Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis dalam Kesehatan Mental Islam Khairunnas Rajab∗
Abstrak Islam dengan doktrin iman menawarkan sistem pembinaan mental, yang dapat mewakili umat dalam mencari solusi terhadap persoalan sosial yang semakin mendera. Doktrin iman esensial Islam adalah tauhid. Keimanan yang terpatri dengan benar, esensial dalam diri seorang muslim, dan kokoh dalam amalan dapat memberikan sikap cerminan teladan terhadap seorang mukmin dan lingkungannya, baik fisik maupun psikologis. Kata kunci: iman, psikologi, kesehatan, mental, modern. A. Pendahuluan Globalisasi dan transformasi sosial telah memicu lahirnya ketegangan mental, tekanan mental, depresi, psikosis, kecemasan, dan kegelisahan yang berkepanjangan. Hasil survei Ikatan Dokter Indonesia (IDI), melalui Persatuan Dokter Spesialis Kesihatan Jiwa pada tahun 2007 menyatakan bahawa 94 persen masyarakat Indonesia mengalami depresi ringan dan berat.1 Mahdi al-Ghalsani mnyebutkan bahwa kesan sains modern terhadap hal yang menyangkut masalah psikologi manusia dapat meningkatkan statistik penderita kemurungan, kegelisahan, fobia, tekanan stress dan sebagainya. Mayoritas individu mengalami ketidakstabilan emosi spiritual dan psikologi, sehingga tingkat penderita penyakit mental dan pelaku yang terlibat dengan bunuh diri meningkat dengan pesatnya. Inilah efek langsung dari pemisahan antara manusia dengan agama, sebagai implikasi dari perkembangan filsafat sains Barat.2 Era post modern belum dapat dinilai sebagai sesuatu yang menjanjikan, bahkan ia memiliki keraguan terhadap metanaratif.3 Sekalipun ada yang memandang post modern sebagai suatu keadaan yang mengikuti perubahan sejak akhir abad ke-19, ∗
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Harian Sijori Mandiri, Kamis, 21 Juni 2007, p. Muka 2 Mehdi al-Ghalsani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), p. 9. 3 Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, (USA: University of Minnesota Press, 1984), p. xxvi. 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
920
yang telah sukses mengubah undang-undang dalam sains, sastera dan seni.4 Akbar S. Ahmed mencoba mengemukakan teori keseimbangan antara agama dan dunia di mana tasawuf menawarkan teori keseimbangan antara nilai-nilai agama dengan nilai-nilai peradaban modern. Namun, tidak sedikit yang memandang pengaruh sufisme hanya terbatas bagi dunia Islam saja.5 Sains modern sebenarnya telah berupaya dengan maksimal dalam upaya menciptakan dan mewujudkan generasi prospektus yang mempunyai wawasan (futuristic) atau meminjam istilah Ali Syariati yang menyebutnya sebagai Raushan Fikr.6 Namun, sains moden ini masih memerlukan metodologi, sistem, teknik dan pengalaman yang cukup, sehingga apa yang diperlukan manusia sebagai subjek sains tercapai atau setidak-tidaknya boleh mewakili penyelidikan mereka terhadap suatu objek secara realitas. Tingginya keinginan manusia bagi mencapai aspek fisikmaterial dan psikologis, ternyata telah memotivasi ilmuan Barat mahupun Islam, modern maupun klasik, beragama ataupun tidak, maju ataupun mundur; bagi menemukan jati diri yang hakiki dan lebih baik. Dua dimensi kemanusiaan fisik maupun psikologis merupakan dua arah jarum jam yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan kedua-dua dimensi tersebut harus wujud secara nyata serta semestinya sama, paralel, terpadu dan komprehensif. Victor E. Frankl mengatakan potensi lain ini sebagai The Meaningfull Life (kehidupan bermakna). Frankl lebih menekankan pada dimensi rohani bagi memperoleh kehidupan bermakna yang dicapai melalui teori Logoterapi, yaitu menekankan pada pemberdayaan nilai rohani (kejiwaan) dalam pengobatan pasien yang menghadapi kemurungan, ketegangan, tekanan mental, kecemasan, dan kerisauan.7 4
Frank Kermode, History and Value: The Clarendon Lectures and North Cliffe Lectures, (Oxford: Clarendon Press, 1988), p. 134. 5 Akbar S. Ahmed, Post Modernisme and Islam: Predicament and Promise, (London: Routledge, 1992), p. 23. 6 Menurut Ali Syariati; raushan fikr (pemikir tercerahkan) yaitu orang yang mengenal Allah, memahami dunia dan menemukan nilai-nilai luhur yang dikaruniakan Allah s.w.t. kepada mereka. Ketidakmampuan, pesimistik, kesalahpahaman, dan memperolehi pendidikan yang layak. Ali Syariati menafsirkan al-Qur’an surat al-Rum 30:60, yang menyatakan; Karena itu bersabarlah engkau hai Muhammad, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan janganlah engkau merasa berkecil hati terhadap orang-orang yang tidak meyakini hari kiamat itu. Ayat ini sangat pantas untuk diwahyukan pada masa ini, karena dengan sangat tepat ia mencerminkan masa kini. Oleh karena itu, raushan fikr berarti mampu dan punya wawasan masa depan yang cerah, cemerlang, dan berjaya. Lihat Ali Syariati, The Englightened Thinkers and Islamic Renaisance, (terj. Rahmani Astuti), (Bandung, Mizan, 1995), p. 131. 7 Malik B. Badri, The Dilemma Moslem Psychologist, (terj. Siti Zainab), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1979), p. 74. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
921
Islam dengan doktrin iman yang dimilikinya menawarkan sistem pembinaan mental, yang dapat mewakili umat dalam mencari solusi terhadap persoalan sosial yang semakin mendera. Doktrin iman yang esensial dalam Islam adalah tauhidullah. Keimanan yang terpatri dengan benar, esensial dalam diri seorang muslim, dan kokoh terhunjam dalam amalan dapat memberikan sikap cerminan teladan terhadap seorang mukmin dan lingkungannya. Kekuatan iman mampu melawan gejolak angkara murka dan motivasi negatif yang merongrong eksistensi iman. Kekuatan iman yang terimplementasi dalam kehidupan; dengan beribadah yang ikhlas, ketaatan yang terus-menerus, tawaddhu’ yang wara’, penyerahan diri pada takdir, sabar atas musibah, dan keteladanan tanpa mengharap imbalan mampu menghadirkan ketenangan, kebahagiaan, dan kesehatan mental paripurna. Tulisan ini, akan mengkaji secara spesifik dengan pembuktian bahwa iman dapat menjadikan seorang mukmin hidup dalam ketenangan dan kesehatan mental yang paripurna. B. Kesehatan Mental Islam Islam sebagai agama yang bermuatan nilai-nilai spiritual yang tinggi, mampu menyelesaikan masalah-masalah psikologis manusia. Dimensi Islam seperti; iman, ibadah, dan tas.a.w.uf memiliki metodologi yang sistematik bagi mewujudkan kesehatan mental. Apabila aspek-aspek yang terkandung dalam Islam dapat membantu mewujudkan kesehatan mental, maka ajaran Islam itu merupakan langkah awal yang dapat membentuk sistematika dan metodologi kesehatan mental. Kesehatan Mental Islam adalah upaya Islamisasi sains (Islamization of knowledge). Metodologi yang digunakan dalam menganalisis persoalan dapat dilakukan melalui pencerahan, aplikasi, dan implementasi nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi s.a.w. Kesehatan Mental Islam dengan penguatan iman; adalah sebuah metodologi yang berimplementasi pada ketenangan, ketenteraman, keselarasan, dan kesehatan mental. Islam adalah agama Allah s.w.t., agama wahyu yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w., ajarannya rasional serta dapat membantu umat manusia dalam mencapai kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan hidup.8 Islam memotivasi penganutnya, menuju Allah s.w.t s.w.t. dalam menciptakan hubungan baik antara sesama manusia (hablun min al-nas), dan tidak mengganggu dan menganiaya hewan dan tumbuh-tumbuhan.9 Islam 8 9
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997), p. 23. Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1992), p.
102. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
922
yang mengandung berbagai dimensi aturan, sistem, dan undang-undang yang dipersiapkan bagi kemaslahatan umat manusia, memberikan solusi atas persoalan-persoalan kemanusiaan, sehingga mampu membentuk komunitas muttaqin yang teguh.10 Nilai-nilai keimanan adalah motivasiinovatif yang dapat membentuk terapi agama Islam (klinikal Islam).11 Doktrin iman yang aplikatif adalah metodologi preventif, kuratif, konstruktif, dan rehabilitatif dapat menumbuh kembangkan kepribadian dan kesehatan mental.12 Penawaran iman secara aplikatif akan melahirkan arketif kesadaran, bahwa manusia selalu diawasi Allah s.w.t.13 Kesehatan Mental Islam merupakan kekuatan emosional-psikologis yang mengkaji manusia selaku subjek pengamal agama; dari dimensi ritual (ibadah), iman (credoism), dan norma/akhlak yang berlaku dalam suatu komunitas. Jika esensi iman merupakan sebuah proses perkembangan jiwa yang berimplementasi pada pertumbuhan, pembinaan, dan pengembangan nilai psikologis, niscaya manusia mendapatkan kesehatan mental. Namun sebaliknya, apabila manusia itu hidup sebagai manusia tanpa dirinya dan tidak menjadikan iman patri, maka ia hidup sebagai makhluk makhluk yang tidak bermoral (asfala safilin).14 C. Psikologi Iman dalam Menepis Realitas Islam sebagai agama yang lengkap mengandungi aspek duniawi dan ukhrawi, yang secara holistik bertujuan dalam pencapaian kejayaan, kebahagiaan, dan kegemilangan bagi umatnya. Formulasi dan sistem peraturan yang dibentuk di dalam agama ini, diciptakan semaksimal mungkin, sehingga diperoleh faedah untuk mewujudkan kehidupan manusia yang lebih baik. Islam yang komprehensif telah membuat metodologi perawatan psikologis yang berujung pada pencapaian kehidupan yang tenang, nyaman, dan bahagia.15 Al-Qur’an seringkali
10
Muhammad Utsman Najati, Al-Qur’an wa `Ilm al-Nafs, (al-Kaherah: Dar alSyuruq, 2001), p. 235. 11 Jalaluddin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik, (Bandung: Mizan, 1999), p. 37. 12 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1992), p. 15. 13 Javad Nurbakh, “Tasawuf dan Psikoanalisa: Konsep Iradah dan Transferensi dalam Psikologi Sufi”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan; Ulumul Qur’an, No. 8, 1991, p. 13. 14 Djohan Effendi, “Tasawuf Al-Qur’an Tentang Perkembangan Jiwa Manusia”dalam, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Ulumul Qur’an, No.8, 1991, p. 5. 15 Muhammad `Utsman Najati, Al-Qur’an wa `Ilm al-Nafs, (al-Kaherah: Dar alSyuruq, 2001), p. 217. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
923
menyebut esensinya sebagai syifa’ lima fi al-sudr, karena ia dapat menenangkan dan mententeramkan jiwa yang kacau dan gelisah.16 Aspek keimanan dalam ilmu kesehatan mental merupakan hal yang paling mendasar yang sangat menentukan.17 Kesehatan mental seorang individu dapat ditandai dengan terwujudnya keimanan yang kokoh dan istiqamah,18 karena seorang muslim yang beriman telah menjalin hubungan baik dengan Tuhan, melalui cara ber-ubudiyah kepada-Nya.19 Keimanan yang kokoh dan teraplikasi dengan baik dapat melahirkan psikologis tenang dan tenteram.20 Seorang muslim yang beriman, meyakini bahwa ia diciptakan hanya untuk menghambakan dan menghinakan diri di hadapan Tuhannya.21 Iman itu diartikan sebagai pembenaran hati dan lisan yang dibuktikan dengan perbuatan diiringi oleh niat yang ikhlas li Allah s.w.t.22 Iman adalah sebentuk pengaplikasian sistem nilai yang terkandung dalam Islam. Iman merupakan suatu sistem yang membawa seorang muslim ke derajat taqwa. Antara iman dan taqwa adalah dua komponen yang tidak boleh dipisahkan. Seorang muslim yang beriman akan senantiasa menjaga dirinya, berada dalam ketaqwaan. Keimanan yang berlandaskan tauhid uluhiyyah, rububiyyah, maupun tauhid asma’ dan sifat, dapat memperkokoh diri untuk beramal saleh dan tetap dalam keadaan ketaqwaan.23 Iman dengan pemaknaan tauhid uluhiyyah memberikan pemahaman yang benar terhadap Allah s.w.t, bahwasanya Dia saja yang berhak disembah, ditaati, dan manusia tidak dibenarkan berlaku syirik kepada-Nya. Sesungguhnya Allah s.w.t tidak akan mengampuni dosa syirik, melainkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya.24 Iman pada prinsipnya mengatur gerak langkah manusia ke arah yang positif, berlaku sopan santun, bersikap sederhana, bersifat sabar dalam menghadapi musibah, meredhainya dan menyerahkan kepada Allah
16
Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Psikologi Islam, (Bandung: Mizan, 1993), p. 123. QS. al-Baqarah:183. 18 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1992), p. 34. 19 Zakiah Darajat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Mas Agung, 1988), p. 83. 20 Yahya Jaya, Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1992), p. 77. 21 QS. al-Dhariyat: 56. 22 Syaikh Muhammad al-Tamimi, Kitab Tauhid; Alladhi huwa Haqq al-Ilahi ‘ala ‘Abid, (Ttp.: tp., t.t.) p. 24. 23 Syaikh Islam Ahmad ibn Taimiyyah al-Harami dan Syaikh Muhammad ibn `Abd al-Wahhab al-Najdi, Majmu`ah al-Tauhid wa Tasytamil ‘ala Sittati wa ’Isyrina Risalah, (Beirut: Dar al- Fikr, 1991), p. 5. 24 QS. al-Baqarah 2. 17
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
924
s.w.t sebagai takdir25, bertawakkal kepada Allah s.w.t, ber-taqarrub kepadaNya, selalu berikhtiar, ikhlas dalam beramal, memaafkan kesalahan orang lain, menjauhi sifat dendam, hasad, takabbur, dan menjauhi riya’, tidak mudah marah, suka menolong dan membantu orang lain yang dalam kesulitan serta bertanggungjawab terhadap musibah yang menimpa orang lain, mencintai sesuatu yang bermanfaat, menjauhi sesuatu yang mendatangkan mudharat, menjauhi kemurkaan Tuhan, dan banyak berzikir serta membaca al-Qur’an.26 Gambaran seorang mukmin adalah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa ‘Umar ibn Khattab menceritakan; suatu ketika Rasulullah s.a.w. didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih, rambutnya amatlah hitam, kesan perjalanannya tidaklah nampak dan tiada seorang sahabatpun yang hadir mengenalnya. Lalu dia mengemukakan beberapa pertanyaan, selain perihal hukum Islam, termasuk juga rukun iman, dan ihsan. Mengenai rukun iman orang itu bertanya kepada Rasulullah, beritahulah kepada saya tentang hal keimanan, lalu Rasulullah menjawab: bahwa engkau beriman kepada Allah s.w.t, para malaikat, kitab-kitab-Nya, hari akhirat (kiamat), dan engkau beriman kepada kadar baik dan buruk, lalu orang itu menjawab: benar engkau. 27 Iman kepada asma’ dan sifat Allah s.w.t adalah salah satu dari bahagian keimanan kepada Allah s.w.t.28 Apabila seorang mukmin menghayati dan mengamalkan keimanan terhadap asma’ dan sifat, akan menjadikan dirinya lebih baik dan memperoleh kesehatan mental. Manifestasi dari keimanan, seperti dalam firman Allah s.w.t: ”Yaitu orangorang yang beriman dan tenteram hatinya dengan mengingat Allah s.w.t. Ingatlah (bahwa) dengan mengingat Allah s.w.t itu, tenteramlah segala hati.29 Kesempurnaan dan keikhlasan dalam mengingat Allah s.w.t secara terus menerus menjadi obat yang sempurna untuk segala penyakit hati dan badan.30 Iman adalah esensi berupa ucapan dan perbuatan yang boleh bertambah dan berkurang.31 Iman yang menjadi i’tiqad bagi seorang 25
Syaikh al- Islam Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim Mukhalafat Ashab alJahim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p. 462. 26 Syaikh al-Islam Taqiy al-Din Ibn Taymiyyah, Amrad al- Qulub wa Sifa’uha, (Riyadh: Dar al-Salam, t.t.) p. 13. 27 Muslim Ibn Hajjaj al-Qusyairy, Sahih Muslim bi Syarh Imam Muhyi al-Din alNawawi al-Musamma al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1914), p. 421. 28 Syaikh Muhammad bin Salih al-`Usaymin, al-Aqa’id al-Mathla fi Sifat Allah, p.7 29 QS. al-Ra’d: 28. 30 Sadri al-Din ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izzi al-Hanafi, Syarh Tahawiyyah fi al-‘Aqidah Salafiyyah, p. 253. 31 Imam al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, (Kaherah: Dar al-Turath, t.t.), p. 387. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
925
muslim itu terdiri dari ucapan, perbuatan, dan keyakinan dalam hati. Allah s.w.t telah menguraikannya: ”Bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan iman mereka”.32 Imam Syafi’i menafsirkan ayat ini bahwa Allah s.w.t menamakan shalat dengan iman yaitu ucapan, amal, dan keyakinan hati.33 Bagi Imam Ahmad Ibn Hambal antara iman yang paling utama adalah alhubb fillah (cinta karena Allah s.w.t) dan al-bughd fillah (benci karena Allah s.w.t).34 Iman dan Islam adalah kekuatan spiritual yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Iman mampu mengawasi seorang muslim dari gangguan kegoncangan, kegersangan dan ketakutan. Beriman kepada Allah s.w.t. mampu menghindarkan diri seorang muslim dari sikap dan perbuatan tercela. Allah s.w.t menciptakan langit dan bumi agar manusia berfikir dan memuji-Nya atas limpahan rahmat yang dianugerahkan, walaupun Allah s.w.t tidak memperoleh sesuatupun dari sanjungan dan pujian hamba-hamba-Nya itu. Allah s.w.t ingin melihat siapakah di antara hamba-hamba-Nya yang bersujud dan bersyukur kepada-Nya.35 Keimanan yang kuat mampu mengantarkan seorang individu kepada kesehatan mental yang paripurna. Seorang mukmin yang teguh dan istiqamah dalam iman dan ibadahnya berhak mendapatkan yang lebih baik dari janji Tuhannya. Allah s.w.t berfirman yang bermaksud:”Dia (Allah) bersama kamu dimanapun kamu berada, dan Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan”.36 ”Maka kemanapun kamu menghadap, maka disanalah wajah Allah”.37 Orang yang beriman dengan penuh sadar dan bertawakkal kepada Allah s.w.t akan merasa yakin dalam menghadapi rintangan hidupnya bahwa dia tidak sendirian. Iman berimplikasi kepada harapan, maka tidak adanya harapan adalah indikasi tidak adanya iman. Seorang muslim yang tidak punya harapan adalah orang yang tidak meyakini Allah s.w.t sebagai Tuhannya.38 Karena itu, Allah s.w.t mengajarkan bahwa: ”Berdo’alah 32 QS.al-Baqarah: 143, Maksud firman Allah adalah bahawa Allah tidak akan menyia-nyiakan keimanan yaitu salat (salat yang menghadap ke Bait al- Maqdis) yang pahalanya tidak lenyap di sisi Allah karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia, lihat, Muhammad Nasib al-Rifa’i, Taysir al-`Ali al- Qadir li Ikhtisar Tafsir Ibn Kathir, (Riyadh: Maktabah Ma`arif, 1989) p. 245. 33 Ibn `Abd al-Barr, Al-Intiqa’ fi Fada’il al-Thalathai al-Fuqaha’, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1989), p. 81. 34 Qadi Abu al-Hassan Muhammad bin Abu Ya`la, Tabaqat al-Hanabilah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.), p. 275. 35 Nurchalish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1995), p. 30. 36 QS. al-Hadid: 4 37 QS. al-Baqarah: 115 38 Nurchalish Madjid, Pintu-Pintu, p. 14.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
926
kepada Allah atau berdo’alah kamu kepada Yang Maha Pengasih(Rahman), semua yang kamu minta, maka bagi-Nya ada nama-nama yang baik. Janganlah kamu kuatkan (bacaan) shalat engkau dan jangan pula engkau lunakkan dan ambillah jalan (pertengahan), antara yang demikian itu.”39 Dalam kesehatan mental, iman kepada Allah s.w.t merupakan parameter ketuhanan dalam bentuk pengembangan dan pembinaan potensi fitrah manusia yang menjadi makhluk yang sempurna. Kesehatan mental Islam memiliki spesifikasi ”spiritual-tauhid” yang menyeluruh dengan standarisasi sebagai berikut: pertama, orang yang sehat fisik dan psikologis dalam ukuran Islam adalah iman, ihsan dan tauhid; kedua, orang yang ahli dalam memahami, menghayati, mengamalkan aktivitas yang berkaitan dengan psikologi; ketiga, orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan tentang formula kausalitas seluruh kejadian atau permasalahan masa lalu, kini, dan masa akan dating; keempat, orang yang memperoleh ketenangan jiwa lazimnya terbuka akal,panca indra, dan kalbu, yang kemudian mencerminkan akhlaq al-karimah, serta dapat pula membuka diri untuk menjadi lebih baik dalam mencapai nilai-nilai ketuhanan.40 Keniscayaan bahwa beriman kepada Allah s.w.t dapat membuka diri seorang mukmin, agar selalu menjaga kestabilan mentalnya supaya senantiasa dalam ketenangan, kebahagiaan dan kesehatan mental. Seorang mukmin yang memiliki kepribadian Rabbani atau Ilahi adalah orang yang mampu mengambil dan mengamalkan sifat-sifat dan asma’ Allah s.w.t. ke dalam bentuk perilaku nyata sekadar kemampuannya yang sesuai dengan nilai kemanusiaannya. Apabila Allah Maha Kaya (alGhani) maka kepribadian Rabbani yang dimiliki seorang mukmin, menghendaki adanya orang yang memiliki harta yang banyak dan kaya raya untuk menafkahkan, bersedekah, dan berzakat. Apabila Allah Maha Benar (al-Haq), maka kepribadian Rabbani menghendaki adanya kebenaran dalam mengetahui dan beramal sesuai dengan syariat. Apabila Allah Maha Pencipta (al-Khaliq), maka kepribadian Rabbani menghendaki aktivitas dan produktivitas yang cakap dan berkesan. Apabila Allah s.w.t Maha Pengasih dan Penyayang (al-Rahman al-Rahim), maka kepribadian Rabbani menghendaki kasih dan sayang, lemah lembut, dan penuh solidaritas. Apabila Allah Maha Mengetahui (al-‘Alim), maka kepribadian Rabbani menghendaki adanya manusia yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang futuristik dan mempunyai wawasan masa depan dengan orientasi teknologi dan modern.41 39
QS. al-Isra’: 110 Hamdani, Metodologi Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), p. 205. 41 Abd al-Razzaq al-Kasyani, Istilahat al-Sufiyyah, (Kaherah: Dar al-Ma’arif, 1984), 40
p. 123. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
927
Seorang mukmin yang mengalami gangguan mental, menghendaki dirinya berkepribadian Rabbani yaitu menyifati sifat-sifat ilahi secara sempurna. Maka untuk membangun psikologis yang sehat, memerlukan metodologi yaitu: pertama, berzikir atau ta’alluq pada Tuhan. Pada tahapan ini seorang muslim, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan fikiran mereka kepada Allah s.w.t. dimanapun berada tidak lepas dari berfikir dan berzikir kepada Tuhannya. Berzikir tersebut dapat mengantarkan seorang mukmin ke tahapan takhalluq; kedua, takhalluq yaitu tahapan yang secara sadar di mana seorang mukmin telah meniru sifatsifat Tuhan, sehingga dia memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Tuhannya. Proses ini boleh juga disebut sebagai proses internalitas sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini, kalangan sufi biasanya menyandarkan hujjah-nya kepada hadis Nabi s.a.w yang berbunyi, “Takhallaq bi akhlaq Allah”; ketiga, Tahaqquq yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualkan kesadaran dan kapasitas diri sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah didominasi oleh sifat-sifat Tuhan sehingga terbayang dalam perilakunya yang serba suci dan mulia. Tahapan Tahaqquq ini sejalan dengan hadis Qudsi yang disukai oleh kaum sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intim dengan Tuhan, maka Tuhan akan melihat kedekatan hamba dengan-Nya.42 Psikologi iman merupakan upaya sadar seorang mukmin dalam satu keyakinan yang matang dan kokoh bersama Allah s.w.t. Keyakinan yang kuat terhadap Allah s.w.t, bahwa tidak ada kekuatan yang lebih kuat selainNya mampu menjadi motivator perolehan kesehatan mental yang paripurna. Seorang mukmin yang memiliki daya dan kekuatan iman yang istiqamah, selalu pula meyakini Allah s.w.t dengan asma’ dan sifat-sifat-Nya sebagai pengawasan mampu pula menjadi terapeutik bagi gangguan mental. Keyakinan semacam ini, membuat seorang mukmin merasa malu untuk melakukan perkara-perkara yang keji dan munkar, meskipun tak seorangpun yang melihat amalannya itu.43 Seorang mukmin yang menggunakan fikiran dan daya zikir akan selalu dalam kondisi sadar. Perasaan serupa ini, menjadikannya tetap dalam iman dan salam. Keimanan serupa ini juga mampu membuat kestabilan hati, kejernihan fikiran, dan kebeningan hati dalam mewujudkan keamanan, keselamatan, kebahagiaan dan kesehatan mental. 42 Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), pp. 191-192. 43 Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1997), p. 432.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
928
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
Sejak awal penciptaan manusia dengan fitrahnya yang lemah selalu saja mengharapkan Tuhannya untuk memberi pertolongan, bantuan, petunjuk, perlindungan, dan pengawasan. Disebabkan semua itu, manusia memerlukan pengetahuan dan pengenalan yang baik tentang Tuhan yang imaninya. Pengetahuan tersebut, semestinya menjadikan seseorang taat dan selalu beribadah.44 Allah s.w.t berfirman: ”Ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah ikuti jalan yang akan memecah belah-mu dari jalannya, yang demikian itu diwasiatkan kepada-mu, mudahmudahan kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”45 Seorang mukmin yang menjadikan keimanan, sebagai perisai dan benteng bagi hatinya merupakan metodologi untuk meluruskan perkataan, amalan, dan pengetahuannya serta menambah ketaatan dan dapat pula mengurangi kemaksiatan dan dosa.46 Terpatrinya keyakinan dalam hati dan menuangkannya kedalam bentuk amalan saleh, pengetahuan yang cukup, dan memadai memberikan nilai yang sempurna bagi menetapkan seseorang itu sebagai konsisten dalam keimanannya. Seorang mukmin yang memahami iman sebagai perkataan, amalan saleh, dan membenarkannya dengan hati merupakan usaha dalam mencintai Allah s.w.t dan rasul-Nya, takut kepada-Nya, mencintai sesuatu yang dicintai-Nya, membenci sesuatu yang dibenci Allah s.w.t dan rasulNya, mengikhlaskan amalan hanya bagi Allah s.w.t semata, dan bertawakkal dengan sepenuh hati kepada Allah s.w.t.47 Beriman kepada Allah s.w.t dengan mengetahui asma’, sifat, perbuatan, kemuliaan, kebesaran-Nya adalah yang mendasar dan bahagian dari-Nya. Siapa saja yang mengenali Tuhannya, maka secara tidak langsung ia akan mengenali selain-Nya, dan siapa saja yang tidak mengenali sedikitpun Tuhannya, maka dia tidak akan mengenali sedikitpun perkara lain karena kebodohannya.48 Allah s.w.t mengingatkan dalam firman-Nya: ”Dan janganlah ada di antaramu seperti orang yang melupakan Allah, maka Allah akan melupakan mereka.”49 44 Abu Bakr Jabir al-Jazairi, ‘Aqidah al- Mu’min, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah ‘Ulum wa al- Hikam, 1998), p. 29. 45 QS. Al-An’am: 153 46 Imam Abi ‘Utsman Isma’il bin ‘Abd al-Rahman al-Sabuni, Aqidah al-Salaf wa Ashab al-Hadits au al-Risalah fi I’tiqad Ahl al-Sunnah wa Ashab al- Hadits wa al-A’immah, (Riyadh: Dar al-‘Asimah, 1998), p.105. 47 al-Khalid Bin ‘Abdullah al-Maslah, Syarh al-‘Aqidah al-Wasatiyyah min Kalam Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah, (Riyadh: Dar al-Ibn Jauzi, 1422 H), p. 166. 48 Muhammad Khalifah al-Tamimi, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa al- Jama`ah fi Tauhid al-Asma’ wa al-Sifat, (Riyadh: Maktabah al-Adwa’ al-Salaf, 1999), p. 15. 49 QS. al-Hasyar: 19.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
929
Islam dengan keteguhan iman, memberikan jalan keluar kepada masalah kemanusiaan. Keimanan membuka pintu bagi melestarikan kehidupan yang harmonis. Keimanan adalah jembatan penghubung yang mampu membawa seorang mukmin ke darjat yang terpuji. Keimanan dapat mewarnakan kehidupan dengan kelapangan, kejayaan, dan ketenangan batin. Dengan keimanan, seorang mukmin mampu menjalani kehidupan dunia yang lebih baik, secara fisik maupun psikologis. Jalan inilah yang membawa seorang mukmin ke kondisi yang tenang dan memiliki kesehatan mental. Kebahagiaan, kesuksesan, kemenangan, keberuntungan, dan kesehatan mental sangat ditentukan oleh terpeliharanya fitrah Allah s.w.t. yang diberikan kepada manusia sejak lahir. Fitrah tersebut tidak lain adalah ketauhidan, beribadah, taat, tawaddhu’, dan mengikuti jalan hidup yang telah digariskan untuk manusia maupun yang telah dijelaskan di dalam sunnah Nabi s.a.w.. Hati manusia akan wujud dalam fitrah yang diberikan Allah s.w.t, selama ia mampu mengimplementasikan nilai-nilai syariat yang telah diturunkan. Namun hati akan mendapat pengaruh yang kuat dari lingkungannya. Ketika hati mendapat pengaruh negatif, maka ia akan membentuk bintik hitam, demikian juga sebaliknya. Nabi s.a.w. mengingatkan dalam sebuah riwayat sebagai berikut: ”Berbagai fitrah akan disodorkan pada hati sebagaimana membuat tikar sehelai demi sehelai. Hati manapun yang menyerap (fitrah), maka akan tertoreh satu titik hitam, dan hati manapun yang mengingkari fitnah, maka akan tertoreh titik putih, sehingga permukaan hati tersebut sangat mirip dengan batu besar yang mulus. Satu fitnahpun tidak akan mampu menimbulkan mudharat pada hati yang putih itu, selama langit dan bumi masih ada, sedangkan hati yang satunya lagi, maka akan sangat hitam seperti bejana hitam yang terbalik, dia tidak mengetahui sesuatu yang ma’ruf dan tidak mengingkari sesuatu yang mungkar, kecuali hawa nafsu yang menyelinap masuk (ke dalam hatinya).” (HR. Ahmad). Hati yang fitrah adalah hati yang terlindungi dan terawasi. Hati yang tenteram adalah hati yang selalu mengingat Allah s.w.t, tidak tercerobohi oleh sesuatu maksiat dan kemungkaran. Hati fitrah ini dapat dikategorikan sebagai qolbu al-salim yang selamat dari kecerobohan, bintik-bintik hitam, dan memperturutkan hawa nafsu. D. Penutup Kesehatan mental Islam merupakan kekuatan emosional-psikologis yang mengkaji manusia selaku subjek pengamal agama; dari dimensi ritual (ibadah), credoism (iman), dan norma (akhlak) yang berlaku dalam suatu komunitas. Jika esensi iman merupakan sebuah proses perkembangan jiwa SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
930
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
yang berimplementasi pada pertumbuhan, pembinaan, dan pengembangan nilai psikologis, niscaya manusia mendapatkan kesehatan mental. Namun sebaliknya, apabila manusia itu hidup sebagai manusia tanpa dirinya dan tidak menjadikan iman sebagai patri, maka ia hidup sebagai makhluk asfala safilin (makhluk yang tidak bermoral). Psikologi iman merupakan upaya sadar seorang mukmin dalam satu keyakinan yang matang dan kokoh bersama Allah s.w.t. Keyakinan yang kuat terhadap Allah s.w.t, bahwa tidak ada kekuatan yang lebih kuat selainNya mampu menjadi motivator perolehan kesehatan mental yang paripurna. Seorang mukmin yang memiliki daya dan kekuatan iman yang istiqamah, selalu pula meyakini Allah s.w.t dengan asma’ dan sifat-sifat-Nya sebagai pengawasan mampu pula menjadi terapeutik bagi gangguan mental. Keyakinan semacam ini, membuat seorang mukmin merasa malu untuk melakukan perkara-perkara yang keji dan munkar, meskipun tak seorangpun yang melihat amalannya itu. Seorang mukmin yang menggunakan fikiran dan daya zikir akan selalu dalam kondisi sadar. Perasaan serupa ini, menjadikannya tetap dalam iman dan salam. Keimanan serupa ini juga mampu membuat kestabilan hati, kejernihan fikiran, dan kebeningan hati dalam mewujudkan keamanan, keselamatan, kebahagiaan dan kesehatan mental. Daftar Pustaka Abu Ya`la, Qadi Abu al-Hassan Muhammad, Tabaqat al-Hanabilah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t. Ahmed, Akbar S., Post Modernisme and Islam: Predicament and Promise, London: Routledge, 1992. al-`Usaymin, Syaikh Muhammad bin Salih, Al-Aqa’id al-Mathla fi Sifat Allah, 1998. al-Baihaqi, Imam, Manaqib al-Syafi’i, Kaherah: Dar al-Turath, t.t. al-Barr, Ibn `Abd, Al-Intiqa’ fi Fada’il al-Thalathai al-Fuqaha’, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, tt. al-Ghalsani, Mehdi, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993. al-Hanafi, Sadri al-Din ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izzi, Syarh Tahawiyyah fi al-‘Aqidah Salafiyyah, 1416 H. al-Jazairi, Abu Bakr Jabir, ‘Aqidah al- Mu’min, Madinah al-Munawwarah: Maktabah ‘Ulum wa al-Hikam, 1998.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
931
al-Kasyani, Abd al-Razzaq, Istilahat al-Sufiyyah, Kaherah: Dar al-Ma’arif, 1984. al-Maslah, Al-Khalid Bin ‘Abdullah, Syarh al-‘Aqidah al-Wasatiyyah min Kalam Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah, Riyadh: Dar al-Ibn Jauzi, 1422 H. al-Najdi, Syaikh Islam Ahmad ibn Taimiyyah al-Harami dan Syaikh Muhammad ibn `Abd al-Wahhab, Majmu`ah al-Tauhid wa Tasytamil ‘ala Sittati wa ’Isyrina Risalah, Beirut: Dar al- Fikr, 1991. al-Sabuni, Imam Abi ‘Utsman Isma’il bin ‘Abd al-Rahman, Aqidah al-Salaf wa Ashab al-Hadis au al-Risalah fi I’tiqad Ahl al-Sunnah wa Ashab alHadis wa al-A’immah, Riyadh: Dar al-‘Asimah, 1998. al-Tamimi, Muhammad Khalifah, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa al- Jama`ah fi Tauhid al-Asma’ wa al-Sifat, Riyadh: Maktabah al-Adwa’ al-Salaf, 1999. al-Tamimi, Syaikh Muhammad, Kitab Tauhid; Alladhi huwa Haqq al-Ilahi ‘ala ‘Abid, t.t. Badri, Malik B., The Dilemma Moslem Psychologist, terj. Siti Zainab, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1979. Darajat, Zakiah, Islam dan Kesehatan Mental, Jakarta: Mas Agung, 1988. Effendi, Djohan, Tasawuf Al-Qur’an Tentang Perkembangan Jiwa Manusia, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Ulumul Qur’an, No.8, 1991. Hamdani, Metodologi Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Hawari, Dadang, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1997. Jaya, Yahya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta: Ruhama, 1992. Kermode, Frank, History and Value: The Clarendon Lectures and North Cliffe Lectures, Oxford: Clarendon Press, 1988. Lari, Sayyid Mujtaba Musawi, Psikologi Islam, Bandung: Mizan, 1993. Lyotard, Jean Francois, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, USA: University of Minnesota Press, 1984. Madjid, Nurcholis, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1992. Madjid, Nurcholis, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1995.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
932
Khairunnas Rajab: Psikologi Iman sebagai Penguatan Nilai Teologis…
Najati, Muhammad `Utsman, Al-Qur’an wa `Ilm al-Nafs, al-Kaherah: Dar al-Syuruq, 2001. Najati, Muhammad Utsman, Al-Qur’an wa `Ilm al-Nafs, al-Kaherah: Dar alSyuruq, 2001. Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1997. Nurbakh, Javad, Tasawuf dan Psikoanalisa: Konsep Iradah dan Transferensi dalam Psikologi Sufi, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan; Ulumul Qur’an, No. 8, 1991. Rachman, Budhy Munawar, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995. Rahmat, Jalaluddin, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan, 1999. Syariati, Ali, The Englightened Thinkers and Islamic Renaisance, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1995. Taymiyyah, Syaikh al- Islam Ibn, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim Mukhalafat Ashab al-Jahim, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Taymiyyah, Syaikh al-Islam Taqiy al-Din Ibn, Amrad al- Qulub wa Sifa’uha, Riyadh: Dar al-Salam, t.t. Taysir al-`Ali al- Qadir li Ikhtisar Tafsir Ibn Kathir, Riyadh: Maktabah Ma`arif, t.t.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010