KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, buku panduan untuk para peserta Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016 di Daerah Istimewa Yogyakarta telah dapat diselesaikan. Buku Panduan ini disusun sebagai pedoman guna memudahkan para peserta dan panitia penyelenggara untuk melaksanakan Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun pokok bahasan Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016 adalah (1) Pembahasan Draft SKB tentang Pendelegasian Wewenang 10 Gubernur FKD-MPU kepada Ketua Sekber, (2) Pembahasan Draft SKB tentang Dukungan Operasional Gedung ITIC, (3) Pembahasan Draft SKB Program Kerjasama tahun 2017 Pembahasan Rakergub XVI di Semarang (tema, agenda dan narasumber) dan (4) Isu-isu aktual lain. Harapan kami agar Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016 dapat berjalan dengan lancar, tertib dan mendapat hasil yang bermanfaat bagi kita semua. Yogyakarta,
Mei 2016
a.n SEKRETARIS DAERAH Asisten Pemerintahan dan Kesra,
Drs. SULISTIYO, SH., C.N., M.Si. NIP. 19580819 198403 1 005 1 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
RAPAT GABUNGAN FORUM KERJASAMA DAERAH MITRA PRAJA UTAMA XVI TAHUN 2016 I. PENDAHULUAN A. Sekilas tentang Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama (MPU) Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama (FKD-MPU) diawali dengan adanya silahturahmi dalam bentuk kegiatan olah raga anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Jawa Barat. Kemudian berkembang dalam upaya pemikiran penanganan masalah pemerintahan, terutama di daerah perbatasan. Selanjutnya dikukuhkan dengan membentuk suatu kerjasama dengan nama ”Dwi Praja” di Bogor pada tanggal 15 Juli 1989, dengan penekanan kerjasama dalam bidang kependudukan, ketenagakerjaan, transportasi dan perekonomian. Melihat semakin pentingnya keberhasilan Forum Kerjasama ini khususnya dalam mengatasi permasalahan antar dua daerah, maka diperluas wilayah dengan Provinsi Jawa Tengah melalui penandatanganan Keputusan Bersama Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat, Gubernur KDH Tingkat I Jawa Tengah dan Gubernur DKI Jakarta di Semarang pada tanggal 26 Juni 1990, sehingga Forum Kerjasama ini dirubah namanya menjadi ”Tri Praja Utama”. Kemudian dalam perjalanannya, Forum Kerjasama berkembang dengan semakin banyaknya daerah yang ingin bergabung, yaitu menjadi jalinan 2 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
kerjasama 6 (enam) Provinsi se Jawa dan Bali yang ditandai dengan penandatanganan Keputusan Bersama Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat, Gubernur KDKI Jakarta, Gubernur KDH Tingkat I Jawa Tengah, Gubernur KDH Tingkat I Daerah Istimewa Yogyakarta, Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Gubernur KDH Tingkat I Bali pada tanggal 3 November 1991 di Yogyakarta dengan nama ”SAD PRAJA UTAMA”, yang berarti ”Kerjasama Enam Pemerintahan Daerah Tingkat I se Jawa dan Bali”. Kata Sad berarti enam, Praja berarti pemerintahan, sedangkan Utama diartikan Tingkat I (Provinsi). Adapun bidang-bidang yang dikerjasamakan dalam Forum Sad Praja Utama tidak hanya meliputi penanganan permasalahan di daerah berbatasana saja, tetapi telah berkembang dengan permasalahan yang menyangkut kepentingan daerah pada umumnya yang meliputi bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Keberhasilan Forum Kerjasama Sad Praja dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi bersama semakin dirasakan oleh anggotanya, sehingga menarik minat Provinsi Lampung untuk ikut bergabung menjadi anggota Forum Kerjasama Sad Praja Utama (SPU). Setelah melalui beberapa pertimbangan para Gubernur Anggota Sad Praja Utama dan adanya kesediaan Gubernur Lampung untuk mempresentasikan potensi unggulan daerahnya sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi anggota SPU, maka pada tahun 2000 Provinsi Lampung secara resmi diterima menjadi anggota, yaitu dengan ditandatanganinya Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Bali pada tanggal 21 September 2000 di Yogyakarta.
3 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Dengan masuknya Provinsi Lampung menjadi anggota Forum Kerjasama Sad Praja Utama membawa konsekuensi kepada nama Forum Kerjasama Sad Praja Utama yang tidak lagi beranggotakan 6 (enam) Provinsi, melainkan menjadi 7 (tujuh) Provinsi. Untuk itu nama Forum Kerjasama Sad Praja Utama yang berarti 6 (enam) daerah provinsi dirubah menjadi Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama (MPU). Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi apabila di kemudian hari ada provinsi lain yang berkeinginan bergabung sebagai anggota Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama. Dalam perkembangannya keanggotaan Forum Kerjasama terus bertambah, yaitu pada tahun 2001 Provinsi Nusa Tenggara Barat bergabung ke dalam Forum Kerjasama yang ditetapkan di Denpasar, Provinsi Bali. Kemudian Provinsi Banten diterima menjadi anggota pada tahun 2002 yang ditetapkan di Provinsi Lampung. Selanjutnya Provinsi Nusa Tenggara Timur resmi bergabung pada tahun 2005 yang ditetapkan di Bandung Provinsi Jawa Barat pada saat penyelenggaraan Rapat Kerja para Gubernur anggota Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama (FKD-MPU). Sehingga saat ini anggota Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama (FKD-MPU) adalah Provinsi Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Gubernur Nusa Tenggara Timur. B. Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016 Berdasarkan Keputusan Bersama Gubernur Anggota MPU Nomor 59/SK/MPU/2013 tentang Jadwal Rapat Kerja Gubernur Anggota FKDMPU 2014-2018 menyebutkan Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016 diselenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
4 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
II. DASAR PELAKSANAAN 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama daerah; 5. Keputusan Bersama Gubernur Anggota Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama Nomor 59/SK/MPU/2013 tentang Jadwal Rapat Kerja Gubernur Anggota FKD-MPU 2014-2018. III. NAMA KEGIATAN,WAKTU DAN TEMPAT 1. Nama Kegiatan Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama (FKD-MPU) XVI Tahun 2016. 2. Waktu Rabu s.d Jumat, 18 s.d 20 Mei 2016 3. Tempat Hotel : Hotel Inna Garuda Jalan : Jl. Malioboro No. 60 Yogyakarta Telpon : +62 274 566353 web : www.innagaruda.com
5 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
IV. PESERTA RAPAT Peserta Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016 di Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari : 1. Kelompok Kebijakan a. Asisten Pemerintahan Setda Prov se Jawa, Bali, Nustra dan Lampung; b. Kepala Bappeda Prov se Jawa, Bali, Nustra dan Lampung; c. Kepala Biro yang menangani FKD-MPU di Setda Provinsi Prov se Jawa, Bali, Nustra dan Lampung; d. Kepala bagian yang menangani FKD-MPU di Setda Provinsi Prov se Jawa, Bali, Nustra dan Lampung; e. Kepala sub bagian yang menangani FKD-MPU di Setda Provinsi Prov se Jawa, Bali, Nustra dan Lampung; f. Unsur Sekretariat Bersama MPU. 2. Kelompok Teknis a. Trade, Toursm and Invesmen Off line, terdiri atas Dinas Pariwisata, Dinas UMKM, Dinas Perindustrian Perdagangan, Badan Penanaman Modal Daerah, SKPD/UKPD lain sesuai kebutuhan. b. Trade, Toursm and Invesmen On line, terdiri atas Dinas Pariwisata, Dinas UMKM, Dinas Perindustrian Perdagangan, Badan Penanaman Modal Daerah, SKPD/UKPD lain sesuai kebutuhan. c. Kerjasama Lanjutan dan Inovasi terdiri atas Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pertanian, Badan Pemberdayaan Perempuan, Badan Ketahanan Pangan SKPD/UKPD lain sesuai kebutuhan.
6 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
V. OUTPUT/KELUARAN 1. Terbentuknya pemahaman, pengertian dan komunikasi antara pusat dan daerah dalam pembangunan kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Terselenggaranya agenda Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI tahun 2016, dengan pokok bahasan; a. Pembahasan Draft SKB tentang Pendelegasian Wewenang 10 Gubernur FKD-MPU kepada Ketua Sekber. b. Pembahasan Draft SKB tentang Dukungan Operasional Gedung ITIC. c. Pembahasan Draft SKB Program Kerjasama tahun 2017 Pembahasan Rakergub XVI di Semarang (tema, agenda dan narasumber) d. Isu-isu aktual lain VI. PENJEMPUTAN/TRANSPOTASI PESERTA Penjemputan Asisten I/Pemerintahan /Otda dari bandara ke hotel Inna Garuda akan dilakukan oleh Panitia Pelaksana. VII. AKOMODASI, KONSUMSI DAN TRANSPORTASI 1. Panita hanya menyediakan akomodasi masing masing 4 (empat) kamar bagi setiap provinsi dengan rincian: Asisten yang menangani MPU 1 Kamar Single Kepala Bappeda 1 Kamar Single Kepala Biro Pemerintahan/ Otonomi 1 Kamar Single Daerah/Kerjasama (yang menangani MPU Kabag (yang menangani MPU) 1 Kamar Single ) 7 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
2. Biaya akomodasi bagi kepala SKPD (kelompok teknis) dan pendamping instansi terkait dari Pemerintah Provinsi anggota MPU ditanggung oleh masing-masing daerah/peserta. 3. Konsumsi selama berlangsungnya Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016 disediakan oleh panitia pelaksana. 4. Pengeluaran biaya telepon, minibar dan biaya lainnya di luar biaya yang ditanggung panitia, dibebankan kepada yang bersangkutan. VIII. SEKRETARIAT 1. Sekretariat Panitia Rapat Gabungan FKD-MPU bertempat di Biro Tata Pemerintahan Setda Daerah Istimewa Yogyakarta, Komplek Kepatihan Danurejan Yogyakarta. 2. Contact Person Hari Edi Tri Wahyu Nugroho, S.IP.M.SI ( Kepala Bagian Pemerintahan Umum ) HP. 08562881855 Agustina Pangestujati,S.IP ( Kepala Sub Bagian Tata Praja ) HP. 082137467925 / 087839203934 IX. TATA TERTIB 1. Para peserta Rapat Gabunga FKD MPU diharapkan hadir 15 menit sebelum acara dimulai.
8 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
2. Sebelum memasuki ruang sidang para peserta diwajibkan mengisi daftar hadir yang telah disediakan. 3. Peserta tidak diperkenankan meninggalkan ruang sidang untuk mengobrol dan keperluan lain yang tidak berkaitan dengan acara sidang. 4. Peserta dilarang berkata-kata kurang baik dan berperilaku tidak sopan atau melakukan tindakan yang tidak terpuji dan bertentangan dengan norma asusila dan kententuan yang berlaku.Para peserta diwajibkan mengenakan pakaian yang telah ditentukan panitia .
9 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
JADWAL RAPAT GABUNGAN FORUM KERJASAMA DAERAH MITRA PRAJA UTAMA DI YOGYAKARTA
NO
1
HARI/ TANGGAL/ PUKUL RABU, 18 MEI 2016 14.00 – 19.00 WIB
KEGIATAN
Registrasi peserta dan check in
19.00 - Selesai
Welcome Dinner
19.15 – 19.25 WIB 19.25 – 19.30 WIB 19.30 – 19.35 WIB 19.35 – 20.05 WIB 20.05 – 20.15 WIB 20.15 WIB – selesai
Prosesi kesenian
KETERANGAN
Hotel Inna Garuda Jl. Malioboro No 60 Yogyakarta Ballroom Borobudur Hotel Inna Garuda Pakaian: Batik lengan panjang Peserta: - 10 provinsi anggota MPU - Sekber MPU - SKPD Pemda DIY
Pembukaan
MC
Doa
Panitia Daerah
Sambutan Selamat Datang
Gubernur DIY
Penyerahan cinderamata
Panitia Daerah kepada Peserta Panitia Daerah
Makan malam dan hiburan
10 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
NO
2
HARI/ TANGGAL/ PUKUL KAMIS, 19 MEI 2016 08.00 – 08.30 WIB 08.30 – 09.40 WIB
KEGIATAN
KETERANGAN
Registrasi Peserta
Panitia Daerah
Acara pembukaan Rapat Gabungan FKD-MPU XVI tahun 2016
08.30 – 08.40 WIB 08.40 – 08.50 WIB 08.50 – 09.00 WIB
Pembukaan
Tempat: Ballroom Borobudur Inna Garuda Pakaian: Batik Peserta: 10 prov MPU, Sekber MPU MC
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Panitia Daerah
Laporan Ketua Penyelenggara
09.00 – 09.15 WIB
Sambutan Ketua Sekber MPU
Asisten Pemerintahan Prov. DIY Asisten Pemerintahan Prov DKI Jakarta
09.15 – 09.30 WIB 09.30 – 09.40 WIB 09.40 – 11.10 WIB
Sambutan Gubernur DIY sekaligus membuka acara secara resmi Doa Paparan Narasumber dan Diskusi
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY
11.10 – 12.45 WIB 12.45 – 13.30
Paparan Narasumber dan Diskusi
Kepala Bappeda DIY
Panitia
Panitia Daerah
Ishoma
11 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
NO
HARI/ TANGGAL/ PUKUL WIB 13.30 – 15.00 WIB 15.00 – 16.30 WIB 16.30 – 17.00 WIB 17.00 – 18.00 WIB
KEGIATAN
KETERANGAN
Paparan Narasumber dan Diskusi
Pakar Pariwisata
Evaluasi Program Kegiatan Kerjasama FKD-MPU tahun 2015 & Rencana Kerja tahun 2017 PENJELASAN RAPAT & PEMBAGIAN KELOMPOK SIDANG KELOMPOK
Pengurus Harian
Sekber MPU
1. Kelompok Kebijakan Pokok Bahasan: a. Draft SKB tentang Pendelegasian Wewenang 10 Gubernur FKD MPU kepada Ketua Sekber b. SKB tentang Dukungan Operasional Gedung ITIC c. SKB Program kerjasama tahun 2016 d. Pembahasan Rakergub XVI di Semarang (tema, agenda, dan narasumber) e. Isu aktual lain (Dewan Pengelola Gedung ITIC) 2. Kelompok Teknis
Ruang: Mendut Pimpinan Sidang: Asisten Pemerintahan Prov DKI Jakarta Peserta: 1. Asisten Pemerintahan 2. Kepala Bappeda 3. Kepala Biro Pemerintahan / Otda 4. Kabag Otda 5. Sekber MPU
2.1 Kelompok I
Ruang: Nakula
Pokok bahasan: TTI Offline Tujuan:
Pimpinan Sidang: Tenaga Ahli Sekber MPU Notulis: PIC Panitia Daerah:
12 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
NO
HARI/ TANGGAL/ PUKUL
KEGIATAN Tersusun dan terpadunya usulan kegiatan kerjasama antar OPD tahun 2017
2.2 Kelompok II Pokok bahasan: TTI Online Tujuan: Tersusun dan terpadunya usulan kegiatan kerjasama antar OPD tahun 2017
2.3 Kelompok III
KETERANGAN Peserta: 1. Dinas Pariwisata 2. Dinas UMKM 3. Dinas Perindustrian Perdagangan 4. Badan Penanaman Modal Daerah 5. SKPD/UKPD lain sesuai kebutuhan Ruang: Sadewa Pimpinan Sidang: Tenaga Ahli Sekber MPU Notulis: PIC Panitia Daerah: Peserta: 1. Dinas Pariwisata 2. Dinas UMKM 3. Dinas Perindustrian Perdagangan 4. Badan Penanaman Modal Daerah 5. SKPD/UKPD lain sesuai kebutuhan 6. Ruang: Ballroom Borobudur
13 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
NO
HARI/ TANGGAL/ PUKUL
KEGIATAN Pokok bahasan: Kerjasama Lanjutan (Sosial dan Kesehatan) dan Inovasi Tujuan: Tersusun dan terpadunya usulan kegiatan kerjasama antar OPD tahun 2017
3
JUMAT, 20 MEI 2016 08.00 – 09.00
Sidang Paripurna & Penutupan Penyampaian hasil sidang kel. Teknis: Kelompok Teknis I Kelompok Teknis II Kelompok Teknis III
Pimpinan Sidang: Tenaga Ahli Sekber MPU Notulis: PIC Panitia Daerah: Peserta: 1. Dinas Kesehatan 2. Dinas Sosial 3. SKPD/UKPD lain sesuai kebutuhan
Ruang: Ballroom Pimpinan Sidang Paripurna: Ketua Sekber FKD MPU
a.
09.00-09.15
Tanggapan dari para Asisten Pemerintahan Provinsi anggota FKD MPU b. Penyerahan Hasil sidang kelompok Teknis kepada Sekber FKD MPU c. Sambutan Penutupan Rapat Gabungan FKD-MPU XV Tahun 2016 Penutup
KETERANGAN
Ketua Sekber
14 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
JADWAL PENERBANGAN DI BANDARA ADI SUCIPTO YOGYAKARTA Jadwal Kedatangan NO
AIRLINES
FLIGHT NO.
FROM
STA
KETERANGAN
1.
Garuda Indonesia
GA 0212
JAKARTA
14.20
Setiap hari
2.
Garuda Indonesia
GA 0208
JAKARTA
12.10
Setiap hari
3.
Citilink
QG 100
JAKARTA
11.20
Setiap hari
4.
Garuda Indonesia
GA 0258
JAKARTA
17.20
Setiap hari
5.
Garuda Indonesia
GA 0202
JAKARTA
05.25
Setiap hari
6.
Garuda Indonesia
GA 0204
JAKARTA
08.05
Setiap hari
7.
Garuda Indonesia
GA 210
JAKARTA
13.05
Setiap hari
8.
Garuda Indonesia
GA 0218
JAKARTA
19.35
Setiap hari
9.
Garuda Indonesia
GA 206
JAKARTA
10.05
Senin, rabu, jumat,sabtu, minggu
10.
Garuda Indonesia
GA 0210
JAKARTA
13.05
Setiap hari
11.
Citilink
QG 9321
JAKARTA
14.05
Setiap hari
15 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
NO
AIRLINES
12.
Garuda Indonesia
13.
FLIGHT NO.
FROM
STA
KETERANGAN
GA 0214
JAKARTA
16.20
Setiap hari
Garuda Indonesia
GA 0216
JAKARTA
18.25
Setiap hari
14. 15. 16. 17. 18.
Citilink Malindo Air Lion Air Citilink Singapore Airlines
QG 102 JT 754 IW 1845 QG 642 GA 7308
JAKARTA BANDUNG SUBAYA SURABAYA SURABAYA
19.30 16.25 13.25 08.00 14.55
19. 20.
Batik Air Citilink
IW 1843 QG 155
07.30 12.15
21.
Lion Air
JT 561
06.00
Setiap hari
21.
Lion Air
JT 569
10.25
Setiap hari
22.
Nam Air
SJ 9275
20.55
Setiap hari
23.
Indonesia Air Asia
QZ 8440
07.20
24.
Indonesia Air Asia
QZ 8448
13.45
Senin,Selasa, Rabu, Jumat Setiap hari
25.
Lion Air
JT 273
SURABAYA DENPASAR BALI DENPASAR BALI DENPASAR BALI DENPASAR BALI DENPASAR BALI DENPASAR BALI LOMBOK
Setiap hari Setiap hari Setiap hari Setiap hari Senin, Rabu, Jumat, Sabtu, Minggu Setiap hari Setiap hari
06.00
Setiap hari
16 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Jadwal Keberangkatan NO
AIRLINES
FLIGHT NO.
DEST.
STD
KETERANGAN
1.
Batik Air
ID 6375
JAKARTA
17.45
Setiap hari
2.
Batik Air
ID 6369
JAKARTA
09.45
Setiap hari
3.
Citilink
QG 105
09.40
Kamis
4.
Citilink
QG 101
DENPASAR BALI JAKARTA
13.05
Setiap hari
5.
Garuda Indonesia
GA 217
JAKARTA
20.25
6.
Lion Air
JT 565
JAKARTA
07.30
Setiap hari kecuali Rabu Setiap hari
7.
Citilink
QG 684
SURABAYA
08.35
8.
Citilink
QG 105
SURABAYA
09.40
Setiap hari kecuali jumat Kamis
9.
Sriwijaya Air
SJ 234
SURABAYA
20.10
Setiap hari
10.
Citilink
QG 9173
SURABAYA
10.30
Kamis
11.
Wings Air
IW 1844
SURABAYA
08.45
Setiap hari
12.
Lion Air
JT 274
LOMBOK
17.40
13.
Lion Air
JT 1811
BANDUNG
12.50
Setiap hari Setiap hari Setiap hari
14.
Lion Air
JT 755
BANDUNG
18.10
Setiap hari
17 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
JADWAL KERETA API Dari Stasiun Pasar Senen – Stasiun Tugu Jakarta – Yogyakarta Gajahwong (Ekonomi) Bogowonto (Ekonomi) Fajar Utama Yogya (Bisnis) Senja Utama Yogya (Bisnis) Senja Utama Solo (Bisnis)
06:45 - 14:55 21:45 - 05:47 06:15 - 14:40 19:00 - 03:16 22:00 - 05:57
Dari Stasiun Gambir – Stasiun Tugu Jakarta – Yogyakarta
Yogyakarta – Jakarta
Taksaka Pagi (Eksekutif)
08:50 16:32
Argo Dwipangga (Eksekutif)
20:57 04:28
Taksaka Malam (Eksekutif)
20:45 04:20 08:00 15:35 20:15 03:45 16:45 00:46 17:45 01:44
Taksaka Pagi (Eksekutif)
08:00 15:33 20:00 03:42 20:35 04:03 08:57 16:22 22:00 05:29
Argo Dwipangga (Eksekutif) Argo Lawu (Eksekutif) Bima (Eksekutif) Gajayana (Eksekutif)
Taksaka Malam (Eksekutif) Gajayana (Eksekutif) Argo Lawu (Eksekutif) Bima (Eksekutif)
18 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Dari stasiun Kiaracondong - stasiun Lempuyangan Bandung – Yogyakarta Kahuripan (Ekonomi) Pasundan (Ekonomi)
Yogyakarta – Bandung 20:00 04:42 05:20 14:10
Kahuripan (Ekonomi) Pasundan (Ekonomi)
18:58 03:32 14:00 23:19
Dari stasiun Surabaya Gubeng - stasiun Tugu Surabaya – Yogyakarta
Yogyakarta – Surabaya
Sancaka Pagi (Bisnis)
Sancaka Pagi (Bisnis) Sancaka Sore (Bisnis) Mutiara Selatan (Bisnis) Sancaka Pagi (Eksekutif) Sancaka Sore (Eksekutif) Bima (Eksekutif)
07:30 12:55 Sancaka Sore (Bisnis) 17:25 22:32 Mutiara Selatan 19:00 (Bisnis) 00:15 Sancaka Pagi 07:30 (Eksekutif) 12:55 Sancaka Sore 17:25 (Eksekutif) 22:32 Bima (Eksekutif) 17:00 21:45 Argo Wilis (Eksekutif) 07:00 11:15 Turangga (Eksekutif) 16:30 21:22
Argo Wilis (Eksekutif) Turangga (Eksekutif)
06:45 11:40 16:30 21:51 00:48 05:31 06:45 11:40 16:30 21:51 01:05 05:48 16:02 20:19 03:32 08:12
19 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
DAFTAR RUMAH SAKIT DI YOGYAKARTA No.
RumahSakit
Alamat
No.Telp.
1.
RS Jogja International Hospital
Jl. Ring Road Utara No. 160, Condong Catur Kota Yogyakarta - DI Yogyakarta
Telp: 0274 4463535 Fax: 0274 4463444
2.
RS TNI AU Dr. S. Hardjolukito
Telp: 0274 7172226
3.
RS Bethesda
Jl. Raya Janti Yogyakarta Kota Yogyakarta - DI Yogyakarta Jl. Jend. Sudirman No 70 Kota Yogyakarta - DI Yogyakarta
4.
RS Dr. Sardjito
Jl. Kesehatan, No.1, Sekip Kota Yogyakarta - DI Yogyakarta
5.
RS Khusus Bedah Soedirman
6.
RS Ludira Husada Tama
7.
RS Mata Dr. Yap
Jl. Sidobali UH II/402 MujaMuju Kota Yogyakarta - DI Yogyakarta Jl. Wiratama No. 4 Tegalrejo Kota Yogyakarta DI Yogyakarta Jl. Cik Ditiro No. 5 Kota Yogyakarta - DI Yogyakarta
8.
RSUD Panembahan Senopati
Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo 14 Kab. Bantul - DI Yogyakarta
Telp: 0274 586688 Fax: 0274 563312 Telp: 0274 587333 Fax: 0274 565639 Telp: 0274 512683 Telp: 0274 620333 Fax: 0274 589087 Telp: 0274 562054 Telp: 0274 367381 Fax: 0274 367506
20 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
No.
RumahSakit
Alamat
No.Telp.
9.
RS PKU Muhammadiyah Ahmad Dahlan
Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 20 Kota Yogyakarta - DI Yogyakarta
Telp: 0274 512653 Fax: 0274 566129
10.
RS DKT Dr. Soetarto
11.
RS Panti Rapih
Jl. Juwadi No. 19 Kotabaru Kota Yogyakarta - DI Yogyakarta Jl. Cik Ditiro 30, Kota Yogyakarta - DI Yogyakarta
Telp: (0274) 566596 Fax: (0274) 555402 Telp: 0274 514845
12.
RSUD Wates
13.
RSU Wonosari
14.
RSUD Wirosaban
Jl. Tentara Pelajar KM 1 Kab. Kulon Progo - DI Yogyakarta Jl. Taman Bhakti No 6 Kab. Gunung Kidul - DI Yogyakarta Jl. Wirosaban No. 1 Kota Yogyakarta – DI Yogyakarta
Telp: 0274 5773169 Fax: 0274 773092 Telp: 0274 391007 Fax: 0274 393437 Telp: 0274 371195, Fax: 0274 385769
DAFTAR TAKSI DI YOGYAKARTA No 1. 2.
Taksi Pataga Taxi(PATAGA TAKSI) PT. Arga Surya Alam Perkasa (ASA TAKSI)
No.Telp. Telp: (0274) 384384 Telp: (0274) 545545, (0274) 554525, (0274) 554526 , (0274) 554527, (0274) 55452 8
21 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
No 3.
Taksi PT. Centris Raya Taxi Transportasi (CENTRIS TAKSI) Indra Kelana Taksi (Indra Kelana Taksi) Pandawa Taxi (PANDAWA TAKSI) Rajawali Taxi (Rajawali Taksi/Primkopau)
No.Telp. Telp: (0274) 512548
7.
Ria Taksi (Ria Taksi)
Telp: (0274) 621333
8.
Sadewo Taksi (Sadewa Taksi)
Telp: (0274) 382262
9.
Setia Kawan Taksi (Taksi Setia Kawan)
Telp: (0272) 522333
10.
Vetri Taksi Puskoveri DIY (Taksi Vetri)
Telp: (0274) 563551
11.
PT. PS Armada Tambayo Kokasindo (Taksi PS. Armada,Taksi Tambayo,Taksi Kokasindo)
Telp: (0274) 512787
12.
Primkopad/Primkopol (Primkopad Taksi,Primkopol Taksi)
Telp: (0274) 621005
13.
Jari Alam Sutera (Jas Taxi,Citra Taxi)
Telp: (0274) 373737
14.
Prima Taksi Motor
Telp: (0274) 8252525
15.
O’jack Taxi Motor
Telp: (0274) 9707707
4. 5. 6.
Telp: (0274) 565565 Telp: (0274) 370000, (0274) 447231 Telp: (0274) 487676, (0274) 512976
22 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
DAFTAR SEWA MOBIL DI YOGYAKARTA No. Travel 1. Sabila Transport
2.
Protect Transport
3.
Njogja Tours And Transport
4.
Kabul Transport
5.
CV. JOGJA EMPAT RODA
6.
KURUMA Rental Mobil Jogja
7.
Yusi Trans
8.
Wijaya Transport
9.
Sriwijaya Transport
10.
Pondok Transport
No.Telp. Telp : (0274) 4340640, 081227722211, 081903785511, PIN BB : 5BC71B24 Telp : 0274 8230202, 0878 431 000 20, Pin BB: 24F1CA93 Telp : +0857-2683-3363, +02748090-410 PIN BB :5A7D51F4 dan 5809A05F Telp : 087831000081, 081212111181 PIN BB : 2C08C65E, 574456BD Telp : 0819 1555 0847, 0812 2794 4404, 0851 0604 2220 Email :
[email protected] PIN BB : 7961C28C Telp : 0812-2884-7289 / 0857-43116403 / 0877-4207-4433 Telp : +62 8132 8388 550, +62 857 0120 6000, PIN BB : 5A2EB771 Telp : +62 815 7806 0065, +62 878 3925 3369, PIN BB: 28C38BE7 Telp : +62 813 2606 1001 Telp : (0274) 377 052, +62 812 295 3920, +62 815 798 4143
23 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
No. Travel 11. Nice Tour
No.Telp. Telp : +62 822 2072 5000, +62 878 6005 0006, +62 856 0772 5000 Telp : +62 817 545 0655, +62 812 2949 2343 PIN BB 559EE5BF Telp : +62 812 2661 2655, +62 851 0261 3727, PIN BB 2BE32A63 Telp : +62 812 2735 1415, +62 878 3890 0300, PIN BB: 53975F14 Telp : +62 812 2681 1178, +62 856 4846 4362, PIN BB: 555644AB Telp : +62 813 2956 6659, +62 878 9161 0001, PIN BB: 27865840
12.
Enny Cipta Mandiri
13.
Duta Transport
14.
Ayu Media Trans
15.
Anindya Excellent Transport
16.
Aisyah Delight Transport
17.
Ada Kawan Transport
Telp : +62 812 273 0707, +62 878 3986 0101, PIN BB: 5ECCA9E9
18.
Absolute Transport
Telp : +62 819 3118 8345, +62 813 2661 2236, PIN BB: 56FF3650
19.
Abah Transport
Telp : +62 812 2561 7511, +62 819 0371 9091, PIN BB: 2121B18B
24 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
No. Travel 20. 88 Bintang Transport
No.Telp. Telp : +62 851 0123 7717, +62 878 3903 5758
21.
57 Car Rental
Telp : +62 812 2726 3190, +62 878 3996 2457, PIN BB: 2378FF4C
22.
24 Transport
Telp : +62 877 3940 4222, +62 812 2650 2004, PIN BB: 3277F078
25 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
DAFTAR HOTEL DI YOGYAKARTA 1.
Hotel Tentrem Yogyakarta (5 Stars)
Jl. A.M. Sangaji 72A, Sinduadi, Yogyakarta 55233 Telp. (0274) 641 5555 Fax. (0274) 641 5588 Email:
[email protected]
2.
Melia Purosani Hotel Yogyakarta (5 Stars)
Jl. Suryotomo No. 31, Kota Yogyakarta, Yogyakarta 55122 Telp. (0274) 589521
3.
Grand Aston Yogyakarta (5 Stars)
Jl. Urip Sumoharjo No. 37, Sagan, Yogyakarta Telp. (0274) 566 999 Info@grandastonyogyakart a.com
26 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
4.
The Phonix Hotel
Jl. Jend. Sudirman No. 9 Yogyakarta Tel. (+62)274/566617 Fax. (+62)274/566856
[email protected] m
5.
Inna Garuda Hotel(4 Stars)
Jl. Malioboro No. 60, Suryatmajan, Danurejan, Kota Yogyakarta. Phone : +62 274 566353 Fax : +62 274 563074 Email :
[email protected]
6.
Horison Ultima Riss (4 Stars)
Jl. Gowongan Kidul No. 33 49, Gedongtengen, Daerah Istimewa Yogyakarta. Phone : +62 274 – 6429 155(Hunting) Fax : +62 274 - 551 166
7.
Harper Mangkubumi (4 Stars)
Alamat:Jl. Mangkubumi No. 52, Yogyakarta. Telp :+62274 - 2920008 Fax :+62274 - 2920009 Email : Mangkubumiinfo@harperh otel.com
27 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
8.
THE 1O1 Yogyakarta Tugu Hotel (4 Stars)
Jl. Margoutomo No. 103 (Mangkubumi), Tugu Jogja, Yogyakarta 55232 Telp.+62 274 2920 101 Telp.+62 274 2921 101 Email: reservation.tugu@the101h otels.com Jl. Jend. Sudirman No.89, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tel (+62)274/580930 Fax (+62)274/521170 Email
[email protected]
9.
Novotel Yogyakarta Hotel (4 Stars)
10.
Jambuluwuk Malioboro Boutique Hotel (4 Stars)
Jl. Gajah Mada No. 67, Pakualaman, Yogyakarta Telp. (0274) 585655
11.
Hotel Santika Premiere Jogja (4 Stars)
JI. Jendral Sudirman No. 19,Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta55233 Telp. (0274) 563036, 562743 Fax. (0274) 563669 Email:
[email protected]
28 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
m reservation@jogjapremiere. santika.com
[email protected] antika.com 12.
Dafam Fortuna (3 Stars)
Dagen Malioboro No.60, Daerah Istimewa Yogyakarta. Telp : +62 274 6429 888 Fax : +62 274 580 346 info : @dafamfortunamalioboro.com
13.
Grage Ramayana Yogya Hotel (3 Stars)
Jl. Sosrowijayan No.242, Malioboro, Yogyakarta 55271 Telp. : +62 274 – 560 125, 545 076, 584 719 Fax : +62 274 – 584 759 Email :
[email protected]
29 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
14.
Hotel Ibis Malioboro (3 Stars)
Jalan Malioboro No 52-58, Kota Yogyakarta, Yogyakarta 55001 Telp. (0274) 516974 Fax. (0274) 516977 Email:
[email protected]
15.
Hotel Arjuna
16.
Neo Maliboro
Jl. Margo Utomo / P. Mangkubumi no 44 Yogyakarta, INDONESIA Phone : (+62 274 513 063) (+62 274 44 69 444) - Pin BB:2A0260E6 - Fax : +62 274 561 862 - Email :
[email protected] [email protected] m Jl. Pasar Kembang No. 21, Sosromenduran, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta Phone:(0274) 511999
30 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
17.
Jentra Dagen
Jl. Dagen 85 Malioboro Yogyakarta Phone : +62 274 580 789 Fax : +62 274 580 199 E-mail : reservation@hoteljentrada gen.com
18.
Amaris Maliboro
Jalan Dagen No. 10, Sosromenduran, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta Phone:(0274) 2921999
20.
Hotel Mutiara
Jl. Malioboro No. 18, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia Telepon:+62 274 560250
31 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
21.
Whiz Hotel Dagen
Jalan Dagen 8, Malioboro, Yogyakarta, Indonesia Telp : +62 274 583 328 Email : reservation.yogyakarta@w hizhotels.com
32 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
SEJARAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
1.
Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) a. Sekilas Tentang Pangeran Mangkubumi Nama kecil Pangeran Mangubumi adalah BRM Sujono, putera Sunan Amangkurat IV (Jawi) dengan BMA Tejawati. Saudara seayahnya antara lain BRM Damar (Pangeran Aryo Mangkunegoro, ayah dari RM Said yang kemudian menjadi Sambernyowo/ KGPAA Mangkunegoro I) GRM Proboyoso, yang kemudian menjadi Sunan Paku Buwono II). b. Melemahnya Kerajaan Mataram Islam Pada zaman Kerajaan Mataram diperintah oleh Sultan Agung, memiliki kekuatan yang disegani oleh Belanda, bahkan Mataram pernah menyerang jantung kekuasaan VOC di Batavia, pada penyerangan itu Gubernur Jendral JP Coen pun tewas (1629). Namun, setelah Sultan Agung wafat, digantikan oleh Sunan Amangkurat I, Belanda mulai mengadakan pendekatan dan memainkan peranannya untuk campur tangan terhadap Mataram. Semakin merajalelanya kekuasaan VOC terutama di Kerajaan Mataram terlihat dengan jelas sejak pemerintahan Paku Buwono II. Dengan ditandatanganinya Perjanjian No. 112 antara Paku Buwono II dengan VOC, maka dimulailah era ikut campur tangan VOC masalah politik di Kerajaan Mataram walaupun belum mendalam. Lemahnya pemerintahan Sunan Paku Buwono II ini kemudian memunculkan beberapa pemberontakan, antara lain Pemberontakan Martopuro yang mendapat dukungan RM Said (Putera P. Ario Mangkunegara), karena rekayasa VOC sehingga 33 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
ayahnya diasingkan ke Ceylon, dan yang dinobatkan sebagai raja adalah GRM Proboyoso sebagai Sunan Paku Buwono II. Selain itu pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia yang kemudian menyebar sampai ke wilayah Jawa bagian tengah. Orang-orang Tionghoa berhasil mendapatkan “kemenangan” di sepanjang pesisir utara, mulai dari Rembang dan akhirnya pada tahun 1742 menggempur Kartasura, ibu kota Mataram pada waktu itu. Karena lemahnya pertahanan Kartasura secara internal yang disebabkan oleh perlawanan RM Said dan pendukungnya, maka jatuhlah Kartasura. Pada mulanya, Paku Buwono II (PB II) mendukung pemberontakan Pacino tersebut. Namun ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Paku B II pun berubah pikiran dan karena pihak Kartasura dianggap memihak VOC maka istana Kartasura akhirnya diserbu kaum pemberontak. Paku Buwono II dengan “penasehatnya” Van Hohendorff (wakil Gubernur Jenderal van Imhoff, yang ditempatkan di Semarang), dapat menyelamatkan diri ke Ponorogo. Sehubungan dengan permasalahan ini, Paku Buwono II meminta pertolongan kepada VOC untuk merebut kembali ibu kota Mataram. VOC berhasil merebut kembali Kartasura sesuai dengan permintaan Paku Buwono II. Sepintas keberhasilan menumpas pemberontakan orang-orang Tionghoa ini merupakan kemenangan Mataram, namun dibalik itu hal inilah yang kemudian menjadi titik balik ketika VOC semakin menancapkan kuku intervensinya terhadap kekuasaan Mataram di Jawa.
34 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Kemenangan tentara Mataram yang dibantu oleh VOC ini kemudian menyebabkan lahirnya sebuah perjanjian baru antara Kerajaan Mataram dengan VOC yang dikenal dengan Perjanjian Ponorogo pada tahun 1743.1 Jika pada perjanjian sebelumnya aspek politik VOC belum begitu kental namun dalam Perjanjian Ponorogo VOC benar-benar “berhasil menguasai” Kerajaan Mataram. Dalam perjanjian ini berisi poin-poin yang sangat melemahkan posisi Kerajaan Mataram sebagai penguasa Jawa pada saat itu, antara lain: 1.
2. 3. 4. 5.
Dalam pengangkatan Patih (Rijkbestuurder), calon-calon yang akan diangkat oleh Susuhunan, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan VOC. Poin pertama juga berlaku dalam hal pengangkatan Bupati-bupati Pasisiran. Rakyat Mataram tidak diperbolehkan membuat perahu. Pelayaran di seluruh Nusantara menjadi monopoli VOC. Perdagangan seluruh Nusantara dikuasai oleh VOC.
Menilik isinya Perjanjian Ponorogo ini lebih tepat jika disebut sebagai Kontrak Politik antara Paku Buwono II dengan VOC. Dikarenakan rasa kegirangannya yang berlebihan atas keberhasilan direbutnya kembali Kartasura dari tangan pemberontak Pacina, Paku Buwono II tanpa meminta pertimbangan dan nasehat dari para Nayaka dan bangsawan Mataram lainnya, termasuk Pangeran Mangkubumi, menerima dan menandatangani Kontrak Politik yang disodorkan oleh Van 1
Panitya Peringatan, Kota Yogyakarta 200 Tahun, 7 Oktober 1756-7Oktober 1956 (Jogjakarta: 1956), hlm. 8.
35 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Hohendorff. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Ponorogo ini maka mulailah terjadi kegoncangan didalam kalangan keluarga Kraton Kartasura, terutama mereka yang sejak awal sudah tidak percaya dan benci terhadap cara-cara VOC “merebut kekuasaan” Mataram sedikit demi sedikit. Salah seorang keluarga Kraton Kartasura yang sakit hati dan membenci atas keadaan Mataram yang semakin melemah dihadapan VOC adalah Pangeran Mangkubumi termasuk para Pujangga yang pada waktu itu berkedudukan sebagai Parampara (penasehat) politik negara. Pemberontakan Pacina telah mengakibatkan kerusakan yang parah di ibu kota Kartasura, dan Kraton kemudian dianggap sudah tidak suci lagi karena telah diinjak-injak oleh para pemberontak. Oleh karena itu atas persetujuan para nayaka, Paku Buwono II berkenan memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram dari Kartasura ke Surakarta. Pemindahan ibu kota ini diperingati dengan Candra Sengkala Nirsapa Obahing Rat atau 1670. c. Munculnya Perlawanan Pangeran Mangkubumi Kericuhan dan kekeruhan politik yang terjadi di kalangan keluarga kraton pada waktu itu semakin memperparah kondisi Kerajaan Mataram, karena di luar Kraton “perlawanan” Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang dibantu oleh Bupati Grobogan (KRT Martopuro) semakin meluas. Perlawanan RM Said juga didasari atas ketidakrelaannya akan kondisi Kerajaan Mataram yang semakin diintervensi oleh VOC dari waktu ke waktu. Kondisi ini menyebabkan Paku Buwono II merasa khawatir akan keselamatan Kerajaan Mataram. Kekhawatiran 36 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Paku Buwono II sudah mencapai puncaknya dan hampir menjadikannya putus asa menghadapi Raden Mas Said. Oleh karena itulah untuk mengatasi pemberontakan Raden Mas Said kemudian dibuat sayembara, kepada siapa saja yang sanggup mengatasi pemberontakan RM Said sebagai hadiahnya akan diberi Tanah Sukowati seluas 3.000 cacah. Merespon sayembara yang dikeluarkan oleh Paku Buwono II, Pangeran Mangkubumi berangkat ke Sukowati untuk menyelamatkan Kerajaan Mataram karena pemberontakan yang dilancarkan oleh RM Said dan Martopuro. Akhirnya pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1746, namun kedua pemimpinnya berhasil meloloskan diri. Dengan melihat kecakapan dan keberanian Pangeran Mangkubumi dalam memimpin pasukan memadamkan pemberontakan di Sukowati serta pengaruhnya terhadap Paku Buwono II, Patih Pringgalaya (ipar Pangeran Mangkubumi dan dekat dengan Kompeni) berusaha membujuk Paku Buwono II agar hadiah yang dijanjikan dalam sayembara yang menjadi hak Pangeran Mangkubumi dibatalkan, dengan alasan kedua pemimpin pemberontak, RM Said dan Martopuro, tidak dapat ditangkap atau dibunuh. Pendapat ini sengaja dikemukakan Patih Pringgalaya kepada Paku Buwono II pada hakekatnya adalah kekhawatiran VOC jika wilayah Sukowati diberikan kepada Pangeran Mangkubumi maka pengaruh kekuasaannya dapat membahayakan kedudukan VOC di Kerajaan Mataram. Di tengah kondisi kesehatan yang melemah, Paku Buwono II akhirnya menerima usul Patih Pringgalaya untuk 37 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
membatalkan hadiah yang sudah dijanjikan kepada Pangeran Mangkubumi. Kekisruhan yang terjadi dalam internal keluarga Kraton ini semakin menjadi dengan kedatangan Baron van Imhoff (gubernur jenderal VOC)yang mendesak Paku Buwono II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga ƒ 20.000 untuk melunasi hutang Kraton terhadap Belanda. Pangeran Mangkubumi yang sudah sejak lama tidak suka terhadap VOC menentang permintaan van Imhoff ini. Akibatnya, dalam pertemuan itu terjadilah pertengkaran antara van Imhoff dengan Pangeran Mangkubumi dandalam pertengkaran itu van Imhoff menghina Pangeran Mangkubumi di depan umum.2 Pembatalan pemberian tanah di Sukowati dan rasa tidak terima karena telah dihina oleh van Imhoff di muka umum itu menyebabkan Pangeran Mangkubumi akhirnya bersama dengan Pangeran Hadiwijoyo, Pangeran Wijil II, Pangeran Krapyak, dan beberapa bangsawan lainnya yang juga merasa segala kekacauan yang terjadi di Mataram adalah berasal dari usaha-usaha VOC dan orang-orangnya yang ada di dalam pemerintahan, maka pada tanggal 19 Mei 1746 dengan diamdiam meninggalkan Surakarta dan menggabungkan diri dengan RM Said sebagai pemberontak. Sebagai ikatan gabungan Pangeran Mangkubumi mengawinkan RM Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.
2
M.C. Ricklefs, War, Culture and Economy in Java, 1677-1792: A History of the Devision of Java. (London: Oxford University Press, 1993), hlm. 48.
38 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Sebab lain yang mendorong Pangeran Mangkubumi dan para pendukungnya meninggalkan Surakarta adalah karena sudah merasa tidak tahan lagi melihat perkembangan dan semakin meluasnya kekuasaan VOC sehubungan dengan ditandatanganinya perjanjian terbaru antara Paku Buwono II dan VOC pada tanggal 18 Mei 1746. Dalam perjanjian itu antara lain diatur bahwa Pulau Madura seluruhnya, dan Pesisir Utara, sejak saat itu menjadi milik VOC. Artinya dengan perjanjian baru ini Kerajaan Mataram kehilangan wilayah kekuasaan di pesisir utara dan seluruh Pulau Madura. Selain itu, Paku Buwono II juga bersedia memberikan bantuan sekuat tenaga jika diminta oleh VOC untuk menindas segala anasir-anasir dalam Kerajaan Mataram yang bisa merugikan VOC. Dengan diakomodasinya permintaan VOC oleh Paku Buwono II dalam perjanjian ini, Pangeran Mangkubumi dan pendukungnya menilai bahwa kekuasaan dan pengaruh VOC akan berlanjut terus pada masa mendatang. Oleh karena itu satu-satunya cara untuk menghentikan nafsu kekuasaan VOC ini adalah dengan mengangkat senjata. Niat itu dibuktikan oleh Pangeran Mangkubumi karena sehari setelah perjanjian itu ditandatangani, beliau dan pendukungnya meninggalkan Surakarta. Terdapat perbedaan yang signifikan diantara sumbersumber sejarah yang ditulis oleh orang asing dan sumber sejarah lokal seperti Tambo Pagedongan (Tambo Cebolek) yang tersimpan didalam Kraton Surakarta maupun dalam Serat Kuntharatama mengenai perlawanan Pangeran Mangkubumi ini. Dalam sumber-sumber asing digambarkan bahwa 39 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
perlawanan Pangeran Mangkubumi hanya disebabkan oleh rasa sakit hatinya dan akan membalas dendam dengan jalan merebut kekuasaan Mataram dari tangan Paku Buwono II. Namun menurut sumber-sumber lokal itu perlawanan Pangeran Mangkubumi sesungguhnya atas persetujuan Paku Buwono II, bahkan ketika beliau akan meninggalkan Surakarta, telah meminta izin dan oleh Paku Buwono II diberi bekal uang beberapa ribu real. Oleh karena itu, nama dan kehormatan Pangeran Mangkubumi dalam pandangan para bangsawan di Kraton Surakarta tetap terpelihara bahkan dipuji, walaupun secara kasat mata melakukan perlawanan terhadap Mataram.3 Oleh karena itu dalam perspektif ini dapat ditarik benang merah bahwa peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan pendukungnya itu pada hakekatnya bukannya memberontak kepada Mataram melainkan melawan penindasan dan kekuasaan VOC, atau minimal berusaha membatasinya pengaruhnya terhadap Kerajaan Mataram. Setelah Pangeran Mangkubumi bergabung dengan RM Said melakukan pemberontakan, keadaan Kerajaan Mataram semakin melemah. Dengan cepat daerah-daerah pesisir yang ada di sekeliling Surakarta dapat dikuasai oleh pemberontak. Perlawanan kaum pemberontak terhadap Mataram dapat dibagi sebagai berikut:
3
GPH. Buminata, Serat Kuntharatama, (Yogyakarta: Mahadewa, 1958), hlm . 12.
40 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
1. 2. 3.
4.
Daerah Sukowati ke selatan, dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi sendiri. Daerah Grobogan ke selatan sampai Boyolali utara dipimpin oleh RM Said dan Pangeran Martapura. Daerah Grobogan ke selatan sampai Semarang selatan, Ambarawa, Salatiga selatan dipimpin oleh Pangeran Wijil dan Pangeran Krapyak. Daerah Kedu utara dan selatan dipimpin oleh Pangeran Hadiwijoyo.
Dengan formasi seperti itu maka ibu kota Kerajaan Mataram yang berada di Surakarta telah dikurung dari tiga penjuru dan makin lama kekuatan Mataram semakin terdesak oleh gerakan pasukan pemberontak. Perang antara Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwono II yang didukung VOC dalam berbagai referensi sering disebut sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Pangeran Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit. Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan.4 Kondisi fisik Sunan Paku Buwono II kian memburuk dan kedudukannya semakin terjepit. Sebaliknya perlawanan Pangeran Mangkubumi semakin mendapatkan dukungan yang luas. Dalam situasi yang seperti itu, beberapa tokoh di sekitar Pangeran Mangkubumi mendesaknya untuk mempermaklumkan diri sebagai raja atas negeri Mataram yang berdaulat. Ketika tersiar kabar di akhir tahun 1749 bahwa 4
M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749 – 1792. (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 70-71.
41 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
kondisi kesehatan Sunan Paku Buwono IIsemakin kritis, RM Said mendesak Pangeran Mangkubumi untuk segera menobatkan diri sebagai pewaris tahta Mataram. Sementara di dalam Kraton Surakarta, dalam keadaan sakit keras, dan saat-saat mendekati mangkatnya, van Hohendorff berhasil memaksa Paku Buwono II untuk membubuhkan tanda tangannya pada sebuah surat perjanjian pada 11 Desember 1749 yang kurang lebih isinya sebagai berikut5: “Penyerahan Negara Mataram seluruhnya kepada VOC, hanya dengan syarat keturunan Baginda yang memang berhak naik tahta Kerajaan, turun temurun, akan dinobatkan menjadi Raja di Mataram oleh VOC, kepadanya akan diberi pinjaman Negara Mataram”. Tentang penyerahan ini ada berbagai interpretasi, yaitu hanya dititipkan, tanda tangan Sunan Paku Buwono II itu tidak sah karena sudah lengser lebih dahulu, atau tidak benar, karena dalam keadaan tidak sadar penuh. Dengan terlaksananya perjanjian tanggal 11 Desember 1749 itu maka dapat dikatakan tamatlah kekuasaan Kerajaan Mataram, karena meskipun selanjutnya masih disebut-sebut dalam sejarah, namun tinggal nama saja sebab baik secara de jure maupun de facto, sejak terjadinya perjanjian itu Kerajaan Mataram sudah berada dalam genggaman VOC. Berita 5
M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749 – 1792. hlm. 79.
42 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
penyerahan Kerajaan Mataram kepada VOC ini akhirnya sampai ke telinga Pangeran Mangkubumi dan pendukungnya, maka semangat perlawanan untuk mengusir VOC dari tanah Jawa semakin berkobar. Hanya dengan jalan inilah Kerajaan Mataram bisa ditolong dan direbut kembali dari tangan orang asing. Namun sebelum perlawanan ini berhasil, Paku Buwono II turun tahta dan memilih menjadi begawan dengan gelar Kiai Ageng Mataram. Maksud utamanya adalah untuk mempercepat dinobatkannya putera mahkota. Turun tahtanya Paku Buwono II itu diperingati dengan Candra Sengkala Gating sang sabda raswandi = 1675. Setelah mendengar kabar penyerahan Negara Mataram kepada VOC tersebut dan kemudian mempertimbangkan berbagai hal dengan seksama, akhirnya di Desa Kabanaran pada hari Jumat Legi tanggal 1 Suro tahun Alip 1675 dengan candrasengkala Marganing Swara Retuning Bumi atau tanggal 11 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi bersedia dipermaklumkan sebagai raja Mataram oleh para pendukungnya dengan gelar Sampeyan Dalem Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Sementara RM Said diangkat menjadi patihnya.6 Perang kembali berlangsung dengan lebih hebat pada tahun 1750. Mas Said yang menjabat sebagai Patih Pangeran 6
Revianto Budi Santoso, et al., Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta (Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2008), hlm. 46.
43 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Mangkubumi menyerang Surakarta lagi dan menimbulkan kerugian yang besar di pihak VOC (Kompeni). Kompeni beranggapan bahwa suksesi Paku Buwono III akan meredam api pemberontakan ternyata keliru besar. Pasukan Kompeni pada waktu itu menghadapi prajurit pemberontak yang jumlahnya mencapai 60.000 orang, sementara kekuatan Kompeni semakin melemah karena “digerogoti” oleh taktik perang gerilya dan wabah penyakit tropis. Pada tahun 1752, Pangeran Mangkubumi sekali lagi berhasil masuk ke wilayahwilayah Kompeni di pasisir. Setelah penobatan Paku Buwono III makin banyak pihak, terutama para bupati Mancanegara, seperti Tumenggung Prawirasentika dari Madiun, Tumenggung Yudanegara dari Banyumas. Persekutuan ini meluas bahkan sampai menjangkau pasukan-pasukan yang berasal dari luar Jawa. Hal ini tampak pada serangan pasukan Pangeran Mangkubumi terhadap Pekalongan pada tanggal 20 Maret 1752. Dalam peperangan ini banyak pasukan musuh yang menyerah dan menyatakan bergabung dengan Pangeran Mangkubumi, yakni Kapten Juwana orang Bugis, lengkap dengan prajurit Bugis, Galengsong dan Kraeng Daeng dari Makassar dan Ternate. Pasukan inilah yang nanti menjadi cikal bakal Korps Prajurit Kraton Yogyakarta. Antara tahun 1750-1754 peperangan yang melibatkan satu trah ini berkecamuk hebat namun tidak satu pihak pun yang mendapatkan kemenangan akhir. Kedua belah pihak mulai menarik kesimpulan bahwa kemenangan semacam itu tidak mungkin didapatkan oleh satu pihak sampai kapanpun. 44 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Kompeni dapat mempertahankan Paku Buwono III tetapi tidak mampu menundukkan kerajaan untuknya. Sementara dari pihak pemberontak yang berhasil mendapatkan kemenangan beberapa kali namun mereka tidak dapat menyingkirkan Raja dari Surakarta. d. Perjanjian Giyanti dan Lahirnya Yogyakarta Kelemahannya Mataram (dengan bantuan VOC) dalam menghadapi perlawanan Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya mulai dirasakan oleh VOC. VOC mulai menyadari bahwa melemahkan dan mengalahkan Susuhunan Kabanaran dengan senjata sulit dilakukan. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, kekuatan kelompok pemberontak semakin lama semakin bertambah besar dan kuat karena mendapat kepercayaan dari rakyat. Dilatarbelakangi oleh kondisi lapangan dan pemikiran itu, VOC kemudian usul kepada Paku Buwono III di Kraton Surakarta untuk menghentikan “perang saudara” ini, dengan alasan peperangan yang berlangsung sampai waktu itu telah mengakibatkan kerusakan dan penderitaan rakyat yang luar biasa. Oleh karena itulah Kompeni mulai berusaha melakukan kontak-kontak awal dengan pemberontak ditandai dengan adanya perundingan-perundingan antara von Hahendorff dengan Mas Said pada bulan Oktober 1752. Sedangkan kebencian pribadi Pangeran Mangkubumi kepada von Hahendorff telah menyebabkan kurangnya kontak diantara keduanya. Pada tahun 1752 terjadi perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said. Perselisihan ini berfokus pada ketakutan Pangeran Mangkubumi kehilangan 45 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
kekuasaannya atas pasukan-pasukan pemberontak. Sementara itu kedudukan Paku Buwono III di Kraton Surakarta semakin melemah seiring dengan semakin banyaknya pejabat yang menghilang dari Kraton untuk bergabung dengan pemberontak. Puncaknya terjadi ketika Putra Mahkota, Pangeran Buminata, sendiri akhirnya bergabung dengan Mas Said pada tahun 1753. Von Hohendorff memberi tahu kepada Batavia bahwa dia tidak tahu “bagaimana pemerintahan raja yang malang dan memelas ini bisa dipertahankan lebih lama lagi”. Batavia mengusulkan agar Mas Said ditawari posisi menjadi Putera Mahkota namun ditolak oleh Mas Said karena dia hanya mau menjadi Susuhunan. Akhirnya pada titik ini von Hohendorff menyadari bahwa keterlibatannya yang lama dalam masalahmasalah Jawa, serta kebencian sengit Pangeran Mangkubumi kepadanya, menyebabkan tidak mungkinnya dilakukan perundingan-perundingan. Oleh karena itu, von Hohendorff meminta mundur dari jabatannya dan pada bulan April 1754 digantikan oleh Nicolaas Hartingh sebagai Gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Seorang perantara penting dalam kontak antara Hartingh dan Pangeran Mangkubumi adalah Syekh Ibrahim, yang juga disebut Tuwan Sayid Besar atau Sarip Besar. Naskahnaskah Jawa menyebut dia sebagai seorang saudagar Turki yang dikirim oleh Kompeni untuk menenangkan hati Pangeran Mangkubumi, atau seorang Arab dari Sultan Rum (Turki) dengan wewenang memberi pengadilan atas perselisihan di Jawa. 46 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Pada bulan April 1754, Pangeran Mangkubumi memberi tahu Hartingh melalui Syekh Ibrahim, bahwa leluhurnya telah berkuasa atas seluruh Jawa tetapi dia akan puas jika Kompeni memberinya gelar Sultan Mataram dan memberinya penghasilan yang memadai. Paku Buwono III boleh tetap di Surakarta dan Pangeran Mangkubumi akan mengizinkan Kompeni mempertahankan pesisir dan akan membantu Belanda melawan Mas Said. Kompeni yang sudah hampir putus asa menghadapi perlawanan Pangeran Mangkubumi memikirkan “persyaratan damai” yang diajukan oleh Pangeran Mangkubumi. 7 Mengenai gelar “Sultan”, Hartingh tampaknya tidak keberatan yang akhirnya memberi kesan bahwa “sultan” adalah gelar yang sesuai untuk raja di sebuah kerajaan yang terbagi. Mengenai wilayah kekuasaan, Pangeran Mangkubumi meminta separuh wilayah Paku Buwono, tetapi menolak usulan Kompeni bahwa dia harus memerintah di wilayah Jawa bagian timur. Tuntutan ketiga adalah Pangeran Mangkubumi juga mengajukan tentang siapa yang akan menggantikan Paku Buwono III di Surakarta, karena dia berharap akan jaminan bahwa posisi Susuhunan akan jatuh ke tangan keturunannya. Akhirnya Gubernur Hartingh berusaha menemui Pangeran Mangkubumi dengan perantaraan Syekh Ibrahim atau Tuan Sarip Besar dari Turki. Pertemuan antara Pangeran
7
M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749 – 1792. hlm. 80.
47 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Mangkubumi dengan Hartingh berhasil terjadi pada hari Ahad tanggal 22 September 1754 di Desa Pedagangan, Grobogan. Menurut Register Harian Hartingh disebutkan bahwa kedatangan Hartingh bersama Kapten Donkel, dijemput oleh Pangeran Adipati Anom, Tumenggung Rangga, dan Tumenggung Mandaraka yang dikawal oleh 200 prajurit, dihantarkan menuju Pesanggrahan Pangeran Mangkubumi (dijaga 7000 prajurit). Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Adipati Anom, Pangeran Hangabehi, Pangeran Natakusuma, juga para tumenggung antara lain Alap-alap, Rangga, Mandaraka, dan Brajamusti. Hartingh mengajak Pangeran Mangkubumi untuk menghilangkan saling curiga dan mengajak untuk berunding untuk mencapai persetujuan bersama. Selanjutnya diadakan pertemuan terbatas, Pangeran Mangkubumi didampingi Natakusuma dan Tumenggung Ronggo, sedangkan Hartingh didampingi oleh Breton, Kapten van Donkel dan sekretaris Fockens, adapun Pendeta Bastani jadi juru bahasanya. Pembicaraan awal mengenai pembagian Mataram menjadi dua bagian, dalam hal ini Hartingh merasa keberatan. Oleh karena belum ada kesepakatan, dan masih saling curiga, maka perundingan ditunda esok harinya (23 September 1754). Untuk menghilangkan saling curiga mencari jalan yang baik, maka keduanya bersumpah kepada Tuhan untuk mencari jalan yang terbaik. Pada keesokan harinya perundingan dibuka kembali dan berjalan lancar, sehingga tercapai persetujuan antara lain :
48 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
1. 2. 3. 4.
5.
6.
Pangeran Mangkubumi mendapatkan separuh dari kerajaan Mataram. Lokasi wilayah pemerintahan Pangeran Mangkubumi di Bumi Mataram. Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan Daerah Pesisiran yang telah diserahkan oleh raja-raja Mataram terdahulu pada kompeni, tetap dikuasai oleh kompeni. Ganti kerugian sebanyak 20.000 real dari kompeni yang diterima oleh raja-raja Mataram terdahulu terhadap ganti rugi daerah pesisir itu, separo diberikan pada Pangeran Mangkubumi setiap tahunnya (10.000 real/tahun). Separuh dari pusaka-pusaka kraton Mataram diberikan pada Pangeran Mangkubumi.
Setelah perundingan itu, hasilnya dilaporkan pada Gubernur Jendral Mossel, kemudian oleh Mossel disampaikan melalui surat kepada Sunan Paku Buwono III, dan Sunan PakuBuwono III pun setuju usul untuk menyerahkan separuh Kerajaan Mataram kepada Pangeran Mangkubumi. Dengan demikian, maka disusunlah Naskah Perjanjian Giyanti, yang ditandatanganipada Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakir 1681 atau 13 Februari 1755 di Desa Giyanti (sekarang lokasinya di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, tenggara Karanganyar). Dalam Perjanjian Giyanti yang turut serta menandatangani dari pihak P. Mangkubumi adalah: 1). Pangeran Harya Hamangkunagara Mataram, 2). Pangeran Ngabehi Lering Pasar, 3). Pangeran Natakusuma, 4). Pangeran Harya Pakuningrat, 5). Adipati 49 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Danureja, dan 6). R.T. Rangga Prawiradirja. Sementara dari pihak VOC yang turut serta menandatanganiadalah: 1). Nicolaas Hartingh, 2). W. van Ossenberch, 3).J.J. Steenmulder,dan 4).W. Fockens.8 Perjanjian Giyanti terdiri dari 10 pasal, yang isinya pada intinya adalah:9 1.
2.
3.
8 9
Penetapan dan persetujuan VOC kepada P. Mangkubumi untuk diangkat sebagai Sultan atas setengah dari wilayah kerajaan Jawa dengan gelar Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Sultan juga diberikan hak suksesi bagi keturunannya yang sah, yaitu Adipati Anom, Mas Sundoro, dan Ingabehi. Di wilayah ini mulai saat ini dan selanjutnya akan diperintah secara harmonis dan penuh persahabatan antara warga VOC dan rakyat Jawa yang dalam suka dan duka masing-masing akan selalu melakukan yang terbaik dan menghindari kerugian-kerugian, seolah-olah mereka satu bangsa yang sama. Dan untuk menjamin terwujudnya hal itu dengan lebih baik, baik para Pepatih Dalem maupun para Bupati, dan semua yang mempunyai kekuasaan di daerah-daerah itu yang diangkat oleh Sultan, harus datang ke Semarang
M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749 – 1792, hlm. 82 Anton Satyo Hendriatmo. Giyanti 1755, (Tangerang: CS.Book, 2006), hlm. 37.
50 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
4.
5.
6.
untuk mengucapkan sumpah setia di hadapan Gubernur dan Direktur VOC. Sultan tidak diperbolehkan mengangkat Pepatih Dalem atau Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari Jenderal dan Penasehatnya, demikian pula Sultan tidak diperbolehkan mengasingkan seseorang tanpa sebelumnya melaporkan alasan-alasannya kepada Jenderal dan Penasehatnya, dan mendapatkan ijin untuk itu. Sultan menyatakan dan menjamin dengan ini bahwa ia tidak akan menyulitkan atau meminta pertanggungjawaban terhadap mereka yang pernah melakukan pemberontakan untuk kepentingan VOC, dan akan mengampuni dan tidak akan membalas dendam apa yang telah mereka lakukan. Sultan menyatakan dan berjanji bahwa ia tidak mempunyai pretensi pada wilayah pulau Madura, juga daerah-daerah pesisir yang dikuasai secara sah oleh VOC, sebagai akibat dari kontrak antara VOCdan almarhum Susuhunan Paku Buwono yang dibuat pada tanggal 18 Mei 1746, dan tidak hanya padadirinya sendiri, tetapi juga untuk semua ahli warisnya. Hal-hal yang diminta oleh VOC, dengan seluruh kekuatan dan kekayaannya untuk membantu VOC terhadap musuhmusuh VOC yang menyerang propinsi-propinsi yang dimilikinya secara sah pada masa damai tersebut. Untuk itu Sultan akan menerima kompensasisegera setelah VOC menerima produk-produk hasil bumi dari wilayah-
51 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
7.
8.
9.
wilayahnya tersebut sejumlah 10.000 real Spanyol, yang akan dibayarkan setahun sekali. Sultan berjanji akan membantu Susuhunan Paku Buwana, raja Surakarta Hadiningrat dengan segala kekuatan ketika diperlukan, tidak hanya kepada Raja yang saat ini berkuasa, tetapi juga kepada raja-raja yang dipilih atas persetujuan VOC kemudian,terhadap musuh-musuh atau pemberontak-pemberontak baik asing maupun dalam negeri. Lebih lanjut Sultan mengikatkan diri untuk memasok dan menjual semua produk-produk wilayahnya kepada VOC dengan harga yang telah disepakati. Untuk itu Sultan berjanji untuk bekerjasama dan mempergunakan kekuasaan dan otoritasnya untuk memperbaiki pengumpulan dan pemasokan produk-produk tersebut untuk kepentingan VOC dan warganya. Akhirnya semua kontrak-kontrak, perikatan-perikatan, dan perjanjian-perjanjian terdahulu antara VOC dan raja-raja Kerajaan Mataram, yang telah berhasil dicapai dan dilaksanakan, terutama yang berasal dari tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749, sejauh tidak bertentangan dengan traktat ini, dan akan dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono atau pengganti-penggantinya, akan tetap berlaku dan menjadi milik negara-negara, propinsipropinsi, dan distrik-distrik, dan kini kepadanya diserahkan untuk dipinjam, yang apabila terdapat hal yang tidak diinginkan, akan dikembalikan kepada VOC untuk dihapuskan setelah dilakukan penilaian.
52 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Dengan adanya Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 ini berarti berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sebagai negara baru dari Pilahan atau Palihan Nagari Mataram. Palihan Nagari ini diperingati dengan candra sengkala yang berbunyi Tunggal Pangesti Rasaning Janmi (1681). Dalam pembagian negara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono mendapatkan bagian: 1.
Separuh dari wilayah Negaragung yaitu daerah-daerah sekeliling Negari (kedudukan Raja = Kraton), luasnya mencakup 53100 karya, meliputi wilayah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede. 2. Separuh dari wilayah Manca Negara, luasnya mencakup 33950 karya, meliputi Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertosono, Kalongbret, Ngrowo (Tulungagung), Djapan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras-Karas, Selo, Warung, dan Grobogan.10 Kesepakatan lain antara Pangeran Mangkubumi dengan Kompeni menyangkut sewa tanah di daerah pesisir adalah Pangeran Mangkubumi merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan dibagi dua: 10.000 real untuk Pangeran Mangkubumi dan 10.000 real untuk Paku Buwono III. Dengan demikian Pangeran Mangkubumi sudah mendapatkan modal yang berharga untuk memulai merintis sebuah negara. Oleh karena itu untuk
10
Panitya Peringatan, Kota Yogyakarta 200 Tahun, 7 Oktober 1756-7Oktober 1956,hlm. 12.
53 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
menyempurnakannya Pangeran Mangkubumi membutuhkan sebuah ibu kota sebagai tempat kedudukan istana. Dua hari setelah Perjanjian Giyanti, tepatnya pada tanggal 15 Februari 1755, Hartingh, Sultan Hamengku Buwono dan beberapa pengawalnya berangkat ke Jatisari yang berada di titik pertengahan antara Surakarta dan Giyanti, untuk bertemu dengan Paku Buwono III dengan tujuan melakukan rekonsiliasi. Pertemuan di Jatisari tersebut juga terdapat sebuah kesepakatan penting yang berhubungan dengan tradisi budaya yang masing-masing akan dikembangkan oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pada kesempatan itu disepakati bahwa Sultan Hamengku Buwono yang belum memiliki keraton, akan membawa, menjaga, merawat, melestarikan, dan mengembangkan tradisi budaya dan adat istiadat Kerajaan Mataram sebelum terjadinya peristiwa Palihan Nagari. Sementara itu Sunan Paku Buwono III memilih akan membangun sebuah kebudayaan dan tradisi budaya baru yang tetap berlandaskan pada budaya lama. Sejak pertemuan Jatisari ini, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta kemudian mengembangkan tradisi budaya dan adat istiadatnya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya dan kemudian menjadi identitas kulturalnya yang unik.11 11Mulai
saat itu masyarakat Yogyakarta dan Surakarta mengembangkan tradisi budaya dan adat istiadatnya sendiri-sendiri, mulai dari hal yang bersifat filosofis seperti tata nilai dan pandangan hidupsampai pada aspek pragmatis sehari-hari seperti gaya busana, bahasa, keris, seni tari, gamelan dan
54 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
sebagainya. Contoh beberapa perbedaan yang kemudian menjadi identitas masing-masing masyarakat Yogyakarta dan Surakarta antara lain dalam pemakaian busana, blangkon gaya Yogyakarta terdapat mondolan sedangkan blangkon gaya Surakarta berbentuk pipih atau kempes.Pakaian adat pria Yogyakarta dikenal dengan Surjan sedangkan Surakarta adalah beskap. Keris gaya Yogyakarta disebut dengan Branggah sedangkan gaya Surakarta disebut dengan Ladrang.Wiru (Seni melipat kain/jarik) gaya Yogyakarta pada bagian garis putih pada ujung jarik diperlihatkan dan kadang-kadang disertai “pengkolan-pengkolan” (lipatan) sedangkan gaya wiru Surakarta garis putih tersebut tidak diperlihatkan dengan cara ditekuk atau dilipat ke dalam sehingga akan tertutupi oleh wiru itu sendiri. Batik gaya Yogyakarta berwarna putih dengan corak hitam, sedangkan baju batik Surakarta berwarna kuning dengan corak tanpa putih. Penggunaan kain baju batik ini pun berbeda-beda. Perbedaan keduanya juga sangat tampak pada aspek seni, dalam seni tari klasik gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta memiliki banyak perbedaan mulai dari disiplin gerak, gendhing yang digunakan, hingga kostum atau pakaian yang digunakan saat pergelaran, dan lain-lain. Kasultanan Yogyakarta cenderung mengadopsi utuh seni tari yang ada pada zaman Sultan Agung dengan Tari Bedhaya Semang-nya. Sementara, Kasunanan Surakarta hanya mengadopsi teknik dasar gerak dan cenderung untuk mengembangkan sendiri disiplin geraknya. Seni gamelan juga menunjukkan perbedaan yang signifikan, dari aspek instrumennya gamelan gaya Yogyakarta wujudnya lebih besar dan banyak, nadanya putus-putus dan jaraknya berjauhan, ukirannya tidak tembus dan cenderung simpel, sedangkan gamelan gaya Surakarta bentuknya lebih ramping dan bersifat feminim, ukirannya tembus dengan warna yang mencolok. Masih banyak perbedaan gaya antara Yogyakarta dan Surakarta misalnya aspek pedalangan, wayang, bahasa dan sebagainya yang masingmasing kemudian dikonstruksi menjadi ciri khas identitas masyarakat dan wilayahnya sampai saat ini.
55 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
e. Membangun Nagari Ngayogyakarta Satu bulan pasca Perjanjian Giyanti, Sultan Hamengku Buwono kemudian memproklamirkan Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyokarto Hadiningrat (separo Nagari Mataram) pada hari Kamis Pon,29 Jumadil’awal Be 1680 atau 13 Maret 1755. Pada kesempatan itu Sultan Hamengku Buwono sekaligus mengumumkan secara resmi bahwa daerah kekuasaannya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berlokasi di hutan Beringan (disebut juga Beringin atau Pabringan),12 dimana terdapat ada sebuah Umbul (mata air) Pachetokan, dan suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang diprakarsai pembuatannya oleh Sunan Amangkurat IV, namun sebelum bangunan terwujud Sunan Amangkurat IV meninggal. Pembangunan kemudian dilanjutkan oleh Sunan Paku Buwana II sampai terwujud sebuah pesanggrahan yang kemudian diberi nama Ayodhya.13 Setelah penetapan tersebut, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan rakyat untuk membabat hutan tadi untuk didirikan kraton yang dimulai pada Kamis Pon,13 Suro Tahun Wawu 1681, (bertepatan dengan 9 Oktober 1755). Sebelum kraton itu selesai dibangun, Sultan Hamengku Buwono berkenan menempati Pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Dari tempat inilah 12
13
Dwi Ratna Nurhajarini, et al.,Yogyakarta: dari Hutan Beringan Ke Ibukota DaerahIstimewa,(Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012), hlm. 36. Revianto Budi Santoso et al., Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta,hlm. 63.
56 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki istana baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian terjadi tanggal 7 Oktober 1756. Di Kraton sendiri tanggal pendiriannya dinyatakan dalam sebuah gambaran dua ular naga yang saling mengait, yang menggambarkan konogram (sengkala) “Dwi Naga Rasa Tunggal” yang berarti 1682 tahun Jawa.14 Sengkalan tersebut menyiratkan makna Sari-Rasa-Tunggal (Hakekat Kesatuan) dan Sarira-Satunggal (Hakekat Kesatuan). Wilayah Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringan, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu.15 2. Masa Pemerintahan Republik Bataaf (1800-1806) Pada 31 Desember1799, VOC dinyatakan bangkrut, kekuasaan terhadap semua tanah jajahannya diambil alih oleh
14
Revianto Budi Santoso et al., Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta, hlm. 64.
15
Kraton Yogyakarta, Kraton Jogja: The History and Cultural, (Yogyakarta: Indonesia Marketing Association, 2002), hlm. 27.
57 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Kerajaan Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial yang disebut Republik Bataaf (Bataafsche Republiek) pada periode 1800-1806.16 Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, Perang Koalisi terjadi di Eropa yang disebabkan oleh ambisi ekspansionis Prancis terhadap negara-negara di Eropa. Pada perang itu, Prancis dibawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte menyerang dan menaklukkan Kerajaan Belanda pada tahun 1795. Raja Belanda, Raja Willem V, melarikan diri ke London dan mencari perlindungan kepada raja Inggris. Sebagai akibatnya, Republik Bataf dihapuskan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte dan digantikan dengan bentuk Kerajaan Belanda (Koninkelijk Holland) dengan rajanya Louis Bonaparte (adik Napoleon Bonaparte). Begitu juga dengan daerah jajahannya di Indonesia mengalami perubahan sistem pemerintahan. Sebagai wakilnya di Indonesia, penguasa kerajaan Belanda kemudian mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Daendels adalah seorang Belanda yang mendukung Perancis dalam Perang Koalisi di Eropa.17 3. Masa Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811) Pada tanggal 14 Januari 1808 perubahan besar terjadi di Hindia Belanda yang ditandai dengan pergantian Gubernur 16
B.H.M. Vlekke, Nusantara: A History of Indonesia (Bruxelles: A Manteau, 1961), hlm. 18.
17
Taufik Abdullah, et al., Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hlm. 352.
58 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Jenderal dari Albertus Henricus Wiese kepada Herman Willem Deandels. Untuk mengantisipasi serangan dari Inggris terhadap tanah jajahan di Jawa, pada tahun 1807 Napoleon kemudian mengirimkan Marsekal Herman William Daendels sebagai Gubernur Jenderal menggantikan Albertus Wiese. Sampai dengan 1749, hubungan VOC dengan penguasa Jawa cukup stabil. VOC memerintah Pantai Utara Jawa, tetapi pada praktiknya hal itu dilakukan oleh para bupati. Setelah tahun 1809, hubungan Belanda dan Mataram tidak menunjukkan super ordinasi karena Belanda masih lemah. Residen Belanda di Yogyakarta tidak lebih dari seorang penghubung gubernur jenderal. Pada periode ini para bupati tidak lagi berperan sebagai penguasa lokal tetapi sebagai pegawai pemerintah kolonial. Mereka digaji dan tentu tidak mempunyai kekuasaan lagi. Perubahan kedudukan para bupati ini menimbulkan rasa tidak senang terhadap pemerintahan Daendels. Selanjutnya Daendels menganggap raja-raja Jawa sebagai vassalnya. Para residen yang diangkat oleh Daendels yang semula berkedudukan sebagai duta, kemudian dijadikan penguasa lokal setingkatraja. Ia mewakili gubernur jenderal di Batavia. Perubahan situasi politik ini dapat diterima oleh Sunan Paku Buwono IV di Surakarta, namun tidak oleh Sultan Hamengku Buwono II di Yogyakarta. Konflik pun akhirnya berlangsung antara Kasultanan Yogyakarta dan pemerintah kolonial dan baru berakhir setelah Perang Diponegoro.18 18
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998). hlm. 149.
59 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Sultan Hamengku Buwono II tidak senang terhadap kebijakan Daendels karena berusaha menjadikan masyarakat Jawa sebagai objek pemerintah Belanda. Pada tahun 1810, Raden Ronggo Prawirodirdjo, Bupati Madiun yang juga menantu Sultan Hamengku Buwono II, melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Pemberontakan ini dianggap Belanda sebagai persekongkolan dengan Sultan Hamengku Buwono II. Dampaknya, Daendels kemudian harus menundukkan Sultan Hamengku Buwono II dan pada 1810 Belanda menyerangnya dengan 3.200 prajurit. Tujuan kedatangan Daendels ke Yogyakarta pada akhir 1810 ini untuk mengajukan beberapa tuntutan baru yang harus dipenuhi oleh Sultan Hamengku Buwono II, tidak terbatas pada hak-hak ekonomi namun juga bidang politik. Setibanya di Yogyakarta Daendels langsung menuju Benteng Vrederburg. Keesokan harinya Sultan Hamengku Buwono II diminta menghadap dengan didampingi oleh Patih Danurejo II. Dalam pembicaraan yang juga dihadiri oleh Minister Engelhard itu, Daendels mengajukan tuntutan agar Sultan Hamengku Buwono II menyerahkan tahtanya kepada putera mahkota. Menurut Daendels Sultan Hamengku Buwono II sudah tidak layak lagi menduduki tahta karena tidak pernah bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Jika Sultan Hamengku Buwono II menolak tuntutan ini, maka akan dituduh terlibat dalam pemberontakan Raden Ronggo dan harus mempertanggungjawabkannya kepada pemerintah kolonial. Sebagai hukumannya bisa saja Sultan Hamengku Buwono II akan diasingkan dari Yogyakarta, 60 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
sebaliknya jika Sultan Hamengku Buwono II bersedia melepaskan tahtanya maka tetap diizinkan tinggal didalam kompleks Kraton Yogyakarta. Karena tidak ada pilihan lain dan mengingat perlawanan terhadap Daendels tidak akan menguntungkan baginya, Sultan Hamengku Buwono II menyatakan kesediaannya untuk turun tahta. Permintaannya agar Ratu Kencono Wulan dan Tumenggung Sumodiningrat tidak dihukum dikabulkan oleh Daendels. Akan tetapi, usahanya untuk menyelamatkan Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat tidak berhasil. Keduanya kemudian diserahkan kepada van Braam untuk dikirim ke Batavia sebagai tempat pengasingannya. 19 Setelah kekuasaanya diserahkan kepada Putra Mahkota (GRM Suroyo), Sultan Hamengku Buwono II hidup sebagai seorang yang tidak lagi memiliki kekuasaan tetapi tetap tinggal dan berada di Kraton Yogyakarta. Alasan mengapa Sultan Hamengku Buwono II untuk tetap tinggal di kraton walaupun tahtanya telah diturunkan oleh Daendels karena Sultan Hamengku Buwono II merasa tidak tega untuk melepaskan Kasultanan Yogyakarta dengan cuma-cuma kepada Belanda meskipun dibawah kepemimpinan anaknya sendiri. Dengan tetap berada di dalam Kraton Ia dapat tetap mengedalikan pemerintahan atas nama anaknya. Ia merasa bahwa tugasnya belum selesai sebagai sultan yang diidamkan oleh rakyatnya. Tugas ini yang menuntutnya untuk tetap bertahan dalam
19
Djoko Marihandono dan Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa, (Jakarta, Banjar Aji, 2008), hlm. 130.
61 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
ketidakmampuannya. Namun tak mangubah fakta bahwa Inilah masa berakhirnya pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II yang pertama yaitu pada tahun 1810. Kepada putera mahkota, Daendels telah menyiapkan rancangan kontrak baru yang dibuat antara pemerintah kolonial dengan Kasultanan Yogyakarta pada 6 Januari 1811. Kontrak ini menggantikan kontrak yang dibuat oleh Sultan Hamengku Buwono II dengan VOC pada tahun 1799. Dalam kontrak baru hampir semua poin melemahkan kedudukan Kasultanan Yogyakarta, yaitu:20 1.
2.
3.
4.
20
Bahwa pemerintah kolonial mengambil alih daerah-daerah milik Kasultanan Yogyakarta seperti Semarang, Demak, Kedu, Grobogan, Selosari atau Selowarung, Japan (Bojonegoro) dan Jipang (Blora). Pengelolaan hutan-hutan jati tetap dilakukan oleh pemerintah kolonial dan juga penyetoran kayu jati masih tetap dibutuhkan oleh pemerintah. Pemerintah kolonial dibebaskan dari pembayaran pajak pantai dari kapan-kapal yang berlabuh di bandar-bandar milik Kasultanan Yogyakarta, khususnya di sepanjang Bengawan Solo. Semua gerbang tol milik Kasultanan Yogyakarta akan diserahkan kepada pemerintah kolonial, sebagai imbalan bagi janji pemerintah yang tidak akan membuka gerbang tol baru di wilayah Kasultanan Yogyakarta.
Djoko Marihandono dan Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa, hlm. 132. 62 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
5.
6.
7.
Kasultanan Yogyakarta diwajibkan memberikan ganti rugi atas pengiriman pasukan dan biaya ekspedisi yang dikeluarkan dalam rangka memadamkan perlawanan Raden Ronggo sebesar 96.875 ringgit. Pemerintah kolonial menempatkan kesatuan garnisun di benteng-benteng sekitar Yogyakarta yang akan ditanggung biayanya oleh Kasultanan. Ketika pemerintah kolonial Belanda terlibat peperangan baik dengan bangsa asing maupun dengan raja-raja pribumi, Kasultanan Yogyakarta wajib memberikan bantuan dalam hal personalia maupun logistik.
4.
Masa Pemerintahan Inggris (1811-1816) Tidak lama setelah Daendels diganti Jansens, tentara Inggris di bawah pimpinan Lord Minto menyerang Jawa. Inggris mendapat simpati raja-raja di Jawa, sehingga akhirnya dengan mudah dapat merebut Batavia. Pada tahun 1811 itu pula Jansens menyerah tanpa syarat kepada Inggris di Tuntang, sehingga terjadi rekapitulasi. Rekapitulasi Tuntang berisi: 1) seluruh kekuatan militer Belanda di Asia Tenggara harus diserahkan kepada Inggris; 2) hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris, dan; 3) Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan Belanda di luar Jawa menjadi milik Inggris. Hal ini berarti bahwa Belanda menyerahkan semua daerah jajahannya di Asia Tenggara kepada Inggris. Dalam perkembangannya semua bekas jajahan Belanda di Asia Tenggara itu oleh Inggris dibagi empat, yaitu Sumatera Barat, Malaka, Maluku, dan Jawa serta daerah sekitarnya. Seluruhnya dikuasai oleh Gubernur Jenderal EIC (East Indian Company),
63 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Lord Minto yang berkedudukan di Calcutta (India). Pulau Jawa diserahkan kepada Thomas Stamford Raffles selaku wakil Lord Minto di Pulau Jawa dengan pangkat Letnan Gubernur. Ketika pemerintahan Inggris menggantikan Belanda pada tahun 1811, Sultan Hamengku Buwono II mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kembali tahtanya sebagai Sultan Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono II pun diangkat kembali menjadi raja, dan puteranya, Hamengku Buwono III, diturunkan kembali menjadi putera mahkota. Akan tetapi Raffles pada hakekatnya mempunyai tindakan serupa dengan Daendels, yaitu sebagai pembaru dan anti feodal. Ketika Crawfurd bertugas sebagai Residen Yogyakarta (1811-1814) tampak bahwa Sultan Hamengku Buwono II tidak mau bekerja sama dengan pemerintahan Inggris. Raffles sendiri bermaksud menyerang Sultan, tetapi belum tersedia pasukan yang cukup. Pada Desember 1811, Raffles berkunjung ke Kraton Yogyakarta dan hampir saja terjadi penyerangan. Dalam rombongan Raffles ikut serta adik Sultan Hamengku Buwono II yang sudah dibebaskan dari tahanan di Cirebon, Pangeran Notokusumo, dan puteranya, Tumenggung Notodiningrat. Di Surakarta pun terjadi perubahan politik, Sunan Paku Buwono IV tidak senang dengan Inggris dan mempunyai persepsi yang sama dengan Sultan Hamengku Buwono II. Dua orang raja ini berkorespondensi tetapi hal itu dapat diketahui oleh Inggris. Kraton Yogyakarta akhirnya diserang oleh Raffles dengan bantuan Pangeran Notokusumo dan putera mahkota Hamengku Buwono III pada Juni 1812 dengan 1.200 serdadu Eropa dan Sepoy (serdadu India) yang diperkuat 800 prajurit 64 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Legiun Mangkunegaran. Sunan Paku Buwono IV tidak mampu berbuat banyak, sedangkan Sultan Hamengku Buwono II ditangkap dan dibuang ke Pulau Penang. Seluruh harta kekayaan Kraton Yogyakarta dirampok dan arsip kraton dilarikan untuk kemudian dibawa ke Inggris.21 Sebagai akibat konflik yang terjadi antara Kasultanan Yogyakarta dan pemerintah kolonial Inggris yang melibatkan Kasunanan Surakarta, Raffles kemudian memutuskan untuk mengambil beberapa tindakan penting yang berhubungan dengan status dan kekuasaan di Kraton Yogyakarta yaitu menurunkan Sultan Hamengku Buwono II dari tahta dan kembali mengangkat putera mahkota. Kini putera mahkota bukan lagi dijadikan sebagai penguasa (regent) tetapi diakui penuh sebagai Sultan Hamengku Buwono III dengan sebutan Sultan Rojo. Tidak hanya diturunkan dari tahtanya, atas perintah Raffles, Sultan Hamengku Buwono II kemudian dibawa ke Batavia dan selanjutnya menunggu pengadilan di sana. Menurut keputusan pengadilan Inggris, Sultan Hamengku Buwono II dijatuhi hukuman pembuangan ke Pulau Penang. Pada tanggal 16 Juli 1812. Ia disertai oleh putranya Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Mertosono berangkat menuju Penang. Sebelum kenaikan tahta ini Sultan Hamengku Buwono III wajib untuk menandatangani kontrak baru yang disodorkan
21
Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid I, (Jakarta: KPG, 2011), hlm. 383.
65 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
oleh Crawfurd atas nama Raffles pada tanggal 1 Agustus 1812.22 Dalam kontrak baru yang disodorkan itu disebutkan antara lain: 1. 2.
3.
4.
5.
6.
22
Sultan Hamengku Buwono III wajib menanggung biaya ekspedisi militer Inggris ke Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono III wajib menyerahkan semua pemborongan bandar, gerbang tol, pajak pasar, pajak sarang burung, cukai penjualan candu, dan rumah judi kepada pemerintah kolonial Inggris. Pemerintah Inggris berhak mengambil alih pengelolaan atas semua hutan jati di wilayah Kasultanan dengan ganti rugi tahunan kepada Sultan Hamengku Buwono III yang akan ditetapkan jumlahnya setiap tahun. Sultan Hamengku Buwono III harus melepaskan wilayah negaragung Kasultanan Yogyakarta di Kedu, Pacitan, Blora, Grobogan, Japan, Jipan, dan Wirosobo kepada pemerintah kolonial Inggris. Sejak perjanjian ini semua wilayah bekas tanah-tanah apanage Kasultanan Yogyakarta dijadikan sebagai hak milik pemerintah kolonial Inggris. Sultan Hamengku Buwono III harus menyerahkan tanah seluas 4000 cacah di Adikarto, wilayah Kulonprogo kepada Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notokusumo dijadikan sebagai Pangeran Merdika bagi Kasultanan
Djoko Marihandono dan Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa, hlm. 140.
66 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Yogyakarta dan Pangeran Mijil bagi pemerintah kolonial Inggris. 7. Sultan Hamengku Buwono III juga diharuskan menyediakan tanah seluas 1000 cacah untuk Kapten Cina Tan Djin Sing sebagai penghargaan atas bantuannya kepada pemerintah kolonial Inggris dan melindungi putera mahkota dari ancaman Sultan Hamengku Buwono II. 8. Kasultanan Yogyakarta tidak diperbolehkan menjalin hubungan dengan kerajaan lain baik di Jawa maupun diluar Jawa. 9. Patih diangkat dan dipecat sesuai dengan kebutuhan gupernemen dan dalam menjalankan tugasnya, patih diharuskan memberitahukan dan meminta pertimbangan Residen. Perjanjian Agustus 1812 merupakan malapetaka bagi kraton-kraton Jawa termasuk didalamnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian tersebut tidak hanya menyangkut besarnya penyusutan wilayah kekuasaan mereka, namun juga meninggalkan masalah sosial dan ekonomi jangka panjang yang berbahaya, khususnya di Yogyakarta. Jatuhnya kraton, penjarahan harta kekayaan, benda-benda kuno dan arsip, dan pemberlakuan paksa perjanjian Raffles, merupakan pukulan yang telak pada martabat dan wibawa kraton. Selain kerugian keuangan dan wilayah, penjarahan keraton dirasakan hingga dalam hati oleh kebanyakan masyarakat Kasultanan Yogyakarta. Pada paruh kedua pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III terjadi perubahan dalam bidang politik dan pemerintahan yang penting yaitu: 67 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
1. Pada 17 Maret 1813, persoalan tanah Pakualam akhirnya berhasil diselesaikan. Pemerintah kolonial Inggris mencapai kesepakatan dengan Sultan Hamengku Buwono III menetapkan bahwa Pangeran Mardika mendapatkan tanah sebesar 4.000 cacah dan tunjangan sebesar 750 dolar Spanyol dari pemerintah kolonial.23 2. Pengangkatan patih baru Tumenggung Sumodipuro (bekas Bupati Japan) sebagai Patih Danurejo IV pada 2 Desember 1813. 3. Pengangkatan Kapitan Cina, Tan Jin Sing menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat dengan tanah jabatan senilai 800 cacah yang berlokasi di Lowanu dan daerah lain di Bagelen timur. Surat pengangkatan oleh Sultan ditandatangani pada tanggal 6 Desember 1813 yang secara khusus menyatakan bahwa Tan Jin Sing telah diberi gelar kehormatan dan tanah jabatan karena jasanya kepada pemerintah kolonial Inggris dan Sultan Hamengku Buwono III pada tahun 1812. Namun pengangkatan ini dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono III karena adanya tekanan pemerintah kolonial Inggris karena belum pernah terjadi di Kraton Yogyakarta orang Tionghoa diberi gelar begitu tinggi beserta tanah jabatan yang luas. 5. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (1816 - 1942) Setelah Perjanjian London (1814) yang menandai berakhirnya babak pertama kekaisaran Napoleon Bonaparte, Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian baru yang
23Soedarisman
Poerwokoesoemo. Kadipaten Gadjah University Press, 1985), hlm. 76.
Pakualaman.(Yogyakarta:
68 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
mengatur pengembalian jajahan Belanda dari Inggris. Pergantian penguasa kolonial ini tidak banyak berpengaruh terhadap Kasultanan Yogyakarta karena pada periode sebelumnya sudah terlebih dahulu “dilumpuhkan” oleh Raffles. Dalam pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV (1814-1822) terdapat banyak intrik dari pemerintah, khususnya mengenai suksesi, korupsi juga sudah mulai berkembang. Demikian pula pengaruh Cina di pedesaan semakin kuat sebagai rentenir. Pajak pintu gerbang (toll-gates) menjadi kendala kelancaran perdagangan, dan menimbulkan kerusuhan.24 Situasi sosial dan ekonomi yang semakin memburuk disusul dengan adanya dinamika politik yang menghangat di kraton. Benih perang yang sudah tampak sejak tahun 1808 dan sampai wafatnya Sultan Hamengku Buwono IV yang kemudian digantikan Sultan Hamengku Buwono V (1822-1826, 18281855) yang masih anak-anak mendorong terjadinya masalah suksesi di kraton. Wabah kolera dan gagal panen (1821-1822) terjadi bersamaan dengan kondisi politik yang semakin bergolak di Yogyakarta. Hal ini ditambah dengan terjadinya erupsi Gunung Merapi pada akhir tahun 1822, yang oleh masyarakat dipakai sebagai tanda bakal terjadinya peristiwa besar. Dalam kondisi seperti ini dipercaya muncul seorang Ratu Adil yang akan membimbing rakyat pada kondisi yang bersih
24
Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), (Jakarta: Kompas, 2014), hlm. 226.
69 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
dan tenteram.25 Ditengah-tengah keadaan Yogyakarta yang tidak menentu itu muncullah tokoh Pangeran Diponegoro yang menentang kebijakan dan campur tangannya pemerintah kolonial Belanda dalam urusan-urusan internal Kraton Yogyakarta. Di sisi lain, pada tahun 1823, Gubernur Jenderal van der Capellen mengambil keputusan untuk mengakhiri penyelewengan-penyelewengan di seputar penyewaan tanah swasta di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dia memerintahkan agar sewa-menyewa semacam itu dihapuskan. Para bangsawan yang sudah terlanjur menyewakan tanahnya menjadi kehilangan sumber pendapatannya. Inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya para bangsawan yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro ketika terjadi Perang Diponegoro antara tahun 1825-1830.26 Perang Diponegoro merupakan episode perang yang melelahkan bagi kedua belah pihak yang berlawanan. Perang yang berawal pada 19 Juli 1825 ini menelan banyak korban jiwa baik dari pihak Pangeran Diponegoro, Hindia Belanda, maupun pribumi yang membantu pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda. Perang ini menimbulkan penderitaan yang luar biasa bagi masyarakat Kasultanan Yogyakarta.27 Setelah 25 26
27
Perang
Diponegoro
selesai
pada
1830,
Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid II, (Jakarta: KPG, 2011), hlm. 430. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005) hlm. 254. Taufik Abdullah, et al., Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4.hlm. 429.
70 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah mancanegara Kasultanan Yogyakarta. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada Senen Wage, 9 Bakda Mulud, Tahun Je, 1758 (bertepatan dengan 27 September 1830) yang ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Perjanjian ini menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enclave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangkunegaran (Ngawen), dan Pakualaman (Kadipaten Pakualaman dan Adikarta). Sementara itu wilayah Kasunanan Surakarta meliputi Pajang dan Sukowati.28 Pasca Perang Diponegoro intervensi pemerintah kolonial Belanda terhadap berbagai aspek kehidupan di wilayah Kasultanan Yogyakarta semakin kuat. Diantaranya adalah pengelolaan peradilan yang dilembagakan pada tahun 1831, artinya bahwa peradilan pidana secara efektif ditempatkan di bawah kekuasaan residen. Perjanjian mengenai hal ini kemudian ditandatangani antara Sultan, Pakualam dan Gubernur Jenderal pada Oktober 1833. Didalamnya dinyatakan bahwa rakyat Sultan, Pakualam dan Natapraja akan diadili dihadapan pengadilan-pengadilan karesidenan yang bersangkutan bila mereka melakukan kejahatan di wilayah 28
Vincent Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 18301870, (Yogyakarta: Bentang, 2002), hlm. 88-90.
71 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
kekuasaan pemerintah kolonial, sedangkan rakyat raja-raja Jawa itu akan harus diadili dihadapan pengadilan pidana Yogyakarta untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan di wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Selain pengambilalihan wilayah mancanegara, dampak yang sangat merugikan dan melemahkan kedudukan Kasultanan Yogyakarta pasca Perang Jawa adalah kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mereduksi kekuatan prajurit yang dimilikinya. Setelah perang selesai angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta semakin diperkecil lagi sehingga jumlahnya tidak boleh melebihi 500 orang prajurit. Selain itu angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam senjata dan personil serta perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang lalu. Pasca Perang Jawa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V dan sultan-sultan selanjuntnya diangkat sebagai Mayor Jenderal Tituler Kerajaan Belanda dan tetap memegang kekuasaan atas Kraton dengan pengawasan seorang Gubernur Belanda yang berkedudukan di dekat Kraton. 6. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) Pasca Perang Diponegoro, Kasultanan Yogyakarta tidak lagi banyak berkiprah dalam bidang politik sebaliknya kemudian lebih banyak berkiprah dalam pengembangan bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI sampai Sultan Hamengku Buwono VIII. Pada masa pemerintahan Sultan 72 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Hamengku Buwono IX kiprah politik Kasultanan Yogyakarta mulai mengemuka kembali melalui beberapa kebijakan Sultan. Pada masa pendudukan Jepang, setelah tanggal 1 Agustus 1942 Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi Sultan (Koo) Yogyakarta oleh Gunseikan Mayor Jenderal Osaki di Istana Gambir Jakarta. Sultan mendapat perintah dari pemerintah militer Jepang untuk mengurus pemerintah Kasultanan yang diberi nama Koti. Sultan sebagai Koo melanjutkan birokrasi pemerintahan yang sudah ada dengan pengawasan Kepala Kantor Urusan Kasultanan (Kooti Zimu Kyoku Tyookan).29 Kesempatan yang baik ini dipergunakan oleh Sultan untuk merintis reorganisasi dan restrukturisasi birokrasi pemerintah daerah Yogyakarta. Dalam mengadakan perubahan birokrasi pemerintahan di Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono IX dijiwai oleh pemikiran yang masih mempertahankan tradisi dan sekaligus menggunakan pemikiran modern. Pada masa pendudukan Jepang ini,Sultan Hamengku Buwono IX berusaha melanjutkan perubahan birokrasi pemerintahan yang sudah dimulainya dari dalam Kraton. Pepatih Dalem yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda digunakan oleh Belanda untuk menguasai pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, sedikit demi sedikit kedudukannya sebagai kepala pemerintahan umum digeser, dan akhirnya diberhentikan dengan hormat pada 1 Agustus 1945.
29
Soedomo Bandjaransari, Sedjarah Pemerintahan Kota Jogjakarta (Jogjakarta: Djawatan Penerangan, 1952) hlm. 10. 73 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Keesokan harinya Gunseikan menyerahkan urusan umum dan urusan ekonomi yang dipegang oleh Kooti Zimu Kyoku Tyookan kepada Koo. Penyerahan itu berdasarkan Surat Perintah Gunseikan di Jakarta tanggal 15 Juli 1945 menjelang berakhirnya sidang Pleno kedua BPUPKI. Upacara penyerahan dilakukan di gedung kediaman Kooti Zimu Kyoku Tyookan pada waktu itu juga. Penyerahan urusan ini disertai pula dengan penyerahan pegawainya. Dengan adanya penyerahan urusanurusan pemerintahan itu, maka pada tanggal 1 Agustus 1945 bersamaan dengan perayaan ulang tahun ketiga penobatan Koo Kooti, perubahan birokrasi pemerintahan Yogyakarta diumumkan oleh B.P.H Puruboyo di Bangsal Kepatihan dengan dihadiri oleh para Bupati Paniradya, Utaradya, dan kepalakepala bagian. Perubahan-perubahan dalam birokrasi pemerintahan di Yogyakarta pada waktu itu adalah: 1.
2.
Mulai hari Rebo Kliwon, 21 Ruwah tahun Ehe, 1876 (bertepatan dengan tanggal 1 Agustus 1945) Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII berkantor di Kepatihan kecuali hari Sabtu dan Jumat Kliwon. Kawedanan Kori diubah namanya menjadi Parentah Luhur juga berkantor di Kepatihan, dikepalai oleh B.P.H. Puruboyo., kepala II B.P.H. Bintoro, dan sebagai sekretaris K.R.T. Danuhadiningrat. Untuk mengepalai Kawedanan Kanayakan diangkat B.P.H. Pakuningrat dan K.R.T Wijil. Parentah Luhur mengurusi a). pekerjaan-pekerjaan yang diperintahkan oleh Sultan, b). Menandatangani surat-surat yang dulu biasanya ditandatangani oleh Pepatih Dalem, c).
74 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Menerima surat yang disampaikan kepada Sultan, d). Menyampaikan surat dari Sultan kepada para Bupati Paniradya, Parentah Hageng Kraton,dan Kundhawilopo. Dengan dibentuknya Parentah Luhur ini berarti Kawedanan Koori yang ada di Kraton dihapus. 3. Susunan pemerintahan pusat ditambah Paniradya Pariharta yang mengurusi masalah keuangan dan perusahaan negeri.30 Dengan demikian jabatan Pepatih Dalem yang ada sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I ditiadakan mulai tanggal 1 Agustus 1945 dan Sultan Hamengku Buwono IX sepenuhnya membawahkan Parentah Nagari dengan dibantu oleh Parentah Luhur. 7. Masa Kemerdekaan Setelah berita kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai ke masyarakat Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei dan kemudian disebarluaskan melalui khotbah Jumat di Masjid Besar Kauman dan Masjid Pakualaman. Pada sore harinya Ki Hadjar Dewantara bersepeda keliling kota menyampaikan berita proklamasi kemerdekaan kepada masyarakat luas. Bagi Sultan Hamengku Buwono IX pribadi, proklamasi kemerdekaan itu merupakan peristiwa yang membuka jalan untuk melepaskan diri dari penderitaan batin, sekaligus menempuh jalan bebas guna menentukan sendiri nasib dikemudian hari. Begitu mendengar berita prokalmasi kemerdekaan, Sultan
30
P.J. Suwarno, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1947: Sebuah Tinjauan Historis,hlm. 145.
75 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Hamengku Buwono IX segera memanggil Paku Alam VIII dan KRT Honggowongso, seorang staf senior di Kepatihan. Pada waktu itu Sultan Hamengku Buwono IX meminta pertimbangan “bagaimana sikap kita sebaiknya”. Oleh Paku Alam dikatakan bahwa soal kemerdekaan Indonesia memang sudah lama dicita-citakan. Maka dari itu sebaiknya kita memberi dukungan sepenuhnya terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Sultan Hamengku BuwonoIX kemudian berkata “bahwa memang itulah pendirian saya”. Untuk selanjutnya KRT Honggowongso diperintahkan mempersiapkan sebuah telegram. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika sehari setelah proklamasi kemerdekaan, yaitu pada 18 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX langsung mengirim telegram kepada Sukarno dan Hatta dan KRT Radjiman Wediodiningrat, mantan Ketua BPUPKI. Dengan spontan Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan selamat atas terbangunnya Nergara Republik Indonesia dan terpilihnya kedua pimpinan itu sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada tanggal 20 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX selaku Ketua Yogyakarta Kooti Hookookai untuk kedua kalinya mengirim telegram kepada Presiden dan Wakil Presiden. Dalam telegram ini secara tegas menyatakan bahwa Sultan Hamengku Buwono IX “sanggup berdiri dibelakang pimpinan Paduka Yang Mulia”. Kedua pernyataan diatas selalu diikuti dengan jalan yang sama dari Sri Paku Alam VIII. Tindakan tersebut menunjukkan betapa tegas dan positif sambutan Repbulik Indonesia. Namun demikian disadari bahwa
76 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
pengiriman kedua telegram itu masih bersifat pribadi dan belum mencerminkan aspirasi dan kehendak rakyat. Sementara itu untuk menindaklanjuti amanat Proklamasi, pada tanggal 24 Agustus 1945 dengan dukungan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, rakyat membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Pembentukan itu terjadi dua hari setelah Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat pendirian Komite Nasional Indonesia (KNI). Adapun anggota KNID diambil dari berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu baik Sultan Hamengku Buwono IX maupun Paku Alam VIII mengakui KNID sebagai badan perwakilan rakyat. Pada awal September 1945, sesudah KNID terbentuk, Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan pembicaraanpembicaraan dengan Sri Paku Alam VIII, Ki Hadjar Dewantara dan beberapa tokoh lainnya seperti Purwokusumo. Dari hasil pembicaraan itu Sultan Hamengku Buwono IX dapat menyimpulkan bahwa rakyat Yogyakarta menyambut proklamasi kemerdekaan itu dengan rasa lega. Melihat kenyataan yang ada, maka atas persetujuan KNID, Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan Amanat 5 September 1945. Secara tegas dinyatakan bahwa daerah Kasultanan Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia dengan kedudukan sebagai Daerah Istimewa. Pernyataan Amanat 5 September 1945 adalah sebagai berikut: “....baru tanggal 5 September saya berani berbicara atas nama rakyat di sini. Saya menyatakan demikian itu oleh 77 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
karena perhitungan saya, dus keyakinan saya bahwa suatu waktu Belanda akan datang di Yogya. Kalau itu terjadi maka dengan pernyataan itu saya tidak bisa diadu domba dengan para intelektuil, para politisi dan rakyat di Yogyakarta. Itu perhitungan saya, untuk menyatakan bahwa Yogya itu adalah bagian dari pada Republik Indonesia” Amanat ini secara keseluruhan sebagai berikut: AMANAT Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Kami Hamengku Buwana IX, Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, menyatakan 1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat Kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2. Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
78 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Kami yang memerintah supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini. Ngayogyakarta Hadiningrat 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
Hamengku Buwana IX Pada saat yang hampir bersamaan, Paku Alam VIII juga mengeluarkan amanat serupa yang isinya dan kata-katanya persis sama untuk Projo Pakualaman.Seperti termuat dalam buku Tahkta Untuk Rakyat, Maklumat 5 September itu memuat tiga pokok, yakni, pertama, Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI. Kedua, segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Sultan Hamengku Buwono IX. Ketiga, hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI.31 Keesokan harinya, 6 September 1945, Sukarno mengutus dua orang Menteri Negara yaitu Mr. Sartono dan Mr. Maramis untuk datang ke Yogyakarta. Kedatangan mereka itu dalam rangka menyampaikan “Piagam Kedudukan Sri Sultan” dari 31
Atmakusumah, et al., (ed.), Tahta Untuk Rakyat, (Jakarta: Gramedia, 1982)
79 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Presiden Republik Indonesia. Adapun isi piagam kedudukan itu adalah sebagai berikut: Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Alaga, Abdulrachman Sayidin Panotogomo Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala fikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian dari pada Republik Indonesia. Jakarta, 19 Agustus 1945 Presiden Republik Indonesia ttd Ir. Soekarno Piagam kedudukan tersebut berisi pengakuan pemerintah Republik Indonesia kepada Kasultanan Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia. Sekaligus memperkuat kedudukan Sultan dalam memimpin Yogyakarta. Piagam kedudukan ini sebenarnya tertanggal 19 Agustus 1945, hanya sehari setelah Sultan Hamengku Buwono IX mengirim telegram ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden. Namun karena adanya beberapa faktor yang belum jelas, kemungkinan juga, karena faktor kesiapan sikap, barulah setelah keluar Amanat 5 September 1945, Piagam kedudukan ini disampaikan kepada Sultan Hamengku Buwono IX. 80 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Pada 30 Oktober 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama-sama dengan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan sebuah amanat lagi yang menegaskan bahwa Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia. Amanat itu belum memakai sebutan DIY sebab pada masa itu “Yogyakarta” masih sangat identik dengan kasultanan saja. Kalau langsung dipakai nama DIY, orang akan berfikiran bahwa itu tidak termasuk Kadipaten Pakualaman. Kecuali itu, pemakaian nama Daerah Istimewa Yogyakarta Negara Republik Indonesia lebih menekankan aspek pengintegrasian dan komitmen Yogyakarta pada Republik Indonesia.32 Setelah terjadi perang dan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia akhirnya disepakati untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda yang diselenggarakan pada 23 Agustus-2 November 1949. Hasil Konferensi Meja Bundar kemudian diratifikasi oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 6 Desember 1949. Selanjutnya, pada tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS pada tanggal 16 Desember 1949 dan diambil sumpahnya pada tanggal 17 Desember 1949. Pada tanggal 20 Desember 1949 dibentuk Kabinet RIS yang pertama dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta sebagai perdana menterinya. 32
Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati Perubahan, Menggagas Masa Depan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 25.
81 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan upacara pengakuan kedaulatan di Belanda dan di Indonesia secara bersama-sama. Di Belanda, Ratu Juliana yang didampingi Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen serta Ketua Delegasi RIS Drs. Moh. Hatta bersama-sama menandatangani naskah pengakuan kedaulatan kepada RIS. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mewakili RIS menandatangani naskah pengakuan kedaulatan bersama dengan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink. Akhirnya, penegasan nama atau sebutan DIY mencapai kejelasan hukum pada 3 Maret 1950, yaitu dengan ditetapkannya UU No. 3 tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa Yogyakarta adalah satu daerah istimewa, meliputi wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta dengan Hamengku Buwono IX sebagai kepala daerah dan Paku Alam VIII sebagai wakil kepala daerah. Hal yang penting dalam undang-undang ini adalah soal pemberian wewenang untuk mengatur sendiri 13 urusan rumah tangga DIY.33 Sebagai catatan, setelah DIY terbentuk, pada 1974 sebutannya bertambah menjadi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 5 tahun 1974). Undang-undang itu memberikan penegasan status ganda DIY, yaitu sebagai wilayah 33
Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati Perubahan, Menggagas Masa Depan, hlm. 60.
82 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
administrasi dan sebagai daerah otonom. Dengan status ganda itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah gubernur kepala daerah DIY. Sedangkan Sri Paku Alam VIII adalah wakil gubernur kepala daerah DIY.
83 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Adaby Darban. “Aspek Historis dan Substantif Serat Cebolek” dalam Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta buku II. Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia, 2001. Anton Satyo Hendriatmo. Giyanti 1755, Tangerang: CS.Book, 2006. Atmakusumah, (ed.), et al. Tahta Untuk Rakyat. Jakarta: Gramedia, 1982. Babad Nitik Ngayogyo, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981. Bambang Purwanto, et al., Asal Usul Kota Dumai; Kajian Sejarah untuk Menentukan Hari Jadi .2008. Buminata, Serat Kuntharatama, Yogyakarta: Mahadewa, 1958. Carey, Peter. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid I-III, Jakarta: KPG, 2011. ________. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Jakarta: Kompas, 2014. Djoko Marihandono dan Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa, Jakarta, Banjar Aji, 2008. Dwi Ratna Nurhajarini, et al.Yogyakarta: dari Hutan Beringan Ke Ibukota DaerahIstimewa, Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,2012. 84 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
G. Moejanto, “Lahirnya Kesultanan Yogyakarta dan Hamengku Buwana I” dalam Seminar Bulanan Javanologi, Yogyakarta 23 Februari 2001. Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati Perubahan, Menggagas Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Houben, Vincent, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, Yogyakarta, Bentang, 2002. Hari Jadi Kota Purworejo, Tim Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UGM, 1993. Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum: Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, Yogyakarta: UII Press, hlm. 5960. Kraton Yogyakarta, Kraton Jogja: The History and Cultural, Yogyakarta: Indonesia Marketing Association, 2002. Panitya Peringatan Kota Yogyakarta 200 Tahun, Kota Jogjakarta 200 tahun, 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956, Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun, 1956. P. J. Suwarno, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1947: Sebuah Tinjauan Historis, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Revianto Budi Santoso et al., Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta, Yogyakarta, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya, 2008. 85 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016
Ricklefs.M.C. Sejarah Indonesia Modern .Terj. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998. _________. War, Culture and Economy in Java, 1677-1792: A History of the Devision of Java. London: Oxford University Press, 1993. __________Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749 – 1792.terj.Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002. Soedarisman Poerwokoesoemo. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Universiti Press, 1985. ________________________. Sejarah Lahirnya Kota Yogyakarta. Yogyakarta, Lembaga Javanologi, 1986. Soedomo Bandjaransari, Sedjarah Pemerintahan Kota Jogjakarta. Jogjakarta: Djawatan Penerangan, 1952. Taufik Abdullah, et al, (ed.), Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012. Vlekke, B.H.M. Nusantara: A History of Indonesia, Bruxelles: A Manteau, 1961.
86 Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama XVI Tahun 2016