Kontribusi Pemimpin dalam Pembentukan Budaya Organisasi Resi Yudhaningsih Politeknik Negeri Semarang Abstract: The presence of a leader in an organization has a very large contribution especially in situations where there are multiple roles. The function of leadership is not only guiding and directing subordinates, but the most important is how leaders are able to provide a clear vision and mission or the direction to which the organization will be taken. In an era where there has been a shift in culture, it is not deniable that a leader who has a keen sensitivity and intuition is needed so that subordinates know which organizational culture they are heading. Key words: leader, organizational culture
PENDAHULUAN Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai, kebiasaan, ritual, mitos maupun praktekpraktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins, 1996) semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya tersebut memiliki kontribusi sebagai pemberi identitas dan ‘normative glue’. Pemimpin dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya tersebut dapat dihayati dengan sungguhsungguh oleh para anggotanya. Kenyataan menunjukkan bahwa kontribusi pemimpin menjadi sangat tidak jelas sehingga anggota-anggotanya menjadi kehilangan kepercayaan dan pada akhirnya kehidupan organsasi menjadi kehilangan keseimbangan. Apabila kepercayaan telah menipis, maka akibat yang timbul adalah nilai-nilai kebersamaan hilang dan masing-masing individu berusaha menyelamatkan diri masingmasing dalam situasi yang sangat rumit dan ambigu. Hal inilah yang perlu menjadi suatu bahan refleksi bersama: bagaimana sebenarnya kontribusi pemimpin diterima dan dihayati oleh para anggotanya? Bagaimana kontribusi pemimpin dalam penanaman budaya organisasi dan berbagai nilai kebersamaan? Bagaimana kontribusi budaya di masa yang akan datang ketika situasi telah sedemikian kompleks. Berdasar pada renungan itulah, maka tulisan ini disusun dengan harapan orang kembali pada kekuatan yang dimiliki dengan menggali budaya yang ada guna menghadapi situasi yang menekan dan tidak jelas.
PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN Masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas dan memainkan kontribusi yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada. Jika melihat perkembangan berbagai teori mengenai kepemimpinan yang ada maka akan timbul suatu kesadaran bahwa perkembangan teori kepemimpinan telah berkembang sedemikian pesat sejalan dengan perkembangan kehidupan yang ada. Kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai penunjuk jalan namun sebagai partner yang bersama-sama dengan anggota lain berusaha mencapai tujuan. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol. 10 No. 2, Agustus 2010
85
Berangkat dari pengertian kepemimpinan itu sendiri, sejak awal mula telah begitu banyak ahli mencoba mendefisikannya dengan berbagai aspek dan pendekatannya. Istilah ini pun telah sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut bidang yang sangat luas. Stogdill (1950) mengartikan kepemimpinan sebagai proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fiedler (1967) menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap sekelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan. Dari dua definisi yang telah diajukan tersebut secara jelas menunjukkan bagaimana kepemimpinan tersebut diartikan, yaitu berkaitan usaha mempengaruhi dan menggunakan wewenang. Pengertian tersebut memberi suatu pemikiran bahwa pemimpin dipandang sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam usaha untuk memotivasi orang melakukan sesuatu seperti yang diharapkan pemimpin. Dalam bukunya Leadership in Organization, Yukl (1989) menjelaskan bahwa pada dasarnya fokus perhatian dalam berbagai penelitian mengenai kepemimpinan adalah mencoba mendalami determinan-determinan kepemimpinan yang efektif. Para ahli perilaku telah berusaha untuk mengembangkan sifat, perilaku, sumber kekuasaan, atau aspek-aspek situasi yang menentukan bagaimana sebaiknya pemimpin dapat mempengaruhi pengikut dan agar mereka mencapai sasaran kelompoknya Lebih lanjut Yukl menguraikan bahwa kepemimpinan tidak berbeda pada proses sosial yang terjadi diantara semua anggota kelompok dan kepemimpinan dipandang sebagai proses kolektif yang terbagi diantara para anggotanya. Pandangan yang lain berpendapat bahwa pada dasarnya semua anggota kelompok memiliki kontribusi tertentu yang mencakup kontribusi kepemimpinan khusus. Intinya bahwa pemimpin dan kepemimpinan tidak bisa hanya dipandang sebagai proses mempengaruhi dengan kekuasaan yang dimiliki tetapi yang terpenting adalah bagaimana pemimpin menjadi partner bagi anggotanya guna mencapai tujuan bersama. Jadi efektif tidaknya pemimpin tergantung pada bagaimana anggota dilibatkan dalam pencapai sasaran organisasi. Dalam bukunya Absolute Leadership, Philip Crosby (1996) menyatakan bahwa berdasar pada pengalamannya pribadi selama bertahun-tahun- kualitas kepemimpinan tidak hanya sekedar kemampuan untuk merespon secara efektif terhadap situasi tertentu, tetapi seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang diarahkan oleh kemutlakan tertentu (certain absolute). Kepemimpinan yang absolut menurut Crosby adalah kepemimpinan yang memiliki 1. Clear agenda, seorang pemimpin idealnya memiliki dua agenda, pertama agenda bagi dirinya sendiri, dan yang kedua adalah agenda bagi organisasinya. Tujuan dari agenda organisasi adalah untuk menentukan kerangka kerja dari semua pekerjaan yang dilakukan; sedangkan personal agenda berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pimpinan pribadi sesuai dengan apa yang sungguh-sungguh diinginkan, dan hanya dirinya pribadi yang mengetahui. Dalam hal ini agenda tersebut harus dapat diungkapkan dalam kalimat yang jelas dan tujuan yang dtentukan dapat diukur. 2. Personal philosophy, seorang pemimpin hendaknya memiliki filosofi pelaksanaan yang bersifat pragmatis dan dapat dipahami. Kerangka kerja dari pelaksanaan philosophi tersebut diciptakan dari belajar, inovasi dan keputusan 3. Enduring relationship, kehidupan organisasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah transaksi dan hubungan. Kunci untuk menjaga suatu hubungan adalah adanya penghargaan terhadap orang lain, memandang orang lain dengan cara yang positif dan keinginan untuk bekerja sama. 86
Kontribusi Pemimpin dalam Pembentukan Budaya Organisasi (Resi Yudhaningsih)
4. Worldly, berkaitan dengan budaya lain, teknologi, dan pengumpulan informasi. Hal ini berarti pula bagaimana pemimpin mampu memannfaatkan tekhnologi-tekhnologi baru, memahami pasar global, penghargaan terhadap orang lain, budaya, kondisi dan praktek-praktek bisnis yang berlangsung. Berarti pula mengetahui apa yang sedang terjadi dan mengumulkan informasi yang bersifat up-to-date. Dengan demikian jelaslah bagaimana pandangan Crosby mengenai kepemimpinan. Hal ini terutama dilandasi oleh adanya tantangn di masa yang akan datang yang menuntut adanya seorang pemimpin yang sungguh-sungguh memiliki komitmen dan prinsip hidup yang tegas dan terarah. Pada akhirnya hanya pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen yang jelaslah yang mampu menyelamatkan organisasi dari situasi yang kompleks.
BUDAYA ORGANISASI Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan. Beberapa definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Budaya oleh Robbins dan Coultar (1996) diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos, dan praktek-praktek yang terus berlanjut; mengarahkan orang untuk berperilaku dan dalam upaya memecahkan masalah. Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan bahwa budaya pada hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang mencakup pikiran, ucapan, tindakan, artifak-artifak dan bergantung pada kapasitas manusia untuk belajar dan mentarnsmisikannya bagi keberhasilan generasi yang ada. Deal dan Kennedy menambahkan, nilai pada hakekatnya merupakan inti dari suatu budaya. Nilai memberikan suatu sense of common direction bagi semua anggotanya dan petunjuk bagi perilaku sehari-harinya. Semakin kuat nilai-nilai itu diinternalisasi, maka semakin kuat pula budaya mempengaruhi kehidupan mereka. Budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi memiliki kontribusi yang tidak kecil. Heskett dan Schlesinger (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) mengatakan bahwa pemimpin turut berkontribusi dalam menciptakan kondisi budaya yang menjamin penciptaan prestasi kerja. Dalam harian Republika (1997), diterangkan bahwa ada beberapa keuntungan sebuah perusahaan (organisasi) memiliki kultur, yaitu: menentukan etika kerja, memberi arah pengembangan, meningkatkan produktivitas dan kreativitas dan mengembangkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Steere, Jr. (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) berpendapat bahwa budaya memiliki kontribusi dalam memberi identifikasi dan prinsip-prinsip yang mengarahkan perilaku organisasi dan dalam membuat keputusan, mengembangkan suatu metode sehingga individu dapat menerima feedback atas prestasi mereka, menjaga sistem reward dan reinforcement yang diberlakukan dalam organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana budaya mampu memberi suatu identitas dan arah bagi keberlangsungan hidup organisasi.
Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol. 10 No. 2, Agustus 2010
87
KONTRIBUSI PEMIMPIN DALAM PEMBENTUKAN BUDAYA ORGANISASI Kondisi yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia yang terlihat oleh betapa rentannya masyarakat terhadap berbagai macam isu menunjukkan betapa lemahnya kohesivitas yang ada dan betapa lemahnya kontribusi pemimpin sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan berbangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bersifat paternalistik, sehingga dalam hal ini kontribusi pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan membina anak buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi seluruh anggotanya. Istilah Ing Ngarsa Sung Tuladha nampaknya tepat guna mengambarkan bagaimana pola hubungan antara pimpinan dengan anak buah. Efek yang timbul adalah jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya. Sejak awal ditegaskan bagaimana kontribusi pemimpin dalam menciptakan budaya yang kondusif dalam organisasinya. Crosby menekankan perlunya seorang pemimpin untuk memiliki agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasi sehingga tahu kemana arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang dan strategi jangka pendek yang hendak dicapai dengan mengantisipasi kemungkinankemungkinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu. Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana kontribusi pemimpin tersebut. Pendapat di atas sesuai dengan Steere, Jr. (dalam Hesselbein, Goldsmith, Beckhard, 1996), bahwa bagian terpenting dari tugas seorang pemimpin adalah bertanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan budaya perusahaan, yang dilakukan dengan jalan: mengidentifikasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai dan prinsip dasar yang memandu jalannya perusahaan dan pembentukan keputusan organisasi, menetapkan perilaku yang menjadi contoh dari nilai-nilai dan prinsip organisasi dengan memberi teladan, serta menguasai budaya perusahaan secara keseluruhan, mengenal dengan baik segi positif dan negatifnya dan memperkuat nilai-nilai pada hal-hal yang diharapkan oleh organisasi. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, sehingga dapat membuat suatu keputusan yang didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dengan visi yang jelas dapat mempengaruhi orang lain agar dapat memaksimalkan pengembangan pribadi dan organisasi. Pemimpin yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang memiliki personal philosophy yang teguh, tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang ada di sekitarnya. Meskipun lingkungannya berubah demikian cepat, namun tetap punya komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah yang hendak dituju. Personal philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal di atas hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran, konsisten terhadap prinsip-prinsip yang dimiliki, serta memiliki motivasi intrinsik (Crosby, 1996). Dengan falsafah hidup inilah, maka anggota-anggota akan dapat menilai kekuatan karakter yang dimiliki pemimpinnya sehingga mereka tidak akan segan-segan mengikuti pemimpinnya. Pendapat di atas diteguhkan oleh Pinchot, Schein, Covey, Bolt, Steere, Jr., Bornstein dan Smith, Weber (dalam Hesselbein. Goldsmith dan Beckhard, 1996) yang berpendapat bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki kepribadian yang menonjol, komitmen yang jelas, bobot dalam skala efektivitas: tidak mengenal lelah, kreatif, kredibilitas, ketenangan, kompetensi, kepedulian, karakter, harga diri, semangat serta integritas yang tinggi. Kompetensi-kompetensi tersebut sangat penting mengingat hal mendasar yang melekat dalam kontribusi pemimpin adalah dirinya sebagai arsitek budaya, tanggung jawabnya terhadap budaya yang tidak dapat didelegasikan kepada orang lain. Oleh 88
Kontribusi Pemimpin dalam Pembentukan Budaya Organisasi (Resi Yudhaningsih)
karena itu seberapa besar nilai-nilai yang pada akhirnya tercipta pada budaya yang dimiliki organisasi akan diinternalisasi oleh anggota-anggotanya dan terejawantah dalam kehidupan organisasi. Dengan dasar inilah maka organisasi akan tetap hidup meskipun lingkungan berubah karena ia menjadi pondasi bagi bangunan organisasi. Hubungan yang terjalin agar tetap terjaga dengan harmonis, Weber (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) memberikan suatu saran yaitu bahwa pemimpin harus memberi peluang yang lebih banyak bagi orang lain untuk mencoba dan melakukan sendiri tanggung jawabnya. Dapat memberi dorongan dan semangat sehingga terbangkit motivasinya, menegakkan kerja sama dan melakukan pemberdayaan pada orang lain. Dalam Developing Three-Dimensional Leaders, James F. Bolt (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) berpendapat bahwa pemimpin perlu mengembangkan tiga dimensi kepemimpinan yaitu dimensi bisnis, kepemimpinan dan personal. Ketigatiganya memiliki kaitan yang sangat erat. Salah satu dimensi tersebut yaitu personal, seorang pemimpin diharapkan memiliki kemampuan self-empowered dan integration of work and life yang berarti harus selalu memperhatikan baik kehidupan pribadi dan kehidupan kerjanya sehingga diperoleh keseimbangan kerja dan sosial. Disamping ketiga point di atas perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, maka yang tak kalah pentingnya adalah bahwa pemimpin harus being “worldly”, dengan kata lain pemimpin dapat memanfaatkan pengembangan tekhnologi baru, memahami budaya yang ada dan budaya yang lain, serta selalu tidak pernah berhenti untuk mengumpulkan informasiinformasi yang penting (Crosby, 1996). Hal ini berarti bahwa pemimpin diharapkan memiliki orientasi ke masa depan, mengingat masa depan memiliki kompleksitasnya sendiri yang terkadang justru tak terbayangkan sebelumnya (Bornstein, dalam Hesselbein, Goldsmith, dan Beckhard, 1996). Di atas semua itu, pada dasarnya yang sangat dituntut pada diri seorang pemimpin adalah self-leadership (Leider, dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996). Lebih lanjut dikatakan, bahwa tanpa selfleadership tidak mungkin seorang pemimpin dapat memimpin orang lain. Seorang pemimpin diharapkan dapat menjadi model kontribusi bagi anggotanya karena tanpa dapat dipungkiri dialah yang mengkoordinasi orang lain agar bersama-sama mencapai tujuan bersama. Landasan utama bagi nilai-nilai kebersamaan itu adalah kepercayaan penuh kepada pemimpin. Ketika kepercayaan itu menipis atau bahkan hilang sama sekali, maka yang timbul adalah keresahan dan pada akhirnya akan timbul kekacauan. Pada dasarnya seorang pemimpin menurut Myers (1983) adalah seseorang yang berfungsi membantu mendefiniskan dan mencapai tujuan kelompok, dalam hal ini pemimpin membuat kebijakan dan merumuskan tujuan; memantapkan kelompok terutama ketika timbul ketegangan, dalam hal ini andil pemimpin sangat besar dalam upaya mengurangi adanya perbedaan dan mengajak kelompok bekerja sama; memberikan simbol identifikasi, dalam hal ini pemimpin bertindak sebagi simbol sehingga kelompok dapat dimantapkan dalam suatu kesatuan. Berdasar pada hal itu, maka cukup jelas bagaimana sebenarnya kontribusi pemimpin dalam penciptaan stabilitas sistem sosial. Pada akhirnya disadari bahwa pemimpin hendaknya memiliki suatu komitmen yang jelas, baik komitmen pada diri pribadi maupun komitmen terhadap organisasi.
PENUTUP Suatu organisasi hanya akan dapat berjalan sejauh nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki sungguh-sungguh diinternalisasi dan budaya yang menjadi pondasi bagi keberlangsungan hidup organisasi benar-benar mempengaruhi setiap tindakan anggota. Dalam hal ini kontribusi pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Kuat lemahnya suatu budaya dalam organisasi akan terlihat pada sejauh mana oganisasi mampu bertahan dalam situasi yang sulit. Disamping itu, kuat lemahnya budaya organisasi juga terletak pada sejauh mana anggota meletakkan kepercayaannya pada Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol. 10 No. 2, Agustus 2010
89
pemimpin mereka. Kini yang terpenting adalah kemampuan pemimpin menggunakan emosinya dan tidak semata-mata mengandalkan rasio, berarti dengan komitmen yang tinggi didasarkan pada hati nurani, pemimpin menjalankan kontribusinya.
DAFTAR PUSTAKA Crosby, P. 1996. The Absolutes of Leadership. San Francisco: Jossey-Bass Publisher. Drucker, P.T. 1996. Foreward. Dalam The Leader of The Future. New York: The Drucker Foundation. Fiedler, F.E. 1967. A Theory f Leadership Effectiveness. New York: McGraw-Hill. Hesselbein, F., Goldsmith, M., dan Beckhard, R. 1996. The Leader of The Future. New York: The Drucker Foundation. Kennedy, D.L. 1996. Understanding Personal Power. Diambil dari Dynamics of Leadership. Bombay: Jaico Publishing House. Robbins, S.P., dan Coulter, M. 1996. Management (5th ed.) New Jersey: Prentice Hall. Inc. Schultz, D.P. 1982. Psychology in Industry Today. New York: MacMillan Publishing Co. Stogdill, R.M. 1974. Handbook of Leadership. A Survey of Theory and Research. New York: The Free Press. Suseno, F.M. 1991. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia. Turner, C.H. 1994. Corporate Culture: How to Generate Organisational Strength and Lasting Commercial Advantage. London: Piatkus. Watson, C. M. 1996. Dynamics of Leadership. Bombay: Jaico Publishing House.
90
Kontribusi Pemimpin dalam Pembentukan Budaya Organisasi (Resi Yudhaningsih)