KEARIFAN LOKAL SONGU LARA MOMBANGU MASYARAKAT PARIGI MOUTONG (Studi di Kecamatan Bolano Lambunu)
1
Oleh Rikiyanto, Ridwan Ibrahim*, Rudy Harold** Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Rikiyanto, Ridwan Ibrahim, Rudy Harold, 2015 “KEARIFAN LOKAL SONGU LARA MOMBANGU MASYARAKAT PARIGI MOUTONG (Studi di Kecamatan Bolano Lambunu)”. Jurnal Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Goronto. Penelitian ini mengkaji tentang kearifan lokal songu lara mombangu yang merupakan semboyan Parigi Moutong yang objek penelitiannya berada di Kecamatan Bolano Lambunu. Dalam penelitian ini membahas tentang kearifan lokal songu lara mombangu di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, sesuai dengan permasalahan yang diangkat yaitu bagaimana pemahaman masyarakat tentang penerapan kearifan lokal songu lara mombangu sebagai konsep pembangunan masyarakat di Kecamatan Bolano Lambunu. Dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu memahami kearifan lokal songu lara mombangu itu sebagai semboyan mereka yang merasa warga Parigi Moutong untuk bersama-sama membangun daerah ini melalui sistem kerja sama, gotong royong, tolong menolong, dan sikap toleransi antar sesama masyarakat. Kata Kunci: Kearifan Lokal, Songu Lara Mombangu, dan Masyarakat Bolano Lambunu
1
Rikiyanto, 281411131, Jurusan S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Ridwan Ibrahim, S.Pd., M.Si, Rudy Harold, S.Th., M.Si
A. Pendahuluan Kearifan lokal dapat diartikan sebagai kebijaksanaan masyarakat setempat (lokal). Kearifan lokal bagi masyarakat merupakan suatu pedoman dalam bersikap dan bertiindak dengan sesamanya dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, dalam masyarakat diperlukan adanya suatu pengetahuan dalam memahami kearifan lokal sebagai suatu kekayaan budaya yang isinya adalah tentang nilai-nilai budaya lokal. Dari segi etnik atau suku bangsa, kearifan lokal dijadikan sebagai aset budaya bangsa. Khususnya Indonesia, yang memiliki keragaman etnik. Sehingga kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk pastinya juga memiliki keragaman. Kearifan lokal juga merupakan suatu karakteristik yang membedakan etnik yang satu dengan etnik yang lain. Oleh karenanya, kearifan lokal dijadikan sebagai suatu inspirasi untuk memenuhi segala kebutuhan hidup setiap etnik yang ada. Selain itu juga kearifan lokal digunakan untuk menigkatkan kesejahteraan masyarakat etnik tersebut. Contohnya masyarakat Etnik Lampung dikenal terbuka menerima etnik lain sebagai saudara (dapat dilihat pada adat muari dan angkon), masyarakat Etnik Jawa terkenal dengan tata krama dan perilaku yang lembut, Etnik Madura dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi, serta Etnik Cina dikenal dengan keuletannya dalam berusaha. Demikian juga dengan Etnik Minang, Aceh, Sunda, Toraja, dan sebagainya memiliki budaya dan pedoman hidup masing-masing yang merupakan ciri khas mereka sesuai dengan keyakinan dan tuntutan hidup dalam upaya mencapai kesejahteraan bersama.2 Contoh yang dapat dilihat tentang kearifan lokal sebagai pembentuk karakter dan jati diri bangsa adalah kearifan lokal masyarakat Gorontalo. Di mana pada masyarakat Gorontalo, salah satu kearifan lokal yang ada pada masyarakat Gorontalo adalah Huyula. Budaya Huyula sendiri merupakan suatu sistem gotong royong antar masyarakat Gorontalo dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya.3 Makna Huyula bagi masyarakat Gorontalo adalah suatu nilai yang didalamnya terdapat budaya gotong royong dan saling membantu sama lain. Huyula bagi masyarakat Gorontalo dapat dilihat dalam beberapa jenis kegiatan, yaitu: 1) ambu merupakan kegiatan tolong menolong untuk kepentingan bersama atau lebih dikenal
“Kearifan Lokal Sebagai Aset https://www.academia.edu/8425033/pdf , diakses pada tanggal 6 Februari 2015. 2
3
Dimasc
Ackyl,
Budaya
Bangsa”,
Rasid Yunus, Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris Tentang Huyula, Cet. 1, Ed. 1, Deepublish, Yogyakarta, 2014, hlm. 7.
dengan istilah kerja bakti, misalnya pembauatan jalan desa, tanggul desa, jembatan dan sebagainya. Selain itu, ambu merupakan salah satu cara yang digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat seperti perkelahian antara warga. 2) Hileiya merupakan kegiatan tolong menolong secara spontan yang dianggap kewajiban sebagai anggota masyarakat, misalnya pertolongan yang diberikan pada keluarga yang mengalami keduakaan atau musibah lainnya. 3) Ti’ayo adalah kegiatan tolong menolong antara sekelompok orang untuk mengejarkan pekerjaan seseorang, contohnya kegiatan pertanian, kegiatan membangun rumah, kegiatan membangun bantayo (tenda) untuk pesta perkawinan.4 Masyarakat di Kecamatan Bolano Lambunu mengenal sebuah motto yang dijadikan sebagai falsafah hidup, yaitu “songu lara mombangu”. Falsafah songu lara mombangu berasal dari bahasa Kaili yang berarti kehendak bersama dalam membangun daerah. Songu lara mombangu sendiri dijadikan sebuah alat dalam mempersatukan masyarakat, khususnya masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu. Kemudian falsafah ini ditransformasikan dalam kearifan lokal yang dimanifestasikan pada budaya gotong royong, tolong menolong, kerja sama, serta sikap toleransi antar masyarakat yang ada di Kecamatan Bolano Lambunu. Sebagai suatu kearifan lokal, songu lara mombangu kemudian dijadikan sebuah semboyan bagi masyarakat Bolano Lambunu dalam menyatukan etnik-etnik tersebut. Songu lara mombangu sendiri dimanifestasikan dalam bentuk perilaku yang sadar bahwa mereka merupakan suatu satu kesatuan yang tidak dapat untuk dipisahkan. Melalui pola hubungan gotong royong dan kerja sama masyarakat yang ada di Kecamatan Bolano Lambunu hidup berdampingan demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain itu juga dalam mewujudkan misi pembangunan masyarakat Bolano Lambunu, kearifan lokal songu lara mombangu tidak hanya menjadi falsafah dalam membentuk karakter serta sebagai pemersatu masyarakat Bolano Lambunu yang berbeda-beda etnik tersebut. Songu lara mombangu adalah sebuah konsep pembangunan masyarakat dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Konsep pembangunan ini dtransformasikan kedalam penigkatan partisipasi masyarakatnya. Karena secara harafiah songu lara mombangu ini dimaknai dengan semangat atau suatu ketekatan bersama dalam membangun. Oleh karenanya, songu lara mombangu ini juga tertuang dalam tujuan pembangunan daerah, khususnya Kecamatan Bolano Lambunu. 4
Ibid.
Kearifan lokal songu lara mombangu yang dijadikan sebagai model pembangunan daerah, khususnya pembangunan masyarakat yang dimanifestasikan ke dalam programprogram pembangunan daerah. Program-program pembangunan tersebut seperti program pembangunan masyarakat dalam aspek pendidikan, pembangunan masyarakat pada aspek infrastruktur, pembangunan masyarakat yang pendekatannya pada aspek berwawasan lingkungan, dan sebagainya. A. Kajian Pustaka Istilah kearifan lokal terdiri atas dua suku kata, yaitu “kearifan” yang berarti kebijaksanaan dan “lokal” yang berarti setempat atau kewilayahan. Jadi, arti kearifan lokal merujuk pada pendefinisian bahwa kebijaksanaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Dalam masyarakat yang multikultur, masing-masing kelompok mempunyai kebenaran masing-masing. Karena itu bahwa kearifan lokal akan bersifat relatif terhadap kearifan lokal lainnya.5 Istilah kearifan lokal merupakan suatu istilah yang diterjemahkan dari “local genius” dan pertama kali diperkenalkan oleh Quaritch Wales pada tahun 1948-1949. Menurutnya, kearifan lokal adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kebudayaan itu berhubungan.6 Jika kearifan lokal dilihat secara baik dan dipromosikan, maka hal tersebut dapat menjadi sumber-sumber pengetahuan yang baik pula, serta menjadi informasi dan pedoman bagi kualitas pengembangan kehidupan manusia.7 Istilah lain daripada kearifan lokal adalah local wisdom yang dipahami sebagai suatu usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu.8 Menurut John Haba kearifan lokal merupakan berbagai kekayaan budaya yang berkembang dalam sebuah
Mikka Wildha Nurrochsyam, “Tradisi Pasola antara Kekerasan dan Kearifan Lokal”, dalam Dr. Ade Makmur, Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 86. 6 Syampadzi Nurroh, “Critical Review Studi Kasus: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku Sunda Dalam Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan”, Tesis pada Program Magister Ilmu Manajemen Lingkungan, Universitas Gadja Mada, Yogyakarta, 2014, hlm. 5. 7 Ibid. 8 Nurma Ali Ridwan, “Landasan keilmuan Kearifan Lokal”, Jurnal Studi Islam dan Budaya (IBDA), Vol. 5, No. 1, Jan-Jun, 2007, hlm. 2. 5
masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial antara warga masyarakat.9 Tezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat Indonesia, kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka seharihari.10 Lain halnya dengan Wigiran, ia melihat kearifan lokal bukan berdasarkan wujudnya melainkan aspek-aspek yang penting dalam kearifan lokal. Menurutnya, aspek-aspek tersebut terdiri atas tiga hal yaitu, sikap; pemikiran; dan tindakan atau perilaku. Ketiga aspek tersebut menurut Wigiran adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kearifan lokal. Karena ia beranggapan bahwa kearifan lokal tersebut mencakup atas beberapa hal, yaitu: 1) pemikiran, sikap, dan tindakan berbahasa, berolah seni, dan bersastra, misalnya karya-karya sastra yang bernuansa filsafat dan niti (wulang); 2) pemikiran, sikap, dan tindakan dalam berbagai artefak budaya, misalnya keris, candi, dekorasi, lukisan, dan sebagainya; serta 3) pemikiran, sikap, dan tindakan sosial bermasyarakat, seperti unggah-ungguh, sopan santun, dan udanegara.11 Nilai-nilai kearifan lokal meliputi aspek budi pekerti, tata krama, sopan santun, gotong royong, dan sebagainya.12 Oleh karena itu, karakter daripada kearifan lokal mencakup atas moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral action (tindakan moral). Ketiga hal tersebut merupakan bagian dari suatu model pendidikan
Suprapto, “Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Bagi Upaya Resolusi Konflik”, Jurnal Walisongo, Volume 21, Nomor 1, hlm. 26. 10 Nurma Ali Ridwan, op. cit., hlm. 2. 11 Wigiran, “Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-Nilai Karakter Berbasis Budaya)”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 3, Oktober, 2012, hlm. 331-332. 12 Wigiran, “Pengembangan Model Pendidikan Lokal dalam mendukung Visi Pembangunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2020 ((Tahun kedua)”, Jurnal Penelitian dan Pengembangan, Volume III, Nomor 3, Tahun 2011, hlm. 95-96. 9
karakter.13 Maka dari itu, kearifan lokal hendaknya dimasukkan dalam suatu model pengetahuan seperti pada pendidikan karakter. Karakter daripada kearifan lokal yang mencakup tiga hal tersebut, dimana moral knowing meliputi kesadaran nilai-moral, pandangan ke depan, penalaran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan tentang diri, adalah suatu yang esensial yang perlu ditanamkan pada suatu masyarakat tertentu. Selanjutnya, moral feeling dalam karakter kearifan lokal meliputi kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri dan kerendahan hati. Terakhir adalah moral action dalam karakter kearifan lokal juga merupakan suatu hal yang penting, karena di dalamnya terdapat motif dorongan seseorang untuk berbuat baik, terlihat dalam keinginan dan kebiasaan yang ditunjukannya.14 Menurut Grondona proses pembangunan, misalnya pembangunan ekonomi mencapai krisis ketika suatu masyarakat dalam suatu negara berjalan dari satu tahap menuju tahap berikutnya. Itulah masa ketika godaan-godaan muncul. Jika suatu negara berhasil menolak godaan-godaan ini, ia akan mencapai tujuan pembangunan tersebut. Jika gagal, negara tersebut hanya akan menikmati bertambahnya kekayaan dalam jangka panjang.15 Selanjutnya, Grondona membedakan nilai dalam dua kategori, yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai-nilai yang intrinsik adalah suatu nilai yang dijunjung tanpa menghiraukan manfaat atau biayanya. Sedangkan nilai-nilai yang instrumental adalah suatu nilai yang secara langsung memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat, seperti adanya pertumbuhan ekonomi akiat adanya pembangunan ekonomi tadi.16 Keterkaitan antara pembangunan masyarakat yang berbasis kearifan lokal dengan nilai-nilai yang inrinsik dan instrumental tadi ketika pembangunan masyarakat dan kearifan lokal dipisahkan secara terpisah. Di mana pembangunan masyarakat jika mengacu pada nilai yang dijelaskan oleh Grondona berarti adalah bersifat nilai instrumental. Karena pembangunan masyarakat tersebut secara nyata manfaatnya mencakup tentang perkembangan kapasitas masyarakatnya serta meningkatnya kepemilikan kehidupan ekonomi masyarakat. 17 Deny Setiawan, “Peran Pendidikan Karakter dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013, hlm. 55. 14 Deny Setiawan, ibid., hlm. 55-56. 15 Mariono Grondona, “Tipologi Budaya Pembangunan Ekonomi”, dalam Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntingon (ed), Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 83. 16 Ibid. 17 Ibid. 13
Sedangkan kearifan lokal sendiri memiliki nilai yang intrinsik, karena kearifan lokal merupakan suatu pedoman bagi masyarakat yang danut dan dijunjung tanpa memperdulikan manfaat serta harga yang mereka keluarkan. Adapun nilai-nilai intrinsik dalam kearifan lokal misalnya adalah sistem gotong royong, kerja sama, tolong menolong, dan sebagainya.18 Sehingga pembangunan masyarakat yang berbasis kearifan lokal ini merupakan suatu manifestasi atas konsep-konsep pembangunan yang pendekatannya berdasarkan kearifan lokal masyarakat. Konsep-konsep pembangunan masyarakat yang berbasis kearifan lokal ini menurut Wigiran dapat dilihat pada:19 1) peraturan berbasis kearifan lokal, contohnya adalah peraturan tentang pengetahuan tradisional masyarakat yang dimasukan dalam kurikulum pendidikan, yang tujuannya adalah masyarakat secara luas mengatahui pengetahuan yang telah diwariskan kepada mereka secara turun temurun melalui proses pendidikan. 2) Adanya aktivitas gotong royong, artinya bahwa dalam mewujudkan pembangunan masyarakat nilainilai yang terkandung dalam kearifan lokal seperti gotong royong hendaknya diterapkan dalam proses pembangunan tersebut. 3) Kebersamaan dan keteladanan, maksudnya masyarakat secara umum memiliki seseorang yang secara bersama merupakan suri tauladan bagi mereka dalam melakukan proses pembangunan, seperti pemimpin yang memiliki moral tinggi. 4) Kewajiban bagi warga masyarakat, proses pembangunan masyarakat sendiri yang sasaran pembangunan tersebut adalah masyarakat. Hal ini tentunya tidak akan lepas dari kewajiban masyarakat tersebut untuk berpartisipasi baik dari segi tenaga, biaya, pemikiran dan lain sebagainya untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut. B. Metode Penelitian Dalam metode penelitian kualitatif, instrumen yang digunakan oleh peneliti adalah peneliti itu sendiri. Di mana peneliti secara langsung melakukan interaksi dengan para informan. Peneliti sebagai instrumen penelitian melakukan kontak langsung dengan para informan guna mendapatkan data yang lebih mendalam melalui teknik observasi dan wawancara di lapangan. Berkaitan dengan sumber data yang digunakan oleh peneliti dalam hal melihat kearifan lokal songu lara mombangu pada masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu ini, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.
18
Rasid Yunus, Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) sebagai Penguat Karakter Bangsa Studi Empiris Tentang Huyula, Deepublish, Yogyakarta, 2014, hlm. 7. 19 Wigiran, op. cit., hlm. 333-334.
Observasi adalah tahap awal dalam melakukan teknik pengumpulan data dengan melakukan peninjauan langsung terhadap lokasi penelitian. Dalam hal teknik observasi ini, posisi peneliti adalah sebagai partisipan. Artinya, peneliti berusaha untuk melakukan pendekatan secara emosional dengan para informan meskipun sedikit menjaga jarak dengan para informan tersebut. Teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara yang tidak terstruktur, di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis. Jawaban yang diberikan oleh informan dapat memberikan suatu pertanyaan yang baru bagi peneliti, hal ini dilakukan guna memperoleh informasi yang belum peneliti pahami ketika berada di lapangan. Dalam teknik wawancara yang seperti ini, peneliti belum mengetahui secara pasti data seperti apa yang akan diperoleh. Sehingga peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh informan. Sementara itu, teknik terakhir dalam pengumpulan data adalah dokumentasi. Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan fokus penelitian seperti surat-surat, catatan-catatan, foto, dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini pada umumnya merupakan fakta-fakta yang tersimpan pada ruang dan waktu yang tidak terbatas. Artinya, bahwa dokumen-dokumen ini memberikan peluang yang sangat besar bagi peneliti untuk mengetahui hal-hal atau peristiwa yang telah terjadi sebelum peneliti berada di lokasi penelitian. Bagian selanjutnya dalam penelitian kualitatif adalah teknik pengolahan data. Setelah data yang diperoleh dari lapangan penelitian, kemudian data tersebut diolah untuk mengetahui apakah data tersebut sesuai dengan masalah yang sebelumnya menjadi fokus penelitian ini. Adapun teknik pengolahan data ini mencakup atas reliabilitas, validitas, dan generalisabilitas. Analisis data pada penelitian kualitatif adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti mengelompokannya dalam pola, tema atau kategori. Tanpa kategorisasi atau klasifikasi data akan terjadi chaos. Tafsiran atau klasifikasi data akan terjadi pada analisis, menjelaskan pola atau kategori, mencari hubungan antara berbagai konsep. Interpretasi menggambarkan perspektif atau pandangan peneliti, bukan kebenaran. Kebenaran hasil penelitian masih harus dinilai orang lain dan diuji dalam berbagai situasi lain. Hasil interpretasi juga bukan genaralisasi dalam arti kuantitatif, karena gejala sosial
terlampau banyak variabelnya sehingga sukar digeneralisasi. Generalisasi di sini lebih bersifat hipotesis kerja yang senantiasa harus lagi diuji kebenarannya dalam situasi lain.20 Tugas peneliti ialah mengadakan analisis tentang data yang diperolehnya agar fiketahui maknanya. Interpretasi harus melebihi atau mentransenden deskripsi belaka. Jika peneliti tidak dapat mengada.kan interpretasi dan hanya menyajikan data deskriptif saja, maka sebenarnya penelitian itu sia-sia saja dan tidak memenuhi harapan.21 Data yang terkumpul dalam penelitian kualitatif biasanya meliputi ratusan bahkan ribuan halaman. Tiap jam kerja-lapangan dapat menghasilkan lebih dari dua puluh halaman. Maka timbul masalah yang pelik, bagaimana mengolah, menganalisis data yang banyak itu. Mengumpulkan dan memupuk data sampai akhir kerja-lapangan akan menghadapkan peneliti pada tugas yang sangat ruwet yang mungkin tak teratasi. Selain itu cara demikian tidak efektif dan tidak akan menghsilkan data yang serasi karena kerja-lapangan tidak didasarkan atas hasil analisis laporan kerja-lapangan sebelumnya. Jadi dalam penelitian kualitatif analisis data harus dimulai sejak awal. Data yang diperoleh dalam lapangan segera harus dituangkan dalam bentuk tulisan dan dianalisis.22 C. Hasil dan Pembahasan Istilah songu lara mombangu merupakan semboyan Kabupaten Parigi Moutong yang dipetik dari Bahasa Kaili, yang terdiri atas tiga suku kata yaitu songu yang artinya satu, lara artinya hati, dan mombangu yang berarti membangun. Berdasarkan istilah, songu lara mombangu berarti satu hati dalam membangun. Sedangkan menurut bahasa, songu lara mombangu didefinisikan sebagai keinginan bersama dari dalam hati yang dimiliki oleh masyarakat Parigi Moutong untuk membangun daerah Kabupaten Parigi Moutong. Quaritch Wales menyebutkan istilah kearifan lokal sebagai local genius yang berarti adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kebudayaan itu berhubungan.23 Oleh sebabnya, sebagai suatu local genius ada nilai-nilai yang adiluhung yang terkandung dalam songu lara mombangu. Nilai-nilai ini merupakan suatu pedoman bagi masyarakat Parigi Moutong untuk dapat menjaga
20
B. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, 1988, hlm. 126. Ibid. 22 Ibid., hlm. 128-129. 23 Mikka Wildha Nurrochsyam, op. cit., hlm. 86. 21
kebudayaan setempat dari pengaruh kebuadayaan asing, saat kedua kebudayaan ini saling bertemu. Nilai-nilai yang terdapat dalam semboyan songu lara mombangu ini telah ada sejak masa ekspansi Kerajaan Hindia Belanda pada wilayah Parigi Moutong. Nilai-nilai ini terwujud dalam semangat perastuan masyarakat Parigi Moutong untuk melawan penjajah, yang diperkenalkan oleh seorang pejuang yang bernama Tombolotutu. Kemudian semangat ini telah mendarah daging pada diri masyarakat Parigi Moutong untuk terus bersatu dan bekerja sama untuk membangun Parigi Moutong. Sebenarnya, songu lara mombangu merupakan hasil dari buah pemikiran masyarakat Parigi Moutong yang dipromosikan dalam pengetahuan budaya lokal masyarakat setempat. Maka dari itu, songu lara mombangu dijadikan sebagai semboyan Parigi Moutong dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan Parigi Moutong. Hal penting yang menjadi ciri khas masyarakat Parigi Moutong yang terkandung dalam songu lara mombangu ini adalah seperti keinginan masyarakat yang timbul dari dalam hati yang ingin saling membantu satu sama lain, tanpa mengharapkan adanya imbalan jasa. Selanjutnya, Tezzi, Marchettini, dan Rosini menjelaskan bahwa kearifan lokal (local wisdom) dimanifestasikan pada tradisi ataupun kebiasaan masyarakat. Bagi masyarakat umum (Indonesia) kearifan lokal sering dijadikan sebagai semboyan yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut.24 Hal ini juga berlaku bagi masyarakat Parigi Moutong, dalam kehidupan masyarakatnya mengenal suatu tradisi yang disebut dengan pamonte, didalamnya berisikan kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada saat-saat melakukan upacara-upacara adat ataupun pada saat upacara pelaksanaan penyambutan tamu. Pamonte ini kemudian menjadi kebiasaan yang umum dilaksanakan oleh masyarakat Parigi Moutong, yang menciptakan adanya kebiasaan masyarakat yang ingin hidup bersama dan saling membantu satu sama lain. Keinginan masyarakat Parigi Moutong yang suka membantu sesamanya tersebut kemudian dikenal dengan istilah mosijulu. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat ini kemudian dituangkan dalam semboyan songu lara mombangu. Nilai-nilai luhur yang terkandung ini kemudian telah menjadi kearifan lokal masyarakat Parigi Moutong yang dituangkan dalam semboyan atau motto pembangunan Parigi Moutong yaitu songu lara mombangu. Selanjutnya kearifan lokal songu lara
24
Nurma Ali Ridwan, op. cit., hlm. 2
mombangu sebagai semboyan pembangunan Kabupaten Parigi Moutong terwujud dalam sikap gotong royong masyarakat, tolong menolong, suka bekerja sama, menghargai dan menghormati perbedaan antar suku; agama; dan ras, serta sikap toleransi antar agama; suku; dan ras. 1. Aspek Kearifan Lokal Songu Lara Mombangu Dalam rangka memahami kearifan lokal songu lara mombangu ini, ada beberapa aspek penting yang perlu untuk diperhatikan. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah pemikiran masyarakat tentang kearifan lokal songu lara mombangu, sikap yang diberikan masyarakat tentang kearifan lokal songu lara mombangu, tindakan masyarakat dalam mempraktikkan kearifan lokal songu lara mombangu. Sebelum membahas hal ini lebih lanjut, Wigiran memberikan asumsi dalam aspek kearifan lokal yang didalamnya berisi tentang pemikiran, sikap, dan tindakan masyarakat, yang output melahirkan produk dari suatu kebudayaan tertentu seperti itu karya seni dalam bentuk nyanyian, lukisan, ataupun pada kebiasaan sehari (sopan santun dan sikap toleransi).25 Pemikiran atau pemahaman masyarakat Bolano Lambunu tentang kearifan lokal songu lara mombangu berdasarkan isi yang terkandung di dalamnya. Di mana sebagian besar masyarakat hanya memahami kearifan lokal songu lara mombangu ini berdasarkan kalimat yang tersirat didalamnya. Sebagian besar masyarakat belum memahami secara penuh tentang makna songu lara mombangu tersebut. Dari hasil temuan di lapangan, masyarakat hanya memahami kearifan lokal ini hanya sebagai keinginan yang secara bersama-sama timbul dari dalam hati untuk membangun Parigi Moutong atau hanya sebatas satu tekad untuk membangun Parigi Moutong. Selanjutnya, sikap yang diberikan oleh masyarakat yang berada di Kecamatan Bolano Lambunu tentang songu lara mombangu, masyarakat kecamatan tersebut memberikan dukungan yang penuh terhadap pelaksanaaan program pembangunan di Kabupaten Parigi Moutong dengan berlandaskan semboyan songu lara mombangu. Di mana masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu memberikan tanggapannya dengan patuh dan taat terhadap kenijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, selama itu kepentingannya untuk membangun Kabupaten Parigi Motong.
25
Wigiran, op. cit., hlm. 331-332.
Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menjaga kelestarian semboyan ini ikut terlibat dalam kegiatan pembangunan. Tindakan itu berupa mengikuti kerja bakti, melakukan jum’at bersih, memberishkan masjid dan lapangan. Secara tidak langsung masyarakat juga memberikan partisipasinya seperti memberikan sumbangan dana untuk menyukseskan kegiatan tersebut, memberikan sumbangsi pemikiran dan tenaga, dan sebagainya. 2. Karakter Kearifan Lokal Songu Lara Mombangu Seperti dengan kearifan lokal secara umum yang melahirkan cara berpikir dan bertindak sebagai suatu ciri khas yang dimiliki oleh setiap individu atau masyarakat di mana kearifan lokal tersebut berasal. Begitu juga dengan songu lara mombangu. Sebagai suatu kearifan lokal, semboyan ini juga memiliki ciri khas yang membedakannya dengan kearifan lokal dari daerah lain yang berasal dari cara berpikir dan bertindak masyarakatnya. Syampadzi Nurroh menerangkan bahwa karakter kearifan lokal berarti adalah cara berpikir dan bertindak yang merupakan ciri khas masyarakat berdasarkan nilai-nilai kebudayaan yang mereka miliki.26 Songu lara mombangu berisikan hal-hal yang menjadi ciri khas masyarakat Parigi Moutong pada umumnya, ciri khas ini dilihat dari tradisi pamonte masyarakat dalam pelaksanaan upacara-upacara adat tertentu atau acara-acara pernikahan, do’a-do’a selamat, dan lain sebagainya. Dalam melakukan hal tersebut, tradisi-tradisi masyarakat itu dilakukan secara bersama-sama (mosijulu). Adapun karakter daripada kearifan songu lara mombangu ini adalah mencakup atas tentang pengetahuan moral masyarakatnya, perasaan moral, serta tindakan moral. Secara moral masyarakat di kecamatan ini mengetahui songu lara mombangu itu merupakan suatu semboyan Parigi Moutong yang mengajak seluruh masyarakatnya untuk bahu mebahu, bergotong royong, dan bekerja sama dalam melaksanakan suatu pembangunan. Akan tetapi, penjabaran kearifan lokal ini belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat yang ada di kecamatan tersebut. Seperti apa prinsip kerjanya, serta menurut mereka perlu ada semacam suatu pengkajian khusus dalam memahami semboyan ini secara mendalam. Bagian selanjutnya pada karakter kearifan lokal songu lara mombangu adalah moral feeling (perasaan moral) yang dilihat dari masyarakat yang ada di Kecamatan Bolano Lambunu. Secara umum, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada kecamatan ini 26
Syampadzi Nurroh, op. cit., hlm. 5
bahwa masyarakat Bolano Lambunu merasa sebagai satu keluarga yang diikat oleh tali perasatuan yang sangat erat. Tali itu terwujud dalam semangat ingin saling membantu satu sama lain. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa moral action (tindakan moral) masyarakat yang ada di Kecamatan Bolano Lambunu ini berupa semangat untuk bergotong royong, kerja sama, tolong menolong, dan lain sebagainya. Tindakan moral ini terwujud dalam semangat masyarakat untuk perduli dengan sesama dan lingkungannya. Artinya masyarakat ini peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh lingkungan tempat tinggal mereka. 3. Pembangunan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal Pembangunan masyarakat yang berbasis kearifan lokal songu lara mombangu umumnya memiliki nilai instrumental yang secara nyata manfaatnya memberikan perkembangan terhadap kapasitas dan kualitas sumber daya manusianya serta dapat meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat Parigi Moutong umumnya, dan juga memiliki nilai intrinsik karena songu lara mombangu merupakan suatu pedoman yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya dengan tidak memperhatikan nilai materi dari kearifan lokal tersebut. Nilai intrinsik yang ada dalam songu lara mombangu ini tentunya adalah sistem gotong royong, tolong menolong, dan bekerja sama, seperti yang telah di jelaskan sebelumnya dalam pembahasan ini. Pernyataan di atas, selaras dengan penjelasan Grandona dalam suatu proses pembangunan. Menurutnya bahwa suatu pembangunan yang acuannya pada kaarakter suatu kebuadayaan masyarakat memiliki dua nilai yang berbeda, yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai-nilai yang intrinsik adalah suatu nilai yang dijunjung tanpa menghiraukan manfaat atau biayanya. Sedangkan nilai-nilai yang instrumental adalah suatu nilai yang secara langsung memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat, seperti adanya pertumbuhan ekonomi akbiat adanya pembangunan ekonomi tadi.27 Baik nilai intrinsik maupun nilai instrumental yang terdapat dalam suatu kearifan lokal masyarakat setempat, yang dijadikan sebagai suatu konsep pembangunan dalam menciptakan sumber daya manusia yang memiliki daya saing tinggi seharusnya mengacu pada empat hal yang sangat urgen, yaitu 1) peraturan berbasis kearifan lokal; 2) adanya 27
Mariono Grondona, op., cit. hlm. 83.
aktivitas gotong royong; 3) kebersamaan dan keteladanan; serta 4) Kewajiban bagi warga masyarakat.28 Suatu pembangunan
yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakatnya yang pendekatannya pada kearifan lokal, yaitu kearifan lokal songu lara mombangu tentunya juga harus dituangkan pada aturan-aturan yang berbasis kearifan lokal ini. Pada Kecamatan Bolano Lambunu, aturan-aturan ini tidak dijabarkan secara khusus dalam peraturan tingkat kabupaten. Secara umum, aturan-aturan tersebut telah menjadi suatu kebiasaan masyarakat yang tidak langsung telah menjadi adat istiadat masyarakat ini. Sehingga aturan-aturan ini meskipun secara tidak langsung dibahas dalam aturan kecamatan. Namun seyogyanya, aturan tersebut telah disepakati secara bersama misalnya larangan untuk melepas hewan ternak kepada masyarakat di jalan raya dan menjemur pakaian di atas pagar rumah mereka. Selain aturan-aturan tadi, pihak kecamatan maupun desa mengeluarkan programprogram yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat tadi. Program-program tersebut seperti K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban Lingkungan), PPIP (Program Peningkatan Infrastruktur Pertanian), Program Penigkatan SDM melalui pendidikan, serta Program Peningkatan Kapasitas Aparat Desa. Dari program-program itu dilaksanakan melalui kegiatan kerja bakti membersihkan saluran irigasi, lapangan, masjid dan pembangunan jalan usaha tani, penguasaan IPTEK bagi aparat desa, dan sebagainya. Bagian berikutnya adalah aktivitas gotong royong masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu. Aktivitas gotong royong masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu tersebut, terlihat hanya pada saat ada kegiatan di tingkat kecamatan atau desa. Aktivitas gotong royong masyarakat ini tentunya berupa kegiatan kerja bakti. Kegiatan kerja bakti ini juga dilaksanakan misalnya pada setiap hari jum’at (jum’at bersih), perayaan hari-hari besar keagamaan, hari besar nasional (seperti peringatan hari kemerdekaan), dan MTQ tingkat kecamatan. Bagian ketiga dari pembangunan masyarakat yang berbasis kearifan lokal songu lara mombangu adalah tentang kebersamaan dan keteladanan masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu. Kebersamaan masyarakat yang ada di Kecamatan Bolano Lambunu sudah menjadi kebiasaan masyarakat tersebut dalam kehidupan sehari-hari yang diturunkan secara turun 28
Wigiran, op. cit., hlm. 333-334.
remurun. Menurut pemaparan masyarakat tersebut, bahwa kebersamaan mereka sangatlah kental. Kebersamaan tersebut terlihat dari kebiasaan masyarakatnya untuk meluangkan waktu senggang mereka untuk berkumpul dan berceritra/berdiskusi bersama. Sedangkan keteladanan masyarakat, pada kecamatan ini memiliki tokoh-tokoh yang dijadikan sebagai panutan atau contoh oleh masyarakatnya. Tokoh-tokoh tersebut adalah tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemerintahan, serta orang-orang tua yang dianggap sebagai orang tua mereka bersama di kecamatan tersebut. Adapun hal-hal atau perilaku yang dijadikan contoh oleh mereka adalah tentang cara hidupnya, cara bergaul, dan nasehatnasehat yang ia berikan kepaada masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu. Selain itu juga, tokoh tersebut merupakan sosok yang sangat dihormati di kecamatan ini, karena perbuatannya yang selalu menghargai orang yang bahkan derajatnya lebih rendah darinya. Ia selalu memperlakukan setiap individu yang ada di kecamatan tersebut layaknya keluarga sendiri. berkaitan dengan kewajiban warga masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu yang hubungannya dengan pembangunan masyarakat berbasisi kearifan lokal songu lara mombangu. Dari hasil ini dapat dijelaskan bahwa kewajiban warga masyarakat tersebut adalah dengan mematuhi segala peraturan dan kebijakan yang ada di kecamatan tersebut. Selain itu juga masyarakat Kecamatan Bolano Lambunu berkewajiban mendukung maupun berpartisipasi dalam proses peningkatan sumber daya manusia di kecamatan ini. D. Kesimpulan dan Saran Dari pembahasan yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Songu lara mombangu merupakan semboyan masyarakat Parigi Moutong yang dikutip dari Bahasa Kaili yang terdiri atas kata songu yang berarti satu, lara berarti hati, dan mombangu yang artinya adalah membangun. Jadi songu lara mombangu adalah satu hati dalam membangun Parigi Moutong menjadi suatu kabupaten yang mandiri. 2. Pemikiran masyarakat tentang semboyan songu lara mombangu ini yaitu ketekatan masyarakat yang secara bersama ikut dalam proses pembangunan yang ada di Kabupaten Parigi Moutong.
3. Sikap yang diberikan tentang semboyan tersebut adalah suatu dukungan yang secara penuh terhadap penerapan kearifan lokal songu lara mombangu sebagai suatu pedoman mereka bersama. 4. Tindakan masyarakatnya adalah dengan melibatkan diri secara tidak langusung dalam kegiatan pembangunan. 5. Karakter songu lara mombangu ini pada umumnya merupakan suatu ciri khas masyarakat Parigi Moutong yang telah ada sudah sejak lama. 6. Untuk pengetahuan masyarakat yang secara moral adalah tentang pemahaman masyarakat tersebut tentang songu lara mombangu. Masyarakat memahami semboyan ini sebagai falsafah atau pandangan hidup masyarakat serta pedoman bagi mereka untuk menjalin hubungan dengan semanya. 7. Masyarakat merasakan songu lara mombangu ini sebagai wadah yang mengikat mereka untuk hidup berdampingan dengan memiliki rasa kekeluargaan. 8. Tindakan moral yang terkandung dalam songu lara mombangu ini adalah tindakan yang suka membantu masyarakat yang sedang mengalami kesusahan, suka tolong menolong dan bergotong royong dalam melaksanakan suatu pekerjaan. 9. Pembangunan masyarakat berbasis kearifan lokal songu lara mombangu mencakup atas aturan yang berbasis kearifan lokal songu lara mombangu, aktivitas gotong royong masyarakat, kebersamaan dan keteladanan, serta kewajiban warga masyarakat. a. Aturan yang berbasis kearifan lokal songu lara mombangu ini hanya tertuang pada peraturan kecamatan dan peraturan desa. Untuk peraturan kecamatan, yaitu larangan kepada masyarakat untuk melepaskan hewan ternak di jalan raya serta larangan menjemur pakaian di depan rumah. Sementara untuk peraturan desa adalah memberikan denda kepada masyaraat yang melakukan tindakan melanggar hukum. Untuk merealisasikan aturan-aturan tersebut pihak kecamatan maupun desa mengeluarkan program berupa K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) Lingkungan, PPIP (Program Peningkatan Infrastruktur Pertanian) Program Peningkatan SDM dan Kapasitas Aparat Desa. b. Aktivitas gotong royong masyarakat, dalam menigkatkan pembangunan masyarakat ini tentunya diperlukan adanya aktivitas gotong royong royong masyarakat yang dimanifestasikan dalam kegiatan kerja bakti melaui kegiatan jum’at bersih, membersihkan lapangan dan masjid, membersihkan saluran irigasi, serta pembangunan jalan usaha tani.
c. Kebersamaan dan keteladanan masyarakat, terlhat melalui kebiasaan masyarakat yang suka berkumpul dengan sesamanya, mislanya pada pelaksanaan yasinan. Dalam pelaksanaan kegiataan tersebut masyarakat berkumpul bersama untuk bercerita dan berdiskusi mebahas persoalan sehari-hari dan masalah-masalah seputar pemerintahan kecmatan maupun desa. Sedangkan untuk keteladanan, masyarakat menjadikan tokoh adat, tokoh agama, tokoh pendidik dan tokoh pemerintah sebagai panutan mereka. d. Kewajiban warga masyarakat, dalam proses meningkatkan sumber daya manusia masyarakat memiliki kewajiban untuk patuh dan taat terhadap kebijakankebijakan pemerintah; masyarakat juga memiliki kewajiban untuk mendukung proses pembangunan ; serta masyarakat wajib untuk terlibat atau berpartisipasi (baik secara pikiran, tenaga dan materi) untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai subjek pembangunan. Pada bagian ini juga, peneliti menyarankan kepada pemerintah terkait agar: 1. Lebih mengefektifkan pelaksanaan pembangunan masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam visi dan misi Kabupaten Parigi Moutong. Proses peningkatan pembangunan ini yang pendekatannya itu hendak mencakup semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya pendekatan kultural masyarakat. Karena masyarakat yang ada di Kabupaten Parigi Moutong ini memiliki budaya dan etnik yang berbeda-beda. Sehingga pendekatan tersebut dianggap sangat penting demi mencapai tujuan daripada pembangunan tersebut. 2. Pihak pemerintah juga hendaknya memberikan semacam sosialisasi kepada masyarakat mengenai semboyan songu lara mombangu ini. Bila perlu, semboyan ini dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan melalui pengetahuan budaya lokal. Agar masyarakat itu lebih memiliki pemahaman yang luas tentang songu lara mombangu sebagai pedoman mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta dalam melakukan proses pembangunan mulai dari usia sekolah dasar. Untuk masyarakat umum sendiri, hendaknya mereka menjaga kearifan lokal songu lara mombangu agar tetap terjaga kelestariannya sebagai suatu warisan budaya lokal. Serta masyarakat tersebut perlu untuk terus menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan ini dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sehingga nantinya songu lara mombangu ini dapat dikenal oleh kalangan masyarakat di luar Kabupaten Parigi Moutong, bahkan sampai pada
kancah internasional. Di mana Kabupaten Parigi Moutong memiliki semboyan songu lara mombangu sebagai suatu kearifan lokal masyarakat, yang dipraktikkan melalui pementasan seni budaya seperti itu festival kebudayaan dengan mengangkat tema seputar songu lara mombangu.
DAFTAR PUSTAKA Grondona, M., 2011, “Tipologi Budaya Pembangunan Ekonomi”, dalam Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntingon (ed), Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Makmur, A. (ed), 2011, Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jakarta. Nasution, B., 1998, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. Yunus, R., 2014, Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris Tentang Huyula, Cet. 1, Ed. 1, Deepublish, Yogyakarta. Jurnal/Skripsi/Tesis Ackyl, D., “Kearifan Lokal Sebagai Aset Budaya Bangsa”. Nurroh, S., 2014, “Critical Review Studi Kasus: Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku Sunda Dalam Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan”, Tesis pada Program Magister Ilmu Manajemen Lingkungan, Universitas Gadja Mada, Yogyakarta. Ridwan, N. A., 2007, “Landasan keilmuan Kearifan Lokal”, Jurnal Studi Islam dan Budaya (IBDA), Vol. 5, No. 1, Jan-Jun. Setiawan, D., Februari 2013, “Peran Pendidikan Karakter dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1. Suprapto, “Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Bagi Upaya Resolusi Konflik”, Jurnal Walisongo, Volume 21, Nomor 1. Wigiran, Oktober 2012, “Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-Nilai Karakter Berbasis Budaya)”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 3. Wigiran, Oktober 2012, “Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-Nilai Karakter Berbasis Budaya)”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 3. Internet https://www.academia.edu/8425033/pdf