KEBEBASAN BERPENDAPAT DALAM HUKUM INDONESIA DAN MALAYSIA (Analisis Hukum Positif Dan Hukum Islam)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH :
MOHD SABRI BIN MAMAT NIM: 109045200014 K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R ’I Y Y A H PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperloleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta: 20 Juni 2011 M 18 Rejab 1432 H
Mohd Sabri Bin Mamat
PEDOMAN TRANSLITERASI
a. Padanan Aksara Huruf Arab
Huruf Latin
ا
Keterangan tidak dilambangkan
ب
b
be
ت
t
te
ث
ts
te dan es
ج
j
je
ح
h
ha dengan garis di bawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sy
es dan ye
ص
s
es dengan garis di bawah
ض
d
de dengan garis di bawah
ط
t
te dengan garis di bawah
ظ
z
zet dengan garis di bawah
ع
„
koma terbalik diatas hadap kanan
غ
gh
ge dan ha
ف
f
ef
ق
q
ki
ك
k
ka
ل
l
el
م
m
em
ن
n
en
و
w
we
هـ
h
ha
ء
`
apostrof
ي
y
ye
b. Vokal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
a
fathah
ِ
i
kasra
ُ
u
dammah
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ ي
ai
a dan i
َ و
au
a dan u
Tanda Vokal Latin
Keterangan
Adapun Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab
c. Vokal Panjang Tanda Vokal Arab
ـَـا
â
a dengan topi di atas
ــــِــي
î
i dengan topi di atas
ــــُـــو
û
u dengan topi di atas
d. Kata Sandang Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf )(ال, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh = الشمسيةal-syamsiyyah, = القمريةal-qamariyyah.
e. Tasydîd Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah.
f. Ta Marbûtah Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na„t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
g. Huruf Kapital Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh = البخاريal-Bukhâri.
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang telah memberikan dorongan serta motivasi kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan dan merampungkan skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syari‟ah dan Hukum Jurusan Siyasah Syar‟iyyah (Ketatanegaraan Islam) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu.
2.
Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin tinggal untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami.
3.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum.
5.
Afwan Faizin M.Ag Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah Bapak ajarkan mendapat balasan dari Allah SWT.
6.
Asmawi, M.Ag Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syar‟iyyah.
7.
Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum.
8.
Ayahanda Mamat bin Said dan Ibunda Seripah Binti
Mokhtar, dengan kasih sayang
dan dorongan serta semangat yang diberikan telah mengantar penulis bergelumang dengan dunia akademik. Dengan tanpa lelah telah membesarkan penulis. Penulis berjanji tidak akan berhenti setakat ijazah UIN, dan akan memberikan khidmat kepada agama dan bangsa. Adik-adikku Mohd Taufik, Fakhrul Radzi, Hamidah, Tarmizi, abang-abangku Salman Al-Farisi, Abdul Hadi, dan kakak Supandawati. Tidak dilupakan kepada tok dan tokki, Poksam, Pokjin, abg Long, Mok Yam, Anak- anak saudara, Jaja, Angah, Along, Amirul, Abdul Aziz, dan Maira. 9.
Khusus buat keluarga angkatku, Mok Teh, Ayah Teh, Kak Nailah, Kak Jihah, Hajar, Arwah Naim, Muaz, pirah dan piyah serta teristimewa, Nadiah.
10.
Khusus buat Asma binti Wahab yang telah membantu penulis dalam penyediaan bahanbahan penulisan. Dengan berkat bantuannya telah melengkapkan penulisan Skripsi penulis.
11.
Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah Zaitun, Ustadzah Asma bin Harun, Ustad Khalil Abdul Hadi, Ust. Kamaruzaman, Ust. Syahari Zulkirnain, Ust. Asmadi, Ust. Wan Zul, dan seluruh Ustad dan Ustadzah juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis sebutkan di sini.
12.
Teman-teman Indonesia yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini khususnya saudara Muchin serta teman-teman dari LDK, Adrian, Anwar, Iqbal, Rezal,
teman dari HTI iaitu Adnan, teman dari Jemaah Tabligh, Dany, Sultan serta temantemannya dari partai Boenga, Bagus serta teman-temanya dari BEM jurusan SS, temanteman dari Taekwando UIN, iaitu Bem Arman, Mada, Putri, Indah, Stefani, April, Ridha, dan juga beberapa teman-teman yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 13.
Para tetangga kosan, Ibu Halimah, Ibu Dafa‟, Ibu Niswah, Ibu Aminah, Ibu Lima Juta, Bapak Iskandar, Bapak Eko, Bapak Wahab, Serta bocah imut yang tak terlupakan, Dafa, Abrar, Mada, Puteri, Niswah, Radix, Wildan, dan beberapa tetangga lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
14.
Teman-teman satu perjuangan dari Malaysia, yang sama-sama dalam perjuangan (Zalani, Qashah, Muaz, Riduan, Hadi, Saipudin, Munir, Syukri, Tarmizi, Pijol, Syamil, Najmi, Khalil, Ramadhan, Ustaz Azhari, Riduan Hamid, Nasrullah, Farid, Hanzalah, Razman, Amir, Hajar, Rozilawati, Faezah, Alfiah, Rabialtul „adawiyah, Khatijah, Hidayah, Najihah, Saidah, Azidah ) serta teman Malaysia yang berada di Aspa dan Aspi ( Hapis, Hilmi, Fuad, Sumayyah, Jannah, Halijah, Zuriah, Sahara, Balqis, dll).
15.
Khusus buat teman-teman seperjuangan dari Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia Jakarta (PKPMI-J) saudara Farid Asyraf, Selaku Presiden Persatuan dan seluruh kabinetnya,
16.
Khusus buat teman-teman dari Trisakti, Sopi, Koji, Syapik, Karim, Farisan, Fahmi dll, teman-teman dari Ukrida, Alif, Asydad, dll. Teman-teman dari Maestopo, Mimi, We, Mastura, dll. Teman- teman dari UI, Ana dll.
Penulis sangat mengharapkan sekali masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama dapat membangun dan terus memotivasi penulis agar memperbaiki sehingga penyajian yang lebih sempurna. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan
lakukan untuk penulis khususnya
kepada semua pihak pada umumnya. Penulis
menyampaikan harapan yang begitu besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian. Semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai suatu amalan yang baik di sisi-Nya.
Jakarta: 20 Juni 2011 M 18 Rejab 1432 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………. vii DAFTAR ISI……………………………………………………………………….viii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah………………………………………….... 1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….... 9
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………. 9
D.
Tinjauan Perpustakaan..................................................................... 10
E.
Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan................................... 10
F.
Sistematika Penulisan……………………………………………... 12
JAMINAN
KEBEBASAN
MENYATAKAN
PENDAPAT
DI
DALAM
DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA (DUHAM) 1948 DAN DEKLARASI KAIRO (1990)
A.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948.............. 16
B.
Kebebasan menyatakan pendapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)............................................................... 23
C.
BAB III
Kebebasan menyatakan pendapat menurut Deklarasi Kairo............ 25
UNDANG-UNDANG
YANG
MENGATUR
HAK
KEBEBASAN
BERPENDAPAT DI INDONESIA DAN MALAYSIA A. Pengaturan hukum hak kebebasan berpendapat di Indonesia............... 29 B. Pengaturan hukum hak kebebasan berpendapat di Malaysia............... 49
C. Implementasi hak kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia. 58
BAB IV
PERBEDAAN HUKUM DI INDONESIA DAN HUKUM MALAYSIA MENGENAI HAK KEBEBASAN BERBENDAPAT A. Perbedaan dan persamaan hukum di Indonesia dan Malaysia............ 70 B.
Perbandingan
implementasi
kebebasan
berpendapat
di
Indonesia
dan
Malaysia.............................................................................................. 78 C.
Tinjauan
hukum
Islam
terhadap
pengaturan
hak
kebebasan
berpendapat......................................................................................... 81
BAB VI PENUTUP A.
Kesimpulan......................................................................................... 93
B. Saran................................................................................................... 95 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini, hak-hak asasi manusia memiliki nilai pokok yang dihormati oleh banyak negara, berusaha dengan kesungguhan untuk menjaganya, dan meninggalkan dari semua bentuk usaha yang dapat mengabaikan kebebasan. Kebebasan menjadi begitu penting kerana tidak ada artinya hak rakyat dan kuasa mereka apabila tidak ada kebebasan.1 Dengan adanya rasa menghormati kebebasan, berarti suatu umat dikatakan berperadaban dan bernilai tinggi.2 Kebebasan merupakan sebuah ide yang senantiasa aktual dalam panorama perkembangan peradaban manusia. Dikatakan demikian karena kebebasan merupakan problem esensial dan eksistensial yang secara terus-menerus diperjuangkan oleh manusia. Sehinggakan diskusi internasional di PBB mengenai hak asasi manusia telah menghasilkan beberapa piagam penting yang antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).3 Antara kebebasan yang banyak dibahas ialah kebebasan berpendapat. Dalam Islam, mengungkapkan pendapat merupakan salah satu hak manusia yang terpenting, bahkan sebagai sesuatu yang wajib bagi setiap muslim dalam satu setiap urusan yang 1
Abdul Hadi Awang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Publication & Distribution Sdn. Bhd, 2007) Cet 1, hlm. 64. 2 Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kausar, 2005) Cet 1, hlm. 5. 3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 211
berkaitan dengan akhlak, kepentingan dan peraturan umum serta dalam setiap hal yang dianggap oleh syariat sebagai suatu kemungkaran.4 Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Imran ayat 104: Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak Yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam), dan menyuruh berbuat Segala perkara Yang baik, serta melarang daripada Segala Yang salah (buruk dan keji). dan mereka Yang bersifat demikian ialah orangorang Yang berjaya.
Kebebasan berpendapat merupakan prasyarat penting untuk sebuah negara demokrasi. Demokrasi bermakna rakyat diberi kebebasan untuk memilih dan menilai yang sekaligus
mengharuskan wujudnya kebebasan berpendapat, berhimpun dan
berpesatuan.5 Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Masykuri Abdillah (1999) prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas prinsip:
persamaan, kebebasan, dan
pluralisme.6 Dalam hal ini, menurut Dr. Harjono ditemukan dalam karya Aristoteles,7
4
Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kausar, 2005) Cet 1, hlm. 110. 5 Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan, Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD), 2005) Cet 1, hlm. 190. 6 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2005) Cet 2, hlm 122. 77 Aristoteles lahir pada 384 SM di kota Stagira, murid kepada Plato. Beliau adalah tokoh filosof yang amat berpengaruh. Karyanya yang masih tetap utuh sehingga sekarang iaitu politics. Lihat lanjut, Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat, Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia ke-3, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010) Cet 2, hlm. 28.
politics yang ditulis antara 335 dan 323 SM menyatakan asas dasar dari Konstitusi demokrasi adalah kebebasan. Setiap demokrasi mempunyai tujuan kebebasan.8 Manakala menurut Miriam Budiardjo menyatakan bahwa antara syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis ialah kebebasan untuk menyatakan pendapat.9 Negara Indonesia dan Negara Malaysia adalah dua negara serumpun yang memiliki ras, budaya dan agama yang saling terkait. Ras Melayu, Jawa, dan lain-lain telah tersebar luas di kedua negara ini, maka sudah pasti ciri budaya memiliki banyak persamaan. Lintas sejarah juga telah membuktikan kedua negara ini menerima agama Islam dari jalur yang sama, iaitu jalur perdagangan,10 melalui pedagang-pedagang Arab yang sering berdagang di wilayah Asia Tenggara.11 Bahkan tenggang waktu kedua negara ini menerima agama Islam tidak jauh berbeda. Sehubungan dengan itu, kedua negara ini memiliki penduduk mayoritas muslim. Oleh kerana itu, unsur budaya dan agama ini telah memberi pengaruh yang tidak berbeda jauh dalam kehidupan sosial di masing-masing negara. Meskipun demikian, dalam hal tipe pemerintahan dan perundang-undangan tetap memiliki persamaan dan perbedaannya tersendiri. Indonesia adalah negara hukum yang melindungi setiap warga negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat, menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini dilindungi melalui peraturan perundang-undangan di 8
Harjono, TransformasiDemokrasi, (Jakarta: Sekreteriat Jenderal Dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi, 2009 ) Cet 1, hlm. 24. 9 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm 116 10 Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009) Cet 1, hlm. 394. 11 Internasional Law Book Services, 2005, Malaysia Kita, Selangor, Cet 6, hlm. 21.
Indonesia baik didalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28, maupun diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, dan lain-lain.12 Seterusnya terdapat banyak undang-undang yang menjabar kepada pasal 28 UUD 45 tersebut. Antaranya UndangUndang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, UU ini mengatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi bagi setiap masyarakat yang ingin menyampaikan pendapatnya dan bagi pemerintah agar dapat memberikan perlindungan hukum kepada setiap masyarakat, agar terjaminnya hak menyampaikan pendapat. Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dinyatakan bahwa, “setiap warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: (a) mengeluarkan pikiran secara bebas; b) memperoleh perlindungan hukum”.13 Kebebasan berpendapat di Indonesia diwarnai dengan perkembangan hak-hak asasi yang telah mengalami pasang surut sejak mencapai kemerdekaan. Diawali dengan Demokrasi Parlementer, hak asasi yang tercamtum dalam Undang-Undang Dasar 1956 tidak termuat dalam suatu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama Pasal 27-31, dan mencakup baik bidang politik serta ekonomi, sosial dan
12
http: //id. shvoong. com/law-and-politics/1853630-hak-kebebasan-berpendapat-bagi-setiap/, artikel diakses pada tanggal 14 Disember 2010, Jam 11: 39 WIB 13 http: //holid-emkaen. blogspot. com/2009/02/kemerdekaan-menyampaikan-pendapat-di. html, Artikel ini diakses pada 14 Disember 2010, Jam 11: 44 WIB
budaya. Dalam jumlah terbatas dan dirumuskan secara singkat. Hal ini
tidak
mengherankan mengingat bahwa naskhah ini disusun pada akhir masa pendudukan Jepang dalam suasana mendesak.14 Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa-gesa.15 Adapun pengaturan mengenai hak politik seperti kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28). Jadi hak asasi tersebut dibatasi oleh undangundang.16 Setelah memasuki era Demokrasi Terpimpin, di bawah Presiden Soekarno beberapa hak asasi, seperti mengeluarkan pendapat, secara beransur-ansur mula dibatasi. Beberapa surat kabar dibredel, seperti Pedoman, Indonesia Raya dan beberapa partai dibubarkan, seperti Masyumi dan PSI serta pemimpinnya, Moh. Natsir dan Syahir ditahan. Sementara itu, pemenuhan hak asasi ekonomi sama sekali diabaikan; tidak ada garis jelas mengenai kebijakan ekonomi. Perekonomian Indonesia mencapai titik terendah. Akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti dengan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru.17 Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan dimulai satu proses demokratis.
Banyak
kaum
cediakawan
menggelar
berbagai
seminar
untuk
mendiskusikan masa depan hak Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi tidak berlansung lama, kerana sesudah beberapa tahun golongan militer 14
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008 ) Cet 3, hlm. 248. Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana, 2007) Cet 2, hlm 61 16 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008 ) Cet 3,, hlm. 249 17 Ibid, hlm. 250. 15
beransur-ansur mengambil alih.18 Dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Pengekangan terhadap pers mulai lagi, antara lain dengan ditentukannya bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat Ijin Terbit (SIT) dan surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Terjadi pembredelan terhadap Sinar Harapan (1984) dan Majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994). Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui Daerah Operasi Militer (DOM). Banyak kasus kekerasan terjadi, antara lain peristiwa Tanjung Priuk (1984) dan Peristiwa Trisakti. Akhirnya Presiden Soeharto dijatuhkan oleh para mahasiswa pada bulan Mei tahun 1998, dan masa Reformasi dimulai.19 Masa Reformasi, telah berlaku reformasi dalam bidang hukum menghasilkan diantaranya adalah ditetapkannya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1988 mengenai Hak Asasi Manusia. Apa yang dilakukan oleh MPR dengan ketetapan ini merupakan suatu perubahan yang cukup besar, sehingga dapatlah dikatakan sebagai sebuah momentum yang sangat penting.20 Ketika ini, hak mengutarakan pendapat sangat terpenuhi. Berbagai kalangan masyarakat mengadakan seminar-seminar di mana pemerintah dengan bebas dikritik, begitu juga media massa dalam talk-show-nya dan berbagai LSM. Demontrasi melanda masyarakat, diantaranya ada yang bekahir dengan kekerasan. Lewat berbagai demontrasi, baik Presiden Habibie maupun Presiden Abdurrahman
18
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008 ) Cet 3, hlm 250. Ibid, hlm. 251. 20 Harjono, Transformasi Demokrasi , (Jakarta: Sekreteriat Jenderal Dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi, 2009) Cet 1, hlm. 190. 19
Wahid terpaksa meletakkan jabatan masing-masing pada tahun 1999 dan tahun 2001. Dan Presiden Megawati pun tidak luput dari arus demontrasi ini.21 Manakala pula, Malaysia sebagai sebuah negara yang mengamalkan sistem pemerintahan parlementer, turut melindungi setiap warga negara dalam menyatakan pendapat, menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan. Hak Kebebasan menyatakan pendapat dicatatkan dalam Perlembagaan Persekutuan22 pasal 10. Dari pasal 10 ini dijabarkan ke berbagai Undang-undang yang terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat. Antaranya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1948 tentang Hasutan, Undang-undang No. 30 Tahun 1971 Tentang Kolej Universiti Dan Kolej Universiti, UU No. 82 Tahun 1960 Tentang Keselamatan Dalam Negeri, dan UU No. 344 Tahun 1967 Tentang Polisi. Berbeda dengan perkembangan hak asasi manusia di Indonesia, perkembangan hak asasi manusia di Malaysia tidak banyak perubahan besar berlaku. Bahkan boleh dikatakan perkembangan pengaturan terhadap hak asasi di Malaysia cenderung statis. Ini kerana Perdana Menteri selaku ketua pemerintahan hanya meneruskan kebijakan yang telah ditinggalkan oleh Perdana Menteri sebelumnya. Undang-undang yang terkait dengan hak asasi manusia tidak banyak berlaku amandemen yang signifikan sejak ia diundang-undangkan. Contoh Undang-Undang No. 82 tahun 1960 Tentang Keselamatan Dalam Negeri diundang-undangkan demi untuk menanggulangi kelompok Komunis atau
21
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 255. Perlembagaan Persekutuan adalah Undang-undang tertinggi Negara Malaysia dan sedarjat dengan UUD 1945. 22
lebih tepatnya Partai Komunis Malaya (PKM)23 di Malaysia. Sungguhpun demikian, ancaman komunis tersebut yang menjadi asas penting kepada undang-undang ini sudah tidak ada lagi.24 Antara lain, seperti UU No. 15 Tahun 1948 Tentang Hasutan yang diundang-undangkan sebelum kemerdekaan,25 iaitu ketika pemerintahan Inggris, demi untuk mengurangi kritikan dan penentangan terhadap kerajaan dan penjajah itu sendiri.26 Sekalipun sudah berlaku lebih 20 kali amandemen27 terhadap UU ini, pasal-pasal yang jelas menghalangi hak-hak yang telah dijamin oleh perlembagaan28 masih berlaku. Berhubungan dengan perkara yang dijelaskan ini, penulis akan menyoroti bagaimana pengaturan perundang-undang di masing-masing negara dan melihat di mana perbedaan dan persamaan antara kedua negara. Selain itu, meneliti bagaimana implementasi hak kebebasan berpendapat dalam masyarakat. Maka
penulis berikan
judul kepada penelitian ini, “Kebebasan Berpendapat Dalam Hukum Indonesia Dan Malaysia”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan Masalah
23
Pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah kalah, pasukan Bintang Tiga atau Partai Komunis Malaya (PKM) bergiat aktif untuk menubuhkan kerajaan fahaman komunis di Semenanjung Tanah Melayu. 24 Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia, Asas-asas dan Masalah, (Selangor: PerCetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2001) Cet 1, hlm. 187. 25 Pemerintah Inggris bersetuju memberi kemerdekaan kepada Malaysia pada 31 Ogos 1957 26 Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan, Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD) , 2005) Cet 1, hlm. 230. 27 http: //ms. wikipedia. org/wiki/Akta_Keselamatan_Dalam_Negeri_(Malaysia) , Diakses pada 10 Januari 2011, Jam 12: 45 WIB 28 Ibid, hlm. 205.
Berdasarkan dari pokok-pokok pemikiran yang menjadi latar belakang masalah di atas, maka penulis dalam kesempatan ini coba untuk membatasi permasalahan dari perspektif hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam yang mengatur mengenai kebebasan berpendapat. Seterusnya melihat bagaimana impelementasi kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia. Perumusan Masalah Supaya
tidak menjadi
pembahasan
yang panjang penulis
merumuskan
pemasalahan dalam bentuk rincian soalan yang berikut: 1.
Bagaimana kebebasan berpendapat diatur dalam undang-undang Negara Indonesia dan Negara Malaysia?
2.
Dimanakah perbedaan dan persamaan peraturan perundang-undangan antara dua negara tersebut?
3.
Bagaimana implementasi kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia?
4.
Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengaturan hak kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Ada beberapa alasan dan tujuan yang mendasari penulis memilih judul skripsi ini. Berikut adalah : 1.
Untuk
mengetahui
undang-undang
yang
mengatur
berpendapat dan berkumpul di Indonesia dan Malaysia.
mengenai
kebebasan
2.
Untuk mengetahui apakah undang-undang yang mengatur mengenai kebebasan berpendapat dan berkumpul di Malaysia dan Indonesia sejalan dengan tuntutan universal.
3.
Untuk mengetahui perbedaan yang terkandung di dalam undang-undang antara dua negara yang mengatur mengenai kebebasan berpendapat dan berkumpul. Ada pun manfaat dalam penelitian ini, diantaranya ialah:
1.
Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang hukum dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia dan Malaysia .
2.
Memberi pemahaman kepada masyarakat luas tentang bagaimana kebebasan berpendapat dari perspektif Hukum Indonesia dan Hukum Malaysia.
3.
Memberi pemahaman kepada masyarakat luas tentang bagaimana kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia dari perspektif Hukum Islam.
4.
Sebagai sumbangan ilmiah untuk menambahkan bahan bacaan dalam kepustakaan dan sebagai pedoman hidup untuk para pembaca.
5.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi untuk peneliti- peneliti yang akan datang.
D. Tinjauan Perpustakaan Dalam tinjauan kepustakaan terdahulu, penulis mendata beberapa penelitian terhadap beberapa skripsi dan tulisan yang mempunyai kaitan dengan judul penulis. Diantaranya adalah:
Buku yang berjudul “Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia”karya Mohd Salleh Abas.29 Buku ini menjelaskan tentang prinsip dan tatacara pemerintahan di Malaysia. Dan di dalamnya banyak menguraikan tentang Konstitusi Malaysia yang mana turut menjelaskan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi. Selain itu, terdapat juga skripsi yang menjadi rukujan penulis. antaranya Skripsi tulisan Saifullah Bin Ramli yang berjudul Hak Asasi Manusia Dalam Perlembagaan Persekutuan,30 tahun 2009, membahaskan mengenai hak asasi manusia di Malaysia secara umum. Dan hanya sebatas perbincangan mengenai pasal-pasal yang diatur dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia. Jaminan hak asasi manusia terhadap warga diatur dengan cukup jelas di dalam Perlembagaan Persekutuan. Seterusnya penulis memberi penilaian dari perspektif hukum Islam terhadap hak-hak yang diatur di dalam Perlembagaan Persekutuan. Seterusnya Skripsi tulisan Harun bin Isa yang berjudul Hak-hak politik mahasiswa dalam Akta Universiti dan Kolej Universiti menurut perspektif Hukum Islam, tahun 2009.31 Skripsi ini membahas tentang hak-hak berpolitik Mahasiswa serta bagaimana mahasiswa dihalang dan disekat kebebasannya dalam berpolitik. Kajiannya tertumpu kepada butiran peangaturan yang terkandung di dalam Undang-undang ini, dan
29
Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan di Malaysia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006) Cet 3. 30
Saifullah Bin Ramli, ”Hak Asasi Manusia Dalam Perlembagaan Persekutuan”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009) 31 Harun bin Isa, ”Hak-hak politik mahasiswa dalam Akta Universiti dan Kolej Universiti menurut perspektif Hukum Islam”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)
tidak melebar kepada Undang-undang yang lain. Penulis juga melakukan analisis terhadap hak-hak yang terkandung di dalam Undang-undang ini. Penelitian yang ditulis oleh Ahmad Baihakki Bin Arifin yang berjudul “Hak-hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”, tahun 2008.32 Penelitian ini membahas tentang hak-hak politik warga negara Malaysia yang diatur di dalam Konstitusi Malaysia. Seterusnya, penelitian yang penulis lakukan sekarang adalah mengenai hak kebebasan berpendapat yang terkandung di dalam konstitusi dan jabarannya ke dalam perundang-undangan di antara Indonesia dan Malaysia. Dengan kata lain, melihat perbedaan dan persamaan pengaturan hukum di kedua negara. Penulis juga melakukan penelitian bagaimana implementasi hak kebebasan berpendapat, seterusnya bagaimana hukum Islam merespon mengenai hak kebebasan berpendapat. E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hokum
normatif atau penelitian yuridis normatif,33 maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative approach).34 Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk melihat pengaturan terhadap kebebasan berpendapat yang ditetapkan dalam perundang32
Ahmad Baihakki Bin Arifin, “Hak-hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) 33 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) Cet 1, hlm. 175. 34 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007) Cet 3, hlm. 302
undangan kedua negara. Manakala pendekatan perbandingan perundang-undangan dilakukan untuk melihat di mana perbedaan dan persamaan pengaturan terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia. 2.
Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskritif analitis,35 merupakan metode yang dipakai untuk
menggambar suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi agar dapat memeberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau perundang-undangan yang berlaku. Dalam penulisan ini hal tersebut dilakukan dengan menguraikan hal-hal tentang status hukum dan implementasi kebebasan berpendapat di kedua negara. 3.
Sumber Data
(a)
Data Sekunder
1)
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini (Undang-undang Dasar 1945, Perlembagaan Persekutuan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik, Undangundang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1948 Tentang Hasutan, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1971 Tentang Kolej Universiti Dan Kolej Universiti, Undang-undang Nomor 301 Tahun 1984 Tentang Mesin Cetak Dan Penerbitan, Undang35
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) Cet 1, hlm. 179.
undang Nomor 344 Tahun 1967 Tentang Polisi, Undang-undang Nomor 82 Tahun 1960 Tentang Keselamatan dalam negeri. 2)
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah hukum yang
terkait dengan objek penelitian. 3)
Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum
primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sebagainya.36 4.
Metode pengumpulan data Metode pengumpulan bahan dilkukan dengan penelitian kepustakaan (library
research), studi ini dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tetulis lainnya seperti kitab fikih yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan jalan mencari, mempelajari, dan mencatat. 5.
Analisis Data Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat analisa
isi (content analysis) yaitu suatu kegiatan yang dilakukan penulis untuk menentukan kronologi, isi atau makna bagaian-bagian yang diatur oleh peraturan yang terkait.37 6.
Teknik Penulisan Skripsi
36
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) Cet 1, hlm. 176. Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) Cet 1, hlm. 177.
37
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. F. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun dalam lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab, adapun secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut: Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan. Seterusnya pembahasan dalam Bab II menyentuh mengenai jaminan terhadap hak kebebasan menyatakan berpendapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Deklarasi Cairo. Manakala dalam Bab III menjelaskan tentang undang-undang yang mengatur mengenai hak kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia, serta dijelaskan bagaimana implementasi kebebasan menyatakan pendapat di kedua negara. Selanjutnya dalam Bab IV penulis melakukan penelitian terhadap perbedaan dan persamaan hukum Indonesia dan Malaysia mengenai hak kebebasan menyatakan pendapat. Serta melakukan penelitian melalui sudut pandang tinjauan hukum Islam. Akhirnya, dalam Bab V penulis memberi berisi saran dan kesimpulan terhadap kajian dan penulisan yang telah dilakukan.
BAB II JAMINAN KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT DI DALAM DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA (DUHAM) 1948 DAN DEKLARASI KAIRO (1990)
A. Deklarasi Universal Hak Asasi manusia 1.
Pengertian HAM Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), hak asasi masnusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup.38 Klaim ini berhubungan dengan standar kehidupan, yang setiap manusia mempunyai hak untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai manusia.39 Dengan demikian, wewenang atau tuntutan merupakan bagian integral dari hak itu sendiri. Artinya, ketika hak-hak kemanusiaan diinjak-injak, dikesampingkan, disepelekan, dilecehkan, dan dilanggar sampai dihapus atau dibuang, secara Otomatis
38
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm. 110. 39 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia&Hukum Islam, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007) Cet 1, hlm. 15.
akan timbul tuntutan untuk memperbaikinya. 40 Senada dengan pengertian di atas adalah pernyataan awal hak asasi manusia (HAM) yang dikemukakan oleh John Lokce.41 Menurut Lokce, HAM adalah hak-hak yang diberikan lansung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Kerana sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan bukan pemberian dari manusia atau lembaga negara.42 Menyadari bahwa setiap orang memiliki hak asasi sejak lahir, terutama di dalam pemerintahan, serta di samping setiap pribadi warga masyarakat dituntut suatu dari alam untuk saling menghormati, mempertahan, dan mengobarkan terus penghormatan hak asasi antar sesamanya. Sikap tersebut seharusnya menjadi pilar dan pegangan umat manusia untuk saling menghormati hak asasi manusia.43 2.
Sejarah perkembangan HAM HAM sebagai suatu sistem yang dibentuk secara normatif dan formal, banyak
yang menyatakan bahwa kelahiran HAM dimulai dari Magna Charta (1215), Bill of Right (1689) The American Declaration (1776), The French Declaration (1789), 40
A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi) Dalam Masyarakat, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2007) Cet 1, hlm. 10. 41 Seorang filsuf Zaman Pencerahan, (1632-1704) . 42 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm. 110. 43 A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi) Dalam Masyarakat, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2007) Cet 1, hlm. 11.
kemudian The Four Freedom (1941), dan barulah Universal Declaration of Human Right (1948).44 Kemudian langkah-langkah tersebut diikuti oleh berbagai Negara dengan mencantumkan klausul HAM ke dalam Konstitusi. Akan tetapi sesungguhnya perkembangan HAM dalam dunia internasional dapat dibagi dalam lima fase.45 Fase pertama: pada fase ini, norma-norma HAM masih terbagi beberapa aspek dan masih bersifat lokal, dalam arti hanya pada wilayah Negara tertentu saja. Termasuk dalam fase ini adalah: a.
Magna Charta (Piagam Agung 1215), wacana awal HAM di Eropah dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja,46 sehingga hak-hak dasar rakyat tetap terjamin.47 Pada tahun 1215 ditandatangani satu perjanjian, Magna Charta, antara Raja John dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Raja John dipaksa mengakui beberapa hak dari para bangsawan
sebagai
imbalan
untuk
mereka
membiayai
penyelenggaraan
pemerintah dan kegiatan perang. Hak yang dijamin mencakup hak politik dan sipil yang mendasar, seperti hak untuk diperiksa di muka hakim. Sekalipun pada awalnya hanya berlaku untuk sebagian bangsawan, hak-hak itu kemudian menjadi
44
Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005, “Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. hlm. 16 45 Ibid. hlm. 16. 46 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm. 110. 47 Pauls. Baut, Kompilasi Deklarasi: HAM, (Jakarta: Yayasan LBH, 1988) hlm. 5
bagian dari sistem Konstitusional Inggris yang berlaku bagi semua warga Negara.48 b.
Bill of Right (Undang-undang Hak 1689) Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM) di Inggris.49 Undangundang Hak
(Bill of Right) diterima satu tahun sesudah Parlemen berhasil
mengusir Raja Jamae II dan mengudang puterinya Mary bersama suaminya, William of Orange, untuk menduduki takhta kerajaan Inggris (the Glorious Revolution 1688). Hak-hak yang dirumuskan tidak boleh dilanggar oleh raja sekalipun.50 Menurut Bill of Right, asas persamaan di hadapan hukum harus diwujudkan betapa pun berat rintangan yang dihadapi, kerana tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud.51 c.
The American Declaration Independence (1769), disusun dan hanya berlaku di Amerika. Melalui deklarasi ini mulai mempertegas bahwa manusia merdeka sejak dalam perut ibunya. Sehingga tidak logis, sesudah lahir harus dibelenggu.52
d.
The French Declaration (1789), Sebuah deklarasi yang menjamin persamaan hak dan penghormatan terhadap harakat dan martabat kemanusiaan.53 Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses 48
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 213. Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5,, hlm 111. 50 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 215. 51 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm 111. 52 Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005, “Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. hlm. 17. 53 Pauls. Baut, Kompilasi Deklarasi: HAM, (Jakarta: Yayasan LBH, 1988) hlm. 5 49
hukum, seperti larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewenangwenang tanpa alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang.54 Deklarasi ini dirumuskan pada awal Revolusi Prancis.55 e.
The four freedoms (1941) perkembangan HAM di fase pertama diakhiri dengan munculnya wacana empat hak kebebasan manusia di Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, yang diproklamirkan oleh Presiden Theodore Roosevelt.56 Keempat hak tersebut ialah; kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari ketakutan (freedom from fear), dan kebebasan dari kemiskinan (freedom from want). 57 Fase kedua: adalah fase kelahiran HAM yang bersifat universal58 dan dinyatakan
berlaku secara internasional,59 dengan merumuskan HAM yang diakui seluruh dunia sebagai standar universal bagi perilaku manusia.60 Fase ini ditandai dengan lahirnya Universal Decalration Of Human Rights (DUHAM) setelah PD II.61 Menurut DUHAM, terdapat lima (5) jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu: hak personal (hak 54
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet, 5 hlm. 112. 55 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 215. 56 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, 112. 57 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 215 58 Diterima oleh 48 negara. 59 Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005, “Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. hlm. 17. 60 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 218 61 Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005, “Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. hlm. 18.
jaminan kebutuhan pribadi); hak legal (hak jaminan perlindungan hukum); hak sipil dan hak politik; hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan); dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.62 Fase ketiga: adalah fase perkembangan HAM yang hendak memperluas cakupan HAM dari sekadar hukum dan politik.63 pada tahun 1966 upaya rekonseptualisasi hakhak asasi manusia itu mencapai puncaknya ketika sidang umum PBB mengesahkan Kovenan International Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Right), dan Kovenan Hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Right). Dua kovenan inilah yang menjadi dokumen dasar “generasi II”konsepsi dasar hak-hak asasi manusia sebagai babak baru dalam perkembangan hakhak asasi manusia.64 3.
Substansi Deklarasi Universal HAM Seperti telah diuraikan sebelumnya, seusai Perang Dunia II timbullah keinginan
untuk merumuskan hak asasi yang diakui seluruh dunia sebgai standar universal bagi perilaku manusia. Usaha pertama ke arah standar setting ini dimulai oleh Komisi Hak Asasi Manusia. Dalam sidang Komisi Hak Asasi Manusia, kedua jenis hak asasi manusia dimasukkan sebagai hasil kompromi antara negara-negara Barat dan negara-negara lain, 62
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm 112. 63 Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005, “Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. hlm. 18 64 Pauls. Baut, Kompilasi Deklarasi: HAM, (Jakarta: Yayasan LBH, 1988) hlm. 12
sekalipun hak politik masih lebih dominan. Pada 1948 hasil pekerjaan komisi ini, Universal Decalaration of Human Right, diterima 48 negara dengan catatan bahwa delapan negara, antara lain Uni Soviet, Arab Saudi, dn Afrika Selatan tidak membeikan suaranya atau abstain.65 Hasil gemilang ini tercapai hanya dalam dua tahun, kerana dalam waktu yang menguntungkan. Negara-negara sekutu (termasuk Uni Soviet) baru saja memenangkan perang dan ingin menciptakan suatu tantangan hidup baru yang lebih aman. Sebab lain mengapa Deklarasi Universal agak cepat dapat dirumuskan adalah sifatnya yang “tidak mengikat secara yuridis” sesuai usul beberapa negara, antara lain Uni Soviet.66 Di satu sisi, ini patut dinilai sebagai langkah menuju kemenangan hak asasi manusia dalam tataran gagasan. Tapi juga sebagai suatu kegagalan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai kenyataan. Bangsa-bangsa ini beberapa tahun kemudian secara konsisten akhirnya mengesahkan DUHAM dan ini terjadi setelah lebih dari seratus negara muncul sebagai negara merdeka pasca 1948. Ini merupakan prestasi tersendiri bagi DUHAM, kerana bagaimanapun tak ada satu negara pun yang boleh berbangga atas pelanggaran hak asasi yang telah dilakukannya. Formulasi HAM yang dirumuskan dalam Deklarasi Universal PBB tersebut, terbagi dalam 30 pasal dan sangat sarat dengan ketentuan mengenai mengenai hak-hak asasi manusia. Secara teori, hak-hak yang terdapat dalam deklarasi tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga bagian. Bagian pertama, menyangkut hak-hak politik dan
65
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 218. Ibid, hlm. 219.
66
yuridik; bagian kedua, menyangkut hak-hak atas martabat dan integritas manusia; dan bagian ketiga, menyangkut hak-hak sosial, ekonomi, dan hak-hak budaya.67 B. Kebebasan menyatakan pendapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Kalau kita kembali ke ide dasar HAM, di mana setiap manusia sejak lahir memiliki hak utama yang melekat dan suci, yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak lainya demi pemenuhan kebutuhan lahir batinnya, maka tidak ada kekuatan apa pun yang berhak dan mampu mencabutnya. Hanya dengan landasan hukum Konstitusional yang adil dan benar lewat proses legal, maka pencabutannya dibenarkan baik untuk sementara maupun seterusnya. Karena akibat beragam perbedaan kepercayaan, keyakinan politik, etnik, golongan, dan agama dengan segala variasinya, maka perbedaan tersebut akan selalu hidup dan ada dalam komunitas nasional dan internasional. Untuk mempertahankan hak tersebut, perlu perjuangan dan gerakan bersama (politik moral) umat manusia melalui lembaga internasional, nasional, baik politik, sosial, ekonomi, keagamaan, budaya dan sejenisnya maupun perseorangan. Negara hukum (rule of law) ”lekat” dengan sistem politik demokrasi. Agar terbina harmonisasi sistem hukum dan sistem politik dalam tataran bermasyarakat, maka hidup bermasyarakat berarti siap/mau mengikuti pola hubungan antara individu
dalam
kelompok yang telah ada sebelumnya. Adanya pola tingkah laku sama yang dipertahankan 67
dan
dikembangkan
terus
oleh
warganya,
menyebabkan
Pauls. Baut, Kompilasi Deklarasi: HAM, (Jakarta: Yayasan LBH, 1988) hlm. 9.
tercipta/terjalinnya interaksi sosial. Sistem politik dan sistem hukum yang ada sangat berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat. 68 Dalam hubungan ini, kelompok warga menempati posisi dan pemegang peran yang penting dalam hidup nasional maupun internasional. Hal ini pasti akan melihatkan kepentingan warga untuk menyatakan pendapat dan inspirasinya. Lalu bagaimana kepentingan warga ini mendapat tempat atau perlindungan yang sewajarnya. Sejak awal, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) telah memberikan perhatiaannya dalam hal kepentingan politik. Hak warga untuk menyatakan pendapatnya dinyatakan secara jelas di dalam DUHAM, pasal 19 yang berbunyi: ”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”. Seperti yang sudah dibahaskan sebelumnya, hak-hak yang terkandung di dalam DUHAM masih bersifat ”tidak mengikat secara yuridis”.69 Oleh kerana itu, Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah menyusun ”sesuatu yang lebih mengikat daripada deklarasi belaka”, dalam bentuk perjanjian (covenant). Ditentukan pula bahwa setiap hak akan dijabarkan, dan prosedur serta aparatur pelaksnaan dan pengawasan dirumuskan secara
68
A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi) Dalam Masyarakat, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2007) Cet 1, hlm. 79. 69
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 218.
rinci.70 Pada sidang umum PBB 1966, telah disepakati dua konvensi HAM Internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya serta konvensi bidang sipil dan hak-hak politik sipil. Maka dengan persepakatan dua deklarasi tersebut, hak warga untuk menyatakan pendapat semakin mendapat tempat dan lebih bersifat mempunyai kekuatan mengikat. C. Hak kebebasan menyatakan pendapat menurut Deklarasi Kairo Mempercayai bahwa hak asasi manusia dan kebebasan universal dalam Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari agama Islam,71 maka pada tahun 1990 Organisasi Kenferensi Islam telah merumuskan Deklarasi Kairo yang terdiri dari 25 pasal sesudah perundingan selama tiga belas tahun.72 Hak yang dirumuskan dalam deklarasi ini kebanyakan bersifat hak ekonomi. Hak lain ialah bahwa semua individu adalah sama di muka hokum (pasal 19). Ditentukan pula bahwa keluarga merupakan dasar masyarakat; perempuan sama dengan laki-laki dalam martabat manusia (woman is equal to man in human dignity); hak atas hidup dijamin. Hak kebebasan menyatakan pendapat dinyatakan dalam pasal 22 dengan bunyinya: a)
Setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas sedemikian sehingga tidak bertentangan dengan aturarn-aturan Syariat.
70
Ibid, hlm. 219 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia&Hukum Islam, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007) Cet 1, hlm. 245. 72 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 239. 71
b)
Setiap orang memiliki hak untuk membela apa yang dianggap benar, dan mendakwahkan apa yang dianggap baik, dan mengingatkan apa yang dianggap salah dan mungkar menurut norma-norma Syariat Islam.
c)
Informasi merupakan kebutuhan vital masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitasi atau disalah gunakan denga cara sedemikian sehingga bisa menodai kesucian dan kehormatan para nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak dan merugikan masyarakat atau melemahkan Iman mereka. Hak ini dirumuskan berdasarkan kepada firman Allah dalm surat An-Nisa‟ ayat
135 yang berbunyi: Artinya: “Wahai orang-orang Yang beriman! hendaklah kamu menjadi orang-orang Yang sentiasa menegakkan keadilan, lagi menjadi saksi (yang menerangkan kebenaran) kerana Allah, sekalipun terhadap diri kamu sendiri, atau ibu bapa dan kaum kerabat kamu. kalaulah orang (yang didakwa) itu kaya atau miskin (maka janganlah kamu terhalang daripada menjadi saksi Yang memperkatakan kebenaran disebabkan kamu bertimbang rasa), kerana Allah lebih bertimbang rasa kepada keduanya. oleh itu, janganlah kamu turutkan hawa nafsu supaya kamu tidak menyeleweng dari keadilan. dan jika kamu memutar-balikkan keterangan ataupun enggan (daripada menjadi saksi), maka Sesungguhnya Allah sentiasa mengetahui Dengan mendalam akan apa Yang kamu lakukan”.
Menurut Kamali, beliau mencatat bahwa telah diakui secara umum bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dalam Islam dalam banyak hal melengkapi
kebebasan beragama; bahwa ia adalah perpanjangan dan konsenkuensi logis dari kebebasan berkedaran dan berkeyakinan yang telah dibenarkan dan dijunjung oleh Syariat.73 Ada begitu banyak Hadis dan praktik yang terakam semasa kehidupan Nabi dan para Khalifah setelah beliau yang mendukung bahwa kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat adalah hak yang telah diakui sejak lahirnya hukum Islam. Kesimpulan yang dapat kita peroleh di sini ialah, kalau kita kembali ke ide dasar HAM, di mana setiap manusia sejak lahir memiliki hak utama yang melekat dan suci, yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak lainya demi pemenuhan kebutuhan lahir batinnya, maka tidak ada kekuatan apa pun yang berhak dan mampu mencabutnya. Hanya dengan landasan hukum Konstitusional yang adil dan benar lewat proses legal, maka pencabutannya dibenarkan baik untuk sementara maupun seterusnya. Seterusnya, hak kebebasan menyatakan pendapat telah mendapat posisi penting dalam tamadun kehidupan manusia. Tidak ada banyak perbedaan jaminan yang terkandung antara kehendak semulajadi manusia dan aturan yang tekandung dalam seperti dalam DUHAM dan Deklarasi Kairo. Yang membedakan keduanya hanyalah dalam pengertian agama. Deklrasi melatarbelakangi hak-hak yang terkandung di dalamnya dengan cerminan agama, seterusnya DUHAM dalam pengertian secara universal. Akan hak-hak dasarnya tetap sama, iaitu mendukung hak-hak semulajadi manusia seluruhnya.
73
Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia&Hukum Islam, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007) Cet 1, hlm. 129.
BAB III UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR HAK KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA DAN MALAYSIA
A. Pengaturan Hukum Hak Kebebasan Menyatakan Pendapat di Indonesia Melakukan penelitian terhadap pengaturan hak kebebasan menyatakan pendapat, sudah pasti selain melihat dari sudut sinkronisasi, kita juga harus melihatnya dari sudut historis. Ternyata pengaturan hak kebebasan menyatakan pendapat menjadi perbahasan penting bagi para pendiri negara. 1.
Materi Muatan Hak Kebebasan Menyatakan Pendapat Dalam UUD 1945 UUD 194574 sebelum disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI )75 pada tanggal 18 Agustus 1945,76 dalam penyusunannya mengalami suatu proses yang melibatkan berbagai pemikiran yang didasarkan pada idiologi-idiologi
74
UUD 1945 sering disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan demikian kerana kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan RI,17 Agustus 1945. Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005) Cet 2, hlm. 60. 75 BPUPKI resmi tebentuk sejak 29 April 1945,beranggotakan 62 orang, berhasil melaksanakan sidang sebanyak 2 kali,yakni sidang pertama 29 Mei-1 Juni dan sidang kedua 10-17 Juli 1945. Lihat Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005) Cet 2, hlm. 68 76 Sehari setelah Kemerdekaan Indonesia diroklamsikan,BPUPKI menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Indonesia. Pada waktu itu dinyatakan bahwa penetapan tersebut bersifat sementara dengan ketentuan bahwa enam bulan setelah perang berakhir, Presiden akan melaksanakan UUD itu,dan enam bulan setelah MPR terbentuk,lembaga akan nulai menyusun UUD yang baru. Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 195.
tertentu. Perdebatan itu mencakup dasar negara, sistematika UUD, materi muatan, dan lain-lain. Salah satu masalah yang diperdebatkan adalah mengenai perlu tidaknya percantuman HAM dalam Rancangan UUD dengan membaca diskusi-diskusi yang terjadi dalam BPUPKI.77 Dari berbagai tulisan yang menyoroti perdebatan masalah HAM dalam sidang BPUPKI kemudian menyimpulkan bahawa pemuatan HAM dalam UUD 1945 merupakan hasil komproni antara pemikiran yang memandang tidak tepat memuat ketentuan mengenai HAM dalam UUD dan pemikiran yang berpendapat bahawa sudah sewajarnya UUD memuat ketentuan mengenai HAM. Pandangan pertama diwakili oleh Soekarno dan Supomo,78 sedangkan pandangan kedua79diwakili oleh Hatta dan Yamin.80 Sesungguhnya kesimpulan mengenai adanya dua pandangan yang saling berhadapan tersebut tidak sesuai dengan pembicaraan yang berlansung pada waktu itu. Hal itu tampak dari kenyataan bahawa pada sidang tanggal 13 Juli telah dibahas Naskhah UUD 1945 yang dihasilkan oleh Panitia Kecil yang diketuai oleh Supomo,
77
Bagir Manan,Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 22. 78 Menurut Supomo HAM sangat identik dengan idiologi liberal-induvidual, dengan demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Supomo tidak pernah membayangkan kalau negara yang berasaskan kekeluargaan akan terjadi konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya kerana negara atau pemerintah merupakan satu kesatuan,antara pemerintah dengan rakyat adalah tubuh yang sama. Lihat lanjut H. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: PT Refika Aditama, 2005) Cet 1,hlm. 10. 79 Bagir Manan,Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 22. 80 Di pihak Yamin menolak pandangan dari kubu Supomo. Menurutnya tidak ada dasar apapun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang mereka rancang. Lihat lanjut H. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: PT Refika Aditama, 2005) Cet 1, hlm 10.
yang telah memuat pasal-pasal tentang HAM. Materi HAM yang diatur antara lain persamaan kedudukan di muka hukum,81 hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,82 hak untuk memeluk agama dan kepercayaan,83 dan lain-lain yang mencakup hak sipil dan politik. Dari berbagai ketentuan yang diatur dalam naskhah tersebut hanya ada satu ketentuan yang tidak tercantum, yang kemudian tercantum dalam UUD 1945 yaitu ketentuan yang berkenaan hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, yang kemudian di hari akamodasi dalam Pasal 28 UUD 1945. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan:84 “Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan, bahawa manusia bukan sahaja mempunyai hak kemerdekaan suara, kemerdekaan memberikan suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada sociela rechtvaardigheid yang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi “droit de l‟homme et du citoyen”itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh kerana itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme85 daripadanya. ”
81
Pasal 28D, UUD 1945. Pasal 28H,UUD 1945. 83 Pasal 28E,UUD 1945. 84 Bagir Manan,Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 23. 85 faham individualisme dan liberalisme adalah produk yang dibawa oleh Barat,berbeda dengan Indonesia yang bukan saja mengakui adanya hak individu,juga mengakui adanya hak-hak kolektif atau umum bahkan hak individu akan dikesampingkan jika dipandang oleh negara memang harus bertindak 82
Terhadap pandangan Soekarno, Hatta berpendapat bahwa:86 “. . . . . . Memang kita harus menentang individualisme. . . . Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi satu hal yang saya kuatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam Undang-undang Dasar mengenai hak untuk mengeluarkan suara, yaitu bahwa nanti di atas Undang-undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi suatu bentukan negara yang kita setujui. . . . Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi Negara Kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu, ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga . . . . . supaya tiap-tiap warga negara jangan takut untuk mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut di sini hak untuk berkumpul dan bersidang atau mesyuarat dan lain-lain. . . Jadi, bagaimanapun juga, kita menghargai tinggi keyakinan itu atas kemauan kita untuk menyusun negara baru, tetapi ada baiknya jaminan diberikan kepada rakyat, yaitu hak untuk merdeka berpikir. Memang ini agak sedikit berbau individualisme, tetapi saya katakan tadi bahwa ini bukan individualisme. Juga dalam collectivisme ada sedikit hak bagi anggota-anggota collectivisme, anggota-anggota dari keluarga itu untuk mengeluarkan perasaannya. . . ” Dari uraian di atas, Hatta jelas meminta dimasukkannnya hak untuk berkumpul, berdialog dan kemerdekaan menyatakan pikiran, dan bukan semua hak yang tercantum dalam droit de l‟homme et du citoyen87. Dalam hal ini Hatta menyatakan:88
demikian. Lihat lanjut H. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: PT Refika Aditama, 2005) Cet 1, hlm. 87. 86 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 23. 87 droit de l‟homme et du citoyen,merupakan Deklarasi mengenai HAM dan Warga Negara yang dirumuskan pada awal Revolusi Prancis (1979). Pernyataan ini mencanangkan hak atas kebebasan,
“. . . . . . . . Tentang memasukkan hukum yang disebut “droit de et du citoyen”memang tidak perlu dimasukkan di sini, sebab itu semata-mata adalah syarat-syarat untuk mempertahankan hak-hak orang seorang kezaliman raja-raja di masa dahulu”. Satu-satunya perbedaan adalah usul Hatta agar hak berkumpul, berdialog dan mengeluarkan pikiran ditambahkan dalam ketentuan HAM disamping yang sudah ada dalam naskhahlm. Pada mulanya Supomo berkeberatan kerana hak-hak itu dipandang bersumber pada individualisme. Tampaknya ini dipengaruhi oleh paham integralistik yang dikembangkan oleh Supomo. Namun, Hatta menjelaskan bahwa hak-hak tersebut juga dikenal dalam paham kekeluargaan. Supomo secara tersirat mengakui bahwa hak berserikat juga diakui dalam paham kekeluargaan. Hal ini terlihat dari ucapan Supomo yang menyatakan bahwa:89 “Jikalau jaminan hak-hak dasar orang seseorang dalam Undang-Undang Dasar yang bersifat kekeluargaan itu tidak diadakan, itu sama sekali tidak boleh bersuara atau tidak boleh berkumpul, sama sekali tidak”. Sebagai tanggapan
atas pendapat Soekarno, Supomo dan Hatta, Yamin
menyatakan bahwa:90
“Supaya aturan keme liberalisme, melainkan semata-mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undag-Undang Dasar”.
kesamaan, dan kesetiakawanan. Lihat lanjut Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 215. 88 Ibid 89 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 25. 90 Ibid
Pandangan Yamin di atas tampaknya memang menghendaki segal aspek HAM dicantumkan dalam UUD. Jadi, sebenarnya ada perbedaan antara Yamin dan Hatta. Hatta tidak menghendaki seluruh hal yang termuat dalam droit de l‟homme et du citoyen dimuat dalam UUD, sedangkan Yamin berpendapat sebaliknya. Akhirnya, perdebatan mengenai perlu tidaknya memasukkan ketentuan mengenai hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dapat diselesaikan dengan diterima usulan Hatta tersebut yang didukung oleh beberapa anggota lainnya termasuk Supomo. Penerimaan Supomo ini tercermin dalam pernyataannya yang berbunyi: 91 “. . . . . . Oleh kerana itu, kami usulkan suatu aturan yang mengandung kompromis, akan tetapi tidak akan menentang sistematik rancangan anggaran dasar ini, ialah dengan menambah di dalam undang-undang dasar suatu pasal yang berbunyi: “Hukum yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan dan lain-lain diatur dengan Undang-undang”. Dengan ini, pertama, kita tidak mengemukakan hak yang dinamai subjectief recht, seperti hak perorangan, oleh kerana itu adalah hasil aliran pikiran perseorangan, akan tetapi hal itu di sini disebut hukum; bagaimanapun juga diatur dalam Undang-undang, bahwa hukum yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan ditetapkan dalam Undang-undang. Dengan demikian hal itu adalah kewajipan. Ketentuan itu mewajibkan Pemerintah untuk membikin Undang-undang tentang hal itu”. Dari paparan yang diberikan dapat disimpulkan bahawa, kebebasan menyatakan pendapat telah mendapat posisi penting untuk dibahas bagi
91
Bagir Manan,Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 25.
mengundangkannya di dalam UUD 1945. Sehingga sekarang rumusan tersebut diterima yakni sebagaimana tercantum dalam Pasal 2892 UUD 1945. 2.
Materi Muatan Hak kebebasan menyatakan pendapat dalam Konstitusi RIS 1949 Mengingat kepada pengaturan hak kebebasan menyatakan pendapat
merupakan salah satu hak warga sipil yang termasuk dalam jaminan terhadap HAM oleh Konstitusi RIS 1949.93 Menariknya, Konstitusi RIS memberikan penekanan yang signifikan tentang HAM. Hal tersebut diatur dalam bagian tersendiri (BAB I, Bagian 5 Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) yang terbentang dalam 27 pasal. Tak hanya itu, Konstitusi RIS juga mengatur kewajibam asasi negara dalam hubungannya dengan upaya penegakan HAM (BAB I, Bagian 6 Asasasas Dasar) yang terbentang dalam 2 bagian (Bagian 5 dan 6 pada BAB I) dengan
92
Pasal 28E ayat 3, berbunyi,“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. 93 Konstitusi RIS 1949, adalah hasil perundingan dengan Belanda membuat pihak Indonesia terpaksa menerima bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) . Dengan UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) berarti Indonesia menerima bentuk federalisme dan terpaksa harus menerima kenyataan bahwa statusnya sebagai negara kekuasaan tadinya secar de facto berdasarkan Perjanjian Linggarjati menjadi sekadar satu negara bagian dari suatu federasi saja. Dengan demikian, Republik Indonesia yang jumlah penduduknya 31 juta jiwa disejajarkan dengan Biliton yang hanya berpenduduk 100 ribu jiwa dan Indonesia Timur yang 10 juta jiwa. Hanya saja di DPR federal, Republik Indonesia diberi kedudukan khusus dengan memperoleh jatah 50 kursi pendukung republik. Tetapi bentuk federalisme hanya berlansung singkat, sekitar 7 bulan. Tidak lama setelah bentuk federalisme diberlakukan,rakyat di banyak negara bagianmengadakan perlawanan. Akhirnya pada bulan April 1950,13 negara bagian menyatakan bergabung dengan republic Indonesia untuk membentuk negara kesatuan. Lihat lanjut Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 200.
jumlah 35 pasal.94 Penekanan dan jaminan Konstitusi RIS atas HAM, secara Historis, sangat dipengaruhi
oleh
keberadaan
Universal
Declaration
of
Human
Right
(UDHR/DUHAM) yang dirumuskan oleh PBB pada 10 Desember 1948. Dalam konteks negara-bangsa, maka diseminasi HAM versi PBB pada waktu itu sangat dirasakan mempengaruhi Konstitusi-Konstitusi negara-negara di dunia,
95
termasuk
Konstitusi RIS 1949.96 Meskipun tidak ditemukan kata Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi RIS, namun ada tiga kalimat yang dipergunakan, yakni setiap/segala/sekalian orang/siapa pun/tiada seorang pun, setiap warga negara, dan berbagai kata yang menunjukkan adanya kewajiban asasi manusia dan negara. Keseluruhan kata ini dapat ditafsirkan kepada makna dan pengertian HAM sesungguhnya. Dengan kata lain, manusia secara pribadi, kelompok, keluarga, dan sebagai warga negara benar
94
Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005) Cet 2, hlm. 100. 95 Setelah Deklarasi Universal Hak Asasi manusia disahkan oleh Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1948, dari sejak awal sudah sangat jelas bahwa hak asasi manusia yang dijamin di dalamnya ditujukan untuk bersifat universal. Kebutuhan untuk menjunjung penghormatan hak asasi manusia melalui langkah nasional dan internasional serta pengakuan dan ketaatan efektif kepadanya juga telah dikemukakan dalam Deklarasi tersebut. Pada saat itu,Perserikatan Bangsa-Bangsa baru terdiri atas 58 negara anggota. Lihat lanjut,Mashood A. Baderin,Hukum Internasional Hak Asasi Manusia&Hukum Islam,(Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,2007) Cet 1,hlm. 23. 96 Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005) Cet 2, hlm. 102.
benar ditegaskan sebagai mereka yang mendapat jaminan dalm Konstitusi RIS. 97 Hak Kebebasan Menyatakan Pendapat dapat ditemukan dalam pasal 19 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Sebagaimana perbahasan sebelumnya, yaitu mengenai perdebatan hangat di kalangan pendiri negara mengenai hak peribadi atau individualisme dan keluarga untuk dimuatkan di dalam UUD 1945. Secara horizontal Konstitusi RIS 1959 dan UUD 1945 tidak mengandungi pertentangan mengenai pengaturan terhadap hak kebebasan menyatakan pendapat. Walaupun begitu, di sana terdapat perbedaan penetapan pasal dan butirannya. Hak kebebasan menyatakan pendapat di atur di dalam UUD 1945, pasal 28E ayat (3) menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Bermakna UUD 1945 memuatkan sekali gus hak yang bersifat personal dan hak yang bersifat keluarga. Berbeda dengan pengaturan di dalam Konstitusi RIS 1949, hak kebebasan menyatakan pendapat di atur secara khusus dalam hak yang bersifat personal. Ini dapat dilihat pasal 19 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Manakala hak warga negara sekaligus hak yang bersifat keluarga diatur di dalam pasal 20 menyatakan: “Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat secara damai diakui dan sekadar perlu
97
Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005) Cet 2, hlm. 102.
dijamin dalam peraaturan-peraturan undang-undang”. Menariknya, status manusia sebagai warga negara tidaklah menghilangkan statusnya sebagai seorang peribadi/individu dan keluarga. Sementara Konstitusi RIS memberikan perbedaan yang tepat dari suatu status tersebut.98 3.
Materi Muatan Hak Kebebasan Menyatakan Pendapat dalam Peraturan Perundang-Undangan Secara horizontal, pengaturan hak kebebasan menyatakan pendapat dalam
UUD di Indonesia telah ditegaskan. Dari seluruh Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, meskipun dalam dinamika pasal yang terkadang sumir, secara tegas memberi jaminan atas perlindungan hak menyatakan pendapat secara baik. Pengakuan ini menunjukkan sebuah komitmen atas kepentingan dan perlindungan rakyat. Hanya saja dalam tataran vertikal yang mengacu kepada peraturan perundangundangan di bawah UUD, pengaturan hak kebebasan menyatakan pendapat mengalami pasang surut yang tidak bisa dipisahkan dengan konfigurasi politik pemerintahan pada era tertentu. Sebagaimana dimaklumi bahwa peraturan hak-hak hukum, yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD,
98
Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005) Cet 2, hlm. 104.
mengalami era keterbukaan sejak pemerintahan Habibie dan seterunya.99 Ketika pemerintahan Habibie (1998-1999), tepatnya pada 15 Agustus 1998, telah diatur kerangka kerja Komnas HAM melalui Kepres No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia. Tujuan Rencana Aksi Nasional adalah untuk menjamin peningkatan, pemajuan, dan perlindungan hak-hak Asasi manusia Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Rencana Aksi Nasional dilaksanakan secara bertahap dalam sebuah program lima tahunan. Hal ini menunjukkan kesinambungan program yang sebenarnya dapat saja ditinjau dan disempurnakan. Dalam pelaksanaannya maka dibentuklah satu Panitia Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden. Sebagai bagian dari HAM, pada tanggal 26 Oktober 1998 berlaku UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum.
100
UU
ini memiliki nilai penting dalam menjamin hak kebebasan berpendapat sebagai salah satu hak asasi manusia.101 Sebelum UU ini diberlakukan, pada tanggal 24 Juli 1998, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang 99
Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005) Cet 2, hlm. 118 100 UU ini terdiri dari 7 bab dan 20 pasal. 101 Pasal 1 menyatakan, “kemedekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebgainya secara jelas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Perpu ini mengatur perlunya kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum sebagai hak asasi manusia dilakukan secara bertanggungjawab agar tidak menganggu hak dan kebebasan orang lain serta kepentingan masyarakat. Pengaturan tersebut dirasakan penting mengingat selama ini pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, seperti unjuk rasa, diikuti dengan tindakan-tindakan perusakan, pembakaran dan penjarahan. Hal itu tertuang dalam konsiderans Menimbang yang selengkapnya berbunyi:102 a.
bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam bentuk menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945.
b.
bahwa menyampaikan pendapat di muka umum walaupun merupakan hak asasi
manusia,
bertanggungjawab
tetapi dengan
pelaksanaannya menjunjung
harus
tinggi
dilakukan
nilai-nilai
secara
keagamaan,
kesusilaan, dan kesantunan serta tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku agar tidak mengganggu hak dan kebebasan orang lain serta kepentingan masyarakat yang wajib dilindungi. c.
bahwa pada saat ini sering terjadi gelombang unjuk rasa yang tidak terkendali di berbagai tempat yang seringkali diikuti dengan tindakan perusakan,
102
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 187.
pembakaran dan penjarahan, yang menimbulkan kerugian baik materil maupun inmateril setra mengakibatkan perasaan tidak aman pada masyarakat atau membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. d.
bahwa untuk tetap menjaga kemanan dan ketertiban nasional yang kondusif untuk melaksanakan pembangunan serta memberikan perlindungan dan perasaan aman bagi masyarakat, perlu segera diadakan pengaturan mengenai penyampaian pendapat di muka umum. Namun, dalam perjalanan selanjutnya, DPR menyatakan penolakan terhadap
Perpu tersebut yang disebabkan beberapa hal:103 Pertama, kondisi psikologis masyarakat yang sangat berprasangka terhadap usaha-usaha
pemerintahan
untuk
mengendalikan
bahkan
akan
“membungkam”kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat, kebebasan berapat, berkumpul, dan lain sebagainya. Kedua, terdapat materi muatan yang sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan pers kerana termasuk yang harus diberitahukan kepada Polri sebelum pemaparan dimuat dalam media massa sebagaimana termuat dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e. Ketentuan ini merupakan suatu bentuk “licensing”yang pada prinsipnya bertentangan dengan prinsip freedom of press.
103
Bagir Manan,Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menurut UU N. o 9 Tahun 1998 (Suatu Kajian dalam Rangka Perwujudan Hak Asasi Manusia , Makalah disampaikan pada Penataran Hukum Administrasi Negara Di Universitas Airlangga Surabaya, Februari 1999, hlm. 8.
Ketiga, pemerintah tidak dapat memberi keyakinan mengenai keadaan “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”sebagai dasar kewenangan dan pembenaran pembuatan Perpu. Keempat, materi muatan yang diatur yang pada pokoknya tentang HAM hanya diatur dengan Undang-Undang, dan bukan dalam bentuk Perpu. Penolakan atas Perpu No. 2 Tahun 1998 diikuti dengan kesepakatan untuk menyusun RUU baru tentang penyampaian pendapat di muka umum yang kemudian menjadi UU No. 9 Tahun 1998. Pada dasarnya, ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam UU No. 9 Tahun 1998 tidak mengalami banyak perubahan dengan Perpu No. 2 Tahun 1998. Perbedaan yang sangat penting tampak dari beberapa hal, antara lain:104 Pertama, dihilangkan pemaparan melalui media massa baik cetak maupun elektronik sebagai salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang harus diberitahukan kepada Polri. Kedua, adanya penambahan beberapa istilah dan pengertian baru dan perubahan dalam pengertian dalam Bab Ketentuan Umum. Penambahan yakni dengan dicantumkannya istilah dan pengertian mimbar bebas. Sedangkan perubahan tampak pada istilah dan definisi unjuk rasa. Semua istilah dan definisi unjuk rasa
104
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 189.
dibedakan dengan demontrasi, sedangkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1998 istilah dan pengertian unjuk rasa atau demonstrasi adalah sama. Secara garis besar, ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam UU No. 9 Tahun 1998 dapat dokategorikan ke dalam beberapa bagian, yakni:105 a.
Ketentuan-ketentuan yang memuat pembatasan.106
b.
Ketentuan-ketentuan yang memuat bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum.107
c.
Ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan muatan pemberitahuan.
d.
Ketentuan lain. Dalam kaitan dengan pembatasan, UU No. 9 Tahun 1998 menegaskan bahwa
penyelenggara
wajib
memberitahukan
kepada
Polri
sebelum
kegiatan
menyampaikan pendapat di muka umum dilakukan. Pemberitahuan ini bukan merupakan suatu izin, dan dilakukan semata-mata untuk menghindari terjadinya
105
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 190. 106 Pasal 9,ayat 2 berbunyi,“Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum,kecuali: (a) di lingkungan istana kepresidenan,tempat ibadahlm. instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal angkutan darat,dan obyek-obyek vital nasional; (b) pada hari besar nasional”. Pasal 10,ayat 1 berbunyi,“Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri”. Pasal 10,ayat 3 berbunyi,“Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat”. 107 Pasal 9 ayat 1,berbunyi,“Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan: a. unjuk rasa atau demonstrasi; b. pawai; c. rapat umum; dan atau d. mimbar bebas”.
gangguan pada saat kegiatan itu dilakukan.108 Masih dalam kaitan dengan pembatasan, Polri dapat membubarkan kegiatan menyampaikan pendapat apabila:109 1.
Tidak menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.
2.
Tidak menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.
3.
Tidak menaati hukum yang berlaku.
4.
Tidak menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
5.
Dilakukan di tempat yang terlarang.
6.
Membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
7.
Tidak memberitahukan.
8.
Dalam pemberitahuan tidak mencantumkan maksud, tujuan, tempat, rute dan lain sebagainya. Kesemua pembatasan di atas dikonstruksi dalam dentuk sanksi yang diatur dalam
Bab V Pasal 15.110 Namun, harus diakui bahwa masih rumusan-rumusan pembatasan itu bersifat elastis dan dapat ditafrsirkan secara longgar, bergantung kepada pihak 108
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm.190. 109 Ibid, hlm. 191. 110 Pasal 15, berbunyi,“Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhiketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) , Pasal 10, dan Pasal 11”.
penguasa. Misalnya, alasan tidak menghormati aturan moral yang diakui umum, tidak menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk mencegah ketidakpastian dan tindakan sewenang-wenang maka diperlukan ketentuan yang lebih rinci ataupun perlunya jurisprudensi yang mungkin terjadi di kemudian hari. Dalam kaitan dengan bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum, UU No. 9 Tahun 1998 menyatakan bahwa bentuk-bentuk111 yang diatur adalah: (1) Unjuk rasa atau demontrasi; (2) Pawai; (3) Rapat umum; (4) Mimbar bebas. Menurut Bagir Manan, unjuk rasa atau demontrasi yang akan dilakukan harus memberitahu kepada kepolisian. Namun harus dikritisi bahwa ketentuan yang terkandung dalam UU ini ada yang terkesan berlebihan dan sulit ditegakkan, terutama untuk ketentuan yang menyatakan bahwa kegiatan perorangan atau individu yang akan melakukan unjuk rasa juga harus menyampaikan pemberitahuan kepada polisi.112 Dalam kaitan dengan muatan pemberitahuan, Pasal 11 No. 9 Tahun 1998 memuat berbagai ketentuan yang haurs diberitahukan (delapan muatan), seperti rute, tempat, waktu, lama, serta jumlahlm. Bagir manan menyatakan bahwa ketentuan yang memuat syarat jumlah dapat menjerat penyelenggara. Seharusnya yang diatur bukan jumlah peserta, melainkan tanggung jawab hukum apabila peserta unjuk rasa melakukan
111
Pasal 9 Bagir manan, Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menurut UU N. o 9 Tahun 1998 (Suatu Kajian dalam Rangka Perwujudan Hak Asasi Manusia) , makalah disampaikan pada Penataran Hukum Administrasi Negara Di Universitas Airlangga Surabaya, Februari 1999, hlm. 14. 112
perusakan atas barang atau harta benda.113 Menurut Harjono, kebebasan menyatakan pendapat turut meliputi kebebasan yang lain sebagai turunan atau penjabarannya, yaitu kebebasan pers, penyiaran, dan film. Kebebasan pers dan penyiaran yang dimaksudkan untuk menjaga pluralisme pendapat dalam kehidupan politik yang menjadi prasyarat dasar bagi demokrasi.114 Pengaturan mengenai Pers, pertama kali diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Selanjutnya, undang-undang tersebut diubah oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 tentang Penambahan UndangUndang No. 11 Tahun 1966. Perubahan kedua terhadap Undang-Undang tersebut dilakukan pada tahun 1982 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967. Terakhir kali, masalah Pers diatur oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Pers, yang mencabut dan mengganti Undang-Undang sebelumnya di bidang Pers.115 Alasan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut adalah:
113
Bagir manan,Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menurut UU N. o 9 Tahun 1998 (Suatu Kajian dalam Rangka Perwujudan Hak Asasi Manusia) ,Makalah disampaikan pada Penataran Hukum Administrasi Negara Di Universitas Airlangga Surabaya,Februari 1999,hlm. 20. 114 Harjono,Transformasi Demokrasi,(Jakarta: Sekreteriat Jenderal dan Kepaniteraan,2009) Cet 1,hlm. 198 115 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 180.
1.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa bernegara dan demokratis.
2.
Kemedekaan menyatakan pendapat dan pikiran merupakan hak asasi yang sangat hakiki.
3.
Pers nasional harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang professional.
4.
Pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
5.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, maka ada beberapa
hal penting yang perlu dicatat, yaitu: a.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat;
b.
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara;
c.
Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran.
Ketentuan tersebut merupakan hal baru yang diatur oleh Undang-Undang Pers, di mana sebelumnya tidak pernah diatur. Hal tersebut semakin menempatkan hak warga negara, dalam kaitannya dengan kemerdekaan menyatakan pendapat samada lisan dan tulisan pada posisi sentral kerana tidak lagi mendapat tekanan dari pihak mana pun dalam implementasinya.116 B. Pengaturan Hukum Hak Kebebasan Berpendapat di Malaysia. 1. Materi Muatan Hak Kebebasan Menyatakan Pendapat Dalam Perlembagaan Persekutuan. Sebagai sebuah perbandingan dapat dilihat ketentuan di Malaysia. Pertama, penulis akan menjelaskan hak-hak asasi yang terkandung di dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia117atau Konstitusi Malaysia118. Konstitusi Malaysia119 mengatur mengenai HAM dalam Bab II tentang kebebasan asasi ditemukan 9 pasal HAM. Pelbagai hak disebut, bermula dengan hak kebebasan diri, larangan pengabdian dan kerja paksa, perlindungan dari undang-undang jenayah yang berkuat kuasa
116
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 185 117 Perlembagaan Persekutuan Malaysia boleh dikatakan bermula semenjak Tanah Melayu berlindung di bawah naungan kerajaan Inggeris pada akhir abad ke-19. Lihat Mohd Salleh Abbas, Prinsip Perlembagaan Dan Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006) Cet. 3,hlm. 11. Lihat juga http://ms. wikipedia. org/wiki/Perlembagaan_Persekutuan,Tanggal 30. 03. 2011. Jam 12:08 Wib. 118 Seterusnya Perlembagaan Persekutuan Malaysia penulis akan menggunakan Konstitusi Malaysia. 119 Konstitusi Malaysia 1957 mengandungi 15 bab dan 183 pasal. Konstitusi Malaysia dapat dilihat,http://ms. wikipedia. org/wiki/Perlembagaan_Persekutuan,tanggal 30. 03. 2011 jam 11:46 WIB.
kebelakangan dan perbicaraan berulang.120 Hak politik hanya diatur dalam pasal 7 sampai pasal 10.121 Selain itu, Konstitusi Malaysia juga menjamin kebebasan beragama. Bab kebebasan beragama juga turut diperkuatkan lagi oleh aturan yang mengistiharkan Islam sebagai agama rasmi persekutuan.
122
Hak mengenai pendidikan juga dimasukkan dalam
bab kebebasan asasi123. Bab kebebasan asasi ini dikahiri dengan aturan yang menjamin hak terhadap harta124. Aturan ini mengatur mengenai hak seseorang mendapaTimbalan yang mencukupi sekiranya harta mereka diambil oleh pihak berkuasa. Seterusnya hak kebebasan menyatakan pendapat diatur di dalam Konstitusi Malaysia pada pasal 10 ayat 1. Yang berbunyi “(a) Setiap warga negara adalah berhak bebas bercakap dan mengeluarkan fikiran, (b) Semua warga negara adalah berhak berhimpun secara aman dan dengan tidak bersenjata”. Ayat 2, 3 dan 4 dari pasal ini dengan jelas menegaskan mengenai pembatasan terhadap aturan pasal 1. Pasal 10 ayat 2 berbunyi, “Parlemen boleh dengan undang-undang mengenakan: Ke atas hak-hak yang diatur oleh kurungan (a) Pasal (1), apa jua sekatan yang difikirkan harus atau penting demi kepentingan keselamatan Persekutuan atau mana-mana negeri bagian, ketemteraman awam untuk melindungi keistimewaan-keistimewaan Parlemen atau 120
Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia, Asas-asas dan Masalah, (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2001) Cet 1, hlm. 184. 121 Misalnya hak persamaan di hadapan hukum dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi,“semua orang adalah sama rata di sisi undang-undang dan berhak mendapat perlindungan yang sama rata di sisi undang-undang”. 122 Bab 1 Pasal 3,ayat 1, berbunyi “Agama Islam adalah agama rasmi bagi Persekutuan,setiap agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di mana-mana negeri bagian”. 123 Pasal 12 124 Pasal 13
mana-mana Dewan Negeri atau untuk mengelakkan penghinaan terhadap mahkamah, fitnah, atau perbuatan untuk mengadu domba supaya dilakukan sesuatu kesalahan”. Abdul Aziz Bari125 mengomentari mengenai pembatasan dalam Konstitusi Malaysia ini sebagai hak asasi yang sia-sia. Beliau menambah, dalam laporan Suruhanjaya Ried126 tidak menampakkan kesungguhan dalam melindungi hak-hak yang dianggap asasi. Suruhanjaya ini seolah-olah beranggapan penafsiran terhadap hak-hak ini tidak perlu dirisaukan. Ia juga mengizinkan Parlemen menggangtung atau menghalangi hak-hak tersebut. Sekalipun aturan-aturan mengenai HAM kekal dalam Konsitusi, hak-hak tersebut tetap boleh dibataskan dengan undang-undang.127 Menurutnya lagi, sekalipun sekatan-sekatan tersebut sering dikritik, seperti dikatakan sebelumnya sekatan-sekatan ini diizinkan oleh Konstitusi sendiri, dengan kata lain
Konstitusi seolah-olah membiarkan pemerintah yang menguasai Parlemen
membuat sekatan sewenang-wenangnya. Contohnya walaupun kita mengakui pihak polisi diberi kuasa untuk mengawal perhimpunan awam, kita mempersoalkan kuasa mutlak mereka untuk melulus atau mencabut izin perhimpunan awam128 tanpa sebab. Kita juga mempersoalkan cara polisi meluluskan izin berkenaan, pihak-pihak lain yang 125
Prof Dr Abdul Aziz Bari merupakan ahli akademik,dosen undang-undang di Universitas Islam Antarabangsa Malaysia, lihat http://ms. wikipedia. org/wiki/Abdul_Aziz_Baric, diakses pada 30 Maret 2011,jam 14: 19 WIB. 126 Suruhanjaya Ried merupakan sebuah suruhanjaya bebas yang berperan merancang Perlembagaan bagi Persekutuan Tanah Melayu sebelum Tanah Melayu memperoleh kemerdekaan daripada Inggris pada Ogustus 1957. Suruhanjaya ini telah dinamakan sempena nama pengerusinya iaitu seorang hakim Mahkamah Rayuan England, Lord William Reid. Lihat di http://ms. wikipedia. org/ wiki/ Suruhanjaya_ Reid, Diunggah pada 30 Maret 2011,jam 14:08 WIB. 127 Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia, Asas-asas dan Masalah, (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2001) Cet 1, hlm. 185. 128 Diatur dalam UU Nomor 344 Tahun 1967 tentang Polisi. Pasal 27
di anggap pengkritik pemerintah seringkali susah untuk mendapat surat izin berkenaan. Alasan yang sering diberikan kerana keselamatan awam; sesuatu yang dianggap menjadi monopoli pihak berkuasa. Sekatan ini didakwa memberi dampak negatif kepada perkembangan minda dan demokrasi di negara ini.129 Aziz Bari membuat kesimpulan sekatan-sekatan yang diatur pada hakikatnya telah mengurangkan kedudukan Konstitusi sebagai undang-undang tertinggi negara. Setelah kita melihat aturan yang diundang-undangkan di kedua Negara ini, terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Jika dari segi pembentukan aturan di Indonesia dilatarbelakangi oleh pemerintah diktator sejak pimpinan Soekarno sehingga digulingkan oleh mahasiswa pada tahun 1998. Hal ini telah memberi transformasi di dalam pembentukan perundang-undang yang seterusnya. Kelihatan jelas perbedaan undang-undang yang diatur sebelum reformasi dan selepas reformasi. Hakhak yang diakaui secara universal diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Kemudian hal yang berbeda yang berlaku di Malaysia, di mana pembentukan undang-undangnya tidak berlaku banyak perubahan semenjak kemerdekaan. Malahan mengambil sikap mempertahankan undang-undang yang telah dibentuk sejak dulu. Hal ini telah mempersempitkan ruang yang sepatutnya dinikmati oleh warga Malaysia. Kita melihat bahwa seharusnya undang-undang perlu mengikut perubahan sosial yang berlaku dalam masyarakat.
129
Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia,Asas-asas dan Masalah, (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2001) Cet 1, hlm. 186.
2. Materi Muatan Hak Kebebasan Menyatakan Pendapat dalam Peraturan Perundang-Undangan Hak kebebasan menyatakan pendapat dalam perundang-undangan di Malaysia tidak ditemukan aturan mengenainya secara khusus seperti UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di muka Umum. Penulis dapati jaminan Konstitusi Malaysia terhadap hak kebebasan menyatakan pendapat menyebar ke pelbagai undang-undang. Antara undang-undang yang terkait, UU Nomor 15 Tahum 1948 tentang Hasutan, UU Nomor 30 Tahun 1971 tentang Kolej dan Universitas, UU Nomor 82 Tahun 1960 Tentang Keselamatan Dalam Negeri, UU Nomor 296 Tahun 1958 tentang Ketenteraman Awam, UU Nomor 301 Tahun 1984 tentang Percetakan dan Penerbitan, dan UU Nomor 344 Tahun 1967 tentang Polisi. Aturan mengenai mengadakan unjuk rasa diatur di dalam UU Nomor 344 Tahun 1967 Tentang Polisi. UU ini dengan jelas mempertegas bahwa apa jua bentuk unjuk rasa harus memohon surat izin dari polisi tempatan.130 Dengan UU ini polisi mempunyai kuasa absolut untuk meluluskan atau melarang untuk diadakan perhimpunan.
130
Selengkapnya pasal 27 ini menyatakan. “Setiap orang yang bermaksud untuk mengadakan atau mengumpulkan apapun atau rapat atau membentuk prosesi dalam tersebut di atas tempat umum,sebelum harus bersidang,mengumpulkan atau membentuk perakitan tersebut,pertemuan dengan polisi tempatan di mana perakitan tersebut,pertemuan atau prosesi yang akan mengadakan permohonan izin dalam nama itu,dan jika polisi tersebut merasa puas bahwa perakitan,rapat atau prosesi yang tidak mungkin akan merugikan kepentingan keamanan Malaysia atau apapun bagiannya atau untuk membangkitkan gangguan perdamaian,ia mengeluarkan lisensi dalam bentuk seperti yang mungkin ditentukan menetapkan nama dari lisensi dan mendefinisikan kondisi-kondisi di atas mana perakitan tersebut,pertemuan atau prosesi diijinkan: Asalkan polisi tersebut dapat dilakukan setiap saat dalam alasan apapun yang masalah lisensi dalam ayat ini dapat menolak,membatalkan lisensi tersebut”.
Dalam hal ini, banyak ahli akademik maupun ahli politik mengkritik aturan sedemikian. Kerana cenderung disalah gunakan. Abdul Aziz Bari dalam bukunya, Politik Perlembagaan, mengatakan kuasa-kuasa budibicara yang diletakkan di tangan pihak-pihak pemerintah sering menyulitkan para pengkritik, sedangkan pihak pemerintah sering mendapat laluan mudahlm. Jadi partai-partai yang mempunyai hubungan dengan pemerintah amat mudah diluluskan apa jua permohonan, sedangkan partai-partai yang didukung oleh tokoh-tokoh pihak oposisi sering mendapat kesukaran, baik untuk memohon pendaftaran atau surat izin untuk berhimpun.131 UU ini juga mengatur mengenai permohonan surat izin harus dimohon oleh organisasi yang berdaftar, dan dilakukan oleh sekurang-kurang 3 orang yang bersangkutan.132 Mana-mana pihak yang mengadakan perhimpunan tanpa surat izin dianggap melanggar hukum.133 Hukum pidana yang bakal dikenakan kepada tersangka minimal 6 juta Rupiah dan maksimal 30 juta Rupiah atau dipenjara paling lama satu tahun.134 Seterusnya UU yang mengatur hal yang berkaitan aturan moral, diatur di dalam UU Nomor 15 Tahun 1948 Tentang Hasutan. UU ini mengatur mengenai kebebasan berpendapat dihadkan kepada kata-kata yang tidak menjadi fitnahlm. Kata-kata yang tidak menjadi hasutan (menghuru-harakan stabilitas politik). Kata-kata yang tidak 131
Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan, Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD), 2005), Cet 1, hlm. 200. 132 Pasal 27 ayat 2 133 Pasal 27 134 Pasal 27 Ayat 8
mencerca pengadilan atau kata-kata yang melanggar hak keutamaan Parlemen dan Dewan Negeri.135 Sesiapa yang menyebut, menulis, mencetak, menjual atau menyiarkan perkataan yang mempunyai maksud hasutan adalah dianggap melakukan kesalahan yang boleh dihukum lima tahun penjara atau denda sebanyak RM 5000. 00.136 UU Nomor 82 Tahun 1960 Tentang Keselamatan Dalam Negeri sering dikaitkan dengan “penahanan tanpa bicara”137 terhadap seseorang yang dianggap perbuatannya, kelakuan, atau gerak-gerinya berbahaya kepada keselamatan negeri dan ketenteraman awam.138 Pasal 149 Konstitusi Malaysia telah mengizinkan Parlemen meluluskan undang-undang untuk menghalangi perbuatan-perbuatan yang menimbulkan huru-hara dalam negeri, atau perbuatan yang hendak mengkudeta pemerintah dengan tidak melalui undang-undang. Di bawah pasal 149 inilah UU Nomor 82 Tahun 1960 tentang Keselamatan Dalam Negeri diluluskan oleh Parlemen.139 Oleh kerana kuasa menahan orang tanpa bicara itu mungkin boleh disalahgunakan, maka pasal 151 Konstitusi Malaysia telah menetapkan beberapa syarat untuk mengesahkan undang-undang tentang penahanan ini. Syarat-syarat ini ialah seperti yang berikut: (a) Orang yang ditahan hendaklah dinyatakan sebab-sebab dia ditahan dan berhak mengemukakan alasan-alasan menentang penahanan tersebut. Dan dia berhak
135
Mohd Salleh Abbas, Prinsip Perlembagaan Dan Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006) Cet. 3,hlm. 301. 136 Pasal 3,UU Nomor 15 Tahun 1948 Tentang Hasutan. 137 Penahanan tanpa dibicarakan di pengadilan 138 Pasal 8 UU Nomor 82 Tahun 1960 tentang Keselamatan Dalam Negeri 139 Mohd Salleh Abbas, Prinsip Perlembagaan Dan Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006) Cet. 3, hlm. 297.
mengemukakan kenyataan tentang penahanannya, melainkan kenyataan yang dianggap membahayakan kepentingan negara; (b) Orang tersebut tidak boleh ditahan lebih daripada tiga bulan, melainkan penahanannya itu telah disyorkan kepada Yang diPertuang Agong140 oleh satu badan penasihat tentang hal ini. Sebelum syor dibuat, badan penasihat tersebut telah mempertimbangkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh warganegara yang ditahan tersebut. Bentuk lain kebebasan menyatakan pendapat adalah mengenai pers. Pers di Malaysia diatur dalam UU Nomor 301 Tahun 1984 tentang Penerbitan dan Percetakan.141 Perkara yang diatur dalam UU ini antara lain, siapa saja yang hendak membuka dan menggunakan mesin pencetak, dia hendaklah mendapatkan terlebih dahulu izin daripada Menteri Hal Ehwal Dalam Negeri,142 manakala jika ia hendak mencetak atau menerbitkan Koran, ia hendaklah mendapatkan surat izin terlebih dahulu daripada menteri tersebut.143 Dan jika koran yang diterbitkan tanpa surat izin daripada menteri berkaitan, koran tersebut tidak boleh dijual dan disiarkan kepada orang awam.144 Sekiranya pemberitaan koran tersebut mengandungi laporan-laporan yang tidak benar, maka menteri berkaitan berhak meminta kepada yang berkaitan memperbaiki laporan
140
Yang di-Pertuang Agong merupakan ketua Negara Malaysia. Jabatan ini diwujudkan mengikut Konstitusi Malaysia. Dalam menjalankan kuasa eksekutif,beliau terlebih dahulu meinta nasihat Perdana Menteri dan kabinet. Antaranya mengenai perlantikan dan pelucutan jabatan jemaah menteri dan merasmikan Dewan Parlemen. Lihat lanjut, Mahdi Shuid, Suzani Osman, dan Sazlina Othman, Teks PraU STPM, Sejarah Malaysia, (Selangor: Pearson Malaysia Sdn. Bhd, 2009) Cet 1, hlm. 262. 141 Sebelumnya pers di Malaysia diatur dalan UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pencetak Surat Khabar. 142 Pasal 3,UU tersebut. 143 Pasal 5,UU tersebut. 144 Pasal 7 UU tersebut
yang salah tersebut.145 Setiap surat izin yang dikeluarkan akan tamat tempoh pada 31 Disember setiap tahun, maka setiap tahun surat izin tersebut harus diperbahurui jika masih tetap ingin beroperasi. Melainkan jika sudah dibatalkan sebelum sampai tanggal tersebut. Bekas ketua Hakim Negara, Mohd Salleh Abbas146 mengomentari aturan ini bahwa, dengan jelas pemerintah mempunyai kuasa absolut untuk menutup mana-mana koran. Akhirnya pemerintah berjaya menghalangi apa jua desakan masyarakat awam. Walaubagaimanapun, beliau juga menegaskan bahwa tidak semestinya UU ini harus ditiadakan, bahkan penting supaya pemerintah dapat mengawal penerbitan koran secara haram yang mungkin akan menghuru-harakan stabilitas politik di Malaysia.147 Berbeda pula dengan pakar undang-undang Malaysia, Prof. Abdul Aziz Bari mengatakan bahwa aturan yang mengharuskan kepada pemilik koran memohon surat izin untuk menerbitkan koran seperti yang diundang-undangkan menunjukkan Malaysia tidak ada kebebasan pers. Beliau juga menambah, tidak semestinya undang-undang ini tidak bagus, akan tetapi apa yang beliau bimbangkan ialah UU ini cenderung kepada penyelewengan.148 Pada tahun 1971 satu undang-undang telah dikeluarkan oleh parlemen Malaysia 145
Pasal 13 Beliau dipecat dari jawatannya kerana beberapa kasus yang diputuskannya menyinggung pimpinan pemerintahlm. Lihat lanjut di http://ms.wikipedia.org/wiki/Krisis_ Perlembagaan _Malaysia 1988, Diunduh pada 28 Januari 2011,jam 17:30 WIB. 147 Mohd Salleh Abbas, Prinsip Perlembagaan Dan Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006) Cet. 3, hlm. 302. 148 Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan,Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD), 2005), Cet 1, hlm. 203. 146
yaitu UU Nomor 30 Tahun 1971 tentang Kolej dan Universitas, yang merupakan UU ke30 dari 655 semua UU yang telah disahkan oleh parlemen hingga 5 April 2008.149 UU ini mengatur berbagai hal yang berhubungan dengan universitas dan kolej Universitas, seperti mengatur mengenai pembentukan, struktur organisasi Universitas dan Kolej universitas, etika dan disiplin mahasiswa. Akan tetapi ada beberapa pasal dalam UU ini mengatur mengenai larangan bagi mahasiswa untuk ikut berpolitik, yaitu misalnya dalam pasal 15 dan 16. Kedua pasal ini menyebutkan antara lain bahwa mahasiswa atau suatu organisasi perkumpulan mahasiswa tidak boleh mengadakan hubungan dan dukungan terhadap partai politik. Dengan adanya UU ini telah timbul berbagai masalah yang melibatkan hak mahasiswa terutamanya dalam hak kebebasan berpendapat. UU ini bertujuan untuk mengontrol gerakan mahasiswa terutama dalam politik, membendung faham kesukuan serta membungkam potensi mahasiswa sebagai pengkritik pemerintah. UU ini mendapat banyak tentangan dari dosen-dosen dan mahasiswa yang merasakan hal itu, karena ini merupakan satu upaya pemerintah untuk menyekat aktivitas mahasiswa dalam politik luar kampus.150 Ini menunjukkan adanya pengekangan dan diskriminasi terhadap hak berpendapat mahasiswa, sehingga gerak-gerik mahasiswa dibatasi. Padahal mahasiswa adalah generasi muda yang dianggap memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, kekuatan
149
http://www.agc.gov.my/agc/oth/listTLawbm_1.htm. Diakses pada tanggal 26 Juni pukul 15.30
WIB. 150
Riduan Mohamad Nor, Potret Perjuangan Mahasiswa dalam Cerminan Dekat, (Kuala Lumpur: Jundi Resourcer, 2007) Cet 1, hlm. 29.
semangat, cita-cita, dan idealisme serta mempu-nyai sikap kritis terhadap kebijakankebijakan pemerintah, sehingga mahasiswa diharapkan akan mampu memberikan perubahan untuk kemajuan bangsa. Kita dapat melihat di berbagai negara bahwa adanya gerakan-gerakan yang bersifat radikal dan reformis kebanyakan dilakukan oleh para mahasiswa atau generasi muda. Misalnya reformasi yang terjadi di Indonesia tahun 1998 tidak lepas dari gerakan mahasiswa. Oleh karenanya ada suatu istilah yang sering digunakan dan ditujukan kepada mahasiswa bahwa mereka adalah sebagai agent of change.151 Ini terbukti dari sejarah perkembangan pergerakan mahasiswa di Malaysia, bahwa dalam dekade tahun 60-an gerakan mahasiswa di Malaysia telah mengalami zaman keemasannya, karena mereka dipuji dan dihormati bahkan suara mereka didengar oleh semua pihak. Akan tetapi setelah adanya UU ini, pada tahun 70-an gerakan mahasiswa tidak lagi bebas sehingga pada tahun 1974 terjadi peristiwa Baling yang mengakibatkan adanya penangkapan terhadap para aktivis mahasiswa. 152 Bermula dari sini sehingga sekarang mahasiswa di Malaysia tidak lagi kelihatan „taringnya‟, karena mereka tidak memiliki kebebasan untuk bersuara terutama untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Hal ini sebenarnya bukan berarti mahasiswa tidak mempunyai keberanian dan kemampuan untuk melakukan hal itu melainkan ini disebabkan karena adanya peraturan yang mengekang mahasiswa.
151
Mohd Harun Esa, Hak-hak Politik Mahasiswa dalam Akta Universiti dan Kolej Universiti (Perspektif Hukum Islam), Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, hlm. 4. 152
Ibid., hlm. 56.
C. Implementasi Hak Kebebasan Berpendapat di Indonesia dan Malaysia. Secara umum, setelah sepuluh tahun ‟Reformasi‟ digulirkan di Indonesia, apakah Indonesia sudah mengalami kemajuan?. Terutama, apakah Indonesia telah membuat banyak catatan yang mengesankan di bidang hak-hak asasi manusia?. Pernyataan ini terasa sangat mendesak kerana ada semacam kecemasan pada saat ini bahwa reformasi itu mengalami kemandekan, banyak orang malah mengatakan reformasi telah gagal, dan Indonesia mengalami kemunduran. Sekalipun demikian, jaminan perlindungan dan pemajuan hak asasi khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti dalam tataran normatif dan institusional. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Norma-norma umum hak asasi manusia dapat ditemukan di samping pada Amandemen UUD 1945, Tap MPR tentang hak asasi manusia. UU HAM dan pengadilan HAM, dan seterusnya ratifikasi enam instrument pokok hak asasi internasional. Menyangkut kebebasan berekspresi cukup terjamin pada UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, UU Pers, dan terakhir UU Kebebasan. Memperoleh Informasi Publik Yang memperkuat hak untuk mengawasi keputusan publik.153 Melihat kepada implementasi hak kebebasan berpendapat di Indonesia, penulis mulakan dari pemerintahan rezim Soeharto, atau dinamakan pemerintahan Orde Baru (ORBA). Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan dimulai suatu proses 153
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008, Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008) Cet 1, hlm. 45.
demokratisasi. Banyak kaum cediakawan menggelar berbagai seminar untuk mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi tidak berlangsung lama, kerana sudah beberapa tahun golongan militer berangsur-ansur mengambil alih pimpinan. Dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai berbagai hak politik, antara lain, kebebasan mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Pengekangan terhadap pers dilakukan. Antara lain dengan dibuat aturan bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Terjadi pembredelan terhadap Sinar Harapan (1984) dan majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994). Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui Daerah Operasi Militer (DOM).
154
Banyak kasus kekerasan terjadi, antara lain Peristiwa Tanjung Priuk (1984) Peristiwa Trisakti. Akhirnya Presiden Soeharto dijatuhkan oleh para mahasiwa pada bulan Mei tahun 1998, dan Masa Reformasi dimulai.155 Setelah memasuki masa Reformasi, hak mengutarakan pendapat sangat berhasil. Berbagai kalangan masyarakat mengadakan seminar-seminar di mana pemerintah
154
Pemberlakukan DOM di Aceh pada tahun 1989 hingga tahun 1998 juga berdampak kepada ribuah rakyat Aceh menderita. Tercatat dari data yang dikeluarkan oleh Komnas HAM 20. 000 anak kehilangan orang tua dan 3000 perempuan kehilangan suami. Sepanjang tahun 1991-1998 tercatat oleh LBH Aceh terdapat 40 perempuan menjadi korban kekerasan dengan rincian 11 orang diperkosa, 26 orang dilecehkan secara seksual dan disiksa,sisanya meninggal. Hingga Juli 1998 masih terdapar 2. 168 kasus pelanggaran HAM yang belum terungkat diantaranya 179 kasus penganiyaan, 296 orang tewas, 594 orang hilang. Lihat lanjut http://anggara. org/2008/04/29/pernyataan-sikap-bersama-UU-ite-mengancamkemerdekaan-berpendapat-dan-kebebasan-berekspresi-di-indonesia/. Diunduh pada 14/02/2011, jam 18:05 WIB. 155 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 251.
dengan bebas dikritik, begitu juga dengan media massa dalam talk-show-nya dan berbagai LSM. Demonstrasi-demonstrasi melanda masyarakat, di antaranya ada yang berakhir dengan kekerasan. Lewat berbagai demostrasi, baik Presiden Habibie maupun Presiden Abdurrahman Wahid terpaksa meletakkan jabatan masing-masing pada tahun 1999 dan tahun 2001. Dan Megawati Soekarnoputeri pun tidak luput dari arus demonstrasi ini.156 Tahun-tahun pertama Reformasi ditandai oleh konflik horizontal, antara lain di Ambon, Poso, dan Kalimantan, di mana pelanggaran hak asasi manusia oleh kelompokkelompok masyarakat sendiri. Aparat penegak hukum nampaknya tidak mampu atau tidak bersedia menangani berbagai sengketa ini. Mungkin juga ada rasa enggan kerana tuntutan masyarakat agar semua pelanggaran hak asasi menimbulkan keraguan di kalangan prajuit dan polisi di lapangan mengenai tindakan mana yang dibolehkan, dan mana yang dilarang.157 Selama reformasi bergulir, terlalu banyak sengketa-sengketa yang bersangkutan dengan kebebasan menyatakan pendapat. Adapun kasus seperti pembredelan koran sebagaimana ketika Orde Baru tidak lagi kedengaran. Sungguhpun demikian, di sana masih terdapat beberapa peristiwa yang menjadi catatan kepada kebebasan berpendapat. Antara kasus yang dapat saya paparkan adalah mengenai pembredelan terhadap buku berjudul, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto,
156 157
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 255. Ibid, hlm. 256.
karangan John Roosa, penerjemah Hersri Setiawan, diterbitkan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia. Buku tersebut dilarang beredar berdasarkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP139/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009. Namun demikian, pihak yang mengalami kerugian dari larangan ini mengajukan gugatan kembali. Antara dasar gugatan beliau, secara subtantif berdasarkan Konstitusi UUD 1945, bahwa pasal 28E UUD 1945 memberi warga Negara Indonesia Kemerdekaan… “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Oleh yang demikan, penerbitan buku adalah satu bentuk mengeluarkan pikiran atau pendapat melalui tulisan, dimana buku mewakili salah satu bentuk kesantunan menyampaikan pendapat di muka publik, sejauh argumen dan bantahan dilakukan melalui buku dan diskusi terbuka. Dengan demikian, penerbitan buku adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Seterusnya, berdasarkan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa hak atas kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan telah pula dikuatkan dan dilindungi dalam Pasal 14 dan Pasal 19. Pasal 14 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani”. Pasal 19 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengelaurkan pendapat”.
Antara lain pasal 19, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan politik. Pasal 19 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasanpembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya”. Berdasarkan dasar gugatan yang diberikan di atas, ternyata putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tidak memihak kepada penggugat, menyatakan gugatan penggugat ditolak seluruhnya; dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 154. 000.
Seterusnya kasus lain, yang menjadi coretan kepada kebebasan berpendapat terjadi kepada Metro tv. Diberitakan bahwa, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), menghentikan penyiaran Headline News Metro TV selama tujuh hari dan mengharuskan TV tersebut menyampaikan permohonan maaf, tiga kali sehari selama tiga hari berturut-turut. Ini terjadi kerana, pada acara ini yaitu berita soal razia video porno di salah satu warnet di Trenggalek, Jawa Timur Juni pukul 5. 00 WIB, menyiarkan adegan video porno. Maka, KPI juga mewajibkan Metro TV meminta maaf secara terbuka kepada publik selama tiga hari berturut-turut dengan ketentuan waktu pagi hari pukul 7. 00 WIB, siang pukul 13. 00 WIB, dan malam hari pukul 19. 00 WIB. Selain itu, Metro TV diminta berjanji tidak akan melakukan pelanggaran berat seperti diatur dalam Standar program Siaran
(SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2009.158
PWI Pusat dalam manifesto kemerdekaan persnya mengatakan, kemerdekaan pers merupakan hak asasi manusia dan hak asasi warga negara yang dilindungi UUD 1945. Kemerdekaan pers adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses dan hasil reformasi sekaligus merupakan dasar demokrasi. Oleh karena itu, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyatakan terhadap pers nasional tidak boleh dilakukan penyensoran, pembredelan, dan penghentian penyiaran oleh siapa pun juga. Menurut Hendry, menyatakan:"Semua ini adalah prinsip dasar, bahkan titah Konstitusi yang wajib menjadi panduan pikiran, sikap, dan perbuatan segenap insan pers nasional serta seluruh masyarakat Indonesia pendukung kemerdekaan pers”.
Mereka mengingatkan bahwa pengertian pers tidak hanya media cetak, tetapi juga mencakup berita di media elektronik seperti televisi, radio, dan saluran lain yang tersedia. Maka dengan demikian karya jurnalistik, termasuk jurnalistik televisi, tidak boleh dibredel, disensor, maupun dihentikan penyiarannya.159
Mengenai demonstrasi, setelah reformasi bergulir amat jarang sekali kedengaran para demonstran ditembak dengan peluru tajam seperti yang pernah berlaku pada ordeorde sebelumnya. Tapi ternyata kasus yang sedemikian masih saja berlaku. Pada 20 Oktober 2010, Tindakan main tembak yang dilakukan kepolisian terhadap aksi
158
http://bataviase. co. id/node/303639 diunduh pada 03/05/2011, diunduh pada 13/04/2011 jam 12:51 WIB. 159 Ibid.
demonstrasi mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK), Jakarta disesalkan kalangan Komisi Hukum DPR. Seharusnya, polisi bisa menahan diri dan tidak mudah terpancing emosi.160
Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PAN, Tjatur Sapto Edy, aparat polisi mesti mengedepankan komunikasi dengan mahasiswa sebelum melakukan tindakan tembak di tempat. "Kalau ada komunikasi dan polisi bisa mengerti alumya, kejadian kemarin tidak akan terjadi, ”ujarnya. Tjatur menegaskan, aksi demonstrasi tidak boleh dihalau dengan tembakan, kecuali terjadi aksi anarkis. Dia mengingatkan, sebelum mengambil tindakan tembak di tempat, polisi bisa menggunakan alat atau persenjataan lainnya yang kurang berbahaya. Keprihatian serupa juga dilontarkan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nudirman Munir. Upaya polisi meredam aksi demonstrasi dengan main tembak sudah berlebihan. Dia menyebut aksi penembakan salah satu demonstran dipandang sebagai sebuah pelanggaran.161
Seterusnya implementasi kebebasan berpendapat di Malaysia dilihat masih juga perlu dikritisi. Penulis mulai dengan kasus pembredelan Koran. Pada 24 Disember 2005, koran dari partai oposisi, Harakah dirampas sebanyak 2630 naskah kerana didakwa dijual di muka publik. Kebijakan ini dibuat kerana koran tersebut didakwa
160
http://bataviase. co. id/node/428873 diunduh pada 03/05/2011, diunduh pada 13/04/2011 jam 13:51 WIB. 161 Ibid.
memberi laporan berlebihan terhadap pemerintah.162 Kasus yang melibatkan mahasiswa antaranya, Empat orang mahasiswa jurusan Sains Politik yang juga merupakan Anggota Pengurus Tertinggi Persatuan Sains Politik UKM; Hilman Idham (Presiden), Ismail Aminuddin (Wakil Presiden), Azlin Shafina Adzha (Sekretaris) dan Woon King Chai (Exco) telah ditahan oleh pihak polisi pada 22 April 2010, di Pekan Rasa dan Ampang Pecah semasa berlangsungnya Pemilu kota Hulu Selangor. Mereka ditahan kerana didakwa terlibat dalam kampanye pemilu tersebut. Ketika mereka ditahan, polisi telah merampas beberapa bungkusan brosur kampanye Parti Keadilan Rakyat (PKR) dan juga CD kampanye. Kemudian pada 23 April 2010, sekitar jam 10 malam, Hilman Idham telah ditahan sekali lagi oleh pihak polis dalam sekatan jalan raya. Bersama-sama beliau adalah empat orang aktivis yang lain. Dalam penahanan ini, polisi hanya menemui sekeping VCD ceramah partai politik.163 Atas kejadian ini, keempat mahasiswa ini di dakwa Pengadilan Universitas UKM kerana melanggar UU Nomor 30 Tahun 1971 tentang Universiti & Kolej Universiti pasal 15 ayat (5)(a) yang berbunyi : “Tiada seorang pun siswa Universitas dan tiada pertubuhan, badan atau kumpulan siswa Universitas yang ditubuhkan oleh, di bawah atau mengikut Perlembagaan, boleh menyatakan atau melakukan apa-apa jua yang 162
Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan,Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD), 2005), Cet 1, hlm. 211. 163 http://siffusuffi. blogspot. com/2010/05/UU-vs-kebebasan-mahasiswa-berpolitik. html,diunduh pada 11. 01. 2011, diunduh pada 15/03/2011, jam 13:34 WIB.
boleh semunasabahnya dianggap sebagai menyatakan sokongan kepada atau simpati dengan atau bangkangan terhadap apa jua partai politik sama ada di ada di dalam atau di luar Malaysia”. Dunia akademik di Malaysia telah menjadi suram, dan jauh dengan dunia politik semasa. Mengutip pandangan Profesor Andrew Harding bahwa wujudnya pelbagai UU, seperti UU No. 15 Tahum 1948 tentang Hasutan, UU No. 56 Tahun 1972 tentang Rahsia Rasmi, telah menyekat atau menyempitkan hak untuk mengeluarkan pendapat seperti yang dijamin oleh Konstitusi. Justeru telah menyebabkan ahli akademik berfikir dua kali untuk sebelum memberikan apa jua pendapat yang tidak sejalan dengan pemerintah. Hal ini sudah membumi sehingga meresap ke jurnalis-jurnalis akademik, yang diterbitkan oleh syarikat-syrikat perniagaan, yang seharusnya menjadi ruang yang sihat untuk menerbitkan atau mempublikasi berbagai isu dan ide. Mereka bimbang berbuat demikian kerana takut surat izin mereka diambil oleh pemerintah.164 Seterusnya mengenai demonstrasi yang dilakukan oleh warga Malaysia, keseluruhan boleh dikatakan sejumlah demontrasi yang pernah berlaku di Malaysia dilakukan tanpa izin pemerintah. Seperti perhimpunan gergasi yang pernah berlaku dalam sejarah Malaysia iaitu Perhimpunan Bersihlm. Perhimpunan ini diadakan di Dataran Merdeka pada hari Sabtu, 10 November 2007 . Perhimpunan ini tidak mendapat Surat Izin Kantor Polisi Kuala Lumpur. Ia telah dianjurkan oleh pertubuhan 164
Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan,Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD), 2005), Cet 1, hlm. 217.
BERSIH yang turut disertai pelbagai partai oposisi, NGO dan pertubuhan lain. Matlamat perhimpunan ini ialah untuk menuntut pilihan raya yang adil. Perhimpunan ini disertai oleh 100, 000 orang. Dengan sasaran 100, 000 orang bagi menyerahkan memorandum kepada Yang di-Pertuan Agong di Istana Negara di Jalan Tuanku Syed Putra.
Dalam Memorandum tersebut Bersih ada 4 tuntutan yang utama: (1) Penyemakan semula daftar pemilih yang lengkap demi memastikan segala kesalahan dan ketempangan yang sedia ada dapat dihapuskan; (2) Penggunaan dakwat kekal untuk menghalang pengundian berganda; (3) Pemansuhan sistem pengundian pos kecuali untuk para diplomat dan pengundi lain di luar negara; (4) Akses media yang adil kepada semua pihak dalam pemilu supaya semua partai politik boleh menjelaskan dasar dan manifesto mereka kepada rakyat Malaysia.165
Al-Jazeera, sebuah agensi berita Timur Tengah yang mempunyai pusat penyiaran rantau Asia Pasifik di Kuala Lumpur, turut membuat liputan mengenai peristiwa Perhimpunan Bersihlm. Mereka melaporkan bahawa pihak pengaman bertindak ganas dengan menyembur bahan kimia pemedih mata sehingga mencederakan ramai orang.166 Pada 9 Disember 2007, Naib Presiden Pas, Mohamad Sabu dan Tian Chua yang merupakan Ketua Penerangan KeADILan ditahan di bawah Akta Polis, Seksyen 27(5)(a), kerana menjadi penggerak perhimpunan bersih. 165
http://ms. wikipedia. org/wiki/Perhimpunan_Bersih, Diunduh pada 13. 03. 2011 jam 13:24 http://englishlm. aljazeera. net/NR/exeres/8370EBC1-682F-4B2B-BBB0-AE833B7F6FD3. htm, diunduh pada 15. 04. 2011 jam 15:45 WIB. 166
Seterusnya Himpunan Anti ISA atau Himpunan MANSUH diadakan pada hari Sabtu, 1 Ogos 2009 di tiga tempat di Kuala Lumpur. Himpunan ini dirancang dan dianjurkan oleh Gerakan Mansuhkan ISA (GMI). Perhimpunan 100,000 rakyat itu merancang untuk berhimpun di beberapa lokasi antaranya di Masjid Jamek, Kompleks Sogo dan Masjid Negara sebelum berarak ke Istana Negara bagi menyerahkan memorandum kepada Yang di-Pertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin bagi memansuhkan ISA. Pada 28 Julai 2009, Ketua Polisi Kuala Lumpur Datuk Muhammad Sabtu Osman menyatakan surat izin dari polisi tidak dikeluarkan untuk perhimpunan tersebut kerana dibimbangi akan bertembung dan menimbulkan suasana tegang. Sekatan jalan raya akan diadakan.167 Tangkapan awal akan dilakukan terhadap perancang dan individu yang disangka terlibat mengikut Seksyen 105 Kanun Acara Jenayah meskipun acara itu belum bermula. Perhimpunan itu jelas bertentangan dengan Seksyen 27(5) Akta Polis 1967 kerana polisi tidak mengeluarkan sebarang kebenaran bagi tujuan itu. Akhirnya, Ketua Jabatan Siasatan Jenayah kantor pusat Kontinjen Kuala Lumpur Datuk Ku Chin Wah menjelaskan bahawa seramai 549 lelaki dan 40 wanita ditahan untuk siasatan di bawah
167
http://ms. wikipedia. org/wiki/Perhimpunan_Himpunan_Anti_ISA. htm, Diunduh pada 12. 04. 2011 jam 13:45 WIB.
Akta Polis 1967. 44 remaja di bawah umur 18 tahun turut ditahan. 27 orang pelajar. 20 orang di bawah umur 17 tahun. 168 Mahasiswa IPT awam dan swasta di antara umur 18 sehingga 23 tahun turut ditahan. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa tidak semestinya pembaharuan undang-undang sebagai isyarat kesempurnaan peraturan perundang-undangan. Jika dilihat kepada implementasi di Indonesia masih terdapat kebocoran yang disuarakan oleh banyak orang. Hal ini dinyatakan di dalam survei Demos bahwa, tahun 2007 memperlihat dengan jelas beberapa aspek kebebasan dasar mengalami kemorosotan. Jika dibandingkan situasi sekarang dengan tahun awal-awal Reformasi, relatif ada kemunduran kebebasan yang dinikmati oleh warga Negara.169 Kasus yang terjadi seperti yang sebelumnya perlu dilihat secara positif oleh pihak pemerintah supaya demokrasi yang dinikmati sejak reformasi dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
168
589 Orang Termasuk 44 Remaja Ditahan Sertai Perhimpunan Haram, Diunduh pada 12. 04. 2011 jam 13:48 WIB. 169 Willy Purna Samadhi dan Nicolaas Warouw, Demokrasi di Atas Pasir, Kemajuan dan Kemunduran Demokrasi di Indonesia, (Semarang: PCP Press, 2009) Cet 1, hlm. 55.
BAB IV PERBEDAAN HUKUM DI INDONESIA DAN HUKUM MALAYSIA MENGENAI HAK KEBEBASAN BERBENDAPAT
A. Perbedaan dan Persamaan Hukum Membicarakan mengenai hukum Indonesia dan Malaysia secara umum, jelas kita dapat melihat perbedaan yang ketara antara keduanya.
Samada dari sejarah
pembentukan maupun perjalanan selama mencapai kemerdekaan. Kerana sejarah pembentukan hukum di Indonesia dilatarbelakangi oleh penjajahan Belanda.170 Manakala Malaysia dipengaruhi oleh Inggris. Perbedaan yang ketara terhadap pengaturan mengenai hak kebebasan berpendapat di Indonesia dengan Malaysia, amat dipengaruhi oleh semangat Reformasi. Pergantian rezim pemerintahan membawa dampak yang sangat penting bagi pemajuan dan perlindungan HAM. Pengkajian ulang terhadap kebijakan-kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan HAM mulai dilakukan. Demikian pula kajian terhadap instrumen-instrumen internasional HAM ditingkatkan. Hasilnya, banyak norma-norma hukum HAM internasional diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Masa ini menandai era diterima konsep universalisme HAM.171
170
Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) Cet 9. hlm. 145. 171 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 54.
Pada masa pemerintahan Habibie misalnya, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintahan era Reformasi akan penegakan HAM. Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi, di antaranya: konvensi HAM tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi; konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam; konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial; konvensi tentang penghapusan kerja paksa; konvensi tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; serta konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.172 Malahan, turut diundangundangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memungkinkan dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, serta pemberantasan praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).173 Sedangkan di Malaysia masih belum melakukan ratifikasi terhadap kovenankevonan internasional. Sebagai contoh, Menurut Prof Abdul Aziz Bari, isi kandungan Konstitusi selalunya berpatokan kepada sejarah dan falsafah tertentu. Bagaimanapun, kita tidak pasti tentang dasar atau falsafah yang melatari hak-hak ini dalam Konstitusi Malaysia. Dalam laporan Suruhanjaya Ried174 tidak terdapat sebarang perakuan yang menjelaskan perkara tersebut. Sekalipun begitu, isi kandungan mengenai HAM dalam
172
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm. 120. 173 HLM. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: PT Refika Aditama, 2005) Cet 1, hlm 51. 174 Telah dijelaskan sebelumnya mengenai Surunjaya Ried dalam bab III.
Konstitusi Malaysia masih seakan-akan mirip dengan DUHAM.175 Malahan laporan perhimpunan Pertubuhan-Pertubuhan Masyarakat Sivil Malaysia menunjukkan tuntutan supaya Kovenan Antarabangsa Tentang Hak Sivil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Kovenan Antarabangsa Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) dan Kovenan Antarabangsa Tentang Penghapusan Penyeksaan dan Lain-lain Layanan atau Hukuman yang Zalim, Tidak Berperikemanusiaan dan Menghinakan (International Convention on the Elimination of Torture, Other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment) diratifikasikan ke dalam Konstitusi Malaysia dan perundang-undangan negara.176 1.
Perbedaan muatan hak kebebasan berpendapat dalam Konstitusi Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya, sudah dibahas mengenai betapa keseriusan dari para pendiri
Indonesia dalam memberi jaminan terhadap hak kebebasan berpendapat diatur di dalam Konstitusi Indonesia.177 Sehingga telah mengundang perdebatan hangat di dalam persidangan BPUPKI,178 yang akhirnya perdebatan tersebut disepakati hasil kompromi dari semua panitia. Manakala di dalam Konstitusi Malaysia turut diatur mengenai hak
175175
Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia, Asas-asas dan Masalah, (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2001) Cet 1, hlm. 183. 176 Pertubuhan-Pertubuhan Masyarakat Sivil Malaysia, Deklarasi Semangat Pergerakan Merdeka Mengembalikan Demokrasi dan Memajukan Kebebasan di Malaysia, 6 September 2007. 177 Sekarang dikenal sebagai UUD 1945. 178 Sudah dijelaskan di dalam Bab II, Lihat lanjut Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 22-28.
kebebasan berpendapat.179 Sekalipun demikian, Konstitusi Malaysia turut mengatur pembatasan terhadap jaminan hak kebebasan berpendapat.180 Justeru itu, selama pemerintahan Barisan Nasional181 telah diluluskan beberaapa UU yang mempunyai hubung kait dengan kebebasan berpendapat. Antaranya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1948 tentang Hasutan, Undang-undang No. 30 Tahun 1971 Tentang Kolej Universiti Dan Kolej Universiti, UU No. 82 Tahun 1960 Tentang Keselamatan Dalam Negeri, UU No. 296 Tahun 1958 tentang Ketenteraman Awam, UU No. 301 Tahun 1984 tentang Percetakan dan Penerbitan, dan UU No. 344 Tahun 1967 Tentang Polisi. Perbedaan yang jelas dengan perundang-undangan Indonesia ialah jaminan hak kebebasan berpendapat di dalam Konstitusi Malaysia mengundang multi tafsir. Melihat kepada pengaturan terhadap UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Di Muka Umum, Indonesia melalui persepakatan di DPR telah memberi perhatian khusus dalam masalah kebebasan berpendapat. Ini kerana, jaminan terhadap hak kebebasan berpendapat dalam UUD 45182 telah dijabarkan ke dalam UU No. 9 Tahun tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Di Muka Umum secara 179
Pasal 10, ayat 1 (a) Konstitusi Malaysia berbunyi, “Setiap warga negara berhak menyatakan pendapat dan bersuara”. 180 10 ayat 2 (a) berbunyi, ”Parlemen boleh mengenakan apa-apa sekatan yang didapati perlu atau sesuai demi kepentingan keselamatan Persekutuan atau mana-mana negeri bagiannya, hubungan baik dengan negera-negara lain, ketenteraman awam atau prinsip-prinsip moral dan sekatan-sekatan yang bertujuan untuk melindungi keistimewaan Parlemen atau mana-mana Dewan Undangan Negeri atau untuk membuat aturan menghalangi penghinaan terhadap pengadilan, fitnah, atau penafian apa-apa kesalahan”. 181 Barisan Nasional adalah sebuah partai hasil koalasi antara partai pelbagai kaum yang diwujudkan oleh pemerintahlm. Ia terdiri dari UMNO, MCA, MIC, yang memperoleh kuasa memerintah daripada Inggris setelah kemerdekaan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1957. Lihat lanjut dalam Internasional Law Book Services, 2005, Malaysia Kita, Selangor, Cet 6, hlm. 148 182 Pasal 28E ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
khusus. Justeru itu, tafsiran terhadap jaminan tersebut tidak mengundang multi tafsir dalam perundang-undangan. 2.
Perbedaan muatan kebebasan berpendapat dalam bentuk perkumpulan (ketertiban umum). Sehubungan dengan di atas, jika meneliti kepada aturan kebebasan berpendapat di
Indonesia yang berbentuk perhimpunan atau berkaitan ketertiban umum 183 terkandung di dalam UU N0. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Di Muka Umum. Ternyata aturan berbentuk prinsip moral,184 bentuk-bentuk penyampaian pendapat seperti unjuk rasa, pawai, rapat umum, mimbar bebas,185 serta surat pemberitahuan,186 perlindungan kepada pihak yang melakukan unjuk rasa187 malahan sanksi188 telah diatur semuanya ke dalam UU tersebut. Ini bermakna UU N0. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Di Muka Umum memadai untuk mengatur apa jua perhimpunan masyarakat di Indonesia. Seterusnya di Malaysia kebebasan berpendapat dalam berkaitan ketertiban umum, diatur di dalam beberapa UU yang berkaitan. Aturan mengenai perizinan,189
dan
pembubaran apa jua perhimpunan190 diatur dalam UU No. 344 Tahun 1967 tentang
183
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm 186. 184 Pasal 6 185 Pasal 9 186 Pasal 10 187 Pasal 13 ayat 2 188 Pasal 15, 16, 17 dan 18 189 Pasal 27 UU tersebut. 190 Pasal 27 ayat 3
Polisi.191 Seterusnya aturan yang mengatur mengenai perjalanan atau rute,192 apa jua perhimpunan diatur di dalam UU No. 296 Tahun 1958 tentang Ketenteraman Awam. Kemudian UU yang mengatur mengenai pembatasan terhadap mahasiswa untuk mengikuti apa jua aktivitas atau menyatakan sokongan kepada pertubuhan atau partai politik193 diatur di dalam UU No. 30 Tahun 1971 tentang Universiti dan Kolej Universiti. 3.
Perbedaan muatan kebebasan berpendapat dalam bentuk lisan dan tulisan. Seterusnya di sisi lain aturan kebebasan berpendapat adalah dengan cara lisan dan
tulisan. Di Indonesia, hal ini diatur di dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers merupakan sarana seseorang untuk mengeluarkan pikirannya baik dengan lisan (media elektronik) maupun dengan tulisan (media cetak). Melalui kedua sarana inilah hak asasi manusia berupa kemerdekaan berpendapat dengan lisan dan tulisan akan menemukan bentuknya, selain dalam bentuk lainnya.194 Dengan keluarnya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka ada beberapa hal penting yang perlu dicatat, yaitu:195 a.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat;
b.
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara;
191
UU ini mengandungi 14 BAB dan 99 Pasal. Pasal 5, 6, dan 7 193 Pasal 15 ayat 3 berbunyi, “selama menjadi seorang mahasiswa Universitas, tidak boleh menyatakan atau melakukan sesuatu yang boleh dianggap sebagai menyatakan sokongan, simpati atau bangkangan terhadap mana-mana partai politik atau kesatuan sekerja atau sebagai menyatakan sokongan atau simpati dengan mana-mana pertubuhan, badan atau kumpulan orang yang haram”. 194 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 181. 195 Ibid, hlm. 185. 192
c.
Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran196, pembredelan197 atau pelanggaran penyiaran. UU ini mengatur mengenai asas, fungsi dan peran pers,198 perusahaan pers,199 hak
yang dimiliki oleh warga untuk mengembangkan kegiatan pers,200 dan sanksi kepada yang melawan hukum.201 Jelas dalam UU ini tidak ditemukan persyaratan dikenakan kepada warga supaya memohon perizinan terhadap sebarang penyiaran berbentuk lisan dan
tulisan.
Melainkan
menyatakan
hak-hak
yang
dimiliki
warga
untuk
melaksanakannya. Seterusnya kebebasan berpendapat dalam bentuk lisan dan tulisan di Malaysia diatur dalam beberapa UU. UU No. 286 Tahun 1957 tentang Fitnah mengatur mengenai kata-kata yang mengandungi unsur-unsur fitnahlm. Jadi apa jua yang dilakukan oleh mana-mana pihak dan mengatakan sesuata (lisan atau tulisan) yang dikira sebagai fitnah oleh pihak yang dirugikan boleh mengajukan pendakwaan di pengadilan. Menurut Abd. Ghani Awang dalam bukunya Apakah Undang-undang, undang-undang fitnah mendefinisikan fitnah sebagai ”menghebahkan atau menerbitkan sesuatu pernyataan yang palsu dan menjatuhkan maruah seseorang tanpa sebab yang dimaafkan oleh undang-undang. Jadi sesuatu pernyataan yang boleh menjatuhkan maruah seseorang 196
Pasal 1 ayat 8 berbunyi, “penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik”. 197 Pasal 1 ayat 9 berbunyi, “Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. ” 198 Pasal 2, 3, 4, 5, dan 6. 199 Pasal 9, 10, 11, 12, 13, dan 14. 200 Pasal 17 . 201 Pasal 18.
tanpa sebab akurat baik secara tulisan maupun percakapan boleh dianggap sebagai fitnahlm.202 Seterusnya kata-kata yang mengandungi unsur-unsur hasutan diatur di dalam UU No. 15 Tahun 1948 tentang Hasutan. Siapa jua yang menyebut, menulis, mencetak, menjual, atau menyiarkan perkataan-perkataan yang mempunyai maksud hasutan adalah dianggap melakukan kesalahan yang boleh dikenakan hukuman sehingga lima tahun penjara atau sanksi RP 15 000 000. 00.203 Dan sesiapa yang menyiarkan sebarang berita palsu yang menakutkan orang awam204 dan penahanan tanpa syarat kepada warga yang dianggap melawan hukum,205 diatur dalam UU No. 12 Tahun 1960 tentang Keselamatan Dalam Negeri. Seterusnya aturan yang mengatur mengenai perizinan yang harus dimohon kepada pihak pemerintah untuk membuka dan menggunakan mesin pencetak,206 dan izin menerbitkan dan mencetak207 diatur di dalam UU No. 301 Tahun 1984 tentang Percetakan dan Penerbitan. Abdul Aziz Bari mengomentari, kebebasan pers bermaksud
202
Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia, Asas-asas dan Masalah, (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2001) Cet 1, hlm. 236. 203 Pasal 4. 204 Pasal 28 berbunyi, “sesiapa yang melalui percakapan atau tulisan atau dalam apa-apa koran, majalah, buku, surat pekeliling atau penerbitan berCetak yang lain atau melalui apa-apa cara lain menyebarkan laporan palsu atau membuat pernyataan palsu yang mungkin menyebabkan kecemasan awam melakukan suatu kesalahan”. 205 Pasal 45 berbunyi, “Mana-mana pegawai polisi boleh tanpa waran menangkap mana-mana orang yang disyaki melakukan sesuatu kesalahan terhadap Bagian ini atau ialah seorang yang diperintahkan supaya ditahan menurut bagian ini”. 206 Pasal 3 berbunyi, “Tidak seorangpun boleh menyimpan untuk menggunakan atau menggunakan mesin Cetak kecuali ia telah diberikan izin”. 207 Pasal 5 berbunyi, “Tidak seorangpun boleh menCetak, mengimpor, menerbitkan, menjual, mengedarkan atau mengedar, atau menawarkan untuk menerbit, menjual, mengedarkan atau menyebarkan, setiap koran diCetak di Malaysia melainkan telah diberikan izin oleh Menteri mengenai kebenaran koran tersebut”.
tidak wujudnya kawalan untuk menerbit dan mengedar maklumat. Dengan kata lain, jika terdapat peraturan yang mengharuskan penerbit atau pencetak mendapat perizinan dari pemerintah seperti yang diperundangkan di Malaysia maka tidak ada lagi kebebasan pers.208 Kesimpulan yang dapat saya berikan terhadap perundang-undangan di Malaysia mengenai kebebasan berpendapat masih dikawal ketat oleh pemerintah. Aturan berkaitan kebebasan berpendapat yang dijelaskan sebelumnya telah dipencarkan kepada banyak UU. Berbeda dengan Indonesia hanya cukup dengan beberapa UU saja. Dengan paparan di atas, kita melihat faktor yang amat mempengaruhi pengaturan UU mengenai kebebasan berpendapat antara kedua negara ini ialah faktor sejarah. Sejarah Indonesia telah merubah banyak struktur pemerintahan sehingga merembet kepada
pengaturan
perundang-undangan.
Seterusnya
di
Malaysia
sejarahnya
dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa yang hanya menguatkan lagi pihak pemerintah seperti peristiwa krisis Konstitusi Malaysia, yang telah mengakibatkan Ketua Hakim Negara dilucutkan jabatannya kerana turut ikut campur tangan dalam hal politik.209 Sehubungan itu, pengaturan perundang-undangan dipertahankan demi kepentingan kekuasaan pemerintah. B.
Perbandingan implementasi kebebasan berpendapat
208
Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia, Asas-asas dan Masalah, (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2001) Cet 1, hlm. 203. 209 Lihat lanjut, http://ms. wikipedia. org/wiki/Krisis_Perlembagaan_Malaysia_1988, diunduh pada 28. 01. 2011, jam 17:30 WIB.
Perbedaan implementasi antara Indonesia dan Malaysia dalam kebebasan berpendapat dapat dilihat kepada pemberlakuan hukum terhadap warga negara. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pengaturan hukum antara keduanya cukup jelas perbedaannya, maka sudah pastilah hal ini akan berlanjut kepada implementasi. Mengenai media contohnya, Indonesia telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada warga untuk berpartisipasi dalam memberikan pendapat baik melalui media elektronik maupun cetak. Saluran melalui media elektronik untuk tujuan kampanye pemilu contohnya, diberi peluang kepada apa jua partai yang mahu menyatakan hasrat dan janji-janjinya kepada masyarakat. Berbeda dengan apa yang berlaku di Malaysia hanya membataskan kepada pihak pemerintah memanfaatkan media elektronik. Hal ini diakui sendiri oleh Abdul Aziz Bari bahwa perkara ini adalah tidak adil. Semua partai baik dari pihak pemerintah maupun oposisi, harus diberi ruang yang adil.210 Abdul Aziz Bari mengatakan lagi, bahwa Malaysia harus malu dengan apa yang berlaku di Indonesia di mana semua partai politik yang bertanding dalam pemilu dibenarkan mengunakan media elektronik. Jadi boleh dibandingkan perbedaan kualitas demokrasi Malaysia dengan kualitas demokrasi Indonesia. Dan Malaysia harus berasa malu dengan media kita yang sering memberitakan Indonesia selalu dilanda kekacauan dan keganasan.211
210
Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan, Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD) , 2005) , Cet 1, hlm. 267. 211 Ibid, hlm. 267.
Seterusnya mengenai media cetak, ternyata di Indonesia dengan adanya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, telah member nilai tambah kepada kemerderdekaan pers di Indoensia. Dengan melakukan banyak pembaharuan terhadap UU Pers sebelumnya, telah menyuburkan lagi demokrasi di sini. Dengan merombak aturan sebelumnya, iaitu pasal 13 ayat 5 berbunyi, “Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkatkan SIUPPyang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers. ” Dengan adanya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, telah memberi ruang kepada warga untuk menyatakan pendapat tanpa perlu mendapatkan SIUPP. Berbeda dengan Malaysia yang masih mengekalkan UU yang mengharuskan kepada warganya supaya membuat permohonan untuk memperbahurui surat izin operasi setiap tahun. Dan menteri yang bertanggungjawab mempunyai wewenang absolut untuk mengizinkan atau membatalkan surat izin operasi. Abdul Aziz mengatakan, selama Malaysia mengekalkan keharusan memohon surat izin operasi untuk pers maka tidak wujudlah kebebasan pers. Ini kerana kebebasan pers adalah suatu hak dan prinsip yang melekat dengan demokrasi. Malah ia bukan ihsan pihak pemerintah. Tindakan sedemikian, bakal menyebabkan masa depan pers Malaysia tidak menentu. Secara jangka panjang, aturan ini boleh menggagalkan perkembangan
dan kemajuan pers Negara Malaysia. Malaysia ketinggalan jauh dibanding dengan Thailand, Filipina dan Indonesia dalam hal ini.212 Seterusnya mengenai demontrasi, hal menarik mengenai hal ini adalah mengenai perizinan untuk melakukan demontrasi atau apa jua perhimpunan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa, aturan di dalam UU No. 9 Tahun tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Di Muka Umum hanya mengatur mengenai pemberitahuan untuk mengadakan perhimpunan, agar perhimpunan yang diadakan dapat diberi pengawasan yang sewajarkan untuk keselamatan para demonstran dan para publik. Berbeda dengan Malaysia yang selalu menghalangi warganya untuk melakukan apa jua perhimpunan. Hinggakan sering kelompok oposisi mengadakan perhimpunan tanpa izin dari pemerintah, yang mengakibatkan banyak kekerasan berlaku. Kesimpulan yang dapat dilihat dari implementasi antara kedua Negara ini, kebijakan yang dilakukan oleh Indonesia telah memberikan nilai tambah kepada perkembangan politik di negaranya. Hal ini, dapat dilihat kepada hasil survei independent yang dilakukan oleh organsasi internasional. Dengan hasilnya, Indonesia di rating ke 117, dan Malaysia pada rating 141.213 C.
Tinjauan hukum Islam terhadap hak kebebasan berpendapat Dalam Islam, mengungkapkan pendapat merupakan salah satu hak manusia yang
paling terpenting, bahkan sebagai sesuatu yang wajib bagi setiap muslim dalam setiap 212
Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan, Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD) , 2005) , Cet 1, hlm. 208. 213 Lihat lanjut, http://en. rsf. org/press-freedom-index-2010, 1034. html, 28. 01. 2011, jam 17:47 WIB.
urusan yang berkaitan dengan akhlak, kepentingan dan peraturan umum serta dalam hal yang dianggap oleh Syariat sebagai suatu kemungkaran.
214
Sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Imran ayat 104: Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak Yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam), dan menyuruh berbuat Segala perkara Yang baik, serta melarang daripada Segala Yang salah (buruk dan keji). dan mereka Yang bersifat demikian ialah orangorang Yang berjaya.
1.
Kebebasan berpendapat lintas sejarah Islam Islam telah membangun sistem politik yang berkeadilan, yang didasarkan pada
asas musyawarah dan kebebasan mengeluarkan pendapat serta menerapkan sistem dialogis. Berpijak pada asas kebebasan inilah Rasulullah senantiasa bermusyawarah bersama para sahabatnya dan bersabar dalam menghadapi berbagai tipu daya dan muslihat kaum munafik.215 Abu Hurairah misalnya menuturkan: ”Aku tidak pernah melihat seorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan rekan-rekanya
214
Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam. Penerjemah Ahmad Minan dan Salafuddin Ilyas, (Jakarta Timur:Pustaka Al-Kausar, 2005) Cet 1, hlm. 110. 215
Untuk mengetahui berbagai lagi peristiwa musyawarah pada zaman Rasulullah, lihat lanjut Sukron Kamil, Islam&Demokrasi, Telaah Konseptual&Historis, (Jakarta: Gaya Media Pramata, 2002) Cet 1, hlm. 91-93.
melebihi Rasulullah”.216 Antara peristiwa yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah, penetapan posisi penghalauan musuh dalam Perang Badar, pada masa pertempuran pertama kaum Muslimin menghadapi agresi kafir Quraisy yang berkekuatan 1000 pasukan, awalnya nabi berhenti di tempat dekat mata air Badar tetapi bukan Badr. Salah seorang sahabat Anshar yang ikut dalam pasukannya yang memiliki penguasaan territorial yang baik, alHabab bin Mundzir, bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa kita bertahan di tempat ini?, apakah ini ketentuan wahyu yang tidak dapat ditawar atau hanya berdasarkan pendapat pribadi sebagai siasat menaklukkan musuh?. Kata al-Habab kemudian: “tempat ini kurang strategis, bawalah pasukan ke turun ke daerah Badar yang memiliki mata air yang baik, lalu kita bangun pertampungan air di sana, setelah pertampungan air di sekitar ini kita kuras dan tutup”. Nabi pun kemudian mengikuti saran al-Habab dan Beliau pun beserta pasukannya yang hanya berkekuatan kurang 300 orang memenangkan pertempuran yang paling menentukan hidup atau matinya agama yang dibawanya.217 Pada masa keemasan kekuasaan khulafaurrasyidin, para penduduk, terutama bangsa Arab sendiri, bebas mengkritik dan menolak kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan oleh khalifahlm. Pada masa mereka, setiap permasalahan yang diajukan ke
216
Sukron Kamil, Islam&Demokrasi, Telaah Konseptual&Historis, (Jakarta: Gaya Media Pramata, 2002) Cet 1, hlm. 91. 217 Ibid, hlm. 92.
pengadilan di tangani secara adil dan cermat. Ini sesuai apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah kepada mereka.218 Sebelum Nabi Muhammad wafat, beliau tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. 219
Ketika Rasulullah wafat pada 12 Rabiulawal tahun 11 Hijriah (3 Juni 632 M), masih
saja mayat Ralullah di atas rumah, belum dikebumikan, kaum Ansor sudah berkumpul di Saqifah Banu Sa‟idahlm. Mereka menghendaki kekuasaan atas pemerintahan Negara Madinah diserahkan kepada Sa‟ad bin Ubadah, atau paling tidak seperti kata mereka, “Dari kami seorang amir dan dari Quraisy seorang amir”. 220 Mendengar berita kaum Anshar di atas, maka Abu Bakar, Umar, dan abu Ubadah bin Jarrah pergi ke Saqifah. Dalam musyawarah ini, Abu Bakar memulai pidatonya kepada kaum Anshar. Inti pidatonya adalah bahwa kaum muhajirin yang mula-mula mempercayai Muhammad Saw dan memeluk agama Islam. Mereka jumlahnya sedikit. Musuh-musuh mereka mendustakan mereka, membenci dan memusuhi mereka namun mereka tidak gentar. Oleh kerana itu sepeninggal Rasulullah merekalah orang yang berhak memegang pimpinan. Orang akan setuju, kecuali orang zalim akan menentang. Akan tetapi saudara-saudara dari kaum Ansor mempunyai jasa yang besar dengan menyambut sahabat-sahabat dari Muhajirin dan menjadi Ansor (pembela) agama dan 218
Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam. Penerjemah Ahmad Minan dan Salafuddin Ilyas, (Jakarta Timur:Pustaka Al-Kausar, 2005) Cet 1, hlm. 123. 219 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008) Cet 1, hlm. 35. 220 Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kajian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2010) Cet 1, hlm. 166.
Rasul-nya. Oleh itu, kami para amir221 dan tuan-tuan para wazir.
222
Kami tidak akan
meniggalkan tuan-tuan dalam musyawarah dan takkan memutuskan sesuatu tanpa tuantuan.223 Setelah berlalu perbicangan yang panjang,224 kaum anshar menerima dengan lapang dada bahwa kaum Muhajirin memang lebih berhak untuk mengendalikan kekuasaan ini. Semuanya sepakat. Maka Umar maju dan membaiat Abu Bakar yang kemudian dibaiat oleh semua orang yang hadir di Saqifah.225 Kejadian-kejadian yang dikutip di atas menunjukkan kepada kita dengan jelas, betapa di dalam Negara Madinah yang ditata menurut ajaran Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat, bahkan bernada kritik sekalipun terhadap Kepala Negara Umar bin Khattab, diinterupasi secara lansung oleh rakyatnya,226 sementara dia di atas podium 221
Amir jama‟ umara‟, secara harfiah berarti “pangeran”, “pemimpin”, “yang memerintah”, juga bisa diartikan kepala negara; raja; gubernur. Lihat Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik , Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya&Sains, (Jakarta: Gitamedia Press, 2006) Cet 1, hlm. 28. 222 Wazir adalah orang yang diangkat oleh penguasa tertinggi pemerintah dengan tugas-tugas berat, membantunya memberi saran dan menjadi rujukan dalam masalah-masalah tertentu. Jabatan inlah yang disebut wizarah. Lihat lanjut Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008) Cet 1, hlm. 309. 223 Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kjian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2010) Cet 1, hlm. 166. 224 Musyawah tersebut berlansung sehingga memaksa salah seorang pengikut sa‟d bin Ubadah, yaitu Hubab menghunus pedang ke arah Umar, akan tetapi berjaya ditepis Umar. Untuk mengetahui seperti apa dialog yang berlaku ketika musyawarah tersebut lihat lanjut Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kajian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2010) Cet 1, hlm. 166-171. 225 Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) Cet 6, hlm. 145. 226 Ketika Umar sedang berpidato, “tuan-tuan jangan member mas kawin melebihi 40 ugiah! Barangsiapa melebihinya, makakelebihannya akan saya masukkan ke Baitulmal”. Atas pidato Umar bin Khattab tersebut tiba-tiba dari barisan perempuan ada seorang ibu memeberikan sanggahannya: “Tak ada hak anda untuk berbuat demikian!”, “kenapa? Tanya Umar, “Bukankah Allah telah berfirman”: “. . . . . . dan kamu telah memeberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jaan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?”(QS: an-Nisa‟, 4:20) Mendengar sanggahan dalil al-Qur‟an itu, wajah Umar berseri-seri, di bibirnya tersungging senyum dan
atau mimbar menyerukan gerakan jihad. Berdasarkan kenyataan itu, Fazlur Rahman mengatakan bahwa umat dibenarkan mengkritik pemerintah sejauh tidak bernada subversive, menghasut, dan menimbulkan kebencian rakyat untuk mengkudeta pemerintah dengan cara-cara yang tidak Konstitusional.227 Namun pada perkembangannya, kebiasaan semacam di atas mengalami pergeseran. Hal ini dimulai pada zaman dinasti Umayyah. Pada zaman Mu‟awiyah, sistem pemerintah berubah bentuk dari kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Pergantian kekuasaan tidak lagi berdasarkan pada pemilihan baiat, seperti sebelumnya, tapi berdasarkan pada garis keturunan. Kemudian secara turun menurun. Sistem ini digunakan oleh kaum muslimin. Pada masa dinasti Abbasiah, benih-benih kediktatoran mulai tumbuh dan menjalar ke berbagai kawasan. Sehingga pada masa ini tidak ada seorang pun yang berani mengkritik atau menentang setiap kebijakan pemerintah. Dari sistem semacam ini muncullah revolusi. Perpindahan kekuasaan ditempuh dengan cara kekerasan dan pertumpahan darah. Semua ini adalah dampak buruk dari sistem yang diselewengkan.228
dengan sportif berkata: “Benarlah perempuan itu dan salahlah Umar”. Lihat lanjut Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kjian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2010) Cet 1, hlm. 175-176. 227 Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kjian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2010) Cet 1, hlm. 176. 228 Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam. Penerjemah Ahmad Minan dan Salafuddin Ilyas, (Jakarta Timur:Pustaka Al-Kausar, 2005) Cet 1, hlm. 123.
Pada tahun 149 H (765 M) penduduk kota Mausil melakukan pemberontakan. Sebelum itu al-Mansur telah mengambil janji dari mereka, ketika memberontak untuk pertama kali, sekiranya mereka melakukan pemberontakan sekali lagi, maka halallah baginya darah dan harta-benda mereka. Kerana itu, ketika mereka memberontak untuk kedua kalinya, al-Mansur mengundang tokoh-tokoh kaum fuqaha, di antara mereka ada Abu Hanifah, dan meminta fatwa mereka: “Halal atau tidakkah harta dan darah mereka baginya kini, sebagaimana yang telah mereka janjikan kepadanya?” Para fuqaha tersebut berpegang kepada perjanjian yang telah dibuat sebelum itu dan berkata: “Sekiranya anda mengampuni, maka memang patut anda melakukannya. Dan apabila anda menghukum, maka mereka berhak untuk memperoleh hukuman itu. ”Pada waktu itu Abu Hanifah berdiam diri dan tidak menjawab, sehingga al-Mansur bertanya kepadanya: “Bagaimana pendapatmu, ya syeikh?”ia menjawab: “Sesungguhnya mereka telah memberikan persyaratan kepada anda dengan sesuatu yang tidak mereka miliki, yakni jiwa mereka. Sedangkan anda telah mensyaratkan kepada mereka apa yang tidak menjadi hak anda, sebab jiwa muslim tidak menjadi halal kecuali dengan salah satu di antara 3 sebab.229Bagaimana pendapat anda sekiranya seorang perempuan menghalalkan dirinya bagi seorang laki-laki tanpa nikahlm. Adakah ia menjadi halal bagi laki-laki itu? Dan sekiranya seseorang berkata kepada orang lainnya: “bunuhlah aku!”apakah dengan itu menajdi halal membunuhnya?” Kata al-
229
Dalam satu hadis Nabi saw. Disebutkan bahwa “darah seorang muslim tidak dihalalkan kecuali dengan salah satu di antara tiga sebab, yakni: sebagai hukuman atas pembunuhan terhdapa orang lain, berzina setelah kawin, dan murtad.
Mansur: “tidak!” Maka Abu Hanifah berkata lagi: “Kalau begitu tahanlah tangan anda dari penduduk Mausil, sebab jiwa mereka tidak halal bagi anda”. Al-Mansur merasa tidak senang dengan hal ini dan ia memerintahkan mereka semua agar meninggalkan tempat itu. Kemudian ia memanggil Abu Hanifah seorang diri dan berkata kepadanya: “Sesungguhnya pendapatmu itulah yang benar. Kini pulanglah ke negerimu dan jangan menfatwakan sesuatu kepada rakyat yang akan merusak nama imammu, sehingga dengan demikian anda memberikan jalan bagi kaum pemberontak untuk menyerang imammu ini”. 230 2.
Konsep Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar dalam kebebasan berpendapat Menurut Abul A‟la al-Maududi,231 ada kalanya pengungkapan suatu pendapat,
atau mengemukakannya semata-mata, merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima sama sekali. Dan ada kalanya hal itu dapat membangkitkan fitnah, dan ada kalanya berlawanan dengan akhlak dan amanat manusiawi yang tidak dapat dibiarkan atau dimaafkan oleh hukum apa pun.232 Namun, amr bil-ma‟ruf nahi anil-munkar ialah: pengungkapan pendapat secara benar. Untuk hal tersebut, Islam telah memilih istilah ini, dan Islam tidak menjadikan bentuk ini secara khusus, di antara bentuk-bentuk pengungkapan pendapat lainnya, 230
Abu A‟la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap “Kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbas. Penerjemah Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 2007) Cet 1, hlm. 303. 231 Abu A‟la al-Maududi adalah seorang pemikir besar Islam kontemporer, lahir pada tanggal 25 September 1903 di Aurangabad, India Tengah, dan wafat pada tanggal 23 september 1979 di New York. Beliau juga pendiri organisasi Jamiah Islamiyah di Pakistan. Lihat lanjut, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) , 2008) Cet 5, hlm. 157-178. 232 Ibid, hlm. 301.
sebagai salah satu hak rakyat semata-mata, tapi bahkan ia menganggapnya sebagai suatu kewajipan bagi mereka.233 Kaum Muktazilah234 sendiri telah memasukkannya pada lima prinsip pemikirannya sehingga tidak dapat dikatakan sempurna iman seseorang jika tidak melaksanakan poin yang satu ini.235 Manakala menuruTimam Ibn Taimiyah, di dalam bukunya, Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah, mengatakan Allah telah mewajibkan amr bil-ma‟ruf nahi anil-munkar sebagai fardhu kifayah. 236 Melalui firmannya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali-Imran: 104) Beliau menambah, menyuruh yang ma‟ruf dan mencegah yang mungkar tidak wajib bagi setiap orang, tapi wajib kifayah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh alQur‟an. Apabila tidak ada melaksanakan kewajiban tersebut, maka berdosalah semua orang yang mampu menurut kadar kemampuannya. Sebab amar ma‟ruf nahi mungkar itu merupakan kewajiban atas setiap insan menurut kesanggupannya,237 sebagaimana sabda Nabi SAW:
233
Ibid, hlm. 301. Kaum Muktazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada peroalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji‟ahlm. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”. Lihat lanjut, Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) , 2008) Cet 5, hlm. 40. 235 Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) Cet 1, hlm. 256. 236 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah, Tentang Amar Ma‟ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar‟iyah dan Jihad Fi Sabilillah (Jakarta: Darul Haq, 2007) Cet 2, hlm. 83. 237 Ibid, hlm. 83. 234
هي رأي هٌكن هٌكرا: سوعت رسىل اهلل صلً اهلل عليَ وسلن يقىل:عي طارق بي شهاب قال رواٍ هسلن (م. وذلك أضعف اإليواى,َ فإى لن يستطع فبقلب,ًَ فأى لن يستطع فبلسا,ٍفليغيرٍ بيد )٥٠/١ Artinya: Dari Thariq bin Syihab, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman”. Riwayat Muslim (1/50)238 Berhubung dengan ayat di atas, (Ali-„Imran, ayat 104), Syed Qutb menjelaskan di dalam Tafsir Fi Zilal Aal-Qur‟an, bahwa dakwah kepada kebajikan bisa saja dalakukan oleh semua Muslim, namun untuk memerintahkan kepada hal-hal yang ma‟ruf dan melarang kepada hal-hal yang munkar diperlukan adanya kekuasaan untuk melakukan amar ma‟ruf nahi munkar atau paling tidak, diperlukannya sebuah komunitas yang prihatin terhadap perintah dan larangan terhadap kebaikan dan kemungkaran. Oleh sebab itu, di dalam penafsiran beliau juga menegaskan supaya umat Islam menegakkan kekuasaan untuk memerintah dan melarang.239 Adapun dalam mengakkan yang ma‟ruf dan melarang munkar harus dengan adab dan tertibnya. Wahbah Az-Zuhaili menulis dalam bukunya, Kebebasan Dalam Islam, bahwa dalam kebebasan berpendapat ada tolak ukurnya, antaranya ialah: 1.
Islam memerintahkan untuk selalu beretika dalam berdebat dan mengungkapkan pendapat serta menghargai pendapat orang lain tanpa harus buru-buru memberi putusan hukum. 238
Muhammad Nashiruddin al-Bani, Ringkasan Sahih Muslim vol 1, Penerjemah Imron Rosadi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) Cet 4, hlm. 35. 239 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal Al-Qur‟an, penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008) Cet. ke-6, jil 3, hlm. 184.
2.
Islam melarang perdebatan yang dapat mendatangkan permusuhan dan kebencian. Allah subhanahu wa Ta‟ala berfirman:
Artinya:“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. ”(Al-Nahl:12) Adapun batasan-batasannya adalah: 1.
Kebebasan berpendapat tidak boleh mengakibatkan fitnah dan perpecahan umat.
2.
Kebebasan berpendapat ini tidak boleh berakibat menyebarkan pembangkangan, hawa nafsu dan bid‟ah di antara umat Islam.
3.
Kebebasan berpendapat ini tidak boleh mendatangkan penghinaan atau kata-kata kotor atau membicarakan rahsia orang lain. Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman: Artinya: “Allah tidak menyukai ucapan yang buruk, dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ”(An-Nisaa‟:148) Ini menunjukkan bahwa syariat Islam mengkombinasikan antara kebebasan dan
batasan. Kebebasan berpendapat dalam Islam tidak akan tegak kecuali atas dasar wawasan keilmuan dan pikiran yang menyentuh benak penanya. Dan kebebasan berpendapat dan berekspresi memberikan manfaat bagi individu dan umat yang dapat
memupuk rasa dan persaudaraan, kecintaan dan rasa hormat antara mereka, sehingga kesombongan pribadi dan kelompok akan tercabut.240 Dengan ini, kebebasan yang dibawa oleh Islam, mencerminkan kepelbagaian aturan yang terkandung di dalam syariat Islam. Di samping jaminan-jaminan terhadap hak yang sepatutnya dimiliki oleh warga, Islam juga mengatur mengenai adab-adab dan nilai moral yang perlu dipatuhi. Islam memberi kebebasan sepenuhnya terhadap warga untuk menyatakan pendapatnya. Asalkan tidak bercanggah dengan prinsip-prinsip utama Islam, atau tidak bercanggah dengan ketentuan qat‟ie241 dalam Islam.
240
Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam. Penerjemah Ahmad Minan dan Salafuddin Ilyas, (Jakarta Timur:Pustaka Al-Kausar, 2005) Cet 1, hlm. 119. 241 Dalil qat‟ie, merupakan dalil yang disepakati oleh para ulama atau juga merupakan sumbersumber yang disepakati di kalangan jumhur. Dalil yang disepakati tersebut ialah al-Qur‟an, al-Sunnah, Ijma‟ ulama‟, dan al-Qiyas. Lihat lanjut, Abd. Latif Muda dan Rosmawati Ali Rujukan Pengajian Syariah, Perbahasan Usul al-Ahkam, (Selangor: Darul al-Fajr, 2009) Cet 1, hlm. 25.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Setelah penulis memaparkan tentang jaminan kebebasan berpendapat di dalam DUHAM, Deklarasi kairo, dan pengaturan dalam hukum Indonesia dan Malaysia dapat disimpulkan beberapa pekara: 1.
Di dalam Konstitusi Indonesia dan Malaysia, hak kebebasan menyatakan pendapat memperoleh jaminan yang tidak jauh berbeda. Jika dilihat kepada butiran yang terkandung di dalam UUD 1945, pasal 28E (3) berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, bekumpul dan mengeluarkan pendapat”. Manakala di dalam Konstitusi Malaysia, pasal 10 (1) (a) dengan bunyinya, “Setiap orang berhak kepada kebebasan bercakap dan bersuara”. Seterusnya hak kebebasan berpendapat di dalam perundang-undangan di kedua-kedua ini telah dijabarkan kepada berbagai UU. Indonesia misalnya telah melahirkan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 9 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik, UU No. 12 Tahun 2005 tentang kovenan Internasional Tentang Hakhak Sipil dan Politik, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Manakala Malaysia telah melahirkan UU seperti berikut, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1948 tentang Hasutan, Undang-undang No. 30 Tahun 1971 Tentang
Kolej Universiti Dan Kolej Universiti, UU No. 82 Tahun 1960 Tentang Keselamatan Dalam Negeri, dan UU No. 344 Tahun 1967 Tentang Polisi. UU No. 301 Tahun 1984 tentang Percetakan dan Penerbitan. 2.
Seterusnya yang menjadi perbedaan antara kedua konstitusi kedua Negara ini secara fungsional dapat dilihat kepada butiran selanjutnya. Yaitu di dalam Konstitusi Malaysia diatur di dalam pasal 10 (2) (a) berbunyi, “Parlemen boleh dengan undang-undang mengenakan: Ke atas hak-hak yang diatur oleh ayat (1) (a), apa jua sekatan yang difikirkan harus atau penting demi kepentingan keselamatan Persekutuan atau mana-mana negeri bagian, ketemteraman awam untuk melindungi keistimewaan-keistimewaan Parlemen atau mana-mana Dewan Negeri atau untuk mengelakkan penghinaan terhadap mahkamah, fitnah, atau perbuatan untuk mengadu domba supaya dilakukan sesuatu kesalahan”. Dengan aturan yang dijamin konstitusi ini, telah melahirkan undang-undang yang bersifat arogan dan defensif kepada pihak pemerintah. Selain itu, UU di Indonesia banyak
mengalami pembaharuan aturan perundang-undangan setelah berlakunya peristiwa Reformasi pada tahun 1998. Persamaan yang dapat dilihat pada kedua negara ini adalah kedua-duanya memberi jaminan kepada warganya dalam hak kebebasan berpendapat. Baik secara lisan maupun tulisan. 3.
Implementasi hak kebebasan berpendapat di kedua negara masih belum mencapai tahap yang wajar kalau dibandingkan secara universal. Melalui rating yang telah disebutkan sebelumnya, demokrasi di Indonesia berada pada rating ke 117, dan Malaysia pada rating 141. Di Indonesia, dengan UU yang dilahirkan
setelah Reformasi telah memberi nilai tambah kepada demokrasi di negaranya. Walaupun demikian, dengan sekian lebar jaminan kebebasan yang diberikan harus dimanfaati secara matang oleh warga. Kerana kebanyakan demonstrasi di Indonesia sering diakhiri dengan peristiwa anarkis seperti merosakkan perkhidmatan publik, merobohkan pagar kantor, merosakkan mobil di jalan dan sebagainya. Implementasi kebebasan di Malaysia masih diwarnai dengan pemberlakuan UU yang tidak adil. Sebagai contoh UU No. 30 Tahun 1971 Tentang Kolej Universiti Dan Kolej Universiti, UU ini telah menyekat kebebasan mahasiswa untuk turut berpartisipasi di dalam arus politik negara. Begitu juga dengan aturan mengenai keharusan mendapatkan surat izin operasi untuk mencetak dan menerbitkan apa jua jenis penerbitan. Ini jelas bertentangan dengan semangat demmokrasi yang terkandung di dalam konstitusi negara.
4.
Dalam Islam, mengungkapkan pendapat merupakan salah satu hak manusia yang paling terpenting, bahkan sebagai sesuatu yang wajib bagi setiap muslim dalam setiap urusan yang berkaitan dengan akhlak, kepentingan dan peraturan umum serta dalam hal yang dianggap oleh Syariat sebagai suatu kemungkaran. Kebebasan berpendapat adalah sejalan dengan konsep amr bil-ma‟ruf nahi anilmunkar. Walaubagaimanapun, dalam menyuruh yang ma‟fur dan mencegah munkar harus dengan tata tertib dan juga batasannya. Agar hak kebebasan berpendapat tidak disalahgunakan.
B.
Saran-saran.
Sesuai dengan kondisi permasalahan yang telah diutarakan dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk memberikan beberapa saran yang berikut : 1.
Kepada pemerintah: Agar setiap penjabaran hukum yang telah dijamin di dalam dalam Konstitusi hendaklah dilakukan dengan keputusan bersama, tanpa membuat keputusan sepihak. Dan jaminan yang dijamin oleh Konstitusi hendaklah dilindungi serta dijadikan acuan utama terhadap apa jua pembentukan hukum. Seterusnya, pemerintah hendaklah, membuat suatu aturan hukum untuk melindungi dan menjamin hak-hak warga negaranya dan tidak merampasnya. Serta tidak memilih bulu antara mana-mana partai, karena partai-partai yang wujud pada hari ini adalah suara dari rakyat.
2.
Kepada Masyarakat umum: Agar menyadari hak kebebasan yang mereka miliki. Kebebasan yang telah diatur hendaklah dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin, supaya budaya demokrasi dapat berkembang dengan suburnya. Di samping itu, masyarakat juga harus sedar bahwa undang-undang yang menghalangi mereka untuk turut berpartisipasi di dalam ranah publik perlu dilakuakn perubahan. Perubahan yang diharapkan adalah dengan melalui jalan demokrasi, bukan dengan jalan anarkis yang boleh merusak system demokrasi Negara.
3.
Kepada mahasiswa: Mahasiswa juga hendaklah bersikap kritis terhadap perkembangan yang berlaku di dalam Negara mereka. Kerana sebagai seorang mahasiswa tidak boleh
hanya sebatas masuk kuliah, perolah ijazah dan mencari perkerjaan. Mahasiswa adalah merupakan bekal yang penting untuk mengurusi Negara pada masa akan datang. Seterusnya, mahasiswa yang disempitkan jaminannya untuk turut berpartisipasi di muka umum seperti UU AUKU, hendaklah merasa sadar bahwa mereka juga memiliki hak yang sama sebagai warga Negara. Karena Akta ini telah menyimpang dari amanat yang terkandung dalam Konstitusi Negara, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan Hukum Islam secara universal. Perkara ini secara tidak langsung dapat merugikan negara, karena mahasiswa adalah merupakan aset negara yang berharga bagi kemajuan negara. 4.
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen): Seharusnya tanggap terhadap fakta adanya aspirasi rakyat yaitu aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa tentang penuntutan hak-hak politik mereka. Parlemen adalah badan yang memiliki kewenangan untuk membuat dan mengesahkan peraturan, demikian pula parlemen adalah suatu lembaga yang menjadi tempat berkumpulnya wakil-wakil rakyat dan menjadi wadah penyaluran aspirasi rakyat. Oleh karena itu, yang diperlukan sekarang ini adalah sikap Parlemen yang pro terhadap kepentingan rakyat. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk peninjauan kembali terhadap undang-undang yang dirasakan mengekang dan mengebiri hak rakyat.
DAFTAR PUSTAKA A.Baderin, Mashood, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia&Hukum Islam, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Cet 1, 2007. Abbas, Mohd Salleh. Prinsip Perlembagaan Dan Pemerintahan Di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Cet.3, 2006. Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Cet 1, 2009. Alim, Muhammad.
Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kajian
Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, Cet 1, 2010. Al-Maududi, Abu A‟la. Khilafah dan Kerajaan, Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap “Kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbas. Penerjemah Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, Cet 1, 2007. Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam, Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, Cet 6, 2003. Arifin, Ahmad Baihakki, “Hak-hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Awang, Abdul Hadi, Islam dan Demokrasi, Selangor: PTS Publication & Distribution Sdn.Bhd, Cet 1, 2007. Az-Zuhaili, Wahbah. Kebebasan Dalam Islam, Jakarta Timur:Pustaka Al-Kausar. Cet 1, 2005.
Bari , Abdul Aziz, Perlembagaan Malaysia, Asas-asas dan Masalah, Selangor: Percetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, Cet 1, 2001. Bari , Abdul Aziz, Politik Perlembagaan,Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD), Cet 1, 2005. Baut, Pauls, Kompilasi Deklarasi: HAM, Jakarta: Yayasan LBH, 1988. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet.3, 2008. Din, Haron. Islam:keadilan membebaskan manusia, Selangor: PTS Publication & Distribution Sdn.Bhd, Cet 1, 2007. Djamali, Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 9, 2003. Effendi, A. Masyhur dan Evandri, Taufani Sukmana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet 2, 2005. Ha-Kham (Hukum Hak Asasi) Dalam Masyarakat, Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, Cet 1, 2007. Harjono, Transformasi Demokrasi , Jakarta: Sekreteriat Jenderal Dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi, Cet 1, 2009.
Ibnu Syarif ,Mujar, dan Zada, Khamami. Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, Cet 1, 2008. Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, Cet 3, 2007. Internasional Law Book Services, Malaysia Kita, Selangor, 2005. Isa, Harun, ”Hak-hak politik mahasiswa dalam Akta Universiti dan Kolej Universiti menurut perspektif Hukum Islam”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Islam Ibnu Taimiyah, Syaikhul. Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah, Tentang Amar Ma‟ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar‟iyah dan Jihad Fi Sabilillah. Penerjemah Ahmad Syaikhu, Jakarta: Darul Haq, Cet 2, 2007. Kamil, Sukron. Islam&Demokrasi, Telaah Konseptual&Historis, Jakarta: Gaya Media Pramata, Cet 1, 2002. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008, Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Cet 1, 2008 . Manan, Bagir. Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menurut UU N. o 9 Tahun 1998 (Suatu Kajian dalam Rangka Perwujudan Hak Asasi Manusia , Makalah disampaikan pada Penataran Hukum Administrasi Negara Di Universitas Airlangga Surabaya, Februari 1999. Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006.
Menende, Febry, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Mohamad Nor, Riduan. Potret Perjuangan Mahasiswa dalam Cerminan Dekat, Kuala Lumpur: Jundi Resourcer, Cet 1 2007. Muda, Abd. Latif. dan Ali, Rosmawati. Rujukan Pengajian Syariah, Perbahasan Usul al-Ahkam, Selangor: Darul al-Fajr, Cet 1, 2009. Muladi, H. Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Jakarta: PT Refika Aditama, Cet 1, 2005. Nashiruddin al-Bani, Muhammad. Ringkasan Sahih Muslim vol 1, Penerjemah Imron Rosadi, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet 4, 2009. Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) , Cet 5, 2008. Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Zilal Al-Qur‟an, penerjemah: As‟ad Yasin dkk, Jakarta: Gema Insani, Cet. ke-6, 2008, jil 3. Rais, Dhiauddin. Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, Cet 1, 2001. Ramli Saifullah, ”Hak Asasi Manusia Dalam Perlembagaan Persekutuan”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Samadhi, Willy Purna dan Warouw, Nicolaas. Demokrasi di Atas Pasir, Kemajuan dan Kemunduran Demokrasi di Indonesia, Semarang: PCP Press, Cet 1, 2009.
Shuid, Mahdi, Osman ,Suzani, dan Othman, Sazlina. Teks Pra-U STPM, Sejarah Malaysia, Selangor: Pearson Malaysia Sdn. Bhd, Cet 1, 2009 . Sip, Tanti Yuniar, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Agung Media Mulia, t.th. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) , Cet 5, 2008. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, Cet 1. 2010. Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat, Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia ke-3, Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet 1, 2010. Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, Cet 1, 2009. Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, Cet 1, 2005. Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, Cet 5, 2010.
Artikel dan Website: http: //589 Orang Termasuk 44 Remaja Ditahan Sertai Perhimpunan Haram, http: //holid-emkaen. blogspot. com/2009/02/kemerdekaan-menyampaikan-pendapat-di. html, http: //id. shvoong. com/law-and-politics/1853630-hak-kebebasan-berpendapat-bagisetiap/
http: //ms. wikipedia. org/wiki/Akta_Keselamatan_Dalam_Negeri_(Malaysia) http://anggara. org/2008/04/29/pernyataan-sikap-bersama-UU-ite-mengancamkemerdekaan-berpendapat-dan-kebebasan-berekspresi-di-indonesia/ http://bataviase. co. id/node/303639 diunduh pada 03/05/2011 http://bataviase. co. id/node/428873 diunduh pada 03/05/2011, http://en. rsf. org/press-freedom-index-2010, 1034. html, http://englishlm. aljazeera. net/NR/exeres/8370EBC1-682F-4B2B-BBB0AE833B7F6FD3. htm, http://ms. wikipedia. org/ wiki/ Suruhanjaya_ Reid http://ms. wikipedia. org/wiki/Abdul_Aziz_Baric http://ms. wikipedia. org/wiki/Perhimpunan_Bersih http://ms. wikipedia. org/wiki/Perhimpunan_Himpunan_Anti_ISA. htm http://ms. wikipedia. org/wiki/Perlembagaan_Persekutuan, http://ms.wikipedia.org/wiki/Krisis_ Perlembagaan _Malaysia 1988 http://siffusuffi. blogspot. com/2010/05/UU-vs-kebebasan-mahasiswa-berpolitik. html,diunduh pada 11. 01. 2011 http://www.agc.gov.my/agc/oth/listTLawbm_1.htm
Aturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional Tentang Hakhak Sipil Dan Politik
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Di Muka Umum Peraturan Hukum Perbandingan Malaysia Perlembagaan Persekutuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1948 Tentang Hasutan. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1971 Tentang Kolej Universiti Dan Kolej Universiti. Undang-undang Nomor 301 Tahun 1984 Tentang Mesin Cetak Dan Penerbitan. Undang-undang Nomor 344 Tahun 1967 Tentang Polisi. Undang-undang Nomor 82 Tahun 1960 Tentang Keselamatan dalam negeri.