Edisi Juni 2002
Mengartikan Kebenaran Iklim Bisnis Dan Masa Depan Otonomi Daerah KREASI DAERAH CENDERUNG BERMASALAH Seri Talk Show Otda KPEN dan KPPOD di TVRI
Mempertegas Eksistensi Lembaga dan Mendiseminasi Ide Strategis tentang Otonomi Daerah Sisipan LPEM-FEUI Unit Pemantauan Desentralisasi BUPATI SLEMAN H. IBNU SUBIYANTO, Akt :
“MASYARAKAT YANG BEKERJA PEMDA HANYA MEMFASILITASI” SOEDJAI KARTASASMITA :
“OTONOMI DAERAH AGAR PERTUMBUHAN EKONOMI MERATA KE SELURUH DAERAH” Pajak Penerangan Jalan atau Pajak Penggunaan Tenaga Listrik?
Mengartikan Kebenaran Mana yang lebih dulu, telur (ayam) atau ayam (betina)?”. Ada yang menjawab telur dulu karena ayam berasal dari telur yang menetas – jawaban itu rasanya benar. Namun pihak lain mengatakan ayam dahulu karena telur dihasilkan oleh ayam itu – kebenaran inipun sulit dibantah. Itulah perbincangan ‘sederhana’ yang sering muncul dalam kehidupan sehari hari kita – sulit untuk menentukan mana yang benar atau mana yang lebih benar!. Dalam pengaturan kehidupan masyarakat modern kita kenal produk hukum sebagai kontrak sosial antara masyarakat dengan negara. Ketika aturan hukum dipenuhi oleh subyek hukum, diasumsikan tidak ada masalah – walaupun sangat mungkin bahwa sebenarnya subyek hukum tidak bisa menerima pengaturan tersebut dengan alasan yang – katakanlah valid – namun lebih memilih diam karena banyak hal. Persoalan dianggap ada ketika subyek hukum menunjukkan penolakannya untuk mengikuti aturan tersebut. Dasar penolakannya bisa sangat beragam, karena tidak mampu untuk memenuhinya, merasa dirugikan dengan peraturan tersebut, atau ada yang merasa materi aturan tersebut tidak benar, dll. Di negara yang menganut supremasi hukum – secara formal – penyelesaian persoalan hukum relatif mudah terjawab dengan pengajuan keberatan ke lapis institusi yang diberi otoritas formal untuk memberikan ‘fatwa hukum’, MA misalnya. Yang jadi soal adalah bila pihak yang dikalahkan, berupaya untuk membalasnya karena tidak bisa menerima ‘keadilan’ dari putusan tersebut. Dalam konteks Indonesia, keadilan yang tidak dirasakan para pihak yang bersengketa bisa sangat valid mengingat buramnya potret penegakan hukum kita. Gugatan berbagai unsur dunia usaha terhadap materi kebijakan publik tentang Pajak Penerangan Jalan (PPJ) merupakan suatu contoh ‘kecil’ untuk menghayati makna kebenaran. Upaya pendekatan hukum formal – yang dalam catatan di atas dikatakan relatif sederhana – dengan pengajuan keberatan terhadap institusi yang berwenang dengan segala argumen hukumnya; dalam prakteknya sangat melelahkan, dan belum tentu mendapatkan ‘keadilan’ sebagaimana diharapkan. Pembebanan PPJ yang dirasa dunia usaha tidak adil, bila tidak mendapatkan win win solution bagi pihak yang bersengketa, bisa saja memaksa dunia usaha untuk mengurangi penerangan jalan yang diusahakannya sendiri dengan biaya sendiri agar berkurang beban PPJ yang harus ditanggungnya. Bila ini yang terjadi, efeknya adalah berkurangnya fasilitas penerangan jalan bagi masyarakat sekitar yang mendapat manfaat dari penerangan jalan tersebut – akan cukup signifikan bila melingkupi area yang sangat luas, perkebunan misalnya. Bila hal itu yang dilakukan dunia usaha, apakah kemudian kita bisa katakan bahwa mereka hanya mementingkan pihaknya sendiri? Sementara itu apakah kita juga bisa menyalahkan pihak pemegang otoritas atas kebenaran hukum yang berpegang pada prinsip redistribusi pajak untuk keperluan pengadaan PPJ tersebut? Para pemegang otoritas kebenaran hukum tentu harus memperhitungkan segala kemungkinan yang bisa terjadi dari keputusan akhir yang akan dibuatnya. Selain soal normatif seperti moral, ketidakberpihakan dalam memutus perkara, ‘keadilan’ sangat menuntut kapasitas para penegak hukum yang memadai dalam memahami persoalan teknis yang dihadapinya dengan melihat kepentingan substansial yang lebih luas. Kiranya dengan modal itu, arti kebenaran bisa dipahami relatif lebih memadai, lepas dari kepentingan pihak yang memiliki bagaining position lebih kuat dan pemanfaatan kekuasaan sesaat. (pap)
Gambar Sampul : Diambil dari kumpulan fotofoto dari Photoimage vol. 10. Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas www.google.com.
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 12th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, http://www. kppod.org/, E-mail :
[email protected]. Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
Iklim Bisnis Dan Masa Depan Otonomi Daerah Haryadi Sukamdani *) Dunia usaha dengan para pelakunya Stabilitas politik. Masyarakat semakin berkaitan dengan masalah kepastian sebagai penggerak ekonomi suatu negara pesimis melihat masa depan partai politik hukum adalah permasalahan pertanahan. dan dunia secara keseluruhan mempunyai di Indonesia, hampir semua partai politik Walaupun semua perizinan telah dimiliki karakter yang khas yaitu cenderung tidak mempunyai sumber daya manusia oleh perusahaan selalu saja ada gugatan memilih iklim usaha yang kondusif yang berkualitas baik. Kualitas di sini dari pihak-pihak oportunis untuk dengan tingkat jaminan meraup keuntungan pengembalian investasi yang dengan menimbulkan maksimum. permasalahan yang Pe n g e r t i a n j a m i n a n tidak ada dasar investasi maksimum bagi hukumnya. Dan para pelaku ekonomi yang memprihatikan adalah stabilitas keamanan, lembaga peradilan stabilitas politik, kepastian Indonesia sering hukum, peraturan/kebijakan m e n j a d i k a n yang kondusif untuk permasalahan ini pengembangan usaha. sebagai obyek Keempat faktor tersebut pemerasan dengan sebenarnya sangat dipahami mendukung gugatanoleh para penyelenggara gugatan tersebut. negara di dunia ini. Namun Peraturan/ sayangnya masih banyak Kebijakan Otonomi p e n y e l e n g g a r a n e g a r a Kepastian hukum - Persepesi yang buruk pada sistem hukum menyebabkan kepastian Ya n g K o n d u s i f . yang berwawasan jangka hukum di Indonesia menjadi barang langka. Banyak peraturan pendek dan terjebak pada yang tumpang tindih, pola berpikir untuk mempertahankan mencakup kemampuan managerial, kontra produktif, dan dibuat sepotongkekuasaan semata, akibatnya negara intelektual, dukungan konstituen, dan sepotong sehingga tidak memiliki seperti ini tidak mempunyai perencanaan integritas/kredibilitas. suatu kebijakan yang intgrated. Salah jangka panjang yang matang dan daya Pola berpikirnya hanya untuk berkuasa satu peraturan yang kontra produktif tahan perekonomiannya sangat rapuh dengan menghalalkan segala cara bila adalah peraturan tentang pengolahan karena dikalahkan oleh kepentingan perlu mengorbankan kepentingan jangka sumber daya alam seperti pemberian politik sesaat. Untuk Indonesia saat ini panjang bangsa Indonesia. Win the war but Izin Pamanfaatan Hasil Hutan Kayu keempat faktor tersebut sangat tidak loose the battle. Dapat meraih kekuasaan (IPHHK) dalam skala kecil 10.000 ha mendukung tapi sendi-sendi kehidupan berbangsa yang diperuntukan untuk UKMK oleh S t a b i l i t a s Pihak pemerintah sebagai eksekutif dan bernegara sudah Bupati. Tujuan dari kebijakan ini adalah k e a m a n a n . mempunyai kecenderungan untuk terlanjur hancur. baik karena ditujukan untuk mendorong Te r l a l u b a n y a k mengeluarkan peraturan/kebijakan K e p a s t i a n pengembangan UKMK, tapi yang kasus kekacauan yang bersifat tambal sulam dan h u k u m . D i terjadi adalah IPHHK tersebut menjadi keamanan yang kontra produktif terhadap pemu- Indonesia masyarakat sarana oleh pihak-pihak yang tidak terjadi mulai dari s u d a h t e r l a n j u r bertanggung jawab untuk melakukan lihan dan perkembagan ekonomi. yang berkaitan mempunyai persepsi penebangan hutan secara serampangan dengan issue politik, separatisme, sara, yang buruk pada sistem hukumnya. dan menimbulkan masalah kayu ilegal sampai kriminal murni. Dan yang Dalam pandangan mereka hukum hanya dalam jumlah besar. Pada akhirnya memprihatinkan penanggulanggan milik yang kaya dan kuat, hal yang benar menyebabkan harga kayu Indonesia jatuh masalah keamanan ini belum menunjukan dapat menjadi salah, dan yang salah dapat di pasaran internasional. kemajuan yang cukup berarti. Wibawa menjadi benar. Justri lembaga penegakan Apabila diperhatikan pihak aparat keamanan sudah sangat terpuruk di hukum adalah lembaga yang paling korup pemerintah sebagai eksekutif mempunyai mata masyarakat, bahkan semakin banyak dan merupakan lembaga preman yang kecenderungan untuk mengeluarkan oknumnya terlibat kasus pelanggaran dilegalisir. peraturan/kebijakan yang bersifat tambal hukum. Salah satu permasalahan yang sulam dan kontra produktif terhadap
2
pemulihan dan perkembagan ekonomi. Hal ini mengakibatkan sektor riil sebagai lokomotif penggerak ekonomi selalu dikorbankan sebagai contoh pada negara-negara yang juga terlanda krisis seperti Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia melakukan kebijakan fiskal, moneter, dan perbankan yang kondusif seperti pengurangan pajak, mendorong peningkatan ekspor, dan penurunan suku bunga perbankan. Tapi di Indonesia yang dilakukan sebaliknya. Bila melihat kenyataan seperti disebutkan di atas, maka memang berat bagi bangsa Indonesia untu keluar dari krisis tanpa kepemimpinan nasional yang solid. Kualitas Pelayanan Publik Apabila menyimak kualitas pelayanan publik pada platform otonomi daerah, seharusnya terjadi peningkatan yang signifikan karena dalam APBD anggaran biaya rutin lebih besar dari biaya pembangunan, terlebih lagi dengan telah dinaikkannya gaji pegawai negeri. Tetapi yang terjadi adalah kualitas pelayanan publik tersebut justru menurun. Tata cara bekerja yang mencerminkan budaya KKN sama sekali tidak turun tapi justru meningkat baik secara jumlah maupun kualitasnya. Hal ini terutama yang terkait dengan proses mendapatkan atau memperpanjang perizinan, proses pemeriksaan pajak, penetapan retribusi, proses hukum di pengadilan, dan lain-lain. Manarik untuk dijadikan referensi adalah pelaksanaan otonomi daerah di RRC, seluruh kalangan birokrat pemerintah telah dilatif dan ditanamkan jiwa profesional untuk menjalankan fungsi pelayanan publik dengan baik. Cara bekerja mereka seperti real businessman dalam meyakinkan investor untuk mau menanamkan investasinya di RRC dan di lain pihak mereka memegang teguh jati dirinya sebagai pelayan publik. Hal ini ditambah insentif peraturan pemerintah RRC untuk menarik investor asing yaitu antara lain : - Hak pakai tanah dan bangunan antara 50 sampai 75 tahun (semacam HGB) - Tax Holiday selama 3 tahun
- Discount income tax 50 persen (dari income tax 24 persen) untuk tahun ke-4 & 5 - Bila 70% hasil produksi untuk ekspor maka tahun ke-6 sampai berakhirnya hak pakai tanah dan bangunan tetap mendapat discount income tax sebesar 50%
daerah kaya untuk menjadi negara baru. Hal ini tidak mengada-ada karena mencermati perkembangan politik yang terjadi khususnya pada Sidang Tahunan MPR 2001 telah diambil suatu keputusan yang terburu-buru tanpa memikiran dampaknya bagi masa depan bangsa Indonesia yaitu keputusan melakukan amandemen UUD 1945 untuk menjadi sistem perwakilan dari yang semula unikameral menjadi bikameral. Esensi bikameral dalam sistem ketatanegaraan yang diputuskan tersebut adalah : 1. MPR akan memiliki 2 kamar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2. Jumlah Anggota DPD adalah sepertiga anggota DPR 3. Hak DPD adalah : - Mengajukan rancangan UU yang Hal ini masih ditambah kondisi yang berkaitan dengan otonomi daerah, kondusif untuk investasi seperti suku hubungan pusat dan daerah, bunga perbankan yang relatif kompetitif pembentukan dan pemekaran yaitu 6 – 7%, stabilitas nilai tukar Yuan, serta penggabungan daerah, sarana infrastruktur yang lengkap, buruh pengelolaan sumber daya alam yang terampil dan memiliki produktivitas dan sumber daya ekonomi lainnya tinggi, perbaikan secara terus menerus serta yang berkaitan dengan sistem hukum dan peradilan, jaminan perimbangan keuangan pusat keamanan yang memadai, pangsa dan daerah. pasar domestik yang sangat besar yaitu - Ikut membahas RUU yang penduduk dengan populasi lebih besar berkaitan dengan otonomi daerah; dari 1,3 milyar jiwa. hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran Tinjuan Atas Masa Depan Otonomi serta penggabungan daerah, Daerah pengelolaan sumber daya alam Menyimak lahirnya dan sumber peraturan otonomi Semangat otonomi tersebut telah daya ekonomi daerah melalui UU dipolitisasi menjadi semangat untuk lainnya serta O t o n o m i D a e r a h menjadikan negara Republik Indonesia yang berkaitan yang meliputi UU negara federal yang pada akhirnya d e n g a n No. 22/1999 tentang akan merangsang daerah-daerah kaya perimbangan Pemerintahan Daerah untuk menjadi negara baru. keuangan dan UU No. 25/1999 pusat dan tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah; serta memberikan Daerah sebenarnya adalah sangat unik pertimbangan kepada DPR karena bertujuan memberi keadilan dan atas RUU APBN dan RUU pemerataan kesempatan untuk maju dan yang berkaitan dengan pajak, berkembang bagi seluruh daerah. pendidikan, dan agama. Namun yang terjadi adalah proses - Dapat melakukan pengawasan desentralisasi tersebut mengalami euforia atas pelaksanaan UU mengenai yang kebablasan, semangat otonomi otonomi daerah; hubungan pusat tersebut telah dipolitisasi menjadi dan daerah, pembentukan dan semangat untuk menjadikan negara pemekaran serta penggabungan Republik Indonesia negara federal yang daerah, pengelolaan sumber pada akhirnya akan merangsang daerahdaya alam dan sumber daya
3
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta menyampaikan hasil pengawasannya kepda DPR sebagai pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
lebih dari 2/3 anggota kongres serta diratifikasi oleh ¾ parlemen negaranegara bagian. Bahkan Jerman UUD-nya melarang amandemen terhadap pasal yang berkenaan dengan sistem ketatanegaraan serta jumlah negara bagiannya dan amandemen untuk pasal-pasal lainnya hanya boleh dalam bentuk modifikasi atau tambahan sebagai apendiks dari UUD-nya. Memang ada pula negara yang mengamandemen UUD seperti Thailand yang dalam kurun waktu kurang dari 70 tahun (1932- 1997) telah melakukan 16 kali
Melihat kewenangan yang besar dari DPD ini maka dapat dibayangkan proses legalisasi yang terjadi akan panjang dan akan sangat dipengaruhi kepentingan daerah. Yang menjadi kekhawatiran adalah apabila hasil produk UU yang dihasilkan justru akan melemahkan sendisendi negara kesatuan maka yang terjadi adalah daerah yang kaya akan semakin kaya dan mulau berpikiran untuk menjadi negara baru, sedangkan daerah miskin Stabilitas Politik - Suhu politik yang stabil menjadi faktor penting akan semakin miskin. investor yang ingin menanamkan modal. Pa d a h a l a p a b i l a yang menjadi permasalahan adalah amandemen dan 8 kali unikameral dan 8 keadilan dan pemerataan kesempatan kali bikameral tapi perlu diingat Thailand untuk maju secara ekonomi, sosial, memiliki seorang raja yang menjadi budaya, keagamaan, dan kesejahteraan panutan atau figur pemersatu bangsa. maka pengaturannya dapat diatur secara Jangan pernah membayangkan hal ini UU bukan dengan merombak sistem terjadi di Indonesia. Studi yang dilakukan ketatanegaraan dalam UUD yang akan oleh National Democratic Institute (NDI) membuat ketidak stabilan politik dan for International Affaris menunjukkan keamanan baru. angka nominal yang secara prosentase Dalam kasus Aceh misalnya, keinginan lebih besar jumlah negara kesatuan yang rakyat Aceh untuk menjalankan Syari’at menganut sistem unikameral, yaitu 54 Islam telah dapat dilaksanakan dan dari 66 negara kesatuan menganut sistem dijamin oleh UU Nanggroe Aceh unikameral, sedangkan 16 dari 17 negara Darussalam, demikian pula aspirasi federal menganut sistem bikameral. daerah lainnya akan sangat dimungkinkan Arrend Lijphart dalam bukunya untu dibuatkan UU sebagai dasar hukum “Pattern of Democracy; Government untuk menjamin kelangsungan aspirasi Forms and Performance in Thirty tersebut. Six Countries” mengutip studi yang Sebagai catatan, dalam sejarah negara- dilakukan Tsebiels dan Jeannette Money negara demokrasi yang berkonstitusi (1997) menyatakan bahwa 1/3 negara tertulis, banyak negar yang untuk di dunia menganut sistem bikameral mengamandemen UUD-nya diperlukan dan 2/3 negara lainnya menganut “supermajority” seperti Amerika Serikat, sistem unikameral. Secara kumulatif dia Jepang, Australia, Canada, Swiss, dan menyatakan 99% negara federal menganut Jerman yaitu mensyaratkan harus sistem bikameral sedangkan 84% negara diusulkan 2/3 anggota Kongres (2/3 kesatuan menganut sistem unikameral. DPR dan 2/3 Senat) dan disetujui oleh Lebih lanjut dia menyatakan bahwa dalam
4
sejarah belum ada negara yang menganut sistem unikameral berubah menjadi bikameral kecuali Thailand. Sebaliknya ada negara penganut bikameral yang berubah menjadi unikameral yaitu negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia, Norwegia, dan Finlandia), Islandia, dan New Zealand. Yang juga menjadi kekhawatiran banyak kalangan masyarakat bahwa amandemen masalah bikameral ini dalam proses pengambilan keputusannya tidak melalui waktu sosialisasi yang cukup sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahui dampak negatif yang terjadi tetapi sudah terlanjur diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR RI 2001, dan dikhawatirkan pula masalah ini dimunculkan oleh partai politik sebagai sarana kampanye untuk meraih suara dalam pemilu 2004 , sehingga kemungkinan pihak-pihak yang tidak setuju akan semakin menguat dan dapat membatalkan proses akhir bagi kehadiran amandemen UUD 1945 yang dijadwalkan Agustus 2002. Bila sampai terjadi pembatalan amandemen juga akan menimbulkan masalah politik baru karena sebagian masyarakat akan menuduh MPR tidak menjalankan amanat reformasi untuk mengamandemen UUD 1945. Maka menjadi bahan renungan kita bersama untuk mengendapkan masalah otonomi daerah ini secara bijak. Apakah kita akan mengalami keruntuhan ekonomi seperti Argentina atau tercabikcabik sebagai bangsa seperti Yugoslavia dan ex Uni Sovyet? Tanpa peran aktif kita memikirkan masa depan bangsa maka bukan mustahil hal tersebut dapat menjadi kenyataan yang pedih Haryadi Sukamdani Sekretaris KPEN-KADIN, Sekretaris Fraksi Utusan Golongan MPR-RI Disampaikan dalam seminar “Otonomi Daerah dan Iklim Usaha” Jakarta 19 Maret 2002
KREASI DAERAH CENDERUNG BERMASALAH Untuk mensosialisasikan hasil kajian KPPOD atas 340 Peraturan Daerah, KPPOD dengan dukungan finansial PEG-USAID menyelenggarakan suatu seminar tentang “Otonomi Daerah dan Iklim Usaha” yang diselenggarakan tgl. 19 Maret 2002 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Seminar yang diikuti 42 peserta dari unsur Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, Dunia Usaha, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Lembaga Donor dan Pers; diawali sambutan Bambang Sujagad, MA (Ketua KPPOD) dan dibuka oleh David Ray, Ph.D, dari PEG-USAID yang menekankan pentingnya upaya untuk terus menerus mencermati pelaksanaan otonomi daerah dari segi ekonomi.
P. Agung Pambudhi sebagai Koordinator daerah (non listed UU 34/2000) lebih Dari unsur pemerintah pusat, Tjip Ismail, Tim Penelitian mengawali presentasi bermasalah dibandingkan jenis Perda SH, MBA, MM Direktur Keuangan Daerah sesi pertama dengan penyampaian hasil pungutan yang disebut secara jelas di Departemen Keuangan mengungkapkan kajian Peraturan Daerah (Perda) melalui UU mengenai Pajak & Retribusi Daerah beratnya kondisi keuangan daerah untuk identifikasi tingkat kebermasalahan tersebut. Dari indikasi ini perlu untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Perda yang diklasifikasikan dalam 3 (tiga) mempertimbangkan kembali secara Terhadap hasil penelitian KPPOD, kategori yaitu: bermasalah prinsip mendalam efektifitas jenis jenis pungutan dia mengemukakan bahwa besarnya seperti pelang garan y a n g s e c a r a l i m i t a t i f prosentase Perda bermasalah salah p r i n s i p h a m b a t a n besarnya prosentase Perda disebutkan dalam UU satunya disebabkan keterlambatan t a r i f m a u p u n n o n bermasalah salah satunya sebelumnya yaitu UU panduan pemerintah pusat kepada tarif perdag ang an, disebabkan keterlambatan 18/1997. daerah (dicontohkannya PP 65/2001 pungutan ganda, dan panduan pemerintah pusat Dalam sesi kedua, Ir. H. tentang Pajak Daerah & PP 66/2001 validitas Perda sebagai kepada daerah Dodi Rosadi Dipl. SE tentang Retribusi Daerah sangat terlambat mekanisme pencapaian (Kepala Bapeda Kota terbit sehingga muncul berbagai Perda tujuan pembangunan; ber masalah Sukabumi) menyampaikan kesulitan bermasalah tersebut). Permasalahan lain substansi seperti ketidakjelasan obyek, daerah dalam membiayai pembangunan yang dihadapi adalah adanya penolakan prosedur, struktur tarif, hubungan antara daerahnya dimana umumnya PAD sebagian daerah untuk membatalkan tujuan-isi, kemitraan wajib, dll.; serta (Pendapatan Asli Daerah) rata rata Perdanya yang dinilai bermasalah oleh bermasalah teknis menyangkut relevansi Kabupaten / Kota di Indonesia sangat pemerintah pusat. acuan yuridis formal. kecil sekitar 4.5% (PAD Kota Sukabumi Pa n e l i s l a i n n y a d a r i U n ive r s i t a s Disampaikannya bahwa dari 340 Perda 9.5%). Dikemukakannya bahwa dalam Indonesia, Dr. Raksaka Mahi menyoroti yang dianalisis, ada 31 % Perda yang memotret otonomi daerah perlu dilihat lemahnya kreatifitas daerah dalam tidak bermasalah, 17 % Perda yang struktur APBD secara keseluruhan, tidak menghasilkan peningkatan PAD yang bermasalah teknis, 42 % Perda yang hanya PAD. masih berdasarkan pendekatan yang bermasalah substansi, dan 10 % Perda Selanjutnya sebagai pengusaha, pembicara sangat klasik dengan penambahan jenis yang bermasalah secara prinsip. Dengan berikutnya Haryadi B. Sukamdani, pungutan dan ekstensifikasi subyek pajak. demikian, secara keseluruhan Perda- mengemukakan perlunya stabilitas politik, Untuk peningkatan pendapatan daerah, Perda yang dianalisis memperlihatkan jaminan keamanan dan kepastian hukum disarankannya agar daerah memberikan kecenderungan bermasalah lebih tinggi untuk mendukung iklim usaha yang nilai tambah pelayanan sehingga menambah daripada tidak bermasalah. Ada 31 % kondusif. Sayangnya dunia pendapatan Selain pengawasan represif Perda yang tidak bermasalah sedangkan usaha melihat bahwa hal (contoh: Rumah sisanya 69 % bermasalah, baik secara hal tersebut belum tercipta pemerintah pusat, ditekankan Sakit VIP, fasilitas prinsip, substansi, maupun teknis. sehingga sulit diharapkan j u g a p e n t i n g n y a p e r a n p e r i s t i r a h a t a n Tendensi kebermasalahan yang dilihat dapat mendukung dunia pengawasan masyarakat sekitar Terminal, dengan menggunakan tolok ukur sederhana usaha. Pengusaha yang dalam menyikapi kebijakan dll. yang dapat ini (bermasalah prinsip dan substansi) juga ang g ota MPR ini k e b i j a k a n p u b l i k y a n g m e n a m b a h bervariasi antar-kelompok. Perda non- mengkhawatirkan adanya merugikan masyarakat luas. p e n d a p a t a n pajak non-retribusi memperlihatkan indikasi ancaman kesatuan retribusinya). kecenderungan bermasalah paling tinggi nasional karena ketidaksiapan daerah Selanjutnya dia mengemukakan 4 (empat) (75 %), dibandingkan dengan Perda dalam pelaksanaan otonomi daerah; implikasi dari adanya Perda bermasalah retribusi yang hanya 49 % dan Perda pajak lebih jauh dia mengaitkannya dengan yaitu: perilaku bekerja - pekerja produktif daerah yang juga 45 %. eksistensi sistim bikameral di MPR yang mengurangi waktu produktif kerjanya; Hal lain yang bisa dilihat adalah bahwa dikhawatirkannya semakin mendorong Perda pungutan yang dikreasikan oleh ancaman kesatuan nasional. (bersambung ke hal 8)
5
Seri Talk Show Otda KPEN dan KPPOD di TVRI
Mempertegas Eksistensi Lembaga dan Mendiseminasi Ide Strategis tentang Otonomi Daerah Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN-Kadin) dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) telah menyelenggarakan talk show otda dengan menyewa siaran (blocking time) TVRI sebanyak 9 seri, berlangsung setiap hari Selasa Pkl. 19.00 – 20.00 WIB sejak tanggal 4 Februari 2002 - 23 April 2002. Sebagain besar tema yang diangkat berkaitan dengan potensi ekonomi lokal, desentralisasi fiskal dan keuangan daerah, kualitas kebijakan dan pelayanan pemerintah dalam bidang investasi, dan semacamnya. Sedangkan para pembicara yang diundang merepresentasikan latar belakang status kerja yang cukup komplit: unsur akademisi, pelaku usaha, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sendiri. Sebagai sebuah eksperimentasi politik yang besar, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah saat ini tidak sekedar sebagai keniscayaan (point of no return) di jaman baru (pasca otokrasi Orba), tetapi juga mesti dipastikan arah perjalanan dan tingkat keberhasilannya. Betapa tidak, kebijakan ini mengusung misi penting bagi eksistensi negara-bangsa kita dan upaya penghidupan masyarakatbangsa di dalamnya. Konteksnya, di bidang politik itu berarti upaya pencegahan disintegrasi nasional dan demokratisasi politik lokal; di bidang ekonomi menyangkut pembangkitan daya saing lokal untuk membentuk daya saing agregat nasional dalam kompetisinya di percaturan global; di bidang kapasitas administrasi adalah efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan; dan sebagainya. Mengambil bidang ekonomi sebagai tema umum pembicaraan, KPPOD menampilkan sejumlah isu kebijakan dan peta permasalahan yang berkaitan di dalamnya. Dalam tema pembuka, menyangkut D a y a Ta r i k I n ve s t a s i D a e r a h Otonom—dengan menghadirkan
6
Djisman Simanjuntak (CSIS), P. Agung Pambudhi (KPPOD), Haryadi Sukamdani (Pengusaha), dan Wawan Hendarawan (Pemda Kota Bekasi) sebagai pembicara—ditekankan pentingnya faktor kondisionalitas dan kelembagaan dalam suatu keputusan investasi usaha. Contoh paling penting adalah situasi
kemananan sosial dan penegakan hukum, profil kebijakan (terutama Perda) dan konsistensi pelaksanaannya di lapangan, dan sebagainya. Artinya, daya tarik investasi suatu daerah dan daya saing relatifnya terhadap daerah-daerah lainnya banyak dipengaruhi oleh faktor “buatan” masyarakat dan pemerintah daerah sendiri. Diingatkan pula, penilaian atas daya tarik investasi ini tidak semata dilihat dari sisi produk kebijakan semata, tapi juga sejauh mana proses pembuatannya telah melibatkan partisipasi para stakeholder
terkait. Dalam seri kedua, dengan tema pembicaraan yang lebih umum yakni Revisi UU Otonomi Daerah, Bambang Brodjonegoro (UI), Anton J. Supit (Pengusaha), Made Suwandi (Depdagri), Felix Fernandez (Bupati Flores Timur) dan Awang Ischan (Walikota Singkawang) secara umum menyepakati p e r l u n y a perbaikan atas UU tersebut (dengan beberapa catatan dari kedua Kepala Daerah). Menarik dicermati usulan dari Bambang Brodjonegoro bahwa poses perbaikan UU Otonomi Daerah harus mengikuti prinsip “money follow function”. Artinya, dipastikan dulu revisi UU yang memuat sejumlah kerwenangan yang dilimpahkan kepada daerah baru kemudian disusul perbaikan pada UU tentang soal keuangan yang didesentralisasikan sebagai biaya pengurusan kewenangan tersebut. Seri ketiga, menghadirkan Hadi Soesastro (CSIS), Soedjai Kartasasmita (Pengusaha), Tjip Ismail (Depkeu), dan Molly Mulhayati (Walikota Sukabumi), dengan tema diskusi tentang PAD dan Hambatan Tarif Perdagangan. Standing point diskusi ini, sebagai mana yang ditekankan Hadi Soestaro, adalah penghargaan atas prinsip kesatuan
ekonomi nasional (yang justru kian penting di era otonomi) dan orientasi berkesinambungan (jangka panjang) dalam pembangunan daerah. Itu berarti, pemda sejauh mungkin menghindari kecenderungan menjadikan PAD sebagai satu-satunya sumber penghasilan daerahnya dan untuk itu menerbitkan berbagai kebijakan (Perda) pungutan yang tidak proporsional. Hal sama yang perlu dihindari pula adalah praktik proteksionisme daerah dan hambatan kelancaran perdagangan (market barrier) antar daerah yang belakangan ini merebak di sejumlah daerah. Seri keempat, mengangkat tema yang menjadi salah satu tujuan mendasar dari pelaksanaan otda yakni soal Kualitas Pelayanan sebagai Syarat Keberhasilan Otonomi, dengan pembicara Robert Simanjuntak (UI), Bambang Sujagad ( Pe n g u s a h a ) , D e s i Fernandez (LAN) dan Maman Sulaeman (Bupati Sukabumi). Bambang Sujagad yang juga merupakan Ketua KPPOD menekankan pentingnya kebijakan pemda dalam menarik para investor ke daerahnya dan kualitas pelayanan yang memadai untuk memfasiltasi keperluan usaha mereka. Dalam kerangka ini KPPOD telah membuat peringkat daya tarik investasi 90 daerah kabupaten / kota di Indonesia sebagai panduan bagi para penanam modal dalam pengambilan keputusan investasi mereka. Seri kelima, dengan tema yang lebih spesifik tentang Penambangan Tanpa Izin (Peti) dan Daya Saing Produk Pertambangan, dan menghadirkan pembicara Raksaka Mahi (UI), Paul Courtrie (Pengusaha), Agustinus Meda (Bupati Kupang) dan Endro Utomo Notodisuryo (Departemen Pertambangan). Paul Courtrie yang juga sebagai Direktur Eksekutif Indoenesia Mining Asociation (IMA) memberikan kritikannya kepada pemerintah yang belum juga merevisi UU Pertambangan (UU No. 11 / 1967), pada hal di
lapangan UU tersebut tidak begitu efektif. Sedangkan Meda, meski Kabupaten Kupang bukan merupakan daerah basis pertambangan juga memberikan kesaksian maraknya penambangan liar saat ini. Pada gilirannya, Peti ini banyak berdampak buruk terhadap lingkungan hidup, menurunkan daya saing produk pertambangan di pasar dunia, dan lain sebagainya. Seri keenam, mengangkat isu spesifik sektoral menyangkut Peran Perbankan
Dalam Menggerakan Ekonomi Daerah, dengan pembicara Pande Radja Silalahi (CSIS), Sofjan Wanandi (Pengusaha), Anwar Nasution (BI) dan Sawir Hamid (Bupati Kampar). Pernyataan umum dari Anwar Nasution bahwa pada masa pemberlakuan otda saat ini intervensi BI sebagai bank sentral pada kebijakan bank-bank milik negara di daerah juga mulai dikurangi adalah sesuatu yang berguna dalam merintis ide “desentralisasi perbankan” dan dapat mendukung mobilisasi dana daerah untuk pembangunan daerahnya. Seri ketujuh, masih dengan isu sektoral seputar Pengelolaan Kekayaan Hutan di Indonesia, dengan para pembicaranya Hariadi Kartodihardjo (IPB), Adiwarsita A. (Pengusaha) dan Awang Faroek (Bupati Kutai Timur). Isu sentral yang mengemuka dalam diskusi ini adalah maraknya praktek illegal logging, meningkatnya tingkat kerusakan hutan (deforestasi) dan tidak konsistennya UU No. 41 / 1999 yang mengatur masalah kehutanan saat ini. Khusus soal illegal logging, Adiwarsita
yang juga mengetuai Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menekankan ekses buruknya terutama pada daya saing dan harga kayu Indonesia yang jatuh di pasaran internasional. Sedangkan Awang Faroek mengharapkan agar pemerintah pusat segera mensinkronkan UU No. 41 / 1999 dengan UU tentang Otonomi Daerah yang berlaku saat ini. Selain itu ia menolak keras keputusan Menteri Kehutanan yang berusaha menarik kembali kewenangan izin pengelolaan atau pengusahaan hutan kepada pusat. Seri kedelapan, mengangkat isu spesifik regional yakni Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dengan pembicara Manuel Kaisiepo (Menteri Percepatan Pembangunan KTI), Adrianto Machribe (Pengusaha) dan Boy Tangka Warouw (Bupati Minahasa). Diawali pemetaan daerah-daerah yang termasuk KTI (secara umum adalah “Indonesia non Sumatera, Jawa dan Bali”), Manuel Kaisiepo memaparkan latar belakang pembentukan kementrian yang dipimpinnya, konsep yang dikembangkan dan lain sebagainya. Ia menekankan bahwa pembangunan kawasan ini harus dijalankan secara integral (mencakup segala aspek ekonomi, sosial, dll.) dan serasi (antar setiap wilayah). Dengan ini, percepatan pembangunan KTI tidak sekedar mengejar ketertinggalannya dari Kawasan Barat Indonesia, tapi juga tujuan internal KTI tersebut. Sedangkan Bupati Minahasa, daerah yang terletak dalam peta KTI, menekankan pentingnya keberadaan kementerian yang khusus menangani pembangunan KTI ini, setidaknya untuk mengkomunikasi dan mengkoordinasi kebijakan pembangunan antar daerah maupun daerah dengan pusat karena jelasnya lembaga yang akan dihubungi. Se r i k e s e m b i l a n , s e b a g a i s e r i penutup rangkaian panjang talk show KPPOD, diangkat tema Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dengan pembicara Bambang Brodjonegoro (UI), Machfud Sidik (Depkeu), Anton Supit (Pengusaha), Syaukani HR (Bupati
7
Kutai Kertanegara) dan Ibnu Subianto (Bupati Sleman). Bambang Brodjonegoro, dalam posisinya sebagai comoderator diskusi, mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat penting, meski tidak cukup mendapat respon yang tegas dari peserta lainnya. Menyangkut masa depan hubungan keuangan pusat dan daerah ini, apakah akan dipakai model “ketergantungan” (di mana daerah akan mendapat dana perimbangan yang cukup besar dari pusat namun [dengan demikian] memiliki kewenangan pungutan yang kecil) atau model “otonomi” (di mana sebagian besar kewenangan pungutan berada di tangan daerah sendiri dan [karena itu] pusat hanya akan memberikan lebih sedikit dana perimbangan) ? Terhadap pertanyaan ini, Machfud Sidik memberikan jawaban normatif bahwa sejalan dengan semangat Otda maka model “otonomi” yang dikehendaki ke depan; sedangkan kedua Kepala Daerah tidak memberikan jawaban yang elaboratif. Namun para pembicara sepakat bahwa asas keadilan dan kecukupan perlu diperhatikan dalam formulasi hubungan keuangan tersebut.
Jelas, berbagai tema ekonomi daerah di atas adalah variasi isu-isu kebijakan dan peta persoalan yang krusial seiring dengan kehadiran kebijakan otda saat ini dan
sekaligus hendak ditanganinya. KPPOD berkomitmen dan berkepentingan untuk mendukung upaya itu, lewat kerja-kerja pemantauannya maupun penyelenggaraan publikasi wacana di seputarnya. Pilihan atas tema ekonomi daerah, selain mewakili salah satu irisan isu penting dalam kebijakan otda yang menjadi konsentrasi monitoring lembaga , juga karena rentannya sektor ekonomi dan dunia usaha untuk disalah pakai oleh
daerah dan sekaligus strategisnya posisi sektor tersebut bagi kebertahanan / keberlanjutan kebijakan otda itu sendiri. Sulit dibayangkan bahwa kebijakan otda bisa dijadikan satu tawaran solusi baru, kalau isu desentrasliasi fiskal belum mendapat satu rumusan yang baku dan visioner, kalau keberdaaan ekonomi sektoral ternyata tidak malah lebih baik di masa otda ini, kalau fungsi pelayanan masyarakat / dunia usaha dari pemda justru dikalahkan oleh obsesi-obsesi jangka pendek, dan sebagainya seperti yang telah ditunjuk di atas. Dengan sembilan seri talk show ini, setidaknya KPPOD turut mengingatkan bahwa masih banyak agenda-agenda awal yang bahkan belum kita garap dan karena itu perlu segera dibicarakan (secara terbuka di media publik). Terlepas dari sejumlah kekurangannya, seperti pilihan Kepala Daerah yang tidak sesuai dengan tema diskusi atau alur diksusi yang terkadang tak terarah, rintisan KPPOD ini perlu disambung, oleh lembaga-lembaga lain atau pun oleh KPPOD sendiri di masa mendatang. (ndi)
KREASI DAERAH CENDERUNG (sambungan dari hal 4)
perilaku menabung - turunnya minat menabung; perilaku pemegang aset - tidak tertarik investasi di daerah yang resikonya makin besar; dan perilaku investasi - tutup perusahaan bila biaya produksi terlalu besar atau pindah lokasi usaha ke daerah atau negara lain. Menanggapi paparan para pembicara, dalam diskusi tanya jawab, antusias peserta seminar memperkaya dengan beberapa masukan penting diantaranya: perlunya kehati hatian dalam memberikan rekomendasi tentang tingkat kebermasalahan Perda karena kajian Perda tersebut terbatas pada kajian tekstual yang perlu diperdalam dengan investigasi lapangan secara langsung. Dikemukakan juga bahwa kebermasalahan suatu Perda bukan hanya karena kelemahan daerah namun juga adanya kelemahan peraturan perundangan di tingkat nasional yang menjadi acuan Perda tersebut. Sementara itu dalam mengkaji kemungkinan pengalihan pajak pusat ke daerah atau
8
pajak Propinsi ke pajak Kabupaten / Kota perlu secara cermat mempertimbangkan masukan daerah yang didasari suatu studi yang memadai. Peserta juga menekankan pentingnya peningkatan efektifitas pengawasan represif pemerintah pusat terhadap Perda yang tidak mendukung iklim investasi dengan meningkatkan kemampuan profesionalisme dalam manajemen peng awasan tersebut. Selain pengawasan represif pemerintah pusat, ditekankan juga pentingnya peran pengawasan masyarakat dalam menyikapi kebijakan kebijakan publik yang merugikan masyarakat luas. Dari peserta muncul juga usulan simpatik untuk tidak hanya mengangkat bad practices pelaksanaan otonomi daerah agar tidak diikuti daerah lain; namun perlu juga mengkampanyekan best practices nya untuk dapat diikuti oleh daerah lainnya. Hal ini sekaligus untuk menghilangkan kesan upaya meminimalisir cost dipersepsikan sebagai kampanye negatif pelaksanaan
otonomi daerah. Akhirnya, seminar ditutup oleh Dr. Hadi Soesastro yang menekankan pentingan upaya sitematis untuk memperbaiki rancang bangun perpajakan Indonesia. Terhadap Perda yang tidak masuk akal, akan muncul mekanisme alami dimana investasi akan meninggalkan daerah tersebut sehingga hal itu dengan sendirinya efektif untuk mengingatkan penyelenggara pemerintahan daerah. Yang rumit adalah apabila yang menderita karena suatu peraturan daerah bukan dari daerah tersebut namun daerah lain; disinilah peran pemerintah pusat maupun propinsi dan masyarakat luas untuk mengawasi pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kerangka luas, diharapkan otonomi daerah dapat mewujudkan demokratisasi yang mendorong para stakeholdernya untuk mencapai makna otonomi daerah yang sebenarnya yaitu otonomi bagi masyarakat daerah, bukan hanya otonomi di daerah (pap).
KAJIAN POTENSI PENERIMAAN DARI PAJAK PENERANGAN JALAN PROPINSI DKI JAKARTA* Latar Belakang oleh Pemda DKI sebesar 3% (menurut pihak PLN, khusus DKI Jakarta adalah ibukota negara dengan status khusus untuk pelanggan dari golongan rumah tangga, besarnya pajak setingkat propinsi, yang tidak memiliki daerah setingkat dikenakan flat 3%) dari total rekening listrik yang dibayarkan kabupaten/kota dengan status daerah otonom. Maka berbeda masyarakat. dengan daerah-daerah lain, otonomi di DKI Jakarta terletak di Potensi pajak penerangan jalan dihitung dengan dua tingkat propinsi. Karena itu, selain melaksanakan fungsi-fungsi pendekatan yaitu pendekatan rumah tangga dan pendekatan unit yang berdasarkan undang-undang merupakan wewenang bisnis. Pada pendekatan rumah tangga, potensi didasarkan pada pemerintah propinsi, besarnya rata-rata setiap rumah tangga dalam membayar juga melaksanakan Besar kecilnya pajak penerangan listrik setahun terakhir. Setelah didapatkan angka rata-rata f u n g s i - f u n g s i jalan ditentukan oleh beberapa tiap bulan, maka selanjutnya menjadikan data tersebut ke yang dilaksanakan faktor, seperti besarnya kemam- tingkat populasi. Hasil penghitungan potensi PPJ dari o l e h p e m e r i n t a h puan masyarakat untuk membayar rumah tangga adalah Rp. 30. 278. 823. 726. (lihat tabel 1) k a b u p a t e n / k o t a . listrik, jumlah masyarakat yang Pendekatan penghitungan yang kedua adalah berdasarkan Deng an demikian, menggu-nakan listrik selain dari survey dari unit bisnis, dalam hal ini PLN. Penghitungan f u n g s i y a n g a k a n yang dihasilkan PLN, dan tingkat dilakukan berdasarkan penerimaan PLN per bulan selama dilaksanakan sangat kolektibilitas dari pihak PLN tiga tahun terakhir (1998 – 2001). Kemudian dikalikan berat. Sebagai konsekuensinya, pemerintah DKI akan dengan besarnya pajak sebesar tiga persen, sehingga potensi memerlukan sumber penerimaan yang memadai. pajak DKI yang dapat diterima oleh Pemda DKI sebesar Rp Salah satu sumber penerimaan Pemda adalah penerimaan 116, 4 miliar. dari pajak. Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000, Pemda DKI Terdapat nilai potensi yang sangat jauh berbeda dari Jakarta berhak melakukan beberapa pungutan pajak propinsi, dua pendekatan yang dilakukan. Berdasarkan penjelasan PLN antara lain: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas DKI Jakarta, PPJ dihasilkan dari 3% dari seluruh penerimaan Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di rekening listrik yang dikumpulkan PLN. Pembayar dari kategori Atas Air, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor serta bisnis mendominasi total penerimaan rekening listrik, sedangkan Pajak Air Permukaan dan di Bawah Tanah. Karena DKI Jakarta kategori rumah tangga dan sosial hanya menyumbang kurang tidak mempunyai kabupaten/kota yang tidak bersifat otonom, dari 40% pembayar listrik. maka DKI Jakarta juga berhak mendapatkan pajak-pajak Penelitian ini yang merupakan hak kabupaten/kota, seperti Pajak k a t e g o r i b i s n i s m e n - memberikan beberapa catatan Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Parkir, Pajak dominasi total penerimaan m e n g e n a i P P J. Pe r t a m a , Reklame, Pajak Pengambilan Galian Golongan C, dan rekening listrik, sedangkan penarikan PPJ yang menumpang kate-gori rumah tangga dan pada rekening listrik, di satu sisi Pajak Penerangan Jalan. sosial hanya menyumbang memudahkan pemda DKI dalam Estimasi Penerimaan Pajak Penerangan Jalan di DKI kurang dari 40% pembayar mengumpulkan pajak, tetapi listrik. Jakarta menghasilkan ketidakefisienan Pajak penerangan jalan (PPJ) merupakan pajak yang sangat berupa distorsi dan bentuk pengenaan tersebut terhadap bergantung kepada penarikan pembayaran rekening listrik kebijakan harga listrik PLN. PPJ seharusnya ditetapkan yang dikerjakan oleh pihak PLN DKI Jakarta. Berdasarkan berdasarkan kapasitas listrik yang terpasang bukan berdasarkan data realisasi penerimaan pajak tahun 2000, pajak penerangan yang dikonsumsi. Penetapan demikian tidak akan mempengaruhi jalan menghasilkan pemasukan keempat terbesar setelah pajak kebijakan harga listrik PLN. Jika perhitungan pajak berdasarkan kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, serta kapasitas terpasang dilaksanakan dengan sistem komputerisasi pajak hotel dan restoran. Besar kecilnya pajak penerangan jalan yang baik maka jenis pajak ini dapat menjadi andalan pemasukan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti besarnya kemampuan bagi propinsi DKI Jakarta. masyarakat untuk membayar listrik, jumlah masyarakat yang * Tulisan ini merupakan hasil penelitian LPEM : “Kajian Potensi Penerimaan Propinsi DKI Jakarta : laporan akhir”, 2002. menggunakan listrik selain dari yang dihasilkan PLN, dan tingkat kolektibilitas dari pihak PLN. Besarnya PPJ yang diterima
9
Tabel 1. Perhitungan PPJ dari Rumah Tangga Dasar
Klasifikasi
Jumlah Rumah Tangga
Rumah Tangga
2.156.755
Seluruh Jakarta Konsumsi Listrik Tiap Bulan
>= Rp 40.000 < Rp 40.000
448.518 1.708.237
129.855
5.194.200.000 51.247.110.000
>= Rp 50.000 < Rp 50.000
318.663 1.838.092
103.739
5.186.950.000
>= Rp 60.000 < Rp 60.000
214.924 1.941.831
61.936
3.716.160.000
>= Rp 70.000 < Rp 70.000
152.988 2.003.767
21.639
1.514.730.000
>= Rp 75.000 < Rp 75.000
131.349 2.025.406
13.432
1.007.400.000
>= Rp 80.000 < Rp 80.000
117.917 2.038.838
24.628
1.970.240.000
>= Rp 90. 000 < Rp 90.000
93. 289 2.063.466
13.433
1.208.970.000
>= Rp 100.000 < Rp 100.000
79.856 2.076.899
28.363
2.836.300.000
>= Rp 125.000 < Rp 125.000
51.493 2.105.262
5.971
746.375.000
>= Rp 150.000 < Rp 150.000
45.522 2.111.233
16.419
2.462.850.000
>= Rp 200.000 < Rp 200.000
29.103 2.127.652
29.103
7.016.558.682
448.518
84.107.843.682
Jumlah per bulan Jumlah satu tahun Penerimaan PPJU (3%)
1.009.294.124.184 30.278.823.726
Sumber : Data Susenas 1999 dan hasil survey rumah tangga yang diolah.
PP No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sudah pasti bahwa dalam setiap struktur biaya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada sisi pengeluaran rutin, kita akan menmenemui pos pengeluaran pegawai, barang, pemeliharaan, perjalanan dinas. Pos-pos pengeluaran tersebut seperti sudah kita ketahui bersama merupakan biaya operasional pelaksanaan tugas-tugas pmerintah daerah. Termasuk di dalam setiap pos pengeluaran tersebut yaitu komponen biaya-biaya operasional yang dikeluarkan bagi penunjang pelaksanaan kegiatan Kepala Daerah (Gubernur untuk Propinsi, Bupati untuk Kabupaten, dan Walikota untuk Kotamadya) dan Wakil Kepala Daerah. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2000 mengatur mengenai kedudukan keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam Pasal 8 diuraikan
10
mengenai komponen biaya-biaya yang termasuk dalam kategori biaya operasional daerah antara lain: (1) biaya rumah tangga, yaitu biaya yang digunakan untuk membiayai kegiatan rumah tangga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, (2) biaya pembelian inventaris rumah jabatan digunakan untuk membeli barang-barang inventaris barang-barang inventaris rumah jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, (3) biaya pemeliharaan rumah jabatan dan barang-barang inventaris yang digunakan untuk pemeliharaan rumah jabatan dan barang-barang inventaris yang digunakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, (4) biaya pemeliharaaan kendaraan dinas dipergunakan untuk pemeliharaan kendaraan dinas yang digunakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, (5) biaya pemeliharaan kesehatan digunakan untuk pengobatan
perawatan, rehabilitasi, tunjangan cacat dan uang duka bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah beserta anggota keluargan ya, (6) biaya perjalanan dinas, (7) biaya pakaian dinas, dan (8) biaya penunjang operasional, digunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam Pasal 10 diatur bahwa pengeluaran yang berhubungan dengan pelaksanaan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Besarnya proporsi biaya penunjang operasional yang dapat ditanggung oleh APBD Propinsi diklasifikasikan menurut besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 yakni sebagai berikut: (1) sampai dengan Rp 15 milyar paling rendah Rp 150 juta dan paling tinggi sebesar 1,75 %, (2) di atas Rp 15 milyar s/d Rp 50 milyar paling rendah Rp 262,5 juta dan paling tinggi sebesar 1 %, (3) di atas Rp 50 milyar s/d Rp 100milyar paling rendah Rp 500 juta dan paling tinggi sebesar 0,75 %, (4) di atas Rp 100 milyar s/d Rp 250 milyar paling rendah Rp 750 juta dan paling tinggi sebesar 0,40 %, (5) di atas Rp 250 milyar s/d Rp 500 milyar paling rendah Rp 1 milyar dan paling tinggi sebesar 0,25 %, (6) di atas Rp 500 milyar paling rendah Rp 1,25 milyar dan paling tinggi sebesar 0,15 %. Sedangkan untuk daerah
Kabupaten/Kota, ditetapkan klasifikasi PAD sebagai berikut: (1) sampai dengan Rp 5 milyar paling rendah Rp 125 juta dan paling tinggi sebesar 3 %, (2) di atas Rp 5 milyar s/d Rp 10 milyar paling rendah Rp 150 juta dan paling tinggi sebesar 2 %, (3) di atas Rp 10 milyar s/d Rp 20 milyar paling rendah Rp 200 juta dan paling tinggi sebesar 1,50 %, (4) di atas Rp 20 milyar s/d Rp 50 milyar paling rendah Rp 200 juta dan paling tinggi sebesar 0,80 %, (5) di atas Rp 50 milyar s/d Rp 150 milyar paling rendah Rp 400 juta dan paling tinggi sebesar 0,40 %, (6) di atas Rp 150 milyar paling rendah Rp 600 juta dan paling tinggi 0,15 %. Dengan demikian sudah jelas aturan
dalam PP No. 109/2000 mengenai besarnya komponen biaya penunjang operasional, dalam hal ini yang berhubunan dengan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Besarnya komponen biaya penunjang operasional bagi pelaksanaan kegiatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota haruslah mematuhi proporsi yang sudah digariskan dengan berpatokan pada besarnya kemampuan PAD yang dihasilkan oleh masing-masing daerah. Hal demikian ini tentunya selain bertujuan sebagai kontrol manajemen keuangan daerah juga agar tidak terjadi keadaan lebih besar pasak daripada tiang.
Seri Pelatihan Singkat LPEM-FEUI 2002 Peningkatan kewenangan daerah di era otonomi di satu sisi menciptakan peluang optimalisasi potensi daerah dan di sisi lain juga menuntut peningkatan kualitas SDM pada setiap tingkat pemerintahan daerah demi terciptanya keselarasan antara pembangunan daerah dengan garis besar makro perencanaan nasional, kelarasan antara penetapan prioritas pembangunan daerah dengan aspirasi masyarakat, serta demi tercapainya akuntabilitas anggaran keuangan daerah. Termasuk di dalam hal ini ialah pencapaian kemampuan untuk melihat berbagai implikasi jangka pendek, menengah, maupun panjang, berbagai kebijakan daerah yang telah, sedang, dan akan ditempuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka LPEM-FEUI sebagai suatu lembaga pendidikan dan penelitian yang telah berpengalaman cukup lama dalam menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi para aparat perencana maupun pelaksana pembangunan daerah, baik di tingkat staf maupun pimpinan, merencanakan untuk menyelenggarakan sejumlah pelatihan singkat bagi para aparat pemerintah daerah sebagai suatu wujud tanggung jawab maupun komitmen LPEMFEUI untuk ikut serta memajukan daerah. Gambaran singkat mengenai berbagai pelatihan yang akan dilaksanakan LPEM-FEUI pada tahun 2002, adalah sebagai berikut. Produk Domestik Regional Bruto dan Indikator-indikator Pembangunan, Februari dan Oktober 2002 (2 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk memperluas wawasan peserta mengenai berbagai indikator pembangunan daerah serta manfaatnya bagi pengambil keputusan, baik pada tingkat makro maupun mikro. Indikator pembangunan yang akan dicakup dalam pelatihan ini
antara lain ialah indikator kemakmuran dan kemajuan daerah seperti PDRB, PQLI, dan HDI serta berbagai indikator distribusi pendapatan , kesehatan, kependudukan, tenaga kerja, pendidikan, dan inflasi. Dengan mempergunakan berbagai indicator ini para aparat pemerintahan daerah dapat melihat tingkat kemajuan daerah yang telah dicapai dan sasaran-sasaran yang masih harus dicapai. Analisa Potensi Ekonomi Daerah, Februari dan Oktober 2002 (2 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan serta memperluas wawasan para perencana dan pelaksana pembangunan di daerah dalam mengidentifikasikan berbagai potensi daerah yang dimiliki maupun dalam melakukan estimasi terhadap sejumlah potensi penerimaan daerah. Kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan identifikasi terhadap berbagai potensi daerah serta estimasi terhadap berbagai potensi penerimaan daerah menjadi sangat penting dalam era otonomi ini. Selain itu, wawasan potensi daerah akan sangat membantu daerah dalam menyusun perencanaan pembangunan, baik untuk masa pendek, menengah, maupun panjang. Proyeksi Ekonomi Daerah: Suatu Pendekatan Kuantitatif, Februari dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini betujuan untuk meningkatkan kemampuan kuantitatif peserta dalam menyusun berbagai proyeksi perekonomian daerah dengan menggunakan berbagai data maupun informasi yang dimiliki daerah. Peserta akan dibekali dengan langkah-langkah penyusunan proyeksi ekonomi daerah, dimulai dari pengumpulan
11
data, pengolahan data hingga analisa data dan penggunaan informasi yang diperoleh dari hasil simulasi yang telah dilakukan. Pelatihan ini bermanfaat pula untuk mengestimasi berbagai dampak kebijakan yang telah dan akan diambil maupun dalam membantu melihat kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan. Evaluasi Kinerja Proyek-proyek Pembangunan (Evaluasi Pasca Proyek), Februari, Oktober, dan Desembar 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk: (1) Membekali peserta dengan pengetahuan dasar mengenai cara-cara melakukan EKPP dengan menggunakan peralatan Kerangka Kerja Logis seperti yang dituangkan dalam SK Menteri/Ketua Bappenas No. Kep. 195/ Ket/12/1996, (2) Menjelaskan proses perencanaan proyek sebagai pendukung melakukan EKPP, dan (3) Mempertajam pemikiran dan daya analisa para pengambil keputusan dalam menentukan proyekproyek pembangunan nasional/daerah/sektoral yang memperoleh prioritas pelaksanaan dengan berbagai kendala yang ada. Perencanaan Proyek-proyek Pembangunan, Maret dan September 2002 (2 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta dalam merencanakan, menganalisa dan mengevaluasi proyek-proyek pembangunan dengan titik berat pada tahap identifikasi, perencanaan, dan evaluasi kinerja setelah poyek selesai. Mengingat banyaknya sisi yang perlu diperhatikan, setiap pelatihan akan dikonsentrasikan pada satu bidang bahasan saja. Topik yang ditawarkan adalah: (1) Pendidikan-kesehatan, (2) Sosial, (3) Pertanian dan Agro Industri, (4) Infratstruktur. Kajian Ekonomi Makro Daerah untuk Pengambilan Keputusan, Februari dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk mempertajam kemampuan serta memperluas wawasan peserta dalam membaca dan menganalisa berbagai gejala ekonomi makro daerah bagi penentuan arah maupun perumusan strategi kebijakan pembangunan daerah. Peserta akan diperkaya dengan kemampuan membaca implikasi kebijakan ekonomi makro pemerintah pusat terhadap perekonomian daerah seperti terbentuknya berbagai kerja sama perdagangan regional antarnegara, penetapan status ekonomi khusus suatu daerah. Hal ini akan sangat berguna untuk dapat menarik investor ke daerah. Membedah APBD dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal, Februari dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan: (1) Memberi pengetahuan dan pemahaman kepada peserta tentang prinsip-prinsip anggaran secara umum, (2) Memberi pemahaman atas berbagai faktor yang mempengaruhi serta perhitungan dari setiap komponen dalam APBD, dan (3) Mengidentifikasi beberapa jenis pajak dan retribusi yang dapat diciptakan daerah tanpa melanggar rambu-rambu yang telah diatur dalam UU No. 34/2000 dan mengelola sisi pengeluaran APBD.
12
Analisa Kebijakan Publik, Maret dan Okteober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dalam menganalisa kualitas suatu kebijakan publik dengan melihat berbagai aspek yang mempengaruhi pengambilan kebijakan publik. Peserta akan diberikan berbagai teknik dan metode pengambilan kebijakan publik yang benar, mulai dari tingkat persiapan sampai implementasi. Analisa Input-Output Daerah, Februari dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan dasar pemahaman struktur perekonomian di suatu daerah secara lebih komprehensif dengan menggunakan analisis Input-Output. Selain itu, pembuat kebijakan dapat memprediksi secara ilmiah dampak dari perubahan permintaan akhir—misalnya investasi—di sector mana yang bisamemberikan output yang optimal bagi perekonomian daerah yang bersangkutan, serta detil output masing-masing sektor yang ada. Pengembangan Masyarakat (Community Decelopment), Maret dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini ditujukan bagi staf perusahaan swasta maupun pemerintah untuk memahami pola sosial budaya masyarakat setempat (di mana perusahaan berlokasi), sehingga dapat melakukan pengembangan masyarakat dengan focus pada persepsi, harapan, dan pengalaman masyarakat setempat. Materi yang dibahas: (1) Pendekatan kultural, (2) Langkah-langkah menggali potensi, persepsi, dan harapan masyarakat, (3) Menelusuri partisipasi masyarakat, (4) Cost Benefit Analysis, dan langkah peyiapan masyarakat. Manajemen Keuangan Publik, Maret dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai berbagai prinsip dan aspek pengelolaan anggaran, sejak tahap perencanaan hingga implementasi. Keseimbangan antara target penerimaan daerah dengan berbagai alokasi pengeluaran akan menjadi sangat penting karena akan sangat memperngaruhi kecepatan dan arah pembangunan daerah. Standar Analisa Biaya, Maret dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan para peserta mengenai metode penetapan standar analisa biaya. Peserta akan bertukar pikiran dalam menetapkan estimasi standar biaya suatu kegiatan melalui contoh kasus yang bersifat aplikatif. Seperti disyaratkan dalam UU No. 25/1999 yaitu anggaran berdasarkan kinerja (performance budgeting) di mana pemerintah daerah dapat memepertanggungjawabkan setiap pengeluaran yang dilakukan. Hal ini menjadi sangat penting guna pelaksanaan displin dan akuntabilitas anggaran, selain juga bernanfaat untuk menentukan prioritas pengeluaran berdasarkan value for money dari kegiatan yang dilakukan. Catatan: · Pelatihan akan diselenggarakan bila jumlah peserta tercatat minimum 10 orang · LPEM-FEUI bersedia untuk melaksanakan kegiatan pelatihan-pelatihan tersebut di atas sesuai dengan permintaan, seperti di daerah atau instansi tertentu.
BUPATI SLEMAN H. IBNU SUBIYANTO, Akt :
“MASYARAKAT YANG BEKERJA PEMDA HANYA MEMFASILITASI” “Dari manakah asalnya salak pondoh?“ Barang kali pertanyaan disharmoni berbagai peraturan di tingkat pusat. Sebagai contoh tersebut muncul di benak hampir setiap orang ketika sedang PP No.108 ttg Pertanggungjawaban Bupati yang bertentangan menyantap buah salak dengan kandungan air cukup banyak, berasa dengan UU Np.22/1999. manis dan bisa dinikmati tanpa menunggu masak terlebih dahulu. Menurut Ibnu, akar permasalahan dalam pelaksanaan otonomi Sleman, sebuah kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta daerah saat ini disebabkan karena conceptual framework dari UU sejak tahun 1990-an dikenal sebagai daerah asal salak pondoh Desentralisasi yang tidak benar. Format UU No.22 Tahun 1999 tersebut. Di Kabupaten Sleman hingga tahun 2001 tercatat tidak tidak perfeck, dalam arti belum jelas conceptual frameworknya. kurang empat juta rumpun pohon salak pondoh di areal sekitar Hal ini terlihat dalam penyusunannya undang-undang 5.000 hektar, mampu memproduksi sekitar 20.000 ton sepanjang otonomi daerah tersebut yang terlebih dahulu mengedepankan tahun tanpa mengenal musim. Perkebunan salak pondoh selain desentralisasi birokrasinya, padahal yang harus didahulukan efektif untuk pelestarian konservasi tanah dan air juga menjadi dan diprioritaskan adalah desentralisasi dan dinamika salah satu obyek agrowisata yang juga turut mengangkat ekonominya. Conceptual framework dari otonomi daerah nama Kabupaten Sleman, dan yang lebih penting dapat harus dicantumkan dan dideskripsikan dalam UU Pokoknya mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. yaitu dalam UU 22/1999 bukan pada turunannya seperti Berdasarkan data dari BKKBN, Sleman memiliki UU No.25/1999 atau berbagai peraturan pemerintah. Indeks Kesejahteraan tertinggi di Indonesia. Ketidak jelasan conceptual framework dari UU Demikian juga dengan tingkat harapan hidup No.22/1999 tersebut mengakibatkan benturan juga tergolong tinggi yaitu untuk laki-laki 69 dengan berbagai peraturan perundangan di tingkat tahun dan perempuan 72 tahun, sehingga pusat. Sebagai contohnya adalah benturan atau banyak ditemukan orang-orang tua di Sleman. ketidaksesuaian antara UU No.22/1999 dengan Data-data di atas mengindikasikan bahwa “. . . tersendatnya pelaksanaan UU Pokok Agraria (UUPA). Berdasarkan tingkat kesejahteraan rakyat cukup baik. otonomi daerah diantaranya formatnya, UU 22/1999 tidak sempurna, Namun demikian menurut Bupati Sleman, karena saat ini terlihat bahwa dan UUPA dinilai lebih mantap karena Drs H. Ibnu Subiyanto, Akt, bila otonomi didasarkan pada coceptual framework atau masing-masing Departeman tidak daerah telah berjalan dengan mulus maka kerangka acuan pemikiran yang lebih mantap. Sleman akan lebih maju dari pada sekarang. tahu apa yang harus dikerjakan UUPA yang bersifat sosialistik telah berlaku Walaupun Otonomi Daerah bukanlah satu s e h i n g g a t e r l a m b a t d a l a m selama puluhan tahun, sudah menjadi bagian hal yang baru bagi Kabupaten Sleman, membuat kebijakan. “ kehidupan masyarakat. Memang kelemahan karena sejak tahun 1995 Kabupaten Sleman juga terdapat pada UUPA, tetapi mengingat merupakan salah satu Kabupaten percontohan untuk pelaksanaan sudah puluhan tahun berjalan, apakah memang perlu untuk otonomi daerah, namun otonomi daerah belum berjalan segaimana dirombak total hanya karena UU No.22/1999 ? Boleh dikatakan mestinya. bahwa hidup matinya pemerintah kabupaten tergantung dari Bupati Sleman berpendapat bahwa tersendatnya pelaksanaan politik pertanahan. Hal ini berbeda dibandingkan dengan UU otonomi daerah diantaranya karena saat ini terlihat bahwa masing- No.22/1999 yang mengatur desentralisasi pemerintahan. masing Departeman tidak tahu apa yang harus dikerjakan sehingga Sejak diberlakukan UU No.22 No.1999 dalam aspek ekonomi terlambat dalam membuat kebijakan. Banyak daerah dengan banyak terjadi pertentangan antara kabupaten/kota dengan inisiatif dan kreatif telah mengeluarkan berbagai perda sehubungan propinsi, antar kabupaten/kota itu sendiri dan kabupaten/kota dengan kewenangannya sebagai daerah otonom sesuai dengan dengan pemerintah pusat. Ibnu mencontohkan keberadaan ladang UU No.22 Tahun 1999 dan telah terlanjur jauh dilaksanakan. minyak yang terdapat di dua kabupaten. “Salah satu kabupaten Tetapi yang terjadi justru petunjuk pelaksanaan dari departemen telah beroperasi; pada saat beroperasinya minyak tersebut melewati terkait baru dibuat belakangan. Sebagai contoh, Perda tentang wilayah kabupaten lain yang belum mengoperasikan ladang Pemerintahan Desa Kabupaten Sleman yang telah dibuat satu minyaknya. Lantas, bagaimana mengatasi pembagian keuntungan tahun yang lalu. Depdagri baru mengeluarkan pedoman dalam minyaknya? Akan semakin rumit jika masalah ini dikaitkan dengan bentuk Kepmen tentang Proses Pemilihan Kepala Desa tahun aspek politik”. Ibnu menegaskan bahwa dilihat dari aspek ekonomi, 2002. Sering terjadi bahwa petunjuk pelaksanaan yang belakangan revisi UU No.22/1999 tidak dapat ditunda lebih lama lagi dan dibuat oleh pemerintah pusat tersebut bertentangan dengan UU sangat mendesak, bila ditunda maka akan semakin menyiksa No.22/1999. Akibatnya perda yang telah terlebih dahulu dibuat daerah. oleh daerah yang berpedoman pada kewenangan sebagaimana Menanggapi anggapan bahwa UU No.22/1999 bersifat federal ditentukan dalam UU No.22/1999 menjadi bertentangan dengan menurut Bupati yang memimpin Sleman sejak 10 Agustus 2000 petunjuk pelaksanaannya. Saat ini sesungguhnya banyak terjadi ini melihat dari latar belakang sejarah Federalisme Amerika
13
Serikat dimana USA yang lahir lebih dahulu adalah negara negara bagian yang kemudian menjadi united. Hal ini berbeda dengan Indonesia, yang sudah jelas latar belakangnya adalah NKRI, yang dalam perjalanan sistem pemerintahannya memerlukan proses desentralisasi yang meliputi tidak hanya kabupaten tetapi juga propinsi. Dan dalam proses ini bila dilihat dari skala ekonominya ada bagian bagian yang tidak dapat diatur oleh Kabupaten. Ada bagian yang memang harus menjadi kewenangan propinsi seperti dalam hal perhubungan, metrology dan tera-tera ulang. Bila hal-hal tersebut kewenangannya berada di tangan Kabupaten maka akan terjadi perebutan antar kabupaten. elaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sleman yang telah berjalan 1½ secara umum dapat dilihat dari hubungan Eksekutif dan Legislatif yaitu dalam proses perumusan dan penetapan APBD, Properda, Renstra, yang tepat waktu, serta Laporan Pertanggungjawaban yang diterima oleh DPRD. Dalam berhubungan dengan pihak manapun termasuk pihak legislatif, Ibnu berprinsip untuk tidak menggunakan ”ubo rampe” atau fasilitas. Menurut Bupati yang berasal dari kalangan profesional akademisi sebagai Direktur STIE YKPN Yogyakarta selama tujuh tahun ini; pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tergantung kepada pimpinan masing-masing daerah. Menurut dia, apabila setiap pimpinan daerah cakap dalam mengendalikan daerahnya, maka UU No.22/1999 yang tidak sempurna ini dapat disiasati, walaupun sifatnya hanya penundaan masalah substansial, karena UU itu sendiri. Berkaitan dengan pengaturan aparatur daerah juga tergantung pada kepala daerahnya. Mengingat selama 33 tahun birokrasi menjadi alat politik; yang jadi masalah di sini adalah apakah peran kepala daerah dapat mengubah politisasi birokrasi yang telah terbentuk selama 33 tahun tersebut untuk mengikuti tuntutan jaman. Strategi Pemda Kabupaten Sleman dalam peningkatan perekonomian khususnya untuk kesejahteraan masyarakat adalah dengan melakukan perencanaan untuk meningkatkan value added daerahnya. Menurut Ibnu, Sleman merupakan daerah miskin SDA, suatu daerah dapat berkembang tergantung bagaimana pemdanya dapat menimbulkan values dari daerah-daerah untuk menjadi lebih atraktif. Sebagai contoh dalam hal mutasi bidang pertanahan. Pemda melakukan manipulasi values dalam pengertian baik. Dari lokasi tanah, pemda dapat “main”. Yang penting di sini adalah bagaimana pemda dapat memulihkan perekonomian di kalangan petani dan masyarakat bawah. Strategi lain yang diterapkan oleh Pemda Kabupaten Sleman, adalah mengalokasikan dana sebesar + 30 – 40 miliar untuk didistribusikan ke pedesaan. Dana tersebut antara lain untuk pembangunan jalan-jalan pedesaan dengan mendistribusikan ke17 kecamatan sebesar 1,7 M. Dana tersebut dikelola sendiri oleh masing-masing kecamatan. Tujuan memberikan dana tersebut untuk memancing kreatifitas dan aktifitas masyarakat masingmasing daerah. Dalam praktiknya, dana sebesar 1,7 M tersebut dikelola oleh masyarakat daerah menjadi proyek senilai 17 M. Artinya masyarakat desa telah berhasil berswadaya sendiri. Untuk kelancaran pemutaran uang di desa, secara khusus pemda meminta Bank Indonesia untuk tidak menyebarkan uang pecahan seratus ribu, dengan maksud menghindarkan masyarakat desa untuk tidak menjadi konsumtif dan uang tidak lari ke kota. Disebutkan program-program khusus kabupaten Sleman dalam
14
kaitannya dengan sector ekonomi swasta / private, bahwa Bupati sendiri langsung mendatangi calon investor. Dia tidak peduli disebut KKN, yang penting investor mau menanamkan modalnya di Kabupaten Sleman. Saat ini investor yang telah masuk adalah industri sarung tangan golf, dan industri kulit yang telah menyerap ribuan tenaga kerja. Dia menekankan investasi di Sleman dalam skala medium size industri “dilihat dari aspek ekonomi, yang rata-rata bernilai 10 M. revisi UU No.22/1999 tidak Dalam peningkatan PAD, dapat ditunda lebih lama lagi Ibnu mengaku bahwa hingga dan sangat mendesak, bila saat ini dia tidak pernah ditunda maka akan semakin m e n a n d a t a n g a n i s u r a t keputusan untuk menaikkan menyiksa daerah” tarif baik pajak maupun retribusi daerah. Kebijakan dalam perpajakan dan retribusi daerah tetap melanjutkan kebijakan tarif dari bupati sebelumnya. Hal lain yang dilakukan adalah melakukan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan daerah. Secara keseluruhan hingga saat ini belum pernah ada masalah. Menyinggung soal kesiapan infrastruktur yang tersedia di Kabupaten Sleman, Ibnu mengatakan : “Jika anda pergi ke kabupaten Sleman anda akan mendapati jalan-jalannya telah di hotmix. Hal ini merupakan upaya yang telah dilakukan oleh bupati sebelumnya. Yang perlu dilakukan tinggal maintenance dan baru akan dilakukan tahun depan. Anda juga bisa melihat dari banyaknya pengusaha lokal yang berusaha di bidang internet dengan biaya yang sangat murah”. Untuk pembangunan sektor pariwisata Pemda Sleman melakukan kerjasama dengan daerah lain dan dengan Luar Negeri. Tanggal 20 Juni 2002 akan dilakukan penandatanganan MOU yang mengatur kesepakatan tentang tarif perjalanan wisata, dengan 13 Kabupaten di sekitar Kabupaten Sleman. Daerah yang terlibat dalam penandatanganan MOU tersebut bahkan hingga Jawa Timur yakni Kabupaten Pacitan. Kabupaten Pacitan ikut bergabung karena yang mensuplai informasi pariwisata daerah Pacitan ini adalah travel agent dari Yogyakarta. Proses terjalin kerjasama dengan 13 daerah melalui penandatanganan MOU tersebut diawali dengan mengundang rapat dan pertemuan ditingkat Bapeda yang prosesnya kurang lebih 2 bulan dan berlangsung secara intensif. Sedangkan program kerjasama dengan pihak luar negeri adalah dengan secara rutin setiap tahun melakukan program promosi di Berlin Jerman. Menurut Ibnu tidak semua daerah bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh Sleman, karena hal tersebut membutuhkan dana dan manpower. Kabupaten Sleman mempunyai SDM / staff yang dapat berkomunikasi dengan berbagai bahasa asing. Untuk promosi pariwisata ini dilakukan oleh industri yaitu pihak swasta dan masyarakat. Sementara pemda hanya memfasilitasi mereka dengan memberikan insentif dana. Kabupaten Sleman menerapkan kebijakan untuk menyisihkan 9% dari Pajak Hotel dan Restoran untuk program promosi pariwisata. Kebijakan seperti ini, di Indonesia baru diterapkan oleh Pemda Kabupaten Sleman. Ibnu menandaskan bahwa : “inti dari otonomi daerah bukan pemda yang bekerja tetapi pemberdayaan masyarakat dengan masyarakat yang bekerja”. (git, teet, hasil wawancara dengan Bupati Sleman, Drs H. Ibnu Subiyanto, Akt dalam menanggapi berbagai persoalan OTDA oleh P.Agung Pambudhi, yang dirangkai dengan berbagai sumber lain).
SOEDJAI KARTASASMITA :
“OTONOMI DAERAH AGAR PERTUMBUHAN EKONOMI MERATA KE SELURUH DAERAH” Melalui desentralisasi tugas-tugas dan kewenangan pemerintah pusat pada sektor-sektor tertentu kepada pemerintah daerah, dimaksudkan agar urusan yang menyangkut kepentingan daerah diurus dan dibina oleh pemerintah daerah sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah bertujuan agar terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah. Na m u n s a y a n g b a h w a pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berjalan 1½ tahun ini dunia usaha khususnya perkebunan belum melihat adanya perbedaan dalam arti positif antara sebelum dan sesudah pelaksanaan OTDA. Hal tersebut barangkali karena pelaksanaan otonomi daerah masih dalam fase transisi. Bila terjadi perbedaan, yang ada justru dalam arti negatif, yang mengakibatkan munculnya keprihatinan kalangan dunia usaha perkebunan. Demikian diungkapkan oleh pengusaha perkebunan Soedjai Kartasasmita kepada KPPOD. Keprihatinan di kalangan pengusaha perkebunan tersebut antara lain akibat ketidakpastian dalam pengurusan berbagai perizinan yang mengakibatkan kebingungan kalangan dunia usaha. Tata cara proses pengurusan perizinan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat menjadi kabur karena tidak jelas apakah masih merupakan wewenang pusat atau sudah diserahkan ke daerah. Hal ini terlihat dalam proses pengurusan HGU, Izin Usaha Perkebunan dan lain-lain. Soedjai juga melihat bahwa saat ini belum ada koordinasi di antara daerah, misalnya dalam kasus upah pekerja yang menyebabkan tidak adanya keseragaman karena masing-masing daerah mengeluarkan ketentuanketentuan sendiri. Bagi para pengusaha perkebunan yang tergabung dalam
BKS-PPS, perkembangan ini sangat Ni l a i . K e m u d i a n d e n g a n n a m a menyulitkan, karena negosiasi upah harus Retribusi Pemakaian Jalan Kabupaten, dilakukan di masing-masing daerah. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah “Kalau dulu negosiai dapat diselesaikan dan lain-lain, dikenakan retribusi atas dalam waktu 2 minggu untuk 5 propinsi, pengunaan jalan kabupaten, yang sekarang prosesnya pada hakekatnya identik dengan Pajak makan waktu sampai Kendaraan Bermotor. Kutipan yang 4 bulan dengan segala diberi nama “Sumbangan Pihak Ketiga” konsekuensi dari semua yang seharusnya bersifat sukarela pada itu”. Keprihatinan kenyataannya tidak demikian karena kalangan dunia usaha perusahaan tidak dapat menolak dan juga karena setelah diharuskan membayar, bahkan kadangpelaksanaan otonomi kadang dengan cara paksa. Padahal m u n c u l k u t i p a n - menurut peraturan yang ada sumbangan k u t i p a n d a e r a h seperti ini tidak termasuk dalam jenis yang dilaksanakan kutipan yang dapat diperhitungkan secara gencar yang sebagai biaya perusahaan. Kedua, i m p l e m e n t a s i n y a Pelaksanaan pengutipan-pengutipan k a d a n g - k a d a n g dapat secara langsung atau tidak dilakukan secara paksa. langsung menghambat proses produksi Setelah pelaksanaan OTDA, pungutan perkebunan. Hambatan ini muncul daerah berupa Pajak Daerah, Retribusi karena dikutip di jalan umum dengan Daerah, Sumbangan Pihak Ketiga atau cara mendirikan pos-pos penjagaan dengan nama lainnya semakin bertambah yang melakukan pengutipan retribusi banyak dibandingkan dengan masa atas setiap kendaraan yang mengangkut sebelum pelaksanaan OTDA. “Menurut hasil produksi perkebunan dan dikutip catatan kami sampai saat ini di Sumatera menurut jumlah produksi yang diolah/ saja ada sekitar 40 Perda Propinsi dan diproses di pabrik. Ketiga beberapa pajak/ Kabupaten yang berkaitan dengan dunia retribusi daerah tidak sesuai dengan usaha perkebunan”. ketentuan atau tidak memenuhi kriteria Pu n g u t a n - p u n g u t a n t e r s e b u t yang ditetapkan oleh undang-undang. Ada dirasakan membebani dunia usaha pajak dan retribusi daerah yang ditetapkan perkebunan diantaranya karena; pertama melebihi dari ketentuan undang-undang. sebagian pajak atau Sebagai contoh Retribusi Ada pula pengutipan pajak/ retribusi daerah Izin Gangguan dikutip retribusi daerah yang tersebut dalam berdasarkan luas areal dilaksanakan oleh pihak ketiga/ kenyataannya disamping berdasarkan swasta yang ditunjuk oleh menjadi pungutan besarnya kekuatan mesin Pemda yang bersangkutan yang berganda karena walapun perusahaan menyebabkan timbulnya beban Pemerintah Pusat telah memiliki AMDAL. biaya tambahan juga mengutip Pajak Air Permukaan pajak yang sama dari perusahaan. ditetapkan berdasarkan luas areal Contohnya retribusi atas komoditi perkebunan. Retribusi dikutip terhadap perkebunan dengan nama berbeda- perkebunan yang nyata-nyata tidak beda seperti Retribusi Pasar, Retribusi mempergunakan sarana yang disediakan Usaha Perkebunan, Pajak Produksi Hasil oleh Pemerintah Daerah, contohnya Tanaman Perkebunan dan lain-lain, Retribusi Air Limbah. Ada pula pengutipan yang sebenarnya identik dengan PBB, pajak/retribusi daerah yang dilaksanakan Pajak Ekspor dan Pajak Pertambahan oleh pihak ketiga/swasta yang ditunjuk
15
oleh Pemda yang bersangkutan yang dengan obyek pajaknya. Menurut Soedjai, se Indonesia (diusahakan sebanyak menyebabkan timbulnya beban biaya jika memang bertujuan membebani mungkin) guna menampung dan tambahan bagi perusahaan. Tarif pajak air pajak atas pemakaian tenaga listrik, menyuarakan permasalahan yang bawah tanah dan air permukaan dihitung maka seharusnya pejak tersebut berjudul dihadapi serta mengajukan keberatan secara progresif. Hal ini dirasa tidak adil, “Pajak Pemakaian Tenaga Listrik”. Ditam- dan solusinya. Soedjai mengidentifikasi ada beberapa oleh karena air dipakai oleh pabrik dengan bahkannya pula, bahwa pembebanan mempergunakan sarana sendiri dan air PPJ terhadap pemakaian listrik dan penyebab yang memicu banyaknya tersebut dialirkan kembali ke sungai. genset sendiri menimbulkan keraguan di kutipan-kutipan oleh daerah. Diantaranya kalangan pengusaha dan adalah Undang-undang No.22 Tahun Keempat, berbagai Hubungan antara dunia usaha investor karena tidak jelas 1999 dan Undang-undang No.25 tahun pungutan tersebut perkebunan dengan Pemerintah 1999 yang ditafsirkan secara berlebihan dirasa tidak landasan hukumnya. Daerah . . . . Akan tetapi dikhaB e r k a i t a n d e n g a n oleh Daerah dalam mengurus daerahnya adil dan wajar watirkan dapat terganggu bahp e n g e n a a n b e r b a g a i masing-masing. Kewenangan yang karena besarnya kan berubah menjadi disharmoni pungutan daerah yang diberikan kepada Pemerintah Daerah tarif antara satu karena perbedaan penafsiran d i r a s a k a n m e r u g i k a n diartikan secara luas sehingga mendorong Kabupaten mengenai ketentuan-ketentuan k a l a n g a n p e n g u s a h a timbulnya “arogansi” dalam pelakdengan Kabupaten OTDA. perkebunan tersebut, saat sanaannya. Hal ini dipicu pula oleh kurang lain walaupun berdekatan dapat jauh berbeda karena ini telah dilakukan beberapa langkah lancarnya dana alokasi dari pemerintah masing-masing Kabupaten menetapkan dan tindakan. Yang telah dilakukan pusat sehingga dijadikan dalih bagi pemda besarnya tarif menurut perhitungannya diantaranya adalah dengan mengajukan untuk berupaya meningkatkan PAD keberatan secara lisan maupun tertulis sebanyak-banyaknya. Hal lain lagi adalah sendiri. Saat ini perusahaan-perusahaan baik oleh perusahaan perkebunan yang adanya kelemahan pada Perundangperkebunan yang tergabung dalam BKS- bersangkutan maupun oleh BKS-PPS undangan di tingkat pusat, yakni Pasal PPS menyatakan keberatannya terhadap atas nama para anggotanya kepada Kepala 2 ayat (4) dan Pasal 18 ayat (4) Undangu n d a n g No. 3 4 pembebanan Pajak Penerangan Jalan Daerah (Propinsi dan (PPJ) atas penggunaan listrik dari genset Kabupaten) yang . . . Undang-undang No.34 Tahun 2000 Ta h u n 2 0 0 0 yang menetapkan bahwa dengan yang menetapkan sendiri. Keberatan tersebut didasarkan bersangkutan. Selain Perda dapat ditetapkan jenis pajak/ b a h w a d e n g a n pada beberapa pertimbangan, diantaranya itu juga mengajukan adalah : Pertama, BKS-PPS berpendapat keberatan secara lisan retribusi selain yang ditetapkan. . ., P e r d a d a p a t bahwa pasal 58 PP.65/2001 ditafsirkan dan tertulis kepada yang ternyata beberapa diantaranya ditetapkan jenis sangat berlebihan dan tidak sesuai Menteri dan Instansi tidak memenuhi kriteria yang telah p a j a k / re t r i b u s i ditetapkan. selain yang dengan ketentuannya. Pengertian “di terkait. Disamping wilayah daerah yang tersedia penerangan mengajukan keberatan secara langsung ditetapkan dalam Undang-undang jalan yang rekeningnya dibayar oleh kepada instansi pemerintah BKS-PPS No.34 Tahun 2000. Hal ini membuka Pemerintah Daerah” ditafsirkan tidak juga meminta dukungan KPPOD untuk peluang yang besar bagi Daerah untuk rasional dan tidak dilandasi rasa keadilan. menyampaikan permasalahan tersebut menetapkan jenis-jenis pajak/retribusi Pemerintah daerah menegaskan bahwa kepada instansi terkait, disamping juga daerah yang baru, yang ternyata beberapa penafsirannya adalah bahwa “Jika hanya melakukan upaya lobby kepada pejabat- diantaranya tidak memenuhi kriteria yang ada 1 (satu) titik lampu saja yang dibayar pejabat yang berwenang. Hubungan telah ditetapkan. Un t u k p e n y e l e s a i a n b e r b a g a i Pemda, maka seluruh wilayah kabupaten antara dunia usaha perkebunan dengan yang memakai listrik baik dari PLN Pemerintah Daerah sampai saat ini permasalahan di atas Pemerintah Pusat maupun dari genset sendiri dibebani PPJ”. secara umum masih berjalan baik. Akan harus menerapkan fungsi pengawasan Sementara BKS-PPS berpendapat bahwa tetapi dikhawatirkan dapat terganggu terhadap kebijakan daerah, dengan secara pasal 58 PP.65/2001 harus diartikan bahkan berubah menjadi disharmoni tegas dan konsekuen dalam melaksanakan secara utuh dan tidak sepotong-sepotong karena perbedaan penafsiran mengenai ketentuan perundang-undangan yang telah diundangkan supaya ada kepastian atas 3 unsur, yaitu : (1) ada wilayah daerah ketentuan-ketentuan tentang OTDA. Sejauh ini berbagai upaya yang hukum bagi semua pihak. Selain itu tertentu; (2) ada penggunaan tenaga listrik di wilayah tersebut; (3) ada tersedia telah dilakukan tersebut diatas dirasa pemerintah pusat juga harus tegas dan penerangan jalan yang rekeningnya belum cukup efektif sebagaimana yang berani menertibkan hal-hal yang salah dibayar Pemda. Pasal 58 PP.65/2001 diharapkan. Sampai sekarang belum dan secara jujur pula memperbaiki kedipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ada satu permohonan atas keberatan salahannya sendiri. Yang tidak kalah ayat 12 PP.65/2001 menyatakan bahwa BKS-PPS yang memperoleh tanggapan penting juga adalah harus dipertegas “penerangan jalan adalah penggunaan positif atau diterima. Instansi terkait bagian mana yang menjadi wewenang tenaga listrik yang menerangi jalan umum kelihatannya hanya menganggapnya Pemerintah Pusat dan bagian mana yang yang rekeningnya dibayar oleh Pemda”. sebagai masukan saja. Untuk itu Soedjai menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Sedangkan istilah pajak adalah “Pajak mengusulkan bagaimana seandainya (git) Penerangan Jalan”. Hal ini dirasa tidak KPPOD mengkoordinir suatu Forum rasional karena judul pajaknya tidak sesuai Komunikasi untuk berbagai Asosiasi
16
Pajak Penerangan Jalan atau Pajak Penggunaan Tenaga Listrik? Pendahuluan Pajak penerangan jalan (PPJ), dalam pasal 2 UU No. 34 Tahun 2000, ditetapkan sebagai salah satu jenis pajak di daerah kabupaten atau kota. Adanya PPJ ini, sebagaimana dalam penjelasan UU tersebut, berarti bahwa penggunaan tenaga listrik akan dikenakan pemajakan khusus (pajak penerangan jalan), dengan ketentuan bahwa di wilayah daerah bersangkutan (kabupaten / kota) tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. Selanjutnya, ketentuan umum ini diatur secara rinci dalam pasal 1, pasal 58 – pasal 62 PP No. 65 Tahun 2001, yang menerangkan sejumlah makna dan standard berikut. Pertama, yang dimaksud sebagai penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. Penggunaan tenaga listrik ini merupakan obyek pungutan pajak, dan badan atau orang pribadi yang menggunakan tenaga listrik itu disebut subyek (wajib) PPJ. Kedua, dalam defenisi umum itu, terdapat beberapa hal yang dikecualikan dari obyek pungutan pajak, yakni: (1) penggunaan tenaga listrik oleh instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (2) penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh keduataan, konsulat, perwakilan asing, dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik; (3) penggunaan tenaga listrik yang berasal dari bukan PLN dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan perizinan dari instansi teknis terkait; (4) penggunaan tenaga listrik yang diatur dengan peraturan daerah. Ketiga, dasar pengenaan PPJ adalah nilai jual tenaga listrik (NJTL), yang ditetapkan sebagai berikut: (1) dalam hal tenaga listrik berasal dari PLN dengan pembayaran, NJTL adalah jumlah tagihan biaya beban ditambah dengan biaya pemakaian kwh yang ditetapkan dalam rekening listrik; (2) dalam hal tenaga listrik berasal dari bukan PLN dengan tidak dipungut bayaran, NJTL dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, penggunaan listrik dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah bersangkutan; (3) khusus untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, NJTL ditetapkan sebesar 30 %. Keempat, tarif PPJ paling tinggi sebesar 10 %, ditetapkan dengan peraturan daerah. Besaran pkok PPJ yang terutang dihitung dari perkalian tarif ini dengan dasar pengenaan pajaknya. Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh PLN, maka pemungutan pajak penerangan jalan dilakukan oleh PLN, dan besaran pokok pajak terutang dihitung berdasarkan jumlah rekening listrik yang dibayarkan oleh pelanggan PLN. Dalam kaitan penjabaran kedua aturan perundangan dan
poin-poin pokok tersebut, saat ini sebagian besar daerah telah mengeluarkan Perda tentang pajak penerangan jalan, atau yang bernama semacam itu. Sebagian di antaranya bahkan mendapat kritikan dan penolakan dari unsur masyarakat terkait, seperti dari Asosiasi Produsen Synthetic (ARSYFI) terhadap Perda No. 10/1999 Kota Tangerang dan Perda No. 09/1999 Kabupaten Purwakarta; dari PT PN VII terhadap Perda No.10/2000 (dan SK No.58/2001) Kota Bandar Lampung; dari KIIC terhadap Perda No. 03/1998 Kabupaten Karawang. Pilihan kajian perda dalam edisi kali ini berkaitan dengan masalah di atas, untuk melihat gambaran ringkas materi / pasal krusial masing-masing perda dan pada bagian akhir dianalisa untuk mendapatkan duduk soal yang sebenarnya. Ringkasan Isi Perda
¨
1. Perda Kota Tangerang No. 10 Tahun 1999 tentang PPJ, dengan gambaran materi atau pasal krusialnya: ¨ Dengan nama Pajak Penerangan Jalan, dipungut pajak atas setiap penggunaan tenaga listrik (sebagai obyek pajak), baik yang berasal dari PLN maupun non PLN, kecuali penggunaan tenaga listrik oleh instansi pemerintah, oleh kedutaan dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik, penggunaan untuk tempat ibadah maupun penggunaan tenaga listrik non PLN dengan kapasitas tertentu (kurang dari 60 KVA). ¨ Dasar pengenaan pajak berdasarkan nilai jual tenaga listrik (NJTL): tenaga listrik PLN dan non PLN dengan pembayaran berdasarkan tagihan biaya penggunaan listrik / rekening listrik; tenaga listrik non PLN dengan tidak dipungut bayar berdasarkan kapasitas yang tersedia dan taksiran penggunaan listrik serta harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah. Besaran tarif pajak ditetapkan bervariasi: penggunaan tenaga listrik PLN bukan untuk industri sebesar 3%, tenagal istrik PLN untuk industri sebesar 4%, tenaga listrik non PLN bukan untuk industri sebesar 3% dan tenaga listrik Non PLN untuk industri sebesar 4%.
2. Perda Kabupaten Purwakarta No. 09 Tahun 1998 tentang PPJ, dengan gambaran materi atau pasal krusialnya: ¨ Perda ini dikeluarkan sebelum aturan perundangan otonomi yang baru berlaku (UU No. 22 dan 25 Tahun 1999) dan jauh sebelum adanya hasil perbaikan aturan pajak dan retribusi daerah (UU No. 34 Tahun 2000). Dengan kata lain, konsideran yang menjadi acuan
17
¨
¨
¨
yuridisnya masih merupakan aturan sektoral dan aturan organik dari perundangan otonomi yang lama (UU No. 05 Tahun 1974). Dengan nama Pajak Penerangan Jalan, dipungut pajak atas setiap penggunaan tenaga listrik (sebagai obyek pajak), baik yang berasal dari PLN maupun non PLN, kecuali penggunaan tenaga listrik oleh instansi pemerintah, oleh kedutaan dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik, penggunaan untuk tempat ibadah maupun penggunaan tenaga listrik non PLN dengan kapasitas tertentu. Dasar pengenaan pajak berdasarkan nilai jual tenaga listrik (NJTL): tenaga listrik PLN dan non PLN dengan pembayaran maka NJTL-nya sebesar tagihan biaya penggunaan listrik / rekening listrik; tenaga listrik non PLN dengan tidak dipungut bayar berdasarkan kapasitas yang tersedia dan taksiran penggunaan listrik serta harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah. Besaran tarif PPJ adalah: untuk industri dan bukan untuk industri dengan daya 201.000 VA dikenakan PPJ 3%, tenaga listrik PLN untuk industri di atas 201.000 VA sebesar 2,5%. Sedangkan penggunaan bersamaan tenaga listrik PLN dan non PLN untuk industri maupun bukan untuk industri di atas 201.000 VA akan ditetapkan biaya 2,5% untuk tenaga listrik PLN dan ditetapkan berdasarkan NJTL yang dikenakan pada PLN dengan tidak dipungut bayar untuk penggunaan tenaga non PLN.
3. Perda Kabupaten Karawang No. 03 Tahun 1998 tentang PPJ, dengan gambaran materi atau pasal krusialnya: ¨ Perda ini dikeluarkan sebelum aturan perundangan otonomi yang baru berlaku (UU No. 22 dan 25 Tahun 1999) dan jauh sebelum adanya hasil perbaikan aturan pajak dan retribusi daerah (UU No. 34 Tahun 2000). Dengan kata lain, konsideran yang menjadi acuan yuridisnya masih merupakan aturan sektoral dan aturan organik dari perundangan otonomi yang lama (UU No. 05 Tahun 1974). ¨ Pajak penerangan jalan adalah pungutan daerah atas penggunaan tenaga listrik, baik yang berasal dari PLN maupun bukan PLN (obyek pajak). Pengecualiannya adalah penggunaan tenaga listrik oleh instansi pemerintah, oleh kedutaan dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik, penggunaan tenaga listrik yang khusus digunakan untuk tempat ibadah dan penggunaan tenaga listrik non PLN dengan kapasitas tertentu. ¨ Dasar pengenaan pajak berdasarkan nilai jual tenaga listrik (NJTL): tenaga listrik PLN dan non PLN dengan pembayaran maka NJTL-nya sebesar tagihan biaya penggunaan listrik / rekening listrik; tenaga listrik non PLN dengan tidak dipungut bayar berdasarkan kapasitas yang tersedia dan taksiran penggunaan listrik serta harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah. ¨ Besaran tarif PPJ adalah: tenaga listrik PLN bukan untuk industri sebesar 3%, rumah tangga 4%, industri
18
besar 2,5%, industri kecil 3%; tenaga listrik non PLN untuk industri sebesar 7% dan bukan industri 6%. 4. Perda Kota Lampung No. 10 Tahun 2000 tentang PPJ dan penjabarannya dalam SK Walikota No. 58 Tahun 2001, dengan gambaran materi atau pasal krusialnya: ¨ Dengan nama Pajak Penerangan Jalan, dipungut pajak atas setiap penggunaan tenaga listrik (sebagai obyek pajak), baik yang berasal dari PLN maupun non PLN, kecuali penggunaan tenaga listrik oleh instansi pemerintah, oleh kedutaan dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik, penggunaan untuk tempat ibadah maupun penggunaan tenaga listrik non PLN dengan kapasitas tertentu. ¨ Dasar pengenaan pajak berdasarkan nilai jual tenaga listrik (NJTL): tenaga listrik PLN dan non PLN dengan pembayaran maka NJTL-nya sebesar tagihan biaya penggunaan listrik / rekening listrik; tenaga listrik non PLN dengan tidak dipungut bayar berdasarkan kapasitas yang tersedia dan taksiran penggunaan listrik serta harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah. ¨ Besaran tarif PPJ adalah: penggunaan tenaga listrik PLN bukan untuk industri dengan daya pembangkitnya 500 Kva ke bawah sebesar 7% dan 500 Kva ke atas sebesar 9%; tenaga listrik PLN untuk indsutri sebesar 6%; tenaga listrik non PLN bukan untuk industri dengan daya pembangkitnya di atas 100 Kva sebesar 10 % dan untuk industri dengan pembangkitnya di atas 100 Kva sebesar 6%. ¨ Rumusan penghitungan PPJ untuk pengguna tenaga listrik bukan PLN berdasarkan jam nyata (jam operasi satu bulan), yang didapatkan dari pemakaian enerji listrik (KWH) per kapasitas genset terpasang (Kva). Analisa: Logika Pajak dan Dasar Yuridis Secara umum, kritikan ARSYFI, PT PN VII dan KIIC atas Perda PPJ di masing-masing daerah basisnya berkaitan dengan cakupan obyek pungutan pajaknya. Merujuk pasal 58 PP No. 65 Tahun 2001, obyek PPJ adalah penggunaan tenaga listrik di wilayah daerah yang tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh pemda. Tapi dalam perda yang dikeluarkan Kota Lampung misalnya, tidak tercantum keterangan lanjutan ini, bahwa pajak yang dimaksud adalah penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh pemda. Pada hal, dalam kasus perkebunan PT PN VII, tenaga listrik yang digunakannya adalah genset/turbin dengan biaya sendiri yang justru menerangi wilayah kerja setempat dan lingkungan sekitarnya (jalan-jalan pemukiman karyawan dan jalan utama ke desa-desa warga). Masalah serupa juga di angkat oleh KIIC dalam menanggapi terbitnya perda PPJ yang dikeluarkan oleh Pemda Karawang. Dalam kasus ini, pengembang kawasan industri di Karawang (KIIC) membangun dan memelihara sendiri jaringan jalan dan sarana penerangannya termasuk pembayaran rekening listrik lampu jalan ke PLN/PLS. Artinya, sarana jalan yang ada di dalam kawasan industri bukan merupakan jalan umum dan rekening listriknya tidak dibayar oleh pemda. Maka logisnya, penerangan jalan di dalam kawasan industri bukan merupakan obyek pajak,
dan pengelola kawasan industri (termasuk industri-industri di dalamnya) bukan merupakan subyek pajak. Tampaknya, kritikan atas kualifikasi atau cakupan obyek PPJ di atas berlandaskan filosofi retribusi, bukan logika dan aturan pajak. Berlainan dengan retribusi, obyek pajak tidak berkaitan dengan sumber penyediaan jasa atau fasilitas (dari pemerintah atau milik sendiri) sehingga adanya pungutan bagi pemakai (user charge) dan pembebasan bagi pihak tak terkait. Dasar pungutan pajak bersifat redistributif, yang dalam kasus PPJ adalah mengalihkan biaya persediaan penerangan jalan di tempat-tempat lain kepada para subyek atau pengguna tenaga listrik (PLN dan non PLN dengan kapasitas tertentu) dalam keseluruhan wilayah daerah yang bersangkutan. Bersandar kepada dasar aturan yang jelas, obyek PPJ yang dimaksudkan oleh UU No. 34 / 2000 dan PP No. 65 / 2001 mencakup penggunaan tenaga listrik (selain beberapa obyek yang dikecualikan) oleh konsumen (orang pribadi atau badan) di suatu wilayah daerah, dan bukan pada status peruntukannya (seperti untuk penerangan jalan). Sumber pembayaran rekening penerangan jalan di berbagai tempat dalam suatu wilayah daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemda atas penggunaan tenaga listrik di wilayah bersangkutan. Dengan jalan pikiran dan dasar hukum seperti itu, pengaturan PPJ dalam perda-perda yang menjadi bahan kajian ini secara umum adalah tepat dan sah. Karena kesamaan jalan pikiran dan dasar hukum ini, di antara berbagai perda tersebut (juga kebanyakan perda dari daerah lainnya) memiliki cakupan obyek pungutan (dan subyek atau wajib pajak), dasar perhitungan pajak dan besaran pungutan yang serupa. Mengambil alur di luarnya, seperti yang dilakukan oleh asosiasi-asosiasi bisnis tadi, menyebabkan kesimpulan atas keberadaan dan keabsahan PPJ ini menjadi berbeda (baca: salah). Ketidakbermasalah sejumlah perda ini juga ditunjukan oleh proporsionalitas besaran pajak yang ditetapkan, yang taat pada ketentuan tarif pajak maksimal 10% (pasal 61 PP No. 65/2001) dan tidak berpotensi membebani wajib bayar pajak. Catatan akhir Namun terlepas dari sudah jelasnya dasar hukum dan alasan penetapan PPJ dalam keempat perda di atas, ada sejumlah catatan dan rekomendasi yang kiranya penting untuk dipikirkan lebih lanjut. Pertama, guna merelevansi acuan yuridisnya, perda dan SK Kepala Daerah yang dikeluarkan sebelum pemberlakuan aturan perundangan otonomi dan perpajakan baru perlu direvisi.
Meski isi aturan perpajakan lama yang menjadi acuan sebagian perda ini relatif sama dengan ketentuan aturan perpajakan baru, revisi tahun penerbitan berguna bagi ketepatan dan keabsahan pemilihan konsideran hukumnya. Kedua, dari keempat perda di atas, tidak terdapat pengaturan khusus tentang NJTL dari sektor kegiatan industri, pertambangan, minyak bumi dan gas alam sebesar 30 % sebagai dasar pengenaan pungutan PPJ-nya (berdasarkan pasal 60 ayat 1 dan 3 PP No.65 / 2001). Hal ini perlu ditera secara eksplisit sehingga tidak ada pelampaun prosentase NJTL (untuk sektor-sektor ini, prosentase besaran tarif PPJ berbanding dengan NJTL 30%). Ketiga, mengingat adanya kewajiban sosial dan biaya tertentu yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan dan kawasan indsutri terhadap penduduk dan ekosistem diseputar wilayahnya (misalnya, pembangunan komunitas / community development), maka perlu kiranya dipikirkan kompensasi berupa pengurangan kewajiban (pajak) kepada pihak pemerintah. Sebag aimana yang ditetapkan pasal 58 ayat (2d), pemerintah daerah bisa menetapkannya (yang diatur dengan perda) sebagai salah satu obyek yang dikecualikan. Mirip alasannya dengan perlakuan khusus terhadap lembaga-lembaga sosial pengguna tenaga listrik (seperti tempat ibadah) yang tidak dikenakan pungutan PPJ, adanya kewajiban sosial perusahaan dan kawasan industri terhadap masyarakat sekitarnya hendaknya dikompensasi dengan pengurangan kewajiban mereka (seperti pajak) terhadap pemerintah. Rekomendasi ini semakin relevan, mengingat banyak perusahaan / kawasan industri yang menggunakan tenaga listri sendiri dan ikut menerangi jalan-jalan umum di wilayah sekitanya. Untuk menutup tulisan ini, disadari bahwa kewajiban membayar pajak penerangan jalan (PPJ) bagi setiap subyek pengguna tenaga listrik memang memiliki dasar hukum dan jalan pikiran kebenarannya. Tapi, bahkan oleh PP No. 65 / 2001 sekalipun, juga dikenal adanya pengaturan khusus dan pengecualian penggunaan tenaga listrik tertentu (terutama oleh lembaga sosial) dari kewajiban tersebut. Perusahaan dan kawasan industri yang juga dikenakan kewajiban sosial (meski pun dalam dirinya bukan sebagai lembaga berfungsi sosial) kiranya perlu dipikirkan oleh setiap pemerintah daerah untuk mendapat kekecualian semacam itu. Hal ini sedikit-banyaknya juga bisa dilihat sebagai bentuk insenstif usaha yang diberikan oleh pemda, dan akan berefek banyak bagi kesejahteraan daerah itu sendiri.* (ndi)
19
Seminar Penyusunan Dokumen Propeda dan Renstrada Propini DKI Jakarta, Topik: Bidang Hukum, Ketentraman, dan Ketertiban Umum. Tanggal 28 Mei 2002 bertempat di Gedung Bappeda Propinsi DKI Jakarta, berlangsung seminar sehari membahas Rencana Penyusunan Dokumen Propeda (Program Pembangunan Daerah) dan Renstrada (Rencana Strategis Daerah) Propinsi DKI Jakarta. Salah satu topik yang menjadi pokok bahasan, di antaranya adalah bidang hukum, ketentraman, dan ketertiban umum. Bidang hukum, ketentraman, dan ketertiban merupakan salah satu dari delapan bidang yang tercakup dalam Propeda DKI Jakarta. Arah dan kebijakan dari fungsi pembinaan hukum, ketentraman dan ketertiban umum adalah: 1. Pembinaan hukum; menata kembali seluruh peraturan perundang-undangan daerah yang dapat mendukung perkembangan kebutuhan masyarakat pada era otonomi daerah. 2. Ketentraman dan ketertiban umum; menciptakan kondisi kota Jakarta yang tentram, tertib dan teratur, serta menciptakan stabilitas daerah yang mantap dan dinamis sehingga dapat mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Program-program di bidang hukum, kemanan dan ketertiban umum yang menjadi pokok bahasan dalam seminar akan dituangkan dalam Renstrada dan Propeda DKI Jakarta ini akan menjadi salah satu subtansi pendukung untuk mewujudkan visi dan misi pembangunan DKI Jakarta sebagai ibukota negara RI yang sejajar dengan kota-kota besar negara maju, dan dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan sarana dan prasarana kota yang bernuansa lingkungan. (lpem-feui) DPRD Wonosobo Minta Masukan atas Kebijakan Daerahnya Tanggal 6 Juni 2002, enam belas anggota DPRD Kabupaten Wonosobo yang tergabung dalam Pansus Perumusan Kode Etik Anggota DPRD melakukan serangkaian kunjungan dan pertemuan ke berbagai instansi pemerintah dan sejumlah lembaga di Jakarta, diantaranya dengan KPPOD dan CSIS. Pertemuan tersebut untuk membahas dan mendapatkan masukan dari lembaga-lembaga tersebut atas sejumlah Kebijakan Daerah Wonosobo, diantaranya Rancangan Kode Etik Anggota DPRD, Perda Kab. Wonosobo No.22 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, dan Ranperda tentang Minuman Keras. Rumusan Kode Etik Anggota DPRD ini merupakan inisiatif dari anggota DPRD Wonosobo, yang akan dipakai sebagai pedoman dan aturan main bagi setiap anggota DPRD dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil masyarakat dan untuk bertingkahlaku sesuai dengan statusnya. Dengan adanya Kode Etik bagi Anggota DPRD ini mantinya diharapkan dapat dipakai sebagai rambu-rambu bagi setiap anggota DPRD Kabupten Wonosobo untuk menjalakan fungsi dan tugasnya sebagaimana mestinya, serta agar mereka dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Secara khusus KPPOD, memberikan beberapa masukan atas Perda tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dan Ranperda tentang Minuman Keras. Perda tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, yang mengatur mengenai pemanfaatan hutan di Wonosobo pemanfaatannya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Untuk itu dalam perda tersebut diatur agar pemanfaatan hutan di Wonosobo, senantiasa melibatkan dan memprioritaskan kelompok masyarakat sekitar hutan. Sedangkan Ranperda Minuman Keras dibuat dengan tujuan untuk penertipan terhadap konsumsi, distribusi/peredaran, dan produksi minuman keras di wilayah Kabupaten Wonosobo, untuk mencegah dan menghindari efek negatif bagi lingkungan masyarakat akibat pengkonsumsian minuman beralkohol.(git) Tarik Menarik Pembentukan Propinsi Kepulauan Riau Bermula dari keengganan Gubernur Riau Saleh Djasit dan Ketua DPRD Riau Chaidir MM untuk merekomendasikan terbentuknya Propinsi Kepulauan Riau (Kepri), ratusan warga masyarakat pendukung pembentukan Propinsi Kepri mendeklarasikan berdirinya Propinsi Kepulauan Riau di Tanjung Pinang. Dalam acara tersebut, warga secara simbolis mencopot lambang daerah Propinsi Riau dan nekat membakar empat patung pejabat daerah Riau yang mereka anggap menghalangi pendirian Propinsi Kepri. (sun) ADPSI Tolak Pemilihan Gubernur Langsung Asosiasi DPRD Se-Indonesia (ADPSI) menolak pemilihan gubernur langsung dan tidak merekomendasikan masalah itu dalam revisi UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah. Menanggapi hal itu, Dirjen Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi mengatakan Depdagri berpegang pada peraturan perundang-undangan yang secara formal masih ada dan berlaku. Pernyataan Oentarto ini disampaikan berkaitan dengan pernyataan dari Asosiasi DPRD Propinsi Se-Indonesia (ADPSI) yang menolak pemilihan Gubernur langsung dan tidak merekomendasikan masalah pemilihan ini ke dalam revisi Undang Undang Otonomi Daerah. Menurut Oentarto, wilayah yang dimungkinkan untuk melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung hanyalah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
20
*Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf
KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau.
*Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan
keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia.
*Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna
gradasi biru gelap.
*
Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.