mencakup penahanan ribuan orang dalam kamp “re-edukasi” yang brutal, dan membunuh para pemimpin tradisional yang dianggap sebagai ancaman. Beberapa dari mereka yang waktu itu memegang jabatan senior di pemerintahan kini secara terbuka mengakui kesalahan kebijakan partai dan keseriusan pelanggaran itu. Jumlah korban amatlah banyak, dan detailnya mengerikan. Semua keluarga di Mozambik dikatakan terpengaruh langsung oleh perang itu – anggota keluarga terbunuh, diculik, dipaksa untuk berperang, atau dipindahkan dari rumah mereka. Bukan hal yang tidak lazim bila saudara kandung berperang di pihak yang saling bermusuhan.xiii Mungkin ide untuk mencari kebenaran tidak menarik karena bila orang mulai menunjuk siapa yang bersalah, mereka akan terpaksa menunjuk terlalu dekat dengan rumah sendiri. Mungkin pula karena alasan yang sama ini tidak ada bukti pembalasan dendam setelah perang itu berakhir. Roberto Luis, seorang spesialis pembangunan Mozambik yang bekerja erat dengan komunitas pedesaan, menjelaskan: “Siapa yang membalas siapa? Ini bukan satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Keluarga dan komunitas dipertentangkan satu sama lain. Jika perang terjadi antar-etnik atau kelompok bahasa, mungkin akan ada pembalasan. Namun sukar dibayangkan bagaimana cara terjadinya mobilisasi untuk pembalasan. Pertentangan yang terjadi adalah antar-keluarga – bahkan tiap keluarga pun terpecah. Konflik ini sedemikian rumit sehingga tidak memungkinkan pembalasan.” Jika seseorang tetap ingin melakukan pembalasan di Mozambik, ukuran masalah yang sedemikian besar ini akan menghentikanmu. “Apakah
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Anda bisa membunuh semua orang yang melakukan kekejaman? Kalaupun benar, berapa yang akan tersisa?” tanya Luis. Ketua Institut Afrika-Amerika di Mozambik, Célia Diniz, menyebut konflik Renamo-Frelimo itu sebagai “masalah domestik. Keluarga yang sama, desa yang sama, suku yang sama, berada di dua pihak yang bertentangan. Pada akhir perang, tidaklah mungkin mengatakan, ‘Kami tidak mau menerima kalian lagi.’ Mereka semua bagian dari garis keturunan kami.” Pada tahun-tahun pertama setelah perang, penduduk Mozambik amat takut terhadap kembalinya konflik, meskipun kemungkinannya amat kecil. Perang dalam jenis yang sama tentunya tidak akan berulang lagi, karena pemerintah-pemerintah tetangga Mozambik sudah berubah dan tidak lagi ingin mendestabilisasi negara itu. Namun tetap ada perasaan di Mozambik bahwa bila perang itu dibicarakan, maka perang akan timbul lagi; jika diingatkan tentang perang, orang Mozambik akan mengubah pembicaraan, meskipun mereka mengakui kehilangan keluarga dan teman mereka. “Pada tingkat akar rumput, saya tidak melihat tanda-tanda mengingat konflik itu,” kata João Paulo Borges Coelho, dosen Universitas Mondlane yang mempelajari perang itu dan akibatnya. “Mungkin orang-orang terlalu sibuk untuk berusaha sembuh, dan mereka tahu bahwa harga untuk perdamaian adalah dengan melupakan [konflik].” Resistensi terhadap mengingat masa lalu tersebar luas di seluruh lapisan masyarakat. Dalam persiapan pemilihan umum 1994, beberapa warga Brazil datang ke Mozambik, memberikan bantuan untuk kampanye politik partai pemerintah. “Ketika saya bertemu mereka, saya bertanya strategi apa yang mereka pikirkan,” seorang mantan menteri senior, José Luís Cabaço, memberi tahu saya. “Mereka mengatakan bahwa kampanye sebaiknya berfokus pada pelanggaran yang dilakukan Renamo pada waktu perang. ‘Tidak, jangan demikian,’ saya langsung menjawab. ‘Itu hanya akan menimbulkan konflik. Di tingkat bawah, hal itu akan dilihat sebagai ‘mencoba mengembalikan konflik ke desa kami, ketika kami sudah menyelesaikannya’; membawa roh-roh jahat ke desa kami.” Seseorang mencoba pendekatan demikian. Seorang kandidat dari sebuah partai politik baru datang ke kota Gaza, mengadakan rapat umum, dan mengutuk Renamo dan Frelimo, untuk mendapatkan dukungan bagi partainya. Ia mengatakan bahwa Renamo dan Frelimo patut disalahkan untuk perang yang sudah terjadi dan semua kekejaman itu. Massa menjadi amat marah dan berusaha menyerangnya, karena ia dianggap mencoba menimbulkan kebencian dan masalah di komunitas setelah anggota Renamo dan Frelimo telah berdamai. “Ini merupakan cara masyarakat mengatakan bahwa mereka telah menerima rekonsiliasi antara Frelimo dan Renamo,” kata Brazão Mazula, rektor Universitas Mondlane dan mantan ketua komisi pemilihan umum Mozambik, yang menceritakan kisah itu. “Kini, bila kita membentuk komisi kebenaran, atau membuka isu masa lalu, kita hanya akan memunculkan kebencian itu.” Perdamaian dan rekonsiliasi, pada tingkat mendasar yaitu hidup bersama tanpa konflik, datang dengan segera di Mozambik. Terdapat banyak cerita bagaimana para serdadu dari dua pihak yang bertikai meletakkan senjata dan menyalami lawan mereka sebagai saudara. Ketika kesepakatan damai ditandatangani di Roma, “perintah datang dari atas, dan perang langsung berhenti. Tidak satu peluru pun ditembakkan,” digambarkan oleh seorang pengamat. Perang itu “padam”, seperti api yang padam, kata seorang lainnya.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Sejak hari itu, orang-orang yang tadinya bermusuhan hidup dalam damai praktis tanpa insiden. Perdamaian yang dicapai dengan mudah ini mengejutkan banyak orang. Akademisi Mozambik yang mempelajari transisi masa perang ini dengan paling teliti, João Paulo Borges Coelho, merasa keheranan dengan apa yang ia lihat. Ia menunjukkan tidak adanya dendam mengenai pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi antara para anggota parlemen yang tadinya bermusuhan, juga mudahnya tentara-tentara dari pihak yang bermusuhan bergabung untuk menuntut imbalan jasa dari pemerintah. “Tidak ada keragu-raguan terhadap pihak yang lain,” ia mencatat. “Dengan kata lain, saya tidak paham apa yang sedang terjadi … Baru-baru ini, saya mengajar di sebuah kelas, di mana terdapat anak komandan Renamo dan anak seorang jenderal yang bertugas di daerah yang sama. Mereka membicarakan ini di kelas dengan panas, namun setelah pelajaran berakhir, mereka minum kopi bersama, saling memboncengkan … seperti tidak ada yang terjadi. Tidak jelas mengenai bagaimana memikirkan hal ini.” Ketika perang berakhir, organisasi nasional dan internasional memikirkan pembuatan mekanisme untuk memperkuat perdamaian di tingkat lokal, namun inisiatif mereka ternyata tidak diperlukan. “Kami semua berpikir mengenai bagaimana mendorong perdamaian dan rekonsiliasi, namun ketika kami datang ke tingkat bawah, mereka sudah melakukan rekonsiliasi,” jelas José Luís Cabaço, mantan pejabat pemerintah Frelimo. “Pemikiran kami hanya membingungkan dan memicu masalah.”
Kesepakatan Politik Pada tingkat elite politik, sebuah proses yang lain terjadi. Karena kedua pihak yang bernegosiasi untuk perdamaian bertanggung-jawab untuk pelanggaran semasa perang, keduanya tidak berminat untuk mengumumkan kejahatan mereka ke muka umum, bahkan di meja perundingan. Dan tidak seorang pun dari luar – baik korban maupun komunitas internasional – memaksa mereka untuk melakukannya. Jadi, alih-alih pertanggungjawaban, kebenaran atau keadilan, yang ditekankan dalam perundingan adalah rekonsiliasi, yang diartikan “kita akan berbicara, dan kita mungkin akan memerintah bersama, namun kita tidak akan mengorek-orek masa lalu”. Isu pelanggaran di masa lalu tidak ada dalam agenda selama pembicaraan damai selama dua tahun. Kedua pihak secara diam-diam setuju untuk tidak membawanya ke negosiasi; kesepakatan ini tidak diumumkan ke publik. Semua yang memperhatikan negosiasi itu dapat melihat bahwa subjek itu ditabukan. Dua tahun setelah pemilihan umum, pakar Mozambik, Ken Wilson, menggambarkan bahwa “terdapat kesepakatan tersirat untuk tidak mengorek-orek masa lalu. Tentu saja, banyak rahasia yang tersimpan, namun tidak ada yang ingin mengetahui rahasia tersebut.” Seorang jurnalis senior memberitahu saya, “Tidak akan mungkin tercapai kesepakatan damai bila salah satu pihak mempertanyakan pelanggaran,” dan “hanya akan terjadi kekacauan bila masalah yang lama dimunculkan kembali, setelah empat tahun perang berakhir. Penggunaan kata rekonsiliasi secara berulang-ulang dalam kerangka pembicaraan tersebut menunjukkan bahwa hal itu tidak akan terjadi.” Mengakui ironi tersebut, ia menambahkan, “Saya tahu proses di Afrika Selatan disebut ‘komisi kebenaran
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dan rekonsiliasi’, namun artinya berbeda. Di sini, rekonsiliasi artinya ‘jangan mengutakatik masa lalu’.” Bahkan, hal ini merupakan salah satu isu pertama yang diumumkan sebelum negosiasi dimulai. “Syarat pertama negosiasi adalah ‘rekonsiliasi’, yaitu bahwa kedua pihak tidak akan menggunakan keburukan pihak lainnya di masa lalu untuk masa depan,” kata Brazão Mazula, yang menyunting sebuah buku mengenai proses perdamaian Mozambik. “Pada awalnya Frelimo meminta Renamo untuk mengakui kejahatan mereka sebagai syarat melakukan perundingan perdamaian. Renamo menjawab bahwa Frelimo harus pula mengakui kejahatan mereka sendiri. Diperlukan lima atau enam bulan yang menyulitkan sebelum isu ini selesai, dengan bantuan Gereja sebagai mediator. Nyaris tidak mungkin menyelesaikan isu ini, sehingga dapat memulai negosiasi. Pada akhirnya, disepakati kebijakan ‘rekonsiliasi’, yaitu bahwa memang ada kejahatan, namun mereka semua dimaafkan, dan akan diadakan pengampunan umum. Setelah kesepakatan ini, kedua pihak tidak perlu lagi mengakui kejahatan mereka. Namun bukan hal yang mudah untuk mencapai kesepakatan itu. Saya bertanya kepada Raul Domingos – yang merupakan pemimpin senior Renamo selama bertahun-tahun, hadir di perundingan damai dan kemudian mengetuai partai Renamo di parlemen – apakah rekonsiliasi dalam negosiasi artinya “mendiamkan masa lalu”. Ia sepakat, “Kata rekonsiliasi artinya melupakan masa lalu dan bertoleransi. Kami dahulu saling membunuh, namun kami melupakannya karena kami bersaudara dan harus hidup bersama. Tanpa ini, perang tidak akan berakhir.”xiv
Penyembuhan dengan Cara Lain Jika kesepakatan damai itu melayani kepentingan politik para politisi, tampaknya ia juga bersesuai dengan proses natural rekonsiliasi dan penyembuhan pada tingkat lokal. Mungkin kondisi lokal Mozambik yang menjadikannya berbeda dengan negara-negara lain adalah kekuatan mekanisme penyembuhan tradisionalnya yang berakar kuat di seluruh negara. Pada akhir perang, hampir semua serdadu pulang ke rumahnya, sehingga mencampurkan pelaku kejahatan dan korban dalam masing-masing komunitas, desa dan bahkan keluarga. Mereka menggunakan penyembuh tradisional untuk menyembuhkan luka mereka. Curandeiros, atau penyembuh tradisional, ada di semua kota dan desa, dan dipercaya serta dihormati banyak orang. Di Mozambik sukar ditemukan orang yang tidak mempercayai kekuatan mereka. Di desa-desa, hal itu tidak dipertanyakan lagi. “Saya tidak tahu sebaiknya saya percaya atau tidak,” kata penerjemah dan pemandu saya, spesialis pembangunan Roberto Luis. “Sukar mengatakan ‘tidak, saya tidak percaya’, kalau saya bekerja dengan orang-orang yang percaya. Dan kadang-kadang tampak bukti – kalau mereka meminta hujan, hujan pun turun. Hal itu hanya memperkuat kepercayaan.” “Mekanisme penyembuhan neotradisional,” sebagaimana dinyatakan seorang pakar Mozambik, memiliki peran penting dalam memasukkan kembali para serdadu ke dalam masyarakat mereka. Cara kerjanya kira-kira sebagai berikut: kalau kamu membunuh, roh orang yang dibunuh itu akan mengikuti kamu dan menimbulkan kesialan. Untuk mengembalikan roh itu, harus ada upacara. Keluargamu akan mengadakan upacara untuk “memanusiakan kembali” kamu, untuk menjadikan kamu “normal” kembali.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Upacara ini selalu dilakukan oleh seorang pemimpin tradisional, bukan seorang yang ditunjuk pemerintah. Dengan upacara ini, para pembunuh bisa kembali ke masyarakat, dan diterima kembali tanpa pertanyaan, bahkan oleh keluarga korban mereka. Luis melihat, “Ini merupakan bantuan yang amat besar, terutama bagi orang yang terlibat dalam kekejaman. Ini memungkinkan mereka diterima lagi dalam komunitas, tidak lagi menakutkan. Mereka menjadi manusia lagi, bukan monster.” Upacara-upacara demikian terutama penting di tempat-tempat terjadinya pembantaian, terutama bila pembantaian itu terjadi di desa yang bersangkutan. “Di mana banyak orang mati, mereka mengadakan upacara untuk membasuh semua darah yang tertumpah di tanah. Upacara ini dilakukan sebagai rekonsiliasi spiritual antara yang hidup dan yang mati. ‘Ada demikian banyak orang mati, sehingga kami tidak bisa hidup di sini,’ demikian masyarakat setempat akan berkata. ‘Kami perlu berdamai dengan mereka yang mati dan mendamaikan tempat ini dengan mereka.’ Kondisinya seakan-akan ada roh jahat yang ada di sana dan perlu diusir supaya kehidupan bisa berlanjut. Saya tidak tahu seberapa jauh keberadaan roh jahat tersebut, namun ada kepercayaan yang amat kuat bahwa hal itu memang ada. Orang-orang menyisihkan uang untuk upacara demikian, meskipun mereka sebenarnya tidak punya uang – untuk membeli hewan korban, minuman yang diperlukan, dan lain-lain. Ini adalah kekuatan atau struktur yang amat kuat dalam semua komunitas Mozambik,” kata Luis. “Kami tahu bahwa banyak orang percaya pada hal itu,” kata psikolog, Ilídio Silva, yang bekerja untuk sebuah organisasi non-pemerintah di Mozambik yang berusaha menggabungkan praktik psikoterapi modern dengan tradisi penyembuhan lokal. “Tak ada yang lebih baik daripada hal yang kamu percayai. Jika orang percaya, maka hal itu ada.” Dengan amat sedikit praktisi psikologi di seluruh negara, jelas bahwa psikoterapi Barat bukan pilihan yang tepat untuk menyembuhkan trauma di Mozambik, karena kurangnya sumber daya dan personil. Namun, terapi Barat mungkin juga tidak akan tepat, karena orang-orang tampaknya akan merespon lebih baik terhadap struktur kepercayaan lokal mengenai penyakit dan penyembuhan. Antropolog Mozambik, Alcina Honwana, mencatat bahwa “terapi yang tidak memperhitungkan peran roh-roh leluhur dan roh-roh jahat dalam menyebabkan dan menyembuhkan trauma malah akan menghalangi usaha keluarga dan komunitas dalam menolong para korban”, mengutip studi tentang masyarakat yang terpengaruh oleh perang di Mozambik yang menunjukkan bahwa “membicarakan pengalaman traumatik belum tentu membantu korban untuk sembuh. Dalam kasus-kasus demikian, pelaksanaan ritual penyembuhan tradisional malah jauh lebih efektif”.xv Ketika saya mengunjungi sebuah desa yang terletak sejauh 90 menit perjalanan mobil di utara ibu kota, gambaran itu terbukti. Seseorang yang kehilangan ayahnya dalam perang melawan Renamo kini tinggal bertetangga dengan mantan serdadu Renamo yang dianggapnya terlibat dalam pembunuhan tersebut, namun ia tidak pernah mempermasalahkan hal ini dengan tetangganya, dan memang tidak ingin melakukan itu. “Bahkan jika saya ingin mengkonfrontasinya, seluruh komunitas akan menentang saya. Mereka akan mengatakan ‘Kami juga mengalami hal yang sama,’” ia menjelaskan. “Ini merupakan isu komunitas, bukan individual.” Kedua tuan rumah saya, salah satunya kepala sekolah setempat, menunjuk dua orang yang sedang berjalan melintas. “Kedua orang itu mantan anggota Renamo yang melakukan pembunuhan. Mereka hidup di sini dengan bebas; semua orang tahu mereka. Namun mereka tidak pulang ke desa asal mereka, sehingga mereka belum ‘dibersihkan’
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
karena pembersihan itu hanya bisa dilakukan di desa asal mereka. Mereka dianggap belum normal.” Saya minta kedua tuan rumah untuk menjelaskan bagaimana kedua orang itu berbeda. “Anda bisa melihatnya dari kelakuan mereka, dari cara mereka berbicara,” mereka menjawab, agak kurang memahami pertanyaan saya. Di komunitas yang didiami 13 ribu orang ini, tidak ada polisi. Perlu waktu setengah hari untuk menunggu bis dan pergi ke kota terdekat untuk mendapatkan polisi. Struktur masyarakat dijaga oleh kekuatan pemimpin tradisional dan para penasihatnya. Saya menawarkan pemikiran mengenai komisi nasional untuk menyelidiki kekejaman. Salah satu orang, sang kepala sekolah, menjawab, “Jika akan ada komisi, kecuali ia berakar di tingkat komunitas, dan dengan cukup keamanan untuk melindungi orang, orang-orang akan amat segan untuk datang. Mereka akan diganggu sesudahnya. Adalah hal yang sangat penting untuk menjaga agar semuanya berada di tingkat lokal. Jika ada komisi yang tidak memberikan perlindungan, dan Anda memberikan kesaksian, rumah Anda bisa-bisa dibakar.” Saya bertanya apakah ada tindakan pembalasan sejak akhir perang empat tahun lalu. Di desa ini tidak ada, jawab mereka, namun itu bukan berarti bahwa ingatan tentang perang tidak pernah sama sekali menimbulkan kekerasan. Di kota lain yang berdekatan, setahun lalu, “mereka sedang mabuk. Seorang Renamo menyombongkan diri tentang semua yang ia lakukan, semua kekejamannya. Orang-orang lain tidak senang, dan memukulinya. Saya kira mereka membunuhnya. Karena ia menyombongkan diri.” Jelas, meskipun ada usaha-usaha lokal, tidaklah realistis untuk menganggap bahwa tidak akan ada ketegangan dan kesulitan yang berasal dari ingatan tentang perang tersebut. William Minter, seorang ilmuwan Amerika Serikat yang mengikuti perang dan proses perdamaian Mozambik, berkesimpulan bahwa “banyak dari mereka yang bersalah melakukan kekejaman melakukannya sebagai bagian dari mesin militer yang dimasukinya karena paksaan. Tidak akan ada pengadilan Nuremberg untuk Angola atau Mozambik, atau komisi kebenaran formal dengan tugas yang tidak mungkin dilakukan, untuk melacak pertanggungjawaban untuk ratusan insiden yang tidak tercatat yang terjadi selama hampir dua dekade perang. Kebenaran individual, bila akan terungkap, akan bersifat sepotongpotong. Mengingat-ingat sejarah, walaupun penting, tidak akan diprioritaskan di atas tugas sukar rekonsiliasi individual dan nasional.”xvi Pada akhirnya, proses di Mozambik bukanlah mengenai melupakan atau membantah masa lalu, namun mengenai menerimanya sepenuhnya dan secara keseluruhan, walaupun rumit. Nama dan undang-undang pendirian komisi kebenaran Afrika Selatan dan cara komisi itu menyebut dirinya menunjukkan kemampuan dan keinginan untuk berdamai dengan orang dan peristiwa di masa lalu. Salah satu jurnalis investigatif terkenal di Mozambik, misalnya, adalah yang paling keras menentang pemikiran mengenai komisi kebenaran. Carlos Cardoso, yang berasal dari Afrika Selatan dan pada saat itu menjadi editor MediaFax di Mozambik, selama beberapa tahun berusaha menemukan kebenaran yang tersembunyi. Namun, ia berkata, “Saya tidak percaya komisi kebenaran. Untuk ‘berdamai dengan masa lalu’ – orang-orang perlu hak untuk menginterpretasikan masa lalu sesuai keinginannya. Saya tidak ingin berekonsiliasi dengan kejahatan mengerikan terhadap masyarakat. Mengapa saya harus menerimanya? Saya ingin memiliki kontradiksi dengan masa lalu.” Marilah melihat ke masa lalu, kata Cardoso, tapi jangan melakukannya dengan satu komisi yang mengatakan hanya ada satu kebenaran. “Sejarah demikian kompleks: Anda
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
tidak bisa membekukannya. Dan jika Anda mulai menggali, di mana Anda dapat berhenti? Siapa yang bersih di sini. Ini merupakan sebuah kolam lumpur; semuanya terlibat, termasuk komunitas internasional.” Berulang kali saya mendengar bahwa menggali ke masa lalu bukanlah pilihan yang tepat bagi Mozambik, sehingga saya mulai bertanya: di sebagian besar belahan dunia ini, ada pepatah, “jika kamu tidak belajar dari sejarah, kamu akan mengulanginya”. Apakah Mozambik merupakan perkecualian? Hampir semua menjawab ya. José Luís Cabaço, mantan pejabat senior pemerintahan memperkuat pendapat ini. “Masa lalu tidak bisa eksis di negeri ini,” katanya. Ia kemudian berpikir sejenak dan memperlunak ucapannya. “Betul, hal ini memang perlu diajarkan di sekolah-sekolah, supaya tidak terulang. Tapi masa lalu ini masih merupakan bagian dari masa kini, sehingga sulit untuk diajarkan. Dalam waktu lima atau sepuluh tahun, para sejarawan akan dapat menulis sejarah yang pantas, untuk menggambarkan kerangka dan ideologi. Namun hal ini tidak akan terjadi sebelum lima atau sepuluh tahun. Kini hal ini masih bagian jurnalisme, belum menjadi sejarah.”xvii
Kamboja: Dua Puluh Tahun Kemudian Kamboja dikenal luas secara internasional karena “ladang pembantaian”-nya pada akhir dekade 1970-an, ketika pemerintah Khmer Merah membunuh antara 1-2 juta orang, hampir seperlima penduduk negara itu. xviii Apakah dan bagaimana cara warga Kamboja menginginkan untuk mengenang masa lalu ini, sama sekali tidak jelas. Pada awal dekade 1980-an, segera setelah Khmer Merah diturunkan dari kekuasaan, terdapat keinginan untuk menceritakan dan mengumumkan apa yang terjadi kepada dunia, menurut David Hawk, yang mengetuai Komisi Dokumentasi Kamboja, sebuah organisasi non-pemerintah yang waktu itu mendorong pengadilan para pemimpin Khmer Merah atas dasar Konvensi Genosida.xix Timbul usaha spontan untuk mencatat pengalaman mereka yang selamat, dan beberapa warga Kamboja menulis otobiografi tentang pengalaman mereka. Namun perang saudara berlanjut selama dekade 1980-an, penderitaan berlanjut, dan warga Kamboja menunjukkan keinginan untuk melanjutkan kehidupan mereka tanpa menggali peristiwa-peristiwa di masa lalu. Pada awal dekade 1990-an, dikatakan bahwa warga Kamboja ingin melupakan masa lalu begitu saja dan tidak menunjukkan keinginan untuk membicarakan masa lalu tersebut.xx Pengamat luar negeri menyimpulkan bahwa kebisuan mengenai masa lalu ini disebabkan rasa takut untuk berbicara mengenai masa yang masih bermasalah dan juga kecenderungan umat Buddhis dan masyarakat Kamboja untuk tidak melakukan konfrontasi. Pada tahun 1994, Stephen Marks, ketua bagian pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia untuk misi PBB ke Kamboja pada tahun 1992-1993, menggambarkan sejumlah alasan mengapa pemerintah Kamboja tampaknya tidak akan menghukum Khmer Merah untuk kekejaman mereka. Ini mencakup fakta bahwa banyak elite politik, militer dan keuangan yang akan terseret, karena banyak pejabat pemerintahan kini berafiliasi dengan Khmer Merah pada waktu itu, rakyat Kamboja memilih mengakomodasi Khmer Merah daripada perang berlanjut; sistem pengadilan terlalu lemah untuk mengharapkan pengadilan yang serius; raja Kamboja, yang amat dihormati, telah mengajukan rencana rekonsiliasi dengan Khmer Merah; dan ajaran Buddhis Kamboja menyatakan bahwa rekonsiliasi tidak menuntut keadilan atau pembalasan.xxi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Kassie Neou, direktur Institut Hak Asasi Manusia Kamboja, yang pernah menjadi korban Khmer Merah, menggambarkan pandangannya tentang mengkonfrontasi masa lalu dengan cara yang “sesuai dengan dasar kebudayaan masyarakat Kamboja” kepada Marks. Bagaimana masa lalu dipelihara dan ditunjukkan amat penting, menurutnya. Menurut Marks, Neou percaya bahwa “monumen-monumen untuk peringatan genosida yang kini ada di beberapa tempat di Kamboja harus diganti dengan sebuah stupa, yang akan menjadi tempat peringatan, namun bukan tempat untuk mengutuk, tempat keluarga para korban bisa datang dan mengenang kehidupan mereka yang dicintainya. Tempat-tempat tersebut akan juga menjadi pusat pendidikan hak asasi manusia, dalam semangat rekonsiliasi Buddhis. Kerangka dan tulang para korban sebaiknya tidak ditunjukkan kepada umum, namun dikremasi, sehingga membebaskan jiwa-jiwa mereka.” Neou menekankan bahwa “terlalu banyak darah orang yang tak bersalah ditumpahkan. Segala hal yang dapat mengganggu perdamaian seharusnya dilarang.”xxii Sebuah dampak meresahkan dari kebisuan mengenai masa lalu ini adalah kesalahpahaman mendasar atau ketidakacuhan mengenai periode sejarah ini. Para pemuda di bawah 20 atau 25 tahun, yang tidak cukup tua untuk mengingat kekerasan, nyaris tidak mengerti apa yang terjadi di negeri mereka selama berada di bawah kekuasaan Khmer Merah. Pada kesempatan-kesempatan langka ketika para korban yang selamat menceritakan pengalaman mereka, para pemuda sering kali menganggap bahwa orangorang tua tersebut bercanda atau melebih-lebihkan. Brad Adams, seorang pembela hak asasi manusia Amerika Serikat yang tinggal di Kamboja selama beberapa tahun pada dekade 1990-an, mengatakan, “Sebuah catatan yang lengkap dan akurat sangatlah penting untuk mencegah pembelokan sejarah di kalangan rakyat Kamboja, terutama karena tiadanya gambaran serius mengenai sejarah Kamboja kontemporer di sekolah-sekolah. Sangatlah menakutkan bila mendengarkan rakyat Kamboja berpikir bahwa ‘Khmer Merah sebenarnya bukanlah Khmer, namun agen Vietnam yang dikirim ke sini untuk menghancurkan rakyat Khmer Merah.’ Semakin banyak informasi tentang apa yang terjadi sangatlah baik, dan mungkin menjadi satu-satunya obat terhadap masalah potensial ini.”xxiii Sementara rakyat Kamboja tidak melihat adanya harapan untuk keadilan di negeri itu dan tidak menunjukkan ketertarikan untuk mengkonfrontasi sejarah secara langsung, ketertarikan komunitas internasional pada pertanggungjawaban kejahatan Khmer Merah selama dekade 1970-an semakin meningkat belakangan ini. xxiv Sebagai akibat dari ketertarikan ini, pada awal dekade 1990-an, di Kongres Amerika Serikat dimulai inisiatif untuk mendokumentasikan kejahatan Khmer Merah dan mendorong pengadilan. Senator Chuck Robb, ketua Sub-Komisi Senat untuk Asia Timur, memutuskan bahwa kejahatan Khmer Merah seharusnya diselidiki secara cermat dan dicatat, lalu yang bersalah diadili.xxv Di bawah inisiatif kantor senator ini, terutama di bawah pimpinan staf seniornya, Peter Cleveland, Undang-Undang Pengadilan Genosida Kamboja disahkan pada tahun 1994, memberikan US$ 800 ribu kepada Departemen Luar Negeri untuk membentuk Kantor Penyelidikan Genosida Kamboja dan memberikan sumbangan riset.xxvi Dana diberikan kepada Universitas Yale untuk sebagian terbesar dari penelitian dan konsultan independen untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan legal dan kebijakan.xxvii Pidato Senator Robb di Kongres membuat inisiatif tersebut tampak seperti komisi kebenaran, kecuali bahwa tidak dilakukan oleh penguasa negara bersangkutan dan juga tidak mendapatkan dukungannya:
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Sayangnya, catatan faktual mengenai ladang pembantaian di Kamboja tidak lengkap, dan semakin lama semakin sukar untuk menentukan dengan teliti apa yang sebenarnya terjadi dalam tahun-tahun teror itu. Sejarah kini dicoba dibasuh. … Namun, undang-undang yang saya ajukan hari ini akan meningkatkan pengetahuan kita dengan mendokumentasikan, mengumpulkan, mengorganisir dan menilai informasi mengenai kekejaman yang dilakukan para pemimpin nasional Khmer Merah. … Terlalu banyak warga Kamboja yang mati dengan mengerikan, sehingga kita tidak boleh melupakan hal ini, dan masa depan negara ini terlalu penting untuk dibiarkan saja tanpa mengenang apa yang benar-benar terjadi. … Semua warga Kamboja akan dapat mempelajari sejarah mengerikan negerinya, dan kita berharap pula, informasi spesifik xxviii mengenai mengapa, kapan dan di mana seorang anggota keluarga dibunuh.
“Anda tidak bisa mengatakan, ‘Biarkan genosida yang sudah lewat berlalu begitu saja,’” kata staf senior senator tersebut, Peter Cleveland, dalam menjelaskan motivasi mereka untuk undang-undang tersebut. “Senator merasa bahwa Anda tidak bisa mengabaikan hal-hal demikian, hal demikian harus disikapi. Moralitas menuntut tindakan itu.”xxix Namun di Kamboja, menurut Cleveland, praktis tidak ada dukungan untuk proyek itu. Ia menggambarkan dengan keheranan bagaimana “pemerintah Kamboja tidak menginginkan hal ini. Dan kelompok-kelompok hak asasi Kamboja semua berkumpul dengan saya untuk menghalangi ide tentang penyelidikan genosida.” Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menentang inisiatif tersebut dan baru menerima proyek tersebut setelah disahkan sebagai undang-undang, demikian menurut Cleveland. Departemen Luar Negeri mengingatkan Senator Robb bahwa undang-undang tersebut bisa mengganggu hubungan bilateral jika pemerintah Kamboja merasa terganggu dengan penyelidikan itu, yang pasti akan menyentuh orang-orang yang sedang bernegosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat pada saat itu. “Namun Anda tidak bisa mengabaikan masalah itu hanya untuk mendapatkan kesepakatan dengan Khmer Merah,” balas Cleveland. “Pada satu titik, Anda tidak bisa membiarkan sebuah negara menjadi hakimnya sendiri. Komunitas internasional tidak bisa membiarkannya begitu saja.” Proyek yang didanai Amerika Serikat ini terbatas dalam satu aspek penting: dengan menyempitkan lingkupnya ke tahun-tahun kekuasaan Khmer Merah, ia mengabaikan tinjauan terhadap dukungan Amerika Serikat pada Khmer Merah setelah ia jatuh dari kekuasaan, dan juga, dampak pengeboman Amerika Serikat terhadap Kamboja pada awal dekade 1970-an, yang dituding sebagai pemicu pertumbuhan Khmer Merah. Dalam usahanya untuk menjatuhkan pemerintah Kamboja yang didukung Vietnam, pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan diplomatik penting kepada Khmer Merah selama bertahun-tahun setelah ia jatuh dari kekuasaan, membiarkannya menduduki kursi Kamboja di PBB, berkoalisi dengan kelompok-kelompok lain, meskipun kekejaman yang dilakukannya telah dikenal luas. Inisiatif Amerika Serikat tersebut memberikan kontribusi penting untuk pemeliharaan dokumen-dokumen. Proyek Universitas Yale, yang mendapatkan bantuan hampir setengah juta dollar dari pemerintah Amerika Serikat, juga bantuan dari yayasan swasta lain, berhasil memunculkan sejumlah besar dokumen yang sebelumnya tidak diketahui. Dokumentasi setebal antara 50-100 ribu halaman itu, yang hampir semuanya ditemukan di sebuah gudang di Phnom Penh, menurut direktur proyek, Ben Kiernan, menggambarkan praktik pengintaian polisi rahasia Khmer Merah dan membantu menggambarkan struktur rezim itu. Sebuah peta komputer mengenai ladang pembantaian, foto 16 ribu orang yang dibunuh di penjara, dan data biografi luas mengenai korban dan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
pelaku sudah ditempatkan di World Wide Web. xxx Yale membantu membuat pusat dokumentasi di Kamboja, tempat dokumen disimpan dan diproses, dan membantu menjadikan pusat tersebut sebuah organisasi Kamboja yang independen. Setelah beberapa pemimpin aktif Khmer Merah menyerah pada akhir tahun 1998 (dan disambut dengan hangat oleh perdana menteri) dan Khmer Merah akhirnya habis, sebagai sebuah kekuatan tempur, terdapat keinginan yang semakin jelas dari rakyat Kamboja untuk mengadili para pejabat tertinggi Khmer Merah. “Negara ini tampaknya tiba-tiba memulai perbincangan nasional yang lama tertunda mengenai masa lalunya yang traumatik”, demikian dilaporkan New York Times.xxxi Sebuah survei menunjukkan bahwa 80 % responden ingin agar para pemimpin Khmer Merah diadili;xxxii namun laporan dari Kamboja juga menunjukkan bahwa rakyat Kamboja mencemaskan “instabilitas, krisis dan gejolak politik memiliki benih-benih untuk mengembalikan ke kondisi pada tahun 1975,” sebagaimana dijelaskan seorang diplomat. “Masyarakat mengalami trauma. Mereka hanya ingin untuk melanjutkan sisa hidup mereka.”xxxiii Pada awal tahun 1999, perdana menteri, Hun Sen, menyarankan agar Kamboja mempertimbangkan komisi kebenaran bersama dengan pengadilan, dan berencana mengundang Uskup Agung Desmond Tutu untuk melakukan kunjungan (kemungkinan tujuannya adalah untuk mencegah pengadilan internasional, yang mulai dipertimbangkan komunitas internasional; hal ini tidak jelas).xxxiv Kemudian, beberapa bulan kemudian, sebuah tim pakar hukum yang ditunjuk PBB, yang sedang mempelajari opsi-opsi pertanggungjawaban untuk Kamboja, menyarankan untuk mempertimbangkan komisi kebenaran untuk Kamboja. Namun demikian, tim tersebut menekankan pentingnya “proses refleksi” oleh rakyat Kamboja untuk menentukan apakah tindakan tersebut diinginkan, dan apakah komisi tersebut akan menjadi pelengkap bagi pengadilan yang akan dijalankan.xxxv Masih belum jelas apa yang akan dipikirkan rakyat Kamboja mengenai penyelidikan kebenaran berskala luas demikian, meskipun terdapat indikasi anekdotal bahwa proses dengar-kesaksian secara luas masih akan dianggap terlalu konfrontasional atau berbahaya, karena banyak mantan anggota Khmer Merah yang tersebar di masyarakat. Seorang pengamat yang menekankan pentingnya menjelaskan kebenaran tentang masa lalu juga menjelaskan bahwa “tampaknya tidak mungkin bila rakyat biasa Kamboja, yang mengalami trauma berat karena puluhan tahun perang, pembantaian massal dan represi politik, akan mengambil risiko untuk bertindak aktif dalam komisi kebenaran. Risikonya terlalu besar, dan keuntungannya terlalu kecil.”xxxvi Jika akan ada komisi kebenaran di Kamboja, bentuknya akan berbeda dari komisi kebenaran yang sudah ada; mungkin dengan mencatat kesaksian dari pemimpin komunitas atau orang lain yang bisa menggambarkan dampak kekerasan terhadap suatu daerah, alih-alih mengumpulkan cerita-cerita individual dari ribuan korban.
Apa Peran Komunitas Internasional? Negara-negara seperti Kamboja dan Mozambik, di mana terdapat paling tidak satu masa resistensi luas terhadap penggalian masa lalu, relatif jarang. Bila ini merupakan konsensus bersama, kebijakan rekonsiliasi melalui kebisuan bisa diterima oleh komunitas internasional. Namun, bagaimana cara menentukan “konsensus bersama” bila para korban hidup dalam kebisuan yang menekan dan kelompok-kelompok hak asasi manusia dikekang
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
selama bertahun-tahun? Dalam sebagian terbesar kasus, ada beberapa kelompok atau sektor dalam masyarakat yang tidak menginginkan kebenaran untuk diungkapkan. Sementara yang lainnya merasa lebih diuntungkan oleh kebisuan atau dengan mengungkap sebagian kecil saja dari kebenaran. Dalam kondisi demikian, pembantahan terhadap kebenaran yang berlanjut akan mendorong konflik dan menggagalkan usaha penyembuhan masyarakat. Di beberapa negara, komunitas internasional memiliki peran penting dalam mendorong usaha penyelidikan kebenaran secara serius dan memberikan dana atau bahkan personel untuk memungkinkannya. Di negara-negara tempat mantan pelaku kejahatan memiliki terlalu banyak kekuasaan dalam perundingan damai atau dalam pemerintahan baru, komunitas internasional tepat untuk mendorong pertanggungjawaban, termasuk penyelidikan terhadap kebenaran. Bila sektor-sektor suatu negara menuntut pertanggungjawaban, penting bagi komunitas internasional – PBB, partner bilateral, organisasi non-pemerintah internasional – untuk menyokong mereka dan menekan pemerintah yang aktor nasionalnya tidak memiliki kekuasaan atau ruang politik untuk melakukannya. Dan bila penyelidikan kebenaran resmi terjadi, komunitas internasional harus mengawasi agar hal itu dilaksanakan secara adil dan dapat dipercaya. Namun bagaimana cara orang luar membedakan motivasi politik untuk mencegah terungkapnya kebenaran dan klaim yang sah bahwa tindakan tersebut tidak tepat untuk suatu negara pada saat tertentu? Apa yang bisa dilihat untuk menunjukkan kegunaan dan ketepatan badan penyelidik kebenaran yang resmi? Saya ingin menunjukkan beberapa faktor. Sebagaimana dicatat di depan, kuantitas maupun jenis pelanggaran hak asasi manusia, juga apakah pelanggaran tersebut sudah didokumentasikan oleh penyelidik lain, tidak menentukan apakah pelanggaran tersebut layak atau tidak diselidiki secara resmi. Jumlah kasus yang relatif sedikit pun tidak mengurangi pentingnya isu tersebut. Namun, patokan terpenting dalam menentukan pentingnya komisi kebenaran adalah keinginan dari masyarakat untuk mengetahui kebenaran yang dipertanyakan. Sukar untuk mengukur sentimen tersebut dalam bentuk konkret. Hanya sedikit negara transisional yang semaju Afrika Selatan, yang memiliki pengetahuan, kesabaran, infrastruktur masyarakat sipil, dan sumber daya untuk didedikasikan selama satu setengah tahun untuk mengumpulkan pemikiran dan reaksi dari seluruh negara. Jajak pendapat tidak realistis untuk dilakukan di banyak negara, dan ketakutan untuk membicarakan pelanggaran pemerintah secara terbuka bisa berlanjut lama setelah akhir perang atau turunnya rezim yang represif. Meskipun tidak ada alat ukur yang formal, pakar asing dan pemerintah harus melihat pada preferensi nasional dan menjadikannya panduan, terutama pada pandangan para korban atau kelompok yang mewakili mereka. Di negara-negara yang tidak tertarik atau resisten terhadap pemikiran untuk menggali masa lalu, ini akan tampak di seluruh tingkat masyarakat: pilihan untuk melepaskan masa lalu, rasa segan untuk membicarakan masa lalu, kebosanan terhadap kekerasan, dan keinginan kuat untuk perdamaian dan pembangunan kembali. Di tempat lain, tuntutan untuk kebenaran dan pertanggungjawaban tampak jelas melalui demonstrasi massal, lobi dari organisasi korban atau organisasi hak asasi manusia, atau dalam posisi negosiasi pihak-pihak dalam perundingan damai. Ada perbedaan mencolok antara Mozambik, yang memiliki keengganan untuk membicarakan perang, dan Argentina, di mana para ibu yang anaknya dihilangkan berdemo tiap minggu di lapangan ibu kota untuk menuntut kebenaran; atau
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Guatemala, di mana organisasi non-pemerintah sejak sebelum negosiasi damai telah mengorganisir lobi untuk komisi kebenaran yang kuat dan mengumpulkan sejumlah besar informasi dari berkas-berkas mereka untuk diberikan kepada komisi ketika ia mulai bekerja. Benar bahwa di beberapa negara masyarakat sipil tidak begitu kuat untuk mendorong isu ini, dan tidak banyak organisasi advokasi hak asasi manusia atau kelompok pendamping korban. Jika masyarakat sipil masih lemah, atau dilemahkan, maka perjalanan waktu akan bisa memperkuat suara rakyat, memungkinkan penyelidikan terhadap kebenaran lebih tepat dan memenuhi keinginan rakyat pada masa depan. Meskipun ada risiko dalam menunda penyelidikan – terutama dalam hilangnya momentum transisional – mungkin perlu untuk menunggu sampai kondisi keamanan meningkat, atau bahkan sampai tokoh penting diadili dan keluar dari kelompok elite politik, meskipun skenario ini relatif sukar terjadi. Namun bahkan di mana tidak ada ketertarikan, beberapa pakar internasional akan bertanya, mengapa tidak mendorong penyelidikan terhadap kebenaran resmi sebagai kewajiban standar setelah pelanggaran berat? Pertama, jika sebuah komisi dibentuk dan gagal – dibubarkan sebelum selesai, gagal menulis laporan, memiliki mandat yang lemah dan melakukan kompromi politik, atau gagal mendapatkan perhatian dari komunitas korban – tampaknya sukar mengharapkan komisi yang lebih baik di masa depan. Kedua, bila mekanisme penyelidikan kebenaran dibentuk tanpa dukungan, kapasitas, sumber daya atau kebebasan untuk bekerja dengan baik, atau untuk menjelaskan misinya kepada publik, ia akan gagal, bahkan bila penyelidikannya dilakukan pada bidang-bidang yang paling sederhana pun, dan mungkin akan menimbulkan harapan keliru yang akan semakin mengecewakan para korban dan keluarganya. (Meskipun harapan masyarakat terhadap komisi kebenaran kadang-kadang terlalu tinggi, akan semakin buruk bila komisi sama sekali tidak mungkin menyelesaikan tugasnya, bahkan sebagian saja.) Dan ketiga, ada potensi untuk terjadinya bahaya – baik dalam menimbulkan trauma ulangan bagi korban, atau dalam mengobarkan ketegangan lagi. Kecemasan yang menyertai proses ini merupakan indikasi bahaya yang benar-benar ada – terutama dalam memicu kekerasan lebih lanjut – dan pandangan masyarakat mengenai bahaya ini harus diperhatikan. Sebuah proses penyelidikan kebenaran berskala luas berbeda dari pengadilan, yang seharusnya didorong oleh komunitas internasional sebagai kewajibannya bila ada kejahatan hak asasi yang serius (dan pengadilan demikian, bagi banyak jenis kejahatan hak asasi manusia, dianggap sebagai kewajiban dalam hukum internasional). Bahkan dengan mengakui keterbatasan pengadilan yang lengkap dan adil dalam banyak masyarakat transisional, untuk semua alasan yang digambarkan dalam bab 7, adalah hal yang tepat untuk mendorong pertanggungjawaban dan mendorong badan pengadilan untuk berfungsi, atau sebagaimana sering kali diperlukan, untuk mendorong reformasi yudisial sehingga memungkinkan pertanggungjawaban di masa depan. Mengadili mereka yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran berat membantu memperkuat ketaatan hukum dan melawan impunity.xxxvii Sementara mendikte proses transisi perlu dihindari, ada peran penting bagi komunitas internasional untuk memberikan kontribusi terhadap pertanggungjawaban di negara-negara lain. Di banyak negara yang mengalami transisi, ada kekurangan pengetahuan pada aktor-aktor domestik mengenai opsi-opsi transisional mereka, selain menuntut para pelaku kejahatan di pengadilan. Dan mereka sering kali memiliki
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
pengetahuan yang amat terbatas mengenai apa sebenarnya komisi kebenaran, bagaimana cara terbaik untuk membentuknya, dan apa yang bisa diharapkan dari badan demikian. Komunitas internasional bisa membantu memberikan informasi sebagai perbandingan dan keahliannya sehingga para aktor domestik memiliki opsi-opsi yang lebih baik. Ada banyak contoh usaha demikian. Afrika Selatan menunjuk pada dua konferensi internasional pada tahun 1994 yang membantu mereka menyusun ide untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. xxxviii Sebuah konferensi diadakan di Malawi pada tahun 1996 untuk membicarakan contoh internasional inisiatif pertanggungjawaban dan penyelidikan kebenaran, untuk membantu pemerintah Malawi dalam menyelidiki soal cocok-tidaknya komisi kebenaran di sana.xxxix Pada tahun 1998, sebuah organisasi hak asasi manusia di Belgrade, Yugoslavia, mengadakan konferensi internasional yang sebagian diarahkan untuk menyelidiki rencana pembentukan komisi kebenaran di Bosnia. Selain itu, menyimpan dan merawat bukti dokumenter bisa sangat penting bagi penyelidikan atau pengadilan di masa depan. Bahkan bila penyelidikan kebenaran tidak langsung dijalankan segera setelah transisi, sangat mungkin bahwa ketertarikan terhadap dokumentasi sejarah akan muncul di kemudian hari, baik melalui inisiatif pemerintah atau pribadi. Dokumen-dokumen bisa dengan mudah dirusakkan pada saat transisi politik, atau hilang atau rusak karena kurang perhatian; kadang-kadang ada kesempatan untuk aktor luar untuk membantu menyimpan dokumen pada transisi politik yang bergejolak, atau menyediakan sumber daya untuk pemeliharaannya. Proyek Kamboja Yale, yang didanai pemerintah Amerika Serikat, sebagian melakukan hal itu, memelihara dan mengkatalogkan dokumentasi mengenai masa Khmer Merah dan menyediakannya kepada publik. Pusat Dokumentasi Kamboja, yang berkembang sebagai hasil proyek ini, menjadi pusat pengumpulan dokumentasi ini, dan digunakan pada tahun 1998-1999 oleh para pakar hukum internasional yang mengevaluasi bukti-bukti yang bisa digunakan untuk menuntut para mantan pemimpin Khmer Merah.xl Sebaliknya, pemerintah Amerika Serikat melakukan tindakan yang amat bertentangan di Haiti. Ketika pasukan Amerika Serikat menginvasi Haiti pada musim gugur 1994, mereka langsung mendatangi markas militer dan kelompok paramiliter, Front Kemajuan Haiti (FRAPH), dan menyita dokumen, foto, video dan material lain yang merupakan bukti luas mengenai pelanggaran luar biasa yang mereka lakukan, termasuk foto-foto mengerikan dari para korban FRAPH. Beberapa pakar hak asasi manusia asing di Haiti yang memiliki sebagian material serupa juga menyerahkannya kepada tentara Amerika Serikat; mereka merasa lega karena bahan-bahan itu berada di tangan yang lebih aman. “Tidak ada satu pun alat fotokopi di negara itu, sehingga tidak mungkin membuat salinan dokumentasi, dan dalam kekacauan tersebut di mana pun tidak aman,” kata seseorang kepada saya. Namun semuanya berpikir bahwa dokumentasi itu akan dikembalikan ke Haiti ketika keadaan menjadi aman. Sebaliknya, tidak satu pun dari dokumentasi sebanyak sekitar 160 ribu halaman, foto, video atau kaset audio yang dikembalikan Amerika Serikat kepada negara tersebut. Mereka berada di tangan pemerintah Amerika Serikat, di kantor Departemen Pertahanan. Alasan untuk melakukan hal ini bukanlah sesuatu yang terpuji: Amerika Serikat memberikan dukungan langsung kepada beberapa orang yang terlibat langsung dalam pelanggaran, membayar tokoh-tokoh FRAPH sebagai sumber intelijen, dan dokumen-dokumen tersebut pasti akan menunjukkan peran dan keterlibatan pemerintah Amerika Serikat dalam mendukung beberapa tokoh preman. Amerika Serikat akhirnya menawarkan untuk mengembalikan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dokumen tersebut hanya bila pemerintah Haiti setuju untuk membatasi pemakaian bahan-bahan tersebut, dan setelah beberapa bagian dihitamkan, namun pemerintah Haiti menolak hal itu. Meskipun meminta secara resmi kepada pemerintah Amerika Serikat untuk mengakses dokumen tersebut, komisi kebenaran Haiti akhirnya menyelesaikan kerja mereka tanpa bantuan dokumentasi tersebut.xli Kasus Haiti merupakan kasus terburuk tentang di mana suatu negara asing menghalangi hak sebuah negara lainnya untuk mendapatkan kebenaran; xlii Namun kredibilitas usaha internasional untuk mendorong pertanggungjawaban terhadap pelanggaran di masa lalu akan bergantung pada keterbukaan pemerintah asing tersebut untuk mempertanggung-jawabkan kebijakan dan tindakannya sendiri. Bahkan, bila sebuah negara transisional ragu-ragu, menolak atau menunda usaha untuk mendokumentasikan kebenaran, atau di mana kondisi politik menghalangi usaha serius secara domestik, tidak ada alasan mengapa sebuah negara asing yang terlibat dalam menyokong rezim yang melakukan pelanggaran tidak meninjau dan mempertanggungjawabkan tindakannya untuk mendukung, mendorong atau memberikan pelatihan militer dan dukungan politik untuk kegiatan-kegiatan pelanggaran tersebut. Bahkan, tinjauan demikian bisa diharapkan akan memiliki efek langsung dalam kebijakan negara di kemudian hari, dengan mempertimbangkan hubungannya dengan rezim-rezim pelanggar lainnya. Catatan komunitas internasional dalam hal ini tidak kuat. Di Amerika Serikat, di mana terdapat bukti langsung keterlibatannya dalam aktivitas ilegal dan tidak dapat diterima – seperti buku panduan latihan dari CIA dan personel militer Amerika Serikat untuk melakukan penyiksaan,xliii atau dukungan langsung terhadap kudeta militer terhadap pemerintah yang dipilih secara demokratisxliv – nyaris tidak ada tinjauan kebijakan yang serius, dan kurang pula “kebenaran”, selain yang keluar dari usaha organisasi nonpemerintah untuk membuka dokumen yang dirahasiakan. xlv Kemungkinan hal ini tidak akan berubah: klaim mengenai “keamanan nasional” menyelubungi banyak kebijakan luar negeri dari tinjauan serius, dan hanya sedikit pemerintah yang mau menunjukkan sisi gelap keterlibatan luar negeri mereka, atau secara jujur mengakui kesalahan. Dengan demikian, usaha untuk mendorong pertanggungjawaban di luar negeri akan dipandang dengan skeptis bila diajukan oleh pemerintah yang tidak bertanggungjawab atas keterlibatannya sendiri dalam tindakan yang sama atau serupa. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii xxviii xxix xxx xxxi xxxii xxxiii xxxiv xxxv xxxvi xxxvii xxxviii xxxix xl xli xlii xliii xliv xlv
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 13 Komisi Kebenaran dan Mahkamah Pidana Internasional, Bertentangan atau Komplementer?
Dipacu oleh banyaknya tuntutan adanya keadilan bagi kejahatan yang luar biasa kejamnya (heinous crimes), 120 negara pada tahun 1998 sepakat mendirikan Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili individu-individu yang dituduh telah melakukan/terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang.1 Mahkamah ini akan mulai berjalan setelah 60 negara meratifikasi statutanya, yang diharapkan akan terjadi dalam dua tahun atau lebih. [Saat buku ini diterbitkan dalam edisi terjemahan Indonesianya, mahkamah yang dimaksud sudah efektif, ed.] Perjanjian untuk pembentukan Mahkamah ini menandai kemajuan yang besar bagi keadilan internasional, walaupun memang cakupan dari Mahkamah tersebut, dan kapasitasnya dalam menangani kasus akan terbatas. Karena sifat dari kejahatan yang ada dalam juridiksi Mahkamah tersebut, diasumsikan bahwa negara yang sedang berada di tengah atau baru saja usai mengalami perang saudara (civil wars) atau periode kekuasaan otoriter akan menjadi sumber dari kebanyakan kasus yang akan ditangani Mahkamah itu. Jadi ada kemungkinan bahwa penyelidikan yang diadakan oleh Mahkamah ini akan difokuskan kepada negara-negara di mana pembentukan komisi kebenaran juga dipertimbangkan, sehingga ada kemungkinan subjek penyelidikan dari kedua lembaga tersebut akan saling tumpang tindih. Hal tersebut dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan politik dan hukum yang sensitif, terutama berkenaan tentang penyelidikan yang saling tumpang-tindih, akses terhadap alat bukti dan penggunaan saksi. Sayangnya, mereka yang membuat terms of reference dari Mahkamah tersebut tidak memberikan cukup panduan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Menurut mereka yang terlibat dalam negosiasi mengenai statuta Mahkamah yang tegang dan berlangsung selama bertahun-tahun itu, selain pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan amnesti nasional, isu-isu mengenai hubungan Mahkamah dengan komisi kebenaran yang akan datang tidak pernah dibahas.2 Beberapa isu problematis yang mungkin terangkat tampak di dalam diskusidiskusi mengenai usulan pembentukan komisi kebenaran di Bosnia, terutama dapat dilihat dari reaksi keras dari Tribunal Pidana Internasional untuk Bekas Republik Yugoslavia (ICTY), yang menentang gagasan tersebut karena akan berselisih dengan penyelidikan yang sedang dilakukannya. Tribunal itu, yang adalah pengadilan internasional ad hoc yang dibentuk PBB untuk menanggapi kejahatan yang luar biasa kejam yang terjadi di wilayah yang pada saat itu merupakan Yugoslavia, memiliki mandat operasional yang mirip dengan pengadilan nasional di manapun, yakni Kejaksaannya menyidik dan menuntut individu, sementara panel hakim internasional akan mendengarkan dan memutus setiap kasus. Setelah Tribunal Yugoslavia berjalan selama beberapa tahun, pada tahun 1997 pembentukan suatu komisi kebenaran diusulkan di Bosnia, dengan tujuan agar menjadi badan komplementer yang akan bekerja di tingkat
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
nasional untuk mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran luar biasa yang telah terjadi. Gagasan komisi kebenaran ini berakar pada kesadaran bahwa ada tiga versi sejarah berbeda yang diajarkan di ketiga masyarakat etnis di Bosnia, yakni Serbia, kaum Muslim, dan Kroasia; dan versi-versi yang begitu berbeda tersebut dapat memicu kekerasan di masa yang akan datang. Usaha dari Tribunal tampaknya tidak berpengaruh dalam dinamika lokal ini, dan proses serta putusan sidang yang dilakukan di Den Haag, Belanda, tidak terlalu diperhatikan di Bosnia. Mereka yang mendukung gagasan komisi kebenaran berpendapat bahwa hanya dengan mengambil langkah-langkah tegas dan pasti ke arah rekonsiliasi konsep kebenaran dan sejarah yang berbeda-beda itu masyarakat Bosnia dapat menemukan suatu pendirian bersama dan mengendurkan tegangan antarketiga masyarakat etnis tersebut. Para pendukung komisi kebenaran juga bersikeras bahwa badan tersebut, yang akan didirikan oleh Kepresidenan Bersama Bosnia dan terdiri dari anggota komisi dan staf nasional maupun internasional, akan bersifat komplementer terhadap kerja dari Tribunal dan tidak akan mengurangi wewenang maupun keefektifan pengadilan tersebut. Sebaliknya, menurut mereka, suatu komisi kebenaran malah akan menguatkan cakupan Tribunal dengan membuat lebih banyak informasi tersedia, terutama materi-materi dalam bahasa lokal. Dalam proses penyelidikannya, komisi tersebut dapat meninjau, mengkatalogkan, dan menyimpulkan ribuan dokumen berbahasa lokal dan laporan pers serta ratusan kaset-kaset video yang selama ini berada di luar jangkauan Tribunal.3 Namun para pimpinan Tribunal khawatir bahwa komisi kebenaran Bosnia akan melemahkannya dengan terciptanya suatu struktur paralel dengan kepentingan yang saling tumpang-tindih. Dan Pimpinan serta Jaksa Tribunal secara terbuka menentang gagasan mendirikan komisi kebenaran selama kerja Tribunal belum selesai. Kekhawatiran Ketua Jaksa Penuntut Tribunal pada saat itu, Louise Arbour, dan Pimpinan Tribunal, Gabrielle Kirk McDonald, pertama kali diungkapkan di suatu konferensi di Belgrade, Yugoslavia, pada bulan November 1998.4 Mereka berargumen bahwa keberadaan dari Komisi Kebenaran dapat meremehkan pekerjaan dan peran dari Tribunal dengan mengizinkan individu-individu untuk bekerja-sama dengan Komisi sementara Komisi itu tetap terus menjalankan kewajibannya terhadap Tribunal; bahwa mungkin saja temuan Komisi tentang tanggung jawab politik tidak dapat dibedakan di mata masyarakat dari tanggung jawab kejahatan, yang kemudian membawa hal ini kepada permintaanpermintaan yang tidak masuk akal terhadap sebuah tuntutan; bahwa akan ada bahaya di mana Komisi dan Tribunal dapat menemukan fakta yang bertentangan, memberikan standard bukti-bukti yang lebih rendah bagi Komisi; bahwa bukti-bukti dapat saja tercemar oleh Komisi, terutama melalui wawancara saksi-saksi yang dilakukan secara berulang-ulang; dan bahwa Tribunal sudah menyediakan kebenaran sejarah, sehingga Komisi Kebenaran tidaklah penting untuk ada. Mereka juga beragumen bahwa Bosnia tidak siap untuk sebuah Komisi Kebenaran dan prosesnya pun sangat besar kemungkinannya untuk dimanipulasi oleh para praktisi politik lokal. Sebagai tambahan, beberapa pengamat di luar Tribunal khawatir bahwa Komisi Kebenaran, di mana akan sangat bergantung kepada pendanaan internasional, dapat menarik dana-dana dari Tribunal.5 Sementara hal-hal tersebut merupakan hal-hal yang penting untuk diperhatikan, dan beberapa dari hal-hal tersebut akan memerlukan perhatian yang sangat serius
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
sebelum Komisi di Bosnia dibentuk, banyak ahli hukum independen menyimpulkan bahwa tidak ada dari beberapa permasalahan di atas yang tidak dapat ditangani.6 Apakah beberapa pemain politik akan berusaha untuk menggunakan Komisi Kebenaran sebagai tameng untuk menghindari kesepakatan dengan Tribunal bukan hal yang dapat dikontrol oleh Komisi, kecuali apabila sebuah pernyataan publik dibuat sebagai usaha untuk meredakan manuver tersebut. Banyak negara yang menggunakan standard untuk bukti yang berbeda-beda untuk jenis pengadilan yang berbeda-beda (pidana dan perdata), dan setelah kejahatan masal, masyarakat harus dapat menghargai kenyataan di mana tidak semua dari tersangka dapat diadili.7 Masalah mengenai saksi-saksi yang sudah “tercemar” juga sering diajukan oleh jaksa, dan banyak yang berargumen bahwa hal ini seharusnya tidak menjadi masalah yang lebih menyulitkan bagi Tribunal; Komisi dapat mengurangi permasalahan-permasalahan ini dengan tidak mengambil pengakuan di bawah sumpah (untuk membantu melindungi pengakuan dari saksi dari kemungkinan akan direndahkan, apabila versi yang sedikit berbeda diberikan di pengadilan). Dan akhirnya, adalah benar bahwa keputusan Tribunal telah menyertakan berbagai deskripsi mengenai latar belakang sejarah setiap kasus, yang dapat membantu mengesahkan pencatatan sejarah, tetapi sayangnya keputusan ini tidak mudah diakses atau dibaca secara luas, terutama di Bosnia. Apakah Komisi Kebenaran sebaiknya dibentuk di Bosnia merupakan pertanyaan terbuka yang pada akhirnya harus diputuskan oleh Bosnia itu sendiri, bukan dunia internasional. Mungkin akan ada alasan penting untuk tidak membentuk Komisi Kebenaran kali ini – di mana komisi kebenaran akan dimanipulasi secara politik atau komisi kebenaran tidak dijalankan dengan itikad baik dapat menjadi argumen terkuat untuk menantangnya – tetapi apabila mengenai masalah tumpang-tindih peran dengan Tribunal tidak menjadi alasan yang cukup untuk membatalkan proposal dari komisi. Beberapa permasalahan yang diutarakan di Tribunal Yugoslavia sangat mungkin untuk terjadi di dalam bentuk yang serupa apabila Mahkamah Pidana Internasional berhubungan dengan masa depan dari Komisi Kebenaran. Sebagai tambahan, ada beberapa pertanyaan lain yang relevan untuk Mahkamah Pidana Internasional. Mungkin, hal yang paling penting adalah ketidakjelasan mengenai bagaimana dan kapan informasi dapat digunakan bersama antara Komisi Kebenaran Nasional dan Mahkamah.8 Statuta Mahkamah meminta semua negara pihak untuk bekerja-sama dengan Mahkamah, dan untuk “setuju dengan persyaratan dari Mahkamah untuk menyediakan … bantuan dalam hubungannya dengan penyidikan atau penuntutan”, termasuk “ketersediaan pencatatan dan dokumen-dokumen, termasuk pencatatan dan dokumen-dokumen resmi”.9 Namun demikian, waktu dan keadaan di mana informasi ini akan dibagi tidak diberitahukan; hal ini dapat menjadi suatu pertanyaan yang kritis bagi Komisi dan Mahkamah. Apabila Komisi menemukan bukti-bukti atau mendapatkan pengakuan yang dapat menghubungkan seorang individu dengan kejahatan kemanusiaan, genosida atau kejahatan perang, apakah Komisi harus secepatnya melaporkan hal tersebut ke Mahkamah? Apakah Komisi Kebenaran dapat menunggu sampai mereka selesai mengerjakan pekerjaannya sebelum mereka memindah-tangankan bukti-bukti yang mereka miliki, meskipun bukti tersebut memiliki pengaruh terhadap individu lain yang berada di bawah penyidikan Mahkamah, atau dapatkah Jaksa Penuntut Umum Mahkamah meminta akses terhadap bukti-bukti tersebut kapan pun juga? Bagaimana dengan Komisi Kebenaran yang beroperasi secara mandiri di dalam pemerintahan, seperti
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
yang telah dibentuk oleh perjanjian damai (peace accord) – apakah mereka akan memiliki kewajiban yang sama untuk membagi semua informasi dengan Mahkamah? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas dapat memiliki implikasi yang serius untuk Komisi Kebenaran. Apabila pencatatannya harus dibuat menjadi tersedia bagi Mahkamah, kemampuan Komisi Kebenaran untuk memberikan kerahasiaan bagi para saksi dapat berisiko, dengan demikian kekuatan penyidikan akan menjadi tertahan. Banyak dari komisi-komisi kebenaran terdahulu yang menawarkan kerahasiaan yang akan dijaga untuk mendapatkan pengakuan dari saksi-saksi kunci – merupakan alat yang sangat penting bagi komisi-komisi kebenaran yang tidak memiliki kekuatan pengadilan yang resmi dan bergantung kepada kesukarelaan dan kehendak dari para saksi untuk bersaksi. Beberapa korban dan saksi-saksi kunci mungkin takut untuk berbicara kepada Komisi apabila mereka tidak bisa percaya bahwa informasi yang mereka berikan akan dirahasiakan. Dan sudah pasti, para pelaku kejahatan yang sebaliknya mungkin saja hendak bekerja-sama dengan komisi secara diam-diam – sering kali menjadi sumber kritis informasi – akan menjadi ragu apabila mereka tahu bahwa pengakuan mereka mungkin saja akan diserahkan kepada Mahkamah untuk dituntut.10 Ada beberapa kasus di masa lalu yang dapat dijadikan contoh mengenai bagaimana komisi kebenaran berinteraksi dengan penyidikan pengadilan yang sedang berjalan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tuntutan domestik biasanya tidak terjadi ketika komisi kebenaran belum dijalankan – mungkin karena adanya amnesti yang mencegah tuntutan terhadap kejahatan hak-hak asasi manusia; karena sistem pengadilan yang tidak mampu atau tidak memiliki kehendak untuk mengerjakan kasus-kasus tersebut; atau karena pihak kejaksaan masih menunggu sampai komisi selesai dan menggunakan informasinya, seperti yang terjadi di Argentina. Di Afrika Selatan, di mana terjadi tumpang tindih untuk kasus-kasus yang disidik oleh kantor kejaksaan dengan komite amnesti komisi kebenaran, arus informasi, seperti sebelumnya, berjalan dari kantor kejaksaan menuju komisi kebenaran. Kebijakan resmi dari Jaksa Penuntut Umum di Afrika Selatan adalah mengizinkan staf komisi untuk melihat dokumen-dokumen mereka dan diperbolehkan untuk mencatat dokumen mereka, meskipun staf komisi memperhatikan kejadian-kejadian di mana akses terkadang ditunda atau di mana dokumen-dokumen penting terkadang sulit untuk diakses. Sementara itu, staf dari kantor kejaksaan menghadiri beberapa dari acara dengar-kesaksian yang diadakan komite amnesti Komisi tersebut. Mereka datang dengan harapan bahwa mereka dapat mempelajari informasi yang berguna bagi kasus mereka, mempertahankan kasus baik bagi yang mengajukan kasus, seandainya permintaan amnesti akan ditolak, atau dialihkan ke orang lain. Dengan mengindahkan potensi ketegangan di beberapa area di atas, adanya tumpang tindih antara komisi kebenaran dengan Mahkamah Pidana Internasional juga dapat menghasilkan beberapa keuntungan bagi kedua belah pihak. Laporan dari komisi mengenai pola kejahatan dalam lingkup yang lebih luas dapat membantu penyidikan Mahkamah untuk lebih fokus, terutama apabila komisi telah membuat kesimpulan kasusnya sebelum Jaksa Penuntut Umum Mahkamah memulai penyidikan di negaranya. Laporan komisi, bahan-bahan pendukung, dan wawancara dengan beribu-ribu korban dapat membantu dalam mengidentifikasi saksi-saksi dan bukti untuk jaksa penuntut, seperti yang telah terjadi di Argentina di mana tuntutan domestik menjadi jauh lebih kuat. Meskipun komisi tidak akan membubuhkan nama di dalam laporannya, data-data yang
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
terdapat di dalamnya dapat membantu mencari nama individu-individu yang terlibat di dalam kejahatan ini. Sebagai tambahan, seperti yang telah disarankan di Bosnia, komisi kebenaran nasional akan didukung oleh para ahli lokal dan fasilitas bahasa yang digunakan oleh negara yang sedang dipelajari, dan dapat mengadakan sumber-sumber ahli bahasa lokal di dalam persidangan, termasuk laporan media cetak dan video yang akan mendokumentasikan keadaan-keadaan yang terjadi selama masa penyidikan. Akhirnya, kebanyakan dari komisi kebenaran akan melaporkan hal-hal yang bersifat detail mengenai kekuatan dan kemandirian dari sistem pengadilan. Analisis ini dapat membantu Mahkamah untuk menentukan apakah negara “tidak mau atau tidak mampu” menyidik suatu kasus dan kemudian melakukan penuntutan, di mana hal ini merupakan ujian kunci bagi Mahkamah untuk memiliki sistem pengadilan yang baik.11 Sementara itu, komisi cenderung lebih menghargai keberadaan pengadilan internasional yang memiliki sistem pengadilan yang baik untuk kejahatan yang sedang disidik. Sementara beberapa korban meminta identitas mereka untuk dirahasiakan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak dari mereka yang telah memberikan pengakuan kepada komisi kebenaran menjadi tertekan oleh kurangnya esensi keadilan yang ditegakkan dan pengetahuan di mana ada kemungkinan pengakuan mereka akan digunakan oleh pengadilan internasional untuk menuntut dan menghukum tersangka. Kemungkinan bahwa dokumentasi tersebut dapat digunakan oleh pengadilan internasional untuk sebuah tuntutan dapat memberikan beban yang lebih besar lagi bagi kinerja komisi, dalam memfokuskan sasaran penyidikan, dan membantu membentuk standard bukti-bukti yang valid.
Peran “Komisi Kebenaran” untuk Mahkamah? Kantor Kejaksaan Tribunal Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia pernah disarankan untuk menggunakan fungsi dari komisi kebenaran. Contohnya, 3 dari para ahli dari Tribunal menyarankan agar “Kantor Kejaksaan sebaiknya disediakan dengan mandat dan staf tambahan untuk melayani komisi kebenaran yang akan bertanggungjawab untuk mencapai tujuan dari membentuk suatu catatan sejarah yang akurat dan tidak bias dari kejadian pemusnahan etnis dan genosida di Bosnia”.12 Meskipun rekomendasi yang spesifik tersebut cenderung tidak diindahkan, hal tersebut telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan berkisar tentang perlunya ide yang serupa dipertimbangkan untuk dibentuk di dalam Mahkamah Pidana Internasional secara permanen. Untuk banyak alasan, hal tersebut sepertinya tidaklah bijaksana. Mahkamah tidak akan dapat berdiri di posisi untuk memenuhi seluruh fungsi dari komisi kebenaran. Akan menjadi tidak adil dan tidak realistis meminta kantor kejaksaan untuk mengeluarkan sebuah laporan yang menyimpulkan kejadian-kejadian apabila proses penuntutan dari kejadian ini pun masih sedang dalam proses. Menimbang bahwa keadaan penuntutan yang demikian dapat terjadi dan memakan waktu bertahun-tahun, atau dapat dijalankan lagi setelah bertahuntahun ketika ada bukti baru yang muncul, kantor kejaksaan memiliki kecenderungan untuk menolak menyiarkan sebuah kesimpulan atas bukti-bukti yang mereka miliki di tangan mereka. Sebagai tambahan, kantor kejaksaan harus beroperasi di bawah satndardisasi bukti dan dengan niatan di mana fokus untuk kasus individu juga sangatlah penting untuk persidangan. Kantor kejaksaan mungkin memang tidak pada posisinya
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
untuk menyimpulkan pola yang terjadi seperti cara yang bisa dilakukan oleh komisi kebenaran. Terlebih lagi, kantor kejaksaan pasti akan merasa tidak nyaman mengajukan kebijakan yang akan menyarankan negara untuk mempertahankan sistem pengadilan, sistem politik atau angkatan bersenjata, atau untuk merancang kebijakan yang dapat memperbaiki keadaan yang dapat mengobati luka semua korban. Dengan menahan komisi kebenaran – tanggung jawab pengadilan internasional selama proses penuntutan dapat menahan kemampuan pengadilan dan sumber-sumbernya, dapat melemahkan fokus, dan dapat menahan keluarnya laporan akan kebenaran yang dibatasi secara tidak adil. Di pihak lain, Kantor Jaksa Penuntut Umum Mahkamah tampaknya mengumpulkan banyak informasi selama masa kerjanya yang tak akan dipaparkan di pengadilan. Karena materi-materi dalam filenya akan tetap diperlakukan sebagai materi penyelidikan pidana, maka tampaknya dokumen tersebut tidak akan pernah dibuka untuk dikomentari atau ditinjau oleh pihak luar. Untuk menarik manfaat dari kekayaan informasi tersebut, dan untuk memberikan sumbangan pada pemahaman publik yang lebih luas tentang konflik atau tentang suatu masa pemerintahan otoritarian, maka sangatlah berguna bagi kantor penuntut untuk merilis sebuah laporan ringkas tentang hasil-hasil temuannya setelah diadakan kesimpulan atas pelbagai kasus yang tengah ditangani di sebuah negara tertentu atau dari situasi tertentu. Proses seperti ini mengikuti gaya penuntut umum di Amerika Serikat, yang selalu menyerahkan laporan hasil tinjauan pada kesimpulan akhir kerja mereka. Penulisan laporan semacam itu tidak ditentukan sebagai tuntutan baku dan tidak juga dilarang dalam statuta Mahkamah. Namun demikian, penambahan tanggung jawab semacam itu pada kerja atau kewajiban jaksa penuntut umum akan menuntut suatu pengorbanan tenaga dan waktu tambahan, dan, jika digunakan semua, sebaiknya hanya diterapkan pada kasus-kasus tertentu saja berdasarkan kewenangan penuntut itu sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya penantian yang panjang terhadap keputusan Mahkamah untuk menyimpulkan semua kasus yang relevan terhadap situasi tertentu, laporan akhir penuntut umum umumnya tidak akan menggantikan peran komisi kebenaran yang dituntut untuk bekerja cepat dan independen. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 14 Melihat Komisi dari Dalam: Masalah dan Penyelesaian Komisi kebenaran nyaris tidak pernah berjalan dengan demikian lancar, mudah, mendapat cukup dana, dikelola dengan baik atau tidak memiliki komplikasi politik. Sebaliknya, hampir semua komisi kebenaran mengalami sejumlah besar permasalahan metodologis, operasional dan politis, dan bekerja di bawah tekanan waktu yang luar biasa, dengan beban moral dan emosional yang berat dan risiko mendapatkan kesimpulan yang keliru. Sering kali komisi menjadi sasaran ancaman kekerasan secara terbuka oleh mereka yang merasa terancam akibat penyelidikannya. Mereka menghadapi ratusan pertanyaan operasional penting yang akan menentukan jenis dan kualitas kebenaran yang akan ditemukan, pertanyaan-pertanyaan yang sukar ditemukan jawabannya. Bahkan dalam kondisi yang paling mendukung, dengan pengelola yang terbaik dan sumber daya yang cukup, masih tetap ada banyak masalah dan tekanan yang berat. Mungkin agak mengejutkan bahwa sebagian besar pertanyaan metodologi mendasar dan definisional yang menentukan jangkauan dan efektivitas komisi kebenaran sering kali diserahkan untuk dijawab komisi kebenaran itu sendiri, meskipun memiliki signifikansi politik yang besar. Bahkan pertanyaan yang paling mendasar pun sering kali menjadi sumber kontroversi dan ketidaksepakatan di dalam dan luar komisi yang sedang bekerja. Namun, banyak dari masalah dan pertanyaan tersebut serupa dari komisi ke komisi. Sementara itu, masing-masing pertanyaan dan masalah harus dijawab dengan hati-hati dan sesuai dengan kondisi yang berbeda, bergantung pada kebutuhan dan kemungkinan yang ada; namun bagaimanapun, banyak yang bisa dipelajari dari kesulitan-kesulitan yang dialami komisi kebenaran yang sudah ada.
Pensponsoran: Siapa yang Membentuk dan Memberi Kekuasaan kepada Komisi Kebenaran? Sebagian terbesar komisi kebenaran hingga saat ini dibentuk melalui keputusan presiden; presiden menunjuk komisioner dan memberikan mandat kepada komisi tanpa harus membicarakannya lebih dahulu dengan pihak lain (legislatif), selain dengan sekelompok kecil penasihat. Komisi yang dibentuk atas keputusan presiden dapat ditetapkan dengan segera dan menghindari pertikaian politik dalam badan legislatif yang lemah atau terbelah. Di Argentina dan Cili, misalnya, presiden sipil yang baru diangkat memutuskan bahwa proses pengesahan RUU melalui parlemen akan membutuhkan terlalu banyak waktu atau kompromi politik. Sehingga salah satu langkah resmi pertama mereka adalah membentuk komisi secara independen, dengan memanfaatkan dukungan yang mereka dapatkan dari masyarakat terhadap pemerintahan sipil yang baru itu, dan dalam kasus Argentina, berkurangnya kekuasaan militer. Komisi-komisi di Haiti, Sri Lanka, Chad dan Uganda juga dibentuk melalui keputusan presiden tanpa banyak perdebatan publik mengenai mandatnya.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Komisi-komisi kebenaran lainnya dibentuk melalui keputusan badan legislatif nasional, sering kali dengan kemungkinan pemberian kekuasaan yang lebih besar daripada komisi yang dibentuk melalui keputusan presiden, seperti kekuasaan untuk memanggil tersangka, menggeledah dan menyita. Komisi Afrika Selatan merupakan contoh terbaik betapa banyak kekuasaan penting yang bisa diberikan kepada komisi yang dibentuk melalui keputusan parlemen. Dalam sebuah sistem demokrasi yang berfungsi, dengan masyarakat sipil yang kuat, proses penyusunan undang-undang pembentukan komisi kebenaran bisa memberikan substansi kepada komisi dan legitimasi bagi komisi tersebut secara politik di hadapan publik. Pada saat ini ada dua contoh komisi kebenaran yang dibentuk melalui kesepakatan damai. Di El Salvador, dalam perundingan perdamaian ditentukanlah mandat dan dukungan serta tanda tangan dari pihak-pihak yang berdamai, bahkan sebelum dunia luar tahu bahwa ada pembicaraan tentang komisi kebenaran. Sebaliknya, di Guatemala, terdapat tekanan kuat dari kelompok korban dan hak asasi manusia, yang sudah sejak dini diorganisir, untuk membentuk komisi kebenaran yang kuat. Komisi kebenaran El Salvador dan Guatemala keduanya ditangani oleh PBB dan anggotanya ditunjuk oleh PBB, namun bekerja secara independen dan bukanlah badan PBB itu sendiri. i Komisi Guatemala, utamanya, memiliki identitas legal khusus yang “menempatkannya pada zona tak bertuan antara hukum domestik dan internasional,” menurut ketua komisi itu, Christian Tomuschat, seorang pengajar hukum internasional di Jerman.ii Komisi kebenaran di Sierra Leone juga disepakati secara umum melalui kesepakatan damai, namun mandatnya diberikan melalui badan legislatif. Penyusunan undang-undang ini dibantu oleh masukan dari kantor UN High Commissioner for Human Rights (UNHCHR), yang membantu menyarankan redaksi spesifik untuk mandat komisi tersebut. Akhirnya, kedua komisi yang dibentuk Kongres Nasional Afrika merupakan contoh komisi yang dibentuk kelompok perlawanan bersenjata untuk menyelidiki dan secara terbuka melaporkan pelanggaran yang ia lakukan di masa lalu. Bahkan dalam keempat model tersebut – komisi yang dibentuk melalui keputusan presiden, parlemen, kesepakatan damai atau kelompok oposisi bersenjata – terdapat berbagai variasi menarik. Sebagai contoh, Institut Perdamaian Amerika Serikat, sebuah institusi penelitian dan kebijakan di Washington yang didanai Kongres, diminta oleh pemerintah Bosnia pada tahun 1997 untuk merancang mandat komisi kebenaran untuk Bosnia. Jika komisi tersebut dibentuk, institut tersebut bisa membantu menunjuk komisi pemilihan untuk memilih para komisioner. Setelah diangkat, komisi tersebut akan bekerja secara independen.iii
Pertimbangan tentang Pengelolaan dan Staf Mungkin faktor terpenting yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah komisi kebenaran adalah orang-orang yang dipilih untuk menjalankannya. Beberapa komisi mengalami masalah serius yang jelas ditimbulkan oleh penanganan yang lemah, yang menimbulkan konflik antar-staf, penyelidikan yang lambat untuk dimulai atau salah arah, dan pendanaan yang kurang. Kekuatan direktur eksekutif sebuah komisi kebenaran terutama sangat penting bila komisioner tidak bekerja secara penuh waktu dan tidak memberikan manajemen serta pengarahan hari demi hari, misalnya bila komisioner berasal dari negara lain dan tidak selalu berada di negara yang bersangkutan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Kepemimpinan sebuah komisi kebenaran berbeda dengan jabatan pemerintahan atau non-pemerintah lainnya, karena adanya tekanan publik dan politik yang besar terhadap pekerjaan tersebut, batasan waktu yang ketat yang memerlukan kepemimpinan administratif yang kuat dan kemampuan organisasional yang kreatif, dan banyaknya kegiatan yang perlu dikerjakan oleh komisi, dari penggalian kembali kuburan massal untuk penyelidikan forensik, hingga menjalankan kampanye publik, serta membangun kantorkantor di lapangan. Seorang kepala komisi harus memiliki kepemimpinan yang kuat dalam mengawasi penyelidikan, logistik, rekruitmen dan manajemen staf yang besar dan beragam, dan mendapatkan serta mengelola dana. Sementara para komisioner pada umumnya tidak terlalu terlibat dalam pengelolaan sehari-hari, mereka biasanya mengarahkan penyelidikan, menyusun kebijakan komisi dan memiliki keputusan akhir untuk menentukan apa yang akan dicantumkan dalam laporan akhir komisi. Sebagai wajah publik sebuah komisi, otoritas personal dan politik komisioner bisa berperan penting dalam menyikapi para penguasa yang berkepala batu. Para anggota komisi El Salvador, misalnya, menyatakan bahwa kualitas terpenting para komisionernya adalah kemampuan personal untuk menelpon siapa saja dan pada saat kapan saja. Anggota komisi tersebut, yang mencakup mantan presiden Kolombia, Belisario Betancur, dan mantan presiden Mahkamah Inter-Amerika, Thomas Buergenthal, menemukan bahwa koneksi personal mereka amat penting dalam menjalankan tugas mereka.iv
Pemilihan Komisioner Para anggota hampir semua komisi kebenaran dipilih melalui prosedur yang berdasarkan pada apa yang dianggap baik oleh otoritas yang menunjuk, biasanya presiden sebuah negara, namun tanpa konsultasi dengan masyarakat sipil atau masyarakat luas. Namun belakangan ini, beberapa komisioner ditunjuk melalui proses yang lebih kreatif dan dengan melibatkan konsultasi. Di Ekuador, beberapa komisioner ditunjuk langsung oleh organisasi non-pemerintah, sehingga aktivis hak asasi manusia menjabat dalam komisi bersama-sama dengan wakil dari militer. Di Guatemala, satu dari tiga komisioner dipilih dari daftar yang diajukan rektor-rektor universitas di Guatemala. Undang-undang pembentukan komisi Afrika Selatan disusun melalui proses konsultatif yang lebih mendalam. Undang-undang tersebut hanya menyatakan bahwa komisioner haruslah “orang yang tepat, yang tidak memihak dan tidak memiliki profil politik yang tinggi”. Sebuah komisi pemilihan dibentuk, dengan wakil dari organisasi hak asasi manusia, yang kemudian meminta pengajuan nama dari masyarakat. Komisi pemilihan tersebut mendapatkan sekitar 300 nama, yang kemudian disempitkan menjadi 50 orang melalui wawancara, yang dilakukan secara terbuka dan diliput oleh pers. Komisi tersebut menentukan 25 finalis dan memberikannya kepada Presiden Nelson Mandela, yang kemudian memilih 17 komisioner. Untuk mencapai perimbangan geografi dan politik, Mandela kemudian menambahkan dua komisioner tanpa melalui proses tersebut. Di Sierra Leone, akta pembentukan komisi kebenaran memberikan cara lain lagi untuk memilih komisioner. Wakil khusus sekretaris jenderal PBB di Freetown ditunjuk melalui akta tersebut sebagai koordinator seleksi dan ditugaskan untuk meminta nominasi dari masyarakat. Sementara itu, sebuah dewan seleksi dibentuk (dengan wakil yang ditunjuk dari pihak mantan oposisi bersenjata, presiden, komisi hak asasi manusia resmi,
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dewan antar-umat beragama pemerintah dan koalisi kelompok hak asasi manusia); dewan ini akan mewawancara para finalis, memberikan penilaian dan komentar dan memberikan hasil penilaian tersebut kepada koordinator seleksi yang kemudian akan memilih empat kandidat final. Tiga anggota internasional komisi tersebut dipilih komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia, Mary Robinson. Daftar calon anggota komisi, baik nasional maupun internasional, yang terpilih akan diberikan kepada presiden Sierra Leone untuk pengesahannya (Proses ini baru dimulai ketika buku ini naik cetak dalam versi aslinya).v Sebagaimana perancangan mandat komisi, sebuah komisi akan mendapatkan dukungan publik yang lebih besar bila anggotanya dipilih melalui proses konsultatif. Mereka yang menentukan pilihan akhir juga harus mempertimbangkan keahlian spesifik yang bisa berguna, dan harus menjamin bahwa ada keterwakilan yang adil antara pandangan politik, kelompok etnik atau regional dan gender.
Siapa yang Menjadi Staf Komisi Kebenaran? Komisi kebenaran Argentina mulai bekerja dengan staf yang dialihtugaskan dari Departemen Dalam Negeri, namun para pegawai negeri tersebut tidak bertahan lama. Mereka tidak memiliki pengalaman bekerja dengan masalah hak asasi manusia, dan sebelumnya tidak pernah mendengar kisah-kisah keji yang ditemukan komisi tersebut. Ketika mereka mulai mendengarkan kesaksian, banyak yang mengalami gangguan mental. vi Untuk mendapatkan orang-orang dengan pengalaman, pengetahuan dan ketahanan emosional untuk menghadapi masalah tersebut, komisi akhirnya mengambil stafnya dari organisasi hak asasi manusia nasional, sebuah keputusan yang dikatakan menentukan keberhasilan komisi tersebut. Namun pengalaman mendasar hak asasi manusia pun tetap tidak memadai untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan komisi kebenaran. Luasnya cakupan kerja dan tanggung jawab komisi kebenaran membutuhkan sejumlah besar keahlian. Selain ahli hukum hak asasi manusia dan penyelidik, sebuah komisi juga akan membutuhkan ilmuwan sosial atau psikolog, spesialis komputer dan sistem informasi, staf koding dan entri data, koordinator logistik, penerjemah dan petugas keamanan. Beberapa keahlian spesifik yang membutuhkan banyak sumber daya dan dipergunakan secara sementara biasanya didapatkan melalui konsultasi dengan para pakar di luar komisi tersebut. Komisi-komisi kebenaran menggunakan jasa tim forensik non-pemerintahan, seperti Tim Antropologi Forensik Argenina, yang membantu komisi-komisi di El Salvador, Haiti dan Afrika Selatan, dan Yayasan Antropologi Forensik Guatemala, yang membantuk komisi Guatemala untuk menggali dan menyelidiki kuburan massal atas nama mereka. Banyak komisi juga mengkontrakkan manajemen informasi dan pusat data kepada para pakarnya. Sementara beberapa komisi kebenaran bekerja dengan jumlah staf yang minim, dan memberikan sebagian terbesar kerja kepada para komisioner, terdapat gejala bahwa di masa depan komisi akan memiliki staf profesional dalam jumlah besar. Komisi kebenaran di Cili dan Argentina memiliki sekitar 60 staf penuh waktu, jauh lebih besar daripada komisi-komisi lainnya sebelum tahun 1995. Namun dengan semakin tingginya pengakuan terhadap kompleksitas dan kesulitan proses-proses dalam komisi, ukuran, sumber daya dan kecanggihan komisi juga semakin besar. Afrika Selatan memegang rekor jumlah staf komisi kebenaran, dengan sekitar 300 staf di empat kantor antara tahun 1996-1998; komisi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Guatemala, yang bekerja antara tahun 1997-1999, memiliki paling banyak 200 pegawai (lihat Tabel 7 untuk perbandingan sumber dan tanggung jawab komisi-komisi kebenaran di masa lalu).vii Mungkin tidak terpikirkan untuk mengambil staf komisi kebenaran dari militer atau polisi nasional, apalagi di Amerika Latin, karena merekalah pihak-pihak yang paling bertanggung-jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang sedang diselidiki, dengan impunitas yang diberikan pemerintahan kanan. Ini berlaku di hampir semua negara yang baru selesai dari pemerintahan otoriter, karena independensi, ketidakmemihakan dan kerahasiaan merupakan syarat utama dalam tugas-tugas komisi kebenaran. Namun di Afrika Selatan, komisi menempatkan beberapa anggota kepolisian dalam jajaran penyelidiknya dan pada umumnya tidak dipermasalahkan (kecuali seorang mantan polisi keamanan yang ketidakberpihakannya dipertanyakan). Sementara sebagian terbesar penyiksaan dan pembunuhan di Afrika Selatan dilakukan oleh polisi, secara keseluruhan polisi tidaklah seburuk rekan-rekannya di Amerika Latin. Penyelidik kepolisian dalam jajaran staf komisi – dan dalam tim penuntut – memberikan pengetahuan orang dalam tentang organisasi yang sedang diselidiki, informasi yang dianggap amat penting. Pelatihan khusus mungkin diperlukan bahkan bagi staf yang paling berpengalaman pun, terutama bagi staf internasional dan semua yang turun ke lapangan untuk mendengarkan kesaksian. Informasi mendetail dan kontekstual yang ditunjukkan kegunaannya oleh komisi kebenaran di masa lalu adalah: sejarah penindasan di negara tersebut; deskripsi jenis-jenis penyiksaan yang dilakukan, dan apa sebutannya oleh penduduk di berbagai tempat yang berbeda; siapa para pemimpin terpilih di daerah-daerah yang akan didatangi, demikian juga organisasi non-pemerintah yang penting dan para pimpinannya; afiliasi politik dan perbedaan antara organisasi (untuk menghindarkan kesan bahwa komisi memihak salah satu kelompok); informasi tentang ancaman bahaya terhadap para penyelidik komisi; perbedaan antara berbagai wilayah di sebuah negara, termasuk penilaian tentang keberlanjutan kekerasan, tingkat politisasi, dan kemungkinan konsentrasi para korban di berbagai wilayah; bagaimana cara menyikapi tekanan psikologis dari mendengarkan kesaksian; dan bagaimana cara menenangkan saksi/korban yang menunjukkan tanda-tanda trauma psikologis.
Nasional atau Internasional? Hingga tahun 1992, para staf dan komisioner dari sebuah komisi kebenaran selalu adalah warga negara yang diselidiki tersebut. Namun komisi El Salvador memilih untuk meninggalkan pola ini. Dibentuk di bawah administrasi dan diawasi PBB, ketiga komisioner dan kedua puluh lima anggota staf komisi tersebut semuanya bukan warga negara El Salvador. viii Secara umum komisi menghindari mempekerjakan orang yang memiliki pengalaman bekerja dengan isu hak asasi manusia El Salvador, karena pengalaman demikian bisa ditafsirkan sebagai bias yang mengurangi netralitas komisi tersebut. Banyak dari mereka yang memahami El Salvador diabaikan dalam proses itu. Mereka yang mendukung pendekatan ini menganggap bahwa dalam kondisi polarisasi politik di negara tersebut, tantangan militer dan sayap kanan terhadap komisi tersebut akan semakin kuat bila ada tanda-tanda sekecil apa pun dari bias dalam staf.ix
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Namun, beberapa pengamat merasa bahwa seharusnya komisi tersebut belajar dari pengetahuan internasional tentang El Salvador dan bekerja-sama dengan lebih erat dengan organisasi-organisasi hak asasi manusia El Salvador. Dan, para pengkritik tersebut menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam laporan yang menurut mereka timbul dari kurangnya pemahaman mendalam tentang negara dan sistem politik El Salvador. Para pakar hak asasi manusia internasional juga menyatakan bahwa komisi yang beranggotakan warga negara akan memberikan rasa kepemilikan lebih besar terhadap laporan tersebut, dan akibat yang lebih terasa. Sementara mengakui kesulitan penggunaan staf dan komisioner lokal di El Salvador, Komite Pakar Hukum untuk Hak Asasi Manusia yang berpusat di New York, misalnya, menulis bahwa “kegunaan jangka panjang komisi kebenaran atau badan serupa patut diragukan dengan ketiadaan partisipan lokal. Warga El Salvador tidak dilibatkan dalam perencanaan atau pelaksanaan kerja tersebut; tim tersebut – semuanya warga internasional – pergi setelah penelitian mereka selesai, meninggalkan kekosongan”.x Namun hampir semua warga El Salvador, termasuk pakar hak asasi manusia, menekankan bahwa komisi yang beranggotakan warga nasional praktis tidak mungkin berjalan. Tidak ada warga El Salvador dengan otoritas dan netralitas politik untuk mengetuai komisi tersebut, dan kecil kemungkinan bagi komisi domestik untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih keras daripada yang didapatkan oleh komisi internasional tersebut. Para saksi kemungkinan akan takut untuk memberikan kesaksian kepada sesama warga El Salvador, tidak yakin terhadap kerahasiaan proses tersebut dan orientasi politik pencatat kesaksian tersebut – sebuah masalah yang kemudian dialami komisi lanjutan yang menyelidiki pasukan pembunuh. Lebih lagi, pengalaman Komisi Ad Hoc yang paralel dengan komisi kebenaran, yang menyarankan agar anggota militer dicopot dari jabatannya karena pelanggaran hak asasi manusia, menunjukkan dengan jelas risiko yang dihadapi. Ketiga anggota komisi tersebut adalah warga El Salvador yang dihormati dan secara politis “tengah”, namun setelah menyampaikan laporan rahasia mereka yang menyarankan agar lebih dari 100 orang dipecat, masing-masing mendapatkan ancaman pembunuhan. Dua anggota komisi tersebut terpaksa keluar negeri selama lebih dari setahun demi keselamatan mereka, yang ketiga terpaksa mempekerjakan pengawal pribadi. El Salvador adalah satu-satunya komisi kebenaran hingga saat ini yang sepenuhnya dijalankan oleh warga internasional, namun beberapa komisi sesudahnya menggunakan model “campuran” antara staf atau komisioner lokal dan internasional. Model campuran ini bekerja dengan baik, memungkinkan pemahaman lokal dan keahlian internasional untuk saling melengkapi, dan dalam beberapa kondisi, memberikan pelatihan bagi warga negara tentang standar metodologi penyelidikan hak asasi manusia internasional, suatu kemampuan yang penting untuk masa depan.xi Kecuali bila ada argumen kuat untuk tidak melakukannya, sebaiknya komisi kebenaran memiliki anggota warga negara sendiri pada tingkat komisioner dan staf (selain anggota internasional, bila ada). Beberapa negara bisa tidak melibatkan warga asing – untuk alasan kehormatan nasional, karena situasi yang sedang diselidiki dianggap terlalu kompleks bagi warga internasional, atau bila terdapat cukup orang di dalam negeri yang memiliki kualifikasi untuk menjadi komisioner dan staf.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Alokasi Waktu: Kapan dan untuk Berapa Lama? Meskipun kondisi masing-masing negara berbeda, sebagai panduan umum sebuah komisi kebenaran harus mulai bekerja begitu transisi politik dimulai, bekerja selama paling tidak 9 bulan namun tidak lebih dari 2 atau 2½ tahun, dan harus selalu memiliki tenggat waktu untuk penyelesaian laporannya, meskipun ada perpanjangan waktu.
Kapan Mulai? Hampir semua negara akan diuntungkan bila komisi kebenaran segera dibentuk. Momentum politik dan dukungan masyarakat terhadap inisiatif demikian biasanya paling tinggi pada saat tersebut, ketika pemerintah baru mulai menjabat atau perang saudara berakhir, dan muncul kesempatan yang singkat untuk mendorong momentum tersebut ke arah reformasi serius, pencopotan para pelanggar hak asasi manusia, atau ganti rugi bagi para korban. Pembentukan komisi kebenaran dengan segera juga akan memberikan efek sekunder yaitu menunda tekanan untuk menjalankan reformasi di bidang lainnya dan bentuk-bentuk pertanggungjawaban lainnya, dan memberikan waktu bagi pemerintah untuk meninjau ulang, menyusun rencana dan memperkuat institusi yang diperlukan untuk memajukan inisiatif keadilan transisional lainnya. Mantan ketua komisi Cili menggambarkan salah satu kontribusi terpenting komisi tersebut adalah “memberikan kesempatan satu tahun bagi Presiden Aylwin, agar institusi demokrasi mulai bekerja, sebelum mulai membahas masalah pelanggaran di masa lalu”.xii Dengan cara tertentu, sebuah komisi kebenaran yang dibentuk dengan segera bisa menjadi titik perhatian utama dalam perdamaian yang baru tercapai; sebagai badan transisional yang baru, sebuah komisi kebenaran sering kali menguji batas-batas kebebasan dalam sistem politik baru dan kemauan kerja sama yang diberikan pihak penguasa. Ini tentu saja menunjukkan batasan-batasan seberapa jauh komisi dapat mendorong penyelidikannya, demikian juga kecemasan terhadap keamanan dan keselamatan para anggota staf dan komisioner. Namun hal ini hanyalah dampak sampingan yang perlu dipertimbangkan bila memilih strategi yang pada umumnya menguntungkan ini. Ada beberapa perkecualian penting terhadap strategi “lebih cepat lebih baik” ini. Afrika Selatan membutuhkan waktu 18 bulan untuk merancang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi setelah pemilihan umum demokratik pada tahun 1994. Masa persiapan ini penting untuk menyusun undang-undang pembentukannya yang kompleks, mendapatkan dukungan dari hampir semua partai politik, dan mendapatkan masukan dari banyak pengamat luar, yang memberikan legitimasi bagi komisi tersebut. Komite Keadilan dalam parlemen Afrika Selatan mengadakan dengar-pendapat publik tentang undang-undang tersebut selama lebih dari 150 jam, mendapatkan masukan dari organisasi hak asasi manusia, korban, asosiasi mantan perwira polisi, gereja dan lain-lainnya. Organisasiorganisasi hak asasi manusia internasional mengirimkan pandangan dan kritikan mereka terhadap undang-undang tersebut. Dan akhirnya, setelah undang-undang tersebut disahkan, proses pemilihan komisioner yang amat terbuka, seperti digambarkan di muka, membutuhkan waktu beberapa bulan lagi, namun tahapan-tahapan tersebut amat memperkuat komisi itu.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Lamanya masa persiapan yang tepat bagi komisi kebenaran bergantung pada budaya politik dan kondisi negara yang bersangkutan. Oposisi Afrika Selatan memiliki tradisi panjang masukan publik dan diskusi tentang penyusunan kebijakan; adalah hal yang tidak bisa diterima secara politis bila membentuk komisi kebenaran atas perintah presiden baru secara sepihak. Selain itu, tidak banyak momentum transisional yang hilang dalam masa 18 bulan ketika warga Afrika Selatan membicarakan undang-undang tersebut. Keterlibatan serius masyarakat sipil dengan komisi kebenaran sangat penting dan harus didorong. Namun bila masyarakat sipil dan institusi demokrasi lemah, sebaiknya memang komisi kebenaran dibentuk secepatnya, terutama bila hanya ada masa dukungan yang singkat terhadap pemerintahan baru dan inisiatif-inisiatifnya.
Berapa Lama Bekerja? Hampir semua komisi kebenaran hingga saat ini mendapatkan tenggat waktu selama enam bulan hingga satu tahun untuk menyelesaikan penyelidikannya dan menyerahkan laporan, kadang-kadang dengan kemungkinan perpanjangan. Komisi-komisi yang lebih mutakhir bekerja lebih lama: komisi Afrika Selatan selama hampir tiga tahun (ditambah dua tahun lagi untuk penyelesaian akhir setelah menyerahkan laporan), satu setengah tahun untuk komisi Guatemala. Untuk berbagai alasan, sangat penting untuk memberikan tenggat waktu yang singkat bagi komisi kebenaran; setahun hingga dua setengah tahun mungkin masa yang optimal. Memang menyusun rencana kerja, mengumpulkan dan mengorganisir dokumentasi, menerima dan memproses kesaksian dari ribuan korban, memilih kasus representatif dan menyelesaikan penyelidikan, serta menyelesaikan laporan dalam jangka waktu yang diberikan, adalah hal yang sukar, bahkan dengan waktu dua tahun. Namun keuntungan yang diberikan oleh komisi yang segera selesai lebih besar daripada pengorbanan yang harus diberikan dengan memotong penyelidikan. Laporan sebaiknya diumumkan ketika masih terdapat momentum untuk transisi, ketika masih ada semangat untuk rekonsiliasi dan ada kemungkinan lebih besar bahwa saran-saran yang diberikan akan benar-benar diterapkan. Sebuah komisi kebenaran tidak bisa berharap untuk mendokumentasikan atau menyelidiki semua hal yang bisa ditelitinya menurut mandatnya; namun ia harus memilih beberapa kasus sampel untuk diselidiki dan hanya merangkum yang lainnya. Meskipun pemberian tenggat waktu menimbulkan berbagai batasan, ketiadaan tenggat waktu akan membuat kerja komisi menjadi buruk. Komisi Penyelidikan yang dibentuk di Uganda pada tahun 1986 tidak diberi batas waktu: diperlukan waktu lebih dari 9 tahun sebelum ia selesai, dan pada saat itu ia sudah kehilangan perhatian dan dukungan publik. Pada ujung yang lain, komisi El Salvador tak berhasil menyelesaikan tugasnya dalam waktu enam bulan yang dialokasikan kepadanya; untungnya ia bisa mendapatkan perpanjangan waktu dua bulan. Banyak penyelidikan kebenaran lainnya mengalami masalah yang sama: mereka kehilangan banyak waktu untuk persiapan administratif dan logistik, yang menyita banyak waktu dari jangka waktu yang diberikan. Kegiatan penting seperti menyewa dan mempersiapkan perabotan kantor, mendapatkan staf, dan membuat atau mengadaptasi program pusat data, demikian juga tugas yang lebih berat seperti mendapatkan dana dan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
merancang program cakupan publik, bisa dengan mudah menyita waktu berbulan-bulan bahkan sebelum ia mulai melakukan penyelidikan atau mendengarkan kesaksian. Penundaan demikian menimbulkan banyak kekecewaan pada para pengamat yang merasa frustrasi dengan kelambatan komisi tersebut. Di masa depan, untuk menghindari hal ini sebaiknya dimandatkan waktu persiapan yang eksplisit, mungkin tiga sampai enam bulan, sebelum komisi mulai bekerja. Selama masa ini, sumber daya, dukungan dan konsultasi internasional harus dimungkinkan untuk membantu persiapan komisi tersebut.
Masalah Keuangan: Anggaran dan Pendanaan Kekurangan dana atau harus beroperasi dengan anggaran yang ketat sering kali dialami komisi kebenaran – termasuk di Afrika Selatan, yang memiliki anggaran sekitar $18 juta per tahun (yang perlu diperhatikan, banyak pengamat yang mengeluhkan bahwa komisi ini “kekurangan sumber daya”). Kekurangan dana juga menjadi masalah, paling tidak pada tahapan awal, pada komisi Guatemala, dengan anggaran $9,5 juta untuk 18 bulan, dan El Salvador dengan anggaran $2,5 juta untuk 8 bulan. Hanya di Cili, sekretaris eksekutif komisi kebenaran menyatakan bahwa ia mendapatkan cukup sumber daya untuk menjalankan tugasnya dan pemerintah tampaknya bersedia memberikan semua dana yang dibutuhkan untuk keberhasilan penyelesaiannya. Biaya yang ditelan komisi tersebut pada akhirnya mencapai sekitar $1 juta, namun jumlah kasus yang diselidikinya jauh lebih sedikit daripada komisi-komisi lainnya. Hingga sejauh mungkin, sebaiknya dana komisi kebenaran harus disepakati dan disediakan sejak awal kerjanya. Ini terutama penting bila komisi sepenuhnya atau sebagian besar didanai oleh negara yang diselidiki itu, sehingga masalah pendanaan tidak bisa dijadikan titik tawar untuk mempengaruhi kerja komisi tersebut. Beberapa komisi nyaris dilumpuhkan oleh masalah dana dan kegagalannya mendapatkan pendanaan. Komisi kebenaran sembilan tahun di Uganda mulai bekerja pada tahun 1986 di kantor yang nyaman, dan pada tahun-tahun pertamanya menjadi pusat perhatian publik. Namun setelah bertahun-tahun, ia kehilangan perhatian publik, berulang kali kehabisan dana, dan berpindah kantor empat kali, hingga ketika saya mengunjunginya, kantor tersebut terletak di lantai tiga gedung reot di sebuah gang di bagian kumuh dari kota itu. Komisi tersebut harus menghentikan kerjanya beberapa kali sementara ia berusaha mendapatkan dana. Pada tahun 1987, Ford Foundation memberikan hibah $93.300 untuk menyelesaikan kerjanya, namun ia kemudian masih harus meminta dana dari pemerintah Denmark dan Kanada sebelum akhirnya selesai menulis laporannya pada tahun 1994.xiii Komisi Haiti juga mengalami permasalahan serius. Dengan masalah administratif dan manajemen yang jelas sejak mulai bekerja, dan tiadanya rencana kerja yang jelas, tidak banyak pemerintah asing atau yayasan yang bersedia memberikan dukungan keuangan. Masalah pendanaan tersebut menunda kerja komisi, tidak memungkinkan komisi untuk menawarkan kontrak kerja lebih dari satu bulan (sehingga sebagian besar stafnya keluar di tengah jalan, meskipun beberapa dipekerjakan kembali ketika ada dana), dan menjadi sumber kecemasan dan tekanan selama kerjanya. Pada akhirnya, pemerintah Haiti menutupi sebagian besar pengeluaran komisi tersebut, karena gagal untuk mencapai rencana semula bahwa lebih dari setengah dana yang diperlukannya akan didapatkan dari donor asing.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Dengan meningkatnya ukuran, kompleksitas dan biaya yang diperlukan komisi, sumber pendanaan mereka juga berubah. Sementara komisi-komisi awal biasanya sepenuhnya didanai pemerintah nasional, seperti Cili dan Argentina, komisi kebenaran mutakhir mendapatkan dukungan finansial yang besar dari pihak luar, terutama dari pemerintah asing. Anggaran $2,5 juta bagi komisi El Salvador sepenuhnya berasal dari kontribusi sukarela anggota PBB, termasuk $1 juta dari pemerintah Amerika Serikat, dan banyak dari sisanya diberikan oleh negara-negara Skandinavia, dan sama sekali tidak ada dana dari El Salvador sendiri. Lebih lazimnya, pemerintah nasional memberikan sebagian dana, dan kemudian komunitas internasional mengikuti, sebagaimana di Guatemala dan Afrika Selatan. Pemerintah Guatemala memberikan lebih dari $800.000 untuk mendukung kerja komisi tersebut, dari anggaran $9.5 juta. Dana sisanya diberikan oleh 13 negara dan 2 yayasan.xiv Demikian pula, komisi Afrika Selatan mendapatkan dukungan finansial dari banyak donor internasional, meskipun pemerintah Afrika Selatan menutupi sebagian terbesar dari anggaran tersebut. Tabel 8 dalam lampiran memperlihatkan anggaran, jumlah, kekuasaan dan mandat sebuah komisi kebenaran (sembari mengakui bahwa banyak keputusan ditentukan oleh situasi dan kebutuhan nasional).
Bagaimana Cara Melakukannya? Pertanyaan Metodologi Mendasar Menghadapi ribuan hingga ratusan ribu korban, sebuah komisi harus merancang sistem pengumpulan, pengorganisiran dan evaluasi informasi dalam jumlah besar yang ia dapatkan. Dalam proses itu, setiap komisi harus menentukan aturan mainnya dan prosedur tentang kasus mana yang akan ia selidiki; bagaimana cara mengumpulkan data; apakah ia akan membuat pusat data, dan bila ya, jenis seperti apa; prosedur yang berlaku; dari mana ia akan membuat kesimpulan; bagaimana hubungannya dengan publik dan pers selama masa penyelidikannya; dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Tiga pertanyaan metodologi yang terpenting dibahas di sini.
Panggung Komisi: Terbuka atau Tertutup? Bagaimana komisi melakukan pencatatan kesaksiannya, secara terbuka atau secara tertutup, akan menentukan tingkat keterlibatan publik pada umumnya selama bekerjanya komisi. Ada banyak alasan untuk mengadakan dengar-kesaksian publik. Dengan memberikan kesempatan bagi para korban atau mereka yang ditinggalkan untuk menceritakan kisah mereka di muka umum, sebuah komisi secara formal mengakui dan secara simbolis bisa menawarkan permintaan maaf untuk kesalahan yang terjadi di masa lalu. Dengan memperdengarkan suara para korban tersebut secara langsung ke muka umum, terutama bila acara tersebut disiarkan di TV atau radio, komisi bisa mendorong pemahaman publik dan simpati bagi para korban, mengurangi ketidakpercayaan dan bantahan, dan meningkatkan dukungan dan apresiasi publik terhadap kerja komisi. Dengar-kesaksian publik membantu menggeser fokus komisi kebenaran dari produk (laporan akhirnya) ke proses, dengan menjadikan publik sebagai pemirsa dan mendorong liputan pers terhadap isu-isunya pada jangka waktu yang lebih lama. Sebuah proses yang
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
transparan juga membantu menjamin bahwa tidak ada bukti yang ditutup-tutupi, atau bias politik dalam kerja komisi itu. Di sebagian besar Afrika, misalnya, publik cenderung skeptis terhadap penyelidikan yang dilakukan di balik pintu tertutup – berbeda dengan di Amerika Latin. Di Afrika Selatan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan diingat utamanya untuk ratusan dengar-kesaksian publiknya, ketika temuan setiap hari diberitakan setiap malamnya. Liputan media sangat mendalam selama kerja komisi itu: puluhan jurnalis secara tetap mengikuti komisi dan acara-acara dengar-kesaksian publik yang diadakannya di seluruh negeri, dan semua surat kabar memuat banyak kisah tentang apa yang terjadi di hari sebelumnya. Dengar-kesaksian publik tersebut disiarkan langsung di radio selama beberapa jam setiap harinya, dan disiarkan tunda di TV pada acara berita malam hari. Laporan Khusus Komisi Kebenaran, sebuah acara yang disiarkan tiap Minggu selama satu jam, memiliki pemirsa terbesar dari semua acara berita di negara itu.xv Namun karena komisi sudah mendapatkan pernyataan mendetail dari masing-masing saksi sebelum diadakannya dengar-kesaksian publik tersebut, yang dicatat oleh para staf komisi, dengar-kesaksian tersebut biasanya tidak memberikan banyak informasi baru bagi komisi kebenaran. Tujuan utama mengadakan acara terbuka tersebut adalah untuk menyediakan platform untuk berbicara secara terbuka, untuk memberikan pengakuan formal dan terbuka tentang peristiwa yang menimpa mereka, dan untuk membawa kisah-kisah tersebut ke muka umum. Sebaliknya, kesaksian yang diberikan oleh para pemohon amnesti membutuhkan lebih banyak waktu, melihat secara mendetail ke masing-masing kasus dan memberikan informasi dalam jumlah besar. Beberapa komisi kebenaran lainnya juga mengadakan dengar-kesaksian publik. Komisi Uganda 1986 mewawancarai semua saksinya dalam sesi terbuka. Pada tahun-tahun pertama, wawancara tersebut disiarkan langsung melalui radio, dan kadang-kadang di televisi pemerintah, dan mendapatkan banyak perhatian publik. Masing-masing sesi tersebut direkam, ditranskrip dan akhirnya diterbitkan sebanyak 15 jilid. Salah satu komisi di Sri Lanka juga mengadakan beberapa dengar-kesaksian di muka umum dan mendapatkan sejumlah besar liputan pers. Komisi penyelidikan Kongres Nasional Afrika juga mengadakan wawancara secara terbuka serupa sidang pengadilan. Komisi di Jerman mengadakan beberapa sesi terbuka, namun umumnya adalah presentasi makalah yang diminta oleh komisi tersebut, bukan kesaksian para korban. Semua komisi kebenaran lainnya mencatat kesaksian dari para korban dalam sesi tertutup. Tidak ada komisi kebenaran di Amerika Latin yang mengadakan dengar-kesaksian publik, atau mempertimbangkan untuk mengadakannya.xvi Dengan contoh kuat yang diberikan Afrika Selatan, banyak pengamat yang menyarankan agar semua komisi kebenaran ke depan mengadakan proses pencatatan kesaksiannya secara terbuka.xvii Namun, saran ini tampaknya mengabaikan realitas yang ada dan kondisi yang menuntut diperlukannya penyelidikan demikian. Ada banyak alasan yang tepat untuk mengadakan wawancara dengan para korban secara tertutup, dan keputusan ini harus diberikan kepada mereka yang merancang prosedur kerja komisi tersebut. Keamanan menjadi faktor utama yang diperhatikan oleh komisi-komisi yang menjalankan prosesnya secara tertutup itu. Keberadaan dan impunitas para pelaku yang terus berlanjut, rasa takut para saksi dan mereka yang ditinggalkan, dan ketidaksanggupan untuk melindungi para saksi bisa menjadikan acara dengar-kesaksian publik amat riskan. Beberapa korban bahkan merasa ragu-ragu untuk berbicara dengan komisi kebenaran,
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
bahkan di balik pintu tertutup, mencemaskan bahwa apa yang mereka katakan akan bocor. Di Sri Lanka, beberapa korban yang tampil dalam dengar-kesaksian publik mendapatkan ancaman pembunuhan, sehingga komisi terpaksa menutup pintunya kepada publik dan media. Selain masalah keamanan, komisi juga mungkin enggan untuk menyiarkan tuduhan yang belum terbukti secara terbuka, karena adanya kemungkinan dipersalahkannya orang yang belum tentu bersalah, akibat tuduhan yang keliru. Idealnya, orang-orang yang dituduh melakukan pelanggaran harus diundang ke acara tersebut untuk membela dirinya bila komisi tahu bahwa mereka akan disebutkan namanya. Di Uganda, komisi 1986 menggunakan aturan pembuktian yang sama dengan sistem peradilan, menurut dua pengamat internasional. “Prosedur yang diambil tampak adil. Tertuduh pelaku diberi kesempatan, dengan didampingi pembela, untuk membantah tuduhan tersebut,” tulis pakar hukum Amerika Serikat Jonathan Klaaren dan Stu Woolman pada tahun 1990, setelah mengamati proses dalam komisi tersebut.xviii Komisi Afrika Selatan juga memungkinkan mereka yang dituduh secara terbuka untuk membela diri.xix Dengan adanya tuntutan prosedural demikian dan jumlah besar saksi yang harus diwawancarai, mengadakan dengar-kesaksian publik bisa sangat menyita waktu dan sumber daya. Mereka yang berada dalam komisi Afrika Selatan, misalnya, sangat menyadari biaya besar yang harus dikeluarkan dalam waktu dan tenaga untuk mengadakan dengar-kesaksian publik. Dua ribu saksi dan korban diwawancarai secara terbuka oleh Komisi Pelanggaran Hak Asasi Manusia melalui 80 sesi dengar-kesaksian publik, yang membutuhkan waktu hampir 200 hari di berbagai tempat di seluruh negeri. Masing-masing sesi dengar-kesaksian publik diadakan di depan panel yang terdiri dari beberapa komisioner, yang menyita waktu mereka dari kegiatan-kegiatan lainnya. Acara-acara terbuka tersebut menyita waktu setahun pertama dari bekerjanya komisi, nyaris tidak memungkinkan penyelidikan mendalam, dan menimbulkan frustrasi bagi para staf. Alih-alih melakukan penyelidikan, para penyelidik diminta untuk memilih kesaksian, untuk memilih saksi untuk sesi berikutnya, mengorganisir logistik dan menyiapkan bahan rangkuman untuk para komisioner di tiap-tiap panel. Pada akhirnya, kurang dari 10% dari mereka yang memberikan kesaksian secara tertutup muncul dalam dengar-kesaksian publik. Sebagian besar dari 21 ribu kesaksian tersebut diambil secara tertutup oleh staf komisi (atau pihak ketiga). Banyak yang menginginkan sesi terbuka, namun karena batasan waktu dan sumber daya, hanya sedikit yang mendapatkannya.xx Meskipun terdapat banyak risiko dan membutuhkan banyak biaya, proses “kebenaran” yang terbuka cukup potensial untuk dipertimbangkan semua komisi kebenaran. Ini terutama perlu dipertimbangkan secara serius di negara-negara yang komisi kebenarannya bertujuan untuk memajukan pemahaman dan rekonsiliasi dan untuk mengurangi rasa permusuhan antara kelompok etnik, regional atau lainnya yang berada di pihak-pihak yang bermusuhan dalam konflik dan kurang memiliki pemahaman tentang penderitaan yang dialami pihak lawannya. Dampak dan jangkauan komisi akan sangat meningkat bila publik bisa melihat para korban tersebut menceritakan pengalaman mereka. Tentu saja, dengar-kesaksian publik paling mungkin dilakukan di negara-negara yang warganya mulai berani untuk menceritakan kebenaran secara terbuka, rasa takutnya berkurang, dan komisi yang mampu untuk melindungi hak-hak prosedural mendasar dari mereka yang dituduh. Di negara-negara di mana dengar-kesaksian publik terbuka bagi para korban tidak mungkin dilakukan, bisa dipertimbangkan untuk mengadakan sesi terbuka
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
lainnya, seperti dengar-pandangan sektoral yang digunakan di Afrika Selatan. Alih-alih meminta kesaksian para korban, komisi mewawancarai pengamat hak asasi manusia, wakil gereja, pemimpin masyarakat atau tokoh lainnya untuk memberikan kesaksian atau pandangan secara terbuka untuk menggambarkan sifat kekerasan yang terjadi dan bagaimana pengaruhnya bagi masyarakat atau wilayah tertentu.
Menentukan Parameter: Kebenaran Apa, dan Bagaimana Mencatatnya? Komisi kebenaran biasanya mendasarkan kerja mereka pada pengumpulan kesaksian dari ribuan saksi, korban dan mereka yang ditinggalkan. Untuk merangkum informasi tentang pola, pelaku, pertanggungjawaban institusional, jenis korban, jenis pelanggaran, variasi pelanggaran yang terjadi, distribusi geografis dan detail lain-lainnya, mungkin diperlukan pusat data komputer untuk mencatat dan menganalisis ribuan kesaksian tersebut. Selain itu diperlukan juga sistem manajemen informasi yang dirancang dengan teliti untuk menstandardisasi bagaimana pelaksanaan wawancara dan bagaimana hasil wawancara dikoding dan dimasukkan ke dalam komputer. Sistem demikian memungkinkan analisis informasi secara kompleks, dan mendapatkan informasi dan gejala yang mungkin tidak bisa ditemukan dalam jumlah data yang besar, tanpa menggunakan sistem itu. Namun, investasi yang dibutuhkan untuk menciptakan dan menjalankan sistem pusat data dan manajemen informasi biasanya jauh lebih besar daripada yang dibayangkan oleh komisi pada saat mereka mulai bekerja. Hanya sedikit komisioner yang berpengalaman dalam manajemen dan analisis data, sehingga mereka sering kali kurang memahami pentingnya dan kompleksnya manajemen informasi, banyaknya keputusan penting yang harus mereka ambil agar sistem tersebut berjalan dengan baik, dan seberapa jauh keputusan tersebut akan berpengaruh pada kualitas produk akhir komisi kebenaran. Sementara sistem manajemen informasi dan pusat data merupakan aset yang penting, mereka juga membutuhkan banyak waktu dan staf, dan sebaiknya dibuat hanya bila komisi memahami apa yang diperlukan untuk bisa menggunakannya secara optimal. Praktis semua komisi kebenaran yang menggunakan sistem pusat data yang canggih mengalami masalah teknis dan metodologis yang serius, yang sering kali nyaris mencekik komisi dan menyita seluruh tenaganya. Banyak definisi spesifik yang perlu dibicarakan dan ditentukan dengan cermat untuk menjamin akurasi koding; bahkan masalah tentang informasi apa yang perlu dikumpulkan dan apa yang akan ditanyakan dari para saksi akan mempengaruhi temuan komisi secara mendasar. Sejumlah besar staf, mungkin lebih dari setengahnya, bisa saja tersita waktu dan tenaganya hanya untuk melakukan koding dan entri data ke dalam pusat data itu. Namun bila dilakukan dengan baik, pengumpulan informasi dan sistem manajemen yang teliti akan menjadi dasar yang kuat bagi kesimpulan akhir komisi tersebut. Selama berbulan-bulan komisi El Salvador bekerja dengan staf yang hanya memiliki kemampuan komputer minimal, dan meminjam personil dari misi PBB di El Salvador untuk membantu merancang pusat data. Setelah beberapa bulan, mereka mempekerjakan seorang spesialis informasi, dan kemudian, puluhan koder dan staf entri data, yang pada awalnya tidak direncanakan. Komisi El Salvador menjadi titik balik dalam cara komisi kebenaran memandang manajemen informasi. Sebelum komisi ini, tidak ada yang menggunakan sistem manajemen data yang canggih; komisi-komisi besar
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
sebelumnya di Argentina dan Cili hanya memiliki pusat data yang sederhana, yang hanya memungkinkan mereka melakukan perhitungan sederhana seperti jumlah korban berdasarkan wilayah, usia, pekerjaan dan karakteristik lainnya. Komisi-komisi besar yang dibentuk setelah El Salvador, di Haiti, Afrika Selatan dan Guatemala, menggunakan sistem pusat data relasional yang canggih dan memiliki puluhan staf koding dan entri data. Beberapa komisi kebenaran menggunakan jasa konsultan luar untuk bantuan dalam merancang sistem demikian. Program Ilmu Pengetahuan dan Hak Asasi Manusia dari Asosiasi Amerika untuk Pemajuan Ilmu Pengetahuan (AAAS), sebuah organisasi nonpemerintah di Washington, membantu merancang sistem pengelolaan data untuk komisi Afrika Selatan, Haiti dan Guatemala. Dalam proses tersebut, wakil direktur program AAAS, Patrick Ball, mengembangkan metodologi yang mendetail untuk manajemen data proyek hak asasi manusia berskala besar yang digunakan komisi-komisi itu; buku singkatnya mengenai hal ini perlu dibaca oleh semua komisi kebenaran di masa depan atau proyek hak asasi manusia yang berskala demikian. xxi Ball menerapkan metodologi penelitian sosial dasar dalam konteks pelanggaran hak asasi, dan menyarankan proses manajemen informasi empat tahap: pengumpulan data, ketika para pewawancara mengumpulkan ribuan pernyataan dari para saksi, korban dan mereka yang ditinggalkan, proses data (koding data), ketika hasil wawancara distandardisasi menjadi kode-kode yang berlaku umum, menyiapkannya untuk dimasukkan ke dalam pusat data, entri data, ketika informasi yang telah dikoding dimasukkan ke dalam pusat data komputer dan pada akhirnya analisis terhadap data informasi yang sudah didapatkan. Konsistensi dan metodologi yang standar amat penting, karena adanya kesalahan di awal akan berpengaruh pada hasil akhir, kata Ball. Meskipun memiliki keuntungan yang besar, pendekatan yang canggih dan mahal ini mungkin tidak selalu tepat untuk digunakan semua komisi di semua negara. Beberapa komisi di masa depan mungkin tidak akan menggunakan komputer dan analisis statistik, atau tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, dan tidak semua yang memiliki komputer akan menggunakan sistem yang demikian canggih. Pentabulasian angka bisa dilakukan dengan tangan, terutama bila jumlah pelanggaran tidak terlalu besar (dalam skala ribuan, bukan puluhan atau malah ratusan ribu), meskipun tidak memungkinkan banyak jenis manipulasi data.
Mendapatkan Kesimpulan: Tingkat Pembuktian yang Bagaimana? Sementara tidak memberikan sanksi denda, pemenjaraan atau hukuman seperti diberikan pengadilan, kesimpulan komisi kebenaran bisa memiliki dampak negatif bagi orang dan institusi yang disebut bertanggung-jawab atas pelanggaran yang terjadi. Di bab 8, telah dijelaskan standar prosedural dan pembuktian yang dipergunakan untuk menyebutkan nama pelaku dalam laporan komisi kebenaran, dan tidak akan diulangi lagi. Namun, beberapa dari isu serupa relevan bagi keseluruhan temuan komisi. Untuk menunjukkan tanggung jawab terhadap pembunuhan atau penyiksaan kepada salah satu sektor militer atau polisi akan memberikan dampak bagi masa depan pasukan tersebut dan komandannya, bahkan bila perwira tersebut tidak dituduh secara langsung oleh komisi. Menggambarkan pelanggaran berskala besar yang dilakukan oposisi bersenjata, yang kemudian menjadi partai politik setelah berakhirnya konflik, bisa mengurangi kredibilitas
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
kelompok tersebut terhadap masyarakat internasional atau dukungannya di dalam negeri. Demikian pula, kesimpulan tentang siapa para korban – penduduk sipil apolitis yang terjerat dalam represi, pendukung pasukan bersenjata yang memiliki orientasi politik tertentu, atau anggota dari kelompok etnik, regional atau politik tertentu – bisa berpengaruh pada kebijakan ganti rugi atau program lain yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akhirnya, komisi memiliki risiko bahwa keseluruhan laporannya dipertanyakan bila terdapat kesalahan serius dalam laporannya. Maka, komisi harus membuat panduan internal yang jelas tentang standar pembuktian dan menjelaskannya dalam laporannya. Biasanya, gambaran yang didapatkan dari ribuan kesaksian sudah cukup jelas, dan memiliki pola yang tidak dapat dibantah lagi. Sebuah komisi harus mulai dengan menarik kesimpulan dari sumber informasi primer ini, dan bisa mendapatkan banyak temuan mendasar dengan mempelajari pola-pola yang ada. Namun dalam menyimpulkan kasus-kasus tertentu, diperlukan metodologi yang lebih teliti. Standar pembuktian komisi-komisi kebenaran memiliki berbagai tingkat, seperti terlihat dari komisi El Salvador dan Cili. Laporan komisi El Salvador menggambarkan pendekatan komisi itu: Sejak awal mula, komisi sadar bahwa tuduhan yang diberikan dan bukti yang didapatkan secara rahasia bisa menimbulkan risiko besar kurang dipercaya, dibandingkan dengan tuduhan atau bukti yang melalui proses yudisial yang normal untuk menentukan kebenaran dan persyaratan lainnya untuk memenuhi prosedur hukum, termasuk hak tertuduh untuk melawan dan memeriksa saksi-saksi yang memberatkannya. Maka, komisi merasa bahwa ia memiliki kewajiban khsus untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin reliabilitas bukti-bukti yang digunakannya untuk mencapai satu temuan. … Komisi memutuskan bahwa, dalam masing-masing kasus yang digambarkan dalam laporan ini, akan ditunjukkan tingkat keyakinan yang menjadi dasar kesimpulannya. Tingkat-tingkat keyakinan itu adalah sebagai berikut: 1. 2. 3.
Bukti amat kuat – bukti yang mutlak atau sangat meyakinkan untuk mendukung temuan Komisi; Bukti substansial – bukti yang kuat untuk untuk mendukung temuan Komisi; Bukti cukup – lebih banyak bukti yang mendukung temuan Komisi daripada yang menentangnya.xxii
Selain itu, komisi El Salvador mensyaratkan adanya lebih dari satu sumber atau saksi sebelum memastikan temuan, dan salah satunya harus sumber primer.xxiii Kebijakan dua sumber ini mencegah beberapa informasi penting untuk dimuat dalam laporannya. Salah satu pertanyaan kontroversial tentang komisi El Salvador adalah tentang siapa yang berada di belakang tim pembunuh: masyarakat percaya bahwa tim tersebut dikendalikan dan dibiayai elite sipil kanan di negeri itu. Anggota staf komisi yang bertugas menyelidiki hal ini melaporkan kepada komisi bahwa hal ini benar, dan memberikan nama-nama para elite yang terkait dengan pembunuh-pembunuh tersebut, namun hanya ada satu sumber yang bisa didapatkan, dan meskipun komisi berusaha keras, tidak ada sumber kedua yang bisa didapatkan untuk mengkonfirmasi. Komisi kemudian menghapus informasi ini dari laporannya segera sebelum laporan diterbitkan – namun terlanjur tersebar isu bahwa komisi akan memuat subjek ini dalam laporan, lengkap dengan nama. Untuk mengimbangi kekurangan ini, komisi menyarankan pembentukan komisi untuk menyelidiki isu ini lebih lanjut. xxiv Ketiadaan informasi tentang tim pembunuh dan pendanaannya mendapatkan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
kritikan keras sebagai titik lemah laporan itu. Namun, komisi membela diri dengan menyatakan bahwa ia tidak bisa mengambil risiko kehilangan kredibilitasnya (dan seluruh laporannya) dengan menerbitkan tuduhan yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Di Cili, mandat komisi yang lebih sempit, dan membatasi kasus-kasus yang diselidikinya menjadi kurang dari 300 pembunuhan dan penghilangan, memungkinkan komisi untuk meninjau dan membuat keputusan untuk setiap kasus secara individual. Komisi ini juga berhasil mendapatkan lebih banyak dokumentasi yang spesifik per kasus daripada komisi-komisi lainnya, sebagai hasil investigasi pada masing-masing kasus. Sebagaimana dijelaskan dalam laporannya, “Komisi mencapai keputusan yang tepat dan adil tentang masing-masing kasus berdasarkan pada kesaksian keluarga para korban; saksi mata peristiwa yang berkaitan; agen pemerintah dan mantan agen, baik yang berseragam maupun sipil, termasuk pernyataan yang diberikan mantan perwira tinggi dan menengah dari militer dan kepolisian dan mantan agen keamanan negara; laporan pers; kesaksian dan pendapat para pakar; kunjungan ke tempat-tempat terjadinya peristiwa yang bersangkutan; dokumentasi dari organisasi hak asasi manusia; dokumen dan sertifikat resmi seperti akte kelahiran atau kematian, laporan otopsi, catatan pemilih dalam pemilihan umum, catatan kriminal, catatan imigrasi dan banyak dokumen resmi lainnya”.xxv Komisi “berusaha untuk selalu mendapatkan bukti bagi masing-masing kasus. Dalam kasus penghilangan ia mendapatkan bukti penangkapan atau bahwa orang tersebut sempat ditahan di kamp-kamp rahasia tempat mereka yang dihilangkan biasanya ditahan”.xxvi Standar yang mulai sering dipergunakan oleh komisi-komisi kebenaran adalah “kesetimbangan probabilitas” untuk mengambil kesimpulan. Dengan standar ini, harus ada lebih banyak bukti yang mendukung daripada yang menolak suatu kesimpulan agar kesimpulan itu dianggap benar, atau bahwa berdasarkan bukti yang ada, sesuatu dianggap lebih mungkin benar terjadi daripada tidak. Standar serupa dipergunakan di Amerika Serikat untuk pengadilan sipil. Kesetimbangan probabilitas adalah tingkat pembuktian terendah yang digunakan komisi El Salvador, yang dijelaskannya sebagai “lebih banyak bukti yang mendukung temuan Komisi daripada yang menentangnya”, meskipun ia menggunakan standar pembuktian yang lebih tinggi untuk mendapatkan kesimpulan tentang identitas para pelaku. Standar kesetimbangan probabilitas juga dipergunakan komisi di Guatemala dan Afrika Selatan untuk menyimpulkan temuannya.xxvii i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv xxvi xxvii
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bab 15 Tantangan dan Bantuan dari Pihak Luar
Selain kesulitan yang timbul dari dalam komisi, semua usaha pencarian kebenaran akan sangat terpengaruh oleh faktor-faktor luar – keterlibatan dan informasi yang diberikan organisasi non-pemerintah, tingkat akses untuk mendapatkan catatan tertulis milik pemerintah atau angkatan bersenjata (atau juga pemerintah asing) yang diberikan kepada komisi, kesediaan mantan pelaku pelanggaran untuk bekerja-sama dengan usaha pencarian kebenaran, dan kemungkinan ancaman kekerasan atau bentuk intimidasi lainnya yang dihadapi komisi selama masa kerjanya. Keberhasilan komisi kebenaran di masa lalu amat terpengaruh oleh faktor-faktor tersebut, meskipun dipahami bahwa elemen-elemen luar tersebut tidak dapat dikendalikan atau ditentukan oleh komisi itu sendiri – meskipun terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan komisi kebenaran untuk menjadikan faktor-faktor tersebut sebagai pendukungnya.
Unsur yang Terpenting: Masyarakat Sipil Kekuatan masyarakat sipil di sebuah negara – seberapa besar dan terorganisirnya organisasi, advokasi, informasi, komunitas dan badan riset non-pemerintah – menjadi salah satu penentu keberhasilan komisi kebenaran mana pun. Dengan kemampuan mereka untuk menimbulkan tekanan publik untuk mendorong terbentuknya komisi yang kuat, dan karena informasi, jaringan dan keahlian mereka dalam pengawasan hak asasi manusia; kontribusi organisasi non-pemerintah (ornop, LSM, NGO) menjadi penting. Namun, hubungan antara komisi kebenaran dan ornop tidaklah selalu mulus. Lobi dan Advokasi Komisi kebenaran di Afrika Selatan akan sangat berbeda seandainya saja tidak terdapat keterlibatan aktif ornop-ornop selama masa persiapan dan kerjanya. Menteri kehakiman meminta Pusat Sumber Daya Hukum di Johannesburg, sebuah ornop hak asasi manusia, untuk membantu merancang undang-undang pembentukan komisi itu. Badan tersebut membantu mengatasi kesulitan dalam perancangan undang-undang dan membantu menerjemahkan saran-saran untuk perbaikan ke dalam bahasa hukum sebelum memberikannya kepada parlemen untuk perancangan lebih lanjut, debat dan dengar-kesaksian publik. Rancangan akhir yang dibuat oleh parlemen mencakup rencana untuk mengadakan proses amnesti secara tertutup dan rahasia, suatu hal yang ditentang keras oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia. Organisasi-organisasi hak asasi manusia, gereja dan para korban mengadakan kampanye lobi yang gencar untuk mencabut klausul ini, meskipun pada awalnya mereka mengalami kegagalan. Sekitar dua puluh kelompok demikian – yang mencakup praktis semua organisasi hak asasi manusia di negeri itu – menyatukan kekuatan dan mengirimkan surat kepada parlemen: jika undang-undang tersebut tidak diubah, yaitu menjadikan proses amnesti dilaksanakan secara terbuka, komisi tidak akan mendapatkan kerja sama dari organisasi-organisasi yang menandatangani surat tersebut, demikian ancaman mereka. Pada akhirnya, klausul tersebut diubah, sehingga hanya memungkinkan pelaksanaan proses
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
amnesti secara rahasia hanya bila “demi kepentingan keadilan” atau “bila terdapat kemungkinan timbulnya bahaya bagi seseorang bila proses dilakukan secara terbuka”.i Klausul ini pada akhirnya jarang digunakan; setelah dua tahun diadakan proses dengar-pendapat untuk amnesti, belum ada yang dilakukan secara rahasia.ii Ornop di tempat-tempat lain tidaklah selalu berhasil mendorong terbentuknya komisi sebagaimana mereka inginkan. Di Guatemala, organisasi hak asasi manusia, masyarakat adat dan kelompok korban mendorong pihak-pihak yang menandatangani perjanjian perdamaian dan mediator PBB untuk mengubah mandat komisi kebenaran, namun keputusan akhirnya tetap memiliki beberapa keterbatasan yang ditentang oleh kelompok-kelompok tersebut. Sebuah studi oleh Alexandra Barahona de Brito tentang kebijakan kebenaran dan keadilan di Cili dan Uruguay menyimpulkan bahwa faktor kunci yang menerangkan perbedaan penting dalam kebijakan kedua negara adalah “kekuatan gerakan hak asasi manusia dan Gereja dan hubungan mereka dengan pihak-pihak [yang bersepakat untuk damai]. Di Uruguay, tidak ada organisasi yang bebas dari campur tangan negara, seperti Gereja, atau organisasi hak asasi manusia yang kuat yang bisa menentang inkonsistensi para pihak tersebut. Organisasi hak asasi manusia yang ada terlalu lemah untuk mendorong ke arah yang diinginkan”.iii Lobi yang dilakukan ornop sering kali berlanjut pada masa kerja sebuah komisi, ketika organisasi bisa menekan komisi untuk memperluas cakupan kerjanya atau mendorong perubahan dalam kebijakan operasional, menekan pemerintah domestik atau asing untuk membuka arsipnya kepada komisi dan untuk bekerja-sama dengan penyelidikannya, dan mendorong donor pemerintah atau privat untuk mendukung kerja komisi. Karena komisi kebenaran biasanya dibubarkan bersamaan dengan penyerahan laporannya, tekanan untuk implementasi saransarannya juga hanya bisa dilakukan oleh organisasi di luar komisi tersebut, yang mencakup ornop nasional dan internasional, pemerintah asing dan PBB. Selain itu, beberapa pemerintah hanya menerbitkan sedikit laporan komisi kebenaran, dan menganggap penyebarluasan laporan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Penerbitan sebuah versi laporan yang lebih dapat diakses, atau distribusi lebih luas dari laporan secara lengkap, menjadi tanggung jawab aktor privat.
Keahlian, Arsip Kasus dan Jaringan di Tingkat Bawah Kelompok-kelompok hak asasi manusia merupakan sumber pengisi jajaran staf dalam komisikomisi kebenaran. Ketika ornop-ornop Argentina tidak berhasil mendorong terbentuknya komisi yang diberikan dasar hukum undang-undang – komisi tersebut dibentuk atas perintah presiden – pada awalnya, karena kekecewaan mereka, mereka menolak bekerja-sama dengan komisi tersebut. Namun para komisioner berusaha me-lobi dengan kuat untuk mendapatkan dukungan mereka. “Tanpa bantuan ornop, kami tidak mungkin menjalankan tugas tersebut,” menurut seorang komisioner Argentina, Eduardo Rabossi. “Kami menggunakan tiga minggu pertama dalam mandat kami yang sepanjang sembilan bulan untuk meyakinkan ornop-ornop untuk bersedia bekerja-sama. Kami mendatangi mereka dan berbicara di kantor masing-masing ornop. Akhirnya, beberapa tokoh kunci bersedia bekerja-sama. Mereka menjadi staf senior, dan membawa rekan-rekan mereka. Maka, dua atau tiga minggu setelah komisi secara resmi dibentuk, kami mulai bisa bekerja.”iv Tidak semua ornop Argentina mau bekerja-sama dengan komisi itu. Ornop terpenting yang menolak kerja sama adalah Ibu-ibu Plaza de Mayo, organisasi yang mewakili keluarga
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
orang-orang yang dihilangkan. Organisasi ini secara aktif menentang komisi kebenaran selama masa keberadaannya, menolak untuk bekerja-sama atau memberikan informasi. Selain kekecewaan mereka bahwa komisi ini dibentuk oleh presiden, mereka tetap menuntut agar sanak keluarga mereka dikembalikan dalam keadaan hidup, dan menentang semua usaha untuk menemukan jenazah mereka yang dibunuh. Bahkan setelah 15 tahun, salah satu cabang organisasi ini (yang telah pecah menjadi dua) tetap menentang penggalian jenazah-jenazah yang tidak dikenal. Mereka tidak ingin gerakan mereka yang terdiri dari ribuan anggota keluarga terpecah menjadi keluarga-keluarga secara perseorangan, dengan ditemukannya jenazah salah satu anggota keluarga mereka, demikian alasan organisasi tersebut.v Selain staf terlatih, ornop di Argentina juga memberikan salinan arsip kasus mereka mengenai penghilangan, yang dicantumkan dalam daftar korban dalam laporan akhir komisi, meskipun komisi tidak melakukan konfirmasi ulang. Sebagai hasilnya, kasus-kasus dari banyak keluarga yang tidak bersedia bekerja-sama dengan komisi tetap dicantumkan dalam laporan komisi, berdasarkan kesaksian mereka kepada sebuah ornop.vi Di Cili, Vicaría de la Solidaridad, kantor hak asasi manusia dalam Keuskupan Agung Santiago, secara teliti mencatat semua kasus penghilangan selama tahun-tahun kediktatoran. Ketika komisi kebenaran Cili dibentuk, Vicaría memberikan arsipnya yang rapi kepada komisi tersebut, yang menjadi tulang punggung basis informasinya. Ketika komisi tersebut berusaha untuk mengkonfirmasi masing-masing kasus dengan mendengarkan kesaksian dari keluarga mereka yang dihilangkan, ia telah memiliki gambaran tentang siapa yang akan diwawancara dan berapa banyak jumlahnya. Demikian pula, ornop-ornop di El Salvador, Guatemala, Afrika Selatan dan negara-negara lain juga memberikan arsipnya pada komisi-komisi kebenaran di negara mereka. Bahkan seandainya komisi tidak mencantumkan informasi ini dalam laporannya, informasi ini memetakan gambaran penting tentang di mana saja terjadi pelanggaran, sehingga membantu merancang alokasi staf dan kantor cabang, dan untuk menunjukkan pola-pola tertentu dan kasus penting yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Banyak komisi harus menjaga kerahasiaan secara ketat mengenai rencana kerja mereka dan kasus-kasus yang sedang mereka selidiki, karena sensitivitas tugas ini. Hal ini memang dapat dibenarkan dalam banyak kondisi, namun di pihak lain komisi tidak dapat mendapatkan bantuan keahlian yang dimiliki orang-orang di luar stafnya. Di El Salvador, komisi mencemaskan kalaukalau hubungan kerja yang dekat dengan kelompok-kelompok hak asasi manusia akan menimbulkan keberpihakan. Meskipun semua organisasi, partai politik dan kelompok pemerintah serta militer diminta memberikan kasusnya kepada komisi, hubungan antara komisi tersebut dan pakar-pakar lokal relatif jauh. Di Haiti, kelompok-kelompok hak asasi manusia merasa diabaikan dalam proses yang ada, dan banyak yang menganggap bahwa ada kesempatan yang hilang, untuk memobilisasi dan mengedukasi para korban. Alih-alih menggunakan jaringan kelompokkelompok hak asasi manusia, komisi Haiti menggunakan struktur gereja atau pemerintahan lokal untuk mencapai para saksi dan korban. Komisioner Afrika Selatan, Mary Burton, mengatakan bahwa komisi tersebut pada awalnya “mengira bahwa ia akan bekerja-sama dengan ornop-ornop, namun ternyata tidak demikian”. Ornop-ornop mengalami penurunan dana dari donor-donor internasional ketika praktik apartheid dihentikan, dan terdapat “rasa permusuhan yang mendalam dari ornop-ornop terhadap komisi yang mendapatkan dana besar ini. Mereka merasa bahwa mereka diharapkan untuk bekerja secara sukarela, namun komisi yang melakukan hal-hal serupa mendapatkan imbalan”, seperti mencatat kesaksian dari para korban untuk diberikan kepada komisi dan memberikan konseling trauma setelah dengar-kesaksian publik. Komisi kebenaran memang meminta sumbangan dari
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
para donor untuk diberikan kepada organisasi-organisasi yang secara langsung membantu kerja komisi, namun diperlukan waktu cukup lama sebelum dana ini dapat dicairkan. Selain itu, menurut Burton, “terdapat perbedaan pandangan secara ideologis” di dalam komisi, sehingga beberapa komisioner mencemaskan bahwa mereka akan terlihat memihak ke kelompok tertentu bila mereka menjalin hubungan yang erat, sehingga mereka menjaga jarak dari hampir semua kelompok masyarakat sipil yang terorganisasi dan menolak beberapa tawaran bantuan. “Ini merugikan kita,” demikian pandangan Burton. vii Selain itu, tampak jelas bahwa beberapa komisioner tidak menyukai kritikan yang datang dari kelompok korban yang paling vokal dan terorganisir, Khulumani. Akibatnya, jaringan perujukan psikologis dan kerja sama yang diharapkan untuk dibentuk untuk mendukung dan memperluas hasil kerja komisi tidak pernah terbentuk dengan baik. Keterlibatan lebih besar ornop-ornop seharusnya bisa juga memberikan dampak lebih besar dari kerja komisi tersebut pada tingkat lokal di Afrika Selatan. Tlhoki Mofokeng dari Pusat Studi Kekerasan dan Rekonsiliasi, yang bekerja-sama dengan kelompok-kelompok masyarakat lokal yang berminat dengan komisi kebenaran, mencatat bahwa “Seandainya komisi kebenaran melibatkan lebih banyak ornop yang terkait dengan para korban, hasilnya akan jauh lebih baik. Dampak komisi ini terlihat pada tingkat makro, namun pada tingkat mikro, dampaknya amat terbatas.”viii Merasa frustrasi dengan komunikasi yang buruk dan akses yang terbatas kepada komisi itu, Khulumani, organisasi para korban di Afrika Selatan, menyarankan bahwa komisi-komisi serupa seharusnya memiliki badan penasihat atau penghubung dalam stafnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin timbul dari para korban. Mereka menyarankan bahwa anggota staf tersebut seharusnya bisa pula memberikan referensi legal untuk membantu korban dan keluarganya, untuk membantu keluarga-keluarga mendapat akses pada rekening bank korban yang dihilangkan, misalnya, atau untuk mendapatkan akte kematian.ix Klinik legal yang ada di universitas-universitas Afrika Selatan hanya memberikan bantuan amat kecil dalam hal ini. Meskipun asistensi legal secara individual tidak mungkin dilakukan oleh komisi-komisi kebenaran yang sudah memiliki setumpuk pekerjaan, adalah hal yang baik bila komisi menugaskan seorang anggota stafnya untuk memberikan informasi atau kelanjutan kasus, paling tidak bagi para saksi.
Akses ke Informasi Resmi Meskipun komisi-komisi kebenaran lazimnya dibentuk dan didanai oleh negara, dan bekerja di bawah mandat dari presiden atau parlemen, banyak komisi yang tidak mendapatkan akses maksimum pada dokumen pemerintah atau militer dalam usaha pencariannya terhadap kebenaran. Di El Salvador, komisi memiliki hak yang disuratkan dalam mandatnya, untuk memasuki semua kantor untuk mencari dokumen, dan juga mendapatkan komitmen formal dari kedua pihak yang menandatangani perjanjian perdamaian untuk bekerja-sama secara sepenuhnya untuk memberikan laporan, arsip atau dokumen.x Namun komisi mendapatkan sangat sedikit informasi resmi, karena permintaan untuk mendapatkan arsip militer dan personel, serta catatan lainnya, baik terhadap pemerintah maupun oposisi, “biasanya mendapat jawaban bahwa arsip-arsip tersebut telah dihancurkan, tidak dapat ditemukan, atau tidak lengkap”, menurut komisioner Thomas Buergenthal.xi Di banyak negara, informasi yang paling penting atau paling menunjukkan kesalahan seseorang sering kali dimusnahkan lama sebelum terbentuknya komisi. Di Argentina dan Cili,
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
angkatan bersenjata menjaga jarak dari komisi kebenaran, dan hampir semua permintaan untuk mendapatkan informasi tentang kasus-kasus spesifik biasanya diabaikan atau ditolak dengan alasan tidak ada informasi yang tersedia. xii Di kedua negara tersebut, militer membakar atau menghilangkan bukti-bukti sebelum meninggalkan kekuasaan. Respon dari militer terhadap permintaan komisi kebenaran Cili untuk mendapatkan informasi pada umumnya adalah bahwa bahan-bahan tersebut sudah dibakar atau dimusnahkan, begitu hal tersebut diizinkan. Komisi Afrika Selatan menyediakan satu bab penuh untuk menggambarkan masalah arsip-arsip yang dihilangkan. Dalam penyelidikannya, komisi tersebut menemukan bahwa pemusnahan dokumen dilakukan “dalam skala besar” pada dekade 1990-an, dan beberapa departemen masih melakukan pemusnahan arsip hingga tahun 1996, dua setengah tahun setelah pemilihan umum demokratis pertama dan setahun berjalannya komisi kebenaran. “Penghancuran besar-besaran arsip … memiliki dampak besar bagi ingatan sosial Afrika Selatan. Ingatan tentang dokumen resmi, terutama mengenai kinerja internal aparat keamanan negara apartheid, sudah dimusnahkan”, demikian dinyatakan dalam laporan.xiii Keengganan untuk menyerahkan arsip-arsip bisa berlanjut lama setelah komisi kebenaran dibubarkan dan pemerintah demokratis berjalan. Beberapa badan pemerintahan yang bekerja dalam pemerintahan sipil yang kuat dan batasan waktu yang lebih longgar masih mengalami hambatan untuk mendapatkan akses informasi dari badan-badan pemerintahan lain, terutama angkatan bersenjata. Di Argentina, Kantor Hak Asasi Manusia dari Kementerian Dalam Negeri melanjutkan pengumpulan kesaksian tentang pelanggaran pada masa rezim militer, menambahkannya pada arsip-arsip Komisi Orang-Orang Hilang. Setelah seorang pensiunan kapten secara terbuka mengakui bahwa ia melemparkan tahanan hidup-hidup ke dalam laut dari udara, timbul seruan publik untuk mendapatkan daftar resmi orang-orang hilang yang ada dalam arsip-arsip militer. “Informasi tersebut mungkin memang ada, tapi di mana, itu pertanyaannya,” kata Mercedes Assorati, staf di Kantor Hak Asasi Manusia yang mengawasi arsip-arsip komisi. “Para hakim tidak bisa mendapatkannya. Dan kami hanya bisa menulis surat yang sopan, ‘Yth. pejabat tinggi militer, kami mohon informasi yang Anda miliki’. Kami tidak bisa menggeledah arsip mereka atau mendatangi ESMA [sebuah sekolah militer yang berfungsi sebagai tempat penyiksaan pada perang saudara,” katanya. “Kami tahu bahwa ada daftar tentang segala sesuatu yang terjadi: siapa yang diculik, siapa dibebaskan, dan bila seorang dibunuh, kapan dan di mana. Ada perintah untuk memusnahkan semua arsip sebelum militer meninggalkan kekuasaan, dan hal itu dilakukan dengan cermat. Namun informasi demikian masih mungkin ada di tangan-tangan pihak ketiga; ada orang yang menyimpan arsip-arsip demikian. Namun kemungkinannya adalah dokumen-dokumen tersebut tidak ada dalam badan-badan resmi.”xiv Pada dekade 1990-an, dengan gencarnya tuntutan agar pemerintah dan angkatan bersenjata Argentina mengumumkan daftar tersebut, kantor hak asasi manusia pemerintah berada dalam posisi yang tidak diuntungkan. “Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan, jadi kami tidak melakukan apa-apa. Pemikiran itu masih ada, namun amat sukar, dari sudut pandang legal, apalagi dari ‘realitas’ yang ada. Kami tidak punya kekuasaan untuk menyelidiki dan menuntut, kecuali hanya untuk menekan departemen-departemen lain,” kata Assorati.
Akses ke Dokumentasi Pemerintahan Asing Dengan keterbatasan akses ke dokumentasi di dalam negeri, catatan dan arsip yang disimpan pemerintah lain bisa menjadi sumber informasi yang penting. Untuk beberapa alasan, pemerintah
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Amerika Serikat merupakan sumber terpenting dokumentasi demikian. Pertama, ia memiliki hubungan erat dengan banyak pemerintahan penindas, terutama di Amerika Latin, dan kedutaan-kedutaannya menyusun laporan panjang lebar tentang aktivitas dan perkembangan politik. Di beberapa negara yang sudah memiliki komisi kebenaran, termasuk Guatemala, El Salvador dan Cili, Amerika Serikat mendukung atau secara langsung mendanai pemerintah dan militer yang bertanggung-jawab untuk sebagian terbesar pelanggaran yang diselidiki komisikomisi kebenaran. Personel militer, intelijen dan diplomatik Amerika Serikat memelihara kontak reguler dengan banyak pelaku pelanggaran yang terburuk, dan memberikan komentar tentang aktivitas mereka dalam telegram harian ke Washington. Semua laporan tersebut masih ada dalam arsip. Kedua, sejak Presiden Jimmy Carter memerintahkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk menyusun laporan tahunan tentang kondisi hak asasi manusia di setiap negara, pemerintah Amerika Serikat mendapatkan informasi penting tentang kondisi hak asasi manusia di seluruh dunia. Sementara laporan tahunan ini terbuka untuk akses umum, banyak laporan intelijen yang menjadi dasar laporan ini dirahasiakan. Dan ketiga, relatif mudah (meskipun tetap tidak mudah) untuk meminta deklasifikasi [pencabutan status rahasia sebuah dokumen] informasi resmi di Amerika Serikat, dibandingkan di negara-negara lainnya, karena adanya Akta Kebebasan Informasi (FOIA) yang memungkinkan individu meminta deklasifikasi informasi.xv Arsip Keamanan Nasional, sebuah ornop yang berbasis di Washington, memiliki keahlian dalam menjalankan prosedur permintaan deklasifikasi tersebut. Melalui ribuan permintaan demikian selama lima belas tahun terakhir, badan ini telah memiliki bahan-bahan sejarah yang kaya dan menerbitkan kumpulan catatan yang sudah dideklasifikasi yang mendokumentasikan hubungan Amerika Serikat dengan banyak negara selama dekade-dekade terakhir.xvi Respon pemerintah terhadap permintaan FOIA bisa menyita waktu delapan bulan hingga delapan tahun – tidak terlalu berguna bagi komisi kebenaran yang berumur pendek. Namun, beberapa komisi kebenaran bisa menggunakan sistem deklasifikasi ini. Karena pengalamannya, NSA menjadi rekanan komisi kebenaran di El Salvador dan Guatemala untuk melakukan hal ini. Komisi El Salvador terutama mempergunakan informasi yang sudah dideklasifikasi yang ada dalam arsip ornop tersebut, untuk mengkonfirmasi temuan-temuannya. Ia meminta deklasifikasi dokumen-dokumen lainnya, namun mendapat tentangan keras dari beberapa departemen dalam pemerintahan Amerika Serikat. Dengan dilantiknya Presiden Bill Clinton pada bulan Januari 1993, pemerintah mulai bersedia bekerja-sama, meskipun pada saat itu komisi kebenaran hanya memiliki waktu tersisa dua bulan untuk menyelesaikan penyelidikan dan laporannya.xvii Komisi Guatemala menggunakan dokumentasi Amerika Serikat secara jauh lebih ekstensif, dan jauh lebih tergantung pada bantuan dari NSA. Lama sebelum dibentuknya komisi kebenaran, berkonsultasi dengan badan-badan hak asasi manusia lainnya yang berfokus pada Guatemala, NSA meminta informasi FOIA tentang sekitar 40 kasus terpenting yang diperkirakan akan diselidiki komisi kebenaran.xviii Selain itu, begitu komisi dibentuk, komisi meminta secara langsung ke Presiden Clinton untuk mendeklasifikasi informasi penting yang berkaitan dengan penyelidikannya. Amerika Serikat membentuk badan antar-agensi untuk memproses permintaan ini, yang berkaitan dengan arsip-arsip Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, CIA, Dewan Keamanan Nasional dan Badan Pembangunan Internasional (berkaitan dengan program keamanannya di dekade 1960-an). Sesuai dengan permintaan, salinan dokumen yang dideklasifikasikan diberikan terlebih dahulu kepada NSA untuk diproses.xix Direktur Proyek Guatemala dalam NSA, Kate Doyle, bertanggung-jawab dalam pengumpulan dan pemrosesan bahan-bahan ini selama lima tahun, sejak pengiriman permintaan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
FOIA pada tahun 1994. Selama itu, ada dua sampai enam orang yang mengerjakan proyek tersebut dalam NSA, membaca dan mengorganisir dokumen-dokumen yang ada dan membantu menginterpretasikannya bagi komisi. Ketika Doyle datang ke Guatemala, ia memberikan instruksi mendetail kepada komisi tentang bagaimana mengartikan dokumen-dokumen tersebut. “Penting untuk mengingatkan para peneliti bahwa dokumen-dokumen yang sudah dideklasifikasikan tersebut tidaklah mutlak benar. Selain memuat informasi yang kaya dan bernilai tinggi, mereka juga mengandung kesalahan faktual, misinformasi atau kebohongan,” kata Doyle. Ia dan stafnya mendapatkan pula dokumen-dokumen dari perpustakaan kepresidenan J.F. Kennedy, Lyndon Johnson, Richard Nixon, Gerald Ford, Jimmy Carter dan Ronald Reagan, dan menyelidiki juga bahan-bahan yang sudah dideklasifikasikan sebelumnya dalam Arsip Nasional dan arsip militer (seperti milik akademi angkatan bersenjata), untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dekade 1960-an. Bahan-bahan tersebut kemudian diberikan kepada penyelidik dari komisi kebenaran dan sebuah tim 25 sejarawan Guatemala yang berkumpul untuk membantu menulis laporan sejarah tentang konflik yang terjadi (kelompok ini kemudian diperkecil menjadi hanya beberapa pakar dalam penulisan laporan akhirnya). Dokumen-dokumen dari Amerika Serikat ini memberikan banyak informasi baru dan memperkuat hasil penyelidikan yang sudah ada. “Dokumen-dokumen tersebut menjelaskan sifat kekerasan yang terjadi, hubungan Amerika Serikat-Guatemala, dan operasi militer serta pemberontak. Banyak isu yang akan dibahas oleh komisi termuat dalam dokumen-dokumen itu. Dokumendokumen yang berasal dari dekade 1960-an dan 1970-an ditulis dengan sangat jelas dan kaya dengan detail-detail tentang perang yang sebelumnya tidak diketahui. Dokumen-dokumen tersebut menjadi bahan bacaan yang mengasyikkan,” kata Doyle.xx Doyle dan stafnya juga menggunakan bahan-bahan ini untuk menyusun basis data informasi militer, yang merupakan kompilasi non-pemerintah pertama yang berisi informasi mendetail tentang angkatan bersenjata Guatemala. “Sangat sedikit informasi tentang militer di Guatemala, dan kami tahu bahwa Amerika Serikat bekerja-sama dengan banyak militer di negara lain, terutama negara-negara sahabatnya, dan ia memiliki catatan yang lengkap. Jika Anda tahu tentang bagaimana memintanya dan di mana, Anda bisa mendapatkan informasi tentang para perwira militer, unit, kegiatan dan lain-lain.” Dengan pendekatan strategis ini, NSA mendapatkan ribuan dokumen dari Badan Intelijen Pertahanan dan badan-badan lainnya. Dalam basis data tersebut terdapat sekitar delapan ribu data individual, termasuk anggaran militer, ukuran pasukan, biografi personal komandan militer dan detail-detail lainnya, memberikan gambaran tentang struktur militer yang sebelumnya tidak diketahui. NSA memberikan basis data ini kepada komisi di Guatemala, yang kemudian melacak di mana para perwira tersebut ditempatkan, unit mana saja yang berada di suatu wilayah ketika terjadi pembantaian, dan detail-detail serupa antara tahun 1960 hingga 1996.xxi Meskipun banyak sekali informasi yang bisa didapatkan dari proses deklasifikasi ini, sistem FOIA tidak selalu dapat diterapkan untuk semua komisi kebenaran, karena banyaknya waktu yang diperlukan untuk memproses permintaan ini. Dengan persiapan sejak dini, bantuan dari ornop, pemerintah AS yang mendukung dan permintaan langsung dari komisi untuk mempercepat proses tersebut, usaha pencarian kebenaran di sebuah negara di mana Amerika Serikat memiliki keterlibatan bisa menggunakan hal ini sebagai sumber informasi yang penting.
Ancaman Kekerasan dan Intimidasi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Beberapa bulan setelah mulai bekerja, seorang anggota komisi kebenaran di El Salvador menghampiri stafnya yang mengurus pusat dokumentasi komisi tersebut: sebuah ruangan yang penuh dengan rak buku, filing cabinet dan komputer yang berisi semua kesaksian para korban dan informasi primer serta sekunder lainnya – jantung seluruh kegiatan komisi. “Jika besok pagi ada kudeta militer,” tanya komisioner tersebut kepada pegawai itu, seorang warga Uruguay, “apakah kamu akan langsung kabur ke lapangan terbang dan pergi dengan pesawat yang pertama, atau kamu akan mendatangi kantor ini dan membakar habis semua dokumen ini?” “Saya akan langsung kabur,” jawabnya dengan agak ragu-ragu. “Salah,” jawab komisioner itu. “Pertama, kamu harus ke sini dan membakar habis semua arsip.” Tidak ada kudeta di El Salvador, namun memang ada ancaman kudeta dan intimidasi terhadap personel komisi kebenaran. Pada bulan Oktober 1992, empat bulan setelah komisi mulai bekerja, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memperingatkan komisioner yang berasal dari Amerika Serikat, Thomas Buergenthal, dan seorang staf senior, untuk berhati-hati di negara tersebut, karena ada ancaman serius terhadap komisi itu. Para komisioner mendapatkan sejumlah ancaman yang jelas ditujukan untuk mengintimidasi komisi agar tidak melanjutkan penyelidikannya, termasuk paling sedikit satu ancaman pembunuhan, yang dikirimkan melalui fax. Pada bulan November, menjelang akhir mandat komisi tersebut, Colin Powell, yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala staf gabungan angkatan bersenjata Amerika Serikat, mengunjungi El Salvador secara mendadak untuk bertemu dengan para pimpinan militer; banyak yang percaya bahwa kunjungan ini ditujukan untuk mencegah terjadinya kudeta. Pada awal bulan Januari, komisi kebenaran memindahkan seluruh kerjanya keluar negeri, ke kantor pusat PBB di New York, untuk dua bulan penulisan laporan akhirnya. Perpindahan ini dikarenakan masalah keamanan, karena komisi tidak bisa menjamin keamanan seluruh staf yang ada. Pada hari-hari terakhir sebelum laporan komisi diumumkan, muncul lagi ancaman dan rumor tentang akan terjadinya kudeta militer bila dalam laporan komisi disebutkan nama orang-orang yang bertanggung-jawab. Komisi tetap tidak mau mengubah laporannya. Banyak komisi kebenaran bekerja di bawah ancaman kekerasan terus-menerus. Meskipun sangat sedikit komisi kebenaran yang benar-benar mengalami tindakan kekerasan, dan belum ada anggota staf atau komisioner yang terluka serius karena penyelidikan mereka, terdapat banyak alasan untuk cemas. Banyak usaha tidak resmi untuk menggali kebenaran tentang pelanggaran mendapat respon tindakan kekerasan. Dua hari setelah proyek kebenaran dari Gereja di Guatemala mengumumkan laporannya tentang kekejaman dalam perang saudara di negeri itu, direktur proyek tersebut, Uskup Juan Gerardi Conedera, dengan brutal dipukuli hingga tewas di garasinya. Penyelidikan polisi tentang pembunuhan ini dilakukan dengan ceroboh dan tidak profesional, dan setelah beberapa bulan kemudian, polisi tidak berhasil menemukan motif pembunuhan itu. Namun publik menganggap bahwa pembunuh itu dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata dan pembunuhan itu berkaitan dengan laporan tersebut.xxii Pada hakikatnya proses pencarian kebenaran memang sangat berisiko; komisi kebenaran biasanya mulai bekerja tepat pada awal demokratisasi, kadang-kadang sebelum transisi politik selesai dan lama sebelum masyarakat mulai yakin tentang kebebasan berbicara menentang mantan penindas mereka. Salah satu komisi kebenaran baru bisa mendapatkan direktur eksekutif setelah tiga orang menolak posisi tersebut, karena mencemaskan keamanan mereka. Mereka menganggap bahwa pekerjaan komisi tersebut akan menimbulkan risiko pada keselamatan mereka. Di El Salvador, konflik bersenjata antara pemerintah dan Front Pembebasan Farabundi Martí (FMLN) belum berhenti secara resmi hingga bulan Desember 1992, enam bulan setelah
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
komisi dibentuk (hingga saat itu proses perdamaian berada pada status gencatan senjata). Selama masa itu, para perwira militer senior yang sedang diselidiki komisi tetap berada pada posisinya yang amat kuat, dan pemerintahan sipil yang mendukungnya belum berubah. Badan peradilan masih belum direformasi, dan ketua mahkamah agung, yang terkenal karena keberpihakannya ke militer, berusaha keras untuk menghalangi kerja komisi kebenaran, terutama untuk menggali kembali kuburan massal. Komisi El Salvador mempekerjakan lima atau enam pengawal untuk 25 anggota stafnya, yang dikirim dari kantor pusat PBB di New York. Para pengawal tersebut selalu berada di dekat direktur eksekutif dan komisioner, ketika mereka sedang ada di negara itu, dan dengan para staf bila mereka turun lapangan untuk mengadakan penyelidikan. Komisi kebenaran di Chad mendapatkan sejumlah ancaman dari mantan anggota pasukan keamanan yang bekerja untuk badan intelijen yang baru, sehingga menghalangi kerjanya. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan akhirnya, “Di dalam Komisi, beberapa anggota menganggap bahwa pekerjaan mereka terlalu berbahaya sehingga mereka melarikan diri. Yang lain hanya muncul pada akhir bulan untuk mengambil gaji mereka dan menghilang lagi”.xxiii Ketika komisi mendapat perpanjangan waktu selama empat bulan (mandatnya semula memberikan waktu enam bulan), ia harus mengganti tiga perempat anggota aslinya. Komisi kebenaran juga menghadapi masalah besar lainnya, yaitu para saksi yang ketakutan terhadap keselamatan dirinya, sehingga tidak berani memberikan kesaksian – bahkan bila dilakukan secara rahasia. Di Uganda, para korban kadang kala kembali mendatangi komisi kebenaran setelah memberikan kesaksian dalam dengar-kesaksian publik, untuk menarik kembali kesaksian mereka. Jelas bahwa mereka mendapatkan ancaman dari seseorang yang terpengaruh atau terkena dampak kesaksian mereka.
Perlindungan Saksi Dari semua komisi kebenaran yang sudah ada, hanya komisi di Afrika Selatan yang memiliki kekuasaan dan sumber daya untuk mengembangkan program perlindungan saksi yang ditujukan untuk melindungi para korban, saksi dan pemohon amnesti yang merasa bahwa mereka terancam bahaya bila memberikan kesaksian secara publik. Ketika mantan Wakil Jaksa Agung Afrika Selatan, Chris MacAdam, diminta mengetuai program perlindungan saksi komisi itu, ia mendatangi konsulat Italia untuk mendapatkan buku panduan mereka tentang perlindungan saksi pengadilan Mafia. “Kejahatan Mafia serupa dengan kekerasan politik. Sistem perlindungan saksi mereka meliputi banyak saksi dengan biaya rendah. Model ini paling tepat untuk digunakan,” ia memberi tahu saya.xxiv Untuk melindungi para saksi yang terancam, komisi menggunakan cara “kamuflase saksi” yang dikembangkan di Italia, yaitu menempatkan para saksi di rumah-rumah aman di luar komunitas mereka, dengan tetap mempergunakan nama asli. Bila seorang saksi menyatakan kecemasannya tentang keselamatannya, baik sebelum maupun sesudah memberikan kesaksian, kantor komisi setempat akan segera menempatkannya dalam sebuah rumah aman untuk perlindungan sementara, dan kemudian mengadakan evaluasi formal tentang tingkat risiko yang dihadapi. Bagi beberapa saksi, tingkat risiko yang dihadapi dianggap tidak cukup tinggi untuk perlu mendapatkan program perlindungan saksi ini, namun komisi akan mengatur peningkatan pengawasan polisi di tingkat komunitas, dan meminta polisi untuk melakukan kontak teratur dengan saksi tersebut. Pada tingkat risiko terendah di dalam program perlindungan saksi itu, seseorang akan dipindahkan dari satu rumah aman ke rumah aman lainnya di wilayah kediaman mereka, dengan pengawasan ketat
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dari polisi, menggunakan salah satu dari seratus rumah aman yang dimiliki komisi di seluruh negeri. Mereka yang memiliki risiko medium ditempatkan di komunitas lainnya, namun diizinkan untuk meninggalkan rumah pada siang hari, dan hanya mendatangi rumah aman itu di malam hari. Kasus-kasus berisiko tinggi, yang dianggap berbahaya di manapun ditempatkan di rumah aman di luar komunitas mereka dan diberi penjagaan. Tidak ada orang lain yang diizinkan tahu tentang keberadaan seorang saksi yang memiliki risiko tinggi (termasuk keluarganya), dan semua kontak dengan keluarga atau orang lainnya harus melalui komisi. Staf perlindungan saksi adalah para penyelidik yang dialihtugaskan dari kepolisian, berkisar antara 4-7 orang. Komisi memperkirakan bahwa akan ada sekitar 100 saksi untuk dilindungi, dan menganggarkan $400.000 untuk pekerjaan ini. Dalam delapan belas bulan pertama kerja komisi, ia telah memproses lebih dari 230 permintaan perlindungan.xxv “Relatif mudah untuk menipu kami dengan mengarang cerita-cerita bohong,” kata MacAdam. “Banyak orang mencoba melakukannya. Jadi, kami melakukan cek keamanan lengkap, mengambil sidik jari mereka, dan lain-lain. Seseorang dipenjarakan selama setahun karena memberikan kesaksian palsu kepada komisi. Diperlukan 5000 rand [$ 1.000] dan seminggu penyelidikan sebelum kami menemukan bahwa ceritanya bohong.” Memberikan kesaksian palsu kepada komisi kebenaran, bahkan di luar sesi dengar-kesaksian publik adalah tindakan ilegal. Hanya dalam waktu enam bulan, sudah ada “tiga atau empat mata-mata; yaitu orang yang berusaha bergabung dengan sistem ini untuk memasuki rumah aman dan menemui para saksi yang dilindungi – dan kemudian menjual informasi ini kepada penawar tertinggi – yang mungkin saja adalah para pelaku kejahatan yang terpengaruh dampak kesaksian mereka,” kata MacAdam. Komisi-komisi lainnya, meskipun tidak memiliki kapasitas untuk mengadakan program formal perlindungan saksi, memberikan keamanan dengan memberikan kerahasiaan yang ketat. Di El Salvador, misalnya, beberapa saksi, seperti mereka yang berasal dari struktur keamanan negara, baru bersedia untuk bertemu dengan komisi itu di luar negeri dan dengan jaminan penuh bahwa wawancara tersebut akan dirahasiakan. Sebuah program perlindungan saksi seperti digunakan di Afrika Selatan tidak akan berguna bagi saksi-saksi demikian, karena bila mereka ketahuan bekerja-sama dengan komisi kebenaran, hal itu akan membahayakan jiwa mereka. Tentu saja terdapat banyak masalah atau kesulitan lain yang dihadapi komisi kebenaran; kadang-kadang masalah tersebut timbul dari hal-hal yang berada di luar kendali komisi kebenaran dan memberikan dampak yang signifikan bagi komisi itu. Musim hujan di Sierra Leone mengisolasi daerah pedalaman selama tiga sampai empat bulan, dan tidak memungkinkan komisi untuk mendatangi saksi-saksi atau mengadakan penyelidikan. Di negara-negara yang memiliki banyak bahasa nasional, seperti Guatemala atau Afrika Selatan, komisi harus menggunakan penerjemah atau staf multilingual untuk mencatat kesaksian, terutama karena kesaksian tersebut biasanya diarsipkan dalam bahasa standar yang mungkin berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk memberikan mayoritas pernyataan. Di Afrika Selatan, misalnya, staf komisi memperkirakan bahwa sekitar 80 % pernyataan diberikan dalam bahasa selain bahasa Inggris; beberapa pencatat kesaksian multilingual mencatat kesaksian-kesaksian dalam lima atau enam bahasa. Semua sesi dengar-kesaksian publik di Afrika Selatan dilengkapi dengan kapasitas penerjemahan simultan – sebuah proses yang membutuhkan banyak orang dan biaya, namun memungkinkan saksi tersebut untuk berbicara dalam salah satu dari 11 bahasa nasional. Hal-hal ini dan faktor-faktor eksternal lainnya bisa mempersulit kerja komisi, menjadikan tenggat yang singkat dan ribuan kasus yang menghadapinya semakin merepotkan. Seperti banyak proses lain, kualitas sebuah komisi kebenaran terutama ditentukan oleh kualitas orang-orang yang menjalankannya, meskipun cakupan dan dampaknya bisa sangat
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
terpengaruh oleh kondisi lingkungan dan konteksnya. Dalam kasus komisi kebenaran, dibandingkan dengan proses-proses lainnya, tidak ada peluang yang diberikan untuk kesalahan atau persiapan yang panjang, dan beban kerja serta pentingnya menyelesaikan kerjanya dengan baik amatlah besar. Sayangnya, tidak ada satu panduan yang mutlak untuk memandu sebuah komisi kebenaran melalui berbagai kesulitan yang mungkin ia hadapi, meskipun sebuah studi yang mendetail terhadap langkah-langkah yang diambil komisi-komisi kebenaran lainnya paling tidak bisa memberikan gambaran umum. Namun, bila dilakukan dengan baik – dan dengan sumber daya dan dukungan yang mencukupi – sebuah komisi kebenaran dapat mengubah bagaimana sebuah negara memahami dan menerima masa lalunya, dan kemudian, dengan sedikit keberuntungan, secara mendasar memberi bentuk pada masa depannya. i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Penutup: Memperluas Jangkauan Pencarian Kebenaran Resmi 11 Maret, 2002 Kepentingan terhadap komisi kebenaran tumbuh relatif pesat pada waktu buku ini pertama kali diterbitkan. Sejak edisi hardback dibagikan ke pers delapan belas bulan yang lalu, hampir setengah lusin komisi kebenaran berhasil didirikan (termasuk di Panama, Republik Federal Yugoslavia, Peru, dan Timor Timur), beberapa negara juga bergerak cepat dalam pembentukan komisi kebenaran (Ghana, Bosnia-Herzegovina, dan Burundi), dan beberapa lagi secara serius mendiskusikan kemungkinan pembentukan komisi ini. Tiap-tiap kasus ini akan dipaparkan lagi selanjutnya. Telah terdapat beberapa kemajuan yang patut dicatat baik dari cara, mandat, dan kekuatan dari beberapa komisi baru ini, terutama sebagai penghubung (interplay) antara pencarian-kebenaran nonyudisial; dan penuntutan di pengadilan-pengadilan telah (dalam beberapa kasus) menjadi lebih jelas. Komisi kebenaran terbaru yang paling menarik adalah komisi yang sedang dibentuk di Timor Timur, di mana tidak hanya terdapat hubungan dengan penuntutan, tetapi juga komisi ini secara eksplisit dibuat sebagai alat untuk mengintegrasikan kembali pelaku tingkat-rendah kembali ke komunitas mereka. Melalui sebuah program layanan masyarakat yang diarahkan oleh komisi kebenaran, pelaku dapat membayar langsung kepada korban kekerasan, sebuah perkembangan dibandingkan dengan model Amnestiuntuk-Kebenaran di Afrika Selatan di mana tidak ada persyaratan bagi pelaku selain mengungkapkan kebenaran seutuhnya. Belajar dari batasan-batasan dan kesulitankesulitan yang diperoleh dari pendekatan Afrika Selatan, Timor Timur membangun sebuah cara untuk memenuhi kepentingan baik pelaku (yang berkepentingan untuk kembali ke kampungnya dengan aman) dan komunitas korban (di mana banyak dari mereka menderita pengrusakan harta benda akibat tindakan-tindakan para pelaku). Pengaturan ini akan dijelaskan lebih detail di bagian lain. Mencari hubungan yang layak antara pencarian kebenaran dan penuntutan selalu menjadi pertanyaan vital baik di Peru maupun di Sierra Leone. Di Peru, sebuah badan Kejaksaan khusus (demikian juga dengan penyelidikan-penyelidikan khusus yang dijalankan oleh Kongres) terus bergerak maju terhadap beberapa kasus yang melibatkan korupsi dan kejahatan kemanusiaan, bersinggungan dengan masalah-masalah hak asasi manusia yang yang akan dibawa ke hadapan komisi kebenaran yang baru ditunjuk. Untuk mengatasi semua potensi konflik, komisi ini secara berkala berkomunikasi dengan kantor kejaksaan, dan terdapat tujuan yang jelas untuk mengadakan saling kerja sama. Sebagai contoh, komisi dan para jaksa setuju terhadap rencana bersama exhumations (penggalian kembali makan-makam korban pelanggaran) yang akan melibatkan komisi dalam setiap penggalian yang dimulai oleh para jaksa. Di Sierra Leone, pertanyaan mengenai hubungan antara komisi kebenaran dan rencana Pengadilan Khusus masih belum jelas. Cara bagaimana hubungan ini dilakukan – apakah dan bagaimana informasi dibagi antara dua badan ini selama jalannya operasi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mereka, sebagai contoh – dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap efektivitas kinerja tiap atau kedua badan ini nantinya. Terdapat juga ketergantungan yang besar pada mekanisme lokal atau praktikpraktik di komisi kebenaran yang sedang disusun. Seperti dicatat di atas, Komisi Timor Timur dibentuk untuk merespon pada kebutuhan spesifik di lapangan, dan bergantung pada mekanisme resolusi konflik-berbasis komunitas lokal yang telah ada pada prosedur rekonsiliasi komunitas yang ada. Demikian juga komisi di Sierra Leone diharapkan untuk memasukkan pemuka-pemuka masyarakat dan pemimpin agama dalam proses-proses lokal berbasis desa, yang mungkin dapat melibatkan acara pembersihan yang telah berakar pada kepercayaan lokal. Pentingnya pemikiran yang hati-hati dan konsultasi dalam pembentukan komisi kebenaran yang manapun telah menjadi lebih jelas sepanjang tahun lalu. Di Nigeria, baik kelompok-kelompok masyarakat madani dan komisi itu sendiri menekankan batasanbatasan inheren dalam kerangka acuan yang membentuk komisi kebenaran negara tersebut. Secara spesifik, terdapat batasan-batasan jelas yang merupakan hasil dari kepercayaan Undang-Undang Pemeriksaan oleh Pengadilan yang telah ada untuk memberdayakan komisi, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai “belenggu” (straitjacket) di mana di dalamnya komisi harus bekerja. Tidak ada proses refleksi dari cara atau tujuan akhir dari komisi tersebut sebelum dibentuk, yang mengakibatkan kurangnya kejelasan dan tuntutan yang jelas ketika komisi ini memulai kerjanya. Sehaliknya, Peru melewati proses konsultatif yang relatif luas cakupannya dalam menentukan kerangka acuan bagi komisi kebenaran mereka, tetapi sedikit konsultasi dalam memilih anggota-anggota komisi di luar kelompok kecil anggota pemerintahan yang membantu untuk memilih para anggota dengan kurun waktu yang singkat. Tujuh anggota pertama tidak merefleksikan kombinasi yang memadai antara keahlian, keragaman, dan pendapat politik, yang menyebabkan adanya penambahan lima anggota lagi beberapa minggu kemudian untuk menganeka-ragamkan keanggotaan komisi ini. Proses seleksi ini mengurangi baik proses konsultasi yang kuat dalam perkembangan komisi ini, dan mulai melemahkan apa yang sebenarnya telah lemah sampai kemudian proses unimpeachable dengan sokongat kuat dari hampir semua partai. Kekuasaan untuk mengadakan public hearing telah disinggung oleh pengaruh besar acara dengar-kesaksian yang diadakan oleh komisi kebenaran yang ditunjuk oleh komisi kebenaran di Nigeria. Masyarakat Nigeria telah direcoki sepanjang tahun dengan sesi-sesi komisi kebenaran yang disiarkan oleh televisi, yang disiarkan siang hari dan kemudian disiarkan berulang-ulang pada malam hari di beberapa saluran televisi, juga disiarkan langsung lewat radio. Kepentingan masyarakat yang besar terhadap kerja komisi, dan penampilan khusus banyak orang yang dituduh terlibat kejahatan masa lalu, tampaknya menggeser secara fundamental pemahaman masyarakat terhadap kejadiankejadian yang berlangsung di bawah kekuasaan militer. Sifat pemaksaan komisi kebenaran Afrika Selatan telah mengarahkan beberapa negara, termasuk Peru, Timor Timur, dan Sierra Leone, untuk memasukkan komponen dengar-pendapat umum (public hearing) dalam mandat mereka, meski cara-cara dengar-pendapat ini dijalankan dan peran yang akan diembannya berbeda-beda tiap negara. Meski demikian, tujuan untuk membuat komisi kebenaran lebih bernilai ketimbang hanya kegiatan mengumpulkan fakta dan pelaporan – mengubahnya menjadi proses interaksi dengan masyarakat dibanding dengan kegiatan yang hanya berfokus ke hasil final – tampaknya telah
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dimenangkan seutuhnya. Keadilan transisional sebagai suatu kesatuan telah menerima perhatian yang besar sepanjang tahun lalu dengan banyaknya negara-negara yang keluar dari masa lalu yang suram telah menyadari pentingnya berpikir secara menyeluruh ketika merancang kebijakan-kebijakan mereka untuk merespon pelanggaran hak asasi manusia masa lampau. Langkahnya bersifat kreatif, pendekatan yang saling berhubungan terhadap keadilan telah menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk memenuhi lebih banyak dari banyaknya kebutuhan dan permintaan yang menyatakan bahwa negara akan menentang, sebagaimana juga memenuhi kewajiban-kewajiban hukum negara. Sekarang secara umum telah diakui bahwa pendekatan-pendekatan yang bervariasi terhadap pencarian kebenaran, penuntutan, reparasi, reformasi, dan inisiatif rekonsiliasi menjadi sangat kuat ketika dirancang dari awal untuk saling melengkapi dan memperkuat. Beberapa kebutuhan ini mungkin dipertimbangkan pada periode reformasi konstitusional, atau selama periode persetujuan perdamaian yang menegangkan. Adalah penting untuk memahami secara penuh bagian-bagian dari perjanjian (ramifications) keputusankeputusan yang telah diambil pada tahap-tahap awal, yang dapat memberikan pengaruh yang tidak perlu terhadap kemungkinan membangun akuntabilitas pada tahap selanjutnya. Sewaktu langkah-langkah kegiatan seputar komisi kebenaran dan keadilan transisional meningkat pada tahun 2000 dan 2001, Ford Foundation mempelopori pembentukan organisasi baru untuk membantu negara-negara yang baru bebas dari kekuasaan represif atau konflik bersenjata yang berjuang untuk menerapkan kebijakankebijakan keadilan transisional. Dengan dukungan Ford dan yayasan-yayasan lainnya, International Center for Transitional Justice (ICTJ) dibentuk pada Bulan Maret 2001, berbasis di New York.1 ICTJ merespon permintaan-permintaan bantuan hukum dan teknis baik dari pemerintah maupun pihak-pihak lembaga swadaya masyarakat, membantu membentuk kebijakan-kebijakan yang menjawab situasi nasional yang khusus. Mereka juga melakukan riset dan menyediakan pelatihan dan pengembangan kapasitas (capacity building) bagi orang-orang di negara tersebut yang sedang bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai keadilan transisional. Perkembangan-perkembangan terbaru dan tantangan-tantangan pada keadilan transisional muncul hampir setiap hari. Jelas bahwa pada akhir 2001, bidang keadilan transisional sebagai kesatuan yang utuh – luas arena masalah, tantangan, dan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kejahatan masa lalu – berada dalam kondisi yang berkembang cepat. Kecenderungan yang jelas menuju komisi kebenaran yang lebih kuat dan lebih berakar adalah salah satu tanda dari perubahan ini. Lebih penting lagi, terdapat harapan yang meningkat terhadap akuntabilitas pada waktu transisi, dan dengan itu, kesadaran bahwa mekanisme kreatif dapat dimunculkan untuk memajukan kemungkinan-kemungkinan keadilan di lapangan. Bentuk-bentuk yang dipakai oleh kebijakan keadilan – dan perantara antara berbagai mekanisme yang digunakan – dapat sangat berbeda, seperti yang ditunjukkan dalam berbagai contoh yang dipaparkan di bawah. Tentu saja komisi kebenaran hanya merupakan salah satu mekanisme menilai masa lalu, dan kesemua mekanisme itu jelas saling melengkapi tapi tidak saling mengganti. Kekuatan sebagaimana tantangan dari usaha-usaha pencarian kebenaran berada pada fleksibilitas dan potensi besar mereka, juga seperti kebutuhan untuk secara hati-hati membentuk rencana kerja dalam merespon kebutuhan-kebutuhan dan kondisi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dari tiap-tiap negara. Penjelasan-penjelasan di bawah menunjukkan bagaimana baiknya beberapa dari komisi-komisi yang baru telah mulai melakukan hal-hal tersebut.
Komisi-Komisi Kebenaran Baru
Panama (Januari 2001) Sepuluh tahun setelah kejatuhan pemerintahan Manuel Noriega dan invasi Amerika Serikat ke Panama, peninggalan pemerintahan otoriter selama bertahun-tahun tetap belum jelas. Akhir 1999 kuburan-kuburan tanpa tanda ditemukan di sebuah tempat di dekat markas militer dekat lapangan udara utama di Panama City. Kuburan-kuburan ini ditemukan setelah para tentara mengaku kepada para pendeta tentang hal ini dan dipercaya masih menyimpan mayat para aktivis oposisi yang dibunuh selama periode kekuasaan milter. Dalam usaha merespon permintaan masyarakat untuk melakukan penyelidikan, pada Bulan Januari 2001 Presiden Mireya Moscoso membentuk Komisi Kebenaran Panama melalui dekrit eksekutif.2 Komisi ini mendapat mandat untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusi di Panama yang “dilakukan selama rezim militer”, dari kudeta Bulan Oktober 1968 sampai akhir 1989. Organisasi-organisasi hak asasi manusia nasional dan internasional telah menyediakan bantuan dan informasi mengenai pelanggaran hak asasi manusia, dengan fokus khusus pada kehilangan manusia. Pada awalnya diberikan mandat selama enam sampai sembilan bulan, komisi ini memperoleh perpanjangan enam bulan, dan diharapkan dapat menyerahkan laporan final pada awal 2002.
Republik Federal Yugoslavia (Maret 2001) Setelah bertahun-tahun bergelut dengan perang di Balkan yang berakhir dengan perpecahan Yugoslavia menjadi empat negara yang merdeka, kematian lebih dari 200.000 orang dan pengungsian jutaan orang, presiden Republik Federal Yugoslavia, Slobodan Milosevic, diberhentikan pada akhir 2000. Beberapa bulan kemudian dia ditangkap dan dikenai dakwaan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, dan kemudian pada Bulan Juli 2001, dipindahkan ke Den Haag untuk menghadapi tuntutan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida di depan Tribunal Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY). Bertindak atas inisiatif sendiri, presiden yang baru terpilih Vojislav Kostunica mengumumkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada bulan Maret 2001. Dengan sedikit konsultasi mengenai aturan kanggotaan komisi, Presiden Kostunica meminta kepada komisi untuk menyusun sendiri Kerangka Acuan mereka. Komisi ini kemudian menyebarkan draf program kerja kepada masyarakat untuk memperoleh masukan, dan setelah kerangka acuannya telah selesai, mereka mulai kerja secara resmi pada bulan Februari 2002. Mereka diberikan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan penyelidikan mereka dan memasukkan laporan. Sayangnya, komisi ini telah memiliki
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
kontroversi dari pembentukannya, setelah dua anggotanya langsung mengundurkan diri setelah ditunjuk. Menimbang kenyataan bahwa banyak pelaku dan korban perang berada di luar Yugoslavia, komisi ini kemudian berkomitmen untuk bekerja secara regional, dan mengadakan dengar-pendapat atau mengambil kesaksian, sebanyak mungkin, di luar batas negara mereka. Komisi ini juga berkomitmen untuk bekerja-sama penuh dengan ICTY.
Peru (Juni 2001) Pemerintahan Presiden Alberto Fujimori tumbang pada bulan November 2000 dengan menghadapi bukti-bukti yang sangat banyak atas korupsi yang berada pada titik tertinggi di bawah pemerintahannya. Akhir dari rezim Fujimori telah membuka kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban selama dua dekade penyiksaan. Sejak 1980 konflik bersenjata antara pemerintah dan kelompok oposisi bersenjata (The Shining Path and the Tupac Amaru Revolutionary Movement) telah ditandai dengan pembunuhan tanpa pengadilan, penghilangan ribuan orang, penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional serius lainnya. Selama dekade yang lalu, tindakantindakan anti demokrasi seperti kontrol kekuasaan eksekutif sistem pengadilan dan pemilihan telah memberikan kontribusi terhadap erosi hak-hak utama. Tekanan dari beberapa badan masyarakat madani mengenai permintaan resmi mengenai kekejaman masa lalu memunculkan proses yang cukup ekstensif untuk meninjau kembali aturan-aturan yang mungkin dari usaha ini, dan pada bulan Juni 2001 presiden sementara mengeluarkan dekrit pembentukan Komisi Kebenaran (yang kemudian dinamakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Mandat komisi ini mengarahkannya untuk menyelidiki kejahatan dan pelanggaran hukum humaniter yang dikenakan kepada negara atau kepada pemberontak bersenjata antara Mei 1980 dan November 2000. Pada bulan Juli 2001, setelah proses seleksi yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat atau debat publik, anggota-anggota awal komisi ini disumpah oleh presiden sementara. Menghadapi kritik masyarakat terhadap pemilihan anggota gelombang pertama dan kekhawatiran umum bahwa keanggotaan tersebut tidak cukup representatif, presiden baru terpilih Alejandro Toledo menunjuk lima anggota tambahan komisi pada bulan Agustus. Kedua-belas anggota komisi (dengan Kepala Konfensi Keuskupan Peru menjadi pengamat) memiliki keahlian tentang hak asasi manusia dan seorang komisioner tambahan dari luar kota Lima. Mungkin yang paling kontroversial adalah penunjukan seorang pensiunan jenderal angkatan udara yang juga bertindak sebagai penasihat keamanan Toledo. Ketika proses seleksi membuat komisi ini mengalami awal yang agak susah, perhatian kemudian dialihkan kepada substansi kerja komisi, yaitu apa yang akhirnya menentukan kesuksesannya. Pada pidato pelantikannya, Presiden Toledo menyatakan dukungannya kepada kerja komisi dan memberikan komitmen pemerintahannya untuk menjalankan semua rekomendasi dari komisi. Komisi ini memiliki sembilan belas bulan untuk menyelesaikan tugasnya, termasuk empat bulan periode persiapan, ditambah kemungkinan perpanjangan lima bulan. Komisi ini diarahkan untuk menentukan kondisi yang mengakibatkan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
tumbuhnya kekerasan, memberikan kontribusi terhadap investigasi yudisial, membuat draf untuk reparasi, dan merekomendasikan reformasi. Komisi Peru juga akan menjadi yang pertama di Amerika Latin yang mengadakan dengar-kesaksian publik, yang dimulai pada bulan April 2002
Timor Timur (Juli 2002) Setelah dua puluh lima tahun di bawah kekuasaan keras Indonesia yang mengakibatkan sekitar 200.000 orang Timor Timur meninggal dan banyak lainnya diusir, Timor Timur akhirnya diberikan kesempatan pada bulan Agustus 1999 untuk memilih kemerdekaan atau otonomi. Suara pro-kemerdekaan menang dengan mayoritas penuh, meski berada di bawah intimidasi dan ancaman kekerasan dari milisi yang didukung oleh Indonesia. Ketika hasil referendum diumumkan, milisi bereaksi dengan melakukan kekerasan, merampok dan membakar sebagian besar kota di sana, membunuh sekitar 1.000 orang, dan membuat lebih dari 200.000 orang Timor Timur mengungsi ke Timor Barat, bagian dari Indonesia. Setelah melarikan diri ke Timor Barat, banyak dari sekitar 10.000 anggota milisi Timor Timur takut akan pembalasan jika mereka kembali ke komunitas mereka, sehingga mereka enggan untuk pulang. Perserikatan Bangsa-Bangsa memerintah Timor Timur selama masa transisi melalui United Nations Transitional Administration for East Timor (UNTAET). Ketika sebuah proposal untuk komisi kebenaran diusulkan oleh koalisi utama partai-partai politik, Kantor Hak Asasi Manusia-UNTAET memfasilitasi sebuah proses untuk memasukkan pelajaran-pelajaran yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman komisikomisi kebenaran dari seluruh dunia.3 Komisi kebenaran yang dibentuk untuk Timor Timur – berdasarkan petunjuk steering committee dari perwakilan-perwakilan masyarakat madani, gereja, dan kelompok-kelompok partai, tampak berbeda dibandingkan dengan komisi-komisi kebenaran sebelumnya. Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (dalam bahasa Portugis: Comissão de Acolhimento, Verdade, e Reconciliação) diberikan mandat untuk mendata pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan dalam konteks konflik politik di Timor Timur antara 25 April 1974 dan 25 Oktober 1999. Komisi ini diberikan kekuasaan sub-poena penuh dan, dengan bantuan polisi, memiliki kekuasaan untuk menyidik dan mensita informasi dari lokasi manapun di dalam negeri. Komisi ini memiliki waktu 2 tahun untuk menyelesaikan tugasnya, setelah dua bulan periode persiapan, dengan kemungkinan perpanjangan enam bulan. Sebagai tambahan terhadap fungsi pencarian kebenaran ini, komisi ini juga dibentuk untuk memfasilitasi kembalinya pelaku kejahatan tingkat rendah. Komisi ini menawarkan: mereka yang terlibat kejahatan yang tidak serius dapat mengakuinya dan meminta maaf atas kejahatannya, dan setuju untuk melakukan pelayanan masyarakat atau membayar denda atau permintaan maaf di depan umum sebagai sarana untuk memfasilitasi kembalinya mereka. Sedikit mengambil proses-proses tradisional Timor Timur, pengaturan ini akan dilaksanakan dan dimonitor langsung oleh komisi, dan menghubungkannya melalui panel yang berasal dari masyarakat oleh komisioner regional dengan keterlibatan komunitas korban dan korban langsungnya sendiri. Pengaturan final akan disetujui oleh pengadilan, dan pelaksanaan persetujuan ini akan menghasilkan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
penghilangan tanggung jawab kriminal dan sipil yang timbul dari kejahatan tersebut. Orang yang terlibat atas pembunuhan, kekerasan seksual, mengatur atau bersekongkol membuat kerusuhan, atau melakukan kejahatan serius lainnya mungkin tidak akan dimasukkan kedalam proses rekonsiliasi komunitas. Sebelum masuk ke rekonsiliasi komunitas, aplikasi para pelaku akan ditinjau oleh kantor unit kejaksaan kejahatan serius UNTAET, yang memiliki kekuasaan untuk memindahkan seseorang dari proses komisi kebenaran jika terdapat bukti bahwa mereka terlibat dalam kejahatan yang serius. Komisi dibentuk dalam hukum melalui regulasi UNTAET di bulan Juli 2001.4 Sekretariat persiapan dibentuk untuk mempersiapkan logistik, mengumpulkan dana, dan menjalankan semua rencana lainnya untuk memulai komisi di awal 2002. Pada bulan Desember, setelah konsultasi yang ekstensif oleh panel perwakilan yang telah diseleksi, tujuh komisioner nasional dipilih. Sebagai tambahan, sebuah dewan penasihat kecil yang terdiri dari pemuka masyarakat Timor Timur dan anggota internasional dibentuk untuk membantu komisi. Komisi ini secara formal diluncurkan, dan para komisioner diambil sumpahnya di akhir Januari 2002.
Perkembangan Lainnya Sampai tulisan ini disusun, dua komisi lainnya sedang dalam tahap pembentukan yang dalam beberapa segi seharusnya memiliki karakteristik komisi kebenaran, meski mereka memiliki fokus dan capaian yang lebih terbatas dibandingkan komisi kebenaran yang ada sekarang ini. Di Korea Selatan, Komisi Kebenaran Presidensial Tentang Kematian yang Mencurigakan (Presidential Truth Commission on Suspicious Deaths) dibentuk pada tanggal 17 Oktober 2002, untuk menyelidiki kematian para aktivis demokrasi selama periode rezim otoriter sebelumnya.5 Komisi ini menerima 8 petisi dalam periode tiga bulan yang ditujukan bagi para korban untuk mendaftarkan klaimnya. Sebagai tambahan dari mengklarifikasi kondisi para korban, komisi ini juga ditugaskan untuk mencari orang-orang yang terbukti bersalah untuk dihukum. Komisi ini dapat memberikan hadiah yang senilai dengan $40.000 kepada orang-orang yang dapat memberikan informasi, bukti, atau dokumen yang dapat membantu penyelidikan secara signifikan. Komisi ini secara umum berfokus pada kasus-kasus individual bukan dengan pola yang lebih luas, penyebab-penyebab, atau konsekuensi menyeluruh dari kejadian-kejadian masa lalu. Komisi ini mulai bekerja tahun 2002. Di Uruguay, Komisi Perdamaian dibangun oleh presiden yang baru terpilih, Jorge Batlle, pada bulan Agustus 2000. Komisi ini ditugaskan untuk “menerima, menganalisis, mengklasifikasikan, dan mengumpulkan informasi bersama-sama sehubungan dengan penghilangan paksa yang muncul selama rezim de facto”. Awalnya komisi ini terlihat sebagai awal sebuah lembar baru yang mengangkat isu penghilangan setelah bertahuntahun diabaikan dan secara resmi dibantah, komisi ini kehilangan beberapa dukungan setelah tampak jelas bahwa hasil kerja mereka relatif akan dibatasi. Dengan enam anggota komisi dan hanya satu staf, seorang sekretaris administrasi, komisi ini menunjukkan hanya sedikit peningkatan dan memiliki sedikit kekuatan yang dapat secara agresif menyelidiki kasus-kasus individu. Laporan final diharapkan keluar pada awal
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
2002, yang tampaknya akan berisi rekomendasi reparasi yang dapat dilakukan kepada keluarga orang-orang hilang tersebut.
Komisi Kebenaran yang Sedang Dikembangkan Sangatlah mungkin komisi kebenaran akan dibentuk di beberapa negara berikut ini, beberapa di antaranya mungkin akan terbentuk dalam waktu tidak lama lagi.
Ghana Pemerintah Ghana menggagas pembentukan Komisi Rekonsiliasi Nasional pada awal 2001, dan mengusulkan agar mandatnya mencakup seluruh periode dari pemerintahan militer, termasuk saat Jerry Rawlings menjabat sebagai penguasa militer. Selama beberapa bulan berikutnya, konsultasi nasional dan internasional yang intensif dilakukan untuk menimbang mandat dan jangkauan yang paling baik bagi komisi tersebut, dengan beberapa pihak berpendapat bahwa mandat itu harus sampai hingga waktu kemerdekaan di tahun 1957 dan mencakup semua pemerintah sampi dengan tahun 1993, ketika Jerry Rawlings menyerahkan dirinya dalam proses pemilihan dan kemudian terpilih menjadi presiden. Rancangan Undang-Undang finalnya, yang kemudian disahkan menjadi undang-undang pada bulan Januari 2002, memberikan kesempatan pada komisi tersebut untuk memfokuskan diri pada tahun-tahun pemerintahan yang tidak konstitusional (Februari 1966 sampai dengan bulan Agustus 1969; Januari 1972 sampai dengan September 1979; dan Desember 1981 sampai dengan Januari 1993). Namun undangundang tersebut mengizinkan komisi untuk menilik kejadian-kejadian yang terjadi pada periode Maret 1957 sampai dengan Januari 1993 yang mungkin tidak ada dalam waktuwaktu yang ditentukan di atas. Organisasi Masyarakat Sipil, terutama Pusat Perkembangan Demokratis di Ghana, memainkan peranan yang kuat dalam memfasilitasi proses konsultatif dari rancangan undang-undang tersebut. Keanggotaan komisi tersebut sedang dipertimbangkan saat tulisan ini dibuat. Komisi ini diharapkan sudah mulai bekerja pada bulan Mei atau Juni 2002.
Bosnia-Herzegovina Setelah lebih dari tiga tahun diskusi, gagasan komisi kebenaran untuk BosniaHerzegovina mulai mendapatkan banyak perhatian di tahun 2000 dan 2001. Organisasiorganisasi HAM lokal yang mendorong didirikannya komisi ini memahami komisi ini sebagai pelengkap dan pembantu kerja-kerja dari Tribunal Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia, dan bukanlah suatu badan yang akan menggantikan pengadilan tersebut. Tribunal sendiri, yang tadinya menentang gagasan didirikannya komisi kebenaran nasional, mempertimbangkan kembali pandangannya setelah berkonsultasi dengan beberapa aktor lokal, dan kemudian mendukung proposal itu. Kerangka Acuan Kerja (Term of Reference) dari komisi tersebut telah diubah untuk memastikan pemberian informasi oleh Komisi bila Tribunal memintanya dan juga agar Komisi tersebut tunduk
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
pada juridiksi Tribunal tersebut. Satu aspek unik dari mandat yang diusulkan ini adalah bahwa Komisi ini juga ditugaskan untuk medokumentasikan tindakan-tindakan positif dari seluruh garis etnis maupun agama yang dilakukan untuk membantu mereka yang ada dalam bahaya pada masa perang.
Burundi Setelah delapan tahun pergolakan sipil dengan 250,000 orang diperkirakan telah meninggal, suatu pemerintahan transisional mulai memegang tampuk kekuasaan pada tanggal 1 November 2001. Perjanjian damai yang membuat didirikannya pemerintahan transisional ini juga menentukan agar suatu komisi kebenaran nasional didirikan untuk menyelidiki kejadian-kejadian yang terjadi pada periode tahun 1962 sampai dengan Agustus 2000, dan juga suatu komisi penyelidikan internasional, yang akan melihat apakah genosida telah terjadi dan apakah tribunal internasional dibutuhkan. Perjanjian ini menentukan bahwa komisi kebenaran akan didirikan 6 bulan sejak berdirinya pemerintah transisional. Bila komisi ini didirikan, maka ia akan menghadapi suatu tugas yang sulit, yakni menentukan kebenaran tentang suatu konflik ketika konflik itu sendiri masih berlangsung. Hal ini disebabkan masih adanya kelompok-kelompok pemberontak yang belum berpartisipasi dalam perjanjian tersebut, dan kekerasan yang masih berlangsung akan menghalangi para penyelidik untuk mencapai beberapa wilayah di Negara itu.
Lain-Lain Suatu Komisi kebenaran sedang diusulkan di Meksiko, dengan dukungan dari berbagai pembela HAM dan beberapa anggota pemerintah Presiden Vicente Fox, namun beberapa pihak masih skeptis. Isu ini tetap ada di atas meja di Meksiko dan tetap mendapatkan cukup banya perhatian selama tahun 2002. Usulan pembentukan komisi kebenaran di Indonesia yang didiskusikan secara serius selama tahun 2000 dan awal 2001 akhirnya masih tetap tidak jelas dengan naiknya seorang Presiden baru, Megawati Sukarnoputri, pada bulan Juli 2001. [Saat buku ini disiapkan untuk penerbitan versi terjemahan Indonesiannya, Komisi yang dimaksud, yang dikenal sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sedang dibentuk berdasarkan UU No. 27 Tahun 2004.] Akhirnya, beberapa aktivis di beberapa Negara seperti Kroasia, Moroko dan Kenya, juga sedang mengusulkan dibentuknya komisi kebenaran – dan mereka juga mendapatkan dukungan, namun prospeknya masih belum jelas.
Perkembangan Komisi-Komisi yang Digambarkan di Bab Lima Dua komisi yang digambarkan di bab lima telah mengalami kemajuan-kemajuan sejak publikasi edisi pertama dari buku ini. Di Nigeria, komisi kebenarannya sedang menyelesaikan pekerjaannya, sementara di Sierra Leone, komisi kebenaran baru akan mulai bekerja setelah mengalami banyak penundaan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Nigeria Panel Oputa, yang adalah sebutan dari Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Nigeria, mulai bekerja dengan hampir tanpa perencanaan dan sangat sedikit dukungan dana dari pemerintah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, panel ini mendapatkan perhatian dan dukungan publik yang cukup besar, kebanyakan melalui proses dengarkesaksian publik (public hearing) yang diperhatikan dengan saksama selama satu tahun. Kerja panel yang setiap harinya disiarkan melalui TV dan disaksikan oleh sebagian besar masyarakat Nigeria tampaknya berhasil mencapai ke seluruh tingkat masyarakat. Komisi ini mengadakan sesi dengar-kesaksian publik tanpa henti selama lebih dari satu tahun, melakukan perjalanan ke beberapa lokasi di negara tersebut dan mengundang pada korban dan mereka yang dituduh dalam berbagai bentuk acara. Walaupun komisi ini memiliki kewenangan untuk melakukan sub-poena, ia jarang menggunakannya, dan kebanyakan dari yang tertuduh datang secara suka rela untuk menjawab tuduhan-tuduhan yang ditujukan terhadap mereka. Namun yang mengecewakan dari kerja komisi ini adalah ketidakberhasilannya dalam melakukan tanya-jawab dengan tiga mantan kepala negara, dua di antaranya menggunakan perintah pengadilan untuk mencegah diri mereka di-sub-poena. Kesuksesan panel ini sangat luar biasa bila mengingat terbatasnya sumber daya yang diberikan kepadanya – hanya $450,000 dalam bentuk hibah dari Yayasan Ford, yang membiayai sesi-sesi dengar-kesaksian publik. Karena keterbatasan ini, komisi ini tidak dapat melakukan penyelidikan atau pengecekan ulang dari kasus-kasus yang ada selain daripada mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang terjadi dalam sesisesi tersebut. Komisi ini memang meminta Kepala Inspektur Polisi untuk membentuk unit khusus dari kasus-kasus yang dari temuan dalam sesi-sesi itu terlihat memang harus diproses secara hukum, dengan kira-kira 35 kasus akan diserahkan oleh komisi ini kepada unit tersebut untuk disidik. Diharapkan laporan panel tersebut akan selesai pada awal atau tengah tahun 2002.
Sierra Leone Rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Sierra Leone diperlambat dengan munculnya kembali pertikaian antara para pemberontak dan pemerintah pada awal tahun 2000. Pada akhir 2001, ketika proses perdamaian dan pelucutan senjata mulai mengalami kemajuan, proses untuk memilih 4 orang anggota komisi dari tingkat nasional dan 3 dari internasional dilakukan. Setelah menerima lebih dari 60 nominasi dari publik untuk anggota komisi nasional, suatu panel pemilih yang representatif melakukan wawancara dengan kandidat-kandidat yang terbaik dan akhirnya telah memutuskan keempat anggota komisi nasional. Sementara itu Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia sedang memilih tiga anggota komisi dari internasional. Diharapkan ketujuh anggota komisi akan dilantik pada bulan Mei 2002, dan mulai bekerja segera sesudahnya.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Kesimpulan Segera setelah kampanye militer AS dimulai di Afghanistan, pada musim gugur 2001, telah mulai ada diskusi awal tentang pembentukan komisi kebenaran untuk negara tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa diskusi itu dipicu oleh personel-personel internasional di wilayah tersebut yang sudah mempunyai cukup pengalaman sehingga mengerti keuntungan dan kesulitan dari gagasan semacam itu. Ketika pemerintahan sementara mulai berkuasa di Afghanistan dan pertanyaan-pertanyaan tentang akuntabilitas untuk masa lalu tetap belum didefinisikan, belumlah jelas apakah keinginan dari masyarakat Afghanistan dan apakah menggali dan menceritakan kembali kekerasan yang diderita selama bertahun-tahun akan membatu mereka untuk menyelesaikan konflik-konflik dan menyembuhkan luka mereka. Pertanyaan pertama yang harus ditanyakan, seperti biasanya, adalah apakah dan bagaimana masyarakat di manapun, terutama mereka yang menderita secara langsung karena kebijakan-kebijakan di masa lalu, mau mengingat dan mengabadikan masa lalu mereka, dan bila ya, apa mekanisme yang paling kuat dan sesuai untuk melakukannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut belum dijawab di Afghanistan, sebagaimana juga di negara-negara lain yang mungkin akan berhasil bangkit dari kekuasaan yang sewenang-wenang di waktu yang akan datang. Namun pertanyaan apakah Afghanistan dan negara-negara lain memutuskan untuk mengambil jalan menuju pencarian kebenaran secara formal itu sebenarnya kalah penting dari bagaimana negara itu mengembangkan dan menggunakan visi yang lebih luas untuk menghentikan kebudayaan impunitas yang memang sangat jamak dalam negara-negara yang baru keluar dari kekuasaan otoriter. Pandangan yang luas menuju keadilan dalam jangka panjang, termasuk pertanggungjawaban atas masa lalu dan pencegahan atas pelanggaran-pelanggaran di waktu yang akan datang menjadi tujuan dari keputusan-keputusan sulit yang harus diambil. 1 2 3 4 5
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Epilog: Menatap ke Depan
Februari 2000
Minggu depan saya akan bergabung bersama suatu tim yang akan pergi ke Indonesia untuk membantu pemerintah dalam memikirkan tentang program keadilan transisionalnya, termasuk tentang perincian perencanaan dari Komisi Kebenaran Indonesia yang mungkin akan didirikan untuk mencakup pelanggaran rezim Suharto yang banyak jumlahnya. Saya lalu akan melakukan perjalanan ke Siera Leone mewakili Komisioner HAM PBB untuk membantu perencanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sierra Leone. Kemarin saya menerima telepon dari Timor Leste tentang ketertarikan yang semakin tinggi terhadap gagasan membentuk Komisi Kebenaran di sana, yang independen dari pengembangan komisi kebenaran di Indonesia. Ketia saya menulis ini, suatu konferensi internasional sedang dibangun di Sarajevo untuk mendiskusikan proposal tentang komisi kebenaran Bosnia yang telah dipertimbangkan selama beberapa tahun terakhir, namun ketertarikan terhadap gagasan tersebut tampaknya baru-baru ini mendapatkan momentum yang baik. Beberapa minggu yang lalu saya menerima e-mail dari Kamboja yang menggambarkan tentang diskusi yang sedang berjalan tentang komisi kebenaran di negara tersebut untuk mencakup pembantaian yang terjadi selama rezim Pol Pot dua puluh tahun yang lalu. Mereka sedang berusaha mengukur ketertarikan popular terhadap komisi kebenaran di Kamboja, apa tujuan yang dapat dicapainya, dan bagaimana komisi semacam itu dapat memfokuskan kerjanya ketika telah begitu besar proporsi masyarakat menjadi korban langsung. Beberapa bulan yang lalu suatu konferensi internasional tingkat tinggi dilangsungkan di Bogota yang menunjukkan konsensus yang jelas bahwa suatu komisi yang menyelidiki kebenaran harus menjadi bagian dari perjanjian perdamaian Kolombia apa pun, bahkan ketika memang diakui bahwa perjanjian perdamaian tersebut mungkin akan baru dapat direalisasikan bertahun-tahun yang akan datang. Diskusi aktif mengenai penyelidikan kebenaran juga dilakukan di Filipina, Jamaika dan Burundi, walaupun tiaptiap negara ini berbeda dari satu sama lain. Sementara di Peru sedang terjadi perencanaan yang matang antara beberapa organisasi dan anggota parlemen (legislators) tentang gagasan pembuatan komisi semacam ini kapan saja transisi politik mengizinkan. Apa yang mungkin paling memukau tentang berbagai perkembangan yang terjadi di berbagai tempat di dunia dan mencakup berbagai situasi politik dan konteks sejarah tersebut adalah bahwa setiap pencetusan gagasan pembentukan komisi kebenaran tampaknya mencerminkan keinginan nasional yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran. Bukannya saran dari orang luar – biasanya warga negara tersebut sendiri, advokat non-pemerintah, kelompok korban, dan pemerintah maupun oposisi – yang selama ini mendorong didirikannya badan-badan pencari kebenaran ini. Seiring dengan itu tampaknya ada pengertian dalam tiap kasus bahwa pencarian kebenaran apa pun harus
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
dibangun sesuai dengan situasi khusus negara tersebut. Afrika Selatan mungkin telah memicu gagasan tersebut (tampaknya semua negara telah mendengar tentang komisi kebenaran Afrika Selatan meskipun dari jauh dan tidak begitu mengerti detail-detailnya), namun tampaknya ada tekad yang sehat dalam semua negara ini bahwa mereka akan mengadaptasikan model yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Ketertarikan terhadap komisi kebenaran ini juga telah mendapatkan dukungan dari kalangan para tokoh dan pembuat kebijakan di ranah internasional. Salah satu komentar yang baru-baru ini dibuat yang mengejutkan dan sangat mengesankan tentang subjek ini adalah, misalnya, dikemukakan oleh Timothy Garton Ash, seorang penulis yang perseptif tentang Eropa Tengah yang telah mengamati dengan saksama transisi demokrasi di wilayah tersebut dan di beberapa tempat lain. Dalam pengamatannya tentang perkembangan selama sepuluh tahun di Eropa, ia menyatakan bahwa “dengan melihat pengalaman yang lalu … semua negara di Eropa Tengah dapat dan harusnya mencoba membentuk komisi kebenaran secepatnya”. Ia menyimpulkan “Jadi bila saya diminta untuk membuat suatu saran pendek tentang bahan dari revolusi model baru, saya akan mengatakan: pembangkangan sipil masal yang damai, disalurkan oleh elite oposisi; perhatian dan tekanan dari dunia luar; transisi yang dinegosiasikan melalui kompromi yang dilakukan melalui diskusi; dan suatu komisi kebenaran”1 Jadi apa yang dapat ditarik dari semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan mengenai dan ketertarikan terhadap proses resmi pencarian kebenaran ini, dari fokus yang intensif terhadap mekanisme yang relatif masih baru ini – sesuatu yang baru dianggap sebagai intitusi generik selama kurang lebih sepuluh tahun belakangan ini? Mengapa komisi kebenaran tiba-tiba menjadi populer, dan menuju ke mana kira-kira semua proses ini? Mungkin akan lebih adil bila kita mengakui terlebih dahulu bahwa komisi kebenaran telah mulai populer jauh sebelum mekanisme ini dimengerti sepenuhnya dan sebelum efek dari kerja komisi-komisi yang terbentuk di masa lalu telah dipelajari. Banyak bagian dari buku ini telah menjelaskan hal ini, terutama mengenai asumsi dan anggapan yang belum teruji yang terkadang dibuat mengenai subjek rekonsiliasi dan penyembuhan luka. Namun negosiator perdamaian internasional dan pemerintah demokratis yang baru terbentuk sering kali tidak memiliki waktu untuk menanti penelitian akadenis tentang kejadian yang terjadi di tempat lain. Jadi mereka tidak dapat dikritik ketika mereka melompat – bahkan dengan mata terpejam – ke dalam api komisi kebenaran. Telah jelas bahwa kepopuleran dan komisi kebenaran merupakan refleksi dari pencarian alat untuk merespon kepada tantangan-tantangan yang muncul dari jatuhnya rezim-rezim yang represif. Sangatlah jelas bahwa sistem judisial tidak dapat menangani tuntutan-tuntutan mendesak atas akuntabilitas kejahatan-kejahatan yang luar biasa, bahkan kalaupun sistem hukum yang bekerja dengan baik dan dapat dipercaya ada – yang mana itu sangat jarang terjadi – dan pengadilan internasional juga tidak dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan ini, belum lagi bila berbicara tentang penanganan isu-isu paralel yang jatuh di luar tanggung jawab pengadilan namun berada di tengah-tengah tuntutan dari suatu masa transisi. Terlalu sedikit mekanisme yang menangani kebutuhan yang mendesak atas akuntabilitas, reformasi, rekonsiliasi, pengakuan atas kesalahan, preservasi sejarah, dan reparasi korban. Maka komisi kebenaran dipandang dengan penuh harap, walaupun dengan sedikit pengertian mengenai kerumitan prosesnya dan kesulitan dalam
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
mencapai tujuan yang diharapkan. Saya bukan bermaksud untuk menyatakan bahwa kontribusi dari komisi-komisi ini akan sedikit ataupun tidak penting, saya hanya sekadar mengingatkan bahwa kita harus realistis dalam berharap dan dalam menilai kemampuan dari proses jangka pendek apa pun dalam memenuhi tuntutan yang besar dan mencakup begitu banyak sisi. Begitu kita mengetahui dampak (dan keterbatasan) yang sebenarnya dari badanbadan ini, apakah kepopulerannya akan jatuh? Saya akan menduga bahwa ini tidak akan terjadi. Bahkan saya menduga bahwa komisi kebenaran akan dengan cepat menjadi “makanan pokok” dalam menu pilihan keadilan transisional. Karena komisi kebenaran memang menanggapi kebutuhan yang tampaknya sangat fundamental dan dirasakan banyak orang – yakni yang paling utama dan pertama adalah untuk mengetahui dan mengakui kebenaran, untuk membongkar kebungkaman akan masa lalu yang telah lama dibantah – itulah mengapa kita kemungkinan besar akan melihat semakin banyak komisi semacam ini akan dibentuk. Saya juga akan meramalkan bahwa dengan bantuan masyarakat internasional, dan atas dasar banyak pembelajaran dari pengalaman di masa lalu, kita kemungkinan besar akan melihat model-model baru yang tak terduga dikembangkan, dan mungkin termasuk perbaikan-perbaikan dari contoh-contoh di masa lalu. Peranan masyarakat internasional sangat menentukan di sini. Terdapat keseimbangan yang rapuh antara apa yang harus diimpor dan bahkan ditegaskan untuk dilakukan, dalam bentuk panduan-panduan internasional dan pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman sebelumnya, dengan apa yang harus dibiarkan terbuka bagi setiap negara untuk dirancang sendiri sesuai dengan tujuannya. Sebagaimana yang telah jelas tergambar di keseluruhan buku ini, komisi-komisi kebenaran baru yang akan didirikan dan beroperasi tanpa bantuan internasional dalam bentuk apa pun akan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengulangi kesalahan dan bergelut dengan kesulitan-kesulitan yang telah dihadapi oleh yang lainnya di masa lalu, sehingga apa pun yang mungkin membantu untuk mentransfer pengetahuan mengenai hal-hal semacam ini haruslah diupayakan. Namun di sisi lain, tidak ada satu model pun yang adalah model paling benar di setiap negara; kreativitas dan sensitivitas terhadap kebutuhan nasional mungkin adalah bahan yang paling penting untuk mengadakan usaha yang sukses. Tampaknya dimensi yang berupa-rupa dan banyak dari badan-badan ini telah cukup dikenali, demikian juga halnya dengan potensi kontribusi dan risikonya. Beberapa tahun yang lalu komisi kebenaran masih dilihat sebagai mekanisme penyelidikan yang memiliki tujuan utama untuk menerbitkan laporan yang resmi (authoritative) dan faktual. Bagaimana komisi ini sampai kepada fakta-fakta tersebut dan apa dampak sosial dari komisi tersebut dalam mengumpulkan informasi tidak begitu diperhatikan. Sekarang, kemungkinan melakukan dengar-pendapat umum (public hearing), memajukan penyembuhan sosial dan individual, dan mengambil bagian dalam proses rekonsiliasi (bagaimanapun definisinya) telah membuka pertanyaan mengenai cara, yang merupakan topik tersendiri dari hasil akhir yang dicapai. Sebenarnya bila saya hendak mengusulkan kriteria untuk mengevaluasi kesuksesan suatu komisi kebenaran, saya akan merujuk ke ketiga kategori pertanyaan yang berbeda di bawah judul proses, produk dan dampak setelah kerja komisi (postcommission impact). Sebagai suatu proses, badan semacam ini harus dievaluasi soal tingkat keterlibatannya terhadap publik dalam mencapai pengertian terhadap apa yang
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
tidak diketahui (atau dalam mengakui apa yang telah selama ini dibantah), mungkin melalui dengar-pendapat umum; apakah komisi ini mendapatkan partisipasi penuh dari semua aktor dalam penyelidikannya, termasuk dari mantan pelaku; dan apakah kerjanya positif dan mendukung korban dan mereka yang selamat. Ini berbeda dengan produk dari komisi – kualitas dan sifat dari laporannya dan seberapa jauh kebenaran terungkap, termasuk usulannya dalam masalah reparasi dan reformasi. Dan akhirnya dampak dari komisi ini setelah pekerjaannya selesai mungkin akan berbeda dari cara operasi dan kualitas laporannya. Tingkat kontribusi kerja komisi kepada rekonsiliasi jangka panjang, penyembuhan dan reformasi akan sebagian besar ditentukan oleh apakah pelaku dan pejabat pemerintah mengakui dan meminta maaf atas kesalahan yang terjadi dan apakah laporan komisi tersebut didistribusikan dan digunakan, dan apakah rekomendasi intinya diimplementasikan. Mereka yang sekarang sedang mengembangkan komisi kebenaran tampaknya sudah mengerti bahwa suatu komisi dapat melakukan lebih daripada sekadar menulis laporan yang menguraikan fakta. Di Sierra Leone, tampak ada keinginan universal untuk melihat komisi kebenaran yang sedang dikembangkan memainkan peranan dalam memfasilitasi komunikasi antara korban dan pelaku, dan dengan demikian memfasilitasi pemasukan kembali (reincorporation) mantan kombatan ke dalam komunitas asal mereka. Ini sangat mungkin terjadi, menurut masyarakat Sierra Leone, dengan keterlibatan aktif dari para pemimpin utama dan pemimpin agama dalam proses komisi, karena keduanya akan memiliki kewenangan dalam mendorong atau memfasilitasi proses pengakuan (acknowledgement) dan pemaafan. Banyak dari para kombatan, terutama anak-anak, yang diculik dan dipaksa untuk berperang bersama pemberontak di Sierra Leone, sehingga mereka adalah korban sekaligus pelaku. Sementara itu banyak korban yang menyatakan bahwa mereka mau memaafkan pelaku bila mereka mengakui apa yang telah mereka lakukan. Masyarakat Sierra Leone juga ingin komisi untuk menangani pertanyaan dasar tentang mengapa: Mengapa perang Sierra Leone menjadi sangat butal? Mengapa memotong tangan-kaki dan memutilasi badan menjadi kejadian yang umum dalam perang? (Apakah itu pengaruh dari luar, obat bius, atau ada individu-individu yang mengenalkan kebrutalan semacam itu di dalam konflik?) Walaupun tenaga pendorong pembentukan komisi-komisi baru datang dari dalam tiap negara, kita juga menyaksikan meningkatnya “penginternasionalisasian” dari wilayah kerja ini dalam beberapa aspek. Masing-masing negara ini menggapai keluar untuk mencari bantuan internasional dalam menimbang pilihan-pilihan yang ada – baik itu dari PBB, LSM atau Yayasan Internasional, ataupun dari para individu yang terlibat dalam komisi kebenaran yang lalu. Tentunya akan ada risiko bahwa komisi kebenaran akan dibentuk dan dijalankan hanya oleh orang luar yang tidak akan mengerti dinamika dan budaya nasional seperti warga negara itu sendiri. Kasus seperti El-Savador, di mana suatu negara sangat terpolarisasi secara politik, akan jarang terjadi – yang dengan alasan itu ataupun alasan lain memutuskan untuk tidak melibatkan warga negaranya sendiri dalam komisi. Di lain pihak, komisi campuran anggota nasional dan internasional yang mulai sering terjadi dapat menjadi aset yang baik, yang mengkombinasikan keahlian dan pengalaman internasional dengan pengetahuan yang penting mengenai sejarah dan dinamika lokal. Penginternasionalisasian komisi kebenaran menjadi penting khususnya karena kredibilitas dan patut dipercayanya suatu komisi kebenaran akan didasarkan terutama pada siapa anggota komisnya. Bahkan bila dimulai dengan mandat yang relatif
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
lemah dan sumir, anggota-anggota komisi yang kuat dapat membuat komisi meraih capaian yang jauh. Komposisi keanggotaan akan menjadi faktor yang penting dalam menentukan kekuatan dan kesuksesan suatu komisi kebenaran. Banyak bukti yang mengesankan bahwa sejarah, terutama periode sejarah yang sulit dan menyakitkan, diingat dan diingatkan kembali dalam cara-cara berbeda seiring jalannya waktu, dan intensitas kepedulian publik terhadap sejarah mungkin mucul dalam siklus tertentu. Bahkan di negara-negara di mana ada usaha untuk menghadapi periode yang sulit segera setelah transisi terjadi, masa lalu itu mungkin akan menuntut perhatian serius kembali bertahun-tahun sesudahnya. Baik Cili maupun Argentina telah mengalami beberapa tahun dalam kediaman, dan lalu terjadilah letupan ketertarikan dengan intensitas tinggi terhadap masa lalunya yang menyakitkan. Kepedulian terhadap sejarah yang dibungkam mungkin malah lebih menguat di generasi yang akan datang, seperti yang dapat dilihat di Jerman berkenaan dengan Holocaust. Mungkin juga negara seperti Mozambique, setelah tidak menunjukkan kepedulian mengenai proses kebenaran resmi pada awalnya, akan memulai suatu proses penelaahan kembali yang formal setelah banyak waktu berlalu, atau pada saat situasi politik dan sosial lebih mengizinkan, atau mungkin generasi di masa depan akan melakukan proses dokumentasi yang kebih informal tentang kengerian yang terjadi di perang yang baru-baru ini terjadi. Dengan memilih untuk mengingat, dengan mengakui bahwa tidak mungin untuk melupakan kejadian-kejadian ini, suatu negara akan berada dalam posisi yang lebih kuat untuk membangun masa depan yang lebih stabil, lebih tidak mungkin untuk terancam oleh ketegangan dan konflik yang muncul dari bayang-bayang masa lalu yang misterius. Suatu usaha formal untuk menangani ingatan-ingatan yang menyakitkan mungkin harus diteruskan jauh setelah kerja komisi selesai, namun hal itu sendiri akan membuat kontribusi penting dalam mengakui apa yang selama ini dibantah. Pada akhirnya suatu komisi kebenaran seharusnya tidak berusaha untuk menutup isu-isu ini, melainkan – bila kerjanya baik – maka ia harus berusaha untuk mentrasformasi sejarah dari sumber kepedihan yang tersembunyi dan konflik menjadi titik pengertian dan pengakuan publik, sehingga masa depan tidak selalu terhalangi oleh masa lalu yang tidak terselesaikan. 1
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Bibliografi Snow Jr., Crocker, “From the Killing Fields, Compassion”, World Paper, Juli 1995, hlm. 16 dan Seth Mydans, “Side by Side Now in Cambodia: Skulls, Victims and Victimizers, New York Times, 27 Mei 1996. Marks, Stephen P., “Forgetting ‘the Policies and Practices of the Past’: Impunity in Cambodia”, Fletcher Forum of World Affairs 18, No.2 (1994). Rajagopal, Balakrishnan, “The Pragmatics of Prosecuting the Khmer Rouge”, Phnom Penh Post, 8 Januari 1999. Mydans, Seth, “20 Years On, Anger Ignites against Khmer Rouge”, New York Times, 20 Januari 1999. McDonald, Mark, “Cambodians Brace for UN Trial Proposal: Most Want Leaders Punished, but Resist Opening Old Wounds”, San Jose Mercury News, 8 Februari 1999. Boraine, Alex, Janet Levy, dan Ronel Scheffer, eds., Dealing with the Past: Truth and Reconciliation in South Africa, Cape Town: Justice in Transition, 1995. Robert F. Kennedy Center, Understanding the Past to Safeguard the Future: Proceedings of a Conference Convened by the University of Malawi and the Robert F. Kennedy Center for Human Rights at Lilongwe, Malawi, 18-19 Oktober 1996, Washington, DC: Robert F. Kennedy Center, April 1997. Mydans, Seth, “In a Tiny Office, Khmer Rouge Files Tell Grisly Tales”, New York Times, 13 Januari, 1999. Nairn, Allan, “Haiti Under the Gun”, The Nation, 15 Januari 1996. Cohen, Roger, “Germany’s East is Still Haunted by Big Brother”, New York Times, 19 November 1999. Weiner, Tim, “Interrogation, C.I.A.-Style: The Spy Agency’s Many Mean Ways to Loosen Cold-War Tongues”, New York Times, 9 Februari 1997. Priest, Dana, “Army’s Project Had Wider Audience: Clandestine Operations Training Manuals Not Restricted to Americas”, Washington Post, 6 Maret 1997. Kornbluh, Peter, “Chile’s ‘Disappeared’ Past: US should Acknowledge Complicity in Murderous Regime”, Boston Globe, 13 September 1998. Wiener, Tim, “All the President Had to Do Was Ask: The C.I.A. Took Aim at Allende”, New York Times, 13 September 1998. Dogget, Martha, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, dan Washington, DC: Georgetown University Press, 1993. Buergenthal, Thomas, “The U.S. Should Come Clean on ‘Dirty Wars’”, New York Times, 8 April1998.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Stanley, Alessandra, “US Dissents, but Accord is Reached on War Crimes Court”, New York Times, 18 Juli, 1998. Roth, Kenneth, “The Court the US Doesn’t Want”, New Your Review of Books, 19 November 1998. Kritz, Neil J. dan William A. Stuebner, “A Truth and Reconciliation Commission for Bosnia and Herzegovina: Why, How, And When?” makalah yang dipresentasikan pada Simposium Ilmu Korban (Victimology), Sarajevo, Bosnia, 9-10 Mei 1998. Kritz, Neil J., “Is a Truth Commission Appropriate in the Former Yugoslavia?” makalah yang dipresentasikan pada Konferensi tentang Pengadilan Kejahatan Perang, Belgrade 7-8 November 1998. Martin, Ian (panelis) “Kebutuhan atas dan Kemungkinan Dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Wilayah Mantan Yugoslavia”, Konferensi mengenai Sidang Kejahatan Perang, Belgrade, 7-8 November 1998. Richard J. Goldstone, “Ethnic Reconciliation Needs the Help of Truth Reconciliation Commission”, International Herald Tribune, 24-25 Oktober 1998. Rosenberg, Tina, “Trying to Break the Cycle of Revenge in Bosnia”, New York Times, 22 November 1998. Harris, Marshall Freeman, R. Bruce Hitchner dan Paul R. Williams, Bringing War Criminals to Justice: Obligations, Options, Recommendations, Dayton: The Center for International Programs, University of Dayton, 1997. Tomuschat, Christian, “Between National and International Law: Guatemala’s Historical Clarification Commission”, dalam Festschrift Jaenicke, Heidelberg: Springer, 1998. Kritz, Neil J., and William A. Stuebner, “A Truth and Reconciliation Commission for Bosnia and Herzegovina: Why, How and When?” makalah dipresentasikan di Victimology Symposium, Sarajevo, Bosnia, 9-10 Mei 1998. Buergenthal, Thomas, “The United Nations Truth Commission for El Salvador”, Vanderbilt Journal of Transitional Law 27, No. 3 (1994). Lawyers Committee for Human Rights, Improvising History: A Critical Evaluation of the United Nations Observer Mission in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, 1995. Scharf, Michael P., “The Case for a Permanent International Truth Commission”, Duke Journal of Comparative and International Law 7 (1997). Klaaren, Jonathan dan Stu Woolman, “Government Effort to Protect Human Rights in Uganda”, Nairobi Law Monthly 35 (1991). Ball, Patrick, Who Did What to Whom? Planning and Implementing a Large Scale Human Rights Data Project, Washington, DC: America Association for the Advancement of Science, 1996. Spirer, Herbert F. dan Louise Spirer, Data Analysis for Monitoring Human Rights, Washington, DC: American Association for the Advancement of Science, 1993.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Brito, Alexandra Barahona de, Human Rights and Democratization in Latin America: Uruguay and Chile, New York: Oxford University Press, 1997. Buergenthal, Thomas, “The United Nations Truth Commission for El Salvador”, Vanderbilt Journal of Transnational Law 27 (1994). Doyle, Kate, “Getting to Know the Generals: Secret Document on the Guatemalan Military”, makalah ini dipresentasikan di Latin American Studies Association Conference, Chicago, 24-26 September 1998. Burt, Jo-Marie, “Impunity and the Murder of Monsignor Gerardi”, NACLA Report on the Americas, Mei/Juni 1998. Ash, Timothy Garthon, “Ten Years After” New York Review of Books, November 18, 1999. Gordon, Danielle, “The Verdict: No Harm, No Foul”, The Bulletin of the Atomic Scientists 52:1 (1996). Tutu, Desmond, No Future without Forgiveness, New York: Doubleday, 1999. Orentlicher, Diane, “Setting Accounts: The Duty to Prosecute Human Rights Violations of a Prior Regime”, Yale Law Journal 100 (1991). Cassel, Douglas, “Leson from the Americas: Guidelines for International Response to Amnesties for Atrocities”, Law and Contemporary Problems 59 (1996). Cassel, Douglass, “International Truth Commission and Justice,” Aspen Institute Quarterly 5, No. 3 (1993). Benedetti, Fanny, “Haiti’s Truth and Justice Commission”, Human Rights Brief, Washington, DC: Center for Human Rights and Humanitarian Law, Washington College of Law, American University, 3:3, 1996. Final Report of the Commission of Inquiry into the Involuntary Removal or Disappearance of Persons in the Western, Southern and Sabaragamuwa Provinces; Final Report of the Commission of Inquiry into the Involuntary Removal or Disappearance of Persons in the Central, North Western, North Central and Uva Provinces; dan Final Report of the Commission of Inquiry into the Involuntary Removal or Disappearance of Persons in the Northern and Eastern Provinces, Colombo: Sri Lankan Government Publications Bureau, 1997; dirilis untuk publik pada Januari 1998. Ford Foundation, Ford Foundation Annual Report, 1987, New York: Ford Foundation, 1987. Godlman, Francisco, “In Guatemala, All Is Forgotten”, New York Times, 23 Desember 1996. Guatemala: Nunca Más, 4 jilid, Oficina de Derechos Humanos del Arzobispado de Guatemala, Guatemala City, 1998, versi ringkas dari laporan tersebut telah diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Guatemala: Never Again! The Official Report of the Human Rights Office, Archdiocese of Guatemala, New
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
York: Orbis Books, dan London: Catholic Institute for International Relations, 1999. O’donnell, Guillermo, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead, eds., Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986. Schwartz, Herman, “Lustration in Eastern Europe”, Parker School Journal of East European Law 1 (1994). Verbitsky, Horacio, The Flight Confessions of an Argentine Dirty Warrior, New York: The New Press, 1996. Human Rights Program di Harvard Law School dan World Peace Foundation, Truth Commission: A Comparative Assessment, Cambridge, MA: Harvard Law School Human Rights Program, 1997. Human Rights Watch, “Bolivia: Almost Nine Years and Still No Verdict in the ‘Trial of Responsibilities’”, New York: Human Rights Watch, Desember 1992. Human Rights Watch, “Thirst for Justice: A Decade of Impunity in Haiti”, New York: Human Rights Watch, September 1996. Human Rights Watch, Chile: The Struggle for Truth and Justice for Past Human Rights Violations, New York: Human Rights Watch, 1992. Human Rights Watch, Conspicuous Destruction: War, Famine and the Reform Process in Mozambique, New York: Human Rights Watch, 1992. Human Rights Watch, Getting Away with Murder, Mutilation, and Rape: New Testimony from Sierra Leone, New York: Human Rights Watch, Juni 1999. Human Rights Watch, Human Rights and the “Politics of Agreements”: Chile during President Aylwin’s First Year, New York: Human Rights Watch, 1991. Human Rights Watch, Report of the International Commission of Investigation on Human Rights Violations in Rwanda since October 1, 1990 (January 7-21, 1993), New York: Human Rights Watch, 1993. Human Rights Watch, Sowing Terror: Atrocities against Civilians in Sierra Leone, New York: Human Rights Watch, Juli 1998. Human Rights Watch, Truth and Partial Justice in Argentine: An Update, New York: Human Rights Watch, 1991. Human Rights Watch, World Report 1992, New York: Human Rights Watch, 1992. Human Rights Watch, Zimbabwe: A Break with the Past? Human Rights and Political Unity, New York: Human Rights Watch, 1989. Spence, Jack, Davis R. Dye, Mike Lanchin, Geoff Thale, and George Vickers, Chapúltepec: Five Years Later, Cambridge, MA: HemispherenInitiatives, 1997. Malamud-Goti, Jaime, “Trying Violators of Human Rights: The Dilemma of Transitional Democratic Governments”, dalam Justice and Society Program of the Aspen
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Institute, State Crimes: Punishment or Pardon, Queenstown, MD: Aspen Institute, 1989. Benomar, Jamal, “Coming to Terms with the Past: How Emerging Democracies Cope With a History of Human Rights Violations”, Atlanta: Carter Center, 1 Juli 1992. McAdams, James A., ed., Transitional Justice and the Rule of Law in New Democracies, Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1997. Armon, Jeremy, Dylan Hendrickson, dan Alex Vines, eds., Conciliation Resources: The Mozambique Peace Process in Perspective, London: Conciliation Resources, 1998, dapat dilihat di www.c-r.org; Dugard, John, “Is the Truth and Reconciliation Process Compatible with International Law? An Unanswered Question: Azapo v. President of the Republic of South Africa”, South African Journal on Human Rights 13 (1997). Negenda, John, “The Human Rights Commission”, dalam Uganda 1986-1991: An Illustrated Review, Kampala, Uganda: Fountain, 1991. Zalaguett, José, “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The Dilemma of New Democracies Confronting Past Human Rights Violations”, Hastings Law Journal 43, 1992. Zalaquett, Jose, “Confronting Human Rights Violations Committed by Former Governments: Principles Applicable and Political Constraints”, dalam Justice and Society Program of the Aspen Institute, State Crimes: Punishment or Pardon, Queenstown, MD: Aspen Institute, 1989. Méndez, Juan E., “Accountability for Past Abuses”, Human Rights Quarterly 19, 1997. Méndez, Juan, penutup dalam Horacuio Verbitsky, The Flight: Confessions of an Argentine Dirty Warrior, New York: The Press, 1996. Méndez, Juan, tinjauan terhadap A Miracle, A Universe, oleh Lawrence Weschler, dalam New York Law School Journal of Human Rights 8 (1991). Herman, Judith Lewis, Trauma and Recovery, New York: Basic Books, 1992. Justice and Society Program of the Aspen Institute, State Crimes: Punishment or Pardon, Queenstown, MD: the Aspen Institute, 1989. Asmal, Kader, “Victims, Survivors and Citizens – Human Rights, Reparations and Reconciliation”, South African Journal on Human Rights 8, No. 4 (1992). Asmal, Kader, Louise Asmal, and Ronald Suresh Roberts, Reconciliation through Truth: A Reckoning of Apartheid’s Criminal Governance, Cape Town: David Philip, 1996. Wechler, Lawrence, A Miracle, A Universe: Settling Accounts with Tortures, New York: Penguin, 1990, dicetak ulang dengan catatan tambahan, Chicago: University of Chicago Press, 1998. Lawyers Committee for Human Rights, “El Salvador’s Negotiated Revolution: Prospects for Legal Reform”, New York: Lawyers Committee for Human Rights, Juni 1993.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Hatamiya, Leslie T., Righting a Wrong: Japanese American and the Passage of the Civil Liberties Act of 1988, Stanford, CA: Stanford University Press, 1993. Kriesberg, Louis, “Paths to Varieties of International-Communal Reconciliation”, makalah dipresentasikan di the Seventeenth General Conference of the International Peace Research Association, Durban, South Africa, 22-26 Juni, 1998. Huyse, Luc, “Justice after Transition: On the Choices Successor Elites Make in Dealing with the Past”, Law and Social Inquiry 20, 1995. Bassiouni, M. Cherif dan Madeline H. Morris, eds., “Accountability for International Crimes and Serious Violations of Fundamental Rights”, Law and Contemporary Problems 59, 1996. Morris, Madeline H., ed., “Symposium: Justice in Cataclysm: Criminal Trials in the Wake of Mass Violence”, Duke Journal of Comparative and International Law 7, 1997. Mamdani, Mahmood, “Degrees of Reconciliation and Forms of Justice: Making Sense of the African Experience”, makalah dipresentasikan di konferensi Justice or Reconciliation? di Center for International Studies, University of Chicago, 25-26 April, 1997. Popkin, Margaret L., Peace without Justice: Obstacles to Building the Rule of Law in El Salvador, University Park: Pennsylvania State University Press, 2000. Popkin, Margaret L., Peace without Justice: Obstacles to Building the Rule of Law in El Salvador, University Park: Pennsylvania State University Press, 2000. Popkin, Margaret L. dan Naomi Roht-Arriaza, “Truth as Justice: Investigatory Commission in Latin America”, Law and Social Inquiry: The Journal of the American Bar Foundation 20, 1995. Popkin, Margaret L., “Judicial Reform in Post-War El Salvador: Missed Opportunities”, paper dipresentasikan pada konferensi yang diadakan oleh Latin American Studies Association, 28-30 September 1995. Feitlowitz, Marguerite, A Lexicon of Terror: Argentina and the Legacies of Torture, New York: Oxford University Press, 1998. Feitlowitz, Marguerite, A Lexicon of Terror: Argentine and the Legacies of Torture, New York: Oxford University Press, 1998. Loś, Maria, “Lustration and Truth Claims: Unfinished Revolutions in Central Europe”, Law and Social Inquiry (1995). Schoon, Marius, dikutip dalam Tony Freemantle, “Confession Reignites a Smoldering Pain: Anger Flares as Man Learns Identify of Assassin Who Killed his Family”, Houston Chronicle, 18 November 1996. Dogget, Martha, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, and Washington: Georgetown University Press, 1993.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Meredith, Martin, Coming to Terms: South Africa’s Search for Truth, New York: Public Affairs, 1999. D’Antonio, Michael, “Atomic Guinea Pigs”, New York Times Magazine, 31 Agustus, 1997. Ignatieff, Michael, “Articles of Faith”, Index on Censorship 25, No. 5 (1996). Scharf, Michael P., “Swapping Amnesty for Peace: Was There a Duty to Prosecute International Crimes International Crimes in Haiti?”, Texas International Law Journal 31 (1996). Scharf, Michael P., “The Letter of the Law: The Scope of the International Legal Obligation to Prosecute Human Rights Crimes”, Law and Contemporary Problems 59 (1996). Parlevliet, Michele, “Considering Truth: Dealing with a Legacy of Gross Human Rights Violations”, Netherlands Quarterly of Human Rights 16, 1998. Roht-Arriaza, Naomi, ed., Impunity and Human Rights in International Law and Practice, New York: Oxford University Press, 1995. National Inquiry into the Separation of Aboriginal and Torres Strait Islander Children from Their Families, Bringing them Home: Report of the National Inquiry into the Separation of Aboriginal and Torres Strait Islander Children from Their Families, Sydney, Australia: Human Rights and Equal Opportunity Commission, 1997. Kritz, Neil J., ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, vol 1-3, Washington, D.C.: U.S. Institute of Peace Press, 1995. Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, hlm. 428. Herbst, Patricia K. Robin, “From Helpless Victim to Empowered Survivor: Oral History as a Treatment for Survivors of Torture”, Refugee Women and Their Mental Health 13 (1992). Sellers, Patricia Viseur, “Rape under International Law”, dalam Belinda Cooper, ed., War Crimes: The Legacy of Nuremberg, New York: TV Books, 1999. Ball, Patrick, Paul Kobrak, dan Herbert F. Spirer, State Violence in Guatemala, 19601966: A Quantitative Reflection, Washington DC: American Association for the Advancement of Science, 1999. Ball, Patrik, “Who Did What to Whom: Planning and Implementing a Large Scale Human Rights Data Project”, kuliah di Columbia University, 15 April 1998. Pigou, Piers, “Amnesty for Sicelo Dlomo’s Killers”, Daily Mail and Guardian (South Africa), 14 April 2000. Hayner, Priscilla B., “Fifteen Truth Commission – 1974 to 1994: A Comparative Study”, Human Rights Quarterly 16: 4 (1994. Hayner, Priscilla B., “In Pursuit of Justice and Reconciliation: Contributions of Truth Telling”, Cynthia J. Arnson, ed., Comparative Peace Processes in Latin America,
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Washington, DC: Woodrow Wilson Center Press, and Stanford, CA: Stanford University Press, 1999. Hayner, Priscilla B., “Past Truths, Present Dangers: The Role of Official Truth Seeking in Conflict Resolution and Prevention”, dalam Paul C. Stern dan Daniel Druckman, eds., International Conflict Resolution After the Cold War, Washington, DC: National Academy Press, 2000. Proyek Departemen Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung Guatemala (Proyek Pemulihan Ingatan Historis, REMHI), Guatemala: Nunca Más, 4 jilid, Guatemala City: Oficina de Derechos Humanos del Arzobispado de Guatemala, 1998. Report of the Commission of Inquiry into Violations of Human Rights: Findings, Conclusions and Recommendations, Kampala, Uganda: Commission of Inquiry into Violations of Human Rights, 1994. Reports of the Commission of Enquiry into Certain Allegations of Cruelty and Human Rights Abuse against ANC Prisoners and Detainees by ANC Members, Johannesburg, 20 Agustus 1993. Carver, Richard, “Called to Account: How African Governments Investigate Human Rights Violations”, African Affair 89 (1991). Siegel, Richard Lewis, “Transitional Justice: A Decade of Debate and Experience”, Human Rights Quarterly 20, 1998. Weiner, Robert O., “Trying to Make Ends Meet: Reconciling the Law and Practice of Human Rights Amnesties”, St. Mary’s Law Journal 26 (1995). Servicio Paz y Justicia (SERPAJ), Uruguay: Nunca Más: Informe Sobre La Violación a Los Derechos Humanos (1972-1985), edisi kedua, Montevideo, Uruguay: SERPAJ, 1989. Stef Vandeginste, “Justice, Reconciliation, and Reparation after Genocide and Crimes against Humanity: The Proposed Establishment of Popular Gacaca Tribunals in Rwanda”, paper dipresentasikan di All-Africa Conference on African Principles of Conflict Resolution and Reconciliation, Addis Ababa, 8 – 12 November 1999. Ratner, Steven R. dan Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond the Nuremberg Legacy, New York: Oxford University Press, 1997. Daley, Suzanne, “In Apartheid Inquiry, Agony Is Relived but Not Put to Rest,” New York Times, 17 Juli 1997. Daley, Suzanne, “Officer Is Denied Amnesty in the Killing of Steve Biko”, New York Times, 11 Januari 1999. Daley, Suzanne, “Panel Denies Amnesty for Four Offices in Steve Biko’s Death”, New York Times, 17 Februari 1999. Whitfield, Teresa, Paying the Price: Ignacio Ellacuría and the Murdered Jesuits of El Salvador, Philadelphia: Temple University Press, 1995.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Boven, Theo van, “United Nations Commission on Human Rights: Study concerning the Rights to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms: Final Report”, UN Dok.E/CN.4/Sub.2/1993, 8 Juli 1993. Ash, Timothy Garton, “The Truth about Dictatorship”, New York Review of Books, 19 Februari, 1998. Ash, Timothy Garton, The File: A Personal History, New York: Random House, 1997. Rosenberg, Tina, Haunted Lands: Facing Europe’s Ghosts After Communism, New York: Random House, 1995. Rosenberg, Tina, The Haunted Land: Facing Euope’s Ghosts after Communism, New York: Random House, 1995. Vines, Alex, Renamo: From Terorism to Democracy in Mozambique?, London: James Currey, 1996. Cepl, Voljtech, “Ritual Sacrifices: Lustration in the CSFR”, East European Constitutional Review 1 (1992). Minter, William, Apartheid’s Contras: An Inquiry into the Roots of War in Angola and Mozambique, London: Zed Books, and Johannesburg: Witwatersrand University Press, 1994. Stanley, William, Risking Failure: The Problems and Promise of the New Civilian Police in El Salvador, Cambridge, MA: Hemispheric Initiatives, and Washington, DC: Washington Office on Latin America, 1993. Danieli, Yael, “Preliminary Reflections from a Psychological Perspective”, dalam Theo van Boven, Cees Flinterman, Fred Grünfeld, dan Ingrid Westendorp, eds., Seminar on the Rights to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms, Netherlands Institute of Human Rights, Maastricht, Maret 11-15, 1992. Danieli, Yael, ed., International Handbook of Multigenerational Legacies of Trauma, New York: Plenum Press, 1998. Brasil: Nunca Maís, Rio de Janeiro: Editora Vozes, 1985. Amnesty International Report 1993, New York: Amnesty International USA, 1993, 220. Amnesty International Report 1997, London: Amnesty International, 1997. Amnesty International Report 1998, London: Amnesty International, 1998. Antjie Krog, Contry of My Skull, Johannesburg: Random House, 1998, dan New York: Times Books, 1999. Amnesty International Report 1999, London: Amnesty International, 1999. Sims, Calvin, “Retired Torturer Now Lives a Torturer Existence”, New York Times, Agustus 12, 1997.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Pross, Christian, Paying for the Past: The Struggle over Reparations for Surviving Victims of the Nazi Terror, terj. Belinda Cooper, Baltimore: John Hopkins University Press, 1998. Padarath, Ashnie, “Women and Violence in KwaZulu Natal”, dalam Meredith Turshen dan Clotilde Twagiramariya, eds., What Women Do in Wartime: Gender and Conflict in Africa, London: Zed Books, 1998. Nino, Carlos S., “The Duty to Punsih Past Abuses of Human Rights Put Into Context: The Case of Argentine”, Yale Law Journal 100 (1991). Neier, Aryeh, War Crimes: Brutality, Genocide, Terror, and the Struggle for Justice, New York: Times Books, 1998. Neier, Aryeh, “What Should Be Done about the Guilty?” New York Review of Books, 1 Februari, 1990. Krog, Antjie, “Overwhelming Trauma of the Truth”, Mail and Guardian (South Africa), 24 Desember 1996. Kraus, Clifford, “Chilean Military Faces Reckoning for Its Dark Past”, New York Times, 3 Oktober 1999. Hume, Cameron, Ending Mozambique’s War: The Role of Mediation and Good Offices, Washington, DC: U.S. Institute of Peace Press, 1994. Hamber, Brandon, “The Burdens of Truth: An Evaluation of the Psychological Support Services and Initiatives Undertaken by the South Africa Truth and Reconciliation Commission”, makalah dipresentasikan di Third International Conference of the Ethnic Studies Network, Derry, Irlandia Utara, 26-28 Juni 1997. Hamber, Brandon, “Do Sleeping Dog Lie? The Psychological Implications of the Truth and Reconciliation Commission in South Africa”, seminar dipresentasikan di Centre for the Study of Violence and Reconciliation, Johannesburg, 26 Juli 1995. Goldblatt, Beth, “Violence, Gender and Human Rights: An Examination of South Africa’s Truth and Reconciliation Commission”, makalah dipresentasikan dalam pertemuan tahunan Law and Society Association, 29 Mei – 1 Juni 1997, St. Louis, Missouri. Garro, Alejandro M., “Nine Years of Transition to Democracy in Argentina: Partial Failure or Qualified Success?”, Columbia Journal of Transnational Law 31 (1993). Comisionado Nacional de Protección de los Derechos Humanos, Los Hechos Hablan por sí Mismos: Informe Preliminar sobre los Desaparecidos en Honduras 1980-1993, Tegucigalpa, Honduras: Editorial Guaymuras, 1994, atau dalam bahasa Inggris, The Facts Speak for Themselves: The Preliminary Report on Disappearances of the National Commissioner for the Protection of Human Rights in Honduras, terjemahan Human Rights Watch dan Center for Justice and International Law, New York: Human Rights Watch, 1994. Cienfuegos, Ana Julia dan Christina Monelli, “The Testimony of Political Repression as a Therapeutic Instrument”, American Journal of Orthopsychiatry 53 (1983).
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Brito, Alexandra Barahona de, Human Rights and Democratization in Latin America: Uruguay and Chile, New York: Oxford University Press, 1997. Breaking the Silence, Building True Peace: A Report on the Disturbances in Matabeleland and the Midlands, 1980 to 1988, Harare, Zimbabwe: Catholic Commission for Peace and Justice in Zimbabwe and the Legal Resources Foundation, 1997. Boraine, Alexander, A Country Unmasked: The Story of the South African Truth and Reconciliation Commission, Cape Town: Oxford University Press [sedang dalam proses penerbitan ketika buku saya dterbitkan]. Aron, Adrianne “Testimonio: A Bridge between Psychotherapy and Sociotherapy”, Refugee Women and Their Mental Health 13 (1992). Amnesty International, “South Africa: Torture, Ill-Treatment, and Executions in African National Congress Camp”, London: Amnesty International, 2 Desember 1992. Amnesty International, “Rwanda and Burundi: A Call for Action by the International Community”, London: Amnesty International, September 1995. American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat, Washington, DC: American Psychiatric Association, 1994. Adler, Victims of Soviet Terror: The Story of the Memorial Movement, Westport, CT: Praeger, 1993. Villa-Vicencio, Charles dan Wilhelm Verwoerd, eds., Looking Back Reaching Forward: Reflections on the Truth and Reconciliation Commission of South Africa, Cape Town: University of Cape Town Press, dan London: Zed Books, 2000. Yoon, Carol Kaesuk, “Families Emerge as Silent Victims of Tuskegee Syphilis Experiment”, New York Times, 12 Mei, 1997.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Catatan Bab 2: Menyikapi Kejahatan di Masa Lalu 1.
2. 3.
4.
5.
6.
Guillermo O’donnell, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead, eds., Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986. Ibid., hlm. 75. Dalam tahun-tahun belakangan ini, telah diterbitkan sejumlah buku dan artikel bagus yang berkutat pada persoalan keadilan transisional. Buku-buku yang bisa disebutkan di sini antara lain: Neil J. Kritz, ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, vol 1-3, Washington, D.C.: U.S. Institute of Peace Press, 1995; Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond the Nuremberg Legacy, New York: Oxford University Press, 1997; Aryeh Neier, War Crimes: Brutality, Genocide, Terror, and the Struggle for Justice, New York: Times Books, 1998; Naomi Roht-Arriaza, ed., Impunity and Human Rights in International Law and Practice, New York: Oxford University Press, 1995; James A. McAdams, ed., Transitional Justice and the Rule of Law in New Democracies, Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1997; Justice and Society Program of the Aspen Institute, State Crimes: Punishment or Pardon, Queenstown, MD: the Aspen Institute, 1989. Jurnal-jurnal dengan isu dan tema khusus tentang persoalan ini antara lain: M. Cherif Bassiouni dan Madeline H. Morris, eds., “Accountability for International Crimes and Serious Violations of Fundamental Rights”, Law and Contemporary Problems 59, 1996; dan Madeline H. Morris, ed., “Symposium: Justice in Cataclysm: Criminal Trials in the Wake of Mass Violence”, Duke Journal of Comparative and International Law 7, 1997. Sedangkan artikel yang menguraikan tema ini antara lain: Timothy Garton Ash, “The Truth about Dictatorship”, New York Review of Books, 19 Februari, 1998, hlm. 35-40; Luc Huyse, “Justice after Transition: On the Choices Successor Elites Make in Dealing with the Past”, Law and Social Inquiry 20, 1995, hlm. 51-78; Juan E. Méndez, “Accountability for Past Abuses”, Human Rights Quarterly 19, 1997, hlm. 255-282; Aryeh Neier, “What Should Be Done about the Guilty?” New York Review of Books, 1 Februari, 1990; Michele Parlevliet, “Considering Truth: Dealing with a Legacy of Gross Human Rights Violations”, Netherlands Quarterly of Human Rights 16, 1998, hlm. 141-174; Margaret Popkin dan Naomi Roht-Arriaza, “Truth as Justice: Investigatory Commission in Latin America”, Law and Social Inquiry: The Journal of the American Bar Foundation 20, 1995, hlm. 79116; Richard Lewis Siegel, “Transitional Justice: A Decade of Debate and Experience”, Human Rights Quarterly 20, 1998, hlm. 431-454; dan José Zalaguett, “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The Dilemma of New Democracies Confronting Past Human Rights Violations”, Hastings Law Journal 43, 1992, hlm. 1425-1438. Sejumlah studi menarik yang berfokus pada negeri-negeri tertentu tentang komisi kebenaran juga telah bermunculan, yang dimasukkan dalam catatan kaki untuk setiap uraian tentang negerinegeri tersebut dalam buku ini. Penerapan kebijakan lustrasi berbeda-beda di berbagai negara. Di beberapa negara, orang-orang yang terbukti memiliki afiliasi dengan rezim sebelumnya hanya kehilangan pekerjaan mereka di sektor swasta. Tentang pengalaman lustrasi di Eropa Timur secara umum, lihat Herman Schwartz, “Lustration in Eastern Europe”, Parker School Journal of East European Law 1 (1994), hlm. 141-171, dan Voljtech Cepl, “Ritual Sacrifices: Lustration in the CSFR”, East European Constitutional Review 1 (1992), hlm. 24-26. Tentang peran lustrasi bagi penyingkapan kebenaran, lihat Maria Loś, “Lustration and Truth Claims: Unfinished Revolutions in Central Europe”, Law and Social Inquiry (1995), hlm. 117161. Untuk eksplorasi lebih lanjut tentang masalah ini, lihat secara khusus Tina Rosenberg, Haunted Lands: Facing Europe’s Ghosts After Communism, New York: Random House, 1995, dan Timothy Garton Ash, The File: A Personal History, New York: Random House, 1997.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
7.
Tentu saja ada banyak contoh tentang akses indivual pada arsip-arsip yang disimpan oleh agen-agen intelijen di Amerika Serikat (melalui Undang-Undang Kebebasan Infomasi) dan beberapa negara non-transisional di Barat. 8. Daftar kedua-puluh-satu komisi kebenaran yang disajikan di sini janganlah dianggap sebagai sajian yang terlengkap. Mungkin saja ada model penyelidikan lain atas kejahatan masa lalu yang lebih cocok dengan definisi komisi kebenaran yang digunakan di sini, tetapi daftar tersebut mencakupi badan-badan semacam itu yang paling dikenal sekarang ini. Komisi kebenaran harus juga dibedakan secara tegas dari badan nasional lain yang lazim dikenal sebagai “komisi hak asasi manusia” nasional. Badan ini merupakan lembaga yang didirikan oleh negara untuk menyelidiki kondisi hak asasi manusia yang terjadi sekarang ini dan pelanggaran hak asasi manusia di bawah rezim pemerintahan yang sedang berlangsung. Memang, beberapa komisi hak asasi manusia telah diberikan tugas yang mencakup penyelidikan kejahatan di masa lalu, jadi juga menjalankan fungsi menyerupai komisi kebeneran. Sebagai contoh, Komite Presidensial Hak Asasi Manusia yang dibentuk oleh Presiden Corazon Aquino di Filipina setelah kejatuhan rezim Marcos. Sementara banyak sekali keluhan dan tuntutan terhadap masa pemerintahan Marcos sebelumnya, komite ini tidak direncanakan untuk menghasilkan laporan yang mencakup semuanya juga tidak untuk mendokumentasikan model-model pelanggaran masa lalu. Ia hanya memfokuskan pekerjaannya pada upaya menangani kasus-kasus individual, termasuk mengarsipkan sejumlah kasus di pengadilan. 9. National Inquiry into the Separation of Aboriginal and Torres Strait Islander Children from Their Families, Bringing them Home: Report of the National Inquiry into the Separation of Aboriginal and Torres Strait Islander Children from Their Families, Sydney, Australia: Human Rights and Equal Opportunity Commission, 1997. 10. Ringkasan dari laporan Royal Commission on Aboriginal People dapat dibuka pada: http://www.inac.gc.ca/rcap/report/word.html. 11. Gathering Strength: Canada’s Aboriginal Action Plan, Januari 1998, dapat dibuka pada: http://www.inac.gc.ca/news/jan98/I-9801.html. 12. Danielle Gordon, “The Verdict: No Harm, No Foul”, The Bulletin of the Atomic Scientists 52:1 (1996), hlm. 33. Lihat juga Michael D’Antonio, “Atomic Guinea Pigs”, New York Times Magazine, 31 Agustus, 1997, hlm. 38-43. 13. Pembayaran pertama kepada para tahanan yang bertahan hidup tidak didistribusikan hingga tahun 1990. Masing-masing tahanan yang tetap hidup pada masa ketika peraturan perundang-undangannya diberlakukan (atau pewaris hak dari orang yang mati semasa dalam tahanan) menerima $20,000. Lihat Leslie T. Hatamiya, Righting a Wrong: Japanese American and the Passage of the Civil Liberties Act of 1988, Stanford, CA: Stanford University Press, 1993. 14. Carol Kaesuk Yoon, “Families Emerge as Silent Victims of Tuskegee Syphilis Experiment”, New York Times, 12 Mei, 1997, A1. Studi tentang Syphilis masyarakat Tuskegee dipublikasikan pertama kali pada tahun 1972 melalui laporan investigatif oleh Associated Press, dan hanya dengan itulah eksperimen tersebut kemudian dihentikan. Pemberitaan media ini akhirnya menghantar pada adanya deklarasi dari National Research Act tahun 1974, yang membentuk adanya badan pengawas bagi semua riset yang didanai oleh pemerintah pusat yang melibatkan subjek manusia. 15. Leo Valladares, percakapan dengan penulis, September 1995, di Washington DC. Lihat Comisionado Nacional de Protección de los Derechos Humanos, Los Hechos Hablan por sí Mismos: Informe Preliminar sobre los Desaparecidos en Honduras 1980-1993, Tegucigalpa, Honduras: Editorial Guaymuras, 1994, atau dalam bahasa Inggris, The Facts Speak for Themselves: The Preliminary Report on Disappearances of the National Commissioner for the Protection of Human Rights in Honduras, terjemahan Human Rights Watch dan Center for Justice and International Law, New York: Human Rights Watch, 1994. 16. We Will Remember Them: Report of the Northern Ireland Victims Commissioner, Sir Kenneth Bloomfield KCB, April 1998, hlm. 8 dan 37-38. 17. Human Rights Watch, Report of the International Commission of Investigation on Human Rights Violations in Rwanda since October 1, 1990 (January 7-21, 1993), New York: Human Rights Watch, 1993. Keempat organisasi yang secara bersama-sama mensponsori komisi ini adalah Human Rights Watch (New York), the International Federation of Human Rights (Paris), the International Center of Human Rights and Democratic Development (Montreal), dan the Interafrican Union of Human Rights (Ouagadougou, Burkina Faso).
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Dalam tulisan sebelumnya, saya menamakan komisi ini sebagai sebuah komisi kebenaran (lihat Priscilla B. Hayner, “Fifteen Truth Commission – 1974 to 1994: A Comparative Study”, Human Rights Quarterly 16: 4 (1994), hlm. 629-632, di mana komisi tersebut digambarkan secara lebih detail. Namun demikian, kendatipun statusnya yang kuasi-resmi karena adanya sambutan baik dari pihak pemerintah dan dengan akar pembentukannya pada semangat menegakkan perdamaian, komisi ini tetaplah merupakan suatu upaya non-pemerintah yang karenanya berbeda dari keduapuluh-satu komisi kebenaran resmi yang digambarkan dalam buku ini. Karena itu, di sini saya menamakan komisi tersebut sebagai suatu upaya penyidikan “semi-resmi” terhadap pelanggaran masa lalu. 18. Komentar untuk Dawit Yohannes, Juru Bicara Dewan Perwakilan Rakyat Ethiopia, pada International Seminar on Justice, Truth and Reconciliation, 10 Desember 1998, di Jenewa. 19. Sebagai contoh, komisi untuk bekas Yugoslavia disebut the United Nations Commission of Experts Established Pursuants to Security Council Resolution 780 (1992) untuk Menyelidiki Pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional di Bekas Yugoslavia. Komisi ini diketuai oleh M. Cherif Bassiouni, seorang profesor hukum di DePaul University. 20. Brasil: Nunca Maís, Rio de Janeiro: Editora Vozes, 1985; diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai Torture in Brazil: A Shocking Report on the Pervasive Use of Torture by Brazilian Military Governments, 1964-1979, diterjemahkan oleh Jaime Wright, Austin: University of Texas Press, 1998. Untuk penggambaran yang menarik tentang proyek rakyat Brasil, lihat Lawrence Wechler, A Miracle, A Universe: Settling Accounts with Tortures, New York: Penguin, 1990; dicetak ulang dengan catatan tambahan, Chicago: University of Chicago Press, 1998). Karena proyek Brasil dilaksanakan dengan sangat rahasia, dukungan Gereja bukan semata-mata pada bidang keuangan, tetapi juga “meminjamkan” hak legitimasinya untuk menerbitkan laporan hasil proyek tersebut. 21. Servicion Paz y Justicia (SERPAJ), Uruguay Nunca Más: Informe Sobre la Violación a los Derechos Humanos (1972-1985), edisi kedua, Montevideo, Uruguay: SERPAJ, 1989. Komisi parlementer diberi mandat untuk hanya menyelidiki penghilangan, yang akhirnya melewatkan begitu besar pelanggaran di negeri tersebut; pemenjaraan ilegal dan penyiksaan. 22. Proyek Departemen Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung Guatemala (Proyek Pemulihan Ingatan Historis, REMHI), yang menghasilkan laporan akhir empat jilid, diterbitkan pada 1998. Lihat Guatemala: Nunca Más, 4 jilid, Guatemala City: Oficina de Derechos Humanos del Arzobispado de Guatemala, 1998). Ringkasan laporan tersebut telah diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai Guatemala: Never Again!, Maryknoll, NY: Orbis Books, dan London: Catholic Institute of International Relations, 1999). 23. Lihat misalnya, Links: Historical Almanac, jilid 1, Moscow: Progress Phoenix, 1991, dan List of Executed People, vol. I: Donskoi Cemetery 1934-1943, Moscow: Memorial, 1993, keduanya di Rusia. Untuk penggambaran tentang kegiatan Memorial, lihat “Making Rights Real: Two Human Rights Groups Assist Russian Reforms”, Ford Foundation Report, Musim Panas 1993, hlm. 10-15, atau Nanci Adler, Victims of Soviet Terror: The Story of the Memorial Movement, Westport, CT: Praeger, 1993. 24. Pedro Nikken, wawancara dengan penulis, 18 September, 1997, Siracusa, Italia. 25. Nama resmi dari komisi Guatemala sebenarnya adalah Commission to Clarify Past Human Rights Violations and Acts of Violence That Have Caused the Guatemalan People to Suffer (Komisi untuk Mengklarifikasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu dan Tindakan Kekerasan Yang Telah Menyebabkan Penderitaan bagi Rakyat Guatemala). 26. Negara-negara yang komisi kebenarannya telah dibahas adalah Bosnia, Serbia, Indonesia, Timor Leste, Peru, Kolombia, Suriname, Jamaika, Liberia, Mali, Namibia, Malawi, Kenya, Burundi, Rwanda, dan Filipina. Di beberapa dari negara tersebut, sebuah komisi kebenaran telah dibahas dan diperbincangkan tetapi mungkin saja hanya sebatas itu, belum ada tindak lanjut; di beberapa negara lainnya lagi, ada suatu niat yang serius untuk membentuk komisi kebenaran di masa depan dan ada pilihan yang dipertimbangkan secara sangat serius; di beberapa negara lainnya lagi, transisi belum tampak jelas karakternya untuk menentukan apakan perlu dibentuk suatu badan pencarian kebenaran dan bentuknya seperti apa.
Bab 3: Mengapa Perlu Komisi Kebenaran?
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
1. 2.
3.
4. 5. 6. 7.
8. 9.
Michael Ignatieff, “Articles of Faith”, Index on Censorship 25, No. 5 (1996), hlm. 113. “Discurso de S.E. el Presidente de la Republica, Don Patricio Aylwin Azocar, al dar a Conocer a la Ciudadania el Informe de la Comisión de Verdad y Reconciliación”, 4 Maret 1991; diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Statement by President Aylwin on the Report of the National Commission on Truth and Reconciliation”, dalam Kritz, Transitional Justice, Vol. 3, hlm. 169-173. Konferensi ini menghasilkan buku State Crimes: Punishment or Pardon, New York: Aspen Institute, 1989. Profesor Thomas Nagel dari New York University dikenal sebagai orang yang pertama kali mengemukakan pembedaan tegas antara pengetahuan dan pengakuan ini. Aryeh Neier, “What Should Be Done about the Guilty?” New York Review of Books, 1 Februari 1990, hlm. 34. Juan Méndez, tinjauan terhadap A Miracle, A Universe, oleh Lawrence Weschler, dalam New York Law School Journal of Human Rights 8 (1991), hlm. 8. Aryeh Neier, wawancara lewat telepon dengan penulis, 31 Juli 1996. Dalam kenyataannya, tak ada komisi kebenaran sekarang ini yang telah menghasilkan atau menyebabkan insiden kekerasan yang serius. Pertanyaan tentang hubungan antara pencarian kebenaran dan resolusi konflik, termasuk kemungkinan bahwa komisi kebenaran akan merangsang kekerasan lebih lanjut, diuraikan dengan cukup luas dan mendalam oleh Priscilla B. Hayner, “Past Truths, Present Dangers: The Role of Official Truth Seeking in Conflict Resolution and Prevention”, dalam Paul C. Stern dan Daniel Druckman, eds., International Conflict Resolution After the Cold War, Washington, DC: National Academy Press, 2000.) Pasal 19, “Malawi’s Past: The Right to Truth”, Cencorship News 29 (1993), hlm. 3. Lihat sebagai contoh Juan Méndez, “Accountability for Past Abuses”, Human Rights Quarterly 19 (1997), hlm. 255-282, yang bersikeras memperjuangkan dan mendukung adanya hak untuk mengetahui kebenaran (right to know the truth).
Bab 4: Lima Contoh Komisi Kebenaran 1.
2.
3. 4.
5.
6. 7
Sebagai misal, ada komisi-komisi yang lebih kecil, komisi subnasional yang bisa sesuai dengan definisi yang digunakan di sini. Beberapa pemerintahan regional di Argentina telah melakukan penyelidikan resmi terhadap pelanggaran di daerah-daerah mereka masing-masing. Jaime Malamud-Goti, wawancara dengan penulis, Desember 1998, Jenewa, Swiss. Rakyat Argentina sadar bahwa mereka mengikuti jejak negara tetangga mereka yaitu Bolivia dalam mendorong terbentuknya sebuah komisi yang bertugas melakukan penyidikan terhadap kejahatan di masa lalu; komisi Bolivia akan dibahas dalam bab berikutnya. Penulis memawancarai Mercedes Doretti, seorang anggota Tim Antropologi Forensik Argentina, 26 Maret 1993, New York. Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, hlm. 428. Laporan lengkap mencakupi lebih dari lima puluh ribu halaman dokumentasi, demikian menurut Human Rights Watch. Lihat Truth and Partial Justice in Argentine: An Update, New York: Human Rights Watch, 1991, hlm. 18. Untuk informasi lebih lanjut tentang pengadilan tersebut dan isu-isu lainnya tentang keadilan transisional di Argentina, lihat Carlos S. Nino (mantan penasihat pribadi Presiden Alfonsín), “The Duty to Punsih Past Abuses of Human Rights Put Into Context: The Case of Argentine”, Yale Law Journal 100 (1991): hlm. 2619-2640; Jaime Malamud-Goti (penasihat kepresidenan senior untuk Alfonsín, 1983-1987), “Trying Violators of Human Rights: The Dilemma of Transitional Democratic Governments”, dalam Justice and Society Program of the Aspen Institute, State Crimes: Punishment or Pardon, Queenstown, MD: Aspen Institute, 1989, hlm. 71-88. Human Rights Watch, Truth and Partial Justice in Argentina: An Update, New York: Human Rights Watch, 1991; Alejandro M. Garro, “Nine Years of Transition to Democracy in Argentina: Partial Failure or Qualified Success?”, Columbia Journal of Transnational Law 31 (1993), hlm. 1-102; dan Marguerite Feitlowitz, A Lexicon of Terror: Argentina and the Legacies of Torture, New York: Oxford University Press, 1998. Keputusan Pembentukan Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi, Dekrit Agung NO. 355, Cili, 25 April 1990, diterbitkan kembali dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 102. Keputusan untuk tidak mencakupkan korban penyiksaan dalam mandat penyelidikan komisi bedasarkan dua faktor. Pertama, jelaslah bahwa tiada satu pun komisi yang bisa menyelidiki semua penyiksaan, dan ada keinginan untuk menghindari pelimpahan tugas kepada komisi untuk membuka
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
8. 9. 10.
11. 12.
13.
14.
15. 16.
17. 18.
19.
20.
21. 22.
23.
24.
ribuan kasus yang tidak dapat diselidiki sepenuhnya. Kedua, sebagaimana dijelaskan oleh orang yang menyusun atau merancang mandat komisi tersebut, negara berkehendak membatasi kasus dalam jumlah yang masuk akal yang bisa menerima kompensasi. Sebagaimana diperkirakan bahwa laporan atau catatan kerja komisi itu akan mengarah pada program pemulihan. Karena itu, komisi mengeluarkan para korban penyiksan yang selamat dari kategori sebagai korban. Percakapan antara penulis dengan Gisela von Muhlenbrok, 13 Maret 1997, Washington D.C. Report of the Chilean National Commission on Truth and Reconciliation, 14. Di bawah hukum Cili, kekuasaan subpoena merupakan kewenangan pengadilan. Dari 2.920 kasus tersebut, sebanyak 2.025 kasus dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh kekuatan bersenjata negara; sebanyak 90 kasus merupakan pelanggaran yang ditengarai dilakukan oleh kekuatan bersenjata oposisi; 164 kasus dinyatakan sebagai kekerasan politik, seperti pertempuran bersenjata; dan ada 641 kasus yang tidak bisa diambil kesimpulannya oleh komisi. Hanya lebih dari 4 persen yang dinyatakan sebagai “tindakan individual dengan alasan politik”, atau kelompok-kelompok bersenjata dari kaum kiri. Sebaliknya, laporan tersebut memperjelas bahwa hanya ada resistensi bersenjata yang sangat kecil terhadap kudeta itu, dan yang kebanyakan diminta untuk datang memenuhi proses penghukuman secara sukarela. Human Rights Watch, Human Rights and the “Politics of Agreements”: Chile during President Aylwin’s First Year, New York: Human Rights Watch, 1991, hlm. 17, yang mengutip La Epoca, 9 Februari 1991. “Discurso de S.E. El Presidente de la Republica, Don Patricio Aylwin Azocar, al dar a Conocer a la ciudadania El Informe de la Comisión de Verdad y Reconciliación, 4 Maret 1991; diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Satement by President Aylwin on the Report of the National Commission on Truth and Reconciliation”, dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 169-173. Human Rights Watch, “Politics of Agreement”, hlm. 32-33. Ibid., hlm. 30. Pembunuhan pertama, seorang dokter angkatan bersenjata yang dikecam keras karena telah ikut serta dalam aksi penyiksaan itu, terjadi persis tidak lama setelah Aylwin meluncurkan laporan tersebut. Human Rights Watch menggambarkan, “Pada 5 Maret, foto pemakaman dokter tersebut, yang dihadiri oleh Pinochet dan beberapa perwira angkatan bersenjata, dipampang di halaman depan berdampingan dengan foto Aylwin yang sedang membacakan laporan Rettig”. Ibid., hlm. 29-30. Human Rights Watch, Chile: The Struggle for Truth and Justice for Past Human Rights Violations, New York: Human Rights Watch, 1992, hlm. 2. Undang-Undang tentang Pembentukan Badan Nasional untuk Pemulihan dan Rekonsiliasi, UndangUndang No. 19, 123, Cili, 31 Januari 1992; diterbitkan ulang dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 685-695. Presentasi ini didasarkan pada perkiraan dari 70.000 yang meninggal dan penduduk yang berjumlah 5 juta. Lihat Martha Doggett, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, dan Washington DC: Georgetown University Press, 1993, hlm. 22. Untuk informasi lebih lanjut tentang pembunuhan pastor Jesuit tersebut, lihat Teresa Whitfield, Paying the Price: Ignacio Ellacuría and the Murdered Jesuits of El Salvador, Philadelphia: Temple University Press, 1995, dan Doggett, Death Foretold. From Madness to Hope: Report of the Commission on the Truth for El Salvador, hlm. 18. Menariknya, ada beberapa diskuis awal di El Salvador tentang suatu strategi “amnesti untuk kebenaran”, sebagaimana kemudian dirancang di Afrika Selatan. Beberapa staf dalam komisi tersebut membahas gagasan tersebut dengan para komisioner, tetapi hal itu tidak pernah digali lebih lanjut. Kemudian, seorang pastor Jesuit José María Tojeira merespon laporan komisi kebenaran itu dengan menganjurkan bahwa supaya mendapatkan pemaafan, orang-orang harus mengakui kejahatan mereka dan meminta maaf kepada seluruh rakyat El Salvador. Ia mengemukakan bahwa ada “dua rute: mengakui dan meminta maaf kepada masyarakat, atau menghadap pengadilan” dan menekankan kebutuhan “pengampunan secara legal”. Lihat Doggett, Death Foretold, hlm. 273. Doggett, Death Foretold, hlm. 258. Catatan penutup untuk buku ini menyajikan suatu ringkasan yang baik sekali tentang reaksi terhadap laporan komisi kebenaran baik di El Salvador maupun di Amerika Serikat. Ibid., hlm. 264.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
25.
26.
27. 28.
29.
30.
31. 32.
Ibid., hlm. 266. Sebuah analisis yang terbaru tentang komisi kebenaran di El Salvador, oleh seorang ahli tentang El Salvador yang berpangkal di Amerika Serikat, Margaret Popkin, mencatat bahwa “Kendatipun laporan tersebut tidak menyatakan suatu pengakuan resmi negara El Salvador tentang kebenaran, namun tetap perlu dipertimbangkan adanya suatu dokumen otoritatif, nilai yang tidak ditentukan oleh penerimaan atau penolakan yang tergesa-gesa atas pelbagai temuannya. … [L]aporan komisi kebenaran itu tetap memegang suatu tuduhan atas pelbagai jenis kejahatan dan kekerasan yang dilakukan selama perang dan tuduhan atas keterlibatan pelbagai lembaga negara baik secara aktif maupun secara pasif.” Lihat Margaret L. Popkin, Peace without Justice: Obstacles to Building the Rule of Law in El Salvador, University Park: Pennsylvania State University Press, 2000, hlm. 159160. Sebagaimana telah dicatat oleh para pakar hukum internasional, tak ada ketentuan tentang batasan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan; perubahan politik dan yudisial lebih lanjut di masa depan bisa membuka pintu terhadap tindakan hukum bagi para pelaku kejahatan. Doggett, Death Foretold, hlm. 277. Kader Asmal, seorang anggota penting ANC, adalah orang yang pertama menegaskan pentingnya kebenaran dalam suatu kuliah publik, di mana ia menjadi pembicara kunci, di University of the Western Cape pada tahun 1992. Lihat Kader Asmal, “Victims, Survivors and Citizens – Human Rights, Reparations and Reconciliation”, South African Journal on Human Rights 8, No. 4 (1992), hlm. 491-511. Ada banyak buku dan artikel yang diterbitkan tentang komisi kebenaran di Afrika Selatan. Antara lain bisa disebutkan di sini: Desmond Tutu, No Future without Forgiveness, New York: Doubleday, 1999; Alexander Boraine, A Country Unmasked: The Story of the South African Truth and Reconciliation Commission, Cape Town: Oxford University Press [sedang dalam proses penerbitan ketika buku saya dterbitkan]; Antjie Krog, Contry of My Skull, Johannesburg: Random House, 1998, dan New York: Times Books, 1999; Martin Meredith, Coming to Terms: South Africa’s Search for Truth, New York: Public Affairs, 1999; dan Charles Villa-Vicencio dan Wilhelm Verwoerd, eds., Looking Back Reaching Forward: Reflections on the Truth and Reconciliation Commission of South Africa, Cape Town: University of Cape Town Press, dan London: Zed Books, 2000. Kebanyakan dari orang-orang yang mengajukan amnesti ini, lebih dari setengahnya, telah ada di penjara; beberapa anggota Komite Amnesti merasa bahwa sebagian besar para pengaju amnesti tersebut jelas-jelas tidak terkait dengan serangan atau kekerasan bermotif politik, tetapi merupakan orang-orang yang sudah lama atau barusan bergabung dalam perjuangan kemerdekaan. Dari tujuh ribu pengaju amnesti, sekitar dua ribunya yang terkait dengan pelanggaran berat hak asasi manusia, perlu dihadapkan pada acara dengar-kesaksian publik. Faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan Komite Amnesti untuk menentukan apakah pengaju amnesti memenuhi persyaratan untuk mendapatkan amnesti adalah, antara lain: (1) motif; (2) konteks di mana tindakan, perbuatan atau serangan terjadi atau dilakukan; (3) sasaran dari tindakan, perbuatan, atau serangan tersebut, secara khusus apakah tindakan tersebut terutama ditujukan kepada lawan politik atau hak milik Negara atau personal, atau kepada hak milik privat atau individual; (4) apakah tindakan tersebut dilakukan sebagai bagian dari perintah, atas nama perintah, atau dengan persetujuan organisasi, lembaga atau gerakan pembebasan di mana orang yang melakukan tindakan adalah anggotanya, agen, atau pendukungnya; dan (5) hubungan antara tindakan, perbuatan, atau serangan dan sasaran politik yang diserang, dan secara khusus apakah ada dimensi proporsionalitas antara tindakan dan sasaran politik yang diserang. Selain itu, agar amnesti bisa diberikan, tindakan, perbuatan, atau serangan juga harus termasuk dalam jangka waktu yang dicakupi oleh komisi tersebut (1 Maret 1960 hingga 11 Mei 1994), dan pengajuan untuk mendapatkan amnesti harus diserahkan sebelum tenggat waktu pada 30 September 1997. Aspek yang paling kontroversial dari semua persyaratan ini adalah tentang bagaimana pengujian “proporsionalitas” ditafsirkan oleh Komite Amnesti. Komite tidak menyodorkan pedoman untuk penafsiran, dan ada pelbagi penafsiran tentang artinya bahkan di antara para anggota komite itu sendiri. Beberapa staf senior bersikukuh dengan pemahaman yang lebih restriktif tentang “proporsional”, sementara beberapa anggota komite lainnya mengatakan kepada saya bahwa kebanyakan kejahatan dipertimbangkan sebagai kejahatan proporsional terhadap tujuan seseorang dalam upaya menggulingkan pemerintahan yang sah, atau melindungi pemerintahan yang sah dari upaya penggulingannya; wawancara dilakukan oleh penulis dengan anggota-anggota komite dan stafnya, Oktober 1997, Cape Town dan Port Elizabeth, Afrika Selatan. Pada akhirnya, kekurangan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
proporsionalitas jaranga menjadi alasan bagi penolakan terhadap pengajuan amnesti. Setelah menjalani pekerjaan selama satu setengah tahun, dengan lebih dari dua ribu pengajuan amnesti (termasuk leih dari seratus yang dinyatakan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia), komite memutuskan bahwa hanya satu pengajuan yang ditolak karena tidak lolos pengujian proporsionalitas, demikian menurut ketua komite Hassan Mall. Namun dalam keputusan tertulisnya, komite biasanya hanya menjelaskan alasan utama dari penolakan pemberian amnesti tersebut, sehingga bahkan keputusan tersebut tidak menjelaskan soal bagaimana komite menalarkan dimensi proporsionalitas tersebut. Sejumlah kecil keputusan yang dibuat kemudian juga menunjuk pada kekurangan proporsionalitas sebagai alasan utama bagi penolakan pemberian amnesti. 33. Tentang isu yang terkait, orang-orang yang secara salah dituduh melakukan kejahatan yang ternyata tidak mereka lakukan tidak mendapatkan peluang bantuan dalam Komite Amnesti dalam komisi kebenaran tersebut; komite tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan amnesti bagi sesuatu yang tidak dilakukan seseorang. Dalam satu kasus, seseorang yang telah melakukan pembunuhan mengakui perbuatannya dan mendapatkan amnesti; rekannya, yang secara salah telah dituduh melakukan kejahatan padahal ia sama sekali tidak melakukan kejahatan tersebut, tetap berada dalam penjara. Ia harus mengikuti prosedur normal, kendati sangat menyita waktu, yaitu prosedur bagaimana pengadilan secara lazim menangani kasusnya. 34. Suzanne Daley, “Officer Is Denied Amnesty in the Killing of Steve Biko”, New York Times, 11 Januari 1999, A8, dan Suzanne Daley, “Panel Denies Amnesty for Four Offices in Steve Biko’s Death”, New York Times, 17 Februari 1999, A4. 35. Sebagai contoh, dalam kasus Amy Biehl, seorang warga Amerika yang terbunuh di daerah pemukiman kulit hitam dalam suatu serangan acara anti-kulit putih, si pemohon mendapatkan amnestinya. Hal ini memperlihatkan bahwa beberapa tindakan yang berdasarkan motivasi rasial bisa diterima sebagai kasus politik oleh komite. Para analis juga menemukan ketidakkonsistenan yang serupa dalam rezim-rezim lainnya. 36. Kasus ini paling menantang kerja komisi kebenaran Afrika Selatan dengan mempertanyakan konstitusionalitas pemberian amnesti (dan menghentikan upaya hukum baik perdata maupun pidana) terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia. Keputusan Pengadilan Konstitusional dikritik oleh beberapa pakar hukum, bukan karena mereka melihat keputusan tersebut salah, tetapi karena gagal menjawab beberapa pertanyaan penting berkaitan dengan hukum internasional yang mencuat dalam kasus tersebut. Lihat John Dugard, “Is the Truth and Reconciliation Process Compatible with International Law? An Unanswered Question: Azapo v. President of the Republic of South Africa”, South African Journal on Human Rights 13 (1997), hlm. 258-268. 37. Untuk deskripsi lengkap dari semua pertempuran pendapat hukum yang dihadapi oleh komisi ini, lihat Truth and Reconciliation Commission of South Africa Report, vol. 1, bab 7, “Legal Challenges”. 38. Komisi ingin menyebutkan nama de Klerk yang telah diketahui telah melakukan beberapa pengeboman, namun gagal membuat laporannya. Persoalan tentang apakah komisi bisa menyebutkan nama de Klerk, dalam laporan tambahan, akan diselesaikan di pengadilan pada waktu berikutnya. 39. “Statement of the President of the African National Congress, Thabo Mbeki, on the Report of the TRC at the Joint Sitting of the Houses of Parliament, Cape Town”, 25 Februari 1999. 40. “Agreement on the Establishment of the Commission to Clarify Past Human Rights Violations and Acts of Violence That Have Caused the Guatemalan Population to Suffer”, UN Doc.A/48/954/S/1994/751, Annex II, 23 Juni 1994. 41. Pelbagai percakapan antara penulis dengan para peserta yang terlibat dalam negosiasi damai, 1994 dan 1995. Respon yang keras terhadap kesepakatan komisi kebenaran tampak dalam, sebagai misal, kolom opini di New York Times oleh seorang penulis yang menaruh minat besar pada persoalan Guatemala, yang menuliskan artikel tersebut sebagai perbandingan dengan komisi serupa di Argentina, Afrika Selatan, dan El Salvador (demikian pendapat pribadi saya): “Guatemala has opted for ignorance” karena komisi tidak bisa menyelidiki dan mengidentifikasi para pelaku. Ia melanjutkan, “Guatemala telah dikhianati. Kesepakatan itu bukanlah sebuah perjanjian damai, itu adalah sebuah penyerahan diri. Dan apa yang telah diserah-taklukkan, setelah perang yang melumpuhkan dan mengerikan, adalah kebenaran”. Francisco Godlman, “In Guatemala, All Is Forgotten”, New York Times, 23 Desember 1996. Kenyataannya, kebanyakan dari pembatasan yang dimasukkan dalam mandat komisi terbuka untuk ditafsirkan berbeda-beda; bahkan mereka yang menandatangani kesepakatan tersebut mengakui bahwa nama-nama kesatuan militer, dan kedudukan para perwira komando yang bertanggun-jawab,
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
42.
43. 44. 45.
46.
47. 48. 49.
50. 51.
52.
53.
bisa didaftar dalam laporan tersebut, jika komisioner memilih demikian, dan bahwa nama-nama orang kemudian bisa dicocokkan oleh pers atau organisasi non-pemerintah; wawancara antara penulis dengan para penandatangan kesepakatan, April 1996, Guatemala City. Selain itu, tidak mungkin bahwa laporan komisi bisa dibatalkan sebagai bukti di pengadilan; para pakar hukum mencatat bahwa suatu kesepakatan damai tak bisa secara sepihak menentukan aturan main (rules and procedure) standar yudisial. “Agreement on the Establishment of the Commission to Clarify Past Human Rights Violations and Acts of Violence That Have Caused the Guatemalan Population to Suffer”, UN Doc.A/48/954/S/1994/751, Annex II, 23 Juni 1994. Klausa ini menyatakan bahwa moderator pembahasan perdamaian itu, Jean Arnault, akan ditunjuk oleh sekretaris jenderal untuk menjadi ketua komisi, namun ia ditunjuk menjadi ketua Missi PBB untuk Guatemala dan karena itu ia tak bisa memangku tugas tersebut. Ibid. Komisi juga meminta dokumen dari pemerintah-pemerintah Argentina, Taiwan, dan Israel, tetapi tak menerima satu pun. Guatemala: Nunca Más, 4 jilid, Oficina de Derechos Humanos del Arzobispado de Guatemala, Guatemala City, 1998. Versi ringkas dari laporan tersebut telah diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Guatemala: Never Again! The Official Report of the Human Rights Office, Archdiocese of Guatemala, New York: Orbis Books, dan London: Catholic Institute for International Relations, 1999. Proyek CIIDH juga melakukan analisis yang mendalam atas liputan pers terhadap kekerasan, yang memperlihatkan kelemahan tajam dalam pelaporan terhadap pembunuhan dan penghilangan dalam beberapa bulan pada awal 1980-an. Lihat Patrick Ball, Paul Kobrak, dan Herbert F. Spirer, State Violence in Guatemala, 1960-1966: A Quantitative Reflection, Washington DC: American Association for the Advancement of Science, 1999. Guatemala: Memory of Silence (Conclusions and Recommendations), hlm. 22. Ibid., hlm. 32. Ibid., hlm. 41. Kesimpulan komisi bahwa genosida yang telah terjadi itu merupakan hal yang penting telah dikeluarkan dari undang-undang amnesti awal. Komisi kemudian ditekan dengan sangat kuat oleh pelbagai kelompok organisasi masyarakat adat untuk menegaskan bahwa genosida telah terjadi di negeri tersebut. Ibid., hlm 38. “Agreement on the Establishment of the Commission to Clarify Past Human Rights Violations and Acts of Violence That Have Caused the Guatemalan Population to Suffer”, UN Doc.A/48/954/S/1994/751, Annex II, 23 Juni 1994. Sebagai contoh, laporan tersebut menegaskan bahwa “struktur dan sifat hubungan ekonomi, budaya dan sosial di Guatemala ditandai oleh pengecualian, antagonisme dan konflik yang sangat kentara … kekerasan terutama dilakukan oleh negara dengan menyasar pada masyarakat Maya, masyarakat yang tersingkir dan miskin lebih dari masyarakat mana pun di negeri tersebut, juga terhadap mereka yang memperjuangkan keadilan dan kesamaan status sosial”. Lihat Guatemala: Memory of Silence (Conclusions and Recommendations), hlm. 17. Pemerintahan Guatemala, “Posición inicial del Gobierno de la República ante el informe y las recomendaciones de la Comisión de Esclarecimiento Histórico”, 16 Maret 1999.
Bab 5: Enam Belas Komisi Kebenaran yang Kurang Dikenal 1. 2. 3. 4. 5.
Detail tentang komisi ini diterangkan dalam Richard Carver, “Called to Account: How African Governments Investigate Human Rights Violations”, African Affair 89 (1991). Ibid., hlm. 399. Amnesti Internasional juga mempunyai salinan pada microfiche di London. Carver, “Called to Account”, hlm. 400. Tidak begitu banyak referensi kepustakaan tentang komisi pertama ini, dan bahkan di Uganda sendiri hal itu tampaknya sudah dilupakan. Seorang komisioner pada Komisi Uganda untuk Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia tahun 1986 menulis bahwa komisi 1986 ini merupakan “badan
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
17.
18.
19. 20. 21. 22.
23.
24. 25. 26. 27.
28.
serupa yang kedua di dunia, setelah Argentina”. John Negenda, “The Human Rights Commission”, dalam Uganda 1986-1991: An Illustrated Review, Kampala, Uganda: Fountain, 1991, hlm. 30. Loyola Guzmán, ketua dari Perkumpulan Keluarga para Tahanan, Orang Hilang dan Pahlawan Pembebasan Nasional, wawancara lewat telepon dengan penulis pada 12 Agustus 1994. Ibid. Human Rights Watch, “Bolivia: Almost Nine Years and Still No Verdict in the ‘Trial of Responsibilities’”, New York: Human Rights Watch, Desember 1992, hlm. 1. Jose Zalaquett, “Confronting Human Rights Violations Committed by Former Governments: Principles Applicable and Political Constraints”, dalam Justice and Society Program of the Aspen Institute, State Crimes: Punishment or Pardon, Queenstown, MD: Aspen Institute, 1989, hlm. 59. Ibid., hlm. 61. Robert Goldman, wawancara lewat telepon dengan penulis, 14 April 1994. Wilder Tayler, wawancara dengan penulis, 2 Agustus 1994, New York. Alexandra Barahona de Brito, Human Rights and Democratization in Latin America: Uruguay and Chile, New York: Oxford University Press, 1997, hlm. 146. Ibid. Ibid. Servicio Paz y Justicia (SERPAJ), Uruguay: Nunca Más: Informe Sobre La Violación a Los Derechos Humanos (1972-1985), edisi kedua, Montevideo, Uruguay: SERPAJ, 1989. Untuk deskripsi tentang proyek ini, lihat Barahona de Brito, Human Rights, hlm. 145-148. Breaking the Silence, Building True Peace: A Report on the Disturbances in Matabeleland and the Midlands, 1980 to 1988, Harare, Zimbabwe: Catholic Commission for Peace and Justice in Zimbabwe and the Legal Resources Foundation, 1997, hlm. 61. Sebaliknya, mereka yang mati dalam pertempuran memperjuangkan kemerdekaan menerima kompensasi melalui Undang-Undang Kompensasi untuk Korban Perang 1980. Tak ada undangundang serupa yang menjamin hak para korban kekekerasan di Matabeleland. Secara umum, lihat Human Rights Watch, Zimbabwe: A Break with the Past? Human Rights and Political Unity, New York: Human Rights Watch, 1989. Bornwell Chakaodza, direktur penerangan dari Kementrian Penerangan, wawancara dengan penulis, 30 September 1996, Harare, Zimbabwe. Lihat Breaking the Silence, Building True Peace. Legal Notice No. 5 tahun 1986, didirikan berdasarkan Undang-Undang tentang Komisi Penyeldikan (Cap. 56), Uganda. Ford Foundation menyediakan dana $93,300 kepada pemerintahan Uganda, yang dipersiapkan khusus untuk komisi tersebut, pada 1988. Ford Foundation Annual Report, 1987, New York: Ford Foundation, 1987. Pada Februari 1991, surat kabar milik pemerintah, The New Vision, melaporkan bahwa “Komisi Hak Asasi Manusia minggu ini gagal bersidang karena kekurangan dana. … [Sekretaris komisi tersebut] berharap akan ada dana untuk sidang Komisi minggu berikutnya.” Koran itu juga melaporkan bahwa “wahana Komisi tersebut tidak sedang berfungsi dengan baik” untuk melangsungkan perjalanan penyelidikan seperti yang telah direncanakan. Eva Lubwama, “Human Rights Fails”, The New Vision, 2 Februari 1991. Badan bantuan dana pemerintahan Denmark, DANIDA, menghibahkan bantuan dana bagi komisi tersebut sejumlah kurang lebih $437,000 pada tahun 1992. Lebih dari setengahnya dimanfaatkan untuk membiayai pencetakan dan penerbitan laporan. Wawancara dengan penulis, Kampala, Uganda, Oktober 1996. Sushil Pyakurel, direktur eksekutif Informal Sector Service Sector, Nepal, wawancara telepon dengan penulis, 3 Maret 1999. Amnesty International Report 1993, New York: Amnesty International USA, 1993, 220. “Berkaitan dengan pendirian sebuah Komisi Penyelidikan untuk kejahatan dan tindakan menyimpang yang dilakukan oleh mantan presiden, pendukungnya dan/atau para kroninya”, Keputusan No. 014/P.CE/CJ/90, Republik Chad, 29 Desember 1990, dicetak-terbit ulang dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 48-50. Report of the Commission of Inquiry (Chad), sebagaimana disarikan dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 54.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
29. 30. 31. 32. 33.
34. 35. 36. 37. 38.
39.
40. 41.
42. 43.
44.
45. 46. 47. 48. 49. 50. 51.
Jamal Benomar, “Coming to Terms with the Past: How Emerging Democracies Cope With a History of Human Rights Violations”, Atlanta: Carter Center, 1 Juli 1992, hlm. 13. Ibid. Staf Pemerintahan Amerika Serikat, wawancara telepon dengan penulis, 7 Mei 1993. Wawancara telepon oleh penulis dengan Genoveva Hernandez, 3 Desember 1999, dan Reed Brody, Human Rights Watch, 10 Desember 1999. Kedua komisi ANC yang digambarkan di sini memiliki sifat dan hakikat yang berbeda dengan komisi-komisi lain, karena keduanya dibentuk oleh badan oposisi bukan negara, jadi tidak dibentuk oleh negara sebagaimana halnya komisi di negara-negara lain. Namun dengan cara yang sama seperti penyelidikan yang dilakukan negara, kedua badan tersebut justru melakukan evaluasi diri dan menghadirkan pengakuan ANC akan berbagai pelanggaran dan penyelewengan yang dilakukannya. Lihat, sebagai misal, Amnesty International, “South Africa: Torture, Ill-Treatment, and Executions in African National Congress Camp”, London: Amnesty International, 2 Desember 1992. Komisi tersebut sering juga diacu sebagai Komisi Skweyiya, yang merupakan nama ketuanya, T. L. Skweyiya. Report of the Commission of Enquiry into Complaints by Former African National Congress Prisoners and Detainees, 1992, hlm. 6. Ibid. hlm. 72. Berdasarkan permintaan, kantor ANC di New York tidak akan menyediakan kopi dari laporan tersebut, yang mengatakan bahwa laporan tersebut tidak diterbitkan karena “dianggap belum lengkap” oleh karena kurangnya kesaksian utuh dari para tertuduh (kendati nama para tertuduh itu tidak tercantum dalam laporan tersebut). “Pernyataan oleh Nelson Mandela, presiden Kongres Nasional Afrika, pada Report of the Commission of Enquiry into Complaints by Former African National Congress Prisoners and Detainees”, yang dirilis oleh Kongres Nasional Afrika pada 19 Oktober 1992. Nama komisi tersebut dalam bahasa Jerman adalah Enquete-Kommission Aufarbeitung von Geschichte und Folgen der SED-Diktatur in Deutschland. Sebagai misal, pada tahun 1953, ratusan orang terbunuh dalam penindasan penuh kekejaman sebagai reaksi terhadap pemberontakan rakyat. Antara tahun 1961, ketika Tembok Berlin didirikan, dan 1989, ketika tembok tersebut diruntuhkan, sekurang-kurangnya 260 orang telah terbunuh karena mencoba melewati tapal batas dari Jerman Timur ke Jerman Barat, ditembak oleh petugas penjaga tapal batas atau terbunuh oleh ranjau darat. Para tahanan politik diinterogasi dengan sangat kasar; beberapanya disiksa, dan banyak lainnya dibawa ke pembuangan. Pada tahun 1950-an, ratusan warga Jerman Barat yang berjuang mengubah pemerintahan Jerman Timur diculik oleh pemerintahan Jerman Timur dan dipenjarakan (dan beberapanya dihukum mati) di Jerman Timur. Wawancara oleh penulis dengan staf komisi, Juni 1997, Berlin. Akses pada arsip ditentukan oleh Federal Authority on the Records of the Former Ministry for State Security of the German Democratic Republic, umumnya dikenal sebagai Gauck Authority, dinamakan sesuai dengan nama direkturnya, Joachim Gauck. Untuk deskripsi dari skenario yang ditayangkan di televisi itu, yaitu tentang rujukan antara para korban dan para informan, lihat Tina Rosenberg, The Haunted Land: Facing Euope’s Ghosts after Communism, New York: Random House, 1995. Report of the Commission of Enquiry into Complaints by Former African National Congress Prisoners and Detainees, 1992, hlm. 70-71. Komisi ini juga diacu sebagai Komisi Motsuenyane, sesuai nama ketua komisi tersebut, seoarang veteran pebisnis kawakan, Dr. Samuel M. Motsuenyane. Richard Carver, wawancara telepon oleh penulis, 7 Januari 1994. Reports of the Commission of Enquiry into Certain Allegations of Cruelty and Human Rights Abuse against ANC Prisoners and Detainees by ANC Members, Johannesburg, 20 Agustus 1993, ii. “African National Congress National Executive Committee’s Response to the Motsuenyane Commission’s Report”, dirilis oleh Kongres Nasional Afrika, 31 Agustus 1993, hlm. 7. Sebagai misal, Amnesti Internasional mendokumentasikan 680 kasus penghilangan antara tahun 1983 hingga 1988. Ingrid Massage, Amnesty International, wawancara oleh penulis, 9 Juli 1997, London. Dalam salah satu bulan yang sangat buruk, Juli 1996, 365 orang dilaporkan telah dilenyapkan, demikian menurut Home for Human Rights, sebuah organisasi hak asasi manusia di Sri Langka.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
52.
53.
54.
55. 56.
57. 58.
59. 60. 61. 62.
63. 64. 65. 66. 67. 68.
69.
70. 71.
72.
Organisasi-organisasi hak asasi manusia juga mengajukan kasus kepada komisi yang didokumentasikan dalam file mereka. Kasus-kasus tersebut tidak termasuk dalam laporan komisi jika keluarga tidak datang memberikan kesaksian. Final Report of the Commission of Inquiry into the Involuntary Removal or Disappearance of Persons in the Western, Southern and Sabaragamuwa Provinces; Final Report of the Commission of Inquiry into the Involuntary Removal or Disappearance of Persons in the Central, North Western, North Central and Uva Provinces; dan Final Report of the Commission of Inquiry into the Involuntary Removal or Disappearance of Persons in the Northern and Eastern Provinces, Colombo: Sri Lankan Government Publications Bureau, 1997; dirilis untuk publik pada Januari 1998. Sebagai tambahan, masing-masing komisi menerbitkan laporan sementara, beberapa di antaranya sangat substansial. Laporan akhir yang dipersingkat mungkin dijelaskan oleh laporan-laporan sementara yang lebih substansial, demikian dikatakan oleh seorang pembela hak asasi manusia, khususnya ketika para komisioner menjadi kabur dalam kekurangan tindakan yang diambil oleh pemerintah terhadap rekomendasi sementara mereka. Amnesty International Report 1999, London: Amnesty International, 1999. Hanya sedikit yang telah ditulis tentang komisi kebenaran Haiti, namun ringkasan hasil kerjanya dapat ditemukan dalam Fanny Benedetti, “Haiti’s Truth and Justice Commission”, Human Rights Brief, Washington, DC: Center for Human Rights and Humanitarian Law, Washington College of Law, American University, 3:3, 1996. Human Rights Watch, “Thirst for Justice: A Decade of Impunity in Haiti”, New York: Human Rights Watch, September 1996, hlm. 18. Permintaan resmi untuk pembentukan sebuah komisi kebenaran diulangi lagi oleh pemerintahan Burundi dalam Kesepakatan Pemerintahan, 10 September 1994, yang kemudian diproduksi ulang sebagai lampiran dalam UN Doc.A/50/94/S/1995/190, 8 Maret 1995. Amnesty International, “Rwanda and Burundi: A Call for Action by the International Community”, London: Amnesty International, September 1995, hlm. 23 dan 26. Pedro Nikken, wawancara oleh penulis, 18 September 1997, Siracusa, Italy. UN Security Council Resolution 1012 (1995), 28 Agustus 1995. “UN Reports Burundi Army Slew Civilians by Thousands”, New York Times, 4 Agustus 1996, A4. Laporan Komisi Burundi telah diterbitkan sebagai lampiran dalam UN Doc. S/1996/682, 22 Agustus 1996. Ministerial Accord No. 012 (Ecuador), 17 September 1996. Komisi ini digambarkan dalam Report on the Situation of Human Rights in Ecuador, Washington, DC: Organization of American States, 1997, hlm. 9-10. Amnesty International Report 1997, London: Amnesty International, 1997, hlm. 140. Report on the Situation of Human Rights in Ecuador, hlm. 10. Amnesty International Report 1998, London: Amnesty International, 1998. “Instrument Constituting a Judicial Commission of Inquiry for the Investigation of Human Rights Violations”, diterbitkan dalam Federal Republic of Nigeria Official Gazette 86; 56, 1999, Lagos (Statutory Instrument 8 of 1999), hlm. 1. Kegiatan evaluasi ini, yang terjadi pada September 1999, diselenggarakan bersama oleh International Institute for Democracy and Electoral Assitance di Stockholm dan Center for Democracy and Development di Lagos. Para partisipannya berasal dari Afrika Selatan, Cili, dan Guatemala. Saya juga ikut hadir untuk memberikan sebuah gambaran tentang petikan-petikan pelajaran dari komisi-komisi kebenaran yang sudah ada sebelumnya. “Instrument Constituting a Judicial Commission of Inquiry for the Investigation of Human Rights Violations”, hlm. 2. Untuk informasi lebih lanjut tentang kekejaman dalam perang di Sierra Leone, lihat Human Rights Watch, Sowing Terror: Atrocities against Civilians in Sierra Leone, New York: Human Rights Watch, Juli 1998, dan Getting Away with Murder, Mutilation, and Rape: New Testimony from Sierra Leone, New York: Human Rights Watch, Juni 1999. Harus diketahui bahwa pemerintah tidak melakukan negosiasi dengan posisi yang kuat. Ketika kesepakatan damai dicapai, kelompok pemberontak menguasai sebagian besar negeri tersebut. Separuh Angkatan Bersenjata Sierra Leone bergabung dengan para pemberontak di hutan setelah berhasil melakukan kudeta terhadap pemerintah pada tahun 1997, memerintah negeri tersebut selama sembilan bulan, dan kemudian diturunkan dari kekuasaan oleh angkatan bersenjata pimpinan Nigeria,
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
the Economic Community of West African States Cease-fire Monitoring Group (ECOMOG). Sejak 1998, Angkatan Bersenjata Sierra Leone bertempur bersama pemberontak bersenjata RUF menentang pemerintah. Dengan bantuan Nigeria yang mengembalikan para tentaranya kepada pihak pemerintah, pemerintah Sierra Leone merasa bahwa ia hanya memiliki kekuasaan yang lemah ketika duduk di meja perundingan damai. PBB yang memfasilitasi perundingan damai, secara khusus dikritik karena menandatangani sebuah kesepakatan yang memasukkan suatu ketentuan tentang amnesti umum bagi kejahatan berat yang melanggar hak asasi manusia. Ketika menandatangani kesepakatan tersebut, wakil khusus sekretaris jenderal PBB untuk Sierra Leone, Francis G. Okelo, memasukkan sebuah catatan dengan tandatangannya yang menyatakan bahwa PBB menafsirkan amnesti itu “bukan untuk kejahatan internasional berkaitan dengan genosida, kajahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan pelanggaran-pelanggaran berat lainnya yang dilarang dalam hukum humaniter internasional”. 73. “Peace Agreement between the Government of Sierra Leone and the Revolutionary United Front of Sierra Leone”, 7 Juli 1999, Pasal 26. 74. Saya bertindak sebagai salah satu konsultan PBB yang terlibat dalam proses pertemuan dengan pihakpihak terkait di Sierra Leone dan menyusun draf rekomendasi. 75. Lihat Truth and Reconciliation Act of Sierra Leone, 2000, tersedia secara online di internet: www.sierra-leone.org/trc.html.
Bab 6: Apa Itu Kebenaran? 1.
Executive Branch Supreme Decree No. 355, dicetak ulang dalam Report of the Chilean National Commission on Truth and Reconciliation, hlm. 6. 2. From Madness to Hope: Report of the Commission on the Truth for El Salvador, hlm. 18. 3. Undang-Undang tentang Pemajuan Persatuan Nasional dan Rekonsiliasi, Act. No. 34/1995 (Afrika Selatan). 4. Mahmood Mamdani, keterlibatan dalam diskusi panel “Legal, Moral, and Political Implication of the South African TRC”, pada konferensi tentang Evaluating South Africa’s Truth and Reconciliation Commission (Mengevaluasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan), University of Sussex, 18-19 September 1998, Brighton, Inggris (tercatat pada arsip dengan penulis). Lihat juga Mamdani, “Reconciliation without Justice”, Southern African Review of Books 46 (1996), hlm. 3-6. 5. Salah satu pengamat hak asasi manusia bahkan merasa heran tentang entahkah presiden Sri Lanka mendirikan tiga komisi sebagai suatu strategi intensional untuk membuat dirinya lebih fleksibel dalam merespon laporan komisi, yang mengetahui bahwa masing-masing laporan itu akan membuat rekomendasi yang berbeda-beda, khususnya tentang masalah reparasi untuk para korban. 6. Report of the Commission of Inquiry (Chad), sebagaimana dimuat-ulang dalam bentuk ringkas dalam Kritz, Transitional Justice, hlm. 45-46. 7. From Madness to Hope: Report of the Commission on the Truth for El Salvador, hlm. 137. 8. Thomas Buergenthal, wawancara oleh penulis, 22 April 1994, Washington DC. 9. Laporan itu menyatakan, misalnya, Bagaimanapun, hubungan dengan Amerika Serikat tetap normal. Selama pemerintahan Nixon dan Ford, Amerika Serikat membantu Cili untuk menegosiasi ulang utang luar negerinya, dan bantuan ekonomi Amerika Serikat selaam 1974-1976 terjadi beberapa kali sebagaimana dalam tahun 1971-1973. Ada juga bukti tentang kesepakatan dengan perusahaanperusahaan Amerika Serikat yang memiliki izin operasi besar untuk pertambangan tembaga yang telah dinasionalisasi oleh pemerintahan sebelumnya”. Report of the Chilean National Commission on Truth and Reconciliation, hlm. 632. 10. “The Atrocity Findings: ‘The Historic Facts Must Be Recognized’” (diringkas dari pernyataan oleh Christian Tomushcat ketika memaparkan hasil laporan), New York Times, 26 Februari 1999, A8. 11. “Remarks by the President in Rountable Discussion on Peace Efforts”, National Palace of Culture, Guatemala City, 10 Maret 1999. Pernyataan yang dikeluarkan oleh Kantor Gedung Putih, Menteri Penerangan, Washington DC. 12. Ashnie Padarath, “Women and Violence in KwaZulu Natal”, dalam Meredith Turshen dan Clotilde Twagiramariya, eds., What Women Do in Wartime: Gender and Conflict in Africa, London: Zed Books, 1998. Padarath menulis bahwa, “sementara watak penyiksaan seksual di penjara menjadi fokus begitu banyak perhatian, kekejaman seksual terhadap perempuan yang diyakini sebagai
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
pendukung partai politik lawan sangat sedikit mendapat perhatian bahkan tidak mendapat pengakuan”, hlm. 64. 13. Wawancara oleh penulis dengan Janis Grobbelaar, manajer informasi, dan Vanessa Barolsky, peneliti, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, 10 November 1997, Johannesburg, dan dengan Beth Goldblatt, peneliti, Gender Research Project, Centre for Applied Legal Studies, University of the Witwatersrand, 24 Oktober 1997, Johannesburg. Untuk analisis tentang perempuan dan komisi Afrika Selatan, lihat Beth Goldblatt, “Violence, Gender and Human Rights: An Examination of South Africa’s Truth and Reconciliation Commission”, makalah dipresentasikan dalam pertemuan tahunan Law and Society Association, 29 Mei – 1 Juni 1997, St. Louis, Missouri. 14. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan menggambarkan fenomena ini dalam laporannya; lihat vol. 4 bab 10, bagian 36-43, hlm. 293-294. 15. Beth Goldblatt, wawancara. 16. Guatemala: Memoria del Silencio: Informe de la Comisión para el Esclarecimiento Histórico, vol. 3, bab 2, paragraf 37. 17. Truth and Reconciliation Commission of South Africa Report, vol. 4, bab 10, bagian 144, hlm. 316. Komisi Afrika Selatan bertemu dengan para pakar dan pembela hak-hak perempuan dan pada awal masa tugasnya, dan menerima pengajuan tertulis yang meminta komisi untuk “mendekati persoalan pelanggaran hak asasi manusia dengan menggunakan lensa atau perspektif gender”, yang mengingatkan bahwa kegagalan dalam melakukan hal itu “akan mengarah pada penyangkalan pengalaman perempuan dalam hal penyiksaan dan kekerasan, yang sering kali dilihat sebagai masalah yang sama dengan yang dialami kaum pria saja”. Beth Goldblaat dan Sheila Meintjes, “South African Women Demand the Truth”, dalam Tushen dan Twagiramariya, eds., What Women Do in Wartime, hlm. 29. Bab yang berisikan tulisan Goldblaat dan Meintjes merupakan ringkasan dari apa yang telah mereka ajukan kepada komisi. 18. Si M Pa Rele … (If I Don’t Cry Out …), Report of the National Commission for Truth and Justice, Haiti, 1996, hlm. 40-46. 19. Guatemala: Memoria del Silencio, vol. 3, bab 2, paragraf 49. 20. Di pihak lain, laporan komisi El Salvador mendaftarkan banyak kejadian pemerkosaan dalam lampirannya, yang mencantumkan semua korban yang telah memberikan kesaksian dan pelbagai kekerasan yang telah mereka alami. Para korban pemerkosaan ini jelas-jelas dipertimbangkan sebagai bagian dari mandat komisi. Namun komisi tidak pernah menjelaskan soal kewenangan ini dalam kebijakannya. 21. Sebagai contoh, statuta pendirian Mahkamah Pidana Internasional, yang telah disetujui oleh 120 negara pada tahun 1998, mendefinisikan pemerkosaan dan pelbagai bentuk kekerasan seksual lainnya sebagai hal yang sebanding dengan kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil. Statuta itu juga mendefinisikan pemerkosaan dan juga kekerasan seksual yang berat sebagai bagian dari kejahatan perang – Mahkamah juga mempunyai jurisdiksi terhadap jenis kejahatan tersebut – “ketika dilakukan sebagai bagian dari rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari tindakan berskala luas dari kejahatan serupa”. Rome Statute of the International Criminal Court, UN Doc.A/Conf.183/9, 17 Juli 1998, Pasal 7 dan 8 (tersedia secara online juga di internet: www.un.org/icc/romestat.htm). Untuk uraian singkat tentang pengembangannya dalam hukum internasional yang juga membahas soal kekerasan seksual, lihat Patricia Viseur Sellers, “Rape under International Law”, dalam Belinda Cooper, ed., War Crimes: The Legacy of Nuremberg, New York: TV Books, 1999, hlm. 159-166. 22. Komentar ini dibuat dalam sebuah pertemuan dengan tiga anggota Komite Amnesti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan pada November 1997. 23. Janis Grobbelaar, wawancara. Patric Ball juga mengemukakan pendekatannya sebagai pendekatan positivisme logis, yang ia katakan dengan “mengasumsikan bahwa kita bisa mengklasifikasi dunia ke dalam kategori, dan bisa memahami kategori-kategori ini.” Patrik Ball, “Who Did What to Whom: Planning and Implementing a Large Scale Human Rights Data Project”, kuliah di Columbia University, 15 April 1998. 24. Daniel Rothenberg, wawancara via telepon dengan penulis, 30 November 1998, dan komentar pada sebuah panel dalam konferensi yang diadakan oleh Latin American Studies Association, 26 September 1998, Chicago. 25. Jean Claude Jean, wawancara dengan penulis, 5 Desember 1995, Port-au-Prince, Haiti; terjemahan Prancis oleh Nancy Bernard.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
26.
27. 28. 29.
Perjanjian untuk Pembentukan Komisi Klarifikasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu dan Tindakan Kekerasan yang Telah Menyebabkan Penderitaan bagi Rakyat Guatemala (UN Doc.4/48/954/S/1994/751, lampiran II, 23 Juni 1994). Mercie Mersky, wawancara dengan penulis, 19 April 1996, Guatemala City. Untuk deskripsi tentang proyek REHMI dan metodologi, lihat Carlos Martin Beristain, “The Value of Memory”, Forced Migration Review 2 (1998). Eduardo Rabossi, wawancara dengan penulis, 11 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina.
Bab 7: Kebenaran versus Keadilan: Apakah Keduanya dapat Dipertukarkan? 1.
2.
3.
4.
5.
6.
“Agreement on the Establishment of the Commission to Clarify Past Human Rights Violations and Acts of Violence That Have Caused the Guatemalan Population to Suffer”, UN Doc.A/48/954/S/1994/751, Lampiran II, 23 Juni 1994. Keadilan bisa memiliki arti yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda-beda: kata itu bisa melibatkan pemulihan (ganti rugi) simbolik atau langsung (cash) bagi para korban; pembalasan dendam dengan prinsip mata ganti mata; atau pengembangan kemasyarakatan atau komunitas untuk mengentaskan kemiskinan atau luka masa lalu. Di Afrika Selatan, komisi kebenaran mengemukakan bahwa proses yang dijalankannya memberikan kontribusi pada keadilan restoratif, dengan memberikan penghargaan kepada para korban, mendorong upaya pemulihan atau ganti rugi, dan memperjuangkan rekonsiliasi nasional, ketimbang keadilan retributif yang bisa berujud penuntutan dan penghukuman terhadap para pelaku. Di sini saya menggunakan keadilan untuk menggambarkan secara sederhana soal tindakan hukum dalam sistem yudisial, yang mengarah pada pengadilan dan penghukuman terhadap pihak-pihak yang dinyatakan bersalah. Bentuk keadilan seperti inilah yang paling sering dituntut oleh para korban. Selama masa kerja dari komisi kedua di Uganda, beberapa anggota komisi mempertanyakan soal kekuasaan penuntutan, merasa kecewa dengan kurangnya tindakan yudisial terhadap kasus-kasus yang diselidiki, namun proposal tersebut ditolak. Barangkali mandat komisi kebenaran di masa depan akan mencakupi kekuasaan tersebut, kendatipun hal ini tentu saja akan menimbulkan kerumitan dalam hal perannya serta melampaui wilayah kerjanya sendiri. Amnesti diberlakukan di Guatemala pada akhir 1996, kendatipun negara tersebut membiarkan begitu banyak kejahatan hak asasi manusia. Amnesti-amnesti sebelumnya di Guatemala mencegah penuntutan terhadap tindakan-tindakan sebelum 1987. Namun antara tahun 1987 dan 1996, terdapat begitu banyak pembunuhan, penghilangan, dan pelbagai kejahatan lainnya yang tidak bisa dicakupi dengas satu amnesti melainkan dengan tindakan kecil. Sebuah tim pengacara hukum internasional berbasis di Haiti untuk mendorong penuntutan dalam kasus-kasus kunci dalam tahun-tahun langsung setelah kudeta pemerintahan, namun dengan sedikiti kesuksesan. Tentang Haiti, lihat Michael P. Scharf, “Swapping Amnesty for Peace: Was There a Duty to Prosecute International Crimes International Crimes in Haiti?”, Texas International Law Journal 31 (196), hlm. 1-41. Pengadilan domestik untuk genosida 1994 di Rwanda hanya dimulai secara perlahan-lahan pada akhir 1996, setelah berlakunya sebuah undang-undang yang dimaksudkan untuk memfasilitasi proses penanganan sejumlah kasus yang luar biasa banyaknya ini, yang mendorong adanya pengakuan dengan imbalan pengurangan hukuman (“Hukum Organik 30 Agustus 1996 tentang organisasi penuntutan untuk penyerangan yang dinyatakan sebagai kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan sejak 1 Oktober 1990”). Pada tahun 1999, pemerintahan Rwanda merencanakan untuk menggunakan struktur dan praktik komunitas tradisional agar membantu dalam proses kategori yang lebih rendah dari kejahatan yang berkaitan dengan genosida. Pengadilan-pengadilan “Gacaca” ini, demikian mereka sering disebut, terdiri dari pertemuan kampung yang membolehkan komunitas membantu menentukan hukuman yang tepat bagi masing-masing pelaku, yang mungkin juga mencakupi pertimbangan soal pemulihan langsung bagi para korban. Untuk deskripsi lengkap tentang pengembangan jenis pengadilan ini, lihat Stef Vandeginste, “Justice, Reconciliation, and Reparation after Genocide and Crimes against Humanity: The Proposed Establishment of Popular Gacaca Tribunals in Rwanda”, paper dipresentasikan di All-Africa Conference on African Principles of Conflict Resolution and Reconciliation, Addis Ababa, 8 – 12 November 1999. Pembatasan yang ditimpakan pada kemampuan pasca-transisi untuk melakukan penuntutan tidak selalu dalam bentuk hukum amnesti. Sebagai contoh, pemerintahan apartheid terakhir di Afrika
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
7.
8. 9.
10. 11.
12. 13. 14.
15. 16. 17. 18.
19.
20. 21. 22. 23. 24.
25. 26.
Selatan mengesahkan sebuah undang-undang pada tahun 1992. Undang-undang tersebut memberikan kemerdekaan dan keamanan kedudukan kepada para jaksa penuntut umum yang diangkat oleh pemerintah apartheid (Undang-Undang tentang Jaksa Penuntut Umum). Undang-undang tersebut tampaknya memperkuat kedaulatan hukum dengan mengesampingkan keputusan untuk menuntut dari pengaruh politik, namun undang-undang tersebut justru di pihak lain mempersulit pemerintahan yang baru untuk mengganti orang-orang yang menentang atau menghalangi penuntutan terhadap para pelaku kejahatan di masa lalu. Lihat, sebagai misal, Michael P. Scharf, “The Letter of the Law: The Scope of the International Legal Obligation to Prosecute Human Rights Crimes”, Law and Contemporary Problems 59 (1996), hlm. 41-61; Diane Orentlicher, “Setting Accounts: The Duty to Prosecute Human Rights Violations of a Prior Regime”, Yale Law Journal 100 (1991), hlm. 2537-2618; Naomi Roht-Arriaza, ed., Impunity and Human Rights in International Law and Practice, Oxford: Oxford University Press, 1995; dan Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond the Nuremberg Legacy, Oxford: Oxford University Press, 1997. Lihat, sebagai misal, Juan E. Méndez, “Accountability for Past Abuses”, Human Rights Quarterly 19 (1995), hlm. 255-282. Untuk tinjauan tentang amnesti di Amerika Latin dan tentang respon legal internasional, lihat Douglas Cassel, “Leson from the Americas: Guidelines for International Response to Amnesties for Atrocities”, Law and Contemporary Problems 59 (1996), hlm. 197-230. Legislative Decree 486 (El Salvador), 20 Maret 1993. Sekretaris Jenderal Boutros Boutros-Ghali mengemukakan keprihatinannya bahwa hukum amnesti ditetapkan terlalu cepat, yang menyatakan bahwa “mestinya lebih dipilih jika amnesti telah dinyatakan setelah didapatkannya suatu konsensus nasional sebagai dukungan terhadapnya,” namun kebanyakan pengamat pemerintahan atau antar-pemerintahan tetap saja berdiam diri. Lihat “Report of the Secretary-General on All Aspects of ONUSAL’s Operation”, UN Doc.S/25812, 21 Mei 1993, hlm. 2. Untuk suatu bahasan yang lebih luas tentang hal ini, lihat Martha Doggett, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, dan Washington, DC: Georgetown University Press, 1993, hlm. 271-276. Michael Posner, Lawyers Committee for Human Rights, wawancara oleh penulis, 13 Maret 1996, New York. From Madness to Hope: Report of the Commission on the Truth for El Salvador, hlm. 178-179. Margaret Popkin, “Judicial Reform in Post-War El Salvador: Missed Opportunities”, paper dipresentasikan pada konferensi yang diadakan oleh Latin American Studies Association, 28-30 September 1995, hlm. 6-7. Thomas Buergenthal, wawancara dengan penulis, 14 Juni 1996, Washington, DC. Lawyers Committee for Human Rights, “El Salvador’s Negotiated Revolution: Prospects for Legal Reform”, New York: Lawyers Committee for Human Rights, Juni 1993, hlm . 74-75. Luis Moreno Ocampo, wawancara dengan penulis, 11 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. Pertama, hukum “Punto Final” (Full Stop), menetapkan tanggal pemutusan bagi inisiatif penuntutan terhadap kejadian-kejadian selama periode pemerintahan militer; hukum yang kemudian, hukum “Due Obedience” mencegah penuntutan bagi mereka yang mengklaim diri telah bertindak di bawah tekanan atau aturan yang lebih tinggi. Lihat Truth and Partial Justice in Argentina: An Update, New York: Human Rights Watch, 1991, hlm. 47-52. Jumlah pasti dari kasus-kasus yang diarahkan untuk dilakukan penuntutan tidak jelas. Laporan komisi mencakupi suatu daftar lebih dari empat puluh kasus yang diajukan kepad polisi atau kepada direktur penuntutan publik. Arthur Oder, wawancara dengan penulis, 10 Oktober 1996, Kampala, Uganda. Alfred Nasaba, wawancara dengan penulis, 14 Oktober 1996, Kampala, Uganda. George Kanyeihamba, wawancara dengan penulis, 11 Oktober 1996, Kampala, Uganda. Bart Katureebe, wawancara dengan penulis, 13 Oktober 1996, Kampala, Uganda. Untuk penggambaran lebih jauh tentang prinsip tanggung jawab komando, lihat Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities, hlm. 119-120; Michael P. Scharf, “Swapping Amnesty for Peace”, hlm. 33-34. Arthur Oder, wawancara. René Magloir, wawancara dengan penulis, 6 Desember 1995, Port-au-Prince, Haiti.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
27. 28.
29.
30.
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
43. 44. 45. 46. 47.
Francisco Cumplido, sekretaris jenderal University of Chile dan mantan menteri kehakiman di bawah Presiden Patricio Aylwin Azocar, wawancara dengan penulis, Desember 1996, Santiago, Cili. “Discurso de S.E. El Presidente de la Republica, Don Patricio Aylwin Azocar, al dar a Conocer a la Ciudadania El Informe de la Comisión de Verdad y Reconciliatión, 4 Maret 1991; diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Statement by President Aylwin on the Report of the National Commission on Truth and Reconciliation”, dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 169-173. Tentu saja kasus-kasus ini tidak selalu bisa ditangani dengan mudah. Beberapa anggota keluarga dari mereka yang hilang telah berupaya sebisa mereka dengan mengikuti prosedur yang ada, namun hasilnya tidak memadai. Pada tahun 1996, keinginan untuk membuat kasus-kasus tersebut tetap bisa dibuka akhirnya malah memudar, tergantung pada komitmen individual hakim yang menanganinya, dan sangat terpengaruh oleh kurangnya minat dan perhatian dari presiden saat itu yaitu Eduardo Frei. Keputusan Mahkamah Agung Cili didasarkan pada penalaran bahwa hingga mayat para korban itu ditemukan dan diidentifikasi, kejahatan yang dilakukan itu bukanlah pembunuhan melainkan penculikan, yang berarti bahwa kejahatan aslinya merupakan bagian dari kejadian atau peristiwa yang berlanjut yang terus terjadi melampaui batasan amnesti tahun 1978. Lihat Clifford Kraus, “Chilean Military Faces Reckoning for Its Dark Past”, New York Times, 3 Oktober 1999, A10. Ibid. Dullah Omar, wawancara dengan penulis, 27 Agustus 1996, Cape Town, Afrika Selatan. Wawancara dengan penulis, 7 November 1997, Afrika Selatan. Paul van Zyl, wawancara dengan penulis, November 1997, Johannesburg, Afrika Selatan. Robert Kogod Goldman, “Report to the Lawyers Committee for Human Rights on the Jesuit Murder Trial”, dalam Doggett, Death Foretold, lampiran C, hlm. 326. Ibid., hlm. 324, 328. Guatemala: Memory of Silence (Conclusions and Recommendation), hlm. 18-19. Report of the Chilean National Commission on Truth and Reconciliation, vol. I, hlm. 117-118. Ibid., hlm. 119. Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, hlm. 387. Ibid., 386-387. Report of the Commission of Inquiry into Violations of Human Rights: Findings, Conclusions and Recommendations, Kampala, Uganda: Commission of Inquiry into Violations of Human Rights, 1994, hlm. 234. From Madness to Hope, hlm. 121. Ibid., hlm. 178. Ibid., hlm. 172-173. Robert O. Weiner, “Trying to Make Ends Meet: Reconciling the Law and Practice of Human Rights Amnesties”, St. Mary’s Law Journal 26 (1995), hlm. 857-875. Ibid., hlm. 873-875.
Bab 8: Menyebutkan Nama Tertuduh 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
Promotion of National Unity Reconciliation Act (UndangUndang Pemajuan Kesatuan dan Rekonsiliasi Nasional ), UU No.34 of 1995, Afrika Selatan. Decreto 187/83, Argentina. Eduardo Rabossi, wawancara oleh penulis, Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. Graciela Fernandez Meijide, wawancara oleh penulis, Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. Kesaksian dari Luis Alberto Urquiza, dalam Nunca Más: Report of the Argentina National Commission on the Disappeared, hlm. 27-28. Kesaksian dari Martha Alvarez de Repetto, dalam Nunca Más (Argentina), Edisi Inggris, hlm. 53. Nunca Más: The Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, hlm. 7. “Los Cuplables son 1351”, tambahan khusus dari La Voz, 4 November, 1994. Daftar ini pertama kali dipublikasikan dalam mingguan El Periodista, 2 November 1984. Lihat juga “Conadep Decries Publication of ‘Oppressors’ List”, Foreign Broadcasting Information Service, 5 November, 1994. Juan Méndez, penutup dalam Horacuio Verbitsky, The Flight: Confessions of an Argentine Dirty Warrior, New York: The Press, 1996, hlm. 165. Jendral Jorge Rafael Videla, Admiral Eduardo
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
10.
11. 12. 13. 14.
15.
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
30. 31. 32. 33. 34.
Massera, dan Jendral Ramon Camps adalah pejabat senior dalam rezim militer dan semua telah dihukum karena penyiksaan dan telah menjalani beberapa tahun dalam penjara sebelum diampuni Calvin Sims, “Retired Torturer Now Lives a Torturer Existence”, New York Times, Agustus 12, 997, A4. Untuk gambaran tentang Alfredo Astiz dan beberapa pelaku lain yang dapat hidup bebas di Argentina, lihat Marguerite Feitlowitz, A Lexicon of Terror: Argentine and the Legacies of Torture, New York: Oxford University Press, 1998, terutama hlm. 227-28. Dekrit Tinggi No. 355 dari Cabang Eksekutif Cili, 25 April, 1990, Pasal 2. Gisela von Muhlenbrok, dalam perbincangan dengan penulis, 13 Maret, 1997, Washington, DC. Jorge Correa, wawancara oleh penulis, 26 November, 1996 Santiago, Cili. Karena mandat komisi memberikan kuasa untuk menyelidiki pembunuhan dan penghilangan namun tidak termasuk kasus-kasus penyiksaan bila korbannya selamat, maka kesaksian dari korban umumnya digunakan untuk menentukan orang-orang yang dipenjara bersama mereka namun tidak bertahan hidup dan juga untuk mengerti praktik-praktik umum dalam rumah-rumah tahanan. Para korban ini pada umumnya dapat mengenali orang yang menyiksa mereka namun tidak dapat mengidentifikasikan pembunuh orang lain. Halangan-halangan bagi demokrasi baru terlihat jelas ketika Jenderal Augusto Pinochet memperingatkan pemerintahan baru untuk tidak “touch a single hair of a single soldier” (menyentuh sehelai rambut dari satu prajurit pun), atau mengabaikan amnesti tahun 1978, kalau tidak ia akan mengulangi kejadian-kejadian bulan September 1973, ketika dia melakukan kudeta. “Chile: Editor’s Introduction”, dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 2, 454. Laura Novoa, wawancara oleh penulis, 2 Desember 1996, Santiago, Cili. Wawancara oleh penulis, 3 Desember 1996, Santiago, Cili. Ibid. Persetujuan oleh menteri pertahanan atau presiden dibutuhkan hanya untuk kenaikan pangkat ke tingkat yang paling senior di angkatan bersenjata Cili. Thomas Buergenthal, “The United Nations Truth Commission or El Salvador”, Vanderbilt Journal of Transnational Law 27 (1994), hlm. 520. Ibid., hlm. 520. Ibid., hlm. 520-21. Ibid., hlm. 521. From Madness to Hope: Report of the Commission on the Truth for El Salvador, hlm. 53. Ibid., hlm. 127. Ibid., hlm. 25. Buergenthal, “Truth Commission”, hlm. 529. Ibid., hlm. 522. Lihat “Report of the Secretary-General on the Implementation of the Recommendations of the Commission on the Truth”, UN Dok. S/26581, Annex, par. 5, 14 Oktober, 1993, yang menyatakan: “Analisis PBB menemukan bahwa hanya satu dari rekomendasi-rekomendasi Komisi, yakni diskualifikasi secara hukum dari memegang jabatan publik, tidak dapat diterapkan karena berbeda dengan ketentuan-ketentuan dasar dari Konstitusi dan bertentangan dengan rekomendasi lain yang dikeluarkan oleh Komisi tentang ratifikasi instrumen Hak Asasi Manusia yang mana di dalamnya menentukan bahwa warga negara tidak boleh dihilangkan hak politiknya dengan cara yang direkomendasikan oleh komisi tersebut”. Martha Dogget, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, and Washington: Georgetown University Press, 1993, hlm. 266. Juan E. Méndez, “Accountability foe Past Abuses”, Human Rights Quarterly 19 (1997), hlm. 265. George Vickers, dalam pembicaraan dengan penulis, Juni 1995, Washington, DC. Thomas Buergenthal, wawancara oleh penulis, 14 Juni 1996, Washington, DC. Lihat William Stanley, Risking Failure: The Problems and Promise of the New Civilian Police in El Salvador, Cambridge, MA: Hemispheric Initiatives, and Washington, DC: Washington Office on Latin America, 1993, hlm. 15. Menurut laporan ini, Letkol Manuel Antonio Rivas Mejía, yang adalah kandidat sub-direktur untuk polisi sipil nasional yang baru, “dikeluarkan dari nominasi setelah Komisi Kebenaran mengeluarkan hasil temuannya”. Laporan Komisi menyatakan bahwa Rivas Meija, pada saat itu menjabat sebagai kepala Komisi Penyelidikan Tindakan Kriminal, bertanggungjawab karena “menyembunyikan kebenaran” dan merekomendasikan penghancuran barang bukti
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
35. 36. 37.
38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47.
48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
57.
yang memberatkan pejabat-pejabat senior militer yang terlibat dalam pembunuhan Jesuit. Lihat From Madness to Hope, hlm. 46-47. “Report of the Secretary-General on the Implementation of the recommendations of the Commission on the Truth,” UN Dok. S/26581, Annex, par. 5, 14 Oktober, 1993. Wawancara penulis dengan aktivis lokal di Suchitoto, El Salvador, Maret 1996. Mzwai Piliso, kepala Departemen Intelijen dan Keamanan ANC di pertengahan 1980-an, memilih untuk bersaksi di depan Komisi walau ia memiliki pilihan untuk tidak melakukannya. “Tuan Piliso dengan terang-terangan mengakui partisipasi pribadinya dalam pemukulan terhadap tersangka pada tahun 1981. Suatu rencana pembunuhan anggota-anggota senior ANC tertentu telah diketahui dan para tersangka diinterogasi dalam kurun waktu dua minggu. Para tersangka dipukuli pada telapak kakinya disaksikan oleh Tuan Piliso. Bagian tubuh ini secara khusus dipilih, menurut Tuan Piliso, karena bagian tubuh yang lain ‘mudah robek’. Tuan Piliso membenarkan tindakan ini atas dasar bahwa ia menginginkan informasi dan ia menginginkannya, dalam kata-katanya sendiri, ‘dengan cara apa pun’”. Karena ketidaknyamanan tentang kegiatan departemen keamanan dan tuduhan penyiksaan, Tuan Piliso dibebastugaskan pada tahuun 1987 dan beberapa perubahan dilakukan dalam ANC. Lihat Reports of the Commission on Enquiry into Complaints by Former African National Congress Prisoners and Detainees, 1992, hlm. 61-62. Margaret Burnham, wawancara oleh penulis, 11 April 1997, Boston. Reports of the Commission of Enquiry into Certain Allegations of Cruelty and Human Rights Abuse Against ANC Prisoners and Detainees by the ANC, 20 Agustus 1993, hlm. v. “African National Congress National Executive Committee’s Response to the Motsuenyane Commission’s Report”, pernyataan dikeluarkan oleh ANC, 31 Agustus 1993, hlm. 7. Fanny Benedetti, mantan anggota staf komisi kebenaran Haiti, wawancara oleh penulis, 25 Maret 1997, New York. Ibid. Lihat bab 7 untuk inormasi lebih jauh tentang tanggung jawab komando. Si M Pa Rele … If I Don’t Cry Out …, Report of the National Commission for Truth and Justice, Haiti, 1996. Report of the Commission of Inquiry (Chad), sebagaimana disarikan dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 91. Hector Rosada, wawancara oleh penulis, 18 April 1996, Guatemala City. “Agreement on the Establishment of the Commission to Clarify Past Human Rights Violations and Acts of Violence that have Cause the Guatemalan People to Suffer”, UN Dok. A/48/954/S/1994/751, 23 Juni 1994. Christian Tomuschat, “Between National and International Law: Guatemala’s Historical Clarification Commission” Festschrift Jaenicke, Heidelberg: Springer, 1998. Hector Rosada, wawancara oleh penulis, 18 April 1996, Guatemala City. Antonio Arenales Forno, wawancara oleh penulis, 19 April 1996, Guatemala City. Guatemala: Memory of Silence (Conclusions and Recommendations), hlm. 38. Frank LaRue, wawancara melalui telepon oleh penulis, 28 Februari 1999. Promotional of National Unity and Reconciliation Act (UU Pemajuan Kesatuan dan Rekonsiliasi Nasional), UU No. 34 of 1995, Arika Selatan, bagian 30. Truth and Reconciliation Commission of South Africa Report, vol. 1, bab 7, bagian 21-76, 179-90, tentang kasus Van Rensburg dan Du Preez vs. Komisi Kebenaran. Dalam beberapa kasus, beberapa orang disebutkan tanpa sebelumnya diberitahukan kepada komisi; pemberitahuan dikirimkan setelah hal tersebut terjadi. Anggota komisi Richard Lyster, korespondensi dengan penulis, 23 November 1998. Seorang anggota staf senior memperkirakan bahwa mungkin 30 sampai 40 nama dihapus sebagai tanggapan terhadap jawaban-kawaban dari tersangka pelaku, dari beberapa ratus yang dinotifikasi, sebagian besar karena bukti yang dimiliki lemah atau sebagian berdasarkan informasi pihak ketiga yang tidak diusut, dan komisi memilih untuk tetap berada pada sisi yang berhati-hati. Anggota komisi Richard Lyster menjelaskan mengapa syarat-syarat ini sangat membatasi.: Hal ini menempatkan beban besar di pundak Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Semua nama yang tersebut dalam teks laporan ini, walaupun hanya selintas, memiliki hak untuk mendapatkan peringatan bagian 30, menggambarkan rincian apa yang dikatakan sebagai
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
tindakan yang telah ia lakukan (ia tidak perlu dituduh telah melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia, ia hanya perlu disebutkan kekurangannya), dengan bukti dan pernyataan pendukung, dsb. Katakanlah bahwa seseorang sedang membuat rancangan laporan tentang penculikan aktivis ANC dari Swaziland. Terdapat banyak materi terperinci dan kaya tentang hal semacam ini, dari para askaris (penkhianat atau mata-mata) yang telah bertobat, dan khususnya mereka yang sedang meminta amnesti, polisi keamanan cabang yang telah melaksanakan penculikan dan kemudian menyiksa dan membunuh para aktivis. Mereka menyebutkan dalam pernyataan mereka banyak orang kepada siapa mereka bergantung untuk penyediaan informasi atau bantuan: warga Swazi, polisi dan politisi konservatif, aktivis ANC yang telah rusak dan menjual mitra mereka, orang-orang yang mereka (polisi keamanan) telah intimidasi melalui penyiksaan dan ancaman terhadap diri maupun keluarga mereka agar memenuhi permintaan mereka. Singkatnya, kisah penculikan seorang aktivis ANC, sekembalinya ia ke Afrika Selatan, kemudian disiksa selama suatu periode waktu yang panjang dan akhirnya dibunuh dan dikubur secara rahasia, melibatkan banyak orang yang memainkan peranan kecil, semua dengan caranya sendiri bekerja-sama dengan polisi, secara sukarela ataupun di bawah paksaan, untuk mencapai tujuan utama yaitu menangkap seseorang, menculiknya, membawanya secara ilegal melampaui perbatasan, menyembunyikannya pada suatu peternakan rahasia, menyiksanya dan membunuhnya. Terkadang kita mendapatkan 30 nama orang yang telah berperan dalam suatu peristiwa. Semuanya disebutkan dengan cara yang dapat memberatkan mereka sehingga mereka berhak untuk mendapatkan pemberitahuan dengan informasi terlampir. Umumnya kami tidak tahu di mana mereka berada, dan oleh karena itu nama mereka harus dihapus dari laporan. Lyster, korespondensi dengan penulis, 18 November, 1998. 58. 59. 60. 61. 62.
63. 64.
65. 66.
67. 68. 69. 70. 71. 72. 73.
John Daniel, korespondensi dengan penulis, 18 November, 1998. Setelah Komisi Amnesti menyelesaikan kerjanya, komisi tersebut akan menyerahkan laporan tambahan untuk menyimpulkan inormasi dari proses-proses akhir ini. Lyster, korespondensi, 29 November, 1998. Truth and Reconciliation Commission of South Africa, Africa Report, vol. 5, bab 8, bagian 14, hlm. 309. Komisi telah menyimpulkan bahwa de Klerk adalah pihak yang turut membantu terjadinya suatu kejahatan karena ia tidak melaporkannya kepada yang berwajib ketika ia mengetahuinya. De Klerk tidak menyanggah ia diberitahu tentang kejahatan tersebut, namun tetap bertahan bahwa ia tidak wajib untuk melaporkannya karena para pelaku segera mengajukan permohonan untuk amnesti. Jaun E. Méndez, wawancara oleh penulis, 22 Maret 1996, Notre Dame, IN. Dalam beberapa wawancara, misalnya, Direktur Eksekutif Human Rights Watch, Kenneath Roth, dan Presiden Open Society Institute, Aryeh Neier, setuju bahwa nama-nama harusnya disebutkan oleh Komisi dengan tindakan-tindakan pengamanan dasar. Report of the Chilean National Commission on Truth and Reconciliation, hlm. xxxii. Human Rights Program di Harvard Law School dan World Peace Foundation, Truth Commission: A Comparative Assessment, Cambridge, MA: Harvard Law School Human Rights Program, 1997, hlm. 30. José Zalaquett, wawancara oleh penulis, 20 November1996, Guatemala City. José Zalaquett, korespondensi dengan penulis, 2 Desember 1998. Douglass Cassel, “International Truth Commission and Justice,” Aspen Institute Quarterly 5, No. 3 (1993), hlm. 83-84. José Zalaquett, korespondensi dengan penulis, 29 Oktober1998. Human Rights Watch, “Recommendations to the Truth and Reconciliation Commission,” Januari 1998, 4. Laporan ini ditulis oleh peneliti Human Rights Watch, Bronwen Manby. Ibid., hlm. 5. Black’s Law Dictionary mendefinisikan preponderance of evidences sebagai “barang bukti yang lebih memberatkan atau lebih meyakinkan dari barang bukti yang diajukan untuk menyanggahnya; yakni barang bukti yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa fakta yang hendak dibuktikan kemungkinan besar lebih dari satu” Black’s Law Dictionary, St. Paul: West Publishing, 1991.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
74. 75.
Truth and Reconciliation Commission of South Africa Report, vol. 1, bab 4, bagian 155-91. From Madness to Hope, hlm. 25.
Bab 9: Sembuh dari Masa Lalu 1. 2.
Horacio Verbitsky, wawancara oleh penulis, 10 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. Hal tentang Francisco Scilingo dipublikasikan dalam Horacio Verbitsky, The Flight Confessions of an Argentine Dirty Warrior, New York: The New Press, 1996. 3. Beberapa orang lebih menyukai penggunaan kata survivor (yang selamat) menggantikan kata victim (korban), untuk menggambarkan keadaan yang lebih menguatkan dan tidak pasif dari mereka yang selamat melalui kekerasan yang parah. Saya lebih cenderung memakai kata victim, tanpa maksud untuk menggambarkan hal negatif, melainkan untuk mencerminkan kata yang sering digunakan oleh komisi-komisi ini dan juga untuk menghindari kebingungan yang dapat ditimbulkan dengan penggunaan kata survivor dalam artian seorang anggota keluarga dari seseorang yang terbunuh. 4. Thulani Grenville-Grey, wawancara oleh penulis, 28 Oktober 1997, Johannesburg, Arika Selatan. 5. Brandon Hamber, “Do Sleeping Dog Lie? The Psychological Implications of the Truth and Reconciliation Commission in South Africa”, seminar dipresentasikan di Centre for the Study of Violence and Reconciliation, Johannesburg, 26 Juli 1995, hlm. 4-5. 6. Judith Lewis Herman, Trauma and Recovery, New York: Basic Books, 1992, hlm. 1. 7. Yael Danieli, “Preliminary Reflections from a Psychological Perspective”, dalam Theo van Boven, Cees Flinterman, Fred Grünfeld, dan Ingrid Westendorp, eds., Seminar on the Rights to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms, Netherlands Institute of Human Rights, Maastricht, Maret 11-15, 1992, hlm. 198. Lihat juga Yael Danieli, ed., International Handbook of Multigenerational Legacies of Trauma, New York: Plenum Press, 1998, hlm. 4-6. 8. Misalnya, lihat Patricia K. Robin Herbst, “From Helpless Victim to Empowered Survivor: Oral History as a Treatment for Survivors of Torture”, Refugee Women and Their Mental Health 13 (1992), hlm. 141-54; Adrianne Aron, “Testimonio: A Bridge between Psychotherapy and Sociotherapy”, Refugee Women and Their Mental Health 13 (1992), hlm. 173-89; dan Ana Julia Cienfuegos dan Christina Monelli, “The Testimony of Political Repression as a Therapeutic Instrument”, American Journal of Orthopsychiatry 53 (1983), hlm. 43-51. 9. Fernando Moscoso dan Juan Alberto Chamale Gomez, Tim Forensik Antropologi Guatemala, wawancara oleh penulis, 18 April 1996, Guatemala City. 10. Marcie Mersky, Kantor Hak Asasi Manusia Keuskupan Guatemala, wawancara oleh penulis, April 19, 1996, Guatemala City. 11. Kelompok lobi ini dibentuk menjadi Khulumani (Bicaralah – Speak Out). Brandon Hamber, wawancara oleh penulis, Agustus 1997, Cape Town, Arika Selatan. 12. Brandon Hamber, “The Burdens of Truth: An Evaluation of the Psychological Support Services and Initiatives Undertaken by the South Africa Truth and Reconciliation Commission”, makalah dipresentasikan di Third International Conference of the Ethnic Studies Network, Derry, Irlandia Utara, 26-28 Juni 1997, bagian 4.2. 13. Elizabeth Lira, wawancara oleh penulis, 20 November 1996, Santiago, Chili. 14. Pendeta S.K. Mbande, Anglican Church of Christ the Redeemer, wawancara oleh penulis (bersama dengan Boniwe Mafu dan Lebo Molete), 25 Oktober 1997, Daveyton, Afrika Selatan. 15. Sylvia Dlomo-Jele, wawancara oleh penulis, 26 Oktober 1997, Soweto, Afrika Selatan . 16. Sylvia Dlomo-Jele meninggal bulan 13 Maret 1999. Peringatan oleh Centre for the Study of Violence and Reconciliation, Johannesburg. 17. Piers Pigou, “Amnesty for Sicelo Dlomo’s Killers”, Daily Mail and Guardian (South Africa), 14 April 2000. 18. Simpson Xakeka, wawancara oleh penulis, 27 Oktober 1997, Johannesburg, South Africa (terjemahan dari bahasa Zulu oleh Lebo Molete). 19. Lauren Gilbert, korespondensi dengan penulis, 22 Desember 1997. 20. Brandon Hamber, wawancara. 21. Judith Lewis Herman, wawancara melalui telepon oleh penulis, 2 Agustus 1996.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
22.
23. 24.
25. 26.
27. 28. 29. 30.
31. 32. 33. 34.
35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
42.
43. 44. 45. 46.
Buku referensi standar psikologi, Diagnostic and Statistical Manual, merujuk gejala PTSD mencakup “rekoleksi kejadian terus menerus yang sangat mengganggu”; “kurangnya ketanggapan terhadap dunia luar atau ‘mati rasa secara mental’”; sulit tidur; sulit berkonsentrasi atau menyelesaikan tugas; agresi dan gejala-gejala lain”. Lihat American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat, Washington, DC: American Psychiatric Association, 1994, hlm. 424-29. Michael Lapsley, wawancara oleh penulis, 1 Mei 1997, New York. Marius Schoon, dikutip dalam Tony Freemantle, “Confession Reignites a Smoldering Pain: Anger Flares as Man Learns Identify of Assassin Who Killed his Family”, Houston Chronicle, 18 November 1996, A13. Marius Schoon berencana untuk secara formal menentang permohonan amnesti Craig Williamson, namun Schoon meninggal karena kanker sebelum persidangan amnesti dimulai. Beberapa orang percaya bahwa stres yang disebabkan oleh kasus ini telah memperburuk kondisinya. Wawancara penulis dengan Margaret dan Albert “Mandla” Mbalekelwa, 18 Agustus 1996, Sebokeng, South Africa; terjemahan dari bahasa Zulu oleh Wally Mbhele. Ketakutan akan balas dendam ada dalam konteks kekerasan politik antar-komunitas antara African National Congress dan Inkatha Freedom Party, suatu konflik yang berlangsung lama setelah apartheid berakhir dan pemilihan demokratis dimulai. Hal ini dinyatakan oleh Joseph Dube, 26 Oktober 1996, Suweto, Arika Selatan. Suzanne Daley, “In Apartheid Inquiry, Agony Is Relived but Not Put to Rest,” New York Times, 17 Juli 1997, A1. Grenville-Grey, wawancara oleh penulis, 1997. Brandon Hamber, “Dealing with the Past and the Psychology of Reconciliation: The Truth and Reconciliation Commission, a Psychological Perspective”, makalah dipresentasikan di International Symposium on the Contributions of Psychology to Peace, 27 Juni 1995, hlm. 6. Thulani Grenville-Grey, wawancara oleh penulis, Johannesburg, 13 Agustus 1996, Cape Town, South Africa. Hamber, “The Burden of Truth”, bagian 4.1. Angka yang dikutip adalah data paling akhir sampai dengan tahun 1997. Ilídio Silva, wawancara oleh penulis, 19 September 1996, Maputo, Mozambique. Cécile Rousseau dan Aline Drapeau, “The Impact of Culture on the Transmission of Trauma: Refugees’ Stories and Silence Embodied in Their Children’s Lives”, dalam Yael Danieli, International Handbook, hlm. 465-86. Herman, wawancara oleh penulis. Tlhoki Mofokeng, Centre for the Study of Violence and Reconciliation, wawancara oleh penulis, 28 Oktober 1997, Johannesburg, Arika Selatan. Banyak orang juga menyatakan hal yang sama. Pendeta S.K. Mbande, wawancara. Herman, Trauma and Recovery, hlm. 1. Fanny Benadetti, wawancara oleh penulis, 25 Maret 1997, New York. American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual, hlm. 424-25, 428. Report of the Commission of Inquiry, Chad sebagaimana disarikan dalam Kritz, Tansitional Justice, vol. 3, 54. Harus dicatat bahwa setidaknya satu Komisi Kebenaran menghadapi masalah yang sama. Ketika Komisi Chili pergi ke luar ibu kota, Komisi bertemu dengan korban dan keluarga dari orang yang hilang di gedung-gedung kabupaten, tempat yang sering digunakan sebagai rumah tahanan dan pusat interogasi selama masa kediktatoran. Lihat Human Rights Watch, Human Rights and the “Politics of Agreement”; Chile during President Aylwin’s First Year, New York: Human Rights Watch, 1991, hlm. 20. Jon Cortina, dalam pembicaraan dengan penulis, 12 April 1996, San Salvador. Komisi di El Salvador kemudian membuka kantor-kantor di luar ibu kota selama jangka waktu yang pendek untuk menyediakan akses yang lebih mudah bagi mereka yang hidup jauh dari ibu kota. “TRC Leaves Deep Scars on Staff”, Mail and Guardian (South Africa), 12 Desember 1997. Lauren Gilbert, korespondensi dengan penulis, 22 Desember 1997. Ibid. Antjie Krog, “Overwhelming Trauma of the Truth”, Mail and Guardian (South Africa), 24 Desember 1996, 10. Untuk eksplorasi lebih jauh dari Antjie Krog, lihat bukunya berjudul Country of My Skull, New York: Random House, 1999.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
47.
Tom Winslow, Trauma Centre for Victims of Violence and Torture, wawancara oleh penulis, 27 Agustus 1996, Cape Town, Afrika Selatan.
Bab 10: Memandang ke Masa Depan 1. 2.
3. 4. 5.
6.
7. 8. 9.
10. 11. 12.
“Reconcile”, The Oxford English Dictionary, 2nd ed., vol. 13, Oxford: Clarendon Press, 1989, hlm. 352-53. Louis Kriesberg, “Paths to Varieties of International-Communal Reconciliation”, makalah dipresentasikan di the Seventeenth General Conference of the International Peace Research Association, Durban, South Africa, 22-26 Juni, 1998. Dalam percakapan penulis dengan anggota Komisi Amnesti, November 1997, Poert Elizabeth, South Africa. “Only Half of People Feel TRC Is fair and Unbiased: Survey”, South Africa Press Association, 5 Maret 1998. Namun beberapa analis mencatat bagaimana pemungutan suara tersebut menunjukkan bahwa sikap publik sangat terbagi menurut garis ras. Sementara hampir 90% kulit putih “sangat tidak setuju atau cenderung tidak setuju” bahwa Komisi ini akan mendekatkan kedua ras, 54 persen kulit hitam “sangat setuju atau cenderung setuju” bahwa kini kedua ras dapat berhubungan dengan lebih harmonis, dengan 24% lainnya mengambil posisi netral. Sebagaimana editor politik Business Day menyimpulkan, “Interferensinya adalah walaupun kulit putih dan kulit hitam setuju bahwa Komisi ini telah membuat orang marah mereka sangat berbeda pandangannya tentang apakah komisi ini telah memajukan perjuangan untuk rekonsiliasi. Tidak perlu ada kontradikis di sini,” ia menjelaskan. Karena mayoritas pengungkapan berhubungan dengan kejahatan pasukan keamanan kulit putih terhadap aktivis kulit hitam, kaum kulit putih “menggambarkan ketakutan dan ketidaknyamanan moral terhadap kemarahan kulit hitam yang dianggap akan terjadi”. Artikel ini berlanjut dengan menyatakan, “Mereka benar, sebagaimana dikonfirmasikan oleh responden kulit hitam. Akan sangat mengejutkan apabila kaum kulit hitam tidak marah ketika mendengar pengungkapan fakta bahwa pemerintah telah berusaha untuk mengembangkan program kimia untuk membatasi kesuburan kulit hitam, atau bahwa polisi kulit putih memasak daging di atas api sambil mengkremasi tubuh seorang anak muda kota dengan api di dekatnya. Namun yang mengagumkan adalah bahwa hampir 80 persen responden kulit hitam MRA tidak melihat pengungkapan fakta semacam itu sebagai hambatan yang tak dapat diatasi dalam mencapai pengertian antar-ras dan bahwa separuh percaya bahwa ‘rakyat Afrika Selatan sekarang akan dapat hidup bersama dengan lebih mudah’”. Drew Forrest, “Body Has Served National Reconciliation”, Business Day (Arika Selatan), 3 Agustus 1998. Truth and Reconciliation Commission of South Africa Report, vol. 5, bab 9, bagian 130, hlm. 423-28. Paragraf ini disarikan dari laporan Hugo van der Merwe, “The South Africa and Reconciliation Commission and Community Reconciliation”, Johannesburg: Centre for the Study of Violence and Reconciliation, 1998. Angus Stewart, berkorespondensi dengan Howard Varney, 29April 1998, tentang kejadian Esikaweni di Richards Bay. Dalam dokumentasi penulis. Alejandro Gonzalez, wawancara oleh penulis, November 1996, Santiago, Chili. Ketika proses sidang ekstradisi Pinochet sedang berlangsung di London, misalnya, harian bisnis konservatif La Estrategia memuat dalam editorialnya, “Pendukung Pinochet, baik itu di Cili maupun di Inggris, telah melakukan usaha-usaha yang cukup untuk memberitahukan kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi di negara kita pada tahun-tahun sebelum dan sesudah pengambilalihan yang dilakukan militer pada tahun 1973, menentang kampanye internasional yang dilakukan kaum Sosialis dan Komunis yang ditentang oleh Jenderal Pinochet dan militer. Beberapa hal telah menjadi jelas tentang tujuan Unidad Popular [koalisi kiri Salvador Allende yang diturunkan oleh kudeta tersebut] guna menerapkan pemerintahan Marxis di negara kita, suatu tujuan ilegal yang menyebabkan pemerintahan tersebut jatuh, infiltrasi ektremis asing ke dalam negara kita. Kesuksesan politik, sosial dan ekonomi dari pemerintahan militer juga semakin diketahui”. “The Pinochet Case Is on a Good Track”, editorial, La Estrategia, 26 Januari 1999, n.p. Horacio Verbitsky, wawancara oleh penulis, 10 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. Patricia Valdez, wawancara oleh penulis, 13 Desember 1996, Buenos Aires. Juan Méndez, wawancara oleh penulis, 22 Maret 1996, Notre Dame, IN.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
13.
Human Rights Watch, Truth and Partial Justice in Argentina: An Update, New York: Human Rights Watch, 1991, hlm. 69. 14. Manouri Kokila Muttetuwegama, kepala Commission of Inquiry into the Involuntary Removals and Disappearances of Persons in the Western, Southern, and Sabaragamuwa Provinces of Sri Lanka (Komisi Penyelidikan Penyingkiran dan Penghilangan Manusia Secara Paksa di Provinsi Barat, Selatan dan Sabaragamuwa di Sri Lanka), wawancara oleh penulis, 18 September 1998, Brigthon, England. 15. Gambaran tentang bagaimana rekonsiliasi dapat terjadi, dan juga suatu bagian tentang faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya rekonsiliasi, pertama kali dipublikasikan dalam bentuk yang lebih panjang dalam Priscilla B. Hayner, “In Pursuit of Justice and Reconciliation: Contributions of Truth Telling”, Cynthia J. Arnson, ed., Comparative Peace Processes in Latin America, Washington, DC: Woodrow Wilson Center Press, and Stanford, CA: Stanford University Press, 1999, hlm. 363-83. 16. The Oxford English Dictionary, 2nd ed., vol. 13, Oxford: Clarendon Press, 1989, hlm. 353. 17. Kader Asmal, Louise Asmal, and Ronald Suresh Roberts, Reconciliation through Truth: A Reckoning of Apartheid’s Criminal Governance, Cape Town: David Philip, 1996, hlm. 46. 18. Ibid., hlm. 47. 19. Mauricio Vargas, wawancara oleh penulis, April 1996, Santiago Salvador. 20. Mahmood Mamdani, “Degrees of Reconciliation and Forms of Justice: Making Sense of the African Experience”, makalah dipresentasikan di konferensi Justice or Reconciliation? di Center for International Studies, University of Chicago, 25-26 April, 1997, hlm. 6. 21. Truth and Reconciliation Commission of South Africa Report, vol. 5, bab 9, bagian 152, hlm. 435. 22. Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh tentang penerapan reformasi hukum, lihat Jack Spence, Davis R. Dye, Mike Lanchin, Geoff Thale, and George Vickers, Chapúltepec: Five Years Later, Cambridge, MA: HemispherenInitiatives, 1997, hlm. 19-20. 23. Kerangka Acuan bagi Komisi El Salvador, ditandatangani oleh pemerintah dan oposisi bersenjata dalam perjanjian perdamaian, dengan singkat menyatakan bahwa “Para pihak berusaha untuk menjalankan rekomendasi-rekomendasi komisi.” Lihat “Annex to the Mexico Agreements: Commission on the Truth”, UN Dok.S/25500, 27 April 1991, Pasal 10. 24. Jeff Thale, Washington Office on Latin America, wawancara oleh penulis, 4 Februari 1998, Washington, DC. 25. Margaret L. Popkin, Peace without Justice: Obstacles to Building the Rule of Law in El Salvador, University Park: Pennsylvania State University Press, 2000, hlm. 161. 26. Report of the Commission of Inquiry into Violations of Human Rights: Findings, Conclusions and Recommendations, Uganda, Oktober 1994, hlm. 584. 27. Undang-Undang tentang Kebenaran dan Rekonsiliasi Sierra Leone, 2000, Pasal 17. 28. Law Creating the National Corporation for Reparation and Reconciliation, Law No. 19, 123, Cili, 31 Januari 1992, dicetak ulang dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 685-95.
Bab 11: Reparasi atas Kejahatan Negara 1.
2.
3.
4. 5.
Lihat “United Nations Commission on Human Rights: Study concerning the Rights to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms: Final Report, “Theo van Boven, rapporteur, UN Dok.E/CN.4/Sub.2/1993, 8 Juli 1993. Gambaran rinci tentang program reparasi Cili dan harga totalnya dilaporkan dalam Corporación Nacional de Reparación y Reconciliación, Informe Sobre Calificación de Victimas de Violaciones de Derechos Humanos y de la Violencia Política, Santiago: Corporación Nacional de Reparación y Reconciliación, 1996, hlm. 595-602. Semua jumlah keuangan dilaporkan di sini dalam dolar AS. Law Creating the National Corporation for Reparation and Reconciliation (Undang-Undang Pembentukan Kerja Sama Nasional untuk Reparasi dan Rekonsiliasi), UU No. 19, 123, Chile, 31 Januari 1992, Pasal 17, dicetak ulang dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 685-95. Patricia Verdugo, wawancara oleh penulis, 30 November 1996, Santiago, Cili. Carla Pellegrin Friedman, wawancara oleh penulis, 3 Desember 1996, Santiago, Cili. Pembayaran reparasi tidak dibayarkan kepada saudara kandung korban; dalam hal ini keluarga Pellegrin, cek bulanan akan dibayarkan kepada anak perempuan korban, keponakan Carla Pellegrin, sampai ia berumur 25 tahun.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
6.
Program of Reparation and Integral Health Care (Program Reparasi dan Pemeliharaan Kesehatan Integral-dikenal dengan singkatan bahasa Spanyolnya, PRAIS), dijalankan melalu Menteri Kesehatan, tidak mendapatkan banyak perhatian; banyak korban menyatakan pada saya bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan program ini. Sampai pada tahun 1995, setelah beroperasi selama lima tahun, hanya 693 orang yang telah menggunakan pelayanannya, termasuk anggota keluarga dari mereka yang hilang dan yang selamat dari penahanan dan penyiksaan. Lihat Corporación Nacional de Reparación y Reconciliación, hlm. 601. 7. Andres Dominguez Vial, Sekretaris Eksekutif National Corporation for Reparation and Reconciliation, wawancara oleh penulis, 27 November 1996, Santiago, Cili. 8. Jumlah kasus yang diserahkan kepada komisi oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan bukan melalui kesaksian langsung dapat dilihat di daftar korban terakhir yang dipublikasikan sebagai bagian apendiks laporan Nunca Más Argentina. Nama para individu yang didaftarkan tanpa nomor kasus diserahkan kepada komisi secara tida langsung; dan yang disertai nomor kasus (kira-kira dua di antara tiga nama) dicatat dari kesaksian langsung kepada Komisi. 9. UU No. 24, 411, Argentina, 7 Desember 1994, yang mengatur soal ketentuan reparasi ini. 10. Dekrit 10/91, Argentina, 10 Januari 1991. Dekrit ini dan dekrit-dekrit yang dikeluarkan setelahnya mensahkan pembayarkan kepada kira-kira dua ratus mantan tahanan politik yang telah mengikuti proses hukum sebelum 10 Desember 1985 (yakni selama dua tahun pertama dari pemerintahan demokratis). Kasus-kasus yang dibawa ke Inter-American Commission (Komisi Antar-Amerika) dan penyelesaian bersahabat dengan pemerintah Argentina digambarkan dalam Annual report of the InterAmerican Commission of Human Rights, 1992-93, OEA/Ser.L/V/II. 83, dok. 14, corr.1, 12 Maret 1993, 35-40. Informasi tentang program-program reparasi juga didapatkan dalam wawancara melalui telepon oleh penulis dengan Alejandro Kawabata (Pembela hukum dari para pemohon sebelum InterAmerican Commission), Columbia University School of Law, 16 Februari 1998. Lihat juga Human Rights Watch, World Report 1992, New York: Human Rights Watch, 1992, hlm. 141; dan Human Rights Watch, Truth and Partial Justice in Argentina: An Update, New York: Human Rights Watch, 1991, hlm. 70-71. 11. Mereka yang dianggap memenuhi syarat untuk reparasi adalah (1) mereka yang ditahan di bawah National Executive Authority (Kewenangan Eksekutif Nasional) (tahanan politik yang ditahan tanpa pengadilan); (2) warga sipil yang dipenjara atas perintah pengadilan militer; dan (3) mereka yang pada kurun waktu tertentu menghilang (dipenjara tanpa diakui oleh pihak yang berwajib) yang kasusnya dilaporkan pada saat itu atau yang kemudian memberikan kesaksian kepada Komisi Kebenaran Argentina. Periode yang dicakup diperpanjang sampai dua minggu setelah kudeta militer tahun 1976, dari tanggal status darurat diberlakukan di bawah pemerintahan yang lalu. Lihat UU No. 24, 043, Argentina, November 27, 1991, dicetak ulang dalam Kritz, Transitional Justice, vol. 3, hlm. 667-69. 12. Reparasi untuk mereka yang dipaksa mengungsi tidak dijabarkan secara eksplisit dalam UU tersebut, melainkan lahir dari interpretasi administratif yang dilakukan oleh Kantor Hak Asasi Manusia pemerintah dan penasihat hukum Menteri Dalam Negeri, Juan Méndez, korespondensi dengan penulis, 13 Februari 1998. 13. Ibid. 14. Pada bulan April 1992, misalnya, suatu pengadilan menyerahkan $250,000 untuk “kerusakan moral” bagi ayah dari seorang siswa muda Swedia, Dagmar Ingrid Hagelin, yang hilang di Argentina selama “perang kotor”. Lihat “Fuerte indemnización por una desparecida, “Clarin, 4 April 1992. Pada bulan November 1994, pengadilan federal distrik memberikan $3 juta untuk satu-satunya yang selamat dari keluarga yang terdiri dari lima orang yang hilang di tangan pemerintah ($2 juta akan dibayar oleh mantan admiral angkatan laut yang sebelumnya terbukti menyebabkan penghilangan manusia dan $1 juta oleh negara). Lihat “Condenan al Estado, a Massera y a Lambruschini pagar 3 millones”, Clarin, 18 November 1994, hlm. 15. Setelah lima tahun menjalani proses naik banding akhirnya ganti rugi tersebut ditetapkan sebanyak $1¼ juta, yang kewajiban membayarnya akan dibagi antara Emilio Massera dan negara Argentina; Armando Lambruschini akhirnya dilepaskan dari tuntutan. Lihat Noga Tarnopolsky, “The Family That Disappeared, “New Yorker, 15 November 1999, hlm. 48-57. 15. UU No. 24,411, Argentina, 7 Desember 1994. 16. UU No. 24,321, Argentina, 11 Mei 1994.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
17.
UU No. 24,321 juga mengizinkan keluarga yang telah menyatakan bahwa seorang dari anggota keluarganya “menghilang dengan diduga telah mati” untuk mengubah statusnya menjadi “dihilangkan secara paksa”. 18. Wawancara oleh penulis dengan staf Human Rights Office of the Ministry of the Interior, 11 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. 19. Mercedes Meroño, Mardes de la Plaza de Meio, wawancara oleh penulis, Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. 20. Wawancara oleh penulis with Hlengiwe Mkhize, ketua Reparation and Rehabilitation Committee of the Truth and Reconciliation Commission, Johannesburg, South Africa; dan wawancara-wawancara melalui telepon dengan Thulani Grenville-Grey, anggota staf komisi dan Farouk Hoosen, direktur President’s Fund, Juni 1999. 21. Si M Pa Rele …If I Don’t Cry Out …, Report of The National Commission for Truth and Justice, Haiti, 1996, hlm. 285. 22. From Madness to Hope: Report of the Commission on the Truth for El Salvador, hlm. 186. 23. Untuk gambaran tentang program reparasi nasional, lihat “United Nations Commission on Human Rights: Study Concerning the Rights to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms: Final Report”, Theo van Boven, rapporteur. UN Dok. E/CN.4/Sub.2/1993, 8 Juli 1993. 24. Untuk mendapatkan tinjauan tentang program reparasi bagi korban Perang Dunia II lihat Christian Pross, Paying for the Past: The Struggle over Reparations for Surviving Victims of the Nazi Terror, terj. Belinda Cooper, Baltimore: John Hopkins University Press, 1998. Lihat juga kesimpulan dalam van Boven, “United Nation Commission,” par. 107-11 dan par. 125, sebagaimana disarikan dalam Kritz, Transitional Justice, vol.1, hlm. 536-38, 543. 25. Lihat UU No. 9, 140, Brazil, 4 Desember 1995. Komisi ini juga memiliki kewenangan untuk menyelidiki ketiga kasus penghilangan manusia tersebut, dan mengawasi beberapa penggalian mayat yang dilakukan Tim Antroplogi Forensik Argentina. 26. Reparasi juga dibayarkan kepada keturunan dari mereka yang selamat dan masih hidup ketika tancangan undang-undang tersebut disahkan. Lihat pembahasan singkat dalam bab 2. 27. Lihat van Boven, “United Nations Commission”. Sebagai tambahan, beberapa individu telah mendapatkan kompensasi melalui penuntutan di pengadilan nasional atau forum internasional, misalnya melalui Inter-American Commission on Human Rights atau the Inter-American Court on Human Rights (Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika), namun putusan-putusan ini hanya berpengaruh pada sebagian kecil dari mereka yang terlibat kasus ini secara langsung dibandingkan dengan besarnya jumlah orang yang tercakup dalam program reparasi nasional.
Bab 12: Membiarkan Masa Lalu Sebagaimana Adanya 1.
2.
3. 4.
The Policy Statement on Impunity of Amnesty International (Pernyataan Kebijakan Amesty International tentang Impunitas) menyatakan bahwa “harus ada penyelidikan yang menyeluruh tentang tuduhan pelanggaran hak asasi amnusia” dan bahwa “kebenaran tentang pelanggaran harus terungkap”. The Policy Statement on Accountability for Past Abuses of Human Rights Watch (Pernyataan Kebijakan Human Rights Watch tentang Pertanggungjawaban Pelanggaran Masa Lalu) menyatakan bahwa terdapat “kewajiban untuk menyelidiki” dan berargumentasi bahwa “cara yang paling penting dalam menegakkan pertanggungjawaban adalah dengan pemerintah mengungkapkan semua yang dapat dengan terpercaya ditegakkan tentang pelanggaran berat hak asasi manusia”. Lihat Kritz, Transitional Justice, vol. 1, hlm. 219, 217. Wilder Tayler, wawancara oleh penulis, New York. Menurut staf lain, pada praktiknya Human Rights Watch juga secara umum mempertimbangkan preferensi lokal dan tidak akan mendesak diterapkannya suatu kebijakan dalam suatu negara bila ditentang oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia lokal. Nick Howen, mantan direktur hukum Amnesty International, wawancara oleh penulis, 9 Juli 1997, London. “Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity”, Louis Joinet, rapporteur. UN Doc E/CN.4/Sub.2/1997/20/Rev. 1, Annex II, 2 Oktober 1997, Principle 1.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
5. 6. 7.
8.
9.
10. 11. 12.
13.
14.
15.
16. 17.
18. 19. 20.
21. 22. 23.
Ibid., Principle 2. Richard Carver, wawancara melalui telepon oleh penulis, 17 Agustus 1999. Spanyol adalah salah satu contoh negara yang menunjukkan sedikit keinginan untuk menyelidiki kejahatan masa lalu, setelah wafatnya Jenderal Francisco Franco dan beberapa abad pemerintahan represifnya. Para komentator menilai bahwa telah banyaknya tahun berlalu setelah pelanggaran yang paling berat dilakukan adalah alasan paling utama dari kurangnya ketertarikan untuk menjelajahi masalah ini. Untuk informasi lebih lanjut tentang negosiasi-negosiasi perdamaian ini dan hal-hal yang terkait, lihat Jeremy Armon, Dylan Hendrickson, dan Alex Vines, eds., Conciliation Resources: The Mozambique Peace Process in Perspective, London: Conciliation Resources, 1998, dapat dilihat di www.c-r.org; dan Cameron Hume, Ending Mozambique’s War: The Role of Mediation and Good Offices, Washington, DC: U.S. Institute of Peace Press, 1994. Di antara mereka yang menyatakan kepada saya tidak ada amnesti adalah kepala oposisi di parlemen, Raul Domingos, dan menteri pertahanan, Aguiar Mazula. Domingos menjelaskan bahwa pemerintah telah menawarkan amnesti ke Renamo, namun karena Renamo merasa tidak pernah melanggar hukum mana pun, “Kami menolaknya”. Semua wawancara yang dilakukan di Mozambique yang dikutip dalam bab ini dilakukan pada bulan September 1996. Alex Vines, wawancara oleh penulis, Agustus 1996, London. Ken Wilson, Direktur Program Ford Foundation untuk Mozambique, wawancara oleh penulis, September 1996, Johannesburg, Afrika Selatan. Untuk gambaran sejarah dan politik Renamo, lihat Alex Vines, Renamo: From Terorism to Democracy in Mozambique?, London: James Currey, 1996, edisi yang telah direvisi dan diperbaharui; pertama kali dipublikasikan tahun 1991. Untuk gambaran tentang pelanggaran-pelanggaran perang, lihat Human Rights Watch, Conspicuous Destruction: War, Famine and the Reform Process in Mozambique, New York: Human Rights Watch, 1992. Renamo memang menyerahkan surat kepada presiden Mozambique, Joaquim Chissano, pada suatu saat ketika perundingan sedang berlangsung, yang isinya meminta dibentuknya suatu komisi kebenaran, namun tidak pernah mendapatkan jawaban. Para peninjau yang tahu tentang keberadaan surat ini melihatnya sebagai hanya suatu tantangan, bukan permintaan yang serius. Alcinda Honwana, “Sealing the Past, Facing the Future: Trauma Healing in Rural Mozambique”, dalam Armon, Hendrickson, and Vines, eds., Conciliation Resources, hlm. 77; dapat dilihat di www.c-r.org/acc_moz/honwana.htm. Honwana menulis bahwa, “Dalam konteks Mozambique sebagaimana di banyak tempat lain di Afrika, kesehatan secara tradisional didefinisikan sebagai hubungan harmonis antara manusia dan alam sekitarnya, manusia dengan leluhurnya, dan antarmanusia sendiri. … Jadi penyakit dianggap lebih merupakan fenomena sosial daripada fisik. … ‘Menenangkan Roh’ kemudian menjadi suatu mekanisme untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu dan mendapatkan kembali keadaan baik di dalam maupun di antara masyarakat. Model kesehatan dan penyembuhan semacam ini bertentangan dengan pendekatan tradisional Barat yang melihat bahwa individu dan konteks sosialnya, tubuh dan pikiran, sebagai dua entitas yang dapat dipisahkan”, hlm. 76. William Minter, Apartheid’s Contras: An Inquiry into the Roots of War in Angola and Mozambique, London: Zed Books, and Johannesburg: Witwatersrand University Press, 1994, hlm. 282. Patut dicatat bahwa keadaan Hak Asasi Manusia di Mozambique maju dengan pesat setelah perang usai, lebih dari negara-negara transisional lainnya. Keprihatinan utama dari para pengamat hak asasi manusia belakangan ini lebih tertuju pada kondisi penjara dan korupsi. Jumlah yang terbunuh di bawah Khmer Merah tidak diketahui, namun diperkirakan sekitar 1 sampai dengan 2 juta orang. David Hawk, wawancara melalui telepon oleh penulis, 8 Agustus 1997. Lihat, misalnya, Crocker Snow, Jr., “From the Killing Fields, Compassion”, World Paper, Juli 1995, hlm. 16 dan Seth Mydans, “Side by Side Now in Cambodia: Skulls, Victims and Victimizers, New York Times, 27 Mei 1996, A6. Stephen P. Marks, “Forgetting ‘the Policies and Practices of the Past’: Impunity in Cambodia”, Fletcher Forum of World Affairs 18, No.2 (1994), hlm. 37-38. Ibid., hlm. 40. Brad Adams, “Snatching Defeat from the Jaws of Victory?” Phnom Penh Post, 23 Januari 1999.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
24.
25.
26.
27.
28.
29. 30.
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
38.
39.
Untuk mendapatkan tinjauan tentang tanggapan internasional terhadap kejahatan-kejahatan Khmer Merah dan usulan langkah-langkah internasional untuk permintaan pertanggungjawaban, lihat Balakrishnan Rajagopal, “The Pragmatics of Prosecuting the Khmer Rouge”, Phnom Penh Post, 8 Januari 1999, dan Adams, “Snatching Defeat”. Committee to Oppose the Return of the Khmer Rouge (Komite Penentang Kembalinya Khmer Merah), suatu koalisi yang terdiri dari lebih dari seratus kelompok hak asasi manusia dan gereja di Washington, dengan kuat melobi untuk mendukung suatu inisiatif agar Khmer Merah diminta pertanggunganjawaban atas kejahatan-kejahatannya. Sementara pembunuhan massal yang dilakukan Khmer Merah sering kali disebut sebagai genosida (sebagaimana dalam hukum AS dan kantor-kantor yang dibentuk atas dasar hukum tersebut), banyak dari kekerasan ini yang tidak masuk dalam definisi tersebut. Genosida, sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi Genosida, adalah “keinginan untuk menghancurkan, sebagian dari atau seluruh, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama” (Convention of the Prevention and Punishment of the Crimes of Genocide (Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan-Kejahatan Genosida), 1948, Pasal 2. Beberapa tindakan kekerasan Khmer Merah dapat diklasifikasikan sebagai genosida, misalnya kampanye-kempanye menentang etnis Vietnam, namun banyak dari pelanggarannya yang tidak ditujukan pada kelompok tertentu semacam itu. Penelitian yang dilakukan oleh dua cendikiawan AS ini menghasilkan buku yang menggarisbesarkan pilihan-pilihan pertanggungjawaban dalam situasi-situasi transisional, secara khusus difokuskan pada Kamboja. Lihat Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond the Nuremberg Legacy, New York: Oxford University Press, 1997. U.S. Congressional Record-Senate, April 10, 1992. Juga diharapkan bahwa proyek ini akan memicu diadilinya Khmer Merah. Undang-Undang Keadilan Genosida Kamboja menyatakan termasuk dalam tujuannya, “mengadili kepemimpinan politik dan militer Khmer Merah” dan “mengembangkan usulan Amerika Serikat tentang dibentuknya tribunal pidana internasional untuk mengadili mereka yang tertuduh dalam kasus genosida di Kamboja”. H.R. 2333, 1994. Peter Cleveland, wawancara oleh penulis, 12 Maret 1997, Washington, DC. Tujuan dari menempatkan foto-foto tersebut dalam internet, sebagaimana dijelaskan Direktur Proyek, Ben Kiernan, adalah untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang selamat untuk mengidentifikasikan mereka yang terbunuh (Ben Kiernan, wawancara oleh penulis, 25 April 1997, New Heaven, C T). Alamat website adalah www.yale.edu/cgp/. Seth Mydans, “20 Years On, Anger Ignites against Khmer Rouge”, New York Times, 20 Januari 1999, A1. “Most Cambodians Want Trial for Khmer Rouge: Poll”, 27 Januari 1999, Reuters News Service. Mark McDonald, “Cambodians Brace for UN Trial Proposal: Most Want Leaders Punished, but Resist Opening Old Wounds”, San Jose Mercury News, 8 Februari 1999. “Tutu Will Help Cambodia”, Daily Mail and Guardian (Afrika Selatan), 18 Januari 1999. Report of the Group of Experts for Cambodia Established Pursuant to General Assembly Resolution 52/1355, UN Dok. A/53/850/S/1999/231, Annex, Arch 16, 1999, hlm. 54. Brad Adams, “Snatching Defeat”. Pengadilan terkadang tidak termasuk karena keadaan-keadaan politik (pelaku memiliki cukup kekuatan untuk meminta amnesti atau para hakim merasa terlalu terancam untuk mengadili kasuskasus sensitif) atau kurangnya kapasitas (sistem peradilan yang tidak berfungsi atau kemampuan yang terbatas hingga hanya dapat memproses beberapa kasus tertentu). Namun bila pengadilan ini mungkin, maka harus dilakukan, terutama untuk pelaku tingkat tinggi (namun terkadang akan ada pertanyaan tentang waktu, misalnya menunggu sampai perjanjian perdamaian telah diterapkan secara penuh sebelum ancaman penuntutan dilancarkan). Sebaliknya, komisi kebenaran mungkin didirikan namun tidak diinginkan karena berbagai alasan yang dapat diterima. Saya mengakui bahwa hal ini bertentangan dengan asumsi beberapa orang yang memperjuangkan kebijakan “kebenaran selalu, dan pengadilan hanya kalau tidak terlalu berisiko”. Konferensi-konferensi ini menghasilkan dua buku. Lihat Alex Boraine, Janet Levy, dan Ronel Scheffer, eds., Dealing with the Past: Truth and Reconciliation in South Africa, Cape Town: Justice in Transition, 1995. Konferensi ini didukung oleh Robert F. Kennedy Memorial Center for Human Rights yang berbasis di Washington, dan bekerja-sama dengan Malawian University, dan dibiayai oleh U.S. Institute of Peace. Lihat Understanding the Past to Safeguard the Future: Proceedings of a Conference
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
40. 41.
42.
43.
44.
45.
Convened by the University of Malawi and the Robert F. Kennedy Center for Human Rights at Lilongwe, Malawi, 18-19 Oktober 1996, Washington, DC: Robert F. Kennedy Center, April 1997. Lihat Seth Mydans, “In a Tiny Office, Khmer Rouge Files Tell Grisly Tales”, New York Times, 13 Januari, 1999, A3. Allan Nairn, “Haiti Under the Gun”, The Nation, 15 Januari 1996, 11-15; dan “Haiti Under Cloak”, editorial, The Nation, 26 Februari 1996, 4-5; dan “Danger Signs in Haiti”, editorial, New York Times, 9 September 1996, A14. Kepala FRAPH, Emmanuel Constant, mengaku bekerja untuk badan pusat intelejen Amerika Serikat (U.S. Central Intelligence Agency); walaupun Haiti telah meminta agar ia diekstradisi, ia hidup dengan bebas di Queens, New York. Dalam kasus yang sama, Central Intelligence Agency menyita banyak dokumen yang sensitif dari Stasi Jerman Timur, atau polisi rahasia, setelah Tembok Berlin diruntuhkan. CIA lama sekali menolak pengembalian dokumen-dokumen ini, sehingga menimbulkan ketegangan antara Amerika Serikat dan Jerman, suatu persetujuan akhirnya dicapai pada akhir tahun 1999 untuk mengembalikan sebagian besar dari dokumen-dokumen tersebut. Lihat Roger Cohen, “Germany’s East is Still Haunted by Big Brother”, New York Times, 19 November 1999, A12. Lihat Tim Weiner, “Interrogation, C.I.A.-Style: The Spy Agency’s Many Mean Ways to Loosen Cold-War Tongues”, New York Times, 9 Februari 1997, dan Dana Priest, “Army’s Project Had Wider Audience: Clandestine Operations Training Manuals Not Restricted to Americas”, Washington Post, 6 Maret 1997, A1, A16. Lihat, misalnya, Peter Kornbluh, “Chile’s ‘Disappeared’ Past: US should Acknowledge Complicity in Murderous Regime”, Boston Globe, 13 September 1998, E2, dan Tim Wiener, “All the President Had to Do Was Ask: The C.I.A. Took Aim at Allende”, New York Times, 13 September 1998, hlm. 4-7. Hanya ada sedikit pengecualian: pada pertengahan tahun 1970-an, Senat menyelidiki dan mengeluarkan laporan panjang tentang cabang intelijen dari pemerintah AS. Lihat Report of the Senate Select Committee to Study Governmental Operations with Respect to Intelligence Activities, vols. 1-7, Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 1976, umumnya dikenal dengan nama Church Committee Report. Setelah dikeluarkannya laporan komisi kebenaran El Savador, pemerintahan Clinton menunjuk suatu panel untuk “menyelidiki implikasi” dari laporan tersebut terhadap “penerapan kebijakan luar negeri AS dan operasi-operasi Departemen Negara”, namun dengan mandat yang sempit yang tidak mencakup peninjauan ulang kebijakan AS terhadap El Savador. Ahli dalam hal El Savador mengkritik laporan tersebut sebagai tidak terlalu dapat dipercaya. U.S. Department of State, Report of the Secretary of State’s Panel on El Salvador, Juli 1993. Lihat juga Martha Dogget, Death Foretold: The Jesuit Murders in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, dan Washington, DC: Georgetown University Press, 1993, hlm. 270. Melihat cerita ini, beberapa pengamat telah meminta komisi kebenaran di Amerika Serikat untuk menilik dukungan Amerika Serikat terhadap rezim represif tersebut dan keterlibatannya dalam pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi. Hal ini telah diangkat terutama tentang keterlibatan AS di Amerika Tengah, seperti yang dapat dilihat dalam Thomas Buergenthal, “The U.S. Should Come Clean on ‘Dirty Wars’”, New York Times, 8 April1998.
Bab 13: 1.
Komisi Kebenaran dan Mahkamah Pidana Internasional: Bertentangan atau Komplementer?
Ketentuan “pengecualian” (opt-out) mengizinkan negara-negara untuk menolak juridiksi Mahkamah terhadap kejahatan perang selama tujuh tahun pertama setelah perjanjian tersebut disahkan oleh negara bersangkutan. Lebih jauh lagi, kejahatan “agresi” akan masuk ke dalam juridiksi Mahkamah “setelah suatu ketentuan diadopsi ... (yang) mendefinisikan kejahatan tersebut dan menentukan kondisi-kondisi (atau syarat-syarat) dari Mahkamah untuk menerapkan juridiksinya berkenaan dengan kejahatan tersebut”, dan dengan persetujuan tujuh per delapan dari negara pihak untuk membuat amandemen terhadap statuta tersebut. Lihat Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, UN.Doc. A/Conf.183/9, 17 Juli 1998 Pasal 5 paragraf 2 (dapat diakses di www.un.org/icc/romestat.htm). Amerika Serikat merupakan negara pertama dari tujuh negara yang memilih untuk menolak statuta Mahkamah ini. Lihat Alessandra Stanley, “US Dissents, but Accord is Reached on War Crimes Court”, New York Times, 18 Juli, 1998 A3. Untuk analisis dan kritik dari keberatan Amerika
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
Serikat, Lihat Kenneth Roth, “The Court the US Doesn’t Want”, New Your Review of Books, 19 November 1998, hlm. 45-47. Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki jurisdiksi atas suatu kasus kecuali bila negara di mana kejahatan tersebut terjadi atau negara yang warganya adalah tertuduh merupakan negara pihak atau telah menyatakan persetujuannya atas jurisdiksi pengadilan tersebut. Batasan ini tidak berlaku bila Dewan Keamanan mengajukan suatu situasi kepada pengadilan dengan menggunakan wewenang Pasal VII dari Piagam PBB. Pengadilan juga tidak mempunyai jurisdiksi bila negara yang bersangkutan sudah sedang menyelidiki atau mengadili kasus tersebut, kecuali bila Mahkamah dapat membuktikan bahwa negara tersebut tidak dapat atau tidak mau melakukan proses peradilan yang benar. Mahkamah ini juga tidak dapat mencakup kejahatan yang terjadi sebelum ia berdiri. Banyak dari mereka yang terlibat dalam pengembangan statuta Mahkamah ini berasumsi bahwa isu utama yang berkaitan dengan komisi kebenaran yang sesuai dengan Mahkamah ini adalah mengenai isu amnesti nasional yang tidak akan diakui oleh Mahkamah. Pertanyaan-pertanyaan lain mengenai penyelidikan komisi kebenaran yang paralel dengan penyelidikan pengadilan tidak dibahas dalam diskusi multilateral menurut para pembela dan aktivis LSM yang mengikuti dan mengawasi dengan cermat diskusi-diskusi tersebut. Wawancara olen penulis pada akhir tahun 1998 dengan Helen Duffy, penasihat Kampanye ICC, Human Rights Watch, New York; Jelene Pejic, Koordinator Program Senior untuk Eropa, Lawyer Committee for Human Rights, New York; dan Christopher Hall, penasihat hukum, Amnesty International, London. Mengenai proposal komisi kebenaran di Bosnia secara umum, lihat Neil J. Kritz dan William A. Stuebner, “A Truth and Reconciliation Commission for Bosnia and Herzegovina: Why, How, And When?” makalah yang dipresentasikan pada Simposium Ilmu Korban (Victimology), Sarajevo, Bosnia, 9-10 Mei 1998. Lihat pula Neil J. Kritz, “Is a Truth Commission Appropriate in the Former Yugoslavia?” makalah yang dipresentasikan pada Konferensi tentang Pengadilan Kejahatan Perang, Belgrade 7-8 November 1998. The U.S. Institute of Peace yang berbasis di Washington memprakarsai diskusi dan dukungan terhadap gagasan komisi kebenaran di Bosnia pada tahun 1997 dan 1998 atas permintaan pemerintah Bosnia dan bekerja-sama dengan beberapa organisasi LSM lokal Bosnia. Lihat komentar yang dikeluarkan oleh Ian Martin ketika menjadi panel di “Kebutuhan atas dan Kemungkinan Dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Wilayah Mantan Yugoslavia”, Konferensi mengenai Sidang Kejahatan Perang, Belgrade, 7-8 November 1998. (Karena perwakilan dari Tribunal tidak dapat hadir di konferensi Belgrade, pandangan mereka disampaikan oleh Ian Martin yang saat itu menjabat sebagai deputi perwakilan tinggi untuk hak asasi manusia, Kantor Perwakilan Tinggi, Sarajevo. Komentarnya tidak serta-merta mencerminkan posisi dari Kantor Perwakilan Tinggi.) Sementara pengurangan atau pembatalan dana untuk Tribunal agar mendapatkan dukungan bagi komisi bisa memberikan gambaran yang kurang akurat kepada masyarakat internasional mengenai peranan komisi kebenaran, beberapa pengamat yang bertempat strategis takut bahwa hal ini mungkin saja terjadi. Namun demikian, ukuran dan sumber daya yang dibutuhkan kedua mekanisme tersebut memang berbeda: untuk tahun fiskal 1999 anggaran tribunal hampir mencapai 100 juta dollar dengan 900 staf. Komisi kebenaran yang digagaskan, bila memang berdiri, diproyeksikan akan menghabiskan sekitar 15-20 juta dollar selama dua tahun. Wawancara oleh penulis dengan berbagai akademisi hukum, pengamat, dan pendukung baik Tribunal maupun gagasan tentang komisi kebenaran, 1998 dan 1999. Sebagai tambahan, mantan Ketua Penuntut Umum Tribunal, seorang hakim Afrika Selatan bernama Richard Goldstone, telah menyatakan dukungannya yang kuat terhadap pembentukan komisi kebenaran di Bosnia. Lihat Richard J. Goldstone, “Ethnic Reconciliation Needs the Help of Truth Reconciliation Commission”, International Herald Tribune, 24-25 Oktober 1998, hlm. 6. Lihat juga Tina Rosenberg “Trying to Break the Cycle of Revenge in Bosnia”, New York Times, 22 November 1998, bag. 4, hlm. 16. Standar pembuktian yang digunakan komisi kebenaran versus yang digunakan pengadilan didiskusikan dalam bab 8 dan 14 Kekuasaan Tribunal Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia lebih besar dari Mahkamah Pidana Internasional dalam bidang mengakses barang bukti. Tribunal memiliki kekuasaan sub-poena yang sama dan dapat meminta materi komisi kebenaran kapan saja diperlukan. Kekuasaan Mahkamah lebih lemah, yakni berupa permintaan tidak mengikat kepada pemerintah yang bersangkutan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
9.
10.
11.
12.
Statuta juga meminta “bantuan dalam bentuk apa pun yang tidak melanggar hukum dari negara yang bersangkutan, dengan maksud memfasilitasi penyelidikan dan pengadilan dari kejahatan-kejahatan yang berada di bawah jurisdiksi pengadilan” Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Pasal 93 par. 1. Negara pihak berhak menolak permintaan bantuan Mahkamah bila permintaan tersebut bersangkutan dengan “dokumen atau pengungkapan barang bukti yang berhubungan dengan keamanan nasionalnya” (walaupun apa yang dimaksud keamanan nasional itu sendiri tidak didefinisikan); Pasal 93 par .4. Sementara banyak komisi kebenaran yang menyerahkan dokumen-dokumennya kepada pengadilan domestik, dalam beberapa kasus, sebagaimana yang digambarkan di bab-bab terdahulu, amnesti nasional atau sistem yudisial yang rusak telah menghilangkan ancaman pengadilan dan penghukuman, sehingga beberapa pelaku telah dengan sukarela menyediakan informasi bagi komisi kebenaran. Sementara Statuta Mahkamah menyatakan bahwa Mahkamah akan “memastikan kerahasiaan dari dokumen dan informasi, kecuali dibutuhkan dalam penyelidikan dan proses yang digambarkan dalam permintaan” dan bahwa negara dapat meminta informasi yang diberikan kepada pengadilan digunakan “hanya untuk tujuan memunculkan bukti baru”, kemungkinan dari hubungan antara suatu komisi dan pengadilan dapat menghalangi mantan pelaku dari bekerja-sama dengan penyelidikan komisi, terlebih lagi bila Mahkamah tersebut menjadi tambah kuat seiring dengan jalannya waktu. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, pasal 93, par. 8(a) dan (b). Lihat Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, pasal 93, par. 8(a) dan (b) yang menyatakan bahwa: I. ... Pengadilan akan menyatakan bahwa kasus itu tidak dapat diproses (inadmissable) bila: a) kasus yang sedang disidik atau diadili oleh negara yang memiliki jurisdiksi atasnya, kecuali bila negara tersebut tidak mau atau tidak mampu dengan bersungguh-sungguh melakukan penyelidikan atau pengadilan; b) kasus telah diselidiki oleh negara yang memiliki jurisdiksi atasnya dan negara telah memutuskan untuk tidak mengadili orang tersebut, kecuali bila keputusan itu merupakan hasil dari ketidakmauan atau ketidakmampuan dari negara untuk sungguh-sungguh mengadili. Marshall Freeman Harris, R. Bruce Hitchner dan Paul R. Williams, Bringing War Criminals to Justice: Obligations, Options, Recommendations, Dayton: The Center for International Programs, University of Dayton, 1997, hlm. 25. Para penulis ini mengutip contoh Kantor Jaksa Khusus di Etiopia sebagai suatu badan yang telah melakukan peranan kejaksaan maupun komisi kebenaran; lihat gambaran dari kantor jaksa Etiopia dalam bab 2.
Bab 14: Melihat Komisi dari Dalam: Masalah dan Penyelesaian 1.
2.
3.
4.
Di Guatemala, hanya ketuanya yang diangkat oleh PBB; di El Salvador, para anggota komisi diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB setelah berkonsultasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian perdamaian. Christian Tomuschat, “Between National and International Law: Guatemala’s Historical Clarification Commission”, dalam Festschrift Jaenicke, Heidelberg: Springer, 1998. Artikel ini menawarkan analisis yang menarik tentang ketegangan antara dasar hukum nasional dan internasional yang terjadi dalam komisi Guatemala. Lihat Neil J. Kritz and William A. Stuebner, “A Truth and Reconciliation Commission for Bosnia and Herzegovina: Why, How and When?” makalah dipresentasikan di Victimology Symposium, Sarajevo, Bosnia, 9-10 Mei 1998. Misalnya, Buergenthal menulis, “Latar belakang yang kami punyai memberikan akses yang mudah terhadap pejabat-pejabat pemerintah di Amerika; membuat kami mendapatkan bantuan dari banyak individu; institusi dan kelompok pemerintah maupun non-pemerintah; dan membuat sulit para pihak yang terlibat dalam Perjanjian Perdamaian untuk mengecilkan pandangan kita atau menjelekkan kita. Kami dapat menggunakan status dan kenalan pribadi kami untuk mengatasi berbagai halangan yang ditempatkan dalam usaha kami, untuk mengantisipasi masalah. ... Semakin sulit kerja yang dihadapi suatu Komisi Kebenaran, semakin penting keberadaannya, menurut saya, agar paling tidak satu atau beberapa anggota dari badan semacam itu adalah orang-orang yang terkemuka dan dihormati secara
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
5.
6. 7.
8. 9. 10.
11.
12. 13. 14.
15. 16.
17.
18. 19.
internasional dengan pengalaman politik, militer, diplomatik ataupun hukum”. Thomas Buergenthal, “The United Nations Truth Commission for El Salvador”, Vanderbilt Journal of Transitional Law 27, No. 3 (1994), hlm. 543. Untuk gambaran terperinci tentang proses seleksi di Sierra Leone, lihat the Truth and Reconciliation Act of Sierra Leone, 2000, “Schedule”, tersedia di internet dengan alamat www.sierraleone.org//trc.html. Wawancara oleh penulis, Buenos Aires dan New York. Hal ini juga dijelaskan dalam Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, hlm. 429-30. Komisi Guatemala memiliki jumlah orang terbanyak selama 5 sampai 6 bulan ketika komisi tersebut memiliki kira-kira selusin kantor lapangan (field offices) di seluruh negara tersebut. Setelah kantorkantor ini tutup, jumlah staf menurun sampai ke jumlah yang dibutuhkan untuk memproses data, penelitian dan perancangan laporan. Sebagai tambahan, selama periode dua tiga bulan, 20 staf sementara dipekerjakan untuk pemrosesan data dan pemasukan data. Patricia Valdez, Direktur Eksekutif Komisi Kebenaran El Salvador, wawancara oleh penulis, 29 Maret, 1993, New York. Lawyers Committee for Human Rights, Improvising History: A Critical Evaluation of the United Nations Observer Mission in El Salvador, New York: Lawyers Committee for Human Rights, 1995, hlm. 141-42. Di Haiti dan Guatemala, staf dan beberapa anggota kira-kira separuh nasional dan separuh internasional. Di Afrika Selatan, staf komisi sebagian besar dari Afrika Selatan, namun ada beberapa yang warga asing, termasuk beberapa individu profesional yang dipinjamkan Pemerintah Eropa. Mungkin aspek yang sulit dari model pencampuran ini adalah ketegangan antar-staf yang sering kali terjadi karena perbedaan tingkat gaji yang sangat besar antara staf nasional dan internasional yang melakukan kerja yang sama, suatu masalah yang sering terjadi dalam berbagai konteks ketika staf nasional dan internasional bekerja-sama di dunia berkembang. Sementara tidak ada jawaban yang mudah untuk permasalahan ini, hal ini harus tetap diakui keberadaannya sebagai sumber kepahitan potensial. Jorge Correa, mantan Sekretaris Eksekutif Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili, wawancara oleh penulis, 29 November 1996, Santiago, Cili. Wawancara oleh penulis, Oktober 1996, Kampala, Uganda. Pendanaan bagi Guatemalan Historical Clarification Commission (Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala) datang dari Norwegia dan Swiss (kira-kira masing-masing $1.2 juta); Swedia dan AS (masing-masing $1 juta); Jepang ($750.000); Jerman ($500,000); dan Austria, Belgia, Kanada, Italia, Belanda, dan Swiss (masing-masing $250,000). The Ford Foundation dan Open Society Institute juga mendukung komisi ini dengan penyediaan hibah dan logistik. Rincian pendanaan dicantumkan dalam web-site komisi tersebut. Max DuPreez, “tuan rumah” Truth Commission Special Report (South Africa Broadcasting Company), wawancara oleh penulis, 24 Oktober 1998, Johannesburg, South Africa. Mandat Komisi El Savador dan Guatemala malah secara eksplisit melarangnya melakukan sesi publik apa pun. Perjanjian Genociden menyatakan, “Kerja Komisi rahasia agar menjamin kerahasiaan sumber dan keselamatan saksi dan informan”. Lihat “Agreement on the Establishment of the Commission to Clarify Past Human Rights Violations and Acts of Violence That Have Caused the Guatemalan Population to Suffer”, UN Dok. A/48/954/S/1994/751, Annex II, 23 Juni 1994. Mandat El-Savador menyatakan bahwa “Komisi berdasarkan kerahasiaan”. Lihat Annex dari Mexico Agreements UN Dok. S/25500, Annex, 27 April 1991. Pakar hukum Michael P. Scharf, misalnya, menulis, “Walaupun proses peradilan terbuka memiliki risiko dan kerumitan tersendiri, hal ini dapat diatasi dengan cara yang lebih tidak kuno daripada sepenuhnya menutup keseluruhan proses dari publik dan pers”, dan berargumen bahwa “Orang tidak dapat percaya pada apa yang tidak mereka lihat”. Lihat Michael P. Scharf, “The Case for a Permanent International Truth Commission”, Duke Journal of Comparative and International Law 7 (1997), hlm. 387-88. Jonathan Klaaren dan Stu Woolman, “Government Effort to Protect Human Rights in Uganda”, Nairobi Law Monthly 35 (1991), hlm. 26-28. Prosedur yang digunakan di Afrika Selatan dibahas dalam bab 8.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
20.
Di Afrika Selatan, mereka yang memberikan kesaksian di depan publik lebih tidak khawatir akan kemungkinan balas dendam, suatu ketakutan yang sangat dirasakan di berbagai tempat di Amerika Latin. 21. Patrick Ball, Who Did What to Whom? Planning and Implementing a Large Scale Human Rights Data Project, Washington, DC: America Association for the Advancement of Science, 1996. Lihat juga Herbert F. Spirer dan Louise Spirer, Data Analysis for Monitoring Human Rights, Washington, DC: American Association for the Advancement of Science, 1993, yang terfokus pada analisis statistik dan presentasi data. 22. From Madness to Hope, Report of the Commission on the Truth for El Salvador, hlm. 24. 23. Ibid. 24. Komisi lanjutan ini akhirnya dibentuk, namun mengalami kesulitan dalam mendapatkan kerja sama dari saksi dan tidak dapat mengambil kesimpulan yang pasti tentang pertanggungjawaban. Lihat Report of the Joint Group for the Investigation of Politically Motivated Illegal Armed Group in El Salvador, UN Dok. S/1994/989, Annex, 22 Oktober 1994. 25. Report of the Chilean National Commission on the Truth and Reconciliation, hlm. 41. 26. Ibid., hlm. 42. 27. Laporan Afrika Selatan menjelaskan bahwa “Komisi ini bukanlah sidang pengadilan. Komisi ini dibentuk sebagai komisi Penyelidikan dan karenanya tidak terikat aturan tentang bukti yang sama dengan pengadilan. Agar menemukan fakta, Komisi ini harus beroperasi dalam kerangka keseimbangan atara kemungkinan yang ada, yang merupakan kriteria standar yang digunakan dalam litigasi sipil. Jadi kesimpulannya lebih merupakan temuan daripada putusan yudisial”. Truth and Reconciliation Commission of South Africa Report, vol. 5, bab 6, bagian 64, hlm. 208.
Bab 15: Tantangan dan Bantuan dari Pihak Luar 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Promotion of National Unity and Reconciliation Act (UU Pemajuan Kesatuan dan Rekonsiliasi Nasional), UU No. 34 tahun 1995, Afrika Selatan. Proses permohonan amnesti terus dilakukan selama tahun 2000, dan kemungkinan pilihan menutuppintu tidak akan pernah diterapkan. Alexandra Barahona de Brito, Human Rights and Democratization in Latin America: Uruguay and Chile, New York: Oxford University Press, 1997, hlm. 193. Eduardo Rabossi, wawancara oleh penulis, 11 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. Mercedes Meroño, Mothers of the Plaza de Mayo, wawancara oleh penulis, 13 Desember 1996, Buenos Aires, Argentina. Beberapa anggota keluarga yang hilang dari Mothers of the Plaza de Mayo kepada siapa saya bicara tercantum dalam laporan tersebut, misalnya, termasuk Mercedes Meroño, Ibid. Mary Burton, wawancara oleh penulis, 19 Oktober 1997, Cape Town, Afrkia Selatan. Tlhoki Mofokeng, wawancara oleh penulis, 28 Oktober 1997, Johannesburg, Afrika Selatan. Wawancara penulis dengan anggota Khulumani, 28 Oktober 1997, Johannesburg, Afrika Selatan. Mandat komisi El Savador menyatakan (“Annex to the Mexico Agreements: Commission on the Truth,” UN Dok. S/25500, 27 April 1991) bahwa: 8. Untuk melaksanakan penyelidikan, Komisi akan memiliki wewenang untuk: (a) Mengumpulkan, dengan cara yang dianggap patut, informasi apa pun yang dianggap relevan. Komisi akan memiliki kebebasan penuh dalam menggunakan sumber informasi apa pun dalam periode waktu dan cara yang ditetapkannya. (b) Wawancara, secara bebas dan secara pribadi, individu, kelompok atau anggota organisasi dan institusi apa pun. (c) Mengunjungi suatu gedung atau tempat dengan bebas tanpa pemberitahuan sebelumnya. (d) Melakukan cara atau penyelidikan lain apa pun yang dianggap berguna dalam menerapkan mandatnya, termasuk meminta laporan, catatan atau dokumen dari pihak-pihak yang terkait atau informasi lainnya dari pihak yang berwenang atau departemen-departemen negara. 9. Pihak yang menandatangani akan memberikan Komisi tersebut kerja sama apa pun yang dimintakan dari mereka guna mendapatkan akses kepada sumber-sumber informasi yang dimiliki departemen-departemen dan pihak yang berwenang dari pihak-pihak tersebut.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
11.
12.
13. 14. 15. 16.
17. 18.
19.
20. 21.
22. 23. 24.
25.
Di pihak lain, Buergenthal menyatakan bahwa “Secara keseluruhan, Komisi ini menghadapi sedikit kesulitan dalam mewawancarai individu mana pun yang diinginkannya untuk menghadap. Kebanyakan warga sipil, mantan pejuang FMLN dan personel militer datang ketika dipanggil oleh Komisi.” (Namun ia menambahkan bahwa ada perbedaan penting antara datang untuk ditanyai dengan menyatakan kebenaran atau menyediakan informasi yang dibutuhkan). Lihat Thomas Buergenthal, “The United Nations Truth Commission for El Salvador”, Vanderbilt Journal of Transnational Law 27 (1994), hlm. 506-7. Laporan Argentina mencantumkan daftar 44 anggota senior angkatan bersenjata yang dikirimi kuesioner yang panjang. Karena posisi mereka dalam pemerintahan de facto atau angkatan bersenjata, orang-orang ini “dapat diharapkan untuk memiliki informasi yang penting” dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan mereka yang hilang sebagaimana dinyatakan laporan tersebut. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. “Ada beberapa kasus di mana tidak ada jawaban yang muncul, dan tidak ada jawaban yang didapatkan komisi ini yang dapat digunakan dalam mengklarifikasi situasi yang terjadi berkenaan dengan ketika oirang-orang tersebut hilang atau informasi yang dapat membantu untuk menemukan mereka kembali”. Lihat Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, hlm. 252-54. Komisi Cili menghubungi 160 anggota angkatan bersenjata dan polisi untuk meminta mereka memberikan kesaksian, namun kebanyakan menolak. Kepala cabang yang bersangkutan ataupun kepala staf mereka telah diminta untuk mencari apakah institusi mereka memiliki alat bukti yang berkaitan dengan suatu kejadian, namun kebanyakan menyatakan bahwa arsip telah secara legal dibakar atau dihancurkan atau bahkan tidak memberikan jawaban sama sekali. Dalam sedikit kasus, informasi berharga disediakan. Lihat Report of the Chilean National Commission on the Truth and Reconciliation, hlm. 17-20. Truth and Reconciliation Commission of South Africa Report, vol. 1, bab 8, bagian 104, hlm. 236. Mercedes Assorati, wawancara oleh penulis, Desember 9, 1996, Buenos Aires, Argentina. Kanada, Swedia, dan Australia juga memiliki hukum-hukum kebebasan atas informasi, walaupun dengan struktur berbeda. Mendapatkan akses terhadap materi-materi rahasia ini tidak mudah. National Security Archive (Arsip Keamanan nasional) menekankan pentingnya pendekatan yang bertujuan untuk dapat mendeklasifikasi dokumen apa pun, lihat website National Security Archive, www.gwu.edu/nsarchiv. Sebagaimana digambarkan anggota komisi Thomas Buergenthal, “Truth Commission”, hlm. 507-10. Pendirian komisi tersebut disetujui pada tahun 1994, namun tidak mulai bekerja sampai pertengahan tahun 1997, dan setelah persetujuan perdamaian terakhir ditandatangani, yang memberikan lebih dari tiga tahun bagi LSM untuk bersiap-siap. Sementara itu, dokumen-dokumen tentang apa yang terjadi di Guatemala juga dikeluarkan melalui proses-proses paralel lainnya. Dua tuntutan warga negara AS yang suaminya meninggal di Guatemala terhadap pemerintah AS dan bersamaan dengan itu suatu kajian ulang terhadap kebijakan intelijen AS di negara tersebut telah menyebabkan deklasifikasi dari 7.800 dokumen tambahan. Kate Doyle, wawancara oleh penulis, 31 Maret 1998, Washington, DC. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Kate Doyle, “Getting to Know the Generals: Secret Document on the Guatemalan Military”, makalah ini dipresentasikan di Latin American Studies Association Conference, Chicago, 24-26 September 1998. Lihat, misalnya, Jo-Marie Burt, “Impunity and the Murder of Monsignor Gerardi”, NACLA Report on the Americas, Mei/Juni 1998, hlm. 5. Report of the Commission of Inquiry (Chad), sebagaimana disarikan dalam Kritz, Transitional Justice, vol.3, hlm. 55. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat menghabiskan lebih dari $50 juta setiap tahun untuk perlindungan saksi dalam konteks proses legalnya. MacAdam menyatakan, “Tak mungkin hal ini diterapkan di Afrika Selatan.” Chris MacAdam, wawancara oleh penulis, 22 Oktober 1997, Cape Town, and 4 September 1996, Durban, Afrika Selatan. Ibid.
Epilog: Melihat ke Depan 1.
Timothy Garthon Ash, “Ten Years After” New York Review of Books, November 18, 1999, hlm. 18.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tabel 1 Dua Puluh Satu Komisi Kebenaran Secara kronologis Negara
Nama Komisi Kebenaran
Judul Laporan dan Tanggal Penerbitan
Tanggal Pembentukan
Cakupan Waktu Penyelidikan
Dibentuk Oleh
Uganda
“Komisi Penyelidikan Orang Hilang di Uganda” sejak tanggal 25 Januari 1971
Laporan Komisi Penyelidikan Orang Hilang di Uganda sejak tanggal 25 Januari 1971 (1975)
1974
25 Januari 1971-1974
Presiden
Bolivia
Comisión Nacional de Investigación de Desaparecidos (Komisi Nasional Penyelidikan Orang Hilang)
Tidak menyelesaikan laporannya (dibubarkan sebelum selesai)
1982-1984
1967-1982
Presiden
Argentina
Comisión Nacional para Desapaticion de Personas (Komisi Nasional Penyelidikan Orang Hilang, CONADEP)
Nunca Más (Never Again, Tidak Lagi) (1985)
1983-1984
1976-1983
Presiden
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Uruguay
Comisión Investigadora sobre la Situación de Personas Desaparecidas y Hechos que la Motivaron (Komisi Nasional Penyelidikan Orang Hilang dan Penyebabnya
Informe Final de la Comisión Investigadora sobre la Situación de Personas Desaparecidas y Hechos que la Motivaron (Laporan Akhir Komisi Nasional Penyelidikan Orang Hilang dan Penyebabnya) (1985)
1985
1973-1982
Parlemen
Zimbabwe
Komisi Penyelidikan
Laporan dirahasiakan
1985
9183
Presiden
Uganda
Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Laporan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Temuan, Kesimpulan, dan Rekomendasi (Oktober 1994)
1986-1995
Desember 1962-Januari 1986
Presiden
Nepal
Komisi Pencarian Orang Hilang Selama Masa Panchayet
Laporan Komisi Pencarian Orang Hilang Selama Masa Panchayet (1991; diterbitkan untuk publik 1994)
1990-1991
1961-1990
Perdana Menteri
Cili
Comisión Nacional para la Verdad y Reconciliatción (Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi) (“Komisi Rettig”)
Informe de la Comisión Nacional para la Verdad y Reconciliatción (Laporan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi) (1991)
1990-1991
11 September 1973-11 Maret 1990
Presiden
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Chad
Commission d’Enquête sur le Crimes et Détournaments Commis par l’Ex-Président Habré, ses co-Auteurs et/ou Complies (Komisi Penyelidikan Kejahatan dan Penyalahgunaan Wewenang oleh Mantan Presiden Habré, Antek atau Kakitangannya
Rapport de la Commission (Laporan Komisi) (7 Mei 1992)
1991-1992
1982-1990
Presiden
Afrika Selatan
Komisi Penyelidikan Pengaduan Mantan Tahanan dan Narapidana African National Congress (“Komisi Skweyiya)
Laporan Komisi Penyelidikan Pengaduan Mantan Tahanan dan Narapidana African National Congress (Oktober 1992)
1992
1979-1991
African National Congress (Kongres Nasional Afrika)
Jerman
Enquete Kommission Aufarbeitung von Geschichte und Folgen der SED-Diktatur in Deutscland (Komisi Penyelidikan Penilaian Sejarah dan Konsekuensi Kediktatoran SED di Jerman)
Bericht der EnquerteKommission “Aufarbeitung von Geschichte und Folgen der SED-Diktatur in Deutsland” (Juni 1994)
1992-1994
1949-1989
Parlemen
El Salvador
Comisión de la Verdad para El Salvador (Komisi Kebenaran El Salvador)
De la Locura a la Esperanza (Dari Kekalutan Menuju Harapan) (Maret 1993)
1992-1993
Januari 1980 – Juli 1991
Persetujuan perdamaian yang di moderatori oleh PBB
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Afrika Selatan (ANC)
Komisi Penyelidikan Dugaan Kekejaman dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Tahanan dan Narapidana Anggota ANC (“Komisi Motsuenyane”)
Laporan Komisi Penyelidikan Dugaan Kekejaman dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Tahanan dan Narapidana Anggota ANC (20 Agustus, 1993)
1993
1979-1991
Kongres Nasional Afrika
Sri Lanka
Komisi Penyelidikan Penghilangan atau Penghilangan Orang (terdapat tiga komisi menurut letak geografisnya)1
Laporan Komisi Penyelidikan Penghilangan atau Penghilangan Orang (tiga laporan akhir distrik, ditambah delapan laporan sementara dari tiap komisi) (September 1997)
November 1994 – September 1997
1 Januari 1988 – 13 November 1994
Presiden
Haiti
Komisi Nasional Keadilan dan Kebenaran
Si M Pa Rele… (Jika Saya Tidak Menangis…) (Februari 1996)
April 1995 – Februari 1996
29 September 1991 – 15 Oktober 1994
Presiden
Burundi
Komisi Penyelidikan Internasional
Laporan Komisi Penyelidikan Internasional (Agustus 1996)
September 1995 – Juli 1996
21 Oktober 1993 – 28 Agustus 1995
Dewan Keamanan PBB
Afrika Selatan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan (Oktober 1998)
Desember 1995 - 20002
1960 – 1994
Parlemen
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Ekuador
Komisi Kebenaran dan Keadilan
Tidak menyelesaikan laporannya (dibubarkan sebelum selesai)
September 1996 – Ferbruari 1997
1979 – 1996
Kementerian Pemerintahan dan Kepolisian
Guatemala
Commisión para el Esclarecimiento Histórico (Komisi Klarifikasi Sejarah) (Nama Formal: Komisi untuk Mengklarifikasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu dan Tindakan-tindakan Kekerasan yang Membuat Rakyat Guatemala Menderita
Guatemala: Memoria del Silencio (Guatemala: Memory Kebisuan) (Februari 1999)
Agustus 1997 – Februari 1999
1962 – 1996
Persetujuan perdamaian yang di moderatori oleh PBB
Nigeria
Komisi Penyelidikan Investigasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Masih berjalan [ketika buku ini diterbitkan dalam versi asli Inggrisnya]
1999-2000
1966 – 28 Mei 1999
Presiden
Sierra Leone
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Masih berjalan [ketika buku ini diterbitkan dalam versi asli Inggrisnya, sekarang laporannya sudah ada]
2000 – 2001
1991 – 7 Juli 1999
Disetujui sebagai perjanjian damai: dibuat melalui hukum nasional
1
Di Sri Lanka, terdapat tiga komisi menurut letak geografisnya yang bekerja bersamaan dan dengan mandat yang sama: Komisi Penyelidikan Penghilangan atau Penghilangan Orang di Barat, Selatan dan Provinsi Sabaragamuwa; Komisi Penyelidikan Penghilangan atau Penghilangan Orang di Utara dan Timur Provinsi; dan Komisi Penyelidikan Penghilangan atau Penghilangan Orang di daerah Pusat, Barat laut, Utara ke Tengah dan Provinsi Uva. Ketika ketiga komisi ini dibubarkan, sebuah badan follow up dibentuk menutup kasus ini dengan baik, yang dinamakan Komisi Presidensial untuk Penyelidikan Pemindahan secara Paksa atau Penghilangan Orang.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
2
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan memasukkan laporannya pada bulan Oktober 1998, tetapi terus bekerja selama lebih dari dua tahun dalam upaya untuk menyimpulkan hearing amnesti dan untuk membantu menerapkan sebuah program perbaikan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tabel 2 “Urutan Sejarah” Komisi Kebenaran3 Negara
Amerika Serikat
Kanada
Amerika Serikat
Australia
Nama Komisi Penyelidikan
Judul laporan dan tanggal penerbitan
Tanggal Pembentukan
Cakupan Waktu Penyelidikan
Keterangan Badan Penyelidikan
Komisi Relokasi Perang dan Pemakaman Masyarakan Sipil
Personal Justice Denied (Pengingkaran Keadilan Pribadi) (1982; cetak ulang 1992)
1982-1982
1942- 1945
Dibentuk oleh Komite Rumah Tangga dan Perdagangan Kongres
Komisi Utama Masyarakat Pribumi
Looking Forward, Looking Back (Menatap Kedepan, Melihat Masa Lalu) (vol.I. dari lima jilid laporan) (November 1996)
Agustus 1991 – November 1996)
Pra- 1500 –1996
Disusun oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kebijakan terhadap masyarakat asli; termasuk penyelidikan sejarah
Laporan Dewan Penasihat Komite Penasihat Ekperimen Radiasi terhadap Manusia (1995)
Januari 1994 – 1995
1944 – 1974
Dibentuk oleh menteri energi A.S. untuk menyelidiki percobaan radiasi terhadap pasien dan narapidana tak dikenal.
Kembalikan Mereka: Laporan Penyelidikan Nasional ke dalam Pemisahan Pemisahan Anak-Anak Aborigin dan Penduduk Torres Strait dari Keluarga Mereka (Mei 1997)
1996-1997
1910-1975
Penyelidikan khusus yang dilakukan oleh badan monitoring hak asasi manusia permanen bentukan pemerintah
Komite Penasihat Ekperimen Radiasi terhadap Manusia
Komisi Hak Asasi Manusia dan Kesempatan yang Sama
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
3
Lihat pembahasan tentang komisi-komisi ini di Bab 2
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tabel 3 Bentuk-Bentuk Alternatif bagi Penyelidikan Resmi atau Semi-Resmi terhadap Masa Lalu4
4
Lihat pembahasan tentang komisi-komisi ini dalam bab 2.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Negara
Nama Komisi Penyelidikan
Judul Laporan dan Tanggal Penerbitan
Tanggal Pembentukan
Cakupan Waktu Penyelidikan
Keterangan Badan Penyelidikan
Ethiopia
Kantor Jaksa Khusus
Penuntutan yang sedang berjalan; rencanarencana untuk laporan “kebenaran” telah dibubarkan
1993 – sekarang
1974 – 1991
Jaksa khusus berfokus pada kejahatan pada rezim sebelumnya
Rwanda
Komisi Internasional Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Rwanda sejak 1 Oktober 1990
Laporan Komisi Internasional Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Rwanda sejak 1 Oktober 1990 (Maret 1993)
1993
Oktober 1990 – 1993
Disusun oleh empat ornop internasional; diberikan status quasiofficial dan beberapa kerja sama dari otoritas lainnya.
Honduras
Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia di Honduras
Los Hechos Hablan por Mismos: Informe Preliminar sobre los Desaparecidos en Honduras 1980-1993 (Fakta berbicara sendiri: Laporan pendahuluan tentang hilangnya orangorang di Honduras 1980 – 1993) (Januari 1994)
1993
1980 – 1993
Badan Ombudsman hak asasi manusia; penyelidikan terhadap penculikan yang dilakukan atas inisiatifnya sendiri
Irlandia Utara
Komisioner Korban Irlandia Utara
We Will Remember Them (Kami Akan Mengingat Mereka) (April 1998)
November 1997 – April 1998
1967 – 1997
Komisi khusus beranggotakan satu orang dibentuk oleh Kementerian Irlandia Utara- Inggris
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tabel 4 Hak-Hak Apa yang Dicakup oleh Komisi Kebenaran?
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Negara
Argentina
Uganda 1986
Bahasa Kunci dalam istilah-istilah atau referensi komisi yang menerangkan aksi-aksi apa yang harusnya dicakup “mengklarifikasi aksi-aksi yang berhubungan dengan hilangnya orang-orang” dan, jika mungkin, menentukan lokasi di mana mereka sekarang
“pembunuhan massal dan semua aksi-aksi atau kelalaian yang berakibat pencabutan hidup manusia secara sewenang-wenang … penahanan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap penahanan; penolakan atas pengadilan yang jujur dan terbuka … penyiksaan, pengusiran massa … dan perlakuan diskriminasi atas dasar ras, suku, tempat lahir, pendapat politik, keyakinan atau jenis kelamin” oleh bagian dari pejabat pemerintah.
Aksi-aksi prinsip yang didokumentasikan oleh komisi •
Kehilangan (penculikan tanpa penemuan mayat)
•
Pembunuhan dan penahanan sewenang-wenang Penangkapan sewenang-wenang, penawanan atau penahanan Penolakan atas pengadilan yang jujur dan terbuka di depan pengadilan yang imparsial dan independen Penyiksaan, kekejaman dan perlakuan merendahkan Pemindahan dan pengusiran orangorang Perlakuan diskriminasi oleh pejabat pemerintah Penolakan kemerdekaan fundamental seperti kemerdekaan beribadah, kemerdekaan pers, dan kemerdekaan berserikat
• •
• • • •
Pelanggaran Signifikan atau tindakan-tindakan yang tidak diselidiki oleh komisi, atau tidak termasuk ke dalam laporan akhirnya • Pembunuhan oleh kekuatan bersenjata pada kategori “konfrontasi bersenjata” atau setingkat • Hilang sementara, ketika seseorang dilepaskan atau mayatnya ditemukan dan teridentifikasi • Pengusiran • Penahanan dan penyiksaan (survivor diwawancarai oleh komisi dan cerita mereka dianggap sebagai kesaksian, tetapi mereka tidak dimasukkan ke dalam daftar korban) • Aksi-aksi kekerasan oleh lawan bersenjata • Kehilangan oleh kekuatan pemerintah sebelum penerapan pemerintahan militer 1976 • Penganiayaan oleh kelompok-kelompok oposisi bersenjata • Penganiayaan oleh pemerintah setelah tanggal komisi dibentuk (kontroversi karena komisi terus bekerja selama sembilan tahun dan tidak ada badan hak asasi manusia pemerintah lainnya dibentuk)
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Cili
“Penghilangan setelah penangkapan, eksekusi, dan penyiksaan yang mengakibatkan kematian oleh badan atau orang-orang pemerintah, seperti juga penculikan dan usaha-usaha pembunuhan oleh orang-orang tertentu atas alasan politik”
• • • •
•
•
El Salvador
“tindakan-tindakan kekerasan serius … di mana pengaruhnya bahwa masyarakat menuntut bahwa publik harus tahu kebenarannya”
Afrika Selatan
“pelanggaran berat hak asasi manusia,” didefinisikan sebagai pembunuhan, penculikan, penyiksaan, atau perlakuan yang sangat menyakitkan terhadap siapa pun,” atau “konspirasi, hasutan, dorongan, atau perintah” seperti aksi-aksi “yang keluar dari konflik dari masa lalu … di dalam atau di luar Republik, dan komisi yang dianjurkan, direncanakan, diarahkan, dipimpin atau diperintahkan oleh siapa pun atas dasar politik”.
• • • • • • • • • • •
• • •
Penghilangan Penyiksaan yang berakibat kematian Eksekusi oleh kuasa pemerintah Penggunaan kekuatan yang tidak semestinya yang berakibat kepada kematian Kematian baik prajurit maupun nonprajurit pada pertempuran tepat setelah kup Pembunuhan oleh “orang-orang tertentu untuk alasan politik”, khususnya oleh angkatan kiri. Pembantaian oleh tentara Ekseskusi tanpa pengadilan oleh agen pemerintah Pembunuhan oleh pasukan kematian Penculikan Penyiksaan oleh kekuatan pemerintah Pembunuhan oleh kekuatan oposisi Penculikan oleh kekuatan oposisi Pembunuhan oleh agen pemerintah di dalam dan di luar negeri Penculikan Penyiksaan dan penganiayaan oleh polisi dan angkatan bersenjata Serangan terhadap negara-negara tetangga oleh angkatan bersenjata untuk menyerang oposisi Pembunuhan, utamanya oleh bom dan ranjau darat, oleh tentara oposisi. Penganiayaan dalam tahanan tentara oposisi di luar batas Afrika Selatan Kekejaman oleh individu-individu untuk kepentingan politik
•
• •
Penyiksaan yang berkakibat pada kematian (praktik penyiksaan dijelaskan tetapi yang selamat tidak didaftarkan sebagai korban) Penahanan ilegal, jika dilepaskan dan selamat Pengusiran paksa
•
(Tidak ada aksi signifikan yang dikeluarkan)
•
Pengusiran dan pemindahan jutaan orang berdasarkan rasnya Kebijakan dan praktik sehari-hari politik apartheid yang tidak berujung pada kematian, penculikan, penyiksaan, atau perlakuan yang sangat menyakitkan seperti yang disebutkan oleh komisi
•
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Guatemala
“klarifikasi dengan semua objektivitas, keadilan dan imparsialitas pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan-tindakan kekerasan yang menyebabkan populasi Guatemala menderita sehubungan dengan konflik bersenjata”.
•
•
•
•
• •
Tindakan pembersihan etnis oleh kekuatan pemerintah terhadap populasi suku Maya Pembantaian dan pembunuhan sewenang-wenang oleh kekuatan pemerintah dan oleh kekuatan oposisi Penghilangan dan penculikan oleh kekuatan negara dan oleh kaum gerilyawan Tindakan kekejaman melalui kekuatan ekonomi (pemilik tanah atau pengusaha) dengan dukungan negara Pengusiran paksa dan militerisasi pemindahan oleh negara Perekrutan paksa oleh gerilyawan
•
(tidak ada tindakan-tindakan signifikan yang dikeluarkan)
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tabel 5 Rekomendasi-Rekomendasi Komisi Kebenaran di Masa Lalu Daftar Terpilih Daftar berikut ini hanya memberikan sebuah contoh rekomendasi dari rekomendasi komisi kebenaran di masa lalu, dipilih untuk menunjukkan variasi, tipe, dan tingkat detail sepanjang wilayah subjek. (Ini adalah daftar terpilih. Beberapa laporan memasukkan ratusan rekomendasi untuk berbagai hal. Untuk daftar yang lengkap, silahkan melihat laporan komisi-komisi). Lihat Bab 10 untuk diskusi dari rekomendasi-rekomendasi tersebut dan perubahan yang terjadi. 1.
ADIMINISTRASI PENGADILAN DAN REFORMASI KEHAKIMAN
Uganda 1986
Cili
El Salvador
Afrika Selatan
2.
Hanya pengakuan yang dibuat kepada para hakim yang boleh diterima pada kasuskasus kriminal, bukan pengakuan kepada petugas polisi. Kantor pengacara dan departemen kehakiman haruslah dipisahkan dan dijalankan oleh orang yang berbeda, sebagai upaya untuk mengurangai pemusatan kekuasaan pada satu tangan. Sebuah sistem evaluasi menerus yang mengevaluasi para hakim harus dibentuk. Sekolah hukum harus mencurahkan perhatiannya terhadap hak asasi manusia. Penunjukan Hakim Mahkamah Agung dan Jaksa haruslah dilakukan oleh sebuah badan independen bukan oleh presiden negara tersebut. Pengadilan Militer hanya digunakan dalam kondisi tertentu dan dibawa pengawasan Mahkamah Agung. Pengakuan ekstra-yudisial setelah penangkapan polisi tidak boleh dijadikan pembuktian jika orang tersebut menarik pengakuannya di depan hakim. Haruslah terdapat pembatasan dalam penggunaan kurungan, dengan akses oleh seorang dokter independen dan jaminan atas kesehatan mental dan fisik tahanan. Anggota Mahkamah Agung yang ada sekarang haruslah mengundurkan diri sesegera mungkin dari jabatan mereka, agar dapat dibentuk Mahkamah Agung yang baru. Para Hakim haruslah ditunjuk dan diberhentikan oleh sebuah Dewan Nasional Kehakiman yang independen, bukan oleh Mahkamah Agung Kehakiman. Pemberian izin praktik pengacara haruslah diberikan oleh badan khusus yang independen, bukan oleh Mahkamah Agung Kehakiman. Pengakuan ekstra-yudisial tidak boleh diterima. Ketidakseimbangan komposisi ras dan gender di Pengadilan Tinggi haruslah sesegera mungkin diselesaikan, demikian juga dengan komposisi kehakiman. Sebuah petunjuk pelaksanaan bagi para jaksa penuntut haruslah dibuat untuk menjamin bahwa kepentingan para korban betul-betul diperhatikan.
REFORMASI ANGKATAN BERSENJATA, POLISI, DAN BADAN INTELIJEN
Uganda 1986 Angkatan perang Uganda haruslah memiliki karakter nasional, yang mencerminkan komposisi etnis atau wilayah dari negara sebagai sebuah kesatuan Angkata bersenjata tidak boleh digunakan bagi kepentingan pembentukan pemimpin tunggal atau organisasi politik untuk berkuasa. Angkatan bersenjata tidak boleh digunakan untuk menindas perbedaan politik atau perbedaan dalam mengatasi konflik politik. Antagonisme dan permusuhan antara tentara dan polisi haruslah dihilangkan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Cili
Chad
El Salvador
Afrika Selatan
Guatemala
3.
REFORMASI POLITIK
Uganda
4.
Konstitusi baru haruslah menyediakan sebuah sistem reformasi damai pemerintahan dan presiden melalui pemilihan teratur; pelarangan bagi presiden untuk menjabat lebih lama dari masa jabatan mereka; dan pemisahan kekuatan dengan cek dan keseimbangan. Hukum bagi investigasi dan penuntutan korupsi haruslah diperkuat. Abolisi terhadap monopoli pemerintah atas media publik (radio, tv, dan surat kabar), dan pengakuan pemerintah atas hak-hak pihak lain yang memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda untuk disebarkan melalui media. PENUANGAN KONSEP HAK ASASI MANUSIA KE DALAM BUDAYA NASIONAL
Argentina
Uganda
Polisi tidak boleh diisi dengan orang-orang yang tidak disiplin, kurang terlatih, kurang disiapkan dan fobia-profesi Haruslah terdapat peningkatan gaji terhadap personil polisi untuk menaikkan moral dan efisiensinya. Mendefinisikan kembali fungsi dari pelayanan intelijen, membatasi mereka dalam pengumpulan informasi. Penerapan “atas dasar perintah”, ketika penting, tidak boleh dimajukan sebagai alasan bagi pelanggaran hak asasi manusia. Fungsi penjagaan kestabilan publik dan keamanan haruslah dilaksanakan hanya oleh polisi. Anggota angkatan bersenjata dan polisi dan keluarga mereka haruslah didorong untuk lebih bergaul dengan masyarakat, dengan memasukkan mereka kepada aktivitas sosial dan budaya, dan sejauh mungkin tidak memberikan pengaturan rumah yang berbeda terhadap mereka. Saling mengetahui adalah langkah pertama menuju rekonsiliasi. Meneliti kembali kekuatan dan struktur badan intelijen khusus yang baru sehingga tidak menjadi sebuah mesin penyiksaaan dan penindasan. Menghilangkan pusat penahanan di bawah kontrol badan intelijen dan cabang keamanan polisi, dan hanya digunakan bagi mereka yang betul-betul berada dalam prosedur kriminal. Bawahan haruslah dilindungi ketika mereka menolak untuk mematuhi perintah ilegal. Kurikulum militer haruslah memasukkan training menyeluruh tentang hak asasi manusia. Menghilangkan semua hubungan antara polisi sipil dan kekuatan keamanan sebelumnya dan cabang-cabang angkatan bersenjata lainnya. Angkatan Pertahanan Nasional Afrika Selatan tidak berhak untuk berperang dalam aktivitas yang tersembunyi tanpa memperoleh mandat dari kementerian pertahanan dan menteri-negara lain. Pemerintah harus mendorong doktrin militer baru bagi angkatan bersenjata Guatemala yaitu terbentuknya prinsip-prinsip dasar bagi hubungan yang baik antara angkatan bersenjata dan masyarakat di dalam kerangka kerja demokrasi dan puralis: angkatan bersenjata tidak boleh berpolitik; menjadi alat partai politik; menghargai Undang-Undang; dan mengakui kedaulatan yang ada pada masyarakat Guatemala. Dengan tujuan untuk menghargai identitas kebudayaan Maya, angkatan bersenjata tidak boleh lagi menggunakan esensi dan simbolisme Maya bagi struktur dan unit militernya.
Hukum harus diluluskan untuk membuat pengajaran dan penyebaran keharusan hak asasi manusia pada pembentukan pendidikan negara, termasuk pada akademisi sipil, militer dan polisi. Kualifikasi dalam pendidikan hak asasi manusia haruslah menjadi syarat masuk bagi semua tingkat pendidikan setelah pendidikan dasar, pengangkatan pejabat publik, dan pada kantor pemilihan di tingkat lokal dan nasional.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Cili Afrika Selatan
5.
Masyarakat Uganda haruslah mengatasi respon pasif mereka terhadap perlakuan kejam pemerintah dan membangun sebuah budaya solidaritas untuk menjaga hak-hak mereka dan melindungi orang-orang yang haknya dilanggar. Pemerintah Cili haruslah meratifikasi semua perjanjian internasional di bidang Hak asasi manusia yang belum ditandatangani oleh Cili. Laporan Komisi Kebenaran, di samping video dan rekaman, haruslah tersedia luas sebagai sumber pendidikan hak asasi manusia.
PENGUSUTAN PELAKU KEJAHATAN ATAU PEMBERHENTIAN MEREKA DARI KEKUASAAN
Argentina
Badan yang menggantikan haruslah mempercepat prosedur pengumpulan dokumen yang diperlukan untuk segera membawa ke depan pengadilan selama investigasi kami. Uganda Semua yang terlibat kejahatan di depan komisi haruslah dihukum. Tidak boleh ada batasan waktu yang dipaksakan dengan pertimbangan penuntutan akan dilembagakan. Setiap orang yang terbukti telah melanggar hak asasi manusia haruslah dihalangi dari menjabat di lembaga politik, publik, atau sipil. Chad Pelaku kejahatan hak asasi manusia, terutama pembunuhan, penculikan, dan penyiksaan, haruslah dihukum. Semua mantan agen intelijen yang telah direhabilitasi dan dipekerjakan oleh badan intelijen yang baru haruslah diberhentikan dari posisi mereka. El Salvador Karena tidak mungkin untuk menjamin pengadilan yang jujur bagi semua kejahatan yang diungkapkan di sini, adalah tidak adil jika menahan sebagian dari mereka di penjara, sementara lainnya yang merupakan otak atau juga mengambil bagian dari kejahatan tersebut masih bebas berkeliaran. Hal ini hanya bisa terpecahkan, jika dalam situasi tertentu, melalui pemaafan setelah proses pengadilan dilaksanakan. Mereka yang oleh komisi dinamakan terlibat secara pribadi melakukan kejahatan atau menutupi pelanggaran berat haruslah dipecat dari posisi mereka dan dikeluarkan dari angkatan bersenjata, atau dibubarkan dari kantor atau jabatan hukum mereka yang sedang mereka jabat. Para pelaku kejahatan yang disebutkan pada laporan haruslah didiskualifikasi dari memegang jabatan atau kantor publik dalam waktu tidak kurang dari 10 tahun, dan haruslah didiskualifikasi secara permanen dari aktivitas yang berhubungan dengan keamanan publik atau pertahanan nasional. Afrika Selatan Ketika amnesti tidak ditemukan atau ditolak, dan di mana bukti-bukti menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia, tuntutan haruslah dipertimbangkan. Jaksa Agung harus memberikan perhatian yang besar terhadap penuntutan anggota Polisi Afrika Selatan yang terbukti menganiaya, melukai, dan/atau membunuh manusia akibat perlakuan mereka. Dalam upaya untuk menghindari pemaafan budaya dan untuk memperkokoh peraturan perundang-undangan, pemberian amnesti atas alasan apa pun haruslah dihalangi. Guatemala Ketika hukum amnesti yang ada tidak melarang penuntutan, khususnya merujuk kepada kejahatan genosida, penyiksaan, dan penghilangan paksa, orang yang bersangkutan haruslah dituntut, diadili, dan dihukum, memberikan perhatian khusus kepada mereka yang menghasut dan mendorong kejahatan tersebut. 6.
Cili
TINDAKAN-TINDAKAN UNTUK MEMULAI REKONSILIASI Diharapkan agar mereka yang berada pada posisi yang dapat membantu memulai rekonsiliasi dengan beberapa langkah dan tindakan khusus akan melakukannya. Mereka dapat, sebagai contoh, untuk membantu akses atas informasi yang mereka miliki tentang orang-orang yang hilang setelah
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
penangkapan atau lokasi pemakaman bagi mereka yang di eksekusi atau disiksa sampai mati dan belum ditemukan. Adalah sangat penting bahwa tempat bagi debat publik yang luas tentang hak asasi manusia dibuka secepatnya melalui forum-forum publik, aktivitas kebudayaan pada hari hak asasi manusia, dan hal sejenisnya. Simbol-simbol yang bersifat memecah bangsa Cili haruslah dihilangkan. El Salvador Terdapat kebutuhan bagi sebuah proses refleksi kolektif tentang beberapa tahun yang lampau. Satu langkah pahit tapi tidak terelakkan adalah untuk melihat dan mengakui apa yang telah terjadi dan tidak boleh terjadi lagi. Afrika Selatan Pemerintah haruslah mempercepat penutupan gap antara kaum yang diuntungkan dan tidak tidak diuntungkan di Afrika Selatan melalui pendidikan, perumahan, dan program serta layanan lainnya. Bagi mereka yang diuntungkan melalui kebijakan apartheid haruslah memberikan sumbangsih bagi pengurangan kemiskinan. Sebuah “pajak mewah” dan proposal lainnya haruslah dipertimbangkan. 7.
MENJALANKAN INVESTIGASI LEBIH LANJUT
Argentina Cili El Salvador
Afrika Selatan Guatemala
8.
Pengadilan haruslah mendorong pernyataan yang diterima oleh komisi untuk melalui tahap investigasi dan verifikasi. Sebuah badan follow up haruslah dibentuk untuk melanjutkan pencarian sisasisa orang yang dibunuh atau hilang. Sebuah investigasi menyeluruh terhadap kekompok bersentaja swasta (pasukan kematian) haruslah dilaksanakan sesegera mungkin untuk menjamin bahwa mereka dibubarkan dan untuk mencegah mereka menjadi aktif lagi. Sebuah analisis komprehensif haruslah dilaksanakan baik terhadap cakupan dan isi dari arsip badan intelijen dan kekuatan keamanan. Pemerintah dan pihak pengadilan, dengan bekerja-sama dengan masyarakat sipil, haruslah mengawali investigasi berkenaan dengan semua usaha penghilangan paksa. Semua sumber legal dan material haruslah digunakan untuk memperjelas di manakah orang-orang yang hilang dan mengembalikan mereka yang masih hidup kepada keluarga mereka. Sebuah komisi khusus haruslah dibentuk untuk menjaga anak-anak dari orang yang hilang, yang secara ilegal diadopsi atau dipisahkan dari orang tua mereka. Sebuah tindakan khusus haruslah dilakukan untuk meninjau adopsi yang berlawanan dengan keinginan orang tua.
KOMPENSASI MORAL: PENGAKUAND DAN PERMINTAAN MAAF PADA KORBAN
Cili
El Salvador
Chad
Afrika Selatan
Mengembalikan nama baik korban melalui sebuah pernyataan dari presiden, parlemen atau oleh hukum. Simbol perbaikan lainnya, yang bias termasuk sebuah monumen atau sebuah taman publik untuk mengenang korban. Sebuah monumen nasional harulah dibangun dengan memakai nama dari semua korban konflik. Nama baik para korban dan kejahatan serius yang menimpa mereka haruslah diperhatikan benar-benar. Sebuah hari libur nasional untuk mengenang para korban haruslah dibuat. Pembangunan sebuah monumen untuk mengenang para korban penindasan Habré, dan pengumuman pembuatan dekrit untuk membuat hari minggu kedua bulan Desember sebagai hari mendoakan dan mengingat para korban. Pemerintah haruslah mendeklarasikan sebuah hari nasional untuk mengenang dan memfasilitasi sebuah bangunan monumen dan memorial untuk mengenang kejadian di masa lalu. Sebuah permintaan maaf haruslah dibuat bagi orang-orang di negeri tetangga terhadap pelanggaran di masa lalu sebagai hasil dari aksi perwakilan pemerintah Afrika Selatan sebelumnya. Reparasi simbolik yang tepat haruslah dipertimbangkan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Guatemala
9.
Presiden dan mantan panglima angkatan bersenjata oposisi haruslah mengakui kesalahannya dan meminta pengampunan dan maaf, dan Kongres haruslah mengeluarkan sebuah deklarasi yang menyetujui harga diri dan penghargaan terhadap para korban. Negara haruslah menjadikan sebuah hari untuk memperingati para korban dan membangun monumen dan taman publik untuk mengenang mereka. Peringatan haruslah dipertimbangkan oleh semua akar multikultural bangsa Guatemala.
GANTI RUGI KEUANGAN DAN PEMULIHAN LAINNYA KEPADA KORBAN
Argentina
Cili
El Salvador
Afrika Selatan
Guatemala
Hukum yang sesuai haruslah disahkan agar memberikan kepada anak-anak dan/atau keluarga dari korban hilang bantuan ekonomi, biaya studi, jaminan sosial dan pekerjaan dan untuk memberikan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengurangi berbagai persoalan keluarga dan sosial yang disebabkan oleh kehilangan. Perbaikan haruslah disediakan kepada keluarga para korban yang terdaftar pada laporan komisi kebenaran, seimbang setiap bulannya jumlah yang tidak lebih rendah dibandingkan penghasilan rata-rata keluarga di Cili. Perawatan kesehatan khusus, keuntungan pendidikan dan keuntungan perumahan haruslah dipertimbangkan bagi keluarga, seperti juga penghapusan utang yang terlalu besar kepada pemerintah bagi mereka yang terbunuh atau hilang. Sebuah dana khusus haruslah diadakan untuk diberikan kompensasi material terhadap para korban. Dana ini harus mendapat dukungan dari negara, tetapi juga haruslah menerima kontribusi substansial dari komunitas internasional. Tidak kurang dari 1 persen dari semua bantuan internasional yang masuk ke El Salvador haruslah dimasukkan ke dalam dana ini. Sebuah badan disusun di kantor presiden yang fungsinya akan digunakan untuk mengawasi implementasi perbaikan dan rehabilitasi kebijakan proposal dan rekomendasi. Badan ini juga mengawasi pengeluaran surat kematian, penguburan, menghapus catatan kriminal di mana para korban dikriminalisasikan, dan memfasilitasi penamaan jalan dan fasilitas komunitas dalam upaya untuk mengingat dan menghargai individu-individu atau kejadian-kejadian tertentu. Negara harus mempertimbangkan beberapa bentuk kompensasi untuk orang-orang yang hilang pekerjaan mereka atau sumber penghasilan lainnya sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an, terutama bagi mereka yang tidak memiliki asuransi terhadap kehilangan tersebut. Negara harus menyusun melalui perundangan nasional sebuah Program Perbaikan Nasional, yang akan diawasi oleh badan perwakilan yang terbuka luas, untuk perbaikan moral dan material serta menyediakan rehabilitasi psikologi, dan keuntungan lainnya.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tabel 6 Perbaikan dari Komisi Kebenaran: Sebuah Perbandingan Keuntungan bagi Korban Antara Cili dan Argentina CILI5 Pembayaran Tunai kepada Keluarga Orang Hilang dan Terbunuh Apa Kepada Siapa
Pembayaran pensiun bulanan dengan cek Anggota keluarga orang hilang atau terbunuh (seperti yang ditentukan oleh Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi atau badan yang mengikutinya, Badan Kerja Sama Nasional untuk Reparasi dan Rekonsiliasi)
Jumlah
$481/bulan ($5,181/tahun), dibagikan kepada keluarga terdekat. Jika hanya terdapat satu keluarga yang hidup, maka diberikan $345/bulan ($4,140/tahun) Tambahan satu pembayaran pertama sejumlah pembayaran tahunan.
Distribusi
40% kepada suami/istri 30% kepada orang tua 15% kepada tiap anak 15% kepada orang tua yang masih hidup dari anak korban
Jangka Waktu
Seumur hidup (kecuali bagi anak korban, yang akan menerimanya sampai berumur 25) 6
Jumlah orang yang menerima keuntungan
4.886 (jumlah total keluarga dari 2.723 orang hilang)
Biaya Total yang dikeluarkan negara
$13 Juta/tahun
Keuntungan Kesehatan Keuntungan apa Tunjangan kesehatan, dihitung pada 7% dari pensiun di atas. Kepada siapa
Biaya Total yang dikeluarkan negara
Anggota keluarga orang yang terbunuh atau hilang (seperti yang ditentukan oleh Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi atau badan yang mengikutinya, Badan Kerjasama Nasional Untuk Reparasi dan Rekonsiliasi).
: $590.000/tahun
5
Semua keuntungan dibentuk pada proses Pembentukan Hukum bagi Kerja Sama Nasional untuk Reparasi dan Rekonsiliasi, UU No. 19.123 (31 Januari 1992); dicetak ulang dalam Kritz, Transtitional Justice, vol. 3, hlm. 685-95. Detail implementasi dari program perbaikan dilaporkan dalam laporan interim pertama, Corporacíon Nacional de Reparacion y Reconciliación, Informe Sobre California de Victimas de Violaciones de Derecho Humanos y de la Violencia Politica, Santiago: Corporacíon Necional de Reparacion y Reconciliación, 1996, hlm. 595-602. Gambaran berlaku sampai 1995. 6 Untuk anak yang cacat dari korban, perbaikan dibayarkan sepanjang hidup.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Keuntungan non-tunai lainnya
Akses bebas ke program konsultasi dan medis (terbuka bagi keluarga orang yang terbunuh atau hilang dan bagi mantan tahanan politik).
Keuntungan Pendidikan bagi Anak-Anak Keuntungan apa
Pembayaran penuh uang kuliah dan ongkos untuk universitas
Kepada siapa
Anak orang yang terbunuh atau hilang
Sampai kapan
Sampai berumum 35
Jumlah penerima
837 (tahun 1995)
Biaya Total yang dikeluarkan negara
$1,2 Juta/tahun (Biaya rata-rata: $1.534/mahasiswa)
Keuntungan Lainnya: Surat pernyataan bebas dari wajib militer bagi anak orang hilang atau terbunuh. Kepada mereka yang kehilangan pekerjaan atas alas an politik dapat memperoleh pensiun, dengan menghitung waktu yang hilang, dengan bantuan dari sebuah kantor khusus. Mereka yang kembali dari buangan ke luar negeri dapat memperoleh surat pembebasan pajak kendaraan. Pihak yang Tidak Tercakup Survivor dari penyiksaan atau pengurungan ilegal tidak menerima pensiun, keuntungan pendidikan, atau kesehatan, kecuali akses atas program kesehatan dan konsultasi medis.
ARGENTINA Perbaikan Keuangan bagi Keluarga Orang Hilang dan Terbunuh7 Apa Kepada siapa
Jumlah total yang mungkin memperoleh keuntungan
Bayaran satu kali sejumlah $220.000, dalam bentuk surat utang negara8. Diberikan kepada anggota keluarga hilang yang tercatat laporan pada Komisi Nasional orang hilang, atau mereka yang hilang atau terbunuh yang kemudian dilaporkan kepada Kantor Hak Asasi Manusia.
Anggota keluarga sekitar 15.000 orang mati atau hilang9.
7
UU No. 24, 411, Argentina, 7 Desember 1994. Mereka yang menguangkan surat pinjaman ini sesegera mungkin, sebanyak yang diperlukan, sebenarnya mereka menerima kurang dari $220.000. Surat utang dihargai 50 sampai 70 persen dari nilai mereka sekarang ini. 9 Meskipun komisi telah mendokumentasikan 8.960 orang hilang, banyak kasus yang tidak dilaporkan kepada komisi. Sebagai tambahan, Kantor Hak Asasi Manusia telah diperkirakan bahwa beberapa ribu 8
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Biaya total negara
Antara $2 sampai 3 juta.10
Bagaimana jumlahnya ditentukan
$220.000, disamakan dengan 100 bulan gaji tertinggi pegawai negeri.
Pensiun tambahan bagi anak orang hilang
Sampai umur 21 tahun, anak dari orang hilang memperoleh $140/bulan.11
Perbaikan Keuangan bagi Tahanan Politik atau Buangan12 Kepada siapa Tahanan politik yang ditahan tanpa pengadilan; mereka yang sementara waktu “dihilangkan” (penahanan yang tidak diakui oleh pemerintah) dan pada kasus yang dilaporkan ke pers, kepada komisi kebenaran, atau kepada organisasi hak asasi manusia padawaktu; mereka ditahan dan dikirim ke buangan oleh pemerintah waktu itu. Apa
Untuk setiap hari di penjara atau di buangan, dibayarkan gaji harian sama dengan gaji tertinggi pegawai negeri, sampai $220.000 (sama dengan $74/hari). Satu kali pembayaran dengan bentuk surat utang negara.
Jika mati di penjara Keluarga akan dibayar sama dengan mereka yang mati, ditambah dengan bayaran 5 tahun dengan tingkat yang sama, sampai total $220.000 Jika terluka parah selama di penjara Dibayar perhari dengan tambahan 3-5 tahun dengan tingkat yang sama, sampai total $220.000. Jumlah penerima
Total Pengeluaran Negara
Diperkirakan 10.000 tahanan politik ditahan tanpa melalui pengadilan dan 1000 orang buangan. Sekitar $500juta13
Perbaikan Lainnya: Penciptaan kategori baru “penghilangan paksa”, yang mencakup hukuman sama dengan kematian atas nama hukum (membuat proses pewarisan dan penutupan tanah milik), sementara melestarikan kemungkinan pemunculan kembali si orang hilang.14
dibunuh, dengan mayat yang dapat diidentifikasi, akibat kediktatoran. Wawancara dengan orang tersebut dengan staf Kantor Hak Asasi Manusia, Kementerian Perlengkapan, Desember 1996 dan Februari 1999. 10 Pemerintah Argentina menganggarkan $3 milyar dalam bentuk surat utang untuk menutupi biaya perbaikan yang diharapkan. Wawancara teleppon dengan korban oleh Alejandro Kwawabatta, Kantor Hak Asasi Manusia, Kementian Perlengkapan, 20 Februari 1998. 11 UU No. 23, 466, Argentina, 1987. 12 UU 24 No. 24, 043, Argentina, 27 November 1991 (juga meluas ke tahanan politik di bawah tahanan negara yang dimulai dua tahun sebelum kudeta militer 1976). Komisi Argentina untuk Orang Hilang, tidak menyelidiki atau mendokumentasikan tahanan politik yang selamat dari tahanan. Program ini kemudian tidak mengandalkan informasi dari komisi, tetapi dari bukti yang dibawa oleh negara melalui tiap survivor yang menuntut perbaikan. 13 “Indemnizaran a cinco mil presos del regimen military”, Clarin, 15 Maret 1994. 14 UU No. 24, 321, Argentina, 11 Mei 1994.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Penghapusan wajib militer bagi anak orang hilang.15 Kredit perumahan bagi anak orang hilang.
15
Wajib militer tidak lagi wajib di Argentina, tetapi masih wajib ketika hukum ini dikeluarkan.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tabel 7 Sebuah Perbandingan Sumber Data dan Tanggung Jawab Negara
Uganda 1974 Bolivia Argentina
Uruguay Zimbabwe Uganda 1986 Nepal Cili
Chad
Afrika
Jumlah Kasus yang dibawa ke Komisi16 308 hilang
Jumlah Kasus yang diselidiki secara mendalam17 N/A18
Masa Kerja Komisi
Jumlah Komisioner
Jumlah Staf
1 tahun
Cakupan waktu kerja Komisi 3-5 tahun
4
N/A
155 hilang 8.960 hilang, tidak dispesifikasi jumlah korban yang disiksa atau diperpanjang hukumannya 164 hilang N/A
0
2-3 tahun 9 bulan
15 tahun 7 tahun
8 13
6 60
0 N/A
11 tahun 2 tahun
Sekitar 9 1
N/A N/A
0
7 bulan Beberapa bulan 9 tahun
608 deponen
24 tahun
6
5 – 10
100 3.428 hilang, terbunuh, disiksa sampai mati atau diculik20 3800 terbunuh, tidak dijelaskan jumlah yang disiksa atau ditahan sewenangwenang0 32 Survivor
N/A 2.920
1 tahun 9 tahun
30 tahun 16,5 tahun
4 8
N/A 60
0
10 bulan
8 tahun
12-16
021
0
7 bulan
11,5 tahun
3
N/A
0
19
16
Angka tersebut memberikan indikasi umum dari jumlah kasus yang dilaporkan ke tiap komisi atau beberapa komisi, angka tersebut tidak pasti. Di banyak negara, angka aktual dari kasus pelanggaran hak asasi manusia diperkirakan jauh lebih tinggi dari angka yang dilaporkan ke komisi. 17 Jumlah kasus individual (seperti penghilangan orang atau korbang penyiksaan) atau kejadian-kejadian (seperti pembantaian) yang diselidiki dengan lebih mendalam dan dilaporkan oleh komisi. 18 “N/A” menunjukkan bahwa informasinya tidak tersedia: komisi tidak menyelesaikan atau tidak menerbitkan laporan, atau informasinya tidak diketahui. 19 Beberapa laporan (seperti di Argentina, Chad, dan ANC 1) memaparkan panjang dari keseluruhan pelanggaran hak asasi manusia sepanjang periode tersebut, termasuk kutipan tambahan dari kesaksian yang diberikan ke komisi dan data cadangan, tapi tidak menjadi investigasi yang mendalam. 20 Sebanyak 508 dari 3.428 korban ini ditetapkan menjadi di luar mandat komisi 21 Kedua-belas (dan kemudian enam belas) “anggota komisi” termasuk sekretaris dan juru tulis.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Selatan (ANC 1)
Jerman El Salvador
Afrika Selatan (ANC 2)
Sri Lanka
dari kamp penahanan yang disiksa dan dilukai N/A 22.000 hilang, terbunuh, dilukai atau diculik 29 hilang; 19 “pengaduan” dan 11 “terdakwa” membawa kasus mereka yaitu: penyiksaan di kamp tahanan 27.000
Haiti Burundi Afrika Selatan
8600 N/A 21.000
Ecuador Guatemala
N/A 42.275 korban, termasuk mereka yang terbunuh, hilang, disiksa dan diperkosa24
0 32
3 tahun 8 bulan
40 tahun 12 tahun
27 3
Sekitar 20 15-4522
29 hilang, 19 pengaduan, 11 terdakwa
8 bulan
11,5 tahun
3
7
0
3 tahun
5,5 tahun
3 per-komisi
0 N/A Semua kasus dikolaborasikan untuk program perbaikan; ribuan dari aplikasi amnesty diselidiki, seperti juga beberapa investigasi khusus lainnya N/A 100
10 bulan 10 bulan 2-5 tahun23
3 tahun 2 tahun 34 tahun
7 5 17
5-20 perkomisi 50-100 N/A 300
1 tahun 1-5 tahun
17 tahun 34 tahun
7 3
N/A Sampai 200
22
Termasuk sekitar duapuluh staf sementara yang disewa untuk satu sampai tiga bulan pemrosesan data dan pemasukan data. 23 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan bekerja untuk satu dan satu setengah tahun, kemudian dihentikan selama delapan belas bulan sedangkan Komite Amnesti menyelesaikan kerjanya; mereka akan berkumpul kembali untuk memasukkan laporan akhir pada tahun 2000. 24 Menggunakan sumber utama dan sampingan, Komisi Guatemala yang diperkirakan sampai 200.000 orang terbunuh atau hilang selama lebih tiga puluh tahun konflik bersenjata.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Nigeria Sierra Leone
Masih dalam proses Masih dalam proses
Masih dalam proses Masih dalam proses
Diperkirakan 1 tahun Diperkirakan 1 sampai 1,5 tahun.
33 tahun
6
N/A
9 tahun
7
N/A
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Tabel 8 Mana yang Paling Baik? Besar/Berkuasa/Luas
Kecil/Lemah /Terbatas
Komentar
ANGGARAN $35 juta Afrika Selatan
$5-35 juta Guatemala
$1-5 juta Cili El salvador
<$500k Chad ANC (1 dan 2)
$500k1 juta Uganda (1986)
JUMLAH STAF 200 Afrika Selatan
101-200 Guatemala
$51-100 Argentina Cili Haiti
11-50 El Salvador Uganda (1986)
1-10
MASA TUGAS KOMISI >3 tahun Uganda (1986)
2-3 tahun Afrika Selatan Sri Lanka
9 bulan1 tahun Argentina Cili Haiti
1-2 tahun Guatemala Sierra Leone Nigeria
< 9 tahun El Salvador
Komisi harus diberi tenggat waktu, bahkan jika diperpanjang
MANDAT: PERIODE WAKTU YANG DIINVESTIGASI 30 tahun Afrika Selatan Guatemala Nigeria
15-29 tahun Cili
10-14 tahun El Salvador
5-9 tahun Argentina Sierra Leone
<5 tahun Haiti
Harus ditentukan sesuai dengan kondisi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +622179192519
Besar/Berkuasa/Luas
Kecil/Lemah /Terbatas
Komentar
MANDAT: KEKUATAN INVESTIGASI (SUBPOENA, PENCARIAN DAN PENYITAAN, PERLINDUNGAN SAKSI Sri Lanka El Salvador Uganda (1986)
Afrika Selatan Sierra Leone
Argentina Cili Haiti Guatemala
MANDAT: KEKUATAN LAPORAN (NAMA PELAKU, MEMBUAT REKOMENDASI PERINTAH) Sangat Kuat: El Salvador Sierra Leone
Kuat: Afrika Selatan
Cukup kuat: Sri Lanka
MANDAT: KELUASAN INVESTIGASI Beberapa Sri Lanka Sangat luas: kekerasan tidak El Salvador dimasukkan Chad Guatemala Nigeria
Kurang: Cili Argentina
Banyak yang tidak dimasukkan: Chili
MANDAT: PIHAK-PIHAK YANG HARUS DIINVESTIGASI Konflik Konflik kompleks yang dua pihak: melibatkan tiga El Salvador atau lebih pihak: Guatemala Afrika Selatan Cili
Terbatas: Guatemala Haiti
Fokus sempit: Argentina
Konflik satu pihak: Argentina Chad Haiti ANC 1 dan 2
Harus ditentukan sesuai dengan kondsi
= Ideal di banyak situasi
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +622179192519
Profil ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Mayarakat (Institute for Policy Research and Advocacy) yang disingkat ELSAM adalah organisasi advokasi kebijakan yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia.
Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM Dewan Pengurus: Ketua: Asmara Nababan, S.H.; Wakil Ketua: Mustafsirah Marcoes, M.A.; Sekretaris: Drs. Hadimulyo, M.Sc.; Bendahara: Ir. Yosep Adi Prasetyo; Anggota: Sandrayati Moniaga, S.H., Ir. Augustinus Rumansara, M.Sc., Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., L.LM, Dra. Maria Hartiningsih, Kamala Chandrakirana, Suraiya Kamaruzzaman, Christina Joseph (alm.), Johny Simanjuntak, S.H., Raharja Waluya Jati, Ifdhal Kasim, S.H., Agung Putri, E. Rini Pratsnawati, Ery Seda. Pelaksana Harian: Direktur Eksekutif: Staf:
Ifdhal Kasim, S.H. Agung Putri, Atnike Nova Sigiro, Elisabeth Maria Sagala, Ester Rini Pratsnawati, Adiani Hapsari Widowati, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Maria Ririhena, Triana Dyah, Yosephine Dian Indraswari, Yussy Agastuty Purnami, Abdul Haris Semendawai, Agung Yudhawiranata, Amiruddin al Rahab, Edisius Riyadi, Khumaedi, Otto Adi Yulianto, Paijo, Sentot Setyosiswanto, Supriyadi Widodo Eddyono.
Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519; Email:
[email protected], atau
[email protected]; Website: www.elsam.or.id
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519
Back Cover Text Dalam Kebenaran Tak Terbahasakan, Priscilla Hayner menghadirkan sebuah eksplorasi yang mengagumkan, eksplorasi yang definitif tentang komisi-komisi kebenaran di pelbagai belahan dunia ini. Melalui buku ini, ia juga memaparkan betapa perihnya kebencian, betapa tak adilnya dunia yang diwariskan dari kebencian itu, kebencian yang hendak dipecahkan oleh komisi-komisi tersebut. Ia mengurai-bongkar dan melakukan refleksi terhadap dua puluh satu komisi kebenaran yang dikenal luas di pelbagai belahan dunia, dengan memberikan penekanan khusus pada Afrika Selatan, El Salvador, Argentina, Cili, dan Guatemala. Melengkapi dirinya dengan ratusan wawancara di lusinan negara, buku ini menghadirkan suatu pandangan kritis terhadap keberadaan pelbagai komisi kebenaran tersebut. Dengan itu pula, penulisnya menemukan bahwa para korban ternyata terjebak antara pilihan kebutuhan untuk mengingat dan kebutuhan untuk melupakan. Dalam tatanan dunia pasca-Perang Dingin, demokrasi masa depan dan perdamaian barangkali bersandar pada perdebatan ini. Bagi semua pihak yang peduli akan nasib demokrasi, keadilan, kebebasan dan peradaban global, buku Kebenaran Tak Terbahasakan ini patut menjadi salah satu bacaan utama Anda. *** Priscilla B. Hayner adalah Direktur Program pada International Center for Transitional Justice di New York City.
Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia 12510 Telp. +6221-7972662, 79192564 Faks. +6221-79192519