Kebakaran Hutan dan Dampaknya Terhadap Penurunan radiasi Ultraviolet B ~ studi kasus kebakaran hutandi Pontianak bulan Juli – September 1997 ~
Saipul Hamdi, Sri Kaloka Puslitbang Pengetahuan Atmosfer LAPAN Jl. Dr. Djunjunan No 133 Bandung 40173 Indonesia Abstrak Kebakaran hutan di Kalimantan pada periode Juli-September 1997 telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar, baik di segi lingkungan, maupun terhadap kesehatan manusia. Asap tebal yang dihasilkan oleh kebakaran tersebut dan menutupi wilayah yang cukup luas, telah menyebabkan menurunnya intensitas radiasi matahari tingkat permukaan dalam kurun waktu yang agak lama. Dampak langsung penutupan asap kebakaran hutan tersebut terhadap kesehatan manusia adalah menyebabkan sindroma Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), dan dampak tidak langsungnya adalah meningkatnya temuan kasus penderita penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat. Dampak tersebut akan sangat terasa pada kelompok usia balita (bawah lima tahun) dan lansia (lanjut usia) karena fungsi metabolisme tubuh pada dua kelompok usia tersebut memiliki efisiensi yang rendah (tidak optimal). 1.
Pendahuluan
Kebakaran hutan di Kalimantan pada medio kedua tahun 1997 yang lalu memiliki dampak yang sangat luas, baik dari segi lingkungan hidup, kesehatan, transportasi, perdagangan, maupun aktivitas masyarakat sehari-hari. Disadari atau tidak, kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan paling besar terjadi di sektor lingkungan hidup. Rusaknya lingkungan hidup yang disertai dengan musnahnya beberapa jenis hewan dan vegetasi tertentu merupakan kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang. Demikian juga akibat-akibat yang ditimbulkan dengan menurunnya tingkat kesehatan masyarakat secara luas tidak dapat dibiarkan begitu saja. Terjadinya kebakaran hutan yang disertai dengan kemunculan asap merupakan fenomena alam yang tidak kalah menariknya. Penutupan asap kebakaran hutan yang mencakup daerah yang sangat luas telah memberikan dampak yang sangat merugikan, baik dampak langsung maupun dampak tidak langsungnya. Secara langsung, konsentrasi asap yang cukup tinggi (tebal) menyebabkan berkurangnya jarak pandang, baik di darat, laut, maupun di udara. Berkurangnya jarak pandang di darat menyebabkan beberapa peristiwa tabrakan yang memakan korban yang tidak sedikit. Akibat lain yang dirasakan secara
langsung oleh masyarakat adalah terganggunya kesehatan dengan munculnya kasus penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Meningkatnya ISPA ini secara tidak langsung distimulir oleh masuknya partikel-partikel asap yang mengandung senyawasenyawa berbahaya sehingga mengganggu fungsi pernapasan. Pengaruh asap secara tidak langsung dapat ditinjau dari beberapa segi. Salah satu fenomena alam yang berkaitan dengan penutupan asap ini adalah berkurangnya jumlah radiasi matahari yang tiba di permukaan bumi karena terhalang oleh lapisan asap tersebut. Radiasi sinar matahari merupakan radiasi polikromatis yang mencakup panjang gelombang dengan spektrum yang sangat lebar. Di antaranya adalah spektrum cahaya tampak (visibel), spektrum infra merah, dan spektrum ultraviolet. Cahaya tampak berperanan dalam penglihatan makhluk hidup, sinar infra merah berperanan dalam menjaga suhu atmosfer bumi, sedangkan radiasi ultraviolet berperanan sebagai stimulan beberapa proses fotokimia di dalam makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. 2.
Radiasi Matahari
Radiasi yang dipancarkan oleh matahari merupakan radiasi gelombang elektromagnetik yang memiliki rentang panjang gelombang yang sangat lebar (polikromatis). Untuk keperluan ilmu pengetahuan maka radiasi matahari dikelompokkan menjadi beberapa bagian berdasarkan panjang gelombangnya, yaitu: < 1 nm
disebut sebagai sinar-X dan sinar-γ
1 nm – 380 nm
disebut sebagai sinar ultraviolet
380 nm – 720 nm
disebut sebagai sinar tampak
720 nm – 1000 µm disebut sebagai sinar infra merah > 1000 µm
disebut sebagai gelombang mikro dan gel. Radio
Sinar ultraviolet dikelompokkan menjadi 3 bagian berdasarkan panjang gelombangnya yaitu: 1 nm – 200 nm
disebut sebagai ultraviolet jauh (UV-C)
200 nm – 315 nm
disebut sebagai ultrabiolet tengah (UV-B)
315 nm – 380 nm
disebut sebagai ultraviolet dekat (UV-A)
Pada saat memasuki atmosfer bumi, radiasi ultraviolet matahari mengalami interaksi dengan senyawa ataupun partikel-partikel yang ada di atmosfer, misalnya dengan awan,
gas-gas rumah kaca, ozon, ataupun debu-debu aerosol yang konsentrasinya paling banyak di lapisan stratosfer. Radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang 280 – 315 nm mengalami interaksi yang paling kuat dengan lapisan ozon stratosfer dibandingkan dengan panjang gelombang yang lain. 3. Pengamatan radiasi ultraviolet di LAPAN Di dalam penelitian yang dilakukan oleh LAPAN, radiasi ultraviolet matahari dengan panjang gelombang 280-315 nm diamati menggunakan pyranometer MS 210W buatan EKO Instrument Co. Jepang. Alat/sensor ini dihubungkan dengan alat perekam otomatis Data Logger MP-090 buatan pabrik yang sama dan diatur sedemikian rupa sehingga alat ini melakukan perekaman setiap satu jam dengan moda sesaat. Di LAPAN Bandung sensor diletakkan di bagian atap gedung dengan ketinggian 16 meter dari permukaan tanah, sedangkan di LAPAN Pontianak sensor diletakkan pada menara dengan ketinggian 2 meter dari permukaan tanah. Tidak ada alasan khusus terjadinya perbedaan ketinggian sensor, kecuali untuk memudahkan perawatan. Untuk menjamin validitas data maka sebelum dilakukan pengamatan kedua sensor diioperasikan secara bersama-sama di Bandung agar diperoleh tingkat perbedaan pembacaan yang minimal. Di dalam pengoperasian, kedua sensor mendapatkan perawatan secara berkala dengan cara membersihkan kaca penutupnya dari kotoran dan debu yang menempel. Secara berkala pula silica gel diperiksa untuk kemudian diganti apabila perlu. Penggantian silica gel secara berkala akan menjamin sensitivitas alat sehingga didapatkan hasil yang optimal. 4. Interaksi radiasi ultraviolet B dengan tubuh manusia Radiasi ultraviolet B dengan panjang gelombang 290-315 nm memiliki pengaruh yang besar terhadap kesehatan manusia. Salah satu fungsinya adalah radiasi ultraviolet B berperanan penting dalam biosintesa cholecalciferol serta pencegahan penyakit tulang. Jika foton berenergi tinggi pada panjang gelombang tersebut mengenai kulit maka 10% dari foton tersebut akan dipantulkan dan sisanya terserap masuk ke dalam jaringan epidermis dan dermis kulit, kemudian radiasi mengubah cytoplasmic yang menyimpan 7dehydrocholesterol (provitamin D3) menjadi previtamin D3. Proses ini berlangsung
dalam waktu yang sangat cepat dan bergantung pula pada sudut zenith matahari dan jarak bumi-matahari. Pengurangan paparan radiasi ultraviolet B terhadap kulit manusia dapat memperlambat proses biosintesa cholecalciferol. Jika kebutuhan ini tidak diimbangi dengan asupan vitamin D yang cukup maka dapat menyebabkan penyakit tulang. Keadaan di atas akan berbalik 180 derajat jika foton yang masuk ke dalam jaringan kulit memiliki energi yang sangat tinggi sehingga mengubah susunan kimia DNA. Jika kerusakan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan terus-menerus, ditambah lagi dengan berkurangnya kemampuan tubuh dalam meregenerasi sel-sel yang rusak, maka akan timbullah kanker kulit, yaitu kegagalan tubuh dalam mengatur pertumbuhan sel-sel kulit sehingga terjadi pertumbuhan yang di luar kontrol. Di sisi yang lain, kejadian yang hampir serupa terjadi jika foton berenergi tinggi tersebut masuk ke dalam selaput kornea mata. Dalam hal ini, energi foton yang tinggi merusak sel-sel selaput kornea mata sehingga timbullah kerusakan yang lebih dikenal dengan istilah katarak. Munculnya katarak ini sangat mengganggu penglihatan bahkan dapat menyebabkan kebutaan. 5. Pengaruh kebakaran hutan terhadap radiasi ultraviolet matahari Selain dipengaruhi oleh aktivitas matahari, intensitas radiasi matahari yang tiba di permukaan bumi juga dipengaruhi oleh kerapatan atmosfer. Semakin tinggi tingkat kerapatan atmosfer bumi maka semakin besar interaksi yang terjadi antara foton radiasi matahari dengan senyawa/partikel atmosfer, melalui peristiwa hamburan dan serapan (scattering dan absorption). Kerapatan atmosfer ditentukan oleh jumlah partikel udara yang ada diatmosfer, baik berupa aerosol, debu, uap air, maupun senyawa-senyawa gas polutan yang terangkat ke lapisan stratosfer melalui peristiwa gerakan angin (drift up). Asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan merupakan senyawa kimia berbentuk aerosol yang mampu memperlemah intensitas radiasi matahari, khususnya radiasi ultraviolet B. Gambar 1 adalah fluktuasi intensitas radiasi ultraviolet B matahari dari tahun 1996 sampai dengan tahun 1998. Gambar diperoleh dengan mengambil intensitas maksimum harian dalam periode 3 tahun. Bulatan yang berwarna merah adalah untuk tahun 1996, sedangkan bulatan berwarna biru untuk tahun 1997, dan tahun 1998 ditunjukkan oleh
bulatan kuning dengan pinggiran berwarna hitam. Sumbu mendatar adalah untuk Julian Day, yaitu urutan hari dalam satu tahun, sedangkan sumbu vertical adalah besaran intensitas radiasi dalam satuan Watt/m2 dengan skala logaritmis.
Gambar 1. Intensitas radiasi Ultraviolet B maksimum harian di Pontianak periode tahun 1996 s.d. 1998.
Gambar 2. Intensitas maksimum harian radiasi ultraviolet B di Bandung periode tahun 1996 s.d. 1998. Dari gambar 1 terlihat bahwa pada tahun 1997, yaitu pada periode kebakaran hutan, terjadi penurunan intensitas radiasi ultraviolet B matahari yang sangat drastis mendekati nilai nol. Untuk Julian Day yang sama pada tahun sebelum dan sesudah kebakaran hutan, intensitas radiasi ultraviolet B memiliki nilai lebih dari 1 Watt/m 2, bahkan terkadang melewati angka 2 Watt/m2. Sementara itu, pada waktu yang sama, tidak terjadi perubahan yang berarti dari hasil pengukuran di Bandung seperti yang terlihat pada Gambar 2. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan sementara bahwa munculnya asap yang tebal sebagai akibat dari kebakaran hutan memberikan dampak langsung dalam peristiwa
hamburan dan serapan radiasi matahari, khususnya ultraviolet B, sehingga menyebabkan terhalangnya pancaran radiasi ultraviolet B matahari untuk mencapai permukaan bumi. Selama tahun 1997, munculnya kasus pneumonia yang diderita oleh balita di seputar Kota
Pontianak
ditunjukkan
pada
Gambar
3.
Jumlah
penderita
pneumonia
diklasifikasikan menjadi 2 jenis berdasarkan tingkat usia, yaitu bayi yang berusia kurang dari 1 tahun dan balita dalam rentang usia 1-5 tahun. Sumbu vertikal adalah jumlah penderita pneumonia sedangkan sumbu mendatar adalah bulan pada tahun 1997 dengan disimbolkan oleh huruf awal dari nama-nama bulan. Kelompok bayi yang berusia kurang dari 1 tahun ditunjukkan oleh grafik biru berbintik-bintik dan terletak lebih rendah, sedangkan kelompok usia 1-5 tahun ditunjukkan oleh grafik biru polos pada posisi yang lebih tinggi. Pemilihan kelompok penderita pada tingkat usia tersebut dengan berdasarkan asumsi bahwa pada tingkat usia tersebut penderita belum memiliki daya tahan tubuh yang baik, dan belum mandiri. Terlihat bahwa di bulan pertama tahun 1997 jumlah penderita pneumonia mencapai angka 110 kasus dan menurun pada bulan kedua menjadi 87 kasus. Selanjutnya, jumlah kasus pneumonia berangsur-angsur naik perlahan-lahan hingga mencapai jumlah kasus tertinggi pada bulan Juli, yaitu 159 kasus dan turun kembali mencapai nilai minimum pada bulan September (90 kasus) di tahun yang sama.
Gambar 3. Jumlah penderita pneumonia di Pontianak pada tahun 1997 untuk kelompok usia1-5 tahun dan kurang dari 1 tahun.
Gambar 4 adalah grafik temuan kasus penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat (penyakit tulang-belulang, radang sendi termasuk reumatik) untuk kelompok usia 60-69 tahun selama 5 triwulan, dimulai pada triwulan kedua tahun 1997 hingga triwulan kedua tahun 1998. Sumbu mendatar adalah periode pengamatan dalam triwulan yang bersangkutan, dan sumbu vertikal adalah temuan kasus. Pengelompokan kasus temuan terhadap kelompok usia ini dimaksudkan untuk melihat keterkaitan antara penurunan tingkat radiasi ultraviolet B terhadap penurunan tingkat metabolisme tubuh pada usia lanjut (lansia).
Gambar 4. Temuan kasus penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat di Pontianak tahun 1997-1998 kelompok usia 60-69 tahun.
Pada triwulan kedua tahun 1997 (II/’97) terlihat bahwa temuan kasus penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat mencapai 292 kasus. Pada triwulan berikutnya (JuliSeptember) temuan kasus mengalami peningkatan, yaitu menjadi 674 kasus. Temuan kasus ini mencapai nilai tertinggi pada triwulan keempat tahun 1997, yaitu sebanyak 909 kasus, atau meningkat menjadi 354,54% dibandingkan dengan triwulan II/’97. Temuan kasus ini berangsur-angsur menurun pada triwulan berikutnya secara bertahap. Pada triwulan pertama tahun 1998 (I/98) daerah Kalimantan Barat mengalami musim hujan yang ditandai dengan turunnya hujan hampir setiap hari. Dengan demikian, meskipun aerosol yang berasal dari kebakaran hutan telah teraspu bersih oleh air hujan (washing out) namun keberadaan awan tetap menahan radiasi ultraviolet matahari untuk tiba di permukaan bumi. Selain itu, pengobatan pada kasus-kasus ini tidak langsung memberikan hasil yang sekejap karena beberapa faktor (baik medis maupun perilaku masyarakat), sehingga tidak akan pernah tercapai penurunan temuan kasus secara tajam.
6.
Kesimpulan
Terjadinya kebakaran hutan telah menyebabkan turunnya tingkat kesehatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak tersebut akan sangat terasa bagi anak-anak balita (bawah lima tahun) dan lansia (lanjut usia) karena sistem metabolisme tubuh pada dua golongan usia tersebut tidak mencapai optimal. Dampak langsung terhirupnya asap kebakaran hutan adalah infeksi saluran pernapasan atas, sedangkan dampak tidak langsungnya adalah munculnya penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat jika penutupan asap kebakaran hutan berlangsung dalam periode yang cukup panjang. Masih diperlukan penelitian yang lebih dalam untuk mengetahui dampak penutupan asap terhadap perubahan-perubahan metabolisme di dalam tubuh yang bersifat merugikan seperti munculnya gejala-gejala penyakit tertentu yang berkaitan dengan hal tersebut. Dampak penutupan asap terhadap kesehatan manusia akan semakin besar jika tingkat kesadaran mesyarakat akan gizi dan kebiasaan hidup sehat sangat rendah. Ucapan terima kasih Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sangat mendalam kepada Bpk. Ir. Obay Sobari (kepala Stasmatgan), Bpk. Ir. Mardi, Bpk Maryadi dari Stasmatgan LAPAN Pontianak yang telah memberikan bantuan penuh dalam pelaksanaan penelitian ini. 7. Daftar Pustaka Sri Kaloka, S. Hamdi, Nurlaini, Y. Iwasaka: 199, A Decrease in The Global Solar Ultraviolet B Irradiance Observed from Bandung, Indonesia : May 1992 to September 1995, Proceeding of International Workshop on Atmospheric Observation Over The Equatorial Region, Bandung, November 02, 1995, pp. 25-27. Masahiko Hayashi, T. Shibata, Y. Iwasaka: 1995, Balloon-borne Measruement of Vertical Profile at Watukosek (8S 113E), East Java of Indonesia, Proceeding of International Workshop on Atmospheric Observation Over The Equatorial Region, Bandung, November 02, 1995, pp. 19-24.