KEADILAN HUKUM BAGI ORANG DENGAN GANGGUAN KESEHATAN MENTAL (Tinjauan Psikologi Forensik) DYAH SITI SEPTININGSIH1, ULFA AMALIA2 1
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto 2 Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Pendidikan, Universitas Teknologi Yogyakarta Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengupas permasalahan keadilan hukum bagi orang dengan gangguan mental dalam perspektif psikologi forensik. Pemikiran yang muncul adalah tidak semua orang memiliki kesehatan mental yang sama. Sebagian orang mengalami gangguan kesehatan psikologis yang mencakup gangguan mental atau jiwa, dan gangguan emosi. Kondisi itu akan membedakan perilakunya saat mengalami permasalahan hukum apapun kasusnya. Kupasan dilakukan dengan mengemukakan dan membandingkan penerapan hukum bagi orang dengan gangguan mental di negara-negara maju, kemudian mengemukakan yang ada di Indonesia. Sumber dari kupasan ini lebih kepada tulisan yang ada di internet dengan analisis kritis dan dikonfirmasi dengan ilmu psikologi forensik. Hasil kupasannya adalah masing-masing negara memiliki aturan sendiri dalam menerapkan hukum bagi orang dengan gangguan kesehatan mental. Untuk di Indonesia terdapat ilmu psikologi forensik yang dapat dimanfaatkan untuk mendampingi persidangan bagi orang yang di-asses mengalami gangguan kesehatan mental sehingga mendapatkan keadilan hukum semestinya. Kata kunci: keadilan hukum, orang dengan gangguan mental, psikologi forensik
PENDAHULUAN Masyarakat hidup dengan norma-norma yang sangat berpengaruh di dalam menentukan perilakunya. Norma-norma tersebut berfungsi untuk menjaga ketertiban dan keserasian di dalam kehidupan bersama. Pada norma-norma tersebut terdapat norma hukum. Hukum adalah cermin dari manusia yang hidup. Hukum itu lahir oleh manusia dan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak manusia itu sendiri. Pada dasarnya hukum berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, stabilitas, keadilan dan Dinamika Kontemporer Hukuman Mati di Indonesia -------ISBN 978-602-73912-0-8
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
menciptakan masyarakat yang cerdas dan beradab. Kemudian, asas dasar negara hukum adalah terlindunginya kehidupan individu dan kelompok, tidak adanya kesewenang-wenangan, serta pemberlakuan hukum yang tidak pandang bulu. Pada kenyataannya dalam praktek penerapan hukum di Indonesia, masih sering terdapat ketimpangan yang terwujud dalam diberlakukannya hukum positif yang sama pada semua orang dengan kasus hukum tanpa melihat kondisi kejiwaan masing-masing. Misalnya untuk tersangka, apakah orang itu mengalami gangguan kesehatan mental atau tidak. Gejala gangguan kesehatan mental mencakup mulai dari gangguan kecemasan, depresi, panik hingga gangguan jiwa yang berat seperti schizoprenia hingga pada tindakan bunuh diri, yang saat ini semakin mewabah di tengah masyarakat. World Health Organization/ WHO mengangkat beberapa jenis gangguan seperti schizoprenia, alzheimer, epilepsy, keterbelakangan mental dan ketergantungan alkohol dinyatakan perlu mendapatkan perhatian. Sururin
(2004)
mengemukakan,
gangguan
kesehatan
mental
akan
menentukan tanggapan seseorang terhadap suatu persoalan dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Gangguan kesehatan mental juga akan menentukan, apakah seseorang akan mempunyai kegairahan untuk hidup, atau akan pasif/tidak bersemangat. Sebaliknya individu yang sehat mentalnya adalah individu yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan, adanya keserasian fungsi jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia serta dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin. Jumlah penderita gangguan kesehatan mental berat di Indonesia cukup memprihatinkan, yakni mencapai 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari total penduduk, yang bukan tidak mungkin dari jumlah tersebut adalah orang dengan kasus hukum yang akan diproses hukum secara normatif. Melihat seseorang dengan gangguan kesehatan mental tidak memiliki kemampuan tanggapan yang baik dalam menghadapi persoalan, tidak mampu menyesuaikan diri dan memiliki kekurangan-kekurangan lainnya dibandingkan dengan orang yang sehat secara mental, maka seharusnya hukumpun perlu mendekatinya dengan perspektif kejiwaannya. Untuk itulah maka pendekatan
108
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
psikologi forensik menjadi penting untuk ikut menyumbangkan pemikirannya, menuju keadilan hukum bagi individu dengan gangguan kesehatan mental. SEKILAS TENTANG GANGGUAN KESEHATAN MENTAL Gangguan kesehatan mental dapat dipahami sebagai gejala-gejala gangguan jiwa (neurose), tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan dimana seseorang hidup dan berinteraksi. Selain itu tidak memiliki pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada rasa ketidakbahagiaan diri, orang lain dan terwujudnya ketidakharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa. Juga tidak mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang terjadi dan tidak merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan diri. Jadi, gangguan kesehatan mental adalah tidak adanya keserasian atau kesesuaian antara seluruh aspek psikologis yang dimiliki oleh seseorang untuk dikembangkan secara optimal. Akibatnya individu itu tidak mampu melakukan kehidupan-kehidupan sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga menjadi tidak sehat baik secara mental maupun secara sosial. Tiga faktor penyebab timbulnya gangguan kejiwaan, meliputi faktor biologis, psychoeducational dan sosial budaya. Faktor biologis dapat dilihat dari adanya perkembangan yang terhambat, sehingga tidak mampu mencapai tiap fase perkembangan secara optimal. Hal itu dapat memicu gangguan jiwa. Faktor psychoeducational terjadi karena adanya kesalahan dalam proses pendidikan anak sejak kecil, adanya konflik-konflik di masa kecil yang tidak terselesaikan, yang berakibat pada rendahnya mekanisme diri dalam memecahkan masalah. Faktor sosial atau lingkungan yang dapat memicu timbulnya gangguan jiwa, misalnya budaya tertentu, kepadatan populasi hingga peperangan (Yusak, 1999). Ketiga hal ini secara umum menjadi dasar timbulnya gangguan jiwa pada seseorang walaupun masing-masing individu memiliki perbedaan dalam penyebabnya. Ketiga faktor tersebut mempunyai keterkaitan satu sama lain.
109
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
TERSANGKA DENGAN GANGGUAN KESEHATAN MENTAL DI BEBERAPA NEGARA, SEBAGAI PEMBANDING Australia Kesehatan Mental menurut undang-undang di Australia menjadi tanggung jawab negara. Di negara Australia, kewajiban untuk menentukan pidana terletak pada pengadilan Mental Health Queensland. Pemeriksaaan jiwa dilakukan oleh seorang hakim senior, dan dua psikiater. Tujuan menangani penyakit jiwa dan cacat intelektual dari sistem peradilan pidana untuk menempatkan mereka dalam sistem kesehatan mental. Kompetensi seseorang dalam sidang pengadilan diteliti oleh layanan kesehatan mental, untuk melihat kasus-kasus dimana terdakwa mengklaim telah menderita sakit jiwa pada saat pelanggaran. Sebuah aplikasi untuk layanan kesehatan mental dapat ditingkatkan pada setiap saat selama suatu hukum diterapkan kepada terdakwa, anggota keluarga, pegawai pengadilan, dan sejenisnya. Pengadilan dapat menolak keputusan bersalah pada terdakwa dan merujuk ke mental health. Amerika Serikat Penilaian keadaan mental seseorang dengan kasus hukum di Amerika Serikat pada saat pelanggaran, hanya dapat terjadi jika terdakwa sepenuhnya imputable pada saat kejahatan. Pembebasan berdasarkan imputability ''terdakwa'' terjadi ketika terdakwa dinilai telah imputability dan tidak bertanggung jawab di waktu tindak pidana. Dalam hal ini, terdakwa akan menjalani perawatan dengan cara pengurungan di rumah sakit jiwa. Pembebasan terjadi apabila tersangka terbukti imputability. Brazil Tersangka di Brazil yang mengalami sakit mental, tidak akan ditindaklanjuti, sebab tidak ada konsep kompetensi untuk diadili dalam sistem peradilan pidana. Beberapa aspek dari sistem peradilan pidana Brazil membantu menjelaskan mengapa tidak ada konsep kompetensi untuk diadili di pengadilan kriminal sistem mereka. Beberapa kekhususan sistem di Brasil sebagai berikut:
110
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
1. Tidak ada yang diberi hak untuk membela diri, kecuali pihak yang bersangkutan adalah seorang pengacara hukum yang memenuhi syarat untuk praktek hukum; 2. Apapun transaksi antara pengacara, pembela dan jaksa dilarang; 3. Seseorang memiliki sikap benar-benar pasif yaitu dibela oleh pengacara, dan terdapat fakta bahwa tidak dalam kondisi secara aktif bekerja sama dengan pembela; 4. Seseorang dapat didakwa dan diadili, atau dapat melarikan diri serta absen dari gedung pengadilan. Kanada Suatu prinsip dasar hukum pidana Kanada adalah bahwa terdakwa harus kompeten atau cocok untuk diadili. Tujuan utama ketentuan kesehatan mental adalah secara substansial menurunkan jumlah waktu terdakwa dalam tahanan. Berdasarkan hukum Kanada, penilaian kesehatan mental mengevaluasi hal berikut: 1. Kondisi mental terdakwa untuk menentukan apakah ia memiliki gangguan mental atau tidak; 2. Adanya gangguan dalam satu atau lebih kapasitas fungsional yang berkaitan dengan kemampuan hukum yang diperlukan untuk diadili. Jika penilaian menentukan bahwa terdakwa saat diperiksa memiliki gangguan kemampuan psikologis, gangguan mental, dan gangguan kemampuan sebagai hasil dari gangguan mental, maka terdakwa dapat dikategorikan tidak layak untuk diadili. Indonesia Di Indonesia terdapat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 tentang Gangguan Kesehatan Mental atau disebut dengan penyandang cacat. Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya yang terdiri dari penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; dan penyandang cacat fisik dan mental. Pasal 4, menyatakan bahwa upaya yang diselenggarakan melalui pemberdayaan penyandang cacat bertujuan terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan.
111
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
Terkait dengan hal tersebut, Pasal 5 menjelaskan, bahwa setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Setiap penyandang cacat berhak memperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati
hasil-hasilnya;
aksesibilitas
dalam
rangka
kemandiriannya;
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Di Indonesia perangkat peraturan yang secara tegas melindungi orang cacat (disabilitas) sudah ada, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Indonesia juga negara peserta gerakan dasawarsa untuk orang cacat Asia Pasifik sejak 1993. Sejumlah instrumen hak asasi manusia internasional dan regional sudah memberi ruang yang sama kepada penyandang cacat, salah satunya adalah mengenai fasilitas pendidikan. Dalam kenyataannya terdapat kecenderungan, perlindungan yuridis itu tidak didukung oleh implementasi yang baik. Perlindungan hukum itu hanya berhenti di atas kertas dan masih kurangnya penghargaan kepada para orang yang mengalami handicap. Dapat dikatakan, aturan-aturan yang melindungi orang cacat tak dilaksanakan sepenuhnya (Irwanto, 2006). Sebagai contoh, pengadilan di Indonesia pernah memeriksa perkara yang terindikasi pelakunya sebenarnya bisa dilacak meggunakan pendekatan psikologi. Sawito, misalnya, ketika itu merasa menerima wangsit di puncak gunung Muria untuk menjadi pemimpin negara untuk membenarkan perilakunya, yang secara hukum dianggap bersalah. Kemudian pengadilan juga pernah memeriksa suami isteri yang membunuh bayi mereka sendiri, karena pada saat itu mereka merasa bukan memotong bayi, melainkan seekor kambing. Pada 2 contoh kasus hukum tersebutlah psikologi forensik bisa mengambil peran. Anamnesa psikologis perlu dilakukan untuk kemudian dilanjutkan dengan
112
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
pendekatan hukum, tentunya setelah diketahui bahwa secara kejiwaan memang tidak bermasalah. Apabila ada indikasi mengalami gangguan kesehatan mental, maka “dibereskan” dulu dengan perseptif psikologi. Sebaliknya apabila secara psikologis
tidak
mengalami
gangguan
kesehatan
mental,
perilaku
“menyimpangnya” hanya merupakan kemasan untuk mengecoh peradilan, maka pihak psikologi akan menyerahkan sepenuhnya ke pihak hukum. DINAMIKA PSIKOLOGIS PERAN PSIKOLOGI FORENSIK Berdasarkan Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) yang dilakukan pada penduduk di 11 Kotamadya oleh jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia ditemukan 185 dari 1000 penduduk menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa. Hal ini berarti, dalam setiap rumah tangga dengan perkiraan penduduk Indonesia 185 juta jiwa, paling tidak terdapat satu orang yang mengalami gejala gangguan kesehatan jiwa, dan membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa. Gangguan kesehatan jiwa terbesar dialami oleh usia produktif yaitu 15-50 tahun, yang itu sangat memprihatinkan. Di kota-kota besar diprediksi satu dari empat penduduk Indonesia, mengalami gangguan jiwa, tapi bukan berarti mereka gila. Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat yang demikian tinggi dibandingkan dengan masalah kesehatan lain yang ada di masyarakat. Karena itu penyelesaian masalah gangguan kesehatan jiwa ini tidak dapat hanya diselesaikan oleh profesi kedokteran jiwa saja, tetapi juga harus melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, dan kelompok lain yang ada di masyarakat. Jenis gangguan kesehatan jiwa yang banyak diderita masyarakat Indonesia antara lain psikosis, demensia, retardasi mental, mental emosional usia 4-15 tahun, mental emosional usia lebih dari 15 tahun dan gangguan kesehatan jiwa lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat di negara-negara Asia Timur menunjukkan adanya peningkatan jumlah pasien dengan kelainan psikiatri syaraf. Pada waktu bersamaan, kemiskinan dan tidak adanya akses kepada asuransi kesehatan membuat masalah ini makin parah.
113
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
Untuk menentukan adanya gangguan kesehatan mental dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan muncul dalam bentuk Visum et Repertum Psychiatricum. Visum digunakan untuk mengungkapkan keadaan pelaku perbuatan (tersangka) sebagai alat bukti surat yang dapat dipertanggungjawabkan. Bantuan ahli kedokteran jiwa sangat diperlukan dalam membantu upaya menemukan kebenaran material suatu perkara pidana, terutama dalam hal terdapatnya gangguan mental dari seorang terdakwa yang telah melakukan tindak pidana. Hal tersebut sangat berkaitan dengan tujuan dari proses peradilan pidana, karena apabila putusan berdasarkan pada dugaan saja, kebenaran material tidak akan terlaksana. Psikologi forensik sangat penting, sebab pada kenyataannya tidak semua kasus kejahatan dilakukan oleh seseorang yang mempunyai mental yang sehat, terkadang suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang yang mengalami gangguan mental. Apabila gangguan mental tersebut telah diketahui dalam tahap penyidikan, maka tidak akan dilanjutkan dalam tahap pengadilan. Biasanya gangguan mental dapat diketahui setelah terdakwa diproses di pengadilan. Jadi apabila seorang aparat penegak hukum yang menangani kasus mengalami ketidakpastian atau ragu-ragu tentang seseorang atau keadaan mental terdakwa, maka aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut akan meminta bantuan seorang dokter ahli jiwa (psikiater) untuk membantu memeriksa dan menentukan seberapa parah keadaan mental terdakwa sesungguhnya. Setelah terdakwa melalui proses pemeriksaan psikiater dinyatakan menderita gangguan mental, selanjutnya dokter ahli jiwa yang menangani terdakwa memberikan hasil berupa Visum et Repertum Psychiatricum yang diserahkan kepada hakim. Kemudian aparat yang menangani kasus tersebut dapat mengetahui bahwa terdakwa mengalami gangguan mental, sehingga terdakwa tidak dapat dipidana. Visum et Repertum Psychiatricum, digunakan sebagai alat bukti surat, hal ini diatur dalam Pasal 187 huruf (c) KUHAP, yang berbunyi: “Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”.
114
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
Fungsi dan tujuan Visum et Repertum Psychiatricum sama dengan alat bukti, yaitu merupakan alat bantu untuk memperjelas keadaan kesehatan mental terdakwa sehingga penegak hukum dapat memperoleh suatu keyakinan seadiladilnya, juga keyakinan yang diperoleh hakim dapat dibuktikan secara ilmiah, dengan kata lain para penegak hukum tidak dapat ditipu dengan akal licik terdakwa untuk dapat terhindar dari pidana. Untuk memasukkan terdakwa yang diduga jiwanya tidak sehat, maka digunakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 berbunyi: 1. Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan kesehatan jiwa atau sarana kesehatan lainnya. 2. Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga penderita atau atas prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di wilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana dalam suatu perkara timbul persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa. Dalam hal ini, psikologi forensik memiliki kewajiban yang jelas dengan perundang-undangan yang relevan dan kondisi psikologis di wilayah hukum. Selain itu, adalah penting bahwa psikolog melakukan atau memiliki kompetensi atau tanggung jawab dan evaluasi berhubungan deskripsi gejala atau diagnosis penyakit mental untuk kapasitas fungsional hukum yang digariskan dalam hukum. Psikologi forensik menguji kompetensi seseorang untuk diadili dengan harus mengingat bahwa penentuan kesehatan mental relatif penting dilakukan terhadap tuntutan kasus tertentu. PENUTUP Gangguan kesehatan mental diartikan sebagai adanya gejala-gejala penyakit mental dan gangguan, tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, tidak dapat menerima dirinya dan terdapat tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian sosial, serta melakukan hal-hal yang tidak wajar.
115
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
Dalam undang-undang telah diatur, bahwa setiap individu dengan segala kondisinya mendapatkan perlindungan hukum. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta beroperasi melalui orang yang memperhatikan batas antara perbuatan yang menurut hukum, dan perbuatan dan melawan hukum. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja kepada orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum melainkan juga perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Dalam upaya menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat, terutama seseorang yang memiliki gangguan kesehatan mental, terkadang para penegak hukum belum mampu mendapatkan hasil yang maksimal, misalnya dengan adanya kasus-kasus yang berkaitan dengan pemeriksaan kesehatan mental atau jiwa pelaku. Selain itu penting juga adanya pemeriksaan kesehatan mental pada saksi, atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkara hukum sehingga dapat memberikan keterangan yang akurat. Untuk kepentingan itu semua, psikologi forensik bisa diajak bekerjasama.
DAFTAR PUSTAKA Irwanto, 2006, Aturan Hukum Terhadap Orang Cacat Masih Laksana Macan di Atas Kertas, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15838/aturanhukum-terhadap-orang-cacat-masih-laksana-macan-di-atas-kertas, diakses pada 21 April 2010. KBI Gemari, 2001, 450 Juta Jiwa Penduduk Dunia Menderita Gangguan Kesehatan Jiwa, http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=1691, diakses pada 20 April 2010. Jalaluddin, 2004, Psikologi Agama, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Sururin, 2004, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Tanubroto, 1989, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana, Bandung, CV. Armico. B., Yusak, 1999, Kesehatan Mental, Bandung, CV Pustaka Setia. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
116
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
117