BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1
Kajian Pustaka Beberapa penelitian relevan yang berhasil dikumpulkan digunakan sebagai
bahan acuan dalam penyusunan penelitian ini yaitu penelitian-penelitian sebagai berikut. Suhartini (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Penggunaan Gairaigo yang Diikuti Verba Suru”, menganalis mengenai penggunaan gairaigo yang diikuti verba suru dengan tujuan mengetahui kelas kata gairaigo yang diikuti verba suru serta mengetahui perbandingan penggunaan gairaigo yang diikuti verba suru dengan padanan kata yang ada. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teknik hubung banding. Kosakata gairaigo yang diikuti verba suru dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan kategori asal kata, makna asal, kelas kata, padanan kata (wago), dan perbandingan penggunaan. Hasil dari penelitian tersebut yaitu kategori gairaigo yang diikuti verba suru adalah nomina, serta gairaigo yang diikuti verba suru sering digunakan karena mudah diucapkan dan lebih populer. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu menganalisis gairaigo serta padanannya. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu penelitian ini menganalisis sinonim dalam bahasa Jepang khususnya dalam bahasa
Jepang
pariwisata,
sedangkan
dalam
penelitian
menitikberatkan pada gairaigo yang diikuti verba suru.
9
tersebut
lebih
10
Kurniawan (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kesalahan Penggunaan Keigo (Studi Kasus) oleh Mahasiswa Angkatan 2008 Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Udayana”, menganalisis kesalahan penggunaan Keigo oleh mahasiswa angkatan 2008 Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Udayana dengan melakukan penyebaran angket untuk memperoleh data. Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif. Metode analisis data dalam penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif yang ditunjang oleh metode kuantitatif untuk menganalisis data yang terkumpul. Penelitian tersebut menganalisis tiga jenis keigo yaitu sonkeigo, kenjougo, dan teineigo menurut Hirabayashi dan Hamayumiko (1998). Penelitian tersebut menghasilkan beberapa simpulan yaitu kesalahan dalam penggunaan keigo masih banyak dan pemahaman mengenai keigo oleh mahasiswa masih kurang khususnya mengenai kenjougo, penggunaan keigo yang kurang tepat dikarenakan kurangnya pembelajaran mengenai keigo, dan menurut mahasiswa penggunaan keigo dianggap sangat penting. Persamaan penelitian Kurniawan dengan penelitian ini terdapat pada metode serta menggunakan teknik pengumpulan data yang sama yaitu melalui angket. Perbedaan penelitian Kurniawan dengan penelitian ini yaitu pada objek yang dikaji. Penelitian Kurniawan mengkaji mengenai kesalahan penggunaan keigo oleh mahasiswa sedangkan penelitian ini mengkaji mengenai wago dan gairaigo dalam bahasa Jepang pariwisata. Penelitian Kurniawan dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemahaman metode dan teknik serta pemahaman mengenai pengumpulan data melalui angket.
11
Elitasari (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Penggunaan Keigo oleh Pramuwisata Berbahasa Jepang di Denpasar”, menggunakan deskriptif yang bersifat kualitatif dalam analisis data yang dihimpun melalui angket mengenai keigo. Metode deskriptif digunakan untuk memberikan deskripsi pada data yang telah terkumpul agar memperoleh fakta yang dapat mendukung informasi dan data yang diperoleh dari angket dan studi pustaka. Objek dari angket tersebut adalah pramuwisata berbahasa Jepang di Denpasar. Sebagai analisis dasar, penelitian tersebut menganalisis tiga jenis keigo yaitu sonkeigo, kenjougo dan teineigo dengan menggunakan teori dari Seiji (2007). Penelitian tersebut menghasilkan beberapa simpulan yaitu kesalahan dalam penggunaan keigo oleh pramuwisata terjadi karena kurangnya pemahaman para pramuwisata terhadap penggunaan keigo secara tepat, pemakaian keigo yang tidak intensif dan penggunaan keigo ketika pramuwisata melayani wisatawan dianggap sangat penting. Persamaan penelitian Elitasari dengan penelitian ini terdapat pada metodemetode yang digunakan, serta kedua penelitian ini terdapat dalam satu tataran ilmu yaitu sosiolinguistik khususnya dalam bidang pariwisata. Perbedaan penelitian Elitasari dengan penelitian ini terdapat pada objek kajian yaitu dalam penelitian tersebut mengkaji mengenai peggunaan keigo oleh pramuwisata berbahasa Jepang sedangkan dalam penelitian ini mengkaji mengenai wago dan gairaigo dalam bahasa Jepang pariwisata. Penelitian Elitasari dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemahaman metode serta pengumpulan data melalui angket.
12
Nasra (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Sinonim Adverbia Totemo dan Taihen dalam Beberapa Novel Jepang”, menggunakan metode simak dengan teknik catat dalam pengumpulan data. Pada tahap analisis data digunakan metode distribusional dengan teknik substitusi, sedangkan pada tahap penyajian hasil analisis data digunakan metode formal dan informal. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui adanya persamaan dan perbedaan dari adverbia totemo dan taihen. Adverbia totemo dan taihen samasama dapat menerangkan kelas kata adjektiva dan verba berdasarkan kala, dan juga dapat menerangkan adjektiva berdasarkan jenisnya. Hal yang membedakan adverbia totemo dan taihen yaitu adverbia totemo dapat menerangkan kalimat penyangkalan atau negatif, sedangkan adverbia taihen tidak bisa. Selain itu, hal yang membedakan adverbia totemo dan taihen yaitu adverbia totemo berdasarkan ungkapan berlebihannya bermakna positif yaitu sebenarnya, sedangkan adverbia taihen bermakna berlebihan (exaggerative). Persamaan penelitian Nasra dengan penelitian ini terdapat pada objek yang dianalisis yaitu
tentang sinonim dalam bahasa Jepang. Perbedaan penelitian
Nasra dengan penelitian ini yaitu penelitian Nasra memfokuskan pada sinonim adverbia totemo dan taihen, sedangkan penelitian ini memfokuskan pada sinonim wago dan gairaigo kosakata bahasa Jepang pariwisata. Penelitian Nasra dapat dijadikan acuan atau pedoman untuk pemahaman lebih lanjut mengenai sinonim dalam bahasa Jepang
13
2.2
Konsep Dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep yang perlu dijelaskan
lebih lanjut, antara lain : 2.2.1
Ruigigo Ruigigo merupakan beberapa kata yang maknanya hampir sama (Sutedi,
2009:129). Tadao dkk (1995: 2316) dalam Nihongo Dai Jiten mendefinisikan bahwa pengertian Ruigigo adalah sebagai berikut : 同 言語 中 音 違う 意味 近い Onaji kotoba no naka de, oto wa chigau ga, imi no chikai go. ‘Sebuah kata yang sama, memiliki bunyi yang berbeda namun mempunyai makna yang dekat.’
Chaer (2007: 297--298) juga menyebutkan sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar; antara kata hamil dengan frase duduk perut; dan antara kalimat Dika menendang bola dengan bola ditendang Dika. Contoh dalam bahasa inggris, antara kata fall dengan autumn, antara kata freedom dengan kata liberty, dan antara kata wide dengan broad. Dengan demikian sinonim (ruigigo) dapat didefinisikan sebagai kata yang memiliki makna yang dekat atau hampir sama, meskipun memiliki bentuk dan bunyi yang berbeda. Relasi sinonimi ini bersifat dua arah. Maksudnya, jika satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A. Secara konkret jika kata betul bersinonim dengan kata benar, maka kata benar itu pun bersinonim dengan kata betul.
14
Menurut Chaer (2007: 298--299), dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai faktor, yaitu: 1.
Faktor waktu. Contohnya, kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, kata hulubalang memiliki pengertian klasik, sedangkan komandan tidak memiliki pengertian klasik. Dengan kata lain, kata hulubalang hanya cocok digunakan pada konteks yang bersifat klasik, sedangkan kata komandan tidak cocok untuk konteks klasik itu;
2.
Faktor tempat dan wilayah. Misalnya kata saya dan beta adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun kata saya dapat digunakan dimana saja, sedangkan kata beta hanya cocok untuk wilayah bagian timur, atau dalam konteks masyarakat yang berasal dari Indonesia bagian timur;
3.
Faktor keformalan. Misalnya, kata uang dan duit adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun kata uang dapat digunakan dalam ragam formal dan tak formal, sedangkan kata duit hanya cocok untuk ragam tak formal;
4.
Faktor sosial. Contohnya, kata saya dan aku adalah dua buah kata yang bersinonim. Tetapi, kata saya dapat digunakan oleh siapa saja dan kepada siapa saja, sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang sebaya, yang dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukan sosialnya;
15
5.
Bidang kegiatan. Contohnya, kata matahari dan surya adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa saja, atau dapat secara umum, sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus, terutama ragam sastra;
6.
Faktor nuansa makna. Contohnya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninjau, dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Tetapi antara yang satu dengan lainnya tidak selalu dapat dipertukarkan, karena masing-masing memiliki nuansa makna yang tidak sama. Kata melihat memiliki makna umum; kata melirik memiliki makna melihat dengan sudut mata; kata menonton memiliki makna melihat untuk kesenangan; kata meninjau memiliki makna melihat dari tempat jauh; dan kata mengintip memiliki makna melihat dari atau melalui celah sempit. Dengan demikian, jelas kata menonton tidak dapat digantikan dengan kata melirik karena memiliki nuansa makna yang berbeda, meskipun kedua kata tersebut dianggap bersinonim.
2.2.2
Wago Wago adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Jepang asli, yang
dilafalkan secara bunyi Jepang (kunyomi), dan biasanya ditulis dengan gabungan Kanji dan huruf Hiragana. Masami dan Masako (1982: 22) juga menyebutkan sebagai berikut :
16
漢語や外来語 対 も も 日本 あっ 言葉を 和語 言い 大和言葉 も言い 普通 ひ 書 表 漢 字を訓読 Kango ya gairaigo ni taishite, motomoto nihon ni atta kotoba o [wago] to iimasu. [yamato kotoba] to mo iimasuga, futsuu, hiragana de kakiarawashitari, kanji o kunyomi shitari suru kotoba. ‘Mengenai kango ataupun gairaigo, kosakata yang benar benar terdapat di Jepang disebut dengan wago. Kosakata ini juga disebut dengan yamato kotoba, biasanya juga dituliskan dengan menggunakan huruf hiragana, dan menggunakan huruf kanji sebagai bacaan kunyomi.’
Semua joshi (partikel), jodoushi (adverbia), dan sebagian besar keiyoushi (adjektif), konjungsi, dan interjeksi adalah wago (Tanimitsu, 1995:61 dalam Sudjianto dan Dahidi, 2004: 99). Menurut Ishida (1995: 112--113) dalam Sudjianto dan Dahidi (2004: 100--101), wago memiliki karakteristik sebagai berikut : 1.
Banyak kata yang terdiri dari satu atau dua mora.
2.
Adanya perubahan bunyi pada kata yang digabungkan, seperti ame yang berarti ‘hujan’ menjadi amagasa yang artinya ‘payung hujan’.
3.
Tidak ada kata yang memiliki silabel dakuon (bunyi bersuara) dan ragyou (klasifikasi dalam kata kerja).
4.
Banyak kata yang secara simbolik mengambil tiruan bunyi terutama gitaigo (mimesis).
5.
Kelas kata verba sebagian besar adalah wago.
6.
Banyak kata-kata yang memiliki cara baca yang sama tetapi mempunyai bentuk kanji yang berbeda, seperti halnya kata miru memiliki kanji (見
), (診
), (観
), (看
).
17
2.2.3
Gairaigo Gairaigo merupakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing (gaikokugo)
yang digunakan sebagai bahasa nasional (kokugo) (Sudjianto dan Dahidi, 2004: 104). Pengertian mengenai gairaigo juga diungkapkan seperti sebagai berikut. 外来語 分 や く言え 日本語 中 外国語 入っ 語 普通 カタカナ 表記 い も 考え いい あ う Gairaigo to wa wakariyasuku ieba [nihongo no chuu ni gaikokugo kara haitte kita go de, futsuu, katakana de hyouki sarete iru mono ] da to kangaete ii de arou. ‘Secara sederhana, gairaigo adalah kata-kata dari bahasa asing yang terdapat dalam bahasa Jepang, dan biasanya diwakilkan dengan penggunaan huruf katakana.’ (Yasuburou, 1982: 213)
Gairaigo biasa juga disebut dengan kata serapan (loanwords). Kay (1995: 75) menyebutkan fungsi kata serapan bahasa Inggris dalam bahasa Jepang sebagai berikut. a)
Banyak kata-kata serapan dari bahasa Inggris didatangkan dengan alasan bahwa kata-kata tersebut tidak ada dalam istilah di Jepang atau budaya Jepang sebelumnya, seperti halnya istilah-istilah kata dalam olahraga barat ataupun fashion. Penerapan istilah barat tersebut diaplikasikan melalui kata pinjaman, seperti kata puraibashi (privacy), yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Jepang.
b)
Kata-kata pinjaman sering dikaitkan dengan gaya hidup barat yang modern, dan dapat digunakan dalam kata-kata bahasa Jepang yang sepadan.
Kesan
modern
sering
membuat
menggunakan kata pinjaman meskipun padanannya dalam bahasa Jepang.
mereka
lebih
kata tersebut ada
18
c)
Adanya banyak kata-kata pinjaman yang memiliki padanan dalam bahasa Jepang memberikan alternatif untuk orang Jepang dalam hal pemilihan kata/wacana. Penggunaan kata-kata serapan bahasa Inggris tidak hanya sebagai bentuk refleksi dari tingkat modernitas budaya
Jepang,
tetapi
juga
membantu
memberikan
atau
menciptakan suasana yang lebih terkesan modern. Hal tersebut dapat dijumpai di dalam iklan, nama produk, dan juga budaya kaum muda. d)
Kata-kata serapan kadang-kadang digunakan untuk efek khusus, khususnya dalam hal penulisan, yang menggunakan katakana sebagai fokus pandangan mata, dan kata-kata asing tersebut menjadi pusat perhatiannya.
e)
Dalam hal perdagangan, kata serapan dalam prakteknya dapat digunakan, tidak hanya di iklan atau pemasaran, tetapi juga untuk membantu dalam hal peningkatan ekspor; misalnya, seperti istilah nama walkman, selain memberikan gambaran produk yang modern untuk orang Jepang, mungkin juga membantu mengiklankan produk hingga ke luar negeri.
f)
Pertukaran informasi internasional yang sangat cepat, seperti laporan berita,
kompetisi, dan kerjasama di bidang teknologi,
mengharuskan adanya ketersediaan kosakata yang umum untuk dipahami.
19
g)
Kata serapan bahasa Inggris tidak memiliki nada sedalam makna sebagaimana kata-kata asli, dan dapat digunakan lebih mudah untuk mengekspresikan perasaan atau menggambarkan situasi yang mungkin sulit untuk dibicarakan dalam bahasa Jepang. Kata-kata serapan dapat memiliki nilai untuk lebih menghaluskan ungkapan, seperti dalam frasa yang mengandung kata shirubaa untuk menunjukkan seseorang yang tua, dalam ekspresi seperti shirubaa shiito (silver + seat), yaitu kursi untuk orang tua yang biasanya ada dalam angkutan umum.
2.3
Kerangka Teori Dalam melakukan suatu penelitian tentunya memerlukan sebuah teori.
Dalam penelitian wago dan gairaigo dalam bahasa Jepang pariwisata maka digunakan teori sebagai berikut. 2.3.1
Makna Pengertian makna mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Ferdinand
de Saussure menganai tanda linguistik. Menurut de Saussure (dalam Chaer, 2009: 29) setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu ; (1) yang diartikan (Prancis: signifie’, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Prancis: signfiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie’, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi, sedangkan yang mengartikan (signfian atau signifier) adalah tidak lain dari pada bunyi-bunyi itu, yang terbentuk dari fenom-fenom bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain,
20
setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Dalam bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk tanda linguistik adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan bermakna (Harimurti, 1982: 98 dalam Chaer, 2009: 31). Sebuah kata atau leksem mengandung makna atau konsep tersebut. Makna atau konsep bersifat umum, sedangkan sesuatu yang dirujuk, yang berada di luar dunia bahasa, bersifat tertentu. Sebagai contoh, kata ‘meja’ mengandung konsep meja pada umumnya, meja apa saja, atau segala macam meja. Dengan demikian, hal tersebut merupakan abstraksi keseluruhan meja yang ada. Namun, dalam dunia nyata, meja-meja yang dirujuk adalah bersifat tertentu, atau dengan kata lain dalam dunia nyata kita dapati berbagai macam meja yang ukuran, bentuk dan bahannya tidak sama (Chaer, 2009: 32). Hubungan kata dengan maknanya bersifat arbitrer. Artinya, tidak ada hubungan wajib antara fonem pembentuk kata itu dengan maknanya, namun memiliki hubungan yang bersifat konvensional. Oleh karena itu, dapat dikatakan, secara sinkronis hubungan kata dengan maknanya tidak akan berubah. Secara diakronis ada kemungkinan bisa berubah sesuai dengan perkembangan budaya dan masyarakat yang bersangkutan (Chaer, 2009: 32). 2.3.2
Variasi Bahasa Chaer dan Agustina (2010: 61--73) menyebutkan sebagai sebuah langue,
sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka
21
wujud bahasa yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keberagaman bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penuturnya yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Jika penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial, maupun lapangan pekerjaaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada, artinya bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Berikut ini akan dibicarakan variasi-variasi bahasa, antara lain 1.
:
Variasi dari Segi Penutur Variasi bahasa pertama yang kita lihat bersadarkan penuturnya adalah
variasi bahasa yang disebut idiolek, yakni merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai idiolek masingmasing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan ‘warna’ suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah
22
‘warna’ suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya. Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah dialek, yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada di suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada suatu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga. Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah kronolek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Sebagai contoh, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, lima puluhan, ataupun saat ini. Variasi bahasa pada ketiga zaman itu tentunya berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis. Hal yang paling tampak biasanya dari segi leksikon, karena bidang ini mudah sekali berubah akibat perubahan sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Variasi bahasa keempat berdasarkan penuturnya adalah sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik biasanya variasi inilah yang paling
banyak
dibicarakan
dan
paling
banyak
menyita
waktu
untuk
membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, pekerjaan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya.
23
Berdasarkan usia kita bisa melihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa, dan orang yang tergolong lansia. 2.
Variasi dari Segi Pemakaian Variasi bahasa berkenaan dengan penggunanya, pemakainya atau
fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, pertanian, militer, pelayaran, pendidikan, dan sebagainya. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata. Setiap bidang kegiatan ini biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain. 3.
Variasi dari Segi Keformalan Martin Joos (1967) dalam Chaer dan Agustina (2010: 70) membagi
variasi bahasa menjadi lima macam gaya (ragam), yaitu ragam beku (frozen); ragam resmi (formal); ragam usaha (konsultatif); ragam santai (casual); ragam akrab (intimate). Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi khidmat dan upacara resmi. Misalnya, dalam khotbah, undangundang, akte notaris, sumpah, dan surat-surat keputusan. Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah, buku-buku
24
pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar. Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, ataupun pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Wujud ragam ini berada diantara ragam formal dan ragam informal atau santai. Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dangan keluarga atau teman pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam ini banyak menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya banyak
yang dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa
daerah. Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, atau antar teman karib. Ragam ini menggunakan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas. 4.
Variasi dari Segi Sarana Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang
digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya bertelepon atau bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur
25
ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya.