PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI DI DAERAH (Studi Tentang Pengembangan Model Penyidikan Tipikor Untuk Penguatan Pengadilan Tipikor di Jawa Tengah )1 Oleh : Dr. Hibnu Nugroho, S.H..M.H.2 ABSTRAK Pengadilan Tipikor di daerah telah diamanatkan dalam Pasal 3 UU No.46/2009, tujuan keberadaannya adalah agar Tipkor yang ada diwilayah hukum pengadilan tersebut dapat tertangani dengan cepat. Penegakan hukum tipikor tidak bisa dilakukan hanya dengan telah berdirinya pengadilan semata namun harus didukung oleh sub sistem penegak hukum kepolisian dan kejaksaan yang memadai, agar Sistem peradilan pidana yang ideal dapt terlaksanaan sebagaimana diharapkan. Kata kunci : Penyidikan, Korupsi, Pengadilan Tipikor Daerah.
ABSTRACT INVESTIGATION OF CORRUPTION CASE IN REGION (Study about Corruption Investigation Model Developmen of Strengthen the Corruption Court In Central Java) Corruption court in regional area has mandated by articel 3 Regulation No. 46/2009, the goal of its existence is to handle all corruption case under the region of court jurisdiction quickly. Law enforcement toward corruption can’t be done by only having court, but sholud be supported by sub system of law enforcer, adequate police and attorney, therefore ideal criminal justice system can be achieved like how it supposed to be. Keywords : Investigation, Corruption, Regional Corruption Court. A. Pendahuluan Pasal 3 UU No.46/2009 mengamanatkan adanya Pengadilan tipikor disetiap Kabupaten.Karena keterbatasan sarana dan prasarana hingga saat ini pengadilan tersebut baru terselenggara disetiap provinsi, Keberadaan pengadilan tipikor daerah yang pada awalnya sangat didambakan oleh masyarakat ternyata satu setengah tahun setelah pembentukannya justru mulai membuat kecewa masyarakat akibat vonis yang dijatuhkan beberapa kali membebaskan terdakwa. Dari data ICW, dapat diketahui Pengadilan Tipikor Bandung membebaskan 4
kasus, pengadilan Tipkor
Semarang 4 kasus, pengadilan
Tipikor Samarinda 14 kasus dan pengadilan tipikor Surabaya sebanyak 21 kasus. Vonis pengadilan dijatuhkan bukanlah semata-mata
hasil kerja dari hakim
pemeriksa perkara saja namun merupakan rangakian panjang proses penegakan hukum 1
Disampaikan dalam Seminar Nasional & Call Papers Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan III, 26-27 Nov 2013 di LPPM Unsoed Purwokerto. 2 Dosen Tetap Fak.Hukum Unsoed
1
sejak tahap penyelidikan. Oleh sebab itu disetiap tahap penegakan hukum memiliki tanggungjawab yang sama besar dalam penanganan kasus tipikor. Berdasarkan hal tersebut maka timbul permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah penyidik tipikor kepolisian dan kejaksaan di wilayah Jawa Tengah mampu mengungkap kasus Tipikor di daerah ? 2. Kendala-kendala apakah yang dihadapi penyidik tipikor dalam mengungkap kasus tersebut ? 3. Bagaimanakah model penyidikan tipikor yang ideal untuk menguatkan kedudukan pengadilan tipikor di Jawa Tengah ?
B. Metode Penelitian
Sehubungan dengan obyek penelitian yang diteliti adalah tentang hukum, maka penelitian ini merupakan penelitian yuridis.3 Karena fokus studinya pengungkapan perkara tipikor ditingkat penyidikan, maka hal ini termasuk metode yuridis dalam arti luas, sehingga metode pendekatan yang digunakan adalah metode empiris.4 Selanjutnya karena penelitian ini bertujuan untuk menemukan model penyidikan Tipikor yang yang ideal guna memperkuat kedudukan Pengadilan Tipikor di daerah maka penelitian ini mempergunakan metode analisis Penelitian dan Pengembangan (Research and Developmen/R&D).5
C. Hasil dan Pembahasan 1. Penyidikan Tipikor oleh Penyidik Kepolisian dan Penyidik Kejaksaan di wilayah Jawa Tengah. Tindak pidana korupsi yang terjadi pada saat ini tidak lagi berpusat di ibukota negara. Adanya sistem pemilihan kepala daerah langsung ditengarai menjadi salah satu pemicu maraknya perilaku korup di daerah. Menurut catatan ICW, hingga 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari 20 gubernur, satu wakil gubernur, 17 walikota, 8 wakil walikota, 84 bupati dan 19 3
Barda Nawawi Arief, September 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya Reorientasi Pemahaman) , Penataran MPIH di Unsoed Purwokerto, 11-15 September 1995., 4 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hal.13. Metode yuridis sendiri dapat dilihat dalam arti sempit dan arti luas, penggunaan metode yang hanya melihat hubungan yang logis, sistematis di dalam keseluruhan perangkat norma dikatakan metode yuridis dalam arti sempit, tetapi apabila yang dilihat itu tidak hanya hubungannya di dalam perangkat norma belaka, tetapi bahkan efek sosial dan pentingnya latar belakang kemasyarakatannya, maka metode ini dikatakan yuridis dalam arti luas. 5 Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,Bandung : Alfabeta.Hlm.297.
2
wakil bupati. Menurut peneliti ICW Donal Fariz6, pola korupsi yang terjadi di setiap daerah berbeda. Di daerah yang kaya sumber daya alam, korupsi banyak terjadi pada soal perizinan tambang dan alih fungsi lahan. Sedangkan daerah yang tidak kaya sumber daya alam, korupsi banyak terkait dengan belanja daerah untuk pengadaan barang dan jasa. Donal menyatakan minimnya kontrol publik juga menyebabkan terjadi korupsi. “Korupsi di daerah lahir saat kewenangan digeser (dari pusat ke daerah), kemudian juga dana yang cukup banyak. Persoalan itu semakin buruk karena calon kepala daerah jor-joran menghabiskan uang pada saat pemilihan, sementara gaji atau pendapatnya sebagai kepala daerah tidak berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan sewaktu pemilihan kepala daerah. Itu juga faktor pemicu banyak korupsi di lingkungan kepala daerah”. 7 Dari narasumber Polda Jawa Tengah diperoleh tabel penanganan kasus korupsi periode Januari sampai dengan Desember 2012 sebagaimana tercantum di bawah ini : Tabel 1 : Data Penanganan Kasus Korupsi Bulan Januari –Desember 2012 Jajaran Polda Jateng 8 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
SATWIL DIT Reskrimsus Res Banyumas Res Cilacap Res Purbalingga Res Banjarnegara Res Pekal Kota Res Pekalongan Res Tegal Kota Res Batang Res Pemalang Res Tegal Res Brebes Res Pati Res Kudus Res Jepara Res Blora Res Rembang Res Grobogan Res Sukoharjo Res Klaten Res Boyolali Res Sragen
LP Th 2012 4 1 2 1 1 1 1 1
Murni 3 1
SELESAI Tunggakan 6
2 1 1 1
1 1 2 3 1 1
1
1 1 1 1
2 2
1
1
1 2 2 1 1 1
JML 9 1 2 1 1 2 1 2 1 2 2 1 2 3 1 1 1
1 1
6
ICW : Otonomi Daerah Picu Korupsi Kepala daerah. http://www. voaindonesia.com/content/icwotonomi-daerah-picu-korupsi-kepala-daerah/ 1690178.html, diakses tanggal 30 Juni 2013. 7
Ibid. Data Primer yang diolah, tanggal 25 April 2013 dengan narasumber Kompol Agus Setyawan, S.H.SIK.M.Hum.- Kasub dit III Tipikor dan Kompol Sitorus – Penyidik Tipikor, Polda Jateng di Semarang. 8
3
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Res Kr.anyar Res Wonogiri Res Magl Kota Res Magelang Res Wonosobo Res Kebumen Res Temanggung Res Purworejo Res Salatiga Res Demak Res Kendal Res Semarang Resta Surakarta Restabes Semarang Jumlah
1 1 1 1 1
1
2 1 1 1 2 1 2 38
1 1
1
1 1 2
3
2 1 2 3
1 18
27
1 45
Tabel 2 : Rekapitulasi Penanganan Perkara Tipikor Tahap Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan Serta Penyelamatan Kerugian Keuanganan Negara Periode Januari – Desember 2012 Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Kejaksaan
Penyelidikan
Penyidikan
Kejati Jateng Kejari Semarang Cab Semarang Kejari Kendal Kejari Demak Kejari Purwodadi Kejari Ambarawa Kejari Salatiga Kejari Pati Kejari Kudus Kejari Jepara Kejari Rembang Kejari Blora Kejari Pekalongan Kejari Tegal Kejari Pemalang Kejari Batang Kejari Brebes Kejari Slawi Kejari Kajen Kejari PWT Kejari Clcp Kejari Bms Kejari Bnjrnr Kejari Pbg Kejari Mgl Kejari Mungkid Kejari Wnsb
12 4 0 2 2 1 2 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 5 1 0 1 2 1 0 1 2 0 2
30 6 0 2 3 1 2 1 1 2 2 2 1 2 1 5 2 3 3 1 5 2 2 2 2 3 2 2
9
Penuntutan Asal Kasus Penyidik Penyidik Kejaksaan Polri 14 6 6 1 0 0 1 0 2 2 1 0 1 2 2 5 2 5 1 0 0 0 1 1 0 3 1 1 1 0 2 2 6 0 1 1 2 2 4 0 3 0 1 3 2 1 4 1 0 1 5 0 2 0 2 1
Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara 50.768.100.000 1.985.500.000 0 0 171.900.000 568.759.000 1.600.000.000 12.025.018 0 558.635.000 0 43.109.000 269.500.000 0 5.200.000 471.100.000 0 125.000.000 164.200.000 0 11.667.000.000 46.504.000 0 17.730.000 0 493.868.652 493.868.625 10.380.580
Data Primer yang diolah, dari narasumber dari Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah yaitu Kasi Penyidikan Tipikor, dan Jaksa Fungsional Kejaksaan Tinggi Jateng di Semarang, tanggal 15 dan 16 April 2013.
4
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Kejari Temanggung Kejari Pwrj Kejari Kbm Kejari SKA Kejari Klaten Kejari Boyolali Kejari Sukoharjo Kejari Wonogiri Kejari Kr.anyar Kejari Sragen Jumlah
1
2
3
0
105.250.000
1 2 2 1 1 2 1 2 0 58
3 1 2 2 1 3 2 1 3 110
3 2 0 1 2 2 1 2 2 85
1 0 0 0 0 1 0 0 0 34
0 886.469.307 0 288.500.000 0 0 0 288.250.000 25.000.000 71.471.971.530
2. Kendala-kendala Yang dihadapi Oleh Penyidik Tipikor dalam mengungkap kasus Tipikor di Jawa Tengah . Kehadiran pengadilan tipikor disetiap provinsi di Indonesia, memacu perecepatan penanganan kasus-kasus korupsi yang terjadi disetiap wilayah disebuah provinsi. Konsekuensi dari keberadaan pengadilan tipikor daerah adalah kesiapan dari penegak hukum yang mengawal penegakan hukum korupusi sendiri yaitu penyidik dan penuntut umum yang berada di setiap Polres dan Polda serta Kejaksaan negeri dan Kejaksaan tinggi. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila kemudian muncul kendala-kendala di lapangan. Menurut Satjipto Rahardjo10 yang mengatakan hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya artinya ia tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum itu.Dalam penegakan hukum sangat ditentukan adanya peran “penegak hukum”, karenanya dapat dikatakan beroperasinya hukum secara baik dimasyarakat sesuai dengan tujuan penegakan hukum untuk menciptakan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat, juga akan tergantung dari kualitas penegak hukum itu sendiri. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penyidikan Tipikor di Jawa Tengah adalah sebagai berikut : Untuk Penyidik Kepolisian : 1. Faktor Penegak hukumnya, terdiri dari : a. Kurangnya jumlah personil penyidik tipikor b. Kualitas SDM penyidik kurang, karena mereka merupakan penyidik biasa yang belajar secara mandiri dan otodidak untuk menjadi penyidik tipikor. c. Beban pekerjaan tidak spesifik sehingga memcah konsentrasi dalam penanganan tipikor. d. Hasil penyidikan sering tidak nyambung sehingga harus dilakukan pra-penuntutan berkali-kali. 2. Faktor Sarana dan Prasarana, terdiri dari : 10
Satjipto Rahardjo, 2002. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar Baru. hlm..11.
5
a. Kesulitan mendatangkan saksi ahli, b. Hasil audit BPKP sering sangat lambat dalam menghitung kerugian negara sehingga berimbas pada lambatanya penyelesaian penyidikan. c. Keterbatasan dana oprasional penyidikan. Untuk Penyidik Kejaksaan : 1. Faktor Penegak hukumnya berupa : Keterbatasan jumlah jaksa yang memiliki keahlian menangani penyidikan kasus korupsi.Karena untuk menjadi jaksa penyidik tipikor merupakan jaksa-jaksa pilihan yang kemudian memperoleh pendidikan khusus di Kejaksaan Agung. Hanya sayang jaksa khusus ini kadang belum dimiliki atau jumlahnya hanya satu dua orang saja disuatu kejaksaan negeri.
2. Faktor Sarana dan Prasarana, terdiri dari : a. Kurangnya dana penyidikan hal ini terkait dengan DIPA, yang hanya membiayai untuk 20 (duapuluh) kali sidang tipikor, dan saksi yang dibiayai melalui DIPA hanya sebanyak 27 (duapuluh tujuh) orang saksi, sehingga apabila saksi yang dihadirkan lebih dari itu maka biaya harus ditanggung pihak kejaksaan.
b. Kesulitan mendatangkan saksi ahli akibat dari keterbatasan dana penyidikan. c. Lokasi pengadilan tipikor yang berada di Semarang (ibu kota provinsi), sehingga tidak efisien dan efektif waktu serta biaya bagi para JPU yang berada di kejaksaan negeri yang jauh dari Semarang.
3. Model penyidikan tipikor yang Ideal untuk menguatkan kedudukan pengadilan tipikor di Jawa Tengah. Model penyidikan tipikor yang ideal yang diharapkan ada di daerah adalah sebagaimana tergambar dalam bagan di bawah ini.
6
Bagan Model Penyidikan Tipikor MODEL PENYIDIKAN TIPIKOR UNTUK PENGUATAN PENGADILAN TIPIKOR DI JATENG
TINDAK PIDANA KORUPSI
1. Laporan masyarakat 2. Pengembangan hasil penyelidikan 3. Operasi tangkap tangan
PENYIDIKAN Lembaga Penyidikan
Polisi + Jaksa
Penuntutan Hubungan Koordinatif
Oleh JPU
Pengadilan Tipikor di Daerah Keterangan Bagan : a. Lembaga penegak hukum baik kejaksaan maupun kepolisian memperoleh informasi/data akan adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi dari sumber laporan masyarakat, pengembangan hasil penyidikan dan oprasi tangkap tangan. Dari sumber-sumber ini kemudian lembaga penegak hukum melakukan pengembangan penelitian dalam proses penyelidikannya. b. Dari hasil penyelidikan apabila diketemukan bukti permulaan yang cukup telah terjadi tindak pidana korupsi maka akan masuk pada tahap penyidikan. Pada tahap penyidikan, model ini berbeda dari model lembaga penyidikan yang telah ada pada saat ini Pada tahap penyidikan, kewenangan diberikan kepada penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan. Penyidik kepolisian dan Penyidik kejaksaan akan melakukan penyidikan
secara bersamaan secara integral untuk mencari serta
mengumpulkan bukti-bukti tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. Kedudukan penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan yang semula berdiri sendiri akan digabung. Penggabungan ini bertujuan untuk melahirkan suatu keintegralan 7
dalam lembaga penyidikan. Keintegralan dalam penyidikan tipikor menjadi sangat dibutuhkan agar dapat mengeliminir kendala-kendala yuridis yang terjadi di lapangan yang terjadi saat ini. Dengan integralnya penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan maka hasil penyidikan akan lebih efisien. Kendala yuridis yang dihadapi seperti sulitnya memperoleh P21 dan proses pra-penuntutan akan dapat berkurang jauh.
Keintegralan ini akan mengembalikan kedudukan pra-penuntutan sebagai
sarana untuk menyelarasakan kebijakan kriminal yang akan ditempuh oleh penyidik yang kemudian diteruskan oleh penuntut umum dalam suatu harmonisasi untuk menuju hasil maksimal ditingkat pengadilan nantinya.11 c. Dari hasil penyidikan akan dilanjutkan tahap penuntutan. Pada tahap ini fungsi penuntutan tetap berada pada lembaga penuntut umum yaitu kejaksaan. Karena penyidikan ini khusus untuk penyidikan tipikor di daerah maka lembaga penuntut umum yang melaksanakan tugas adalah penuntut umum kejaksaan. Hasil penyidikan yang ada pada model ini diharapkan lebih baik dari yang ada sekarang karena proses penyidikannya dilakukan oleh personil-personil penyidik yang terdiri dari unsur penyidik kepolisian, dan penyidik kejaksaan. Apabila terjadi pra-penuntutan kemungkinannya juga tidak sampai berkali-kali. Penuntut umum kejaksaan akan lebih mudah memahami hasil penyidikan yang ada mengingat sejak awal masa penyidikan telah ada personil mereka yang ikut melakukan penyidikan. Model ini diharapkan dapat lebih efektif dan efisien dalam rangka penegakan hukum tipikor di daerah. d. Tahap selanjutnya berupa persidangan. Persidangan dilaksanakan oleh pengadilan tipikor daerah. Pada model ini hakim pada pengadilan tipikor daerah dapat melakukan koordinasi dengan lembaga penyidikan. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya melakukan sinkronisasi hasil penyidikan dengan surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum. Hubungan koordinatif ini memberikan sebuah alternatif jalan keluar agar surat dakwaan yang akan diajukan dalam persidangan benar-benar valid dan didukung oleh kelengkapan alat bukti yang cukup. Kelemahan-kelamahan sebagai mana terjadi saat ini dapat dieliminir sedemikian rupa oleh jalur koordinatif ini. Dengan demikian dapat diharapkan perkara yang disidangkan dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum dengan mantap sehingga hakim dalam memutus perkara juga berdasarkan pada dukungan alat bukti yang dapat 11
Kedudukan pra-penuntutan merupakan sarana untuk menyelarasakan kebijakan criminal yang akan ditempuh oleh penyidik yang kemudian diteruskan oleh penuntut umum dalam suatu harmonisasi untuk menuju hasil maksimal ditingkat pengadilan nantinya adalah pendapat dari Mardjono Reksodiputro, 1994. Materi Kuliah Sistem Peradilan Pidana. Hlm. 96.
8
dipertanggungjawabkan. Sehingga apa yang menjadi cita-cita bagi kelahiran pengadilan tipikor di daerah dapat tercapai.
D. Kesimpulan 1 Penyidikan terhadap tipikor di wilayah Jawa Tengah yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian dan penyidik kejaksaan telah memenuhi target yang ditentukan yaitu Dit Reskrimsus Polda Jateng adalah sebanyak 12 kasus, untuk tingkat Poltabes atau Polresta sebanyak 3 kasus dan untuk tingkat Polres adalah sebanyak 2 kasus. Untuk Polda Jateng tahun 2012 dengan target sebanyak 84 kasus dapat selesai sebanyak 45 kasus (53,5 %). Sedangkan untuk penyidik Kejaksaan sewilayah Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pada tahun 2012 jumlah perkara korupsi yang dilakukan penyidikan 110 kasus, kemudian untuk penuntutan 119 kasus dengan rincian, 85 kasus merupakan hasil penyidikan dari Kajaksaan negeri/cabang kejaksaan negari se wilayah Jawa Tengah dan kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dan 34 kasus merupakan hasil penyidikan dari penyidik Kepolisian. Jumlah kerugian negara yang berhasil diselamatkan adalah sebesar Rp. 71.471.971.530. 2. Kendala-kendala yang dihadapi penyidik tipikor dalam mengungkap kasus korupsi baik penyidik kepolisian adalah berupa kurangnya Sumber daya manusia penyidik yang memiliki keahlian khusus penanganan kasus-kasus korupsi yang cenderung memiliki tingkat kesulitan tinggi, jumlah personil penyidik yang kurang, beban tugas yang terlampau berat sehingga pada saat menangani penyidikan tipikor sering kurang fokus dan keterbatasan sarana maupun prasarana untuk melakukan penyidikan, termasuk didalamnya masalah pendanaan. Sedangkan penyidik kejaksaan mengalami kendala pada keterbatasan sumber daya manusia penyidik yang menangani kasus-kasus korupsi, keterbatasan dana penyidikan yang kemudian berlanjut hingga proses persidangan yang harus dilakukan di Pengadilan Tipikor Semarang, untuk menghadirkan saksi dan saksi ahli termasuk untuk pembiayaan persidangan sangat terbatas. 3. Model penyidikan tipikor yang ideal untuk menguatkan kedudukan pengadilan tipikor di Jawa Tengah adalah adanya lembaga penyidikan. Lembaga penyidikan diisi oleh penyidik kepolisian, dan penyidik kejaksaan Kedudukan
penyidik kepolisian dan penyidik
kejaksaan yang semula berdiri sendiri akan digabung. Penggabungan ini bertujuan untuk melahirkan suatu keintegralan dalam lembaga penyidikan. Keintegralan dalam penyidikan tipikor menjadi sangat dibutuhkan agar dapat mengeliminir kendalakendala yuridis yang terjadi di lapangan yang terjadi saat ini. Dengan integralnya penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan maka hasil penyidikan akan lebih efisien . Dan pada tahap persidangan hakim pada pengadilan tipikor daerah
9
dapat melakukan
koordinasi dengan lembaga penyidikan. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya melakukan sinkronisasi hasil penyidikan dengan surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum. Hubungan koordinatif ini memberikan sebuah alternatif jalan keluar agar surat dakwaan yang akan diajukan dalam persidangan benar-benar valid dan didukung oleh kelengkapan alat bukti yang cukup. Kelemahan-kelamahan sebagai mana terjadi saat ini dapat dieliminir sedemikian rupa oleh jalur koordinatif ini.
PUSTAKA RUJUKAN Arief, Barda Nawawi September 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya Reorientasi Pemahaman) , Penataran MPIH di Unsoed Purwokerto, 11-15 September 1995. Nugroho, Hibnu. 2010. Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia. Semarang : Badan Penerbit UNDIP. -------------------. 2012. Integralisasi Penyidikan Tipikor Di Indonesia. Jakarta : Media Prima Aksara
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981. Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,Bandung : Alfabeta. ICW : Otonomi Daerah Picu Korupsi Kepala daerah. http://www. voaindonesia.com/content/icw-otonomi-daerah-picu-korupsi-kepala-daerah/ 1690178.html, diakses tanggal 30 Juni 2013. Rahardjo, Satjipto. 2002. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar Baru. Reksodiputro, Mardjono. 1994. Materi Kuliah Sistem Peradilan Pidana.
10