G
AW
AS PEM I
LI
Kata Pengantar
H
A UM
BADAN
N
PE
N
UM
R
NS
I
A
UB
LIK IN D O N
ES
I DKI JA
A
P
VI
T
R
EP
O
KA
R
Jurnal Bawaslu Provinsi DKI Jakarta Penanggunggung Jawab Mimah Susanti Achmad Fachrudin Muhammad Jufri Sekretariat Masykur Iskak Muwartiningrum Satria Dayan Dwi Hening Wardani Finda Suwati Haris Dharma Persada Putu Kusumaendri Redaksi Burhanuddin Andi Maulana MS Anang Salman Alfarisi Alamat Redaksi: Jl. Danau Agung III No.5 Sunter Agung, Jakarta Utara 14350 Telp: 021-6459767 Fax: 021-64711214 Email:
[email protected] [email protected] Frekwensi terbitan: 1 bulanan Nomor ISSN: 2541-2078 Isi Jurnal Bawaslu dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya. Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi Bawaslu DKI.
Alhamdulillah, Jurnal Bawaslu DKI edisi perdana (September 2016) dapat diterbitkan. Tentu saja Jurnal ini tidak begitu saja atau taken for granted dapat terbit, melainkan melalui pro ses menajemen redaksi, dan proses kreatif yang cukup memakan energi, waktu, serta dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung terlaksanakan penerbitan Jurnal edisi ini. Ucapan terima kasih pertama-tama dan terutama disampaikan kepada Ketua Bawaslu RI, Pimpinan Bawaslu RI serta Sekjen Bawaslu RI yang telah memberikan bimbingan dan arahannya. Kedua, kepada Pemprov DKI Jakarta yang telah menggelontorkan dana hibah untuk kebutuhan pengawasan Pilgub DKI, termasuk untuk kegiatan penerbitan Jurnal. Ketiga, kepada kontributor atau penulis edisi ini. Last but not least kepada Pimpinan Bawaslu Provinsi DKI dan Sekre tariat Bawaslu DKI Jakarta yang telah mendukung kegiatan ini. Penerbitan Jurnal ini sekaligus sebagai respon dan aktualisasi nyata dalam mewujudkan arahan Pimpinan Bawaslu RI agar Bawaslu Provinsi se-Indonesia mengembangkan pengawasan berbasis akademis. Tentu yang dimaksud dengan pengawasan berbasis akademis adalah pengawasan yang menggunakan metode dan kaidah-kaidah ilmiah, sistematis, logis, empirik dan sebagainya. Dengan tingkat literasi ma syarakat Jakarta yang relatif memadai, pengawasan berbasis akademis relevan untuk diterapkan di Jakarta. Sebagai penerbitan awal atau perdana, Jurnal ini tentu saja masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, kritik, saran dan masukan sangat kami harapkan. Dan yang tak kalah pentingnya adalah ditunggu artikel, opini atau karya tulisnya yang relevan dengan visi dan misi Bawaslu. Serta ditujukan untuk memberikan kontribusi positif bagi terwujudnya Pilkada DKI yang Luber, Jurdil, demokratis, aman dan damai l (Mimah Susanti)
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
1
Catatan Editor
Pilkada DKI Rasa Pilpres 2019 Setelah publik menunggu sekian lama dalam teka-teki dan ketidakpastian, akhirnya nama-nama Bakal Calon Gubernur (Bacagub) dan Bakal Calon Wakil Gubernur (Bacawagub) Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017-2022 diumumkan oleh partai politik yang memiliki kursi di DPRD DKI (10 partai dengan total 106 kursi). Tiga pa sangan Bacagub dan Bacawagub tersebut adalah Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat yang diusung oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Hanura dan Partai Nasdem= total 52 kursi; Anis Rasyid Baswedan dan Sandiana S. Uno diusung Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera= total 28 kursi), dan Agus Harimurti dan Sylviana Murni diusung oleh Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional= total 26 kursi. Terlepas dari proses pencalonan yang tampak elitis, publik mengapresiasi nama-nama kandidat DK-1 dan DKI-2. Publik menilai, para kandidat memiliki reputasi di bidang masing-masing, dan karenanya dianggap credible dan marketable. Dengan karakteristik para kandidat yang cukup top markotop tersebut, Pilgub DKI diyakini bakal berlangsung dinamis, terbuka dan kompetitif. Bahkan saking kompetitifnya, ada yang membuat metafora: “Pilgub DKI Rasa Pilpres” (2014 atau 2019). Realitas kandidat dan kandidasi ini memicu antusiasisme, dan sentimen positif publik untuk berpartisipasi dalam Pilgub DKI 2017. Meski demikian, seperti galibnya suatu kontestasi Pilkada apalagi dihelat di ibukota Negara RI, dalam implementasinya belum tentu berjalan sesuai dengan role of the law dan role of the game. Sangat mungkin, ditingkahi dengan berbagai bentuk pelanggaran. Karenanya, Pengawas Pemilu/Pemilihan tidak boleh kendor dan abai guna melakukan pencegahan, pengawasan dan penindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran. Dengan cara demikian, proses Pilgub DKI akan berlangsung Luber, Jurdil, aman, damai dan output nya dapat menjadi barometer atau role of model dalam pelaksnaan Pilkada di Indonesia.l (Achmad Fachrudin/ abah) 2
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Daftar Isi Prof. Dr. Muhammad S.IP, Akuntabilitas Penyelenggara Pemilu, hal 3 Prof. Dr. Hermawan Sulistio MA Mengawasi Pilkada, Mengawal Demokrasi, hal 17 Endang Sulastri, M.Si Mewujudkan Pilkada DKI yang Berintegritas dan Bermartabat, hal 21 Dr. Musni Umar, M.Si, Peta Konflik Pilgub DKI, Hal 33 Rikson H Nababan , SH Indeks Kerawanan Pilgub DKI DKI Jakarta Tahun 2017, hal 43 Ahsanul Minan, MH Konstestasi Dalam Pilkada DKI Yang Demokratis, hal 61 Khairul Fahmi, M.Si Pemilihan Gubernur DKI Sebagai Cermin Konstestasi Politik Nasional, hal 75 Biodata Penulis Hal 89 Sisipan UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Hal 97
Undangan Menulis Bawaslu DKI mengundang dosen, peneliti, aktivis kepemiluan dan demokrasi, dan sebagainya untuk menyumbangkan pemikirannya di Jurnal ini. Panjang tulisan antara 5.000-6.500 kata, menggunakan font Times New Romance, 1,5 spasi, kertas ukuran A4, referensi/ kepustakaan dan lebih disukai hasil riset akademis. Naskah dikirim via email ke:
[email protected] atau
[email protected].
Akuntabilitas Penyelenggara Pemilu Muhammad
Abstraksi
Ketua Bawaslu Ri dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanudin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Pemilu adalah proses perwujudan dari kedaulatan rakyat terkait pemilihan pejabat pemerintah. Karenanya, penyelenggaraan Pemilu harus betul-betul dilaksanakan sesuai dengan amanat undang-undang. Guna memastikan hal tersebut, maka pelaksanaan Pemilu seharusnya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas. Sedangkan hal pen ting yang terkait dalam akuntabilitas adalah aspek transpa ransi. Transparansi merupakan prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang guna memperoleh informasi tentang penyelenggaraan suatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu institusi negara atau institusi formal lainnya. Dengan demikian aspek transparansi dalam prinsip akuntabilitas akan sangat terkait dengan adanya pengawasan atas seluruh proses yang terjadi, dengan kata lain transparansi akan memberikan keterbukaan informasi kepada masyarakat. Kata Kunci: Akuntabilitas, Penyelenggara Pemilu
A. Pendahuluan Pemerintah suatu negara dari perspektif teori Kedaulatan menurut Filsuf Yunani Aritoteles, dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) bentuk : (1) monocratein, yaitu satu orang memerintah orang banyak. Pada bentuk ini seperti Negara Monarki, kekuasaan penyelenggaraan Negara Monarki, kekuasaan penyelenggaraan ne gara dibangun diatas pondasi ‘Kedaulatan Raja’. Raja/Ratu selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara tidak dipilih melalui suatu pemilihan, melainkan memerintah secara turun-temurun berdasarkan garis keluarga (dinasti); (2) autocratein, yaitu sedikit orang memerintah orang banyak. Pada bentuk ini, seperti Negara Teokrasi, kekuasaan penyelenggaraan negara dibangun diatas pondasi
‘Kedaulatan Tuhan’. Pemimpin spiritual tertinggi pemerintahan dan negara diangkat/ dipilih individu-individu yang bertindak selaku pemegang otoritas spiritual (Wakil Tuhan di Bumi /Khalifah); (3) democratein, yaitu banyak orang memerintah orang banyak. Pada bentuk ini seperti pada Negara Demokrasi, kekuasaan penyelenggaraan Negara dibangun diatas pondasi ‘Kedaulatan Rakyat’. Kepala Negara dan kepala pemerintahan di pilih oleh rakyat (warga Negara) dalam suatu Pemilu atau suatu badan yang dipandang sebagai penjelmaan/perwakilan rakyat. Dari persfektif liberalisme, demokrasi merupakan bentuk dari paham kebebasan (liberalism) yang masuk ke dalam dunia politik. Hal itulah membuat demokrasi mencakup konsep kebebasan (freedom) Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
3
dan konsep kesetaraan (equality). Pada kedua konsep tersebut, persyaratan-per syaratan kedaulatan rakyat meliputi aspek kebebasan berbicara-berpendapat, kebebasan berkumpul-berserikat dan kebebasan memerintah-yang diperintah. Berkaitan ketiga persyaratan tersebut, Negara demokrasi memiliki ciri atas 4 (empat) hal: (1) kebebasan pers sebagai saluran bagi kebebasan dalam berbicara-berpendapat; (2) partisipasi politik yang bermakna sebagai saluran bagi kebebasan dalam berkumpul-berserikat; (3) Pemilu yang bebas, terbuka, adil, jujur, berskala dan kompetitif; (4) pemerintah yang tergantung pada suatu majelis (parlemen) sebagai kebutuh an minimum.1 Dalam banyak kasus di negara-negara dunia ketiga/negara-negara berkembang, demokrasi baru bisa tumbuh dan berkembang setelah melalui suatu proses politik yang terencana dan berkelanjutan berupa demokratisasi. Meskipun Indonesia sejak awal menerima bentuk pemerintahan demokrasi yang ditandai oleh penegasan pada dasar Negara Republik sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, namun demokrasi tersebut, tidak langsung dipraktikkan. Presiden dan Wakil Presiden Pertama misalnya, tidak dipilih melalui Pemilu. Begitu pula dengan anggota-anggota badan legislatifnya. Pemilu baru bisa terlaksana setelah pemerintahan Soekarno mengalami proses demokratisasi yang 1 Tentang pengertian, persyaratan ciri-ciri de mokrasi lihat Maswadi Rauf, “Teori Demokrasi dan Demokratisasi” dalam Naskah Pidato Pe ngukuhan Guru Besar Tetap Fisip UI, Jakarta: UI Salemba, 1997, hal 5.dDan Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Concolidation, Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 199, hal 8. 4
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
ditandai oleh pergolakan politik lokal berupa pemberontakan yang berciri pusat vs daerah, Jawa vs luar Jawa, sipil vs militer. Demokratisasi adalah proses perubahan menuju bentuk pemerintahan demokratis yang ditandai oleh pergerakan dari sistem, struktur dan kultur otoriter ke sistem, struktur dan kultur demokratis dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, kredibilitas dan partisipatif. Sebagai suatu proses, demokratisasi harus melewati tahapan transisi dan tahapan konsolidasi yang berkesinambungan. Pada tahapan transisi akan terjadi pergantian rezim non demokratik dan terbangunnya elemenele men tertib demokrasi. Selanjutnya, pada tahapan konsolidasi memperlihat kan praktik-praktik demokrasi telah menjadi bagian dari budaya politik.2
B. Pemilu dan Demokrasi Pemilu Pemilu merupakan ciri utama sistem politik demokratis. Melalui Pemilu sirkulasi elit berlangsung secara periodik. Pemilu memberikan peluang terjadinya pergantian kepemimpinan dan/atau wakil rakyat berlangsung secara damai dan demokratis. Pada dasarnya, prinsip demokrasi yang utama adalah kedaulatan berada ditangan rakyat. Dengan demikian dalam sistem demokrasi, rakyat menempati posisi yang sangat penting. Hal tersebut terkait de ngan prinsip kebebasan (liberty) dan persamaan (equality). Semua rakyat dalam sistem demokrasi memiliki persamaan terkait dengan haknya sebagai warga negara dan hal tersebut dijamin oleh konstitusi. 2 Tentang tahapan dalam demokratisasi, lihat Georg Sorensen: Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek” dalam “Sebuah Dunia yang Sedang Berubah”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hal 275.
Hak-hak tersebut juga termasuk hak untuk menentukan para pemimpin negara. Penghormatan untuk hal tersebut diwujudkan dalam suatu proses yang di sebut Pemilu. Arah penyelenggaraan Pemilu harus dapat mengayomi dan mewadahi semua hak-hak politik warga Negara dan pemilih sesuai dengan prinsip kesetaraan, One Person, One Vote, One Value (OPOVOV) dan prinsip-prinsip keadilan politik.
bersama yang paling mendasar melihat demokrasi dengan cara yang berbeda. Masyarakat ini memerlukan demokrasi untuk melindungi dan menjamin kebebasan dan hak-hak warganya. Tirani dan semua bentuk kekuasaan politik yang bersifat absolut selalu dipandang sebagai ancaman. Demokrasi kerap kali diidentikan dengan upaya mengendalikan dan membatasi kekuasaan negara.3
Terkait dengan demokrasi, Pemilu merupakan suatu mekanisme penyerah an sebagian kedaulatan pemilih terhadap mereka yang dipilih untuk menjadi pemimpin negara. Hanya saja sering kali hak-hak tersebut terbentur satu sama lain dengan hak-hak serta kepentingan yang lain. Oleh karena itu demokrasi diperlukan karena sistem ini bisa menegakkan stabili
Dalam hal ini prinsip kewarganegaraan (citizenship) menjadi sangat pen ting. Menurut prinsip ini segala bentuk kekuasaan politik baru dianggap tidak sewenang-wenang dan absah jika mendapat persetujuan masyarakat. Keabsahan atau legitimasi tersebut bisa dicapai, misalnya, melalui Pemilu yang dilakukan secara berkala untuk menentuka okoh dan pemim pin yang menduduki jabatan-jabatan publik dangan wewenang yang besar. Kewarganegaraan juga mengharuskan ada nya partisipasi. Maksudnya proses pembuatan kebijakan-kebijakan bersama yang bersifat otoritatif harus dibuka bagi keterlibatan semua warga dan mempertimbangkan prefensi-prefensi yang berkembang di tengah masyarakat.4
Demokrasi bukan saja membuat masyarakat mampu mempertahankan dirinya terhadap ancaman yang datang dari luar, tapi juga membina hubungan yang damai antara sesama warga. tas sosial, menciptakan ketentraman dan membawa rasa aman atas hak-hak yang dimiliki masyarakat. Demokrasi bukan saja membuat masyarakat mampu mempertahankan dirinya terhadap ancaman yang datang dari luar, tapi juga membina hubungan yang damai antara sesama warga. Masyarakat yang menempatkan kebebasan sipil (civil liberty) sebagai nilai
Dalam literatur ilmu politik modern disebutkan ada beberapa ciri pokok dari sebuah sistem politik yang demokratis, diantaranya: pertama, adanya partisipasi politik yang luas dan otonom; demokrasi pertama-tama mensyaratkan dan membutuhkan adanya keleluasaan partisipasi bagi siapapun, baik individu maupun kelompok, secara otonom. Tanpa per3 Lihat dalam Muhammad AS Hikman, Forum Perkembangan Pemikiran dan Praktik Demokrasi, 2008. 4 Muhammad AS Hikam, Ibid. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
5
luasan partisipasi politik yang otonom, demokrasi akan berhenti sebagai jargon politik semata. Oleh karena itu, elemen pertama dalam sebuah sistem politik yang demokratis ialah adanya partisipasi politik yang luas dan otonom. Kedua, terwujudnya kompetensi politik yang sehat dan adil. Dalam konteks demokrasi liberal, seluruh kekuatan politik (partai politik) atau kekuatan sosial kemasyarakatan (kelompok kepentingan dan kelompok penekan) diakui hak hidupnya dan diberi kebebasan untuk saling berkompetisi secara adil sebagai sarana pe nya lur aspirasi masyarakat, baik dalam Pemilu atau dalam kompetisi sosial-politik lainnya. Ketiga, adanya suksesi atau sirkulasi kekuasaanyang berkala, terkelola serta terjaga dengan bersih dan transpa ran, khususnya melalui proses Pemilu. Keempat, adanya monitoring, kontrol, serta pengawasan terhadap kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer) secara efektif; dan Terwujudnya mekanisme checks dan balances di antara lembaga-lembaga negara. Kelima, adanya tatakrama, nilai, norma yang disepakati bersama dalam masyarakat, bernegara, dan berbangsa.5 Terdapat sejumlah setandar umum secara international, yang menjadi tolak ukur demokratis atau tidaknya suatu proses Pemilu yang berlangsung. Standar international ini muncul menjadi syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin Pemilu yang demokratis. Indikator dari standar tersebut meliputi 15 (lima belas) aspek yaitu penyusunan kerangka hukum, penetapan sistem Pemilu, penetapan daerah pemilihan, hak untuk memilih 5 Muhammad AS Hikam, Ibid. 6
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
dan dipilih, lembaga penyelenggara Pemilu, pendaftaran pemilih dan daftar pemilih, akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat, kampanye Pemilu yang demokratis, akses ke media massa dan kebebasan berekspresi, pembiayaan dan pengeluaran partai politik, pemu ngut an suara, penghitungan dan rekapitulasi suara, peranan wakil partai dan kandidat, pemantauan Pemilu, dan penegakan hukum Pemilu. Jika terdapat satu atau bebe rapa aspek yang kurang berjalan dengan baik, maka hal itu akan mempengaruhi aspek-aspek yang lain, sehingga secara keseluruhan akan berdampak pada kualitas Pemilu. Pemilu yang kurang berkualitas akan melahirkan ketidakpuasan bagi banyak kalangan. Ketidakpuasan itu dapat berdampak pada kurangnya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap Pemilu. Di samping itu Pemilu yang tidak berkualitas akan mendorong lahirnya dinamika politik yang cukup tinggi. Pelaksanaan Pemilu dapat dinilai berlangsung secara demokratis jika memiliki 2 (dua) aspek secara simultan yaitu aspek prosedural dan aspek substantif. Dari aspek prosedural antara lain regulasi Pemilu (UU Pemilu), Penyelenggara Pemilu (Komisi Pemilu dan Badan Pengawas Pemilu), Peserta Pemilu (Partai Politik dan/atau Calon Perseo rangan), serta pemilih (Daftar Pemilih Tetap). Indikator aspek prosedural ini adalah hasil yang sangat kuantitatif, sehingga Pemilu identik dengan perebutan suara pemilih. Sementara itu, aspek substantif, Pemilu sejatinya menganut nilai dan prinsip bebas, terbuka, jujur, adil, kompetitif serta menganut azas langsung, umum, bebas dan rahasia. Indikator dari aspek
substantif ini adalah hasil yang sangat kualitatif, sehingga Pemilu identik dengan perebutan legitimasi politik pemilih. Pemilu demokratis dimaksudkan untuk mendapatkan pemimpin yang memperoleh legitimasi politik dari rakyat, untuk itu dibutuhkan 5 (lima) sebagai berikut: Pertama, prinsip Pemilu bebas berarti seluruh warga negara yang memiliki hak suara, secara merdeka, tanpa tekanan dan/ atau paksaan menggunakan hak pilihnya. Kedua, prinsip terbuka berarti Pemilu meli batkan semua pihak, sehingga pelaksanaannya transparan, akuntabel, kredibel dan partisipatif. Ketiga, prinsip adil berarti pemilih dan peserta Pemilu mendapatkan perlakuan yang sama. Keempat, prinsip jujur berarti semua pihak yang terlibat dalam Pemilu harus bertindak dan bersikap dengan mengedepankan nilai-nilai kebenaran. Kelima, Prinsip kompetitif berarti Pemilu bebas dari segala bentuk mobilisasi politik baik dengan iming-iming uang, barang, jasa, jabatan, maupun dengan intimi dasi, tekanan dan paksaan yang membuat peserta Pemilu tertentu dapat dipastikan menang sebelum semua tahapan Pemilu berakhir. Untuk memperkuat ke 5 (lima) prinsip tersebut, azas penyelenggaraan Pemilu yaitu azas langsung, umum dan rahasia juga harus dipastikan. Azas Langsung berarti pemilih tidak boleh diwakili oleh siapapun dan dengan dalih apapun dalam menggunakan hak pilihnya. Azas Umum berarti seluruh warga negara yang memenuhi syarat, dapat memberikan suaranya tanpa dibedakan status sosialnya (suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin,pekerjaan, dan daerah asal). Azas Rahasia berarti tidak ada satupun pihak
yang dapat mengetahui dan/atau berusaha mengetahui pilihan seseorang. Mengingat Pemilu mengandung po tensi konflik politik yang dapat mencip takan instabilitas sosial politik, maka Penyelenggara Pemilu yang mandiri, independen dan profesional adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar-tawar. Penyelenggaraan Pemilu yang mandiri menca kup pikiran, sikap, tindakan dan perilaku yang tidak dapat dipengaruhi secara negatif dan/atau tergantung oleh pihak manapun. Penyelenggara Pemilu yang mandiri mensyaratkan penyelenggara yang profesional yang oleh Samuel. P. Huntington diartikan: seorang profesional memiliki 3 (tiga) ciri yaitu (1) Memiliki pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu; (2) Memiliki keahlian dalam praktek profesi nya; dan (3) memiliki kesadaran akan eksistensinya sebagai suatu kelompok yang berbeda dari orang awam. Menggunakan kriteria Hungtinton ter sebut, lembaga penyelenggara Pemilu harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kemahiran khusus berupa pengetahuan dan keterampilan kepemiluan, memiliki pengetahuan tentang sejumlah hal pen ting yang melingkupi, seperti demokrasi dan demokratisasi, kekuatan-kekuatan politik nasional dan lokal, konflik sosial dan politik, politik primordialisme, politik hukum, politik kekuasaan dan legitimasi, politik intervensi, politik budaya, politik ekonomi, politik sosial, politik organisasi, birokrasi, manajemen dan kepemimpinan, serta politik anggaran. Dalam pengertian prosedural, sistem politik telah menyediakan sumber rekruitmen bagi penyelenggara Pemilu berupa alumni Perguruan Tinggi yang menyeJurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
7
lenggarakan program studi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu seperti ilmu politik, ilmu hukum, dan ilmu pemerintahan. Serta ilmu lainnya yang terkait sengan Pemilu seperti ilmu sosiologi, ilmu administrasi, kependudukan, ilmu komunikasi dan teknologi informasi. Dengan syarat itu, maka pengertian penyelenggaraan Pemilu yang profesional tidak lagi dipahami sebagai lawan dari kata “amatir”, yang dapat dilakukan seperti rekruitment biasa yang hanya mengandalkan Bimbingan Teknis (bimtek). Sebab dengan syarat kemandirian itulah Penyelenggara Pemilu dapat melakukan penolakan terhadap intervensi dari pihak manapun yang potensial mengganggu prose dan hasil Pemilu. Di Indonesia, Pemilu yang kerap dinilai oleh para pengamat tergolong Pemilu demokratis selain Pemilu 1955 adalah Pemilu pasca Gerakan Mei 1998, seperti Pemilu 2004, 2009 dan Pemilu 2014. Pemilu 2004, dinilai sebagai Pemilu yang paling kompleks tapi demokratis dibandingkan dengan Pemilu pada masa orde lama dan semua Pemilu pada masa orde baru. Pemilu 2004 untuk pertama kalinya dilakukan untuk mengisi keanggotaan DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR, DPD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pemilu 2004 dinilai demokratis bukan saja karna KPU selaku penyelenggara Pemilu dapat disebut Mandiri, tapi juga karna fungsi Pengawasan Pemilu berjalan secara efektif meskipun pada waktu itu masih bersifat ad hoc dan partisipatif. Demikian pula pengawasan Pemilu 2009 yang sejak pertama kali lembaga pengawas Pemilu bersifat permanen, nasional tetap dan mandiri berdasarkan Undang-Undang 15 tahun 2011 tentang 8
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Pemilu 2004 untuk pertama kalinya dilakukan untuk mengisi keanggotaan DPRD Kabupaten/ Kota, DPRD Provinsi, DPR, DPD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pemilu 2004 dinilai demokratis bukan saja karna KPU selaku penyelenggara Pemilu dapat disebut Mandiri, tapi juga karna fungsi Pengawasan Pemilu berjalan secara efektif meskipun pada waktu itu masih bersifat ad hoc dan partisipatif. Penyelenggara Pemilu. Sementara itu, pengawasan Pemilu 2014 dinilai berhasil dengan memperhatikan 5 (lima) indikator yaitu: (1) Penguatan kelembagaan dan kapasitas sumber daya pengawasan Pemilu hingga ke tinggkat Desa/Kelurahan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPLN); (2) Menolak semua bentuk kerjasama dengan pihak manapun terutama pihak asing yang potensial menodai hasil Pemilu; (3) Menempatkan TNI-Polri sebagai supporting disaat kekuatannya masih signifikan untuk melakukan intervensi; (4) Efektifitas pe negakan hukum terhadap pelanggaran pidana Pemilu melalui sinergitas tiga lembaga yaitu Pengawas Pemilu, Kepolisian dan Kejaksaan melalui SENTRA GAKKUMDU; (5) Mendorong partisipasi otonom masyarakat secara sukarela melalui Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu (GSRPP). Sistem Proporsional daftar terbuka dengan mekanisme suara terbanyak yang
masih dianut pada Pemilu 2014, menciptakan implikasi luas dan dinamika yang tinggi karena bukan saja partai politik yang berebut suara rakyat, tetapi juga para Caleg dari masing-masing partai dari Dae rah Pemilihan (Dapil) yang sama. Upaya Caleg untuk memperoleh suara terbanyak melahirkan persaingan dan intrik politik cukup tinggi. Para Caleg parpol di Dapil yang sama bersaing saling memperebutkan suara konstituen dengan berbagai cara, termasuk dengan cara membeli sua ra dukungan dari para pemilih. Karena itu sistem Pemilu yang telah berlaku sejak 2009 berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga berdampak pada semakin intens dan masifnya politik uang yang dilakukan para Caleg dalam rangka neraih dukungan sebesar-besarnya dalam pilek 2014 yang lalu. Keinginan para Caleg untuk memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu mendorong para Caleg untuk melakukan kampanye personal kepada anggota masyarakat. Praktis para Caleg berupaya merebut hati para pemilih. Hal itu berimplikasi pada Daftar Pemilih Tetap (DPT). Daftar pemilih tetap dinilai sejumlah kalangan kurang akurat. Hal itu disebabkan oleh 3 faktor. Pertama, belum tersedia nya data kependudukan. Ada tiga sebab ketidak-akuratan data kependudukan. (1) Penduduk yang sering berpindah. (2) Penduduk yang memiliki KTP ganda. (3) Banyak pendatang baru yang belum ter daftar. Kedua, petugas pemutakhiran data tidak bekerja secara optimal. Ketiga, partisipasi masyarakat yang rendah untuk mendaftarkan dirinya secara sukarela sebagai warga negara yang memiliki hak pilih.
C. Akuntabilitas Pelaksanaan Pemilu Sebagai suatu proses yang sangat penting dan diselenggarakan oleh institusi formal maka pelaksanaan Pemilu seharusnya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas yang didalamnya tercangkup aspek transparan dan pertisipatif. Menurut Miriam Budiardjo akuntabilitas merupakan pertanggung jawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat. Dengan demikian akuntabilitas sebenarnya memiliki makna adanya pertanggung-jawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan. Hal tersebut penting untuk mengurangi penumpukan kekuasaan pada suatu lembaga tertentu sekaligus untuk menciptakan situasi saling mengawasi (check and balances). Kondisi tersebut akan memberi peluang sangat besar bagi penyelengara Pemilu yang ideal. Mengingat Pemilu adalah proses perwujudan dari kedaulatan rakyat terkait pemilihan pejabat pemerintah maka penyelenggaraan Pemilu harus betul-be tul dilaksanakan sesuai dengan amanat undang-undang. Guna memastikan hal tersebut maka pelaksanaan Pemilu seharusnya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas. Prinsip tersebut menuntut dua hal yakni kemampuan menjawab (answerability) dan konsekuensi (consequences). Answerbility berhubung an dengan tuntutan bagi para aparat pelaksana untuk memberikan jawaban secara periodik atas berbagai pertanyaan yang terkait dengan penggunaan wewenang mereka dalam menjalankan tu-
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
9
gasnya dan bagaimana mereka menggunakan wewenng tersebut dikaitkan dengan penggunaan sumber daya serta hasil yang dicapainya. Dengan demikian seluruh penyelenggara Pemilu harus dapat mempertanggung jawabkan pelaksanaan wewenangnya. Adapun Guy Peter menyebutkan 3 tipe akuntabilitas yaitu: (1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas kebijak an publik.6 Berdasarkan ketiga hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa prinsip akuntabilitas termasuk dalam pelaksanaan Pemilu sangat terkait dengan aspek-aspek tersebut. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan upaya akuntabilitas kepada publik. Pada dasarnya akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggung jawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan. Sedangkan dalam bidang politik, yang berhubungan dengan masyarakat secara umum, akuntabilitas didefinisikan sebagai mekanisme pengganti pejabat atau pengusaha, tidak ada usaha untuk membangun monoloyalitas secara sistematis, serta ada definisi dan penanganan yang jelas terhadap pelanggaran kekuasaan di bawah rule of law. Sedangkan public accountability didefinisikan sebagai adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka secara garis besar dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas terkait dengan kewajiban dari institusi serta para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat ke6 Peters, B. Guy (2000), The Politics of Bureaucracy, London, Rotlege. 10
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
bijakan maupun melakukan aksii yang sesuai dengan nilai yan berlaku maupun kebutuhan masyarakat. Akuntabilitas publik menuntut adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien karena terkait dengan wewenang dan penggunaan anggaran. Selanjutnya, hal penting yang terkait dalam akuntabilitas adalah aspek transparansi. Transparansi merupakan prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang guna memperoleh informasi tentang penyelenggaraan suatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu institusi negara atau institusi formal lainnya. Informasi yang ada terkait dengan kebijakan, pro ses pembuatan dan pelaksanaanya, serta hasil-hasil yang dicapai. Dengan demikian aspek transparansi dalam prinsip akunta bilitas akan sangat terkait dengan adanya pengawasan atas seluruh proses yang terjadi, dengan kata lain transparansi akan memberikan keterbukaan informasi kepada masyarakat. Melalui keterbukaan informasi di ha rap kan akan membuka ruang dinamika politik yang lebih sehat dan toleransi didasarkan pada preferensi publik. Prinsip transparansi terkait dengan 2 aspek yakni: adanya komunikasi publik dari institusi penyelenggara serta terjaminnya hak ma syarakat terhadap akses informasi. Kedua hal tersebut membutuhkan kesungguhan dari institusi penyelenggara untuk dapat melaksanakan tugas dan tangung jawab nya dengan baik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa transparansi bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang kebijakan publik, dan peroses pembentukannya. Dengan ketersediaan informasi seperti ini ma syarakat dapat ikut sekaligus mengawasi
sehingga kebijakan publik yang muncul bisa memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat serta mencegah terjadinya kecurangan dan manipulasi yang hanya akan menguntungkan salah satu kelompok masyarakat saja secara tidak proporsional. Menyimak hal tersebut maka hal penting lain yang juga terdapat dalam prinsip akuntabilitas adalah pertisipasi masyarakat. Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan disetiap kegiat an penyelenggaraan pemerintahan. Ke terlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Perlu disusun sistem manajemen yang dapat mendorong terwujudnya transparansi dan partisipasi publik, akuntabilitas, taat asas, serta prinsip-prinsip pelaksanaan Pemilu. Guna menjamin hal tersebut dapat terlaksana dengan baik dalam pelaksanaan Pemilu maka perlu diperhatikan diperhatikan keberadaan unsur-unsur pendukung akun tabilitas yang meliputi: 1. Penetapan Tujuan dan Sasaran Pemilu yang jelas, baik untuk jangka pendek maupun jangka menengah. Rencana rehabilitasi dan rekonstruksi harus mengandung visi dan misi yang jelas, sebagai acuan untuk menyusun tujuan dan sasaran rehabilitasi dan rekontruksi. 2. Struktur Kelembagaan Pemilu yang solid untuk mendorong terwujudnya sistem manajemen yang efisien dan efektif guna mencapai tujuan dan sa saran yang telah ditetapkan. 3. Penetapan Kebijakan Pemilu yang jelas
dan terarah, efekti, konsisten dengan tujuan, tertulis, terukur dan transparan. 4. Perencanaa Pemilu yang realistis, terinci sesuai dengan kebutuhan, transparan, dan partisipatif, akomodatif terhadap sosial budaya masyarakat setempat, dan merupakan penjabaran tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan 5. Penetapan Prosedur Kerja/ Manajemen Pemilu yang tepat dan jelas, efektif-efisien, mudah dilaksanakan, mudah dimengerti dan transparan, serta mempertimbangkan peraturan perundang an terkait. 6. Sumber Daya Manusia Penyelenggara Pemilu yang kompeten, profesional dan berintegritas. Dengan menganut berbagai prinsip akuntabilitas maka pelaksanaan Pemilu di Indonesia diharapkan akan sesuai dengan amanat undang-undang dan prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Akuntabilitas diharapkan akan dapat memberikan ja minan pelaksanaan dan hasil Pemilu yang ideal bagi masyarakat.
D. Pengawas Pemilu yang Berkua litas dan Berintegritas Kehadiran Badan Pengawas Pemilu sebagai instrument penting untuk menjamin legitimasi hasil Pemilu seyogyanya terus diupayakan dengan mengembangkan strategi berikut: pertama, pengawasan preventif. Sejumlah penanganan pelanggaran Pemilu selama ini ditekankan pada tahap ketika suatu pelanggaran telah terjadi yang berimplikasi pada rumitnya penyelesaian pelanggaran tersebut. Pe Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
11
ngawasan Pemilu yang perlu terus dikembangkan adalah pengawasan pencegahan (preventif ), maksudnya, Bawaslu dan seluruh jajaranya lebih berkonsentrasi pada upaya-upaya pencegahan terhadap setiap potensi pelanggaran yang mungkin terjadi, sehingga dapat diantisipasi dan bahkan diminimalkan akses dan resiko yang mungkin terjadi. Kedua, pengawasan partisipatif. Bawaslu tentunya memiliki keterbatasan, baik sumberdaya maupun sarana untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan secara optimal, oleh karena itu perlu me ngajak dan melibatkan unsur masyarakat secara simultan dan bersinergi untuk mengawasi Pemilu. Masyarakat perlu digugah kesadaranya bahwa tanggung jawab bersama demi terwujudnya Pemilu yang berkualitas dan legitimated. Ketiga, pengembangan dan Perluasan jaringan/ sinergitas dengan stakeholders Pemilu. Beberapa mitra kerja yang dapat mendukung terwujudnya visi dan misi Bawaslu antara lain: Pertama, Pemerintah. sebagai pihak yang memiliki perangkat birokrasi, sumber daya, sarana prasarana, wewenang pengelolaan anggaran dan keuangan ne gara dukungan operasional lainnya, maka Bawaslu tentu memerlukan dukungan tersebut demi terwujudnya misi dan terlaksananya tupoksi/wewenang/kewajiban Bawaslu secara optimal, proporsional dan profesional berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Kedua, DPR. DPR dan Bawaslu sejatinya memiliki misi yang sam dan sejalan untuk mengawasi pelaksanaan proses-proses politik dinegeri ini khususnya Pemilu. Bawaslu tentu membutuhkan du
12
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
kungan politik dari wakil rakyat terutama untuk mengawal prinsip dan karakter independensi, keberdayaan dan ketegasan Bawaslu memlalui perangkat UU yang menguatkan prinsip dan karakter tersebut. Ketiga, Perguruan Tinggi, Bawaslu selalu membutuhkan kajian-kajian akademis yang kritis dan obyektif tentang kePemiluan terutama fungsi kepengawasan agar dapat mempertajam dan menguatkan keandalan/profesionalisme pengawasan Pemilu. Selain itu penting dan strategis unutk melibatkan mahasiswa sebagai mitra pengawas Pemilu sehingga memiliki pengetahuan teoritik dan praktis mengenai Pemilu. Keempat, Lembaga Swadaya Masyarakat. Bawaslu juga membutuhkan dukungan LSM dan Lembaga-Lembaga Peduli Pemilu lainnya untuk secara bersi nergi mengawasi pelaksanaan dan penyelenggaraan Pemilu serta stakeholders kepemiluan lainnya. Kelima, Partai Politik. Membutuhkan terwujudnya pelaksanaan Pemilu yang jujur, adil, kredibel dan bertanggung jawab tentunya tidak hanya menjadi domain dan tangung jawab KPU dan Bawaslu, tapi juga peserta Pemilu (partai politik) terutama ketika mengajak, mendidik dan mengarahkan kader/pe ngurus serta simpatisannya pada perilaku politik yang dewasa, santun, dan bertanggung jawab. Keenam, Media. Bawaslu membutuhkan dunkungan media terutama dalam mempublikasikan dan mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam pengawasan Pemilu. Keterbatasan sarana publikasi yang dimiliki Bawaslu tentu menjadi kendala tersendiri bagi terdistribusinya informasi pengawasan Pemilu kepada masyarakat. Melalui media pula, Bawaslu akan mendapatkan banyak sumber infor-
masi, data dan fakte yang dapat diolah dan dijadikan sebagai kekuatan dalam menjalankan tugas pengawasan Pemilu. Strategi yang tepat untuk menghadiri intervensi negatif dari pihak lain antara lain : pertama, memantapkan tekad dan keyakinan bahwa keteguhan komitmen akan integritas yang kokoh adalah “harga mati” yang harus terus ditegakkan. Menurut saya, faktor komitmen keteguh an integritas adalah faktor pertama dan utama menentukan kemampuan seorang pengawas Pemilu untuk menghindari intevensi negatif dari pihak manapun. Ini adalah faktor internal dalam diri seseorang yang hanya bisa dilatih dan dibentuk oleh individu yang bersangkutan. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH (dalam bukunya yang berjudul Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu) menegaskan: “Dalam konteks politik, termasuk politik penyelengaraan Pemilu juga sejatinya setiap masyarakat ataupun aktor yang menjadi penyelenggara harus menjadikan nilai-nilai kebaikan unversal sebagai pedoman dalam melihat, menilai, dan bertindak atau sederhananya dalam proses pengambilan keputusan. Karena tanpa disadari dengan nilai-
nilai kebaikan pada diri seseorang dalam proses pengambilan keputusan, maka secara otomatis penempatan istilah independensi atau netralitas sebagai pihak penengah tidak akan terbangun dengan baik”. Kedua, menjaga soliditas, solidaritas dan konsistensi internal sesama pengawas Pemilu. Setelah masing-masing pengawas Pemilu sudah membangun karakter individu yang berintegritas, langkah berikutnya adalah mensinergikan kekuatan-kekuatan integritas individu tersebut menjadi sebuah task force yang kokoh. Ketiga, mengembangkan kemampuan, keterampilan dan teknik pengawasan yang andal pada semua level pengawasan Pemilu. Hal ini penting untuk memberikan bekal bagi aparat pengawas Pemilu untuk jeli dan cermat dalam “menemu-kenali” setiap oknum dan/atau kelompok yang ingin melakukan intervensi terhadap Bawaslu dan jajarannya. Keempat, mendesain regulasi pengawasan Pemilu yang lebih komprehensif, detail dan sistematik termasuk mengatur sanksi yang lebih jelas dan tegas, agar dapat meminimalkan celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengintervensi secara negatif proses hasil Pemilu. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
13
E. Penutup Pada bagian akhir, penulis ingin me nyampaikan pemikiran kritis sekaligus rekomendasi bagi upaya konstruktif me wujudkan akuntabilitas Pemilu yang ber kualitas dan berintegritas. Pertama, penyiapan kader partai politik yang kompeten. Partai politik sebagai salah satu instrumen strategis dan pilar negara demokrasi, sejatinya mampu menyiapkan kader-kader terbaik yang akan diajukan sebagai calon anggota legislatif dan/atau calon pemimpin eksekutif. Fungsi rekrutmen politik yang diemban oleh partai politik harus mampu membangun de ngan ajeg sebuah pola dan sistem kaderisasi yang standar, terukur, berkesimbungan dan mapan. Sehingga partai politik tidak lagi menerbitkan kader-kader instan yang biasanya sarat dengan politik transkasional demi kepentingan politik jangka pendek. Fakta pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014, sejumlah kader partai politik terpilih, tidak dapat dilantik karena terkait masalah hukum dan korupsi. Kedua, adanya kerangka hukum Pemilu yang jelas dan tegas untuk menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepa s ti an hukum hendaknya memenuhi minimal 4 (mpat) kategori yaitu (1) tidak ada kekosongan hukum, (2) tidak saling bertentangan, (3) tidak multi tafsir, dan (4) dapat dilaksanakan. Fakta pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014, terdapat perbedaan pandangan dan sikap antara stakeholders Pemilu (Penyelenggara, penegak hukum, Peserta Pemilu, Pemantau dan Pengamat) terkait kampanye dan Sosialisasi: apakah kreativitas-kreativitas yang dilakukan peserta Pemilu, pemilih 14
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
dan relawan untuk mempengaruhi pilihan seseorang dalam Pemilu telah memenuhi kriteria kampanye? Atau masih sebatas kegiatan sosialisasi? Juga terkait politik uang (money politics) dan biaya politik (cost politics): apakah pembiayaan yang dikeluarkan oleh peserta Pemilu dalam rangka aktivitas Pemilu telah memenuhi kriteria politik uang? atau masih merupakan bagian dari biaya politik? Ketidakjelasan dan ketidaktegasan kerangka hukum Pemilu tersebut akan beerdampak kurang optimalnya pe negakan hukum. Ketiga, pentingnya membangun kesadaran dan pengetahuan politik pemilih untuk menjadi pemilih cerdas melalui pendidikan politik yang berkesinambu ng an. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan sinerjitas konstruktif antara partai politik, pemerintah dan Perguruan Tinggi. Fakta pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014, ditemukan sikap permisif masyarakat terhadap praktik-praktik politik uang. Sebagai contoh di sejumlah sudut-sudut kampung sering dijumpai spanduk bertuliskan: Masyarakat Kampung ini Siap Menerima Serangan Fajar; atau di sudut-sudut perkotaan sangat populer istilah NPWP (Nomor Piro Wani Piro= Nomor Berapa Berani Berapa). Keempat, pentingnya Penyelenggara Pemilu yang independen dan profesional. Peran Penyelenggara Pemilu yang diberi amanah oleh rakyat untuk memastikan pelaksanaan Pemilu berkualitas dan berintegritas, baik proses maupun hasil. Fakta pada Pemilu 2014, sejumlah oknum Penyelenggara Pemilu harus diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). l
Daftar Pustaka • Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokratisasi di Lima Negara, Jakarta, Bina Aksara, 1984. • Apter, Davis, Politik Modernisasi, Jakarta, Gramedia 1987. • AS Hikam, Mohammad, Perkembangan Pemikiran dan Praktek Demokrasi, Forum Jakarta, 2008. • Assiddiqie, Jimly, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2013. • Asian Development Bank, Governance, Sound Development Management, 1999. • Budiardjo, Miriam, Menggapai Kedaulatan untuk Rakyat, Bandung, Mizan, 2000. • Dahl, Robert, On Democracy, New Haven, Yale University Press, 1999. • Diamond, Larry, The Democracy Revolution, Fredom Haouse, London,1992. • Diamond, Larry, Juan Linz, dan Seymour Lipset (Eds), Democracy in Developing Countries, Comparing Experience With Democracy, Boulder, Lynne Rienner, 1990. • Harrison, Lawrence, dan Samuel Huntington, Culture Matters, How Values Shape Human Progress, New York, Basic Books, 2000. • Held, David (Ed.), New Form of Democracy, London, SAGE, 1986. • Held, David, Model of Democracy, Cambridge, Polity Press, 1990. • Huntington, Samuel, The Third Wave Democratization in the late Twentieth, 2003. • O’Donnell, Guillermo, dan Philipe C. Schimitter, Transisi Menuju Demokrasi, Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta, LP3ES, 1993. • O’Donnell, Guillermo, Philipe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi,Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta, LP3ES, 1993.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
15
Mengawasi Pilkada, Mengawal Demokrasi Hermawan Sulistyo
Abstraksi
Hermawan Sulistyo adalah Profesor Riset bidang Perkembangan Politik di Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI. Ia juga Kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) UBJ (Universitas Bhayangkara Jaya).
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) sebagai instrumen perakilan politik adalah etalase terdepan kualitas demokrasi yang sedang dibangun terus menerus di Indonesia. Pengawal penyelenggaraannya harus benar-benar memahami makna demokrasi yang sedang diselenggarakan dan diawasinya, supaya tidak berlangsung “democratic trap” (jebakan demokrasi) atau yang lebih kita kenal sebagai “demokrasi prosedural.” Baik dalam demokrasi prosedural maupun jebakan demokrasi, ancaman terbesarnya adalah seluruh prosedurnya memang demokratis tetapi menghasilkan produk-produk yang tidak demokratis. Produk seperti itu antara lain pemimpin atau rezim kekuasaan yang tidak menjunjung tinggi—bahkan menentang—pluralisme, tidak akuntabel dalam menjalankan amanah kekuasaan, dan seterusnya. Kata Kunci: Mengawasi, Pilkada, demokrasi
P
rinsip pengelolaan kekuasaan dalam masyarakat demokrasi adalah mencegah penumpukan kekuasaan pada seseorang atau sekelompok orang. Prinsip ini dianut karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. Lord Acton menyebutnya, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” (Kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang absolut sudah pasti di salahgunakan). Di sisi lain, demokrasi juga berkaitan erat dengan manajemen pengelolaan sebuah rezim pemerintahan atau rezim kekuasaan yang lebih kecil. Tidak mungkin tercipta suatu pemerintahan—atau suatu rezim kekuasaan yang lebih kecil— manakala berlangsung praktik demokrasi
“boleh apa saja.” Demokrasi adalah manajemen kekuasaan secara beradab, sementara “dempokrasi itu boleh apa saja” adalah anarkisme, yang justru ditolak oleh demokrasi. Manajemen kekuasaan secara beradab itu antara lain diselenggarakan melalui volonte general perwakilan politik. Dengan
Demokrasi adalah manajemen kekuasaan secara beradab, sementara “dempokrasi itu boleh apa saja” adalah anarkisme, yang justru ditolak oleh demokrasi.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
17
Demokrasi adalah manajemen kekuasaan secara beradab, sementara “dempokrasi itu boleh apa saja” adalah anarkisme, yang justru ditolak oleh demokrasi. kata lain, hak politik seseorang untuk ikut serta mengatur relasi sosialnya dengan orang lain dialihkan kepada seorang wakil. Sang wakil inilah yang selanjutnya memegang hak pengaturan kehidupan bersama, atau kedaulatan atas pengelolaan kekuasaan (untuk mengatur kehidupan bermasyarakat bersama).
Apakah landasan seseorang untuk menyerahkan kedaulatan pribadinya kepada seseorang lain? Sebagaimana halnya dengan ukuran-ukuran ekonomi atau pendidikan, maka kekuasaan dan politik juga sesuatu yang dapat diperbandingkan. Dalam sosiologi, skala yang dapat diperban dingkan itu disebut ordinal. Di dalam skala ordinal seseorang itu lebih kaya atau lebih miskin dibanding seseorang lain. Begitu pula dalam pendidikan, seseorang lebih berpendidikan dibanding yang lain.
Melalui perwakilan politik itulah maka kita memilih para pemimpin, baik yang
Sama halnya, kekuasaan dan politik bersifat ordinal. Seseorang atau sekelom-
di legislatif dengan fungsi lebih spesifik, maupun yang langsung duduk di pemerintahan (eksekutif ). Kedaulatan kekuasaan yang basisnya adalah individu ini inheren dalam diri setiap manusia, semenjak ia dilahirkan. Ini berbeda dari prinsip kekuasaan Timur—Jawa, misalnya—bahwa kekuasaan itu bersumber pada Tuhan sehingga kaisar, raja atau pemimpin lainnya tidak dipilih rakyat karena mereka wakil Tuhan. Oleh karenanya, “the king can do no wrong” (Raja tak bisa salah).
pok orang lebih atau kurang berkuasa dibanding orang atau kelompok yang lain. Sumber kekuasaan itu bisa dari kepandaian, kharisma, atau kekayaan. Namun bisa pula sumbernya dari yang lebih struktural seperti kewenangan berjenjang di dalam birokrasi. Masing-masing skala ordinal ini bisa diperbandingkan satu sama lain, selain perbandingan pada dirinya sendiri.
18
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Sebaliknya, sosiologi-politik juga mengenal skala nominal, yaitu skala untuk
mengukur ukuran-ukuran yang tidak bisa diperbandingkan lebih-kurang, ba nyaksedikit, tinggi-rendah dan seterusnya, yang merupakan ukuran-ukuran dengan skala ordinal. Jenis-jenis relasi sosial yang tidak bisa diperbandingkan adalah suku, ras, gender, dan agama. Kita sejak lahir tidak bisa memilih suku karena sudah given dari orangtua kita. Serupa halnya, sementara kita bisa menambah harta, ilmu, dan kekuasaan, kita tidak bisa menjadi “semakin laki-laki atau semakin perempuan.” Pada skala nominal, seseorang tidak bisa diperbandingkan dengan orang lain berdasarkan posisi atau statusnya yang given. Seorang pemimpin perempuan di-bully dengan “perempuan tidak bisa memimpin.” Dimana kesalahan bully ini? Laki-perempuan berada dalam skala no mi nal, sedangkan kekuasaan skalanya ordinal. Mengapa kalau ada pemimpin laki-laki yang gagal memimpin tidak lantas dibilang “laki-laki memang tidak bisa memimpin”? Skala nominal tidak bisa dipakai untuk menilai atau mengukur skala ordinal.
Begitu pula sebaliknya. Yang menjadi persoalan sensitif jika menyangkut agama. Agama berada pada skala nominal, karena tidak bisa diperbandingkan. Setiap penganut agama yang baik pasti meyakini bahwa agamanya lah yang benar. Tetapi, tidak ada seorang pun yang bisa memastikan kebenaran itu kecuali keyakinan dirinya sendiri. Jadi, skala ordinal juga tidak bisa dite rapkan untuk mengukur sesuatu yang sifatnya nominal. “Oh dia lebih cerdas karena dia orang Jawa.” Pernyataan seperti ini jelas salah dan menyesatkan (misleading) karena keduanya berada pada ranah skala yang berbeda. Suku nominal, sementara kecerdasan ordinal. Tetapi, masyarakat pada umumnya tidak mengenali skala-skala yang berbeda ini jika menyangkut agama. Agama melibatkan keyakinan, emosi, perasaan dan hal-hal lain yang bersifat non-rasional, bahkan irrational. Maka ketika logika rasional seperti pemilahan ranah skala nominal-ordinal ini disosialisasikan, orang seringkali tidak mau menerimanya. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
19
Secara kebetulan, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) DKI untuk memilih gubernur dan wakil gubernur tahun depan (2017) memiliki tiga pasang calon, hanya satu diantaranya—Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok—yang non-muslim, dengan latar belakang etnik Tionghoa. Kedua latar belakang tersebut-Tionghoa dan non-muslim - berada pada skala nominal. Pertarungan menjadi gubernur DKI skalanya ordinal. Maka biarkan saja Ahok tidak dipilih karena kepemim pinannya yang buruk atau “mulutnya tidak pernah disekolahin,” karena kualitas kepemimpinan dan kesantunan bisa diperbandingkan. Skala ordinal untuk mengukur skala ordinal yang lain (kualitas kepemimpinan, kekuasaan, politik). Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) sebagai instrumen
20
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
perakilan politik adalah etalase terdepan kualitas demokrasi yang sedang dibangun terus menerus di Indonesia. Pengawal penyelenggaraannya harus benar-benar memahami makna demokrasi yang sedang diselenggarakan dan diawasinya, supaya tidak berlangsung “democratic trap” (jebakan demokrasi) atau yang lebih kita kenal sebagai “demokrasi prosedural.” Baik dalam demokrasi prosedural maupun jebakan demokrasi, ancaman terbesarnya adalah seluruh prosedurnya memang demokratis tetapi menghasilkan produk-produk yang tidak demokratis. Produk seperti itu antara lain pemimpin atau rezim kekuasaan yang tidak menjunjung tinggi—bahkan menentang—pluralisme, tidak akuntabel dalam menjalankan amanah kekuasaan, dan seterusnya. l
Mewujudkan Pilkada DKI yang Berintegritas dan Bermartabat Endang Sulastri Abstraksi
Dekat Fisip UMJ, mantan anggota KPU RI 2007-2012
Dengan keberagaman etnis dan agama yang demikian kompleks, DKI Jakarta seakan menjadi miniatur dari Republik Indonesia. Sehingga tidak heran dan sangat beralasan apabila Pilkada DKI Jakarta diharapkan dapat menjadi barometer pembangunan demokrasi di Indonesia. Belum lagi faktor lain yang juga menarik untuk dapat menjadi alasan adalah adanya akses yang cukup luas pada media dan informasi yang cukup mudah. Sebagai pusat Ibukota negara, DKI Jakarta juga memiliki akses yang mudah dalam proses komunikasi dan informasi sehingga dalam ajang proses pemilukadanya juga selalu menjadi sorotan bagi pemantau tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Oleh karenanya proses Pilkada di DKI Jakarta dituntut untuk dapat berjalan jujur, adil, transparan, profesional, bera dab dan berintegritas karena di Jakartalah semua mata akan terpusat pada Pilkada serentak 2017 ini. Kata Kunci: Pilkada DKI, berintegritas, bermartabat
A. Pendahuluan Perkembangan demokrasi prosedural dalam upaya memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia pasca Pemilu Legislatif (DPRm DPD dan DPRD) dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 menggambarkan dinamika yang cu kup menarik. Setelah melalui proses yang cukup panjang, untuk menentukan sistem Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, antara pemilihan secara langsung atau dipilih oleh DPRD, maka proses pemilihan akhirnya kembali pada pemilihan langsung oleh rakyat setelah pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Perppu No 1 tahun 2014 pada akhir pe-
merintahannya. Perppu ini dikeluarkan pemerintah pada tanggal 2 Oktober 2014, dua hari setelah UU nomor 22 tahun 2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD ditandatangani oleh Pre siden pada tanggal 30 September 2014. Bahkan Perppu tersebut disahkan oleh Kemenhukham pada hari yang sama dengan pengesahan UU No 22 tahun 2014 yaitu tanggal 2 Oktober. Tampaknya, aspirasi masyarakat yang diwakili oleh kelompok masyarakat sipil dan gerakan pro demokrasi mendapatkan perhatian yang serius dari Presiden SBY kala itu. Maka setelah Perppu disyahkan oleh DPR menjadi UU No 1 tahun 2015 Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
21
tentang penetapan Perppu menjadi Undang-undang yang kemudian diubah me lalui UU Nomor 8 tahun 2015. Berdasarkan Undang-undang inilah maka maka pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan serentak pada 206 daerah dilakukan secara serentak pada bulan Desember 2015. Meskipun dengan landasan UU yang dibuat secara tergesa-gesa dan banyaknya intervensi melalui perubahan ketentuan melalui putusan Mahkamah Konstitusi1 tapi semua patut bersyukur dan bangga karena pilkada serentak 2015 bisa berjalan sukses dan cukup lancar. Pilkada serentak tahun 2017 merupakan pilkada serentak kedua setelah Pilkada serentak 2015. Meskipun jumlah daerah yang menyelenggarakan tidak sebanyak tahun 2015, namun Pilkada serentak tahun 2017 kali ini yang diikuti 101 daerah tidak akan kalah menarik untuk menjadi perhatian. Hal ini dikarenakan pada Pilkada serentak kali ini diantara 7 provinsi yang menyelenggarakan pilgub terdapat 3 daerah provinsi yang sifatnya istimewa/ khusus. Ketiga daerah tersebut adalah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Aceh dan Provinsi Papua Barat. Proses penyelenggaraan pilgub di tiga daerah tersebut, disamping mengikuti Undang-undang yang baru terkait Pemilu Kepala Daerah yaitu UU Nomor 10 tahun 2016 tentang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Peme rintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Dubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-un1 Ketika tahapan sedang berlangsung terdapat beberapa keputusan MK yang dihasilkan dari tuntutan Judicial Review dari berbagai pihak, diantaranya terkait calon tunggal. 22
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
dang, juga harus mengikuti Undang-undang yang bersifat Khusus terkait dengan daerah masing-masing. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta, sebagai sebuah daerah khusus Ibukota juga memberlakukan UU Khusus dalam penyelenggaraan pemilihannya, yaitu: UU Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI. Pengaturan pemilihan gubernur dan wakil gubernur termaktub dalam pasal 10 dan 11 Undang-undang dimaksud, khususnya yang mengatur bahwa gubernur dan wakil gubernur dipilih secara langsung dan Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Apabila dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memiliki suara terbanyak pertama dan kedua.2 Hal yang sangat berbeda dengan ketentuan Pilkada umumnya sebagaimana diatur dalam UU Pilkada dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih adalah yang mendapatkan suara terbanyak. Sebagai provinsi yang menjadi pusat ibu kota, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI ini selalu menarik perhatian tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga nasional. Di samping posisi Jakarta yang 2 Lihat Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada pasal 10, dan 11 ayat (1), (2), (3)
sangat strategis sebagai ibu kota negara, Jakarta juga sering menjadi barometer untuk penyelenggaraan hajat demokrasi. Begitu menariknya Pilkada Gubernur DKI sampai menjadikan Pilkada Gubernur Banten, yang wilayahnya berdampingan dengan DKI sepi dari pengamatan. Harapan dan perhatian yang begitu besar terhadap penyelenggaraan Pilkada di Provinsi DKI Jakarta ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk menjadikan Pilkada DKI benar-benar dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan demokrasi di negeri ini dan menjadi standar serta contoh bagi pelaksanaan Pilkada yang jujur, adil, berintegritas dan beradab. Tulisan ini akan berusaha untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut dengan mencoba menguraikan tentang pentingnya Jakarta sebagai barometer pembangunan demokrasi pro sedural yang beradab, faktor-faktor yang mendukung dan menghambat, serta pro yeksi ke depan pelaksanaan pilgub DKI Jakarta.
B. Barometer Pembangunan Demokrasi di Indonesia Harapan yang besar pada pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta sebagai barometer bagi pembangunan demokrasi di Indonesia tentu bukan merupakan harapan yang muncul tanpa alasan yang rasional. Sebagai kota metropolitan dan ibu kota negara, di samping seluruh kantor pemerintahan negara, kedutaan dan lembaga-lembaga tinggi terdapat di Jakarta, DKI Jakarta juga memiliki proporsi kelas menengah yang lebih besar, karena di Jakartalah mereka yang memiliki uang dan pendidikan berkumpul. Mayoritas
warganya berpendidikan SLTA ke atas, pendapatan per kapita rata-rata sudah mencapai 10 ribu dolar per tahun, jauh di atas angka nasional yang hanya berkisar antara 3-4 ribu dollar. Demikian juga dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DKI Jakarta juga selalu lebih tinggi dari rata-rata nasional dari seluruh komponen IPM, mulai dari angka melek huruf, rata-rata lama pendidikan, angka harapan hidup, dan lain-lain memiliki nilai yang cukup tinggi.3 Sedangkan untuk Indeks Demokrasi (IDI) Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2014-2015 juga memiliki nilai yang cukup tinggi di atas nilai rata-rata nasional yaitu sebesar85,32 jauh di atas indeks demokrasi nasional 72, 82. Demikian pula halnya capaian masingmasing aspek juga masih lebih tinggi dari nilai rata-rata nasional, yaitu aspek Kebebasan Sipil (89,64), Hak-hak Politik (83,19), maupun Lembaga Demokrasi (83,26). 4 Dilihat dari heterogenitas penduduk DKI Jakarta, Jakarta juga memiliki komposisi etnis dan agama yang sangat beragam. Dari sisi etnis, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan etnis terbesar dengan populasi sekitar 35,16 % dari penduduk kota. Kemudian disusul dengan etnis Betawi, yang berjumlah sekitar 27,65 % dari penduduk kota. Berikutnya adalah suku Sunda (15,27%), Tionghoa (5,5 %), 3 Lihat data BPS dalam beberapa tahun terakhir, selalu menempatkan DKI memiliki IPM yang lebih tinggi dari IPM Nasional 4 Data BPS tahun 2015 menempatkan nilai rata-rata nasional untuk ketiga aspek demokrasi sebagai berikut: aspek kebebasan sipil 80,30; aspek hak politik 70,63; aspek lembaga demokrasi 66,87. Lihat Data BPS dalam https://www.bps.go.id/website/brs_ind/ brsInd-20160803114845.pdf Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
23
Batak (3,61 %), Minangkabau (3,18%) dan Melayu sekitar 1,62 %. Diluar itu ada suku Bugis, Madura, Banjar, Banten dan lainlain.5 Selain itu, keberagaman penduduk DKI Jakarta juga bisa dilihat dari keberagaman agama yang dianut. Komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan(6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %). Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya.6 Dengan keberagaman etnis dan agama yang demikian kompleks, maka DKI Jakarta seakan menjadi miniatur dari Republik Indonesia. Sehingga tidak heran dan sangat beralasan apabila Pilkada DKI Jakarta diharapkan dapat menjadi barometer pembangunan demokrasi di Indonesia. Belum lagi faktor lain yang juga menarik untuk dapat menjadi alasan adalah adanya akses yang cukup luas pada media dan informasi yang cukup mudah. Sebagai pusat Ibukota negara, DKI Jakarta juga memiliki akses yang mudah dalam proses komunikasi dan informasi sehingga dalam ajang proses pemilukadanya juga selalu menjadi sorotan bagi pemantau tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Oleh karenanya proses Pilkada di DKI Jakarta dituntut untuk dapat berjalan jujur, adil, transparan, profesional, beradab dan berintegritas karena di Jakartalah semua mata akan terpusat pada Pilkada serentak 2017 ini. 5 Lance Castle, Profil Etnik Jakarta, Masup, Jakarta, 2007. Meskipun komposisi penduduk DKI ini selalu berubah-ubah, namun data yang disampaikan oleh Lance Castle ini tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini 6 Ibid. 24
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
C. Menuju Pemilu/ Pilkada Demo kratis Pada saat ini, Pemilu nasional umumnya dan Pemilu lokal pada akhirnya yang biasa disebut dengan Pilkada merupakan indikator penting dalam pembangunan demokrasi. Begitu pentingnya pemilihan umum sebagai mekanisme demokrasi prosedural, Abdul Gaffar Karim menyatakan, bahwa sangat boleh jadi, pemilihan umum pada taraf tertentu menjadi sebuah token of membership bagi sebuah negara jika ingin bergabung dalam sebuah mars peradaban bernama demokrasi.7 Lebih lanjut dikatakannya bahwa pe milu adalah salah satu ornamen paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi prose dur al nya menjadi pilihan yang nyaris tunggal bagi penyelenggara negara.8 Oleh karenanya, tidak ada satupun ne gara yang mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu meskipun pada hakekatnya mereka adalah peme rintahan yang otoriter. Di sisi lain, meskipun Pemilu/Pilkada sering digunakan sebagai indikator negara demokratis, namun tidak dapat pula secara otomatis negara yang menyelenggarakan Pemilu/Pilkada adalah negara yang demokratis, karena di beberapa tempat, banyak negara otoriter yang menggunakan tameng Pemilu/Pilkada untuk me nutupi kekuasaan otoriternya. Maka disinilah pentingnya, mengukur parameter yang lebih dalam lagi bagi sebuah negara demokrasi, yaitu diselenggarakannya 7 Abdul Gaffar Karim, dalam Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: JIP FISIPOL UGM, 2009, hal.v-vi 8 Ibid.
Pemilu/Pilkada yang demokratis, jujur, adil dan berintegritas. Terkait dengan Pemilu yang demokratis, Robert A. Dahl, menyebutkan tiga kriteria penting yang harus terpenuhi. Ketiga kriteria tersebut meliputi tiga tahapan Pemilu, yaitu kriteria sebelum pemilihan, selama pemilihan dan setelah pemilihan.9 Pada waktu sebelum pemilihan (prevoting period) Pemilu yang demokratis adalah dimana setiap pemilih memiliki informasi yang cukup terkait alternatif pilihannya, sehingga mereka bisa menentukan pilih an sesuai harapannya pada waktu yang dijadwalkan. Secara lengkap, Dahl me nyatakan terkait masa sebelum pemilihan adalah sebagai berikut: “Any member who perceives a set of alternatives, at least one of which he regards as preferable to any of the alternatives scheduled, can insert his preferred alternatives among those scheduled for voting. All individuals possess indentical information about alternatives” Lebih lanjut, menurut Dahl, tahap saat pemilihan (voting period), untuk menuju Pemilu yang demokratis disyaratkan setiap warga negara menentukan pilihan atas alternatif tersebut dan adanya penghitungan suara yang dapat memastikan bahwa yang mendapatkan pilihan paling banyak adalah sebagai pemenangnya. (Every member of the organization performs the acts we assume to constitute an expression of preference among the scheduled alternatives e.g., voting. In tabulating these expressions (votes), the wight assigned to the choice of each individual is 9 Robert A. Dahl, A Preface to Democratic Theory, The University of Chicago Press, Chicago, 1956, hal 67-71.
identical. The alternatives with the greatest number of votes is declared the winning choice).Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Pemilu yang demokratis harus berjalan secara bebas, adil dan jujur. Tahapan ketiga Pemilu yang demokratis adalah adanya alternatif pemimpin yang terpilih dengan suara terbesar menggusur alternatif pemimpin dengan suara yang lebih kecil dan perintah pejabat dilaksanakan. (Alternatives (leader or policies) with the greatest number of votes displace any alternatives (leaders of policies) with fewer votes.The orders of elected officials are executed) Dengan demikian bahwa pemimpin membuat kebijakan yang sesuai dengan keinginan ma syarakat banyak yang telah memilihnya. Di luar pendapat Dahl tersebut, masih banyak pendapat lain yang mensyaratkan sebuah Pemilu bisa berjalan secara demokratis. Dari beberapa literatur yang membahas tentang Pemilu dan faktor-faktor yang mempengaruhinyadapat disarikan bahwa setidaknya terdapat tiga hal yang mempengaruhi kesuksesan sebuah Pemilu.10 Ketiga hal tersebut adalah, pertama faktor regulasinya, dalam hal ini apakah regulasi yang digunakan cukup jelas, sistem yang digunakan sederhana, tidak menimbulkan multi tafsir serta membe rikan ruang bagi terselenggaranya Pemilu yang demokratis, adil dan berintergritas. Faktor kedua, adalah proses penyelenggaraannya. Termasuk dalam faktor ini 10 Disarikan dari beberapa tulisan, diantaranya tulisan Andrew Haywood, Politics, 2nd Edition, Palgrave, New York, 2002, ; Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, ; Miriam Budiardjo, Dasar Ilmu Politik (edisi revisi), Gramedia, Jakarta, 2010. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
25
adalah penyelenggaranya, peserta Pemilunya, pemilihnya, jadwal pelaksanaan, anggaran dan peran para stakeholder lainnya. Sedangkan faktor ketiga adalah faktor penegakan hukum yang meliputi bagaimana aturan-aturan itu ditegakkan dan keberanian didalam menjatuhkan sangsi atas pelanggaran yang dilakukan. Memperhatikan ketiga faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan sebuah Pemilu sebagaimana yang disebutkan di atas, kita dapat berharap banyak atas penyelenggaraan pilgub DKI pada tahun 2017 kedepan.
D. Faktor Regulasi Sebagaimana disampaikan dalam pendahuluan diatas, penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta mendasarkan diri pada dua aturan utama yaitu UU Nomor 10 tahun 2016 dan UU Nomor 29 tahun 2007. Dalam UU No 10 tahun 2016 mengatur secara umum atas penyelenggaraan Pilkada bagi seluruh daerah. Undang-undang ini merupakan hasil perubahan atas undang-undang sebelumnya yaitu UU No 8 tahun 2015 yang menjadi landasan bagi penyelenggaraan Pilkada serentak pada tahun 2015. Terdapat beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam pengaturan Undang-undang yang baru ini. Beberapa pengaturan tersebut diantaranya adalah persyaratan pencalonan, dimana hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD yang boleh mengusung pasangan calon, serta ditingkatkannya prosentase bagi pasangan calon yang ingin mengajukan diri melalui jalur perseorangan. Dengan ketentuan ini, kesempatan munculnya calon dari partai-partai di luar 26
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
parlemen yang memiliki suara pada Pemilu legislatif yang lalu namun tidak berhasil mendapatkan kursi menjadi tertutup. Demikian juga dengan calon perseorangan akan semakin sulit karena dinaikkannya jumlah dukungan dan mekanisme verifikasi yang sedemikian ketat. Di satu sisi, aturan ini akan cukup membatasi jumlah pasangan calon yang maju dalam Pilkada tapi di sisi lain juga membatasi munculnya calon-calon alternatif di luar partai politik. Perubahan regulasi lainnya yang sig nifikan dalam mempengaruhi pelaksana an Pilkada serentak 2017 termasuk di dalamnya Pilkada DKI Jakarta adalah diberikannya kewenangan bagi Bawaslu Provinsi dalam memutuskan penjatuhan sanksi diskualifikasi pada pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi, dan KPU Provinsi wajib melaksanakannya dalam waktu paling lama 3 hari setelah keputusan Bawaslu Provinsi. Di satu sisi mendorong pasangan calon untuk hati-hati dan tidak menggunakan cara-cara yang tidak jujur, melakukan pelanggaran yang terstruktur, masif dan sistematis dengan memberikan sangsi yang cukup berat bagi pasangan calon yang melakukannya tapi di sisi lain juga bisa menghambat pelaksanaan tahapan karena tetap memberikan ruang untuk mengadukan proses keberatan/ ban ding ke Bawaslu RI maupun Mahkamah Agung.11 Ketentuan lain yang diatur dalam regulasi yang mendukung terselenggaranya Pilkada DKI Jakarta dapat berjalan demokratis adalah adanya ketentuan cuti 11 Lihat ketentuan UU Nomor 10 tahun 2016 pa sal 10 huruf b1; pasal 22B dan pasal 135A.
pada masa kampanye bagi petahana yang maju lagi dalam Pilkada. Hal ini memberikan ruang kesetaraan bagi seluruh pasangan calon dan menghindari penggunaan fasilitas negara serta politisasi birokrasi. Di luar ketentuan UU Nomor 10 tahun 2016 sebagai aturan umum dalam penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta, juga terdapat ketentuan khusus dalam UU No 29 tahun 2007 yaitu terkait penentuan pasangan calon terpilih yang harus memenuhi ketentuan lebih dari 50 %. Hal ini memberikan nilai lebih bagi Pilkada DKI Jakarta, karena legitimasi yang diperoleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta lebih kuat. Ketentuan ini sama dengan ketentuan yang diberlakukan dalam pemilihan Presiden.
E. Faktor Penyelenggara, Peserta Pilkada dan Pemilih Dalam proses penyelenggaraannya, sesuai dengan ketentuan Undang-un-
Perubahan regulasi lain yang signifikan adalah diberikannya kewenangan Bawaslu Provinsi dalam menjatuhkan sanksi diskualifikasi pada pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi. dang yang mengatur tentang Pilkada bahwa penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur meskipun dilaksanakan oleh KPU Provinsi, tetapi berdasarkan ketentuan hierarkis tetap menjadi tanggungjawab bersama KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.12 Penguatan atas penyelenggaraan pemilihan Gubernur yang hirarkis semacam ini menjadikan penyelenggara Pemilu di tingkat Provinsi tidak kehilangan kontrol dalam pelaksanaan tahapan yang mereka lakukan. Seluruh tahapan, tidak bisa lepas dari Peraturan KPU yang dibuat oleh KPU 12 Lihat UU Nomor 8 tahun 2015 pasal 8 Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
27
secara nasional dimana proses penetapan peraturannya setelah melalui proses konsultasi dengan pemerintah dan DPR. Bahkan karena Pilkadanya dilaksanakan secara serentak, maka tahapan dan jadwal pemilihanpun sudah ditetapkan pula oleh KPU secara terpusat. Ketentuan ini tidak hanya menjadikan pilgub DKI Jakarta terkontrol oleh KPU RI, namun juga menjadikan beban KPU Provinsi lebih sedikit berkurang. Pengalaman atas koordinasi dan monitoring KPU RI dalam menyelenggarakan Pilkada serentak tahun 2015 yang diakui banyak pihak berjalan secara sukses setidaknya memberikan dampak pada kepercayaan publik ke depan dalam penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2017 khususnya di Provinsi DKI Jakarta. Demikian juga untuk penyelenggara di tingkat Provinsi DKI Jakarta. KPU maupun Bawaslu Provinsi DKI Jakarta telah memiliki sejarah kesuksesan dalam penyelenggaraan Pemilu gubernur dan wakil gubernur pada tahun 2012. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang berjalan dalam dua putaran dengan jumlah calon yang cukup banyak (6 pasangan calon) telah dapat menjadi contoh dalam penyelenggaraan Pemilu kepala daerah yang sukses, berjalan damai, bermartabat dan tanpa kekisruhan yang cukup berarti. Catatan penting untuk penyelengaraan pilgub 2017 ini adalah bagaimana penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) bisa menjamin daftar pemilih pada pilgub lebih valid, akurat dan sahih. Sebagai ibukota metropolitan yang penduduknya memiliki mobilitas yang sangat tinggi, Provinsi DKI Jakarta senantiasa memili-
ki masalah dalam urusan daftar pemilih pada setiap Pemilunya. Pengalaman pada pilgub 2012 setidaknya bisa menjadi bahan evaluasi dan penyusunan rencana lebih baik dalam pendataan daftar pemilih. Unsur lainnya dalam proses penyelenggaraan Pemilu selain penyelenggara Pemilu adalah peserta dan pemilih. Peserta adalah para calon yang turut berkompetisi dalam merebut simpati dan suara rakyat sedangkan pemilih adalah rakyat yang memiliki kedaulatan untuk memilih pemimpin yang mereka kehendaki. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Haywood, bahwa Pemilu bukanlah karakter tunggal, bukan pula mekanisme tunggal akuntabilitas publik. Menurut Haywood Pemilu adalah jalan dua arah yang disediakan untuk pemerintah dan rakyat, elit dan massa untuk saling mempengaruhi. Pemilu adalah ‘jalan dua arah’ seperti yang ada pada semua saluran komunikasi politik.13 Dalam konteks jalan dua arah tersebut, maka fungsi Pemilu secara garis besar terumuskan dalam dua perspektif yaitu perspektif bottom up dan top down. Dalam perspektif bottom up, Pemilu menjadi landasan bagi siapa saja yang memiliki kemampuan dan memenuhi persyaratan dapat mencalonkan diri untuk dipilih oleh rakyat menjadi pemimpin politik. Di sisi lain dari perspektif bottom up juga, maka Pemilu menjadi sarana bagi rakyat untuk dapat memilih dan menentukan pemimpin yang mereka percaya serta menghukum dan mencabut dukungannya ketika pemimpin yang terpilih dianggap tidak lagi aspiratif. Dengan demikian Pemilu memberikan ruang 13 Sigit Pamungkas, ibid., hal. 4
28
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
yang luas untuk partisipasi masyarakat baik sebagai orang yang dipilih maupun yang memilih. Berbeda dengan pilgub DKI 2012 yang diikuti sebanyak 6 pasangan calon yang terdiri atas 2 pasangan calon independen (Faisal Batubara- Biem Benyamin dan Hendardji Soepandji- A.Riza Patria) dan 4 pasangan calon yang diusung oleh gabungan partai politik yaitu Foke Nachrowi Ramli (diusung oleh 7 parpol yaitu: Partai Demokrat, PAN, PKB, PBB, Hanura, PKNU dan PMB); Joko Widodo- Basuki Tjahaya Purnama ( diusung PDI P dan Partai Gerindra); Hidayat Nur Wahid- Didik J Rachbini (diusung Partai Keadilan Sejahtera) dan Alex Nurdin-Joko Sampono ( diusung oleh 10 parpol yaitu: Partai Golkar, PPP, PKDI, PDS, PPNUI, PKPB, Partai Buruh, Partai Republikan, PPIB, dan PNI Marhaen), pada Pilkada gubernur dan wakil gubernur kali ini, hanya diikuti oleh 3 pasangan calon yang diusung oleh partai politik tanpa adanya calon independen/perseorangan. Meskipun tidak terdapat pasangan calon perseorangan yang dapat maju sebagaimana dalam Pilkada 2012, namun ketiga bakal pasangan calon yang diajukan memberikan harapan baru bagi masyarakat DKI Jakarta. Di samping pasangan calon petahana Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Syaiful Hidayat yang diusung oleh 4 partai politik yaitu: Partai Nasdem, Hanura, Golkar dan PDI P; terdapat bakal pasangan calon Agus Yudhoyono- Sylvia Murni yang didukung 4 gabungan partai politik yaitu Partai Demokrat, PPP, PAN dan PKB, dan bakal pasangan calon Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang didukung 2 partai politik yaitu Partai Gerindra dan
PKS.14 Apabila ketiadaan calon independen dalam proses pilakada sering dinilai sebagai satu kelemahan karena dianggap kurang memberikan alternatif untuk munculnya figur-figur alternatif di luar partai politik. Namun, melihat latar belakang ketiga pasangan calon yang diusung partai politik memberikan fenomena yang cukup menarik untuk diperhatikan. Dari ketiga pasangan calon yang diusung oleh partai politik dan gabungan partai politik, ketiga bakal calon gubernurnya bukan berasal dari kader partai politik pengusung. Bahkan untuk bakal pasangan calon dari 4 partai politik yaitu Demokrat, PPP, PAN dan PKB bakal wakil gubernurnya pun bukan kader partai tetapi dari birokrat. Dengan demikian ketiadaan calon perseorangan seakan-akan telah terwakili dari profil ketiga bakal calon gubernur ini. Apalagi mengingat bakal calon dari petahana semula juga sudah mempersiapkan diri untuk mencalonkan dari unsur perseorangan. Oleh karenanya, bila salah satu ke suksesan proses penyelenggaraan Pemilu secara substansial ditentukan oleh faktor kualitas pasangan calon yang diusung oleh partai politik/gabungan partai politik, maka melihat latar belakang ketiga pasangan calon pada pilgub DKI Jakarta 2017 rasanya optimisme pilgub DKI berjalan lebih demokratis dan menghasilkan pemimpin yang kapabel akan semakin mendekati harapan. Siapapun yang terpilih pada pilgub kali ini memiliki kualitasmasing-masing sebagai calon pemimpin 14 Pada saat artikel ini ditulis belum ada penetap an pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI oleh KPU Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
29
DKI yang tidak diragukan lagi oleh publik. Tinggal bagaimana para pemilih DKI mampu memilih yang terbaik diantara ketiga calon tersebut. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, pemilih DKI pada Pilkada 2012 tercatat sebagai pemilih yang rasional, mengawali berakhirnya diskriminasi dan prejudice terhadap ras atau agama di dalam kancah politik. Argumen ini disusun dengan mendasarkan diri pada kemenangan Jokowi-Ahok yang terpilih dalam pilgub 2012 meskipun mayoritas masyarakat DKI beragama Islam (Ahok sebagai calon wagub adalah non pribumi dan seorang Kristen).15 Memang agak terlalu naif bila mengatakan bahwa politik berdasarkan agama dan ras sudah berakhir di Jakarta, namun memperhatikan hasil Pilkada 2012 setidaknya bisa menggambarkan kedewasaan pemilih DKI dalam proses berdemokrasi. Oleh karena itu, meskipun saat ini wacana agama dan ras menjadi isu yang paling hangat dalam awal-awal tahapan Pilkada 2017 ini, namun memperhatikan komposisi pemilih yang mayoritas berpendidikan menengah keatas, dengan tingkat ekonomi yang cukup, harapan bahwa pemilih dapat berperilaku dewasa dan rasional dalam berpolitik. Pendidikan politik dan sosialisasi perlu dilaksanakan secara terus menerus untuk mendorong pemilih lebih rasional dan dewasa. Peran partai politik, para calon, tokoh masyarakat dan tokoh agama, menjadi kunci dalam memberikan pendidikan politik yang baik. 15 Lihat tulisan Gary Evano Daniel, yang diunggah dalam http://heydiaspora.com/pilgub-jakarta-2012/ tanggal 22 September 2012. 30
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Di luar para pemangku kepentingan seperti yang sudah disebutkan di atas yaitu penyelenggara Pemilu, partai politik, para calon, penegak hukum maupun pemilih, faktor lain turut berperan dalam upaya mewujudkan pemilihan gubernur yang demokratis, berintegritas dan bermartabat adalah peran media. Sebagaimana disampaikan oleh Edmund Burke, media merupakan pilar keempat demokrasi. Media di samping berperan sebagai sumber informasi, juga berperan dalam proses pendidikan politik dan fungsi pe nga wasan/ kontrol dalam demokrasi. Bagaimana meletakkan peran media se bagaimana fungsi yang seharusnya, ini yang menjadi sangat penting. Dalam per kembangannya media massa (cetak maupun elektronik) saat ini seringkali sudah menjadi alat kampanye bagi sebagian kelompok yang memiliki media atau yang berpihak pada pemilik media. Sehingga harapan untuk mendapatkan media yang netral, transparan dan berpihak pada kebenaran tidak tercapai. Hal ini tidak hanya pada media cetak dan elektronik tetapi juga media massa sosial yang melaju dengan pesat sebagai media komunikasi massa. Bahkan dalam perkembangan akhir-akhir ini media sosial memiliki peran yang sangat tinggi bagi masyarakat perkotaan seperti Jakarta dalam upaya penyebaran informasi. Isu-isu terkini yang menjadi pembicaraan masyarakat dapat secara cepat tersebar melalui twitter, whatsap, facebook, telegram dan viral-viral lain. Dengan karakteristik viral dan multinodal, informasi tersebut dapat tersebar dengan sangat cepat, namun di sisi lain,
karena adanya trade-off antara kecepat an dan akurasi, informasi kadang tidak sesuai dengan kenyataan dan kadang menyudutkan suatu pihak/calon. Banyak isu-isu negatif yang dihembuskan melalui buzzers di social media, yang saling serang satu sama lain. Mendasarkan diri pada pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2012, maka perlu pe ngaturan sangsi yang yang lebih ketat bagi media massa dalam proses pemberitaan maupun kampanye agar dapat menjaga keseimbangan informasi dan netralitasnya. Demikian juga terkait media sosial yang digunakan oleh tim sukses maupun simpatisan diharapkan dapat menjaga kaidah-kaidah kampanye yang santun dalam mewujudkan Pilkada DKI yang le bih bermartabat. Pengaturan kampanye melalui media sosial ini juga telah diatur secara rigid oleh KPU meskipun masih amat sulit dalam pengawasannya.
F. Faktor Penegakan Hukum Ketika regulasi sudah cukup baik dalam mendorong terciptanya Pilkada DKI Jakarta yang demokratis, berintegritas dan ber martabat, namun perlu adanya penegak an hukum yang konsisten dan berani dari pihak-pihak yang berwenang. Harapan kepada Sentral Gakumdu Provinsi DKI Jakarta dapat bekerja secara efektif dalam menjaga marwah Pilkada yang luber, jujur, adil dan berintegritas merupakan harapan semua pihak. Tahapan-tahapan yang sangat krusial pada saat pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye dan proses penghi
tungan suara perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius. Kasus money politics, kampanye hitam, penggunaan fasilitas negara, politisasi birokrasi sampai kepada kecurangan dalam proses pemilihan dan penghitungan suara bisa diantisipasi sejak awal untuk dilakukan sejak awal dalam upaya pencegahan dan kemungkinan terjadinya pelanggaran. Keberanian penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya akan memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan Pilkada DKI yang bersih, demokratis dan berintegritas sehingga dapat menjadi barometer dalam penyelenggaraan Pilkada bagi daerah lain.
G. Penutup Harapan yang cukup besar untuk penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta yang demokratis, berintegritas dan ber martabat tidak mungkin tidak dapat diwujudkan. Kerja keras dan kemauan semua pihak mulai dari penyelenggara Pemilu, partai politik, pemerintah, pa sangan calon, tim Sukses dan simpatisannya, pemilih, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta ma syarakat secara keseluruhan tentu akan mampu untuk mewujudkannya. Dengan modal sumberdaya manusia yang cukup baik, regulasi yang mendukung dan budaya masyarajkat yang egaliter dan kondusif, harapan bahwa Pilkada DKI Jakarta menjadi Pilkada yang dapat menjadi contoh dan barometer bagi penyelenggaraan Pilkada di daerah lain bukanlah sebuah utopia yang tidak dapat terlaksana. l
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
31
Daftar Pustaka • Budiradjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar (ed), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. _____________, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2000. • Castle, Lance, Profil Etnik Jakarta, Masup, Jakarta, 2007. • Dahl, Robert A, A Preface to Democratic Theory, The University of Chicago Press, Chicago, 1956 • Dirdjosanjata, Pradjarta dan Nico L Kana ( eds), Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2006. • Friedrich, Carl J,Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Waltham, Mass, Blaisdell Publishing Company, 1967. • Gaffar, Afan, Politik Indonesia, Transisi menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jakarta, ed 6, 2006. • Haywood, Andrew, Politics, 2nd Edition, Palgrave, New York, 2002. • Held, David, Models of Democracy, California, Stanford University Press, 1987. • Jainuri, Pergumulan Politik Antar Elit Partai di Aras Lokal, UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2010. • Pamungkas, Sigit, Perihal Pemilu, Yogyakarta, JIP FISIPOL UGM, 2009. ........................., Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian, Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, 2010. • Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1987. • Varma, SP, Teori Politik Modern, Rajawali Pers, Jakarta, 2003 • UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota • UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI.
32
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Peta Konflik dalam Pilgub DKI 2017 Musni Umar
Abstraksi
Pembantu Rektor Universitas Ibnu Choldun, dan kandidat Guru Besar Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konflik adalah bagian dari kehidupan manusia. Tidak ada manusia tanpa ada konflik. Maka dalam pemilihan Gubernur DKI 2017 berpotensi terjadi konflik, karena bertarung kekuat an besar di negeri ini yaitu Megawati Soekarno Putri, Sosilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto serta partai-partai pendukung. Megawati telah mencalonkan Basuki T. Purnama (Ahok) dan Jarot Saiful Hidayat, sebagai calon Gubernur dan caklon Wakil Gubernur DKI, SBY mencalonkan putera sulung nya Agus Harimurti Yudhoyono berpasangan Syliviana Murni, dan Prabowo mencalonkan Anies Baswedan berpasangan Sandiaga Uno. Selain itu, bertarung pula kekuatan pemodal, kekuatan asing, umat Islam dan umat Nasrani. Pemicu konflik bisa kesenjangan ekonomi, kemiskinan, penggusuran, ketidak-adilan ekonomi, pengangguran dan sebagainya. Kata Kunci: Peta konflik, Pilkada DKI
A. Pendahuluan Sejak manusia ada di muka bumi, konflik sudah terjadi. Digambarkan di dalam kitab suci Alqur’an, ketika Tuhan mau menciptakan manusia (khalifah), para Malaikat memprotes dengan berkata: mengapa mau menciptakan di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, pada hal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau 2). Ayat itu memberi isyarat bahwa sebelum Tuhan menciptakan manusia yang disebut khalifah, sudah ada manusia di muka bumi yang telah menciptakan konflik dengan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah, karena logikanya dari mana para Malaikat mengetahui bahwa ada kerusakan dan pertumbuhan darah di muka bumi, kalau tidak ada konflik
yang dilihat oleh para Malaikat. Selain itu, disebutkan pula di dalam Alqur’an tentang konflik antara kedua putera Nabi Adam yaitu Qabil dan Habil. Setelah kedua putera Adam dewasa, Tuhan memerintahkan agar mengawinkan Qabil dengan Liyudza, dan Habil dengan Iqlima, saudara kembar Qabil. Keputusan itu, diprotes oleh Qabil yang dianggapnya tidak benar, tidak adil serta berat sebelah. Qabil kemudian berkonflik dengan Habil, dan akhirnya dia membunuh Habil 3). Dua kisah tersebut yang dikutip dari kitab suci Alqur’an merupakan bukti bahwa sejak manusia ada dimuka bumi sudah sering terjadi konflik dengan sesamanya. Oleh karena itu, berpijak dari sejarah umat manusia dan fakta-fakta sosiologis yang sering terjadi konflik dari masa ke Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
33
masa dengan berbagai macam penyebab, maka menjelang, saat dan pasca pemilihan Gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017, berpotensi terjadinya konflik di DKI Jakarta. Adapun indikatornya, pertama, pilgub DKI masih jauh dari pelaksanaan bulan Februari 2017, sudah marak terjadi demo anti Gubernur Ahok yang dimobilisir Front Pembela Islam (FPI), Forum Masyarakat Jakarta (FMJ), buruh dan lain-lain. Kedua, RT/RW se DKI Jakarta sudah membuat Forum RT/RW untuk melakukan perlawanan terhadap Gubernur Basuki T. Purnama yang akrab dipanggil Ahokyang mereka nilai tidak pantas dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017, apalagi dipilih menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017 - 2022. Ketiga, Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggunakan hak prerogative dengan memilih Basuki T. Purnama dan Jarot Saiful Hidayat menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DKI Jakarta yang banyak mendapat tantangan dari masyarakat termasuk dari kader-kader PDIP. Keempat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua Umum Partai Demokrat yang merupakan seteru Megawati Soekarno Putri, didukung PKB, PPP dan PAN membentuk koalisi Cikeas dengan mencalonkan putera sulungnya yaitu Agus Harimurti Yudhoyono menjadi calon Gubernur DKI Jakarta yang didampingi Sylviana Murni sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta. Terbentuknya koalisi Cikeas ini menarik perhatian publik karena tiga partai poli34
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
tik yaitu PKB, PPP dan PAN adalah partai pendukung pemerintahan Presiden Jokowi. Ada apa, tiba-tiba ketiga partai politik tersebut membelot dan berpihak kepada SBY yang merupakan lawan politik Megawati Soekarno Putri dan pemerintahan Presiden Jokowi? Para analis politik menduga, terjadi konspirasi untuk memecah kekuatan koalisi kekeluargaan yang dimotori Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat, PKB, PPP dan PAN, sehingga kekuatan terpecah, dan tidak terjadi head-to-head dalam pilgub DKI Jakarta, dan diharapkan hanya berlangsung satu putaran dengan kemenangan Basuki T. Purnama dan Jarot Saiful Hidayat sebagai petahana (incumbent). Kelima, Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang merupakan oposisi pemerintah di parlemen dan berada di luar pemerintahan Presiden Jokowi, juga pesaing politik Megawati Soekarno Putri dan SBY, membentuk koalisi sendiri pada injury time(menitmenit terakhir) menjelang akhir penutupan pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dengan mencalonkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Dari lima indikator tersebut, maka pilgub DKI Jakarta berpotensi terjadi konflik politik.
B. Permasalahan Di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, memiliki banyak permasalahan. Setidaknya terdapat enam permasalahan
besar yang bisa menjadi pemicu terjadinya konflik. Pertama, pertarungan kepentingan politik para elit seperti Megawati Soekarno Putri, Jokowi, SBY, dan Prabowo. Masing-masing tokoh dengan gerbong politiknya ingin menguasai DKI Jakarta melalui pemilihan Gubernur DKI Jakarta sebagai pintu masuk (entry point) untuk memenangkan pertarungan politik dalam pemilihan anggota legislative dan pemilihan Presiden RI tahun 2019. Kedua, pertarungan kepentingan pemodal, kekuatan asing, umat Islam dan umat Nasrani. Suka tidak suka dan mau tidak mau harus diakui bahwa pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 sarat dengan pertarungan berbagai kepentingan seperti pemodal, pihak asing (RRC dan Amerika Serikat), umat Islam dan umat Nasrani. Umat Islam yang mayoritas penduduk di DKI Jakarta, merasa terancam karena sudah termarjinalisasi dalam bidang ekonomi dan akan semakin termarjinalisasi (terpinggirkan) jika kekuasaan politik dipegang oleh yang bukan Muslim, pro pemodal yang didukung pemodal dan kekuatan asing. Ketiga, kesenjangan ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat kesenjangan ekonomi di DKI Jakarta sangat tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta beberapa waktu lalu pernah meliris angka ketimpangan ekonomi (rasio gini) di DKI Jakarta sudah mencapai 0,46. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, Syech Suhaimi mengatakan angka ketimpangan ekonomi atau rasio gini di Jakarta semakin meningkat. Bila pada 2014, rasio gini tercatat sebesar 0,43 persen, maka pada 2015, angka itu meningkat menjadi 0,46. Hal itu berarti kesenjangan antara
orang kaya dengan orang miskin di Jakarta semakin lebar 4). Tingginya tingkat kesenjangan dan ketimpangan ekonomi, telah terbukti di Timur Tengah dan di berbagai belahan dunia lainnya, menjadi pemicu terjadi revolusi sosial. Di DKI Jakarta yang tingkat ketimpangan ekonomi telah mencapai 0,46 merupakan lampu merah, yang sewaktu-waktu bisa memicu konflik sosial dan bahkan tidak mustahil revolusi sosial jika terjadi titik temu (rallying point) dengan berbagai permasalahan lainnya. Keempat, Kemiskinan masih dialami sebagian masyarakat DKI Jakarta. Dalam situs resmi BPS, disebutkan penduduk miskin DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384.30 ribu orang alias 3,75 persen. Jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 15,63 ribu atau meningkat 0,14 persen dibanding September 2015 yang tercatat ada 368,67 ribu orang alias 3,61 persen 5). Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta berpatokan kepada Garis Kemiskinan (GK) bulan Maret 2016 sebesar Rp 510.359 per kapita per bulan, lebih tinggi dibandingkan dengan Garis Kemiskinan September 2015 sebesar Rp 503.038 per kapita per bulan, dan dari Garis Kemiskinan Maret 2015 sebesar Rp 487.388per kapita per bulan 6). Pada hal garis kemiskinan yang ditetapkan BPS sebesar Rp 510.359 per kapita (per kepala) perbulan atau Rp 17.012 yaitu 510.359 dibagi 30 hari kerja per kepala perhari, sangat jauh dari cukup untuk hidup di DKI Jakarta yang serba mahal. Dengan mengacu pada garis kemiskinan (proverty line) menurut Bank Dunia sebesar US$ 2 perkapita (per kepala) perhari Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
35
atau US$ 60 perbulan, yaitu dengan kurs l dolar Amerika Serikat sebesar Rp 13.000, jika dikali 2 dolar Amerika Serikat berarti Rp 26.000 perkepala perhari, masih sangat sulit untuk hidup di DKI Jakarta. Bahkan seorang tukang kuli bangunan dengan penghasilan sebesar Rp 50.000 perhari, dengan seorang isteri dan dua anak, sangat berat dan sulit hidup di DKI Jakarta karena apa-apa mahal. Kalau garis kemiskinan dinaikkan menjadi Rp 26.000 per kapita per hari atau Rp 780.000 per kepala per bulan, apa lagi Rp 50.000 per kepala per hari atau Rp 1.500.000 per kapita per bulan, maka orang miskin di DKI Jakarta akan sangat besar jumlahnya. Maka masalah kemiskin an merupakan potensi yang bisa menyulut konflik dengan memanfaatkan momentum pilgub DKI tahun 2017. Kelima, penggusuran yang massif dilakukan merupakan potensi yang bisa memicu konflik social dan politik di DKI Jakarta. Menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebanyak 325 lokasi bakal diigusur paksa Pemprov DKI7). Sampai akhir September 2016, DKI Jakarta telah menggusur secara paksa puluhan lokasi di DKI Jakarta. Lokasi paling terbaru digusur adalah Rawajati dan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Penggusuran yang dilakukan Pemprov. DKI Jakarta dengan dalih penertiban sangat banyak diprotes warga dan para penggiat lembaga swadaya masyarakat, tetapi bagaikan pepatah “anjng menggonggong kafilah berlalu”. Tidak dipedulikan dan dihiraukan. Pada hal berpotensi besar menjadi pemicu terjadinya konflik di DKI Jakarta. Keenam, lingkungan padat, kumuh, pendidikan rendah, dan pengangguran.
36
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Faktor-faktor tersebut berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengobarkan konflik sosial dan politik di DKI Jakarta 7).
C. Pemecahan Masalah Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia khususnya warga DKI Jakarta menjelang, saat dan pasca pemilihan Gubernur DKI Jakarta sangat kompleks dan tidak mudah diatasi. Walaupun begitu, harus ada niat, kemauan, tekad, dan upaya keras untuk mencari solusi dan pemecahan masalah. Untuk mengatasi berbagai per ma salahan yang dikemukakan di atas, maka suka tidak suka dan mau tidak mau harus dilakukan ikhtiar keras dan melakukan upaya untuk mencegah terjadinya konflik di pilgub DKI Jakarta. Pertama, melakukan mediasi secara langsung ataupun tidak langsung kepada tiga tokoh nasional yaitu Megawati, SBY dan Prabowo yang berkompetisi untuk merebut DKI 1 dan 2, sehingga terhindar dampak negative dari pertarungan tersebut. Dalam demokrasi, wajar terjadi kompetisi untuk merebut kekuasaan politik dan ekonomi, tetapi harus dicegah jangan sampai pertarungan antar elit politik merembet ke akar rumput (grass root) dan berubah menjadi konflik sosial. Selain itu, para elit politik seperti Megawati Soekarno Putri, SBY dan Prabowo serta tokoh-tokoh nasional lainnya terutama para calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DKI Jakarta supaya menahan diri, hati-hati dalam menyampaikan pernyataan ke publik agar tidak mengobarkan permusuhan. Kontestasi gagasan dan program harus ditonjolkan dalam
kampanye pilgub DKI sehingga warga DKI sadar dan memberikan partisipasi untukmenyokong dan memberi dukungan kepada salah satu pasangan dari tiga pasang calon yang dianggap terbaik untuk memimpin DKI Jakartalima tahun mendatang. Kedua, mencegah pemodal dan kekuatan asing untuk terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam pilgub DKI Jakarta dengan mendanai salah satu pasangan calon yang diinginkan. Dalam era amat yang terbuka, maka keterlibatan pemodal dan kekuatan asing dalam menyokong salah satu pasangan calon Gubernur DKI, sangat berbahaya karena pasti diketahui publik. Jika dilakukan, maka warga DKI Jakarta dan bangsa Indonesia akan marah dan berpotensi melahirkan konflik sosial dan politik yang dahsyat, dengan menjadikan para pemodal dan pihak asing sebagai musuh bersama (common enemy) dan sasaran kemarahan massa dalam jumlah yang amat besar. Kepada umat Islam yang sudah termarjinalisasi secara ekonomi dan tidak ingin kekuasaan politik direbut lagi oleh mereka yang sudah menguasai ekonomi, tetap sabar, hati boleh panas, tetapi pikiran jernih dan cerdas harus tetap dikedepankan, supaya tidak terprovokasi dengan berbagai isu dan hasutan yang mengobarkan permusuhan dan perpecahan. Tetaplah bersatu, dan berusaha sekeras-kerasnya dan banyak berdoa supaya Allah memberi pertolongan. Ketiga, kesenjangan ekonomi merupakan masalah besar yang dihadapi di DKI Jakarta dan Indonesia. Untuk men-
gatasi kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi di DKI Jakarta, maka tidak punya pilihan kecuali mewujudkan tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 “yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social”… Dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak mungkin terwujud jika pemerintah tidak menerapkan kebijakan yang memberi perlakuan istimewa (special treatment) dan aksi pemihakan (affirmative action) kepada mereka yang masih lemah terutama kaum pribumi yang mengalami diskrimnasi ekonomi dan politik selama 3,5 abad lamanya di masa penjajahan Belanda. Kesenjangan ekonomi sekarang merupakan akibat dari kebijakan rezim Orde Baru yang menjadikan mereka yang sekarang menguasai ekonomi sebagai pilar utama untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Setelah mereka bertumbuh dan menguasai ekonomi Indonesia, pemerataan tidak kunjung bisa diwujudkan. Setelah terjadi krisis ekonomi dan krisis multi dimensi yang melahirkan Orde Reformasi, keadaan justeru lebih parah, karena berlaku persaingan bebas, sehingga yang kaya semakin kaya dan mayoritas bangsa Indonesia tetap terpuruk dan termajinalisasi dari ekonomi. Setelah mereka menguasai ekonomi,
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
37
ingin pula menguasai politik Indonesia sebagai cara yang efektif untuk mempertahankan penguasaan ekonomi di Indonesia. Untuk mengatasi masalah kesenjang an ekonomi dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh warga DKI Jakarta, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta yang hampir mencapai Rp 70 triliun, bisa dijadikan sebagai instrument untuk membangun lapisan pengusaha baru dari kalangan terdidik dengan menerapkan affirmative action dan special treatment dengan penunjukan langsung tanpa melalui proses tender. Keempat, kemiskinan merupakan permasalahan besar yang belum bisa diatasi. Pembangunan ekonomi dan upa ya keras mengatasi kemiskinan dapat dikatakan gagal, karena ternyata pemba ngunan ekonomi di tengah masyarakat yang masih bodoh dan tidak memiliki kepakaran (skill), hasilnya hanya semakin memperkaya mereka yang sudah kaya. Untuk mengatasi masalah kemis kinan, sudah terbukti gagal diatasi melalui pembangunan ekonomi. Satu-satunya cara ialah membangun sumber daya manusia dengan memulai dari anak-anak miskin dengan memberi beasiswa penuh kepada mereka untuk melanjutkan pendidikan di dalam dan di luar negeri. Untuk mewujudkan hal itu, maka harus dibentuk Komisi Beasiswa di DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah (Perda) yang sumber dananya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), CSR (Corporate Social Responsibility) dari berbagai per u sa haan swasta, BUMN, BUMD serta perseorangan. Tujuannya adalah untuk 38
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
memotong lingkaran kemiskinan melalui pendidikan dengan konsep “Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana”. Kelima, penggusuran yang dilakukan terhadap warga miskin, merupakan permasalahan besar di DKI Jakarta sekarang. Mereka digusur dan ditempatkan di Rumah Susun Sewa di Marunda dan Rawa Bebek, dianggap sebagai kemuliaan dan solusi, tetapi berdasarkan hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Ibnu Chaldun tahun 2016 menemukan bahwa mereka yang digusur di berbagai tempat di DKI Jakarta dan ditempatkan di Rusunawa di Marunda, banyak diantara mereka yang kehidupannya lebih sulit ketimbang sebelum digusur karena kehilangan lapangan pekerjaan, pada hal setiap bulan mereka harus membayarlistrik, air dan sewa Rusunawa 8). Tidak sedikit dari me reka yang terpaksa mengembalikan kunci kepada petugas karena menunggak pembayaran sewa, listrik dan air lantaran tidak mampu melunasi tunggakan. Di masa depan penggusuran model yang dilakukan sekarang harus diakhiri karena tidak sesuai dengan tujuan Indonesia “yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…..”. Penataan kota tetap bisa dilanjutkan dengan cara sebagian lokasi yang ditata, diperuntukkan bagi warga dengan dibangunkan apartemen sederhana, se hingga mereka tetap dilokasi semula, tidak kehilangan pekerjaan, dan tetap dekat dengan tempat mereka mencari nafkah. Keenam, lingkungan padat dan kumuh, hasil penelitian yang dilakukan In-
stitute for Social Empowerment and Democracy (INSED) bahwa kawasan yang sering tawuran (konflik) berkaitan erat dengan lingkungan sosial yang kumuh dan padat 9). Kawasan padat dan kumuh yang ditempati orang-orang miskin, harus ditata dengan cara membangun apartemen sederhana yang tinggi dilokasi yang kumuh dan padat. Untuk mengatasi pemdidikan warga yang rendah yang tinggal di kawasan padat dan kumuh, maka dilantai 2 dari apartemen yang dibangun peruntukannya untuk tempat pelatihan kepakaran kerja dan bisnis bagi warga, supaya me reka memiliki kepakaran kerja dan bisnis. Setelah mereka dilatih, pemerintah DKI Jakarta wajib memberi tempat berusaha, modal kerja dan modal usaha serta pembinaan yang berkelanjutan. Sedang dilantai dasar dari apartemen yang dibangun, diperuntukkan untuk dagang makanan yang dilakukan oleh warga penghuni apartemen. Dalam rangka melindungi warga yang tidak mampu dan miskin, maka sesuai pasal 34 ayat (1) UUD 1945 “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”, maka mereka yang miskin diberi kesempatan menempati apartemen secara gratis sampai mereka mampu membayar sewa apartemen, listrik dan air.
D. Penutup Pemilihan Gubernur (pilgub) DKI Jakarta sangat menarik dan kompetitif, tak obahnya pemilihan Presiden tahun 2014, hanya bedanya pilgub DKI diikuti tiga pa sang calon yaitu Basuki T. Purnama – Jarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono
– Sylviana Murni, dan Anies Baswadan – Sandiaga Uno. Sedang pemilihan Presiden tahun 2014 diikuti dua pasang calon yaitu Joko Widodo – M. Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Peta konflik sosial dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, bisa bersumber dari tiga elit politik dan pendukungnya yang mencalonkan tiga pasang calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang berkompetisi untuk merebut DKI 1 dan 2 sebagai entry point untuk memasuki pemilihan serentak anggota legislative dan pemilihan Presiden RI tahun 2019. Bisa pula dari pemodal, pihak asing, umat Islam dan umat Nasrani. Peta konflik sosial lainya dalam pilgub DKI tahun 2017, bisa juga bersumber dari akibat kesenjangan ekonomi yang tinggi, kemudian diletupkan pada saat kampanye, pencoblosan dan pasca pilgub DKI Jakarta sebagai wujud protes sosial akibat ketidak-adilan dalam bidang ekonomi. Di samping itu, bisa pula peta konflik sosial ber sumber dari kemiskinan yang masih dialami sebagian warga DKI Jakarta dan bangsa Indonesia. Pilgub DKI Jakarta dijadikan sebagai momentum untuk menarik perhatian masyarakat dan pemerintah atau melakukan perubahan radikal yang cepat yang dikenal dengan sebutan revolusi sosial. Terakhir, peta konflik sosial dalam pilgub DKI Jakarta tahun 2017, bisa bersumber dari akibat penggusuran yang massif dilakukan, kawasan padat dan kumuh, pendidikan rendah dan pengangguran. Mereka yang merasa diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi dengan digusur tanpa ganti rugi sepersen, memanfaatkan momentum pilgub untuk menciptakan konflik sosial dan politik. l Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
39
Saran-saran Untuk mencegah terjadinya konflik dalam pilgub DKI 2017 dan konflik lainnya yang menghancurkan DKI dan bangsa Indonesia, disarankan supaya: 1. Pembangunan disarankan untuk berorientasi “yang melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai tujuan Indonesia merdeka yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. 2. Penggusuran yang marak dilakukan di DKI Jakarta dengan alasan pembangunan, penataan kota dan pencegahaan banjir, disarankan untuk diakhiri karena bertentangan dengan tujuan Indonesia merdeka dan Pancasila. Penataan kota di DKI Jakarta tetap dilanjutkan dengan konsep ditempat warga miskin tinggal yang ditata, dibangunkan apartemen sederhana, sehingga mereka tidak kehilangan lapangan pekerjaan dan masih dekat dengan tempat mereka mencari nafkah. 3. Para elit politik dan tiga pasang calon Gubernur serta calon Wakil Gubernur yang berkompetisi untuk memenangkan pilgub DKI Jakarta tahun 2017, disarankan untuk memelihara suasana kondusif, damai dan tertib. Kompetisi politik untuk merebut DKI 1 dan 2, disarankan supaya aduh gagasan dan programuntuk Jakarta yang lebih baik bagi warga dan DKI sebagai kota metropolitan. 4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta, disarankan untuk dipergunakan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dari warga miskin, mendirikan komisi beasiswa untuk memberdayakan dan memajukan anak-anak dari warga miskin, mengurangi kemiskinan dan pengangguran. 5. Pembangunan di DKI Jakarta pada khususnya disarankan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merupakan sila kelima dari Pancasila. Dalam rangka itu, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta hasil pemilihan Gubernur tahun 2017,disarankan untuk memberi pemihakan dan perlakuan khusus kepada mereka yang lemah terutama kaum pribumi, sehingga terwujud tujuan Indonesia merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta keadilan sosial bagi warga DKI Jakarta.
40
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Daftar Pustaka • Kisah protes para Malaiikat kepada Tuhan dapat dibaca dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah, ayat 30. • Kisah konflik antara Qabil dan Habil bisa dibaca dalam Al-Qur’an, surat AlMaidah, ayat 27-31. • BeritaSatu.com, Rasio Gini di Jakarta Meningkat 0,46, tanggal 02 Mei 2016. • BPS Provinsi DKI Jakarta, Berita Resmi Statistik, No. 30/07/31/Th XVII. 18 Juni 2016. • Republika.co.id, LBH: 325 Lokasi Terancam Digusur Paksa oleh Pemprov DKI, Rabu, 22 Juni 2016. • Hartini Salama, Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Ibnu Chaldun di Rusunawa Marunda, Jakarta, Juli 2016. • Musni Umar, Peta Konflik Sosial di DKI Jakarta, Penerbit INSED, 2014.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
41
Kordinasi penanganan pelanggaran Pilkada DKI dalam kerangka Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) antara Bawaslu DKI dengan Polda Metro Jaya, Kamis 6 Oktober 2016 di Polda Metro Jaya. Hadir dalam pertemuan tersebut seluruh pimpinan Bawaslu Provinsi DKI dan Pimpinan Panwaslu Kabupaten Kota se-DKI Jakarta dan Kapolda Metro Jaya M. Iriawan serta pejabat utama di lingkungan Polda Metro Jaya.
Indeks Kerawanan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2017 Rikson H Nababan Abstraksi
Tenaga Ahli Bawaslu RI
Untuk memastikan fungsi pengawasan dapat berjalan dengan baik, pengawas Pemilu wajib menyusun sebuah perencanaan pengawasan. Adapun perencanaan pengawasan merupakan hasil akhir dari serangkaian kajian akademik, dalam memetakan seluruh kerawanan pada seluruh proses tahapan yang akan diselenggarakan. Oleh karena itu, seluruh variabel terkait kajian dimaksud harus jelas, tepat, dan terukur. Hasil pemetaan Bawaslu RI menunjukan, Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) 2017 DKI berada pada peringkat kelima pada Provinsi yang tengah menyelenggarakan Pilgub. Muncul pertanyaan, sejauh apa hasil IKP 2017 menggambarkan kondisi penyelenggaraan Pilkada DKI sehingga dapat dipastikan diselenggarakan taat asas dan sesuai dengan perundang-undangan?
Kata Kunci: Indeks Kerawanan, Pilkada DKI dan pengkajian akademis
A. Pendahuluan Sebagai lembaga pengawas pemilu, Bawaslu RI telah diperintahkan oleh Undang-Undang untuk menyusun tata laksana pengawasan. Dimana tata laksana ini disusun, untuk menstandarkan pola pengawasan yang baku, dan terukur di seluruh wilayah NKRI. Atas tata laksana ini kemudian, Bawaslu RI menempatkan pemetaan kerawanan Pemilu/Pemilihan yang kemudian diberi nama Indeks Ke rawanan Pemilu (IKP), dalam urutan pertama pedoman yang harus dilaksanakan. IKP dalam hal ini, tidak saja digunakan untuk menjawab kebutuhan perencanaan pe ngawasan belaka,tetapi jugadiperuntukan pada upaya perwujudan Bawaslu, sebagai institusi terdepan dalammenyajikan anali sa dan rekomendasi kebijakan berbasis
riset, maupun data tentang kepemiluan di Indonesia. Sampai dengan saat ini, Bawaslu RI te lah memiliki tiga SK penetapan IKP. Indeks Kerawanan Pemilu pertama, ditetapkan pada Pemilu Legislatif 2014, selanjutnya diikuti IKP kedua yang ditetapkan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak jilid satu di tahun 2015, dan terakhir adalah IKP Pilkada serentak jilid dua tahun 2017. Pada perkembangannya, sejak pertama kali diluncurkan pada tanggal 26 Januari 2014 hingga peluncuran yang terakhir pada tanggal 29 Agustus 2016, Bawaslu RI telah melakukan perbaikan atas IKP sebanyak dua kali. Berikut dipaparkan perbaikan terkait IKP sebagaimana tersaji pada tabel 1.1 di bawah ini.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
43
Tabel 1.1 Perbaikan IKP Bawaslu RI Tahun ke Tahun No Item Perbaikan
IKP Pileg 2014
IKP Pilkada 2015
IKP Pilkada 2017
Landasa Teori
-
-
Domokrasi Robert A Dahl
2
Jumlah Dimensi/Aspek
1. Penyelenggara 2. Politik Uang 1. Penyelenggaraan 3. Akses 2. Akses Pengawasan Pengawasan 3. Politik Uang 4. Partisipasi Masyarakat 5. Keamanan
3
Jumlah Variabel
3 Variabel
16 Variabel
10 Variabel
4
Jumlah Indikator
7 Indikator
30 Indikator
31 Indikator
1. Aman 2. Rawan 3. Sangat Rawan
1. Sangat Aman 2. Aman 3. Cukup Rawan 4. Rawan 5. Sangat Rawan
1. Kerawanan Rendah 2. Kerawanan Sedang 3. Kerawanan Tinggi
1
5
Tingkatan Penilaian
1. Penyelenggaraan 2. Kontestasi 3. Partisipasi
Data olahan ATP3 Bawaslu RI
Namun demikian, atas seluruh perbaikan dari Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) ini, Bawaslu RI tetap konsisten menempatkan IKP sebagai suatu rangkaian riset, se bagai dasar dalam merumuskan kebijak an, program, dan strategi dalam konteks pengawasan di bidang kepemiluan. Dimana dalam pendekatan pencegahan, koor IKP sebagai instrumen deteksi dini untuk meminimalisir seluruh potensi kerawanan semakin diperkokoh.
44
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
B. Pilkada DKI Sebagai Lautan Tenang berarus Deras Berdasarkan hasil penyusunan IKP 2017, penyelenggaraan Pemilihan gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Provinsi DKI, mendapatkan nilai 2,297. Merujuk hasil penilaian tersebut, Pilgub di ibukota negara ini, masuk dalam kategori ke rawanan sedang. Berikut paparan secara lengkap, hasil IKP 2017 di 7 Provinsi yang melaksanakan Pilgub, sebagaimana tersaji pada tabel 1.2.
Tabel 1.2 Hasil Penilaian IKP 2017 di Provinsi yang melaksanakan Pilgub No
PROVINSI
TOTAL IKP
Peringkat IKP
(Bobot 100%)
1
Tertinggi - Terendah Papua Barat
Range 0-5 3,381
2
Provinsi Aceh
3,327
3
Banten
3,147
4
Provinsi Sulawesi Barat
2,367
5
DKI Jakarta
2,297
6
Provinsi Kep. Bangka Belitung
2,293
7
Gorontalo
2,015 Data IKP Bawaslu RI Tahun 2017
Berdasarkan tabel 1.2 tentang hasil penilaian IKP 2017, DKI berada pada urut an kelima dalam peringkat Provinsi yang tengah menyelenggarakan Pilgub. Namun demikian, atas hasil ini muncul beberapa pertanyaan kunci, seperti; Sejauh apa hasil IKP 2017 dapat menggambarkan kondisi penyelenggaraan Pilkada DKI sehingga dapat dipastikan; penyelenggaraan Pillkada di DKI diselenggarakan taat asas dan perundang-undangan yang berlaku?; atau, sejauh manajaminan penyelenggaraan Pilkada di DKI dalam memenuhi keterpe nuhan hak paslon maupun pemilih? Atau apakah penyelenggaraan Pilkada di DKI akan berlangsung secara aman?. Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu sekiranya dilakukan pembedahan secara utuh, hasil penyusunan IKP Pilgub DKI tahun 2017.
C. Metode Penyusunan Sebagaimana telah disinggung sebe lumnya, IKP 2017 bertujuan menjadi alat untuk melakukan pemetaan, pengukur an, prediksi, dan deteksi dini dalam me-
nentukan wilayah-wilayah prioritas yang didentifikasi sebagai wilayah rawan dalam proses pemilu yang demokratis. Dengan demikian, bertambahnya referensi yang ditawarkan IKP ini kemudian, selain mempermudah kerja Pengawas Pemilu dalam menentukan strategi dan langkah-langkah antisipasi, pencegahan, IKP pun akan bermanfaat bagi stakeholder terkait dalam upaya bersama meminimalisir kerawanan pelaksanaan pemilu. Berdasarkan definisinya, kerawanan Pemilu/ Pemilihan adalah segala hal yang ber potensi mengganggu, menghambat dan/ atau menghentikan tahapan penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan. Oleh karenanya dalam penyusunan IKP, seluruh data, dokumendan catatan stakeholders pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP, Kepolisian, Kejaksaan dan Pemerintah) terkait dengan permasalahan, pelanggaran dan dinamika yang sering terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu/ Pemilihan di sebuah daerah, diposisikan sebagai data primer. Selain itu, guna mempertajam analisa serta kajian pada penyusunan IKP, Bawaslu mengguJurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
45
Definisi Kerawanan Pemilu adalah segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis.
nakan data dan dokumen pemberitaan media untuk kemudian dijadikan sebagai data sekunder.
bergerak di bidang metodologi dan penilitian, sampai dengan ahli hukum dan pemilu.
Indeks Kerawanan Pemilu tahun 2017, disusun menggunakan landasan teori demokrasi poliarki Robert A Dahl. Dimana dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1971 dengan judul polyarchy: Participation and Opposition (PPO), Dahl berpendapat, hanya ada dua dimensi utama dalam sebuah demokrasi poliarki. Pertama adalah dimensi kontestasi.Pada dimensi ini secara relative muncul toleransi yang tinggi terhadap oposisi, dan terhadap tingkah laku pemerintahan. Sedangkan dimensi yang kedua adalah dimensi partisipasi, dimana hadir keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pemerintahan, termasuk bagaimana cara mempengaruhinya.
Hasil kajian-kajian inilah kemudian disusun menjadi sebuah perencanaan utuh dalam konsep metodologi ilmiah penyusunan IKP 2017. Dimana penyusun an IKP 2017, dibangun dengan menggunakan tiga dimensi penelitian. Adapun tiga dimensi sebagaimana dimaksud adalah; dimensi penyelenggara, dimensi kontestasi, dan dimensi partisipasi. Selanjutnya, tiga dimensi yang ada ini diturunkan kembali kedalam 10 varibel, terakhir dari seluruh variabel tersebut diturunkan kembali kedalam 31 indikator.
Atas dasar teori Dahl ini Bawaslu RI melakukan kajian-kajian, baik dalam bentuk Focus group discussion, expert meeting, sampai dengan seminar untuk menyusun metodologi dan perencanaan penyusunan IKP 2017. Dimana dalam setiap kegiatannya, Bawaslu pun banyak melibatkan ahli dan ekspert di bidang nya masing-masing. Mulai dari ahli yang 46
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Berangkat dari indeks tersebut, Bawaslu kemudian melakukan pembo botan dan penilaian dengan mempergu nakan sebuah sistem aplikasi penilaian khusus. Selain itu, pembobotan ini pun dilakukan bukan saja oleh kalangan internal Bawaslu, namun juga melibatkan para ahli yang dianggap mewakili seluruh stakeholder dalam kepemiluan. Berikut dipaparkan secara lengkap metodologi dan pembobotan pada IKP 2017 sebagaimana yang tampak dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 IKP dan Pembobotannya No
Item Dimensi
1
Indikator
Integritas Penyelengara
a. Netralitas Penyelenggara • Indikator 1 (11.9%) b. Penyalahgunaan Wewenang • Indikator 2 (8.2%)
(20.1%) Profesionalitas Penyelenggara
(7.2%)
Kekerasan terhadap Penyelenggara
(2.7%)
2
Kontestasi
Pembobotan
Variabel
Pencalonan
(7.9%)
30%
a. Penganggaran untuk penyelenggara • Indikator 3,(1.1%) b. Ketegasan penyelenggara dalam pelaksanaan tahapan • Indikator 4 (2.1%) c. Kualitas DPT • Indikator 5 (2.7%) d. Penyediaan akses informasi oleh penyelenggara • Indikator 6 (0.7%) e. Dukungan kesekretariatan • indikator 7 (0.6%) a. Perusakan terhadap fasilitas penyelenggara • Indikator 8 (0.7%) b. Kekerasan fisik terhadap penyelenggara • Indikator 9 (1.5%) c. Intimidasi terhadap penyelenggara • Indikator 10 (0.5 %) a. Dukungan ganda calon independen • Indikator 11(0.7 %) b. Dukungan ganda dalam pencalonan oleh partai politik • Indikator 12 (4.5%) c. Identifikasi petahana yang mencalonkan diri • Indikator 13 (1.3%) d. Identifikasi sengketa pencalonan • Indikator 14 (1.5%) Jurnal Bawaslu
35%
Provinsi DKI Jakarta
47
Kampanye
(17.2%)
Kontestan
(4.7%)
3
Partisipasi
a. Substansi materi kampanye (mengandung SARA, fitnah, dan hasutan) • Indikator 15 (2.7%) b. Pelaporan praktik politik uang • Indikator 16 (6.3%) c. Penggunaan fasilitas negara • Indikator 17(8.2%) a. Kepengurusan ganda partai politik • Indikator 18(1%) b. Konflik antar peserta pemilu (antar kandidat, antar timses, antar pendukung) • Indikator 19 (3.7%)
Hak Pilih (8.2%)
a. Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya • Indikator 21 (1.9 %) b. Laporan mengenai tidak tercatatnya pemilih dalam daftar pemilih • Indikator 22 (6.3%)
Karakteristik Lokal (11.1%)
a. Kategori kemiskinan masyarakat • Indikator 23 (1.4%) b. Tantangan geografis • Indikator 24 (2.7%) c. Kondisi budaya patriarki • Indikator 25 (2.1%) d. Pengaruh pemuka agama/adat • Indikator 26 (4.9%)
Pengawasan /kontrol a. Keberadaan pemantau pemilu masyarakat (CSO, NGO, Ormas) (15.5%) • Indikator 27 (1.6%) b. Akses Partisipasi kelompok diasibilitas • Indikator 28 (1.1%) c. Pemberitaan media terhadap laporan masyarakat dan penyelenggara • Indikator 29 (4.6%)
48
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
35%
d. Jumlah laporan pelanggaran dan pemantauan yang disampaikan oleh warga negara • Indikator 30 (1.2 %) e. Kekerasan terhadap pemilih • Indikator 31(7%)
3
10
31
100% Data olahan ATP3 Bawaslu RI
Selanjutnya paska pembobotan Indeks, Bawaslu membuat instrument untuk mendapatkan seluruh data yang akan dibutuhkan dalam penyusunan IKP. Hal ini dimulai dari penyusunan pertanyaan-pertanyaan terkait data yang dibutuhkan, sampai dengan cara mengumpulkan, mengkonfirmasi serta melakukan validasi atas isian-isian dalam instrument tersebut. Instrumen dan tata cara pengambilan data inilah kemudian, yang disosialisasikan kepada seluruh jajaran pengawas sesuai dengan wilayah penyelenggaran Pilkadanya. Dalam hal ini, para pengawas di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, diberi kan waktu 40 hari untuk menyelesaikan pengumpulan data. Dari data-data yang terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data. Adapun cara pengolahan data seba gaimana dimaksud adalah berupa konfirmasi, validasi dan pelengkapan data maupun dokumen yang masih dibutuhkan. Selanjutnya, pada langkah terakhir, Bawaslu melakukan penilaian atas Indeks dari seluruh olahan data untuk kemudian dikelompokan berdasarkan kerawanan nya. Adapun pengelompokan kerawan an dalam IKP 2017 dibagi kedalam tiga
kelompok. Kelompok pertama dengan skala nilai antara 0 – 1,99, dikategorikan sebagai wilayah dengan kerawanan rendah. Selanjutnya adalah kerawanan dengan skala nilai antara 2,00 – 2,99, dalam hal ini, wilayah tersebut masuk pada kategori kerawanan sedang. Terakhir adalah wilayah dengan kerawanan tinggi, di mana skala penilaiannya antara 3,00 – 5,00.
D. Hasil Penyusunan Berdasarkan metode sebagaimana tersebut di atas, Bawaslu RI melakukan penyusunan IKP Pilgub DKI 2017. Dari hasil penyusunan tersebut, Pilgub DKI memiliki Indeks kerawanan sebesar 2,297. Hal ini menunjukan, penyelenggaraan Pilgub DKI, masih berada pada skala kerawanan sedang. Dimana berdasarkan hasil ini, dimensi kontestasi menjadi dimensi dengan kerawanan tertinggi pertama, yang kemudian diikuti dimensi penyelenggaraan di posisi kedua, dan terakhir pada posisi ketiga, ditempati dimensi partisipasi. Berikut digambarkan secara lengkap hasil penyusunan IKP Pilgub DKI 2017, sebagaimana tersaji pada tabel 3.1, 3.2 dan 3.3 di bawah ini.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
49
Grafik 3.1 Indeks Kerawanan DKI Berdasarkan Dimensi
Data IKP Bawaslu RI Tahun 2017
Grafik 3.2 Indeks Kerawanan DKI Dimensi Penyelenggaraan
Data IKP Bawaslu RI Tahun 2017
Grafik 3.3 Indeks Kerawanan DKI Dimensi Kontestasi
Data IKP Bawaslu RI Tahun 2017
50
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Grafik 3.4 Indeks Kerawanan DKI Dimensi Partisipasi
Data IKP Bawaslu RI Tahun 2017
E. Pembahasan
1. Dimensi Penyelenggaraan
Dari gambaran pada grafik 3.1 tentang kerawanan berbasis dimensi di atas, tidak nampak data yang mencolok terkait ke rawanan pada penyelenggaraan Pilgub DKI 2017. Dimana dari ketiga dimensi yang ada, hanya dimensi kontestasi saja yang berada pada zona kerawanan sedang. Diluar itu, dimensi penyelenggaraan dan partisipasi hanya berada di kerawanan rendah.
Mengacu pada tabel 3.2 terkait dimensi penyelenggaraan, tergambarkan satu variabel penyusun berada pada kategori kerawanan sedang, dan dua variabel penyusun lainnya dalam pengelompokan kerawanan rendah. Hal ini memberikan makna, bahwa pada dimensi ini, yakni variabel Integritas penyelenggara pada penyelenggaraan Pilgub DKI 2017, wajib mendapatkan porsi lebih untuk diawasi daripada dimensi profesionalitas maupun kekerasan terhadap penyelenggara. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
51
Berdasarkan penyelenggaraan Pemilu/ Pilkada sebelumnya, yakni Pilgub tahun 2012 dan Pileg maupun Pilpres 2014, dinamika yang cukup hangat selalu terjadi di Ibu Kota Negara ini. Bahkan dinamika tersebut sampai mengantarkan beberapa penyelenggara pemilu, baik KPU dan Pe ngawas Pemilu duduk di kursi “pesakitan” karena dianggap telah berbuat tidak netral dan/atau menyalahgunakan wewenang nya. Pada pelaksanaan Pilgub DKI 2012, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan dua putusannya. Dimana putusan pertama dengan nomor: 01/KE-DKPP/VI/2012, dan 02/KE-DKPP/ VI/2012, berupa peringatan tertulis kepada Ketua KPU Provinsi DKI, yang dianggap telah menyalahgunakan wewenangnya untuk tidak menindaklanjuti masukan dari paslon terkait perbaikan data pemilih. Demikian halnya pada putusan lainnya, DKPP mengeluarkan putusan dengan nomor 15/ DKPP-PKE-I/2012, tentang pemberhentian tetap kepada ketua Panwaslu DKI. Hal dini dikarenakan yang bersangkutan dinyata kan tidak netral, ketika menemani salah satu paslon yang hendak melapor ke Polda Metro Jaya. Selanjutnya dinamika terkait integritas penyelenggara pemilu di DKI terjadi
pada Pilpres 2014. Pada kesempatan kali ini, DKPP memberikan hukuman kepada seluruh anggota KPU Provinsi, dan hampir seluruh anggota KPU Kabupaten/Kota kecuali KPU Kota Jakarta Barat, terkait penya lahgunaan wewenang. Di mana pada putusan DKPP dengan nomor 249 dan 252/ DKPP-PKE-III/2014, KPU Provinsi beserta jajarannya tersebut, dinyatakan telah me nyalahgunakan kewenangan nya, akibat melakukan pembukaan kotak suara seba nyak 5.802 setelah berakhirnya tenggat waktu, dari rekomendasi Bawaslu Provinsi DKI tentang pemeriksaan Daftar Pemilih Khusus Pilpres 2014. Terlepas dari segala polemik dan kontroversi atas putusan-putusan tersebut, keberadaan penyelenggara Pemilu dalam pelaksanaan penyelenggaraan kontestasi seperti ini akan selalu berada pada posisi riskan dan kritis. Setidaknya dari data yang diungkapkan Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie dan anggota DKPP Nur Hidayat Sardini, sejak terbentuknya di tahun 2012, DKPP sudah memberhentikan 329 orang penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Pengawas Pemilu. Berikut disajikan data jumlah pelaporan Kode Etik Penyelenggara Pemilu dari tahun 2012 sampai dengan akhir tahun 2015, seba gaimana tersaji pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Pelaporan dan Penyelenggara Pemilu yang Diberhentikan No
Tahun
Jumlah Pelaporan
Jumlah Penyelenggara yang diberhentikan
1
2012
99 kasus
33 orang
2
2013
606 kasus
112 orang
3
2014
879 kasus
141 orang
4
2015
478 kasus
43 orang
Data Olahan dari berbagai media
52
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Dari tabel tersebutdidapatkan gambaran, posisi sebagai penyelenggara yang kapan saja dapat diadukan atas pelanggaran etik dan/atau bahkan diberhentikan dari jabatannya. Sejatinya, hal tersebut sangat relevan dengan adagium “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” milik John Emerich Edward Dalberg Acton. Dimana, posisi kemutlakan penyelenggara pemilu dalam menentukan aturan teknis pelaksanaan, bagaikan pisau bermata dua, jika tidak dipergunakan secara benar. Oleh karena itu, metode seperti checks and balances diantara lembaga penyelenggara pemilu, dimana masing-masing lembaga dapat saling mengimbangi, dan mengawasi antar kekuasaan satu dengan yang lain, akan secara otomatis menciptakan pembatasan kekuasaan yang mutlak tersebut. Dengan demikian, potensi korup dari kencendrungan kekuasaan dapat terminimalisir. Terakhir, untuk memastikan metode checks and balances ini dapat terbangun, maka perlu diciptakan pola hubungan kelembagaan diantara lembaga penyelenggara pemilu. Dalam hal ini setidaknya, asas penyelenggara dan penyelenggaranpemilu, dapat dijadikan sebagai dasar dari pola hubungan tersebut.
2. Dimensi Kontestasi Dimensi kontestasi dibangun dari empat variabel. Di mana variabel pertama adalah pencalonan, kampanye, kontestan dan terakhir adalah kekerabatan. Dari empat variabel dimaksud, hampir seluruhnya berada pada skala kerawanan tinggi, hanya pada varibel kekerabatan saja yang memiliki tingkat kerawanan rendah. Adapun urutan variabel kampanye dari ting-
kat kerawanan tertinggi berturut-turut sampai paling rendah adalah; kampanye, pencalonan dan terakhir adalah variabel kekerabatan. Sebagaimana diketahui, selain merujuk pada Undang-Undang 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penyelengaraan Pilgub DKI 2012, harus merujuk pada UU No.29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Di mana dalam pasal 11 ayat 1 dan 2 dari Undang-Undang kekhususan DKI,mengatur perolehan suara minimal 50% lebih untuk paslon, agar dapat ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, dandalam hal tidak ada satupun paslon yang berhasil memperoleh suara minimal tersebut, maka dilaksanakan putaran kedua. Adapun peserta pada putaran kedua ini adalah paslon yang perolehannya terbesar pertama dan kedua. Oleh karena itu, tentu tidak mengherankan jika penyelenggaraan Pilgub DKI, aroma kontestasi terasa lebih kuat dari wilayah lainnya. Selain daerah ibu kota, pengaturan dalam Undang-Undang Kekhususan dapat memaksa paslon berkompetisi lebih lama. Menilik penyelenggaraan Pilgub DKI 2012 lalu, tercatat enam pasangan calon ditetapkan sebagai peserta, di mana diantara enam paslon tersebut, terdapat dua paslon dari jalur perseorangan. Berikut hasil final perhitungan suara Pilgub DKI2012: 1. Pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli: 1.476.648 (34,05%) 2. Pasangan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria: 85.990 (1,98%)
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
53
3. Pasangan Joko Widodo-Basuki T Purnama: 1.847.157 (42,6%) 4. Pasangan Hidayat Nurwahid-Didiek J Rachbini: 508.113 (11.72%) 5. Pasangan Faisal Batubara-Biem Benjamin: 215.935 (4,98%) 6. Pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono: 202.643 (4,67%) Atas hasil ini kemudian diselenggarakan putaran kedua, karena tidak ada satupun paslon yang berhasil mencapai perolehan suara lebih dari 50%. Adapun Paslon yang ikut dalam putaran kedua ini adalah Paslon: 1. Pasangan Joko Widodo-Basuki T Purnama: 1.847.157 (42,6%) 2. Pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli: 1.476.648 (34,05%)
Baik pada penyelenggaraan Pilgub DKI tahun 2012 maupun pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2014, mempertontonkan tingkat kontestasi yang luar biasa sengit dan panas. Bahkan pelaksanaan tahapan pencalonan belum dilaksanakan, perang isu terkait rencana pencalonan ma singmasing bakal paslon pada kedua perhelatan tersebut begitu marak. Aksi saling berbalasan dalam melaporkan ke ranah hukum umum pun kerap terjadi. Cukup disayangkan tentunya, terlebih aksi balas membalas tersebut dikarenakan isu-isu yang yang mengarah pada pembunuhan karakter dari masing-masing bakal paslon. Berikut dipaparkan isu-isu kampanye terkait kontestasi Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014 di Provinsi DKI, sebagaimana tersaji pada tabel 4.2 berikut ini
Tabel 4.2 Isu Kampanye Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014 No
Isu Kampanye
1
Tidak berintegritas karena meninggalkan masa tugas sebagai Walikota Solo yang baru dijabat 2 tahun pada periode keduanya.
2
Pembiaran terhadap Korupsi Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dan Kepala DPPKA Solo
3
Kampanye Hitam Agama yang dianut
4
Kampanye Negatif Agama yang dianut
5
Kampanye Negatif Suku dan Ras
6
Kampanye Negatif Penggunaan Dana Bansos DKI
7
Kampanye hitam penipuan kupon sembako
8
Kampanye Negatif penggunaan fasilitas negara
9
Kampanye Negatif Curi Start Kampanye
10 Kampanye Negatif Iklan TV Ucapan Hari raya 11 Kampanye Negatif Kejahatan HAM 12 Kampanye Hitam Pindah kewarganegaraan 13 Kampanye Hitam dana asing 14 Politik Uang Data Olahan Biro TP3 Bawaslu RI
54
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Setidaknya terdapat 14 isu kampanye yang dapat dikategorikan sebagai kampanye negatif maupun kampanye hitam, terjadi pada dua parhelatan besar di Provinsi DKI, baik pada Pilgub 2012 maupun pada Pilpres 2014. Maraknya kampanye negatif maupun hitam pada pelaksaan pesta demokrasi di Indonesia, lebih disebabkan pada lemahnya regulasi dalam memaksa paslon maupun simpatisannya untuk taat dan patuh. Celah hukum definisi kampanye yang sampai saat ini masih bersifat kumulatif, sulit digunakan untuk menjerat para pelaku kejahatan pemilu. Dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan, kampanye masih didefinsikan secara kumulatif, dari bentuk kegiatan untuk meyakinkan pemilih de ngan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon. Oleh karena itu, jika ada satu saja unsur dalam definisi kampanye ini tidak terpenuhi, maka atas kejahatan secara substansi telah terjadi tersebut, tidak dapat ditindak lanjuti oleh Pengawas Pemilu. Hal ini masih diperparah dengan tambahan persyaratan seperti dilakukan oleh orang yang terdaftar sebagai tim pemenangan/kampanye, serta dilakukan pada masa kampanye. Hal ini berarti, setiap tindakan kejahatan kampanye tidak bisa ditindak, jika, tidak dilakukan oleh orang yang terdaftar dalam daftar tim pemenangan/kampanye, dan dilakukan diluar masa kampanye. Demikian halnya dengan penggunaan program dan fasilitas negara oleh para pejabat negara (baik incumbent maupun bukan), yang terlibat secara langsung ketika menjadi Paslon dan/atau hanya tergabung sebagai tim pemenang an/kampanye saja. Walaupun telah dila-
rang, namun pada pelaksanaannya, kejahatan seperti ini sulit untuk bisa ditindak lanjuti. Seperti program kerja yang disosialisasikan pejabat negara melalui videotron, bando jalan dan sebagainya. Di mana biasanya, sosialisasi program kerja seperti ini, dilakukan sebelum dilaksanakannya tahapan pencalonan. Bahkan di beberapa tempat, setelah masuk pada tahapan pencalonan dan ditetapkan sebagai paslon pun, sulit ditindak-lanjuti penurunan bando jalan dan/atau videotron yang sudah terpasang. Tidak jauh berbeda dengan penggunaan dana bansos. Sasaran dan lokasi wilayah terdampak Bansos sudah dipastikan adalah wilayah dan kelompok sasaran yang merupakan bagian dari petahana. Bahkan sejak dari perencanaan maupun penetuan tenaga pendamping (jika ada) dari bansos pun, sudah diatur sedemikian rupa untuk menimal menitipkan pesan, bahwa keberadaan dana bansos ini adalah atas dasar kebaikan dari petahana. Hal lainnya yang sulit untuk ditindak lanjuti adalah permasalahan keprotokol an yang melekat dan fasilitas negara. Dimana hak-hak tersebut menempel pada diri pejabat, seperti; mobil dinas, rumah dinas, supir, pengamanan dan sebagai nya. Sehingga walaupun dalam kondisi cuti di luar tanggungan negara, fasilitas sebagaimana dimaksud, masih diguna kan oleh yang bersangkutan. Lalu bagaimana penyelenggaraan kontestasi Pilgub DKI tahun 2017? Merujuk penyelenggaraan tahapan pencalon an yang sedang berlangsung, nampaknya suasana panas dan sengit dari penyelenggaraan Pilgub DKI di tahun 2012 akan berulang. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
55
V.O Key Jr dalam bukunya “Public Opinion and American Democracy” beranggap an, kepentingan diri sendiri adalah unsur penggerak yang penting dalam politik. “Politik tidak seperti bermain suatu permainan olahraga, politik adalah permainan yang dimainkan untuk hidup dan mati, demikian cara permainan itu dimainkan. Dan siapapun pemenangnya akan mempengaruhi setiap warga negara, bahkan anak-anak dan cucu-cucunya”. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika setiap Paslon dan tim pemenangannya dapat melakukan apa saja untuk memenangkan permainan dalam suksesi kepemimpinan ini. Di awal tahun 2016, muncul kelompok masyarakat dengan nama Teman Ahok. Dimana tujuan dari kelompok ini adalah, untuk mendukung petahana, agar dapat berkompetisi dalam Pilgub DKI melalui jalur perseorangan. Khalayak ramai membicarakan kegigihan segelintir anak-anak muda, yang berharap Ahok dapat kembali memimpin Provinsi DKI Jakarta. Beragam tanggapan muncul dari bermacam-macam kelompok kepentingan, mulai dari abang becak, ibu-ibu, artis, anggota DPR RI bahkan Ketua Umum Parpol. Singkat nya, fenomena Teman Ahok menjadi bensin yang berkontribusi memanaskan persaingan kandidasi pada suksesi Pilkada DKI 2017. Sejatinya Teman Ahok bukanlah hal yang luar biasa, dalam perkembangan kehidupan demokrasi di era keterbukaan seperti saat ini, apalagi hal ini terjadi di Ibu Kota Negara. Namun, di tengah kondisi sikap apatis publik yang cendrung menga rah ke arah ketidak percayaan atas kinerja parpol, gerakan atas kepentingan sendiri 56
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
dari anak-anak muda ini kemudian hadir, seolah menjadi pilihan alternatif, sehingga dukungan dan simpati pun mengalir begitu derasnya. Hal inilah kemudian yang membuat keberadaan Teman Ahok menja di begitu besar. Semakin besar bahkan cendrung fenomenal, karena telah berhasil menarik ego kepartaian dari beberapa petinggi parpol yang terusik. Sehingga bermunculan lah saat itu pendapat-pendapat anggota DPR yang cendrung menegasikan apa yang dilakukan oleh gerakan ini. Dimana mencapai puncaknya, ketika digulirkan isu deparpolisasi oleh salah satu ketua Parpol. Peristiwa politik lainnya yang ikut memanaskan perhelatan Pilgub DKI 2017, adalah dengan kemunculan Ketua Umum Parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi, namun berniat mencalonkan diri melalui jalur parpol. Secara logika, apa yang dilakukan Ketua Parpol ini merupakan sebuah kemustahilan. Namun dalam logika berpolitik, tidak ada hal yang tidak mungkin. Sehingga, walaupun pada ak hirnya tujuannya tidak tercapai, namun upaya tersebut telah menggambarkan kepentingan diri sendiri, dari Ketua Umum salah satu parpol ini. Perkembangan terakhir, peta kontes tasi penyelenggaraan Pilgub DKI 2017, diprediksi semakin memanas. Sandiaga Uno yang sebelumnya digadang menjadi Cagub P Gerindra, kini dipasangkan sebagai Cawagub mendapingi Anies Baswedan sebagai Cagub. Belum lagi kemunculan Agus Yudhoyono yang ditarik dari kedinasannya di militer, untuk dipasangkan dengan Sylviana Murni seorang birokrat tulen di Pemprov DKI. Menarik memang untuk disimak, fakta
bahwa Anies pernah mengkampanyekan Prabowo Subianto didukung oleh mafia pada saat Pilpres lalu, tidak menghalangi niat P Gerindra dan PKS untuk mengusu ng nya. Demikian dengan keberadaan Agus Harimurti yang dikabarkan memiliki karier cemerlang di militer, namun akhir nya mengundurkan diri dan diusung menjadi calon Gubernur oleh empat partai pengusungnya, yakni: Partai Demokrat, PAN, PKB dan PPP. Dari paparan terkait kondisi kontestasi pada Pilgub DKI 2017, semakin menguatkan pendapat V.O Key Jr, bahwa kepen tingan diri sendiri adalah unsur pengge rak yang penting dalam politik. Hal ini diperkuat dengan keberadaan adagium dunia politik bahwa “tidak ada kawan abadi, tidak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan”. Oleh karena itu, Penyelenggara Pemilu harus siap dalam memberikan akses secara transparan dan bertanggung-jawab kepada bukan saja pada paslon, melainkan kepada seluruh stakeholders pemilihan. Termasuk di dalamnya law enforcement yang diterapkan tanpa pandang bulu, terhadap setiap stakeholders yang melanggar dan/atau keluar dari zona kontestasi yang telah dipersiapakan penyelenggara.
3. Dimensi Partisipasi Berdasarkan gambaran yang tersaji pada tabel 3.3 terkait dimensi partisipasi, tergambarkan satu variabel penyusun dari tiga variabel yang berada pada kategori kerawanan sedang, dan dua variabel penyusun lainnya dalam pengelompokan kerawanan rendah. Variabel hak pilih berdasarkan IKP Pilgub DKI 2017, diprediksi akan kembali bermasalah. Di mana indika-
tor dari prediksi ini berangkat dari jumlah pemilih yang tidak terdaftar dan jumlah laporan masyarakat atas hilangnya hak pilih. Merujuk data DPT yang dikeluarkan KPU DKI pada penyelenggaran Pilgub DKI 2012 lalu, Jumlah total pemilih terdaftar dalam DPT adalah berjumlah 6.962.348 orang. Terdiri dari laki-laki 3.543.970 orang dan perempuan 3.418.378, sedang pemilih yang tidak memberikan hak pilihnya berjumlah 2.555.207 orang. Penulis tidak mendapatkan alasan dan/atau penyebab dari 2.555.207 pemilih, yang tidak memberikan hak suaranya. Demikian halnya terhadap jumlah pemilih sebesar 2.418.838 yang tidak hadir di TPS pada Pileg tahun 2014 di Provinsi DKI. Atau dengan pemilih berjumlah 2.081.396 yang tidak memberikan pilihannya pada Pilpres 2014. Tidak ada penyebab yang didapatkan melalui penelitian secara akademik, terhadap besarnya jumlah pemilih di DKI Jakarta yang tidak memberikan hak pilih nya, kendati yang bersangkutan terdaftar pada DPT. Namun demikian, penulis dapat memberikan gambaran pada penyelenggaraan pemilu/pemilihan diberbabagai tempat di Indonesia. Dimana keenganan pemilih tidak datang untuk memberikan hak pilihnya dikarenakan beberapa faktor, yakni: tidak mengetahui jika namanya terdaftar dalam DPT; tidak mendapatkan undang an kendati yang bersangkutan mengetahui jika namanya ada dalam DPT; tidak mengetahui secara pasti, tata cara memberikan suara jika tidak mendapatkan undangan; tidak mendapatkan keuntungan karena tidak ada satupun paslon yang memberikan kompensasi; dan terakhir Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
57
dikarenakan sikap apatis pemilih. Hanya saja dengan kondisi sebagai mana di maksud, masih diikuti oleh ren dahnya pengetahuan masyarakat atas tata cara penyelenggaraan Pemilu/ Pilkada/ Pemilihan. Hal ini kemudian yang menyebabkan rendahnya jumlah pelaporan terkait hilangnya hak pilih masyarakat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika di tengah minimnya jumlah pelapor, partai politik yang seharusnya memiliki tang gung-jawab dalam meningkatkan partisipasi pemilih, lebih memilih untuk berkonsentrasi terhadap strategi pemenangan paslonnya. Terkait dengan variabel karakteristik lokal dan keterlibatan masyarakat, hasil dari Indeks kerawanan di Pilgub DKI berada pada zona kerawanan rendah. Hal ini sangat dimungkin terjadi, merujuk indikator penyusun dari kedua variabel dimaksud, tidak menjadi hambatan dan/atau masalah berarti, di Provinsi DKI Jakarta mengingat posisinya sebagai Ibu Kota negara. Seperti halnya variabel pada karakteristik lokal, dari empat indikator pembentuknya, se perti; tantangan geografis; kondisi budaya patriarki; kategori kemiskinan masyarakat; dan pengaruh pemuka agama/adat. 58
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Dengan tingkat pendidikan cendrung yang lebih baik dari provinsi lainnya, permasalahan yang disebabkan dari indikator-indikator tersebut tidak secara mentah diterima, namun melalui sebuah proses rasionalisasi terlebih dahulu. Demikian halnya apabila tekanan terhadap masyarakat atas indikator-indikator ini dirasa semakin kuat, masyarakat dimotori kelas menengahnya (akademisi/mahasiswa) akan melakukan perlawanan. Walaupun demikian, atas kerawanan yang terkategorikan rendah ini, Penyelenggara Pemilu harus tetap memberikan perhatian khusus terhadap tingginya tingkat kesadaran di Ibu Kota. Karena jika tidak demikian, tingkat kesadaran yang tinggi dapat juga malah menimbulkan permasalahan baru. Karena dengan kesadaran seperti ini, atas nama kebebasan berserikat, biasanya masyarakat malah menjadi tidak terlalu perduli dengan pengaturan untuk menjaga kebebasan masyarakat lainnya. Oleh sebab itu, mengarahkan dan me libatkan kelompok-kelompok masyarakat untuk terlibat aktif secara benar dalam penyelenggaraan Pilgub DKI, adalah langkah yang tepat. Masyarakat diberikan sa
luran untuk mengaktualisasikan kehendak dan motif pribadinya dalam Penyelenggaraan Pemilu.
F. Kesimpulan Atas pemamparan secara gamblang dari IKP DKI 2017 ini, maka menurut hemat penulis, perlu dilrumuskan beberapa ke simpulan. Adapun kesimpulan sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Kemutlakan atas sebuah kekuasaan/ kewenangan Penyelenggaraan Pemilu, akan selalu menciptakan potensi dan kecendrungan penyelewengan. Terle bih adanya kepentingan diri sendiri dari setiap masing-masing kelompok kepentingan sebagai unsur penggerak, tidak akan melihat atau memilih dengan siapa bahkan penyelewengan tersebut dilakukan. 2. Atas hal tersebut, menyusun metode kontrol checks and balances diantara lembaga penyelenggara pemilu, dengan tujuan saling menciptakan pembatasan kekuasaan, akan secara otomatis menciptakan perimbangan antar kekuasaan satu dengan yang lain. Bahkan hal ini akan memungkin kan munculnya keterlibatan kelompok kepentingan lain untuk sama-sama mengawasi kekuasaan mutlak yang telah dibatasi tersebut. 3. Kepentingan dan kebutuhan ma sya rakat dan negara melalui RPJMN atas peningkatnya partisipasi publik dalam politik, perlu direspon cepat dan aka demik, dengan menyusun metode keterlibatan dan peningkatan tersebut berdasarkan karakteristik kelompok sasaran.
4. Pengawas Pemilu wajib menyusun program kegiatan yang bertujuan sebagai kontrol checks and balances diantara lembaga penyelenggara pemilu. Dengan tetap menjungjung tinggi pemberian Akses secara Terbuka dan dapat Dipertanggung jawabkan se suai peaturan perundang-undangan, kepada setiap kelompok kepentingan tanpa pandang bulu dalam perencanaan pengawasannya di kalender pe ngawasan. 5. Berdasarkan poin satu, dua, tiga dan empat, Pengawas Pemilu berkewajiban memastikan penegakan hukum (law enforcement) Pemilu/Pemilihan dapat berjalan secara baik dan tegas tanpa pandang bulu.
G. Penutup Demikian Jurnal Ilmiah Indeks Kera wanan Pemilu Provinsi DKI 2017 ini dibuat. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Kordinator Divisi Pengawasan Bawaslu RI yang telah memberikan ijin kepada saya untuk menuliskan IKP Provinsi DKI Jakarta ke dalam bentuk jurnal. 2. Kepala Biro H2PI Bawaslu RI dan Kepala Bagian ATP3 yang memberikan seluruh data IKP Provinsi DKI Jakarta 2017. 3. Rekan Kerja saya Tim Asistensi Div Pe ngawasan Bawaslu RI. 4. Kordiv PHL Bawaslu Provinsi DKI Jakarta atas konfirmasi data isian IKP Provinsi DKI Jakarta 2017. 5. Kordiv SDM Bawaslu Provinsi DKI Jakarta sebagai penanggung jawab Jurnal Ilmiah Bawaslu Provinsi DKI Jakarta. l
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
59
Daftar Pustaka • • • • •
60
Buku Indeks Kerawanan Pemilu Bawaslu RI Tahun 2016. V.O Key Jr. Public Opinion and American Democracy, 1961. John Emerich Edward Dalber-Acton. History of Liberty,1886. Data hasil Pengawasan Bawaslu RI. Data hasil Pemantauan KIPP Jawa Timur.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Konstestasi Dalam Pilgub DKI Yang Demokratis Tantangan dalam Menjaga Kualitas Pilkada DKI 2017 Ahsanul Minan Abstraksi
Penggiat Demokrasi dan Kepemiluan berskala nasional dan Internasional
Penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 dan 2012 menggoreskan beberapa permasalahan pelik yang mengganggu integritas proses dan hasil pemilu. Beberapa diantaranya adalah keruwetan dalam proses pencalonan (candidacy) yang dipicu oleh intervensi yang mendalam dari kepengurusan partai politik di tingkat pusat, pelaksanaan kampanye yang diwarnai sentiment SARA dan kampanye hitam, serta pengelolaan dana kampanye yang tidak akuntabel. Permasalahan ini (tanpa menafikan persoalan lainnya terutama pendataan pemilih) berpotensi terulang dalam Pilkada 2017. Diperlukan upaya bersama untuk menangani permasalahan ini, antara lain dengan mendorong agar pelaksanaan kampanye lebih mengutamakan pendekatan dialogis dan canvassing untuk mengoptimalkan close engagement antara kandidat dengan konstituen, optimalisasi pengawasan partisipatif dengan melibatkan ma syarakat sipil, serta penegakan aturan main terutama terkait dengan pengelolaan dana kampanye.
Kata Kunci: Kontestasi, dana kampanye dan Pengawasan Pilgub DKI
A. Pendahuluan Warga DKI akan menyongsong Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pigub) secara langsung pada awal tahun 2017, yang merupakan gelaran ketiga dalam sejarah politik lokal di ibukota negara ini. Pilkada DKI yang pertama dilaksanakan pada tahun 2007, sedangkan Pilkada kedua dilaksanakan tahun 2012. Pilkada DKI tahun 2007 merupakan pembuka dari gelaran Pilkada langsung di Indonesia. Pilkada merupakan instrument demo kratis untuk memfasilitasi pelaksanaan ke daulatan rakyat dalam memilih pemimpin secara langsung di wilayah administratif yang bersangkutan. Proses ini diharapkan bisa mereduksi secara luas adanya pem-
bajakan kekuasaan yangdilakukan oleh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) serta diharapkan bisa menghasilkan kepala daerah yang memiliki akuntabilitas lebih tinggi kepada rakyat1. Dengan demikian, Pilkada merupakan gelaran lokal, yang semestinya menjadi arena yang sepenuhnya dikendalikan oleh komunitas setempat dalam seluruh proses penyelenggaraan, mulai dari candidacy, kampanye, hingga pemberian suara. Menempati posisi strategis secara 1 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 183. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
61
geo-politik, Pilkada DKI selalu diwarnai oleh pertarungan yang ketat antar kekuatan politik. Pilkada DKI tidak semata dikendalikan oleh kekuatan politik lokal, baik dari unsur pengurus partai politik di tingkat provinsi DKI maupun pemilih warga DKI. Melibatkan spectrum politik yang lebih luas, pengalaman empiric menunjukkan bahwa Pilkada DKI juga acapkali dihiasi oleh intervensi kekuatan politik di tingkat pusat, baik pengurus pusat partai politik (bahkan tak jarang Pilkada DKI menjadi ajang pertaruhan antar Ketua Umum Partai Politik), kekuatan politik non-partai seperti poros kekuatan militer atau polisi, maupun pemilik modal. Magnet Pilkada DKI bagi banyak ke kuatan politik dan ekonomi ini tak lepas dari posisi dan peran DKI sebagai provinsi yang berada di sentral kekuasaan negara yang memiliki posisi yang sangat penting dalam aspek politik, ekonomi, dan keamanan. Dengan PAD yang berlimpah dan terus meningkat, Rp 20,5 triliun pada 2012, Rp 26,3 triliun, pada tahun 2013, Rp 39,5 triliun pada tahun 2014, dan 44,2 trilyun pada tahun 20152, kursi DKI 1 bagaikan gula-gula yang memikat banyak orang. Di sisi lain, Pilkada DKI juga dianggap sebagai barometer politik nasional. Keberhasilan dalam merebut dan memimpin pemerintahan di DKI dianggap sebagai salah satu tangga menuju calon pemimpin nasional di masa mendatang. Keterlibatan banyak kepentingan se bagaimana disebutkan di atas pada da sarnya merupakan sebuah kewajaran da2 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/14/03/20/n2pwx0dalam-dua-tahun-pad-dki-naik-rp-19-t, diakses tanggal 8 Oktober 2016. 62
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
lam praktek demokrasi yang cenderung liberal. Namun demikian, perlu dilacak lebih jauh dampak dari ketatnya kontestasi dalam Pilkada DKI terutama terkait de ngan besarnya pengaruh pihak luar terha dap proses penyelenggaraan Pilkada. Di sisi lain, kontestasi dalam Pilkada DKI juga menunjukkan adanya pengulangan praktek polarisasi kekuatan masyarakat sipil dan dipergunakannya isu SARA. Beberapa pertanyaan patut dikemukakan, antara lain: bagaimana pola intervensi kekuat an politik di tingkat pusat yang terjadi? bagaimana dampak intervensi kekuatan politik pusat terhadap relasi calon dengan konstituen? bagaimana dampaknya terhadap integritas kampanye dan dana kampanye? bagaimana mengawasinya?
B. Pola intervensi: Elit versus Alit Dalam Pencalonan Gubernur DKI Pemilu merupakan instrument demo kratik dalam memilih pemimpin politik dalam pemerintahan, yang dilaksanakan dengan tujuan untuk memastikan bahwa kehendak masyarakat dijadikan dasar utama bagi rezim pemerintahan—baik di sektor legislatif maupun eksekutif— yang terpilih melalui pemilu dalam menjalankan roda pemerintahan. Mekanisme pemilihan melalui Pemilu ini merupakan perkembangan mutakhir dari proses perkembangan masyarakat politik yang sebelumnya terbentuk dari individu-individu menjadi sebuah kesatuan ma syarakat berdasarkan atas perjanjian politik di antara mereka3. Pemilu menjadi salah satu parameter 3 Locke, John, The Second Treaties of Govern-
ment, halaman 2.
utama dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Robert Dahl4 memberikan 8 kriteria bagi demokrasi yang meliputi: “a reasonably responsive democracy can exist only if at least eight institutional guarantees are present : 1) freedom to form and join organizations; 2) freedom of expression; 3) the right to vote; 4) eligibility for public office; 5) the right of political leaders to compete for support and votes; 6) alternative sources of information; 7) free and fair elections; and 8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. Pada masa modern ini pemilu menempati tempat yang penting karena beberapa alasan. Pertama, pemilu me rupakan mekanisme terpenting untuk keberlangsungan demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan, menjadi ke niscayaan di masa kini, dimana jumlah penduduk, luas wilayah, kompleksitas perkembangan masyarakat hampir mustahil melakukan demokrasi secara langsung untuk menjawab tuntas permasalahannya. Kedua, pemilu menjadi indikator dan unsur penting dari negara demokrasi. Semua negara yang mengaku demokratis selalu membuktikannya de ngan berjalannya pemilu secara periodik. Nils-Christian Bormann dan Matt Golder5 dengan mengutip pendapat Przeworski menyatakan bahwa sebuah rezim peme rintahan dikategorikan sebagai rezim yang demokratis jika kepala pemerintah4 Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press, New Haven, 1971, halaman 3 5 Sebagaimana dikutip oleh Nils-Christian Bormann dan Matt Golder, Democratic Electoral Systems around the World, 1946-2011, hal. 1
an (eksekutif ) dipilih, anggota legislatif dipilih, terdapat lebih dari satu partai yang berkompetisi dalam pemilu, terdapat pergantian terhadap peraturan-peraturan pemilu yang identik. Sedangkan rezim yang tidak menerapkan empat indikator tersebut dikategorikan sebagai rezim yang tidak demokratis. Ketiga, pemilu juga menjadi jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang representatif (representative government).6 Sedangkan Pilkada langsung me rupakan merupakan bagian dari proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepeningdemocracy) serta upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif. Pilkada langsung merupakan daulat rakyat sebagai salah satu realisasi prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik.7 Goran Hayden8 melihat Pilkada sebagai arena untuk menciptakan local good goovernance. Penciptaan tatanan pemerintahan lokal yang baik ini kemudian mencakup tiga dimensi dari governance, yaitu dimensi aktor, struktur, dan dimensi empiris. Pada dimensi aktor, Pilkada hendak menekankan pentingnya kekuasaan, kewenangan, resiprositas antara rakyat dan pemimpin serta 6 Emilia Drumeva, Electoral Systems, Particular Aspects and A Bulgarian Case Study, http:// www.enelsyn.gr/papers/w3/Paper%20by%20 Prof.%20Emilia%20Drumeva.pdf. 7 R. Siti Zuhro, dkk, Model Demokrasi Lokal,
(Jakarta: PT. THC Mandiri, 2011), hlm. 23-24.
8 Sebagaimana dikutip oleh Ridho Imawan Hamadi, Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Catatan Kritis untuk Partai Politik, Jurnal Penelitian Politik, Volume 11 No. 2 Desember 2014, 1–16 Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
63
pergantian kekuasaan. Dengan Pilkada maka tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat dan tersentral di tangan segelin tir orang dan kekuasaan yang diperoleh memiliki legitimasi yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sementara dimensi struktur, menekankan pentingnya sikap kesukarelaan (compliance), kepercayaan (trust), akuntabilitas (accountability) dan inovasi (innovation). Struktur dan lingkungan politik lokal harus mampu memberikan akses dan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk menja di pemimpin. Sedangkan dimensi empirik menekankan pentingnya peran warga negara, kepemimpinan yang responsif dan bertanggungjawab, serta resiprositas sosial. Dengan demikian, Pilkada pada da sarnya merupakan perhelatan politik di tingkat lokal, sebagai sarana implementasi kedaulatan rakyat lokal dalam memilih pemimpin daerah. Pilkada merupakan ruang bagi masyarakat di tingkat lokal, untuk mengusulkan calon pemimpin, dan memilih calon pemimpin yang terbaik bagi mereka. Dalam realita politik Pilkada DKI, salah satu bentuk intervensi yang dilakukan oleh kekuatan politik di luar stakeholder utama dalam Pilkada DKI ditunjukkan dalam proses penentuan bakal calon kepala daerah. Pencalonan merupakan salah satu bagian penting dalam penyelenggaraan pemilu, dimana pada tahap an ini akan ditentukan siapa saja yang memenuhi syarat dan dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu. Sistem pencalonan baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif mencakup 4 bagian; pertama syarat in64
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
dividu yang akan menjadi calon peserta pemilu; kedua persyaratan pihak-pihak yang dapat mengajukan bakal calon; ketiga tata cara pencalonan; serta keempat sistem penegakan hukum dan penyelesai an sengketa. Keempat bagian ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam sistem pemilu yang mengizinkan adanya calon perseorangan, syarat calon sangat berhubungan dengan prosedur pencalonan, sedangkan dalam sistem pemilu yang mengizinkan pengajuan calon oleh partai politik, maka syarat calon akan sangat dipengaruhi oleh per syaratan partai politik dalam mengajukan bakal calon, serta prosedur pencalonan. Demikian juga sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pencalonan akan memainkan peran penting dalam memastikan keterpenuhan syarat, menindak pelanggaran, serta menyelesaikan sengketa hukum yang muncul dalam proses pencalonan, dalam rangka melindungi hak calon, hak partai politik, dan hak masyarakat. Undang-undang mengatur pro ses pencalonan yang dibagi ke dalam 2 tahap; pertama pra-pencalonan, yakni sebuah proses penjaringan bakal calon oleh ma sing-masing partai politik atau gabung an partai politik yang memenuhi syarat untuk mengajukan bakal calon. Kedua, proses pendaftaran dan penetapan calon, yakni proses pendaftaran bakal calon oleh partai politik atau gabungan partai politik, atau oleh calon perse o rang an, yang diikuti dengan pemeriksaan keterpenuhan persyaratan bakal calon, dan selanjutnya ditutup dengan penetapan calon kepala daerah. Dalam proses pra-pencalonan, pada
dasarnya kerangka hukum Pilkada memiliki intensi untuk memberikan wewenang penentuan bakal calon kepala daerah dari unsur partai politik kepada pengurus partai politik setempat (pengurus partai politik di wilayah penyelenggaraan Pilkada).9 Arah kebijakan pengaturan ini sangat relevan mengingat bahwa penyelenggaraan Pilkada pada dasarnya merupakan sebuah perhelatan pemilihan di tingkat lokal untuk memilih calon pemimpin lokal. Dengan demikian sudah semestinya otoritas penentuan calon kepala daerah berada di tangan partai politik di daerah yang bersangkutan. Adapun keterlibatan pengurus partai politik di tingkat pusat, sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Meskipun demikian, dalam konteks system politik kepartaian di Indonesia yang mengedepankan sifat organisasional partai politik yang nasional, maka kerangka hokum Pilkada mengatur peran pengurus partai politik di tingkat pusat untuk memberikan persetujuan atau rekomendasi kepada calon yang te lah dipilih oleh pengurus partai politik di tingkat daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar kepengurusan partai politik di tingkat daerah tidak bersikap “sangat independen” dan “terlepas” dari sifat nasional partai politik. Di sisi lain, ruang keterlibatan pengurus pusat partai politik juga dibuka dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam hal terjadi dualisme kepengurusan partai politik di tingkat daerah, atau munculnya dukungan terhadap lebih dari satu pasangan calon oleh pengurus partai politik di tingkat daerah. Dalam konteks demikian, sejalan dengan sifat nasional
partai politik, maka pengurus pusat partai politik diberi wewenang untuk menentukan kepengurusan daerah yang mana yang dianggap sah untuk diproses lebih lanjut pencalonannya oleh KPU. Dari konstruksi tersebut, terlihat bahwa otoritas utama dalam pelaksanaan proses pra-pencalonan pada dasarnya ada di tangan pengurus partai politik atau gabungan partai politik di tingkat daerah. Kerangka hukum pilkada meng hendaki pengurus partai politik di tingkat daerah untuk melakukan proses penja ringan bakal calon kepala daerah sesuai dengan mekanisme internal partai politik atau kesepakatan gabungan partai politik yang harus dijalankan dengan memenuhi prinsip-prinsip demokrasi, transparan, dan akuntabel. Prinsip demokrasi dalam proses penjaringan dan penentuan bakal calon yang dibayangkan adalah proses yang melibatkan konstituen partai secara langsung melalui proses pra-pemilu, atau diwakili oleh pe ngurus partai politik di tingkat yang lebih rendah. Tujuan yang hendak diraih dari mekanisme ini adalah untuk memastikan terpenuhinya kedaulatan rakyat (konstituen) sejak dari awal proses Pilkada yakni penentuan bakal calon kepala daerah. Namun demikian, dalam praktek penentuan bakal calon kepala daerah dalam Pilkada DKI, pembagian peran antara pe ngurus partai politik di tingkat daerah dan pengurus pusat partai politik ini menjadi kabur (atau dikaburkan). Pengurus pusat partai politik cenderung mendominasi proses penentuan bakal calon kepala daerah. Dominasi peran elit partai di ting-
9 Lihat UU Nomor 1 Tahun 2015 Pasal 42. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
65
kat pusat terlihat sangat kentara mulai dari awal masa penjaringan bakal calon oleh partai politik, yang diindikasikan oleh pertarungan antar 3 tokoh politisi senior yakni Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Prabowo. PDIP memang telah menggelar mekanisme seleksi pendahuluan untuk menentukan pasangan calon, namun hingga detik terakhir, PDIP tidak pernah secara transparan mengumumkan hasilnya, sehingga terkesan bahwa pilihan PDIP terhadap pasangan Ahok-Jarot lebih didasari atas keputusan preogatif Megawati. Kejutan lain muncul dari kubu SBY dan Prabowo, yang mengumumkan pasangan calon yang tidak terduga. SBY memutuskan anaknya sebagai calon gubernur, sedangkan Prabowo memutuskan Anis Baswedan sebagai calon gubernur, dimana kedua orang ini sebelumnya tidak banyak muncul atau diperbincangkan di publik. Agus sama sekali belum pernah menyatakan niat atau bahkan melakukan pemanasan awal dengan melakukan dialog dengan publik Jakarta terkait dengan pencalonannya, demikian juga Anis Baswedan. Dengan demikian, pada dasarnya dapat disebut bahwa proses pencalonan dalam Pilkada DKI tahun 2017 ini telah dibajak oleh elit partai politik di tingkat pusat. Intervensi ini dilakukan melalui dua pola, pertama mempengaruhi proses penjaringan bakal calon yang dilakukan oleh pengurus daerah partai politik, dan selanjutnya secara sepihak menentukan bakal calon. Kedua dengan cara menafikan peran atau hasil penjaringan bakal calon oleh pengurus daerah partai
66
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
politik dengan memunculkan calon baru yang dikehendaki oleh pengurus pusat partai politik. Pola pertama ini dilakukan oleh PDIP. Pengurus PDI P DKI Jakarta sejak 8 April 2016 telah menjalankan proses penjaringan bakal calon kepala daerah. Hasil penjaringan ini selanjutnya telah diputuskan oleh Pengurus PDI P DKI Jakarta, yang tampaknya berbeda dengan nama yang dikehendaki oleh pengurus pusat PDI Perjuangan, kemudian diserahkan kepada DPP PDI Perjuangan. Setelah melalui proses tarik-ulur yang sangat panjang dan mendebarkan, DPP PDI Pmemutuskan pasangan Ahok-Djarot sebagai bakal calon yang akan diusung oleh PDI Perjuangan (dimana bakal calon yang sama didukung oleh Nasdem, Hanura, dan Golkar). Pola kedua tampak dilakukan oleh partai politik pengusung Agus-Silvy, yakni Demokrat, PKB, PAN, dan PPP. Beberapa partai anggota koalisi ini sebelumnya menggadang-gadang beberapa nama bakal calon, tetapi pada detik-detik terakhir, bertempat di kediaman SBY di Cikeas, koalisi ini mengusung Agus yang nota-bene putra SBY sebagai bakal calon Gubernur DKI. Pola ini juga berlaku di koalisi pendukung Anis-Sandiaga. Praktek intervensi pengurus pusat partai politik dalam proses penentuan bakal calon kepala daerah ini mengandung beberapa persoalan mendasar; pertama intervensi DPP ini menafikan atau setidaknya meminggirkan peran pengurus partai di tingkat daerah yang pada dasarnya merupakan pemegang otoritas terbesar dalam proses penjaringan dan
penentuan bakal calon kepala daerah. Pengabaian ini jika ditarik pada proses sebelumnya, dapat berarti pengabaian juga terhadap proses partisipatif yang melibatkan konstituen partai dalam proses penjaringan bakal calon. Kedua, pada gilirannya, konstituen termasuk juga rakyat pemilih pada umumnya hanya diposisikan sebagai penerima hasil akhir dari proses penentuan bakal calon yang prosesnya dibajak oleh pengurus pusat partai politik. Ketiga, kemunculan nama bakal calon yang baru seperti Anis Baswedan dan bahkan yang sama sekali di luar wacana publik seperti Agus dapat menimbulkan persoalan berupa kesangsian publik atau setidaknya ketidaktahuan publik atas kemampuan calon, mengingat bahwa nama-nama tersebut sebelumnya belum pernah melakukan komunikasi dengan konstituen maupun masyarakat umum. Hal ini tentunya akan berpotensi mengganggu relasi kandidat dengan konstituen.
C. Elit versus Alit dalam Kampanye dan Pendanaan Kampanye Pilkada DKI Pola berikutnya intervensi elit dalam Pilkada DKI terindikasikan dalam pembentukan tim kampanye dan operasionalisasi kampanye.Dalam proses penyelenggaraan pemilu, kampanye menjadi salah satu bagian terpenting dalam siklus pemilu karena menjadi momentum bagi kontestan dalam pemilu untuk menggalang dukungan politik pemilih. Masing-masing kontestan baik partai poltik maupun calon pejabat politik yang bertarung, akan melakukan berbagai upaya untuk memperkenalkan diri, menyampaikan visi, misi
dan program untuk menarik simpati pemilih. Berbagai media pendukung kampanye biasanya dipergunakan misalnya iklan di media massa, pertemuan massal, maupun metode kampanye konvensional yang lebih menekankan kepada model komunikasi direktif. Efektifitas kampanye pada umumnya berkaitan secara langsung atau mempengaruhi tingkat keterpilihan kandidat atau partai politik peserta pemilu. Kampanye yang efektif dalam menentukan simbol yang tepat dalam mewakili visi dan program, tepat dalam menentukan kelompok sasaran, serta tepat dalam memilih media penyampaian pesan, pada umumnya mampu mengatrol potensi ketepilihan kandidat. Di samping itu, kemampuan kandidat dalam mendayagunakan media komunikasi yang memiliki daya sebar yang luas dan cepat juga akan berkontribusi besar dalam peningkatan kadar elektabilitas kandidat. Kekuatan dan kualitas kampanye parpol peserta pemilu sangat dipengaruhi oleh kemampuan parpol dalam menggalang dan mengelola dana kampanye. Semakin besar kemampuan partai politik atau kandidat dalam menggalang dana kampanye, maka akan memberi peluang yang lebih besar kepadanya untuk melakukan kampanye secara lebih massif. Permasalahannya, akses partai politik maupun kandidat terhadap sumber keuangan untuk membiayai kampanye tidaklah sama. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai factor; antara lain sumber daya internal partai (baik dari sisi kekuatan finansial berbbasis iuran maupun sumbangan anggota, maupun tingkat pengaruh
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
67
politik partai yang bersumber dari besar kecilnya porsi kekuasaan politik yang dimilikinya), status incumbent atau non-incumbent, maupun akses ke jaringan bisnis. Ketimpangan akses dana politik ini pada gilirannya akan mengancam terwujudnya prinsip “same level playing field” Oleh karenanya, tuntutan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabili tas dana kampanye mengemuka dan mempengaruhi konsensus global tentang pentingnya pengaturan dana kampanye. Tuntutan transparansi dana kampanye didasari atas 3 tujuan: (1) menghindari manipulasi dana publik untuk membiayai kampanye. (2) Mendorong terselenggaranya kompetisi yang fair dengan mengupa ya kan terwujudnya kesempatan yang sama antar kandidat, (3) Menghindari tunduknya pemenang pemilu kepada kepen tingan donatur10 Sebagai sebuah kontestasi yang menjadi ajang pertaruhan elit partai di tingkat pusat dan daerah, Pilkada DKI sangat me ngandung kerentanan dalam aspek transparansi dan akuntabilitas pendanaan kampanye. Dalam spectrum yang lebih luas, kerentanan tersebut mengemuka dalam bentuk korupsi pemilu atau korupsi politik pemilu. Menurut Silke Pfeiffer, ketika berbi cara mengenai korupsi pemilu akan me ngacu pada partai atau kandidat dan para penyumbang (donatur)-pada satu sisi, atau partai atau kandidat dan penyelenggara pemilu, di sisi lain. Dalam pola pertama, bentuknya berupa sumbangan untuk 10 Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Tata Politik Demokratis, Partnershif for Governance Reform Indonesia, Jakarta, 2008. 68
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
kampanye pemilihan yang diberikan oleh donator dengan harapan adanya imbal balik setelah kandidat berkuasa. Dalam pola kedua, partai atau kandidat memanipulasi hasil pemilu dengan menyuap petugas pemilihan.11 Menurut Sarah Brich korupsi dalam pemilu akan menghasilkan orang yang ‘salah’ sebagai pemenang. Pemerintahan yang dihasilkan pun kurang representatif dan akuntabel. Karena politisi yang terpilih tidak akan mengutamakan kepentingan rakyat. Pada sisi lain, kepercayaan kepada mereka pun rendah. Selain itu, korupsi pemilu dapat mendorong korupsi di sektor-sektor lain.12 Secara umum ada tiga bentuk korupsi pemilu yaitu:13 1. Quid pro quo donation. Partai politik atau kandidat menerima donasi dari pihak swasta yang mengharapkan imbal balik dari kandidat atau partai politik ketika terpilih. Imbal balik ini pada umumnya dapat berupa pengalokasian proyek yang bersumber dari anggaran publik kepada mereka, atau pemberian akses terhadap kepentingan swasta tersebut dalam proses pembuatan kebijakan publik (dalam terminologi World Bank disebut state capture). Mark Philip menjelaskan bahwa quid pro quo donation melibatkan 4 elemen; 1) adanya pejabat publik yang terlibat; 2) dilanggarnya norma hukum; 3) adanya 11 Silke Pfeiffer, Vote buying and its implications
for democracy: evidence from Latin America, Transparency Internationa, 2004, pp. 76-83). 12 Birch, Sarah. Electoral Corrup on, Ins tute for Democracy & Con ict Resolu on, 2011 . 13 Open Society Justice Initiative, Monitoring Election Campaign Finance; A Handbook for NGOs, New York, 2005, hal. 14-16.
kerugian atas kepentingan umum; dan 4) timbulnya keuntungan pihak swasta yang sebelumnya telah menanam jasa kepada pejabat publik tersebut.14 2. Penyalahgunaan sumber dana dan daya negara Partai politik atau kandidat menyalahgunakan sumber dana dan daya negara/ publik untuk kepentingan pemenangan mereka. 3. Politik uang Partai, kandidat, tim sukses, memberikan/menjanjikan uang atau barang kepada pemilih atau penyelenggara pemilihan dalam rangka memenang pemilu. Dalam studinya, ICW menengarai bahwa dalam Pilkada DKI tahun 2012, terdapat beberapa masalah terkait dengan korupsi pemilu. Pertama, inidkasi adanya sumber pendanaan kampanye yang berasal dari cukong. Kedua, indikasi penyalahgunaan dana publik oleh incumbent. Ketiga, problem transparansi dan akuntabilitas laporan dana kampanye. Keempat, money-politic.15 Dari berbagai data yang dikemukakan dalam studi ICW maupun beberapa lembaga pemantau pemilu lainnya, tampak beberapa anomali yang dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, muncul kecenderungan kandidat menyamarkan sumber pendanaan kampanye illegal dengan menyatakan 14 M. Philp, “Conceptualising Political Corrup-
tion,” in A.J. Heidenheimer and M. Johnstone (editors), Political Corruption: Concepts and Contexts, Third Edition, Transaction Publishers, New Brunswick and London, 2002, p. 42.
15 http://news.detik.com/berita/1922154/ icw-lbh-jakarta-paparkan-gejala-gejala-korupsi-pilkada-dki
bahwa dana kampanye diperoleh dari kontribusi (kocek) pribadi kandidat atau dari sumbangan partai politik pengusung. Model klaim semacam ini hampir merata di seluruh kandidat. Pendekatan yang diambil oleh kandidat (dengan mengklaim sumber pendanaan kampanye berasal dari dana pribadi) ini memanfaatkan celah hukum dalam undang-undang yang tidak mengatur pembatasan maksimal dana kampanye yang bersumber dari kandidat dan partai politik16. Berbeda dengan sumber pendanaan kampanye dari pihak lain yang memiliki batasan jumlah maksimal disertai dengan ancaman hokuman atas pelanggarannya. Dengan menggunakan pendekatan ini, kandidat dapat denganmudah menyamarkan sumbangan dana kampanye dari pihak lain—termasuk dari para cukong— untuk diklaim menjadi sumbangan dari kandidat. Dalam beberapa kasus, modus ini dapat dengan mudah dideteksi kemungkinan kebohongannya, dengan membandingkan antara jumlah sumbangan dari calon dengan jumlah kekayaan pribadi yang dilaporkan. Sebagai contoh dalam Pilkada DKI 2007, DPD PDI P dilaporkan telah menyumbang sebesar 7,53 Milyar kepada pasangan Fauzi-Prijanto, namun sumbangan ini dipertanyakan oleh pihak internal PDI P yang akhirnya melapor ke KPU DKI, karena mencurigai adanya manipulasi, karena DPD PDI P DKI dinilai tidak memiliki uang kas sebanyak itu. Penelusuran lebih lanjut yang dilakukan oleh Mustofa menemukan bahwa DPD DPI P menerima sumbangan dari beberapa pe16 Dalam peraturan KPU terbaru tentang Dana Kampanye Pilkada, mulai diintrodusir pembatasan maksimal sumbangan dana kampanye yang berasal dari partai politik. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
69
rusahaan termasuk salah satunya alah per usahaan milik Pemprov DKI, serta bohir17. Sayangnya KPU DKI tidak melakukan pemeriksaan lebih jauh atas laporan ini. Kedua, banyaknya sumbangan yang berasal dari pihak yang tidak jelas identitasnya. Pola semacam ini tidak hanya dapat ditemukan dalam sumbangan dari perseorangan, namun juga sumbangan dari perusahaan atau badan hokum. Seorang wartawan Koran Tempo, Mustofa Silalahi melakukan penelusuran secara sampling terhadap identitas penyumbang dana kampanye Fauzi Bowo pada Pilkada DKI tahun 2007 hanya menemukan 3 dari 8 perusahaan penyumbang (yang rata-rata menyumbang sebesar 300 juta) dengan mengacu kepada data identitas perusahaan penyumbang sebagaimana tercantum dalam laporan dana kampanye.18 Ketiga, kecenderungan kandidat untuk memanipulasi laporan belanja kampanye, dimana jumlah belanja kampanye yang dilaporkan terpaut jauh dengan proyeksi pengeluaran riil kampanye yang dapat dengan mudah dilacak. Studi yang dilakukan oleh ICW dan JPPR, pada Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan Pilkada 2015 yang lalu menunjukkan maraknya praktek manipulasi laporan dana kampanye ini. Keempat, kecenderungan kandidat petahana untuk menggunakan dana publik dalam mendukung kampanye baik secara langsung maupun tidak langsung. 17 Arif Kuswardono, Jejak Bohir Jakarta Satu, dalam Reportase; Jurnal laporan Investigasi, AJI Jakarta, Jakarta, edisi 4, November 2007, hal, 40-41. 18 Mustofa Silalahi, Kabar-kabur Penyumbang, dalam Reportase; Jurnal laporan Investigasi, AJI Jakarta, Jakarta, edisi 4, November 2007, hal, 28-33. 70
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Mencermati beberapa pengalaman empirik tersebut, maka dalam penyelenggaraan Pilkada 2017 terdapat beberapa tantangan besar terkait dengan pendanaan kampanye yang perlu menjadi perhatian publik, terutama lembaga pengawas pemilu. Pertama, adanya calon incumbent yang berpotensi menyalahgunakan anggaran publik. Kedua, adanya calon dari unsur birokrat yang berpotensi menyalahgunakan anggaran publik maupun melakukan politisasi birokrasi. Ketiga adanya calon dari unsur pengusaha yang berpotensi melakukan mobilisasi karyawan maupun penggalangan dana dari jaringan bisnis.
D. Eksploitasi isu SARA dan Kampanye Hitam Sebagai instumen demokrasi dalam pemilihan pemimpin politik, Pemilu harus merefleksikan nilai-nilai demokrasi. Henry B. Mayo menyebut enam nilai demokrasi, yakni; 1) Menyelesaikan permasalahan dengan damai dan secara melembaga; 2) Menjamin adanya perubahan secara damai dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah; 3) Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur; 4) Membatasi pemakaian kekerasan sampai batas minimum; 5) Mengakui adanya keanekaragaman (perbedaan) dan menganggapnya wajar; 6) Menjamin tegaknya demokrasi.19 Rainer Forst20 menyebutkan, ada dua 19 Henry B. Mayo, An Intriduction to Democrate Theory, New York, oxford university Press, (1960). 20 Sebagaimana dikutip oleh Zuhairi Misrawi dalam bukunya, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, Kompas, Media Nusantara, 2010.
cara pandang tentang toleransi, yaitu konsepsi yang dilandasi pada otoritas negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun saling pengertian dan saling menghargai di tengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa. Untuk membangun toleransi sebagai nilai kebajikan setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan, yaitu: Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan di antara berbagai kelompok dan aliran. Proses kentestasi pemilu acapkali diwarnai dengan usaha-usaha untuk merusak toleransi dan kohesi sosial antar kelompok konstituen. Upaya ini umumnya dilakukan oleh tim kampanye baik yang terdaftar secara resmi maupun yang tidak terdaftar, dengan harapan untuk dapat menggalang dukungan pemilih, atau dimaksudkan untuk memecah belah basis konstituen lawan politik. Tampaknya, dampak yang diharapkan adalah munculnya apa yang dinamakan ingroup dan outgruop dalam istilah psikologi sosial. Salah satu ciri ingroup/outgroup adalah membanding-bandingkan dan cenderung akan selalu menilai kelompoknya (ingroup) lebih baik dari kelompok lain. Jika ada hal positif dari kelompok lain, mereka justru menilai hal tersebut sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompoknya sehingga harus disaingi dan diusahakan agar menjadi milik kelompoknya. Pembelaan terhadap kelompoknya bisa timbul dalam reaksi yang berlebihan. Dibumbui dengan berb-
agai trik kampanye hitam, pada segmen komunitas tertentu pendekatan semacam ini tak jarang berjalan cukup efektif. Penggunaan sentimen SARA yang dipadu dengan trik kampanye hitam tidak hanya menodai misi pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin terbaik, namun juga berpotensi menimbulkan gesekan antar kelompok yang tak jarang menimbulkan konflik kekerasan. Ada beberapa resiko pelanggaran prinsip pemilu yang dipertaruhkan yakni prinsip non-kekerasan, dan prinsip kejujuran dalam menyampaikan informasi. Pengalaman 2 Pilkada DKI sebelumnya menunjukkan kerentanan penggunaan sentiment SARA dan black campaign. Pilkada DKI 2012 diwarnai sentiment etnik dan agama, yang ditujukan kepada pasangan Jokowi dan Ahok. Sedangkan Pilkada DKI 2007 diwarnai sentiment etnik betawi dan non-Betawi. Penggunan isu SARA dalam Pilgub DKI 2012 tidak hanya sebatas melalui ceramah-ceramah yang dilakukan sejumlah tokoh masyarakat atau pemuka agama serta melalui spanduk yang bertebaran di sejumlah tempat, tapi media massa pun ikut terbawa arus dengan memberitakan isu ini secara berkelanjutan. Meski kebijakan redaksi masing-masing media massa tidak membenarkan penggunaan isu SARA dan tetap menjaga netralitas dalam pemberitaan, fakta yang terjadi justru berbeda.21 Organisasi profesi wartawan, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, meneliti sejumlah media, di antaranya Kompas, Koran Jakarta, Warta Kota, Re21 Suprapto, Dibalik isu SARA, Studi Kasus Jokowi-Ahok Pada Pilgub DKI Jakarta 2012, Jakarta, PHPN dan PWI Pusat, 2014, hal 8. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
71
publika, Pos Kota, Suara Pembaruan, Indo Pos, dan Koran Tempo, pada periode 1 Agustus-13 September 2012. AJI menemukan banyak berita yang disajikan secara tidak seimbang dan mengeksploitasi isu SARA. Kesimpulan AJI: “Pemberitaan yang cukup dominan pada periode ini adalah yang menyangkut masalah SARA, yaitu pemberitaan yang menggambarkan adanya serangan atas identitas dari calon wakil gubernur pasangan Joko Widodo, yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang seorang keturunan Tionghoa dan beragama Kristen.”22 Potensi penggunaan sentimen SARA dan black campaign masih sangat terbuka untuk dipergunakan dalam pilkada DKI 2017 ini, terutama sentimen etnik dan agama, mengingat adanya kandidat yang berasal dari kelompok minoritas. Meskipun banyak kalangan meyakini bahwa penggunaan sentiment SARA dan black campaign tidak akan terlalu efektif dalam mempengaruhi atau menggoyahkan pilihan politik warga DKI, namun praktek semacam ini tetap perlu diwaspadai mengingat kerentanannya dalam memicu gesekan dan konflik kekerasan.
E. Menjaga Kualitas dan Integritas Pilkada DKI 2017 Di tengah semakin ketatnya jadwal penyelenggaraan Pilkada DKI 2017 yang berpadu dengan berbagai potensi ma salah sebagaimana disebutkan sebelum nya, sebuah pertanyaan fundamental tentang apa langkah yang harus dilakukan penyelenggara dan masyarakat untuk mencegah dampak yang lebih buruk, la yak dikemukakan. 22 Ibid, hal 9. 72
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam menjaga kualitas dan integritas Pilkada DKI 2017 setidaknya meliputi: 1. Mendorong optimalisasi close engagement antara kandidat dengan konstituen melalui pendekatan kampanye dialogis dan canvassing. Selaras de ngan politik hukum dalam pengaturan metode kampanye yang didorong untuk lebih menekankan kepada bentuk kampanye dialogis, maka pendekatan ini perlu diprioritaskan oleh masing-masing kandidat. Pendekatan ini akan bermanfaat setidaknya dalam 2 perspektif; pertama pendekatan kampanye dialogis dan canvassing akan mampu memperkuat relasi kandidat dengan konstituen, sekaligus menjawab kelemahan dalam proses penentuan bakal calon kepala daerah yang disominasi oleh elit pengurus pusat partai politik. Kedua, pendekatan ini akan mampu menekan biaya kampanye, karena sifatnya yang lebih ekonomis, dibandingkan dengan kampanye di media massa tradisional yang berbiaya tinggi. 2. Optimalkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu. Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pilkada perlu ditingkatkan tidak hanya untuk meningkatkan angka partisipasi pemilih dan menekan angka golput, melainkan juga dengan mendorong partisipasi mereka dalam mengawasi proses penyelenggaraan Pilkada. Pengawasan partisipatif oleh masyarakat ini memiliki manfaat yang sangat besar tidak hanya untuk membantu kinerja pengawasan pemilu oleh lembaga pengawas pemilu, namun juga
diharapkan dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan politik yang kondusif terutama dalam konteks deteksi atas praktek-praktek pelanggaran pemilu. 3. Efektifkan fungsi deteksi dini dan pen cegahan pelanggaran. Hal ini membutuhkan tindakan pro-aktif lembaga pengawas pemilu untuk mengaktifkan radar pengawasannya dalam menang-
kap sinyal-sinyal potensi pelanggaran yang akan terjadi, sehingga dapat menjadi dasar dalam mengambil tindakan pencegahan pelanggaran secara efektif. Instrument Indeks Kerawanan Pemilu yang dikembangkan oleh Bawaslu dapat menjadi system utama yang dapat dikembangkan dan dikontekstualisasi dengan kondisi dan karakteristik politik DKI Jakarta. l
Daftar Pustaka • Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Jakarta:, Kencana Prenada Media Group, 2010. • Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press, New Haven, 1971. • Nils-Christian Bormann dan Matt Golder, Democratic Electoral Systems around the World, 1946-2011. • Emilia Drumeva, Electoral Systems, Particular Aspects and a Bulgarian Case Study, http://www.enelsyn.gr/papers/w3/Paper%20by%20Prof.%20Emilia%20 Drumeva.pdf. • R. Siti Zuhro, dkk, Model Demokrasi Lokal, Jakarta: PT. THC Mandiri, 2011. • Ridho Imawan Hamadi, Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Catatan Kritis untuk Partai Politik, Jurnal Penelitian Politik, Volume 11 No. 2 Desember 2014. • Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Tata Politik Demokratis, Partnershif for Governance Reform Indonesia, Jakarta, 2008. • Silke Pfeiffer,Vote buying and its implications for democracy: evidence from Latin America, Transparency International, 2004. • Birch, Sarah. Electoral Corruption, Instute for Democracy & Confict Resolution, 2011. • Open Society Justice Initiative, Monitoring Election Campaign Finance; a Handbook for NGOs, New York, 2005. • M. Philp, “Conceptualising Political Corruption,” in A.J. Heidenheimer and M. Johnstone (editors), Political Corruption: Concepts and Contexts, Third Edition, Transaction Publishers, New Brunswick and London, 2002.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
73
• Arif Kuswardono, Jejak Bohir Jakarta Satu, dalam Reportase, Jurnal laporan Investigasi, AJI Jakarta, Jakarta, edisi 4, November 2007. • Mustofa Silalahi, Kabar-kabur Penyumbang, dalam Reportase; Jurnal laporan Investigasi, AJI Jakarta, Jakarta, edisi 4, November 2007. • Henry B. Mayo, An Intriduction to Democrate Theory, New York, Oxford University Press, 1960. • Zuhairi Misrawi dalam bukunya, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, Kompas, Media Nusantara, 2010. • Suprapto, Dibalik isu SARA, Studi Kasus Jokowi-Ahok Pada Pilgub DKI Jakarta 2012, Jakarta, PHPN dan PWI Pusat, 2014. • Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, UU Nomor 1 tahun 2015, LN nomor 245 tahun 2014 . • Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, UU Nomor 8 Tahun 2015, Ln Nomor 57 Tahun 2015. • Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, UU Nomor 10 tahun 2016, LN nomor 130tahun 2016. • http://news.detik.com/berita/1922154/icw-lbh-jakarta-paparkan-gejala-gejalakorupsi-pilkada-dki. • http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabeknasional/14/03/20/n2pwx0-dalam-dua-tahun-pad-dki-naik-rp-19-t, diakses tanggal 8 Oktober 2016.
74
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Pemilihan Gubernur DKI 2017 Sebagai Cermin Konstestasi Politik Nasional Khairul Fahmi Abstraksi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas dan juga peneliti pada pusat studi konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Sumatra Batrat
Artikel ini membahas tiga aspek penting penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017, dimana DKI Jakarta salah satu diantaranya, yaitu: (1) regulasi Pilkada diubah, (2) proses penyelenggaraan yang rentan pelanggaran isu SARA dan (3) dibukanya ruang intervensi politik terhadap penyelenggara Pilkada. Dalam konteks itu, Pilkada DKI Jakarta menjadi menarik untuk dikaji. Bukan cuma karena sistemnya yang berbeda, melainkan tersebab pemilihan Gubernur DKI sesungguhnya kontestasi elit nasional. Demikian berpengaruhnya, dinamika yang terjadi menjelang dan selama Pilkada DKI diyakini akan menjadi cerminan bagaimana kontestasi politik 2019 mendatang akan berlangsung. Mengapa demikian? Salah satu bagian UU Pilkada diubah karena faktor perkembangan politik yang terjadi di DKI Jakarta. Lebih jauh, agar proses Pilkada tetap dikendalikan elit parpol, kewenangan KPU dan Bawaslu membentuk peraturan pun harus diintervensi melalui rapat konsulitas dengan pemerintah dan DPR yang hasilnya bersifat mengikat. Kata Kunci: Pilkada DKI, kontestasi politik nasional
A. Pendahuluan Pada 15 Februari 2017 mendatang, pemilihan kepala daerah gelombang kedua akan dihelat. Kali ini, sebanyak 101 daerah yang terdiri atas tujuh propinsi, 76 kabupaten dan 18 kota1 akan menyelenggarakan kontestasi politik daerah. Walaupun berlingkup lokal, namun akan dilaksanakan serentak nasional oleh KPU beserta jajarannya di tingkat propinsi dan kabupaten/kota sesuai perintah Pasal 1 Ini 101 Daerah yang Gelar Pilkada Serentak 2017, http://pilkada.liputan6.com/read/ 2436435/ini-101-daerah-yang-gelar-pilkadaserentak-2017, diakses tanggal 23 September 2016.
201 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 jo Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015. Salah satu dari tujuh propinsi yang turut menyelenggarakan pilkada adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Sekalipun dihelat secara bersamaan, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI sesungguhnya berbeda dari pilkada di propinsi lain. Bisa saja ia dilaksanakan pada hari yang sama, namun belum tentu akan berakhir pada waktu bersamaan. Sebab, kekhususan yang dimiliki DKI menyebabkan prosesnya akan berbeda ujung. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
75
Salah satu penyebabnya perbedaan sistem pemilihan yang digunakan. Untuk daerah selain DKI dan daerah dengan lebih dari satu pasangan calon, Pilkada dilaksanakan menggunakan sistem mayoritas sederhana (simple majority).2 Sementara DKI menggunakan sistem majority runoff atau dua putaran, yaitu sistem jika tidak ada calon yang memperoleh suara lebih dari 50%, diadakan pemilihan putaran kedua3 dan diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.4 Perbedaan sistem tersebut dipastikan membuka ruang pilkada DKI akan berlangsung lebih lama karena mungkin saja dilaksanakan dua putaran, sementara daerah lain hanya akan berlangsung satu putaran saja. Terbukanya peluang putaran kedua Pilkada DKI ditopang fakta bahwa sampai tenggat akhir pendaftaran, 23 September 2016 lalu, terdapat tiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang mendaftar ke KPU Propinsi DKI, yaitu: pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Sjaiful Hidajat, pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno. Dengan merujuk hasil survei Poltracking Indonesia yang digelar 2 Baca Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. 3 Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulat an Rakyat, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 62 4 Baca Pasal 11 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 76
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
6-9 September 2016, elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon petahana berada pada angka 40,77-44,62 persen dengan berbagai simulasi.5 Lebih jauh, berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Survei Stratak Indonesia (LSSI), walaupun elektabitas petahana masih tinggi, namun terjadi penurunan. Pada survei Juni 2016 petahana mendapatkan 48,2 persen, turun menjadi 43,2 persen pada survei yang dilakukan pada tanggal 2-10 September 2016.6 Jika hasil survei tersebut dijadikan patokan, artinya tidak akan ada dari tiga pasangan calon yang kelak memperoleh suara 50% pada putaran pertama. Sebab, petahana dengan elektabitas tertinggi hanya berada di angka 40-an persen saja. Dengan demikian, hadirnya tiga pasangan calon semakin memperkecil peluang pilkada DKI berlangsung satu putaran. Tidak hanya sebatas itu, munculnya tiga pasangan calon dalam perspektif politik juga dinilai sebagai cerminan dari poros pertarungan politik pemilu Presiden sebelumnya.7 Syamsuddin Haris menilai, tiga poros itu masing-masing berusaha mendapat insentif dari Pilkada DKI untuk menghadapi Pilpres 2019. Sebab, DKI Jakarta merupakan daerah 5 Survei Poltracking: Elektabilitas Ahok- Heru Ba kal Keok Lawan Risma- Sandiaga, http://nasional.kompas.com/read/2016/09/15/18095271/ survei.poltracking.elektabilitas.ahok-djarot. bakal.keok.lawan.risma-sandiaga, diakses tanggal 24 September 2016 6 Survei: Meski Masih Tinggi, Elektabilitas Ahok Terus Menurun, http://pilkada.liputan6.com/ read/2604383/survei-meski-masih-tertinggi-elektabilitas-ahok-terus-menurun, diakses tanggal 24 September 2016. 7 Pilkada DKI Gambaran Pilpres, http://epaper1. kompas.com/kompas/books/160924kompas/#/15/, diakses tanggal 24 September 2016
yang strategis, baik dari sisi daya tarik media massa maupun sumber kekuatan ekonomi.8 Dalam arti, kontestasi Pilkada DKI ditempatkan sebagai miniatur kontestasi pemilu serentak 2019 mendatang. Sehingga, apapun proses yang ditempuh akan menjadi cerminan pelaksanaan Pemilu 2019. Jika dikaitkan dengan sistem pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tidaklah keliru menempatkan Pilkada DKI sebagai cermin pelaksanaan kontestasi politik nasional yang akan dihelat kurang lebih tiga tahun lagi. Dimana, sistem majority run-off yang digunakan dalam Pilkada DKI mirip dengan sistem pemilu Presiden yang diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Bedanya, untuk Pemilu Presiden ambang batas minimal perolehan suara disamping harus mencapai lebih dari 50%, juga disyaratkan minimal 20% di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia.9 Bentangan fakta diatas sesungguh nya mengkonfirmasi bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta akan menjadi jendela awal melihat bagaimana kontestasi politik nasional diselenggarakan. Artikel ini lebih jauh akan mengulas fenomena itu. Mulai dari bagaimana regulasi pilkada disusun, di namika politik pencalonan hingga kampanye, sampai masalah bagaimana Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) dipaksa masuk pada siklus tarik-menarik kepentingan parpol di lembaga perwakilan. 8 Ibid. 9 Baca Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Pilkada DKI Sebagai Faktor Diubahnya Undang-Undang Sub judul ini memang agak bombastis. Seakan menempatkan Pilkada DKI sebagai satu-satunya alasan yang kemudian mendorong diubahnya UU Pilkada. Tentu bukan demikian maksudnya. Fenomena sekitar penyelenggaraan pilkada DKI hanya salah satu faktor saja dari sekian banyak dimensi kelemahan UU Pilkada yang memang mengharuskannya untuk diubah. Hanya, berbagai kelembahan UU Pilkada sebelumnya yang dituntut banyak pihak untuk diperbaiki dan disempurnakan tidak mendapatkan perhatian lebihdari pembentuk undang-undang. Justru,materi muatan yang sama sekali tidak dipersoalkan malah diubah sedemikian rupa. Salah satunya terkait verifikasi dukungan calon perseorangan. Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, verifikasi faktual dukungan untuk calon perseorangan dapat dilakukan dengan mengambil sampel,10 tetapi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ve rifikasi mesti dilakukan dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon.11 Salah satu faktor utama perubahan sistem verifikasi dukungan calon perseorangan dimaksud adalah fenomena Pilkada DKI. Di mana, Ahok sebagai calon petahana tidak mendapatkan simpati oleh banyak parpol karena sikapnya yang tidak mau berkompromi. Hal itu akhirnya mendorong pertahana berencana maju melalui jalur perseorangan. Hanya saja, langkah 10 Baca Pasal 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 11 Baca Pasal 48 ayat (6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
77
tersebut dinilai kalangan partai dilembaga perwakilan sebagai upaya deparpolisasi.12 Akhirnya muncullah niat sebagian besar parpol mempersulit langkah Ahok menjadi calon dengan cara memperberat syarat dan proses verifikasi dukungan calon perseorangan. Dalam konteks ini, apa yang disetir Refly Harun benar adanya ketika mengatakan, regulasi Pilkada yang memperbesar syarat calon perseorangan adalah karena Ahok.13
Begitu pula dengan UU Pemilu yang dibentuk pasca reformasi, juga tidak terlepas dari sebatas tawar-melawar kepentingan politik sesaat. Salah satu wujud transaksi itu adalah lahirnya ketentuan peralihan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang membolehkan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas parlemen15 sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 200316 untuk mengikuti Pemilu 2009.
Walaupun fenomena itu terkait regulasi Pilkada, namun ia sesungguhnya mengambarkan masalah serius dalam penyusunan regulasi dibidang pemilu. Regulasi sepenting Undang-undang Pilkada dan Pemilu cenderung diintervensi oleh kepentingan jangka pendek parpol di lembaga perwakilan. Rumusan norma Undang-undang acapkali disusun karena faktor like and dislike atau faktor hendak menjegal atau meloloskan calon-calon tertentu yang dikehendaki.
Realitas tersebut membuktikan betapa sulit menempatkan proses pembentukan undang-undang bidang Pemilu dalam kerangka memperbaiki mekanisme kontestasi agar menjadi lebih baik dibanding masa-masa sebelumnya. Sebaliknya, proses penyelenggaraan pemilu justru makin dinodai oleh regulasi Pemilu yang tidak dibuat dengan niat baik.
Itu memang bukan fenomena baru, melainkan sikap pembentuk Undang-undang yang sudah menyejarah. Jika dijemput ke belakang, ketika Rancangan Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum juga tergambar betapa UU itu merupakan kompromi ihwal hak pemerintah untuk mengangkat sepertiga dari anggota DPR.14 12 Ahok Maju Jalur Independen : DPR Bakal Perberat Syarat Pencalonan, https://news. idntimes.com/indonesia/rizal/ahok-maju-jalur-independen-dpr-bakal-memperberat-syarat-pencalonan, diakses tanggal 24 September 2016. 13 Refly Harun, Semua Karena Ahok, http://news. detik.com/kolom/3272849/semua-karenaahok, diakses tanggal 24 September 2016. 14 Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, 78
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Fakta dimaksud menyebabkan hadir nya kekhawatiran serius terhadap pemLP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 248 15 Baca Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Ang gota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan: Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu tahun 2009 dengan ketentuan: (d) memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004.
16 Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 diatur sebagai berikut : Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: (a) memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR;
(b) memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1⁄2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
(c) memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1⁄2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
bentukan Undang-Undang Pemilu Serentak 2019 yang diperkirakan akan mulai dibahas akhir 2016. Sekalipun Presiden Jokowi telah menegaskan agar UU Pemilu baru nanti mampu membuat praktik demokrasi semakin berkualitas dan lebih baik serta tidak terjebak pada perangkap kepentingan politik jangka pendek,17 namun hal itu belum dapat menjamin kekuatan politik di DPR akan mengikutinya. Sebab, parpol sebagai peserta Pemilu hampir selalu menempatkan proses pembahasan UU Pemilu sebagai pertaruhan nasibnya untuk meraup dan mempertahankan kursi pada pemilu berikutnya. Oleh karena itu, pengalaman dalam pembahasan perubahan UU Pilkada yang salah satunya disebabkan fenomena pilkada DKI Jakarta diyakini akan dibawa ke proses pembahasan UU Pemilu. Tarik-menarik, pertarungan dan juga “jual-beli” kepentingan politik pada saat membahas perubahan Undang-Undang Pilkada pada pertengahan 2016 lalu dipastikan juga akan menjelma dalam pembahasan Undang-Undang Pemilu nanti.
C. Bom Waktu Isu SARA Pilkada DKI Jakarta Jauh sebelum tahapan Pilkada DKI Jakarta dimulai, tantangan serius yang akan dihadapi sudah terbaca secara kasat mata, yaitu mendiskreditkan calon dengan menggunakan isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) dalam kampanye. Walaupun isu ini sempat muncul dalam 17 Jokowi: UU Pemilu Baru Tak Boleh Ada Kepentingan Jangka Pendek, http://www.suara.com/ news/2016/09/14/072610/jokowi-uu-pemilu-baru-tak-boleh-ada-kepentingan-jangkapendek, diakses tanggal 24 September 2016.
proses pilkada DKI Tahun 2012,18 namun terlihat makin massif dan serius jelang Pilkada 2017. Meningkatnya eskasi penggunaan isuini dinilai wajar karena calon petahana yang dulunya hanya menjabat sebagai Wakil Gubernur, sekarang akan maju sebagai calon Gubernur. Majunya petahana yang notabene warga keturunan Tionghoa dannon-muslim dinilai sebagai ancaman oleh sebagian warga DKI pribumi beragama Islam, sehingga memancing digunakannya isu SARA.19 Isu SARA dalam berkampanye memang bukan hanya masalah pilkada DKI Jakarta. Hal sama juga terjadi di banyak daerah lain. Daerah dengan mayoritas muslim akan mempersoalkan calon kepala daerah non-muslim, sebaliknya di daerah mayoritas nonmuslim juga akan mempersoalkan calon yang beragama Islam atau agama lain dimana ia sebagai kelompok minoritas di daerah tersebut. Hanya saja, karena DKI Jakarta merupakan daerah khusus ibukota yang merupakan pusat pemerintahan dan 18 Pakai Isu Sara, Risalah Istiqlas “tak bisa” Gerak kan Massa Signifikan, http://www.bbc.com/ indonesia/berita_indonesia/2016/09/160919_ indonesia_risalah_istiqlal, diakses tanggal 24 September 2016; Baca juga Hena Triwardani Sumantri, Isu Sara dalam Pemberitaan Pilkada DKI Jakarta 2012, Skripsi pada Program Studi Ilmu Jurnalistik, Universitas Islam Bandung, 2013, http://elibrary.unisba.ac.id/images/ Henatriwardanisumantri_10040005071_ Skr_2013_Isu_Sara_Dalam.pdf, diakses tanggal 24 September 2016 19 Jelang Pilgub DKI, Tokoh-Tokoh dari Berbagai Kalangan Ini Getol Teriakkan Kampanye SARA, http://www.indoheadlinenews.com/2016/03/ jelang-pilgub-dki-tokoh-tokoh-dari.html, diakses tanggal 24 September 2016, baca juga KPUD DKI Jakarta Ingatkan Calon Gubernur Soal Kampanye Isu Sara, http://news.metrotvnews.com/politik/dN6Ov1yb-kpud-dki-jakarta-ingatkan-calon-gubernur-soal-kampanyeisu-sara, diakses tanggal 24 September 2016 Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
79
ekonomi negara, penggunaan isu SARA dalam pilkada akan dapat memicu daerah-daerah lain menggunakan isu tersebut secara lebih massif. Kekhawatiran tersebut cukup berasalan karena setiap informasi yang ada di DKI menyebar demikian cepat ke seluruh daerah. Oleh karena itu, jika hendak menekan penggunaan issu SARA dalam Pilkada, DKI Jakarta patut memberikan contoh, baik dalam mencegah maupun menindak pelaku kampanye yang menebar kebencian bernuansa SARA. Apakah penggunaan isu ini merupakan sesuatu yang dilarang menurut hukum? Secara hukum, ketentuan terkait penggunaan issu SARA diatur dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait larangan kampanye, Ketentuan tersebut menyatakan: Dalam kampanye dilarang : (b) menghi na seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik. Larangan dimaksud juga disertai de ngan ancaman pidana sebagaimana di muat dalam Pasal 187 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyatakan sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000.00 (enam ratus ribu rupiah) 80
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
atau paling banyak Rp6.000.000.00 (enam juta rupiah).
Dengan menggunakan penafsiran gramatikal atau penafsiran dengan semata-mata menggunakan kalimat dari peraturan sebagai pegangan atau tidak keluar dari litera legis20 terhadap ketentuan Pasal 69 huruf d UU Pilkada, dapat dipahami bahwa perbuatan yang dilarang adalah menghina atau melakukan tindakan merendahkan atau menebar kebencian terhadap seseorang, agama, suku, ras dan golongan, pasangan calon dan partai politik dalam berkampanye. Lalu, ketika hal-hal yang berbau agama, rasa, dan golongan digunakan sebagai materi kampanye, namun tidak dalam kerangka menghina seseorang, peserta Pilkada atau partai politik tertentu, apakah tetap dilarang sesuai ketentuan tersebut? Dengan merujuk Pasal 69 huruf d UU Pilkada, tentu tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dilarang. Jadi, yang dilarang adalah kampanye menggunakan isu SARA yang memuat penghinaan, merendahkan atau menebar kebencian terhadap seseorang, pasangan calon atau partai politik peserta Pemilu. Dengan adanya ketentuan diatas, dalam perspektif aturan penyelenggaraan Pilkada, isu SARA sudah dapat dianggap selesai. Sebab, penggunaannyatelah secara tegas dilarang dan diancam dengan hukuman. Hanya saja, realitas sosial politik sesungguhnya tidak selalu linear dengan aturan yang telah dirumuskan.Bisa saja, issu SARA dianggap selesai di level aturan main, namun ia masih menjadi masalah serius ketika dilaksanakan dalam rezim sistem politik demokrasi yang memberi ruang sama bagi siapapun untuk mencalonkan diri, terlepas ia dari kalangan minoritas maupun mayoritas. Fakta itu mengkonfirmasi bahwa pemi20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2000, hlm. 95 .
lu dan Pilkada sebagai sarana demokrasi Indonesia masih dibayangi bahaya laten penggunaan issu SARA untuk tujuan merendahkan atau mendiskreditkan seseorang atau pasangan calon. Sebab, masih banyak warga yang belum bersikap toleran terhadap sesama agama atau agama lain,21 termasuk dalam pemilu dan Pilkada. Sehingga, potensi ancaman keamanan pilkada yang dilatarbelakangi SARA akan meningkat. Sebab, perbedaan agama seringkali menjadi alasan pembenar untuk sebagian orang bersikapradikal. Untuk mengatasi hal itu, Wahid Institute melalui Hasil Survey Nasional “Potensi Radikalisasi & Intoleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia” merekomendasikan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku aksi kekerasan dan tindakan ujaran kebencian di muka umum yang mengatasnamakan agama.22 Dalam konteks Pilkada, rekomendasi tersebut juga relevan. Dengan adanya norma Undang-Undang yang melarang penghinaan berbasis agama dalam kampanye, setiap pihak yang menggunakannya haruslah diproses secara hukum. Penegakan hukum akan dapat meningkatkan wibawa hukum sekaligus mendorong tumbuhnya sikap toleran dan jiwa demokrat dalam penyelenggaraan kontestasi pemilu dan pilkada. Pada saat yang sama, juga akan berdampak pada penggunaan issu tersebut secara lebih bijak oleh semua pihak, termasuk kontestan pilkada dan pemilu. Dalam konteks itu, sikap tegas penegak hukum pilkada menjadi penting. Se21 Rafik Maeilana, Wahid Institute : 500 Ribu Orang Pernah Terlibat Radikalisme, http:// kbr.id/08-2016/wahid_institute__500_ribu_ orang_pernah_terlibat_radikalisme/83629. html, diakses tanggal 25 September 2016. 22 Ibid.
tiap ungkapan kebencian bernuansa SARA yang dilakukan di hadapan publik, baik langsung maupun tidak langsung haruslah ditindak. Tidak terkecuali ujaran kebencian melalui media sosial. Sampai saat ini, media sosial sudah dijadikan sarana untuk berkampanye, termasuk menyebarkan informasi bermuatan ujaran kebencian. Hanya saja, media sosial belum mendapatkan perhatian khusus untuk ditangani secara serius oleh penegak hukum pilkada. Guna merawat dan memastikan pilkada berjalan secara jujur dan adil, sudah saatnya penanganan pelanggaran kampanye Pemilu/Pilkada melalui media sosial dijadikan salah satu target khusus penegakan hukum Pilkada. Lebih dari itu, langkah dimaksud juga untuk memastikan kampanye bernuansa SARA melalui media sosial tidak lantas kemudian berubah menjadi bom waktu yang suatu saat menghancurkan demokrasi lokal itu sendiri. Selain itu, langkah penindakan sebagaimana diuraikan di atas juga mesti diiringi dengan rencana stategis pencegahan penggunaan isu SARA dalam Pilkada. Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu, terutama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesuai kewenangannya dapat mengambil inisiatif untuk mendorong berbagai pihak terlibat dalam kampanye anti penyebaran kebencian, terutama tokoh-tokoh agama, partai politik dan pasangan calon peserta Pemilu dan Pilkada. Melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap penggunaan isu SARA dalam kampanye politik pada dasarnya bukan hanya untuk menghadirkan pemilu yang jujur, adil dan berkualitas, melainkan untuk tujuan yang jauh lebih strategis,
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
81
yaitu menjaga agar demokrasi tidak berubah ujud menjadi oklakrasi sebagaimana pernah disetir Polybios melalui cyclus theory-nya. Polybios mengatakan, bentuk pemerintahan yang satu merupakan akibat dari bentuk pemerintahan lain yang mendahuluinya,23 termasuk demokrasi. Dalam sistem pemerintahan demokrasi kebebasan memang sangat dihargai, namun tidak jarang kebebasan justru berubah menjadi kebebasan yang melewati aturan-aturan yang ditetapkan. Kondisi demikan akan meruntuhkan demokrasi dan membuatnya berubah menjadi oklakrasi.24 Sebab, menebar kebencian dengan memanfaat issu SARA akan menimbulkan jejak-jejak jiwa bangsa yang tercerai-berai,25 sehingga akan mengancam keutuhan anak bangsa yang multi-etnik dan agama. Pada gilirannya, juga akan mengancam eksistensi sistem politik demokrasi yang tengah dibangun. Agar sistem politik demokrasi yang secara tegas dinyatakan dalam UUD 1945 tetap berjalan sebagaimana diharapkan, bom waktu kampanye SARA haruslah dijinakkan. Dalam konteks itu, Pilkada DKI Jakarta yang sarat potensi kampanye SARA dapat dijadikan proyek percontohan dalam konteks pengendalian dan penanganannya. Inisiatif untuk itu tidak cukup hanya sebatas meminta pasangan 23 Samidjo, Ilmu Negara, Armico, Bandung, hlm. 105 24 Ibid., hlm. 106-107 25 Laporan Naratif Diskusi Strategi Kampanye Media Pilpres 2014, Membincang Video ala Nazi, http://www.freedom-institute.org/ index.php?option=com_content&view=article&id=285:laporan-naratif-diskusi-strategi-kampanye-media-pilpres-2014-membincang-video-ala-nazi&catid=52:laporan-diskusi, diakses tanggal 25 September 2016. 82
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
calon menandatangani pakta integritas Pilkada damai, jujur, dan adil, melainkan juga meminta masing-masing pasangan calon beserta partai pengusungnya untuk meredam penggunaan isu SARA dalam kampanye. Selain dengan menghentikan kampanye yang menyinggung suku, agama, rasa dan antar golongan,26 juga harus dilengkapi dengan regulasi yang membebani setiap peserta Pilkada untuk menghentikan setiap penggunaan isu SARA yang dilakukan tim kampanye. Untuk memastikan itu terlaksana, beban tersebut mesti diiringi dengan pengaturan sanksi bagi peserta Pilkada yang tidak mau dan mampu me ngontrol tindakan tim kampanye maupun relawannya. Jika pencegahan maupun penindakan dalam Pilkada DKI Jakarta dapat dilakukan secara efektif, langkah yang sama diyakini akan dapat diduplikasi menjadi strategi nasional penanganan penggunaan issu SARA dalam kampanye dalam penyelenggaraan pemilu nasional serentak 2019 mendatang.
D. Menabrak Batas Kemandirian Penyelenggara Pilkada Dalam proses perubahan UU Pilkada yang awalnya ditujukan untuk memperbaiki sejumlah kelemahan dalam penyelenggaraan Pilkada, pembentuk UU justru menyelipkan norma yang bertujuan mengendalikan lembaga penyelenggara pemilu. Norma itu tertuang dalam Pasal 9 dan Pasal 22B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagai berikut:
26 Jangan Kampanye Singgung SARA!, http:// nasional.kompas.com /read/2014/01/23/ 1520116/Jangan.Kampanye.Singgung.SARA., diakses tanggal 25 September 2016.
Pasal 9 Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. Pasal 22B Tugas dan wewenang Bawaslu dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan Pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. Sesuai ketentuan diatas, KPU dan Bawaslu dalam menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan Bawaslu diwajibkan berkonsultasi dengan DPR dan Peme rintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. Terkait hal itu, ada dua aspek yang mesti dinilai, yaitu: (1) kewajiban untuk berkonsultasi dengan pemerintah; dan (2) keputusan rapat dengar pendapat yang bersifat mengikat. Pertama, keharusan berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah ini memang bukan materi baru dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, melainkan telah juga dimuat sebel-
umnya dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Hanya saja, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, kewajiban berkonsultasi dalam pembentukan peraturan KPU dan Bawaslu sesungguhnya tidak dikenal. Sebab, pembentukan peraturan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada KPU dan Bawaslu sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan menyelenggarakan Pemilu. UU Penyelenggara Pemilu bahkan menegaskan, peraturan KPU dan peraturan Bawaslu merupakan peraturan pelaksana peraturan perundang-undangan27 yang kewenangan pembentukannya ada pada KPU dan Bawaslu. Dalam perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan, lembaga negara yang diberi kewenangan atributif membentuk sebuah peraturan pelaksana sepenuhnya mempunyai hak memben tuk peraturan tersebut28 tanpa boleh diintervensi. Sebab, ketika UU memberi kewenangan kepada KPU dan Bawaslu, lembaga tersebut bukanlah dalam kerangka menjalankan kewenangan yang dilimpahkan dari lembaga lain seperti DPR dan pemerintah, melainkan menjalankan kewenangan yang melekat padanya sebagai kewenangan atributif badan/lembaga negara.29 Selain itu, dalam perspektif kelembagaan, KPU dan Bawaslu sesuai Pasal 22E ayat (5) ditempatkan sebagai lembaga 27 Pasal 119 ayat (2) dan Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu 28 Pelajari Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 29 Baca Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 130 Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
83
“penyelenggara” Pemilu, bukan “pelaksana” Pemilu. Sebagai penyelenggara, KPU dan Bawaslu tidak hanya berfungsi melaksanakan Pemilu, tetapi juga mengatur, menjadwal, merencanakan, menyiapkan dan mengawasi agar pemilu berhasil30 dilaksanakan secara jujur dan adil. Sebagai penyelenggara, KPU dan Bawaslu memiliki kebebasan merumuskan peraturan pelaksana Pemilu untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil sesuai posisi konstitusional kelembagaan dan mandat yang diberikan undang-undang kepadanya. Dalam konteks itu, mencampuri kewenangan KPU dan Bawaslu dalam membentuk peraturan melalui apa yang disebut dengan konsultasi sama artinya menggerogoti eksistensi KPU lembaga tersebut sebagai penyelenggara Pemilu. Walaupun demikian, jika hanya sebuah proses konsultasi biasa, bisa saja hal itu dapat dinilai sebagai sebuah kewajaran. Dalam arti, sebagai primary legislator, DPR dan pemerintah diberi ruang untuk memberi masukan dalam pembentukan peraturan KPU dan Bawaslu melalui proses konsultasi. Sehingga, dengan adanya norma yang mengharuskan KPU dan Bawaslu berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR dan pemerintah masih dapat ditoleransi. Kedua, hasil konsultasi dalam rapat dengar pendapat dengan DPR dan pemerintah bersifat mengikat. Konsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam pembentukan peraturan KPU dan Bawaslu terkait penyelenggara Pilkada baru memiliki masalah serius ketika hasil konsultasi dinyatakan 30 Didik Supriyanto, Veri Junaidi dan Devi Darmawan, Penguatan Bawaslu, Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, Perludem, 2014, hlm. 43-44. 84
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
bersifat mengikat bagi KPU dan Bawaslu sesuai Pasal 9 dan Pasal 22B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 di atas. Dianggap sebagai masalah serius karena berbagai fakta hukum sebagai berikut ini. Pertama, KPU dan Bawaslu sebagaimana disinggung sebelumnya bukan lembaga pelaksana, melainkan penyelenggara pemilu. Dengan adanya norma UU bahwa hasil konsultasi dalam pembentukan peraturan KPU dan Bawaslu bersifat mengikat, eksistensi KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu justru terdegradasi menjadi hanya sebatas lembaga pelaksana pemilu. Pada saat yang sama, DPR dan pemerintah secara halus telah mengambil salah satu peran penyelenggara pemilu. Kedua, dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dinyatakan, Pemilu diselenggarakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sesuai ketentuan itu, kemandirian lembaga penyelenggara Pemilu merupakan kata kunci dalam melaksanakan Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana diamanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Sifat kemandirian penyelenggara Pemilu lebih jauh diartikan sebagai bahwa dalam penyelenggara Pemilu (termasuk Pilkada), penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.31 Senada dengan itu, The International IDEA juga mencatat bahwa kemandirian penyelenggara Pemilu mengandung makna adanya kebebasan bagi penyelenggara dari intervensi dan pengaruh seseorang, kekuasaan pemerintah, partai politik, dan pihak manapun dalam pengambilan kepu31 Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
tusan dan tindakan dalam penyelenggaraan pemilu.32 Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menegaskan bahwa istilah mandiri terkait erat dengan konsep non-partisan dan kebebasan dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan lain dalam pengambilan keputusan dalam pelaksanaan wewenangnya.33 Selengkapnya MK dalam salah satu putusannya mempertimbangan sebagai berikut :34 Artinya, kemandirian yang dimiliki oleh KPU, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 adalah kemandirian yang tidak memihak kepada partai politik atau kontestan manapun karena komisi pemilihan umum adalah lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum dan partai politik adalah peserta Pemilihan Umum. Konsep mandiri atau non-partisan menegaskan bahwa Penyelenggara Pemilihan Umum (KPU) tidak boleh berpihak kepada salah satu peserta Pemilihan Umum; Jika kemandirian Penyelenggara Pemilu itu berkaitan dengan sifatnya yang non-partisan serta bebas intervensi kekuasaan dan parpol, maka memberi ruang keterlibatan DPR dan Pemerintah dalam pembentukan peraturan pelaksana pemilu oleh KPU dan Bawaslu sama artinya menabrak sifat kemandirian KPU dan Bawaslu 32 Alan Wall,
Electoral Management Design: The International IDEA Hand Book, hlm. 22 33 Konsep lembaga Negara independen sebagaimana dirumuskan dalam Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, dalam Denny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, Kajian Hukum Tata Negara Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi, Intrans Publishing, ICW dan PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM, Malang, 2016, hlm. 59 34 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUUIX/2011 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, hlm. 55.
sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dengan demikian, ruang intervensi DPR dan Pemerintah melalui rapat konsultasi pembentukan peraturan KPU dan Bawaslu merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemandirian penyelenggara pemilu. Ketiga, salah satu asas pembentukan peraturan perundang-udangan yang baik sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Sejalan dengan itu, Pasal 119 dan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 memberikan kewenangan pembentukan peraturan kepada KPU dan Bawaslu sesuai fungsi masing-masing. Jika norma kedua Undang-Undang tersebut dihubungkan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menempatkan komisi pemilihan umum (KPU dan Bawaslu) sebagai Penyelenggara Pemilu, lembaga yang tepat membentuk peraturan pelaksana Pemilu adalah KPU dan Bawaslu. Sedangkan DPR dan pemerintah sama sekali bukan lembaga yang tepat untuk terlibatdalam pembentukannya. Keterlibatan DPR dan Pemerintah dalam hal itu di samping dapat mendegradasi fungsi KPU dan Bawaslu juga akan mengancam terwujudnya Pemilu yang jujur dan adil. Dengan demikian, ketika Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 memberi ruang keterlibatan DPR dan pemerintah dalam pembentukan peraturan KPU dan Bawaslu, UU ini sesungguhnya telah menabrak salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, bahkan juga menabrak ketentuan konstitusi. Salah satu dampak konkrit yang telah ditimbulkan dari ruang intervensi DPR dan
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
85
pemerintah dalam pembentukan Peraturan KPU adalah dibolehkannya terpidana percobaan untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah melalui perubahan Pasal 4 huruf f Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Sekalipun Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 tegas mengatur, salah satu syarat calon kepala daerah adalah “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap...dst.”, namun melalui rapat konsultasi, DPR dan Pemerintah memaksa KPU untuk mengatur lebih lanjut Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada dengan mengikuti keinginan DPR dan Pemerintah. Dalam konteks ini, KPU yang awalnya mengatur persyaratan calon sesuai apa yang diatur UU, akhirnya harus mengikuti kehendak parpol di DPR dan pemerintah sekalipun harus dengan melanggar UU. Fakta diatas menunjukan, perumusan regulasi Pilkada merupakan langkah parpol untuk mulai menggerogoti penyelenggara Pemilu. Langkah dimaksud dilakukan secara bertahap, mulai dari hanya sekedar berkonsultasi dalam pembentukan Peraturan KPU dan Bawaslu. Kemudian diperkuat dengan memberi sifat mengikat dari konsultasi yang dilakukan. Selanjutnya langkah tersebut diperkirakan juga akan diterapkan dalam regulasi Pemilu 2019.
86
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Jadi, perumusan regulasi Pilkada 2017 hanya menjadi pintu awal untuk mengintervensi proses penyelenggaraan Pemilu 2019 mendatang. Saat ini, norma terkait sifat mengikat hasil konsultasi dengan DPR dan pemerintah sedang dalam proses pengujian di MK. Jika MK konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya, permohonan yang diajukan KPU tersebut tentu akan dikabulkan. Jika tidak, kemandirian KPU dan Bawaslu dalam Pilkada bahkan dalam Pemilu yang akan datang tentu akan terkubur secara perlahan dan rapi.
E. Penutup Pilkada serentak 2017 merupakan cermin dari kontestasi politik nasional yang akan dihelat pada 2019 mendatang. Terutama terkait dinamika perumusan re gulasi dan semangat parpol yang hendak mengintervensi penyelenggara pemilu. Kuatnya nuansa perumusan regulasi yang bersifat pragmatis dalam perumusan UU Pilkada menandakan hal yang sama akan terjadi dalam pembahasan UU Pemilu nanti. Pada saat yang sama, keberhasilan DPR dan Pemerintah mengintervensi penyelenggara pemilu dalam pembentukan UU Pilkada juga akan diduplikasi pada pembentukan UU Pemilu. Secara khusus, untuk konteks penyelenggaraan, gambaran terkait dinamika pelaksaan Pilkada DKI merupakan cerminan panasnya kontestasi Pemilu Serentak Nasional 2019 nanti. Sebab, Pilkada DKI sesungguhnya bukanlah pertarungan elit tingkat DKI, melainkan perebutan kekuasaan antar elit-elit politik nasional. l
Daftar Pustaka Buku • Alan Wall,
Electoral Management Desaign: The International IDEA Hand Book. • Denny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, Kajian Hukum Tata Negara Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi, Intrans Publishing, ICW dan PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM, Malang, 2016. • Didik Supriyanto, Veri Junaidi dan Devi Darmawan, Penguatan Bawaslu, Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, Perludem, 2014. • Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat, Rajawali Pers, Jakarta, 2011. • Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998. • Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2000. • Samidjo, Ilmu Negara, Armico, Bandung, 1990. • Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001. • Peraturan Perundang-undangan & Putusan MK. • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. • Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat .Daerah. • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. • Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011 terkait pengujian UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
87
Website • Ini 101 Daerah yang Gelar Pilkada Serentak 2017, http://pilkada.liputan6.com/read/ 2436435/ini-101-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-2017, diakses tanggal 23 September 2016. • Survei Poltracking : Elektabilitas Ahok-Heru Bakal Keok Lawan Risma-Sandiaga, http://nasional.kompas.com/read/2016/09/15/18095271/survei.poltracking. elektabilitas.ahok-djarot.bakal. keok.lawan.risma-sandiaga, diakses tanggal 24 September 2016. • Survei : Meski Masih Tinggi, Elektabilitas Ahok Terus Menurun, http://pilkada. liputan6.com/ read/2604383/survei-meski-masih-tertinggi-elektabilitas-ahokterus-menurun, diakses tanggal 24 September 2016. • Pilkada DKI Gambaran Pilpres, http://epaper1.kompas.com/kompas /books/160924 kompas/#/15/, diakses tanggal 24 September 2016. • Ahok Maju Jalur Independen: DPR Bakal Perberat Syarat Pencalonan, https:// news.idntimes.com/indonesia/rizal/ahok-maju-jalur-independen-dpr-bakalmemperberat-syarat-pencalonan, diakses tanggal 24 September 2016. • Semua Karena Ahok, http://news.detik.com/kolom/3272849/semua-karena-ahok, diakses tanggal 24 September 2016. • Jokowi: UU Pemilu Baru Tak Boleh Ada Kepentingan Jangka Pendek, http://www. suara.com/news/2016/09/14/072610/jokowi-uu-pemilu-baru-tak-boleh-adakepentingan-jangka-pendek, diakses tanggal 24 September 2016. • Pakai Isu Sara, Risalah Istiqlas “tak bisa” Gerakkan Massa Signifikan, http://www. bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160919_indonesia_risalah_istiqlal, diakses tanggal 24 September 2016. • Hena Triwardani Sumantri, Isu Sara dalam Pemberitaan Pilkada DKI Jakarta 2012, Skripsi pada Program Studi Ilmu Jurnalistik, Universitas Islam Bandung, 2013,http:// elibrary.unisba.ac.id/images/Henatriwardanisumantri_10040005071 _Skr_2013_ Isu_Sara_Dalam.pdf, diakses tanggal 24 September 2016. • Jelang Pilgub DKI, Tokoh-Tokoh dari Berbagai Kalangan Ini Getol Teriakkan Kampanye SARA, http://www.indoheadlinenews.com/2016/03/jelang-pilgub-dkitokoh-tokoh-dari.html, diakses tanggal 24 September 2016. • KPUD DKI Jakarta Ingatkan Calon Gubernur Soal Kampanye Isu Sara, http://news. metrotvnews.com/politik/dN6Ov1yb-kpud-dki-jakarta-ingatkan-calon-gubernursoal-kampanye-isu-sara, diakses tanggal 24 September 2016. • Rafik Maeilana, Wahid Institute : 500 Ribu Orang Pernah Terlibat Radikalisme, http://kbr.id/08-2016/wahid_institute__500_ribu_orang_pernah_terlibat_ radikalisme/83629.html, diakses tanggal 25 September 2016. • Laporan Naratif Diskusi Strategi Kampanye Media Pilpres 2014, Membincang Video ala Nazi, http://www.freedom-institute.org/index.php?option =com_content& view=article&id=285:laporan-naratif-diskusi-strategi-kampanye-media-pilpres2014-membincang-video-ala-nazi&catid=52:laporan-diskusi, diakses tanggal 25 September 2016. • Jangan Kampanye Singgung SARA!, http://nasional.kompas.com / read/2014/01/23/ 1520116/Jangan.Kampanye.Singgung.SARA., diakses tanggal 25 September 2016 88
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
BIODATA PENULIS
Muhammad, dilahirkan di Makassar pada tanggal 17 September 1971. Menempuh pendidikan terakhir S-3 Ilmu Politik Universitas Airlangga. Pada saat pelaksanaan seleksi Bawaslu di Komisi II DPR RI, mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi Sulawesi Selatan ini terpilih dengan suara tertinggi di antara calon lainnya. Pasca dilantik oleh Presiden, Muhammad terpilih untuk menduduki posisi Ketua Bawaslu melalui rapat pleno musyawarah-mufakat oleh seluruh Anggota Bawaslu periode 2012 - 2017. Muhammad merupakan Guru Besar Universitas Hasanuddin Makassar dan menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Politik di kampus berlambang ayam jantan tersebut. Atas pengabdiannya terha dap bangsa, ia dianugerahi Satyalencana Karya Satya X Tahun dari Presi den RI tahun 2012, dan Tanda Kehormatan Bintang Penegak Demokrasi Utama dari Presiden RI tahun 2015. Pria yang dikenal tegas dalam memim pin ini juga dikenal sebagai seorang penceramah agama (dai) yang andal sehingga mampu membuat pendengar atau jamaahnya larut dalam untaian hikmah yang disampaikannya.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
89
BIODATA PENULIS
Hermawan Sulistyo atau biasa disapa dengan Kikiek Haryodo adalah Profesor Riset/ Ahli Peneliti Utama Bidang Perkembangan Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menyelesaikan S-1 di FISIP UI, S-2 di Ohio University AS, dan S3 di Arizona State University AS. Pernah mengajar di Universitas Nasional, Universitas Indonesia, Pasca Sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Ohio University, AS, Arizona State University, AS, Institute for Southeast Asia Studies (ISEAS) Singapora, Uppsala University, Swedia dan lain-lain. Ia juga pernah menjadi Pembicara/ Naras sumber di Sidang Pleno (Plenary Session), Parlemen Belgia (Brussels). Selain juga pernah menyelenggarakan Caucus/ Workshop di Clingendael Institute Den Haag Belanda; Royal Institute for International Affairs (Chatham House) London; Institute for International Studies (IEEI) Lisboa Portugal; Australian National University (ANU) Canberra dan Tredbo, Australia; Universiti Sains Malaysia (USM) Penang Malaysia; ISEAS-Singapore; FES-Berlin, Jerman; dan lain-lain. Penulis puluhan buku ini juga pernah malang melintang di dunia pers, diantaranya Redaktur Majalah Gadis, Tabloid Mutiara, harian Suara Pembaruan, Jayakarta, Jurnal Ilmu Politik dan lain sebagainya.
90
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
BIODATA PENULIS
Endang Sulastri menyelesaikan program S-1 di
Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan program S-2 Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Pengalaman akademisnya antara lain Wakil Dekan FISIP Universitas M uhammadiyah Jakarta (UMJ), Pengajar Tetap Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Komunikasi, UMJ, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Administrasi, UMJ, Koordinator Program Kelas Khusus/Ekstension FISIP-UMJ, Dekat FISIP UMJ, dan lain-lain. Di bidang kepemiluan, pernah menjadi anggota KPU RI pada 207-2012. Selain juga pernah menjadi anggota Tim Pokja Partisipasi Politik Perempuan pada Kementerian Negara Pemberdayaan Pe rempuan RI. Sedangkan di bidang organisasi kemasyaratakan antara lain sebagai Pengurus PP Muhammadiyah pada Lembaga Hikmah dan Ke bijakan Publik (2015-2020), Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Depatemen Pengembangan Etika Berbangsa dan Bernegara sebagai Ketua Dep.Pengembangan Apresiasi Etika Berbangsa dan Bernegara, Anggota Dewan Pakar ICMI Orda Kota Tangerang Selatan, dan juga sebagau Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (PP AIPI) sebagai Anggota Komisi Kerjasama dan Hubungan Antar Lembaga.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
91
BIODATA PENULIS
Musni Umar
memperoleh gelar Sarjana Hukum dan Sarjana Muda Hukum, Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakat an Universitas Islam Jakarta, Master of Science (M.Si), Sosiologi Politik, Universitas Indonesia (UI) dan Ph.D Sosiologi Pembangunan, Univ. Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia. Diantara buku yang pernah ditulisanya antara lain Demokrasi dan Islam di Kalangan Orang-orang Miskin (2011), Korupsi di Alam Demokrasi (2011), Soft Power Approach Indonesia-Malaysia (2011), Mencari Akar Permasalahan Kemiskinan di Kendari dan Strategi Pemberdayaannya (2009), Al-Qur’an Demokrasi Politik dan Ekonomi (2004), Islam dan Demokrasi di Indonesia Kemenangan Abang an dan Sekuler (2004) dan DPRD di Era Otonomi Daerah (2003). Selain itu menyunting banyak buku seperti: Membangkitkan Memori Kolektif Kesejarahan Indonesia-Malaysia (2010), Meluruskan Arah Reformasi (2008), Korupsi Musuh Bersama (2004), Terobosan Pemulihan Ekonomi Indonesia (2002), dan Aceh Win-Win Solution (2002). Saat ini ia sedang melakukan pengusulan untuk menjadi Guru Besar (Profesor) dalam bidang Sosiologi di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
92
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
BIODATA PENULIS
Khairul Fahmi lahir di Canduang pada akhir November 1981. Saat ini mengabdi sebagai dosen Hukum Tata Negara sekaligus Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Ia menyelesaikan studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Andalas tahun 2004. Setelah melanjutkan pendidikan pada Prog ram Pascasarjana Universitas Andalas, ia meraih gelar Magister Hukum pada tahun 2010. Saat ini, Ketua Badan Pengurus Wilayah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumatera Barat periode 2008-2011 ini tengah menempuh studi doktoral pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Hasil penelitian yang bersangkutan telah dipublikasioleh berbagai jurnal ilmiah hukum. Selain itu, sejumlah makalah dibidang hukum tata negara dan pemilu telah pula disampaikan dalam berbagai jamuan ilmiah nasional. Selain itu, yang bersangkutan juga aktif menulis, menyunting buku dan karya ilmiah popular yang diterbitkan Harian Kompas, Harian Media Indonesia, Majalah Geotime, Harian Singgalang, Harian Padang Ekspres.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
93
BIODATA PENULIS
Rikson H. Nababan, lahir di Bandung 18 November 1971. Ia menyelesaikan kuliah S-1 di Fakultas Hukum Universitas Merdeka, Surabaya. Sehari-hari bekerja sebagai Tenaga Ahli (TA) Bawaslu RI. Diantara tugasnya sebagai TA Bawaslu RI, ia banyak memberikan pencerahan, pelatihan dan bimbingan kepada komisioner Bawaslu Provinsi seluruh Indonesia terkait dengan isu-isu dan agenda pengawasan Pemilu/Pilkada maupun penguatan kapasitas individu Pengawas Pemilu. Di sela-sela kesibukannya yang padat sebagai TA Bawaslu RI, juga masih menyempatkan diri di organisasai pemantau Pemilu sebagai Ketua Komite Pemantan Pemilu Independen (KIPP) Jawa Timur. Dengan demikian, tidak mengherankan jika ia acapkali pulang pergi Jakarta-Surabaya. Selain juga aktif di bidang jurnalistik dan pernah mengelola penerbitan atau media online yang mempunyai jangkauan luas/nasional. Tulisan dan artikelnya terkait Pemilu/ Pilkada banyak dimuat di media massa nasional maupun daerah.
94
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
BIODATA PENULIS
Ahsanul Minan adalah penggiat Pemilu dan demokrasi yang berpengalaman selama kurang lebih 15 tahun. Beberapa kali mengepalai proyek-proyek yang menggarap isu-isu kepemiluan yang disponsori oleh USAID-DAI (1999-2000), Ford Foundation (2001-2003), UNDP (2009-2011), MSI-SIAP 1 (2011-2016) dan lain sebaginya. Di dalam negeri, ia pernah bekerja dan atau melakukan kemitraan dengan beberapa Instansi Pemerintah seperti MenPAN, Ombudsman, Komisi Informasi (KIP), KPU, Bawaslu, DPR, dan lain sebagainya. Pendidikan yang pernah ditempuhnya mulai dari MAPK Surakarta, Fakultas Syari’ah STAIN Surakarta, dan S-2 di Universitas Indonesia. Khusus di bidang pengawasan Pemilu, ia pernah mejadi anggota Panwaslu Jawa Tengah. Kini ia lebih lebih banyak menggarap manajemen sistem internasional di bidang isu-isu kepemiluan, demokrasi dan lain sebagainya. Selain banyak memenuhi undangan sebagai pembicara atau fasilitaor terkait pembangunan dan penguatan lembaga-lembaga demokrasi, dan organisasi masyarakat sipil.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
95
Bawaslu DKI menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Pengawasan Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta bertajuk: “Netralitas ASN Dalam Pilkada 2017”, Jakarta, Jumat (16/9/2016)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang demokratis, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota; b. bahwa dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, beberapa ketentuan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UndangUndang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UndangUndang perlu diubah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk UndangUndang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi UndangUndang; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678);
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
97
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) diubah sebagai berikut:
98
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7 (1) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. (2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia kepada Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; d. dihapus; e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; f. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim; g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian; j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi; k. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/ atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi; n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota; o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama; p. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon; q. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota; r. dihapus; s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; t. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; dan u. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon. 2. Ketentuan huruf a dan huruf b Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat; b. mengoordinasi dan memantau tahapan Pemilihan; c. melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemilihan; d. menerima laporan hasil Pemilihan dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota; e. memfasilitasi pelaksanaan tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam melanjutkan tahapan pelaksanaan Pemilihan jika Provinsi, Kabupaten, dan Kota tidak dapat melanjutkan tahapan Pemilihan secara berjenjang; dan f. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
99
3. Di antara huruf b dan huruf c Pasal 10 disisipkan 1 (satu) huruf, yakni huruf b1 sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan wajib: a. memperlakukan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota secara adil dan setara; b. menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilihan kepada masyarakat; b1. melaksanakan dengan segera rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi Pemilihan; c. melaksanakan Keputusan DKPP; dan d. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 16 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Anggota PPK sebanyak 5 (lima) orang yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang. (1a) seleksi penerimaan anggota PPK dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPK. (2) Anggota PPK diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/ Kota. (3) Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). (4) Dalam menjalankan tugasnya, PPK dibantu oleh sekretariat yang dipimpin 100
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
oleh Sekretaris dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. (5) PPK melalui KPU Kabupaten/Kota mengusulkan 3 (tiga) nama calon sekretaris PPK kepada Bupati/Walikota untuk selanjutnya dipilih dan ditetapkan 1 (satu) nama sebagai Sekretaris PPK dengan Keputusan Bupati/Walikota. 5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Anggota PPS berjumlah 3 (tiga) orang. (2) Seleksi penerimaan anggota PPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPS. (3) Anggota PPS diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/ Kota. 6. Ketentuan Pasal 20 tetap, dengan perubahan penjelasan Pasal 20 huruf c, sehingga penjelasan Pasal 20 huruf c menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal UndangUndang ini. 7. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 21 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Anggota KPPS berjumlah 7 (tujuh) orang yang berasal dari anggota masyarakat di sekitar TPS yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (1a) Seleksi penerimaan anggota KPPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota KPPS. (2) Anggota KPPS diangkat dan diberhentikan oleh PPS atas nama Ketua KPU Kabupaten/Kota.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian anggota KPPS wajib dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota. (4) Susunan keanggotaan KPPS terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. 8. Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22B
Tugas dan wewenang Bawaslu dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan Pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat; b. menerima, memeriksa, dan memutus keberatan atas putusan Bawaslu Provinsi terkait pemilihan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, atau Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terkait dengan Pemilihan yang diajukan oleh pasangan calon dan/atau Partai Politik/gabungan Partai Politik terkait penjatuhan sanksi diskualifikasi dan/atau tidak diizinkannya Partai Politik/gabungan Partai Politik untuk mengusung pasangan calon dalam Pemilihan berikutnya. c. mengoordinasikan dan memantau tahapan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan; d. melakukan evaluasi pengawasan penyelenggaraan Pemilihan; e. menerima laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilihan dari Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota;
f. memfasilitasi pelaksanaan tugas Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota dalam melanjutkan tahapan pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan jika Provinsi, Kabupaten, dan Kota tidak dapat melanjutkan tahapan pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan secara berjenjang; g. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan; h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota; i. menerima dan menindaklanjuti laporan atas tindakan pelanggaran Pemilihan; dan j. menindaklanjuti rekomendasi dan/ atau putusan Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota kepada KPU terkait terganggunya tahapan Pemilihan. 9. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 Tugas dan wewenang Panwas Kabupaten/Kota adalah: a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang meliputi: 1. pelaksanaan pengawasan rekrutmen PPK, PPS, dan KPPS; 2. pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih Tetap; 3. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan; 4. proses dan penetapan calon; 5. pelaksanaan Kampanye; 6. perlengkapan Pemilihan dan pendistribusiannya; 7. pelaksanaan pemungutan suara dan
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
101
penghitungan suara hasil Pemilihan; 8. pelaksanaan pengawasan pendaftaran pemilih; 9. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara; 10. penyampaian surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK; 11. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota dari seluruh Kecamatan; 12. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan; dan 13. proses pelaksanaan penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan; c. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran Pemilihan dan sengketa Pemilihan yang tidak mengandung unsur tindak pidana; d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti; e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang; f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan oleh penyelenggara di Provinsi, Kabupaten, dan Kota; g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
102
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung; h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan; dan i. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. 10. Ketentuan Pasal 33 huruf b diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
Tugas dan wewenang Panwas Kecamatan dalam Pemilihan meliputi: a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan di wilayah Kecamatan yang meliputi: 1. pemutakhiran data Pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih Tetap; 2. pelaksanaan Kampanye; 3. perlengkapan Pemilihan dan pendistribusiannya; 4. pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara hasil Pemilihan; 5. penyampaian surat suara dari TPS sampai ke PPK; 6. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh PPK dari seluruh TPS; dan 7. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan. b. mengawasi penyerahan kotak suara tersegel dari PPK kepada KPU Kabupaten/Kota; c. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan sebagaimana dimaksud pada huruf a; d. menyampaikan temuan dan laporan kepada PPK untuk ditindaklanjuti;
e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang; f. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan; g. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan mengenai tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilihan; dan h. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Rakyat Daerah. (4) Partai Politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan 1 (satu) pasangan calon. (5) Perhitungan persentase dari jumlah kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikecualikan bagi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat yang diangkat.
11. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
12. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 40A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
Pasal 40A
(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan. (2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas. (3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan
(1) Partai Politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 merupakan Partai Politik yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang sudah memperoleh putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. (3) Jika masih terdapat perselisihan atas putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
103
(4) Putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3) wajib didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru dan wajib ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya persyaratan. (5) Dalam hal pendaftaran dan penetapan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum selesai, sementara batas waktu pendaftaran pasangan calon di KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota akan berakhir, kepengurusan Partai Politik yang berhak mendaftarkan pasangan calon adalah kepengurusan Partai Politik yang tercantum dalam keputusan terakhir menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. 13. Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan: a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen); 104
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud. (2) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan: a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen); b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud. (3) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan Pemilihan paling singkat 1 (satu) tahun dan tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilihan umum sebelumnya di provinsi atau kabupaten/kota dimaksud. (4) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan kepada 1 (satu) pasangan calon perseorangan. 14. Di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 42 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a) dan di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a), sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didaftarkan ke KPU Provinsi oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan. (2) Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota didaftarkan ke KPU Kabupaten/Kota oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan. (3) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (4) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat Provinsi disertai Surat Keputusan Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi. (4a) Dalam hal pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Provinsi, pendaftaran pasangan calon yang telah disetujui Partai Politik tingkat Pusat, dapat dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Pusat. (5) Pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota disertai Surat Keputusan Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi. (5a) Dalam hal pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota, pendaftaran pasangan calon yang telah disetujui Partai Politik tingkat Pusat, dapat dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Pusat. (6) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
105
serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota oleh gabungan Partai Politik ditandatangani oleh para ketua Partai Politik dan para sekretaris Partai Politik di tingkat Provinsi atau para ketua Partai Politik dan para sekretaris Partai Politik di tingkat Kabupaten/Kota disertai Surat Keputusan masing-masing Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi dan/atau Pengurus Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota. 15. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota disertai dengan penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan. (2) Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. surat pernyataan, yang dibuat dan ditandatangani oleh calon sendiri, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, huruf b, huruf g, huruf n, huruf o, huruf p, huruf q, huruf s, huruf t, dan huruf u; b. surat keterangan: 1. hasil pemeriksaan kemampuan secara jasmani, rohani, dan bebas penyalahgunaan narkotika dari tim yang terdiri dari dokter, ahli psikologi, dan Badan Narkotika Nasional, yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f; 2. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri 106
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional dengan disertai buktinya, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g; 3. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h; 4. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i; 5. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/ atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara, dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf k; dan 6. tidak dinyatakan pailit dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf l. c. surat tanda terima laporan kekayaan calon dari instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf j;
d. fotokopi: 1. ijazah pendidikan terakhir paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat yang telah dilegalisir oleh pihak yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c; 2. kartu nomor pokok wajib pajak atas nama calon, tanda terima penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi atas nama calon, untuk masa 5 (lima) tahun terakhir, yang dibuktikan dengan surat keterangan tidak mempunyai tunggakan pajak dari kantor pelayanan pajak tempat calon yang bersangkutan terdaftar, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf m; 3. Kartu Tanda Penduduk elektronik dengan nomor induk kependudukan. e. daftar riwayat hidup calon yang dibuat dan ditandatangani oleh calon perseorangan dan bagi calon yang diusulkan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik ditandatangani oleh calon, pimpinan Partai Politik atau pimpinan gabungan Partai Politik; f. pas foto terbaru Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; g. naskah visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan persyaratan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.
16. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Pasangan calon atau tim yang diberikan kuasa oleh pasangan calon menyerahkan dokumen syarat dukungan pencalonan untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi dan untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota untuk dilakukan verifikasi administrasi dan dibantu oleh PPK dan PPS. (2) Verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. mencocokkan dan meneliti berdasarkan nomor induk kependudukan, nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, dan alamat dengan mendasarkan pada Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil; dan b. berdasarkan Daftar Pemilih Tetap pemilu terakhir dan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan dari Kementerian Dalam Negeri. (3) Verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dan dapat berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi atau Kabupaten/Kota. (4) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota dibantu oleh pasangan calon perseorangan atau tim yang diberikan kuasa oleh pasangan calon menyerahkan dokumen syarat dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPS untuk dilakukan verifikasi faktual paling lambat 28 (dua puluh delapan) Hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
107
(5) Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan diserahkan ke PPS. (6) Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon. (7) Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), terhadap pendukung calon yang tidak dapat ditemui pada saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk menghadirkan pendukung calon yang dimaksud di kantor PPS paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut. (8) Jika pasangan calon tidak dapat menghadirkan pendukung calon dalam verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (7), maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat. (9) Hasil verifikasi faktual berdasarkan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) tidak diumumkan. (10) Hasil verifikasi dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dituangkan dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil verifikasi disampaikan kepada pasangan calon. (11) PPK melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari 1 (satu) pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) Hari. (12) Hasil verifikasi dukungan pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dituangkan dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPU Kabupaten/
108
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Kota dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada pasangan calon. (13) Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, dan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dipergunakan oleh pasangan calon perseorangan sebagai bukti pemenuhan persyaratan dukungan pencalonan. (14) KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari 1 (satu) pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) Hari. (15) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara verifikasi diatur dalam Peraturan KPU. 17. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 (1) Dalam hal pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia dalam jangka waktu sejak penetapan pasangan calon sampai dengan hari pemungutan suara, Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mengusulkan pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara. (2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia. (3) KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/
Kota meneliti persyaratan administrasi pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal pengusulan. (4) Dalam hal pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti memenuhi persyaratan berdasarkan hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota menetapkan pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari terhitung sejak dinyatakan memenuhi syarat. (5) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak mengusulkan pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan gugur dan tidak dapat mengikuti Pemilihan. (6) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak mengusulkan salah satu calon dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), salah satu calon yang tidak meninggal dunia, dinyatakan gugur dan tidak dapat mengikuti Pemilihan. (7) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia dalam jangka waktu 29 (dua puluh sembilan) Hari sebelum hari pemungutan suara, Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak dapat mengusulkan calon pengganti, dan salah satu calon dari pasangan calon yang tidak meninggal dunia ditetapkan sebagai pasangan calon Pemilihan. (8) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (7), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib mengumumkan kepada masyarakat.
18. Di antara Pasal 54 dan Pasal 55 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 54A, Pasal 54B, Pasal 54C, dan Pasal 54D yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 54A (1) Dalam hal pasangan calon perseorangan meninggal dunia terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon sampai dengan hari pemungutan suara, pasangan calon dinyatakan gugur serta tidak dapat mengikuti Pemilihan. (2) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon perseorangan meninggal dunia terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon sampai dengan hari pemungutan suara, calon perseorangan dapat mengusulkan calon pengganti paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara untuk ditetapkan sebagai pasangan calon Pemilihan. (3) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon perseorangan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota wajib mengumumkan kepada masyarakat. Pasal 54B Ketentuan mengenai meninggalnya pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 54A berlaku secara mutatis mutandis terhadap pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon dalam Pemilihan 1 (satu) pasangan calon. Pasal 54C (1) Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi: a. setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
109
yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat; b. terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; c. sejak penetapan pasangan calon sampai dengan saat dimulainya masa Kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/ pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; d. sejak dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; atau e. terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.
110
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
(2) Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar. (3) Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos. Pasal 54D (1) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah. (2) Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya. (3) Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundangundangan. (4) Dalam hal belum ada pasangan calon terpilih terhadap hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah menugaskan penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemilihan 1 (satu) pasangan calon diatur dengan Peraturan KPU. 19. Ketentuan ayat (2) Pasal 57 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih. (2) Dalam hal warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada saat
pemungutan suara menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik. (3) Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ ingatannya; dan/atau b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (4) Warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam daftar Pemilih dan pada saat pemungutan suara tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), yang bersangkutan tidak dapat menggunakan hak memilihnya. 20. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum terakhir digunakan sebagai sumber pemutakhiran data pemilihan dengan mempertimbangkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan. (2) Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota yang telah dikonsolidasikan, diverifikasi, dan divalidasi oleh Menteri digunakan sebagai bahan penyusunan daftar Pemilih untuk Pemilihan. (3) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) oleh PPS dilakukan pemutakhiran berdasarkan perbaikan dari rukun tetangga, rukun warga, atau sebutan lain dan tambahan Pemilih yang telah memenuhi persyaratan sebagai Pemilih paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak diterimanya hasil konsolidasi, verifikasi, dan validasi. (4) Daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diserahkan kepada PPK untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat PPK. (5) Rekapitulasi daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh PPK kepada KPU Kabupaten/Kota paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak selesainya pemutakhiran untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat kabupaten/kota, yang kemudian ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Sementara. (6) Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diumumkan secara luas dan melalui papan pengumuman rukun tetangga dan rukun warga atau sebutan lain oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat selama 10 (sepuluh) Hari. (7) PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir. (8) Daftar Pemilih Sementara yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diserahkan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dan diumumkan oleh PPS paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak jangka waktu penyusunan Daftar Pemilih Tetap berakhir. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutakhiran data Pemilih diatur dengan Peraturan KPU. 21. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
Penduduk yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap diberi surat pemberitahuan sebagai Pemilih oleh PPS.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
111
22. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 61 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Dalam hal masih terdapat penduduk yang mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam daftar Pemilih tetap, yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik. (2) Penggunaan hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan di tempat pemungutan suara yang berada di rukun tetangga atau rukun warga atau sebutan lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk Elektronik. (3) Sebelum menggunakan hak pilihnya penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat dan dicatat dalam daftar Pemilih tambahan. (4) Penggunaan hak pilih penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS. 23. Ketentuan ayat (2) Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 (1) Kampanye dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab. (2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon dan dapat difasilitasi oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. (3) Jadwal pelaksanaan Kampanye ditetapkan oleh KPU Provinsi untuk 112
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota dengan memperhatikan usul dari pasangan calon. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU. 24. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 65 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 65 (1) Kampanye dapat dilaksanakan melalui: a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka dan dialog; c. debat publik/debat terbuka antarpasangan calon; d. penyebaran bahan Kampanye kepada umum; e. pemasangan alat peraga; f. iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2a) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b didanai dan dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon. (2b) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e dapat didanai dan dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan metode Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (2b) diatur dengan Peraturan KPU. 25. Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 68 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 (1) Debat publik/debat terbuka antar calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c dilaksanakan paling banyak 3 (tiga) kali oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. (2) Debat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disiarkan secara langsung atau siaran tunda melalui lembaga penyiaran publik. (3) Moderator debat dipilih oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu calon. (4) Materi debat adalah visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam rangka: a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat; b. memajukan daerah; c. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; d. menyelesaikan persoalan daerah; e. menyerasikan pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/ kota dan provinsi dengan nasional; dan f. memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan. (5) Moderator dilarang memberikan komentar, penilaian, dan kesimpulan apapun terhadap penyampaian materi debat dari setiap pasangan calon.
26. Ketentuan Pasal 70 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 (1) Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan: a. pejabat badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah; b. aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; dan c. Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan. (2) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan: a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. (4) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri. (5) Cuti yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib diberitahukan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
113
27. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 (1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. (2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. (3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota. (5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
114
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
28. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 (1) Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih. (2) Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (3) Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Selain Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk: a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih; b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu. (5) Pemberian sanksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menggugurkan sanksi pidana.
29. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 (1) Dana Kampanye pasangan calon yang diusulkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat diperoleh dari: a. sumbangan Partai Politik dan/ atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon; b. sumbangan pasangan calon; dan/ atau c. sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta. (2) Dana Kampanye pasangan calon perseorangan dapat diperoleh dari sumbangan pasangan calon, sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta. (3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon wajib memiliki rekening khusus dana Kampanye atas nama pasangan calon dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (4) Pasangan calon perseorangan bertindak sebagai penerima sumbangan dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan wajib memiliki rekening khusus dana Kampanye dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (5) Sumbangan dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dari perseorangan paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan dari badan hukum swasta paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (6) Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon dan pasangan calon perseorangan dapat menerima dan/atau menyetujui
sumbangan yang bukan dalam bentuk uang secara langsung untuk kegiatan Kampanye yang jika dikonversi berdasar harga pasar nilainya tidak melebihi sumbangan dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (7) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) harus mencantumkan identitas yang jelas. (8) Penggunaan dana Kampanye pasangan calon wajib dilaksanakan secara transparan dan akuntabel sesuai standar akuntasi keuangan. (9) Pembatasan dana Kampanye pasangan calon ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan jumlah pemilih, cakupan/luas wilayah, dan standar biaya daerah. 30. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 85 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut: Pasal 85 (1) Pemberian suara untuk Pemilihan dapat dilakukan dengan cara: a. memberi tanda satu kali pada surat suara; atau b. memberi suara melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik. (2) Pemberian tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan Pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan Pemilihan. (2a) Pemberian suara secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan Pemerintah Daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. (2b) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu)
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
115
pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat, pemberian suara untuk Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mencoblos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C ayat (3). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU. 31. Ketentuan Pasal 107 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 107 berbunyi sebagai berikut: Pasal 107 (1) Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih. (2) Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, pasangan calon yang memperoleh dukungan Pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kecamatan di kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih. (3) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih.
32. Ketentuan Pasal 109 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 (1) Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih. (2) Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, pasangan calon yang memperoleh dukungan Pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/ kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih. (3) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih. 33. Di antara Pasal 133 dan Pasal 134 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 133A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133A
34. Di antara Pasal 135 dan Pasal 136 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 135A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135A (1)
116
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Pemerintahan Daerah bertanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah, khususnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.
Pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. (2) Bawaslu Provinsi menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara terbuka dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dengan menerbitkan keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu Provinsi. (5) Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa sanksi administrasi pembatalan pasangan calon. (6) Pasangan calon yang dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota ditetapkan. (7) Mahkamah Agung memutus upaya hukum pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. (8) Dalam hal putusan Mahkamah Agung membatalkan keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menetapkan kembali sebagai pasangan calon. (9) Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bawaslu. 35. Ketentuan Pasal 144 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 144 (1) Putusan Bawaslu Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan merupakan Putusan bersifat mengikat. (2) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/ Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dan/atau putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 3 (tiga) hari kerja. (3) Seluruh proses pengambilan Putusan Bawaslu Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota wajib dilakukan melalui proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa diatur dengan Peraturan Bawaslu. 36. Ketentuan Pasal 146 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 146 (1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tergabung dalam sentra penegakan hukum terpadu dapat melakukan penyelidikan setelah adanya laporan pelanggaran Pemilihan yang diterima oleh Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota. (2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan tugas dapat melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pengumpulan alat bukti untuk kepentingan penyelidikan maupun penyidikan tanpa surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
117
(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikan disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak laporan diterima dari Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota. (4) Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. (5) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. (6) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Pengadilan Negeri paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak menerima berkas perkara dari penyidik. 37. Ketentuan Pasal 152 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 152 (1) Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum terpadu. (2) Sentra penegakan hukum terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melekat pada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwas Kabupaten/Kota. (3) Anggaran operasional sentra penegakan hukum terpadu dibebankan pada Anggaran Bawaslu. (4) Ketentuan mengenai sentra penegakan hukum terpadu diatur dengan 118
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
peraturan bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu. (5) Peraturan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. 38. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153 (1) Sengketa tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota. (2) Peradilan Tata Usaha Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan menggunakan Hukum Acara Tata Usaha Negara, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. 39. Ketentuan Pasal 154 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 154 (1) Peserta Pemilihan mengajukan keberatan terhadap keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/ Kota kepada Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota ditetapkan. (2) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas
Kabupaten/Kota telah dilakukan. (3) Dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterimanya gugatan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) penggugat belum menyempurnakan gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. (5) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dilakukan upaya hukum. (6) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak gugatan dinyatakan lengkap. (7) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. (8) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diajukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan. (9) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib memberikan putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan kasasi diterima. (10) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali. (11) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/ Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) Hari. (12) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan sepanjang tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara. 40. Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 156 (1) Perselisihan hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/ atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan. (2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih. 41. Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157 (1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. (2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional. (3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
119
(4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota kepada Mahkamah Konstitusi. (5) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (6) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi alat/dokumen bukti dan Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara. (7) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. (8) Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (9) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat final dan mengikat. (10) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/ Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. 42. Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 158 (1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan: a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan 120
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; dan d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi. (2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan: a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota; c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota. 43. Ketentuan Pasal 160A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 160A (1) Dalam hal DPRD Provinsi tidak menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden melalui Menteri, dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak KPU Provinsi menyampaikan penetapan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada DPRD Provinsi, Presiden berdasarkan usulan Menteri mengesahkan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berdasarkan usulan KPU Provinsi melalui KPU. (2) Dalam hal DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon
Walikota dan Wakil Walikota terpilih kepada Menteri melalui Gubernur, dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak KPU Kabupaten/Kota menyampaikan penetapan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih kepada DPRD Kabupaten/Kota, Menteri berdasarkan usulan Gubernur mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan usulan KPU Kabupaten/ Kota melalui KPU Provinsi. (3) Dalam hal Gubernur tidak menyampaikan usulan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri, Menteri mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan usulan KPU Kabupaten/ Kota melalui KPU Provinsi. (4) Pengesahan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya usulan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 44. Ketentuan Pasal 162 ayat (3) diubah sehingga Pasal 162 berbunyi sebagai berikut: Pasal 162 (1) Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (2) Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
121
dimaksud dalam Pasal 161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (3) Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri. 45. Ketentuan Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 163 (1) Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik oleh Presiden di ibu kota negara. (2) Dalam hal Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Wakil Presiden. (3) Dalam hal Wakil Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Menteri. (4) Dalam hal calon Gubernur terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon Wakil Gubernur terpilih tetap dilantik menjadi Wakil Gubernur meskipun tidak secara berpasangan. (5) Dalam hal calon wakil Gubernur terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon Gubernur terpilih tetap dilantik menjadi Gubernur meskipun tidak secara berpasangan. (6) Dalam hal calon Gubernur dan/ atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. (7) Dalam hal calon Gubernur dan/ atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/ 122
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. (8) Dalam hal calon Gubernur dan/ atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. 46. Ketentuan Pasal 164 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 164 (1) Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilantik oleh Gubernur di ibu kota Provinsi yang bersangkutan. (2) Dalam hal Gubernur berhalangan, pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilakukan oleh Wakil Gubernur. (3) Dalam hal Gubernur dan/atau Wakil Gubernur tidak dapat melaksanakan sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat (1) dan ayat (2), Menteri mengambil alih kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. (4) Dalam hal calon Bupati dan Calon Walikota terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon wakil Bupati dan Calon wakil Walikota terpilih tetap dilantik menjadi Wakil Bupati dan Wakil Walikota meskipun tidak secara berpasangan. (5) Dalam hal calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon Bupati dan Calon Walikota terpilih tetap dilantik menjadi Bupati, dan Walikota meskipun tidak secara berpasangan. (6) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi
tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/ Wakil Walikota. (7) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/ Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/ Wakil Walikota. (8) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/ atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/ Wakil Walikota. 47. Di antara Pasal 164 dan Pasal 165 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 164A dan Pasal 164B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 164A (1) Pelantikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 dan Pasal 164 dilaksanakan secara serentak. (2) Pelantikan secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota periode sebelumnya yang paling akhir. (3) Dalam hal terdapat 1 (satu) pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih atau Walikota dan Wakil Walikota terpilih yang tertunda dan tidak ikut pada pelantikan serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur
dapat melakukan pelantikan di Ibu kota Kabupaten/Kota yang bersangkutan. (4) Dalam hal lebih dari 1 (satu) provinsi yang terdapat 1 (satu) pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih atau Walikota dan Wakil Walikota terpilih yang tertunda dan tidak ikut pada pelantikan serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melakukan pelantikan secara bersamaan di Ibu kota Negara. Pasal 164B Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dapat melantik Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak. 48. Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 165 Ketentuan mengenai jadwal dan tata cara pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota diatur dengan Peraturan Presiden. 49. Ketentuan ayat (2) dihapus sehingga Pasal 166 berbunyi sebagai berikut: Pasal 166 (1) Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dihapus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan kegiatan Pemilihan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
123
50. Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 173 (1) Dalam hal Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan; maka Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota. (2) DPRD Provinsi menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur menjadi Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden melalui Menteri untuk disahkan pengangkatannya sebagai Gubernur. (3) Dalam hal DPRD Provinsi tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Gubernur berhenti, Presiden berdasarkan usulan Menteri mengesahkan pengangkatan Wakil Gubernur sebagai Gubernur berdasarkan: a. surat kematian; b. surat pernyataan pengunduran diri dari Gubernur; atau c. keputusan pemberhentian. (4) DPRD Kabupaten/ Kota menyampaikan usulan pengangkatan dan pengesahan Wakil Bupati/ Wakil Walikota menjadi Bupati/ Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui Gubernur untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati/Walikota. (5) Dalam hal DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Bupati/Walikota berhenti, Gubernur menyampaikan usulan kepada Menteri dan Menteri berdasarkan usulan Gubernur mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupati/Wakil 124
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Walikota sebagai Bupati/Walikota. (6) Dalam hal Gubernur tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan dari DPRD Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri berdasarkan usulan DPRD Kabupaten/Kota mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagai Bupati/Walikota. (7) Dalam hal Gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Menteri mengesahkan pengangkatan Wakil Bupati/Wakil Walikota menjadi Bupati/ Walikota berdasarkan: a. surat kematian; b. surat pernyataan pengunduran diri dari Bupati/Walikota; atau c. keputusan pemberhentian. (8) Ketentuan mengenai tata cara pengisian Gubernur, Bupati, dan Walikota diatur dalam Peraturan Pemerintah. 51. Ketentuan Pasal 174 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 174 (1) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara bersamasama tidak dapat menjalankan tugas karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1), dilakukan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. (2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang masih memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan 2 (dua) pasangan calon kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dipilih. (3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung tidak memiliki
kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada saat dilakukan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pasangan calon paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi (4) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berasal dari perseorangan secara bersama-sama tidak dapat menjalankan tugas karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1), dilakukan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, yang calonnya diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi. (5) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan proses pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berdasarkan perolehan suara terbanyak. (6) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyampaikan hasil pemilihan kepada Presiden melalui Menteri untuk Gubernur dan Wakil Gubernur dan kepada Menteri melalui Gubernur untuk Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. (7) Dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan penjabat Gubernur dan Menteri menetapkan penjabat Bupati/ Walikota. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian jabatan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
52. Ketentuan Pasal 176 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 176 (1) Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung. (2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (3) Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berasal dari calon perseorangan berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan masing-masing oleh DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan Gubernur, Bupati, dan Walikota. (4) Pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan dan pengangkatan calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
125
53. Di antara Pasal 177 dan Pasal 178 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 177A dan Pasal 177B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 177A (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya. Pasal 177B Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 54. Di antara Pasal 178 dan Pasal 179 disisipkan 8 (delapan) pasal, yakni Pasal 178A sampai dengan Pasal 178H yang berbunyi sebagai berikut:
126
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Pasal 178A Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Pasal 178B Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 108 (seratus delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp108.000.000,00 (seratus delapan juta rupiah). Pasal 178C (1) Setiap orang yang tidak berhak memilih yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara memberikan suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja menyuruh orang yang tidak berhak memilih memberikan suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling
banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah). (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya. Pasal 178D Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 108 (seratus delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 178E (1) Setiap orang yang dengan sengaja memberi keterangan tidak benar, mengubah, merusak, menghilangkan hasil pemungutan dan/atau hasil penghitungan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 48 (empat puluh delapan) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya. Pasal 178F Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggagalkan pleno penghitungan suara tahap akhir yang dilakukan di KPU Provinsi
atau KPU Kabupaten/Kota pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 178G Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih yang bukan pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Pasal 178H Setiap orang yang membantu pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). 55. Ketentuan Pasal 180 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 180 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Calon Gubernur/Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati/Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota/Calon Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
127
enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Setiap orang yang karena jabatannya dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota atau meloloskan calon dan/atau pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 96 (sembilan puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp96.000.000,00 (sembilan puluh enam juta rupiah). 56. Di antara Pasal 182 dan Pasal 183 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 182A dan Pasal 182B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 182A Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Pasal 182B Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan diancam dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 128
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 57. Di antara Pasal 185 dan Pasal 186 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 185A dan Pasal 185B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185A (1) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya. Pasal 185B Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota KPU Provinsi, dan/atau petugas yang diberikan kewenangan melakukan verifikasi dan rekapitulasi yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
58. Di antara Pasal 186 dan Pasal 187 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 186A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 186A (1) Ketua dan sekretaris Partai Politik tingkat Provinsi dan/atau tingkat Kabupaten/Kota yang mendaftarkan pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) yang tidak didasarkan pada surat keputusan pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh pengurus Partai Politik tingkat Provinsi dan/ atau pengurus Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Penyelenggara Pemilihan yang menetapkan pasangan calon yang didaftarkan sebagai peserta Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya. 59. Di antara Pasal 187 dan Pasal 188 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 187A sampai dengan Pasal 187D sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 187A (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga
suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 187B Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 187C Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
129
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 187D Pengurus lembaga pemantau Pemilihan yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 60. Di antara Pasal 190 dan Pasal 191 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 190A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 190A Penyelenggara Pemilihan, atau perusahaan yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum merubah jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah Pemilih tetap ditambah dengan 2,5% (dua setengah persen) dari jumlah Pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh milyar lima ratus juta rupiah). 61. Ketentuan Pasal 193 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 193 (1) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan pemungutan dan/atau penghitungan suara ulang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal 113 berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota tanpa 130
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-Undang ini, anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/ Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah). (2) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan pemilihan lanjutan dan/atau pemilihan susulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dan Pasal 121 berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan UndangUndang ini, anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah). (3) Ketua dan anggota KPPS, ketua dan anggota PPK, ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota, atau ketua dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak membuat dan/ atau menandatangani berita acara perolehan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (4) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (5) Setiap KPPS yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara pada saksi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota, PPL, PPS dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (12) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (6) Setiap KPPS yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK pada Hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf q, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (7) Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
62. Di antara Pasal 193 dan Pasal 194 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 193A dan Pasal 193B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 193A (1) Ketua dan/atau anggota KPU Provinsi yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah). (2) Ketua dan/atau anggota KPU Kabupaten/Kota yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah). Pasal 193B (1) Ketua dan/atau anggota Bawaslu Provinsi yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah). (2) Ketua dan/atau anggota Panwas Kabupaten/Kota yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
131
belas juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah). 63. Ketentuan Pasal 196 dihapus. 64. Di antara Pasal 198 dan Pasal 199 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 198A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 198A Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindak kekerasan atau menghalang-halangi Penyelenggara Pemilihan dalam melaksanakan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 65. Di antara Pasal 200 dan Pasal 201 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 200A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 200A (1) Seleksi Penerimaan PPK dan PPS yang telah dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan Pasal 16 dan Pasal 19 Undang-Undang ini. (2) Pengawasan terhadap tahapan rekrutmen PPK, PPS, dan KPPS yang telah dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan Pasal 30 huruf a angka 1 UndangUndang ini. (3) Surat keterangan sementara dari kepala dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil di 132
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
kabupaten/kota setempat, baik sebagai syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih dapat dipergunakan paling lambat sampai dengan bulan Desember 2018. (4) Syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih menggunakan Kartu Tanda Penduduk Elektronik terhitung sejak bulan Januari 2019. (5) Pelantikan pasangan calon terpilih hasil Pemilihan tahun 2017 dan tahun 2018 dapat dilakukan secara serentak bertahap. 66. Ketentuan Pasal 201 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 201 (1) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015. (2) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017. (3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022. (4) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun
2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018. (5) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023. (6) Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020. (7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. (8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. (9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024. (10) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (11) Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat
Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (12) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), dan ayat (8) diatur dengan Peraturan KPU. 67. Di antara Pasal 205A dan Pasal 206 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 205B dan Pasal 205C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 205B Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundangundangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari: a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678); dan b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656); dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
133
Pasal 205C Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 2016 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 130
134
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG I. UMUM Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Untuk mewujudkan amanah tersebut telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Beberapa ketentuan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 dirasakan masih menyisakan sejumlah kendala dalam pelaksanaannya. Di sisi lain, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 perlu diselaraskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sehingga perlu disempurnakan. Beberapa penyempurnaan tersebut, antara lain: a. tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain terkait: 1) persyaratan atas kewajiban bagi pegawai negeri sipil untuk menyatakan pengunduran diri sejak penetapan sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota; 2) persyaratan atas kewajiban bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menyatakan pengunduran diri sejak penetapan sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota; 3) persyaratan terkait mantan terpidana dapat maju sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika telah mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa yang bersangkutan pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum; 4) dihapusnya persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana; 5) pengaturan terkait pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika hanya terdapat 1 (satu) pasangan; b. penegasan terkait pemaknaan atas nomenklatur Petahana untuk menghindari multitafsir dalam implementasinya; c. pengaturan mengenai pendanaan kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dibebankan
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
135
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. penyederhanaan penyelesaian sengketa proses pada setiap tahapan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota agar keserentakan pencoblosan maupun pelantikan dapat terjamin; e. penetapan mengenai waktu pemungutan suara untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota pada tahun 2020 dan 2024; f. pengaturan mengenai pelantikan serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilantik secara serentak oleh Presiden di ibu kota Negara serta penegasan terkait waktu pelantikan agar selaras dengan kebijakan penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak, yang pelantikan tersebut dilaksanakan pada akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota sebelumnya yang paling akhir; g. pengaturan sanksi yang jelas bagi yang melakukan politik uang (money politic) dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota; h. pengaturan terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota yang diberhentikan.
136
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Selain hal tersebut, Undang-Undang ini juga menyempurnakan beberapa ketentuan teknis lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dihapus. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “mantan terpidana” adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” antara lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina,
serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota mengundurkan diri untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Wakil Walikota. Huruf r Dihapus. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Angka 2 Pasal 9 Cukup jelas.
Angka 3 Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf b1 Yang dimaksud dengan “segera” yakni tidak melampaui tahapan berikutnya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Angka 4 Pasal 16 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Anggota PPS” adalah orang yang diangkat, berasal, dan berdomisili di wilayah kelurahan/desa setempat. Angka 6 Pasal 20 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “verifikasi dukungan calon perseorangan” adalah penelitian mengenai keabsahan surat pernyataan dukungan, fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik, pembuktian tidak adanya dukungan ganda, tidak adanya pendukung yang telah meninggal dunia, tidak adanya
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
137
pendukung yang sudah tidak lagi menjadi penduduk di wilayah yang bersangkutan, atau tidak adanya pendukung yang tidak mempunyai hak pilih. Yang dimaksud dengan “rekapitulasi dukungan calon perseorangan” adalah pembuatan rincian nama-nama pendukung calon perseorangan berdasarkan hasil verifikasi yang ditandatangani oleh ketua dan anggota PPS serta diketahui oleh kepala kelurahan/ kepala desa atau sebutan lain. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Dihapus. Huruf n Dihapus. Huruf o Dihapus. Huruf p Dihapus. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. 138
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Cukup jelas. Angka 7 Pasal 21 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 22B Cukup jelas. Angka 9 Pasal 30 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 33 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “jumlah kursi” adalah perolehan kursi yang dihitung dari jumlah kursi Partai Politik/gabungan Partai Politik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Angka 12 Pasal 40A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah putusan pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 13 Pasal 41 Cukup jelas. Angka 14 Pasal 42 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 45 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota dan dapat berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi atau Kabupaten/Kota” antara lain dengan menggunakan sistem dan aplikasi yang bisa diperbantukan atau dipinjamkan berupa peralatan dan tenaga teknis.
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Ayat (13) Cukup jelas. Ayat (14) Cukup jelas. Ayat (15) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 54 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 54A Cukup jelas. Pasal 54B Cukup jelas. Pasal 54C Cukup jelas. Pasal 54D Cukup jelas.
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
139
Angka 19 Pasal 57 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pemutakhiran” adalah menambah dan/atau mengurangi calon pemilih sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, bukan untuk merubah elemen data yang bersumber dari DP4. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 21 Pasal 59 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 61 Cukup jelas Angka 23 Pasal 63 Cukup jelas. Angka 24 Pasal 65 Cukup jelas.
140
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Angka 25 Pasal 68 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 70 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 71 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pejabat negara” adalah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Aparatur Sipil Negara. Yang dimaksud dengan “pejabat daerah” adalah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah. Ayat (2) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka Gubernur, Bupati, dan Walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas. Yang dimaksud dengan “penggantian” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 28 Pasal 73 Ayat (1) Yang tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada
pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 29 Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “sumbangan yang bukan dalam bentuk uang” adalah pemberian sebagai bantuan atau sokongan yang bersifat sukarela dalam bentuk barang atau kegiatan. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 30 Pasal 85 Cukup jelas.
Angka 31 Pasal 107 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 109 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 133A Cukup jelas. Angka 34 Pasal 135A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “terstruktur” adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Yang dimaksud dengan “masif” adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
141
Ayat (10) Cukup jelas. Angka 35 Pasal 144 Cukup jelas. Angka 36 Pasal 146 Cukup jelas. Angka 37 Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Peraturan Bersama” adalah peraturan yang dibuat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu Republik Indonesia paling sedikit memuat ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penanganan laporan atau keberatan, pola hubungan, dan tata kerja, dan penempatan personil. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 38 Pasal 153 Cukup jelas. Angka 39 Pasal 154 Cukup jelas. Angka 40 Pasal 156 Cukup jelas. Angka 41 Pasal 157 Cukup jelas.
142
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Angka 42 Pasal 158 Cukup jelas. Angka 43 Pasal 160A Cukup jelas. Angka 44 Pasal 162 Cukup jelas. Angka 45 Pasal 163 Ayat (1) Pelaksanaan serah terima jabatan Gubernur dilakukan di ibu kota Provinsi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 46 Pasal 164 Ayat (1) Pelaksanaan serah terima jabatan Bupati/Walikota dilakukan di ibu kota Kabupaten/Kota. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 47 Pasal 164A Cukup jelas. Pasal 164B Cukup jelas. Angka 48 Pasal 165 Cukup jelas. Angka 49 Pasal 166 Cukup jelas. Angka 50 Pasal 173 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berhenti” adalah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah. Ayat (2) Usulan yang disampaikan DPRD Provinsi kepada Presiden melalui Menteri merupakan calon Gubernur yang diumumkan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Usulan yang disampaikan DPRD Kabupaten/Kota kepada Menteri melalui Gubernur merupakan calon Bupati/Walikota yang diumumkan dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten/Kota. Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 51 Pasal 174 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) pasangan calon” adalah Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang masih memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada saat dilakukan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 52 Pasal 176 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang” adalah
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
143
calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota yang diusulkan gabungan Partai Politik berjumlah 2 (dua) orang calon. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 53 Pasal 177A Cukup jelas. Pasal 177B Cukup jelas. Angka 54 Pasal 178A Cukup jelas. Pasal 178B Cukup jelas. Pasal 178C Cukup jelas. Pasal 178D Cukup jelas. Pasal 178E Cukup jelas. Pasal 178F Cukup jelas. Pasal 178G Cukup jelas. Pasal 178H Cukup jelas. Angka 55 Pasal 180 Cukup jelas. Angka 56 Pasal 182A Cukup jelas. Pasal 182B Cukup jelas.
144
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
Angka 57 Pasal 185A Cukup jelas. Pasal 185B Cukup jelas. Angka 58 Pasal 186A Cukup jelas. Angka 59 Pasal 187A Cukup jelas. Pasal 187B Cukup jelas. Pasal 187C Cukup jelas. Pasal 187D Cukup jelas. Angka 60 Pasal 190A Cukup jelas. Angka 61 Pasal 193 Cukup jelas. Angka 62 Pasal 193A Cukup jelas. Pasal 193B Cukup jelas. Angka 63 Pasal 196 Dihapus. Angka 64 Pasal 198A Cukup jelas. Angka 65 Pasal 200A Cukup jelas. Angka 66 Pasal 201 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota masa jabatannya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun berikut dengan orang yang sama/berbeda. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Angka 67 Pasal 205B Cukup jelas. Pasal 205C Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5898
Jurnal Bawaslu
Provinsi DKI Jakarta
145
Ketua Bawaslu DKI Mimah Susanti melakukan pengawasan melekat dengan ikut terlibat dalam pemeriksaan berkas pencalonan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Kategori Politik
12 Oktober 2016