PENEGAKAN HUKUM KASUS PENYIKSAAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah
Oleh :
Oleh: AINUL YAQIN 102043124908
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Yang Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian Berdasarkan Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah Oleh :
Ainul Yaqin NIM : 102043124908
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph. D NIP : 196912161996031001
Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum NIP : 196509081995031001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif, telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 7 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum. Jakarta, 7 September 2010 Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., MA, MM NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. NIP. 195703121985031003
(.................................)
2. Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NIP. 196511191998031002
(.................................)
3. Pembimbing I
: Asep Saepudin Jahar, MA, Ph. D NIP. 196912161996031001
(.................................)
4. Pembimbing II
: Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum NIP. 196509081995031001
(.................................)
5. Penguji I
: Dr. Syahrul A’dam NIP. 19730504200031002
(.................................)
6. Penguji II
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NIP. 196511191998031002
(.................................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Juli 2010
Ainul Yaqin
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Puji dan syukur penulis senantiasa persembahkan kepada Allah SWT, Tuhan sekalian alam, yang dengan hidayah dan inayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan uluran tangan dari berbagai pihak, hanya Allah SWT yang dapat membalas budi baik yang telah diberikan. Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., M.A., M.M. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA, Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, Seketaris Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, semoga senantiasa tetap bisa menjadi suri tauladan bagi kami. 3. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph. D, pembimbing I dan Bapak Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum, pembimbing II skripsi penulis yang dengan keikhlsannya menuntun penulis dari awal hingga selesai skripsi ini.
i
4. Para Dosen serta jajaran staf karyawan di Fakultas Syari’ah dan Hukum, terima kasih atas segala ilmu yang diberikan. Semoga menjadi ilmu yang berkah dan manfaat di dunia dan di akhirat. 5. Segenap staf perpustakaan utama UIN syarif Hidayatullah Jakarta atas fasilitas peminjaman buku yang membantu dalam penulisan skripsi ini. 6. Segenap staf perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hiddayatullah Jakarta atas fasilitas referensi buku yang dipinjamkannya sehingga membantu dalam penulisan skripsi ini. 7. Ayahanda H. Maulana Ischak (alm) yang senantiasa mendoakan, semoga ketenangan selalu menyertainya di sisi Allah SWT. 8. Segenap saudara-saudaraku tercinta yang terus mengkritik, khususnya Mbak Binti Mujahadah dan Mbak Zumaroh serta ponakan-ponakanku yang sudah pada mendahului lulus kuliah. Semoga karya tulis yang masih banyak kelemahan ini dapat menjadi kritik konstruktif dan bermanfaat bagi perkembangan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
16 Ramadhan 1431 H 26 Agustus 2010 M
Penulis
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .............................................................................................. . i DAFTAR ISI ............................................................................................................. . iii PEDOMAN TRANSLITERASI................................................................................. v
BAB I :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Batasan Dan Perumusan Masalah .................................................... 10 C. Tujuan Dan Manfaat ........................................................................ 11 D. Metode Penelitian ............................................................................ 13 E. Review Studi Terdahulu .................................................................. 15 F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 16
BAB II : PENGERTIAN PENEGAKAN HUKUM SERTA PENYIKSAAN DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Kedudukan dan Wewenang Kepolisian republik Indonesia ...........
18
B. Pengertian Penegakan Hukum ........................................................
22
C. Penyiksaan dalam Tinjauan Hukum Islam .....................................
25
D. Penyiksaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia ...........................................
27
BAB III: BENTUK-BENTUK PENYIKSAAN YANG DILAKUKAN APARAT KEPOLISIAN A. Tahap Penangkapan .....................................................................
34
B. Tahap Pemeriksaan ......................................................................
38
- iii -
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM KASUS PENYIKSAAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT KEPOLISIAN A. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia ...........
47
B. Berdasarkan Hukum Islam .........................................................
58
C. Analisa Tentang Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Yang Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian Berdasarkan Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia ..........
68
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ..............................................................................
74
B. Saran-Saran .............................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
- iv -
82
PEDOMAN TRANSLITERASI
Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ﻩ ء ي
Huruf Latin
Keterangan
b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z ’ gh f q k l m n w h ` y
tidak dilambangkan be te te dan es je ha dengan garis bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis bawah de dengan garis bawah te dengan garis bawah zet dengan garis bawah koma terbalik di atas hadap kanan ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrop ye
Vokal Kata Ta Diftong Panjang Sandang Marbûtah Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin a ـــــﺂ â ــــَــ يai ال alة h&t i ـــــﻲ î ــــَــ وau u ـــــﻮ û
Vokal Arab ــــَــ ــــِــ ــــُــ Ket.
: Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum (1428 H / 2007 M).
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini tengah menjalankan proses demokratisasi, terbukanya iklim kebebasan pasca jatuhnya rezim orde baru telah membuka beragam penafsiran akan arah reformasi di berbagai dimensi, tidak terkecuali dalam reformasi sektor keamanan khususnya reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Embrio reformasi POLRI diawali dengan munculnya Tap MPR RI No. VI dan Tap MPR RI No. VII yang memisahkan POLRI dari ABRI. Kemudian embrio ini ditindaklanjuti dengan disahkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 1 Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk melihat fungsi praktis kepolisian tersebut sebagaimana diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/169 tentang Pedoman Perilaku bagi Aparat Penegak Hukum bahwa para aparat penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia serta menjaga dan menjunjung 1
Aditya Batara Gunawan (ed.), Guiedbook on Democratic Policing, Terjemahan, (Vienna Austria: OSCE, 2008), h. 3-4
1
2
tinggi HAM. Para aparat penegak hukum diwajibkan tunduk pada ketentuan serta nilai-nilai HAM. Caranya dengan membatasi diri dalam penggunaan kekerasan serta penggunaan senjata api. Selain itu keharusan para penegak hukum untuk mengutamakan pula pencegahan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia terhadap orang-orang yang sedang berhadapan dengan hukum. Pembatasan ini sematamata menjamin perlindungan terhadap hak-hak dasar seseorang dari kekerasan aparat penegak hukum. 2 Namun sungguh ironis jika dewasa ini praktek penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian masih kerap berlangsung. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menyelenggarakan polling di www.bantuanhukum.org sepanjang bulan Agustus – Oktober 2007, tentang apakah anggota Polri dalam melakukan pemeriksaan (BAP) sering melakukan penyiksaan. Sebanyak 65 % menjawab aparat kepolisian selalu melakukan penyiksaan, 25 % tidak pernah dan sisanya 7 % menyatakan kadang-kadang. 3 Dikisahkan dalam Berita LBH Jakarta kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia, yaitu kasus Risman Lakoro yang disiksa karena dituduh membunuh putrinya yang bernama Alta, 4 dan kasus Budi Hardjono yang disiksa Polisi demi
2
Gatot, (ed), Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan; Survey Penyiksaan Ditingkat Kepolisian Wilayah Jakarta Tahun 2008, (Jakarta: LBH Jakarta, 2008), h. 3. 3 Berita LBH Jakarta, edisi Nomor 15/Juli-september/2007, h. 8 4 Ibid., h. 12
3
seorang Ibu. 5 Kedua korban tersebut merupakan korban salah tangkap yang dilakukan oleh kepolisian dan tidak ada upaya-upaya oleh pihak yang berwenang untuk mengusut kebenaran kasus tersebut. Dengan kata lain kepolisian membiarkan kasus tersebut berlalu begitu saja. Dalam catatan kritis KontraS dalam melakukan pemantauan atas kinerja kepolisian menunjukkan bahwa kultur kekerasan masih melekat dalam tubuh kepolisian. Di bawah ini adalah pemantauan KontraS sepanjang tahun 2005 – Mei 2008. Tindakan
2005 - 2006
2006 - 2007
2007 - 2008
Penembakan/penyalahgunaan senjata api Penyiksaan selama proses peradilan Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang Bentrokan dengan sesama polisi Bentrokan dengan anggota TNI Penyalahgunaan Kekuasaan yang lain
43
62
23
43
24
14
65
36
39
-
6
-
5
12
1
23
30
12
Dari tabel tersebut, jelas bahwa aparat kepolisian masih menerapkan tindakan pelanggaran HAM dan kekerasan yang bersifat konvensional berupa penembakan, penyiksaan dan penahanan atau penangkapan sewenang-wenang. Sulit melihat perubahan yang signifikan dari watak kekerasan yang masih terjadi. 5
Ibid., h.13
4
Satu hal tersulit untuk diubah mengingat jejak warisan orde baru selama 32 Tahun telah membentuk institusi kepolisian dalam wujud militeristik dan menjadi bagian dari politik praktis pemerintahan. Meski polisi merupakan alat penegak hukum, namun kekerasan masih terus terjadi karena aparat kepolisian justru melanggar penegakan hukum itu sendiri. 6 Namun ternyata tidak semua aparat negara yang melakukan penyiksaan itu lolos dari jeratan hukuman. Didik Setyawan seorang anggota reserse kepolisian sektor Banjarsari Surakarta Jawa tengah dibantu beberapa anggota reserse kepolisian yang lain yaitu M. Trikogani, Supriyanto, Aan Yuantoro, Sudalmi dan Kristian Fery pada hari senin tanggal 20 November 2006 telah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya Roni Ronaldo tersangka kasus pencurian dan kekerasan. Maka keenam anggota reserse tersebut akhirnya dijerat pasal 351 ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan dihukum penjara selama 1 Tahun 6 bulan. 7 Kasus Didik Setyawan di atas merupakan salah satu kasus di mana penegakan hukum dalam kasus penyiksaan masih bisa dilakukan dengan arti bahwa wibawa kepolisian masih mempunyai citra positif. Namun jika dicermati secara mendalam, pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah pasal tentang penganiayaan. Secara kontekstual pasal penganiayaan 6
Indria Fernida, 10 Tahun Reformasi Sektor Keamanan Akuntabilitas Polisi dalam Penegakan HAM, (Disampaikan dalam acara Simposium “10 Tahhun reformasi Sektor Keamanan di Indonesia”, Jakarta 28-29 Mei 2008). 7
Putusan Pengadilan Negeri Klas. 1 Surakarta, h. 9
5
tersebut merupakan pasal yang digunakan untuk menjerat seorang warga negara yang menganiaya warga negara lainnya. Sedangkan dalam kasus Didik Setyawan dkk adalah kasus antara aparat negara yang menganiaya warga negara. Katagori tindakan Didik Setyawan dkk sebenarnya katagori tindakan penyiksaan yang ditentang oleh ketentuan manapun. Geoffrey Robertson memandang alasan larangan penyiksaan ketika tindak penyiksaan difungsikan sebagai metode penyelidikan pihak kepolisian namun tidak bisa membuat jera seorang penjahat. Lebih jauh dari itu bahwa penyiksaan ternyata bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penyiksaan adalah kejahatan lain yang lebih umum dan lebih dikenal setelah pengadilan Nuremberg berakhir. Karena, dibawah hukum internasional penyiksaan juga masuk dalam katagori kejahatan yang melibatkan tanggungjawab individu. Selama beberapa abad, penyiksaan dianggap sebagai metode yang sah dan perlu untuk mendapatkan informasi dan pengakuan. Penggunaan cara-cara penyiksaan seperti itu, oleh Star Chamber dan Spanish Inquisition diperintahkan dan diatur oleh otoritas peradilan. Bukti bahwa penyiksaan tidak dapat diandalkan sebagai cara untuk mendapatkan kebenaran menjadi alasan untuk menghentikannya secara resmi sebagai reaksi atas sifatnya yang tidak manusiawi. Namun, kenyataannya, penyiksaan itu masih dipraktikkan secara luas oleh kekuatan polisi dan milier di seluruh dunia. 8 Penyiksaan merupakan pelanggaran hak asasi yang sangat serius, dan karenanya dengan tegas dikutuk oleh hukum internasional, khususnya oleh pasal 5 DUHAM, yang menyatakan bahwa:
8
Geoffrey Robertson, Crime Againts Humanity: The Struggle For Global Justice, Terjemahan., (Jakarta: KOMNAS HAM, 2002), h. 283
6
Tidak seorang pun dapat disiksa, atau perlakuan atau dihukum dengan kejam, tidak manusiawi dan direndahkan martabatnya. 9 Pada tanggal 10 Desember 1984 dengan resolusi Nomor 39/46, Majelis Umum PBB menetapkan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. 10 Konvensi ini terdiri dari 33 pasal yang mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987. Indonesia sebagai negara pihak yang turut serta melakukan penandatanganan konvensi tersebut telah meratifikasi (mensahkan) dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Ciri utama konvensi ini menentukan bahwa negara pihak melarang penyiksaan dalam perundang-undangan nasionalnya, tetapi juga menetapkan secara eksplisit bahwa perintah atasan atau keadaan-keadaan khusus tidak dapat dijadikan pembenaran penyiksaan. Dua unsur yang diperkenalkan yaitu; Pertama, bahwa penyiksa dapat dihukum di manapun ia berada dalam wilayah setiap negara pihak konvensi, karena konvensi ini menyebutkan bahwa orang-orang yang telah diduga melakukan tindakan penyiksaan dapat diadili di negara pihak manapun. Kedua, bahwa konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang
9
Hak Asasi Manusia; Metode-Metode Penyiksaan, Lembar Fakta No. 4, Penerjemah: Harkristusi Harkrisnowo, SH, Christianus H. Panjaitan, dan Patricia Rinwigati, SH, TT., TP, h.1 10
Konvensi ini biasa disebut secara singkat dengan istilah Konvensi Menentang Penyiksaan
7
memperkenalkan dilakukannya pemeriksaan internasional, jika terdapat informasi yang dapat dipercaya yang menunjukkan bahwa penyiksaan telah dilakukan secara sistematis dalam wilayah negara pihak konvensi. Pemeriksaan ini dapat mencakup kunjungan ke negara pihak bersangkutan atas persetujuan negara ini. 11 Penentangan terhadap penyiksaan ini sebenarnya juga tertoreh dalam sejarah Islam, tepatnya dalam piagam madinah pada Pasal 36 Piagam Madinah yang mengajarkan prinsip larangan penghukuman yang melebihi hukuman yang ditentukan. Berikut bunyi pasal tersebut; Tidak dibenarkan seseorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali mendapat izin dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai (membalas) orang lain yang melebihi kadar perbuatan jahat yang telah diperbuatnya. 12 Dan terdeskripsikan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad sebagai berikut;
ﷲ ُ ﻰا َﺿ ِ ﻲ َر ﻋِﻠ ﱠ َ ن ﻋﻜْ ِﺮ َﻣ َﺔ َأ ﱠ ِ ْﻋﻦ َ ب َ ْﻋﻦْ َأ ﱡﻳﻮ َ ن ُ ﺳﻔْ َﻴﺎ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛ َﻨﺎ َ ,ﷲ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ﻦ ِ ْﻲ اﺑ ﻋِﻠ ﱡ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛ َﻨﺎ َ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ا َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﻻﱠ َ ,ْﺣ ﱢﺮﻗْ ُﻬﻢ َ ﺖ َا َﻧﺎﻟ َﻢ ُْا ُ ْل َﻟﻮْ ُآﻨ َ س َﻓ َﻘﺎ ٍ ﻋ ﱠﺒﺎ َ ﻦ ُ ْق َﻗﻮْ ًﻣﺎ َﻓ َﺒَﻠ َﻎ ِاﺑ َ ﺣ ﱠﺮ َ ﻋﻨْ ُﻪ َ 13 ﺨﺎ ِرى َ َر َوا ُﻩ اْﻟ ُﺒ......... ﷲ ِ با ِ ﻻ ُﺗ َﻌ ﱢﺬ ُﺑﻮْا ِﺑ َﻌ َﺬا َ :ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻗﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ
Artinya: 11
Hak Asasi Manusia; Metode-Metode Penyiksaan, Lembar Fakta No. 4, Penerjemah: Harkristusi Harkrisnowo, SH, Christianus H. Panjaitan, dan Patricia Rinwigati, SH, TT., TP, h. 6-7 12
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), Cet. V, h.14
13
Al-Imâm al-Hâfiz Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-Asyqalanî, Fathu al-Bârî: bisyarhi sahîhi alBukharî, (Cairo: Dar el-Hadith, 2004), Juz 6, h.169
8
Diceritakan oleh Ali bin Abdillah, diceritakan oleh Sufyan dari Ayyub dari ‘Ikrimah, sesungguhnya Ali r.a. membakar suatu kaum, kemudian Ibn Abbas datang dan berkata: Aku tidak akan membakar mereka karena susungguhnya Nabi SAW, bersabda, "Janganlah. kalian menyiksa dengan siksaan Allah," (HR Bukhari” Dua peristiwa dalam Islam di atas menunjukan bahwa salah satu dasar prinsip hukum dalam Islam adalah menentang adanya kekejaman dan penyiksaan. Manusia sebagai makhluk mulia dan berakal tentu menghendaki adanya sendi kehidupan yang bernilaikan kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang dianugrahkan Allah sebagaimana dalam ayat berikut:
⌧ ⌧
☺
⌧
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” (Q.S. Al-Isra’:70) Berdasarkan ayat tersebut, Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya mengatakan, di antara manifestasi penghormatan ini ialah Allah menciptakan manusia
dengan
“tangan-Nya”
sendiri,
kemudian
meniupkan
roh
dan
memerintahkan malaikat bersujud kepadanya, menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kepentingannya, menjadikan pemimpin di atas planet bumi ini serta menjadikan khalifah untuk memakmurkan dan membuat kebaikan
9
di atas bumi. Demi tercapainya hakekat nyata dari penghormatan ini dan menjadikannya pedoman hidup, Islam menjamin seluruh hak manusia, mewajibkan pemeliharaan hak tersebut, baik menyangkut hak beragama, sipil maupun politik. 14 Penghormatan terhadap manusia juga termasuk hak untuk tidak disiksa dalam situasi apapun.
Dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Bertolak dari norma-norma yang menentang terhadap bentuk penyiksaan dan beberapa kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang tidak dijerat oleh hukum maupun yang dapat dijerat oleh hukum, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah skripsi dengan tema: “Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif”.
14
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah: A. Ali, (Bandung: PT. ALMA”ARIF, 1990), Cet. XIV, Juz, 11, h. 34
10
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH Dalam penulisan skripsi ini ditentukan beberapa batasan masalah, antara lain yaitu: 1. Bahwa penyiksaan di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam hukum positif yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia. Namun dalam penulisan skripsi ini akan dibatasi pada penegakan hukum kasus penyiksaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia dan hukum Islam. 2. Bahwa penyiksaan merupakan istilah bagi tindakan pencederaan yang berlebihan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan cara dan bentuk yang bermacam-macam, namun dalam penulisan skripsi ini hanya tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh penegak hukum dari aparat kepolisian dalam kurun waktu antara tahun 2007 sampai dengan 2008. Adapun pembatasan obyek penelitian akan dibatasai secara khusus di wilayah Jakarta. Namun tidak menutup kemungkinan akan meluas pada kasus-kasus di luar Jakarta karena kasus penyiksan yang dilakukan aparat kepolisian ini
11
jarang terpublikasi. Hal ini memang terbukti kasus-kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian itu ditutup-tutupi oleh pihak kepolisian itu sendiri. 3. Bahwa upaya penegakan hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan penyiksaan kurang maksimal dan bahkan masih sering terabaikan. Sehingga sulit untuk dilakukan perbandingan antara polisi yang melakukan penyiksaan itu dihukum dan yang tidak dihukum. Sedangkan perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum di Indonesia terhadap seorang tersangka atau terdakwa dari tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat polisi ?. 2. Bagaimanakah pemberian sanksi hukuman terhadap aparat polisi yang melakukan penyiksaan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia ?.
C. TUJUAN DAN MANFAAT Melihat dari rumusan masalah pada point sebelumnya, maka tujuan yang disajikan pun tidak akan keluar dari materi yang hendak dipaparkan. Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
12
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum di Indonesia terhadap seorang tersangka atau terdakwa dari tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat polisi; 2. Untuk mengetahui pemberian sanksi hukuman terhadap aparat polisi yang melakukan penyiksaan menurut hukum Islam dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Terkait dengan guna, penulisan ini bermanfaat : 1. Bersifat Teoritis Akademis a. Mengetahui perlindungan hukum di Indonesia terhadap seorang tersangka atau terdakwa dari tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat polisi; b. Untuk mengetahui pemberian sanksi hukuman terhadap aparat polisi yang melakukan penyiksaan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. 2. Bersifat Manfaat Praktis a. Sebagai referensi bagi masyarakat secara umum agar turut berperan serta dalam menegakkan hukum untuk mencegah terjadinya penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
13
b. Untuk memberikan konstribusi dalam khazanah keislaman tentang larangan penyiksaan dalam hukum Islam.
G. METODE PENELITIAN a. Pendekatan Pendekatan dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan penelitian historis, yaitu, membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. 15
b. Jenis Penelitian Penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada, 16 dengan cara pengamatan, wawancara, atau peneleahan dokumen. 17
15
Sumadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), Cet. II,
h.73 16
Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2005), Cet. XXV, h. 5 17 Ibid., h. 9
14
c. Data Penelitian Data-data penelitian atau data-data yang dijadikan sumber materi adalah data-data sekunder yang mencakup dokumen-dokumen resmi, bukubuku dan hasil-hasil penelitian.18 Data-data penelitian tersebut meliputi peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, dan pertauran-peraturan yang terkait dengan penegakan hukum terhadap kasus penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian. Selain undang-undang, data-data yang akan dijadikan sumber penelitian adalah laporan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia, buku-buku, dan tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan kasus penyiksaan.
d. Tekhnik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan datanya dengan menggunakan metode library research yaitu penelitian kepustakaan dan literatur yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
18
Amiruddin, S.H., M.Hum, dan H. Zainal Asikin, S.H., S.U, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), Cet. I, h.30
15
e. Metode Analisis Metode penelitian yang digunakan adalah gaya penulisan formal dengan pemaparan yang deskriptif analitis dan kemudian menarik kesimpulan. Data ditemukan secara induktif dan dikemukakan secara deduktif. 19 f. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 M.
H. REVIEW STUDI TERDAHULU Berdasarkan penelusuran penulis di Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Perpustakaan Utama Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, skripsi dengan judul “Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Berdasarkan Hukum Islam Dan Hukum Positif” atau pun yang hampir bersesuaian tidak ditemukan. Dengan demikian, maka uraian secara spesifik mengenai review studi terdahulu dalam penulisan skripsi ini tidak bisa dilakukan sebagaimana mestinya.
19
Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif … h. 364.
16
I. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I :
Menjelaskan pendahuluan yang memuat bahasan latar belakang masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, sistematika penulisan;
Bab II :
Menjelaskan pengertian penegakan hukum serta penyiksaan dalam hukum Islam dan hukum positif yang membahas tentang kedudukan dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia, pengertian penegakan hukum, pengertian penyiksaan Penyiksaan dalam Tinjauan Hukum Islam dan Penyiksaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia;
Bab III :
Menjelaskan bentuk-bentuk penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian yang membahas tahap penangkapan, tahap pemeriksaan, dan penegakan hukum kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan sub. bahasan, Pertama, penghukuman terhadap aparat kepolisian yang melakukan penyiksaan dan Kedua, Pembiaran Terhadap Aparat Kepolisian Yang Melakukan Penyiksaan;
Bab IV :
Menjelaskan tinjauan yuridis penegakan hukum kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan sub. bahasan, Pertama, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
17
Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Kedua, Berdasarkan Hukum Islam, dan Ketiga, Analisa Tentang Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Yang Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian Berdasarkan Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; Bab V :
Menjelaskan penutup yang menguraikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II PENGERTIAN PENEGAKAN HUKUM SERTA PENYIKSAAN DALAM HUKUM ISLAM & HUKUM POSITIF
Konteks penyiksaan dalam penulisan skripsi ini adalah penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, oleh karenanya sebelum menjelaskan pengertian penyiksaan dalam wacana hukum Islam dan hukum positif, maka penulis akan menguraikan pengertian penegakan hukum serta kedudukan dan wewenang kepolisian Republik Indonesia terlebih dahulu.
A. Kedudukan dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kedudukan mempunyai arti, yaitu; tempat kediaman; tempat pegawai tinggal untuk melakukan pekerjaan atau jabatannya; letak atau tempat suatu benda; tingkatan atau martabat; keadaan yang sebenarnya; dan status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara). 1 Dari keenam makna tersebut, makna keenam yang sesuai dengan konteks pembahasan Kepolisian Republik Indonesia ini, yaitu makna status (tingkatan) lembaga. Jadi yang dimaksud dengan kedudukan Kepolisian Republik Indonesia adalah status lembaga Kepolisian Republik Indonesia.
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, Cet. II, h. 277
18
19
Sedangkan wewenang memiliki tiga arti, yaitu: hak dan kekuasaan untuk bertindak atau kewenangan; kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain; dan fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. 2 Dari ketiga makna ini, yang sesuai dengan konteks pembahasan Kepolisian Republik Indonesia ini adalah makna pertama. Jadi maksud dari wewenang Kepolisian Republik Indonesia adalah hak dan kekuasaan Kepolisian untuk melakukan suatu tindakan. Adapun pengertian kepolisian itu sendiri adalah sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi pengertian kedudukan dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia berdasarkan uraian di atas adalah status atau tingkatan dan kewenangan yang berkaitan dengan fungsi lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kedudukan Kepolisian Republik Indonesia diatur di dalam pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, yaitu: Pasal 8 1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. 2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2
Ibid, h. 1272
20
Sedangkan wewenang Kepolisian Republik Indonesia diatur di dalam pasal 13, 14, 15, dan 16 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka wewenang kepolisian terkait dengan perlindungan terhadap seorang tersangka harus melandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk prinsip hak seorang tersangka untuk tidak disiksa. Pasal 13 menjelaskan mengenai tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yang meliputi: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b) menegakkan hukum; dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pada pasal penjelasan mengenai pasal 13 tersebut dijelaskan bahwa rumusan tugas pokok tersebut bukan meruapakan urutan prioritas, ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Di samping itu, dalam pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Berdasarkan tugas pokok sebagaimana dijelaskan pada pasal 13 di atas, maka diatur pada pasal 14 ayat (1) huruf
(g) bahwa dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana harus sesuai dengan
21
hukum acara pidana dan peraturan perundangan lainnya. 3 Oleh karenanya dalam proses sebuah penyelidikan dan penyidikan, aparat harus dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan dalam menangani sebuah perkara. Hal ini sebagaimana diatur pada pasal 15 ayat (2) huruf (g) bahwa tugas kepolisian adalah memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian. Termasuk juga pengetahuan dan kemampuan penyelidikan dan penyidikan tanpa menggunakan kekerasan atau penyiksaan. Pada pasal 16 ayat (1) dijelaskan secara tegas tugas-tugas kepolisian di bidang pidana khususnya yang berkaitan dengan seorang tersangka atau orang yang diduga melanggar tindak pidana bahwa kepolisian berwenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; dan memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. Namun tindakan ini harus melandaskan pada nilai-nilai HAM sebagaimana diatur pada pasal 16 ayat (2) bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
3
Peraturan perundangan lainnya seperti Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tenatang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menjelaskan tentang seorang tersangka yang harus diperlakukan sebagai orang yang belum bersalah ({resumption of Innocence/ Asas Praduga Tak Bersalah).
22
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.
Dari uraian mengenai kedudukan dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 di atas, maka Kepolisian berada di bawah Presiden. Kepolisian sebagai alat negara harus melaksanakan kekuasaan negara di bidang kepolisian preventif dan represif dalam rangka criminal justice system, dengan tugas utama pemeliharaan keamanan negeri serta menjunjung tinggi prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia.
B. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan secara gramatikal diartikan proses atau cara perbuatan menegakkan. 4 Kata menegakkan secara gramatikal memiliki enam arti, yaitu: mendirikan;
menaruh
tegak
lurus;
menjadikan
(menyebabkan)
tegak;
mengusahakan supaya tetap berdiri, mempertahankan (negara, keadilan, keyakinan), memelihara dan mempertahankan (kemerdekaan, cita-cita, hukum), mewujudkan
atau
melaksanakan
(cita-cita);
memegang
teguh
atau
mempertahankan (pendapat, pendirian); dan mengukuhkan atau memperteguh (hati, semangat, perlawanan). 5
4
Ibid, h. 1155 Ibid, h. 1154
5
23
Dari enam arti di atas, makna menegakkan lebih relevan dengan makna memelihara dan mempertahankan. Jadi penegakan hukum adalah proses pemeliharaan
dan
mempertahankan
hukum.
Proses
pemeliharaan
dan
mempertahankan hukum berarti berbicara mengenai pelaksanaan hukum atau hukum sebagai suatu proses. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hukum dapat berjalan melalui manusia. 6 Adapun penegakan hukum sebagaimana dirumuskan oleh Abdul Kadir Muhamad adalah sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran, memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali. 7 Pengertian itu menunjukkan bahwa penegakan hukum itu terletak pada aktifitas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Aktifitas penegak hukum ini terletak pada upaya yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan norma-norma yuridis. Mewujudkan norma berarti menerapkan aturan yang ada untuk menjerat atau menjaring siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum menjadi kata kunci yang menentukan berhasil tidaknya misi penegakan hukum (law enforcement).
6
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1979), Cet X, h. 70
7
Sunardi, Danny Tanuwijaya, Abdul Wahid, Republik “Kaum Tikus”; Refleksi Ketidakberdayaan Hukum dan Penegakan HAM, (Jakarta: Edsa Mahkota, 2005), Cet.I, h. 15-16
24
Penegakan hukum dapat dilakukan dengan berupa penindakan hukum. Abdul Kadir Muhammad menjelaskan bahwa penindakan hukum dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut: 1. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi (percobaan); 2. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda); 3. Penyisihan atau pengucilan (pemcabutan hak-hak tertentu); 4. Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati). 8 Urutan tersebut lebih menunjukkan pada suatu tuntutan moral-yuridis yang berat terhadap aparat penegak hukum agar dalam menjalankan tugas, kewenangan, dan kewajibannya dilakukan secara maksimal. Kesuksesan law enforcement sangat ditentukan oleh peran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan sistem hukum. Kalau sistem hukum ini gagal dijalankan, maka hukum akan kehilangan dalam sakralitas sosialnya. 9
8
Ibid, h.16-17 Ibid, h.17
9
25
C. Penyiksaan dalam Tinjauan Hukum Islam Penyiksaan adalah proses atau cara perbuatan menyiksa. 10 Pengertian menyiksa adalah menghukum dengan menyengsarakan (menyakiti, menganiaya), berbuat dengan menyengsarakan atau berbuat bengis kepada yang lain dengan menyakiti. 11 Dalam konteks pembahasan skripsi ini, yang dimaksud dengan penyiksaan adalah tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar koridor hukum yang ada. Pasal 36 Piagam Madinah menorehkan sebuah prinsip bagaimana memperlakukan seseorang tersangka atau seorang pelanggar hokum. Pasal tersebut mengajarkan bahwa memberikan penghukuman yang melebihi hukuman yang ditentukan itu harus dilarang. 12 Ketika Rasulullah berpidato di Padang Arafah pada waktu Haji Wada’: ….”Bahwa semua riba sudah tidak berlaku. Tetapi kamu berhak menerima kembali padamu. Janganlah kamu berbuat aniaya terhadap orang lain dan jangan pula kamu teraniaya. ……” 13 Larangan berbuat aniaya dalam khutbah tersebut, secara eksplisit menyatakan bahwa tindakan penyiksaan tidak boleh dilakukan kepada siapa pun,
10
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, Cet. II, h. 1064 11 Ibid, h. 1064-1065 12
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), Cet. V, h.14
13
Eggi Sudjana, S.H., M.Si., HAM Dalam Perspektif Islam: Mencari Uninersalitas HAM bagi Tatanan Modernitas Yang Hakiki, (Jakarta: Nuansa Maadani, 2002), Cet. I, h.159
26
baik dalam relasi horisontal (individu dengan individu) maupun vertikal (penguasa atau aparat penegak hukum dengan invidu). Oleh karena itu, Imam Muhammad Syirazi menegaskan bahwa setiap bentuk penyiksaan merupakan suatu hal yang dilarang, karena Allah tidak pernah memberikan keterangan yang membolehkan tindakan penyiksaan, bahkan terhadap musuh-musuh Allah sekalipun.14 Penyiksaan merupakan bentuk tindakan penghukuman yang berlebihan. Tindakan yang berlebihan ini dilarang oleh Allah sebagaimana dalam firmanNya:
☺ Artinya Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Baqarah : 190)
Pada umumnya, penyiksaan digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengiterogasi seorang tersangka. Bagi Imam Muhammad Syirazi, penyiksaan adalah sebuah fenomena yang tidak islami. Bahwa untuk mencapai pembuktian hukum yang benar tidak perlu menggunakan penyiksaan, tetapi harus dilakukan
14
Imam Muhammad Syirazi, The Rights of Psioners According to Islamic Teachings, Penerjemah: Taufiqurrahman, (Jakarta: Pustaka Zahrah, 2004), Cet. I, h.23-24
27
melalui
investigasi
yang
cermat
dengan
semua
bukti
yang
tersedia,
termasukmelakukan wawancara yang terperinci. 15 Oleh karena itu, pada pasal 20 Deklarasi Kairo Organisasi Konferensi Islam tentang Hak Asasi Manusia Islam menetapkan bahwa: Dilarang menjadikan orang disiksa secara fisik dan psikologis, atau segala bentuk penghinaan, kekejaman, dan penistaan. Dilarang juga menjadikan seorang individu sebagai sasaran percobaan medis atau ilmiah tanpa persetujuannya atau dengan resiko pada kesehatan atau nyawanya. Dilarang pula mengumumkan aturan darurat yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tindakan di atas. 16 Dengan demikian dapat diambil suatu intisari bahwa hukum Islam pada prinsipnya melarang siapa saja agar tidak melakukan penghukuman terhadap seseorang yang diduga pelanggar hukum dengan cara menyiksa atau mengakibatkan derita yang pedih. Terlebih bagi seorang aparat penegak hukum pada era modern saat ini yang sudah dibekali pendidikan dan ketrampilan untuk mencari kebenaran secara profesional. D. Penyiksaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
Terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Indonesia
15
Ibid, h.25
16
Organisasi Konferensi Islam, Deklarasi Kairo Tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, Kairo, 5 Agustus 1990, h. 7
28
telah menandatangani Konvensi Anti Penyiksaan pada 23 Oktober 1985 atau kurang dari setahun setelah Konvensi tersebut ditetapkan pada 10 Desember 1984. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara pertama yang menandatangani Konvensi Anti Penyiksaan. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia juga termasuk negara yang paling cepat menandatanganinya. 17 Cepatnya proses penandatanganan itu ternyata tidak diiringi dengan kesigapan yang serupa untuk urusan ratifikasi isi Konvensi. Indonesia baru meratifikasi Konvensi ini pada 28 September 1998, atau tiga belas tahun setelah proses penandatanganan. Dengan
diratifikasinya
Konvensi
Menentang
Penyiksaan,
selain
memberikan landasan yang kuat untuk menghapuskan segala bentuk penyiksaan di Indonesia, sedikitnya ada lima arti penting dari langkah ratifikasi tersebut: 1. Indonesia mempunyai komitmen yang lebih nyata untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri fenomena penyiksaan; 2. Indonesia harus menyempurnakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) agar sesuai dengan isi Konvensi; 3. Indonesia memberikan legitimasi hukum yang lebih memadai untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan yang melibatkan aparat negara, baik secara langsung maupun tidak langsung; 4. Indonesia menyadari bahwa upaya untuk mengatasi penyiksaan harus dilakukan secara multilateral;
17
Lihat data PBB mengenai Konvensi Anti Penyiksaan, www.unhchr.ch.
29
5. Indonesia mengakui kewenangan Komite Menentang Penyiksaan PBB untuk --sampai tingkat tertentu — menjamin efektifitas setiap upaya untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan. 18 Penyiksaan di dalam Pasal 1 Ayat 1 Konvensi Menentang Penyiksaan didefinisikan sebagai berikut: “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.” Berdasarkan pasal 1 ayat 1 tersebut, diperoleh empat element penting mengenai penyiksaan, yakni:
1) Segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang. Contohnya secara fisik adalah pemukulan terus menerus, acak dan keras; kekerasan terhadap gigi, pencabutan kuku, dan setrum. Adapun secara psikis adalah diancam, dipaksa mengaku, dipermalukan, dan lain sebagainya; 2) Untuk memperoleh pengakuan atau keterangan, menghukum, atau mengancam, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi; 3) Dilakukan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik;
18
Agung Yuda Wiranata, Seri Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara: Konvensi Anti Penyiksaan, (Jakarta: Elsam, 2005), h. 18
30
4) Tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. 19
Mashood A. Baderin menjelaskan bahwa penyiksaan lazimnya dibedakan dari ‘perlakuan dan penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat’ dalam hal maksud, tingkat kehebatan dan kedahsyatan rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan. Jika diamati, istilah ‘penyiksaan’ menyematkan ‘stigma khusus untuk menyegaja perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan penderitaan yang sangat serius dan kejam’. Dipaparkan dalam Tyrer v. UK, mahkamah yang sama berpendapat bahwa kedahsyatan penderitaan membenarkan penggunaan istilah ‘tidak manusiawi’ sebagai lebih tinggi dari pada apa yang mungkin digambarkan sebagai ‘merendahkan martabat’. Tidak manusiawi berhubungan dengan rasa sakit, dan derita, sedangkan merendahkan martabat berhubungan dengan penghinaan. Jadi, terdapat skala yang sudah dipradugakan ‘mengenai kehebatan derita yang dimulai dengan perendahan martabat, berujung pada ketidakmanusiawian dan pada puncaknya sampai pada tingkat penyiksaan. Demikian juga perlakuan kejam dipradugakan berada ‘di antara tata cara tidak manusiawi dan penyiksaan.’ Maka itu, sekalipun suatu tindakan bisa lolos dari katagori penyiksaan, ia tetap bisa dianggap sebagai perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat yang semuanya dilarang oleh kovenan. 19
Gatot, (ed), Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan; Survey Penyiksaan Ditingkat Kepolisian Wilayah Jakarta Tahun 2008, (Jakarta: LBH Jakarta, 2008), h. 67-68
31
Tujuan utama ketentuan itu ialah ‘untuk melindungi martabat sekaligus keutuhan fisik dan mental individu. 20 Jadi penyiksaan merupakan sebuah tindakan yang tidak manusiawi yang berhubungan dengan rasa sakit, dan derita yang harus ditentang karena tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang beradab. Oleh karenanya, dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, mengharuskan negara untuk menahan dan menyelenggarakan proses pengadilan ketika si pelaku yang diduga melakukannya ada dalam wilayah yang termasuk di dalam yurisdiksinya, dan belum menjadi subyek permintaan ekstradisi. 21
20
Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, Trjmh, Penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, (Jakarta: KOMNAS HAM, 2007), Cet. I, h. 76 21 Ibid, h. 284-285
BAB III BENTUK-BENTUK PENYIKSAAN YANG DILAKUKAN APARAT KEPOLISIAN
Penyiksaan merupakan tindakan yang mengakibatkan penderitaan atau rasa sakit yang pedih. Beragam bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada korban atau orang yang diduga melanggar tindak pidana 1 sebenarnya membuktikan ketidakprofesionalan polisi dalam menangani suatu kasus pidana. Nur Kholis 2 mengatakan bahwa kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama tahun 2007 sampai 2008 ini ada 180 kasus. Menurut Nur Kholis, kasus kekerasan aparat keamanan sepanjang tahun 2007-2008 di Indonesia, polisi berada di urutan pertama. Urutan kedua, dilakukan aparat TNI sebanyak 18 kasus. Rinciannya, 4 kasus oleh AL, 12 kasus dilakukan aparat AD, dan 2 kasus dilakukan aparat AU. 3 Ada dua tahap di mana polisi kerap melakukan penyiksaan terhadap orang yang diduga melanggar tindak pidana, yaitu pada tahap penangkapan 4 dan
1
Yang dimaksud dengan korban atau orang yang diduga melanggar tindak pidana dalam konteks penulisan skripsi ini adalah tersangka dan terdakwa. Tersangka adalah seseorang yang disangka sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak. Justru sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tenatang Pokok Kekuasaan Kehakiman, orang demikian wajib dianggap sebagai belum bersalah ({resumption of Innocence/ Asas Praduga Tak Bersalah). Sedangkan terdakwa adalah sesorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Edisi Revisi 2002, (Jakarta: Djambatan, 2002), Cet. 3, h. 13-14 2 Anggota Komisioner di KOMNAS HAM 3 http://www.detiknews.com, Komnas HAM Catat 180 Korban Kekerasan Polisi, Desember 2009 4 Berdasarkan Pasal 1 ayat (20) KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik
32
33
pemeriksaan atau proses pembuatan BAP. 5 Dalam proses penangkapan dan pemeriksaan, seorang polisi harus menghormati hak asasi manusia sebagaimana diatur pada Pasal 16 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, yaitu menghormati hak asasi manusia termasuk hakhak para pelanggar tindak pidana untuk tidak disiksa. Penghormatan ini seharusnya dapat ditunjukkan dalam proses penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dengan berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; 3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan 5. Menghormati hak asasi manusia. Berdasarkan data-data yang ditemukan penulis melalui studi kepustakaan, berikut akan dijelaskan tentang bentuk-bentuk penyiksaan pada tahap penangkapan dan tahap pemeriksaan.
berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 5 Berdasarkan Pasal 75 KUHAP, pemeriksaan adalah proses pemeriksaan terhadap seorang tersangka yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atas kekuatan sumpah jabatan, ditanda tangani pemeriksa dan yang diperiksa.
34
A. Tahap Penangkapan Bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada tahap penangkapan cenderung menggunakan penyiksaan secara fisik, misalnya dengan tindakan pemaksaan secara semena-mena dan menembak, bahkan cenderung tidak mentaati asas hukum yaitu tanpa membawa surat penangkapan. Penyiksaan ini dapat digambarkan dalam beberapa kasus berikut ini; Pada bulan Nopember 2008, polisi menembak mati Kusrin yang dilaporkan tertangkap basah mencuri kayu di Blora Jawa Tengah, bersama 29 orang lainnya. Petugas polisi dilaporkan memberi tembakan peringatan, tapi sebutir peluru meleset dan mengenai Kusrin. Setelah tiga malam di rumah sakit, Kusrin meninggal. Sebuah penyidikan polisi dilakukan untuk memeriksa insiden tersebut. Dalam berita disebutkan bahwa Kusrin tidak melakukan perlawanan selama proses penangkapannya, tetapi entah kenapa polisi harus mengeluarkan tembakan peringatan yang akhirnya dilaporkan meleset dan mengakhiri hidup Kusrin. 6 Selanjutnya adalah kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sektor Cengkareng Jakarta Barat terhadap 5 (lima) orang yang diduga merampok nasabah Bank pada 9 Januari 2007. Lima korban penyiksaan tersebut adalah Nurhadi meninggal dunia, 4 temannya babak belur, gigi rontok, wajah lebam dan kuku-kuku jari dicabuti. Menurut Marbun, Kanit Reskrim Polsek Cengkareng, Nurhadi meninggal setelah ditembak karena berusaha melarikan diri. 6
Kompas, ”Pantat Tertembak Polhut, Kusrin Tewas”, 5 Nopember 2008
35
Keluarga melihat Nurhadi di Rumah Sakit dalam kondisi berlumuran lumpur, kepala penuh darah, kaki kanan patah, dan bekas lubang tembakan di paha kanan. Padahal terdapat alibi kuat bahwa Nurhadi dan teman-temannya pada saat terjadi perampokan tidak berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Karena Nurhadi sedang tidur di rumah, 3 temannya bermain bola, 1 temannya lagi sedang membantu orang tuanya mengangkut air. 7 Ketiga adalah kasus pengroyokan yang dilakukan oleh aparat kepolisian Medan terhadap Suherman yang diduga melakukan perampokan dengan menggunakan senjata api. Juliana Tanjung (Istri Korban) menceritakan sebagai berikut: “Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 11 April 2007sekitar pukul 04.00 WIB, sebanyak 30-an orang berpakaian polisi dan berpakaian preman lengkap dengan senjata mendatangi rumah korban. Mendengar suara ributribut Saya membuka pintu, tiba-tiba sejumlah polisi masuk ke dalam rumah dan menangkap Suherman yang saat itu sedang tidur. Tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan, surat penggeledahan dan surat penyitaan, polisi langsung memboyong Suherman dengan tangan diborgol dan kaki dirantai. Lalu polisi lainnya mengobrak abrik kamar korban untuk mencari barang bukti. Tiba-tiba ada sepucuk senapan api (senpi) di atas brankas. Menurut Saya senpi itu sengaja diletakkan polisi, karena suaminya tidak pernah memiliki senpi. Dalam penggeledahan di dalam kamar pasangan suami istri tersebut, polisi mengambil uang Rp.125 juta dari brankas, Rp. 4 juta dari dompet Suherman, Rp. 5 juta uang belanja dari dompet Saya, bahkan 2 celengan plastik berbentuk binatang berjumlah Rp. 5 juta serta perhiasan emas 500 gram ikut diambil polisi. Selain itu 4 unit sepeda motor, 1 unit mobil Toyota Avanza, 3 lembar sertifikat tanah dan 1 lembar BPKB, ATM dan paspor ikut dibawa”. “Horeee…, kita berhasil, kita jadi kaya,” ucap Juli menirukan teriakan sejumlah oknum polisi setelah berhasil mengambil uang dan perhiasan keluarga Suherman. Setelah petugas menggeledah dan menyita harta benda dari rumahnya, ia bersama dua anaknya serta keluarganya yang lain 7
Tempo edisi 26 Februari-4 Maret 2007
36
mendatangi Poltabes MS sekitar pukul 06.00 WIB, dan langsung menjalani pemeriksaan oleh anggota polisi. Tidak lama kemudian ia mendapat kabar bahwa suaminya telah meninggal dunia dengan luka tembak di bagian dada, bagian pusar, pangkal paha. Sekira pukul 18.00 WIB usai menjalani pemeriksaan, ia bersama keluarga mendatangi RS Bhayangkara Medan dan melihat jenasah suaminya dengan luka 5 tembakan di tubuh. Mengetahui kedatangan mereka di RS Bhayangkara Medan, salah seorang petugas kepolisian memberikan amplop berisi uang Rp 500.000 kepadanya dan mengatakan uang itu sebagai uang belasungkawa pihak kepolisian, karena pihak kepolisian telah menghabisi nyawa suaminya (Suherman). Pukul 20.30 WIB jasad alm Suherman mereka kebumikan di pekuburan muslim Jalan Bersama Mandala By Pass Medan. Lebih lanjut Juliana mengatakan, tuduhan polisi menyebutkan suaminya perampok bersenpi di Medan adalah tidak benar, karena sejak ia berumah tangga dengan suaminya, mereka sama-sama bekerja berdagang dan kemudian suaminya membuka usaha jual beli sepeda motor serta meminjamkan uang kepada tetangga. “Kalau benar suamiku perampok, mengapa saat ditangkap Poltabes MS beberapa waktu lalu dalam kasus perkelahian tidak diusut dan ditahan? Kok malah ditangguhkan tapi seminggu kemudian suaminya dituduh sebagai perampok bersenpi dan ditembak mati tanpa lebih dahulu diproses”, sesalnya. 8 Keempat kasus Tuan Marsudi yang ditangkap dengan cara ditodongkan pistol. Marsudi Tri Wijaya (32) warga Jalan batang Kuis, Desa Rotan Dusun II Percut Seituan Sumatra Utara dijemput polisi pukul 05.00 WIB. Menurut Jaya, abang
korban,
polisi
memiting
Marsudi
dengan
acungan
pistol
lalu
memasukkannya ke dalam mobil. Rusmini (28), istri korban tidak diperkenankan menyongsong suaminya saat digiring polisi. Jaya sendiri yang rumahnya berjarak beberapa meter dari rumah adiknya terbangun mendengar suara ribut-ribut. Ketika keluar rumah, adiknya sudah dibawa, yang tinggal beberapa orang polisi
8
http://hariansib.com/?p=5097, Suara Indonesia Bersatu, “LBH Medan Surati Kapolri Sampaikan Permohonan: Mabes Polri Diminta Ambil Alih”, 27 Juni 2007
37
yang menggerebek isi rumah. Penjemputan Marsudi tersebut kata Jaya tanpa surat penangkapan resmi. Warga setempat yang menanyakan kejadian tersebut dihardik polisi untuk tidak ikut campur. Sampai Marsudi tewas ditembak, polisi tidak memberitahukan kepada pihak keluarga, mereka tahu setelah menonton tayangan televisi lokal. Ironisnya, empat hari kemudian setelah Marsudi dimakamkan, barulah surat penangkapan dikirim polisi, itupun melalui kepala Desa lalu diantarkan Kepling ke rumah korban. Saat mengurus otopsi jenazah, Jaya seperti “dipimpong” pihak Poltabes. Jaya juga nyaris terjebak saat mengurus, pada salah satu poin disebutkan keluarga tidak keberatan kalau jenazah tidak diotopsi. “Untung saja saya membacanya, lalu saya menulis kembali surat permohonan otopsi dengan tulis tangan,” ucap Jaya. 9 Sebenarnya, kekuasaan untuk menggunakan kekuatan yang diberikan kepada para polisi dibatasi oleh hukum dan standar HAM Internasional yang relevan, yang dasarnya adalah hak untuk hidup. Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menetapkan bahwa ”Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang manusia pun bisa dirampas kehidupannya secara sewenang-wenang”. Pada pasal 4 ICCPR, negara-negara tidak bisa memperlunak kewajiban mereka menuntut ketetapan ini, sekalipun ”dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa.” Dan bahwa hak untuk hidup ditetapkan dalam perundang-undangan nasional. 10
9
Ibid Misalnya dalam Pasal 4, 9, 33 ayat (2) dan Pasal 35 UU No. 39/1999 Tentang HAM
10
38
B. Tahap Pemeriksaan Penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ternyata tidak sekedar bersifat fisik, melainkan juga ada yang bersifat psikis. Penyiksaan yang bersifat psikis ini sebagaimana terjadi pada tahap pemeriksaan yang dialami oleh Budi Hardjono di Pondok Gede Bekasi. Peristiwa ini terjadi di Jl. Raya Hankam, Pondok Gede, Bekasi, 17 Desember 2002 dimana Budi Hardjono dituduh membunuh ayah kandungnya bernama Ali Harta Winata. Budi Hardjono dalam pemeriksaan mengaku disiksa oleh penyidik untuk mengakui pembunuhan terhadap ayah kandungnya. Meskipun dalam persidangan tidak terbukti telah melakukan tindak pidana, namun pihak kepolisisan tidak merehabilitasi nama baik Budi Hardjono. Sebelum Budi Hardjono diperiksa, ibunya yang bernama Eni diperiksa di Polres Metro Bekasi. Pada saat itu kondisi fisiknya sakit karena mengalami lukaluka diwajahnya akibat pukulan kayu balok. Selama diperiksa, tiga hari dua malam Ibu Eni harus tidur di ubin tanpa selimut di dalam ruang sempit. Dalam proses pemeriksaan Ibu Eni dipaksa mengatakan bahwa Budi lah yang membunuh ayahnya sendiri. Penyidik pun mengancam akan membunuh Budi Hardjono bila tidak diakui dengan pernyataan sebagai berikut: “Kalau tidak mau, biar anak ibu saya matiin”, tutur ibu Eni menirukan ucapan oknum penyidik. Hingga akhirnya Ibu Eni menyerah, “Terserah mau tulis apa yang penting anak saya tidak kenapakenapa”, tuturnya.
39
Saksi lain pun diperiksa di bawah ancama todongan senjata api. Ningsih dipaksa mengaku bahwa ia melihat Budi menyeret ayahnya ke kamar mandi pada saat malam kejadian. Pengakuan di kepolisian kemudian disangkal di pengadilan karena merasa memberikan keterangan di bawah tekanan dan tidak sebenarnya terjadi. Nasib Budi sebagai tersangka jauh lebih buruk di banding kedua saksi tersebut di atas. Budi mengalami penyiksaan fisik dan mental selama dalam penahanan Polres Bekasi. Budi pun dipaksa mengakui dan mengiyakan semua cerita versi penyidik, demi menjaga keselamatan ibunya yang diancam akan dibunuh oleh penyidik apabila budi menyangkal karangan cerita versi polisi. Pihak Kepolisian Polda Metro Jaya megatakan telah membentuk tim untuk melihat kembali proses pemeriksaan atas Budi Hardjono, mulai dari tingkat penyelidikan sampai ke pemberkasan. Tim tersebut beranggotakan Direktorat Reserse Kriminal Umum, bidang hukum, serta bidang profesi dan bidang pengamanan. Hingga sekarang tidak diketahui secara jelas langkah-langkah dari penyelesaian penyiksaan terhadap kasus Budi Hardjono, para pihak yang bertanggungjawab atas peristiwa tersebut seperti mantan Kepala Polres Bekasi Komisaris Besar Bahtiar Tambunan justru masih menjabat Kepala Unit I/Tanah dan Bangunan Direktorat Tindak Pidana tertentu di Bareskrim Mabes Polri.
40
Dari uraian peristiwa dan bentuk-bentuk kekerasan di atas, kecenderungan penggunaan pengakuan tersangka sebagai alat bukti oleh penyidik kepolisian. 11 Kasus penyiksaan terhadap Budi Hardjono di atas dapat dikatakan sebagai bentuk penyiksaan secara psikis atau kekerasan non fisik berupa diancam, dipaksa mengaku dan disuruh-suruh. Selanjutnya kasus Teguh Uripno yang ditangkap pada 20 April 2007, kemudian disiksa sampai meninggal dunia. Hal ini terlihat dari retorika polisi yang menolak keluarga Teguh Uripno ketika hendak menjenguknya. Sebagai mana diberitakan oleh media, menyusul penangkapan terhadap Teguh Uripno sekitar pukul 11.00 WIB, keluarganya segera menuju Kepolisian Sektor Serpong. Ketika mereka meminta bertemu dengan Teguh Uripno, petugas Kepolisian tidak memperbolehkan mereka untuk saling bertemu. Keesokan harinya, pada tanggal 21 April 2007, keluarga Uripno kembali lagi, tetapi sekali lagi petugas kepolisian mencegah mereka untuk bertemu dia, tanpa memberikan penjelasan yang berarti. Sekitar pukul 15.30 WIB, perwakilan kepolisian mendatangi kediaman keluarga korban dan memberitahukan bahwa Teguh Uripno telah meninggal dunia ketika sedang dibawa ke rumah sakit. Saat di rumah sakit, pihak keluarga meminta untuk melihat jenazahnya dan menemukan sejumlah bekas luka pukul dan memar. Berdasarkan rekam jejak media, lengan korban telah patah dan tengkoraknya mengalami keretakan. Penyebab kematian adalah pemukulan benda tumpul pada bagian tengkorak. 11
Berita LBH Jakarta, edisi Nomor 15/Juli-september/2007, h.13
41
Dilaporkan bahwa dua petugas Kepolisan bernama Brigadir Satu Polisi Syarifudin dan Brigadir Polisi Arifin melakukan pemukulan sehingga menimbulkan luka serius terhadap korban ketika dia sedang berada dalam tahanan. Tujuh Polisi lainnya yang namanya masih dirahasiakan, dituduh atas kejahatan serupa karena mendiamkan terjadinya peristiwa tersebut. Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Resort Tangerang menyatakan bahwa mereka telah memulai penyidikan, namun hingga sejauh ini perkembangannya masih belum memuaskan. 12 Kasus selanjutnya terjadi di luar Jakarta, tepatnya yaitu di Solo Jawa Tengah. Peristiwa ini terjadi pada 20 November 2006 dengan korban Roni Ronaldo alias Gendon, sedangkan pelaku penyiksanya adalah Brigadir Didik Setyawan yang dibantu oleh Aiptu M. Trikogani, Briptu Supriyanto, Brigadir Aan Yuantoro Briptu Sudalmi dan Bripda Kristian Fery. Didik Setyawan diadili di Pengadilan Negeri Klas I Surakarta dan diputus bersalah pada 14 Mei 2007. Bentuk penyiksaan yang dialami oleh Roni Ronaldo adalah penyiksaan bersifat fisik berupa pemukulan dengan menggunakan benda-benda keras seperti tongkat. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Klas. 1 Surakarta dengan Nomor : 77/Pid.B/2007/PN.Ska; “Bahwa pada hari Senin tanggal 20 November 2006 sekitar pukul 15.00 WIB, terdakwa Didik Setyawan menelepon Brigadir Aan Yuantoro untuk membantu terdakwa Didi Setyawan yang telah berhasil menangkap Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon di jalan raya daerah Kp. Ketelan Kec. Banjarsari Surakarta, lalu Brigadir Aan Yuantoro mengajak teman-temannya yang bernama Aiptu M. 12
http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=10758
42
Trikogani, Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto menemui terdakwa Didik Setyawan. Briptu Sudalmi bersama dengan Aiptu M. Trikogani, dan Briptu Supriyanto pergi menggunakan mobil Suzuki Carry Futura warna ungu No. Pol. AD 8937 NU (milik Polsektabes Banjarsari), kemudian setelah sampai di tempat tertangkapnya Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon tersebut, Briptu Sudalmi bersama Aiptu M. Trikogani dan Briptu Supriyanto menaikkan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon ke dalam mobil dan di bawa ke Polsektabes Banjarsari di mana pada saat ini yang mengemudikan mobil adalah Aiptu M. Trikogani, untuk Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto mendampingi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon di tempat duduk belakang, sedangkan Brigadir Aan Yuantoro mengendarai sepeda motor milik Roni Ronaldo dan terdakwa Didik Setyawan mengendarai sepeda motornya sendiri”. “Bahwa sesampainya di Polsektabes Banjarsari, Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dibawa masuk ke ruang Opsnal oleh Briptu Sudalmi untuk diinterogasi berkaitan dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, tidak lama kemudian terdakwa Didik Setyawan dan brigadir Aan Yuantoro masuk ke ruang Opsnal, selanjutnya terdakwa Didik Setaywan didampingi Brigadir Aan Yuantoro melakukan interogasi terhadap Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, sedangkan Briptu Sudalmi duduk di samping sebelah kiri Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sambil memperhatikan proses interogasi tersebut, pada saat diinterogasi oleh terdakwa Didik Setyawan, Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berbelit-belit, lalu terdakwa Didik Setyawan memukul jari tangan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan penggaris stainless sebanyak 1 (satu) kali, baru Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon mau memberikan keterangan perbuatan pidana yang ia lakukan, karena melihat Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berbelit-belit dalam memberikan keterangan, akhirnya Briptu Sudalmi ikut memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan tangan kosong mengepal yang mengenai bagian pipi sebelah kiri sebanyak 2 (dua) kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah pengakuan atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan. Setelah Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon mau memberikan keterangan, tidak lama kemudian Aiptu M. Trikogani masuk ke ruangan Opsnal untuk membantu menginterogasi, lalu Briptu Sudalmi dan Brigadir Aan Yuantoro keluar ruangan. Bahwa selama Aiptu M. Trikogani berada dalam ruangan membantu terdakwa menginterogasi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, Briptu Sudalmi tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Aiptu M. Trikogani, karena kesal terhadap Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon yang berbeli-belit memberikan keterangan, maka Aiptu M. Trikogani mengambil sebatang rotan sepanjang 1 (satu) meter berwarna hitam yang ada di ruangan tersebut, kemudian memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan rotan tersebut mengenai tubuh Roni Ronaldo bagian tangan kiri dan paha kiri masing-masing sebanyak 1 (satu) kali, sehingga dengan pemukulan tersebut, Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah satu pengakuan lagi tindak pidana yang dilakukannya dan ditulis
43
dalam berita acara oleh terdakwa Didik Setyawan, selanjutnya Aiptu M. Trikogani melemparkan rotan tersebut di lantai dan keluar ruangan, selang beberapa saat masuklah Brigadir Aan Yuantoro untuk membantu interogasi dan karena Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berbelit-belit, Brigadir Aan Yuantoro merasa jengkel lalu mengambil sebatang rotan sepanjang 1 meter berwarna hitam yang digunakan oleh Aiptu M. Trikogani tadi di ruangan tersebut kemudian memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon mengenai tangan kanan dan kiri, paha kanan dan kiri, masing-masing sebanyak 1 kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah pengakuan lagi tindak pidana yang ia lakukan dan ditulis lagi dalam berita acara oleh terdakwa. Kemudian karena merasa haus, Brigadir Aan Yuantoro keluar ruangan untuk mencari minum setelah meletakkan rotan tersebut di lantai, tak lama kemudian masuklah Briptu Supriyanto ke ruangan Opsnal lalu membantu menginterogasi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon agar mengakui terus terang semua tindak pidana yang telah ia lakukan namun masih saja Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berbelit-belit dalam memberikan keterangan, sehingga Briptu Supriyanto merasa jengkel lalu menyuruh Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berdiri, kemudian Briptu Supriyanto menampar Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sebanyak 1 kali dari arah kanan dengan menggunakan tangan kanan sehingga mengenai pipi kanan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, setelah itu Briptu Supriyanto mengambil rotan yang berada di lantai dan memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sebanyak 2 kali dengan menggunakan rotan tersebut mengenai tangan kanan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, seketika itu Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berusaha menangkis sehingga posisi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berdiri dan berjongkok, selanjutnya Briptu Supriyanto memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan rotan tersebut mengenai paha kanan dan kiri sebanyak masing-masing 1 kali, kemudian pukulan berikutnya mengenai mata kaki kanan dan kiri Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sebanyak masing-masing 1 kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah pengakuan lagi tindak pidana yang ia lakukan dan ditulis lagi dalam berita acara pemeriksaan oleh terdakwa Didik Setyawan, tak lama kemudian masuklah Bripda Kristian Fery dengan maksud untuk membantu menginterogasi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, sedangkan Briptu Supriyanto meletakkan rotan ke lantai dan keluar ruangan karena sudag merasa cukup dalam membantu interogasi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, pada saat itu Bripda Kristian Fery ikut menanyakan beberapa hal kepada Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, kaena merasa kesal, Bripda Kristian Fery menyuruh Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berdiri lalu tiba-tiba mendorong lengan sebelah kiri Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan kedua lengannya sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon terjatuh ke arah depan dan sempat dadanya membentur bibir meja temoat terdakwa Didik Setyawan menulis berita acara pemeriksaan lalu terjatuh ke lantai dengan posisi terlentang, kemudian Bripda Kristian Fery menyuruh Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon
44
bangun lalu menampar mata kanan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan tangan kanannya sebanyak 2 kali, setelah itu mengambil rotan warna hitam yang ada di lantai dan memukulkan ke arah lengan tangan, punggung, pinggang, paha dan pergelangan tangan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sebanyak masingmasing 1 kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah pengakuan atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan dan ditulis lagi pengakuan tersebut dalam berita acara oleh terdakwa, kemudian Bripda Kristian Fery meletakkan kembali rotan tersebut di lantai dan meninggalkan ruangan Opsnal. 13
Pihak keluarga Roni Ronaldo tidak mau diajak damai oleh pihak Kepolisian, maka pada tanggal 12 Desember 2006, Didik Setyawan akhirnya dapat ditahan oleh pihak Kepolisian Banjarsari Surakarta sampai dengan 31 Desember 2007 untuk dilakukan pemeriksaan. Kemudian dilakukan perpanjangan penahanan pada 1 Januari 2007 hingga 9 Februari 2007. Pada tanggal 9 Februari 2007, berkas perkara Didik Setyawan dilimpahkan ke Penuntut Umum. Kemudian pada tanggal 22 Februari 2007, berkas dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Klas I Surakarta. 14 Didik Setyawan dijerat menggunakan pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan dan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan yang mengakibatkan mati dilakukan secara bersama-sama”. Didik Setyawan dihukum selama 1 tahun 6 bulan. 15 Kasus Didik Setyawan di atas merupakan potret buram penegakan hukum kasus penyiksaan di Indonesia. Secara normatif, penghukuman terhadap Didik
13
Putusan Pengadilan Negeri Klas. 1 Surakarta dengan Nomor : 77/Pid.B/2007/PN. Ska,
h. 2-4 14
Ibid, ... h. 1 Ibid, ... h. 50-51
15
45
Setyawan memang sudah terlihat memenuhi unsur-unsur penegakan hukumnya, namun jika dibandingkan dengan rasa keadilan di masyarakat, maka tentu pemenuhan unsur normatif tersebut masih jauh dari rasa keadilan korban. Rasa keadilan korban ini ditunjukkan oleh orang tua Roni Ronaldo yaitu Rahyono yang mengatakan, "Saya jelas-jelas tidak bisa menerima vonis hakim yang diputuskan ini. Karena hanya berkisar satu sampai dua tahun saja. Bayangkan saja, ini adalah kasus pembunuhan, menghilangkan nyawa orang lain." 16 Kasus Didik Setyawan ini memberikan bukti betapa tidak sempurnanya legislasi Indonesia mengenai penyiksaan. Bahkan, kenyataannya penyiksaan masih bukan merupakan pelanggaran HAM. Jika seorang warga biasa melakukan penganiayaan terhadap seseorang hingga menyebabkan mati, maka tentu dia dapat didakwa atas pembunuhan berencana dan ancaman pidananya bisa seberat hukuman mati, penjara seumur hidup atau lima belas tahun penjara. Namun, ketika kejahatan yang sama dilakukan oleh aparat negara, pengadilan akan menjatuhkan hukuman yang ringan. Pertanyaan yang muncul dalam benak orang biasa adalah atas dasar apa pembunuhan terhadap seseorang oleh petugas berseragam berbeda dengan yang dilakukan oleh warga biasa?. Sebisa mungkin petugas penegak hukum harus menerapkan cara-cara tanpa kekerasan sebelum menggunakan kekuatan dan senjata api yang hanya bisa
16
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2865 &Itemid=36
46
mereka gunakan jika cara lain tidak efektif. Mereka tidak boleh menggunakan senjata api terhadap orang kecuali untuk membela diri sendiri atau orang lainnya dari ancaman kematian atau luka berat segera, untuk mencegah dilakukannya tindak kejahatan serius yang melibatkan ancaman gawat terhadap nyawa, untuk mmenangkap atau mencegah kaburnya orang yang menghadirkan bahaya semacam itu dan melawan wewenang polisi, dan hanya jika cara-cara yang tidak eksriem tidak mencukupi untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Dalam peristiwa apapun, penggunaan mematikan senjata api secara sengaja hanya bisa dilakukan jika benar-benar tak terhindarkan gna melindungi nyawa. Penggunaan kekuatan dan senjata api sewenang-wenang atau penyalahgunaannya oleh petugas penegak hukum dikenal hukuman sebagai pelanggaran pidana menurut hukum nasional. M.A. Kuffal mengungkapkan bahwa berbagai kalangan dalam masyarakat merasa sangat prihatin apabila dalam era berlakunya hukum acara pidana nasional yang bernafaskan perlindungan terhadap HAM sebagaimana diatur dalam KUHAP tetapi masih saja berlangsung tindak kekerasan dalam proses penanganan perkara pidana terutama pada tahap pemeriksaan penyidikan. Menurut Yahya Harahap bahwa KUHAP telah menggariskan aturan-aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri manusia, pengakuan yang tegas akan hak asasi yang melekat pada dirinya dan merupakan jaminan yang menghindarkan mereka dari tindakan sewenang-wenang. 17
17
Sunardi dkk, Republik “Kaum Tikus”; Refleksi Ketidakberdayaan Hukum dan Penegakan HAM, (Jakarta: Edsa Mahkota, 2005), hal. 55-57
BAB IV TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM KASUS PENYIKSAAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT KEPOLISIAN A. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
Kovenan Anti Penyiksaan yang diratifikasi pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, sebenarnya dilatarbelakangi oleh reaksi terhadap praktek “metode zaman pertengahan” oleh Stalin yang bermuara pada pelarangan penyiksaan sebagaimana tertuang dalam pasal 5 DUHAM, yang diikuti oleh aturan melarang penyiksaan atau hukuman di luar batas kemanusiaan lain yang terdapat dalam setiap perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia maupun dalam UUD berbagai negara dan Bills of Rights. Pasca penggulingan brutal atas pemerintahan demokratis Dr. Allende di Cile, yang disertai tindakan penyiksaan luas terhadap para pendukungnya oleh junta militer Pinochet, maka Sidang Umum PBB tergugah melakukan apapun agar jaminan pelarangan
47
48
tindakan penyiksaan tersebut berlaku efektif. Langkah pertama adalah mengkristalisasikan norma-norma itu dalam aturan hukum Internasional. 1 Proses perumusan kovenan ini dimulai pada 1975, yang mewajibkan negara-negara di bawah Piagam PBB mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah penyiksaan dan menyediakan ganti rugi bagi korban-korbannya. Deklarasi Anti Penyiksaan menegaskan bahwa tidak ada pengecualian, baik pada masa perang, instabilitas atau situasi darurat publik, yang dapat membenarkan penyiksaan. Sampai pada tahun 1984, pasca Steve Biko tewas, Sidang PBB terdorong membuat dan menerima Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang mewajibkan negara-negara pihak untuk menghukum penyiksaan yang dilakukan dalam wilayah mereka. Konvensi inijuga mewajibkan negara untuk menahan danmenyelenggarakan proses pengadilan ketika si pelaku diduga melakukannya ada dalam wilayah yang termasuk di dalam yurisdiksinya. 2 Berdasarkan standar internasional tersebut, maka penyiksaan adalah kejahatan berat, dan kenyataannya bahwa tindakan seperti itu dilakukan oleh aparat yang mewakili pemerintah sangatlah tidak dapat diterima dan merupakan kebiadaban moral yang serius. Tingginya derajat yang melekat pada kejahatan itu berasal dari penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintahan untuk menekan tersangka, yang seharusnya dianggap tidak bersalah hingga dinyatakan bersalah 1
Geoffrey Robertson, Crime Againts Humanity: The Struggle For Global Justice, Terjemahan, (Jakarta: KOMNAS HAM, 2002), h. 284 2 Ibid, ... h. 284-285
49
oleh pengadilan. Dalam sebuah negara yang menghormati aturan hukum, penghukuman seharusnya didasarkan pada hukum yang telah disepakati, setelah melalui proses peradilan yang adil dan tidak sebaliknya. Jika pemerintah memperbolehkan aparatnya untuk menegakkan hukum menurut mereka sendiri dan menyakiti masyarakat, kemudian apa kegunaan memiliki sistem peradilan dimana seorang tersangka dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah? Berdasarkan temuan LBH Jakarta terkait dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian sebenarnya telah berkesesuaian atau telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang berbunyi; “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”
50
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diperoleh 4 (empat) elemen penting mengenai penyiksaan, yakni: 1) Segala
perbuatan
yang
dilakukan
dengan
sengaja
sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang. Contohnya secara fisik adalah pemukulan terus menerus, acak dan keras; kekerasan terhadap gigi, pencabutan kuku, setrum, dan lain sebagainya. Dan secara psikis adalah diancam, dipaksa mengaku, dipermalukan, dan lain sebagainya; 2) Untuk memperoleh pengakuan atau keterangan, menghukum, atau mengancam, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi; 3) Dilakukan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik; 4) Tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Dalam ketentuan peralihan pasal 43 huruf (b) dan (c) UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia dijelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer dan belum mendapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan peradilan militer. Tindak
51
pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum. Pasal ini memberikan pemahaman bahwa menghukum para polisi yang melakukan penyiksaan adalah dengan menggunakan mekanisme pengadilan militer dan peradilan umum. Namun kelemahan pengadilan militer adalah dari aspek karakteristiknya yang mengggunakan ankum (atasan yang berhak menghukum) dan Pepera (perwira penyerah perkara). Walau dalam pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1997, Ankum termasuk penyidik, tetapi bila melihat aturan-aturan berikutnya maka terlihat Ankum lebih menjalankan fungsi koordinatif dalam penyidikan. Pasal 72 ayat (2) menyebutkan bila “...penyidik polisi militer dan oditur militer setelah melakukan penyidikan harus menyerahkan berkas perkaranya kepada ankum selain kepada Pepera dan oditur sebagai penuntut. Kemudian pada pasal 71 ayat (2) menyatakan penyidik polisi militer dan oditur dalam hal penahanan bersifat menjalankan perintah ankum dan hasil penyidikan dilaporkan kepada ankum. Bila penyidikan telah selesai, bukan berarti perkara langsung dapat dilimpahkan ke pengadilan. Di sinilah peran Pepera berada. Penentuan apakah suatu perkara diserahkan
ke pengadilan untuk diadili, diselesaikan menurut
hukum disiplin prajurit atau ditutup demi kepentingan hukum/umum/militer ada
52
di tangan Pepera. Pepera adalah Panglima, Kepala Staf TNI-Kapolri dan yang ditunjuk komandan atau kepala kesdatuan dengan syarat Komandan Korem. Dalam pengadilan militer ini, tidak saja penyidik yang berasal dari kalangan militer tetapi juga penuntut umum dengan nama oditur. Ketentuan ini menunjukkan semangat ke-korps-an yang sangat tinggi. Munculnya semangat ini bisa dilacak dari tugas militer di bidang keamanan dan pertahanan negara yang dianggap sangat penting hingga “adanya kesatuan yang betul-betul utuh merupakan hal yang mutlak. Bahkan dikatakan angkatan perang itu merupakan suatu kesatuan yang organis. Hal ini menjadi suatu kendala bagi korban yang ingin membawa pelaku ke pengadilan. 3 Kemudian kelemahan dari peradilan umum yang menggunakan Kitab Undang-Undang Acara Pidana adalah kesulitan untuk menerapkan pembuktian adanya praktek penyiksaan yang dilakukan polisi sebagaimana diatur pada pasal 184 KUHAP yang menyatakan bukti yang sah adalah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa
3
Gatot, (ed), Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan;.. h. 110
53
Selanjutnya pasal 185 ayat (1) KUHAP mensyaratkan bila keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan pengadilan; pada ayat (2) keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dan pada ayat (3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang salah lainnya. Ketentuan masalah pembuktian menimbulkan permasalahannya tersendiri dalam kasus penyiksaan yang diupayakan penyelesaian hukumnya. Kekhususan peristiwa penyiksaan yang biasa terjadi saat interogasi menyebabkan kesulitan akan adanya saksi. Kalau pun saksi bersedia, tetapi membuat saksi tersebut mau untuk bersaksi dipersidangan merupakan masalah berikutnya. 4 Selain saksi, visum yang dapat menjadi bukti sebagai alat bukti surat relatif sulit didapatkan karena akses terhadap korban ditutup. Dan kesempatan untuk mengetahui detail penyiksaan yang dialami adalah di tahanan kepolisian yang berarti bekas-bekas penyiksaan nyaris sudah tidak nampak. Mekanisme melalui peradilan umum di atas sebenarnya menunjukkan tidak adanya ketegasan dari pihak pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Anti kelemahan sistem dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Pada pasal 5 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau 4
Ibid, ... h. 109
54
Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia, menyatakan “Konvensi ini tidak mengenyampingkan kewenangan hukum pidana apapun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional.” Berkaitan dengan kasus-kasus tindak kekerasan dalam tahap penyidikan, aparat penegak hukum dari penyidik Polri adalah salah satu pihak yang dituntut pertanggungjawaban secara moral yuridis. Implementasi Hukum Acara Pidana yang dinilai tidak atau belum memenuhi ide awal sebagai karya agung bangsa Indonesia dapat dikaitkan dengan tugas penyidik Polri yang kurang profesional, bertentangan dengan kode etik profesi dan norma-norma hukum yang berlaku. Dengan kondisi tugas Polri yang masih rawan terhadap pelanggaran moral Yuridis ini maka akibatnya dalam tugas-tugasnya ini, Polri dikategorikan sebagai pihak penegak (pelindung) HAM yang melakukan pelanggaran HAM. Penegakan hukum kasus penyiksaan oleh aparat kepolisian jika dinilai dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, maka ada 2 (dua) penilaian, yaitu; 1.
Penghukuman bagi aparat kepolisian yang melakukan penyiksaan jika sudah diproses melalui hukum nasional (dalam hal ini KUHP dan KUHAP), maka penegakan hukum dalam kasus penyiksaan dianggap telah memenuhi unsur penghukuman. Hal ini didasarkan pada pasal 5 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan
55
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang menyatakan, “Konvensi ini tidak mengenyampingkan kewenangan hukum pidana apapun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional.” Secara normatif, ketentuan seperti ini benar, namun secara nilai keadilan bagi korban, belum tentu benar, sebagaimana dicontohkan dalam kasus Roni Ronaldo. 2.
Segala proses hukum –bukti-bukti hukum – yang berangkat dari praktek penyiksaan dianggap illegal sebagaimana dijelaskan secara khusus pada KAP pada pasal 15 yang berbunyi: “Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah dibuat sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan harus tidak digunakan sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu telah dibuat”. Namun banyak kasus yang ternyata tetap dianggap legal, dalam arti proses hukum terus berlanjut meski dalam proses hukum tersebut terjadi praktek penyiksaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan data-data yang penulis temukan dan telah diuraikan pada bab sebelumnya.
56
Dalam konteks Indonesia, penyiksaan yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari subtansi, struktur dan kultur hukum yang belum mampu untuk mencegah terjadinya penyiksaan. Di tingkat subtansi hukum, definisi penyiksaan dalam KUHP belum sesuai dengan definisi penyiksaan dalam Konvensi anti Penyiksaan. Sebagai contoh adalah pasal 422 KUHP yang berbunyi “seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Pasal ini masih jauh dari definisi penyiksaan dalam Konvensi Anti Penyiksaan. Atau lihat pula pasal 351 yang sering digunakan untuk menjerat pelaku penyiksaan yang notabene adalah pasal penganiayaan tanpa kekhususan hubungan struktural antara pelaku dengan korbannya. Sedangkan pada tatanan struktur cukup banyak faktor-faktor pendorong terjadinya penyiksaan antara lain tingkat pengetahuan aparat penegak hukum tentang HAM, sarana dan prasarana rumah tahanan, lemahnya mekanisme pengawasan internal aparat penegak hukum, kurangnya kesadaran dan tindakan dari pemangku kepentingan dalam sistem peradilan pidana, dan tidak adanya mekanisme pengaduan yang efektif. 5 Penggunaan penyiksaan dalam proses peradilan pidana tidak dapat dilepaskan dari kultur yang dibangun. Kultur bahwa tersangka atau terdakwa 5
Asfinawati, (ed), Briefing Paper RUU KUHAP Seri III, Bagian IV & V; Bantuan Hukum Dan Penyiksaan, (Jakarta: Komite Untuk Pembaharuan Hukum Acara Perdata/KuHAP, 2009), Cet. Ke-1, h. 30
57
adalah orang yang melakukan tindak pidana, maka penyiksaan dianggap sebagai hal yang wajar. Pemeo “tidak ada maling yang mengaku” menjadikan setiap keterangan dari tersangka tidak dipercaya. Usaha untuk memperoleh pengakuan dengan cara penyiksaan itu kadangkala telah dianggap telah “membudaya” demi efesiensi dan efektifitas pengungkapan suatu perkara pidana. Lebih ekstrim lagi ternyata pengakuan tersangka sekedar untuk menunjukkan orientasi subjektifitas prestasi kerja yang relatif cepat dalam mengungkapkan suatu kasus pidana. Oleh karena itulah, dalam beberapa kasus, penyidik membuat rekayasa pembuktian dan melalui penyiksaan memaksa para tersangka untuk mengakuinya. Kultur patuh pada komando atasan juga menjadi salah satu faktor. Pada hal pasal 2 (Ayat 3) Konvensi Anti Penyiksaan menyatakan dengan jelas bahwa “perintah atasan tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk melakukan penyiksaan”. Metode pemeriksaan dengan menggunakan kekerasan dan penyiksaan oleh penyidik sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana akan mempengaruhi hasil kerja sub sistem lainnya, yaitu jaksa, hakim dan Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini mengingat sifat keterkaitan di antara sub sistem-sub sistem tersebut. Perusakan cara kerja salah satu sub sistem akan menggagalkan tujuan sistem peradilan pidana, misalkan tidak tercapainya penyelesaian satu kasus kejahatan sehingga pelaku terpaksa tidak dipidana atas pelanggaran prosedural pemeriksaan,
58
atau pelanggaran ini akan berakibat pada pengambilan keputusan oleh hakim berdasarkan keterangan yang salah. 6
B. Berdasarkan Hukum Islam Penyiksaan dalam bahasa Arabnya adalah ta’dziîb. Kata ta’dziîb adalah bentuk masdar dari kata ‘adzdzaba-yu’adzdzibu-ta’dziîban yang berarti memberikan penyiksaan. Secara gramatikal, kata ta’dziîb menunjukkan bahwa tindakan penyiksaan mengandaikan adanya subyek (pelaku penyiksaan), obyek (korban penyiksaan), dan alat yang digunakan untuk melakukan tindak penyiksaan. 7 Bertolak dari prinsip-prinsip ajaran Al-Quran yang diturunkan sebagai pedoman hidup manusia untuk saling mengasihi dan mencintai. Maka terhadap tindakan kejam dan kekerasan sesama manusia dalam konteks hidup bernegara, khususnya bagaimana memperlakukan seorang tersangka harus berlandaskan prinsip-prinsip kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang dianugrahkan Allah sebagaimana dalam ayat berikut:
⌧ ⌧
6
Ibid, ... h. 33 Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, tth), Cet. Ke-9, h. 1279 7
59
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” (Q.S. Al-Isra’:70) Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya mengatakan, di antara manifestasi penghormatan terhadap manusia, Allah menciptakan manusia dengan “tanganNya” sendiri, kemudian meniupkan roh dan memerintahkan malaikat bersujud kepadanya, menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kepentingannya, menjadikan pemimpin di atas planet bumi ini serta menjadikan khalifah untuk memakmurkan dan membuat kebaikan di atas bumi. Demi tercapainya hakekat nyata dari penghormatan ini dan menjadikannya pedoman hidup, Islam menjamin seluruh hak manusia, mewajibkan pemeliharaan hak tersebut, baik menyangkut hak beragama, sipil maupun politik. 8 Bagi Imam Muhammad Syirazi, bentuk penyiksaan merupakan suatu hal yang dilarang, karena Allah tidak pernah memberikan keterangan yang membolehkan tindakan penyiksaan, bahkan terhadap musuh-musuh Allah sekalipun. 9 Penyiksaan merupakan bentuk tindakan penghukuman yang
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah: A. Ali, ((Bandung: PT. ALMA”ARIF, 1990), Cet. XIV, Juz, 11, h. 34 9
Imam Muhammad Syirazi, Islam Melindungi Hak-Hak Taufiqurrahman, (Jakarta: Pustaka Zahrah, 2004), Cet. I, h.23-24
Tahanan,
Penerjemah:
60
berlebihan. Tindakan yang berlebihan ini dilarang oleh Allah sebagaimana dalam firmanNya:
☺ Artinya Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Baqarah : 190)
Pada umumnya, penyiksaan digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengiterogasi seorang tersangka. Imam Muhammad Syirazi menyatakan bahwa penyiksaan adalah sebuah fenomena yang tidak islami. Bahwa untuk mencapai pembuktian hukum yang benar tidak perlu menggunakan penyiksaan, tetapi harus dilakukan melalui investigasi yang cermat dengan semua bukti yang tersedia, termasukmelakukan wawancara yang terperinci. 10 Jadi Islam melarang praktek-praktek penyiksaan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia yang lain, lebih khusus penyiksaan yang dilakukan oleh pejabat negara yang seharusnya memberikan contoh kebaikan dengan penuh kasih sayang kepada warganya, sebagaimana ditunjukan oleh Khalifah Umar Bin Abdul Aziz saat menjawab permintaan salah seorang gubernurnya yang ingin
10
Ibid, h.25
61
menyiksa mereka yang menolak membayar pajak untuk pembendaharaan publik, diriwayatkan telah menegaskan sebagai berikut: “Saya heran dengan permohonan izinmu padaku untuk menyiksa masyarakat seolah-olah aku bisa menjadi pelindungmu dari amarah Allah, dan seolah-olah kepuasanku akan menyelematkanmu dari kemarahannya. Begitu kau menerima surat ini, terimalah apa yang telah mereka berikan kepadamu atau mintalah sumpah dari mereka. Demi Allah, sungguh lebih baik bila mereka menghadapi Allah karena pelanggaran mereka daripada aku menghadap Allah karena menyiksa mereka.” 11 Terkait dengan penegakan hukum terhadap kasus penyiksaan yang dilakukan aparat negara, maka pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebenarnya terdapat preseden hukum tentang bagaimana penegakan hukum bagi pejabat yang melakukan pelanggaran hukum. Rohadi Abdul Fatah menguraikan dalam bukunya, Islam and Good Governance: Ijtihad Politik Umar Ibn Abdul Aziz bahwa untuk menegakkan keadilan secara subtantif, Khalifah Umar Bin Abdul Aziz memfungsikan kembali peran Majelis Mahkamah Mazalim, suatu lembaga yang memeriksa perkara penganiayaan atau penyelewenagn yang dilakukan oleh penguasa, hakim maupun anak pejabat. 12 Mahkamah Mazalim dipimpin langsung oleh seorang ketua yang disebut Sahibu al-Mazâlim. Untuk menjabat sebagai seorang Sahibu al-Mazâlim harus memiliki wibawa yang tinggi dan wawasan yang luas serta memiliki keberanian
11
Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, Trjmh, Penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, (Jakarta: KOMNAS HAM, 2007), Cet. I, h. 76 12
Rohadi Abdul Fatah, Islam and Good Governance: Ijtihad Politik Umar Ibn Abdul Aziz, (LeKDIS, Tangerang : 2007), Cet. I, h. 219
62
yang luar biasa, andaikan Khalifah sendiri yang melakukan tindakan penyelewengan terhadap rakyatnya, Sahibu al-Mazâlim berani menjatuhkan hukum kepadanya. Karena itu, orang yang duduk di lembaga ini adalah orang yang tidak terkait dalam jabatan struktur pemerintahan. Rincian prasyarat menjadi Sahibu al-Mazâlim antara lain; 1. Memiliki kapabilitas yang tidak diragukan, kuat daya pikirnya, dan memiliki wibawa tinggi; 2. Memiliki keberanian untuk melakukan eksekusi hasil keputusan hukum; 3. Berpengaruh secara luas kepada masyarakat dan pemerintah; 4. Terkenal bersih, jujur dan terpelihara dari perbuatan maksiat; 5. Jauh dari sifat serakah 6. Ahli di bidang fiqh dan mampu berijtihad; dan 7. memiliki sifat wara’. 13 Peran dan fungsi Mahkamah Mazalim cukup penting, karena tidak semua masalah dapat ditangani oleh hakim al-Qada, seperti perselisihan antara rakyat dengan pejabat kekhalifahan. Banyak perkara penyelewengan yang tidak dapat diselesaikan oleh hakim biasa karena pelakunya pejabat kekhalifahan yang dari segi pangkat dan kedudukannya lebih tinggi dibanding hakim biasa. Perkara dimaksud hanya bisa diselesaikan di mahkamah mazâlim, sebab kedudukan
13
Ibid, ... h. 219-220
63
lembaga peradilan lainnya. Masalah-masalah yang diajukan pada mahkamah mazâlim khusus menyangkut hak-hak kemanusiaan yang dirampas oleh pejabat lembaga kekhalifahan. Beberapa bentuk perkara yang dapat diajukan pada mahkamah mazâlim antara lain; 1. Pelanggaran pejabat pemerintah atas rakyatm baik secara perorangan maupun golongan (kelompok); 2. Kasus korupsi para pejabat pemerintah terhadap harta rakyat; 3. Kasus pertengkaran bagi pihak yang bersengketa; 4. Kasus pelanggaran kepentingan umum atau maslahat umum yang sulit ditangani oleh pejabat biasa dan perkara sejenis lainnya. 14 Baderin mengatakan bahwa bertolak dari sifat mulia manusia dalam syari’at, tidak ada pertentangan antara hukum Islam dan larangan umum penyiksaan, atau perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat atau larangan menjadikan manusia sebagai obyek percobaan medis dan ilmiah tanpa kerelaan subyek. Berdasarkan pengamatan Bassiouni terhadap Al-Quran yang memberikan pesan untuk menentang penyiksaan dan penganiayaan manusia. Nabi Muhammad juga diriwayatkan melarang penyiksaan.
ﻋﻦْ َاﺑِﻰ َ ﻦ َﻳﺴَﺎ ٍر ِ ْن ﺑ َ ﺳ َﻠﻴْ َﻤﺎ ُ ْﻋﻦ َ ﻋﻦْ َﺑ ِﻜﻴْ ٍﺮ َ ﺚ ُ ْﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُأ َوﻳ َ ,ﺳ ِﻌﻴْ ٍﺪ َ ﻦ ِ ْﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻗ َﺘﻴْ َﺪ ُة اﺑ َ ﺚ ٍ ْﺳﱠﻠ َﻢ ﻓِﻰ َﺑﻌ َ ﻋ َﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ ﺳﻮْ ُل ا ُ َﺑ َﻌ َﺜﻨَﺎ َر:ﻋﻨْ ُﻪ َاﻧﱠ ُﻪ ﻗَﺎ َل َ ﷲ ُ ﻰا َﺿ ِ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َر ﻋ َﻠﻴْ ِﻪ َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ ﺳﻮْ ُل ا ُ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ َل َر,ﻼﻧًﺎ وَ ُﻓﻼَﻧًﺎ َﻓ َﺄﺣْ ِﺮ ُﻗﻮْا ُهﻤَﺎ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺎ ِر َ ﺟﺪْ ُﺗﻢْ ُﻓ َ ِانْ َو:َﻓﻘَﺎ َل
14
Ibid, ... h. 220-221
64
Artinya: Diceritakan oleh Qutaidah bin Sa’id, diceritakan oleh Uwaits dari Bakir dari Sulaiman bin Yasar dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. mengirim kami dalam sebuah pasukan, beliau berpesan, 'Jika kalian berhasil menangkap si Fulan dan si Fulan, maka bakarlah keduanya dengan api.' Kemudian ketika kami hendak berangkat Rasulullah saw. bersabda, 'Aku tadi menyuruh kalian supaya membakar si Fulan dan si Fulan. Sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah SWT. Jika kalian berhasil menangkap keduanya, maka bunuhlah'," (HR Bukhari)
Selain argumentasi naqliyah, Baderin juga memberikan argumentasi ‘aqliyah tentang larangan melakukan penyiksaan dengan mengutip dari Ireland v. UK, Mahkamah Hak Asasi Eropa yang mengamati bahwa istilah “penyiksaan” menyematkan “stigma khusus untuk menyengaja perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan penderitaan yang sangat serius dan kejam”. 16 Baderin menjelaskan tentang ‘perlakuan dan penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat’ dalam hal maksud, tingkat kehebatan dan kedahsyatan rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan. Kedahsyatan penderitaan membenarkan penggunaan istilah “tidak manusiawi” sebagai lebih tinggi dari pada apa yang mungkin digambarkan sebagai “merendahkan martabat". Tidak manusiawi berhubungan dengan rasa sakit, dan derita, sedangkan merendahkan martabat berhubungan dengan penghinaan. Jadi, terdapat 15
Al-Imâm al-Hâfiz Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-Asyqalanî, Fathu al-Bârî: bisyarhi sahîhi al-Bukharî, (Cairo: Dar el-Hadith, 2004), Juz 6, h.167 16 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional HAM & Hukum Islam, Trjmh, Penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, (Jakarta: KOMNAS HAM, 2007), Cet. I, h. 76
65
skala yang sudah dipradugakan mengenai kehebatan derita yang dimulai dengan perendahan martabat, berujung pada ketidakmanusiawian dan pada puncaknya sampai pada tingkat penyiksaan. Demikian juga perlakuan kejam dipradugakan berada “di antara tata cara tidak manusiawi dan penyiksaan.” Maka itu, sekalipun suatu tindakan bisa lolos dari katagori penyiksaan, ia tetap bisa dianggap sebagai perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat yang semuanya dilarang oleh kovenan. Tujuan utama ketentuan itu ialah untuk melindungi martabat sekaligus keutuhan fisik dan mental individu. Larangan menjadikan siapapun sebagai sasaran percobaan medis atau ilmiah tanpa persetujuann bebasnya dalam pasal 7, “dimaksudkan sebagai tanggapan atas berbagai keberingasan yang dilakukan di kamp-kamp konsentrasi semasa perang dunia II” dan karena itu “mengecualikan perawatan medis yang wajar demi kepentingan kesehatan pasien”. 17 Oleh karenanya Imam Muhamad Syirazi menegaskan bahwa Tidak seorang pun berhak menganiaya orang lain, baik itu menggunakan peralatan tradisional seperti cambuk, maupun menggunakan peralatan modern, seperti alat kejut listrik dan sebagainya. Hukuman-hukuman yang ditetapkan dalam syariat Islam tidak berbentuk penganiayaan. Hukuman hanya bisa dilaksanakan bila pelanggaran telah terbukti menurut ketentuan syariat Islam. Semua ini ditujukan untuk melindungi masyarakat serta menjaga kualitas lingkungan dan kemanan masyarakat. Tidak diperbolehkan menganiaya seorang penjahat, dan juga orang 17
Ibid, h. 76
66
kafir apalagi orang yang tidak melakukan kesalahan. Islam menjelaskan tentang hukuman deraan fisik, baik hudud maupun takzirat, hanya pada persoalan khusus saja yang jumlahnya sangat sedikit. Hukuman-hukuman ini hanya bisa dilaksanakan bila sejumlah persyaratan dan kriterianya dipenuhi, dan sebenarnya kriteria-kriteria inilah yang menjadikan hukuman tersebut secara praktis menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan. Dan bahwa seorang hakim Islam berhak mengganti hukuman takzir, misalnya hukuman cambuk diganti dengan hukuman denda atau penjara, atau bentuk hukuman lain yang tepat. Alasan yang dikemukakan oleh Imam Muhamad Syirazi bahwa di dalam Islam, tidak diperbolehkan mengorek pengakuan dari seorang tahanan dengan penganiayaan. Bahkan pengakuan seorang tahanan dianggap tidak sah menurut ajaran Islam (karena didapatkan di dalam penjara), walaupun pengakuannya tersebut tanpa ada unsur penganiayaan. Pengakuan yang dibuat di depan kamera televise juga dipandang tidak sah secara Islam. Pengakuan dari pihak yang bersalah hanya sah bila pihak yang bersalah tersebut berada di luar penjara dan itu dilakukannya secara sukarela dan sadar. 18 Meskipun bentuk hukuman qisâs masih dianggap sebagai hukuman yang bertentangan
dengan
nilai-nilai
kemanusiaan,
namun
dalam
tekhnik
pelaksanaannya, qisâs harus dilaksanakan tanpa ada rasa sakit. Abdul Qadir menjelaskan bahwa di kalangan Fuqaha tidak ada kesepakatan mengenai cara atau
18
Imam Muhammad Syirazi, The Rights of Psioners According to Islamic Teachings, Penerjemah: Taufiqurrahman, (Jakarta: Pustaka Zahrah, 2004), Cet. I, h. 125-126
67
tekhnik pelaksanaan hukuman qisâs, menurut Ulama Hanafiyah dan Hanabilah bahwa qisâs dilakukan dilakukan dengan pedang, sedangkan menurut Malikiyah dan Syafiiiyah, qisâs dilakukan dengan alat yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh korban dan cara yang digunakannya. Namun menurut Abdul Qadir Audah pelaksanaan qisâs yang lebih manusiawi adalah dengan pedang karena pedang merupakan alat yang dianggap paling cepat mematikan sehingga terhukum tidak merasa tersiksa. 19 Dalam wacana hukum pidana Islam bahwa ketentuan hukuman untuk jenis tindak pidana perampokan adalah pengasingan, hukuman untuk jenis perampokan tanpa pembunuhan adalah dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang, hukuman untuk jenis pelaku perampokan tanpa mengambil harta namun disertai pembunuhan adalah dibunuh, hukuman untuk jenis perampokan harta disertai pembunuhan adalah dibunuh dan disalib. Adapun tekhnik penyaliban, harus menghindari adanya penyiksaan terhadap pelaku perampokan. 20 Kesepakatan para ahli fiqih sebagaimana dinyatakan oleh Baderin bahwa penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi dilarang selama berlangsungnya interogasi para pelanggar hukum. Pasal 20 Deklarasi Kairo OKI tentang HAM Islam menetapkan bahwa:
19
Abd al-Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, (Beirut : Dar al-Kitab al-’Arabi, tth), Juz II, h. 151-154 20 Ibid, ... h. 648-654
68
“Dilarang menjadikan orang disiksa secara fisik dan psikologis, atau segala bentuk penghinaan, kekejaman, dan penyiksaan. Dilarang juga menjadikan seorang individu sebagai sarana percobaan medis atau ilmiah tanpa persetujuannya atau dengan resiko pada kesehatan dan nyawanya. Dilarang pula mengumumkan aturaan darurat yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tindakan di atas”. 21
C. Analisa Tentang Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Yang Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian Berdasarkan Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
Berdasarkan uraian tentang tinjauan yuridis penegakan hukum kasus penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian berdasarkan hukum Islam dan Undang-Undang No 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia di atas, maka sungguh jelas tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan pelanggaran yang harus ditentang. Penggunaan kekerasan oleh kepolisian dinilai oleh Andianus Meliala (2001) setidaknya dilatarbelakangi dua hal; Pertama, tidak lebih dari sekedar ekses kebijakan pemolisian yang diambil secara sadar oleh organisasi, dan Kedua,
21
Organisasi Konferensi Islam, Deklarasi Kairo Tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, Kairo, 5 Agustus 1990, h. 7
69
bukti adanya disharmoni antara kebijakan pemolisian atau bisa juga karena watak pemolisian yang masih dianut di kalangan polisi. 22 Penilaian Meliala itu merupakan kritik yang ditujukan terhadap praktek kekerasan yang digunakan oleh penyidik Polri yang salah satu faktornya masih menempatkan cara kekerasan sebagai solusi yang praktis dan ampuh untuk memenuhi atau menyelesaikan tugas-tugasnya, seperti untuk memperoleh keterangan tersangka atau mendapatkan pengakuan tersangka. Penggunaan kekerasan itu akhirnya menempatkan aparat penyidik polri dalam posisi vis a vis dengan rakyat atau pihak-pihak yang berurusan dengan polisi (khususnya tersangka). Hal ini idealnya tidak boleh terjadi, setidaknya bisa diminimalisir dengan implementasi modern yang lebih mempertimbangkan aspek responsi dan advokasi HAM. 23 Posisi vis-a-vis ini sebagaimana ditunjukkan oleh masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia (JAPI), di mana Jaringan ini menyatakan bahwa penyiksaan menihilkan rule of law dan menyandarkan proses hukum yang berjalan pada irasionalitas dan pemaksaan. Dikatakan irasionalitas dan pemaksaan karena putusan pengadilan yang dijatuhkan pada seseorang terdakwa didasarkan pada informasi yang keliru, dipaksakan, dan disusun berdasarkan kemauan sang penyidik. Penyiksaan juga menanggalkan prinsip peradilan yang jujur karena membatasi akses bantuan hukum, menyangkal akses 22
Sunardi, Danny Tanuwijaya, Abdul Wahid, Republik “Kaum Tikus”; Refleksi Ketidakberdayaan Hukum dan Penegakan HAM, (Jakarta: Edsa Mahkota, 2005), Cet.I h. 60 23 Ibid, h. 60 – 61
70
medis, dan mengabaikan konsep peradilan yang idealnya dijalankan oleh lembaga yang kompeten dan imparsial. 24 Bentuk penegakan hukum dalam kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam konteks permasalahan di sini adalah bagaimana memelihara dan mempertahankan hukum sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya. Penegakan hukum itu tergantung dari aktor penegakan hukum itu sendiri yaitu manusia. Dalam arti bahwa penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasayarakat dan bernegara, atau merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh subyek hukum maupun oleh aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum. Penegakan hukum kasus penyiksaan di Indonesia masih bersifat normatif yaitu dengan mengunakan peradilan umum atau peradilan militer sebagaimana disinggung pada bab sebelumnya. Penyelesaian kasus penyiksaan sebenarnya tidak cukup hanya dengan menggunakan peradilan umum atau militer karena penyiksaan merupakan kejahatan yang sudah dikecam oleh seluruh umat manusia di bumi. Penyiksaan mengandaikan sebuah kejahatan yang terjadi secara sistemik dalam sebuah struktur kekuasaan. Peradilan umum hanya akan menghasilkan 24
Siaran Pers Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia, 24 Juni 2010
71
sebuah keputusan pengadilan yang unfair trial, dan peradilan militer hanya akan menghasilkan sebuah keputusan yang tendensius karena bagaimana mungkin seorang aparat akan mengadili aparat yang lain dalam ruang tertentu, di mana sentimen ke-korps-an tentu akan lebih dominan, sehingga akan mengabaikan korban penyiksaan yang membutuhkan keadilan. Penegakan hukum dalam kasus penyiksaan harus sebanding dengan kadar penderitaan
korban
karena
penyiksaan
bukan
sekedar
kejahatan
yang
menimbulkan penderitaan fisik dan memalfungsikan indera dan organ tubuh manusia, tetapi juga kejahatan yang meninggalkan luka traumatik yang mendalam bagi korban dan keluarganya. Penyiksaan menusuk langsung pada harkat dan martabat manusia. Jantung dari intens penyiksaan itu adalah menelanjangi kemanusiaan korban. Pelarangan dalam Islam pun sebenarnya dapat dipahami secara implisit dari uraian Q.S. Al-Baqarah ayat 190 yang menjelaskan tentang martabat manusia yang harus dimuliakan, dan dari Q.S. Al-Isra’ ayat 70 yang menjelaskan bahwa penyiksaan merupakan tindakan yang berlebih-lebihan, di mana tindakan yang berlebih-lebihan itu dibenci oleh Allah SWT. Hal ini dipertegas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a di atas bahwa Nabi memperingatkan kepada umat tidak melakukan penyiksaan karena sesungguhnya menyiksa itu di luar otoritas manusia. Nabi sendiri pun sebagaimana disinyalir oleh Allah SWT sebagai pembawa ajaran yang penuh
72
kasih sayang. Maka tidak heran jika Umar bin Abdul Aziz begitu geram ketika ada seseorang yang meminta beliau untuk melakukan tindakan penyiksaan. Nilai kemanusiaan yang menjadi nilai dasar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) beserta konvensi turunannya termasuk kovenan Anti penyiksaan yang telah diratifikasi dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia masih selalu dipandang sebagai nilai yang bersifat antroposentris, sehingga DUHAM selalu dipertentangkan dengan nilai-nilai teosentris dalam agama tertentu. 25 Bagi Munir Mulkhan justru nilai kemanusiaan itulah yang
25
Dalam buku Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syari’at Islam karangan Prof. Dr. H. Rusjdi Ali Muhamad, SH., MA, K.H. Hasan Basri dalam catatan editor dengan judul Hak Asasi Manusia: Antara Universalitas dan Partikularitas mengatakan pandangan bahwa HAM dilahirkan oleh Barat juga merasuki sebagian sarjana Timur yang kemudian menyalahartikan hak asasi sebagaiamana dipahami Barat. Secara terminologis dan sosisologis terdapat perbedaan antara konsep HAM dalam Islam dan konsep HAM Barat. HAM dalam pandangan Islam dipahami sebagai aktivitas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Sedangkan dalam pemahaman Barat, HAM ditentukan oleh aturan-aturan publik demi tercapainya perdamaian dan keamanan alam semesta. Selain itu, perbedaan juga terdapat dalam cara memandang HAM itu sendiri. Dalam pandangan Islam, tujuan hidup manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah, selain bertugas untuk mengelola dunia menjadi indah dan tertib. Karena itu, nilai-nilai yang selama ini dikenal di dunia Barat, seperti demokrasi, kesejahteraan, kenyamanan, pemerataan ekonomi dan sebagainya diperuntukan bagi tegaknya HAM yang berorientasi pada penghormatan kepada manusia. Sebaliknya di Barat, ukuran sesuatu diselaraskan dengan keberadaan manusia sehingga watak yang berkembang lebih dekat penghargaan individu semata. Pemahaman inilah yang kemudian dikenal dengan ‘antrophosentris’. Ukuran ini berbeda dengan Islam di mana HAM dijiwai oleh Al-Quran dan al-Sunnah. Al-Quran sebagai transformasi dari kualitas kesadaran manusia, manusia diperintahkan untuk hidup beramal sesuai dengan kesadaran dan kepatuhan kepada Allah. Pandangan ini dalam literatur ilmu-ilmu sosial disebut ‘theosentris’. Prof. Dr. H. Rusjdi Ali Muhamad, SH., MA, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syari’at Islam; Mengenal Jati Diri Manusia, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), Cet. I, h. xIix-I
73
dipandang ideal, karena mengenal ranah ketuhanan itu harus bertolak dari mengenal ranah kemanusiaan. 26 Dengan
demikian,
maka
dapat
dikatakan
bahwa
hukum
Islam
menghendaki adanya penentangan terhadap tindakan penyiksaan aparat negara terhadap warganya dalam situasi apapun. Penentangan ini pada prinsipnya juga sejalan dengan kesadaran umat manusia di dunia bahwa tindakan penyiksaan terhadap para tersangka perkara pidana merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
26
Munir Mulkhan, Teologi Kiri, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), h. 6
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Perlindungan terhadap seorang tersangka atau orang yang diduga melanggar tindak pidana harus menjadi persoalan utama dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan terhadap seorang tersangka tentu dapat ditegakkan jika pelaksana hukum itu sendiri dapat bekerja dengan profesional sesuai dengan Undang-Undang Nomor Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Berdasarkan pembahasan dalam skripsi ini mengenai bagaimana perlindungan hukum dan penegakan hukum kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian maka dapat disimpulkan sebagai berikut; 1. Perlindungan hukum terhadap tersangka di Indonesia diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan, dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia. Sedangkan acuan beracara dalam kasus penyiksaan dapat menggunakan ketentuan di Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 2. Penegakan hukum kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Indonesia masih bersifat normatif. Beberapa kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tidak diproses dan diketahui secara publik, dan meskipun diproses itu pun tidak diproses secara adil sebagaimana kasus Roni
74
75
Ronaldo. Dalam hukum Islam, penegakan hukum kasus penyiksaan dapat diketahui melalui lembaga Majelis Mahkamah Mazalim, suatu lembaga yang memeriksa perkara penganiayaan atau penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa, hakim maupun anak pejabat.
B. Saran-Saran Beberapa saran dalam skripsi ini ditujukan kepada beberapa pihak yaitu; 1. Bagi penulis kasus penyiksaan berikutnya adalah agar lebih menyoroti praktek penyiksaan dalam proses penahanan, karena dalam penulisan skripsi ini belum diuraikan. 2. Bagi pihak kepolisian agar lebih meningkatkan kemampuan penyelidikan dan penyidikan dengan menggunakan metode anti kekerasan. Dalam arti menjauhi tindakan-tindakan penyiksaan yang mengakibatkan penderitaan atau kematian kepada seorang tersangka. 3. Bagi pihak legislatif agar membuat regulasi pencegahan penyiksaan sebelum perubahan KUHAP dan KUHP diberlakukan secara nasional. Regulasi tersebut dapat berupa pelarangan bagi anggota polisi yang menggunakan metode penyiksaan, baik melalui surat edaran Mahkamah Agung RI mengenai batalnya dokumen hukum yang diperoleh dari sebuah tindak keekrasan baik fisik maupun non-fisik atau bentuk regulasi lainnya dari pihak kepolisian.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Fatah, Rohadi, Islam and Good Governance: Ijtihad Politik Umar Ibn Abdul Aziz, LeKDIS, Tangerang : 2007 Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2006 Asfinawati, (ed), Briefing Paper RUU KUHAP Seri III, Bagian IV & V; Bantuan Hukum Dan Penyiksaan, (Jakarta: Komite Untuk Pembaharuan Hukum Acara Perdata/KuHAP, 2009), Cet. Ke-1 Al-Asyqalanî, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar, Fathu al-Bârî: Bisyarhi Sahîhi alBukharî, Cairo: Dar el-Hadith, 2004 Atabik & A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta : Multi Karya Grafika, tth Baderin, Mashood A., International Human Rights and Islamic Law, Penerjemah: Musa Kazhim dan Edwin Arifin, Jakarta: KOMNAS HAM, 2007 Gatot, (ed), Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan; Survey Penyiksaan Ditingkat Kepolisian Wilayah Jakarta Tahun 2008, Jakarta: LBH Jakarta, 2008 Gunawan, Aditya Batara, (ed.), Guiedbook on Democratic Policing, Terjemahan, Vienna Austria: OSCE, 2008 Komisi HAM PBB, Hak Asasi Manusia; Metode-Metode Penyiksaan, Lembar Fakta No. 4, Penerjemah: Harkristusi Harkrisnowo, SH, Christianus H. Panjaitan, dan Patricia Rinwigati, SH, TT., TP Moleong, Lexy. J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2005 Muhamad, Rusjdi Ali, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syari’at Islam; Mengenal Jati Diri Manusia, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004 Mulkhan, Munir, Teologi Kiri, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002 Praja, Juhaya S., Tafsir Hikmah: Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, Manusia, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000
76
dan
77
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2002 Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1979 Robertson, Geoffrey, Crime Againts Humanity: The Struggle For Global Justice, Terjemahan., Jakarta: KOMNAS HAM, 2002 Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid II, Penerjemah: Kamaludin A. Marzuki, Bandung : PT. Al-Maarif, 1990. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993 Sudjana, Eggi, HAM Dalam Perspektif Islam: Mencari Uninersalitas HAM bagi Tatanan Modernitas Yang Hakiki, Jakarta: Nuansa Maadani, 2002 Sunardi dkk, Republik “Kaum Tikus”; Refleksi Ketidakberdayaan Hukum dan Penegakan HAM, Jakarta: Edsa Mahkota, 2005 Suryabrata, Sumadi, Metodelogi Penelitian, Jakarta: PT. RajaGrafibdo, 2005 Syirazi, Imam Muhammad, Islam Melindungi Hak-Hak Tahanan, Penerjemah: Taufiqurrahman, Jakarta: Pustaka Zahrah, 2004 Tim Penulis, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995 Wiranata, Agung Yuda, Seri Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara: Konvensi Anti Penyiksaan, Jakarta: Elsam, 2005
Undang-Undang Putusan Pengadilan Negeri 77/Pid.B/2007/PN. Ska
Klas.
1
Surakarta
dengan
Nomor
:
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1998 Tentang Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan, dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia
78
Data Dari Internet, Media Massa, Dan Lain-Lain Berita LBH Jakarta, edisi Nomor 15/Juli-september/2007 Fernida, Indria, 10 Tahun Reformasi Sektor Keamanan Akuntabilitas Polisi dalam Penegakan HAM, Disampaikan dalam acara Simposium “10 Tahhun reformasi Sektor Keamanan di Indonesia”, Jakarta 28-29 Mei 2008 http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view &id=2865&Itemid=36 http://www.kontras.org/petisi/Hari%20Anti%20Penyiksaan%20AHRC.pdf http://www.detiknews.com,Komnas HAM Catat 180 Korban Kekerasan Polisi, Desember 2009 Siaran Pers JAPI, 24 Juni 2010 Tempo edisi 26 Februari-4 Maret 2007