Keadilan Interaksional Antara Pemimpin- Karyawan dalam Organisasi Oleh Ivan Muhammad Agung Fakultas Psikologi UIN Suska Riau
Abstrak Organisasi merupakan sekumpulan orang bekerja sama guna mencapai satu tujuan. Guna terwujudnya tujuan organiasi diperlukan kerja sama antara pemimpin dan karyawan. Hubungan pemimpin-karyawan tidak hanya sebatas hubungan yang bersifat terstruktur (orentasi tugas), tetapi ada orentasi yang tak kalah penting, yaitu menjaga hubungan baik dengan karyawan. Dalam istilah keadilan organisasi hal tersebut dinamakan keadilan interaksional. Keadilan ini lebih menfokuskan bagaimana pemimpin-karyawan menilai adil hubungan yang mereka jalani. Keadilan interaksional dibagi menjadi dua, yaitu informasi dan interpersonal. Sebagai penentu kebijakan, seorang pemimpin lebih dituntut berperan dalam menciptakan keadilan interaksional dalam perusahaan. Dengan penerapan keadilan interaksional dalam hubungan pemimpinkaryawan dapat mewujudkan iklim organisasi yang kondusif sehingga perusahaan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan. Kata kunci: keadilan interaksional, pemimpin,karyawan, organisasi Abstract Organization is a group of people working together to achieve one goal. to achieve the goals of the organization needed a good leader and employee relations. Leader-employee relationship is not only a relationship that is structured (task orientation), but there is the orientation that is not less important, is to maintain a good relationship with employees. In terms of justice organization that called interactional justice. This justice is more focused how leader-employee assess fair their relationship. Interactional justice is divided into two, information and interpersonal. As a policy maker, a leader is required to play in creating interactional justice in the organization. With the application of interactional justice in the leader-employee relationship can realize organizational climate that is conducive to the company managed to achieve the goals set. Keywords: interactional justice., leader-employee, organization Pengantar Keadilan merupakan suatu yang dimpi-impikan setiap orang. Kapan dan di mana pun berada setiap orang akan membutuhkan keadilan. Dengan keadilan seseorang akan merasa dirinya dihargai, diakui dan diterima. Namun perlu disadari bahwa konsep keadilan sangat subjektif tergantung bagaimana orang mempersepsikan keadilan tersebut. Kebanyakan orang melihat konsep keadilan lebih kepada hal-hal yang bersifat objektif, artinya keadilan lebih dinilai
Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=2593677
atas persamaan apa yang diterima, yang lebih bisa dilihat secara nyata. Misalkan,
dua
karyawan yang memiliki masa kerja relative sama, mendapat gaji yang sama. Secara objektif pembagian itu tampak adil. Tetapi apakah itu mamang benar-benar adil?ini perlu dikaji secara mendalam, sebab keadilan tidak hanya terletak kesamaam dalam merima hasil (gaji) tapi keadilan juga berkaitan dengan sesuatu hal yang subjektif, seperti kualitas hubungan antara karyawan dengan pemimipin dan kesempatan dalam memperoleh karir yang baik. Hal ini juga tidak lepas dari faktor persepsi keadilan individu, terutama aspek-aspek psikologis yang ada di dalam diri individu. Hal inilah yang membuat setiap individu memiliki perbedaan dalam mempersepsikan keadialn. Apalagi setiap individu mempunyai standar tersendiri dalam mempersepsikan keadilan. Ada yang memakai standar dirinya (self- interest) atau memakai standar norma kelompok. Beberapa studi psikologi tentang keadilan banyak berkaitan dengan organisasi suatu perusahaan. Dalam suatu organisasi, peran keadilan sangat penting, khusunya bagi hubungan pemimpin dan karyawan. Bahkan ada yang menyebutkan dengan istilah keadilan oragnisasi (organization justice). Istilah organizatioal justice dipopulerkan oleh Greenberg tahun 1987. Secara umum Organizational justice adalah persepsi fairness seseorang dalam seting organisasi. Menurut Greenberg (1990) Istilah organizational justice merujuk bagaimana persepsi adil dalam organisasi berdasarkan kategori dan menjelaskan dari perasaan dan sudut pandang karyawan atas apa yang mereka terima di dalam organisasi. Sebenarnya konsep dasar organization justice berasal dari konsep keadilan dari Adam (1965), yang terkenal dengan teori keadilan (equty theory). Dalam keadilan oragnisasi terdapat tiga model Keadilan, yaitu keadilan prosedur, keadilan distributive dan keadilan interaksi. Keadilan disributif lebih orentasi lebih kepada hasil (Leventhal, 1976). Kedilan procedural lebih kepada bagaimana prosedur yang digunakan baik dalam menentukan kebijakan, keputusan atau dalam mencapai tujuan. keadilan prosedur berkaitan dengan proses control yang terjadi pada suatu perusahaan Greenberg, 1987; Leventhal, 1980; Thibaut & Walker, 1975). Untuk mengaplikasikan prosedur, maka butuh suatu proses yang dinamakan interaksi social (Folger & Greenberg’s 1985). Bies dan Moag’s (dalam Sitter, 2003) mengatakan dengan istilah keadilan interaksional (ietaractional justice). Menurutnya keadilan interaksional adalah bagaimana individu mempersepsikan keadilan berdasarkan lebih kepada hubungan interpersonal yang ia terima dari seorang figure (pemimpimpn). Menururt Ruder (2003) Keadilan interaksional adalah bagaiamana karyawan mengaplikasi suatu prosedur ke dalam suatu tindakan. Jadi bisa dikatakan bahwa keadilan intearksional bisa merupakan bagian dari keadilan prosedural yang bersifat ‘informal’. Ketiga
Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=2593677
model keadilan ini bisa saling berkaitan satu sama lain. Tetapi dalam konteks tertentu ketiga model keadilan ini bisa berdiri secara terpisah (independent) Pada tulisan ini penulis hanya fokus kepada keadilan interaksional yang terjadi pada suatu organisasi perusahaan terutama yang berkaitan dengan hubungan vertical antara pemimpin dan karyawan, serta implikasi terhadap organisasi tersebut. Keadilan interaksional, dan komunikasi Organisasi merupakan sekumpulan orang yang berkerja secara bersama-sama dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Komponen utama dalam suatu organisasi adalah anggota atau karyawan yang saling berintaraksi. Namun anggota saja tidak cukup, karena salah satu ciri yang harus dimiliki suatu organisasi adanya seorang pemimpin. Begitu juga dalam konteks organisasi perusahaaan. Setiap perusahaan mempunyai seorang pemimpin. Menurut Yukl, (2006) tugas seorang pemimpin (leader) adalah bertanggung jawab terhadap segala perubahan yang terjadi, menetapkan visi dan mengaplikasikannya dalam perusahaan. Seorang pemimpin harus tahu apa yang harus dilakukan untuk membawa perusahaannya ke depan, sehingga perusahaan bisa sukses. Untuk membuat sukses suatu perusahaan, seorang pemimpin tidak bisa bekerja seorang diri, perlu didukung oleh karyawan. Untuk memperoleh dukungan dari para karyawan tidak mudah, seorang pemimpin harus memperhatiakan aspirasi,
dan
kebutuhan para karyawan tersebut. Kebutuhan karyawan tidak hanya bersifat materi saja (mis, pembayarab gaji, dan bonus), tetapi sebagai seorang manusia—yang mempunyai keinginan untuk menjalin hubungan baik, maka aspek hubungan interpersonal antara karyawan dengan pemimpin menjadi penting. Dengan menjalin hubungan yang baik, maka akan tercipta suasana kerja yang kondusif, yang nantinya akan membawa hasil yang baik pada perusahaan. Namun untuk menciptakan suatu relasi yang baik antara karyawan dengan peminpin tidak mudah, perlu usaha dari kedua belah pihat tersebut. Pemahaman akan posisi masing-,masing diperlukan. Selain itu, sikap dan perilaku menjadi suatu sarana yang sangat penting bagaiman hubungan itu tercipta. Keadilan harus tercipta dalam hubungan antara karyawan dengan pemimpin. Keadilan seperti apa yang harus ditonjolkan atau dibutuhkan dalam menciptakan hubungan yang baik antara karyawan dengan peminpin?kalau kita membicarakan keadilan dalam kaitan interaksi atau relasi, maka hanya satu keadilan yang bisa diaplikasikan, yaitu keadilan interactional. Seperti apa yang dikatakan oleh Bies and Moag’s (dalam Sitter, 2003) bahwa keadilan interactional lebih focus kepada hubungan interpersonal.
Dalam mengkaji keadilan intearksional dalam konteks karyawan-pemimpin, maka salah satu model banyak digunakan adalah
model leader-member exchange (LMX), yang
mengutamakan pada hubungan pertukaran sosial. Menurut Graen & Scandura (dalam Masterson, 1997) LMX adalah kualitas hubungan antara karyawan dengan atasan. Hasil peneltian Masterson, dkk (1997) menunjukkan bahwa hasil keadilan interaksional dimediasi oleh
variable
pertukaran
pemimpin-karyawan.
Hubungan
baik,
seimbang
saling
menguntungkan, yang tercipta antara pemimpin-karyawan akan memunculkan persepsi positif keadilan interaksional. Menururt Greenberg (dalam sitter, 2003) keadilan interaksional di bagi menjadi dua, yaitu keadilan informasi dan keadilan interpersonal. Keadilan informasi adalah aspek sosial dari keadilan prosedur. Keadilan ini berkaitan bagaimana informasi disediakan atau diberikan pemimpin. Seorang pemimpin dapat meningkatkan persepsi fairness karyawannya dengan cara memberikan informasi yang digunakan. Bagi karyawan ketersedian informasi merupakan salah satu bagian dari keadilan yang dibutuhkan. Menarik peneltian yang dilakukan Cremer, dkk., (2004) yang menunjukkan bahwa persepsi keadilan interaksional (informasi) berhubungan dengan harga diri social dan komitmen afektif terhadap organisasi. Penelitian itu menunjukkan bahwa karyawan yang mempunyai harga diri sosial rendah cenderung memiliki persepsi keadilan interaksional dan komitmen afektif yang tinggi dibanding karyawan yang meiliki harga diri social yang tinggi. Hal ini membuktikan , bahwa orang yang memiliki harga diri social rendah cenderung membutuhkan informasi dan cenderung memiliki komitment secara emosi terhadap organisasi. Secara psikologis, hal ini disebabkan untuk mengurangi ketidakpastian. Seseorang yang meiliki harga diri social rendah lebih mudah tergantung terhadap seuatu dan cenderung lebih membutuhkan dibandingkan yang memiliki harga social tinggi. Sedangkan keadilan interpersonal adalah sebagai ‘aspek social’ dari keadilan distributi’ di mana seorang lebih akan focus terhadap konsekuensi dari hasil akhir dari suatu hubungan. Misalkan Riset yang diselenggarakan oleh Lombardo dan Mccauley ( 1988) dan Van Velsor dan Leslie ( 1991) menyatakan bahwa kepekaan hubungan antar pribadi, stabilitas emosional, kredibilitas, keahlian, integritas, dan suatu ketiadaan perilaku bertahan adalah ukuran-ukuran penting untuk penggambaran kesimpulan apakah suatu manager atau pimpinan akan berhasil di dalam suatu organisasi. Keadilan interpesonal sangat bergantung sikap dan perilaku yang terjadi dalam hubungan tersebut. Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara karyawan dan pemimpin. Ada dua hal yang menjadi elemen penting dalam keadilan interpesonal, yaitu sopan dan respek. Dillon, (1992) mengartikan respek sebagai suatu perhatian terhadap seseorang dan menganggap serius orang tersebut. Seorang pemimpin yang
memperlakukan karyawan dengan sikap sopan dan respek akan cenderung dinilai adil oleh karyawanya. Yukl ( 2006), perilaku pemimpin dalam kaitan dengan komunikasi yang jujur, memperlakukan karyawan dengan sopan dan hormat, menciptakan hubungan ramah, mempertunjukkan keahlian, dan menciptakan lingkungan yang meningkatkan perukaran komunikasi, sehingga memberikan kontribusi terhadap persepsi keadilan interpersonal karyawan. Salah satu aspek yang penting dalam membina hubungan antara karyawan dengan pemimpin adalah komunikasi. Watson and Barker (1990) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal merupakan jalan utama dalam melakukan kontak dengan orang lain dan mengembangkan hubungan interpersonal. Menurut Kernan dan Hanges (dalam Saunders & Thornhill, 2004) kualitas komunikasi antara karyawan dengan pemimpin merupakan salah titik tekan dalam keadilan interaksional khusunya pada aspek informasi. Aspek komunikasi merupakan salah aspek bisa dijadikan indikator sejauh mana hubungan itu bisa dinilai adil atau tidak. Dalam keadilan interaksional, peran komunikasi bisa menjadi indikator dalam menentukan persepsi keadilan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sitter (2003) mengenai gaya komunikasi pemimpin sebagai prediktor keadilan interaksional. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 12 gaya komunikasi, yang benar-benar menjadi predictor hanya empat, yaitu perhatian (attentive) dan santai (realaxed) untuk keadilan informasi dan
Dominant dan bersahabat (Friendly) untuk keadilan interpersonal. Khusunya untuk
dominan (Dominant) berkorelasi secara negatif terhadap keadilan interpesonal. Artinya, ketika seorang pemimpin dominan dalam berkomunikasi akan cenderung mengurangi persepsi positif terhadap keadilan interpesonal. Pemimpin cenderung dinilai tidak adil dalam hal interaksi. Aspek Keadilan interaksional Menururt Tayler (dalam Faturochman, 2002) ada tiga Aspek lain yang tak kalah penting dalam keadilan interaksional adalah, yaitu penghargaan, kepercayaan dan netralitas. 1. Penghargaan Penghargaan terhadap seseorang dapat berbentuk dalam perlakuan yang diberikan. Isu-isu dari perlakuan bijak dan sopan, menghargai hak dan menghormati merupakan bagian dari penghargaan. Penghargaan juga bisa diwujudkan dalam bentuk sikap, katakata,dan tindakan misalnya memuji, merespon dengan cepat pertanyaan atau permasalahan, apresiasi terhadap pekerjaan orang lain, dan membantu. Makin baik penghargaan seorang pemimpin terhadap karyawannya maka interaksinya dinilai semakin adil dan sebaliknya. 2. Netralitas
Konsep netralitas berangkat dari keterlibatan pihak ketiga dalam sautu permasalahan yang berkaitan dengan hubungan social antara satu pihak dengan pihak lain. Namun konsep ini juga bisa diaplikasikan tanpa ada pihak ketiga. Dalam hubungan antara karyawan dengan pemimpin, konsep netralitas diartikan sebagai suatu perlakukan dari satu pihak yang tidak membeda-bedakan terhadap pihak lain.ada unsur objektifitas, bukti dan aturan yang telah disepakati dalam perlakuan yang bersifat netral. Hal ini juga berlaku pada pengambilan keputusan. Menurut Tyler, netralitas dalam keputusan ditunjukan dengan cara mengurangi keputusan –keputusan yang bersifat bias, dengan menggunakan prinsip keterbukaan, dan kejujuran dan lebih mengutamakan bukti dari pada opini.(dalam Miles & Naumann, 2003) 3. Kepercayaan Dalam kontek keadilan, kepercayaan bisa dilihat dari model keadilan prosedural dan interaksional. Namun terdapat perbedaan pada kedua model tersebut. Dalam kontek keadilan prosedural kepercayaan ditujukan kepada organisasi, sedangkan keadilan interaksional kepercayaan ditujukan kepada atasan (pemimpin) (Cropanzano, dkk., 2002) .Kepercayaan merupakan suatu hasil yang dicapai dari suatu hubungan yang dilakukan secara terus-menerus. Kepercayaan adalah harapan dalam terhadap pihak lain dalam hubungan social, yang di dalamnya tercakup resiko yang berasosiasi dengan harapan itu. Artinya, seseorang yang percaya terhadap orang lain mau menanggung segala risiko yang akan terjadi. Menurut Misrha (dalam Faturochman, 2002) dalam membangun kepercayaan
ada empat aspek diperlu diperhatikan, yaitu kompetensi,
keterbukaan, kepedulian dan reliabilitas. Kompetensi berkaitan dengan skill atau kemampuan yang dimiliki seseorang. Pemimpin yang memiliki kompetensi akan lebih mudah menimbulkan kepercayaan bagi anggotanya atau karyawan. Sikap keterbukaan berkaiatan kejujuruan. seorang pemimpin yang terbuka dan jujur akan mudah dipercaya oleh karyawanya. Kepedulian berkaitan proses kontrol terhadap terhada[p interes pribadi dan yang tak kalah penting bagaimana menyeimbangkan antara interes pribadi dan kepentingan orang lain, sehingga orang pemberi kepercayaan lebih menjadi lebih percaya. Reliabilitas berkaiatan dengan keajegan yang terjadi dalam suatu hubungan. Hubungan yang secara-terus menerus akan meningkat kepercayaan. kepercayaan pemimpin terhadap karyawannya tidak datang tiba-tiba, perlu bukti dari karyawan tersebut:apakah ia mampu menjalani atau memegang amanah yang diberikan pemimpinya. Demikian pula kepercayaan terhadap pemimpin. Seorang karyawan akan
percaya terhadap pemimpinnya, jika sang pemimpim mampu menunjukkan kinerja yang baik serta konsisiten dengan apa-apa yang dijanjikan. Keadilan interaksional dan outcome Selama ini istilah hasil (outcome) dalam konteks keadilan organisasi lebih banyak ditujukan pada keadilan distributif. Hal ini dikarenakan keadilan distributif sangat berkaitan dengan hasil (outcome ) yang diterima (Tyler, 1989). Lalu bagaimana kontribusi keadilan prosedural dan keadilan interaksional terhadap outcome keadilan organisasi?padahal kalau kita cermati bahwa setiap tipe keadilan akan memiliki outcome sendiri-sendiri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keadilan prosedural berhubungan dengan sikap karyawan dan kepercayaan terhadap perusahaan. Masterson et al. (dalam Aryee, 2002) keadilan prosedural berkaitan dengan outcome organisasi dan komitmen organisasi. Bahkan menurut hasil penelitian Barling dan Phillip (1992) menunjukkan bahwa keadilan prosedural lebih memiliki efek terhadap outcome organisasi dari pada keadilan distributif. Sementara itu, konsep keadilan interaksional lebih ditujukan kepada bagaimana relasi atau interaksi yang tercipata antara pemimpin dan karyawan dipersepsikan adil oleh kedua belah pihak. Hasil dari keadilan interaksioanal lebih khusus pada hubungan interpesonal. Tapi tidak menutupi kemungkinan akan memiliki efek terhadap kondisi perusahaan. Ketika hubungan tersebut telah dipersepsikan adil, maka secara langsung ataupun tidak langsung akan berdampak terhadap perusahaan khususnya relasi antar pemimpin dengan karyawan. Relasi yang adil dalam hubungan berdampak tercipta hubungan harmonis, saling menghargai dan mendukung, sehingga tercipta suatu kerja yang kondusif dan pada akhirnya meningkatkan performance kerja karyawan. Keadilan interaksional juga berkaitan bagaimana akses informasi yang diterima oleh karyawan. Menurut Hart, dkk (dalam Laschinger & Finegan, 2005) akses informasi berkaitan dengn kepercayaan. Ketika seorang karyawan merasa tidak mendapat akses informasi dari pemimpinya mengenai aktivitas dan keputusan yang diambil dalam perusahaan, maka timbul perasaan curiga dan dapat merusak kepercayaan karyawan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Aryee, dkk (2002) menunjukkan bahwa keadilan interaksional sangat berkaitan dengan kepercayaan antara karyawan dengan pemimpin. Semakin tinggi kepercayaan, maka interaksinya cenderung dinilai adil. Selain itu, keadilan irteraksional juga berdampak pada komitment terhadap organisasi. Penelitian Cremer, dkk (2004) menunjukkan bahwa karyawan yang mempunyai persepsi positif terhadap keadilan interaksional cenderung memiliki komitmen afektif terhadap perusahaaan. Artinya, seorang karyawan yang menilai adil terhadap hubungan dengan atasan atau pemimpin
cenderung lebih berkomitmen terhadap perusahaan. Sesuai dengan pasil penelitian dari Barling dan Phillip (1992) menunjukkan bahwa keadilan interaksional mempunyai efek terhadap terhadap kepercayaan, komitment afektif dan perilaku menarik diri. Artinya, Seorang karyawan yang mempunyai persepsi keadilan interaksional yang positif akan lebih memiliki tingkat keprcayaan terhadap perusahaan. Komitmen terhadap perusahaan pun tinggi dan perilaku menarik diri (sering absen dan terlambat ke kantor) berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan interactional memiliki peran penting dalam perusahaan. Terutama berkaitan dengan persepsi terhadap interaksi interpesonal antara karyawan dengan pemimpin.
Selama ini
perusahaan telalu terfokus pada outcome dan prosedur formal. Padahal interaksi antara karyawan dan pemimpin sangat penting dalam persepsi keadilan dalam suatu perusahaan.
Simpulan Keadilan interaksional di organisasi merupakan keadilan yang lebih menitikberatkan pada relasi sosial yang terjadi antara karyawan dan pemimpin (atasan). Ada dua macam tipe keadilan dalam keadilan interaksional, yaitu keadilan informasi dan interpesonal. Keadilan informasi berkaitan dengan sejauh mana informasi di bagi atau disedikan oleh pemimpin yang berkaitan dengan kebijakan atau keputusan dalam perusahaan. Dan keadilan interpesonal berkaitan dengan hubungn yang tercipta tercipta antara karyawan dan pemimpin. Sikap Sopan dan hormat merupakan perilaku yang sangat penting dalam keadilan interpesonal. Selain itu, aspek komunikasi sangat penting dalam terciptanya keadilan interaksional. Gaya komunikasi pemimpin dapat menjadi prediktor dalam penilaian keadilan interksional bagi karyawananya. Ada tiga aspek dalam keadilan interaksional, yaitu penghargaan, netralitas dan kepercayaan. Bila ketiga ini dapat diaplikasikan, maka akan tercipta keadilan interaksional. Keadilan interaksional memiliki dampak bagi kondisi perusahaan terutama bagaiman relasi yang tercipta antara karyawan dan pemimpin. Seseorang yang memiliki persepsi positif terhadap keadialn interaksional akan memmilki komitmen kerja yang tinggi, tingkat absensi dan turn over yang rendah. Hal ini Secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Kondisi kerja lebih kondusif, efektif dan efeisien dan pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas Perusahaan.
Reference Aryee, S., Budhwar,P.S., & Chen, Z.X. 2002. Trust as a mediator of the relationship between organizational justice and work outcomes: Test of a social exchange model. Journal of Organizational Behavior.Vol.23, Iss. 3; pg. 267
Barling, J & Phillips, M. 1992. Interactional, formal, and Distributif Justice in the Workplace:An Exploratory Study. The Journal of Psychology. 127(6).649-659 Cropanzano,R., Prehar,C.A &Chen,P.Y. 2002. Using Social Exchange Theory to Distinguish Procedural From Interactional Justice (abstract).Group Organization Management, Sep ; 27: 324 – 35. www.sagepub.com Cremer, D.D,. Knippenberg, D,V, Dijke, M. V. and. Bos, A E. R. 2004. How Self-Relevant is Fair Treatment? Social Self-Esteem Moderates Interactional Justice Effects. Social Justice Research, Vol. 17, No. 4, Faturochman. 2002. Keadilan perspektif psikologi. Yogyakarta:unit penerbitan fakultas psikologi UGM dan Pustaka Pelajar Lashinger, H.K.S & Finegan, J. 2005. Using Empowerment to Build Trust and Respect in the Workplace:A Strategy for addresing The nursing Shortage. Nursing Economic;Jan/Feb, 23, 1;Proquest Medical Library pg.6 Mark N. K. Saunders, M.N.k & Thornhill, A. 2004.Trust and mistrust in organizations: An exploration using an organizational justice framework. European Journal Of Work And Organizational Psychology, 13 (4), 493–515 Masterson, S.S, Kyle Lewis, K., Goldman, B.M & Taylor S. 1997. integrating Justice And Social Exchange: The Differing Effects Of Fair Procedures And Treatment On Work Relationships. http://www.aom.pace.edu/amj/August2000 Miles,J.A & Stefanie E. Naumann, S.E. 2003,The Effects Of Group Affiliation On Third Parties' Justice Perceptions. Current Research In Social Psychology. Volume 8, Number 12.
www.uwsp.edu/psych/cw/publications Ruder, G.J. 2003. The Relationship Among Organizational Justice,Trust, And Role Breadth Self-Efficacy. Dissertation faculty of theVirginia Polytechnic Institute and State University. scholar.lib.vt.edu/theses/available/etd-03312003-125551/.
Saunders, M. N. K., & Thornhill, A. (2003). Organisational justice, trust and the management of change: An exploration. Personnel Review, 32, 360 – 374. Sitter,V, L.2003. Communication Style as a Predictor of Interactional Justice ://www.regent.edu/acad/sls/publications/conference_proceedings/international_leadershi p_conference/2003pdf/ Yukl, G. (2006). Leadership in organizations (6th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
3