KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS MENGENAI PERJANJIAN UTANG-PIUTANG (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum Bisnis
Oleh : ABDUL KOHAR NIM : S. 320908001
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
Keadilan hukum oleh hakim atas tuntutan pembatalan akta notaris mengenai perjanjian utang-piutang (studi kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum Bisnis
Oleh : Abdul Kohar NIM : S. 320908001
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 i
KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS MENGENAI PERJANJIAN UTANG-PIUTANG (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
Disusun Oleh :
Nama
: ABDUL KOHAR
NIM
: S. 320908001
Telah disetujui oleh Pembimbing : Dewan Pembimbing Jabatan
Nama
Tanda tangan
Tanggal
Pembimbing I
Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S NIP. 194405051969021001
………………
…………..
Pembimbing II
Pranoto, S.H., M.H NIP. 196412191989031002
……………….
.………….
Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum,
Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S NIP. 194405051969021001
ii
KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS MENGENAI PERJANJIAN UTANG-PIUTANG (Studi kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
Disusun Oleh : Nama
: ABDUL KOHAR
NIM
: S. 320908001
Telah disetujui oleh Tim Penguji :
Jabatan
Nama
Tanda tangan
Tanggal
Ketua
:
Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum. NIP. 195702031985032001
……………..
..………….
Sekretaris
:
Dr. I Gusti Ayu Rahmi H, SH., MM. NIP. 1972100820012001
……………..
……………
Anggota Penguji : 1. Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S. NIP. 194405051969021001
……………..
.…………..
Anggota Penguji : 2. Pranoto, S.H., M.H. NIP. 196412191989031002
……………...
.………….
Mengetahui :
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr.H. Setiono, S.H., M.S NIP. 194405051969021001
…………………..
Direktur Program Pasca Sarjana
Prof. Drs. Suranto, MSc. Ph.D NIP. 195708201985031004
…………………..
iii
PERNYATAAN
Nama
: Abdul Kohar
NIM
: S. 320908001
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis berjudul “KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS MENGENAI PER JANJIAN UTANG - PIUTANG (Studi kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)” ini adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis ini.
Surakarta ,
April 2010
Yang membuat pernyataan.
ABDUL KOHAR
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, atas selesainya tesis ini sebagai kelengkapan syarat guna mencapai derajat magister dalam ilmu hokum pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang berjudul KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS MENGENAI
PERJANJIAN
UTANG - PIUTANG
(Studi
kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo). Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr., SpKj (K), selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Prof. Drs. Suranto, MSc. PhD, selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Bapak Prof. Dr.H. Setiono, S.H., M.S selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan juga selaku Pembimbing I. 5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.MHum selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Bapak Pranoto, S.H., M.Hum selaku Pembimbing II. 7. Bapak/Ibu Tim Penguji Tesis penulis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Pengampu dan Para Staf pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 9. Bapak Subiharta, SH.MHum mantan Ketua Pengadilan Negri Sukoharjo yang telah memberi ijin penulis melanjutkan Studi S2. 10. Bapak Binsar Siregar, SH.MH selaku Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo yang memberi ijin penulis untuk melakukan research di Pengadilan Negeri Sukoharjo dan Bapak/Ibu Hakim, serta seluruh Pegawai Pengadilan Negeri Sukoharjo. v
11. Para Notaris dan teman-teman Lawyer di Sukoharjo yang membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 12. Teman-teman satu angkatan kelas Hukum Bisnis. 13. Istriku tercinta Dra. Yenny Dwi Rayaningsih dan buah hatiku satu-satunya Swasti Nourmawati yang memberikan motivasi dan do’a. Penulis menyadari bahwasanya tesis ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya, oleh karenanya kritik dan saran yang bersifat membangun sangan penulis harapkan.
Surakarta,
April 2010
ABDUL KOHAR
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo di dalam putusannya tidak mempertimbangkan semua dalil gugatan, serta faktor apa yang mempengaruhi pikiran hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal (normatif) karena hukum diartikan sebagai keputusankeputusan yang diciptakan oleh hakim (In konkreto). Akan tetapi penelitian yang penulis lakukan ini yang dikaji adalah perilaku hakim dalam memutus suatu perkara, sehingga penelitian ini merupakan penelitian sosiologis yang dapat diamati di dalam kehidupan sosial. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan dan studi kepustakaan guna mendapatkan data primer dan sekunder, dan teknik analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan logika induksi. Hasil penelitian kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa Majelis Hakim yudex factie telah mengesampingkan ketentuan hukum acara dalam Pasal 178 ayat (2) HIR dengan tujuan ingin memberi keadilan yang substansif serta perlindungan hukum kepada tergugat selaku kreditur. Pengesampingan ketentuan hukum acara tersebut dikarenakan : 1). dilihat dari teori penyimpangan (deviant theory), hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo sebagai pemegang peran telah mengarahkan pikirannya untuk tidak menyesuaikan diri (non conform) dengan keharusan yang diberikan oleh norma yaitu ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR, 2). ditinjau dari teori interaksionisme simbolis, sikap majelis hakim tersebut lebih disebabkan karena adanya suatu pengetahuan majelis hakim yang diperoleh dari hasil sosialisasi dengan lingkungannya, yang diyakini bahwa pernyataan pengakuan utang oleh penggugat selaku debitur di dalam akta perjanjian utang piutang adalah sama dengan “pengakuan utang sepihak” yang dimaksud oleh pasal 224 HIR, sehingga majelis hakim berkesimpulan apabila pernyataan debitur tersebut digabung dalam satu akta maka akta tersebut menjadi cacat hukum dan batal. Oleh karenanya majelis hakim memilih jalan pintas untuk tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat tersebut. Ketentuan hukum acara perdata sebenarnya tidak boleh disimpangi oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, karena ketentuan hukum acara merupakan kunci pembuka jalan untuk bisa menerapkan hukum materiil yang dipakai sebagai dasar untuk memberikan keadilan yang substansial bagi kedua belah pihak yang berperkara. Hakim boleh menyimpangi ketentuan hukum manakala hukum itu bila diterapkan akan menjadikan tidak adil, akan tetapi yang dapat disimpangi hanyalah hukum materiil. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan bagi hakim guna memperluas pemikiran dalam menyusun pertimbangan-pertimbangan hukum suatu putusan pengadilan dengan tetap menegakkan ketentuan hukum acara, khususnya dalam sengketa hukum dalam hukum bisnis.
vii ABSTRACT
This study aims to find out why the judge of the Sukoharjo Public Court in the decision not to consider all the arguments the lawsuit of Plaintiff, and to know what factors influence the minds of the judges in that verdict. This research is a kind of doctrinal research (normative) because the law is defined as the decisions made by judges (in concreto). While this research by the author of this studied is the behavior of judges in deciding a case, so this research is a sociological study that can be observed in social life. Data collected by field research and literature studies in order to obtain primary and secondary data, and data analysis techniques using qualitative analysis techniques with the logic of induction. The results are then analyzed to produce conclusions that judges chamber yudex factie have ignored the Private Procedural Law Provision in Article 178 paragraph (2) HIR with the aim to provide substantive justice and legal protection to the defendant as a creditor. The ignoration of the private procedural law caused by : 1). the views of the theory of aberration (Deviant theory), the Judge of Sukoharjo Public Court as the holder of the role has been directing his mind to not adjust to (non-conform) with the requirement given by the norms of the provision of Article 178 paragraph (2) HIR. 2). in terms of symbolic interactionism theory, these judges attitude is due to the existence of a knowledge of the judges found from the socialization with their environment, which is believed that the plaintiff's statement as an acknowledgment of debt by the debtor in the deed of agreement is the same debts with 'debt recognition unilateral "referred to by Article 224 HIR, the judges concluded that the debtor if the statement were merged in the deed of agreement, accounts payable, the deed are to be legally flawed and invalid. Therefore, the judges select a shortcut for not considering the argument of the lawsuit plaintiffs. Terms of the private procedural law may not be ignored by the judge in examining and deciding the case, because the provision of procedural law is the key to open the way to apply the law as a basic material used to provide substantial justice for both parties. Judge may ignore legal provisions when the law will make it when applied unfairly, but that can only ignore material law. This research is expected to provide suggestions and input for the judge to extend the thinking in drafting the legal considerations of Verdict to keep enforcing the provisions of procedural law, particularly in legal disputes of business law.
viii DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL
…………………………………………………………….......
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………
ii
HALAMAN PERSETUJUAN TIM PENGUJI ………………………………………
iii
HALAMAN PERNYATAAN ………………………………………………………..
iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………...
v
ABSTRAK
…………………………………………………………………………
vi
ABSRACT
…………………………………………………………………………
vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………
viii
BAB I
PENDAHULUAN A.
……………………………………………
Latar Belakang Masalah
……………………………………
1
……………………………………
5
C.
Tujuan Penelitian ……………………………………………
5
D.
Manfaat Penelitian ……………………………………………
6
B. Perumusan Masalah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
……………………………………
7
……………………………………………
7
1. Beberapa Istilah Penting dalam Judul ……………………
7
2. Teori Hukum Perjanjian
……………………………
9
3. Teori Hak Tanggungan
……………………………
27
4. Teori Hukum Pembuktian
……………………………
33
5. Teori Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) …
54
B.
PENELITIAN YANG RELEVAN
59
C.
KERANGKA BERPIKIR
A.
BAB III
1
Landasan Teori
……………………
…………………………
60
……………………………………
62
A. Jenis Penelitian
……………………………………………
62
B. Lokasi Penelitian
……………………………………………
64
METODE PENELITIAN
C. Jenis dan Sumber Data
……………………………………
64
……………………………
66
D. Teknik Pengumpulan Data E.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
……………………
67
……………
70
A. Hasil Penelitian
……………………………………………
70
B. Pembahasan
……………………………………………
100
……………………………………………………
112
……………………………………………
112
ix BAB IV
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
PENUTUP A. Kesimpulan B. Implikasi
…………………………………………………… 113
C. Saran DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN :
……………………………………………………
113
……………………………………………………
115
1. Putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh. 2. Akta Notaris No. 6 tentang Perjanjian Utang-piutang. 3. Surat Keterangan Penelitian dari PN Sukoharjo.
LAMPIRAN
MOTTO :
“Hidup
adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Semua hasrat dan keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Pengetahuan adalah hampa, jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta”. (Kahlil Gibran)
vi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Dalam rangka pembangunan ekonomi untuk memperoleh kesejahtera-an hidup maka kegiatan bisnis menjadi minat yang menjanjikan di masyarakat kita dewasa ini. Untuk memulai berbisnis bagi perorangan, atau
bagi badan hukum perusahaan
guna mengembangkan usahanya pasti membutuhkan uang atau dana. Untuk mendapatkan dana tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya adalah dengan meminjam kepada pihak lain dengan mengadakan hubungan hukum utang-piutang atau yang lebih dikenal dengan istilah perjanjian kredit atau perjanjian utang-piutang apabila dilakukan diantara orang perorangan. Pinjaman uang tersebut lazimnya diperoleh dengan meminjam kepada lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya seperti koperasi. Dalam arus globalisasi ini, peningkatan dan proses pembangunan ekonomi berbanding searah dengan pertumbuhan dan percepatan partisipasi pembiayaan. Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa : Era globalisasi membawa serta meningkatkan perkembangan di segala bidang dan membutuhkan dana. Dana yang tersedia baik yang berasal dari dalam dan luar negeri, lazimnya disalurkan melalui perbankan/lembaga keuangan1. Sejalan dengan urusan dana pembiayaan ini Daeng Naja menjelaskan jenis pembiayaan yang sering dipergunakan perusahaan dalam menjalankan bisnisnya, yaitu pembiayaan dengan modal pinjaman (kredit perbankan), pembiayaan dengan modal penyertaan (penjualan saham dan modal ventura), pembiayaan dengan pengalihan piutang (factoring),pembiayaan dengan sewa guna usaha (leasing), dan pembiayaan dengan penerbitan surat berharga (commercial paper, promes, dan obligasi)2.
Dalam hal utang-piutang uang tersebut, pihak-pihaknya tidak hanya
terbatas antara bank saja yang bisa sebagai pihak kreditur, namun juga dimungkinkan dan dibenarkan yang menjadi kreditur adalah orang perorangan3. Para pelaku bisnis baik bank, koperasi maupun perseorangan selaku kreditur akan berani melepaskan uangnya kepada debitur apabila mereka yakin akan mendapat jaminan kepastian bahwa modal uang yang mereka tanamkan itu akan kembali beserta bunganya pada waktu yang ditentukan dengan aman. Oleh karenanya pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan modal
1
Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Hukum Jaminan Indonesia : dikutip dari Peter Mahmud Marzuki, Hukum Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi, Elips, Jakarta, 1998, h. 59. 2 Daeng Naja, H.R., Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Cet-I, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, h. 42. 3 Mulyoto, Peranan pembuatan Akta pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam rangka perlindungan Hukum terhadap Kreditur dan Debitur : dalam “Diperlukan Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum bagi Kreditur dan Debitur dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan”, Pusat Kajian Kebijakan Hukum dan Ekonomi (PK2HE) dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Sukoharjo, The Sunan Hotel, Solo, 20 Juni 2009, hal.2.
atas pemberian kredit tersebut4. Jaminan kepastian dan keamanan akan kembalinya hak atas tagihan uang kreditur tersebut ada apabila dipenuhinya dua hal, yaitu pertama adanya barang agunan yang dijaminkan, dan kedua adanya perlindungan hukum yang kredibel dalam perjanjian kredit yang dibuat bersama debitur. Hubungan pinjam-meninjam uang diawali dengan pembuatan kesepakatan antara peminjam uang (debitur) dan yang meminjamkan uang (kreditur), yang dituangkan dalam “perjanjian utang-piutang” bagi kreditur perorangan dan “Perjanjian Kredit” bagi kreditur berupa bank atau koperasi.
Perjanjian utang-
piutang/kredit dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis. Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, namun andaikan dibuat secara tertulis, maka surat perjanjian itu akan berguna sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan Perjanjian Utang-piutang atau perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok di samping perjanjian pemberian hak tanggungan sebagai perjanjian ikutan, dan perjanjian pokok ini biasa dibuat melalui bantuan notaris atas permintaan kreditur yang dituangkan dalam bentuk akta otentik. Penuangan perjanjian dalam bentuk akta notaris (akta otentik) tersebut bagi kreditur akan lebih memberikan jaminan keamanan apabila dikemudian hari perjanjian itu diingkari oleh debitur. Perjanjian Utang-piutang/Perjanjian Kredit sebagai perjanjian pokok dapat dibuat secara di bawah tangan ataupun dibuat secara otentik di hadapan notaris, sedangkan untuk Akta Pemberian Hak tanggungan (APHT) yang merupakan perjanjian ikutannya (acesoir) harus dibuat dihadapan PPAT5.Perjanjian ikutan dalam perjanjian utangpiutang antara lain berupa perjanjian pemberian hak tanggungan, dan keberadaan perjanjian ikutan ini tergantung dari keberadaan perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya batal maka perjanjian ikutannya ikut menjadi batal pula. Akta otentik sebagaimana tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya6. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang 4
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Ny, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Cet-I, Liberty, Yogyakarta, 1980, h.1. 5 UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, Pasal 10 ayat 2. 6 Subekti. R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet-XIII, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal. 419.
sempurna, artinya bahwa isi akta tersebut oleh hakim harus dianggap benar kecuali apabila diajukan bukti lawan, atau dengan perkataan lain bahwa apa yang termuat dalam akta otentik itu harus dianggap benar selama ketidak-benarannya itu tidak dibuktikan7. Perjanjian pokok berupa perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit yang dituangkan dalam akta Notaris, agar akta tersebut sah selain isi perjanjiannya harus memenuhi 4 (empat) syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
juga
diperlukan
syarat
formal
sahnya
akta
otentik
dalam
pembuatannya. Masalah keabsahan formalitas bentuk akta notaris yang berisi perjanjian utangpiutang/perjanjian kredit ini dapat digunakan oleh debitur yang keberatan membayar hutangnya sebagai alasan untuk mengajukan tuntutan pembatalan akta tersebut melalui pengadilan, dengan tujuan agar perjanjian ikutannya berupa perjanjian pemberian hak tanggungan ikut batal sehingga pinjaman tersebut oleh debitur tidak akan dibayar lunas atau untuk menunda pembayaran sesuai jangka waktu yang telah diperjanjikan. ntaFormalitas bentuk akta notaris dipakai sebagai alasan pembatalan akta oleh debitur, karena debitur berpendapat bahwa akta notaris yang berisi tentang perjanjian pokok utang-piutang/perjanjian kredit tersebut, tidak dapat dicampur dengan perbuatan hukum lain, seperti pernyataan pengakuan hutang dari debitur atau pernyataan pemberian jaminan dari debitur. Adakalanya debitur dalam mengajukan gugatan pembatalan akta perjanjian ke pengadilan memakai lebih dari satu alasan/dalil gugatan, misalnya alasan pertama akta notaris tidak sah karena bentuknya menyalahi ketentuan hukum, dan alasan kedua perjanjian pokok utang-piutang tidak sah karena tidak ada kesesuaian kehendak atau karena telah terjadi penyesatan, dan lain sebagainya. Dalam menghadapi
gugatan
demikian,
hakim
berkewajiban
memeriksa
dan
mempertimbangkan seluruh bagian dari alasan/dalil gugatan penggugat tersebut, agar dapat memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak yang berperkara. Hakim yang bersikap tidak mempertimbangkan semua bagian dalil gugatan penggugat dapat menjadikan pihak penggugat merasa tidak adil karena merasa dirugikan, yakni di samping tuntutannya ditolak juga akan merasakan bahwa sikap hakim tersebut tidak obyektif. Undang-undang Hukum Acara Perdata sendiri dalam hal ini Pasal 178 ayat 7
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet-VIII, CV. Mandar Maju, Bandung, 1997, hal. 66.
(2) HIR8 telah menentukan bahwa hakim
harus mengadili semua bagian dari
gugatan/tuntutan penggugat. Salah satu perkara yang menarik yaitu perkara perdata gugatan pembatalan akta notaris yang berisi perjanjian utang-piutang yang diajukan oleh pihak debitur ke Pengadilan Negeri Sukoharjo, dengan mendasarkan dalil : pertama, bahwa akta notaris tersebut berisi dua perbuatan hukum yaitu perjanjian utang piutang dan pengakuan utang, yang menurut pendapat penggugat seharusnya dibuat dalam dua akta secara terpisah, dan oleh karena kedua perbuatan hukum tersebut dibuat dalam satu akta maka akta perjanjian utang piutang tersebut cacat hokum ; Kedua, bahwa perjanjian utang-piutang tersebut telah terjadi cacat kehendak yaitu adanya penyesatan dan penipuan, karena ada ketidaksesuaian antara besarnya pinjaman yang tertulis dalam akta dengan kenyataan jumlah uang yang diterima oleh penggugat selaku debitur. Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo melalui putusan Nomor 61/Pdt.G/2008/PN.Skh telah menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,
sedangkan
dalam
pertimbangan
hukumnya
hakim
tidak
mempertimbangkan dalil gugatan penggugat yang pertama tersebut. Sikap Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang tidak mempertimbangkan semua dalil gugatan tersebut memunculkan permasalahan dalam memberikan keadilan bagi para pihak, khususnya dalam perjanjian utang-piutang yang dituangkan dalam akta notaris. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dasar pemikiran Majelis Hakim ketika memutus perkara tersebut, dan menuliskan hasilnya dalam tesis ini dengan judul: “KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN
UTANG-PIUTANG
NOTARIS (Studi
MENGENAI
kasus di Pengadilan Negeri
Sukoharjo)”. B. Perumusan Masalah
8
Herziene Indlandsch Reglement (HIR Stb. 1941-44). Abdulkadir Muhammad, dalam “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Cet-VII, PT Citra Aditya Bakti , Bandung, 2000, hal. 13 mengatakan bahwa dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 ditentukan bahwa HIR (Herziene Indlandsch Reglement) seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil. Sedangkan untuk perkara perdata tidak disinggung. Ini berarti bahwa untuk perkara perdata HIR dan Rbg bukan hanya sebagai pedoman, melainkan sebagai peraturan Hukum Acara Perdata yang harus diikuti dan diindahkan.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut : Mengapa Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo di dalam putusannya tidak mempertimbangkan semua bagian dalil gugatan pembatalan akta notaris tentang perjanjian utang piutang ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sasaran yang diharapkan sebagai pemecahan masalah yang dihadapi. Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini selain untuk mengetahui fenomena yang telah terjadi, yakni maksud dan tujuan majelis hakim dalam mempertimbangkan putusan Nomor 61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut di atas, juga untuk mengkaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi cara berpikir majelis hakim sehingga memberikan pertimbagan putusan perkara pedata tersebut. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum, dan khususnya hukum bisnis yang berkaitan dengan pemberian putusan atas tuntutan pembatalan Akta Perjanjian Utang-piutang/perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris. 2. Manfaat Praktis. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi hakim dalam menyusun pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusannya, khususnya yang berkaitan dengan putusan perkara tuntutan pembatalan akta perjanjian utang piutang yang dibuat oleh notaris.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
D. LANDASAN TEORI 1. Beberapa Istilah Penting dalam Judul Sebelum melakukan pengkajian lebih lanjut, perlu diberikan batasan-batasan terlebih dahulu untuk menghindari adanya kekeliruan pemahaman terhadap beberapa istilah dalam judul tesis ini. Adapun kata ataupun kalimat yang perlu
diberi batasan adalah : keadilan, hukum, hakim, akta notaris, dan Pengadilan Negeri Sukoharjo. Kata “keadilan” menurut kamus bahasa Indonesia merupakan kata benda yang berarti sifat atau perlakuan yang adil. Sedangkan kata “adil” artinya tidak memihak, tidak condong pada salah satu pihak9. Aristoteles filsuf Yunani termasyhur dalam tulisannya “Rhetorica” membedakan keadilan dalam dua macam 10
:
1. Keadilan distributif (Justitia distributiva), ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya, atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan ini berperan dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan ; 2. Keadilan kumulatif (Justitia Cummulativa), ialah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing. Keadilan ini lebih menguasai hubungan antara perorangan, misalnya berperan pada perjanjian tukar-merukar, antara barang yang ditukar hendaknya sama banyaknya atau nilainya. Carl Joachim Friedrich menyebut istilah keadilan kumulatif tersebut dengan istilah “keadilan korektif”. Carl Joachim Friedrich mengatakan bahwa ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah11. Kata “hukum” yang dipakai penulis untuk membahas persoalan dalam penulisan tesis ini adalah hukum dalam pengertian normatif. Dalam pengertian normatif hukum dipandang sebagai apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan tersistematisasi sebagai judge-made law12, karena ia mempunyai kekuatan hukum sebagai manifestasi atau perwujudan peraturan para penegak hukum di
9 10 11
12
EM Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publiser, hal. 18. Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Cet-X, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 63-64. Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis : dikutip dari Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, hal. 4, http://www.badilag.net, 01 April 2010, 09.40. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal.10.
dalam masyarakat. Peraturan-peraturan tersebut merupakan petunjuk bagaimana orang harus hidup bermasyarakat (levensvoorshriften)13. Kata “hakim” menurut batasan yang ditentukan oleh Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi yudikatif. Dalam memberikan keadilan menurut pemikiran Bagir Manan yang disitir oleh Habiburrahman, menyatakan, bahwa : Demi keadilan, hakim tidak dibenarkan hanya menerapkan hukum sebagai “legal justice”, melainkan wajib mengutamakan “moral justice” atau “social justice”14. Sehingga dalam kaitannya dengan judul ini, yang dimaksud dengan keadilan hukum oleh hakim adalah sikap atau perlakuan yang seimbang dari hakim yang diberikan melalui putusannya dalam suatu sengketa perkara perdata, dengan memperhatikan nilai-nilai moral, kepastian, serta kemanfaatan sehingga dapat dirasakan manfaatnya terhadap beberapa pihak yang terkait. Kata “akta notaris” adalah merupakan akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Pasal 1868 KUHPerdata memberi definisi akta otentik sebagai : Suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta dibuatnya15. Menurut A. Kohar kata authentiek itu artinya sah. Karena notaris itu adalah pejabat yang berwenang membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan notaris adalah akta authentiek atau akta itu sah16. Kata “Pengadilan Negeri Sukoharjo” menunjukkan suatu lokasi atau tempat, merupakan salah satu unit pelaksana Kekuasaan Kehakiman di bawah Mahkamah Agung RI, yang masuk dalam lingkup Peradilan Umum sesuai dengan Undangundang Nomor 8 Tahun 2004 jo UU No. Tahun 2006, yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman No. 193 Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. 2. Teori Hukum Perjanjian. a. Pengertian Perjanjian
13 14
15 16
Soeroso, R., op.cit., hal. 39. Anonimus, Pak Bagir Patut menjadi Teladan : dikutip dari Bagir Manan, Ilmuwan & Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), Mahkamah Agung RI, 2008, hal.79. Dalam kaitannya dengan penerapan hukum, dalam kutipan Habiburrahman diatas, Bagir Manan mengatakan bahwa hakim, bila perlu, wajib mengesampingkan atau meninggalkan hukum, demi memuaskan rasa keadilan masyarakat. Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Cet-I, PT Intermasa, Jakarta, hal. 585. A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 3.
Perjanjian adalah suatu cara untuk menciptakan hubungan hukum yang berupa perikatan antara seorang yang satu dengan orang lain. KUHPerdata dalam memberi istilah perjanjian menyamakan dengan istilah persetujuan. Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian (dengan istilah lain “persetujuan”) diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih17. Sedangkan penulis memandang lebih tepat dipakai istilah “perjanjian”, karena persetujuan merupakan salah satu unsur dari perjanjian itu sendiri. Beberapa sarjana telah memberikan definisi perjanjian, antara lain : Subekti, yang berpendapat bahwa “Perjanjian adalah suatu peristiwa seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”
18
. Pendapat lain datang dari R. Setiawan, yang
menyatakan pendapatnya bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”19. Sedangkan Sudikno Mertokusumo menyatakan, bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”20. Wiryono
Prodjodikoro
berpendapat,
bahwa
perjanjian
merupakan
perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam hal mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu 21. Lain lagi dengan Abdukkadir Muhammad, yang merumuskan pengertian perjanjian sebagai suatu persetujuan. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan”. Abdulkadir Muhammad memberi definisi demikian karena adanya rasa tidak puas dengan pengertian yang tersebut dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata. Beliau
17
18 19 20 21
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet-XIII, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal.304. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet-VI, PT Intermasa, Jakarta, 1979, hal.1. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta, 1986, hal. 49. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta, 1996, hal. 97. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetuan-persetujuan Tertentu, PT Sumur, Bandung, 1981, hal.1.
berpendapat bahwa definisi dalam ketentuan pasal tersebut terdapat beberapa kelemahan22, yaitu : a) Hanya menyangkut sepihak saja Dikatakan hanya menyangkut inisiatif dari sepihak saja ini dapat diketahui dari perumusan yang berbunyi “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Seharusnya rumusan tersebut berbunyi “saling mengikatkan diri”, sehingga terdapat konsensus antara dua pihak. b) Pengertian perjanjian terlalu luas Dikatakan terlalu luas, karena dalam pengertian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut didalamnya bias mencakup pula perjanjian kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud
perjanjian
di sini
adalah hubungan hukum antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. c) Tanpa menyebut tujuan Dalam perumusan pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak disebutkan secara jelas
apa tujuan
mengadakan
perjanjian, sehingga maksud
pihak-pihak
mengikatkan diri itu terlihat tidak jelas. Dengan mencermati berbagai pendapat tentang definisi perjanjian tersebut diatas, menurut penulis akan lebih tepat bila definisi perjanjian itu diambil dari gabungan antara pendapat Abdulkadir Muhammad dan Sudikno Mertokusumo. Sehingga perjanjian dapat diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang (pihak) atau lebih, saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu prestasi tertentu. Penulis berpendapat bahwa perjanjian merupakan konsep umum, tidak hanya menyangkut harta kekayaan saja sebagai obyeknya, karena obyek perjanjian dapat mengenai berbagai bidang hukum seperti: bidang hukum keluarga, bidang hukum harta kekayaan, bidang hukum publik, dan lain sebagainya. Sedangkan definisi perjanjian yang diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata yang fungsinya meliputi seluruh ketentuan hukum yang ada dalam Buku III KUHPerdata, maka selayaknya definisi tersebut ditambahkan dengan kata “dalam lapangan hukum harta kekayaan”, sehingga definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata akan berbunyi “Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang (pihak) atau lebih, saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu prestasi 22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 225.
tertentu dalam lapangan hukum harta kekayaan”. Dari definisi seperti ini maka akan terkandung unsur-unsur perjanjian sebagai berikut : 1)
Sedikitnya ada dua pihak ;
2)
Adanya persetujuan atau kesepakatan diantara para pihak itu ;
3)
Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk melaksanakan suatu prestasi ;
4)
Adanya obyek perjanjian dalam hukum harta kekayaan. Dengan adanya definisi perjanjian yang dituangkan dalam Pasal 1313
KUHPerdata, maka peristiwa persetujuan itu sendiri yang berupa titik bertemunya suatu hubungan antara para pihak yang berujud kesepakatan untuk melaksanakan suatu prestasi, oleh hukum diberi akibat hukum yang dinamakan “perikatan”. Subekti memberi arti perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasar mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu23. Sedangkan menurut Riduan Syahrani, istilah perikatan dari kata verbintenis dalam BW (Burgerlijk Wetboek) diterjemahkan beda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia, ada yang menterjemahkan dengan perjanjian dan ada pula yang menterjemahkan dengan perikatan. Dan perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu24. Menurut
Subekti,
terdapat
perbedaan
pengertian
antara
perjanjian
(overeenkomst) dan perikatan (verbintenis), dimana perjanjian adalah suatu hal yang konkrit karena perjanjian dapat dilihat, dibaca ataupun didengarkan, sedangkan perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak25. Dengan terjadinya peristiwa hukum berupa perjanjian, maka menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya, dan para pihak terikat satu sama lain, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk memenuhi janji tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan “kreditur”, pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan “debitur”, sedangkan barang yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”. Prestasi yang menjadi isi perikatan ini oleh undang-undang ditentukan dalam Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa : a.
23 24 25
Subekti, op.cit., hal. 4. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985, hal.203. Subekti, op.cit., hal. 3.
memberikan sesuatu, b. melakukan sesuatu perbuatan, dan c. tidak melakukan sesuatu perbuatan. b. Pengertian kontrak Istilah hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract
of
law,
atau
dalam
bahasa
Belanda
disebut
dengan
istilah
26
overeencomstrecht . Henry Campbell Black dalam Black Law Dictionary memberikan definisi pengertian kontrak, yaitu contract is an agreement between two or more person which creates an obligation to or not to do particular things. Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang menimbulkan suatu kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian27. Salim H.S memberi definisi hukum kontrak sebagai keseluruhan dari kaidahkaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dan hukum kontrak tersebut menurut Salim diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Sedangkan Munir Fuady mengatakan28, bahwa kontrak menurut Pasal 1313 KUHPerdata diartikan sebagai suatu perbuatan di mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Baik Henry Campbell Black, Salim H.S maupun Munir Fuady diatas memberikan pengertian istilah kontrak sama dengan pengertian perjanjian, sedangkan Subekti berpendapat bahwa perkataan kontrak mempunyai arti yang lebih sempit dari perjanjian, karena istilah kontrak hanya ditujukan kepada perjanjian yang tertulis saja. Menurut hemat penulis, pengertian kontrak yang lebih tepat adalah sesuai dengan pendapat Subekti, yakni kontrak merupakan perjanjian yang berbentuk tertulis saja karena dalam perkembangannya terutama dalam hukum bisnis banyak perjanjian tertentu yang memerlukan syarat khusus seperti : syarat tertulis, syarat harus dengan akta notaris, disamping syarat umum yang terdapat di dalam pasal 1320 KUHPerdata. a). Syarat sahnya suatu perjanjian/kontrak. 26 27 28
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet-V, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3. Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary USA : West Publising Co, 1991, 16 th Edition. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global Edisi Revisi, Cet-II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.10.
Secara umum suatu perjanjian atau kontrak dapat dikatakan sah, berlaku dan mengikat para pihak apabila memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut terbagi dalam dua golongan : 1. Syarat subyektif, meliputi : a. Adanya
kesepakatan
diantara
mereka
yang
membuat
perjanjian
(Concensus). b. Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian (Capacity). 2. Syarat obyektif, meliputi : a. Adanya sesuatu hal tertentu (a certain subject matter). b. Adanya sebab yang diperbolehkan (legal cause). Ad.1. Syarat subyektif : a). Adanya kesepakatan diantara mereka yang membuat perjanjian Kesepakatan adalah pernyataan persesuaian kehendak antara pihak yang satu dengan pihak-pihak lainnya secara timbal balik
mengenai po-
kok perjanjian yang diadakan. Ada lima cara untuk terjadinya kesepakatan menurut Sudikno Mertokusumo29, yaitu dengan : i. bahasa yang sempurna dan tertulis ii. bahasa yang sempurna secara lisan iii. bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan iv. bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan v. diam atau membisu tetapi asal dapat dipahami atau diterima pihak lawan. Mengenai inti perjanjian dan tecapainya kesepakatan ini Richard J. Bonnie dan John Monahan, guru besar Sekolah Hukum Universitas Virginia mengatakan sebagai berikut : The essence of contract is bargaining (see for example Chirelstein, 2001). One party makes an offer to another. I will promise to do X if you promise to do Y . The second party accepts this offer, or rejects the other, or makes a counter-offer, in which case the bargaining continues. At the successful conclusion of the bargaining, there has been a “manifestation of mutual assent”
29
Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Mata Kuliah hukum Perdata : Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gajahmada, Liberty, Yogyakarta, 1987, hal. 7.
between the two parties to the conditions of agreement30. Bahwa inti perjanjian adalah bertemunya kesepakatan, yang dimulai dengan penawaran dari salah satu pihak dan dilanjutkan dengan kontra penawaran dari pihak lain sehingga terjadi suatu kesepakatan atas sesuatu hal dalam suatu perjanjian. Kesepakatan tersebut sifatnya harus bebas, betul-betul atas kemauan secara sukarela dari pihak-pihak tersebut. Kesepakatan kehendak terhadap suatu perjanjian atau kontrak, dimulai dari adanya penawaran (anbood, offer) oleh salah satu pihak, kemudian diikuti oleh penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya, sehingga akhirnya terjadilah suatu perjanjian atau kontrak. Subekti menyatakan, bahwa hukum perjanjian dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata menganut azas konsensualisme, artinya ialah hukum perjanjian dari KUHPerdata menganut suatu azas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja, dan perjanjian itu (demikian pula “perikatan” yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan, ada dan mengikat pada saat atau detik konsensus tersebut terjadi, bukannya pada detik-detik yang lain yang terkemudian atau yang sebelumnya. Kesepakatan tersebut sifatnya harus bebas, betul-betul atas kemauan secara sukarela dari pihak-pihak tersebut. Apabila pada waktu perjanjian atau kontrak ditandatangani terjadi salah satu unsur paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog), maka kesepakatan tersebut menjadi cacat.
Ketentuan Pasal
1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan”. Yang dimaksud dengan paksaan (dwang) menurut ketentuan Pasal 1324 KUHPerdata adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dimana orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul ketakutan baik terhadap dirinya maupun kekayaannya dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Kekhilafan
(dwaling,
mistake)
mengadakan kesepakatan dalam
terjadi
manakala
seseorang
waktu
pikirannya terjadi suatu salah pengertian
(misunderstanding) mengenai diri orang dengan siapa seseorang mengikatkan
30
Richard J. Bonnie dan John Monahan, From Coercion to Contract : Reframing the Debate on Mandated Community for People with Mental Disorders, Law and Human Behavior, Vol.29, No. 4, August 2005, hlm. 487.
dirinya (error in persona), atau salah pengertian mengenai hakekat benda yang menjadi obyek perjanjian (error in substanstia) ; Sedangkan unsur penipuan (bedrog, fraud) sebagaimana diatur dalam pasal 1328 KUHPerdata terjadi apabila salah satu pihak yang ingin mengadakan perjanjian atau kontrak melakukan tipu muslihat atau rangkaian perkataan bohong kepada pihak lain, sehingga mengakibatkan pihak lain dalam perjanjian tersebut mau menyetujui perjanjian itu, dan apabila tidak ada tipu muslihat dan kebohongan tersebut pihak lain tidak akan menyetujuai perjanjian atau kontrak tersebut. b). Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian (Capacity). Syarat kedua ini adalah tentang kecakapan bertindak, yakni kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum. Syarat kedua berlaku bagi subyek hukum dari perjanjian atau kontrak, setiap subyek hukum harus memenuhi suatu kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang membuat perjanjian. Jika subyek hukumnya adalah “orang” (natuurlijke persoon) maka orang tersebut harus sudah dewasa, namun jika subyek hukumnya berupa “badan hukum” (recht persoon) maka harus memenuhi syarat formal suatu badan hukum. Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian atau kontrak, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Dalam ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian atau kontrak adalah : a. Orang-orang yang belum dewasa ; b. Orang-orang dibawah pengampuan ; dan c. Orang-orang perempuan yang sedang mempunyai suami. Ketentuan hukum mengenai batas usia dewasa di Indonesia ada beberapa peraturan, antara lain : 1. Ketentuan dalam KUHPerdata. Pasal 330 KUHPerdata menentukan batas minimal usia dewasa dalam arti yang luas, untuk dapat dianggap cakap melakukan tindakan hukum, yaitu : a. Seseorang baru dikatakan dewasa jika ia : i. Telah berusia 21 tahun ; ii. Telah menikah. b. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakan hukumnya diwakili oleh:
i. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama) ; ii. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada dibawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja). 2. Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Kecakapan dalam lapangan hukum keluarga diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang tersebut sebenarnya merupakan peraturan hukum yang mengatur tentang hal ihkwal mengenai perkawinan saja, akan tetapi didalamnya ditentukan pula mengenai ketentuan batas usia minimal untuk dapat dianggap cakap melakukan tindakan dalam lapangan harta kekayaan, dimana rumusan ketentuan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : i. Anak yang belum mencapai umur 18 Tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali ; ii. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 ini maka ketentuan mengenai kedewasaan seseorang yang diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata menjadi tidak berlaku lagi. sehingga kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut : (1) Jika seorang : a. Telah berumur 18 tahun; atau b. Telah menikah ; c. Seorang
yang
sudah
menikah
tetapi
kemudian
perkawinannya
dibubarkan sebelum ia genap berusia 18 tahun tetap dianggap telah dewasa. (2) Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh : a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah kekuasaan orang tua, yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama ; b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada dibawah kekuasaan orang tuanya. Artinya hanya ada salah satu dari orang tua saja. 3. Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1951.
UU No. 51 Tahun 1951 tentang Ketenaga-kerjaan menentukan batas usia kerja adalah 18 tahun. 4. Ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ditentukan, bahwa usia penghadap sebagai pihak yang cakap untuk melakukan perjanjian paling sedikit 18 tahun. Orang-orang yang berada dibawah pengampuan (curatele), yaitu orang yang sudah dewasa atau telah berusia 21 tahun, akan tetapi : mempunyai sifat pemboros, sakit ingatan, pemabok, dll. pada prinsipnya tidak cakap menurut hukum untuk membuat suatu perjanjian. Untuk itu seorang yang berada dibawah pengampuan apabila akan melakukan perjanjian harus diwakili oleh pengampu (kurator, orang yang mengawasinya), dan bila dilakukan tanpa ijin dari kuratornya maka perjanjian tersebut cacat hukum. Orang-orang perempuan yang sedang bersuami menurut ketentuan Pasal 108 KUHPerdata menjadi hilang kecakannya untuk melakukan tindakan hukum dalam bidang harta kekayaan, dan dalam melakukan tindakan hukum (perjanjian) memerlukan bantuan atau ijin (kuasa) tertulis dari suaminya. Namun ketentuan tersebut sejak Tahun 1974, dengan diaturnya ketentuan Pasal 31 ayat 1 dan 2 maka perempuan yang sedang bersuami (istri) mempunyai kedudukan yang sama dengan suami, cakap melakukan perbuatan hukum, dan tidak perlu ijin pada suaminya. Konsekuensi yuridis apabila perjanjian atau kontrak yang ternyata pihaknya tidak cakap sebagaimana ditentukan
oleh Pasal 1330 KUHPerdata, maka
perjanjian atau kontrak tersebut cacat, oleh karenaya dapat dibatalkan oleh hakim baik secara langsung oleh pihak yang tidak cakap atau melalui orang yang mengawasinya. Ad. 2. Syarat Obyektif a. Adanya sesuatu hal tertentu (a certain subject matter). Yang dimaksud dengan “sesuatu hal tertentu” dalam suatu perjanjian atau kontrak adalah sesuatu yang menjadi obyek dari perjanjian. Sebagai contoh, dalam perjanjian jual-beli Gas Alam Cair (LPG), maka obyek yang diperjual-belikan adalah gas alam itu sendiri, sehingga gas tersebut harus dapat ditentukan. Penentuan jumlah besaran Gas tersebut misalnya dengan ukuran beratnya setelah dimasukkan ke dalam tabung.
Mengenai syarat obyek tertentu ini, jika obyek tersebut berupa barang maka oleh KUHPerdata telah ditentukan sebagai berikut : 1. Barang yang menjadi obyek perjanjian harus berupa barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 KUHPerdata) ; 2. Pada saat perjanjian dibuat, barang tersebut harus sudah dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat 1 KUHPerdata) ; 3. Jumlah barang yang menjadi obyek tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat 2 KUHPerdata) ; 4. Barang tersebut dapat juga berupa barang yang baru akan ada dikemudian hari (Pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata) ; 5. Barang yang masih ada dalam warisan yang belum terbuka dilarang untuk dijadikan sebagai obyek perjanjian atau kontrak (Pasal 1334 ayat 2 KUHPerdata). b. Adanya sebab yang diperbolehkan (legal cause). Pengertian “sebab” dalam syarat obyektif dari sahnya suatu perjanjian atau kontrak ini adalah suatu alasan yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian itu sendiri31. Suatu perjanjian atau kontrak baru dianggap sah oleh hukum apabila memiliki sebab yang diperbolehkan (kausa yang legal), hal ini untuk melindungi pihak ketiga yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan dari adanya perjanjian yang dibuat tersebut. Oleh karenanya sebagai konsekuensi hukum, apabila syarat kausa yang legal dalam suatu perjanjian atau kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak terpenuhi, maka menurut ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata perjanjian atau kontrak yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan kata lain, suatu perjanjian tanpa kausa yang legal menjadikan perjanjian tersebut batal demi hukum. Suatu perjanjian atau kontrak oleh hukum dianggap tidak mempunyai kausa yang legal, apabila : 1. perjanjian atau kontrak tersebut sama sekali tanpa kausa atau sebab ; 2. perjanjian atau kontrak tersebut dibuat dengan kausa yang palsu ; 31
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 93.
3. perjanjian atau kontrak dibuat dengan kausa yang terlarang32, terdiri dari : a) kausa yang dilarang oleh perundang-undangan ; b) kausa yang bertentangan dengan kesusilaan ; c) kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum. Syarat obyektif berupa harus adanya kausa yang legal ini juga sebagai filter dari azas kebebasan berkontrak, agar asas tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak beritikad baik. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi dalam perjanjian, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), artinya bahwa perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sejak semula. Namun jika yang tidak terpenuhi adalah syarat subyektif, maka perjanjian bukan batal demi hukum melainkan salah satu pihak dapat meminta pembatalannya atau dapat dibatalkan (vernietighbaar). Jadi bila perjanjian tersebut tidak dibatalkan oleh hakim atau permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut tetap mengikat. Apabila suatu perjanjian atau kontrak telah memenuhi 4 (empat) syarat diatas maka perjanjian tersebut lahir secara sah, dan sebagai konsekuensinya sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1338 KUHPerdata maka perjanjian tersebut : a. Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya ; b. Tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak, atau karena alasan yang cukup menurut undang-undang ; c. Harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jika ada salah satu pihak dalam perjanjian atau kontrak dianggap sama dengan melanggar undang-undang yang punya akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi siapa yang melanggar perjanjian atau kontrak akan memperoleh hukuman seperti yang ditetapkan dalam undang-undang33. Walaupun pada umumnya perjanjian ataupun kontrak tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan persetujuan pihak lain, atau berdasarkan alasan yang ditetapkan undang-undang, namun ada perjanjian yang walaupun kedua pihak telah
32
33
Subekti. R dan Tjitrosudibio, op.cit., hal. 307. Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan, bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Abdulkadir Muhammad, op.cit , hal 97
setuju mengakhirinya akan tetapi tetap tidak dapat ditarik kembali yaitu dalam perjanjian perkawinan, sebagaimana diatur oleh pasal 149 KUHPerdata. Pelaksanaan perjanjian harus dengan itikad baik, artinya pelaksanaannya itu harus benar, dengan mengindahkan norma kepatutan, kesusilaan dan kebiasaan; c. Pembatalan Perjanjian atau kontrak Pada dasarnya suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak yang dirugikan. Perjanjian dapat dimintakan pembatalan, apabila : - Terdapat alasan-alasan subyektif, antara lain : 1) Perjanjian itu dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum, seperti : belum dewasa, dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan. 2) Perjanjian itu terdapat cacad kehendak, karena waktu dibuat terdapat kekhilafan, paksaaan atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Alasan pembatalan yang terdapat dalam Pasal 1321 KUHPerdata merupakan alasan yang mendasarkan adanya “Cacad kehendak dari pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kesepakatan”. Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Maksudnya kesepakatan yang diharuskan ada
dalam suatu
perjanjian itu
adalah kesepakatan yang bebas, bukan karena ada tekanan atau paksaan, kehilafan, maupun penipuan. - Karena adanya unsur paksaan Paksaan (dwang) adalah perbuatan yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan ketakutan seseorang yang berpikiran sehat bahwa diri atau kekayaannya terancam oleh suatu kerugian yang terang dan nyata34. Pasal 1324 KUHPerdata menegaskan bahwa dikatakan ada paksaan, apabila seseorang melakukan perbuatan karena takut dengan ancaman, sehingga dengan demikian orang tersebut terpaksa menyetujuai perjanjian itu. - Karena adanya unsur kekhilafan Kekhilafan (dwaling) pengertiannya adalah gambaran yang keliru mengenai subyek atau obyek dengan siapa perjanjian itu dilaksanakan. Pasal 1322 KUHPerdata menentukan bahwa pembatalan perjanjian berdasarkan kekhilafan hanya dimungkinkan dalam dua hal, yaitu : 34
Subekti. R dan Tjitrosudibio, op.cit., hal. 305..
a. apabila kekhilafan terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian ; b. apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam perjanjian yang dibuat, terutama mengingat dirinya orang tersebut. - Karena adanya unsur penipuan Penipuan (bedrog) adalah bujukan dengan menggunakan tipu muslihat, atau rangkaian kata-kata bohong yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lawannya supaya memberikan persetujuan untuk membuat perjanjian. Menurut ketentuan pasal 1328 KUHPerdata penipuan merupakan suatu alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan suatu perjanjian. -
atau, terdapat adanya alasan obyektif, antara lain : 1) Perjanjian itu dibuat bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum dan atau kesusilaan. 2) Pihak debitur melakukan wnprestasi. 3) Perjanjian yang dibuat merugikan pihak lawan. Dalam perkembangannya, selain alasan adanya paksaan, kehilafan, maupun
penipuan diatas ada penyebab cacat kehendak dalam suatu perjanjian, yakni adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden;
undue
influence). Henry Pandapotan Panggabean mengatakan bahwa hukum perjanjian di negeri Belanda telah mengalami perkembangan yang penting, yakni dengan dimasukkannya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda yang baru (Nieuw Burgerlijk Wetboek/NBW). Henry Pandapotan Panggabean memberi contoh ilustrasi tentang praktek perjanjian kredit bank di Indonesia, yang menggunakan bentuk perjanjian “standaardcontract” atau perjanjian baku. Dalam bentuk perjanjian baku ini, isi pokok perjanjian kredit bank dibagi dalam dua bagian, yaitu bagian induk dan bagian tambahan. Pada bagian tambahan inilah dijumpai syaratsyarat umum perjanjian yang lebih membebani pihak debitur mematuhi syaratsyarat peminjaman uang dari bank kreditur. Oleh karena syarat umum perjanjian kredit dibuat secara sepihak oleh pihak bank, dapat diperkirakan bahwa bank memperoleh peluang melakukan “misbruik van omstandigheden” 35. 35
Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai alas an baru untuk pembatalan perjanjian, Cet-I, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2001, hal. 3-5.
Van Dunne membedakan dua bentuk penyalahgunaan keadaan, yakni karena keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan, dengan persyaratan sebagai berikut : a. Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan ekonomis : 1. satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain ; 2. pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian. b. Persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keunggulan kejiwaan : 1. salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relative, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami-istri, dokter pasien, pendeta jemaat ; 2. salah satu pihak menyalahgunaan keadaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan sebagainya36. Untuk mengukur apakah dalam suatu perjanjian terdapat syarat yang dapat dikualifisir atau dinilai telah terjadi penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian tersebut, menurut van Dunne ada 4 pertanyaan yang dapat dipakai sebagai pegangan penilaian, yaitu : 1. apakah pihak yang satu mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain ? ; 2. adakah kebutuhan mendesak untuk mengadakan kontrak dengan pihak yang ekonomis lebih kuasa, mengingat akan pasaran ekonomi dan posisi pasaran pihak lawan ? ; 3. apakah kontrak yang telah dibuat atau syarat yang telah disetujui tidak seimbang dalam menguntungkan pihak yang ekonomis lebih kuasa dan dengan demikian berat sebelah ? 4. apakah keadaan berat sebelah semacam itu dapat dibenarkan oleh keadaan istmewa pada pihak ekonomis lebih kuasa ? Jika dari tiga pertanyaan pertama dijawab dengan ya, dan yang terakhir dengan tidak, diperkirakan sudah terjadi penyalahgunaan keadaan dan kontrak yang telah dibuat atau syarat-syarat di dalamnya, sebagian atau seluruhnya dapat dibatalkan37. 36 37
Ibid., hal. 44. Ibid., hal. 50-51.
3. Perjanjian Kredit Kata kredit berasal dari bahasa Yunani “credere”, yang berarti “percaya”. Pihak yang memberikan pinjaman disebut kreditur percaya bahwa pihak penerima pinjaman yang disebut debitur akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik mengenai jangka waktunya, pretasi maupun kontra prestasinya. Black’s Law Dictionary memberi pengertian kredit sebagai berikut : “The ability of a business man to borrow money, or obtain goods on time inconsequence of the favorable option held by the particular lender, as to his solvency and rehabilitee”38. Pengertian kredit menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1, menyatakan : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meninjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Istilah kredit merupakan istilah yang umum bagi masyarakat, dan sepintas orang kalau mendengar istilah kredit akan berfikir tentang pinjaman uang atau barang, yang kemudian akan dikembalikan dengan uang disertai dengan bunga yang dibayarkan secara mencicil. Dengan mengacu pada ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 diatas, bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam, sehingga perjanjian dalam kredit mutlak diperlukan. Dalam perjanjian kredit tersebut memuat bahwa seorang debitur (peminjam kredit) harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Sebaliknya pihak kreditur (pemberi kredit) juga akan mematuhi aturan dalam perjanjian tersebut. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan, bahwa perjanjian kredit bank mempunyai tiga ciri yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang yang bersifat riil. Ciri pertama, sifatnya konsensuil, dimana hak debitor untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit masih tergantung kepada telah terpenuhinya seluruh syarat yang ditentukan di dalam perjanjian kredit. Ciri kedua, kredit yang diberikan oleh bank kepada debitornya tidak dapat digunakan 38
Henry Black Campbell, op.cit, hal 367.
secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tertentu oleh debitor, tetapi harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian kreditnya. Ciri ketiga, kredit bank tidak selalu dengan penyerahan secara riil, akan tetapi dapat menggunakan cek dan atau perintah pemindah bukuan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa perjanjian kredit bank bukan suatu perjanjian pinjammengganti atau pinjam-meminjam uang sebagaimana yang dimaksud dalam KUHPerdata. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang dilandaskan kepada persetujuan atau kesepakatan antara bank dan calon debiturnya sesuai dengan kebebasan berkontrak39. Sebagaimana dilihat dari rumusan kredit dalam Undang-undang perbankan diatas, maka perjanjian kredit merupakan bentuk perjanjian khusus dari perjanjian pinjam menimnam yang diatur dalam Pasal 1754 Kitab Undang-undang hukum Perdata, yang mengatakan : “Perjanjian pinjam-meninjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian”. Fungsi perjanjian kredit menurut Ch. Gatot Wardoyo adalah sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, seperti Perjanjian Pengikatan Jaminan40. Selain itu perjanjian kredit juga berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban kedua belah pihak, serta berfungsi sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit. Judul dan isi Akta Perjanjian Kredit Judul dan isi perjanjian kredit yang dituangkan dalam akta dalam praktek yang dilaksanakan oleh kebanyakan Bank banyak berbeda dengan teori, sebagaimana dikatakan oleh Hasanuddin Rahman, bahwa komposisi perjanjian kredit pada umumnya terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu : a. Judul, b. Komparisi, c. Isi, dan d. Penutup. Dalam praktek, judul yang dipergunakan oleh bank-bank bermacam-macam dan setiap bank berlainan. Ada yang menyebutnya sebagai
39
40
Remy Sjahdeini, Sutan, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia : Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 159-161. Gatot Wardoyo, Ch. dalam Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 151.
Perjanjian Kredit, Perjanjian Kredit dengan Jaminan, Perjanjian membuka Kredit, Pengakuan Hutang dengan Jaminan, dan lain sebagainya41. 4. Teori Hak Tanggungan. Kredit yang diberikan baik oleh lembaga keuangan Bank ataupun perorangan selalu mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya harus diperhatikan azas-azas perkreditan yang sehat, antara lain diperlukan jaminan pemberian kredit akan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan : “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Guna memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus memberikan penilaian yang seksama yang lazim disebut dengan 5 C, yakni Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Condition42. Character (watak), yakni kreditur sebelum memberikan kredit kepada debitur harus memperhatikan apakah calon debitur mempunyai kepribadian atau watak yang baik. Sehingga diperkirakan akan sanggup memenuhi kewajiban melulasi hutangnya. Capacity (kesanggupan), yakni kemampuan calon debitur dalam menggunakan fasilitas kredit yang diberikan oleh kreditur. Capital (modal), yakni penilaian terhadap modal usaha dari calon debitur yang telah tersedia atau telah ada sebelum mendapatkan fasilitas kredit. Collateral (jaminan), adalah penilaian apakah calon debitur mempunyai jaminan yang cukup untuk melunasi utangnya. Dan Condition adalah keadaan ekonomi pada sektor usaha dan keadaan ekonomi secara umum perusahaan calon debitur itu berada. Dari 5 persyaratan diatas, penulis memfokuskan pada masalah syarat ke 4 yakni collateral atau jaminan. Jaminan menurut Hukum Perdata dapat dibedakan dalam43 : 1)
Jaminan perorangan (Personal Guarantee/Borgtocht), adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang Pihak Ketiga yang
41 42 43
Ibid, hal. 158-159. Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Pustaka Binawan Pressindo, Jakarta, 1997, hal. 3. Gatot Wardoyo, Aspek-aspek Hukum Perkreditan, Nitro Institut of Banking , Jakarta, 1992, hal. 41.
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur, apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi). Jaminan seperti ini diatur dalam Pasal 1820 – 1850 KUHPerdata. Dalam perkembangannya, jaminan perorangan juga dipraktekkan oleh perusahaan yang menjamin utang perusahaan lainnya. Dalam hal ini bank selaku kreditur sering menerima jaminan seperti ini yang disebut Corporate Guarantee ; 2)
Jaminan kebendaan (Security Right in rem/Zakelijke zekerheid), yaitu jaminan yang dikaitkan dengan harta kekayaan berupa benda-benda tertentu, baik berupa benda bergerak maupun hak kebendaan milik debitur sendiri atau milik pihak ketiga, yang secara suka rela diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan atas utang debitur. Jaminan kebendaan ini menurut sifatnya dibagi menjadi : (1). Jaminan dengan benda berwujud, berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak ; (2). Jaminan dengan benda tidak berwujud, yang dapat berupa hak tagih (cessie)44. Ketentuan Pokok Hak Jaminan di Indonesia diatur dalam Pasal 1131 dan
Pasal 1332 KUHPerdata. Pasal 1331 KUHPerdata menentukan, bahwa segala kebendaan pihak yang berutang (debitur), baik benda bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dan Pasal 1332 KUHPerdatamenentukan, bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersamasama bagi semua orang yang mengutangkan padanya (kreditur); pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dari ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata tersebut maka lembaga jaminan menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam : a. Jaminan yang bersifat konkuren, yaitu jaminan kebendaan yang tidak mempunyai hak saling mendahului dalam pelunasan utang antara kreditor yang satu dengan lainnya ; 44
Mariam Darus Badrulzaman , Benda-benda yang Dapat Diletakkan Sebagai Obyek Hak Tanggungan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 13.
b. Jaminan yang bersifat preferen, yaitu jaminan kebendaan yang memberikan kepada seorang kreditor untuk memiliki hak untuk didahulukan dalam pelunasan utang terhadap kreditor lainnya. Pasal 1333 KUHPerdata lebih lanjut menentukan bagaimana praktek hak untuk didahulukan tersebut dilaksanakan. Menurut ketentuan Pasal ini hak untuk didahulukan diantara para kreditor dapat timbul dari : a. Hak Istimewa ; b. Hak Gadai ; dan c. Hak Hipotek. Menurut Pasal 1134 KUHPerdata, Hak Istimewa ialah suatu hak yang oleh Undang-undang diberikan kepada seorang kreditur, sehingga tingkatan kreditor tersebut lebih tinggi daripada kreditur lainnya. Sedangkan Gadai merupakan hak jaminan atas suatu benda bergerak, dan Hipotek merupakan hak jaminan atas sesuatu barang tetap. a. Azas-azas yang berlaku bagi Hak jaminan Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan ada beberapa azas dalam Hak Jaminan, antara lain45 : (1). Benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maupun benda tak bergerak ; (2). Mempunyai sifat Hak Kebendaan (real right) sebagaimana diatur dalam Pasal 528 KUHPerdata. Sifat dari Hak Kebendaan tersebut adalah : 1). Absolut, yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang; 2). Droit de suite, yaitu Hak Kebendaan mengikuti benda pada siapapun dia berada ; (3). Memiliki hak accesoir, yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya ( accessorium), seperti perjanjian kredit ; (4). Adanya hak preferen, yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain (pasal 1133, 1134, dan 1198 KUHPerdata). Sedangkan Sutan Remy Sjahdeini berpendapat ada beberapa azas yang berlaku bagi Hak Jaminan, baik bagi Gadai, Fidusia, maupun
Hak
46
Tanggungan, yakni : 1) Hak jaminnan memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditor pemegang Hak Jaminan terhadap para Kreditor lainnya ;
45 46
Ibid., hal. 12. Remy Sjahdeini, Sutan, Hak Jaminan dan Kepailitan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11 Tahun 2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1996, hal. 7.
2) Hak jaminan merupakan hak accesoir terhadap perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan tersebut ; 3) Hak Jaminan memberikan hak separatis bagi kreditur pemegang Hak Jaminan itu. Artinya, benda yang dibebani dengan Hak Jaminan itu bukan merupakan harta pailit dalam hal Debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan ; 4) Hak jaminan merupakan hak kebendaan. Artinya, Hak Jaminan itu akan selalu melekat di atas benda tersebut (atau selalu mengikuti benda tersebut) kepada siapapun juga benda beralih kepemilikannya. Sifat kebendaan dari Hak Jaminan diatur dalam Pasal 528 KUHPerdata ; 5) Kreditur pemegang Hak Jaminan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan eksekusi atas Hak jaminannya. Artinya, Kreditur pemegang Hak Jaminan itu berwenang untuk menjual sendiri, baik berdasarkan penetapan pengadilan maupun berdasarkan kekuasaan yang diberikan undang-undang, atas benda yang dibebani dengan Hak Jaminan tersebut dan mengambil hasil penjualan tersebut untuk melunasi piutangnya kepada Debitur. 6) Karena Hak Jaminan merupakan hak kebendaan, maka Hak Jaminan berlaku bagi pihak ketiga. Oleh karena Hak Jaminan berlaku bagi pihak ketiga, maka terhadap Hak Jaminan berlaku azas publisitas. Artinya, Hak jaminan tersebut harus didaftarkan di Kantor Pendaftaran Hak Jaminan yang bersangkutan. Azas publisitas tersebut dikecualikan bagi Hak Jaminan Gadai, dengan alasan-alasan sebagai berikut : a. Bagi sahnya Hak Jaminan Gadai, benda yang dibebani Hak Jaminan Gadai itu harus diserahkan kepada kreditur pemegang Hak Jaminan Gadai tersebut, dan Hak Jaminan Gadai menjadi batal apabila benda yang dibebani dengan Hak Jaminan Gadai itu terlepas dari penguasaan Kreditur pemegang Hak Jaminan Gadai tersebut ; b. Benda yang dapat dibebani Hak Jaminan Gadai hanya tebatas pada benda bergerak saja ; c. Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa : “Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bungan maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barangsiapa yang menguasai benda bergerak tersebut dianggap sebagai pemiliknya”.
Sejalan dengan perkembangan dalam dunia bisnis, maka sekarang di Indonesia terdapat sejumlah bentuk hak jaminan, yaitu : 1) Hak Tanggungan, diatur dalam UU No. 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT). Undang-undang ini mencabut ketentuan jaminan dalam Bentuk hipotek yang diatur dalam KUHPerdata khusus yang berupa jaminan tanah. 2) Hipotek, diatur dalam Pasal 314 KUHD, UU No. 2 Tahun 1992 tentang Pelayaran, serta PP No. 23 Tahun 1985 yang mengatur Hipotek bagi Kapal Laut, serta Pasal 12 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1982 tentang Penerbangan, yang mengatur Hipotek bagi Pesawat Terbang ; 3) Gadai (Pand), yang diatur dalam Pasal 1150-1160 UHPerdata ; 4) Fidusia, diatur dalam UU No. 42 Tahun l999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF); dan 5) Jaminan Pribadi
(Personal Guarantee), diatur dalam Pasl 1820-1850
KUHPerdata. Penciptaan instrument hukum hak tanggungan sebenarnya merupakan upaya hukum kontrak untuk memberi jaminan kepada pihak kreditur dalam suatu hubungan utang piutang47. Jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain. Setelah Akta Pemberian Hak Tanggungan didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat, kemudian Kantor Pertanahan mencatat pendaftaran Akta tersebut ke dalam Buku Tanah serta menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan (SHT), dan bersamaan dicatatnya APHT ke dalam Buku Tanah tersebut maka sejak saat dan tanggal itulah Hak Tanggungan lahir dan mulai berlaku yang melindungi Hak Kreditur atas Jaminan Utang yang diberikan kepadanya. Sejak saat lahirnya hak tanggungan tersebut maka kedudukan bank, koperasi atau seseorang yang menjadi kreditur mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen, yang mempunyai hak preferensi yaitu hak untuk didahulukan mendapat pelunasan piutang dari hasil lelang benda yang menjadi obyek Hak Tanggungan apabila debitur wanprestasi. 47
Setiawan, Hak Tanggungan dan masalah eksekusinya, Majalah Hukum Varia Peradilan, IKAHI, Jakarta, Agustus 1996, hal. 141.
Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan, yaitu48 : 1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang. 2. Obyek Hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA. 3. hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. 4. Uang yang dijamin harus satu utang tertentu. 5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Menurut UUPA, tanah yang dapat dipakai sebagai obyek hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan saja, yang wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Namun dalam perkembangannya, UUHT No. 4 Tahun 1996 dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) nya menyebutkan bahwa hak pakai juga ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan. Dengan demikian dapat dikatakan obyek Hak Tanggungan meliputi Hak Milik, Hak guna Usaha, Hak Guna bangunan dan Hak pakai atas tanah Negara. Hak Pakai atas tanah Negara menurut Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 juga wajib didaftarkan. Karena perkembangan di bidang administrasi pertanahan, maka disamping untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, hak Pakai atas Tanah Negera tertentu yang memenuhi syarat telah didaftarkan dan dapat dipindahtangankan, juga dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan49. b. Hak Tanggungan bersifat Accessoir Hak Tanggungan merupakan salah satu Hak jaminan, yang tunduk pada azas yang bersifat “accessoir”, artinya keberadaannya terjadi karena adanya perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya. Dengan hapusnya perjanjian pokok, hapus pula Hak Tanggungannya. Sedangkan kalau Hak Tanggungannya hapus, tidak menyebabkan hutangnya hapus50. 5. Teori Hukum Pembuktian.
48 49
50
Remi Sjahdeini, Sutan., op.cit., hal. 54. Maria SW. Sumardjono, Pemahaman Awal Prinsip-prinsip Undang-undang Hak Tanggungan, : “Menyongsong Berlakunya UU Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah”, dalam Hajar Widianto, Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Berdasrkan Undang-undang Hak Tanggungan, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis, UNS, 2005, hal 26. Ibid, hal. 35.
a. Pengertian Pembuktian Dalam proses perkara perdata gugatan di pengadilan, pihak penggugat akan mendalilkan dasar tuntutannya, demikian pula sebaliknya pihak tergugat akan mendalilkan dasar bantahannya. Bagi hakim selaku wasit yang netral dan obyektif dalam menjatuhkan putusannya mempunyai tugas penting yaitu menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan maupun yang menjadi dasar bantahan benar-benar ada atau tidak. Para pihak yang berperkara bebas mengemukakan peristiwa-peristiwa hukum yang berkenaan dengan perkaranya. Peristiwa yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum inilah yang harus terbukti ada apabila penggugat menginginkan gugatannya dikabulkan, dan apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil yang menjadi dasar gugatannya maka gugatannya akan ditolak. Demikian pula ditinjau dari sudut pandang tergugat, apabila berhasil membuktikan dalil bantahannya dan tentunya penggugat gagal membuktikan gugatannya maka bagi tergugat berada di pihak yang menang. Untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa atau hubungan hukum sungguh-sungguh telah terjadi, hakim memerlukan pembuktian yang meyakinkan guna dapat menerapkan hukumnya secara tepat, benar, dan adil. Oleh karena itu, para pihak yang berperkara wajib melakukan pembuktian secara yuridis, yaitu memberikan keterangan tentang fakta-fakta yang telah terjadi disertai bukti sah yang cukup menurut hukum. Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau sangkalan dari pihak lawan mengenai apa yang digugat, atau untuk membenarkan suatu hak. Pada umumnya, yang menjadi sumber sengketa adalah suatu peristiwa atau hubungan hukum yang mendukung adanya hak. Jadi, yang perlu dibuktikan adalah mengenai peristiwa atau hubungan hukum, bukan mengenai hukumnya. Kebenaran peristiwa atau hubungan hukum itulah yang wajib dibuktikan. Jika pihak lawan (tergugat) sudah mengakui atau mengiyakan apa yang digugatkan oleh penggugat, maka pembuktian tidak diperlukan lagi.51 Selain untuk hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal, masih terdapat satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, ialah berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai, yang dalam hukum 51
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, op.cit., hal. 115.
acara perdata disebut fakta notoir52(noticeable facts), karena kebenarannya sudah diakui umum. Misalnya, bahwa pada hari minggu semua kantor pemerintah tutup. b. Beban Pembuktian Menentukan beban pembuktian bagi hakim tidaklah mudah, karena tidak ada aturan formal secara tegas yang mengatur tentang pembagian beban pembuktian, oleh karenanya hakim harus teliti dan bijaksana dalam menentukan pihak mana yang perlu diberi beban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Pasal 163 HIR, 283 Rbg menyebutkan, bahwa pihak yang mengatakan mempunyai hak, atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, atau untuk membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Pasal 163 HIR, 283 Rbg tersebut tidak menentukan pihak mana yang harus dibebani bukti lebih dahulu. Oleh karenanya dalam kaitannya dengan pembebanan bukti maka Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa untuk menentukan pihak mana yang perlu diberikan beban bukti terlebih dahulu, perlu diteliti dan dirinci ketentuan pasal 163 HIR dan 283 Rbg tersebut menurut bunyi kalimatnya, sebagai berikut53 : 1) Pihak yang mengatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya itu. Biasanya Penggugat yang mengatakan mempunyai hak, maka Penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian lebih dahulu. 2) Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu Penggugat, maka ia harus membuktikannya, beban pembuktian ada pada Penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu Tergugat, maka dia harus membuktikannya, beban pembuktian ada pada Tergugat. 3) Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah hak orang lain harus
membuktikan
adanya
peristiwa tersebut.
Apabila pihak
yang
menyebutkan peristiwa itu Penggugat, maka beban pembuktian ada pada Penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu Tergugat, maka beban pembuktian ada pada Tergugat. c. Alat bukti dalam perkara perdata 52 53
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hal. 58. Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 116.
Alat bukti dalam perkara perdata diperlukan untuk memperoleh kebenaran dalil-dalil para pihak yang berperkara. Meskipun kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolute (ultimate truth), tetapi bersifat kebenaran relative atau bahkan cukup
bersifat
kemungkinan
(probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikianpun, tetap menghadapi kesulitan. Kesulitan menemukan kebenaran menurut Yahya Harahap disebabkan beberapa faktor54 : -
Pertama, faktor sistem adversarial (adversarial system). Sistem ini mengharuskan memberi hak yang sama kepada para pihak yang berperkara untuk saling mengajukan kebenaran masing-masing, serta mempunyai hak untuk saling membantah kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial (adversarial proceeding).
-
Kedua, pada prinsipnya, kedudukan hakim dalam proses pembuktian, sesuai dengan system adversarial adalah lemah dan pasif. Tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran di luar apa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan. Kedudukan hakim dalam proses perdata sesuai dengan system adversarial atau kontentiosa tidak boleh melangkah kea rah sistem inkuisitorial (inquisitorial system). Hakim perdata dalam menjalankan fungsi mencari kebenaran, dihalangi oleh berbagai tembok pembatasan. Misalnya, tidak bebas memilih sesuatu apabila hakim dihadapkan dengan alat bukti yang sempurna dan mengikat (akta otentik, pengakuan atau sumpah). Dalam hal itu, sekalipun kebenarannya diragukan, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk menilainya.
-
Ketiga, mencari dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit, disebabkan fakta dan bukti yang diajukan para pihak tidak dianalisis dan dinilai oleh ahli (not analyzed and appraised by experts). Alat bukti (bewijsmiddel) dalam perkara perdata ada beberapa macam
bentuk dan jenis. Hukum pembuktian dalam perkara perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis alat bukti tertentu saja. Di luar itu tidak dibenarkan diajukan alat bukti lain selain yang ditentukan oleh undang-undang. Jenis alat bukti dalam perkara perdata yang diakui oleh Undang54
Yahya harahap.M, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Pembuktian, dan Pengadilan, Cet-VII, Sinar Grafika, Jakarta, April 2008, h. 496.
Putusan
undang diatur secara enumeratif dalam pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164 HIR, terdiri dari : a. bukti tulisan ;
c. persangkaan ;
b. bukti dengan saksi ;
d. pengakuan ;
e. sumpah.
Namun dalam praktek masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan, ialah “pengetahuan hakim”. Yang dimaksud dengan “pengetahuan hakim” adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang penggugat yang dirusak oleh tergugat dan seberapa jauh kerusakan itu. Mahkamah Agung dengan keputusannya tertanggal 10 April 1957 No. 213 K/Sip/1955 berpendapat bahwa : “Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 ayat 1 bersambung dengan Pasal 164 HIR tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang ahli. Sedangkan penglihatan hakim pada suatu tandatangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di dalam usaha pembuktian55”. Dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan hakim merupakan alat bukti. Sebaliknya, hal-hal atau keadaan yang diketahui oleh hakim di luar sidang, bukanlah merupakan pengetahuan hakim, melainkan pengetahuan Bapak/Ibu hakim pribadi yang secara kebetulan mengetahui hal atau keadaan tersebut. d. Alat Bukti Tulisan Alat bukti tulisan oleh undang-undang, yakni dalam Pasal 1866 KUHPerdata ditempatkan pada urutan pertama. Hal tersebut karena secara nyata hamper semua kegiatan yang menyangkut bidang perdata, seperti perjanjian jual-beli, sewamenyewa, asuransi, dan lain-lain sengaja dicatat atau dituliskan dalam surat atau akta. Bukti tulisan ini sering disebut dengan surat.
Surat merupakan alat bukti
tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti. Menurut bentuknya, alat bukti tertulis atau alat bukti tulisan diklasifikasikan menjadi dua jenis lagi, yaitu surat akta dan bukan surat akta. Surat akta adalah surat yang bertanggal dan diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang digunakan untuk pembuktian. Surat akta diklasifikasikan lagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu surat akta otentik dan 55
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hal. 61.
surat akta tidak otentik (dibawah tangan)56. Selain dalam pengertian di atas, ada surat-menyurat yang diadakan antara 2 (dua) orang atau lebih, baik dilakukan dalam hubungan bisnis ataupun dalam hubungan kasih saying antara dua remaja. Retnowulan Sutantio mengatakan bahwa hukum acara perdata mengenal 3 macam surat, ialah57 : (a). surat biasa ; (b). akta otentik ; dan (c). Akta di bawah tangan. Perbedaan antara surat biasa dan akta adalah terletak dari cara pembuatannya, surat biasa sejak awal dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti, dan apabila di kemudian hari surat tersebut dijadikan bukti hal itu merupakan suatu kebetulan saja, sedangkan akta sejak awal dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti. Sehelai kwitansi, faktur, nota pembayaran pembelian suatu barang yang ditanda tangani merupakan akta, dan tergolong dalam kelompok akta di bawah tangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian58. Dan menurut teori, akta itu ada dua macam, yakni : (1). Akta Otentik (authentic acta) Akta otentik, menurut ketentuan Pasal 165 HIR, 285 Rbg adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu, sebagai bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya tentang segala yang tersebut dalam surat itu dan bahkan tentang apa yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan saja, sepanjang langsung mengenai pokok dalam akta tersebut59. Sedangkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata berbunyi : Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat60. G.H.S
Lumban
Tobing
dalam
menanggapi
ketentuan
Pasal
1868
KUHPerdata mengatakan, bahwa apabila suatu akta hendak memperoleh stempel
56 57 58 59 60
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 119. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hal. 64. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979, hal. 106. Abdulkadir Muhammad, loc. cit. Engelbrecht, loc.cit.
otentisitas, maka akta yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut 61: 1. Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “di hadapan” (tenoverstaan) seorang pejabat umum. 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang ; 3. Pejabat umum yang dimaksud, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Retnowulan Sutantio memberi contoh, bahwa akta otentik yang dibuat “oleh” pejabat yang berwenang membuatnya, misalnya surat panggilan sidang di pengadilan yang dibuat oleh Jurusita, dan Surat Putusan Hakim. Sedangkan akta otentik yang dibuat “ di hadapan” pejabat yang berwenang membuatnya, misalnya akta nikah atau akta perkawinan dibuat di hadapan pegawai pencatat nikah, dan surat-surat perjanjian yang dibuat di hadapan notaris62. Sedangkan Abdulkadir Muhammad dalam membedakan pembuatan akta otentik tersebut dengan mengklasifikasikan akta otentik menjadi dua jenis, yaitu akta ambtelijk dan akta partai63. Akta ambtelijk adalah akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dengan mana pejabat menerangkan apa yang dilihat dan dilakukannya. Contohnya, akta cacatan sipil, akta protes pada wesel. Akta Partai adalah akta yang dibuat di hadapan pejabat, dengan mana pejabat menerangkan apa yang dilihat dan dilakukannya dan pihak-pihak yang berkepentingan mengakui keterangan dalam akta tersebut dengan membubuhkan tanda tangan mereka. Dari penjelasan Pasal 1868 KUHPerdata di atas, akta otentik itu harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUHPerdata 64: -
akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik ;
-
namun akta yang demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditanda
61 62 63 64
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1980, hal. 42. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hal. 65. Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 120. Yahya Harahap, op.cit., hal. 566.
tangani para pihak. 1. Syarat sahnya Akta Otentik yang bersifat Partai Yahya Harahap berpendapat bahwa untuk mendukung keabsahan akta otentik atau akta notaris yang bersifat partai, diperlukan syarat formil dan syarat materiil yang keduanya bersifat kumulatif, sebagai berikut65 : a. Syarat Formil Syarat formil pada akta otentik atau akta notaris ini bersifat kumulatif, artinya satu saja syarat itu tidak dipenuhi, mengakibatkan akta otentik atau akta notaris yang bersangkutan mengandung cacat formil. Akibatnya akta tersebut tidak sah dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian perkara yang disengketakan. Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari : a). Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang membuat akta otentik untuk melakukan perbuatan hukum khususnya dalam bidang harta kekayaan atau hukum bisnis pada umumnya adalah notaris. Dalam pembuatan akta, notaris sebagai pejabat negara memang memegang peranan penting mengenai masalah dokumen dalam kegiatan dunia bisnis. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Malcolm L. Morris, Guru Besar pada Fakultas Hukum Nothern Illinois University yang mengatakan bahwa "Notaries public play a vital role in assuring the integrity of documents essential to commercial and legal transactions”66. Akan tetapi dalam perkembangannya dalam transaksi jual-beli tanah yang telah bersertifikat dan perjanjian pemberian hak tanggungan berobyek tanah yang berwenang membuat akta adalah PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Sedangkan yang dimaksud Pejabat yang berwenang dalam hukum keluarga dalam pembuatan akta nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA). b). Dihadiri para pihak Dalam hal akta otentik yang menerangkan adanya perjanjian antara dua pihak, seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, dan lain-lain, maka kehadiran kedua belah pihak mutlak diperlukan, karena akta otentik yang bersifat partai harus memuat keterangan yang saling bersesuaian antara kedua belah pihak sebagai
65
66
Yahya Harahap, Ibid., 574. Malcolm L. Morris, The Model Notary Act, National Notary Association, A Non-Profit Educational Organization , September 1, 2002, v., http.: //www.Jurnal Internasional, 20 Maret 2010, 10.00.
landasan yang melahirkan persetujuan. Dari mana notaris atau PPAT mengetahui adanya persesuaian pendapat antara para pihak, kalau yang dating memberi keterangan di hadapan pejabat hanya satu pihak saja. c). Kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat Syarat dikenal atau dikenalkan kepada pejabat ini pada kenyataannya hanya bersifat formalitas saja, karena para pihak atang menghadap pegawai yang bekerja pada pejabat pembuat akta sambil mengutarakan maksud mereka untuk membuat akta. Dan selanjutnya berdasarkan keinginan tersebut pegawai itu memperkenalkan para pihak kepada pejabat, dan pada saat pembuatan akta, pegawai yang memperkenalkan itu bertindak sebagai saksi.67 d). Dihadiri oleh dua orang saksi Saksi–saksi dalam hal ini bertindak menyaksikan kebenaran berlangsungnya pembuatan akta di hadapan pejabat yang bersangkutan. Akta otentik yang dibuat tanpa dihadiri saksi adalah tidak memenuhi syarat formil, oleh karenanya tidak sah sebagai akta otentik, dan derajatnya turun menjadi akta dibawah tangan. e). Menyebut identitas Notaris (pejabat), penghadap dan para saksi. Apabila syarat-syarat tersebut di atas tidak dipenuhi maka menurut ketentuan Pasal 25 Peraturan Jabatan Notaris (PJN), akta tersebut tidak sah dan tidak berkekuatan sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai kekuatan sebagai Akta Dibawah Tangan jika akta tersebut ditanda tangani oleh para penghadap. f). Menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta. Ketentuan penyebutan data-data ini diatur dalam Pasal 25 huruf d Peraturan Jabatan Notaris. Dan apabila lalai mencantumkan salah satu data tersebut, mengakibatkan akta tidak sah sebagai akta otentik akan tetapi eksistensi dan kekuatannya hanya sebagai Akta di bawah Tangan apabila para penghadap menandatanganinya. g). Notaris membacakan akta di hadapan para penghadap dan saksi-saksi. h). Ditandatangani semua pihak Penandatanganan akta harus segera dilakukan setelah selesai pembacaan akta kepada para pihak dan saksi. Pihak yang harus menandatangani akta terdiri dari : Para Penghadap (para pihak), Para saksi, Notaris, dan Penterjemah (jika ada). Dan atas apabila salah satu pihak lalai menandatangani akta tersebut, mengakibatkan 67
Yahya Harahap, Ibid., hal. 575.
akta tidak sah sebagai akta otentik akan tetapi eksistensi dan kekuatannya hanya sebagai Akta di bawah Tangan apabila para penghadap menandatanganinya. b. Syarat Materiil Syarat materiil ini khusus untuk akta otentik yang bersifat partai ini ada tiga hal sebagai berikut : a). Berisi keterangan kesepakatan para pihak Isi yang harus dicantumkan dan dirumuskan dalam akta adalah keterangan tentang hal-hal yang disepakati para pihak, dengan ketentuan : Harus persis sama, sesuai dengan yang diterangkan para pihak, tanpa mengurangi hak konstatering yang dimiliki notaris. Dengan demikian notaries dilarang mengurangi, menambah atau melebihi dari apa yang disepakati para pihak. Notaris diperbolehkan merumuskan (mengkonstatering) keterangan yang disampaikan para pihak menjadi ketentuan yang lebih pasti. Namun apabila keterangan yang disampaikan para pihak bertentangan dengan undang-undang maupun ketertiban umum, maka keterangan tersebut boleh diterima dan dirumuskan sebagai kesepakatan. Ketika ada akta notaris yang isinya mencatat adanya kesepakatan para pihak yang betentangan dengan undang-undang ataupun ketertiban umum, isi akta notaris tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. b). Isi keterangan perbuatan hukum Keterangan yang disampaikan oleh para pihak haruslah berupa : -
perbuatan atau tindakan hukum (rechtshandeling) yang bersegi dua dua, seperti perjanjian jual-beli, utang-piutang, hibah, dan lain-lain ;
-
hubungan hukum (rechtsbetrekking) di bidang harta kekayaan, atau hubungan hukum di bidang perdangangan atau bisnis ; M. Yahya Harahap mengatakan, bahwa akta yang berisi di luar perbuatan
hukum atau hubungan hukum tidak memenuhi syarat materiil, sehingga akta itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Karena menurut hukum fungsi akta adalah untuk membuktikan perbuatan atau hubungan hukum yang terjadi diantara pihak yang membuatnya68. (2). Akta di Bawah Tangan Pengertian akta di bawah tangan menurut rumusan pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 286 Rbg adalah : 68
Yahya Harahap, Ibid., hal. 579.
-
tulisan atau akta yang ditanda tangani di bawah tangan ;
-
tidak dibuat dan ditanda tangani di hadapan pejabat yang berwenang
(pejabat umum), seperti : surat-surat, surat-surat urusan rumah tangga, dan registerregister. Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan kedua-duanya merupakan alat bukti tertulis. Subekti mengatakan bahwa segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta di bawah tangan69. Perbedaannya terletak pada kekuatannya, yaitu bahwa akta otentik memberikan diatara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dibuat di dalamnya70. Soepomo berpendapat, bahwa dari segi hukum pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta di bawah tangan, diperlukan persyaratan pokok 71: (1). Surat atau tulisan itu ditanda tangani ; (2). Isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum (rechtshandeling) atau hubungan hukum (rechts bettrekking) ; (3). Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut di dalamnya. e. Kekuatan Pembuktian suatu akta -
Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Akta Otentik Pada dasarnya kekuatan pembuktian dari suatu akta itu dapat dibedakan atas
tiga, yaitu : 1. Kekuatan pembuktian lahir (keluar) ; 2. Kekuatan pembuktian formil, dan 3. Kekuatan pembuktian materiil. 1). Kekuatan pembuktian lahir (keluar). Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir (luar), ialah berkenaan dengan syarat-syarat formal suatu akta otentik dipenuhi atau tidak. Bila syarat-syarat formal dipenuhi maka bentuk yang tampaknya dari luar secara lahiriah sebagai akta otentik dianggap akta otentik, sepanjang tidak dapat
69 70 71
Yahya Harahap, Ibid., hal. 590. Komar Andasasmita, Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hal.205. Yahya Harahap, loc.cit.
dibuktikan sebaliknya72. Akta otentik mempunyai kekuatan lahir, sesuai dengan azas “acta publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya73. Sedangkan menurut Subekti dalam Hasanuddin Rahman, bahwa kekuatan pembuktian keluar ini selain membuktikan kepada antara para pihak juga membuktikan terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta, kedua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut74. Suatu kelebihan dari akta otentik adalah mempunyai kekuatan pembuktian lahir ini. Dimana tanda tangan dari pejabat yang menandatangani akta otentik itu diterima keabsahannya, sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Dan yang menjadi persoalan untuk dibuktikan itu bukan isi dari akta itu maupun wewenang dari pejabat itu, akan tetapi semata-mata mengenai tanda tangan dari pejabat itu75. Serta beban pembuktian tentang otensitas dari akta otentik diletakkan pada orang yang menyangkalnya, sebagaimana yang ditentukan secara khusus dalam Pasal 138 HIR, 164 Rbg, serta 148 KUHPerdata. 2). Kekuatan pembuktian formil Kekuatan pembuktian formil ini maksudnya adalah menyatakan bahwa segala keterangan yang tertuang di dalam akta tersebut adalah benar adanya diberikan dan disampaikan oleh penanda tangan kepada pejabat yang membuatnya, sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 1871 KUHPerdata. Jadi, kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar-tidaknya ada pernyataan oleh penanda tangan di bawah akta itu. Atau dengan kata lain, kekuatan pembuktian formal ini menyangkut pertanyaan : “Benarkah ada pernyataan dari para pihak seperti yang tertuang dalam akta itu ?”. Sedangkan menurut Subekti dalam Hassanuddin
72
73
74 75
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 121. Abdulkadir Muhammad mengatakan, bila syarat-syarat formal suatu akta otentik diragukan oleh pihak lawan, dia dapat minta kepada pengadilan untuk meneliti akta tersebut berdasarkan bukti-bukti yang dikemukakan oleh pihak lawan. Kemudian, hakim memutuskan apakah akta otentik itu boleh digunakan sebagai bukti atau tidak dalam perkara. Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 109. Hasanuddin Rahman, op.cit., hal 157. G.H.S Lumban Tobing, op.cit., hal. 48.
Rahman, kekuatan pembuktian formil adalah membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang dityulis dalam akta tadi76. Dalam pembuktian formil ini, hal yang sudah pasti kebenarannya adalah ; tanggal pembuatan akta, tempat pembuatan akta, dan keaslian tanda tangan pejabat dan para pihak serta saksi-saksi yang turut menanda tangani akta tersebut, serta para pihak ada menerangkan seperti apa yang diuraikan dalam akta itu. Sedangkan kebenaran dari apa yang
diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya
hanya pasti antara mereka sendiri. 3). Kekuatan pembuktian materiil Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut permasalahan benar-tidaknya keterangan yang tercantum dalam akta itu, atau menyangkut tentang kebenaran materi suatu akta. Darwan Prinst mendefinisikan bahwa pembuktian material itu membuktikan antara para pihak bahwa peristiwa yang tertulis dalam akta tersebut telah terjadi77. Menurut Subekti dalam Hasanuddin Rahman, bahwa kekuatan pembuktian materiil ini membuktikan anatara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan di situ telah terjadi (kekuatan pembuktian materiil atau yang kita namakan kekuatan pembuktian mengikat)78. Pada akta otentik para pihak (partij akten) menurut undang-undang (Pasal 165 HIR, Pasal 285 Rbg, Pasal 1870 dan 1871 KUHPerdata) merupakan bukti sempurna bagi mereka, ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya, karena isi keterangan yang dimuat dalam akta otentik itu berlaku sebagai yang benar. Isi akta otentik para pihak mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, dengan pengertian : a. bahwa akta itu, apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup, dan bahwa hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya di samping itu ; b. bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alat-alat pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-undang79.
76 77
78 79
Hasanuddin Rahman, op.cit., hal 156. Darwan Prinst, Strategi menyusun dan menangani gugatan Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 159. Hasanuddin Rahman, op.cit., hal. 157. G.H.S Lumban Tobing, op.cit., hal. 113-114.
- Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Akta di bawah Tangan Akta di Bawah Tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir (luar). Hal ini berarti bahwa akta di bawah tangan itu baru berlaku sah, jika yang menandtanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu, artinya jika tanda tangan telah diakui kebenarannya oleh yang bersangkutan, barulah akta itu berlaku sebagai
alat bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan (Pasal 1875
KUHPerdata). Pasal 1876 KUHPerdata menentukan bahwa orang terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan, diwajibkan membenarkan atau memungkiri tanda tangannya, sedangkan bagi ahli warisnya cukup hanya menerangkan bahwa ia tidak kenal akan tanda tangan tersebut. Dan oleh karena tanda tangan pada akta di bawah tangan masih dapat dipungkiri oleh si penandatangan sendiri atau oleh ahli warisnya tidak diakui, maka akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Untuk kekuatan pembuktian formil baru dimiliki oleh akta di bawah tangan, jika tanda tangan di bawah akta itu diakui atau tidak disangkal kebenarannya. Dan apabila keaslian tanda tangan diakui, maka tangan mempunyai kekuatan
akta
di bawah
pembuktian formil yang sama dengan kekuatan
pembuktian dari akta otentik. Sedangkan mengenai kekuatan pembuktian materiil, apabila tanda tangan di dalam akta di bawah tangan tidak dipungkiri keasliannya maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian materiil bagi yang menandatanganinya, ahli warisnya, serta para penerima hak dari mereka, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1875 KUHPerdata. Sehingga isi keterangan di dalam akta di bawah tangan yang diakui keaslian tanda tangannya itu bagi para pihak berlaku sebagai akta otentik, dan merupakan alat bukti sempurna bagi mereka, para ahli warisnya, serta bagi para
menerima hak dari mereka. Alat bukti sempurna, artinya tidak
memerlukan alat bukti lain sebagai pelengkap (Pasal 1870 KUHPerdata, Pasal 165 HIR, dan Pasal 285 Rbg)80. 6. Grosse Akta Menurut Pasal 1 Reglement Jabatan Notaris (Stb. 1860 No. 3) disebutkan, bahwa notaris adalah pejabat umum yang khusus berwenang membuat akta otentik 80
Sardjono R, Masalah Pembuktian, Ceramah/Kuliah disampaikan pada Penataran Hakim diselenggarakan oleh Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Umum Dep.Kehakiman RI, Jakarta, 1983, hal. 140.
mengenai semua perbuatan, persetujuan dan ketetapan yang diperintahkan oleh peraturan umum dan dikehendaki oleh yang berkepentingan, agar dengan surat otentik itu akan dinyatakan kepastian tentang tanggalnya, penyimpanan aktanya dan memberikan grosse, kutipan dan salinannya, semuanya itu sejauh pembuatan akta-akta tersebut dan peraturan umum tidak juga ditugaskan atau disediakan untuk lain pegawai atau orang lain81. Adapun akta yang sering dibuat oleh notaris adalah : 1. Bidang hukum perorangan (personenrecht), antara lain : §
Berbagai perjanjian kawin berikut perubanannya (harus otentik/pasal 147, 148 KUHPerdata) ;
§
Hibah berhubungan dengan perkawinan dan penerimaannya (harus otentik/pasal 176, 177 KUHPerdata) ;
§
Pembagian harta perkawinan setelah adanya putusan pengadilan tentang pemisahan harta (harus otentik/pasal 191 KUHPerdata) ;
§
Mengingkari sahnya anak (pasal 253-256 KUHPerdata) ;
§
Pengakuan anak luar kawin (harus otentik/pasal 281 KUHPerdata);
§
Pengangkatan wali (harus otentik/pasal 355 KUHPerdata) ;
§
Pengakuan terima perhitungan wali (pasal 412 KUHPerdata).
2. Bidang Hukum Kebendaan (Zakenrecht), yakni : §
Berbagai jenis surat wasiat (termasuk penyimpangan wasiat umum, wasiat pendirian yayasan, wasiat umum, wasiat pemisahan dan pembagian harta peninggalan), fideicommis, pengangkatan pelaksana wasiat dan pengurus harta peninggalan (pasal 874 KUHPerdata) ;
§
Berbagai kuasa yang menyangkut warisan (Kuasa keterangan menimbang, menerima secara terbatas, menolak harta Peninggalan /pasal 1023 dst, 1044 dst KUHPerdata) ;
§
Jaminan kebendaan gadai (pasal 1150 dst KUHPerdata) ;
§
Jaminan kebendaan hipotek (harus otentik/pasal 1162 dst, 1171, 1195 dan 1196 KUHPerdata).
3. Bidang Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht), yakni :
81
Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, op.cit. hal. 11.
§
Berbagai macam jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa (pasal 1457 dst, pasal 1541 dst, pasal 1548 dst KUHPerdata) ;
§
Rupa-rupa pembentukan persekutuan(pasal 1618 dst KUHPerdata);
§
Berbagai jenis perkumpulan (pasal 1653 dst KUHPerdata) ;
§
Berbagai hibah (pasal 1666 dst KUHPerdata) ;
§
Perjanjian perdamaian (pasal 1851 dst KUHPerdata) ;
§
Berbagai macam kontrak nominat (atas dasar pasal 1338 KUHPerdata).
4. Bidang Hukum Perusahaan, yakni : §
Berbagai perseroan (maatschap, Firma, komanditer, Perseroan TerbatasPMDN/PMA),
baik
pendirian,
perubahan,
pembekuan
maupun
pembubaran, penggabungan) ; §
Berbagai perantara dagang, seperti perjanjian keagenan dagang, kontrak perburuhan ;
§
Berbagai akta yang berkaitan dengan badan-badan sosial, seperti yayasan, perkumpulan, dan sebagainya. Disamping kewenangan diatas, Notaris juga berwenang membuat akta yang
disebut dengan “Grosse Akta”. Ada kebiasaan dari notaris dalam membuat akta, yakni akta aslinya ditulis dalam huruf kecil (minutes letteris) yang memuat isi akta secara lengkap, dan akta tersebut ditanda tangani oleh para pihak dan saksisaksinya serta notaris sendiri, dan disimpannya di kantor notaris ; dan selanjutnya stuk yang disimpan oleh notaris ini disebut “minuta”. Sedangkan intrumen atau stuk yang diserahkan kepada para pihak ditulis dengan huruf yang lebih besar (grossis letteris), yang hanya ditandatangani oleh notaris saja ; dan selan jutnya stuk ini disebut “grosse”. 7. Pengertian Grosse Akta Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang memberi definisi grosse akta, adalah suatu salinan atau turunan dari akta otentik, yang memakai kepala di atasnya kata-kata : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan pada bagian bawahnya harus dicantumkan sebagai “grosse pertama” dengan menyebutkan nama orang yang atas permintaannya grosse itu diberikan, dan tanggal pembe-
rian grosse itu82.
Sedangkan Hasanuddin Rahman berpendapat, bah-
wa grosse akta ialah salinan atau kutipan (secara pengecualian) yang pertama dari minuta akta (naskah asli), yang di atasnya memuat irah-irah : Atas nama Raja (sekarang baca: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa) dan di bawahnya dicantumkan kata-kata : “Diberikan sebagai Grosse Pertama oleh saya …..Notaris/Pejabat di …..kepada dan atas permintaan ……. Pada hari ini …..tanggal …….”. Dan untuk pengeluaran/pemberian suatu Grosse akta, diperlukan adanya suatu akta otentik, dimana akta otentik inilah yang diberikan Grosse. Hal ini berarti akta-akta di bawah tangan tidak dapat dikeluarkan Grossenya83. Jika grosse akta tidak memenuhi persyaratannya, yakni pada bagian kepala akta tidak diberi judul title eksekutorial dan pada bagian akhir akta tidak diberi kata-kata penutup seperti diatas, maka grosse yang demikian tidak dapat dipergunakan untuk eksekusi. Selain grosse akta diatas juga dikenal “Salinan biasa” dari akta otentik yang dapat diserahkan kepada para pihak dalam jumlah eksemplar menurut permintaannya84. Salinan biasa ini adalah salinan dari akta otentik, yang tidak diberi title eksekutorial. Antara Grosse akta dengan turunan atau salinan atau petikan, terdapat perbedaan. Perbedaan mana terletak pada ‘titel eksekutorial-nya”. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dibuatnya grosse akta itu adalah agar akta tersebut bagi kreditur dapat digunakan untuk
menagih
piutangnya
manakala
debitur
wanprestasi,
dengan
cara
melaksanakan penjualan secara paksa atas jaminan piutang yang diberikan oleh pihak debitor kepada kreditur. Meskipun dalam suatu perjanjian ada dua pihak yang berkepentingan, yaitu pihak kreditur dan pihak debitur, namun dari suatu grosse akta itu hanya bermanfaat bagi kreditur saja. Maka biasanya yang mau meminta grosse akta hanyalah pihak kreditur serta orang-orang yang mendapatkan hak dari kreditur tersebut. Bentuk dan syarat Grosse Akta Mengenai bentuk grosse akta ini berkaitan erat dengan materi grosse akta itu sendiri. Sebagian sarjana hukum berpendapat luas, bahwa terhadap semua akta 82 83 84
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Ibid., hal. 40. Hasanuddin Rahman, op.cit., hal. 231- 232. M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, op.cit., hal. 19.
yang berisi perjanjian apapun yang dibuat di hadapan notaris, dapat dibuatkan atau dikeluarkan grossenya. Dan sebagian sarjana hukum lain dan Mahkamah Agung RI menganut pendapat yang sempit yang mendasarkan pada Pasal 224 HIR dan Pasal 440 Rv, bahwa grosse akta ini hanya dapat dibuat atas akta pengakuan utang dan akta hipotek saja. Grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotek merupakan akta yang bersifat assesoir, yakni merupakan dampingan dari perjanjian pokok yakni perjanjian utang piutang. Oleh karenaya tanpa perjanjian pokok tersebut tidak mungkin terjadi ikatan grosse akta pengakuan utang atau grosse akta hipotek. Jadi ikatan grosse akta adalah perjanjian tambahan yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap pihak kreditur. Keberadaan grosse akta bersumber dari perjanjian pokok tentang utang (kredit) yang mendahuluinya. Bentuk grosse akta, dihubungkan dengan isi perjanjian pokoknya, yang dibuat di hadapan pejabat tertentu berupa akta otentik dapat dibedakan : a. Grosse akta pengakuan utang, berbentuk akta notaris. b. Grosse akta hipotek yang juga sama-sama berbentuk akta notaris. Dan khusus untuk jaminan utang berupa tanah berbentuk akta PPAT. Akan tetapi setelah berlakunya UU No. Tahun 2006 tentang Hak Tanggungan, khusus jaminan berupa tanah maka sertifikat hak tanggungannya
yang
diberi
title
eksekutorial, serta diterbitkan dan dikeluarkan oleh Kantor BPN setempat. Dahulu pengertian dan pengaturan Grosse akta hipotek identik dengan Grosse akta pengakuan utang, sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR atau 258 Rbg. Akan tetapi setelah berlakunya Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hipotek serta Creditverband, serta Ketentuan Pasal 7 ayat 2 PMA No. 15/1961, maka ketentuan Grosse Akta Hipotek tidak lagi identik dengan Grosse Akta Pengakuan Utang. Dari ketentuanketentuan tersebut, title eksekutorialnya tidak terletak pada akta hipoteknya, melainkan ada pada “Grosse Sertifikat Hipotek”nya85.
85
Hasanuddin Rahman, op.cit. hal. 234.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 2006 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, khusus jaminan berupa tanah, menurut ketentuan pasal 14 ayat 2 Undang-undang tersebut ditentukan bahwa title eksekutorial diberikan pada Sertifikat Hak Tanggungan, dan berlaku sebagai pengganti grosse akta Hipotek. Sertifikat Hak Tanggungan tersebut diterbitkan serta dikeluarkan oleh Kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) setempat, oleh karenanya bukan lagi berbentuk akta notaris. a). Grosse akta pengakuan utang. Soetarno Soedja berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pengakuan utang, adalah suatu pernyataan sepihak yang ditanda tangani, yang berisikan pengakuan utang sejumlah uang, dengan syarat-syarat yang dibuat menurut keinginan86.
Akta yang demikian ini dibuat di hadapan
notaris dengan bentuk akta notariil. Demikian pula Mahkamah Agung RI berpendapat melalui fatwanya No. 213/229/8511/Um-TU/Pdt tanggal 16 April 1985 menyebutkan : “Pengertian grosse seperti yang dimaksudkan Pasal 224 RID ialah suatu akta otentik yang berisi pengakuan utang dengan perumusan semata-mata suatu kewajiban untuk membayar/melunaskan sejumlah uang tertentu”. Hal mana berarti bahwa dalam suatu grosse tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan lain, apalagi persyaratan tersebut berbentuk perjanjian. Dalam persoalan apakah dalam grosse akta diperbolehkan atau tidak apabila didalamnya dimuat persyaratan-persyaratan yang berbentuk perjanjian, Penulis setuju dengan pendapat yang memperbolehkan dimuatnya persyaratan-persyaratan berbentuk perjanjian tersebut. Hal mana, dikarenakan pengertian akta pengakuan utang dalam grosse akta berbeda dengan pengertian Akta Pengakuan Sepihak (APS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1878 KUHPerdata dan Pasal 291 RBg. b). Grosse akta hipotek Sejak berlakunya UU No. Tahun 2004 tentang Hak Tanggungan, obyek penjaminan melalui hipotek hanya berlaku atas benda bergerak selain tanah saja, sedangkan obyek jaminan berupa tanah proses penjaminannya dibuat di hadapan PPAT dengan produk aktanya berupa Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). 86
M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Ibid., hal. 51.
Kemudian setelah APHT tersebut didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat baru oleh Kantor Pertanahan dibuatkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang pada bagian kepalanya diberi title eksekusi bertuliskan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Grosse akta notaris yang diakui mempunyai kekuatan eksekutorial, menurut ketentuan Pasal 224 HIR hanya berlaku terhadap (2) dua macam grosse akta, yakni : Grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotek. Kedua macam grosse akta tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukup tetap87. Dengan adanya ketentuan Pasal 224 HIR ini, maka Edhi Siswoko berpendapat bahwa agar suatu grosse akta itu mempunyai kedudukan eksekutorial harus memenuhi 4 (empat) syarat formal dan satu syarat material, yaitu : - Syarat formal terdiri dari : a. Grosse akta tersebut harus berkepala ““Demi Keadilan Berdasar kan Ketuhanan Yang Maha Esa” ; b. Dibawah grosse akta itu harus dicantumkan kata-kata “Diberikan sebagai grosse pertama ………” ; c. Dicantumkan pula nama orang yang mana atas permintaannya grosse akta tersebut diberikan ; d. Dicantumkan pula tanggal pemberian grosse akta. - Sedangkan syarat materialnya adalah bahwa akta tersebut hanya berisi “pengakuan utang” dan “hipotek” saja
yang dapat mempunyai
88
kekuatan eksekutorial . Akibat dari adanya ketentuan Pasal 224 HIR diatas, maka isi dari akta-akta lain selain akta hipotek dan akta pengakuan utang, meskipun diberi Titel Eksekutorial, akta tersebut sama sekali tidak mempunyai kekuatan eksekutoral dan tidak sama kedudukannya dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 8. Teori Ilmu HukumPerilaku (Behavioral Jurisprudence). Kalau kita memasuki lembaga-lembaga pengadilan di Inggris, kita
87 88
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Ibid., hal. 22. Edhi Siswoko, Media Notariat, dalam Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Ibid., hal.58.
akan menemukan motto yang berbunyi “Berikan aku hakim yang baik, meski di tanganku ada hukum yang buruk”. Motto ini untuk mengingatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau menangani perkara supaya dirinya tidak dikalahkan oleh hukum yang didamnya terdapat kekurangan, ada pasal-pasal yang kabur, atau norma-norma yang berkatagori lemah dan mengundang banyak penafsiran (interprestasi)89 ; Winner mengatakan, hukum itu merupakan pusat pengendalian komunikasi antar individu yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu, penghindaran sengketa atau dengan penerapan sanksisanksi hukum terhadap suatu sengketa90. Pendekatan tradisional adalah suatu studi hukum dan putusan pengadilan atau putusan hakim dari sudut pandang normatif semata. Pendekatan ini dilakukan oleh mereka yang menganut ajaran legisme dan positivisme yuridis. Ajaran legisme menekankan bahwa hakikat hukum adalah hukum yang tertulis (undang-undang); di luar undang-undang tidak termasuk hukum. Sedangkan positivisme yuridis atau ajaran hukum analitis (analytical jurisprudence) menekankan bahwa hukum seyogyanya dipandang dari segi hukum positif yang dirintis oleh John Austin. Dan yang dimaksud dengan pendekatan non-tradisional adalah suatu studi hukum dan putusan hakim dari optik yang multidisiplin untuk memperoleh pemahaman yang komrehensif tentang ekstensitas dan intensitas bekerjanya hukum positif dan putusan hakim di dalam masyarakat91. Pendekatan non-tradisional adalah studi sosiologis dan psikologis terhadap hukum. Studi non-tradisional ini terdisi atas tiga jenis pendekatan, yakni pendekatan yang digunakan oleh aliran sociological jurisprudence, aliran legal realism, dan aliran behavioral jurisprudence. Penganut aliran realisme hukum telah mengesampingkan sifat normatif hukum, karena hukum pada hakikatnya adalah pola perilaku nyata (patterns of behavior) dari hakim di dalam persidangan. Apa yang diputuskan oleh hakim adalah hukum. Sehingga lebih menekankan bahwa undang-undang harus disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan dalam 89
90 91
Abdul Wahid dan Moh. Muhibbin, Etika Profesi Hukum Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, CetI, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hal.253. Lili Rasyidi dan LB Wiyasa Putra dalam Abdul Wahid dan Moh. Muhibbin, Ibid, hal. 55. Ibid, hal 27.
masyarakat dan peran hakim tidak boleh menjadi terompet undang-undang saja, tetapi harus mampu memnajdi pembentuk hukum guna merespon perkembangan dalam masyarakat92. Teori Ilmu Hukum Perilaku adalah studi yang mempelajari tingkah laku aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipelajari dalam interaksi dan interelasinya antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap dalam pengambilan keputusan tersebut satu sama lain. Dengan demikian, pusat perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam perananperanan sosial tertentu dalam pengambilan keputusan hukum93. Antonius Sudirman mengatakan bahwa dalam pendekatan ilmu hukum perilaku fokus utamanya adalah perilaku hakim dalam proses peradilan, namun mempelajari perilaku hakim tersebut tidak bisa dilepas-pisahkan dari sikap-sikap individual yang melekat pada pribadi hakim. Mengapa sikap para hakim itu berbeda-beda ? Dari sudut pandang ilmu hukum perilaku karena pengaruh lingkungan sosial dan budaya yang selalu bersentuhan atau berinteraksi dengan pribadi hakim94. Hakim adalah orang yang menerapkan aturan hukum melalui putusannya, dimana hukum itu sendiri tidak berdiri di ruang hampa yang dapat mengabaikan sub system lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekwensi logisnya seorang hakim akan dipengaruhi oleh sub sistem lain di luar hukum. Gustav Radbruch mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum, yakni nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan95. Akan tetapi sebagai manusia biasa, hakim juga memiliki sisi intern yang akan mempengaruhi kearah mana putusannya akan dijatuhkan. Semula pengadilan dipandang sebagai institusi yang normatif dalam penerapan hukum, atau hakim hanya sebagai corong undang-undang saja, namun seiring dengan perkembangan jaman, terutama dengan berkembangnya kajian 92 93
94 95
Ibid, hal. 30-31. Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Cita Hukum Nasional, Glendon Schubert, Human Jurisprudence, Public Law as Political Science, dalam Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Bismar Siregar, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 32. Ibid., Hal. 34. Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cet-I, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hal. 13.
sosiologi hukum, muncul adanya ramalan terhadap putusan hakim yang akan dijatuhkan. Kajian tersebut dilakukan oleh
I.B. Curzon mengenai Realisme
Amerika, yang membahas tentang konsep prediksi ilmiah terhadap perilaku hakim dan putusannya 96. Mengenai ihwal putusan hakim, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hakim sebagai manusia dalam mempertimbangkan putusannya. Faktor tersebut antara lain faktor subyektif dari dalam diri hakim itu sendiri dan faktor obyektif yang datang dari luar diri hakim. Faktor subyektif yang mendorong perilaku hakim adalah karena adanya pandangan kebebasan yang dimiliki oleh seorang hakim untuk mengarahkan tindakannya sesuai dengan kehendaknya. Kebebasan ini dapat berpengaruh pada munculnya perilaku penyimpangan. Teori yang tepat dalam menerangkan perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim adalah teori penyimpangan (deviant theory) yang dikemukakan oleh R.B Seidman. Menurut Seidman, para pemegang peran (penulis: termasuk hakim) mampu memberikan motivasi, baik yang berkehendak untuk menyesuaikan diri dengan norma (conform) maupun yang berkehendak untuk tidak menyesuaikan diri dengan keharusan norma (nonconform)97. Dan untuk faktor obyektif salah satunya adalah berupa hal-hal yang diketahui oleh hakim dari hasil sosialisasi dengan lingkungannya, yang kemudian diinterpretasikan oleh hakim. Herbert Blumer, salah seorang tokoh teori aliran interaksionisme simbolis memandang bahwa tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut98. Dari sudut pandang lain, perilaku hakim itu berbeda-beda dalam sikapsikapnya, karena mendapat pengaruh lingkungan sosial dan budaya yang selalu bersentuhan (berinteraksi) dengan pribadi hakim itu sendiri99. Adapun untuk
96
Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan, Penerbit STIH IBLAM, Jakarta, 2004, hal. 267. 97 R.B Seidman dalam Soetandyo Wignyosoebroto dan satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat (Kumpulan Bahan Bacaan), dikutip dari : Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Bismar Siregar, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 42. 98 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer : dikutip dari Antonius Sudirman, Ibid., hal. 38. 99 Antonius Sudirman, Ibid., hal 34.
mengetahui bagaimana
interaksi
tersebut
berlangsung
dapat dilihat dan
dibaca dari diagram gambar di bawah ini100 :
A
Psysiological
1 Psychopsysiological
3 Psychocultural
5
Cultural
C
4
B
Personality
Sociopsysiological
2
Sociocultural
D Social
Behavioral View of the Subsystems of any political (Including any Judicial) System
Penjelasan diagram : a. Segmen sosiopsikologis menggambarkan hasil interaksi antara sistem sosial dan sistem atribut-atribut serta perilaku-perilakunya ; b. Segmen psikokultural mendiskripsikan perpaduan antara sistem budaya dan system kepribadian, mengednai pemahaman individu tentang perannya dan ideologyideologi yang diterimanya ; c. Segmen sosiokultural menggambarkan hasil interaksi antara sistem sosial dan budaya, berkaitan dengan pola-pola dari peran institusi dan fungsi-fungsi hasil dari akomodasi dan peraturan tingkah laku orang lain. Dari penjelasan diagram tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap hakim berbeda-beda karena mendapat pengaruh dari pengalaman hidupnya, atau pengaruh dari hasil interaksi sosialnya dengan orang lain, budaya dan keyakinan, serta atribut yang dimilikinya. Dalam konteks Ilmu Hukum Perilaku, pekerjaan hakim dalam mengadili suatu perkara dapat digambarkan seperti dibawah ini : 100
Glendon Schubert, dalam Antonius Sudirman, Ibid., hal 35.
Some Behavioral Parameters of Outputs Standpoint
Psychological
Sociological
Role
Output
Output
Feadback
Consept
Functions
Structures
Consepts
Individual
Decision
Vote and Commitment
Making
Decision
Accomodation
Decision
Reinforcement
Policies
Norms
Group
and Regulation Cultural
Institutional
Policymaking
Dari bagan di atas terlihat ada tiga model alternatif dalam mengkonseptualisasi beberapa hasil dari pengambilan keputusan individu, mulai dari sudut pandang yang berfokus pada Individu, Kelompok dan Lembaga. Ketiga sudut pandang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Dari sudut pandang psikologi, individu membuat keputusan yang berupa suarasuara dan pendapat-pendapat, dan melibatkannya baik pada akibat maupun umpan balik dari sebuah komitmen ; b) Dari sudut pandang sosiologi, suatu kelompok mengakomodasi dan mengatur minat-minat yang saling berbeda dengan membuat keputusankeputusan dimana umpan baliknya bagi kelompok berupa pengaturan ; c) Dari sudut pandang budaya, lembaga mensponsori kebijakan-kebijakan dengan menyediakan umpan balik bagi orang-orang yang tinggal dalam suatu budaya tertentu dalam bentuk norma-norma. Oleh karena Teori Ilmu Hukum Perilaku adalah studi yang mempelajari tingkah laku aktual hakim dalam proses peradilan, maka yang diperlukan adalah pendekatan psikologis pada individu sebagai unit analisis. Albert A.Ehrenzweig, dalam bukunya berjudul “Psychoanalytic Jurisprudence” dalam Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa dengan psykhologi dapat dilakukan pendekatan dalam ilmu hukum, yakni dengan mengaitkan superego dapat digunakan untuk mengupas soal keadilan, kesalahan, dan sebagainya101. B. PENELITIAN YANG RELEVAN
101
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hal. 321.
Sekian lama penulis mengadakan pencarian terhadap karya-karya ilmiah, baik pada perpustakaan program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, maupun pada perpustakaan Pengadilan Negeri Sukoharjo, serta di beberapa perpustakaan di tempat lain, ternyata penulis tidak menemukan hasil penelitian mengenai
pemikiran
hakim
ketika
menjatuhkan
putusan
yang
tidak
mempertimbangkan semua dalil gugatan pembatalan akta notaris yang berisi perjanjian utang-piutang dan pernyataan pengakuan utang oleh debitur. C. KERANGKA BERPIKIR Bermula dari adanya keinginan para Penggugat bernama Drs. JOKO BEKTI HARYONO, M.Pd.DK yang meminjam uang kepada tergugat bernama RICKY FAJAR ADIPUTRA yang akan digunakan untuk mengembangkan usaha penggugat memperluas bangunan toko di Kota Sukoharjo. Selanjutnya tergugat bersedia memberi pinjaman uang sebesar Rp.200.000.000,- kepada penggugat dan bersepakat menuangkan perjanjian utang-piutangnya dalam Akta Notaris, kemudian terbitlah Akta Perjanjian Utang-piutang No. 6 yang dibuat di hadapan Notaris Ninoek Poernomo, SH., yang selain berisi perjanjian utang-piutang akta tersebut diisi pula dengan pernyataan pengakuan hutang, serta janji untuk memberikan hak jaminan berupa tanah dari debitur (penggugat). Karena ada sesuatu hal, maka usaha bisnis penggugat mengalami kegagalan sehingga penggugat tidak mampu membayar utangnya tepat waktu kepada tergugat dan penggugat hanya mampu membayar bunga sebesar Rp.10.000.000,- setiap bulan yang diminta tergugat, dan penggugat sudah memberikan bunga selama 5 bulan. Oleh karena perjanjian tersebut sudah jalan selama satu tahun lebih lalu tergugat akan melakukan lelang atas tanah jaminan yang diberikan oleh penggugat. Penggugat yang tidak ingin tanah yang dijaminkan tersebut dilelang, lalu mengajukan gugatan pembatalan Akta Nomor 6 tersebut dengan alasan akta tersebut cacat hukum karena dengan dasar alasan bahwa akta perjanjian nomor 6 tersebut isinya campur antara perjanjian utang-piutang dengan pernyataan utnag sepihak dari pihak debitur, bentuk akta seperti tersebut menurut pikiran penggugat bertentangan dengan maksud dari ketentuan Pasal 224 HIR. Dari pemikiran yang demikian itu selanjutnya penggugat melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan pembatalan akta notaris nomor 6 tersebut dengan tujuan agar tanah yang diserahkan sebagai jaminan kepada tergugat dapat lolos dari penjualan lelang serta penggugat menghendaki hanya akan
membayar utang pokoknya saja. Selanjutnya hakim yang memeriksa perkara gugatan penggugat
tersebut
menjatuhkan
putusan
yang
menolak
gugatan
tanpa
mempertimbangkan dalil gugatan tentang keabsahan akta dari sudut bentuk pembuatannya oleh notaris. Kerangka berpikir tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
Debitur Kreditur
Notaris
Yuridis Formal
Akta Notaris (akta otentik)
Yuridis material
Debitur / Penggugat
Krediutur/Tergugat
Cacat Hukum
Pengadilan Negeri Sukoharjo
Pola Perilaku Hakim
III
BAB Majelis hakim
Teori Pembuktian/ Hukum Acara
Putusan
Gugatan Ditolak
Penerapan hukum
METODE PENELITIAN
Penelitian
dapat
diartikan
sebagai
suatu
usaha
untuk
menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan metode ilmiah102. Penelitian hukum merupakan proses kegiatan berpikir dan bertindak logis, metodis, dan sistematis mengenai gejala yuridis, peristiwa hukum, atau fakta empiris yang terjadi di sekitar kita untuk direkonstruksi guna mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan. Berpikir logis adalah berpikir secara bernalar menurut logika yang diakui ilmu pengetahuan guna mengungkapkan kebenaran. Metodis adalah berpikir dan berbuat menurut metode tertentu yang kebenarannya diakui menurut penalaran. Sistematis adalah berpikir dan berbuat yang bersistem, yaitu runtun, berurutan, dan tidak tumpang tindih103. Metodologi adalah suatu studi yang logis dan sistematis tentang prinsip-prinsip yang mengarahkan suatu penelitian104. Sedangkan metode itu sendiri adalah suatu alat atau cara untuk mencari kebenaran dan merupakan bagian dari metodologi. Dengan menggunakan metodologi dalam suatu penelitian akan diperoleh data yang akurat, lengkap, serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sebagai bagian dari tujuan penelitian itu sendiri. 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian hukum metode yang digunakan tergantung pada konsep hukum yang akan diteliti. Menurut pendapat Soetandyo Wignyosoebroto dalam Setiono sedikitnya ada 5 (lima) konsep hukum105, yaitu: 1. Hukum adalah azas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal ; 2. Hukum adalah norma-norma positip di dalam system perundang-undangan hukum nasional ; 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law ; 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial yang empirik ;
102 103 104
105
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Transito, Yogyakarta, 1990, hal. 131. Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, op.cit., hal. 2. Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS, Surakarta, 2005, hal. 3. Ibid., h. 20.
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Dengan berpijak dari latar belakang penulisan serta rumusan permasalahan seperti terurai di depan, telah disebutkan bahwa permasalahan yang akan diteliti adalah menganalisis dan memberikan jawaban secara realistis mengenai mengapa Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo di dalam putusannya tidak mempertimbangkan dalil pokok gugatan pembatalan akta notaris. Berdasarkan obyek yang akan diteliti seperti demikian, maka hukum dikonsepsikan dengan konsep hukum yang ketiga, yaitu sebagai norma yang merupakan produk dari seorang hakim (judgements) pada waktu hakim itu memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatan dan kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara106. Setiap penelitian yang mendasarkan pada hukum perundang-undangan maupun judge made law maka penelitian hukum ini disebut sebagai penelitian hukum normatif atau doktrinal dan metodenya disebut metode doktrinal107. Akan tetapi penelitian yang penulis lakukan ini yang dikaji penekanannya bukan mengenai isi putusan dari segi normatifnya, namun dari segi pemikiran atau perilaku hakim ketika memutus suatu perkara tersebut, sehingga disamping penelitian doktrinal, jenis penelitian ini juga merupakan penelitian sosiologis sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan, dengan menggunakan metode penelitian non-doktrinal108. Peneliti menggunakan pendekatan interaksional dengan analisis kualitatif dalam melakukan penelitian, karena dimaksudkan untuk mengkaji dalam mempertimbangkan putusannya berdasarkan logika induksi
109
(court
pola pikir dari seorang hakim behaviour)
dengan
analisis
.
Dilihat dari segi bentuknya penelitian ini termasuk penelitian doktrinal dalam bentuk diagnostik110. Penelitian diagnostik merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala, yaitu untuk mengkaji apa yang menjadi tujuan hakim serta faktor apa yang menyebabkan Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo ketika menjatuhkan putusan atas gugatan pembatalan akta notaris tidak mempertimbangkan
106 107 108 109 110
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal.33. Burhan Ashshofa, loc. Cit. Ibid., hal.10. Setiono, op.cit., hal.23. Ibid, hal. 5.
semua dalil gugatan penggutat. Adapun metode pendekatannya melalui pendekatan kualitatif karena bertujuan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas dan kasuistis. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo serta di Kantor-kantor Notaris di Kabupaten Sukoharjo. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan adanya data yang berkaitan dengan berkas perkara tuntutan pembatalan akta perjanjian utang-piutang oleh pihak debitur, di sisi lain penulis sendiri juga bertugas sebagai hakim di Pengadilan Negeri Sukoharjo, sehingga memudahkan bagi penulis untuk melakukan wawancara langsung dengan sumber data primer yaitu majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut serta para hakim lainnya. Selain itu di Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo banyak dihadiri para advokad/pengacara yang mewakili kliennya, sehingga wawancara dengan para advokad cukup dilakukan di tempat ini. Sedangkan penelitian berupa wawancara dengan para notaris penulis lakukan di kantor tempat kerjanya yang masih berada di wilayah Kabupaten Sukoharjo. 3. Jenis dan sumber data Jenis dan sumber data merupakan bahan yang diperoleh dan digunakan untuk melakukan analisa atas permasalahan sebagaimana yang telah dirumuskan. Oleh karena jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian non doktrinal atau sosiologis empiris yang mempertimbangkan berbagai macam sumber data, maka jenis data yang digunakan adalah berupa data kualitatif, yaitu data yang tidak berbentuk angka, yang dapat diperoleh dari observasi dan
wawancara,
maupun bahan tertulis berupa
Peraturan Perundangan, bukubuku, majalah, makalah, dan sebagainya. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Sumber data primer. Sumber data primer adalah sumber data yang didapatkan secara langsung dari masyarakat, perilaku warga masyarakat atau hasil perilaku masyarakat111. Sumber data primer ini diperoleh dari wawancara langsung di lapangan dengan narasumber yaitu dari hakim-hakim pada Pengadilan Negeri Sukoharjo khususnya majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo, yang dilakukan dengan cara yang tidak 111
Ibid., hal. 18.
formal dan terstruktur yang terkait dengan permasalahan perilaku para hakim yang memutus perkara tersebut. b. Sumber data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Adapun data sekunder dalam penelitian ini antara lain meliputi: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang mengikat secara yuridis,seperti : a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). b) Herziene Indlandsch Reglement (HIR Stb. 1941-44). c) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan. d) UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. e) Putusan No.61/Pdt.G/2008/PN.Skh. tentang Gugatan Pembatalan Akta Notaris No. 6. f) Akta Notaris No. 6 tentang Perjanjian Utang-piutang. 2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak mengikat, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : a. Kepustakaan yang ada hubungannya dengan
perjanjian/kontrak, Hak
tanggungan, akta otentik ; b. Tulisan-tulisan
atau
makalah-makalah
yang
berhubungan
dengan
pokok masalah, yang diambil dari berbagai sumber ; c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya : Kamus. 4. Teknik Pengumpulan Data. Seperti disebutkan dimuka bahwa penelitian ini menggunakan konsep hukum yang ketiga menurut konsep dari Soetandyo Wignyosoebroto, akan tetapi jenis penelitiannya menggunakan jenis penelitian sosiologis atau empiris. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data atau informasi yang diperlukan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Dengan demikian untuk memperoleh data, maka teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah : 1). Wawancara mendalam (in-depth interwiewing) Wawancara adalah merupakan salah satu cara pengumpulan data dengan jalan komunikasi yaitu melalui kontak atau hubungan pribadi antara
pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data/responden /narasumber112. Salah satu bentuk instrument pengumpulan data dalam penelitian sosial dan psikologi adalah wawancara (interview)113. Studi lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara langsung dengan hakim-hakim di Pengadilan Negeri Sukoharjo yang pernah menyidangkan perkara perdata gugatan pembatalan perjanjian dimaksud, serta hakimhakim lain yang bertugas di Pengadilan Negeri Sokoharjo, para advokad serta para notaris di Sukoharjo untuk memperoleh gambaran ada tidaknya gejala-gejala sosial tertentu berpengaruh bagi hakim dalam menjatuhkan putusan tertentu. 2). Studi Kepustakaan Studi ini sebagai pelengkap data primer untuk memperjelas pernyataan yang tidak dimungkinkan ditanyakan melalui observasi atau wawancara. Penelitian ini dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku, peraturan perundangundangan, dokumen-dokumen, putusan-putusan pengadilan yang relevan dengan masalah yang diteliti, baik di Perpustakaan maupun di Kepaniteraan Perdata dan Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Setelah
data-data
terkumpul
selanjutnya
dilakukan
pengolahan
data.
Pengolahan data adalah kegiatan mensortir serta menata data sedemikian rupa sehingga data-data tersebut dapat dibaca dan ditafsirkan dengan mudah. Sedangkan analisis data adalah kegiatan yang dimulai dengan memilih atau mengidentifikasi, mengelompokkan, menyajikan hingga menarik suatu kesimpulan. Data yang diperoleh dipilih dan dikelompokkan menurut sumber perolehan data, yaitu berdasarkan observasi, wawancara dan berdasarkan hasil dokumentasi. Dan setelah dikelompokkan selanjutnya data tersebut disusun menurut katagori yang ingin diungkapkan. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data ini menyangkut kegiatan : a. Reduksi Data Dengan reduksi data maka dapat mempertegas, memilih dan membuat fokus data sehingga dapat diperoleh kesimpulan akhir. Proses reduksi data dapat dilakukan 112 113
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2005, hal. 72. Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Cet-IX, Yogyakarta, 2009, hal. 34.
dengan mengelompokkan data menurut sumber perolehannya, seperti hasil wawancara, hasil observasi. Setelah dikelompokkan maka data tersebut disusun menurut katagori yang ingin diungkapkan. b. Penyajian Data Penyajian data memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. c. Menarik Kesimpulan Setelah dilakukan analisis lalu diambil kesimpulan. Kesimpulan yang diambil tidak hanya berasal dari satu aspek pengamatan atau dari satu instrument saja, akan tetapi merupakan hasil verifikasi dari beberapa perangkat instrument yang digunakan. Adapun analisa data di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Pengumpulan data
Reduksi data
Sajian data
Penarikan simpulan/verifikasi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN 1. Sejarah dan Kondisi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dan Pengadilan Negeri Sukoharjo Dari laporan tahunan Pengadilan Negeri Sukoharjo Tahun 2009114 diketahui bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo semula statusnya Kawedanaan Sukoharjo kemudian menjadi Kabupaten Sukoharjo. a. Letak Geografis Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo terletak di bagian tenggara Propinsi Jawa Tengah dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar ;
Sebelah Timur
: Kabupaten Karanganyar ;
Sebelah Selatan
: Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta ;
Sebelah Barat
: Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.
Posisi geografis Kabupaten Sukoharjo adalah 110º 42’6,79” Bujur Timur - 110º 57’33,7” Bujur Timur antara 7º 32’17” Lintang Selatan - 7º 49’32” Lintang Selatan. b. Topografi Kabupaten Sukoharjo Berdasarkan kemiringan lereng yang dimiliki wilayah Kabupaten Sukoharjo dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu daerah yang datar meliputi Kecamatan Kartasura, Baki, Gatak, Grogol, Sukoharjo dan Mojolaban. Sedangkan daerah yang miring meliputi Kecamatan Polokarto, Bendosari, Nguter, Bulu, Tawangsari dan Weru. Sehingga daerah-daerah ini cenderung berbukit-bukit. Tempat tertinggi di atas permukaan air laut adalah di Kecamatan Bulu yaitu 350 m dpl dan yang terendah adalah Kecamatan Grogol 89 m.dpl. Seiring dengan terbentuknya Pemerintah Kabupaten Sukoharjo tersebut maka mulailah berdiri Pengadilan Negeri Sukoharjo. Sebelum Kabupaten 114
Pengadilan Negeri Sukoharjo, Laporan Tahunan Tahun 2009, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 15 Januari 2010.
Sukoharjo terbentuk, wilayah hukum Kawedanaan Sukoharjo merupakan bagian dari wilayah hukum Pengadilan Negeri Surakarta. Pada Tahun 1966 Pengadilan Negeri Sukoharjo mulai dirintis dengan mendapat pinjaman gedung
dan
perlengkapan yang sederhana dari Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten Sukoharjo. Sehingga pada saat tersebut persidangan-persidangan mulai digelar di Sukoharjo, meskipun administrasi perkantoran masih menjadi satu dengan Pengadilan Negeri Surakarta. Tahun 1967 Pengadilan Negeri Sukoharjo mendapat pinjaman gedung untuk kegiatan sidang dan kantor yang terletak di desa Gayam Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo dari Komando Distrik Militer (KODIM) 0726 Sukoharjo. Dengan adanya peminjaman gedung tersebut, maka mulai diresmikan berdirinya Pengadilan Negeri Persiapan Sukoharjo. Tahun 1970 Pengadilan Negeri Sukoharjo mendapat Daftar Isian Proyek (DIP) untuk pengadaan tanah seluas ± 6.369 M² (enam ribu tiga ratus enam puluh sembilan meter persegi) dan bangunan seluas ± 653 M² (enam ratus lima puluh tiga meter persegi). Tempat Pengadilan Negeri Sukoharjo sekarang berada di Kecamatan Bendosari (Jalan Jenderal Sudirman No. 193) kabupaten Sukoharjo, yang selesai di bangun tahun 1972. Tahun 1983 Pengadilan Negeri Sukoharjo mendapat DIP lagi untuk perluasan gedung kantor seluas ± 729 M² (tujuh ratus dua puluh sembilan meter persegi), dan pada Tahun 1996 ada penambahan gedung arsip dan perpustakaan seluas ± 96 M² (sembilan puluh enam meter persegi), sehingga Pengadilan Negeri Sukoharjo mempunyai luas gedung 1.382 M2. Bahwa pada Tahun 2009 seiring dengan dinaikkannya status dari Pengadilan Negeri Sukoharjo dari Kelas II menjadi Kelas I B, maka Pengadilan Negeri Sukoharjo mendapatkan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) lagi yang digunakan untuk pembangunan gedung dari lantai I (satu) menjadi lantai II seluas + 1.450 M2, dengan jumlah nilai anggaran sebesar Rp.1.523.364.832. Kabupeten Sukoharjo yang merupakan wilayah hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo dengan luas wilayah ± 466,27 km² (empat ratus enam puluh enam koma dua puluh tujuh kilometer persegi), terdiri dari 12 (dua belas) kecamatan, 150 (seratus lima puluh) desa, 17 (tujuh belas) kelurahan, 2.026 (dua ribu dua puluh enam) dukuh, 1.438 (seribu empat ratus tiga puluh delapan) RW dan 4.428 (empat ribu empat ratus dua puluh delapan) RT. Data Tahun 2006 jumlah penduduk
Kabupaten Sukoharjo sebanyak 826.289 (delapan ratus dua puluh enam ribu dua ratus delapan puluh sembilan) jiwa, dengan jumlah 49.44 % laki-laki dan 50,56 % perempuan. Untuk melaksanakan beberapa pembaharuan-pembaharuan, Pengadilan Negeri Sukoharjo sebagai bagian dari badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, telah menetapkan visi dan misi organisasinya.115 Adapun visi tersebut adalah : Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efesien, serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat, serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik. Visi sebagaimana dimaksud di atas, kemudian dijabarkan melalui misi-misi sebagai berikut :116 1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat ; 2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas sari campur tangan pihak lain ; 3. Memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat ; 4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan ; 5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efesien, bermartabat dan dihormati ; 6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan. 1. Hasil Pengamatan dan Penelitian Dokumen Dari hasil pengamatan dan penelitian berkas yang dilakukan oleh penulis di Kepaniteraan Hukum Pengadilan Sukoharjo, dari data tahun 2008 dan 2009 diketahui bahwa jumlah perkara pidana, baik pidana biasa, singkat, cepat maupun ringan relatif stabil. Hal ini dapat dilihat dari sajian tabel dibawah ini117 : Tabel 1 115
Mahkamah Agung RI., Cetak Biru (Blue Ptint) Pembaruan Mahkamah Agung RI., Jakarta.Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 1-2.
116
Mahkamah Agung RI, Loc.cit.
117
Pengadilan Negeri Sukoharjo.2009, Laporan Tahunan Tahun 2009, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 15 Januari 2010.
Jumlah perkara pidana Tahun 2008 dan 2009 yang masuk di Pengadilan Negeri Sukoharjo
NO
TAHUN
BIASA
SINGKAT
CEPAT
RINGAN
1
2
3
4
5
6
I
2008 Sisa Tahun 2007
30
-
-
-
Masuk
322
7
19.510
683
Putus
310
1
19.510
683
Sisa Tahun 2008
42
-
-
-
Masuk
322
26
15.952
95
Putus
263
18
15.952
92
II
2009
Tabel 2 Jumlah perkara perdata gugatan dan permohonan tahun 2008 dan 2009 yang masuk di Pengadilan Negeri Sukoharjo.
NO
TAHUN
GUGATAN
PERMOHONAN
1
2
3
4
I
2008 Sisa Tahun 2007
26
0
Masuk
73
50
Putus
73
48
II
2009 Sisa Tahun 2008
26
01
Masuk
68
73
Putus
78
70
Dari jumlah perkara perdata gugatan, dalam Tahun 2008 Pengadilan Negeri Sukoharjo menerima 73 (tujuh puluh tiga) pengajuan perkara dengan 10 (sepuluh) jenis gugatan. Dari 10 (sepuluh) jenis gugatan dimaksud, diantaranya terdapat gugatan pembatalan perjanjian
kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaris
sebanyak 1 (satu) gugatan. Demikian pula dalam Tahun 2009, pengajuan gugatan sejulah 68 (enam puluh delapan) gugatan, dari jumlah tersebut dapat dikatagorikan sebanyak 10 (sepuluh) jenis gugatan, diantaranya gugatan pembatalan perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaris sebanyak 1 (satu) gugatan. Dari jumlah perkara gugatan yang diterima oleh Pengadilan Negeri Sukoharjo dalam kurun waktu 2008 dan 2009 dapat dilihat dari tabel di bawah ini118 : Tabel 3 Jenis dan jumlah perkara perdata gugatan tahun 2008 dan 2009 yang masuk di Pengadilan Negeri Sukoharjo
TAHUN NO
118
JENIS GUGATAN 2008
2009
1
Wanprestasi
15
14
2
Bantahan terhadap eksekusi
5
4
3
Perceraian
25
23
Pengadilan Negeri Sukoharjo.2009, Laporan Tahunan Tahun 2009, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 15 Januari 2010.
4
Utang-piutang
3
-
5
Perbuatan Melawan Hukum
15
13
6
Pembatalan Perjanjian Kredit/Utang-
1
1
piutang 7
Warisan
3
9
8
Pengosongan Tanah dan Bangunan
1
2
9
Pembatalan Jual-beli Tanah
4
2
10
Bantahan terhadap Sita Jaminan
1
-
73
68
Jumlah
Memperhatikan gugatan pembatalan perjanjian kredit/utang-piutang yang diajukan oleh penggugat pada tahun 2008 dan 2009, diketahui bahwa 2 (dua) gugatan
sebagaimana pada tabel 3 di atas dengan para pihak serta
nomor
registernya terlihat sebagaimana tersaji dalam tabel di bawah ini : Tabel 4 : Jumlah Gugatan Pembatalan Perjanjian Kredit pada Tahun 2008 dan 2009 di Pengadilan Negeri Sukoharjo
NO
NOMOR
PENGGUGAT
TERGUGAT
3
4
REGISTER 1
2
1
61/Pdt.G/2008/PN.Skh
1. Drs. JOKO BEKTI HARYONO, M.Pd. 2. Dra.DYAH PADMANINGSIH, M.Hum.
1. RICKY FAJAR ADIPUTRA. 2. NINOEK POERNOMO, SH. 3. YULISTIKA SETYADEWI, SH. 4. KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN
SUKOHARJO. 2
51/Pdt.G/2009/PN.Skh
P
1. G. AGUNG SASONGKO
1. SUBADI
2. Ny. MM SRI HASTUTI
2. SINDHU WARDANA
emer iksaa
3. SUNARJO DARMANTO al PITIK 4. SETYAWATI WARDANA 5. DIDIK DARMAWAN HARTONO 6. HERRY SANTOSO 7. EFFIE WIYANI CANDRASA
n perk ara guga tan yang diaju kan oleh
Penggugat di Pengadilan Negeri Sukoharjo dilakukan oleh Majelis Hakim dengan dibantu oleh seorang Panitera Pengganti. Dari data bagian personalia diperoleh data Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo sebagai berikut119 : Tabel 5 Data Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo dari bulan Desember Tahun 2009 hingga bulan Pebruari Tahun 2010 NO
NAMA–NIP- PANGKAT
JABATAN
PENDIDIKAN
1
2
3
4
1
BINSAR SIREGAR, SH.M.Hum.
Ketua
-S.1 Ilmu Hukum,
Pengadilan
USU Th.1985.
040 049 685
Negeri Pembina TK. I ( IV/b ) Hakim Madya Muda
119
Sukoharjo
S.2 Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Th 1999
Pengadilan Negeri Sukoharjo.2009, Laporan Tahunan Tahun 2009, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 15 Januari 2010.
2
ABDUL KOHAR, SH. 1959 1006 1988 031 002 Pembina TK. I ( IV/b )
Wakil Ketua Pengadilan
-S.1 Ilmu Hukum Universitas Airlangga Th.1985.
Negeri Sukoharjo
Hakim Madya Muda
3
DWI YANTO, SH.Mhum.
Hakim
1966 0304 1992 031 003
STIH Padang 1993
Penata TK. I ( III/d )
-
Hakim Pratama Utama
4
-S.1 Ilmu Hukum
ASMINAH, SH.
S2 Ilmu Hukum
UNMER Malang, 2009 Hakim
-S.1 Ilmu Hukum Univ. Sebelas Maret
1964 1006 1998 031 002
(UNS) Th. 1993. Penata TK. I ( III/d ) Hakim Pratama Utama
5
M.IKHSAN FATHONI, SH.MH.
Hakim
-S.1.Ilmu Hukum Universitas
1969 0604 1996 031 001
Muhammadiyah Penata TK. I ( III/d )
Surakarta Th 1993.
Hakim Pratama Utama
S.2 Ilmu Hukum UNILA Tanjung Karang Th. 2008.
6
SUNARYANTO, SH.
Hakim
-S.1 Ilmu Hukum Univ. Sebelas Maret (UNS)
040 070 180
Surakarta Th. 1993. Penata TK. I ( III/d ) Hakim Pratama Utama
7
BERLINDA URSULA
Hakim
-S.1. Ilmu Hukum Universitas Merdeka
MAYOR, SH.
(UNMER) Malang 040 072 065
Th.1998
Penata ( III/c ) Hakim Pratama Madya
8
ETIK PURWANINGSIH,SH. MH 040 073 525
Hakim
-S.2. Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta Th 2004
Penata Muda TK.I(III/b) H Hakim Pratama Muda
Melihat kewenangan Pengadilan Negeri Sukoharjo meliputi seluruh Kabupaten Sukoharjo, yang terdiri dari 12 (dua belas) kecamatan, dan berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2006 jumlah penduduk Kabupaten Sukoharjo sebanyak 826.289 (delapan ratus dua puluh enam ribu dua ratus delapan puluh sembilan) jiwa, maka bilamana di bandingkan dengan jumlah Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo sebanyak 8 (delapan) orang, maka perbandingan 1 (satu) orang Hakim melayani 103.286,125 (seratus tiga ribu dua ratus delapan puluh enam seratus dua puluh lima per seribu) jiwa.
Tabel 6 Majelis Hakim yang mengadili Perkara Perdata Nomor : 61/Pdt.G/2008/PN.Skh
NO NAMA-NIP-PANGKAT 1
JABATAN PENDIDIKAN
2 SUBIHARTA,SH.MHum
3 Ketua Pengadilan
040 049 655. Pembina TK. I ( IV/b ) Hakim Madya Muda
Negeri
4 -S.1 Hukum Pidana Univ. Gajah Mada Th. Lulus Th. 1984.
Sukoharjo dari Th.2007 s/d Th.2009, selaku Ketua
-S.2 Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Th 1999
Majelis SAPTA DIHARJA, SH. MHum.
Hakim Pengadilan
040 064 376
-S.1 HTN UNAND Padang Th. 1986.
Negeri
Penata TK. I ( III/d )
Sukoharjo
Hakim Pratama Utama
dari Th.2006 s/d Th.2009, selaku
-S.2 Ilmu Hukum Univ. Ekasakti (UNES) Padang Th Lulus 2006
Anggota Majelis IKHWAN HENDRATO, SH.
Hakim Pengadilan
040 069 324
Negeri
Penata TK. I ( III/d )
Sukoharjo
Hakim Pratama Utama
dari Th.2006 s/d Th.2009,
-S.1 Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya Lulus Th 1992 -S.2 Ilmu Hukum Univ. Sebelas Maret Surakarta Th. 2009
selaku Anggota
2. Hasil Wawancara a. Data hasil wawancara dengan pejabat administrasi teknis yustisial dalam perkara perdata di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukoharjo. Pengajuan gugatan perkara perdata oleh masyarakat di Pengadilan Negeri Sukoharjo dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya : pendaftaran, sebagaimana diutarakan oleh Kris Sumedi, SH Panitera Muda Perdata, dan dari hasil wawancara diketahui bahwa proses penerimaan berkas perkara perdata sampai proses pemeriksaan perkara adalah dilakukan dengan cara sebagai berikut120 : 1. Penggugat atau kuasanya datang ke Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri dengan membawa surat gugatannya. 2. Panitera Muda selaku petugas meja I menafsir besarnya uang panjar biaya perkara yang dibayarkan. Berdasarkan Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo Nomor W12.U32/404/PDT/ 04.01/III/2008 tanggal 26 Maret 2008 tentang uang panjar biaya perkara perdata, ditempelkan pada papan pengumuman di depan kasir Kepaniteraan Muda Perdata. Sehingga masyarakat mengetahui berapa jumlah panjar biaya perkara yang harus disetorkan kepada Bank. Pembayaran biaya panjar perkara, oleh pihak penggugat disetorkan 120
Wawancara dengan Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 22 Januari 2010 di Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo.
melalui Bank PT. BTN Kantor Cabang Pembantu Sukoharjo Rekening Nomor. 00000216-01-50-000546-0 atas nama Pengadilan Negeri Sukoharjo. 3. Setelah panjar biaya dibayarkan, bukti pembayaran yang asli diserahkan kepada petugas meja I, selanjutnya bukti tersebut diteruskan kepada petugas kasir untuk dibukukan kedalam buku jurnal dan buku induk keuangan. Sedangkan surat gugatan oleh meja II diberikan nomor perkara gugatan sesuai dengan urutannya dan dibukukan ke dalam buku register gugatan. Berkas perkara gugatan tersebut
dilengkapi
dengan
formulir
penetapan
penunjukan Hakim, Panitera Pengganti dan hari sidang. 4. Selanjutnya berkas perkara gugatan diteruskan kepada Wakil Panitera untuk diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri melalui Panitera. 5. Setelah Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim melalui penetapannya, demikian pula Panitera menunjuk panitera pengganti, maka berkas perkara gugatan tersebut oleh kepaniteran perdata diserahkan kepada hakim yang ditunjuk untuk ditetapkan hari sidang pertama. 6. Setelah hari sidang ditetapkan, kemudian oleh kepaniteraan perdata (dalam hal ini jurusita) memanggil penggugat untuk hadir
di
persidangan. 7. Pada hari sidang pertama selanjutnya hakim mendamaikan para pihak melalui mediator. Apabila mediasi untuk berdamai tersebut berhasil maka hakim akan memberi putusan perdamaian, akan tetapi apabila mediasi tidak berhasil maka mediator akan menyerahkan para pihak kepada majelis hakim untuk dilanjutkan pemeriksaan perkaranya hingga putusan akhir. b. Data hasil wawancara dengan Majelis hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang menjadi obyek penelitian. Pokok bahasan yang menjadi perhatian penulis dalam pengambilan data ini adalah untuk mengetahui mengapa Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo memutus perkara perdata tidak mempertimbangkan dasar/alasan gugatan penggugat kesatu mengenai tuntutan pembatalan Akta Notaris No. 6 tentang Perjanjian Utang-piutang karena alasan formalitas pembuatan akta yang cacat hukum, maka wawancara dilakukan terhadap Subiharta, SH.M.Hum Hakim Pengadilan Negeri Medan/Mantan Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo yang
menjadi Ketua Majelis, serta Sapta Diharja, SH.MHum Hakim Pengadilan Negeri Padang/mantan Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo dan Ikhwan Hendrato, SH.MH Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tobelo/mantan Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo masing-masing sebagai Hakim Anggota, yang memeriksa dan mengadili perkara 61/Pdt.G/2008/PN.Skh
perdata
Nomor
dan diperoleh keterangan atau
Register :
informasi sebagai
berikut : 1. Subiharta, SH.M.Hum, dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 22 Januari 2010 menyatakan : -
-
”Pada dasarnya yang dimaksud dengan akta pengakuan hutang itu harus berisi pernyataan pengakuan utang murni sepihak, besarnya utang yang harus dibayar sudah pasti, dibayar dalam jangka tertentu, besaran bunga, dan tidak boleh ada tambahan persyaratan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR. Akta pengakuan utang itu di dalamnya tidak boleh dicampur dengan ”Perjanjian Utang-piutang”. Mengapa demikian, karena pada dasarnya akta pengakuan utang itu dibuat/timbul setelah ada akta perjanjian kredit/utang-piutang, dengan tujuan apabila debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat langsung minta salinan akta Pengakuan Hutang tersebut dalam bentuk grosse akta yang kepalanya bertitel eksekutorial (berkepala ”Demi Ketuhanan Yang Maha Esa”), dan dengan grosse akta tersebut kreditur dapat minta kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk dilakukan eksekusi, tanpa harus mengajukan gugatan ke pengadilan. Sedangkan pada akta notaris yang berisi perjanjian utang-piutang tidak boleh dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse akta yang digunakan untuk memohon eksekusi ke pengadilan negeri, akan tetapi harus diajukan gugatan terlebih dahulu. Dan bila dikeluarkan salinan Akta Perjanjian Utangpiutang selaku perjanjian pokok dalam bentuk grosse, maka hal tersebut menyalahi formalitas pembuatan akta dan akta tersebut menjadi cacat formal”. ” Sedangkan perjanjian pokok berupa (perjanjian kredit/perjanjian utang piutang), di dalamnya dapat dimasukkan atau menyebutkan pemberian hak tanggungan dan dapat pula tidak menyebutkan adanya pemberian hak tanggungan, karena pemberian hak tanggungan itu sendiri dapat dinilai sebagai bagian dari syarat perjanjian saja yang sejalan dengan perjanjian pokok dan selanjutnya perjanjian pemberian pembebanan hak tanggungan tersebut akan dibuatkan dalam akta khusus untuk itu dengan akta yang dibuat oleh PPAT sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat 2 UU No. 4 Tahun 1996. Akan tetapi, akta otentik yang berisi perjanjian kredit selaku perjanjian pokok tidak dapat dimasukkan/tidak dapat dicampuri dengan Pernyataan Pengakuan Hutang dari debitur, dan apabila pernyataan tersebut dimasukkan dalam akta perjanjian kredit maka akta tersebut akan menjadi tidak jelas dan cacat hukum karena bertentangan dengan
maksud dari ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg. Namun demikian perjanjian utang-piutangnya sendiri tetap sah”. - ”Mengenai kenapa Majelis Hakim tidak mempertimbangkan semua dalil gugatan penggugat, maka penulis seharusnya bisa membaca sendiri pertimbangan hukum pada putusan nomor 61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut dan saya tidak perlu menjawabnya”. 2. Sapta Diharja, SH.Mhum, dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 23 Januari 2010 menyatakan : - ”Yang dimaksud dengan akta pengakuan hutang itu adalah suatu akta notaris yang berisi pernyataan pengakuan utang murni sepihak, besarnya utang yang harus dibayar sudah pasti, dibayar dalam jangka tertentu, besaran bunga, dan tidak boleh ada tambahan persyaratan lain. Sebenarnya akta ini mengikuti perjanjian utang-piutang yang telah dibuat selumnya bersama kreditur. Akta pengakuan utang itu di dalamnya tidak boleh dicampur dengan ”perjanjian utang piutang”, karena sifatnya sudah berbeda. Dan perjanjian utang-piutang demikian pula, didalamnya juga tidak boleh berisi pernyataan pengakuan utang sepihak dari debitur, oleh karenanya pada akta perjanjian yang berisi perjanjian utang-piutang tidak boleh dikeluarkan salinan yang berbentuk grosse akta yang berkepala ”Demi Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan bila terjadi seperti demikian maka akta tersebut menjadi cacat secara formil dan dapat dimintakan pembatalan kepada hakim”. ”Mengenai pertimbangan putusan perkara Perdata Register No. 61/Pdt.g/2008/PN.Skh, saya selaku anggota Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut sepakat tidak mempertimbangkan dalil pokok gugatan penggugat yang mendalilkan bahwa Akta Perjanjian Kredit No. 6 telah cacat hukum karena dicampur dengan pernyataan hutang dari debitur, serta akta tersebut dibuat dalam bentuk grosse, walaupun penggugat di persidangan juga telah mengajukan bukti berupa akta nomor 6 bertanda P-1 dan seorang saksi ahli, karena menurut pendapat saya apabila suatu akta notaris tentang perjanjian utang-piutang isinya dicampur dengan pernyataan hutang serta dibuat dalam bentuk grosse maka akta tersebut cacat hukum dan bisa dibatalkan, termasuk perjanjian ikutannya semua. Sedangkan di lain pihak, penggugat selaku debitur dalam perkara a quo telah menerima dan menikmati uang pinjaman dari kreeditur sebesar Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah), dan belum membayar cicilannya sama sekali dan baru membayar bunganya saja. Sehingga apabila dalil pokok gugatan tersebut kami pertimbangkan dan saya harus membatalkan akta perjanjian kredit dalam bukti P-1 tersebut, maka hal tersebut jelas akan merugikan kreditur. Dan menurut pendapat saya, dalam melaksanakan aturan hukum, dalam hal ini ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR, manakala aturan tersebut diterapkan akan menghilangkan rasa keadilan pada pihak lain maka hakim tidak harus menerapkannya aturan itu. Oleh karena itu kami Majelis Hakim bersepakat untuk tidak menerapkan ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR itu”.
3. Ikhwan Hendrato, SH.M.H, dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 23 Januari 2010 menyatakan : - ”Sepengetahuan saya yang dimaksud dengan akta pengakuan hutang itu adalah suatu akta notaris yang berisi pernyataan pengakuan utang murni sepihak, jumlah utang yang pasti yang harus dibayar, jangka waktu pembayaran, besarnya bunga bila ada, dan tidak boleh ada tambahan persyaratan lain. Akta pengakuan utang itu di dalamnya tidak boleh dicampur dengan ”perjanjian utang piutang”, karena keduanya mempunyai bentuk yang berbeda. Demikian pula pada akta perjanjian utang-piutang, didalamnya juga tidak boleh berisi pernyataan pengakuan utang sepihak dari debitur. Oleh karenanya pada akta perjanjian utang-piutang tidak boleh dikeluarkan salinan yang berbentuk grosse akta yang berkepala ”Demi Ketuhanan Yang Maha Esa” yang melanggar ketentuan Pasal 224 HIR, karena jumlah utang yang tertulis dalam akta tersebut belum pasti, dan bila terjadi seperti demikian maka akta tersebut menjadi cacat hukum secara formil karena pembuatannya melanggar aturan”. - ”Pada Akta Perjanjian Kredit/Perjanjian Utang piutang, didalamnya tidak dapat dimasukkan pernyataan pemberian hak tanggungan berupa tanah, karena pemberian hak tanggungan itu sendiri akan dibuatkan dalam akta khusus untuk itu dengan akta yang dibuat oleh PPAT sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat 2 UU No. 4 Tahun 1996. Juga, Akta notaris yang berisi perjanjian kredit tidak dapat dimasukkan/tidak dapat dicampuri dengan Pernyataan Pengakuan Hutang dari debitur, serta tidak dapat dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse, dan apabila ada akta notaris berisi pernyataan pengakuan hutang dan berbentuk grosse maka akta tersebut akan menjadi tidak jelas bentuknya dan cacat hukum, karena bertentangan dengan maksud dari ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg”. - ”Dalam putusan perkara perdata Register No. 61/Pdt.g/2008/PN.Skh, saya selaku anggota Majelis Hakim yang menjatuhkan putusan tersebut tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat yang mengatakan bahwa Akta Perjanjian Kredit No. 6 dalam bukti P-1 cacat hukum karena dicampur dengan pernyataan hutang dari debitur dan berbentuk grosse akta, sedangkan penggugat di persidangan juga telah mengajukan bukti akta No. 6 tersebut bertanda P-1 dan mengajukan seorang saksi ahli yang menerangkan bahwa akta nomor 6 tersebut celah cacat formil, karena saya berfikiran bahwa akta tersebut benar telah mengalami cacat hukum dan harus dibatalkan, dan karena akta tersebut merupakan perjanjian pokok maka apabila akta itu dibatalkan akan mengakibatkan batalnya seluruh akta ikutannya. Dan bila hal itu terjadi maka tergugat selaku kreditur akan kehilangan hak tanggungan yang dijaminkan kepadanya. Sedangkan debitur sendiri telah menerima dan menikmati uang pinjaman dari kreeditur sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan uang tersebut oleh debitur tidak diperhitungkan dalam gugatan.Sehingga apabila dalil gugatan pembatalan atas dasar formalitas bentuk akta tersebut saya pertimbangkan pasti akan bermuara pada batalnya perjanjian kredit itu sendiri, maka hal tersebut
jelas akan merugikan pihak kreditur, dan menurut pendapat saya dalam menegakkan hukum, ketika peraturan hukum, dalam hal ini Pasal 178 ayat (2) HIR, diterapkan akan tetapi tidak menunjukkan rasa keadilan dan tidak sesuai dengan hati nurani hakim, maka peraturan itu dapat dilanggar demi tercapainya keadilan substansi yang hakiki. Jadi pada prinsipnya, saya berpendapat bahwa dalam menegakkan hukum yang berkaitan dengan keabsahan formalitas akta notaris melalui putusan pengadilan ini hakim harus lebih mementingkan keadilan substansi dan perlingungan hukum kepada kreditur. Oleh karenanya maka saya tidak menerapkan ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR tersebut”. c. Data hasil wawancara dengan para Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang lain sebagai salah satu Pengambil Keputusan dalam sengketa perkara perdata121. Sebagai pembanding, penulis mengambil data dari beberapa hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Sukoharjo sebagai responden, untuk mengetahui pandangan mereka terhadap akta notaris yang berisi perjanjian kredit selaku perjanjian pokok yang di dalamnya disisipkan pernyataan pengakuan hutang dari debitur, serta bagaimana mereka bersikap apabila memeriksa gugatan pembatalan terhadap akta notaris yang bentuknya seperti demikian. Dari pertanyaan yang diajukan kepada para responden tersebut telah diperoleh data sebagai berikut : 1. Binsar Siregar, SH.MHum. – Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo, menjelaskan sebagai berikut : -
”Bahwa Pengakuan Hutang dan Perjanjian Utang-piutang keduanya merupakan istilah dalam hukum bisnis yang sudah dikenal sejak lama. Pengakuan Hutang adalah merupakan pernyataan pengakuan hutang yang dinyatakan sepihak oleh debitur saja tentang utang/kewajibannya kepada debitur, tanpa diembel-embeli dengan syarat-syarat lain, sehingga akta notaris yang memuat pengakuan hutang tersebut harus murni pernyataan dari debitur saja. Sedangkan Perjanjian Utang-piutang adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur tentang pinjaman serta syarat-syarat pelunasan utang, bunga, dal lain-lain. Perjanjian Utang-piutang ini merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dikeluarkannya grosse akta pengakuan utang maupun grosse akta hypotek atau sertifikat hak tanggungan”. - ”Bahwa apabila suatu akta pengakuan hutang didalamnya dicantumkan syarat-syarat atau perjanjian kredit antara debitur dengan kreditur, maka pencantuman tersebut menghilangkan kemurnian akta pengakuan hutang tersebut dan sebagai konsekuensinya akta tersebut akan kehilangan 121
Wawancara dengan Ketua/Hakim-hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 01 Pebruari 2010 di Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo.
kekuatan eksekutorialnya sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 224 HIR”. - ”Bahwa perjanjian pemberian Hak tanggungan dapat dicantumkan di dalam Akta Perjanjian Kredit yang dibuat oleh notaris (akta otentik), namun apabila perjanjian kredit/utang-piutang tersebut berupa perjanjian dibawah tangan maka pemberian hak tanggungan tersebut harus terpisah dan harus dibuat dengan akta notaris, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1171 BW jo PP No.10 Tahun 1961”. - ”Bahwa saya berpendapat apabila suatu akta notaris berisi campuran antara perjanjian kredit, pengakuan hutang dan perjanjian pemberian hak tanggungan dengan jaminan berupa tanah, maka pencampuran tersebut mengakibatkan akta itu cacat dan tidak ada kepastian hukumnya, serta grosse akta yang bertitel eksekutorial pada akta tersebut kehilangan kekuatan eksekutorialnya. Namun demikian sifat perjanjian utangpiutangnya tetap sah berlaku sebagai perjanjian pokok, sedangkan pengakuan hutangnya berifat tambahan, sehingga apabila debitur wanprestasi maka untuk pelaksanaan perjanjiannya adalah melalui gugatan di pengadilan”. - ”Bahwa saya berpendapat, sebagai hakim apabila ada perkara gugatan yang menuntut pembatalan akta yang berisi beberapa perbuatan hukum yang campur aduk dalam satu akta seperti tersebut di atas, saya tetap akan mempertimbangkannya dalam putusan, karena walaupun akta tersebut cacat, akan tetapi menurut pendapat saya perjanjian pokoknya berupa perjanjian kredit tetap sah berlaku”. 2. Asminah, SH,. – Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, menjelaskan sebagai berikut : -
”Bahwa menurut pendapat saya, yang dimaksud dengan Pengakuan Hutang adalah sebuah surat berbentuk akta notaris yang dibuat oleh Debitur Perorangan/Badan Hukum, dirumuskan dengan kata-kata sederhana, yang isinya mengaku telah berhutang uang dengan jumlah tertentu kepada seorang kreditur, dan berjanji akan mengembalikannya dalam waktu tertentu disertai bunga, dan tidak dapat ditambah dengan pernyataan-pernyataan lain, dasarnya adalah Pasal 224 HIR/258 Rbg. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian utang-piutang adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak yakni kreditur dengan debitur, dan apabila perjanjian tersebut dibuat dengan akta notaris maka di dalamnya boleh saja dimasukkan perjanjian pemberian hak tanggungan yang obyeknya berupa tanah. Pemberian hak tanggungan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU No. 4 Tahun 1996, harus didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu”. - ”Bahwa sebuah akta notaris yang berisi perjanjian kredit tidak dapat dicampur dengan pengakuan hutang, karena kedua perbuatan tersebut harus dalam akta notaris tersendiri, atau harus dibuat dalam dua akta yang masing-masing berisi perbuatan hukum tersendiri. Namun, apabila ada suatu akta notaris yang berisi perjanjian kredit atau utang-piutang, yang didalamnya ditambah dengan pernyataan pengakuan hutang dari debiturnya atas uang dengan jumlah tertentu kemdudian dikeluarkan
-
salinan dalam bentuk grosse, maka perjanjian kreditnya selaku perjanjian pokok tidak batal, karena perjanjian tersebut telah dibuat memenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata”. ”Menurut pendapat saya, apabila saya memeriksa dan mengadili gugatan pembatalan perjanjian kredit yang dibuat dengan akta notaris yang berisi campuran dengan pernyataan hutang didalamnya, maka wajib mempertimbangkan seluruh materi atau alasan yang ada dalam gugatan tersebut, alasannya karena berdasarkan ketentuan Pasal 178 ayat 2 HIR telah ditentukan bahwa hakim wajib memberikan putusan terhadap semua bagian dari tuntutan, sedangkan ketentuan hukum acara merupakan tuntunan mutlak yang harus diikuti dan tidak bisa disimpangi oleh hakim dalam beracara di persidangan”.
3. Dwi Yanto, SH.M.Hum., – Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, menjelaskan sebagai berikut : - ”Bahwa menurut pendapat saya, akta pengakuan hutang itu merupakan akta otentik yang berisi pengakuan sepihak oleh debitur saja dan besarnya hutang sudah pasti, dimana yang bersangkutan mengaku berhutang sejumlah uang tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu; jadi dalam akta pengakuan hutang tidak boleh dibuat dalam bentuk perjanjian yang ditanda tangani oleh dua pihak (debitur dan kreditur), dasarnya adalah Pasal 224 HIR”. - ”Bahwa menurut pendapat saya, akta perjanjian hutang-piutang atau perjanjian kredit boleh saja didalamnya dimasukkan perjanjian pemberian hak tanggungan yang obyeknya berupa tanah, karena perjanjian pemberian hak tanggungan itu harus didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutangnya, dan janji pemberian hak tanggungan tersebut dituangkan didalam perjanjian kredit dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan perjanjian pokok utang-piutang itu sendir (berdasar pada Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan)”. - ”Menurut pendapat saya, apabila suatu akta notaris berisi Perjanjian Kredit/Utang-piutang, Pengakuan hutang, serta Penjaminan barang berupa tanah, maka akta tersebut cacat hukum, karena masing-masing perbuatan hukum tersebut seharusnya dibuat satu per satu akta dan tidak boleh dicampur dalam satu akta notaris (vide : ketentuan tentang Akta Pengakuan Hutang dalam Pasal 224 HIR, dan ketentuan tentang Penjaminan dalam Pasal 10 ayat (1), (2) UU No. 4 Tahun 1996). Namun, apabila suatu akta notaris berisi perjanjian kredit/utang-piutang, yang didalamnya ditambah dengan pernyataan pengakuan hutang dari debiturnya, serta perjanjian penjaminan berupa tanah, kemdudian dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse, maka perjanjian kreditnya selaku perjanjian pokok tidak batal, karena perjanjian tersebut telah dibuat memenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata”. - ”Bahwa apabila saya memeriksa dan mengadili gugatan pembatalan perjanjian kredit yang dibuat dengan akta notaris yang berisi campuran dengan pernyataan hutang didalamnya, maka menurut pendapat saya, maka saya harus mempertimbangkan seluruh materi atau alasan yang ada
dalam gugatan tersebut, walaupun dalil gugatan tersebut hanya mengenai formalitas cara pembuatan akta, alasannya karena berdasarkan ketentuan Pasal 178 ayat 2 HIR hakim harus mempertimbangkan seluruh bagian gugatan. Dimana ketentuan hukum acara seperti ketentuan tentang penerapan pembuktian adalah tidak dapat disimpangi. Sebaliknya bila ketentuan hukum acara disimpangi justru akan terjadi sikap yang tidak fair dan tidak adil”. 4.
M. Ikhsan Fathoni, SH.MH.,
Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo,
menjelaskan sebagai berikut : - ”Menurut pendapat saya, akta pengakuan hutang itu suatu akta yang berisi pengakuan sepihak oleh debitur saja dan besarnya hutang sudah pasti, dan bentuknya sederhana sekali dan tidak boleh dibuat dalam bentuk perjanjian yang ditanda tangani oleh dua pihak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR”. - ”Bahwa menurut pendapat saya, akta perjanjian hutang-piutang atau perjanjian kredit boleh saja didalamnya dimasukkan perjanjian pemberian hak tanggungan yang obyeknya berupa tanah, karena sifat dari perjanjian atau perikatan itu adalah terbuka sesuai dengan kehendak para pihak”. - ”Menurut pendapat saya, apabila suatu akta notaris berisi Perjanjian Kredit/Utang-piutang, Pengakuan hutang, serta Penjaminan barang berupa tanah, maka akta tersebut tidak menjadikannya perjanjian kredit/utang-piutang cacat hukum, karena perjanjian kredit/utang-piutang itu adalah sebagai perjanjian pokok, sedangkan pernyataan pengakuan hutang maupun perjanjian penjaminan barang berupa tanah itu adalah hanya sebagai perjanjian asessoirnya saja”. ”Bahwa apabila saya memeriksa dan mengadili gugatan pemba-talan perjanjian kredit yang dibuat dengan akta notaris yang berisi campuran dengan pernyataan hutang didalamnya, maka menurut pendapat saya, saya wajib mempertimbangkan seluruh bagian gugatan, yang dalam hal ini masalah formalitas pembuatan akta oleh notaris tersebut, karena saya ingin mencari keadilan dan kepastian hukum atas sengketa hukum yang terjadi diantara kedua belah pihak yang berperkara. Apabila tidak mempertimbangkan semua dalil gugatan maka putusan tersebut tidak tepat, karena ketentuan hukum acara seperti ketentuan tentang penerapan pembuktian tidak dapat dilangkahi oleh hakim. Sebaliknya bila ketentuan hukum acara disimpangi justru akan terjadi sikap yang tidak fair”. 5. Sunaryanto, SH., Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, menjelaskan sebagai berikut : -
-
”Bahwa yang dimaksud dengan Akta Pengakuan Hutang adalah sebuah surat yang dibuat dihadapan notaris yang berisi pernyataan dari debitur yang mengaku berhutang uang sejumlah tertentu, dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, dan dasar dari aurat pengakuan hutang adalah Pasal 224 HIR/258 Rbg”. ”Menurut pendapat saya, di dalam akta perjanjian utangpiutang/perjanjian kredit yang dibuat notaris boleh saja dimasukkan
-
-
5.
Pernyataan Pengakuan hutang dan perjanjian hak tanggungan berobyek tanah, karena pemberian hak tanggungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian utang-piutang yang bersangkutan, dan selanjutnya pemberian hak tanggungan tersebut dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan di depan PPAT. Sebagai dasar pendapat saya adalah Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 4 tahun 1996”. ”Apabila ada suatu akta notaris Perjanjian Utang-piutang yang didalamnya berisi pula pernyataan pengakuan hutang dan penjaminan berupa tanah, atau isi akta tersebut beberapa macam perbuatan hukum, maka saya berpendapat akta tersebut tidak cacat hukum, karena hukum perjanjian itu menganut azas kebebasan berkontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dan apabila akta perjanjian yang demikian dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse, maka perjanjian utang-piutang/perjanjian kreditnya selaku perjanjian pokok tidak batal, asalkan dalam perjanjian tersebut telah terpenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan didalam Pasal 1320 KUHPerdata”. ”Mengenai pertimbangan hukum, saya berpendapat bahwa dalam memeriksa perkara perdata gugatan hakim wajib mempertimbangkan alasan gugatan adanya cacat hukum mengenai formalitas pembuatan akta secara jelas dan terperinci, karena hal tersebut merupakan dalil pokok (posita) gugatan yang berkaitan dengan petitum gugatan tersebut. Kewajiban mempertimbangkan semua bagian gugatan ini adalah berdasarkan amanat yang diberikan oleh ketentuan Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR. Apabila ada putusan yang tidak mempertimbangkan dalil pokok gugatan maka putusan tersebut adalah tidak tepat, karena ketentuan hukum formil seperti hukum acara, ketentuan penerapan pembuktian dan penjatuhan putusannya tidak dapat dilangkahi oleh hakim. Apabila ketentuan hukum acara disimpangi justru akan terjadi sikap yang tidak fair dan tidak adil, sedangkan ketentuan hukum materiil baik perkara pidana maupun perdata dapat disimpangi dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat”. Berlinda Ursula mayor, SH.,
Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo,
menjelaskan sebagai berikut : -
-
”Menurut pendapat saya, ketentuan mengenai Pengakuan Hutang ini diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang (Geldschieter Ordonantie, Stb. 1938-523). Menurut ketentuan ordonasi tersebut, notaris dilarang membuat akta pengakuan hutang dan mengeluarkan drosse aktanya dari perjanjian hutang piutang dengan seorang pelepas uang (kreditur)”. ”Sedangkan Pasal 224 HIR/258 Rbg adalah mengatur mengenai Grosse Akta Pengakuan Hutang, dan Pasal tersebut memberi definisi akta Pengakuan Hutang yang dapat dikeluarkan grossenya, yaitu berupa adalah sebuah akta yang dibuat oleh notaris yang berisi pengakuan utang dari pribadi orang biasa atau Badan Hukum, dengan kata-kata sederhana mengaku berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan
-
-
-
5.
mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu dengan disertai bunga sebesar 2 % sebulan dan jumlah utangnya sudah pasti”. ”Di dalam suatu Akta notaris tentang Perjanjian Utang-piutang/perjanjia kredit boleh dimasukkan perjanjian pemberian hak tanggungan yang berobyek tanah, karena setiap pemberian Hak tanggungan selalu dibuat menajdi satu kesatuan dengan Perjanjian Kredit (perjanjian utangpiutang), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 4 tahun 2006”. ”Apabila ada satu akta notaris dibuat dalam bentuk grosse akta, dan berisi 3 (tiga) macam perbuatan hukum, yakni Perjanjian Utang Piutang, Pernyataan Pengakuan Hutang dan penjaminan barang berupa tanah, maka menurut pendapat saya akta notaris tersebut cacat hukum dari segi formalitas pembuatannya. Hal tersebut karena yang boleh dikeluarkan salinan dalam bentuk Grosse akta sebagaiumana diatur dalam Pasal 224 HIR hanyalah akta Pernyataan pengakuan hutang, sedangkan pada akta pernyataan pengakuan hutang itu sendiri tidak boleh ditambah dengan persyaratan-persyaratan lain, apalagi ditambah dengan perjanjian, maka bentuk akta campuran yang demikian adalah cacat hukum”. ”Apabila saya dihadapkan untuk memeriksa perkara gugatan atau tuntutan pembatalan atas suatu akta notaris yang berisi campuran seperti tersebut diatas, maka menurut pendapat saya hakim tidak ada kewajiban untuk mempertimbangkan posita gugatan tersebut (boleh mempertimbangkan dan boleh tidak mempertimbangkan), dan alasan saya ialah apabila hakim tersebut memutus dengan niat untuk mencari keadilan yang hakiki bagi kedua belah pihak, dan dalam benaknya ada pikiran bahwa apabila memeriksa formalitas pembuatan aktanya justru akan merugikan si kreditur karena akta tersebut cacat hukum, maka sebaiknya hakim tidak perlu mempertimbangkan dalil posita gugatan tersebut. Akan tetapi bisa juga mempertimbangkan posita tersebut, namun hakim cukup mempertimbangkan bahwa tidak dibenarkan penggabungan antara Pengakuan Hutang dengan Perjanjian Utang-piutang dalam sebuah akta saja, dan tidak perlu menyatakan bahwa akta perjanjian tersebut batal, karena penggugat pada waktu akta tersebut dibuat telah menyetujuinya”. Etik Purwaningsih, SH.MH,
Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo,
menjelaskan sebagai berikut : -
”Menurut pendapat saya, bentuk akta pengakuan hutang itu bebas, tidak harus dibuat dalam bentuk akta pernyataan hutang sepihak, akan tetapi dapat pula dalam bentuk akta perjanjian kredit/utang piutang yang didalamnya diisi dengan pernyataan dari debitur bahwa dia telah berhutang uang kepada kreditur sejumlah tertentu. Demikian pula, perjanjian pemberian hak tanggungan boleh saja dimasukkan jadi satu ke dalam akta perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit, sebab hak tanggungan itu ada karena adanya perjanjian utang-piutang tersebut. Ada kebebasan bentuk akta tersebut karena kedua belah pihak bebas untuk menentukan isi maupun bentuk perjanjian. Hal ini karena Buku III
KUHPerdata bersifat terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata”. ”Apabila ada satu akta notaris dibuat dalam bentuk grosse akta, dan berisi 3 (tiga) macam perbuatan hukum, yakni Perjanjian Utang Piutang, Pernyataan Pengakuan hutang dan penjaminan barang berupa tanah, maka menurut pendapat saya akta notaris tersebut tidak cacat dan tidak batal, karena grosse akta itu dibuat akibat dari adanya perjanjian kredit yang tidak dilaksanakan oleh debitur, oleh karenanya bila perjanjian kredit tersebut diingkari maka perjanjian kredit yang berbentuk campuran tersebut boleh dikeluarkan salinannya dalam bentuk grosse akta”. ”Apabila saya dihadapkan untuk memeriksa perkara gugatan atau tuntutan pembatalan akta notaris yang berisi campuran seperti tersebut diatas, maka menurut pendapat saya, hakim harus mempertimbangkan terlebih dahulu gugatan pokok tentang formalitas akta tersebut, setelah itu baru mempertimbangkan dalil gugatan berikutnya yakni materi perjanjiannya. Mengapa saya berpendapat demikian dalam memeriksa gugatan, karena saya selalu berniat ingin mendapatkan keadilan dan kepastian hukum atas kasus perkara tangani. Apabila tidak mempertimbangkan dalil pokok gugatan maka putusan tersebut tidak tepat, karena ketentuan hukum acara seperti ketentuan tentang penerapan pembuktian tidak dapat dilangkahi oleh hakim. Sebaliknya bila ketentuan hukum acara disimpangi justru akan terjadi sikap yang tidak fair dan tidak adil”.
-
-
Selain mengambil data melalui pertanyaan-pertanyaan kepada para Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang pernah memeriksa perkara tuntutan pembatalan Akta notaris yang berisi perjanjian kredit selaku perjanjian pokok yang isinya dicampuri dengan Pernyataan Pengakuan Hutang dari debitur, serta hakim-hakim lainnya yang bertugas di Pengadilan Negeri Sukoharjo, penulis juga mengambil data dari beberapa notaris dan beberapa Advokat/Pengacara yang berpraktek hukum di Pengadilan Negeri Sukoharjo, yang dijadikan responden untuk mengetahui pendapat mereka atas kasus tersebut di atas. Dari pertanyaan yang diajukan kepada para responden diperoleh data sebagai berikut : a. Responden dari Para Notaris/PPAT : 1. Responden AMALIA ZURIA, SH. Responden sebagai Notaris/PPAT, berkantor di Jl. Gatot Subroto Nomor 19 Sukoharjo. Penulis melakukan wawancara dengan responden di kantornya pada tanggal 23 Januari 2010. Responden mengatakan bahwa Pengakuan Utang (pernyataan pengakuan utang) itu adalah pernyataan dibuat oleh pihak debitur yang isinya menyatakan bahwa dirinya telah menerima uang pinjaman dari seseorang kreditur, sedangkan Perjanjian Utang-piutang itu dibuat oleh dua pihak dimana didalamnya ada pula
pernyataan dari pihak debitur bahwa dia telah menerima uang pinjaman dari kreditur. Antara keduanya ada perbedaan mengenai subyeknya akan tetapi esensi dari Pengakuan Utang adalah sama dengan Perjanjian Utangpiutang. Mengenai penjaminan tanah yang dicampur dengan perjanjian pokok (Perjanjian Utang-piutang) dan digabung dalam satu akta notaris, responden berpendapat bahwa hal tersebut boleh dilakukan dan tidak menjadikan akta notaris tersebut menjadi cacat hukum, karena pada perjanjian pokoknya sendiri sudah memenuhi 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Kemudian mengenai Grosse Akta, responden berpendapat bahwa grosse akta (Salinan akta bertitel eksekutorial) itu bisa dibuat atau dikeluarkan pada Perjanjian Utang-piutang/perjanjian kredit, dan tidak hanya harus dibuat atau diberikan pada Akta Pengakuan Utang sepihak saja, karena pada prinsipnya pengakuan itu adalah bagian dari perjanjian utang piutang. Oleh karenanya, Grosse yang dibuat dari akta notaris yang berisikan campuran antara perjanjian pokok, pemberian hak tanggungan dan pengakuan utang tidak membuat akta tersebut cacat hukum, dan perjanjian yang ada dalam akta tersebut tetap sah. Responden menerangkan bahwa dalam praktek yang terjadi memang sudah menjadi kebiasaan bahwa pihak kreditur dalam perjanjian kredit baik bank maupun perorangan sering meminta dibuatkan akta perjanjian yang berisikan perjanjian pokok utang-piutang dan pengakuan debitur telah menerima utang dari kreditur dalam jumlah tertentu, serta pemberian jaminan berupa tanah atau barang-barang lainnya. 2. Responden MURTINI, SH. Responden sebagai Notaris/PPAT, berkantor di Jl. Jend. Sudirman No. 193 Sukoharjo. Penulis melakukan wawancara dengan responden di kantornya pada tanggal 23 Januari 2010. Responden mengatakan bahwa Akta Pengakuan Utang itu tidak harus dibuat oleh satu pihak saja yaitu pihak debitur, akan tetapi bisa dibuat dalam bentuk perjanjian Utang Piutang yang dibuat oleh dua pihak yakni kreditur dan debitur yang dituangkan dalam satu akta otentik. Bahkan kalau pengakuan utang itu hanya dibuat oleh satu pihak saja akan berbahanya bagi krediturnya, karena suatu ketika debitur dapat saja mencabut pernyataannya itu secara sepihak pula. Perjanjian pemberian hak tanggungan yang berobyek tanah, menurut responden dapat pula digabung dengan pengakuan utang serta perjanjian utang-piutang yang dikemas dalam satu akta otentik yang dibuat oleh notaris. Hanya saja, perjanjian hak tanggungan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat digunakan untuk mendaftarkan hak tanggungan tersebut ke Kantor BPN, juga tidak dapat digunakan untuk menjual lelang obyeknya, karena perjanjian pemberian hak tanggungan tersebut harus dibuat dihadapan PPAT, akan tetapi dengan dicampurnya perjanjian pemberian hak tanggungan ataupun pernyataan pengakuan utang dari debitur tersebut dalam satu akta tidak membatalkan perjanjian kredit selaku perjanjian pokoknya serta tidak membatalkan keabsahan akta notaris itu sendiri.
Responden juga mengatakan bahwa dari pelaku bisnis, yakni Bank Tabungan Negara Sukoharjo dalam memberikan kredit kepada nasabahnya selalu minta kepada responden untuk membuatkan akta pengakuan hutang sepihak dari debitur dalam bentuk akta otentik yang terpisah dari surat perjanjian kreditnya, dan perjanjian kreditnya sendiri oleh BTN Sukoharjo dibuat secara dibawah tangan dengan nasabah/debiturnya. Sedangkan untuk Bank-bank lainnya di Sukoharjo sudah biasa minta dibuatkan perjanjian kredit dalam bentuk akta otentik yang didalamnya disisipkan pula pernyataan pengakuan hutang dari pihak debitur. Sedangkan mengenai grosse akta, responden berpendapat bahwa yang boleh dikeluarkan salinan akta otentik yang berbentuk grosse (akta yang bertitel eksekutorial) hanyalah akta yang murni berisi pengakuan utang saja. Dan apabila akta otentik tersebut berisi campuran antara pengakuan utang dan perjanjian kredit serta perjanjian pemberian hak tanggungan, kemudian salinannya dikeluarkan dalam bentuk grosse, maka salinannya itu cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, akan tetapi perjanjian pokok yakni perjanjian kreditnya sendiri tetap sah dan mengikat karena telah memenuhi syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 3. Responden KARTINI, SH. Responden sebagai Notaris/PPAT, berkantor di Jl. Raya Telukan Nomor 58 Sukoharjo. Penulis melakukan wawancara dengan responden di kantornya pada tanggal 23 Januari 2010. Responden mengatakan bahwa Akta Pengakuan Utang itu tidak harus dibuat oleh satu pihak saja yaitu pihak debitur, akan tetapi bisa dibuat dalam bentuk perjanjian Utang Piutang yang dibuat oleh dua pihak yakni kreditur dan debitur yang dituangkan dalam satu akta otentik. Responden menerangkan bahwa dirinya selama menjadi notaris tidak pernah membuat Akta Pengakuan Hutang yang dibuat secara sepihak, karena khawatir akan bermasalah, karena apabila pengakuan hanya dibuat secara sepihak maka di kemudian hari debitur bisa saja mencabutnya secara sepihak tanpa persetujuan dari kreditur. Sepengetahuan responden, kebiasaan yang dilakukan oleh para notaris di Sukoharjo dalam membuat akta perjanjian kredit/utang-piutang selalu mengikuti kemauan para pihak yang akan membuat akta, dimana para kreditur lebih senang menggabungkan perjanjian kredit dengan pernyatan pengakuan hutang dari debitur, serta perjanjian pemberian jaminan baik berupa tanah maupun selain tanah ke dalam satu akta otentik. Hal tersebut tidak menjadikan cacatnya akta otentik tersebut, karena tidak ada aturan yang melarang dalam pembuatan akta seperti itu. Kemudian mengenai grosse akta, responden berpendapat bahwa grosse akta tidak harus hanya dibuat dalam salinan atas akta otentik/akta notaris yang berisikan pernyataan pengakuan utang saja, akan tetapi pada akta yang berisi perjanjian kredit salinan pertamanya juga boleh dibuat dalam bentuk grosse. Oleh karenanya salinan akta perjanjian kredit yang dikeluarkan dalam bentuk grosse tidaklah menjadikan akta notaris tersebut cacat hukum.
b. Responden dari Para Advokat/Pengacara122. 1. Putut Kuntadi, SH. Responden mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akta Pengakuan Hutang itu adalah suatu akta yang berisi pengakuan hutang sepihak oleh debitur saja dan besarnya hutang sudah pasti, dan bentuknya sederhana sekali dan tidak boleh dibuat dalam bentuk perjanjian yang ditanda tangani oleh dua pihak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR. Apabila ada salinan akta notaris dari akta yang berisi 3 (tiga) macam perbuatan hukum, yakni Perjanjian Utang Piutang, Pernyataan Pengakuan Hutang dan penjaminan barang berupa tanah, dibuat dalam bentuk grosse akta maka menurut pendapat Responden akta notaris tersebut cacat hukum dari segi formalitas pembuatannya. Mengapa demikian, karena grosse itu hanya boleh dibuat atas suatu akta pengakuan hutang saja yang dibuat secara sepihak oleh debitur, dan tidak boleh dibuat atas akta yang berisi perjanjian kredit/utang piutang. Dimana dalam akta Pengakuan Hutang sendiri itu tidak boleh dicampur dengan syarat-syarat apapun, oleh karenanya apabila kedua hal tersebut digabung akan menyebabkan akta perjanjian tersebut menjadi cacat dan batal. Mengenai pertimbangan putusan, responden mengatakan bahwa hakim yang tidak mempertimbangkan dalil gugatan baik dalil gugatan pokok maupun bagian-bagiannya adalah menyalahi aturan dalam hukum acara, yang mengakibatkan rasa tidak puas bagi pencari keadilan. 2. Sugiyono, SH. Responden mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Akta Pengakuan Hutang adalah surat yang dibuat dihadapan notaris yang berisi pernyataan dari debitur yang mengaku berhutang uang sejumlah tertentu, dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 224 HIR/258 Rbg. Menurut pendapat Responden, di dalam akta perjanjian utangpiutang/perjanjian kredit yang dibuat notaris boleh saja dimasukkan Pernyataan Pengakuan hutang dan perjanjian hak tanggungan berobyek tanah, dengan syarat jumlah utang uang yang dinyatakan tersebut sama dengan jumlah utang yang yang diperjanjikan dalam Akta Perjanjian Kredit tersebut, dan bukan utang yang lain. Sedangkan perjanjian pemberian hak tanggungan berupa tanah juga boleh dimasukkan dalam akta tersebut, karena pemberian jaminan adalah sejalan dengan adanya perjanjian kredit itu sendiri. Mengenai salinan akta yang dibuat dalam bentuk grosse, responden berpendapat bahwa grosse akta itu boleh saja dibuat dari perjanjian kredit/utang-piutang yang didalamnya tercantum pernyataan pengakuan hutang, dan hal tersebut tidak mengakibatkan salinan akta tersebut menjadi batal atau cacat. Sedangkan mengenai pertimbangan dalam putusan hakim 122
Wawancara dengan advokat/Pengacara Putut Kuntadi, SH., Sugiyono, SH., Sri Lestari Yuliana, SH., Sutarto, SH.M.Hum., Wijoyanto, SH., Andar Nugroho, SH., dan Kurniawan Adibroto, SH., Tanggal 27 Januari 2010 di Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo.
yang tidak mempertimbangkan pokok atau bagian dari posita gugatan, responden berpendapat bahwa pertimbangan tersebut merupakan pertimbangan yang tidak sempurna karena tidak menyentuh pokok perkara dan dapat mencederai rasa keadilan bagi pencari keadilan, dalam hal ini penggugat. 3. Sri Lestari Yuliana, SH. Responden melalui wawancara mengatakan bahwa yang dimaksud akta Pengakuan Hutang ialah suatu akta notaris yang berisi pernyataan sepihak secara sederhana yang mengatakan benar bahwa dirinya telah memupnayi utang sejumlah tertentu uang dari seseorang kreditur, bunga yang harus dibayar serta batas waktu kapan dia harus membayar utang tersebut kepada krediturnya. Akta pengakuan hutang tersebut tidak boleh dicampur tidak boleh ada syarat-syarat lain dalam bentuk perjanjian utang-piutang. Demikian pula sebaliknya, dalam suatu perjanjian yang dituangkan oleh akta notaris tidak boleh isinya dicampur dengan pernyataan Pengakuan Hutang, dan sebagai konsekuensinya apabila suatu akta perjanjian kredit/utang-piutang didalamnya dicampur/dimasukkan dengan pernyataan pengakuan hutang maka akta notaris / akta perjanjian kredit tersebut cacat hukum yang dapat dibatalkan oleh hakim. Responden berpendapat selaku advokad yang tugasnya membantu kepentingan klien, maka apabila ada tuntutan/gugatan pembatalan Salinan akta perjanjian Utang-piutang yang dibuat notaris karena masalah formalitas pembuatan akta seharusnya hakim mempertimbangkan seluruh posita atau dasar gugatan tersebut agar responden merasa diperlakukan adil. Terlepas dasar gugatan tersebut diterima dan dikabulkan atau tidak oleh majelis hakim,dan apabila dasar gugatan atau tuntutan pembatalah tersebut dipertimbangkan maka hakim akan kelihatan fair, karena yang membutuhkan keadilan tidak hanya pihak tergugat selaku kreditur saja, akan tetapi penggugat mengajukan gugatan itu harus diperlakukan secara adil dan fair juga. 4. Sutarto, SH.M.Hum. Responden melalui wawancara mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akta Pengakuan Hutang itu adalah suatu akta yang berisi pernyataan pengakuan sepihak oleh debitur dan besarnya hutang sudah pasti, serta bentuknya sederhana sekali, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR. Demikian pula sebaliknya, dalam suatu perjanjian kredit dituangkan dalam akta notaris maka tidak boleh isinya dicampur dengan pernyataan Pengakuan Hutang, karena pada pokoknya Pengakuan Hutang itu harus dibuat secara sepihak saja dan bukan dibuat oleh dua pihak seperti surat perjanjian. Dan menurut pendapat responden apabila ada perjanjian kredit/pernajian utang-piutang yang didalamnya ditambahkan adanya pernyataan pengakuan hutang oleh debitur maka hal itu tidak membatalkan perjanjian utang-piutang/perjanjian kreditnya itu sendiri, asalkan bila dikembalikan pada syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
dan bila ternyata tidak melanggar maka perjanjiannya tetap sah dan aktanya tidak cacat hukum. Bahwa mengenai pemeriksaan oleh hakim atas tuntutan pembatalan Salinan Akta perjanjian Utang-piutang yang dibuat berbentuk grosse akta, responden berpendapat bahwa hakim harus memeriksa seluruh bagian dari posita gugatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 178 HIR. Hal tersebut karena hakim bertugas memberikan keadilan bagi pencari keadilan, dalam hal ini penggugat. 5. Wijoyanto, SH. Responden pada saat wawancara dengan penulis mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akta Pengakuan Hutang itu adalah suatu akta Notaris yang berisi pernyataan pengakuan hutang sepihak oleh debitur dan besarnya hutang sudah pasti, serta bentuknya sederhana sekali, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR. Apabila ada suatu akta notaris Perjanjian Utang-piutang yang didalamnya berisi pula pernyataan pengakuan hutang dan penjaminan berupa tanah, atau akta tersebut berisi beberapa macam perbuatan hukum, maka Responden berpendapat bahwa akta tersebut tidak cacat hukum, karena hukum perjanjian itu menganut azas kebebasan berkontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dan apabila akta perjanjian yang demikian dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse, maka perjanjian utang-piutang/perjanjian kreditnya selaku perjanjian pokok tidak batal dan salinan aktanya walaupun dalam bentuk grosse juga tidak menjadi batal. Responden berpendapat bahwa hakim dalam memutus perkara gugatan harus mempertimbangkan semua bagian dasar dan tuntutan dalam gugatan, apabila ketentuan hukum acara tersebut dilanggar yang terjadi adalah ketidak-adilan. 6. Andar Nugroho, SH. Responden adalah seorang advokat berkantor di Klaten. Melalui wawancara dengan penulis, Responden mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Akta Pengakuan Hutang adalah surat yang dibuat dihadapan notaris yang berisi pernyataan dari debitur yang mengaku berhutang uang sejumlah tertentu, dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 224 HIR/258 Rbg. Di dalam suatu perjanjian yang dituangkan oleh akta notaris tidak boleh isinya dicampur dengan pernyataan Pengakuan Hutang, dan sebagai konsekuensinya apabila suatu akta perjanjian kredit/utang-piutang didalamnya dicampur/dimasukkan dengan pernyataan pengakuan hutang maka akta notaris/akta perjanjian kredit tersebut cacat hukum yang dapat dibatalkan oleh hakim. Responden berpendapat, bahwa hakim apabila diajukan perkara tuntutan pembatalan Akta notaris yang cacat hukum karena berbentuk grosse, baik yang diajukan sebagai tuntutan pokok atau bagian dari tuntutan seharusnya mempertimbangkan dasar/posita tersebut beserta bukti-bukti yang diajukan ke persidangan, agar hasilnya dapat diketahui apakah salinan
akta tersebut valid atau tidak, sehingga rasa keadilan bagi penggugat selaku pencari keadilan dari masyarakat akan terpenuhi. Responden mengatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan gugatan perdata harus memeriksa dan mempertimbangkan semua dasar dan tuntutan gugatan, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 178 HIR, dan bila hal tersebut dilanggar maka yang terjadi justru ketidak adilan khususnya bagi penggugat.
6. Kurniawan Adibroto, SH. Responden adalah advokat/pengacara yang pernah mewaliki Drs. Joko Bekti Haryono, penggugat dalam perkara perdata No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh. Responden pada saat wawancara dengan penulis menerangkan bahwa dalam perkara tersebut klien responden benar-benar mencari keadilan, karena sebagai pihak yang lemah merasa diperlakukan sangat tidak adil oleh tergugat atas pelaksanaan perjanjian utang-piutang yang dituangkan dalam akta notaris No. 6 dalam perkara tersebut, karenanya dalam kesepakatan lisan yang telah terjadi sebelum kesepakatan itu dibawa dan dicatatkan dalam akta disepakati bahwa dalam utang piutang tersebut penggugat selaku debitur tidak akan dikenakan bunga, akan tetapi dalam pelaksanaannya setelah akta tersebut dibuat ternyata dikenakan bunga serta dikenai denda pula atas keterlambatan pembayaran angsurannya. Responden menerangkan bahwa kliennya, yakni penggugat bernama Drs. Joko Bekti Haryono M.Pd, selain bekerja sebagai dosen juga mempunyai usaha/bisnis. Dan dalam rangka mengembangkan usahanya itu penggugat memerlukan modal usaha yang cukup, yakni Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah). Untuk mencari pinjaman dana tersebut penggugat memilih pinjam kepada kreditur perorangan karena prosesnya cepat cukup menyerahkan jaminan berupa sertifikat tanah dan datang ke notaris untuk menandatangani perjanjian saja. Dalam perjanjian tersebut telah disepakati tanpa harus membayar bunga dan denda bila ada keterlambatan pembayaran utang. Dan dalam perjalanannya ternyata penggugat dipaksa untuk membayar bunga serta karena ada sesuatu hal maka penggugat tidak dapat membayar utangnya tetap waktu sampai mundur selama 2 tahun, lalu penggugat mengenakan denda dengan jumlah yang sangat besar. Sedangkan pengggugat terlambat membayar tersebut karena usaha bisnisnya gagal, dan karena tanah dan rumah yang dijaminkan penggugat merupakan harta satusatunya maka ketika akan dijual lelang oleh tergugat maka penggugat datang kepada responden minta bantuan bagaimana cara menyelamatkan jaminan tersebut agar tidak sampai dijual lelang. Selaku kuasa hukum penggugat, responden berusaha mengajukan pembatalan akta perjanjian No. 6 tersebut dari sisi formalitas pembuatan akta itu, karena Salinan Akta No. 6 tersebut digunakan sebagai dasar pembuatan perjanjian acessoir pembebanan hak tanggungan yang kemudian dijadikan dasar lahirnya Sertifikat Hak Tanggungan. Oleh karenanya harapan responden apabila Salinan/Grosse Akta Notaris No. 6 tersebut batal, maka batal pula beberapa perjanjian acessoirnya yakni Akta Pembebanan Hak Tanggungan serta Sertifikat Hak Tanggungannya, sehingga obyek utama gugatan responden adalah tuntutan pembatalan
Salinan Akta No. 6 berdasarkan formalitas pembuatannya, bukan tuntutan pembatalan perjanjiannya itu sendiri, sedangkan klien responden tidak berniat membatalkan perjanjian pokoknya itu sendiri karena klien sudah menerima uang pinjaman, akan tetapi hanya ingin membayar utang pokoknya saja tanpa membayar bunga dan denda keterlambatan. Responden berpendapat bahwa Akta Otentik/akta notaris yang berisi perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit itu tidak dapat dicampur dengan perbuatan pernyataan pengakuan hutang, dan apabila Akta Perjanjian Kredit/Perjanjian Utang-piutang dikeluarkan salinan yang digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, maka salinan akta tersebut tidak boleh berbentuk Grosse, karena berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Salinan yang dapat dibuat dalam bentuk Grosse hanya salinan dari Akta Pengakuan Utang saja, bukan salinan dari Perjanjian Utang-piutang sebagaimana dalam Akta No. 6 dalam perkara No.61/Pdt.G/2008/PN.Skh ini. Sedangkan yang dimaksud Pengakuan Hutang menurut Responden adalah merupakan suatu Akta yang bersifat kurang bayar, yang dinyatakan oleh debitur secara sepihak saja. Misalnya ada perjanjian kredit/utangpiutang kemudian debitur telah mengangsur 30 %, maka sisa utang yang 70 % itulah yang dapat dimintakan Pembuatan Akta Pengakuan Hutang. Sehingga arti Akta Pengakuan Hutang itu sendiri adalah sebagai kelanjutan akta perjanjian Utang-piutang/perjanjian kredit yang telah ada sebelumnya, yang isinya menyatakan bahwa debitur mempunyai utang (sisa Utang) uang dengan jumlah tertentu yang sudah pasti. Dan dari Akta Pengakuan Utang inilah yang dapat dikeluarkan Salinan berbentuk Grosse Akta, sedangkan pada akta perjanjian kreditnya sendiri dilarang dikeluarkan salinannya dalam bentuk grosse. Dan apabila suatu salinan akta perjanjian kredit/utang-piutang dikeluarkan salinannya berbentuk grosse, maka Salinan Akta tersebut mengalami cacat dan batal demi hukum, dan Salinan Akta tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian hak Tanggungan. Mengenai pertimbangan hakim atas putusan perkara No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh responden mengatakan bahwa putusan tersebut pertimbangannya melanggar ketentuan ketentuan hukum acara yang tercantum dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, yang seharusnya hukum acara itu ditaati oleh Majelis hakim tetapi oleh hakim justru dikesampingkan. Pelanggaran tersebut karena Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan dalil utama gugatan saya yakni masalah tidak sahnya Akta Notaris No. 6 berdasarkan formalitas pembuatannya oleh notaris, dimana oleh tergugat Salinan akta tersebut digunakan untuk membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan No. 7 tanggal 4 Januari 2006 pada Notaris Nonoek Poernomo dan Akta Pemberian Hak Tanggungan No. 9/BENDOSARI/2006 tanggal 11 Januari 2006 pada Yulistika Setyaudewi/PPAT di Sukoharjo, yang keduanya digunakan sebagai dasar diterbitkannya Buku Hak Tanggungan No.156/2006 tanggal 2 Pebruari 2006 oleh BPN Sukoharjo. Responden mengatakan bahwa justru sebenarnya yang dijadikan dalil pokok gugatan dalam perkara No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut adalah tentang keabsahan Akta No. 6 itu sendiri dari sudut formalitas
pembuatannya, bukan keabsahan perjanjian utang-piutang yang ada didalamnya, akan tetapi Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya sama sekali tidak mengupas keabsahan formalitas pembuatan akta No. 6 itu, tetapi hakim hanya menilai dari segi materialnya saja. Atas pertimbangan majelis Hakim tersebut, responden selaku advokat (Lawyer) mengatakan ”selaku advokat (Lawyer) saya merasakan tidak adil dan dirugikan atas putusan itu, karena secara professional saya telah mengajukan dasar gugatan yang jelas serta bukti berupa fotocopy akta No. 6 yang secara formal cacat serta dikuatkan dengan saksi ahli yang namun gugatan tersebut ditolak tanpa mempertimbangkan pokok gugatan utama, dan ditolaknya gugatan hanya dengan pertimbagan selain pokok yang saya ajukan sebagai dasar gugatan utama, sehingga orang yang tidak tahu hukum akan menganggap saya sebagai lawyer yang tidak profesional. Padahal seandainya ditolaknya gugatan saya itu setelah dalil gugatan pokok/utama mengenai keabsahan akta notaris nomor 6 dipertimbangkan, dan hakim menyatakan bahwa akta tersebut sah dan gugatan tidak beralasan sehingga gugatan ditolak, maka saya tidak merasa dirugikan dan saya akan menerima bahwa pertimbangan putusan tersebut baik dan fair”. Dari pandangan klien menurut responden, klien merasa sangat dirugikan dan tidak adil putusan yang tidak mempertimbangkan dasar gugatan pokok tersebut, karena sebenarnya tujuan klien mengajukan gugtan tersebut adalah mencari keadilan yang hakiki, yakni ingin menegakkan Pasal 2 dari Akta Perjanjian No. 6 tersebut. Dimana menurut pasal tersebut debitur (penggugat) tidak diwajibkan membayar bunga, akan tetapi dalam pelaksanaannya penggugat ditarik bunga yang tinggi serta denda keterlambatan oleh tergugat, sehingga penggugat merasa sangat dirugikan. B. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian atas dokumen di Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo telah diketahui bahwa jumlah perkara perdata gugatan di Pengadilan Negeri Sukoharjo dalam waktu 1 (satu) tahun berkisar antara 50 sampai 70 perkara perdata Gugatan, dan dari jumlah tersebut dalam waktu satu tahun selama Tahun 2008 sampai dengan 2009 hanya ada 1 (satu) perkara gugatan pembatalan perjanjian kredit/utang-piutang. Sehingga jumlah tersebut relatif sedikit. Di Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri sukoharjo ini, penulis telah mendapatkan
data
yang
termuat
dalam
berkas
perkara
perdata
No.
61/Pdt.G/2008/PN.Skh yang didalamnya antara lain terdapat putusan perkara No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh123 serta bukti P-1 berupa Fotocopy Akta Perjanjian Utang piutang No.6 yang dibuat oleh Notaris Ninoek Poernomo, SH. Dari berkas perkara tersebut, selanjutnya penulis melakukan pengamatan atas surat gugatan, latar 123
Fotocopy Putusan No. 61/Pdt.g/2008/PN.Skh ( terlampir dalam tesis), Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 19 Januari 2010.
belakang pengajuan gugatan, dasar gugatan/posita yang digunakan oleh kuasa hukum penggugat, serta proses pemeriksaan dan pertimbangan putusan oleh Majelis hakim. Dalam kasus ini berdasarkan keterangan dari responden Kurniawan Adibroto (Advokat/kuasa hukum penggugat) serta dari uraian gugatan dalam perkara perdata Nomor : 61/Pdt.g/2008/PN.Skh, diperoleh data bahwa mula-mula penggugat memerlukan modal untuk mengembangkan usaha dan mengajukan pinjaman uang sebesar 200 juta rupiah kepada tergugat. Semula dari perjanjian utang-piutang secara lisan disepakati penggugat diberi pinjaman sebesar 200 juta rupiah dalam waktu 3 bulan dan tidak mensyaratkan adanya kewajiban membayar bunga dan denda, akan tetapi selanjutnya setelah di notaris, dalam akta notaris ternyata tertulis penggugat hanya diberi uang pinjaman sebesar 170 juta rupiah dengan alasan dipotong bunga yang dibayar dimuka, selain itu penggugat setiap bulan juga disuruh membayar bunga oleh tergugat dan setelah penggugat mengalami kelambatan membayar kepada tergugat, penggugat juga dikenakan denda dengan jumlah yang besar, maka kemudian ketika tanah jaminannya akan dijual lelang oleh tergugat, lalu penggugat melalui kuasanya mencari keadilan ke Pengadilan Negeri Sukoharjo dengan mengajukan gugatan pembatalan akta perjanjian utang-piutang, dengan tujuan agar tanah jaminan tersebut tidak dijual lelang dan utang pokoknya sebesar 200 juta rupiah akan dibayar oleh penggugat tanpa bunga karena sudah dipotong bunga di muka. Selanjutnya kuasa hukum penggugat mengajukan gugatan pembatalan Akta Perjanjian Utang-Piutang No. 6 Tanggal 4 Januari 2006124 yang dibuat oleh Notaris Ninoek Poernomo, SH. beserta akta-akta ikutan lainnya ke Pengadilan Negeri Sukoharjo dan didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukoharjo dibawah register No. 61/Pdt.G/2009/PN.Skh. Dan kemudian di Pengadilan Negeri Sukoharjo perkara tersebut diperikasa oleh Majelis Hakim yang
terdiri dari SUBIHARTA,
SH.MHum, SAPTA DIHARJA, SH.MHum serta IKHWAN HENDRATO, SH.MH. Dari putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh pada halaman 3 dan 4 mengenai rumusan gugatan penggugat terlihat bahwa penggugat dalam gugatan poknya mendalilkan bahwa Akta Perjanjian Utang-piutang No. 6 tanggal 4 Januari 2006 campur-aduk antara Pengakuan Utang dengan Perjanjian Utang-piutang, sehingga penggugat berpendapat bahwa akta tersebut cacat hukum dan mohon agar akta 124
Fotocopy Akta Perjanjian No. 6 ( terlampir dalam tesis) , Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 19 Januari 2010.
tersebut dinyatakan batal. Serta pada halaman 29 pada alinea ke dua putusan tersebut diatas, hakim dalam pertimbangannya mengatakan ”Bahwa terhadap keterangan saksi ahli yang menerangkan bahwa akta P-1 dimaksud merupakan cacat dalam bentuk (formal), majelis tidak sependapat dan tidak melihat bukti P-1 hanya berdasar kepada substansi formalitas semata”. Dari pertimbangan putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut di atas terlihat bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan dasar gugatan pokok apakah benar akta No. 6 tersebut cacat hukum atau tidak, akan tetapi majelis hakim hanya melihat dari sisi lain yakni dari kepentingan tergugat selaku kreditur apakah hutang penggugat telah dibayar kembali kepada tergugat. Dalam pertimbangan pada halaman sebelumnya
yaitu
pada
halaman
28
pada
alinea
ketiga,
majelis
hakim
mempertimbangkan bahwa pada saat janji pembayaran seluruh hutang telah jatuh tempo pada tanggal 04 April 2006 penggugat tidak mau mengembalikan utang, lalu muncul keberatan terhadap bukti P-1, sehingga dengan pengajuan gugatan ini majelis hakim menyatakan ”Patut diduga bahwa para Penggugat tidak mempunyai itikad baik atas pelunasan hutangnya kepada tergugat”. Majelis Hakim dalam pertimbangannya langsung membahas masalah substansi akta (dalil gugatan bagian kedua) dalam bukti P-1 tersebut dengan mengatakan bahwa : ”Bilamana dalil gugatan para penggugat menyatakan bahwa bukti bertanda P-1 adalah cacat, perlu dipertimbangkan mengapa para penggugat menerima uang (pinjaman) dari tergugat seperti yang diperjanjikan ........dan di sisi lain, pada saat jatuh tempo tanggal 04 April 2006 penggugat tidak mau mengembalikan hutang dimaksud kepada tergugat, lalu muncul keberatan terhadap bukti P-1, sehingga patut diduga bahwa penggugat tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi hutangnya. Dan penggugat minta pembatalan akta perjanjian beserta akta ikutannya tanpa meminta agar sisa hutangnya atau pembayaran yang telah dilakukan penggugat untuk diperhitungkan jelas akan merugikan kepentingan hukum dan hak keperdataan dari tergugat. ........terhadap keterangan saksi ahli yang menerangkan bahwa akta dalam bukti P.1 cacat dalam bentuk (formal), Majelis Hakim tidak sependapat, karena Majelis tidak melihat akta dalam bukti P-1 hanya berdasarkan substansi formalitas semata, melainkan lebih dari itu apakah hak-hak hukum tergugat atas pelunasan hutang penggugat dapat dibayarkan kembali kepada tergugat”. Dan berdasarkan pertimbangan tersebut selanjutnya Majelis hakim menolak gugatan penggugat. Dan selanjutnya atas putusan majelis hakim tersebut penggugat maupun tergugat tidak mengajukan upaya hukum banding.
Dari penelitian atas putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh ini penulis telah mendapatkan data bahwa majelis hakim yang membuat putusan tersebut tidak mempertimbangkan salah satu dalil gugatan penggugat yang menyatakan bahwa Akta Nomor 6 cacat hukum karena menyalahi aturan formalitas pembuatan akta. Dimana majelis hakim tidak mempertimbangkan dalil gugatan tersebut berdasarkan bukti-bukti yang ada di persidangan, akan tetapi setelah majelis hakim dalam pikirannya memandang adanya itikad tidak baik dari penggugat, yakni menurut penilaian majelis hakim penggugat hanya menghendaki batalnya akta perjanjian dalam bukti P-1 s/d P-3 serta TT.III-1 saja tanpa meminta perhitungan sisa hutang para penggugat (halaman 28 Putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh), dan setelah mempertimbangkan substansi dalil gugatan kedua dari penggugat, serta penggugat dinilai tidak dapat membuktikan dalil kedua dari gugatannya, lalu majelis hakim menyatakan menolak gugatan penggugat. Salah satu hakim Anggota Majelis bernama Sapta Diharja, yang penulis wawancarai mengatakan bahwa ”Dalam putusan perkara perdata Register No. 61/Pdt.g/2008/PN.Skh, saya selaku anggota Majelis Hakim yang menjatuhkan putusan tersebut tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat yang mengatakan bahwa Akta Perjanjian Kredit No. 6 dalam bukti P-1 cacat hukum, karena saya berpendapat bahwa akta dalam bentuk seperti itu adalah cacat hukum, dan apabila akta tersebut dibatalkan akan mengakibatkan batalnya seluruh akta ikutannya, dan akibatnya bagi tergugat selaku kreditur akan kehilangan hak tanggungan yang dijaminkan kepadanya. Sedangkan penggugat sendiri selaku debitur telah menerima dan menikmati uang pinjaman dari kreditur sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan uang tersebut oleh penggugat tidak minta diperhitungkan dalam surat gugatannya. Dan menurut pendapat saya dalam menegakkan hukum, ketika peraturan hukum, dalam hal ini Pasal 178 ayat (2) HIR, diterapkan akan tetapi tidak menunjukkan rasa keadilan dan tidak sesuai dengan hati nurani hakim, maka peraturan itu dapat dilanggar demi tercapainya keadilan substansi yang hakiki. Jadi pada prinsipnya, saya berpendapat bahwa dalam menegakkan hukum yang berkaitan dengan keabsahan formalitas bentuk akta notaris melalui putusan pengadilan ini hakim harus lebih mementingkan keadilan substansi”. Pandangan hakim Sapta Diharja tersebut sama dengan pandangan hakim anggota Ikhwan Hendrato, yang mengatakan ”Saya selaku anggota Majelis Hakim yang menjatuhkan putusan tersebut tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat yang
mengatakan bahwa Akta Perjanjian Kredit No. 6 dalam bukti P-1 cacat hukum karena dicampur dengan pernyataan hutang dari debitur dan berbentuk grosse akta, karena saya berpikiran bahwa akta tersebut benar telah mengalami cacat hukum dan harus dibatalkan, dan karena isi akta tersebut merupakan perjanjian pokok maka apabila akta itu dibatalkan akan mengakibatkan batalnya seluruh akta ikutannya. Dan bila hal itu terjadi maka tergugat selaku kreditur akan kehilangan hak tanggungan yang dijaminkan kepadanya. Sedangkan debitur sendiri telah menerima dan menikmati uang pinjaman dari kreditur sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan uang tersebut oleh debitur tidak minta diperhitungkan dalam gugatan gugatannya. Sehingga apabila dalil gugatan pembatalan atas dasar formalitas bentuk akta tersebut saya pertimbangkan pasti akan bermuara pada batalnya perjanjian kredit itu sendiri, maka hal tersebut jelas akan merugikan pihak kreditur, dan menurut pendapat saya dalam menegakkan hukum, ketika peraturan hukum, dalam hal ini Pasal 178 ayat (2) HIR, diterapkan akan tetapi tidak menunjukkan rasa keadilan, maka peraturan itu dapat dilanggar demi tercapainya keadilan yang substansi”. Dari hakim ketua majelis bernama Subiharta, dalam wawancara dengan penulis mengatakan bahwa ”Kenapa majelis hakim tidak mempertimbangkan semua dalil gugatan penggugat, maka penulis harus bisa membaca sendiri pertimbangan hukum pada putusan nomor 61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut dan saya tidak perlu menjawab” ; yang maksudnya bahwa pendapat ketua majelis tersebut adalah sama dengan pendapat dari kedua hakim anggota. Maksud dari kedua hakim angggota di atas adalah adanya tujuan untuk melindungi kepentingan kreditur dari usaha penggugat yang berusaha melemahkan posisi jaminan yang diberikan oleh penggugat selaku debitur kepada tergugat selaku kreditur dengan cara mengajukan pembatalan akta nomor 6, akan tetapi di sisi lain pikiran kedua hakim anggota tersebut berpendapat bahwa Akta Notaris Nomor 6 tersebut cacat hukum karena di dalamnya dimasukkan pernyataan debitur yang mengakui mempunyai utang kepada kreditur. Sikap yang tidak mempertimbangkan salah satu dalil gugatan penggugat tersebut, lebih disebabkan oleh situasi kondisional dari pikiran majelis hakim yang mempunyai tujuan yang kuat untuk memberikan keadilan terhadap pihak tergugat. Pemberian rasa adil oleh majelis hakim tersebut dilakukan dengan cara menyatakan bahwa akta notaris No. 6 tersebut sah dan tidak cacat. Namun di sisi lain, pikiran majelis hakim
berpendapat bahwa bentuk akta (format isi) Akta Notaris Nomor 6 tersebut adalah cacat hukum karena berisi beberapa perbuatan hukum, yakni perbuatan hukum perjanjian utang-piutang dan perbuatan hukum pengakuan hutang sepihak, yang seharusnya tiap perbuatan hukum tersersebut dibuat dalam masing-masing akta notaris yang berbeda dan tidak boleh dibuat dalam satu akta seperti pada akta nomor 6 ini. Oleh karena dalam pikiran majelis hakim terdapat pimikiran kontradiksi yang demikian, dan majelis hakim memilih untuk memberikan rasa keadilan yang hakiki terhadap masalah tuntutan pembatalan Akta Nomor 6 ini, sehingga majelis hakim lebih memilih untuk tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat tentang formalitas bentuk pembuatan Akta Nomor 6 oleh notaris Ninoek Poernomo, SH ini. Selanjutnya untuk menjawab permasalahan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi cara berpikir majelis hakim sehingga majelis memilih bersikap untuk tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat, dan tidak memilih jalan lain dalam memberikan pertimbagan putusan di atas, maka dengan data-data yang penulis dapatkan tersebut penulis akan melakukan pembahasan dengan menggunakan teori behavioral jurisprudence. Dari faktor subyektif, ditinjau dari teori penyimpangan (deviant theory) dari R.B Seidman, hakim sebagai pemegang peran mampu memberikan motivasi baik yang berkehendak untuk menyesuaikan diri (conform) dengan norma, maupun yang berkehendak untuk tidak menyesuaikan diri dengan keharusan norma (non-conform). Dalam kasus yang penulis teliti ini terlihat bahwa majelis hakim di atas mempunyai pandangan kebebasan untuk mengarahkan pikirannya dalam membuat pertimbangan putusan. Dan karena pikiran majelis hakim telah dituntun oleh pemikiran yang bertujuan untuk memberikan keadilan kepada pihak tergugat, maka
pikiran majelis hakim mengarah bersikap untuk tidak
mempertimbangkan semua dalil dugatan penggugat, atau tidak menyesuaikan diri dengan keharusan yang diberikan oleh ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan semua dalil atau bagian dari gugatan yang diajukan oleh penggugat. Sedangkan
dari
faktor
obyektif,
sikap
majelis
hakim
yang
tidak
mempertimbangkan dalil gugatan penggugat atas akta nomor 6 dari segi pembuatannya itu, dilihat dari teori “interaksionisme simbolis” dari Herbert Blumer, yang memandang tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas bagaimana mereka
menafsirkan hal tersebut, maka sikap majelis hakim tersebut lebih disebabkan karena adanya suatu pengetahuan majelis hakim yang diperoleh dari hasil sosialisasi dengan lingkungannya, dan dari pengetahuan yang diketahui dan diyakini tersebut lalu majelis hakim berpendapat bahwa pernyataan pengakuan utang oleh penggugat selaku debitur di dalam Akta Perjanjian Nomor 6 di atas adalah sama dengan “Pengakuan Utang Sepihak” yang dimaksud oleh pasal 224 HIR, sehingga majelis hakim dalam benaknya berkesimpulan apabila pernyataan debitur tersebut digabung dalam suatu akta perjanjian hutang-piutang maka akta tersebut menjadi cacat hukum dan batal. Oleh karenanya majelis hakim memilih jalan pintas untuk tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat tersebut. Putusan yang diberikan oleh majelis hakim di atas, apabila dilihat dari sudut pandang penggugat maka penggugat merasa tidak mendapat keadilan secara substansi, dan Advokat Kurniawan Adibroto, SH., yang menjadi kuasa hukum penggugat juga merasa diperlakukan tidak adil dan tidak puas terhadap perilaku majelis hakim yang menjatuhkan putusan tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Kurniawan Adibroto, SH., yang mengatakan bahwa ”Selaku advokat (Lawyer) saya merasakan tidak adil dan dirugikan atas putusan itu, karena secara profesional saya telah mengajukan dasar gugatan yang jelas serta bukti berupa fotocopy Akta No. 6 yang secara formal cacat, serta pendapat saya dikuatkan dengan saksi ahli, namun gugatan tersebut ditolak tanpa mempertimbangkan pokok gugatan utama, dan ditolaknya gugatan hanya dengan pertimbagan selain dalil utama yang saya ajukan sebagai dasar gugatan, sehingga orang yang tidak tahu hukum akan menganggap saya sebagai lawyer yang tidak profesional. Padahal seandainya ditolaknya gugatan saya itu setelah dipertimbangkannya dalil gugatan utama mengenai keabsahan formalitas pembuatan Akta Notaris Nomor 6, dan walaupun hakim menyatakan bahwa akta tersebut sah dan gugatan tidak beralasan, lalu gugatan ditolak, maka saya tidak merasa dirugikan dan saya akan menerima bahwa pertimbangan putusan tersebut fair (adil)”. Selaku kuasa hukum, Kurniawan Adibroto mengatakan bahwa dirinya bertindak di muka sidang pengadilan untuk membantu kliennya mencari keadilan melalui hakim di Pengadilan Negeri Sukoharjo, untuk menghindarkan dan membebaskan diri kliennya dari sikap tidak adil dan curang yang dilakukan oleh tergugat (Ricky Fajar Adiputra) terhadap penggugat. Sikap tergugat terhadap penggugat yang curang dan tidak adil tersebut menurut Kurniawan Adibroto terlihat ketika terjadi kesepakatan
perjanjian utang uang secara lisan sebelum dibuat perjanjian di notaris, tergugat mengatakan bahwa penggugat tidak diharuskan membayar bunga atas pinjaman/utang uang sebesar Rp.200 juta, akan tetapi setelah dibuat akta perjanjian di depan notaris ternyata uang pinjaman penggugat itu dipotong sebesar Rp. 30 juta rupiah oleh tergugat dengan alasan dipotong untuk pembayaran bunga di depan. Dan kemudian setelah itu penggugat dipaksa disuruh membayar bunga setiap bulan sebesar Rp.10 juta dan penggugat telah membayar bunga tersebut selama 5 bulan. Selanjutnya menurut Kurniawan Adibroto, SH., karena penggugat tidak dapat melunasi tepat waktu lalu penggugat dikenakan bunga dan denda yang jumlahnya seluruhnya mencapai Rp. 400 juta lebih, dan karena pengembalian utang tidak bisa dilakukan tepat waktu oleh penggugat maka tanah jaminan akan dijual lelang. Kemudian selaku kuasa hukum penggugat, Kurniawan Adibroto bersama Abdullah Tri Wahyudi yang bertindak atas nama penggugat, mengajukan gugatan pembatalan Akta Perjanjian Utang-piutang Nomor 6 dengan alasan akta tersebut mengalami cacat formalitas dalam pembuatannya. Harapan yang diinginkan adalah apabila Akta Perjanian Utang-piutang No. 6 tersebut batal maka akta ikutannya berupa Akta Pembebanan hak Tanggungan ikut batal dan barang jaminan tidak jadi dijual lelang, dan penggugat rencananya akan membayar lunas hutangnya sebesar 200 juta rupiah dikurangi bunga sebesar 30 juta rupiah. Demikianlah keadilan yang diharapkan menurut pandangan penggugat melalui kuasa hukumnya. Di sisi lain Sikap Majelis hakim tersebut juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni adanya kebiasaan dalam praktek pembuatan akta perjanjian utang-piutang yang disertai pernyataan pengakuan utang oleh debitur dalam akta perjanjian kredit/utangpiutang yang dilakukan oleh notaris atas permintaan para kreditur, yang belum diketahui oleh hakim. Kebiasaan tersebut terbentuk karena adanya faktor psikologis dari para kreditor pemberi pinjaman yang lebih mantap apabila di dalam perjanjian kredit/perjanjian utang-piutang yang mereka buat dengan debitur itu diselipkan kalimat pernyataan pengakuan hutang, walaupun hal ini sebenarnya berlebihan. Keadaan tersebut seperti dikatakan oleh Kartini, SH yang senada dengan Amalia Zuria, SH., notais di Sukoharjo, yang mengatakan bahwa ”Kebiasaan yang dilakukan oleh para Notaris di Sukoharjo dalam membuat akta perjanjian kredit/utang-piutang selalu mengikuti kemauan para pihak yang akan membuat akta, dimana para kreditur lebih senang menggabungkan perjanjian kredit dengan pernyatann pengakuan hutang serta
perjanjian pemberian jaminan
di dalam satu
akta notaris. Hal tersebut tidak
menjadikan cacatnya akta otentik tersebut, karena tidak ada aturan yang melarang dalam pembuatan akta seperti itu”. Praktek pembuatan akta seperti di atas akhirnya menjadi kebiasaan para Notaris di Sukoharjo dalam membuat akta perjanjian kredit/utang-piutang. Hal yang sama juga disampaikan oleh Murtini, SH (notaris), yang mengatakan bahwa ”.... dari pelaku bisnis, yakni Bank Tabungan Negara (BTN) Sukoharjo dalam memberikan kredit kepada nasabahnya selalu minta kepada responden untuk membuatkan akta pengakuan hutang sepihak dari debitur dalam bentuk akta otentik yang terpisah dari surat perjanjian kreditnya, dan perjanjian kreditnya sendiri oleh BTN Sukoharjo dibuat secara dibawah tangan dengan nasabah/debiturnya. Sedangkan untuk Bank-bank lainnya di Sukoharjo minta dibuatkan perjanjian kredit dalam bentuk akta otentik yang didalamnya disisipkan pula pernyataan pengakuan hutang dari pihak debitur. ......dengan dicampurnya perjanjian pemberian hak tanggungan ataupun pernyataan pengakuan utang dari debitur tersebut dalam satu akta tidak membatalkan perjanjian kredit selaku perjanjian pokoknya serta tidak membatalkan keabsahan akta notaris itu sendiri”. Kebiasaan membuat akta perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit yang di dalamnya dimasukkan pernyataan pengakuan utang oleh debitur yang dilakukan oleh para notaris di Sukoharjo tersebut, sebenarnya bisa saja oleh hakim diterima sebagai sumber hukum. Sehingga bentuk akta seperti tersebut dianggap sebagai ”bentuk akta notaris yang sah” berdasarkan kebiasaan, karena sumber hukum itu selain dari peraturan perundangan juga berasal dari kebiasaan125. Dan apabila kebiasaan praktek pembuatan akta notaris di lapangan tersebut telah diketahui dan diterima oleh hakim sebagai hukum maka bentuk Akta Notaris Nomor 6 dalam kasus yang penulis teliti ini oleh hakim dapat disimpulkan sebagai bentuk akta yang tidak menyalahi aturan dan tidak cacat menurut hukum, sehingga hakim dalam putusannya tidak perlu lagi menyimpangi ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR manakala hakim ingin memberikan keadilan hukum yang substantif terhadap tergugat selaku kreditur maupun penggugat selaku debitur. Penerimaan bentuk akta notaris yang terjadi karena kebiasaan sebagai bentuk akta yang sah merupakan suatu kelonggaran bagi hakim yang mempunyai nilai 125
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 10-11.
kemanfaatan. Hal ini sebenarnya bisa digunakan sebagai terobosan bagi hakim untuk lebih memberikan keadilan secara substantif dari pada menyimpangi ketentuan hukum acara. Kelonggaran tersebut menurut Hari Purwadi, dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas maret (UNS) Surakarta disebut sebagai ”ruang terbuka”. Dalam hukum ruang terbuka tersebut akan bermakna positif apabila para hakim adalah orang-orang yang memiliki profesionalitas, kejujuran, dan tanggung jawab terhadap tegaknya hukum. Di sisi lain apabila tidak adanya kejujuran dan tanggung jawab, maka ruang terbuka itu menyediakan arena bagi hakim untuk menyalahgunakan kewenangan kekuasaannya126. Terobosan mencari keadilan substansial memang sangat diperlukan bagi seorang hakim, karena di benak dan di tangan hakim maka kebiasaan yang semula bukan merupakan aturan dapat menjadi aturan yang berlaku bagi pencari keadilan manakala kebiasaan tersebut dipersoalkan di depan pengadilan. Akan tetapi hendaknya terobosan yang dapat dilakukan oleh hakim dengan cara menyimpangi aturan tersebut sebatas aturan hukum materiil saja, dan apabila yang disimpangi itu aturan formal, dalam hal ini ketentuan hukum acara perdata yakni Pasal 178 ayat (2) HIR, maka hasilnya yang terjadi adalah adanya penilaian negatif yang tidak fair dari salah satu pihak. Hal tersebut karena dengan tidak dipertimbangkannya semua pokok dasar gugatan maka apa yang menjadi pokok persoalan penggugat tidak dapat tersentuh dan terselesaikan, padahal apabila pokok gugatan dipertimbangkan oleh hakim maka persoalan tersebut akan terjawab secara terbuka (fair), walaupun jawaban tersebut mungkin tidak memuaskan pula bagi penggugat karena penggugat dikalahkan. Pertimbangan yang lengkap atas semua dalil gugatan penggugat adalah penting, karena hal itu merupakan suatu alasan-alasan bagi hakim dalam mempertanggungjawabkan amar putusannya kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil putusan demikian (objektif)127. Putusan majelis hakim di atas, dari sudut pandang responden lain yang terdiri dari para hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo kecuali hakim BERLINDA URSULA MAYOR, SH., serta para Advokat di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo, semuanya menilai bahwa sikap Majelis Hakim yang mengadili perkara perdata 126
127
Hari Purwadi, Eksaminasi Putusan Antasari, Koran Harian “Jawa Post”, tanggal 15 Pebruari 2010, hal. 6. Soeroso. R, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Cet-I, Sinar Grafika, Edisi Kedua, hal. 135.
No.61/Pdt.G/2008/PN.Skh merupakan sikap yang tidak fair, karena ketentuan hukum acara tidak dapat dilangkahi oleh hakim. Apabila ketentuan hukum acara disimpangi justru akan terjadi sikap yang tidak adil bagi kedua belah pihak, sedangkan ketentuan hukum materiil baik perkara pidana maupun perdata dapat disimpangi dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.
BAB V
PENUTUP A.
Kesimpulan.
Dari hasil penelitian baik berupa pengumpulan dan pengolahan data melalui penelusuran data primer maupun sekunder serta dari hasil pembahasan dimuka, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : -
Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang memutus perkara perdata No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh di Pengadilan Negeri Sukoharjo tentang gugatan pembatalan Akta Notaris Nomor 6 tentang Perjanjian Utang-piutang tidak mempertimbangkan semua bagian dalil gugatan penggugat disebabkan karena hakim mempunyai pemikiran yang bermaksud ingin memberikan keadilan yang substantif dalam penyelesaian perkara tersebut.
-
Dalam rangka memberikan keadilan yang substantif, karena Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo mengetahui bahwa tuntutan pembatalan akta perjanjian utang piutang tersebut hanya sebagai sarana untuk menghapuskan hak tanggungan yang dimiliki pihak tergugat selaku kreditur dengan cara mencari kelemahan akta dari segi bentuk formalitasnya, sedangkan di sisi lain hakim berkeyakinan bahwa Akta Notaris Nomor 6 tersebut mengandung cacat hukum, maka hakim dalam putusannya mengambil sikap untuk tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat soal keabsahan akta perjanjian utang-piutang dari sisi formalitas pembuatannya. Sebenarnya hakim mengetahui bahwa tidak mempertimbangkan semua bagian dalil gugatan
tersebut merupakan suatu
penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR, namun hakim berpendirian bahwa guna mendapatkan keadilan hukum yang substantif, apabila peraturan hukum dalam hal ini Pasal 178 ayat (2) HIR diterapkan akan membuahkan rasa ketidak-adilan terhadap tergugat selaku kreditur dan tidak sesuai dengan hati nurani hakim, maka peraturan itu dapat disimpangi atau tidak diberlakukan. -
Keberanian hakim mengesampingkan ketentuan hukum acara dalam Pasal 178 Ayat (2) HIR tersebut menurut teori dalam ilmu hukum perilaku lebih disebabkan karena Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang memutus perkara di atas mempunyai pandangan kebebasan mengarahkan pikirannya untuk tidak menyesuaikan diri dengan keharusan norma (non conform).
B.
Implikasi Sebagai konsekuensi dari kesimpulan di atas, maka implikasi yang dapat terjadi antara lain sebagai berikut :
-
Tidak diimplementasikan ketentuan hukum acara, dalam hal ini ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR yang mengatur tentang kewajiban hakim untuk mengadili semua bagian dari tuntutan/gugatan penggugat, akan dapat mengakibatkan pihak lain dalam perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit yang dituangkan dalam akta notaris, dalam hal ini pihak penggugat serta kuasa hukumnya berprasangka negatif terhadap hakim yang menjatuhkan putusan tersebut dan merasa diperlakukan tidak adil, karena masalah pokok yang dikemukakan oleh penggugat tidak tersentuh dan tidak dapat diselesaikan secara tuntas oleh hakim.
-
Pandangan adanya kebebasan hakim mengarahkan pikirannya untuk tidak menyesuaikan diri dengan keharusan norma (non-conform), akan dapat mengakibatkan rusaknya sistem beracara di pengadilan manakala yang disimpangi itu ketentuan hukum acara, serta dapat menjauhkan tercapainya keadilan yang substantif, karena tujuan dibuat aturan hukum acara adalah untuk menerapkan ketentuan hukum materiil.
C.
Saran -
Hakim dalam memeriksa perkara gugatan seharusnya mempertimbangkan semua bagian dari gugatan/tuntutan yang diajukan oleh penggugat, dan tidak menyimpangi ketentuan hukum acara, agar semua pihak yang terkait merasa diperlakukan secara adil dan tidak berat sebelah.
-
Dalam rangka memberikan keadilan hukum hendaknya hakim tidak mempunyai pandangan kebebasan yang tak terbatas dalam beracara di persidangan. Hakim boleh melangkahi ketentuan hukum, akan tetapi yang dapat dilangkahi itu hanyalah ketentuan hukum materiil, manakala ketentuan hukum materiil itu diterapkan akan mengakibatkan rasa tidak adil bagi kedua belah pihak yang berperkara. Namun apabila yang dilangkahi itu ketentuan hukum acara (formil) maka yang terjadi pada para pihak yang bersangkut paut dengan kasus perkara tersebut akan merasa diperlakukan tidak adil. Sedangkan dalam kasus perkara yang penulis teliti ini yang diperlukan untuk mendapatkan keadilan substantif bagi kreditur (tergugat) adalah agar Akta Perjanjian No.6 itu tidak dinyatakan batal, dan untuk mengarah pada keadaan tersebut bukan tergantung pada diterapkan atau tidaknya ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR, akan tetapi hakim dapat mencari jalan lain dengan menemukan hukum
(rehtsvinding) yang mendukung pendapat bahwa bentuk akta notaris tentang perjanjian utang-piutang yang di dalamnya disertai pernyataan pengakuan utang oleh debitur merupakan bentuk akta notaris yang sudah lazim dan sah menurut hukum.
DAFTAR PUSTAKA a. Buku-buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. __________, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. __________, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983. Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Bismar Siregar, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 . Abdul Wahid dan Moh. Muhibbin, Etika Profesi Hukum Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, Cet-I, Bayumedia Publishing, Malang, 2009. Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan, Penerbit STIH IBLAM, Jakarta, 2004. Badrulzaman, Mariam Darus, Benda-benda yang Dapat Diletakkan Sebagai Obyek Hak Tanggungan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007. Daeng Naja, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Cet-I, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, Cet-I, 2009. Darwan Prinst, Strategi menyusun dan menangani gugatan Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cet-I, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005. Gatot Wardoyo, Aspek-aspek Hukum Perkreditan, Nitro Institut of Banking, Jakarta, 1992. G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1980. Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai alas an baru untuk pembatalan perjanjian, Cet-I, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2001. Komar Andasasmita, Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
Marzuki, Peter Mahmud, Hukum Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi, Elips, Jakarta, 1998. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global Edisi Revisi, Cet-II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. ____________, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia : Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet-VIII, CV. Mandar Maju, Bandung, 1997, Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2005. Richard J. Bonnie dan John Monahan, From Coercion to Contract : Reframing the Debate on Mandated Community for People with Mental Disorders, Law and Human Behavior, Vol.29, No. 4, August 2005. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985. Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Cet-IX, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet-V, Sinar Grafika, Jakarta. Sardjono R, Masalah Pembuktian, Ceramah/Kuliah disampaikan pada Penataran Hakim diselenggarakan oleh Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Umum Dep.Kehakiman RI, Jakarta, 1983. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta, 1986. Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, Surakarta, 2005. Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Pustaka Binawan Pressindo, Jakarta, 1997. Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Cet-X, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. _________, Soeroso. R, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Cet-I, Sinar Grafika, Edisi Kedua. Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Ny, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, Cet- I. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet-VI, PT Intermasa, Jakarta, 1979. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet-XIII, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979. __________, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta, 1996. __________, Rangkuman Mata Kuliah hukum Perdata : Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gajahmada, Liberty, Yogyakarta, 1987. Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Transito, Yogyakarta, 1990. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetuan-persetujuan Tertentu, Penerbit PT Sumur, Bandung. Yahya Harahap.M, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet-VII, Sinar Grafika, Jakarta, April 2008.
b. Undang-undang
Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Cet-I, Internusa, Jakarta, 1992, hal. 585. Herziene Inlansch Reglement (HIR), Stb. No. 44 Tahun 1941. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, LN-RI Tahun 1996-42.
c. Tesis/Jurnal/majalah/Koran/Brosur Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, http://www.badilagnet, 01 April 2010, 09.40. Anonimus, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003. Anonimus, Pak Bagir Patut menjadi Teladan : Bagir Manan, Ilmuwan & Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008.
Hajar Widianto, Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Berdasrkan Undang-undang Hak Tanggungan, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis, UNS, 2005. Mahkamah Agung RI., Cetak Biru (Blue Ptint) Pembaruan Mahkamah Agung RI., Jakarta.Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2003. Malcolm L. Morris, The Model Notary Act, National Notary Association, A Non-Profit Educational Organization , September 1, 2002, v., http.: //www.Jurnal Internasional, 20 Maret 2010, 10.00. Mulyoto, Peranan Notaris dalam pembuatan Akta pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam rangka perlindungan Hukum terhadap Kreditur dan Debitur, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Hak Tanggungan, kerjasama antara Pusat kajian kebijakan Hukum dan ekonomi (PK2HE) dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Sukoharjo, The Sunan Hotel, Solo, 20 Juni 2009. Remy Sjahdeini, Sutan, Hak Jaminan dan Kepailitan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11 Tahun 2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1996. Setiawan, Hak Tanggungan dan masalah eksekusinya, Majalah Hukum Varia Peradilan, IKAHI, Jakarta, Agustus 1996. Bagir manan, Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim Sebagai Penjaga Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka, Varia Peradilan Majalah Hukum, Jakarta, Mei 2009. ___________, Hukum, Hakim, dan Masyarakat, Varia Peradilan Majalah Hukum, Jakarta, Maret 2009. Hari Purwadi, Eksaminasi Putusan Antasari, Koran Harian “Jawa Post”, tanggal 15 Pebruari 2010. d. Kamus EM Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publiser. Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary USA : West Publising Co, 1991, 16 Edition.
th