KATA PENGANTAR
Indonesia sebagai negara kepulauan yang dikelilingi oleh perairan memiliki beragam etnik dengan berbagai kearifan lokalnya yang khas. Beberapa kearifan yang dimiliki merupakan sebuah kesepakatan lokal yang berfungsi untuk menjaga kelestarian sumberdaya guna memenuhi kebutuhan hidup baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Oleh karenanya, penelitian ini
berupaya untuk mengkaji kearifan lokal serta menganalisis diamika kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat pesisir dan perairan umum daratan serta merumuskan opsi kebijakan terkait dengan pengembangan keraifan lokal guna mendukung kelestarian sumberdaya, peningkatan produksi dan pendapatan. Penelitian ini merupakan penelitian kerjasama antara Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Laporan Akhir Tahun Kajian Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Sumberdaya, Peningkatan Produksi dan Pendapatan merupakan bentuk pertanggungjawaban tim peneliti dalam memenuhi tugas penelitian. Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada para narasumber dan informan di lokasi penelitian serta berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
Jakarta, 6 Desember 2012
Tim Peneliti
i
RINGKASAN
Devolusi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan suatu upaya untuk memberikan kesempatan dan hak bagi masyarakat untuk turut serta dalam upaya pengelolaan sumber dayanya. Diskursus ini muncul sebagai respon dari berbagai masalah yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam secara sentralistik. Hal ini membawa konsekuensi bagi berbagai pihak khususnya lingkup Kementrian
Kelautan
dan
Perikanan
untuk
mengakui
dan
menjamin
keberlangsungan sistem-sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan lokal berbasis masyarakat.
Hasil identifikasi penelitian BBRSEKP tahun 2011
mengungkapkan bahwa masyarakat pesisir di beberapa daerah memiliki budaya yang menjunjung tinggi harmonisasi antara Tuhan, manusia dan alam. Harmonisasi ini diaktualisasikan dalam bentuk kearifan-kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alamnya termasuk sumberdaya laut dan sumberdaya perairan umum daratan. Oleh karenanya, upaya mengkaji kearifan lokal masyarakat pesisir dan masyarakat perairan umum daratan merupakan sebuah langkah awal dalam rangka revitalisasi sistem pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Lubuk Larangan, Reservat Danau Loa Kang, dan Lilifuk merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat di mana berusaha melindungi suatu kawasan yang merupakan lokasi pemijahan ikan ataupun biota lainnya selama kurun waktu tertentu. Kearifan lokal ini beberapa sudah dilindungi oleh Pernag, Perdes, maupun Peraturan Pemerintah tentang Konservasi sumberdaya ikan, zonasi kawasan konservasi sumberdaya merupakan suatu bentuk rekayasa teknis pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses ekologi yang langsung sebagai satu kesatuan ekosistem Kearifan lokal masyarakat Bangka Selatan tercermin dalam keunikan nilai-nilai lokal yang telah dipraktekkan secara turun temurun dari beberapa suku yang ada di Desa Tanjungsangkar (Suku Sawang, Bugis dan Melayu) seperti peralatan tradisional, pantangan-pantangan terhadap perairan laut, mitos-mitos dan kepercayaan. Hal ini didukung program pemerintah dalam pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) serta program perbaikan sumberdaya perikanan seperti rumah ikan.di Kalimantan Timur.
ii
Penelitian ini juga melihat kinerja kelembagaan kearifan lokal untuk melihat hasil dari pelaksanaan suatu kearifan lokal apakah dapat berfungsi secara efektif dalam mengelola sumberdaya dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi.
Lubuk
larangan merupakan kearifan lokal yang memiliki kinerja yang paling efektif sehingga memberikan manfaat yang besar baik manfaat ekologi, manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Kearifan lokal masyarakat pesisir Bangka Selatan belum terlembaga dengan baik. Lembaga yang ada adalah Pokmaswas yang diinisiasi oleh pemerintah dan kurang mengakar dalam masyarakat. Kinerja Lilifuk mengalami pasang
surut
seiring
dengan
perkembangan
kondisi
politik
dan
sosial
masyarakatnya sehingga tidak sebanding dengan manfaat yang diberikan. Sementara kinerja reservat Loa Kang memiliki manfaat ekologi yang paling rendah. Hasil penelitian menunjukkan kearifan lokal memang lebih berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan jaminan sosial. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Industrialisasi diharapkan dapat bersinergi dengan kearifan lokal yang sudah ada di masyarakat sehingga terwujud era industrialisasi kelautan dan perikanan yang humanis. Rekomendasi yang dihasilkan dalam mewujudkan sebuah era industrialisasi adalah penguatan kearifan lokal dalam aspek nilai, aspek hukum serta aspek pengetahuan dan teknologi.
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................ i Ringkasan .. ...................................................................................................................... ii Daftar Isi .......................................................................................................................... iv Daftar Tabel ..................................................................................................................... vi Daftar Gambar ................................................................................................................. vii I.
PENDAHULUAN ....................................................................................................
1
II.
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................
4
2.1. Pengertian Kearifan Lokal ................................................................................................ 2.2. Pengertian Masyarakat Pesisir dan Masyarakat Perairan Umum .................... 2.3. Model Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ..................................
4 6 8
III.
1.1. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1.2. Tujuan Penelitian .................................................................................................................
1 3
METODOLOGI ...................................................................................................... 10 3.1. Kerangka Pemikiran ........................................................................................................... 3.2. Model Pendekatan ................................................................................................................ 3.3. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................................................... 3.4. Jenis,Sumber dan Teknik Data.......................................................................................... 3.4.1. Jenis dan Sumber Data............................................................................................. 3.4.2. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................... 3.5. Metode Analisa Data ............................................................................................................. 3.6. Definisi Operasional ......................................................................... ....................................
10 14 14 15 15 17 17 18
IV.
SEBARAN KEARIFAN LOKAL ........................................................................... 19
V.
KEARIFAN LOKAL DI LOKASI PENELITIAN ................................................ 19 5.1. Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat............................................................ 5.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Lima Puluh Kota ............................................. 5.1.2. Kondisi Sumberdaya Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota ... ............. 5.1.3. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Kabupaten Lima Puluh Kota ... ............. 5.1.4. Sistem Pandangan Hidup di Kabupaten Lima Puluh Kota ........ ................ 5.1.5. Sejarah dan Bentuk Kearifan Lokal di Kabupaten Lima Puluh Kota 5.1.6. Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lubuk Larangan
22 22 23 27 29 30 34
5.2. Kabupaten Bangka Selatan ................................................................................... ............. 5.2.1. Kondisi Geografis Kabupaten Bangka Selatan ...................... ........................ 5.2.2. Kondisi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan ................................................................................... 5.2.3. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Kabupaten Bangka Selatan.......... ......... 5.2.4. Sistem Pandangan Hidup di Kabupaten Bangka Selatan ......................... 5.2.5. Sejarah dan bentuk Kearifan Lokal di Kabupaten Bangka.. ..................... 5.2.6 Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya ...................................
41 41
iv
43 45 47 48 53
VI.
5.3. Kabupaten Kutai Kartanegara .................................................................................. ........ 5.3.1. Kondisi Geografis Kabupaten Kutai Kartanegara...................... ................... 5.3.2. Kondisi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara ............................................................................. 5.3.3.Kondisi Sosial Kemasyarakatan Kabupaten Kutai Kartanegara.............. 5.3.4. Sistem Pandangan Hidup di Kabupaten Kutai Kartanegara .................... 5.3.5. Sejarah dan bentuk Kearifan Lokal di Kabupaten Kutai Kartanegara. 5.3.6 Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya ...................................
58 58
5.4. Kabupaten Kupang .................................................................................. .............................. 5.4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Kupang...................... ......................................... 5.4.2. Kondisi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang ................................................................................................... 5.4.3.Kondisi Sosial Kemasyarakatan Kabupaten Kupang. .................................. 5.4.4.Sistem Pandangan Hidup di Kabupaten Kupang ........................................... 5.4.5. Sejarah dan bentuk Kearifan Lokal di Kabupaten Kupang.. ..................... 5.4.6 Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya ...................................
78 78
59 65 66 67 72
79 83 85 85 90
IMPLEMENTASI DAN KINERJA KEARIFAN LOKAL ................................... 106 6.1 Kinerja Kearifan Lokal di Lokasi Penelitian................................................................. 108 6.1.1. Kinerja dan manfaat Kearifan Lokal Lubuk Larangan ........................... 108 6.1.2. Kinerja dan manfaat Kearifan Lokal Bangka Selatan ............................... 111 6.1.3. Kinerja dan manfaat Kearifan Lokal Lilifuk ................................................. 114 6.1.4. Kinerja dan manfaat Kearifan Lokal Reservat Loa Kang ........................ 115
VII. REKOMENDASI KEBIJAKAN.............................................................................. 118 VIII. KESIMPULAN ......................................................................................................... 129 VIII.
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. ........... 131
v
DAFTAR TABEL
No
Judul Tabel
Hal
1.
Lokasi Penelitian Kearifan Lokal dan Justifikasi ................................................
14
2.
Jenis dan Sumber Data .................................................................................................
15
3.
Kelompok Usaha Perikanan di Kabupaten Lima Puluh Kota Berdasarkan Jenis Usaha ..............................................................................................
4.
24
Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2008-2010 ...............................................................................................................
25
5.
Potensi Lahan dan Pemanfaatannya tahun 2008-2010 ..................................
26
6.
Jumlah Nelayan, Armada dan Produksi Ikan di Kabupaten Bangka Selatan .........................................................................................
7.
44
Kelompok Usaha, produksi dan nilai produksi hasil Perikanan di Kabupten Kutai Kartanegara berdasarkan Jenis Usaha, 2011, ..........................................
60
8.
Komposisi Jenis Ikan yang tertangkap di Sungai Pela dan Mahakan ... ….
63
9.
Produksi dan Nilai Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Kutai Kartanegara
…………………
64
10.
Keperrcayaan Penduduk Desa Pela
11.
Distribusi hak dalam mengakses, pemenfaatan dan pengelolaan Di Zona Penyanggah Danau Loa Kang 2012
…………………………………
66
……………………… ………
75
12.
Produksi Perikanan Laut Menurut Jenis Ikan di Kabupaten Kupang, 2010 ……
79
13.
Potensi Sumberdaya di Daerah Pasang Surut Desa Bolok ……………………
82
14.
Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Bolok ………………………………………………
84
15.
Kepercayaan Penduduk Desa Bolok……………………………………………………….
85
16.
Jenis Ikan pada daerah konservasi Lilifuk
87
17.
Distribusi hak dalam pengelolaan Lilifuk ………………………………………
101
18.
Sanksi atas Pelanggaran di Wilayah Lilifuk…………………………………………….
104
……………………………………….
vi
DAFTAR GAMBAR
No
Judul Gambar
1.
Skema Kerangka Pemikiran Penelitian Kearifan Lokal dalam
Hal
Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi dan Pendapatan, Tahun 2012 .....................................................................................
13
2.
Peta Identifikasi Kearifan Lokal Kelautan Perikanan Nusantara ...............
21
3.
Peta Wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota ...........................................................
23
4.
Zonasi Lubuk Larangan Manggilang Jaya Sakato di Nagari Manggilang .....................................................................................................
5.
6.
7.
35
Zonasi Lubuk Larangan Anak Nagari Di Nagari Pandam Gadang .........................................................................................
36
a.Lubuk Larangan digunakan sebagai MCK .........................................................
39
b. Lubuk Larangan digunakan sebagai sarana transportasi .........................
39
Peta Wilayah Desa Tanjung Sangkar dan Desa Kumbung, Kecamatan Lepar Pongok Kabupaten Bangsa Selatan Provinsi Bangka Belitung ............................................................................................
42
8.
Struktur Badan pengelola DPL Desa Tanjung Sangkar ....................................
52
9.
Peta Lokasi Kutai Kartanegara ..................................................................................
58
10.
Kegiatan Usaha Budidaya Ikan keramba jaring Apung di Desa Pela Lama
64
11.
Penampang Tegak Alur Loa Kang-Balikpapan ...................................................
69
12.
Peta Wilayah Desa Bolok dan Desa Kuanheun ...................................................
78
13.
Kinerja Kelembagaan Kearifan Lokal di Lokasi Penelitian ...........................
106
14.
Manfaat Kearifan Lokal pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya
15.
Pada setiap lokasi penelitian .....................................................................................
107
Hubungan antara kinerja kearifan lokal dan manfaat di setiap lokasi ......
108
vii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis, tidak hanya dari perspektif
sumber daya alam namun juga perspektif sosial ekonomi dan budayanya. Permasalahan sosial ekonomi banyak ditemui di wilayah pesisir, dampak dari permasalahan tersebut banyak wilayah pesisir mengalami peningkatan eksploitasi dan kompetisi dalam mengekstraksi sumber daya yang disebabkan oleh urbanisasi dan pertumbuhan populasi, sehingga terjadi peningkatan degradasi lingkungan (Le Tissier et. al., 2011). Pengelolaan sumber daya alam yang arif dan berkelanjutan diperlukan untuk mengantisipasi peningkatan degradasi lingkungan tersebut. Mitchell, et al., (2000) menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam merupakan upaya-upaya pelestarian dan perlindungan keanekaragaman biologi pada tingkat genetik, spesies dan ekosistem, serta menjamin kekayaan alam, binatang dan tumbuhan di seluruh Kepulauan Indonesia. Sumber daya alam yang lestari dapat menjamin keberlanjutan produksi dan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fauzi (2004) bahwa pengelolaan sumber daya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumber daya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Sementara, Suyasa (2002) menyatakan bahwa dibutuhkan pengelolaan yang bijak agar tidak menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment), dan tenaga kerja berlebihan (over employment). Permasalahan keberlangsungan sumber daya alam menjadi sangat penting dan krusial bagi masyarakat yang langsung mengekstraksi dan mengambil manfaat. Hal ini dikarenakan keberadaan sumber daya alam dan keberlangsungannya
akan
mempengaruhi kondisi stock yang bersignifikansi terhadap jumlah produksi dan pendapatan. Mengutip pendapat Emmerson dalam Rethinking Arthifisial Fisheries Development:Western Concepts, Asian Experiences (1980) perlu konsep pemanfaatan seumberdaya perikanan yang menjaga keseimbangan antara produksi (to exploit the resource), konservasi (to protect it) dan distribusi (to share it) (Sulaiman, 2010), Sesuai
1
dengan amanat UUD 1945 Pasal 33, pemerintah diposisikan sebagai regulator dalam pengelolaan sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak. Undang-Undang (UU) No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan keleluasaaan pada pemerintah daerah untuk memanfaatkan dan mengembangkan berbagai potensi daerah termasuk potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Pasal 14 dalam Undang-Undang (UU) No. 32 tahun 2004 menyatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah meliputi kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharan, pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian, bagi
hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, serta
penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Perubahan dari sentralistik menjadi desentralistik memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya termasuk perikanan. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menurut UU No. 23 tahun 1997 jo. UU No.32 tahun 2009 adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Hal ini mendukung upaya masyarakat lokal menjaga kelestarian sumber daya melalui kearifan lokal masing-masing daerah. Salah satu azas dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 di atas adalah kearifan lokal (Pasal 2). Kearifan lokal adalah nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Sementara menurut Laksmiwati (2001) kearifan lokal merupakan kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya budaya secara berkelanjutan. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat lokal atau masyarakat adat merupakan modal sosial masyarakat dalam bentuk suatu kebijakan tradisional ataupun kearifan lokal suatu komunitas tertentu. Aplikasi dari kearifan lokal ini akan memberi pedoman bagi masyarakat lokal dalam menjaga dan melestarikan lingkungan ekologinya serta memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, diperlukan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya pesisir dan lautan agar menghasilkan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat 2
tanpa mengorbankan kelestarian sumber daya alam itu sendiri. Ironisnya, banyak kearifan lokal terkikis oleh model-model pemanfaatan sumber daya kapitalistik yang lebih
menekankan
pada
peningkatan
produksi
tanpa
mempertimbangkan
keseimbangan lingkungan dan kelestarian sumber daya. Kesadaran akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berakar pada kearifan lokal sangat diperlukan tidak saja untuk kepentingan bangsa Indonesia melainkan juga untuk kepentingan masyarakat dunia secara keseluruhan dan generasi yang akan datang. Karena itu, identifikasi kearifan lokal di Indonesia dianggap penting untuk mengetahui sejauh mana kearifan lokal dapat memberikan dampak terhadap kelestarian sumber daya, keberlanjutan produksi perikanan, dan keberlanjutan pendapatan masyarakat kelautan dan perikanan, serta bagaimana keterkaitan dinamika kearifan lokal tersebut dengan kelestarian sumber daya, keberlanjutan produksi, dan keberlanjutan pendapatan.
1.2.
Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan kelanjutan penelitian dari tahun 2011, bertujuan :
1. Mengkaji kearifan lokal yang tepat dalam memaknai sumber daya alam dan aktivitas ekonomi baik dalam agroekologi laut dan perairan umum daratan sehingga dapat memberikan kontribusi untuk mendukung kelestarian sumber daya, peningkatan produksi, dan kesejahteraan masyarakat. 2. Menganalisis kinerja kelembagaan kearifan lokal masyarakat pesisir dan perairan umum daratan yang mendukung kelestarian sumberdaya, peningkatan produksi dan kesejahteraan masyarakat. 3. Merumuskan rekomendasi kebijakan berdasarkan kearifan lokal yang mendukung kelestarian sumber daya, peningkatan produksi, dan kesejahteraan masyarakat
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Pengertian Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan sebuah tema yang telah banyak dikaji, namun belum ada kesepahaman mengenai pengertiannya. Kearifan lokal sering diartikan sebagai pengetahuan lokal, namun beberapa ahli diantaranya mendefinisikan kearifan lokal tidak hanya sebatas pengetahuan.
Menurut Laksmiwati (2001) kearifan lokal
merupakan kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilainilai, etika, cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya budaya secara berkelanjutan. Konsep kearifan lokal menurut Mitchell, et al. (2000) berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama (Babcock, 1999 sebagaimana dikutip oleh Arafah, 2002). Sedangkan menurut Zakaria (1994) sebagaimana dikutip oleh Arafah (2002), pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubunganhubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya. Ridwan (2007) mengemukakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana wisdom/kearifan dipahami sebagai kemampuan seseorang dengan menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi.
Sebagai
sebuah
istilah
wisdom
kemudian
diartikan
sebagai
kearifan/kebijaksanaan.
4
Ruddle (2000) sebagaimana dikutip oleh Satria (2009), melakukan identifikasi karakteristik kearifan lokal pada masyarakat. Berdasarkan hasil identifikasinya ini menunjukan bahwa karakteristik kearifan lokal terdiri dari: 1. Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal, yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan mampu mencakup sejumlah variasi lokal, serta bersifat rinci. 2. Berorientasi pada hal-hal praktis dan menyangkut prilaku, serta fokus pada tipe-tipe sumber daya dan spesies. 3. Terstruktur sehingga kompatibel dengan konsep biologi dan ekologi barat, khususnya terkait dengan kesadaran akan keterkaitan ekologis dan pentingnya konservasi SDP. 4. Bersifat dinamis. Sementara Berkes (1999) sebagaimana dikutip oleh Satria (2009), berdasarkan hasil identifikasinya terhadap karakteristik dari kearifan lokal masyarakat menunjukan bahwa: 1. Kearifan lokal masyarakat melekat pada budaya lokal yang ada pada masyarakat bersangkutan. 2. Memiliki ruang dan waktu dalam proses perkembangannya. 3. Kurang memisahkan antara alam dan budaya, serta antara subyek dengan obyek. Atau dengan kata lain bahwa kearifan lokal memandang bahwa alam dan budaya maupun subyek dan obyek merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan timbal balik. 4. Terdapat suatu komitmen yang memandang bahwa lingkungan lokal bersifat unik dan merupakan tempat yang tidak dapat berpindah-pindah. 5. Di dalam memahami alam, tidak digunakan pendekatan instrumental. Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah: 1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam. 2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia. 3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5
Karakteristik sistem pengetahuan lokal menurut Mitchell dkk (dalam Soesilo, 2009) sebagai berikut: 1. Terdapat pada keturunan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat 2. Terdapat pada sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya, dan agaram yang berbeda dengan kelompok yang dominan 3. Selalu diasosiasikan dengan beberapat tipe kondisi ekonomi masyarakat 4. Terdapat pada keturunan masyarakat pemburu, nomadic dan lading berpindah 5. Terdapat pada masyarakat dengan hubungan sosial
yang selalu
menekankan pada kelompok, pengambilan keputusan, melalui kesepakatan dan pengelolaan sumber daya alam secara komunal. Temuan
dari
penelitian-penelitian
antropologis
mengenai
pengelolaan
sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal di Negara-negara Asia dan Amerika Latin membuktikan bahwa masyrakat asli (indigenous people) memiliki kapasitas budaya, sistem pengetahuan dan teknologi, religi, tradisi, serta modal sosial (social capital) seperti etika dan kearifan lingkungan, norma-norma dan institusi hukum untuk mengelola sumberdaya alam secara bijaksana dan berkelanjutan (Nurjaya, 2009). Berdasarkan pengertian-pengertian kearifan lokal di atas maka penelitian ini mendefinisikan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan adalah seperangkat nilai, tata aturan dan pengetahuan yang menjadi pedoman masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkeadilan dan berkelanjutan.
2.2. Pengertian Masyarakat Pesisir dan Masyarakat Perairan Umum Daratan
Menurut Nasdian dan Dharmawan (2007) sebagaimana dikutip oleh Tishaeni
(2010), pemahaman lebih luas mengenai komunitas ialah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest) baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai masyarakat setempat. Istilah komunitas dalam batas-batas tertentu dapat merujuk pada warga sebuah desa, kota, suku, atau bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan
6
bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut komunitas. Komunitas adat menurut Siregar (2002) adalah komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur, di atas wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Komunitas adat juga merupakan kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik sosial ekonomi maupun politik. Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya perikanan (Nikijuluw, 2002). Kementrian Kelautan dan Perikanan (2002) menyebutkan masyarakat pesisir meliputi nelayan yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, pembudidaya ikan di laut, petambak, wanita nelayan dan pengolah ikan dan lembaga pemasar hasil perikanan. Sedangkan masyarakat perairan umum daratan adalah sekelompok orang yang tinggal di daerah sekitar perairan umum mencakup danau, sungai, waduk dan rawa yang tergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya perairan umum. Masyarakat pesisir merupakan sekumpulan masyarakat yang mendiami wilayah pesisir secara bersama sama, menbentuk dan memiliki kebudayaan yang khas terkait denga tergantungan pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria 2009). Masyarakat pesisir menurut Satria (2002) karakteristik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa pantai dan desa terisolir dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: 1. Sistem Pengetahuan Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya didapat dariwarisan orang tuanya atau pendahuku mereka berdasarkan pengalaman empiris. Kuatnya pengetahuan lokal tersebutlahyang selanjutnya menjadi salah satu factor penyebab terjadinya kelangsungan hidup mereka selaku nelayan.
Pengetahuan lokal
(Indegenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan meraka yang hingga kini terus dipertahankan. 2. Sistem Kepercayaan Secarateologis, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga perlu perlakuan perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil makanan semakin terjamin. Sistem kepercayaan tersebut hingga kini masih mencirikan 7
kebudayaan nelayan.
Meski demikian, seiring perkembangan teologis akibat
meninhkatnya tingkat pendidikan atau intensitas pendalaman terhadap nilai nilai agama, kegiatan kegiatan itu bagi sebagai kelompok nelayan hanyalah sebuah rutinitas. 3. Peranan wanita Aktivitasekonomi wanita merupakan gejala yang sudah umum bagi kalangan masyarakat stratabawah, tidak terkecuali wanita yang berstatus sebagai istri nelayan. Umumnya, selain banyak bergelut dalam urusan rumah tangga mereka juga menjalankan fungsi fungsi ekonomi dalam kegiatan penangkapan ikan diperairan dangkal,n pengolahan ikan, maupun kegiatan perdagangan. Peranan wanita ini merupakan factor penting dalam menstabilkan ekonomi di beberapa masyarakat. 4. Struktur Sosial dan Posisi Nelayan Posisi nelayan secara kulturan maupun strukturan dikebanyakan masyarakat, memiliki status yang relatuif rendah. Rendahnya posisi nelayan adalah akibat keterasinagan nelayan. Hal ini karena kebanyakan alokasi waktu nelayan untuk kegiatan penangkapan ikan dari pada untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relative yangdari pantai.
2.3. Model Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumber daya buatan (Soerjani dkk,1987). Menurut Guideline No.4 CCRF dalam Mallawa,pengelolaan perikanan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya (dengan enforcement bila diperlukan), dalam upaya menjamin kelangsunan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan. Dakam pengelolaan sumber daya perlu diperhatikan beberpa batasan yaitu besaran daerah pengelolaan, siapa yang mengelola dan bagaimana cara pengelolaannya. Pengelolaan Sumberdaya yang baik adalah yang berkelanjutan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini dan yang akan datang dan menyentuh aspek ekologi, sosial-ekonomi,
masyarakat
dan
institusi.
Bmbangunan
berkelanjutan
yaitu
berkelanjutan ekologi, sosial dan ekonomi. Bengen (2005) menyatakan pengelolaan berkelanjutan apabila mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu
8
a. Berkelanjutan secara ekologi,
bahwa
kegiatan pengelolaan harus dapat
mempertahankan integritas ekosistim, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keanekaraaman hayati (biodeversity), sehingga pemanfaatan dapat berkesinambungan b. Berkelanjutan sosial bahwa kegiatan pengelolaan dapat menciptakan pemerataam hasil, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembanan kelembagaan. c. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa pengelolaan dapat menmciptakan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan investasi secara efisien Tiga Model Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Perikanan( Nikijuluw, 2002), yaitu : 1. Government Centralized Management (GCM); dimana pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya Kelautan dan Perikanan, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan dan mengatur, hak eksklusig dan hak mengalihkan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan 2. Community Based management (CBM); suatu proses pemberian wewenang, tanggungjawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola Sumberdaya kelautan dan perikanan sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya 3. Co-Management; memadukan anatara peran dan fungsi serta kewenangan dan kekuasaan (power and authority). Model ini diasumsikan oleh lembaga adat atau pemerintah desa dengan pihak pemerintah daerah. Model ini merupakan pola kebijakan yang tepat bagi pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries
development).
Model
ini
merupakan
bentuk
pembagian
atau
pendistribusian tangung jawab dan wewnang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
BAB III. METODOLOGI
9
3.1 Kerangka Pemikiran Devolusi pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan telah menjadi diskursus global, yaitu suatu upaya untuk memberikan kesempatan dan hak bagi masyarakat untuk turut serta dalam upaya pengelolaan sumber dayanya. Diskursus ini muncul sebagai respon dari berbagai masalah yang muncul dalam pengelolaan sumber daya alam secara sentralistik. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebenarnya telah mengakomodir dan mengintegrasikan semangat devolusi ini ke dalam tata peraturan perundangan. Hal ini nampak tertuang dalam UU No 27 Tahun 2007 atau UU PWP3K (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) dan juga UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat nelayan untuk ikut terlibat dalam proses pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan. Hal terpenting lainnya adalah telah adanya itikad baik dari pemerintah cq KKP untuk mengakui dan menjamin keberlangsungan sistem-sistem pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan lokal yang dikenal dengan kearifan lokal. Menurut Zakaria (1994) sebagaimana dikutip oleh Arafah (2002), pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya. Menurut hasil penelitian terdahulu, masyarakat pesisir memiliki kebudayan tersendiri dalam mengelola sumberdaya. Sistem religi, sistem pengetahuan dan teknologi, sistem mata pencaharian, dan organisasi sosial dan kemasyarakatan merupakan unsur-unsur budaya yang saling terkait sehingga memunculkan karakteristik yang khas pada suatu masyarakat dalam mengelola sumberdaya laut dan pesisir. Sebagian dari budaya tersebut teridentifikasi mengandung kearifan-kearifan yang berperan besar dalam keberlangsungan dan distribusi manfaat dari sumberdaya. Budaya seperti ini dikenal dengan kearifan lokal. Keberlangsungan sumber daya sangat erat kaitannya dengan sistem jaminan sosial bagi masyarakat. Hal ini karena dengan terjaminnya sumber daya, maka secara otomatis akan memberikan jaminan akan jumlah stock sumber daya ikan yang ada
10
untuk diproduksi serta pada gilirannya akan memberikan jaminan pendapatan bagi anggota masyarakatnya. Jika sumber daya perikanan dan kelautan dipandang dalam konteks sistem jaminan sosial, maka dapat dimaklumi dan dipahami upaya-upaya masyarakat nelayan dalam pengawasan dan pengelolaan sumber daya tersebut karena munculnya rasa memiliki yang tinggi atas sumber daya (Benda-Beckman,2001). Kearifan lokal sendiri muncul sebagai bentuk adaptasi dan evolusi kebudayaan masyarakat akibat hubungan simetris dan sinergis antara sistem sosial dan sistem ekologis. Sementara sistem sosial itu sendiri terdiri atas dua komponen utama yang saling terkait, yaitu struktur sosial dan sistem nilai. Struktur sosial dalam penelitian ini lebih difokuskan terhadap komponen-komponennya yang terkait dengan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian, komponen struktur sosial dalam penelitian ini akan melihat kelas sosial, organisasi sosial dan pola kepemimpinan yang terjadi di masyarakat. Hal ini penting untuk dilihat guna mengetahui nature dari pengorganisasian sosial yang terjadi di masyarakat terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber dayanya. Dengan mengetahui komponen struktur sosial tersebut juga akan tampak bagaimana pola distribusi hak dan tanggung jawab serta manfaat yang terjadi di dalam masyarakat. Pendekatan Weberian akan digunakan dalam menganalisis dan memahami sistem sosial, utamanya struktur sosial, yang ada di masyarakat. Sistem nilai yang bekerja di tataran masyarakat nelayan juga perlu untuk dikaji dan tidak terpisah dengan struktur sosial. Sistem nilai berfungsi sebagai arahan atau koridor dalam melakukan tindakan bagi anggota masyarakat dan masyarakat secara keseluruhan. Sistem nilai tersebut dapat dipahami dengan terlebih dahulu mengetahui pemaknaan masyarakat atas sumber daya perikanan di lokasi penelitian. Pemaknaan ini meliputi makna ekonomis, makna sosiologis, makna psikologis, makna budaya, serta makna teologis. Pendekatan ekologi-budaya, jika dimungkinkan, akan digunakan dalam mempelajari sistem nilai yang berlaku. Sistem sosial tersebut pada gilirannya akan memberikan warna dan ciri khas yang mungkin berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, terkait dengan karakteristik sumber dayanya. Dengan demikian, penting untuk mempelajari berbagai bentuk mekanisme pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan sebagai refleksi dari kearifan lokal di lokasi penelitian. Mekanisme pengelolaan sumber daya ini dipahami dengan melihat bagaimana distribusi hak dan tanggung jawab setiap anggota masyarakat dalam pengelolaan sumber daya. Penelitian ini akan mempelajari distribusi access right ‘hak akses’, withdrawal right ‘hak pemanfaatan’, management right ‘hak 11
pengelolaan’, exclusion right ‘hak mengeksklusi’, serta alienation right ‘hak pemindahtanganan’. Pemahaman distribusi hak dan tanggung jawab tersebut akan mengantarkan pada pemahaman atas kedudukan atau posisi setiap anggota masyarakat dalam pengelolaan sumber daya. Hal ini terkait erat dengan struktur sosial dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Kerangka teori sistem hak kepemilikan sumber daya (resource property right system) akan digunakan untuk mempelajari dan memahami bagaimana mekanisme pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan. Selanjutnya, penting untuk mempelajari bagaimana peran kearifan lokal dalam mempengaruhi dinamika yang terjadi pada masyarakat dan sumber dayanya. Hal ini dapat dipahami dengan memperhatikan dinamika yang terjadi pada kearifan lokal itu sendiri, pada dinamika sumber daya, produksi dan pendapatan masyarakat nelayan. Dengan demikian, diharapkan akan terlihat seberapa jauh peran kearifan lokal dalam mempengaruhi dinamika sumber daya dan masyarakat. Penelitian ini pada akhirnya akan memetakan dimensi normatif, regulatif dan kognitif dari setiap kearifan lokal yang menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan rekomendasi kebijakan. Utamanya memberikan masukan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan. Skema kerangka pemikiran secara ringkas dapat dilihat pada skema berikut ini
12
Struktur Sosial: - Pelapisan Sosial - Organisasi Sosial (Pengelolaan Sumber daya) - Pola Kepemimpinan & Sistem kekerabatan - Gender (relasi-relasi yang dibentuk budaya)
Sistem Nilai Sosial Budaya & Makna: - Ekonomis - Interaksi antarmanusia - Psikologis - Budaya - Religius - Normatif
KEARIFAN LOKAL: Normatif, Regulatif, Kognitif
IMPLEMENTASI KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT Pengelolaan Sumber Daya - Batasan wilayah - Aturan - Hak - Pemegang Otoritas - Sanksi - Pemantauan dan Evaluasi
SUMBER DAYA
Pengetahuan & Teknologi - Penangkapan - Pengolahan - Penyimpanan - Distribusi
PRODUKSI
PENDAPATAN
REKOMENDASI KEBIJAKAN
KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi dan Pendapatan, Tahun 2012
13
3.2 Model Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sementara strategi penelitian yang dipilih adalah studi kasus. Sitorus (1998), menyebutkan bahwa penelitian studi kasus merupakan pendekatan kualitatif yang memungkinkan dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubjektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti. 3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian merupakan daerah yang memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Lokasi tersebut diantaranya Kabupaten Lima Puluh Kota (Sumatera Barat), Kabupaten Bangka Selatan (Bangka Belitung), Kabupaten Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) dan Kabupaten Lembata (Nusa Tenggara Timur). lokasi kegiatan tersebut ditentukan berdasarkan kriteria: (1) kearifan lokal di kawasan tersebut belum dikaji; (2) kawasan yang berekologi khas (Selat, Tanjung, Muara, Lebak Lebung, Laut,); (3) kawasan yang sudah dikaji dan perlu dimutakhirkan dalam konteks nilai sosial budaya, dan politik dan pengelolaan kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil; (4) kawasan yang menerapkan kearifan lokal yang spesifik yang berbeda dengan penerapan di kawasan lainnya; dan (5) kawasan tersebut memberikan kontribusi bagi kelestarian sumber daya, keberlanjutan produksi dan pendapatan berbasis kearifan lokal. Lokasi Jawa Barat merupakan lokasi untuk kegiatan studi literatur, sosialisasi, koordinasi serta evaluasi. Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sejak Januari 20112 hingga Desember 2012. Tabel 1. Lokasi Penelitian Kearifan Lokal dan Justifikasi No 1 2 3 4 5
Lokasi Kab. Lima Puluh Kota, Sumatera Barat Kab. Bangka Selatan Bangka Belitung Kab. Kukar, Kalimantan Timur Kab. Kupang Nusa Tenggara Timur Jawa Barat
Kearifan lokal Lubuk Larangan Konservasi, Upacara Buang Jong Pesta Erau dan pengaturan areal penangkapan ikan, lokasi dan alat, serta larangan dengan ketentuan pidana, hingga terbentuk Suaka Reservat di perairan umum Lilifuk Studi Literatur, Konsinyasi, Konsultasi dan koordinasi
14
3.4 Jenis , Sumber dan Teknik Data 3.4.1
Jenis dan Sumber data
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Tujuan 1. Mengidentifikasi kearifan lokal masyarakat setempat dalam memaknai SDA dan aktivitas ekonomi baik dalam agroekologi laut dan perairan umum daratan.
Jenis Data Primer, Sekunder a. Struktur Sosial : Pelapisan Sosial, Organisasi Sosial, dan pola kepemimpinan, Gender b. Sistem Nilai Sosial Budaya & Makna: ekonomis, interaksi antarmanusia, psikologis, budaya, religius, normatif c. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber daya, Pengetahuan dan Teknologi Perikanan dan Kelautan
Teknik Pengumpulan Data Wawancara mendalam, Desk Study, Mail survey
Informan
Analisis Data
Luaran
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Se Indonesia dan KP3K - Tokoh masyarakat - Pimpinan organisasi - Informan kunci - Aktivis, relawan, kader - Lembaga keuangan (bank, investor) - Tokoh adat - Tokoh agama - Budayawan - Tokoh nelayan/ pembudidaya
Etnografi Deskriptif Arc View Pendekatan sistem struktur sosial
Peta Identifikasi Kearifan Lokal Kelautan Perikanan Nusantara
Pendekatan Sistem Nilai Sosial Budaya
sistem nilai yang berlaku di masyarakat serta dimensi normatif dan kognitif.
- Nelayan - Pedagang - Pemodal (juragan darat) - Pengolah - Juragan
Pendekatan Sistem Hak Kepemilikan Sumber Daya
tata aturan dalam pengelolaan sumber daya serta dimensi kognitif dan regulatif.
struktur sosial terkait distribusi hak, tanggung jawab serta manfaat pengelolaan sumber daya serta dimensi normatif dan kognitif.
15
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data (lanjutan) Tujuan
Jenis Data
2.
Menganalisis dinamika kehidupan masyarakat yang terkait dengan aspek sosial, ekonomi, politik, lingkungan dan keterkaitannya dengan kearifan lokal.
Primer, Sekunder a. Kondisi Sosial b. Lingkungan/Sumber Daya Alam c. Ekonomi/Produksi dan pendapatan d. Politik
3.
Rumusan rekomendasi kebijakan kaitannya dengan penggunaan kearifan lokal dalam kerangka kelestarian sumber daya, keberlanjutan produksi, dan kesejahteraan masyarakat.
Primer, Sekunder
Teknik Pengumpulan Data Wawancara mendalam
Desk study, brainstorming, konsultasi ahli, semiloka.
Informan -
Tokoh social Polisi laut Pokmaswas Nelayan Pimpinan masyarakat Koperasi
Analisis Data
Luaran
Kategorisasi, dinamika, deskriptif
Dinamika kearifan lokal terkait perubahan masyarakat, sumber daya dan produksi
Deskriptif Pendekatan Pilar Institusi - kognitif - normatif - regulatif
Rekomendasi kebijakan pengelolaan sumberdaya
16
3.4.2
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan secara holistik pada masyarakat di suatu wilayah tertentu yang memiliki kearifan lokal dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan. Teknik pengambilan informan dilakukan secara purposif terhadap beberapa kelompok masyarakat yang dipandang memahami secara jelas permasalahan kearifan lokal yang ada di lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui dua teknik, yaitu teknik wawancara mendalam dan observasi. Wawancara dilakukan terhadap informan dengan menggunakan pedoman wawancara dan dibantu dengan alat-alat rekam. Wawancara dilakukan dengan tokoh masyarakat seperti Wali Nagari dan Ninik Mamak (Sumatera Barat) serta pengurus Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas). Kepala Desa, Ketua Organisasi Pemuda dan lainlain. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran secara etnografi baik dari informan maupun masyarakat yang berada di lokasi penelitian. Data sekunder berupa sumber informasi tertulis dan tidak tertulis yang diperoleh dari laporan hasil penelitian sebelumnya dan dari instansi terkait. Analisis dokumen diperoleh melalui otobiografi, tulisan dalam jurnal, buletin, blog, sehingga dapat melengkapi data-data yang diperoleh sebelumnya. Data identifikasi kearifan lokal kelautan perikanan kami dapatkan melalui mail survey yang kami kirimkan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi seluruh Indonesia dan dilengkapi dengan data dari Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil(KP3K) Kementrian Kelautan dan Perikanan. 3.5 Metode Analisa Data Analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode triangulasi, yang memadukan pengamatan, wawancara dan analisis dokumen sehingga dapat menggambarkan kearifan lokal masyarakat kelautan dan perikanan dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya dan mekanismenya (Sitorus,1998). Analisis data juga dilakukan bertujuan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. Analisis hubungan antara fakta sosial dinyatakan menggunakan pendekatan deskriptif dan kualitatif. Pendekatan yang digunakan bersumber dari konsep Berkes (2002) dan Scott (2008) mengenai tiga pilar yang mendukung sebuah institusi –dalam hal ini adalah kearifan lokal- yaitu dimensi
17
normatif, dimensi regulatif dan dimensi kognitif. Perumusan rekomendasi kebijakan dilakukan berdasarkan kondisi ketiga pilar tersebut. 3.6 Definisi Operasional Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat melalui pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan manusia, sumber daya alam dan benda-benda yang ada di sekitarnya di suatu wilayah tertentu dari generasi ke generasi. Kearifan lokal adalah seperangkat nilai, tata aturan dan pengetahuan yang menjadi pedoman masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkeadilan dan berkelanjutan. Sistem nilai merupakan pedoman serta prinsip – prinsip umum manusia dalam berperilaku. Nilai tersebut berasal dari cara pandang, persepsi masyarakat terhadap perilaku. Unsur tata pengelolaan dalam kajian perikanan mencakup batas wilayah, aturan, hak, pemegang otoritas, sanksi, serta pemantauan dan evaluasi (Ruddle, 1999). - Batas Wilayah: kejelasan batas wilayah yang mengandung sumber daya yang bernilai bagi masyarakat dan diatur oleh lembaga terkait. - Aturan: hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap. - Hak: kewenangan dan tanggung jawab yang menjadi acuan dalam menata relasi antara aktor dengan institusi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya (Ostrom and Schlager, 1997). - Pemegang otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. - Sanksi: berfungsi untuk menegakkan aturan sehingga menjadi indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Tipe sanksi yaitu sanksi sosial, sanksi ekonomi, sanksi formal, dan sanksi fisik. - Pemantauan dan evaluasi: fungsi yang dijalankan masyarakat secara sukarela dan bergilir dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan.
BAB IV. SEBARAN KEARIFAN LOKAL NUSANTARA 18
Budaya suatu masyarakat sangatlah ditentukan oleh kondisi lingkungan yang menjadi latar belakang kehidupan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, budaya yang terbangun dalam sebuah masyarakat akan berbeda dari suatu daerah ke daerah lain walaupun secara umum mereka mempunyai latar belakang yang sama. Indonesia yang secara umum merupakan negeri bahari dengan banyak pulau mempunyai budaya bahari yang sangat beragam karena kondisi dan potensi kelautan Indonesia berbeda antar lokasi pulau-pulau tersebut. Budaya-budaya
tersebut
sebagian
besar
berfungsi
untuk
memelihar
keberlangsungan sumberdaya dengan mempertimbangkan keharmonisan antara unsur makrokosmos dan unsur mikrorosmos dalam kehidupan ini.
Sunaryanto (2010)
mengatakan bahwa masyarakat pesisir memiliki kebiasaan hidup yang cenderung masih menghargai nilai-nilai kebudayaan lokal yang secara nyata telah menjaga eksistensi mereka dari generasi ke generasi. Nilai-nilai lokal yang diyakini luhur dan masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat atau yang disebut kearifan lokal (local wisdom). Lubuk Larangan di Sumatera Barat, peraturan adat Awig-Awig di Nusa Tenggara Barat, tradisi Seke daan Mane’e di Sulawesi Utara, Lebak Lebuk di Sumatera Selatan, Badu di Nusa Tengara Timur dan lain sebagainya merupakan contoh pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Lebih lanjut, Sunaryanto(2010)mengatakan bahwa masyarakat merasakan manfaat dan makna dari kearifan lokal tersebut sehingga kemudian melembagakannya ke dalam pranata keluarga dan pranata sosial lainnya dalam bentuk aturan-aturan. Pelanggaran terhadap aturan tentang kearifan lokal tersebut identik dengan dijatuhkannya sanksi. Untuk melembagakan kearifan lokal tersebut dilaksanakan kegiatan
kolektif
untuk
mengingatkan memori
kolektif
tentang pentingnya
melaksanakan hal tersebut. Kegiatan yang dilakukan untuk mengaktifkan memori kolektif tersebut adalah upacara. Upacara dilakukan secara intensif, berulang-ulang dengan lokasi, waktu, prosesi yang teratur dan berpola sehingga kearifan lokal yang bersifat abstrak itu nyata adanya (Geertz, 1973). Mengingat kearifan lokal yang ada tersebut mempunyai andil yang besar sebagai bentuk partisipasi masyarakat pesisir dalam pengelolaan wilayah laut pesisir dan pulau - pulau kecil, identifikasi dapat memberikan gambaran bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada pada masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan (Lampiran 1).
19
20
Gambar 2. Peta Identifikasi Kearifan Lokal Kelautan Perikanan Nusantara
21
BAB V. KEARIFAN LOKAL DI LOKASI PENELITIAN
5.1.
Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat
5.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Lima Puluh Kota Kabupaten Lima puluh Kota merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat. Kabupaten ini terletak diantara 0⁰25’28,71″LU–0⁰22’14,52″LS serta 100⁰15’44,10″BT–100⁰50’47,80″BT. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Kampar Propinsi Riau, sebelah selatan berbatasan denga Kabupaten Tanah Data dan Kabupaten Sinjujung. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman sedangkan di sebelah Timur dengan Kabupaten Kampar Propinsi Riau. Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan dataran tinggi yang dialiri 13 sungai besar sepanjang 1.326 km. Sungai tersebut mengaliri 13 kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota yang dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat sekitar untuk berbagai keperluan. Sistem pemanfaatan dan pengelolaan sungai yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya dan di Sumatera Barat pada umumnya dikenal dengan Lubuk Larangan dan ikan larangan. Keberadaan Lubuk Larangan dan ikan larangan ini selain berdampak terhadap keseimbangan ekosistem juga berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar sungai. Beberapa sungai yang telah dikelola oleh masyarakat sebagai lubuk larangan adalah Batang Sinamar di Nagari Pandam Gadang, Batang Manggilang dan Batang Talagiri di Nagari Manggilang serta Batang Kapur di Nagari Sialang. Ketiga nagari ini merupakan wilayah pedesaan yang memiliki topografi dataran tinggi berupa perbukitan. Kenagarian Pandam Gadang merupakan salah satu kenagarian yang berada di Kecamatan Gunung Omeh Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis Nagari Pandam Gadang terletak pada 00⁰04’51,2″ LS dan 100⁰24’30,9″ BT, dengan ketinggia 750 meter di atas permukaan laut dan suhu rata-rata 24 ⁰C. Luas wilayah Nagari Pandam Gadang adalah 6400 ha dengan batas geografis di Sebelah Utara adalah Kanagarian Tanjung Bunga, di sebelah Selatan Kabupaten Agam, di sebelah Timur Kenagarian Kurai dan di Sebelah Barat berbatasan dengan Kenagarian Koto Tinggi.
22
Sumber:http://www.google.co.id/search?q=peta+kabupaten+lima+puluh+kota&oe=utf -8&rls=org.mozilla:en-US:official&clientcF3gT-zzIoaqrAfW2aCUDQ&biw=1024&bih, tanggal 10 Juni 2012 Pukul 6.41 PM. Gambar 3. Peta Wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota Kenagarian Manggilang merupakan salah satu kenagarian (desa) yang berada di Kecamatan Pangkalan Koto Baru dengan luas 58,75 km2 dengan jumlah penduduk 1.500 KK dan rata kehidupan masyarakatnya sebagai petani (gambir, karet dan coklat). Di sebelah Utara Nagari Manggilang berbatasan dengan Nagari Pangkalan, di sebelah Selatan dan Barat berbatasan dengan Koto Alam, dan di Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kampar. 5.1.2. Kondisi Sumberdaya Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota Kabupaten Lima Puluh Kota dengan 13 kecamatan yang ada memiliki lahan yang potensial untuk pengembangan usaha perikanan yaitu perikanan air tawar karena kabupaten ini tidak memiliki wilayah laut. Jenis usaha perikanan yang dapat dikembangkan adalah pembenihan, pembesaran serta penanganan dan/atau pengolahan hasil perikanan. Dari potensi lahan yang tersedia, telah dimanfaatkan sebanyak 684,22 Ha untuk usaha budidaya perikanan yang mencakup ketiga jenis usaha tersebut dengan tujuan komersil. Tetapi ketiga jenis usaha tersebut belum termasuk pemanfaatan lahan yang digunakan untuk usaha konservasi dan
23
pemanfaatan perairan umum yang tujuannya menjaga kelestarian sumber daya ikan, pelestarian plasma nutfah dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pemanfaatan lahan potensi untuk usaha konservasi dan pemanfaatan perairan umum belum terdata dengan lengkap namun telah diupayakan dalam bentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Berdasarkan data dari
Dinas
Perikanan Tahun 2010, Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki Pokmaswas sebanyak 74 buah. Sementara usaha pembudidayaan ikan dengan tujuan komersil dilakukan oleh para pembudidaya ikan baik dilakukan secara perorangan maupun bergabung dalam kelompok-kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan). Tabel 3. Kelompok Usaha Perikanan di Kabupten Lima Puluh Kota berdasarkan Jenis Usaha, 2010 No 1 2
3
Jenis Usaha Budidaya (pembesaran) a. Luas areal < 2 Ha b. Luas areal ≥ 2 Ha Budidaya (Pembenihan/pembibitan) a. Luas areal < 0,75 Ha b. Luas areal ≥ 0,75 Penanganan dan/atau pengolahan hasil perikanan
Jumlah 33 unit 114 unit 0 unit 20 unit 12 unit
Keterangan Dari 167 Pokdakan yang mengelola usaha perikanan, termasuk di dalamnya 71 kelompok yang bergerak di bidang pembenkhan (UPR) dengan luas areal 267,025 Ha) Sebagian termasuk ke dalam usaha pembesaran
Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2010 Kabupaten Lima Puluh Kota terkenal sebagai penghasil benih ikan yang terbesar dan bermutu baik di Provinsi Sumatera Barat, terutama jenis ikan gurami. Secara umum produksi benih di daerah ini diproduksi oleh Unit Pembenihan ikan Rakyat (UPR) dan Balai Benih Ikan (BBI) yang dimiliki oleh Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota. Jumlah produksi benih ikan pada tahun 2010 adalah 101.693.639 ekor yang umumnya terdiri dari berbagai jenis ikan air tawar seperti ikan mas, nila, lele, gurami, nilem dan komet (ikan hias). Produksi benih di masyarakat pada umumnya dihasilkan oleh 1.389 kelompok UPR yang tersebar di daerah ini dengan jumlah UPR terbanyak di Kecamatan Luak (976 UPR) dan Kecamatan Lareh Sago Halaban (255 UPR). Bantuan benih ikan dapat diberikan BBI kepada masyarakat sesuai peraturan Bupati No. 17 Tahun 2006 terdiri dari 4 kriteria, yaitu: 1.
Kolam mesjid/mushala
2.
Lubuk larangan di kelompok/nagari
3. Kolam masyarakat yang terkena bencana alam
24
4. Kolam lembaga pendidikan formal (sekolah) Bantuan benih ikan yang telah diberikan pada tahun 2010, adalah: 1. Kolam mesjid Raya Ampalu Jorong Padang Aur (2.000 ekor ikan nila) 2. Kolam ikan mushala Baitul Hidayah Jorong Kot, Kenagarian Ampalu Kecamatan Lareh Sago Halaban (2.000 ekor ikan nila) 3. Kolam ikan kelompok Jorong Sibaladuang Kenagarian Sungai Kamuyang Kecamatan Luak (2.000 ekor ikan nila) 4. Lubuk Larangan Nagari Manggilang Kecamatan Pangkalan Koto Baru (2.000 ekor ikan nila) 5. Lubuk larangan (Cekdam) Jorong Guguak Kenagarian Ampalu Kecamatan Lareh Sago Halaban (2.000 ekor ikan nila) 6. Lubuk larangan Jorong Tarantang Kenagarian Tarantang Kecamatan Harau (2.000 ekor ikan nila). Tabel 4. Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2008-2010 No 1 2 3 4 5 6
Budidaya Kolam air tenang Kolam air deras Pemeliharaan di sawah long yam Keramba Penangkapan di perairan umum Jumlah
2008 14.232.596,00 297.397,51 5.202.332,00 999.450,95 997.400,95 299.522,70
Produksi (Kg) 2009 17.784.728 145.797 2.666.792 800.360 658.590 241.272
2010 18.442.035 78.410 2.841.460 1.060.877 156.010 259.210
21.242.679,91
22.297.539
22.838.002
Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2010 Secara umum produksi ikan konsumsi di Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2010 meningkat dibandingkan produksi tahun 2009. Walaupun produksi meningkat, namun belum sesuai dengan target produksi yang ditetapkan sebeesar 23.493.000 kg atau kurang lebih 97,21 persen. Hal ini disebabkan panjangnya rentang waktu kemarau yang mengakibatkan debit air sungai berkurang, sehingga usaha pembesaran ikan di kolam air deras dan keramba menurun tingkat produksinya. Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki potensi perairan umum seluas 189, 41 Ha. Kabupaten ini mempunyai sumber daya perikanan perairan umum sebagai tempat budidaya ikan yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ikan larangan berupa sungai sebanyak 13 buah sepanjang 1.326 km. Potensi yang demikian besar merupakan tumpuan pembangunan perikanan di perairan umum yang perlu didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan. Dari data perairan di atas, sebagian besar dari panjang
25
sungai dimanfaatkan sejak lama oleh masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota untuk kegiatan budidaya ikan larangan. Adapun batas larangan penangkapan ikan berkisar antara 1 sampai dengan 3 km tergantung kondisi perairan umum dan musyawarah nagari. Tabel 5 . Potensi lahan dan Pemanfaatannya, Tahun 2008-2010 1
Kolam
Potensi (Ha) 1.799,92
2
Sawah
13.365,00
3
Perairan Umum
No
Lahan
3.789,25
Pemanfaatan (Ha) 2008 2009 1.008,75 1.091,95 (60,67 %) (60,67 %) 328 328 (2,45 %) (2,45 %) 189,41 189,41 (5 %) (5 %)
2010 1.102,95 (61,27 %) 437 (3,26 %) 189,41 (5 %)
Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2010 Sampai saat in lokasi ikan larangan di Kabupaten Lima Puluh Kota hampir terdapat di setiap kecamatan bahkan setiap nagari yang jumlahnya 74 lokasi dengan produksi 3 s.d. 7 ton ikan/lokasi/tahun. Salah satu kecamatan yang sudah lebih dahulu melaksanakan budidaya ikan larangan adalah Nagari Manggilang Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Nagari Pandam Gadang Kecamatan Gunuang Omeh, dan Nagari Sialang Kecamatan Kapur IX (Baca: Kapur Sembilan). Tujuan dilakukan budidaya ikan larangan adalah sebagai berikut: 1. Mempertahankan populasi ikan di perairan umum 2. Melarang penangkapan ikan secara liar/eksploitasi ikan di perairan umum 3. Menarik wisata dengan objek ikan larangan 4. Meningkatkan hasil produksi perikanan perairan umum 5. Membangun nagari (desa) 6. Sumber ekonomi masyarakat sekitarnya Jenis ikan yang dipelihara di Lubuk Larangan adalah jenis asli ikan sungai yang banyak terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu jenis ikan Kapiek, Ikan Salimang, Ikan Garing, Ikan Sibahan, Ikan Baung, Ikan Barau, Ikan Pawehm Ikan Mas, dan Ikan Nila. Lama pemeliharaan ikan ditentukan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat anggota masyarakat. Biasanya lama pemeliharaan ikan di lubuk larangan ini lebih kurang 1 tahun. pemberian pakan ikan selama pemeliharaan tidak dilakukan secara intensif. Makanan ikan hanya didapatkan dari alam dan bergantung pada pengunjung yang datang ke lokasi wisata yang memberi pelet.
26
Metode pengawasan dilakukan untuk menghindari adanya pencurian ikan dan gangguan dari pihak luar. Pengawasan dilakukan oleh masyarakat setempat yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Guna menjaga kebersihan lingkungan perairan dari buangan sampah/kotoran yang masuk ke lubuk larangan, maka sistem pengawasan dilakukan secara bersama dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemuda dan alim ulama setempat. Panen dilakukan dengan mengadakan lomba penangkapan ikan dengan memancing. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan populasi ikan di perairan umum terutama ikan yang berukuran kecil atau benih ikan. Peserta lomba dapat berasal dari dalam dan luar kabupaten. Pelaksanaan panen dilakukan setahun sekali sebelum bulan Ramadhan di luar zona inti. Peserta lomba dipungut biaya yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan kelompok. Hasil panen dimanfaatkan untuk pembangunan nagari seperti perbaikan jalan, mesjid dan mushala, kegiatan sosial, pendidikan, kegiatan pemuda dan pembelian benih ikan untuk restocking. 5.1.3. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Kabupaten Lima Puluh Kota Masyarakat Desa Manggilang, Desa Pandam Gadang dan Desa Sialang seperti halnya masyarakat Sumatera Barat pada umumnya merupakan masyarakat adat yang menganut sistem matrilineal atau garis keturunan dari ibu. Hal ini berpengaruh terutama terhadap sistem perkawinan dan pola pewarisan, baik itu pewarisan gelar kehormatan maupun harta kekayaan. Secara tidak langsung hal ini berpengaruh terhadap struktur kepemimpinan dalam kelembagaan ‘Ninik Mamak’. Pada dasarnya, pola kepemimpinan masyarakat di Desa Manggilang, Pandam Gadang dan Sialang terdiri dari dua yaitu pemerintahan desa/nagari yang dipimpin oleh seorang Wali Nagari dan kelembagaan adat yang dipimpin oleh seorang Ninik Mamak. Nagari menurut Mochtar Naim (1999) adalah unit kesatuan administratif pemerintahan di tingkat terendah seperti desa di Pulau Jawa, namun nagari juga merupakan unit kesatuan Adat dan sosial budaya sendiri. Nagari juga merupakan unit kesatuan keamanan dan pengamanan dan sebagai unit kesatuan ekonomi. Sebuah nagari dipimpin oleh seorang Wali Nagari yang proses pemilihannya sama dengan kepala desa. Pada pemerintahan nagari, Wali Nagari (kepala desa) dipilih secara langsung oleh masyarakat, sementara pimpinan Ninik Mamak diatur berdasarkan peraturan adat yang telah dilaksanakan secara turun temurun. Pimpinan Ninik Mamak diangkat
27
berdasarkan garis keturunan ibu dari satu suku yang memiliki kemampuan dalam hal kepemimpinan dan memiliki moralitas yang baik yaitu tidak pernah cacat baik dalam hukum adat maupun hukum negara. Ninik Mamak merupakan pemuka masyarakat yang memimpin suku tertentu. Terdapat 5 suku induk di Nagari Manggilang yaitu Melayu, Piliang, Domo, Chaniago, Pitopang. Kelima suku ini masihterbagi-bagi lagi ke dalam sub suku. Setiap suku tersebut mempunyai beberapa Ninik Mamak yang mempunyai gelar-gelar tersendiri. Gelar-gelar Ninik Mamak yang terdapat pada Suku Melayu Tiga Ninik adalah Datuk Angkat Dirajo, Datuk Rajo Nan Kuning, dan Datuk Rajo Imbang. Sementara pada Suku Melayu Tangah terdiri dari Datuk Bijo Dirajo, Datuk Ulak, Datuk Sati dan Datuk Paduko Tuan. Suku Piliang Bukit mempunyai 2 gelar Ninik Mamak yaitu Datuk Rajo Mangkuto dan Datuk Mangkuto Marajo, sedangkan Piliang Bawah hanya terdapat satu Ninik Mamak yang bergelar Datuk Sindo Mangkuto. Ninik Mamak yang terdapat pada suku Domu terdiri dari Datuk Rajo Basa dan Datuk Paduko Rajo. Sedangkan pada suku Caniago terdapat Datuk Majo Indo, Datuk Perpatiah dan Datuk Gindo Rajo Lelo. Ninik Mamak pada Suku Pitapang bergelar Rajo Penghulu dan Datuk Tanjo Lelo. Sementara di Nagari Sialang terdapat 8 suku yaitu Melayu, Pitopang, Domo, Madiliang, Piliang, Kubaru, Pitopang Darat, dan Malayu Tolang. Ninik Mamak yang mengetuai kedelapan suku tersebut masing-masing bergelar Datuk Raja Lelo, Taduk Tumanggung, Datuk Bandoro, Datuk Dirajo, Datuk Raja Indo, Datuk Bagindo Bosa, Datuk Paduko dan Datuk Bagindo Sate. Kumpulan dari Ninik Mamak adalah Kerapatan Adat Nagari (KAN). Unsur kepemimpinan dalam Kerapatan Adat Nagari memiliki ketentuan tersendiri yaitu ketua diisi oleh Ninik Mamak suku Pitopang yang bergelar Datuk Tumanggung, Sekretaris diisi oleh Ninik Mamak dari suku Melayu yang bergelar Datuk Raja Lelo dan Bendahara diisi oleh Ninik Mamak Suku Domo yang bergelar Datuk Bandaro. Ninik Mamak memegang peranan yang sangat besar terhadap keputusankeputusan publik terkait peraturan-peraturan adat setempat termasuk aturan dalam pengelolaan lubuk larangan. Ninik Mamak menjadi unsur penentu bersama-sama Wali Nagari dan unsur kemasyarakatan yang lain dalam musyawarah yang menentukan batas lubuk larangan, aturan buka-tutup lubuk, siapa yang berhak dalam memanfaatkan dan pengelolaaan Lubuk larangan serta sanksi apa yang harus diterapkan atas setiap pelanggaran terhadap aturan yang telah disepakati bersama.
28
5.1.4. Sistem Pandangan Hidup di Kabupaten Lima Puluh Kota Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota kental dipengaruhi oleh perpaduan antara agama Islam dan budaya Minang. Salah satunya tercermin dalam sistem Ninik Mamak yang sangat ditaati oleh masyarakat setempat. Agama Islam selalu mengajarkan untuk menjunjung tinggi dan menghormati sosok seorang ibu, oleh karenanya sistem pewarisan baik gelar, materi maupun kepemimpinan ditarik dari garis keturunan ibu – sesuatu yang tidak dilakukan oleh masyarakat muslim pada umumnya dimana garis klan diambil dari ayah- tapi pemimpin sendiri tetap dipegang oleh kaum laki-laki. Mereka meyakini bahwa Ninik Mamak merupakan pimpinan yang harus ditaati, pengingkaran terhadap keberadaan Ninik Mamak akan mendapatkan sanksi sosial yang sangat berat baik dari masyarakat maupun dari pemerintah nagari. Beberapa fenomena yang terjadi dipercaya oleh sebagian masyarakat ada kaitannya dengan dunia mistik. Sebagai contoh, sebagian masyarakat Nagari Sialang percaya bahwa batang (sungai) dihuni oleh makhluk gaib berupa bebek yang berukuran sangat besar yang akan muncul jika akan ada bencana alam. Namun tidak semua masyarakat berpandangan seperti itu, sebagian masyarakat memandang bahwa kehidupan mistik dan kehidupan nyata merupakan dua kehidupan yang berdiri sendiri. Oleh karenanya dalam pengelolaan lubuk larangan pun terbagi dua, ada yang bernuansa mistik dan ada pula yang logik-realistik. Pengelolaan Lubuk larangan yang bernuansa mistik contohnya terdapat di Nagari Sialang dan Nagari Pandam Gadang yang melakukan prosesi meng-uduh (jampi-jampi) untuk menjaga sungai mereka. Sementara di Nagari Manggilang prosesi meng-uduh tidak dilakukan tapi lebih mengandalkan kesadaran masyakat akan fungsi sungai dan ketaatan mereka terhadap Ninik Mamak.
5.1.5.
Sejarah dan Bentuk Kearifan lokal di Kabupaten Lima Puluh Kota Masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan masyarakat yang telah
menyatu dengan kehidupan sungai. Sungai bagi sebagian besar masyarakat terutama masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai memiliki peranan yang sangat penting baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial maupun budaya sehingga mereka berupaya untuk menjaga lingkungan sungai. Salah satu upaya ke arah tersebut adalah pelaksanaan lubuk larangan yang telah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Secara terminologi, lubuk berarti bagian yang dalam di sungai, sedangkan
29
larangan adalah aturan yang melarang suatu perbuatan. Lubuk Larangan berarti suatu kawasan tertentu di daerah aliran sungai yang dikelola oleh masyarakat berisikan beragam ikan endemis dan diatur melalui peraturan desa untuk tidak diambil pada masa tertentu, biasanya dalam tempo 6-12 bulan, panen ikan baru dilaksanakan setelah jatuh tempo. Apabila ditinjau secara seksama maka makna lubuk larangan merupakan perpaduan dari tiga unsur utama dalam kehidupan yaitu, unsur sosialbudaya, unsur ekonomi dan unsur kelestarian lingkungan. Lubuk Larangan di Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya di Nagari Manggilang, Nagari Pandam Gadang dan Nagari Sialang terbentuk didasari oleh keinginan sekelompok masyarakat untuk mengembalikan kondisi sungai pada kondisi dimana populasi ikan melimpah dan varietas ikan cukup beragam. Proses pembentukan Lubuk Larangan hampir sama yaitu melalui musyawarah warga yang dilakukan di masjid atau mushola. Namun mekanisme pengelolaan lubuk larangan beragam sesuai dengan karakteristik masyarakat dan kondisi fisik lingkungan sungai. Dalam perkembangannya, Lubuk Larangan tersebut ada yang kemudian dikukuhkan oleh Peraturan Nagari (Pernag) dan ada yang belum dikukuhkan oleh Peraturan Nagari. Terbitnya Pernag merupakan sebuah indikasi bahwa pemerintah sangat menaruh perhatian penuh terhadap keberadaan lubuk larangan karena membawa dampak positif terhadap kondisi ekosistem, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Selain itu pengukuhan keberadaan lubuk larangan secara formal memungkinkan lubuk larangan bisa dikembangkan tidak hanya dari aspek ekologi tapi dari aspek ekonomi misalnya sebagai tempat rekreasi sehingga mendatangkan keuntungan ekonomi yang bisa membantu pendapatan masyakarat sekitar sungai.
Lubuk Larangan Ikan Banyak, Nagari Pandam Gadang Lubuk Larangan terdapat di Batang Sinamar Nagari Pandam Gadang Kecamatan Gunung Omeh dibentuk pada tahun 1817 berdasarkan musyawarah warga. Tidak diketahui luasan sungai yang menjadi lubuk pada waktu itu, hanya pengelolaan dilakukan dengan cara buka tutup lubuk pada saat-saat dibutuhkan tanpa melalui prosesi uduh/jampi-jampi. Namun dalam perkembangannya, aturan lubuk larangan sering dilanggar yaitu banyak terjadi pencurian pada masa tutup lubuk sehingga pada tahun 1821 pengawasan dilakukan melalui uduh.
30
Prosesi uduh di lubuk Larangan Ikan Banyak dilakukan oleh 3 orang pemuka agama. Konon kemenyan yang dipakai untuk prosesi uduh telah didoakan di Mekah oleh ketiga syekh tersebut. Namun sekitar 15-20 tahun kemudian ketiga syekh tersebut meninggal sebelum dilakukan pembukaan terhadap lubuk dan kemenyan yang dipakai untuk membuka lubuk tersebut hilang, akibatnya sampai sekarang lubuk tersebut tidak bisa dibuka karena diyakini masih mengandung uduh yang yang dapat mengakibatkan orang yang memakan ikan dari lubuk tersebut terkena uduh berupa sakit perut, selalu ingin kembali ke lubuk larangan tersebut, bahkan sampai pada kematian. Kasus pelanggaran ini pernah dilakukan pada tahun 1943 oleh orang Jepang yang mengakibatkan orang jepang tersebut meninggal. Kasus pelanggaran terakhir terjadi pada Tahun 1996 oleh seorang warga yang melakukan pencurian sehingga pencuri tersebut pun meninggal. Sejak itu, tak ada lagi masyarakat yang melakukan pencurian sekitar lubuk. Dampak uduh ini tidak hanya dirasakan oleh orang yang mencuri, tapi orang yang berenang diwaktu-waktu tertentu yaitu sekitar jam 11.00 – 13.00 karena mengakibatkan orang tersebut sakit panas. Menurut salah satu pemuka masyarakat penyakit yang diakibatkan uduh ini bisa diobati dengan meminum air yang berasal dari lubuk tersebut. Lubuk yang terkena uduh ini kemudian dijadikan zona inti. Zona inti merupakan zona konservasi dimana ikan dapat melakukan perkembangbiakan dengan optimal. Zona inti ini diperkirakan sepanjang 200 meter. Diluar zona inti tersebut dinamakan zona penyangga dan zona pemanfaatan.
Pada zona penyanggalah
dilakukan buka tutup lubuk, sedangkan di zona pemanfaatan masyarakat bisa dengan bebas melakukan penangkapan kapanpun juga. Untuk lebih mengoptimalkan fungsi sungai maka berdasarkan musyawarah warga pengelolaan sungai dibagi-bagi kepada organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti DKM dan organisasi kepemudaan. Kelembagaan lubuk larangan ini semakin kuat setelah pemerintahan Nagari menuangkannya pada sebuah Peraturan Nagari (perdes). Lubuk Larangan Manggilang Jaya Sakato, Nagari Manggilang Pelaksanaan Lubuk Larangan di Nagari Manggilang Kecamatan Pangkalan Koto Baru dimulai sejak ditetapkan oleh Peraturan Nagari (Pernag) yaitu tahun 2006. Pembentukan lubuk larangan tersebut dilatarbelakangi oleh kegiatan eksploitasi ikan oleh masyarakat dengan cara yang merusak yaitu dengan meracuni dan menyetrum
31
baik oleh masyarakat Nagari Manggilang maupun masyarakat dari luar nagari sehingga ikan tersebut berkurang bahkan hampir punah di sungai tersebut (Sungai Talagiri dan Sungai Batang Manggilang). Untuk mengatasi hal tersebut, maka dengan mengambil pelajaran dari kegiatan lubuk larangan di Pasaman beberapa tokoh masyarakat menginisiasi pembentukan lubuk larangan. Kemudian diadakan rapat warga yang dihadiri oleh LPM, Pemuda, dan tokoh masyarakat yang berjumlah sekitar 50 orang. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan untuk membuat lubuk larangan di sungai batang talagiri dan batang manggilang dengan meminta bantuan kepada Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota. Pertemuan tersebut menghasilkan keinginan masyarakat untuk menjadikan sungai Batang Manggilang dan sungai Batang Talagiri sebagai lubuk larangan yang pengawasannya dilakukan oleh masyarakat Nagari Manggilang sendiri yang diperkuat dengan dibentuknya Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang bernama “Manggilang Jaya Sakato” yang artinya ‘kompak’ yang beralamat di Jorong Pasar Baru, Nagari Manggilang, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Pokmaswas ini dikukuhkan oleh Wali Nagari Manggilang dan pengelolaannya diatur dengan Pernag. Dua tahun sejak terbentuknya Pokmaswas tersebut dan atas pembinaan dari Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota maka Pokmaswas Manggilang Jaya Sakato telah didaftarkan ke Dinas Perikanan pada tanggal 1 juni 2008. Adapun tujuan pembentukan Pokmaswas Manggilang Jaya Sakato adalah: a. Ikut serta dalam menjaga kelestarian alam b. Mengelola perairan umum sehingga hasil produksi perikanan dapat meningkat setiap tahunnya c. Mencegah berkurangnya populasi ikan di perairan umum d. Membuka akses pariwisata di lokasi lubuk larangan di Nagar Manggilang e. Menambah kontribusi pendapatan nagari. Pada awal pendiriannya terdapat beberapa warga yang tidak setuju dengan kegiatan lubuk larangan karena mereka berpendapat bahwa sungai milik umum sehingga siapa pun dapat memanfaatkannya tanpa ditetapkan aturan yang mengikat. Namun, pokmaswas bersama-sama dengan tokoh adat kemudian terus mengadakan sosialisasi akan pentingnya keberadaan lubuk larangan. Lubuk Larangan Lok Na, Nagari Sialang
32
Lubuk Larangan Lok Na terdapat di sungai Batang Kapur Kecamatan Kapur IX (baca: Kapur Sembilan). Semula lubuk ini bernama Lubuk Batu Pelana, namun seorang peneliti dari Perancis yang bernama Lawrence pada tahun 1994 mengusulkan untuk merubah nama lubuk tersebut menjadi Pantai Lok Na singkatan dari Lubuk Batu Pelana. Masyarakat pun menyetujuinya dengan pertimbangan nama Lok Na lebih singkat dan nyaman didengar. Mulai saat itu lubuk Batu Pelana dirubah menjadi lubuk Lok Na. Lawrence merupakan seorang peneliti dari Perancis yang melakukan penelitian mengenai adat istiadat masyarakat nagari Sialang selama dua tahun. Namun ia meninggal dalam sebuah kecelakaan motor di wilayah tersebut. Selain karena enak didengan, nama Lok Na pun dipertahankan untuk menghormati mendiang Lawrence tersebut. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan lubuk larangan Pantai Lok Na mulai muncul, namun Lubuk larangan ini merupakan lubuk larangan pertama di Kecamatan Kapur IX. Semula, keberadaan lubuk ini dikelola oleh nagari yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan nagari misalnya untuk pesta adat dan lainlain. Namun sekarang diserahkan kepada organisasi kepemudaan atau karang taruna sebagai pengelola baik yang mengelola operasional lubuk mapun yang mengelola hasil lubuk larangan. Hasil kegiatan buka Lubuk Larangan digunakan untuk keperluan-keperluan kepemudaan dan pesta adat terutama perayaan hari raya Idul Fitri, dimana dilakukan berbagai macam kegiatan selama 10 hari diataranya adalah olah raga, menyambut orang pulang rantau serta kegiatan keagamaan dan kesenian. Mekanisme pelaksanaan buka tutup Lubuk Larangan menurut salah satu pemuka masyararakat tidak banyak mengalami perubahan. Pelaksanaan tutup lubuk melalui prosesi uduh yang dilakukan oleh seorang dukun, namun untuk membukanya “kunci pembuka” diserahkan kepada tiga orang termasuk dukun yang menutup. Hal ini dimaksudkan agar jika orang yang menutup lubuk meninggal maka lubuk tetap bisa dibuka karena masih ada dua orang yang mengetahi “kunci”nya. 5.1.6. Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lubuk Larangan Batas pengelolaan/Sistem Zonasi Pengelolaan lubuk larangan secara umum membagi sungai menjadi tiga zona yaitu :
33
a. Zona inti yang fungsi sebagai zona konservasi (perlindungan dan pelestarian sumberdaya) yaitu zona yang khusus untuk perkembangbiakan ikan dan tidak boleh diganggu/dimanfaatkan selama dalam masa pengelolaan lubuk larangan b. Zona penyangga yang merupakan zona pembatas, berguna untuk menyangga zona inti dengan zona pemanfaatan dan dapat dimanfaatkan dengan batasbatas tertentu sesuai dengan kesepakatan masyarakat. c. Zona pemanfaatan yaitu zona yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat setiap saat berdasarkan aturan yang telah disepakati bersama. Setiap nagari memiliki mekanisme sendiri dalam pengelolaan lubuk larangan. Lubuk Larangan Manggilang Jaya Sakato di Nagari Manggilang dan Lubuk Larangan Lok Na di Nagari Sialang hanya mengelola satu zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan (Gambar 5.2). Di lubuk Larangan Manggilang Jaya Sakato berdasarkan Keputusan Wali Nagari Manggilang No. 05 tahun 2006 tanggal 28 Juli 2006. Menurut Pernag tersebut, pengelolaan Lubuk Larangan dibagi atas 3 (tiga) zona/kawasan yaitu: a. Zona inti dengan luas wilayah 400 m x 15 m = 6.000 m2, dengan fungsi sebagai zona konservasi (perlindungan dan pelestarian sumberdaya) yaitu zona yang khusus untuk perkembangbiakan ikan dan tidak boleh diganggu/dimanfaatkan selama dalam masa pengelolaan lubuk larangan b. Zona penyangga dengan luas wilayah 300 m x 15 m = 4.500 m2, yang berbatasan dengan zona inti sampai dengan sopang di sungai Batang Manggilang. Zona ini merupakan zona pembatas yang berguna untuk menyangga zona inti dengan zona pemanfaatan dan dapat dimanfaatkan dengan batas-batas tertentu sesuai dengan kesepakatan pengurus Pokmaswas dan Wali Nagari Manggilang c. Zona pemanfaatan dengan luas wilayan 2.700 m x 15 m = 40.500 m2, mulaik dari batas zona penyangga yaitu muara alahan sampai dengan pelompatan beruk di Batang Talagiri. Zona ini merupakan zona yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh Pokmaswas sesuai dengan peruntukannya. Pada zona ini dilakukan panen 1 kali setahun atau sesuai dengan kesepakatan anggota. d.
Jorong Sebrang Pasar
34
Zona Pemanfaatan, 2.700
Gambar 4. Zonasi lubuk larangan Manggilang Jaya Sakato di Nagari Manggilang Sistem pengelolaan lubuk larangan yang dilakukan di Lubuk Larangan Ikan Banyak di sungai Batang Sinamar Nagari Pandam Gadang memiliki satu zona inti namun dengan beberapa zona penyangga dan zona pemanfaatan (lebih dari satu zona penyangga dan zona pemanfaatan). Zonasi dibagi berdasarkan fungsi dan kelompok pengelolaannya. Berdasarkan fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Zona inti di lubuk ini sepanjang ± 200 meter yang tidak boleh dibuka sama sekali atau tertutup selamanya.
Selain disebabkan oleh
adanya keyakinan bahwa lubuk inti tersebut diuduh, dengan zona inti tersebut dapat berfungis sebagai zona pembenihan. LR Taleh
LR Masjid mukhlisin
LR Mushola ±300 m ±100 m
LR Masjid Almu’minin
±150 m
±1500 m ±300 m ±400 m ±300 m Zona Inti Areal bebas
LR Pemuda
±200
Areal bebas Areal bebas
±200 m m
Gambar 5.3. Zonasi lubuk larangan Anak Nagari di Nagari Pandam Gadang
35
Zona penyangga terbagi menjadi beberapa bagian terpisah yang dipisahkan oleh zona-zona pemanfaatan (zona bebas). Pada zona penyangga diberlakukan aturan buka tutup lubuk, yang akan dibuka untuk keperluan-keperluan tertentu sesuai dengan kebutuhan kelompok pengelolanya. Masing-masing areal larangan dipisahkan oleh areal bebas yang berfungsi sebagai zona pemanfaatan yang bisa dimanfaatkan kapan saja dan oleh siapa saja. Berdasarkan pengelolanya maka lubuk larangan ikan banyak terbagi atas lima bagian yaitu: 1. Larangan Inti yang dikelola bersama sepanjang ± 200 meter. Larangan ini telah ada sejak tahun 1817 dan masih berlaku sampai sekarang 2. Larangan Masjid Al Mu’minin, dikelola oleh pengurus DKM Masjid Almu’minin sepanjang ± 300 meter, diberlakukan sejak tahun 1964. 3. Larangan Mushola, dikelola oleh pengurus DKM Mushola sepanjang ± 300 meter, dibentuk pada tahun 1965 4. Larangan Pemuda, dikelola oleh organisasi kepemudaan sepanjang ± 200 meter, dibentuk pada tahun 1968. 5. Larangan kelompok giran (kelompok taleh), dikelola oleh pemuda sepanjang ± 150 meter, dibentuk sekitar tahun 1990. 6. Larangan Masjid Al-Mukhlisin, dikelola oleh DKM Masjid Al-Mukhlisin sepanjang ± 300 meter, dibentuk sekitar Tahun 1990. Aturan Lubuk larangan merupakan model konservasi sumberdaya berdasarkan sistem buka dan tutup sungai. Terdapat beberapa aturan dalam pengelolaan lubuk larangan diantaranya adalah: a. Waktu buka tutup lubuk Lubuk Larangan Manggilang Jaya Sakato melakukan pembukaan lubuk menjelang bulan puasa, setelah pemeliharaan ikan selama lebih kurang satu tahun. Waktu ini dipilih dalam rangka menyambut bulan Ramadhan bertujuan agar masyarakat bisa makan ikan di waktu sahur dan buka pertama puasa. Selain itu dengan dibukanya lubuk di awal puasa untuk menghindari kebiasaan muda dan mudi melakukan kegiatan hura-hura menjelang bulan puasa, dengan dibukanya lubuk, muda mudi akan turut serta dalam pesta pembukaan lubuk. Lama pemeliharaan ikan tersebut ditentukan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat anggota masyarakat.
36
Sementara di Lubuk Larangan pantai Lok Na Nagari Sialang, pembukaan lubuk dilakukan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri atau hari-hari lain yang dianggap penting melalui musyawarah warga. Penyambutan Hari Raya Idul Fitri dilakukan oleh warga Nagari Sialang selama 10 hari yang diisi oleh kegiatan lomba olah raga, lomba kegiatan keagamaan, serta penyambutan orang pulang rantau. Pembukaan lubuk larangan Ikan Banyak di Nagari Pandam Gadang dilakukan berdasarkan kebutuhan pengelola lubuk. Lubuk Larangan masjid dibuka ketika masjid memerlukan dana untuk perbaikan masjid atau untuk kegiatan keagamaan. Lubuk larangan pemuda dibuka ketika kelompok pemuda akan mengadakan acara misalnya perayaan hari kemerdekaan. Waktu buka dan tutup wajib disosialisasikan tidak hanya kepada masyarakat nagari setempat namun juga kepada masyarakat di nagari tetangga melalui leaflet, pemberitahuan lewat pemerintahan nagari, maupun pemberitahuan lewat masjidmasjid sehingga tidak ada lagi alasan jika ada pelanggaran. b. Alat tangkap yang digunakan Alat tangkap yang digunakan tidak boleh bersifat merusak seperti bom, penyetruman ataupun pembiusan. Alat tangkap yang digunakan berupa pancing, jala, jaring dan serok. c. Jenis ikan yang dilarang Tidak seperti di wilayah ikan larangan, di lubuk larangan biasanya tidak ada jenis ikan yang dilarang ditangkap ketika diadakan buka lubuk. Sebaliknya pada saat tutup lubuk semua jenis ikan tidak boleh ditangkap. Jenis ikan yang dipelihara di Lubuk Larangan adalah jenis asli ikan sungai yang banyak terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu jenis ikan Kapiek, Ikan Salimang, Ikan Garing, Ikan Sibahan, Ikan Baung, Ikan Barau, Ikan Paweh Ikan Mas, dan Ikan Nila. d. Mekanisme keikutsertaan dalam buka lubuk Panen dilakukan dengan mengadakan lomba penangkapan ikan dengan memancing. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan populasi ikan di perairan umum terutama ikan yang berukuran kecil maupun benih ikan. Peserta lomba dapat berasal dari dalam dan luar kabupaten. Pelaksanaan panen dilakukan setahun sekali sebelum bulan Ramadhan di luar zona inti. Peserta lomba dipungut biaya yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan kelompok. Hasil panen dimanfaatkan untuk pembangunan nagari
37
seperti perbaikan jalan, mesjid dan mushala, kegiatan sosial, pendidikan, kegiatan pemuda dan pembelian benih ikan untuk restocking. Distribusi Hak Distribusi Hak dalam pengelolaan dan pemanfaatan lubuk larangan adalah: 1. Hak mengakses wilayah lubuk larangan (access). Setiap orang boleh memasuki atau melintas di wilayah lubuk larangan baik itu masyarakat lokal maupun masyarakat dari luar daerah tersebut. Lubuk larangan bisa digunakan untuk sarana transportasi, pariwisata, dan MCK. Keberadaan lubuk larangan menjadikan sungai sebagai sarana transportasi karena siapapun boleh melintasinya. Seperti halnya di Lubuk Larangan Manggilang Jaya Sakato sering digunakan sebagai alat transportasi karet dari kebun menuju rumah atau lokasi pemasaran, sementara di Lubuk Larangan Lok Na digunakan sebagai alat transportasi gambir dari kebun. Lubuk larangan sebagai sarana MCK hanya boleh dilakukan oleh masyarakat nagari, sementara masyarakat luar nagari tidak boleh melakukan mandi, cuci, kakus di aliran sungai lubuk larangan.
Gambar 6. (a) lubuk larangan digunakan sebagai MCK. (b) lubuk larangan digunakan sebagai sarana transportasi 2. Hak memanfaatkan (withdrawl). Berdasarkan zonasinya, maka hak pemanfaatan lubuk larangan dibagi sebagai berikut: -
Pada zona pemanfaatan, setiap warga nagari diperbolehkan untuk mengambil ikan setiap saat. Sementara masyarakat di luar nagari tidak diperbolehkan.
-
Pada zona penyangga, baik masyarakat nagari mapun masyarakat luar nagari diberi kesempatan untuk mengambil ikan pada masa buka lubuk. Namun, melalui
38
mekanisme yang sudah diatur oleh pengelola lubuk, masyarakat nagari diberi hak pemanfaatan yang lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat luar nagari. -
Pada zona inti, semua masyarakat tidak boleh mengambil ikan dan sejenisnya di wilayah inti.
3. Hak Pengelolaan (management) Hak pengelolaan lubuk larangan diberikan kepada sekelompok orang yang mewakili setiap unsur masyarakat, terdiri dari ±15 orang yaitu dari unsur Wali Nagari, Ninik Mamak dari setiap suku, Bundo Kandung dari setiap suku, tokoh agama dan tokoh pemuda. Dewan ini bertugas untuk mengelola lubuk larangan diantaranya dalam hal penentuan waktu buka tutup lubuk, mekanisme penutupan dan pembukaan lubuk, menentukan arah pengembangan lubuk dan menentukan sanksi apa yang harus dikenakan kepada setiap pelanggaran yang terjadi. 4. Hak pemindahtanganan(alienasi) Lubuk Larangan merupakan milik masyarakat nagari yang dikelola dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat sehingga hak untuk memindahtangankan pengelolaan dan pemanfaatan lubuk harus melibatkan seluruh unsur masyarakat. Keberadaan lubuk larangan sebagai warisan budaya, sepertinya tidak memungkinkan adanya pemindahtanganan hak pemanfaatan dan pengelolaan areal lubuk larangan. Monitoring dan sanksi Metode pengawasan dilakukan untuk menghindari adanya pencurian ikan dan gangguan dari pihak luar. Pengawasan dilakukan oleh masyarakat setempat yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Guna menjaga kebersihan lingkungan perairan dari buangan sampah/kotoran yang masuk ke lubuk larangan, maka sistem pengawasan dilakukan secara bersama dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemuda dan alim ulama setempat. Setiap Lubuk Larangan mempunyai mekanisme penyelesaian konflik yang berbeda-beda. Namun dapat ditarik benang merah, bahwa dalam penyelesaian konflik akan meliibatkan pengelola lubuk, lembaga adat (Ninik Mamak) serta Wali Nagari . Pelanggaran terhadap setiap aturan dikenakan sanksi, baik sanksi fisik maupun sanksi sosial. Sanksi fisik dilakukan dengan mengharuskan pelanggar untuk memberikan sejumlah semen kepada pengelola yang akan digunakan untuk membangun mesjid ataupun sarana lingkungan lainnya.
Jika hal itu belum juga
39
dilakukan maka pelanggar tersebut masih mempunyai utang adat yang akan dikenakan sanksi
sosial
berupa
pengucilan
dari
masyarakat
yang
disebut
hukuman
“dipermalukan” dan tidak dilayani dalam hal adminstrasi di kenagarian. Hukum sosial “dipermalukan” sekarang sudah jarang ditemukan namun diganti dengan tidak dilibatkan dalam setiap ritual/kenduri adat. Beratnya sanksi tidak hanya tergantung pada jenis pelanggaran namun juga tergantung pada status orang yang membuat pelanggaran.
Bagi pelanggar yang
merupakan pemuka masyarakat misalnya Ninik Mamak atau Wali Nagari atau anggota Badan Musyawarah (Bamus) maka sanksi yang diterapkan dua kali lebih berat dibandingkan dengan sanksi yang diberikan kepada masyarakat biasa. Jenis sanksi ditetapkan oleh dewan adat yang terdiri dari unsur Kerapatan Adat Nagari (KAN), Wali Nagari, Bamus, Pemuda, Tokoh agama dan tokoh masyarakat. Distribusi hasil Distribusi hasil dari pengelolan lubuk larangan ditetapkan berdasarkan musyawarah Pokmaswas yang kemudian disosialisasikan kepada masyarakat lewat pertemuan di masjid. Distribusi hasil lubuk larangan berbeda-beda untuk setiap lubuk larangan. Distribusi hasil lubuk larangan di Nagari Sialang adalah 30 persen untuk pemerintahan nagari, 30 persen untuk kelembagaan adat dan 40 persen untuk masyarakat. Sementara di Lubuk Larangan Ikan Banyak Nagari Pandam Gadang, distribusi hasil mengikuti pola 10 persen untuk penjala, 10 persen untuk panitia, 80 persen untuk kas masjid dan 10 persen untuk masyarakat.
5.2. Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Belitung 5.2.1. Kondisi Geografis Kabupaten Bangka Selatan Kabupaten Bangka Selatan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bangka Belitung.
Kabupaten
ini
terletak
pada
koordinat
02º26’27”-03º05’56”
dan
107º14’31”BT - 105º53’09”BT (Dinas Kelautan dan Perikanan Bangka Selatan, 2012). Batas–batas wilayah Kabupaten Bangka Selatan adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bangka Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan Selat Bangka, sebelah timur berbatasan dengan Selat Gaspar dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Bangka.
40
Sumber:
http://www.google.co.id/search?um=peta+bangka+belitung&oq=peta+bangka+belitung Gambar 7. Peta Wilayah Desa Tanjung Sangkar dan Desa Kumbung, Kecamatan Lepar Pongok Kabupaten Bangsa Selatan Provinsi Bangka Belitung Kondisi iklim Kabupaten Bangka Selatan termasuk beriklim tropis tipe A dengan variasi curah hujan antara 11,8 hingga 370,3 tiap bulan dengan suhu bervariasi antara 25,7°C – 29,0°C dan kelembaban udara berkisar 66,0 persen sampai dengan 83,6 persen (Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Pangkalpinang, Tahun 2009). Kabupaten Bangka Selatan berada ketinggian rata – rata 28 meter di atas permukaan laut dengan prokstur wilayah datar dan bergelombang dan hanya sebagian kecil saja Kabupaten Bangka Selatan yang berbukit. Kabupaten Bangka Selatan mempunyai luas wilayah ± 3.607,08 Km 2 atau 360.708 Ha. Dimana Kabupaten Bangka Selatan ini mempunyai 7 Kecamatan, 3 kelurahan, 50 desa serta 163 dusun/lingkungan. Kabupaten ini mempunyai program pembangunan di wilayah – wilayah kecamatan di beberapa sektor ataupun bidang, diantaranya adalah: sektor perikanan dan kelautan, sektor pertambangan, sektor perkebunan dan pertanian dan sektor ataupun bidang lainnya (Dinas KP Bangka Selatan, 2012). Daerah kecamatan yang mempunyai sumbangsih terbesar di bidang produksi kelautan dan perikanan Kabupaten Bangka Selatan adalah Kecamatan Lepar
41
Pongok. Kecamatan Lepar Pongok merupakan kecamatan yang terdiri dari 2 pulau besar yaitu Pulau Lepar dan Pulau Pongok serta pulau-pulau kecil disekitarnya. Lokasi penelitian di Kabupaten Bangka Selatan dilakukan di dua desa yaitu Desa Tanjungsangkar dan Desa Kumbung Kecamatan Lepar Pongok yang terletak Pulau Lepar. Masyarakat dikedua desa ini mempunyai kesepakatan lokal untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan laut dengan tidak melakukan dan melarang kegiatan eksplorasi laut yang merusak diantaranya dengan melarang penggunaan trawl dan kegiatan penambangan timah di laut. Desa Tangjungsangkar dan Desa Kumbung merupakan desa di Kecamatan Lepar Pongok dimana posisinya bersebelahan menghadap ke arah Laut Cina Selatan. 5.2.2. Kondisi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan Kabupaten Bangka Selatan memiliki potensi kekayaan yang sangat besar baik potensi di perairan laut maupun potensi di darat. Luas wilayah perairan laut Bangka Selatan adalah 10.640 km² dengan garis pantai 283,4 km. Potensi lestari perikanan tangkapnya adalah 26.502.30 ton dimana baru termanfaatkan sebesar 13.009,83 ton atau sekitar 49 persen. Jumlah produksi ini disumbang oleh para nelayan Kecamatan Lepar Pongok yaitu sebesar 9.485,30 ton atau 73 persen dari produksi Bangka Selatan. Jenis ikan yang dihasilkan dari Kecamatan Lepar Pongok sangat bervariasi meliputi ikan laut yang jenis pelagis besar, pelagis kecil, dan jenis demersal yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jenis ikan yang tercatat di database DKP Bangka Selatan (2011) tersebut diantaranya adalah ikan manyung, Ikan sebelah, pisang-pisang, selar, kuwe, tetengkek, bawal, talang-talang, golok-golok, selanget, tembang, lemuru, buntut kerbau, teri, gerit-gerit, kakap, Gulamah, kembung, tenggiri, pari, udang, rajungan, cumi-cumi, sotong, teripang, dan berbagai jenis siput. Diantara jenis siput yang memiliki nilai ekonomi tinggi yaitu siput gonggong. Kondisi seperti ini, tentunya merupakan potensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bangka Selatan. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan diketahui bahwa jumlah nelayan di Kabupaten Bangka Selatan adalah 7.728 orang dengan jumlah armada sebanyak 4.193 buah. Tabel di bawah ini menunjukkan sebaran jumlah nelayan, armada dan produksi ikan per kecamatan di Kabupaten Bangka Selatan.
42
Tabel 6. Jumlah Nelayan, Armada dan Produksi Ikan di Kabupaten Bangka Selatan Nama Kecamatan Kec. Toboali Kec. Tukak Sadai Kec. Batu Betumpang Kec. Payung Kec. Lepar Pongok Kec. Simpang Rimba Kec. Air Gegas Total
Jumlah Nelayan 1.784 1.328 754 2.956 906 7.728
Jumlah Armada Perahu Motor tanpa motor Tempel 93 83 72 28 44 18 211 20 76 20 496 169
Kapal motor 975 511 192 1.560 289 3.528
Jumlah Produksi (ton) 1.370,25 1.062,79 536,04 9.169,94 519,73 13.009,83
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, 2011. Tabel 6. menunjukkan bahwa dari 7.728 orang nelayan yang berada di Bangka Selatan 38 persennya berada di Kecamatan Lepar Pongok. Hal ini berpengaruh terhadap jumlah armada yang dimiliki oleh Kecamatan Lepar Pongok pun paling banyak di Bangka Selatan. Namun demikian sebanyak 1.478 buah kapal motor atau 95 persen dari 1.560 kapal motor yang dimiliki nelayan Lepar Pongok hanya mempunyai kapasitas dibawah 5 GT. Kondisi ini tentunya dapat ditingkatkan agar pemanfaatan potensi lestari ikan di Kecamatan Lepar Pongok dan di Kabupaten Bangka Selatan pada umumnya dapat ditingkatkan melebihi 49 persen. Selain mempunyai potensi perikanan laut, Kabupaten Bangka Selatan memiliki kekayaan yang tersimpan di perut Bumi yaitu tambang timah. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memang merupakan sabuk timah dunia. Potensi ini sudah dimanfaatkan sejak jaman colonial Belanda sampai sekarang. Konon nama “Bangka” berasal dari kata “Vanka” yan artinya timah. Kandungan timah ini, tidak hanya berada di wilayah daratan namun juga di dasar laut. Oleh karenanya eksplorasi tambang di laut mempengaruhi ekosistem laut serta biota yang terkandung di dalamnya menjadi rusak.
Ekosistem pesisir, khususnya padang lamun yang masih bertahan baik
kondisinya di Pulau Bangka hanya terdapat di Bangka Selatan yaitu di Pulau Lepar (PKSPL-IPB, 2003). Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan (2012) Wilayah laut yang masih terjaga dengan baik diantaranya adalah di sekitar Desa Tanjungsangkar dan Desa Kumbung karena mereka mempunyai kesepakatan lokal yang diataati dan diperjuangkan bersama untuk selalu menjaga kondisi laut mereka. 5.2.3. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Kabupaten Bangka Selatan
43
Desa Tanjungsangkar dan Desa Kumbung Kecamatan Lepar Pongok Kabupaten Bangka Selatan terletak dalam satu kawasan namun memiliki karakteristik sosial kemasyarakatan yang berbeda. Masyarakat Desa Tangjungsangkar didominasi oleh suku melayu dan sebagian kecil suku Bugis dan Sawang, sementara di Desa Kumbung lebih didominasi oleh peranakan Suku Sawang. Suku Sawang –menurut kepala Desa Kumbung- adalah suku asli masyarakat pulau Lepar sehingga mereka di berikan kawasan desa tersendiri sebagai bentuk penghormatan kepada Suku Sawang sebagai suku asli. Namun sekarang, masyarakat Suku Sawang telah bercampur dengan masyarakat dari suku-suku lain yaitu Melayu, Bugis, Jawa dan lain-lain. Banyak diantaranya yang melakukan pernikahan. Oleh karenanya, sebagian besar penduduk Desa Kumbung sekarang adalah peranakan Suku Sawang. Namun sebagian dari merka masih memegang tradisi nenek moyangnya dalam memperlakukan alam –dalam hal ini adalah laut- diantaranya dengan mempertahankan tradisi “Buang Jong”. Lain halnya dengan Desa Tanjungsangkar, sebagian besar masyarakatnya adalah Suku Melayu, namun ada juga Suku Bugis, Bajo dan Jawa. Meskipun masyarakat Desa Tanjungsangkar sebagian besar sudah tidak lagi mempercayai adanya mitosmitos atau pantangan-pantangan tertentu dalam hal melaut, namun pengaruh budaya Suku Sawang tetap ada diantaranya adalah masyarakat Desa Tanjungsangkar turut mentaati larangan melaut 3 hari setelah ritual Buang Jong seperti yang dilakukan oleh masyarakat Suku Sawang. Tidak terdapat lembaga adat yang berperan dalam pengaturan kehidupan sosial, ekonomi maupun politik di Desa Tanjungsangkar maupun Desa Kumbung. Pengaturan kehidupan masyarakat diserahkan sepenuhnya pada aparat formal yaitu pemerintahan Desa serta Badan Perwakilan Desa. Kehidupan masyarakat di Desa Tanjungsangkar terlihat lebih dinamis dibandingkan dengan Desa Kumbung. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh masyarakat Desa Tanjungsangkar lebih banyak dan lebih beragam dibandingkan dengan masyarakat Desa Kumbung. Meskipun sebagian besar masyarakat Desa Kumbung merupakan peranakan dari Suku Sawang namun identitas suku tidak lagi menjadi pertimbangan dalam kehidupan social dan politik. Hal ini dibuktikan dengan Kepala Desa Kumbung bukan berasal dari Suku Sawang namun berasal dari Suku Jawa. Persamaan religi atau ruh dalam menginterpretasikan alam terutama sumberdaya laut dimna mereka meyakini bahwa laut adalah titipan dari anak cucu merupakan sebuah kekuatan yang didukung
44
oleh peran pemerintahan desa dan pemerintahan diatasnya (kecamatan) ehingga ekosistem laut selalu berada dalam kondisi yang baik. Pelapisan masyarakat terlihat dari aspek ekonomi, orang kaya biasanya adalah dari golongan pengumpul yang merangkap sebagai pemberi modal, istilah lokalnya adalah “bos”. Sementara masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan biasa tergolong sebagai kelas menengah. Mereka umumnya mempunyai rumah yang permanen terbuat dari tembok dengan ukuran sedang. Golongan menengah ini umumnya mempunyai perahu atau nelayan motor tempel, atau ada juga nelayan yang merangkap sebagai penambang timah. Sementara golongan miskin terlihat dari rumahnya yang panggung terbuat dari papan, mereka umumnya bermatapencaharian nelayan dengan perahu ngumpil yaitu sejenis sampan yang digerakan oleh dayung kaki. Masuknya tambang timah ke daerah Bangka Selatan khususnya di Kecamatan Lepar Pongok membawa berkah ekonomi kepada masyarakat sekitar termasuk para nelayan. Para nelayan bisa ikut menambang timah terutama ketika musim barat tiba. Namun demikian, masyarakat di kedua desa tersebut melarang penambangan timah di laut karena akan mengganggu sumber mata pencaharian mereka dan bagi masyarakat Suku Sawang mencemari atau merusak laut akan mengganggu ketenangan hantu laut. Selain Timah, mata pencaharian alternatif masyarakat nelayan adalah bertani lada. Lada merupakan produk unggulan masyarakat Bangka pada umumnya bahkan Bangka merupakan pengasil lada putih terbaik di dunia. Jadi jika dilihat dari potensi alamnya, masyarakat memiliki kekayaan yang luar biasa banyaknya baik di darat maupun di laut. Aspek kepemimpinan pada masyarakat di Desa Tanjungsangkar agak berbeda dengan masyarakat di Desa Kumbung.
Di Desa Tanjungsangkar, Kepala Desa
dipandang sebagai pemimpin tunggal yang dapat dianut dan dihormati. Sementara di Desa Kumbung selain Kepala Desa ada juga sosok “dukun” yang disegani. Seorang nelayan keturunan Sawang bernama Ramli (39) mengatakan bahwa “dahulu yang dihormati adalah orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat, dll… sekarang tidak ada lagi penokohan tersebut, hanya ada sedikit yaitu “dukun” yang selalu memimpin upacara-upacara ritual dan mengobati yang sakit”. 5.2.4. Sistem Pandangan Hidup di Kabupaten Bangka Selatan Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Desa Tanjung Sangkar dan Desa Kumbung terdapat perbedaan terutama dalam perilaku atau berinteraksi dengan alam.
45
Masyarakat Desa Tanjungsangkar dimana terdapat suku yang sangat beragam dipengaruhi oleh tradisi Islam. Pemahaman agama Islam yang dianut oleh masyarakat Desa Tanjungsangkar cenderung menjauhi perbuatan-peruatan syirik. Oleh karenanya, tidak banyak terdapat mitos-mitos atau kepercayaan-kepercayaan terhadap kehidupan mistis di laut. Sementara Suku Sekak/Sawang yang banyak mendiami Desa Kumbung masih banyak yang meyakini tradisi nenek moyang mereka. Mereka masih meyakini adanya mitos-mitos tertentu terkait dengan laut dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Tradisi Buang Jong merupakan salah satu tradisi Suku Sawang yang sarat dengan ritual mistis. Tradisi Buang Jong bertujuan memperoleh perlindungan dari penguasa laut supaya terhindar dari berbagai macam bencana serta memperoleh hasil yang melimpah. Oleh karenanya, acara Buang Jong ini sering dilakukan pada musim Barat. Dahulu Buang Jong merupakan ritual yang mutlak harus diadakan agar terjadi keserasian kehidupan, namun sekarang ritual ini –khususnya di Desa Kumbung- sudah sulit dilaksanakan. Kepala Desa Kumbung, Harun Saleh mengutarakan bahwa, “Sudah dua tahun ini masyarakat Desa Kumbung tidak lagi melaksanakan ritual Buang Jong karena tidak ada biaya. Sekarang untuk memanggil dukun dan rombongannya harus ada dana 35 juta rupiah, sementara bantuan biaya dari pemda sudah tidak ada lagi. Jadi, ritual tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi”.
Ketika ditanyakan apakah
berpengaruh terhadap hasil produksi dan keamanan di laut, seorang Ramli (39) yang masih keturunan Suku Sawang mengungkapkan bahwa, “ hasil tangkapan sekarang menurun, memang kami sangat mengharapkan lagi diandakannya acara buang jong itu agar kami bisa menangkap ikan banyak-banyak”. Jadi, melemahnya tradisi Buang Jong bukan karena kepercayaan terhadap tradisi ini sudah luntur, namun karena masyarakat sudah tidak mampu lagi menyelenggarakan ritual buang Jong tersebut. Kepercayaan Suku Sawang terhadap hantu laut, menjadikan mereka lebih arif dalam memperlakukan alam. Menurut Rukiyah (45) dan Masirah (75) keturunan Suku Sawang membuang sampah ke laut merupakan pantangan yang jika dilanggar akan menyebabkan perut kembung. Penyakit ini akan dapat disembuhkan oleh dukun dengan cara memberi sedekah kepada hantu laut berupa makanan sebanyak 40 macam yang ditempatkan di daun simpur di tikar bamboo kemudian diletakan di batang atau pohon besar pinggir laut. Setelah itu, penyakit kembung perut biasanya akan sembuh.
46
Kondisi sekarang di Desa Kumbung dan Desa Tanjung Sangkar sudah terjadi perbauran. Suku Sawang dan suku-suku lainnya sudah banyak yang melakukan perkawinan antar suku, bahkan di Desa Kumbung sendiri hampir semuanya adalah peranakan Suku Sawang.
Akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat suku
sawang, suku bugis, bajo dan melayu di Desa Kumbung dan Tanjungsangkar telah menyebabkan adanya perubahan dalam aspek keyakinan sebagian dari mereka. Masyarakat selain suku sawang yang secara umum menganggap bahwa ritual buang jong bukanlah sebuah kebutuhan, namun ketika ritual itu ada mereka tetap meyakini bahwa selama tiga hari setelah ritual tersebut merupakan hari pantang melaut, jika dilakukan diyakini akan mendapatkan bencana. Contoh yang lain adalah lunturnya keyakinan terhadap hantu laut pada beberapa generasi Suku Sawang menyebabkan orang tidak takut lagi membuang sampah ke laut. Akibatnya beberapa sudut pantai terlihat adanya tumpukan sampah. 5.2.5. Sejarah dan Bentuk Kearifan Lokal di Kabupaten Bangka Selatan Pemahaman masyarakat pada umumnya di Desa Tanjung Sangkar dan Desa Kumbung yang menganggap bahwa laut adalah sumber kehidupan dan merupakan titipan dari anak cucu yang harus dipelihara, serta kepercayaan Suku Sawang bahwa terdapat kekuatan mahluk laut yang mempengaruhi aktivitas mereka baik di darat maupun di laut melahirkan sebuah kearifan dalam memperlakukan sumberdaya laut. Kepercayaan Masyarakat suku Sawang terhadap “hantu laut” tersebut menyebabkan suku tersebut tidak membuang sampah ke pantai/laut. Kepercayaan tentang mendapatkan penyakit akibat membuang sampah sembarangan ke laut merupakan salah satu pengetahuan lokal masyarakat suku sawang/sekak dalam melestarikan lingkungannya. Mereka juga menyadari akan adanya musibah jika merusak lingkungan laut. Upaya untuk mempertahankan kondisi laut pun tidak terlepas pertimbangan rasional, bahwa berapa pun ganti rugi yang diterima dari sebuah upaya eksploitasi sumberdaya laut yang merusak tidak akan mampu menggantikan manfaat dari sumberdaya yang lestari. Para nelayan menolak adanya penambangan timah di laut karena mereka menyadari akan dampaknya ke depan. Menurut mereka, apalah arti uang ratusan juta bahkan milyaran jika lingkungan tempat mereka mencari ikan rusak sehingga mereka tidak bisa mewariskannya kepada anak cucunya. Hasil dari penambangan timah menurut mereka hanya dapat dinikmati sesaat (dalam waktu yang
47
singkat), sedangkan kelestarian sumberdaya laut dapat menjamin kehidupan mereka secara berkelanjutan. Penambangan timah yang tidak terkontrol membawa degradasi lingkungan yang sangat kritis. Kawasan pesisir untuk daerah wisata yang terletak di Klabat dan Jebus pada bulan April dan Mei 2005 telah berubah menjadi lahan potensial untuk pengopeasian 1.000 Tambang Inkonvensional (TI) Apung yang berasal dari berbagai daerah Bangka sehingga merusak wilayah pantai, tidak terkecuali untuk wilayah Pulau Lepar yang merupakan kawasankonservasi di Kabupaten Bangka Selatan. Bahaya nyata dari kegiatan TI timah adalah perubahan lanskap dan degradasi lingkungan yang semakin tinggi intensitasnya yang sudah mencapai tahap kritis. Ada sebelas air sungai besar yang telah tercemar dan telah berubah warnanya menjadi seperti kopi susu (Erman, 2010). Lebih lanjut, Erman (2010) menjelaskan bahwa respon masyarakat lokal terhadap kerusakan lingkungan akibat penambangan timah bervariasi baik dari kalangan petani maupun nelayan. Misalnya kelompok nelayan di Air Anyut Sungai Liat bersepakat untuk menolak kehadiran penambang timah di pantai karena merusak lingkungan pantai. Namun permintaan tersebut tidak mendapatkan respon dari pemerintah. Protes para nelayan ini disebabkan karena mereka telah kehilangan akses terhadap sumber mata pencaharian dan meningkatnya biaya produksi untuk melaut seperti biaya untuk bahan bakar dan ransum, disamping kemungkinan berubahnya modal investasi untuk perahu. Ikan akan sulit diperoleh/ditangkap di wilayah pesisir yang telah dirusak oleh penambangan timah, sehingga para nelayan harus mencari ikan lebih jauh dari pantai. Kesulitan ini ditambah dengan mengecilnya akses terhadap sumber daya karena tekanan eksternal nelayan seperti persaingan dengan nelayan asing misalnya Thailand yang memiliki teknologi penangkapan ikan yang modern yang menangkap ikan secara ilegal di wilayah perairan Bangka. Keberadaan alat tangkap trawl yang berasal dari wilayah lain/desa lain yang berkeliaran di sekitar pantai di desa Tanjungsangkar sangat meresahkan masyarakat sekitar khususnya nelayan. Mereka menyadari akan kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan alat tangkap trawl. Alat tangkap trawl merusak alat tangkap nelayan desa Tanjungsangkar seperti jaring kepiting (bubu), jaring udang dan jaring hanyut disamping merusak termbu karang sekitar pulau.
48
Kearifan tersebut tidak hanya tercermin pada aspek normatif berupa ritual, simbol dan mitos berkaitan dengan laut saja, namun juga tercermin pada aspek kognisi masyarakat berupa pengetahuan dan teknologi yang mereka gunakan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut. Kekuatan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tersebut didukung oleh peran pemerintah untuk memayungi perilaku masyarakat tersebut, diantaranya dengan pembuatan perdes tentang Daerah Perlindungan Laut (DPL) serta upaya-upaya aparat pemerintah sebagai fasilitator dalam pemecahan konflik.
Meskipun peran pemerintah tersebut belum optimal,
namun inisiasi ke arah tersebut membuka harapan bagi masyarakat Desa Tanjungsangkar dan Desa Kumbung untuk terus menjunjung tinggi kerifan dalam mengelola sumberdaya laut. Semakin terbatasnya potensi sumber daya laut akibat dari tindakan dan ancaman perusakan oleh masyarakat dan nelayan, dan untuk menjamin kelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil serta untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam rangka pelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil maka desa Tanjungsangkar dan desa Tanjungsangkar di Pulau Lepar Kabupaten Bangka Selatan berkomitmen untuk membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL). Daerah perlindungan laut merupakan daerah pesisir dan laut yang mempunyai areal ekosistem mangrove, kawasan terumbu karang, padang lamun dan atau habitat ekosistem laut lainnya yang secara mandiri atau bersama-sama dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secaa permanen dari aktivitas pengusahaan perikanan dan pengambilan biota lautnya kecuali kegiatan penelitian, studi dan survey berkenaan dengan pengelolaan kegiatan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari pembuatan DPL adalah dalam rangka meningkatkan produksi perikanan di sekitar DPL (khususnya siput gonggong) sekaligus untuk melindungi keanekaragamana biota laut di dalam DPL. Upaya tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang menjaga dan mengelola DPL tersebut. Pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya siput gonggong tidak terlepas dari peran serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada di daerah tersebut. Pembuatan DPL di desa Tanjungsangkar difasilitasi oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Selatan. Masyarakat Desa Tanjungsangkar menyadari bahwa di beberapa wilayah Kabupaten
49
Bangka Selatan terjadi penambangan timah secara besar-besaran baik di wilayah darat maupun wilayah laut yang mengancam sumberdaya laut. Perusakan laut ini telah terjadi pada wilayah Pulau Tinggi dimana terumbu karang telah rusak, berkurangnya sumberdaya ikan dan air laut menjadi keruh karena karena adanya tambang timah di laut. Menyadari akan pentingnya melindungi keanekaragaman hayati laut dan untuk meningkatkan produksi perikanan bagi generasi yang akan datang, maka pemerintah desa dan masyarakat desa merancang pembuatan DPL. Para peneliti dari LIPI bertindak sebagai fasilitator untuk menunjang program kelautan khususnya pemulihan populasi siput gonggong di alam. Solusi yang ditawarkan untuk menyelamatkan biota yang terancam kepunahannya sementara kegiatan ekonomi nelayan dapat terus berjalan, adalah sebagai berikut: 1. Menentukan daerah suaka perikanan siput gonggong dengan sistem zonasi di Teluk Klabat dan pada setiap daerah potensial penghasil siput gonggong. Penentuan areal suaka tersebut harus dikoordinasikan dengan Pemda setempat untuk mendapat legalitas dalam bentuk Peraturan Daerah yang bersifat mengikat semua pihak. 2. Pelaksanaan pelatihan pengelolaan suaka perikanan siput gonggong bagi para stakeholder yang terdiri dari: nelayan dan penjual (pengumpul dan pengolah), para petugas lapangan instansi terkait dan para pengambil kebijakan di tingkat daerah. 3. Penebaran bibit dan induk secara massal pada areal suaka di Teluk Penetapan DPL di Desa Tanjungsangkar melalui proses yang cukup lama yaitu selama 15 bulan. Proses pembentukan DPL mengacu pada Buku Pedoman Pembentukan Daeah Perlindungan Laut Berbasi Masyarakat (DKP, 2004). Proses tersebut diantaranya sosialisasi DPL, identifikasi isu, pemilihan lokasi, musyawarah desa, penetapan peraturan desa, pembentukan Badan Pengelola DPL, pembuatan rencana pengelolaan DPL, dan penempatan tanda batas serta informasi. Sedangkan surat keputusan desa dan Peraturan desa (Perdes) belum ditetapkan dan ditandatangani karena adanya rencana perubahan batas-batas DPL. Badan Pengelola DPL dibentuk atas permintaan masyarakat yang muncul pada musyawarah-musyawarah desa dalam penetapan lokasi dan aturan DPL. Pengurus
50
Badan Pengelola DPL ini dipilih dalam musyawarah desa dengan struktur organisasi seperti pada Gambar 8
Penanggung Jawab Umum Kepala Desa
Penasihat: - DPD, - Tokoh Masyarakat - Tokoh Pemuda
Badan Pengelola DPL
Sekretaris
Seksi Monitoring dan Pengawas
Seksi Perlengkapan
Seksi Usaha Dana
Seksi Hubungan Masyarakat
Seksi Pendidikan dan Pelatihan Masyarakat
Gambar 8. Struktur Badan Pengelola DPL Desa Tanjungsangkar 5.2.6. Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Batas pengelolaan/Sistem Zonasi Pengawasan masyarakat desa Tanjungsangkar terhadap penggunaan trawl dilakukan di wilayah administratif desanya. Alat tangkap trawl dilarang masuk ke wilayah perairan pantai sekitar desa. Masyarakat nelayan yang menggunakan trawl biasanya berasal dari desa sebelah atau dari wilayah lain di luar Bangka Selatan.
51
Menurut Perdes Desa Tanjungsangkar mengenai zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL), cakupan daerah perlindungan laut diantaranya: 1.
Zona inti dan batas-batasnya berada di lokasi yang bernama Pantai Pangkalan Gunung, yang mencakup wilayah yang terletak di dalam garisgaris lurus yang menghubungkan Titik Batas I, Titik Batas II, Titik Batas III, dan Titik Batas IV.
2.
Titik Batas I berjarak 500 meter dari pantai, sepelah utara Zona Inti DPL
3.
Titik Batas II berjarak 300 meter diukur dari Titik Batas I, sebelah selatan Zona Inti DPL
4.
Titik Batas III berjarak berjarak 500 meter diukur tegak lurus menyusur pantai dari Titik Batas I
5.
Titik Batas IV berjarak 300 meter diukur dari Batas III
Zona penyangga adalah batas-batasnya berada di lokasi yang bernama Pantai Pangkalan Gunung, yang mencakup wilayah yang terletak antara zona inti dengan garis-garis yang menghubungkan Titik Batas Penyangga I, II, III dan IV. Titik Batas Penyangga I berjarak 200 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas I mengarah ke pantai. Titik Batas Penyangga II berjarak 300 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas II mengarah ke arah laut. Titik Batas Penyangga III berjarak 200 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas II mengarah ke pantai. Titik Batas Penyangga IV berjarak 200 meter diukur tegak lurus dari Titik Batas III mengarah ke arah laut. Aturan Tidak ada aturan lokal yang mengatur tentang pelarangan terhadap penggunaan trawl di sekitar desa Tanjungsangkar. Hanya saja masyarakat merasa dirugikan atas penggunaan alat tangkap tersebut karena dapat merusak alat tangkap nelayan desa Tanjungsangkar yang biasanya menggunakan jaring kepiting, jaring udang, gillnet dan jaring hanyut. Masyarakat khususnya aparat desa hanya dapat melakukan pengawasan dan pengusiran terhadap kapal-kapal trawl tersebut untuk tidak menangkap di sekitar perairan desa Tanjungsangkar. Pengawasan juga dapat dilakukan dengan melaporkan kegiatan kapal trawl tersebut tersebut kepada pihak dinas maupun aparat penengak hukum. Daerah perlindungan laut di desa Tanjungsangkar dan desa Kumbung merupakan wilayah konservasi laut yang bertujuan untuk melindungi ekosistem laut
52
khususnya komoditas siput gonggong, dengan aturan-aturan yang telah dibuat oleh masyarakat dan telah dituangkan dalam Perdes, diantaranya: -
Setiap penduduk desa wajib menjaga, mengawasi dan memelihara kelestarian wilayah pesisir laut yang dilindungi.
-
Setiap penduduk desa dan atau kelompok mempunyai hak dan tanggung jawabuntuk berpartisipasi dalam perencanaan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah yang dilindungi
-
Setiap orang atau kelompok yang akan melakukan kegiatan dan atau aktivitas dalam daearh Perlindungan Laut (Zona Inti) harus terlebih dahulu melapor dan memperoleh izin dari Badan Pengelola
-
Kegiatan yang dilakukan dalam wilayah yang dilindungi (Zona Inti) adalah kegiatan orang perorang dan atau kelompok yaitu penelitian dan wisata terlebih dahulu melapor dan memperoleh izin dari Badan Pengelola dengan membayar biaya pengawasan dan perawatan yang akan ditentukan kemudian oleh Badan Pengelola.
-
Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam zona penyangga adalah pemanfaatan terbatas oleh nelayan, dengan terlebih dahulu melapor dan memperoleh izin dari Badan Pengelola. Semua bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan perusakan lingkungan laut
dilarang dilakukan di daerah pesisir dan laut yang sudah disepakati dan ditetapkan bersama masyarakat untuk dilindungi (zona inti dan zona penyangga). 1. Setiap penduduk desa maupun luar penduduk desa dilarang melakukan aktivitas di laut pada wilayah yang dilindungi (zona inti) 2. Hal-hal yang tidak dapat dilakukan atau dilarang di zona inti diantaranya: - Melintasi/menyeberang dengan menggunakan segala jenis angkutan laut, semua bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan perusakan lingkungan dilarang dilakukan di wilayah pesisir dan laut yang sudah disepakati dan ditetapkan bersama untuk dilindungi (zona inti dan zona penyangga) - Pemancingan segala jenis ikan - Penangkapan dengan jala, jaring, bubu dan sejenisnya - Penangkapan ikan dengan menggunakan alat pemanah, racun dan bahan peledak - Pengambilan teipang dan sejenisnya
53
- Pengambilan lamun - Pengambilan karang hidupdan sejenisnya - Pengambilan kerang-kerangan dan atau jenis biota lainnya hidup atau mati - Membuang jangkar - Menggunakan perahu lampu - Pengambilan batu, pasir dan kerikil - Melakukan penambangan timah. 3. Hal-hal yang tidak dapat dilakukan/dilarang di zona penyangga adalah: - Melintasi/menyeberang dengan perahu menggunakan lampu atau cahaya lainnya - Menangkap ikan dengan menggunakan peralatan tangkap modern, prahu payang, minitrawl, gillnet dan sejenisnya. - Melakukan penambangan timah Distribusi Hak Distribusi Hak dalam pengelolaan dan pemanfaatan Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah: 1. Hak mengakses (access). Dalam Perdes desa Tanjungsangkar Bab VI Pasal 7 menyebutkan bahwa setiap penduduk desa atau luar desa dilarang untuk melakukan aktivitas di wilayah zona inti. Selain itu, dilarang pula untuk melintasi/menyeberang dengan menggunakan segala jenis angkutan laut. Di zona penyangga, perahu yang menggunakan lampu atau cahaya lainnya dialrang melintasi/menyeberang zona tersebut. 2. Hak memanfaatkan (withdrawl). Kegiatan yang dilakukan dalam wilayah yang dilindungi (zona inti) adalah kegiatan penelitian dan wisata secara perorangan yang terlebih dahulu melapor dan memperoleh izin dari Badan Pengelola dengan membayar biaya pengawasan dan perawatan yang akan ditentukan kemudian oleh Badan Pengelola. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam zona penyangga adalah pemanfaatan terbatas oleh nelayan, dengan terlebih dahulu melapor dan memperoleh izin dari Badan Pengelola 3. Hak Pengelolaan (management)
54
Hak pengelolaan DPL diberikan kepada Badan Pengelola yang dibentuk bersama-sama dari seluruh unsur masyarakat. Tugas dan tanggung jawab Badan Pengelola adalah: -
Membuat perencanaan pengelolaan daerah perlindungan laut yang disetujui oleh masyarakat melalui keputusan bersama
-
Bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk pengelolaan DPL yang berkelanjutan
-
Bertugas mengatur,menjaga pelestarian dan pemanfaatan wilayah yang dilindungi untuk kepentingan masyarakat
-
Berhak melaksanakan penyitaan atas barang dan atau alat-alat yang dipergunakan sesuai ketentuan dalam keputusan ini
4. Hak pemindahtanganan Daerah Perlindungan Laut (DPL) merupakan inisiasi dari para peneliti LIPI yang merupakan milik masyarakat desa (Tanjungsangkar dan Tanjungsangkar) dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat sehingga hak untuk memindahtangankan pengelolaan dan pemanfaatan harus melibatkan seluruh unsur masyarakat. Keberadaan DPL sebagai wilayah konservasi laut suatu daerah/wilayah tertentu, tidak memungkinkan adanya pemindahtanganan hak pemanfaatan dan pengelolaan areal DPL selama wilayah administrasi desa tersebut tidak berubah, yang dapat berubah adalah lembaga berikut aturan-aturannya. Monitoring dan sanksi Monitoring dan pengawasan dalam penegakan aturan DPL diantaranya: -
Melakukan pengawasan secara bergulir oleh anggota kelompok masyarakat terhadap DPL
-
Membuat jadwal monitoring secaa berkala terhadap DPL
-
Melengkapi sarana pengawasan dan monitoring berupa teropong dan perahu pengawas
-
Menegakkan peraturan DPL yang sudahditetapkan
-
Menindak setiap pelaku yang melanggar aturan DPL
Sanksi yang berlaku menurut Perdes Bab VII Pasal 10 adalah: 1. Barangsiapa melakukan perbuatan melanggar ketentuan di atas akan dikenakan sanksi tingkat pertama berupa permintaan maaf oleh yang
55
bersangkutan
atau
kelompok,
sekaligus
menyerahkan
seluruh
hasil
perbuatan/tindakannya seperti penangkapan ikan konsumsi dan atau ikan hias,kerang-kerangan, pasir, timah dan lain-lain harus dikembalikan ke tempat asalnya dan berjanji untuk tidak akan melakukan perbuatannya kembali serta menandatangani surat pernyataan yang dibuat, di hadapan pemerintah desa, badan pengelola dan masyarakat. 2. Barangsiapa melakukan perbuatan melanggar ketentuan di atas kedua kalinya dikenakan sanksi tingkat kedua yaitu sanksi seperti pada poin satu, ditambah dengan denda berupa sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Badan Pengelola dan sekaligus penyitaan dalam tenggang waktu tertentu semua peralatan atau alat-alat lain yang dipergunakan untuk perbuatan yang dilarang dalam keputusan desa 3. Barangsiapa melakukan perbuatan melanggar ketentuan di atas yang ketiga kalinya, dikenakan sanksi tingkat ketiga yaitu diwajibkan untuk melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan seluruh masyarakat desa dan atau sanksi lain yang akan ditentukan kemudian oleh keputusan masyarakat dan pemerintah desa 4. Barangsiapa melakukan perbuatan melanggar ketentuan di atas secara berulang-ulang kali, yaitu pelanggaran yang melebihi tiga kali, maka dikenakan sanksi seperti tercantum di atas, kemudian diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Distribusi hasil Dana yang diperoleh dari kegiatan dalam daerah perlindungan laut diperuntukkan sebagai dana pendapatan untuk pembiayaan petugas atau kelompok pengawas/patroli laut. Pemeliharaan dan pembelian peralatan penunjang seperti pelampung, papan informasi dan biaya lain-lain yang diperlukan dalam upaya perlindungan wilayah pesisir dan laut, dan tata cara pemungutannya oleh petugas yang ditunjuk melalui keputusan bersama Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut. Dana-dana lain yang diperoleh melalui bantuan dan partisipasi pemerintah atau organisasi lain yang tidak mengikat yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan DPL.
56
5.3.
Kabupaten Kutai Kartanegara
5.3.1. Kondisi Geografis Danau Loa Kang dan Kabupaten Kutai Kartanegara Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai perairan umum yang sangat luas di Provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas wilayah 27.263,10 km² terletak antara 115°26’BT dan 117°36’ BB serta di antara 1°28’ LU dan 1°08’ LS. Kabupaten Kutai Kartanegara dibagi ke dalam 18 kecamatan.
Sumber: http://www.google.co.id/search = peta+kabupaten+kutai+kartanegara diunduh tanggal 30 November 2012 pukul 15.52 Gambar 9. Peta Lokasi Kutai Kartanegara Kabupaten Kutai Kartanegara terdiri dari 9 kecamatan dan memiliki belasan sungai yang tersebar di hampir di semua kecamatan. Sungai bagi masyarakat merupakan alat transportasi utama bagi masyarakat yang tinggal di pedalaman. Sungai terpanjang adalah Sungai Mahakam dengan panjang 920 km. Kutai Kartanegara merupakan wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Bulungan, Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang di Sebelau utara, Selat Makassar di sebelah timur, Kabupaten Penajam Pasir Utara dan Kota Balikpapan di sebelah selatan dan dengan Kabupaten Kutai Barat di sebelah barat. Kota Bangun merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Kartanegara yang terletak pada 116°27’-116°46’Bujur Timur dan 0°07’LS-0°36’ LS dengan luas wilayah 1143,74 km². ( Dinas Perikanan dan Kelautan Kec, Kota Bangun 2011).
57
Lokasi penelitian berada di suaka danau Loa Kang. Suaka Danau Loa Kang adalah suakua produksi ikan di perairan sungai dan rawa banjiran Indonesia tertua. Lokasi Suaka Loa Kang dari ibukota kecamatan berjarak sekitar 9 km dengan luas 789 Ha. Batas suaka Loa Kang, sebelah barat dibatasi oleh sungai Pela, sebelah utara dibatasi oleh Sungai Belayan dan sebelah selatan dibatasi oleh Sungai Mahakam. Suaka Danau Loa Kang ini merupakan daerah rawa banjiran dari sungai Mahakam yang sudah ada. Danau Loa Kang ini termasuk dalam Sub DAS Danau Semayang- Melintang, Danau Loa kang dan Danau Balikpapan merupakan danau dangkal dengan fluktuasi tinggi dimana permukaan air di pengaruhi oleh musim dan pasang surut Sungai Mahakam. Daerah aliran di bagian hilir yang datar cenderung membentuk pola aliran meander dan sangat berpotensi terjadinya banjir (paparan Banjir) sebagai akibat badan air sungai tidak lagi mampu menampungdalam jumlah yang banyak. Banjir sungai di wilayah dataran rendahsering menyebabkan terbentuknya tanggul alam (Natural levee) sepanjang aliran sungai. Tanggul ini berperan untuk menahan air hasil limpasan banjir sehingga terbentuk genangan-genangan yang tidak dapat kembali ke sungai atau dikenal dengan sebutan Rawa Belakang (Black Swamp Deposit). 5.3.2. Kondisi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kutai
Kartanegara Danau Loa Kang merupakan danau suaka perikanan di Kecamatan Kota Bangun yang memiliki lahan yang potensial untuk pengembangan usaha perikanan, khususnya perikanan air tawar. Jenis usaha perikanan yang dapat dikembangkan
adalah
penangkapan, budidaya pengolahan hasil perikanan. Dari potensi sumberdaya yang tersedia, telah dimanfaatkan sebanyak 684,22 Ha untuk usaha budidaya perikanan yang mencakup ketiga jenis usaha tersebut dengan tujuan komersil. Tetapi ketigajenis usaha tersebut belum termasuk pemanfaatan lahan yang digunakan untuk usaha konservasi dan pemanfaatan perairan umum yang tujuannya menjaga kelestarian sumberdaya ikan, pelestarian plasma nutfah dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pemanfaatan lahan potensi untuk usaha konservasi dan pemanfaatan perairan umum belum terdata dengan lengkap namun telah diupayakan dalam bentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Berdasarkan data dari Dinas Keluatan dan Perikanan Tahun 2010, Kabupaten Kutai Kartanegara khususnya kecamatan Kota
58
bangun terdapat 2 orang Pokmaswas dengan pasilitas untuk melakukan pengawasan sebuah perahu. Tabel 7. Kelompok Usaha, produksi dan nilai produksi hasil Perikanan di Kabupten Kutai Kartanegara berdasarkan Jenis Usaha, 2011, No
Jenis Usaha
Luas/ Jumlah
RTP
Produksi (ton)
Perikanan Tangkap - Nelayan 2.939 5.969,3 Ton - Perahu 2.901 unit - Alat Tangkap 6.493 2 Budidaya - Kolam 837,1 2.093 414,4 - Keramba Apung 837,1 10.587 34.072,9 - Tambak 76.620 7.672 22.560,6 - Sawah 11,8 20 6.4 3 Pengolahan Hasil Perikanan - Pengolah Ikan asin 13.175,10 - Ikan Segar 17.370,43 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan KabupatenKutai Kartanegara 2011
Nilai Produksi (Rp.1000)
1
68.898.364
9.158.303 731.902.150 1.152.471.290 148.700
Dari tabel diatas pemanfaatan sumberdaya alam untuk kegiatan perikanan dilakukan dengan 3 aktivitas yaitu kegiatan penangkapan, budidaya dan pengolahan. Kegiatan penangkapan di zona ekonomi jumlah nelayan adalah 2.939 orang dengan jumlah alat tangkap berbagai jenis alat tangkap adalah 6.493 unit, sedangkan perahu yang digunakan dalam operasional penengkapan adalah perahu dengan menggunakan motor tempel. Adalah 13.312 buah, Volume produksi hasil tangkapan di perairan umum adalah 32.799,600 kg dengan nilai produksi adalah Rp. 426.799.800.000. Pemanfaatan perairan umum untuk kegiatan budidaya ikan di Kecamatan Kota Bangun dilakukan di keramba apung dan haba. Jumlah pembudidaya dikolam 2.095 orang dengan luas kolam 837,1 ha dengan jumlah produksi 414,4 ton. Kegiatan usaha budidaya ikan di keramba apung jumlah RTPnya adalah 10.587 dan luas keramba adalah 917,2 ha dengan jumlah prodiksi 34.072,9 ton dan nilai produksi Rp.731.902,150.000 Usaha tambak di kabupaten Kutai kartanegara cukup besar dimana luas tambak 76,620 ha dengan jumlah RTP 7.672, jumlah produksi adalah 22.560.6 ton dengan nilai produksi Rp. 1.152.471.290. 000, kegiatan usaha budidaya ikan disawah jumlah RTPnya 20 dengan luas sawah 11,8 ha. Produksi ikan disawah adalah 6,4 ton dengan nilai produksi Rp.148.700,000
59
Sementara usaha pembudidayaan ikan dengan tujuan komersil dilakukan oleh para pembudidaya ikan baik dilakukan secara perorangan maupun bergabung dalam kelompok-kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) sudah ada yang memdapat bantuan modal untuk usaha budidaya, ikan yang dibudidayakan adalah ikan mas dan nila. Benih ikan mas dan nila sebagianbesar masih dipasok dari Jawa Barat Kabupaten Kutai Kartanegara secara umum produksi benih di daerah ini diproduksi oleh Unit Pembenihan ikan Rakyat (UPR) dan Balai Benih Ikan (BBI) yang dimiliki oleh Dinas Perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara. Jumlah produksi benih ikan pada tahun 2011 masih rendah dan tidak dapat mencukupi kebutuhan pembudidaya. Kondisi Perairan Suaka Danau Loa Kang Kondisi suaka danau Loa kang sebagai dari paparan banjiran sungai Mahakam mengalami dua kondisi yang berbeda yaitu pada musim penghujan semua bagian suaka perikanan Danau Loa Kang menyatu dengan sungai Mahakam dan Sungai Pela, sehingga batas batas wailayah suaka Danau Loa Kang menjadi tidak jelas. Sedangkan pada musim kemarau Suaka danau Loa kang mengalai penyusutan air yang tinggi dan pada bulan Nopember suaka danau Loa kang mulai naik air walau pun masih rendah. Dilihat dari sisi manajemen pengelolaan suaka danau Loa kang sangat memperhatinkan, dimana alur sungai yang masuk ke danau Loa kang sudah dipagar untuk menghidarai terjadinya pencurian oleh nelayan pendatang maupun nelayan lokan yang berdekatan dengan Danau loa Kang. Akan tetapi kenyataannya banyak nelayan yang dari luar melakukan pencurian di danau Loa kang dengan menggunakan alat tangkap yang di pasang sepert bubu dan hempang. Pemasangan alat tangkap yang dilakukan nelayan adalah di muka keluar masuknya aliran air dari sungai Mahakam maupun sungai Balik Papan yang membatasi ruang gerak ikan keluar masuk ke Danau LoaKang. Kondisi Perairan Danau Loa kang yang lebih memperburuk lagi setelah tumbuhnya pedagang bahan bakar terapung dan galangan kapal di pantai muara sungai Loa Kang sehingga banyak bahan bakar yang
tumpah ke perairan
yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran perairan walaupun tidak berpengaruhnyata dan ironisnya dilokasi tersebut sudah terpasang papan Larangan Suaka perikanan danau Loa Kang dan terdapat Rumah jaga suaka danau Loa kang. Pada umumnya nelayan sudah mengetahui tentang peraturan yang menyatakan bahwa dikawasan
60
Suaka Danau Loa kang tidak boleh melakukan penangkapan ikan,akan tetapi banyak nelayan yang mengatakan bahwa saat ini sudah sulit mendapatkan ikan di zona bebas atau zona ekonomi, sehingga nelayan melakukan penangkapan di daerah wilayah suaka danau Loa kang. Perlanggaran penangkapan ikan di danau Loa kang kebanyakan dilakukan oleh nelayan di luar desa Pela dan desa Liang Ilir. Dewasa ini perairan sungai Mahakam, sungai Pela dan Danau Loa kang terdapat beberapa jenis ikan yang sudah sulit ditemukan atau tertangkap dan hasilnya tangkapan nelayan mulai menurun ( Purnomo dkk, 1991). Sedangkan Kartamihardja at. al (2000) mengatakan bahwa hasil tangkapan nelayan yang menurun tersebut antara lain disebabkan oleh adanya intensitas penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan , terjadinya pendangkalan perairan dan terjadinya musim kemarau yang panjang. Upaya pengelolaan perikanan suaka Danau Loa kang bertujuan untuk melestarikan sumberdaya ikan dan hasil tangkapan nelayan setempat, dapat dilakukan melalui beberapa opsi sebagai berikut: 1.
Peningkatan Stok ikan yang dapat dilakukan dengan melalui upaya penebaran kembali atau introduksi ikan.
2. Pembentukan suaka perikanan yang disertai dengan aspek Hukumnya, 3. Dibuatnya peraturan penangkapan dan peraturan perikanan lainnya 4. Pembentukan Kelembagaaan upaya pemanfaatan berkelanjutan, termasuk pembentukan paraturan penangkapan, yang diikuti dengan upaya penegakan hukum. Kondisi jenis ikan yang terdapat di Danau Loa Kang adalah jenis asli ikan sungai yang banyak jenisnya. Menurut Lukman 2997 dalam Hartono 2002 jenis jenis ikan yang masih mudah di dapat di perairan sungai pela dan sungai mahakam dapat dilihat pada Tabel dibawah Tabel 8. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komposisi Jenis Ikan yang tertangkap di Sungai Pela dan Mahakam 2002 Jenis ikan Kondisi Ikan Pepuyu Masih Mudah di Dapat Sepat Siam Masih Mudah di Dapat Sepat rawa Sudah Sulit Didapat Kendia Sudah Sulit Didapat Kebele Sudah Sulit Didapat Lalang Sudah Sulit Didapat Lepok Sudah Sulit Didapat Jelawat Sudah Sulit Didapat Tempe Sudah Sulit Didapat Puyau Sudah Sulit Didapat
61
11 Repang Sudah Sulit Didapat 12 Biawan Masih Mudah di Dapat 13 Seluang Masih Banyak Ikannya 14 Toman Masih Banyak Ikannya 15 Lele Sudah Sulit Didapat 16 Baung Masih Mudah di Dapat 17 Gabus Masih Mudah di Dapat Keterangan : Sumber Hasil Pengamatan dan Lukman 1997 Dari tabel di atas bahwa banyak jenis ikan di Kawasan Danau Loa kang yang sulit ditemukan(punah) dan ada beberapa jenis ikan yang masih mudah tertangkap oleh nelayan seperti Baung, biawan, Sepat siam, sedangkan jenis ikan yang masih banyak tertangkap adalah ikan toman saja. Secara umum produksi ikan konsumsi di Kabupaten Kutai kartanegara tahun 2010 meningkat dibandingkan produksi tahun 2009. Walaupun produksi meningkat, namun belum sesuai dengan target produksi yang ditetapkan sebeesar 23.493.000 kg atau kurang lebih 97,21 persen. Hal ini disebabkan panjangnya rentang waktu kemarau yang mengakibatkan debit air sungai berkurang, sehingga usaha pembesaran ikan di kolam air deras dan keramba menurun tingkat produksinya. Tabel 9. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2011. No 1 2 3 4 4
Jenis Kegiatan Keramba Apung Tambak Kolam Air tenang Budidaya di Sawah Penangkatap di Perairan Umum
Produksi (Kg) 414,4 22.560.6 34.072,9 6.4 5.969,3
Nilai Produksi (Rp.) 9.158.303 731.902.150 1.152.471.290 148.700 68.898.364
Sumber: Dinas Kelautan danPerikanan Kabupaten Kutai Kartanegara 2011. Kabupaten Kutai Kartanegara mempunyai sumber daya perikanan perairan umum sebagai tempat kegiatan usaha budidaya ikan dalam keramba apung yang dapat dikembangkan dilokasi zona penyanggah bukan di zona ekonomi. Potensi sumberdaya perairan umum daratan yang demikian besar merupakan tumpuan pembangunan perikanan di perairan umum yang perlu dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Data perairan di atas, sebagian besar dari panjang sungai dimanfaatkan oleh masyarakat Kabupaten Kutai kartanegara untuk kegiatan budidaya ikan Nila, Mas dan Ikan Toman. Batas suaka larangan penangkapan ikan di danau Loa Kang adalah 750 Ha.
62
Gambar 10. Kegiatan Usaha Budidaya Ikan di keramba jaring Apung di Desa Pela Lama Pemasaran ikan hasil tangkapan maupun budidaya ikan di keramba cukup beragam, pemasaran ikan hasil tangkapan pada umumnya dipasarkan ke jakarta dalam bentuk ikan hasil olahan, sedangkan hasil budidaya pemasarannya hanya dipasarkan di Kabupaten Kutai dan Samarinda atau pemasarannya hanya dalam propinsi saja. 5.3.3. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Kabupaten Kutai Kartanegara Sungai Mahakam merupakan salah satu sungai di Kalimantan yang kaya akan keanekaragaman jenis ikan. Masyarakat yang tinggal di daerah sekitar suaka perikanan danau Loa Kang tergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya perairan daerah tersebut. Penduduk daerah sekitar danau Loa Kang, seperti desa Pela, desa Liang, umumnya terdiri atas orang Banjar, orang Kutai dan banyak juga perantau yang datang dari pulau Jawa. Secara administratif desa di sekitar suaka alam tersebut dipimpin oleh kepala desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Di samping itu dalam kehidupan mereka sehari-hari masyarakat mengenaldan mengakui keberadaan Ketua Adat yang mereka anggap sebagai pemimpin. Salah satu tugas mereka, selain menjaga kebersamaan dan kerukunan masyarakat setempat, adalah mengawasi penduduk setempat agar tetap menjalankan larangan
untuk tidak menangkap ikan
didaerah suaka perikanan danau Loa Kang saat musim kemarau. Mereka mematuhi larangan itu. Sejak dulu kegiatan menangkap ikan ketika musim kering sangat
63
ditabukan. Mitos yang berkembang di masyarakat, konon jika larangan melakukan kegiatan penangkapan dengan melempar jala memancing di kawasan reservat makan pelakukannya seumur hidup mereka tidak akan bisa menjadi kaya atau yang tidak ada kegiatan menangkasp ikan di daerah suaka tersebut. Profesi utama masyarakat di sana adalah nelayan. Seiring berjalannya waktu, secara perlahan penduduk daerah itu mengubah pola hidup mereka, yaitu dari sebagai nelayan saja menjadi pengolah dan pembudidaya ikan dikeramba Jaring apung.
Dari hasil wawancara dengan penduduk setempat dan
perangkat desa Pela diperoleh informasi bahwa umumnya pada musim kemarau penduduk mengalihkan kegiatannya ke bercocok tanam seperti Tanam Jagung, padi dan ketela pohon guna untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Perikanan budidaya merupakan satu alternatif yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pela, budidaya keramba di lakukan di ruas sungai Pela dan Sungai Mahakam. Masyarakat Desa Pela selain jadi nelayan juga ada yang menjadi pengolah ikan asin. Jenis ikan yang dibudidayakan dikeramba jaring apung adalah ikan mas, nila dan patin. 5.3.4. Sistem Pandangan Hidup di Kabupaten Kutai Kartanegara Pada dasarnya kebudayaan manusia bersifat dinamis dan adaptif, karenanya ada yang berpendapat bahwa konsepsi tentang kebudayaan adalah sebagai strategi adaptasi terhadap lingkungan. Di sisi lain, keragaman budaya dapat juga disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal mereka yang berbeda (environmental determinism), serta karena adanya faktor ekologi yang dapat mempengaruhi keragaman budaya tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ada interaksi antara berbagai faktor budaya dengan kondisi lingkungan, seperti manusia (masyarakat desa Pela dan Liangg), faktor religi/pandangan hidup, faktor pengetahuan serta teknologi yang dimiliki masyarakat setempat. Masyarakat Kecamatan Kotabangun pada jaman sebelum adanya kerajaan Kutai Kartanegara menganut agama hindu, dan setelah berdirinya kerejaan Kutai Kartanegara masyarakat Kotabangun memeluk agama islam dan khususnya Desa Pela pada umumnya beragama Islam, ini terlihat dari jumlah menjid di Desa Pela dan desa .... dibangun mesjid yang megah Desa Pela dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini sebagai berikut: Tabel 10. Kepercayaan Penduduk Desa Pela No.
Agama
Jumlah Jiwa (%)
64
1. 2. 3. 4. 5.
Islam Kristen Katholik KristenProtestan Hindu Budha Total Sumber: Profil dan Monografi Desa 2012
100 100
Salah satu pengetahuan yang dimiliki masyarakat adalah pengetahuan yang bersumber pada akar budaya mereka, budaya Kutai. Pengetahuan tersebut berupa pemahaman tentang pentingnya menjaga sumberdaya alam dan mahluk hidup yang berada di danau Loa Kang. Pengetahuan tersebut dapat saja disebut sebagai bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Pela dan Liang yang sifatnya unik. Kemunculan kearifan lokal tersebut karena adanya latar belakang budaya di masa lalu, adanya kerajaan - kerajaan di daerah Kalimantan Timur, kerajaan Kutai (bersifat Hindu) dan kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura (bersifat Islam), kedua kerajaan tersebut membentuk adanya pandangan dan persepsi masyarakat terhadap kelestarian lingkungan melalui “mitos” Larangan penangkapan ikan di danau Loa Kang ketika adanya penurunan air danau. Di masa lalu “mitos” Larangan tersebut ditakuti oleh rakyat Kutai karena mereka akan mendapat hukuman, kelangsungan hidupnya terganggu (sakit yang berkepanjangan, kesengsaraan, kematian dan sebagainya) apabila melanggar “mitos” Larangan tersebut. Hanya para raja dan tabib istana saja yang dapat menghilangkan penderitaan tersebut. Sebagai salah satu bentuk kearifan lokal , “mitos” Larangan pada danau Loa Kang tersebut mengandung beberapa faktor yang harus dicermati. Faktor tersebut berupa ekologi budaya dan manusia. Faktor ekologi budaya yang mempengaruhi Danau Loa Kang berupa keterhubungan antara lingkungan fisik dengan berbagai bentuk organismeyang terkait dengan unsur dan sistem kebudayaan (seperti misalnya sistem mata pencaharian, sistem teknologi, sistem masyarakat) . Dengan kata lain, ekologi budaya akan melihat bagaimana cara pandang lingkungan hidup tersebut dari perspektif budaya. Seperti yang dikutip dari Poerwanto (2208:72), J.H. Steward mengatakan bahwa hubungan antara kebudayaan dengan alam sekitarnya dapat dijelaskan karena adanya beberapa aspek kebudayaan yang dimiliki oleh komunitas tertentu. Oleh karenanya harus dicari kecocokan dalam menerapkan konsep atas dasar ekologi pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial dan
budaya manusia.
Selanjutnya Steward mengusulkan adanya tipe kebudayaan atau culture type, seperti
65
jenis teknologi tertentu dan mengaitkannya pula dengan sifat lingkungan dan jenis lingkungan tertentu di suatu wilayah . 5.3.5. Sejarah dan bentuk Kearifan Lokal di Kabupaten Kutai Kartanegara Pemanfaatan dan pengelolaan Danau Loa Kang yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Kota Bangun pada umumnya dikenal dengan istilah Danau Larangan atau Danau Suaka Perikanan. Keberadaan Danau Suaka dan ikan larangan ini selain berdampak terhadap keseimbangan ekosistem juga berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar sungai. Pada tahun 1954 di daerah Istimewa Kutai mengesahkan Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan tanggal 3 Nopember 1953 No.6 tentang larangan menangkap, membunuh atau mengambil hasilnya dari jenis ikan sepat siam dalam Daerah Istimewa Kutai. Suaka perikanan Danau Loa Kang atau danau Larangan adalah suaka perikanan yang secara tradisional telah ada sejak tahun 650 tahun yang lalu, yaitu sejak adanya kerajaan Kutai. Suaka danau Loa Kang pada saat jaman kerajaan sudah dikelola secara baik. Menurut Hartono (1997) suaka Danau Loa kang (Danau Loa Hakang menurut Peta Rupa Bumi Indonesia Tahun 1991) dijaga oleh seorang Hulubalang Raja yang dibantu oleh dua orang punggawa dan 15 prajuritnya. Suaka Perikanan Danau Loa Kang perupakan perairan yang termasuk tipe perairan banjiran (Floodflain), pada saat ini secara geografis suaka ini termasuk dalam Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara. Suaka perikanan danau Loa Kang bertahan kondisinya dengan baik sampai tahun 1970 an, yaitu pada kurun waktu terbitnya Undang Undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Desa dan setelah terjadinya sistem politik suaka perikanan tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat sebagai Wilayah Suaka Perikanan Danau Loa kang (Fishery Reservet) dengan surat keputusan Bupati kutai Kartanegara No.18/1978. Melalui SK tersebut pengelolaan suaka perikanan yang sebelumnya melalui hak Ulayat masyarakat setempat (d.h/i Keluarga Kerajaan Kutai), selajutnya dialihkan kepada pemerintah kabupaten Kutai, selama dialihkan ke pemerintah daerah operasional fungsi konservasi suaka tidak berjalam dengan baik dengan semestinya karena lemahnya pengawasan, ketidakadaan dana dan ketiadaan pengetahuan teknis. Danau Loa Kang yang memiliki alam lingkungan (air danau, sumber hayati, keragaman ikan yang hidup di air danau, alam di sekitarnya) dapat dianalis dengan
66
menggunakan paradigma ekologi budaya. Culture type pada danau Loa Kang yang digunakan untuk menggali/memanfaatkan danau Loa Kang dengan melihat sifat danau Loa Kang. Kondisi geografis wilayah danau Loa Kangyang terletak di 116˚32’ 30” – 116˚ 35’30” BT, dan 00˚15’45” – 00˚13’15” LU dengan ketinggian 4 – 0,25 mclpl, disebelah selatan di batasi sungai Mahakam,, sebelah utara dibatasi sungai Belayan, sebelah barat dibatasi oleh sungai Pela yang mengalir dari danau Semayang. Danau Loa Kang ini termasuk sistem paparan banjir sungai Mahakam, merupakan sub das danau Semayang- danau Melintang, Danau Loa Kang dan danau Balik Papan (danau yang didekat danau Loa Kang) merupakan danau dangkal dengan fluktuasi tinggi muka air yang dipengaruhi oleh musim dan pasang surutnya sungai Mahakam (Dinas Perikanan & Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara, 2008:v-2).
Gambar 11.Penampang Tegak Alur Loa Kang-Balikpapan (Hartoto, 2002) Dari penjelasan yang dikutip dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartenegaran ( 2008: v-4-v-6), danau Loa Kang memiliki paparan banjir yang mempunyai rawa belakang (backschwamp deposit) dengan 2 cekungan (disebut juga sebagai danau lebung, yang kemudian dalam riset ini disebut sebagai danau Loa Kangan danau Balik Papan). Pada kawasan danau Loa Kang terlihat adanya tanggul alam (natural leeve) di sepanjang pinggir sungai Mahakam. Bagian terdalam dari danau Loa Kang dinamai oleh penduduk setempat sebagai Hakang dengan ketinggian sekitar 0,23 mdpl. Tanggul alam di sepanjang sungai Mahakam terletak pada ketinggian 3-4 m.
67
Pada musim kemarau danau lebung (danau Loa Kang dan danau Balik Papan) menjadi area penting bagi kehidupan ikan di danau tersebut, karena merupakan daerah paling rendah dari kawasan konservasi perikanan tersebut. Oleh karenanya daerah tersebut harus dijaga agar kedalamannya masih tetap sehingga memungkinkan ikan untuk hidup dan berkembang biak. Pada musim hujan limpahan air sungai Mahakam tidak hanya melalui sungai-sungai yang ada disekitarnya tetapi juga melimpah ke tanggul alam sehingga seluruh bagian dataran tergenag banjir (hingga meluap ke sebagian wilayah Kota Bangun). Di sisi lain, pada musim kemarau air masuk ke paparan banjir hanya lewat sungai Balik Papan, sungai Loa Kang dan sungai Muhuran, dan dari ketiga sungai tersebut yang paling lebar dan dalam adalah sungai Balik Papan, lebar sungai sekitar 10 m (sebagai jalur masuk danau Loa Kang, masyarakat setempat menyebutnya sebagai sungai Maling), sehingga saat ini sungai tersebut sebagai jalur utama keluar masuknya ikan dari sungai Mahakam. Kondisi danau Loa Kang (bagian hulu sungai Loa Kang) tertutup oleh tumbuhan dan lumpur di musim kemarau. Faktor yang kedua, yaitu manusia. Manusia yang memahami kearifan lokal yang terkait dengan “mitos” Larangan di daerah suaka danau Loa Kang sangat berperan terhadap kelangsungan wilayah tersebut. Di masa lalu, berabad-abad yang lalu masyarakat di sekitar wilayah tersebut masih menghormati “mitos” Larangan itu. Pada masa sekarang pun, masyarakat desa Pela dan Liang masih menghormati “mitos” Larangan tersebut , dan adanya Perda Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai no. 3 tahun 1999 tentang Peraturan Penangkapam Ikan dalam Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap daerah reservat Loa Kang (Kecamatan Kota Bangun) maka masyarakat setempat masih menghormati dan patuh terhadap Perda tersebut.Apabila ada pelanggaran terhadap “larangan tersebut, maka masyarakat mendapat peringatan dan semacam hukuman oleh pemda setempat. Bahkan saat ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Kota Bangun telah menempatkan dua orang petugas (pengganti hulubalang di masa lalu ) untuk menjaga keamanan dan kelestarian daerah reservat Loa Kang.” Dari uraian di atas, jelas ada keterhubungan antara perspektif budaya (unsur budaya: sistem mata pencaharian, pengetahuan dan teknologi) dengan kondisi lingkungan daerah danau Loa Kang. Sebagai paradigma ekologi budaya, maka yang harus dikedepankan adalah bagaimana sistem teknologi yang dipakai masyarakat Pela
68
dan Liang dalam mendapatkan sumber daya hayati tidak merugikan kelestarian lingkungan dan meningkatkan peningkatan produksi penangkapan ikan masyarakat setempat di wilayah tersebut . Peran lembaga yang terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan dan LIPI dapat berperan secara lebih proaktif dalam menangani keunikan daerah reservat Loa Kang
Kelemahan Kearifan Lokal “mitos” Larangan di daerah reservat Loa Kang dan Hambatan yang dihadapinya Kearifan lokal yaitu pelestarian ekologi dan sumber daya ikan serta hayati pada danau Loa Kang yang diwujudkan dalam bentuk “mitos” larangan beredar di wilayah itu dan menjadi tradisi lisan bagi masyarakat setempat. Kepala Adat Desa Pela dan Desa Liang meyakini kehadiran “mitos” Larangan dan meminta agar warga desa Pela dan Liang menaati “mitos” tersebut. Hingga kini masyarakat kedua desa tersebut sangat menghormati “mitos” Larangan, dengan tidak menangkap ikan, ketika pada saat air danau turun atau saat kemarau. Tetapi di sisi lain, masyarakat di luar desa Pela dan Liang melanggar “mitos” Larangan tersebut dengan menangkap ikan di daerah reservat Loa Kang pada malam hari dan . mereka menangkap ikan dengan setrum dan racun. Alasan sisi ekonomis menjadi tujuan utama mereka menangkap ikan di reservat danau Loa Kang. Kehadiran petugas Dinas Kelautan dan Perikanan dibantu aparat pemda setempat tidak menjadi halangan bagi mereka dalam menangkap ikan secara ilegal. Meskipun tertangkap basah, sanksi hukumannya tidak ada, hanya sebatas peringatan dan apabila sudah sering melanggar baru alat tangkapnya disita. Dengan demikian kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di sekitar daerah reservat Loa Kang menjadi tidak berfungsi dengan maksimal, bahkan tidak efektif. Secara tidak langsung ataupun langsung kearifan lokal “mitos “ Larangan itu menjadi tidak bermakna lagi bagi masyarakat desa Pela dan Liang. Masyarakat tersebut menjadi dirugikan oleh oknum yang melakukan perbuatan tangkap ikan secara ilegal, kearifan lokal tersebut menjadi sesuatu atau hal yang dianggap menjadi tidak adil bagi masyarakat Pela dan Liang . Dengan kata lain, kearifan lokal menjadi tidak efektif karena beberapa faktor, yaitu (1) munculnya pelanggaran oleh masyarakat di luar desa Pela dan Liang, dan oknum tersebut tidak mendapatkan hukuman yang sepadan akibat penangkapan ilegal yang merusak habitat ikan dan konservasi danau Loa Kang (2)
69
Batas wilayah yang pernah dicanangkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan tentang tapal batas wilayah tidak disertai tanda papan penanda yang jelas. Ketidakjelasan atau tanpa tanda tapal batas wilayah reservat Loa Kang memudahkan orang untuk melakukan pelanggaran penangkap ikan di daerah reservat Loa Kang dan melanggar kearifan lokal setempat. (3) Ketidakpedulian Dinas Kelautan dan Perikanan kecamatan Kota Bangun untuk merenovasi kembali bangunan (rumah penjaga) di daerah reservat Loa Kang yang telah hancur. Rumah penjaga menjadi penting karena dapat menjadi tempat singgah dan basis penjagaan, pengawasan bagi wilayah reservat danau Loa Kang. Hambatan yang dirasakan pada daerah reservat Loa Kang adalah kurang terintegrasi antara lembaga pusat dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Kota Bangun dan Kabupaten Tenggarong mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan secara terpadu wilayah reservat Loa Kang dari sisi teknologi, pemberdayaan masyarakat setempat, keamanan –Pokwasmas serta ekologi. Untuk itu perlu adanya interaksi dengan lembaga dan instansi lain (LIPI, universitas setempat Universitas Mulawarman, Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan dan sebagainya) untuk memberikan prioritas bagi daerah reservat Loa Kang dalam pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan tanpa merusak lingkungan –ekosistemnya. 5.3.6. Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Batas Pengelolaan/Sistem Zonasi Suaka perikanan Danau Loa Kang secara adminitrasi dikelola berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi sumberdaya ikan, zonasi kawasan konservasi sumberdaya merupakan suatu bentuk
rekayasa teknis
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses ekologi yang langsung sebagai satu kesatuan ekosistem. Zona zona yang harus ada pada sebuah kawasan suaka perikanan di Danau Loa Kang dibagi dalam 3 zona yaitu Zona Inti, Zona Penyangga dan Zona Ekonomi. Konsep dasar limnologi digunakan sebagai dasar pengkayaan lingkungan perairan darat, Suaka perikanan Danau Loa Kang tujuannya adalah sebagai pemasok benih ikan bagi perikanan penangkapan
dan sarana pelestarian plasma nutfah
sumberdaya ikan
70
Zona Inti adalah inti dan “jiwa” dari sebuah suaka perikanan, merupakan bagian dari suaka suaka dimana ikan dapat melakukan pemijahan atau daur hidup dengan tidak terganggu oleh aktivitas penangkapan oleh manusia. Zona inti ini tidak boleh dilakukan aktivitas penangkapan maupun usaha budidaya, hal ini akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan. Zona Penyangga bagian suaka perikanan yang membatasi zona inti, dimana kegiatan penangkapan ikan masih dapat dilakukan secara terbatas artinya waktu, jenis alat tangkap dibatasi sehingga tidak menimbulkan atau meminimkan ganguan terhadap proses proses reproduksi ikan dan limnologist yang harusberjalan di zona inti. Dengan adanya zona penyangga ini, ikan dapat keluar dan masuk ke zona inti dengan bebas, sehingga kontak dispersal dari populasi source dengan populasi sink lebih dapat terjamin. Pembatasan zona dapat berupa larangan penangkapan ikan kecuali seminggu sekali, sebulai sekali atau setahun sekali, pembatasan ini dapat dilakukan dengan cara pelarangan pemasangan alat tangkap perangkap dan sejenisnya pada alur keluar masuknya ikan dari zona inti maupu ken zona penyanggah. Zona penyanggah diharapkan dapat mengurangi dampak kegiatan penangkapan di zona ekonomiterhadap zona inti dan diharapkan dapat membuka penghasilan tambahan bagi masyarakat. Zona Ekonomi adalah daerah perairan yang ikannya sudah dapat ditangkap secara bebas dengan alat tangkap dan cara yang sah menurut undang undang Republik Indonesia No.31 tahun 2004 dan peraturan peraturan yang terkait, Zona ekonomi ini nelayan perairan darat dapat dikembangkan untuk kegiatan penangkapan dan budidayaikan untuk mencukupi kebutuhan hidup. ATURAN Disribusi Hak Hak dalam mengakses pada Danau Larangan/suaka Perikanan adalah kegiatan pariwisata, transportasi kegiatan penelitian dan kegiatan pendidikan pada Zona Pemanfaatan pada Pariwisata Alam Perairan. Kegiatan pariwisata ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Kegiatan Penelitian meliputi penelitian dasar untuk kepentingan pelestarian sumberdaya ikan dan konservasi;. Penelitian dan pengembangan di Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam ikan pesut
71
Hak Memanfaatkan (Withdrawl) Hak
memanfaatkan
dibedakan
berdasarkan
pelaku
dan
berdasarkan
zonasi.Berdasarkan pelaku, dibedakan menjadi hak memanfaatkan bagi pemilik dan hak memanfaatkan bagi masyarakat umum. Pada zona kearifan lokal pemilik mempunyai hak memanfaatkan wilayah Danau Larangan untuk budidaya ikan dikeramba, sementara masyarakat tidak berhak memanfaatkan wilayah inti Danau Larangan, Pada saat jaman kerajaan Danau larangan dibuka satu tahun sekali dengan dimulai oleh raja Kutai dan di ikuti oleh masyarakat. Kegiatan ini dilakukan pada zona penyanggah. Sementara pada zona perikanan berkelanjutan tradisional, semua pihak bisa memanfaatkan wilayah memalui proses pnangkapan dengan peralatan tradisional dengan mematuhi segala peraturan yang tertera pada Perdes..Sedangkan pada zona pemanfataan pariwisata tidak boleh ada yang mengambil ikan. Hak Pengelolaan (Management) Hak pengelolaan Danau Larangan ada jaman Kerajaan dipegang oleh Kerajaan Kutai dibantu oleh Hulubalan
satu orang, hulubalang dibantu oleh dua orang
pembantunya, Namun pada tahun 1974 dengan terbitnya Undang Undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Desa {emerintah Daerah dan aparat desa. Namun otoritas pnentuan kapan Danau Larangan tersebut dibuka atau ditutup tidak berlaku lagi, Peran Pokmaswas dalam perlindungan sumberdaya ikan adalah bahwa Setiap orang wajib mengawasi dan memelihara sumber daya ikan di wilayah perairan Danau Larangan harus mengawasi dan memelihara kearifan lokal yaitu: a. Menjaga batas-batas atau zona-zona yang telah dibuat oleh jaman keranjaan dan setelah dilimpahkan ke pemerintah daerah menjaga Zona Pemanfaatan Sumberdaya ikan b. Tidak merusak Danau Larangan, padang lamun pada saat mengambil ikan c. Menjaga Danau Larangan pada zona perlindungan d. Menegur dan memberikan laporan kepada POKMASWAS dan Pemerintah Desa terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan pengrusakan sumber daya ikan dan ikan. Lembaga yang bertanggungjawab untuk menjamin pelaksanaan perlindungan dan pelestarian
sumber
daya
ikan
di
desa
adalah
Pemerintah
Desa,
Badan
72
Permusyawaratan Desa, LINMAS Desa, POKMASWAS, dan Pihak berwenang. Lembagalembaga tersebut bertanggungjawab dan saling berkoordinasi dalam melaksanakan peran mereka masing-masing. Pemerintah Desa bertanggung jawab penuh terhadap perlindungan dan pelestarian sumberdaya ikan dan ikan di wilayah desa.Pemerintah Desa dapat meminta laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan
operasional
perlindungan
dan
pelestarian
sumberdaya ikan dan ikan kepada POKMASWAS.Pemerintah Desa bersama POKMASWAS menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan ikan.Pemerintah Desa dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan perlindungan dan pengawasan sumberdaya ikan dan ikan kepada Badan Permusyawaratan
Desa
dan
kepada
Pemerintah
Daerah sesuai
mekanisme
pertanggungjawaban pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.Pemerintah Desa wajib menginformasikan kepada BKKPN setiap kerusakan habitat ikan dan ikan yang terjadi di dalam wilayah perairan desa. Badan Permusyawaratan Desa mengawasi Pemerintah Desa dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan fungsi dari POKMASWAS.Badan Permusyawaratan Desa bersama dengan Pemerintah Desa dapat meninjau dan memperbaharui tugas dan fungsi dari POKMASWAS.Badan Permusyawaratan Desa bersama Pemerintah Desa bertanggung-jawab dalam merumuskan kebijakan berkaitan dengan pengelolaan sumber daya ikan dan ikan di desa. Dan sampai sekarang belum ada pelaku pelanggaran untuk proses penyelesaian di tingkat Desa maupun pengadilan. Hak Pemindahtanganan (Alienasi) Pemindah tanganan Danau Larangan pada jaman kerajaan sepenuhnya ada di pihak sepengetahuan raja atau hak Ulayat masyarakat setempat (d.h/i Keluarga Kerajaan Kutai) , namun pada tahun 1974 terjadi peralihan dengan peraturan perudang undangan tentang peraturan pemerintah daerah pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara. Pemindahtanganan ini pernah terjadi pada Danau Larangan Loa Kang, dimana pada awalnya kepemilikan Danau Larangan dimiliki Kerajaan. Secara lebih ringkas, distribusi hak dalam pengelolaan Danau LaranganLoa Kang adalah sebagai berikut: Tabel 11. Distribusi hak dalam mengakses, pemenfaatan dan pengelolaan Di ZonaPenyanggah Danau Loa Kang 2012 Jenis hak
Zona Kearifan Lokal
73
Pemilik Akses Pemanfaatan Pengelolaan
Masyarakat Desa setempat V V V
Masyarakat dari luar desa V V V
Monitoring dan sanksi Kerusakan lingkungan pada sumberdaya ikan kebanyakan disebabkan oleh aktifitas dari masyarakat yang tinggal pada sekitar wilayah Zona penyanggah maupun yang disebabkan oleh aktifitas lainnya. Pada daerah tersebut juga dilakukan pengawasan. Pengawasan pada jaman kerajaan dilakuan oleh hulubalang yang dibantuoleh dua orang ponggawa untu menyusuri Danau larangan , Namun setelah adanya pelimpahan dari kerajaan ke pemerintah daeran pengawasan “Danau Larangan” dilakukan oleh petugas yang diberikan surat keputusan dari Dinas Perikanan dan Kelautan dan dibantu oleh ketua adat untuk bersama-sama melakukan pengawasan. Adapun pengawasan yang dilakukan yaitu berjalan-jalan disepanjang daerah Danau Larangan dengan menggunakan perahu menyusuri daerah tersebut. Biasanya yang yang membantu tuanya melakukan pengawasan adalah keluarnya sendiri. Sistem pengawasan dilakukan oleh petugas Pokmaswas untuk menghindari adanya pencurian ikan dan gangguan dari pihak luar di Danau Loa Kang dirasakan masih belum efektif. Sering terjadinya kegiatan pencurian menyebabkan adanya aliran sungai yang dinamakan Sungai Maling yang sering dilintasi oleh para pencuri. Pengawasan Suaka danau Loa Kang dilakukan oleh masyarakat setempat yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) dengan surat perintah kerja dari Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara guna menjaga kebersihan lingkungan perairan dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan di Danau Loa Kang. Sistem pengawasan biasanya dilakukan secara bersama dengan melibatkan Pihak kepolisian, Dinas Perikanan pemerintahan Desa, Ketua Adat,tokoh masyarakat, pemuda dan alim ulama setempat. Upaya yang harus dilakukan dalam mengatasi permasalahan di dalam pengelolaan “Danau Larangan” Danau Loa Kang adalah sebagai berikut :
74
1. Di dalam pengawasan pada daerah “Danau Larangan” lebih di tingkatkan lagi dan di usahakan harus di lakukan setiap hari dan jangan pada saat tiba waktu untuk panen hasil baru pengawasan di perketat. 2. Diberikan kewenangan petugas Pokmaswas dalam menaggani pencurian/ pelanggaran penangkapan ikan di Danau Loa Kang/ Danau Larangan. 3. Perlu adanya pendanaan biaya operasional untuk melakukan pengawasan dan dibuatnya pepen pengumuman suaka danau Larangan 4. Secepatnya pemerintahan desa membuat aturan desa agar masyarakat tidak berpatokan kepada aturan adat saja agar di dalam pengelolaannya lebih bagus. 5. Tokoh adat, pemerintahan desa, tokoh agama dan juga masyarakat harus tetap bersama-sama melakukan pengawasan pada daerah larang ambil “Danau Larangan” dan juga di dalam pengelolaannya. 6. Perlu adanya campur tangan pemerintah daerah dan juga dinas terkait agar di dalam pengelolaannya lebih baik lagi dan lebih terarah lagi. Pelanggaran atas kesepakatan pelarangan penangkapan di lokasi Danau Larangan dikenakan sanksi. Sangsi berupa dilakukan penyitaan alat penangkapan dan perlu adanya sangsi hukum berupa denda. Sangsi pada jaman kerajaan selain mitos dan dikenakan tidak boleh tinggal di sekitar danau Loa kang dan harus pindah ke daerah lain. Sistem Buka Tutup Danau Loa Kang Lubuk Larangan Danau Loa Kang pada jaman kerajaan melakukan pembukaan lubuk larangan dilakukan satu tahun sekali dan dilakukan pada saat air pasang, pembukaan lubuk larangan di Danau Loa Kang dilakukan oleh raja dengan melakukan penangkapan ikan, jenis alat tangkap yang digunakan dalam penangkapan ikan di Lubuk Larangan Danau Loa kang waktu itu adalah alat tangkap pancing. Setelah Keluarga Kerajaan melakukan pemancingan baru masyarakat sekitar danau larangan melakukan penangkapan, pelaksanaan kegiatan penangkapan di Danau Loa kang pada jaman kerajaan dilakukan pada lokasi zona Penyangga tidak di zona inti, karena zona inti tetap sebagai daerah Larangan penangkapan.. Waktu pembukaan di Danau Loa Kang, biasanya diberikan waktu hanya 2 hari dan setelah itu di lakukan penutupan kembali oleh hulu balang. Namun setelah ada
75
peralihan dari kerajaan ke pemerintah daerah sudah tidak berlaku lagi dan terjadi pelanggaran penangkapan di Danau Loa Kang. Sistem pengetahuan dan Teknologi Masyarakat disekirat danau Loa kang awalnya adalah suku Dayak dan Banjar, masyarakat Desa Pela lama dan Desa liang Ilir memiliki karakteristik pengetahuan yang berbeda dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perairan umum.Masyarakat di kedua desa tersebut, memahami bahwa kehidupan laut sangat sensitive terhadap bentuk-bentuk perlakuan yang tidak baik. Pembentukan kawasan pembuangan limbang kepiting, merupakan contoh bagaimana mereka harus memperlakukan kehidupan lain dengan baik. Jika limbah kepiting dibuang ke laut, maka kepitingkepiting akan menjauh karena tau bahwa jika mereka mendiami wilayah tersebut maka kehidupan mereka akan terancam.
5.4.
Kabupaten Kupang
5.4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Kupang Kabupaten Kupang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Kupang secara astronomis terletak antara 9°15-10°22 LS - 123°16124°11 BT. Batas–batas wilayah Kabupaten Kupang adalah sebelah utara dan barat berbatasan dengn Laut Sawu, sebelah selatan dengan Samudera Hindia , sebelah timur dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Leste. (Kupang Dalam angka, 2010)
Sumber: http://www.google.com/search?q=peta kabupaten kupang diunduh tgl 30 November 2012 pkl 09.50 Keterangan: = lokasi Lilifuk
76
Gambar 12. Peta Wilayah Desa Bolok dan Desa Kuanheun Kabupaten Kupang seperti wilayah lainnya di Indonesia, mengenal dua musim yaitu kemarau dan hujan. Kemarau terjadi di bulan Juni- September sementara musim hujan di bulan Desember- Maret. Suhu udara pada tahun 2010 dengan kisaran suhu minimum dan maksimum 22,3°-33,5°C dengan curah hujan tertinggi di bulan Januari dan terendah di bulan Juli. Kabupaten Kupang berada di antara 0-500 meter di atas permukaan laut. Lokasi penelitian di Kabupaten Kupang dilakukan di dua desa yaitu Desa Bolok dan Desa Kuanheun Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. Masyarakat di kedua desa ini mempunyai sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang diberi nama Lilifuk. 5.4.2. Kondisi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang Kondisi sumberdaya kelautan dan perikanan Kabupaten Kupang dapat dilihat pada tabel di bawah. Tabel 12. Produksi Perikanan Laut Menurut Jenis Ikan di Kabupaten Kupang (Ton), 2010 No Jenis Ikan 1 Tuna Tuna 2 Cakalang Skipjack Tuna 3 Tongkol Eastern Little Tuna 4 Tenggiri Spanish Mackerel 5 Kembung Indo Pacific Mackerel 6 Selar Yellow Strip Trevally 7 Tembang Fringe Scale Sardine 8 Teri Anchovies 9 Lolosi Bluestripe Snapper 10 Parang-parang Wolf Herring
Produksi 90,10
No 11
57,88
12
1 122,35
13
47,54
14
313,72
15
387,50
16
321,96
17
406,20
18
385,59
19
Jenis Ikan Layang Scads Ikan Terbang Flying Fish Peperak Pony Fish Nipi Nipi Bawal Pomfret Kerapu Groupers Kakap Barramundi Gergaheng Giant Trevally Belanak Mullet
Produksi 225,71 404,09 1 202,16 317,54 24,83 477,25 102,14 96,64 1,25
113,93
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang, 2012 Desa Bolok yang letaknya sangat strategis karena di terdapat perairan pantai yang sangat cocok untuk tempat budidaya rumput laut, dan sekaligus marupakan peluang yang besar untuk masyarakat di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini
77
dilihat dari kehidupan sebagian penduduknya sebagai buruh pelabuhan, nelayan dan petani rumput laut. Sumberdaya pada pesisir dan laut di Desa Bolok dapat dibagi atas Sumberdaya pada pesisir dan laut. Di Desa Bolok dapat dibagi atas 3 (tiga) kategori yaitu: sumberdaya daerah pasang surut, sumberdaya pada daerah laut terbuka dan sumberdaya perikanan pesisir yang di lindungi. Sumberdaya pada daerah pasang surut meliputi mangrove, lamun dan terumbu karang, untuk sumberdaya perikanan pada daerah laut terbuka meliputi ikan, yang dimana dikelompokkan atas ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil dan ikan demersal sedangkan untuk sumberdaya perikanan yang di lindungi hanya di khususkan kepada ikan saja . Sumberdaya pada daerah pasang surut di Desa Bolok 1). Mangrove Mangrove yang terdapat pada pesisir Desa Bolok terdiri dari beberapa yang hidup.
Jenis mangrove yang ditemukan pada pesisir Desa Bolok adalah jenis
Rhizophora sp dan Brugiera sp. Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi, mangrove pada pesisir ini telah mengalami kerusakan. Kerusakan ini di akibatkan karena penduduk sering menebang untuk dijadikan bahan bangunan, sebagai kayu bakar, serta rusak akibat kekeringan karena pengaruh musim kemarau dan juga diduga tidak mendapatkan pasokan unsur hara dan air karena letaknya sangat jauh dari air laut serta pertumbuhannya tidak tumbuh pada subtrat berpasir atau berlumpur melainkan tumbuh diantara batu-batu karang yang bersubtrat keras sehingga pertumbuhannya tidak maksimal (kerdil). Terdapat satu jenis mangrove yang dinamai oleh masyarakat setempat dengan sebutan “santigi”. Tumbuhan ini tidak dapat dijumpai lagi pada pesisir Desa Bolok, karena masyarakat Desa Bolok dan orang luar mengambilnya untuk dijual. Menurut masyarakat setempat dulu santigi ini sangat banyak ditemukan di pesisir Desa Bolok. 2). Terumbu Karang Terumbu karang pada pesisir Desa Bolok terdiri dari beberapa jenis yaitu karang lunak, karang bercabang, karang otak. Terumbu-terumbu karang pada wilayah pesisir Desa Bolok sudah mengalami kerusakan. Kerusakan ini disebabkan oleh aktifitas manusia seperti pada saat melakukan “makan meting” (aktivitas penangkapan ikan secara tradisional disaat laut surut dengan mengumpulkan biota laut yang terperangkap untuk konsumsi sehari-hari), dimana karang-karang ini dicungkil untuk
78
mengambil organisme yang menempel pada karang. Selain “makan meting”, aktifitas pemboman juga sering dilakukan oleh nelayan. Karena pemboman ini dianggap mudah karena tidak memakan biaya yang banyak dan mahal serta mendapatkan hasil yang banyak dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini diakibatkan karena tingkat pengetahuan dari nelayan sangatlah kurang atau rendah, sehingga nelayan tidaklah tahu akibat yang akan di timbulakan dari penggunaan bom terhadap terumbu karang. Penambangan karang juga sering di lakukan oleh masyarakat,penambangan karang tersebut untuk dijadikan bahan bangunan seperti dermaga, rumah dan pagar, pembuatan kapur dan pembuatan jalan. Kehidupan/kondisi terumbu karang sangat di pengaruh oleh kondisi lingkungan sekitarnya baik secara fisik maupun secara biologis. terumbu karang mengalami kerusakan yang buruk.
Sebagian besar
Kerusakan ini umumnya
disebabkam oleh aktifitas manusia baik langsung maupun tidak langsung. Untuk menanggulangi kerusakan terumbu karang yang terancam punah dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat tentang upaya pelestarian sumberdaya perikanan. 3). Padang lamun Lamun yang terdapat pada pesisir Desa Bolok terdiri dari jenis Thalisia hempricii dan Enhalus acoroides. Tutupan lamun pada pesisir panatai Desa Bolok sangat tinggi dan memiliki potensi ikan yang besar. Jenis ikan yang ada atau mendiami lamun adalah ikan beronang (lada), ikan dusu, ikan rumput, ikan biji nangka. Selain ikan ada organisme lain yang mendiami padang lamun tersebut seperti bulu babi, kerang-kerangan, dan juga terdapat jenis lamun yang dapat dimakan/dikonsumsi sehingga masyarakat Desa Bolok menyebutnya sayur laut. Daun lamun yang lebat dapat memeperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga menyebabkan perairan sekitar menjadi tenang. Di samping itu rimpang dan akar lamun dapat menagkap dan menahan sedimen sehingga stabilitas dasar perairan menjadi baik, pendaur ulang zat hara, dan element kemulit (trace element) penting di lingkungan laut, serta berperan sebagai bioindikator logam berat. Sebagian besar dari organisme yang terdapat pada komunitas lamun tidak memiliki sustu hubungan trofik dengan lamun itu sendiri, dan tidak memepunyai keuntungan ekonomi secara langsung. Meskipun demikian, diantara organisme yang
79
mendiami lamun sebagai tempat asuhan dengan menghabiskan waktu dewasanya di lingkungan lain. Melihat fungsi dari padang lamun tersebut, kerusakan dapat juga menyebabkan terganggunya ekosistem perairan laut. Hal itu dapat mengakibatkan potensi sumberdaya alam laut lainnya yang merupakan sumber bahan pangan menjadi berkurang pula. Secara tidak langsung padang lamun berperan dalam pelaksanaan koservasi sumberdaya hayati laut dan kelestariannya. Hilangnya sebagian padang lamun akan mempengaruhi biota yang hidup dalam mencari makan pada ekosistem tersebut. Berbagai jenis/spesis padang lamun mengalami kerusakan akibat peningkatannya aktifitas manusia di perairan laut dangkal atau daerah pantai dengan adanya kegiatan reklamasi, baik untuk keperluan industri maupun pembangunan pelabuhan,tempat rekreasi,pabrik dengan buangannya, pangkalan perahu motor, dan juga pengambilan lamun secara terus-menerus tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan yang dapat mempercepat terjadinya kerusakan lamun itu sendiri. Padang lamun sering dijumpai berdekatan denga ekosistem mangrove, dan terumbu karanng, sehingga interaksi ketiga ekosistem tersebut sangat erat. Sifat fisik dari ketiga ekosistem tersebut saling mendukung, sehingga apabila salah satu ekosistem terganggu maka ekosistem yang lain akan terganggu juga. Dari hasil pangamatan potensi sumberdaya pesisir yang ada di sekitar daerah konservasi ‘Lilifuk’di Desa Bolok sebagai berikut pada Tabel 13. Tabel 13. Potensi Sumberdaya di Daerah Pasang Surut Desa Bolok No
Sumberdaya
Nama latin
1. 2.
Kepiting Lamun
3.
Ikan
Portunus spp Thalisia hempricii Enhalus acoroides Siganus spp Sphyranidae Epinephelus spp Leigonahtidae
4.
Mangrove
Bruguera sp Rhizophora sp
5.
Rumput laut (Alga coklat)
Euchema cotonii
Nama Indonesia Kepiting Padang lamun Beronang Alu-alu Kerapu Paperek Kakatua Bakau
Nama lokal Miit Bluantasi Lada Kauk Bisnula Dusu Rumput Piku isin (buah bakau)
Alga
Sumberdaya Daerah Terbuka
80
Sumberdaya hayati terdapat di laut terbuka yang terutama adalah ikan. Sumberdaya ikan dapat dibagi menjadi ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Adapun jenis-jenis ikan yang sering ditangkap atau diperoleh nelayan di sekitar Desa Bolok adalah sebagai berikut : 1. Ikan Pelagis besar : Ikan tongkol (Euthynnus spp ), ikan tuna (Thunnus spp). 2. Ikan Pelagis kecil : Ikan tembang (Sardinella fimbriaat), ikan kembung (Rastrellinger spp), ikan lada (Siganus spp), dan ikan paperek (Leigonahtidae) 3. Ikan Demersal : Ikan pari (Trigonidae), ikan kerapu (Epinephelus spp) dan ikan kakap. 5.4.3. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Kabupaten Kupang Masyarakat Kabupaten Kupang terdiri dari beberapa suku bangsa antara lain yang disebut Suku Tetun, Suku Helong, Suku Flores dan Suku Rote. Masyarakat pendukung kebudayan Lilifuk di Desa Bolok dan Kuanheun berasal dari Suku Helong. Masyarakat Desa Bolok awalnya didiami oleh 7 Marga yaitu Laiskodat, marga Holbala, marga Buitbesi, marga Saelini, marga Bamai, marga Siktimu dan Koabaitlea. Dari ke 7 marga tersebut yang pertama kali mendiami Desa Bolok adalah marga Laiskodat, akan tetapi kemudian akibat adanya kawin mawin sehingga terdapat beberapa suku lainya yaitu suku Rote,Timor, Sabu dan suku Sumba. Saat ini ada 13 marga yang mendiami Desa Bolok yaitu Laiskodat, Holbala, Buitbesi, Soelini, Siktimu, Koabaitlea,Timuli, Bamae, Tenamulik, Klapeka, Kaioe, Katu dan Laikopan. Masyarakat Desa Kuanheun sendiri masih terbagi-bagi ke dalam 13 marga yaitu Baineo,
Lekota, Nislaka I, Sabuin, Nemeto, Naikbila, Naikbuan, Naikmau, Saketu,
Naiktano, Amtiran, Neslaka II dan Nainusu. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Sosial ekonomi penduduk Desa Bolok sangat beraneka ragam, hal ini dapat dilihat dari mata pencahariannya berdasarkan potensi yang ada di Desa Bolok, penduduk Desa Bolok sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan 206 orang, petani 149 orang, swasta 67 orang, buruh 53 orang, tukang 30 orang dan PNS 27 orang. Pemanfaatan sumber daya perikanan pesisir secara bijaksana, akan meningkatkan perekonomian dari masyarakat Desa Bolok itu sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan pada umumnya masyarakat melakukan pekerjaan pada kondisi yang ada yaitu pada musim hujan mengerjakan sawah dengan sistem sawah tadah hujan, sedang untuk musim kemarau masyarakat melakukan pekerjaan sebagai nelayan, tukang ojek,
81
sebagai penggali tanah, buruh di pelabuhan, dsb. Jadi pekerjaan dari masyarakat Desa Bolok boleh dibilang tidak menentu/tidak fokus kepada satu pekerjaan saja. Semua ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Data penduduk menurut mata pencaharian disajikan pada Tabel 3. Tabel 14. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Bolok No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis Pekerjaan Jumlah Jiwa PNS 27 Swasta 67 Buruh 53 Petani 149 Nelayan 206 ABRI/POLRI 10 Pengemudi 15 Tukang 30 Tukang Ojek 15 Penjahit 7 Total 579 Sumber: Statistik Kependudukan Desa Bolok, 2007
Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, pada umumnya masyarakat melakukan pekerjaan berdasarkan kondisi yang ada yaitu pada musim hujan masyarakat melakukan pekerjaan sebagai petani, jika pada musim menangkap ikan dan budidaya rumput laut masyarakat juga melakukan pekerjaan itu. Tetapi pada saat
musim
kemarau/tidak
melakukan
aktifitas
pengkapan
ikan
dan
budidaya,masyarakat menjadi tukang ojek, penggali tanah putih dan menjadi buruh di pelabuhan feri. Dengan tidak adanya pekerjaan yang tetap sangatlah berpengaruh terhadap pendapatan/penghasilan sehari-hari masyarakt. Penghasilan pedagang, buruh, sangatlah
rendah
dengan rata-rata tiap bulannya
Rp.
400.000. Ragamnya
pendapatan/penghasilan rumah tangga ini sangatlah dipengaruhi oleh sumberdaya yang ada dan juga karena beragamnya penduduk serta keahliannya masing-masing.. Hal ini dapat dilihat dari suku-suku yang mendiami Desa Bolok dan melakukan pekerjaannya di desa ini pula. Seperti suku Rote dan Sabu yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, pengiris tuak untuk membuat gula dan laru yang nanti dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan suku Timor yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani. 5.4.4. Sistem Pandangan Hidup di Kabupaten Kupang
82
Masyarakat Desa Bolok dan Kuanheun sebagian besar beragama Kristen. Penduduk Desa Bolok sebagian besar/mayoritas menganut agama Kristen Protestan dan ini dapat dilihat dari banyaknya gedung-gedung gereja yang dibangun di beberapa dusun di Desa Bolok. Untuk lebih lengkapnya data tentang susunan agama yang dianut oleh penduduk Desa Bolok dapat dilihat pada tabel 15 di bawah ini sebagai berikut: Tabel 15. Kepercayaan Penduduk Desa Bolok No. 1. 2. 3. 4. 5.
Agama Jumlah Jiwa Islam 25 Kristen Katholik 70 KristenProtestan 1833 Hindu 6 Budha Total 1.934 Sumber: Statistik Kependudukan Desa Bolok, 2007
5.4.5. Sejarah dan Bentuk Kearifan Lokal di Kabupaten Kupang Masyarakat Desa Bolok dan Desa Kuanheun mengenal sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang bernama Lilifuk. Lilifuk sendiri adalah kawasan perairan yang tergenang berbentuk kolam yang dilindungi oleh hukum adat. Lilifuk mengatur masyarakat dalam pengambilan sumberdaya perikanan dalam kurun waktu tertentu dengan sistem buka tutup. Lilifuk dibuka dalam kurun waktu 6 bulan sampai dengan 1 tahun sekali. Pelangaran atas kesepakatan tersebut akan dikenakan sanksi atau denda. Kata “Lilifuk” berasal dari bahasa Helong yaitu “Lihu” yang artinya air dalam atau air kolam. Bahasa helong merupakan bahasa yang digunakan Suku Helong yang mendiami wilayah Kupang. Setelah dilakukan pengamatan ternyata pada daerah ini terdapat banyak ikan sehingga munculah ide untuk mengelola kawasan tersebut denga cara menutup kawasan tersebut selama 1 tahun dan pada saat ditutup tersebut tidak boleh dilakukan penangkapan ikan di daerah tersebut baik oleh masyarakat setempat ataupun masyarakat luar dan kemudian baru diperbolehkan menangkap hanya sehari dalam 1 tahun/ 2 hari dalam setahun tergantung dari keputusan pemilik Lilifuk dengan sebelumnya melakukan ritual/perayaan adat sehari sebelum Lilifuk dibuka atau panen dilakukan. “Lilifuk” sudah ada sejak dulu, tetapi baru disepakati untuk ditutup pada tahun 1967. Tempat tersebut ditutup karena tokoh adat yang sekaligus pemiliknya melihat ikan pada tempat tersebut sangat banyak dan airnya tidak pernah kering walaupun pada saat surut. Kesepakatan untuk menutup daerah tersebut atas keinginan bersama
83
yang diprakarsai oleh tokoh adat, pemerintah desa, tokoh agama, serta masyarakat. Tokoh adat tersebut berasal dari marga Holbala, dimana mereka adalah: Bapak Lambertus Lao, Soleman Holbala, Benyamin Holbala, dan Bapak Frans Tabun (almarhum). Keempat tokoh inilah yang merintis ditutupnya “Lilifuk” sebagai daerah larang ambil yang berada di Desa Bolok.Lilifuk berasal dari bahasa Helong yang mempunyai arti tempat berair atau (tempat yang berbentuk kolam yang banyak airnya dan tidak pernah kering). Komponen masyarakat yang ikut berperan di dalam pengelolaan kawasan konservasi sumberdaya perikanan pesisir “Lilifuk” di Desa Bolok terbagi dalam 5 kelompok yakni: tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa, masyarakat dan orang luar. Tokoh adat mempunyai peran yaitu memberi perhatian di dalam menjaga sumberdaya khususnya ikan yang terdapat pada daerah konservasi, serta membantu pemerintah desa di dalam menghimpun informasi tentang adanya ganguan (pencurian) di dalam daerah konservasi tersebut (Lilifuk). Tokoh adat ini bekerja sama di dalam pengelolaan “Lilifuk”. Masyarakat mempunyai peran yaitu ikut menjaga daerah tersebut dan juga menaati semua peraturan yang sudah dibuat dan disepakati bersama; peranan tokoh agama dan pemerintah desa yaitu sebagai pegambil kebijakan, pertimbangan serta memberikan dukungan di dalam penerapan aturan yang sudah dibuat. Selain itu pemerintah desa juga berperan sebagai penyebar berita/informasi kepada desa-desa tetangga untuk mengikuti acara panen. Sedangkan untuk orang luar Desa Bolok hanya berpatisipasi pada saat pelaksaan panen dikawasan konservasi. Lilifuk berada di wilayah kepemilikan salah satu marga penghuni desa setempat. Marga tersebut umumnya adalah marga tertua atau marga yang paling awal mendiami desa. Hal ini mempengaruhi proses pembentukan Lilifuk yang diawali oleh keinginan pemilik Lilifuk untuk melindungi biota yang hidup di area kolam. Komoditi utama pada daerah konservasi “Lilifuk” adalah sumberdaya perikanan ikan pelagis kecil yang menetap atau yang menjadikan tempat tersebut sebagai daerah persinggahan. Beberapa komoditi penting yang termasuk dalam kategori sumberdaya perikanan adalah spesies yang paling rawan terhadap penagkapan lebih yaitu yang bersifat menetap. Itu dikarenakan pergerakannya yang kurang aktif sehingga dengan mudah masyarakat untuk menangkapnya. Seperti di NTT sumberdaya yang dikonservasi ialah spesies yang menetap dan yang mempunyai nilai ekonomi.
84
Hal seperti di atas dapat memberikan gambaran bahwa kearifan lokal dari masyarakat Desa Bolok di dalam mempertahankan potensi sumberdaya perikanan yang terdapat di wilayah pesisir perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah
untuk
mempertahankan
kelestarian
sumberdaya
perikanan
dan
sumberdaya lainnya yng terdapat pada wilayah pesisir tersebut di Desa Bolok. Hasil pengamatan dan identifikasi ada beberap jenis ikan yang berkembang biak diwilayah konservasi dapat dilihat pada tabel 16. Tabel 16. Jenis Ikan pada daerah konservasi “Lilifuk” No
Nama ilmiah
Nama Indonesia
Nama lokal
1.
Leptoscorus varigiensis
Ikan rumput
Ikan rumput
2.
Lethirinidae
Ikan dusu
Ikan dusu
3.
Siganidae
Beronang
Ikan lada (daensala)
Di Kedua desa ini terdapat 3 Lilifuk yaitu Lilifuk Bimusu dan Lilifuk Gatal yang terdapat di Desa Bolok, dan Lilifuk Satelan di Desa Kuanheun. Lilifuk di Desa Bolok sudah ada sejak tahun 1967. Namun bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan secara tradisional sendiri sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Bolok sejak 1915. Desa Bolok berasal dari bahasa Helong yaitu “Bolo” yang mempunyai arti lubang atau gua. Nama ini diberikan karena banyak terdapat lubang atau gua yang di dalamnya terdapat mata air yang digunakan untuk mandi, mencuci, dan minum hewan peliharaan. Kata Bolo kemudian disempurnakan menjadi Bolok, dengan menambahkan huruf “K” di belakang dari kata Bolo. Lilifuk Baimusu Lilifuk pertama adalah Lilifuk Baimusu. Baimusu sendiri adalah nama salah satu marga yang tinggal di Desa Bolok. Umumnya Lilifuk diberi nama sesuai dengan marga pemilik atau pengelola. Lilifuk ini dipercaya ada berkisar sejak 1913, saat salah satu anggota keluarga dari marga Baimusu berjalan-jalan menyusuri Pantai Bolok (Boikh, 2010). Alasan lainnya adalah karena salah satu anggota keluarga dari marga Baimusu dipercaya memiliki ikatan kuat dengan laut yang mampu mengendalikan ikan-ikan di perairan. Beliau dipercaya dapat membuat ikan diam seperti pingsan sehingga mudah ditangkap. Lilifuk Baimusu dalam pengelolaan dan pengawasannya dilakukan oleh pemilik, dalam hal ini marga Baimusu bekerja sama dengan marga Laiskodat sebagai marga
85
tertua dan terbesar di Desa Bolok. Lilifuk ini dibuka untuk panen satu kali dalam setahun, biasanya pada bulan November dengan diawali upacara adat yang dilakukan sehari sebelum Lilifuk dibuka. Saat akan pembukaan Lilifuk, Desa Bolok akan mengundang warga desa-desa sekitarnya. Dalam upacara adat yang menandai pembukaan Lilifuk, diadakan pemotongan hewan seperti babi yang nantinya disajikan dan disantap bersama-sama dengan warga desa-desa sekitar. Tamu yang datang yang ikut serta dalam pembukaan Lilifuk tidak jarang dari desa yang cukup jauh bahkan sampai menempuh perjalanan selama 2 hari. Pesta adat pembukaan Lilifuk saat ini mengalami perubahan yang dikarenakan alasan kemanusiaan dan aturan agama. Pada tahun 1960, pesta adat dalam rangka menyambut pembukaan Lilifuk atau panen Lilifuk, di dalamnya terdapat upacara “pukul betis” yang dilakukan oleh para pria, dimana mereka memukul betis mereka masing-masing menggunakan sepotong rotan sambil menari (Hering) dan pegang tangan (Babanting) yang bertujuan untuk memperlihatkan jiwa kesatria mereka. Tidak jarang jatuh korban akibat acara tersebut dan berakibat mereka tidak dapat mengikuti acara puncak yaitu panen ikan pada keesokan harinya. Acara panen diawali dengan doa yang dipimpin oleh pemuka adat, pemimpin agama dalam hal ini pendeta dan pemilik kolam. Doa dilakukan di pinggir kolam Lilifuk dengan tujuan agar menghindari racun ikan dari ikan yang berada di dalam kolam dan juga agar ikan tidak keluar dari kolam tersebut sehingga hasil tangkapan melimpah. Lilifuk Baimusu ini sudah lebih dari 5 tahun tidak dibuka karena ikan di dalam Lilifuk tidak begitu banyak sehingga belum layak untuk dipanen. Selain itu juga banyaknya pelanggaran terhadap aturan adat dengan melakukan penangkapan di daerah Lilifuk dengan menggunakan pukat. Berdasarkan hasil penelitian The Nature Conservancy (TNC) bahwa kondisi Lilifuk rusak dengan tutupan karang keras hidup di bawah 10% dan hanya sedikit terdapat recruitment karang. Dominasi tutupan substrat di daerah ini adalah rubble, karang mati serta pasir. Lamun masih dapat dijumpai secara sporadis. Ikan-ikan yang terdapat di daerah ini banyak ditemui dari jenis dusun dan lada serta sedikit ikan karang dengan ukuran yang berkisar antara 5 – 20 cm dan jumlah yang tidak begitu banyak ( TNC, 2011). Lilifuk Gatal Lilifuk Gatal merupakan Lilifuk kedua yang berada di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat. Berbeda dengan Lilifuk Baimusu yang dimiliki oleh salah satu marga,
86
Lilifuk Gatal ini dimiliki oleh 4 orang yang berasal dari 3 marga yang mendiami Desa Bolok yaitu Holbala, Buitbesi dan Klapeka. Berawal dari penyusuran mereka di pantai Bolok, mereka menemukan lokasi yang berbentuk seperti kolam, di mana saat surut terendah, kolam tersebut tidak kering dan di dalamnya banyak terdapat ikan. “Di sana terdapat kolam, pada saat meting (surut terendah) nah ikan terperangkap...”
Dari penyusuran tersebut mereka memutuskan untuk menutup wilayah tersebut dan hanya dalam waktu tertentu saja membuka dan membiarkan adanya penangkapan di sana. Dahulu Lilifuk ini dibuka dua kali dalam setahun yaitu pada bulan April/Mei dan Oktober/November sesuai kesepakatan pemilik. Lilifuk Gatal terakhir dibuka atau panen pada April 2009. Permasalahan saat ini, menurut informan kami, sudah tidak terdapat ikan di Lilifuk Gatal, sehingga saat ini dipergunakan sebagai budidaya rumput laut. Informasi ini juga diperkuat dengan hasil penelitian dari The National Conservancy (TNC), bahwa setelah dilakukan ground check kondisi Lilifuk Gatal sudah rusak. Lilifuk Baineo di Desa Kuanheun Lilifuk Baineo menurut Perdes adalah suatu kolam besar yang dipenuhi dengan rumput halus yang menjadi pusat atau penuh dengan ikan lada dan ikan dusung yang berada di tepi laut. Apabila air laut surut, maka kolam besar ini akan tampak dengan kedalaman maksimum 5 meter dengan luasnya 20.000 m2. Lilifuk Baineo atau Satelan, sesuai dengan nama yang dimiliki oleh keluarga yang bermarga Baineo. Lilifuk Baineo biasanya dibuka satu kali dalam setahun yaitu bulan November, namun berdasarkan Perdes No.1 Tahun 2012 tentang Perlindungan Sumber Daya Laut di Wilayah Lilifuk dinyatakan bahwa pembukaan Lilifuk atau panen dilaksanakan dua kali dalam setahun yaitu bulan Juni dan Desember. Perhatian yang besar dari ahli waris Lilifuk dan dari pemerintah daerah setempat serta lembaga swadaya masyarakat terhadap keberadaan
Lilifuk
dan upaya perlindungan
sumberdaya laut maka dibuatlah Perdes di atas. Diharapkan melalui Perdes tersebut aturan yang awalnya hanya aturan adat, tidak memiliki kekuatan secara formal maka saat ini sudah menjadi lebih kuat untuk menjamin keberlangsungan kearifan lokal tersebut. 5.4.6. Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lilifuk
87
Batas Pengelolaan/Sistem Zonasi Batas-batas daerah yang ditutup sebagai daerah konservasi yaitu sejajar dengan garis pantai dengan luas dari Lilifuk tersebut 400x10 m. Pada tempat tersebut juga diberi tanda agar lebih jelas bahwa daerah tersebut ditutup. Pemberian tanda tersebut menggunakan batu-batu. Penggunaan tanda dengan batu-batu ini tidak digunakan lagi, dikarenakan batu-batu ini selalu dibongkar oleh masyarakat pada saat melakukan “makan meting” di sekitar daerah konservasi tersebut sehingga tokoh adat bersama perintah desa serta masyarakat bersepakat untuk daerah tersebut diberi tanda sebagai pembatas dengan menggunakan kayu-kayu disekeliling dari daerah tersebut. Sampai sekarang kayu-kayu tersebut masih ada sebagai pembatas antara daerah konservasi dan bukan daerah konservasi. Lilifuk Baimusu terletak pada kordinat lokasi 10.22242° LS 123.49948° BT10.22323° LS 123.49626° BT dan 10.22085° LS 123.49918° BT – 10.22163°LS 123.49689° BT. Luas Lilifuk ini lebih kurang 2 hektar dengan panjang 200 m dan lebar 100 m, dengan tanda batas yang terbuat dari batu besar yang ditempatkan pada batas – batas darat. Lilifuk Gatal terletak di koordinat 10.23355°LS 123.48935° BT – 10.23020°LS 123.48927° BT dan 10.23029° LS 123.48901° BT – 10.23335° LS 123.48916° BT. Luas Lilifuk Gatal kurang lebih 1,1 hektar dengan panjang 370 meter dan lebar 30 meter. Lilifuk ini ditandai dengan batu besar yang ditempatkan pada batas darat. Lilifuk Baineo atau Satelan terletak di Desa Kuanheum dengan koordinat lokasi 10.26480° LS 123.49771° BT - 10.26395° LS 123.49776° BT dan 10.26479° LS 123.49712° BT – 10.26399°LS 123.49712°BT . Luas Lilifuk ini kurang lebih 0,5 hektar dengan panjang 100 meter dan lebar 50 meter. Berdasarkan Perdes No.1 Tahun 2012 tentang Perlindungan Sumber Daya Laut di Wilayah Lilifuk Baineo di Desa Kuanheun: a)
Zona Kearifan Lokal (Lilifuk) (1) Kearifan lokal pengelolaan Lilifuk bermula pada kebiasaan masyarakat yang mencadangkan suatu area tertentu pada wilayah perairan desa yang hanya mengijinkan operasi penangkapan ikan 2 (dua) kali dalam satu pada bulan Juni dan bulan Desember pada area tersebut, dengan luas zona kearifan lokal 3, 797 Ha atau 0,038 km2
88
(2) Kearifan lokal Pengelolaan Lilifuk yang dimaksudkan merupakan suatu upaya masyarakat untuk mendukung konservasi dan pariwisata rekreasi yang terdiri dari penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan; (3) Area tertentu seperti yang dimaksud ditetapkan menjadi Zona Kearifan Lokal. (4) Zona Kearifan Lokal ditujukan bagi masyarakat untuk: a) Melakukan penangkapan ikan secara tradisional dengan menggunakan alat dan cara yang ramah lingkungan pada musim-musim yang telah ditentukan b) Yang dimaksud dengan penangkapan ramah lingkungan adalah: tidak menangkap anak ikan, memberi kesempatan pemulihan bagi jumlah ikan yang bisa ditangkap di area Lilifuk, menggunakan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan, dan terlokalisir pada area yang telah disepakati. b)
Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam Perairan (1) Zona pemanfaatan pariwisata alam perairan kegiatan dimanfaatkan sebagai pariwisata, penelitian, pendidikan, alur pelayaran (2) Zona pemanfaatan pariwisata alam perairan ini berada dalam zona pemanfaatan di sebelah Barat desa Kuanheun dengan luas 14,742 Ha atau 0,147 km2. Dengan batas-batas wilayah zona pemanfaatan adalah sebagai berikut: a. Sebelah selatan berbatasan dengan zona perikanan berkelanjutan tradisional dengan jarak k.l. 75 m dari lingkar luar Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam Perairan b. Sebelah timur berbatasan dengan zona kearifan lokal Lilifuk Eno Loles dengan jarak k.l. 100 m dari lingkar luar Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam Perairan c. Sebelah utara berbatasan dengan perikanan berkelanjutan tradisional dengan jarak k.l. 75 m d. Sebelah barat berbatasan dengan area budidaya mutiara milik PT.TOM yang juga adalah zona perikanan berkelanjutan tradisional dengan jarak k.l. 10 m dari lingkar luar Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam Perairan (3). Zona pemanfaatan adalah suatu wilayah perairan laut yang diperuntukkan bagi perlindungan dan pelestarian habitat dan populasi ikan; pariwisata dan rekreasi; penelitian dan pengembangan; pendidikan; dan alur pelayaran.
89
c) Zona Perikanan Berkelanjutan Tradisional Desa Zona Perikanan Berkelanjutan Tradisional Desa adalah suatu wilayah perairan laut Desa bagi nelayan untuk dapat melakukan aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan cara yang ramah lingkungan dengan batas-batas zona perikanan berkelanjutan tradisional adalah sebagai berikut: a. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah perairan Desa Oematnunu b. Sebelah timur berbatasan dengan daratan desa c. Sebelah utara berbatasan dengan zona pemanfaatan di bagian utara-barat dan zona kearifan lokal di bagian utara-timur d. Sebelah barat berbatasan dengan area budidaya mutiara milik PT.TOM yang juga adalah zona perikanan berkelanjutan tradisional. Aturan Pada tahun 1972 tokoh adat bersama-sama dengan pemerintah desa bersepakat untuk membuat aturan. dimana aturan tersebut melarang agar masyarakat Desa Bolok tidak melakukan panen/pengambilan hasil di daerah larang ambil “Lilifuk” tersebut sebelum waktunya. Setelah aturan tersebut di sepakati kemudian aparat desa mengumpulkan masyarakat untuk memberikan pengumuman mengenai aturan di dalam pengelolaan “Lilifuk”, masyarakat Desa Bolok pun setuju dengan aturan yang telah di buat. Selama aturan tersebut dikeluarkan masyarakt tidak berani/takut untuk melakukan pelanggaran pada daerah larangan tersebut dan semuanya berjalan sesuai dengan harapan tidak ada masyarakat yang melanggar aturan tersebut. Setelah sekian lama yaitu sampai tahun 1978 berjalan dengan aturan lisan kemudian tokoh adat dan perintah desa berkumpul kembali untuk membicarakan tentang pembuatan aturan tersebut ke dalam bentuk tulisan. Setelah ada persetujuan keduah belah pihak, tokoh adat memberi tugas kepada perintah desa untuk membuat aturan tersebut kedalam tulisan. Setelah aturan tersebut selesai di buat, tokoh adat, perintah desa bersama-sama menandatangani aturan tersebut yang di saksikan oleh tokoh agama dan juga masyarakat yang di undang. Aturan yang sudah dibuat ke dalam tulisan ini karena sudah terlalu lama dan tidak di rawat dengan baik akhirnya sudah tidak ada lagi. Walaupun aturan ini sudah tidak ada lagi tetapi masyarakat tetap mematuhinya, akan tetapi sekarang sebagian dari aturan yang sudah di buat sudah tidak di laksanakan, itu di sebabkan karena pergantian zaman.
90
Menurut Peraturan Desa No.1 Tahun 2012 tentang Perlindungan Sumber Daya Laut di Wilayah Lilifuk maka pengertian Lilifuk adalah suatu kolam besar yang dipenuhi dengan rumput halus yan menjadi pusat atau penuh dengan ikan lada dan ikan dusung yan berada di tepi laut. Apabila air surut, maka kolam besar ini akan tampak denan kedalaman maksimim 5 meter dengan luasnya 20.000m². Lilifuk merupakan model pengelolaan sumberdaya berdasarkan sistem buka tutup sebagian wilayah perairan laut. Terdapat beberapa aturan dalam pengelolaan Lilifuk diantaranya adalah: a. Waktu buka tutup Lilifuk Ketiga Lilifuk di atas melakukan buka Lilifuk atau panen sesuai dengan kesepakatan pemilik Lilifuk. Lilifuk Baimusu dan Gatal melaksanakan buka atau panen sekali dalam satu tahun, sementara Lilifuk Baineo dua kali dalam setahun. Waktu buka atau panen wajib disosialisasikan kepada masyarakat dan desa tetangga melalui surat undangan yang ditandatangani pemerintah desa setempat. b. alat tangkap yang digunakan Alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan seperti serok dan tombak c. Jenis ikan yang dilarang Saat panen, tidak ada jenis ikan yang dilarang untuk ditangkap, sebaliknya pada saat Lilifuk kembali ditutup, maka semua biota yan hidup di dalam Kolam Lilifuk tersebut tidak boleh ditangkap. Jenis ikan yang hidup di dalam Lilifuk adalah ikan Baronang, Ikan Dusu (ikan dusu atau ikan dusung?) dan Ikan Rumput d. Mekanisme keikutsertaan dalam buka / panen Lilifuk Buka Lilifuk atau panen diikuti tidak hanya oleh masyakarat desa setempat saja, namun juga mengundang masyarakat desa tetangga. Peserta dikenakan biaya masuk sebesar Rp.2.500,- per orang. Pembagian besarnya persentase bagi hasil panen untuk desa, tetua adat, gereja dan pemilik merupakan otoritas pemilik Lilifuk. Hukum Adat Lilifuk merupakan merupakan sistem manajemen tradisional, ini terbukti dapat berjalan dengan dengan efektif serta mempunyai keunggulan didalam biaya
91
pelaksanaanya. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah desa serta masyarakat di Desa Bolok sudah di efektif dan sudah berjalan secara normal hingga sekarang. Hal ini bertujuan untuk mencapai manfaat sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan untuk menghindari kepunahan dari sumberdaya perikanan yang dikhususkan pada ikan. Pengelolaan secara bersama seperti diatas dianggap sebagai suatu tindakan yang sangat baik didalam mengelola sumberdaya perikanan. Kemanajemenan yang berarti lembaga pemerintah serta masyarakat bersamasama berjalan secara kemitraan dalam melaksanakan pembagian tugas didalam pengelolaaan sumberdaya perikanan. Kemitraan dapat terjadi dalam bentuk informal dan pemerintah desa mengakui peraturan yang sudah dibuat oleh tokoh adat, serta tanggung jawab pelakasaan suatu perturan diserahkan dari pemerintah kepada masyarakat yang terlibat didalam pengelolaan daerah yang dikonservasi. Kemanajemenan berawal dari tanggung jawab pemerintah yang sudah berkurang, sementara itu masyarakat lokal yang semakin besar perannya didalam mengelola. Kondisi ini secara kelembagaan masyarakat Desa Bolok serta tokoh adat secara aktif atau dominan didalam melestarikan daerah konservasi tersebut. Kerjasama yang telah dibangun di dalam wilayah konservasi tersebut diwujudkan dalm bentuk aturan adat. Hukum adat ini telah ditetapkan oleh tokoh adat, pemerintah desa, tokoh agama, dan masyarakat. Apabila ada yang melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut bersama, maka akan dikenakan sanksi adat, kesepakatan adat tersebut adalah sebagai berikut : 1) Pelaksanaan panen (ikan) pada Lilifuk dilakukan atau dibuka sebanyak dua kali yaitu pada bulan April dan Desember 2) Sebelum memasuki daerah tersebut (Lilifuk), untuk melakukan panen setiap orang wajib membayar uang masuk sebesar Rp.2000. Dahulu pada saat masuk kedaerah tersebut (Lilifuk) untuk mengikuti panen tidak di pungut biaya (uang) tetapi dengan barter. Selain dengan barter tadi biaya masuk pada daerah tersebut hanya di bayar dengan hasil (ikan) yang telah didapat pada saat mengikuti panen. Hasil tersebut di ambil oleh aparat desa, dikumpulkan kemudian di bagi-bagi kepada tokoh adat,aparat desa,tokoh agama yang diundang untuk mengikuti panen. 3) Adanya upacara adat seperti menari dengan cara memukul betis sampai berdarah, adanya pemotongan hewan didaerah tersebut dan pemuulan gong.upacara ini
92
sudah dilakukan sejak awal yaitu pada saat daerah tersebut ditutup sebagai daerah larang ambil. 4) Pengambilan hasil pada daerah tersebut (Lilifuk) hanya diperkenankan sekali dalam jangka waktu pasang surut pertama dan pada pasang surut berikutnya tidak diperkenankan lagi untuk mengambil hasil. 5) Tidak diperkenankan menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan pada daerah tersebut. Alat yang harus dipergunakan adalah alat tangkap sero, dan alat ini sudah digunakan sejak dulu. 6) Adanya pembagian hasil dari uang yang telah dibayar oleh masyarakat pada saat masuk kedaerah tersebut untuk melakukan panen. Pembagiannya dilakukan secara bersama-sama, yaitu tokoh adat yang sekaligus tuannya, pemerintah desa, tokoh agama serta masyarakat yang ikut menjaga daerah tersebut. Uang yang diberikan kepada pemerintah desa digunakan untuk membangun desa dan kepada tokoh agama diberikan ke gereja dalam bentuk nazar. 7) Sanksi adat berlaku untuk semua orang telah melanggar aturan yang ada. Sanksi tersebut berupa uang sebesar Rp.50.000 bagi masyarakat Desa Bolok dan Rp.250.000 untuk masyarakat di luar Desa Bolok. Selain uang harus diberikan pula babi/kambing, beras dan sarung. Uang ini nantinya akan dibagikan kepada perintah desa, tokoh agama dan yang sisanya untuk tuan “Lilifuk”, sedangkan babi/kambing tersebut dipotong dan dagingnya dibagikan kepada perintah desa, tokoh agama serta masyarakat yang ikut di dalam penyelesaian masalah, beras dimasak untuk dimakan secara bersama-sama dan sarung menjadi milik dari tuan “Lilifuk”. Sebelum panen dilakukan terlebih dahulu, tokoh adat sekaligus tuannya akan turun ke daerah tersebut “Lilifuk” untuk melihat apakah ikan-ikan tersebut sudah layak untuk dipanen atau belum.jika ikan-ikannya sudah layak untuk dipanen, maka tokoh adat akan memberitahukan kepada pemerintah desa serta tokoh agama untuk melakukan kesepakatan/jadwal. Pemberlakuan aturan adat sudah mulai mengalami pergeseran. Hal ini dapat dilihat dari penentuan waktu panen yang tidak lagi sesuai dengan perhitungan ekonomi. Hal Ini dapat dilihat dari waktu panen yang dilakukan 2-3 kali didalam satu tahun, hal ini sangatlah berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan dan hasil yang diperoleh sangat kecil jika dilihat dari nilai ekonomisnya. Adapun hal lain yang sudah mengalami perubahan yaitu nilai sosial dari masyarakat itu sendiri yang telah
93
mengakibatkan
sebagian
dari
penghargaan/ketaatan
dari
peraturan
mulai
luntur/sudah mulai hilang. Penegakan peraturan sudah mulai luntur dan berangsur-angsur hilang dilihat dari pengelolaan daerah konservasi “Lilifuk” yang dulunya masih melakukan upacara adat kepada leluhur yang dianggap menjaga daerah tersebut dengan demikian menurut kepercayaan dari masyarakat Desa Bolok yakni barang siapa yang melakukan pelangaran terhadap hukum adat yang telah dibuat dan disepakati bersama akan mendapatkan kutukan dari leluhur/nenek moyang penjaga daerah konservasi tersebut”Lilifuk”. Namun karena zaman sudah semakin berkembang dan masyarakat Desa Bolok sudah semuanya beragama serta sudah mempunyai pendidikan, maka kepercayaan kepada leluhur/nenek moyang semakin hari-semakin berkurang bahkan sudah hilang. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya lagi upacara adat yang dilakukan pada saat melakukan panen. Selain permasalahan didalam pemberlakuan aturan untuk pengelolaan daerah konsevasi “Lilifuk” ada lagi masalah lain yaitu adanya pencurian yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat baik itu dari luar Desa Bolok dan dari Desa Bolok itu sendiri. Pencurian ini menggunaka alat tangkap pukat garuk, yang menurut masyarakat sangat merugikan karena hasil pada saat panen sangat sedikit. Aturan Gereja Majelis dan Pendeta, pihak ini
tidak terlibat langsung dalam penetapan
aturan/hukum yang berlaku namun keterlibatan gereja melalui Pendeta dan Majelis hanya melakukan pembinaan rohani seperti menasihati dan berdoa untuk masyarakat yang telah meakukan pelanggaran pada daerah larang ambil “Lilifuk”. Walupun pihak gereja tidak mengeluarkan aturannya tetapi gereja memiliki peran didalam pengelolaan daerah konservasi tersebut. Peran gereja melalui Pendeta dan Majelis memberikan nasihat bagi yang sudah melanggar aturan dan memberikan dukungan didalam penerapan aturan/hukum adat dan aturan dari pemerintah desa. Di dalam pengelolaan daerah konservasi ini “Lilifuk” tidak melibatkan pihak luar. Hal ini di sebabkan oleh pengelolaan “Lilifuk” yang dilakukan sudah turuntemurun oleh tokoh adat (tuannya), masyarakat setempat dan pemerintah desa . Aturan Pemerintah (Desa) Aturan pemerintah desa mengadopsi aturan dari adat, karena pada saat membuat aturan tersebut kedua belah pihak saling bekerja sama. Aturan pemerintah
94
yang mengadopsi aturan adat tersebut yaitu menyangkut pemberian denda/sanksi yang akan dikenakan kepada yang melanggar aturan yang telah disepakati bersama, pembagian hasil (uang) yang telah diperoleh pada saat pelaksanaan panen, pemerintah desa membuat undangan untuk mengundang desa-desa tetangga untuk hadir pada saat ritual maupun memanen hasil. Desa-desa tetangga yang diundang hadir pada acara panen tersebut adalah desa Nitneo, Kuanheun, Batakte, Manulai, Bakunase dan Alak. Sedangkan untuk masyarakat Desa Bolok pemberitahuannya dilakukan dengan memberi pengumuman yang dilakukan oleh aparat desa. Semua aturan yang telah dibuat bersama dan disepakati ditandatangan oleh kedua belah pihak yakni pemerintah desa dan tua adat. Dari pihak pemerintah desa ditandatangan oleh kepala desa dan dari pihak adat oleh tua adat yang sekaligus tuan “Lilifuk”. Belum adanya aturan yang di buat oleh desa sendiri karena bagi mereka untuk sekarang berjalan dengan aturan adat/hukum adat saja sudah cukup membuat masyarakat takut untuk melakukan pelanggaran pada daerah larang ambil “ Lilifuk”. Tidak menutup kemungkinan perintah desa membuat aturan desa di dalam pengelolaan “ Lilifuk”. Kegiatan Penangkapan Pada Zona Kearifan Lokal Lilifuk harus memperhatikan ketentuan berikut: a. mendapatkan ijin penangkapan dari pemerintah desa yang direkomendasikan oleh POKMASWAS sesuai jadwal yang telah disepakati b. menggunakan alat dan cara tangkap yang ramah lingkungan dalam hal ini panah, pancing, dan tombak c. memperhatikan
daya
dukung
habitat
dan/atau
tidak
mengganggu
kelangsungan hidup sumber daya ikan. Kegiatan Budidaya pada Zona Kearifan Lokal Lilifuk harus mendapatkan ijin dari pemerintah desa yang direkomendasikan oleh POKMASWAS. Setiap kegiatan budidaya pada zona kearifan lokal wajib bersifat ramah lingkungan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. ukuran keramba atau petak b. jenis biota laut yang dibudidayakan adalah rumput laut c. cara panen tidak boleh menggunakan bahan kimia yang dapat berakibat mengganggu bahkan memusnahkan biota laut yang disekelilingnya
95
d. tidak merusak padang lamun dan terumbu karang yang berada dalam zona kearifan lokal Segala bentuk kegiatan penangkapan ikan di zona perikanan berkelanjutan tradisional wajib mendapat ijin dari Pemerintah Desa dan POKMASWAS, kecuali: makameting atau pasang turun dan kegiatan skala kecil oleh warga untuk konsumsi sehari-hari dan bukan untuk dijual. Tembusan Surat ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa dan POKMASWAS seperti yang dimaksudkan di atas, akan disampaikan ke BKKPN sebagai informasi. Rincian alat penangkapan ikan yang dilarang pada zona perikanan berkelanjutan tradisional dapat dilihat pada lampiran Peraturan Desa ini. Distribusi Hak Hak mengakses (access) Hak mengakses pada kearifan lokal Lilifuk adalah kegiatan pariwisata, kegiatan penelitian dan kegiatan pendidikan pada Zona Pemanfaatan pada Pariwisata Alam Perairan. Kegiatan pariwisata meliputi berenang, dayung atau kayak, menyelam, perahu wisata, pariwisata tontonan seperti snorkeling dan menggunakan perahu kaca (glass boat), wisata penelitian untuk mendapat pengetahuan terkait
bidang ilmu
tertentu seperti mengamati kehidupan biota perairan (penyu dan lain-lain), wisata budaya, tracking dan pembuatan foto, video dan film. Kegiatan Penelitian meliputi penelitian dasar untuk kepentingan pelestarian budaya dan konservasi; penelitian terapan untuk kepentingan pelestarian budaya dan konservasi; dan pengembangan untuk kepentingan pelestarian budaya dan konservasi. Penelitian dan pengembangan di Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam Perairan diberikan oleh Pemerintah Desa yang direkomendasikan oleh POKMASWAS. Kegiatan Pendidikan yang dilakukan yaitu kegiatan yang dapat memberikan wawasan dan motivasi yang meliputi aspek oceanografi, biologi, ekologi, sosekbud, tata kelola dan pengelolaan perairan laut. Ijin kegiatan-kegiatan tersebut di atas diberikan oleh Pemerintah Desa direkomendasikan oleh POKMASWAS. Hak Memanfaatkan (Withdrawl) Hak memanfaatkan dibedakan berdasarkan pelaku dan berdasarkan zonasi. Berdasarkan pelaku, dibedakan menjadi hak memanfaatkan bagi pemilik dan hak memanfaatkan bagi masyarakat umum. Pada zona kearifan lokal pemilik mempunyai
96
hak memanfaatkan wilayah lilifuk untuk budidaya rumput laut, sementara masyarakat tidak berhak memanfaatkan wilayah lilifuk kecuali pada saat wilayah tersebut dibuka. Sementara pada zona perikanan berkelanjutan tradisional, semua pihak bisa memanfaatkan wilayah memalui proses pnangkapan dengan peralatan tradisional dengan mematuhi segala peraturan yang tertera pada Perdes.. Sedangkan pada zona pemanfataan pariwisata tidak boleh ada yang mengambil ikan. Hak Pengelolaan (Management) Hak pengelolaan lilifuk dipegang oleh pemilik dan aparat desa. Namun otoritas pnentuan kapan lilifuk tersebut dibuka atau ditutup adalah pemilik beserta keluarganya, sedangkan aparat desa hanya mengesahkan saja. Sedangkan otoritas pengelolaan dalam hal zonasi ditentukan oleh pemilik besrta apat desa. Peran warga dalam perlindungan sumberdaya laut dan pesisir adalah bahwa Setiap orang wajib mengawasi dan memelihara sumber daya laut dan pesisir di wilayah perairan Desa. Warga harus mengawasi dan memelihara kearifan lokal yaitu: e. Menjaga batas-batas atau zona-zona yang telah disepakati bersama f. Menjaga Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam Perairan g. Tidak merusak terumbu karang, padang lamun pada saat mengambil hasil laut h. Menjaga pagar laut pada zona perlindungan i. Menegur dan memberikan laporan kepada POKMASWAS dan Pemerintah Desa terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan pengrusakan sumber daya laut dan pesisir. Lembaga yang bertanggungjawab untuk menjamin pelaksanaan perlindungan dan pelestarian sumber daya laut di desa adalah Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, LINMAS Desa, POKMASWAS, dan Pihak berwenang. Lembagalembaga tersebut bertanggungjawab dan saling berkoordinasi dalam melaksanakan peran mereka masing-masing. Pemerintah Desa bertanggung jawab penuh terhadap perlindungan dan pelestarian sumberdaya laut dan pesisir di wilayah desa. Pemerintah Desa dapat meminta laporan pertanggungjawaban pelaksanaan operasional perlindungan dan pelestarian sumberdaya laut dan pesisir kepada POKMASWAS. Pemerintah Desa bersama POKMASWAS menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya
laut
dan
pesisir.
Pemerintah
Desa
dapat
mempertanggungjawabkan pelaksanaan perlindungan dan pengawasan sumberdaya
97
laut dan pesisir kepada Badan Permusyawaratan Desa dan kepada Pemerintah Daerah sesuai
mekanisme
pertanggungjawaban
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan. Pemerintah Desa wajib menginformasikan kepada BKKPN setiap kerusakan habitat laut dan pesisir yang terjadi di dalam wilayah perairan desa. Badan Permusyawaratan Desa mengawasi Pemerintah Desa dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan fungsi dari POKMASWAS. Badan Permusyawaratan Desa bersama dengan Pemerintah Desa dapat meninjau dan memperbaharui tugas dan fungsi dari POKMASWAS. Badan Permusyawaratan Desa bersama Pemerintah Desa bertanggung-jawab dalam merumuskan kebijakan berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir di desa. LINMAS Desa berperan dalam menghadirkan para pelaku pelanggaran Peraturan Desa ini untuk proses penyelesaian di tingkat Hakim Perdamaian Desa. Kelompok Masyarakat Pengawas berperan untuk menjaga dan mengawasi pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir di desa. Kelompok Masyarakat Pengawas dapat memberikan ijin panen bagi masyarakat desa Kuanheun pada musim panen raya yang sudah ditetapkan bersama setelah Pemerintah Desa menginformasikan kegiatan ini ke Balai Wilayah Konservasi Perairan Nasional Kupang. Hak Pemindahtanganan (Alienasi) Pemindahtanganan lilifuk sepenuhnya ada di pihak pemilik atas sepengetahuan pemerintahan desa.
Pemindahtanganan ini pernah terjadi pada lilifuk baimusu,
dimana pada awalnya kepemilikanlilifuk dimiliki oleh marga Laiskodat. Namun atas pertimbangan kekeluargaan dan kepentingan kedua belah marga tersebut sepakat untuk memindahtangankan kepemilikan lilifuk. Secara lebih ringkas, distribusi hak dalam pengelolaan lilifuk adalah sebagai berikut: Tabel 17. Distribusi hak dalam pengelolaan Lilifuk Jenis hak Pemilik Akses Pemanfaatan Pengelolaan Alienasi
V V V V
Zona Kearifan Lokal Masyarakat Desa setempat v v
Masyarakat dari luar desa v
Monitoring dan sanksi
98
Kerusakan lingkungan pada sumberdaya pesisir kebanyakan disebabkan oleh aktifitas dari masyarakat yang tinggal pada sekitar wilayah pesisir maupun yang disebabkan oleh aktifitas lainnya. Pada daerah tersebut juga dilakukan pengawasan. Pengawasan ini dilakukan sendiri oleh pemilik “Lilifuk” (tua adat) dan masyarakat yang ditunjuk untuk bersama-sama melakukan pengawasan. Adapun pengawasan yang dilakukan yaitu berjalan-jalan disepanjang daerah konservasi tersebut “Lilifuk”tersebut dan kadang-kadang juga menggunakan perahu menyusuri daerah tersebut. Biasanya yang yang membantu tuanya melakukan pengawasan adalah keluarnya sendiri. Pengawasan yang dilakukan tidaklah secara berkala karena pemilik “Lilifuk” mempunyai pekerjaan sehari-hari yang tidak dapat ditinggalkan, tetapi jika waktu pelaksanaan panen akan tiba pengawasan dilakukan rutin mulai dari pagi, siang dan malam. Pada malam hari pengawasan dilakukan sanagat ketat, itu dikarenakan pada malam hari pencurian banyak terjadi. Pengawasan ini juga dibagi dalam beberapa kelompok hal ini dimaksud agar semua daerah konservasi ini dapat terkontrol dengan baik. Pada daerah tersebut dilakukan pengawasan oleh tuan “Lilifuk” dan masyarakat yang telah ditunjuk oleh tuannya untuk membantunya melakukan pengawasan. Adapun pengawasan yang dilakukan yaitu berjalan-jalan sepanjang daerah koservasi “Lilifuk” tersebut dan seringkali juga menggunakan perahu menyusuri daerah tersebut. Pengawasan yang dilakukan secara berkala. Tetapi menjelang panen, pengawasan dilakukan rutin mulai dari pagi, siang dan malam. Pengawasan malam hari dilakukan ketat, karena diduga pada malam hari pencurian sering terjadi. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan di dalam pengelolaan “Lilifuk” adalah sebagai berikut : 1. Mengurangi waktu penangkapan yaitu yang biasa di lakukan satu tahun 2 kali di usahakan dalam satu tahun di lakukan 1 kali saja. Hal ini di maksud agar membiarkan ikan untuk berkembang dan bertumbuh sehingga pada saat panen di lakukan hasil yang di peroleh banyak dan ikan ukurannya pun besar. 2. Di dalam pengawasan pada daerah “Lilifuk” lebih di tingkatkan lagi dan di usahakan harus di lakukan setiap hari dan jangan pada saat tiba waktu untuk panen hasil baru pengawasan di perketat.
99
3. Secepatnya pemerintah desa membuat aturan desa agar masyarakat tidak berpatokan kepada aturan adat saja agar di dalam pengelolaannya lebih bagus. 4. Tokoh adat, perintah desa, tokoh agama dan juga masyarakat Desa Bolok harus tetap bersama-sama melakukan pengawasan pada daerah larang ambil “Lilifuk” dan juga di dalam pengelolaannya. 5. Adanya campur tangan perintah baik itu pemerintah daerah dan juga dinas terkait agar di dalam pengelolaannya lebih baik lagi dan lebih terarah lagi. Pelanggaran atas kesepakatan pelarangan penankapan di lokasi Lilifuk dikenakan sanksi. Sanksi berupa penyitaan alat-alat tangkap berupa pukat, lampu dan cedok ikan dan juga sanksi berupa denda yang berupa kain sarung dan hewan babi. Denda tersebut diambil sebagian oleh pihak keluarga pemilik Lilifuk dan sebagian untuk dihidangkan pada saat rapat pembahasan pelanggaran tersebut. (1)
Setiap orang yang memakai pukat garu di zona perikanan berkelanjutan tradisional akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan beras 100 kg
(2)
Setiap orang yang memakai sorok lingkar di zona perikanan berkelanjutan tradisional akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp. 500.000,-(lima ratus ribu rupiah)
(3)
Setiap orang yang menangkap ikan dengan menggunakan bubu, akan dikenakan denda adat berupa uang Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
(4)
Setiap orang yang menangkap penyu dengan cara apapun akan dikenakan denda adat berupa uang Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) bagi orang dalam desa dan untuk orang luar desa dikenakan denda berupa uang Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah)
(5)
Setiap orang yang menggunakan bom dan pencurian ikan di zona kearifan lokal untuk menangkap ikan di zona-zona yang ditetapkan dalam peraturan desa ini akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah), babi 1 ekor dan beras 100 kg, dan pelakunya diserahkan kepada pihak berwajib untuk diproses secara hukum
(6)
Setiap orang yang memakai racun dengan berbagai cara (menyiram, merendam, dan memakai sepatu laut atau dengan cara apapun) di zona-zona yang ditetapkan dalam peraturan desa ini akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan beras 100 kg
100
(7)
Setiap orang yang memakai pukat garu pada zona kearifan lokal (Lilifuk) akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp. 500.000,-(lima ratus ribu rupiah)
(8)
Setiap orang yang merusak terumbu karang akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah)
(9)
Setiap orang yang melakukan pencurian yang bukan miliknya akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)
(10) Setiap orang yang melakukan pencurian sampan masyarakat nelayan akan dikenakan sanksi adat berupa uang
Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan
pelakunya diserahkan kepada pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum (11) Setiap orang atau badan atau perusahaan yang melakukan pencemaran laut (limbah pabrik dan tumpahan minyak) akan dikenakan sanksi berupa uang Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) (12) Setiap orang yang melakukan pengrusakan tempat pengeringan garam (mais kima) di lokasi tempat pengeringan garam dan mengambil pasir laut disepanjang pantai Desa Kuanheun akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) Tabel 18. Sanksi atas pelanggaran di wilayah Lilifuk No
Tindakan Pelanggaran
Zona
Sanksi
Perikanan berkelanjutan Perikanan berkelanjutan Zona kearifan lokal
Denda sebesar Rp 1 juta dan Beras 100 kg Denda sebesar Rp 500 ribu
1
Pengunaan pukat garu
2
Pengunaan Sorok Lingkar
3
Bom dan pencurian
4
Penggunaan racun
5
Pengunaan pukat garu
6
Merusak terumbu karang
Denda sebesar rp 3 juta
7
Pencurian
Denda sebesar rp 500 ribu
8
Pencurian sampan
Denda sebesar rp 2 juta
9
Pencemaran limbah
Denda sebesar rp 250 juta
10
Denda sebesar Rp 1 juta
11
Pengrusakan tempat pengeringan garam Pengunaan bubu
12
Penangkapan penyu
Warga desa : denda sebesar Rp 1 juta Warga luar desa : denda
Zona Kearifan Lokal
Denda sebesar rp 1 juta, 1 ekor babi dan 100 kg beras Denda sebesar Rp 50 juta dan beras 100 kg Enda sebesar Rp 500 ribu
Denda sebesar Rp 2 juta
101
sebesar Rp 2,5 juta Sumber : Perdes Desa Kuanheun No.1 Tahun 2012
Distribusi Hasil Distribusi hasil dari pengelolaan Lilifuk ditetapkan oleh pemilik Lilifuk. Sebelumnya, pembayaran untuk keikutsertaan dalam pembukaan/panen Lilifuk adalah sebanyak 1 ekor dari 4 ekor ikan hasil tangkapan yang diberikan kepada panitia setelah selesai penangkapan ikan. Hasil pengumpulan ikan di panitia tersebut didistribusikan kepada panitia yaitu pemilik dan pengurus desa serta untuk gereja sebagai persembahan. Sekarang, pembayaran untuk keikutsertaan yang ditetapkan sebesar Rp. 2.500 per orang dikelola oleh panitia untuk diberikan kepada pemilik Lilifuk sebagai pengelola dan pengawas Lilifuk serta kepada Kas Desa. Selain itu, uang tersebut juga digunakan untuk diberikan kepada gereja sebagai persembahan. Namun belum diketahui besaran pembagian hasil untuk masing-masing unsur tersebut.
102
BAB VI. IMPLEMENTASI DAN KINERJA KEARIFAN LOKAL Kinerja kelembagaan kearifan lokal merupakan suatu ukuran untuk melihat hasil dari pelaksanaan suatu kearifan lokal apakah dapat berfungsi secara efektif dalam mengelola sumberdaya dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi.
Untuk mengukur
kinerja kelembagaan pengelolaan sumberdaya, Ostrom (1990) seperti yang dikutip oleh Satria (2009) telah memberikan acuan beberapa indikator yang harus dilihat yaitu kejelasan batas wilayah, kesesuaian aturan dengan kondisi lokal, mekanisme penyusunan aturan, fungsi kelembagaan lokal, pelaksanaan pengawasan, penerapan sanksi, mekanisme penyelesaian konflik, pengakuan pemerintah dan jaringan dengan lembaga luar. Dengan mengetahui kinerja kelembagaan kearifan lokal yang disebutkan di atas, maka dapat diidentifikasi apakah kearifan lokal tersebut dapat diterima, dijalankan, dan mengakar dalam masyarakat sehingga bekerja secara efektif atau tidak efektif dalam mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Identifikasi kinerja kearifan lokal yang terdapat diempat lokasi penelitian yaitu kearifan lokal Lubuk Larangan di Kabupaten 50 Kota, Kearifan Lokal Masyarakat Bangka selatan dalam mengelola laut, Kearifan Lokal masyarakat di sekitar Danau Loakang di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kearifan Lokal Lilifuk di Kabupaten Kupang dapat diidentifikasi seperti pada Gambar di bawah ini.
103
Kinerja Kelembagaan Kearifan Lokal Batas wilayah
100 Jaringan dng lembaga luar
Kesesuaian dng kondisi lokal
50 Pengakuan pemerintah
Penyusunan aturan
0 Penyelesaian konflik
Fungsi Kelembagaan Sanksi
Lubuk Larangan
Pengawasan
Bangka Selatan
Lilifuk
Loakang
Gambar 13. Kinerja Kelembagaan Kearifan Lokal di Lokasi Penelitian Hasil dari kinerja tersebut berkorelasi positif dengan manfaat yang diberikan oleh masing-masing kearifan lokal.
Gambar….. menggambarkan
dimensi manfaat kearifan lokal tersebut.
Lubuk Larangan
100 80
60 40 20 Loakang
0
Bangka Selatan
Manfaat Ekologi Manfaat Ekonomi Lilifuk
Manfaat Sosial Budaya
104
Gambar 14. Manfaat Kearifan Lokal pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya pada setiap lokasi penelitian Gambar diatas menunjukkan bahwa kinerja kearifan lubuk larangan memberikan manfaat yang lebih besar baik dalam manfaat ekologi maupun manfaat ekonomi dan manfaat
sosial budaya dibandingkan kearifan lokal di wilayah
penelitian yang lain. Sementara manfaat ekologi yang paling rendah ditunjukkan oleh wilayah reservat Loa Kang. Indikator manfaat ekologi yang dilihat adalah keragaman jenis ikan, populasi ikan,
kualitas air, kondisi perairan, kondisi
sumberdya hayati disekitarnya. Manfaat sosial budaya untuk kearifan lokal lubuk larangan dan Lilifuk cukup besar sementara di Loa Kang dan Bangka Selatan berada dibawah 70 %. Aspek yang dilihat dalam indikator manfaat sumberdaya adalah mempertahankan warisan budaya, mempererat hubungan masyarakat, memupuk tanggungjawab, dan terbentuknya lembaga sosial masyarakat. Manfaat ekonomi yang diberikan oleh masing-masing kearifan lokal umumnya berada dibawah manfaat ekologi dan manfaat sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa kearifan lokal memang lebih berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan jaminan sosial. Aspek yang dilihat dalam indikator manfaat ekonomi ini adalah hasil tangkapan, munculnya mata pencaharian alternatif, dan sebagai jalur transportasi. Secara keseluruhan hubungan antara kinerja kearifan lokal dengan manfaat yang dihasilkan di masing-masing lokasi penelitian dapat digambarkan di bawah ini.
105
120 100 80 Kinerja
60
Dampak 40 20 0 Lubuk Larangan Bangka Selatan
Lilifuk
Loakang
Gambar 15. Hubungan antara kinerja kearifan lokal dan manfaat di setiap lokasi Jika dilihat secara garis besar, maka kinerja kearifan lokal berkorelasi positif dengan manfaat yang ditimbulkannya. Namun pada kasus lilifuk, manfaat yang dihasilkan tidak sebanding dengan kinerja yang dilakukan. Hal ini disebabkan kinerja lilifuk baru diperbaiki pada satu tahun terakhir ini sehingga manfaatnya belum terlalu kelihatan. Masing-masing kinerja dan manfaat kearifan lokal pada lokasi penelitian akan dijabarkan berikut
6.1. Kinerja dan manfaat Kearifan Lokal Lubuk Larangan Lubuk larangan merupakan kearifan lokal yang memiliki kinerja yang paling efektif sehingga memberikan manfaat yang besar baik manfaat ekologi, manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Dalam hal batas wilayah, batasan lubuk larangan suatu nagari cukup jelas karena “kepemilikan” sungai oleh suatu nagari ditetapkan berdasarkan
batas-batas nagari yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah,
sehingga setiap nagari mengetahui batasan tersebut.
Hal ini memudahkan untuk
sosialisasi terhadap masyarakat diluar nagari mengenai batas kewenangan. Sementara pembagian zonasi lubuk larangan pada wilayah sungai di dalam nagari ditentukan berdasarkan musyawarah masyarakat yang dihadiri oleh aparat nagari dan para pemuka masyarakat yaitu para ninik mamak, tokoh pemuda, tokoh agama dan bundo
106
kanduang. Pada lubuk larangan yang telah mendapatkan pembinaan, umumnya zonasi ini ditandai oleh plang nama berikut peraturan-peraturannya. Namun sebagian besar lubuk larangan hanya ditandai oleh tanda-tanda alam yang telah tersosialisasi dengan baik. Teknis sosialisasi hasil dari musyawarah kepada masyarakat dalam nagari dilakukan pada waktu selesai sholat Jum’at, sementara sosialisasi kepada masyarakat diluar nagari disampaikan melalui surat kepada pemerintahan nagari tetangga untuk kemudian disampaikan kepada warganya pada saat setelah sholat Jum’at. Ide pembuatan lubuk larangan murni berasal dari masyarakat setempat berdasarkan sistem keyakinan dan pengetahuan yang mereka miliki. Oleh karenanya aturan yang dibuat sangat sesuai dengan karakteristik sosial, ekonomi, budaya dan sumberdaya yang mereka miliki. Point ini sangat mendasar bagi terlaksananya kearifan lokal secara efektif, karena kepatuhan masyarakat terhadap aturan kearifan lokal bukan didasari karena adanya pengawasan dan sanksi hukum namun karena aturan tersebut sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Kepatuhan masyarakat terhadap aturan lubuk larangan didukung pula oleh adanya mekanisme pengawasan swadaya dan sanksi hukum baik sanksi sosial maupun sanksi ekonomi yang cukup berat. Pada indikator kesesuaian aturan dengan kondisi lokal, tampak aspek kesesuaian dengan perlindugan ekonomi dalam lubuk larangan tidak mencapai sempurna. Kondisi ini disebabkan orientasi kearifan lokal memang lebih ditekankan pada aspek kelestarian sumberdaya dan aspek sosial budaya, karena memang mata pencaharian masyarakat di wilayah tersebut adalah bertani bukan dari sungai. Mekanisme pengelolaan lubuk larangan dirumuskan dalam sebuah lembaga dimana setiap unsur masyarakat terwakili didalamnya. Keterpaduan antara aturan adat dan aturan pemerintah menjadikan organisasi ini cukup kuat dan representatif. Dengan demikian lembaga tersebut dapat berperan optimal dalam mengatur mekanisme pengelolaan, dan membuat serta merevisi aturan. Keterpaduan antar adat sebagai lembaga non formal dan nagari sebagai lembaga formal terlihat pula dalam penerapan sanksi. Masyarakat yang melanggar aturan lubuk larangan akan dikenakan dua sanksi, yaitu sanksi adat berupa sanksi sosial (“dipermalukan”) dan atau sanksi ekonomi (denda), sedangkan sanksi formalnya adalah tidak dilayaninya kepentingan administrasi kependudukan di pemerintahan nagari sampai sanksi adat diselesaikan.
107
Jaringan dengan lembaga luar merupakan indikator yang cukup rendah dalam penilaian kinerja kearifan lokal lubuk larangan. Jaringan yang telah terbentuk adalah dengan kelembagaan kearifan lokal sejenis, dan dengan pemda setempat. Kelembagaan lubuk larangan yang cukup mapan dalam hal aturan dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan menjadikan lembaga ini tidak terlalu membutuhkan jaringan dengan lembaga luar. Meskipun demikian pembuatan jaringan tetap diperlukan terutama dengan lembaga-lembaga penelitian sebagai justifikasi ilmiah dalam rangka penguatan kearifan lokal tersebut. Pembuatan jaringan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi upaya intervensi negatif dari pihak luar yang akan mengganggu kestabilan lubuk larangan. Berikut ini manfaat yang diberikan oleh kearifan lokal lubuk larangan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya. a.
Manfaat ekologi Lubuk Larangan,
1.Sumber daya hayati sungai baik ikan maupun non ikan terjaga keberagamannya sebagai dampak dari pelarangan penggunaan alat tangkap yang merugikan seperti strum dan obat bius. Kondisi ini pun menjadikan plankton-plankton sebagai sumber nutrisi ikan dapat tumbuh dengan baik sehingga berbagai jenis ikan akan tertarik ke wilayah tersebut. Hal ini dibuktikan di lubuk larangan Manjato, yang semula hanya ikan garing yang ada di wilayah tersebut sekarang sudah terdapat jenis ikan lain diantaranya adalah ikan buntal air tawar. 1.
Kesempatan ikan berkembangbiak dengan baik sehingga menambah populasi
ikan sebagai dampak dari pelarangan mengekstraksi sumberdaya sungai pada masa tutup lubuk. 2.
Menjadikan sungai lebih bersih dari limbah rumah tangga sebagai dampak dari
bertambahnya populasi ikan di lubuk larangan sehingga kotoran-kotoran tersebut menjadi makanan ikan-ikan tersebut. Seiring berjalan waktu, kebiasaan masyarakat untuk MCK di sungai berangsur-angsur hilang dan berpindah dengan membuat kamar mandi sendiri di rumah masing-masing disebabkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan sungai. Hal ini menyebabkan sungai lebih bersih karena bebas dari kotoran rumah tangga seperti sabun mandi, kotoran manusia, dan lainnya. b. Manfaat Ekonomi Lubuk Larangan Manfaat ekonomi dari keberadaan lubuk larangan adalah:
108
1.
Hasil panen lubuk larangan berupa ikan dapat memenuhi kebutuhan protein
bagi masyarakat pada saat pembukaan lubuk 2.
Sebagai sumber dana bagi pembangunan desa
3.
Sebagai tempat rekreasi sehingga masyarakat bisa melakukan aktivitas
ekonomi sebagai penyedia jasa pariwisata misalnya penyedia ban untuk berenang, membangun rumah makan, menjual makanan ikan, dan lainnya. 4.
Sebagai sarana transportasi hasil pertanian seperti karet dan gambir, dimana
Sumatera Barat merupakan penghasil Gambir yang besar bagi dunia. c.
Manfaat sosial keberadaan lubuk larangan
1.
Lubuk larangan merupakan sebuah kearifan lokal warisan nenek moyang,
sehingga keberadaannya merupakan sebuah upaya menjaga kelestarian adat istiadat masyarakat setempat. 2.
Lubuk larangan menjadi sarana untuk memupuk rasa tanggung jawab
masyarakat terhadap kelestarian alam. 3.
Ketika pembukaan lubuk semua masyarakat bersuka cita masuk ke dalam
sungai untuk mengambil ikan. Hal ini tentunya menjadi sarana untuk rekreasi dan mempererat perasaudaraan. 4.
Terbentuknya lembaga sosial masyarakat yang berfungsi untuk melestarikan
sumberdaya sungai. 6.1.2. Kinerja dan Manfaat Kearifan Lokal Masyarakat Bangka Selatan Berbeda dengan Lubuk larangan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Kearifan lokal masyarakat pesisir Bangka Selatan belum terlembaga dengan baik. Lembaga yang ada adalah Pokmaswas yang diinisiasi oleh pemerintah dan kurang mengakar dalam masyarakat. Oleh karenanya penegakkan aturan-aturan yang ada tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Aturan kearifan lokal yang ada berasal dari nilai-nilai dan norma yang diwariskan oleh nenek moyang selama puluhan tahun. Komunitas suku sawang sebagai penduduk asli wilayah tersebut merupakan komunitas yang berusaha mempertahankan tradisi menghargai laut tersebut bersama-sama dengan suku pendatang lain. Tidak ada batas yang jelas mengenai batas wilayah aturan kearifan lokal tersebut. Masyarakat hanya memandang bahwa wilayah laut tempatnya mencari penghidupan merupakan wilayah yang harus dipelihara, dan harus dikenakan sanksi terhadap siapa pun yang tidak memperlakukan sumberdaya dengan baik. Aturan ini sebenarnya
109
merupakan aturan yang secara formal telah tercakup dalam UU mengenai pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak dan pelanggaran membuang zat-zat yang dapat mencemari laut. Sementara penolakan eksplorasi tambang laut, merupakan bentuk kearifan lokal yang spesifik dimiliki oleh masyarakat setempat meskipun secara formal terdapat UU yang mengijinkan untuk diadakannya ekplorasi tambang laut. Aturan-aturan yang dibuat selain didasari oleh keyakinan bahwa setiap ciptaan Tuhan harus dijaga, merekapun sangat paham bahwa kerusakan alam yang disebabkan oleh pelanggaran atas aturan tersebut akan mengancam keberlangsungan sumber penghidupan mereka dan generasi yang akan datang. Sehingga aturan tersebut tidak hanya berdasarkan pertimbangan ekologi namun juga berdasarkan pertimbangan sosial dan ekonomi. Melalui Pokmaswas, aturan dalam kearifan lokal ini berusaha ditegakkan, setiap pelanggaran yang dilakukan diselesaikan melalui hukum formal. Namun kurang efektifnya mekanisme pengawasan dan pelaporan menyebabkan aturan ini sulit ditegakkan. Pengawasan dilakukan oleh masyarakat sendiri secara tidak terorganisir. Siapapun yang kebetulan melihat pelanggaran maka mereka akan melapor kepada pokmaswas.
Sementara pelangaran yang tidak terlihat tidak akan mendapatkan
hukuman apa-apa. Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan dari daerah lain, Sementara itu, kepengurusan Pokmaswas nya sendiri belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Lain halnya dengan kearifan lokal masyarakat Bangka yang sudah turun temurun dalam memperlakukan laut, daerah perlindungan laut (DPL) merupakan kearifan lokal yang diinisiasi oleh pihak luar yaitu oleh LIPI bersama tokoh masyarakat setempat. Batas wilayah DPL telah ditentukan namun tetap tidak memiliki tanda-tanda yang jelas. Organisasi kepengurusan pengelola DPL pun telah dibentuk berikut aturan-aturan yang tertuang dalam Peraturan Desa telah ada, namun belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Banyak masyakat yang tidak mengetahui adanya DPL ini, hal ini mengindikasikan bahwa sosialisasi yang dilakukan belum efektif. Menurut salah satu tokoh masarakat, bertahannya wilayah tersebut sebagai DPL, tak lebih karena wilayah tersebut cukup sulit dijangkau oleh masyarakat. a.
Manfaat ekologi Kearifan Lokal masyarakat Bangka Selatan
1.
Tidak adanya aktivitas penambangan biji timah di laut serta pelarangan
penggunaan alat tangkap yang merusak membawa dampak positif yaitu kondisi
110
ekologis perairan laut yang masih terjaga dengan baik.
Perairan di wilayah ini
merupakan perairan terbaik di Kabupaten Bangka Selatan. 2.
Keterbukaan serta kemampuan memilih teknologi yang ramah lingkungan telah
memberikan peluang bagi ikan dan biota laut lainnya berkembangbiak dengan baik. Teknologi Rumpon cumi yang dikenalkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan, yang kemudian diterima oleh masyarakat nelayan dirasakan oleh nelayan telah menjadikan populasi cumi semakin meningkat di wilayah tersebut. 3.
Kepercayaan masyarakat terutama Suku Sawang terhadap hantu laut yang akan
memberikan hukuman bagi setiap orang yang merusakan ekosistem laut, menyebabkan masyarakat menghargai ekosistem laut. Taboo membuang sampah ke laut baik sampah rumah tanggamaupun sampah dari pengolahan hasil perikanan misalnya kepiting memberikan kontribusi positif bagi kondisi laut yang bersih. 4.
Terdapatnya Daerah Perlindungan Laut merupakan antisipasi eksploitasi biota
laut terutama siput gonggong. Upaya ini juga memungkinkan siput gonggong dan biota laut lainnya berkembang dengan baik sehingga diharapkan populasinya akan meningkat.
NAmun
demikian,
DPL
ini
masih
memerlukan
sosialisasi
dan
pemberdayaan organisasi sehingga dapat berjalan lebh efektif. b.
Manfaat ekonomi Kearifan Lokal Masyarakat Bangka Selatan
1.
Melimpahnya populasi ikan sebagai akibat terbebasnya ekosistem laut dari
aktivitas yang merusak memungkinkan masyarakat nelayan dapat meningkatkan jumlah produksinya. Selain itu, nelayan pun tidak perlu jauh untuk mencapai zona pebangkapan sehingga biaya operasional dapat ditekan. 2.
Berkembangnya siput gonggong, memberikan peluang masyarakat nelayan
meningkatkan pendapatannya terkait dengan harga siput gonggong yang cukup tinggi dan stabil. Begitupun peningkatan populasi cumi member kontribusi pada peningkatan pendapatan nelayan. 3.
Meningkatnya hasil tangkapan siput gonggong dan jenis ikan lainnya akan
meningkatkan jumlah produk olahan siput gonggong dan olahan produk perikanan lainnya berupa keripik siput gonggong, kerupuk ikan, ikan teri, dll. Keripik siput gonggong mempunyai nilai jual yang cukup tinggi, hal ini tentunya dapat dijadikan sarana membangkitkan industri olahan dan meningkatakan pendapatan masyarakat.
111
4.
Kawasan laut yang terpelihara, dapat menjadi potensi wisata bagi turis lokal
dan internasional. Hal ini dapat membuka peluang usaha alternative bagi keluarga nelayan sebagai penyedia jasa pariwisata. 6.1.3. Kinerja dan Manfaat Kearifan Lokal Lilifuk Lilifuk merupakan sebuah kearifan lokal yang murni berasal dari masyarakat. Kinerja Lilifuk mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan kondisi politik dan sosial masyarakatnya.
Peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan ke desa
diiringi dengan memudarnya aturan-aturan dalam pengelolaan lilifuk. Perkembangan kondisi mata pencaharian, dimana banyak generasi muda yang meninggalkan desa menyebabkan kurangnya kepedulian generasi muda untuk mempertahankan lilifuk ini. Selain itu, sentuhan-sentuhan ajaran agama turut merubah sistem pengelolaan lilifuk yang dulunya mengandung nuansa animism sekarang lebih bersifat rasional. Namun demikian, adanya dinamika sosial politik ini tidak berpengaruh pada penentuan batas Lilifuk. Batas ini secara adat tetap ada dengan batas-batas yang hanya dimengerti oleh masyarakat lokal bahkan sebagian generasi mudanya sudah tidak mengetahui lagi batas-batas lilifuk tersebut. Keluarga pemegang otoritas pengelolaan lilifuk sudah tidak lagi efektif menjalankan fungsinya. Oleh karenanya, adanya pembinaan dari TNC dalam membuat aturan, disambut baik oleh masyarakat. Masuknya pemerintahan desa dalam organisasi pengaturan Lilifuk disetujui oleh masyarakat.
Oleh karenanya, pada kondisi sekarang terdapat organisasi berikut
tupoksinya yang jelas. Selain itu, kelembagaan ini menjadi lebih kuat karena akan dituangkan dalam Perdes. Sekarang, perdes tersebut, masih dalam proses penyempurnaan. Perdes yang dimaksud mengatur tentang batas wilayah, mekanisme pengelolaan dan pengawasan, dan mekanisme pemberian sanksi. Dalam hal batas wilayah ditentukan lebih jelas mana daerah penangkapan, perlindungan dan wisata. Pihak keluarga pemilik lilifuk tetap diakui sebagai penentu kebijakan namun harus mendapatkan legalisasi dari pemerintah. Kolaborasi ini diharapkan membawa hasil yang cukup baik dalam mengefektifkan kembali fungsi lilifuk. Namun, proses sosialisasi harus terus dilakukan terutama dalam hal batas wilayah dan aturan-aturan yang tidak boleh dilaksanakan pada area lilifuk. Pada kondisi sekarang, terlihat sistem pengawasan masih dilaksanakan oleh keluarga pada
112
saat tertentu saja sehingga masih ada kasus pencurian ikan, meskipun sekarang sudah tidak banyak lagi. Manfaat yang diberikan oleh kearifan lokal pada kondisi ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat, adalah sebagai berikut: a.
Manfaat ekologi Lilifuk
1.
Melindungi keberagaman jenis ikan lokal.
2.
Menjaga dan memperbaiki keragaman hayati psisir.
b.
Manfaat ekonomi lilifuk
1.
Merupakan tempat pemijahan sehingga populasi ikan dapat meningkat
2.
Penghasilan dari proses pembukaan lilifuk dapat digunakan untuk mmperbaiki
sarana peribadatan (gereja) dan pemasukkan untuk keluarga dan pemerintahan desa. 3.
Dapat dikembangkan menjadi daearh wisata yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai sumber mata encaharian alternative. c.
Manfaat sosial budaya lilifuk
1.
Lilifuk merupakan sebuah upaya melestarikan adat istiadat masyarakat
setempat 2.
Mningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya
3.
Sarana mempererat persaudaraan.
4.
Sebagai tempat pariwisata
6.4. Kinerja dan Manfaat Kearifan Lokal Reservat Loakang Kearifan lokal yang berada di daerah reservat Loakang merupakan suaka perikanan yang secara tradisional telah ada sejak 650 tahun yang lalu, yaitu sejak adanya kerajaan Kutai. Suaka perikanan Danu Loakang merupakan perairan yang termasuk tipe perairan banjir (floodflain). Pada saat ini secara geografis suaka tersebut termasuk ke dalam wilayah adminstrasi Kecamatan Kota bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara. Daerah Reservat Loakang berbatasan dengan Desa Liang Ilir, Desa Liang Ulu, Desa Muhuran dan Desa Pela. Dalam buku Laporan Perjalanan Dinas (2005) dalam rangka pelaksanaan kegiatan survey tapal batas Reservat Loakang akan ditentukan titik dan pemancangan tanda koordinat tapal batas sebanyak tiga puluh titik (30). Rencana tersebut telah disosialisasikan kepada tokoh masyarakat agar nantinya menyaksikan pemancangan plang larangan yang berbatasan dengan keempat desa tersebut . Hasil survai tim peneliti Kearifan Lokal (2012) telah menyaksikan bahwa plang larangan sudah tidak
113
sebanyak lagi. Bahkan menurut penjaga Reservat di beberapa titik yang berbatasan dengan keempat desa tersebut sudah tidak ada plang larangan. Plang yang ada (2 plang) yang menunjukkan bahwa wilayah itu merupakan daerah reservat dalam kondisi rusak, tulisan tidak jelas. Rumah penjaga daerah Reservat Loakang milik Dinas Kelautan dan
Perikanan sudah tidak terawat dan tidak dihuni lagi oleh penjaga
reservat. Kondisi
tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa pengawasan
terhadap daerah Reservat Loakang menjadi tidak maksimal. Masyarakat di luar daerah reservat (di luar batas keempat desa itu) memanfatkan kondisi danau Loakang untuk menangkap ikan, ketika debit air danau turun, dangkal. Tidak adanya sanksi yang ketat terhadap pelanggaran yang dilakukan masyarakat, menyebabkan masyarakat masih tetap menangkap ikan (“mencuri ikan”) di saat air danau turun. Kondisi tersebut juga menyebabkan adanya penurunan terhadap populasi ikan, dan budi daya ikan tertentu di danau Loakang. Dari penelusuran penelitian yang telah dilakukan, ditemukan Keputusan Presiden RI no 166, tahun 1954 yang isinya adanya putusan untuk pengesahan putusan daerah propinsi Kalimantan membunuh
atau
tertanggal 3 November 1955 tentang larangan menangkap,
mengambil hasilnya
dari ikan jenis sepat-alam dalam Daerah
Istimewa Kutai. SK dari presiden RI tersebut menjadi salah satu bukti pada masa silam telah ada larangan secara formal dan legal tentang menangkap ikan pada Daerah Istimewa Kutai ( sekarang daerah itu adalah reservat Loakang ). Pengakuan pemerintah di masa lalu seharusnya menjadi salah satu acuan dalam menjaga kelestarian lingkungan Loakang di masa kini. Untuk itu perlu adanya sosialisasi yang gencar oleh aparat setempat dengan pihak terkait untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga Reservat Loakang –suaka perikanan agar dapat memberikan maanfaat bagi masyarakat setempat tidak hanya di masa sekarang tetapi juga di masa depan dengan mematuhi larangan penangkapan ikan. Pematuhan larangan ikan berarti juga menjaga kelestarian dan kehidupan sumber biota air untuk masa yang akan datang. Manfaat yang diberikan oleh kearifan lokal pada kondisi ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat, adalah sebagai berikut: a.
Manfaat ekologi Reservat Loakang
1.
Sebagai “ruang” bagi ikan untuk tempat berlindung,, tapak mencari makan
(feeding site) bagi biota air
114
2.
Sebagai konsep metapopulasi dalam pengembangan suaka perikanan yang
diwujudkan dalam zona inti 3.
Keberadaan tumbuhan air (napung dan seroja) di danau Loakang menjadikan
tumbuhan itu sebagai tempat berlindung (refuge site) ikan-ikan pada musim kemarau. b.
Manfaat ekonomi Reservat Loakang
1.
Kondisi reservat Loakang sebagai suaka produksi (harvest reserve ) harus
ditingkatkan. Ini berarti masyarakat setempat harus mematuhi larangan penangkapan ikan , karena dengan mematuhi larangan tersebut secara tidak langsung mereka telah menjaga dan memahami perairan Loakang dari aspek ekonomi 2.
Peningkatan terhadap kondisi suaka produksi akan memicu dan memberikan
manfaat ekonomi pada masyarakat disekitarnya (bertambahnya jumlah populasi ikan dan penangkapan ikan secara legal akan meningkatkan sumber penghasilan bagi masyarakat nelayan setempat). c.
Manfaat sosial budaya Reservat Loakang
1.
Adanya kerjasama antara masyarakat nelayan di sekitar suaka perikanan
dengan pemerintah setempat untuk melakukan manajemen bersama (pengelolaan) sumber daya ikan pada danau Loakang 2.
Akan memunculkan pengelolaan reservat Loakang dengan model pengelolaan
bersama (co-management) 3.
Adanya peluang untuk menjadikan danau Reservat Loakang sebagai daerah
ekowisata sebagai bagian dari prereservasi Loakang yang dikelola oleh masyarakat setempat dan bekerjasama dengan dinas terkait (pariwisata, pemda setempat )
115
VII. REKOMENDASI KEBIJAKAN Latar Belakang Pengelolaan
dan
pemanfaatan
sumberdaya
kelautan
dan
perikanan
memerlukan mekanisme yang bijak agar tidak menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment), dan tenaga kerja berlebihan (over employment). Oleh karenanya konsep pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menjaga keseimbangan antara produksi (to exploit the resource), konservasi (to protect it), dan distribusi (to share it) (Sulaiman, 2010). Dengan kata lain, terdapat tiga aspek yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan sumberdaya yaitu ekonomi, ekologi dan sosial. Di sisi lain, masyarakat tradisional pesisir di nusantara ini telah mempunyai sebuah mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan yang mempertimbangkan ketiga hal tersebut. Mekanisme tersebut telah dilakukan secara turun temurun yang kita kenal sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal adalah sebuah sistem nilai, aturan, dan pengetahuan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai kebijaksanaan (kearifan) yang terinternalisasi dan ditaati oleh sebuah kelompok atau masyarakat tertentu. Berdasarkan hasil penelitian BBPSEKP di sembilan daerah pesisir selama dua tahunterakhir ini, terlihat bahwa mekanisme pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan didasarkan pada tujuan menjaga harmonisasi antara manusia, Tuhan dan alam.
116
Sementara itu, jumlah penduduk yang bertambah dengan pesat membutuhkan ketersediaan pangan yang memadai. Hal ini dudukung oleh perkembangan peradaban manusia yang mampu menciptakan teknologi-teknologi mekanik guna mendukung upaya pemenuhan kebutuhan pangan tersebut. Industrialisasi merupakan sebuah langkah untuk memenuhi hal tersebut. Namun demikian, seringkali industrialisasi mengabaikan posisi manusia itu sendiri sebagai homo ecologicus dan homo sosiocus namun lebih mengedepankan sebagai homo economicus. Dengan kata lain, manusia pada era industrialisasi cenderung hanya memperhatikan pemenuhan kebutuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan kondisi ekologi dan harmonisasi hubungan sosial. Padahal, ketiga aspek ini tidak boleh dipisah-pisahkan karena saling terkait dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pengalaman menujukkan, bahwa aktivitas industri sering mendatangkan dampak negatif diantaranya adalah global warming, banjir, polusi, dll yang sangat merugikan manusia pada masa sekarang dan yang akan datang. Selain itu, industrialisasi yang menempatkan manusia sebagai elemen atomisasi teknologi telah menjadikan ia teralienasi dari diri, kerja dan masyarakatnya. Menilik mekanisme industrialisasi dan mekanisme kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya, terkesan merupakan dua buah paradigma yang tidak mungkin disatukan. Di satu sisi bersifat pragmatisme yang menyatakan bahwa logika kapitalisme lebih memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas kehidupan manusia, sementara kearifan lokal bersifat romantisme yang menekankan pada pelestarian sistem nilai, aturan dan pengetahuan yang merupakan warisan dari nenek moyang. Kedua pemikiran itu mempunyai logika dan landscape tersendiri yang masing-masing tidak saling menyapa (Ditjen KP3K, 2011). Namun demikian, Industrialisasi merupakan sebuah konsep yang dibuat manusia sama halnya dengan kearifan lokal itu sendiri, sehingga keduanya memungkinkan untuk saling bersinergi. Jepang merupakan sebuah negara yang mampu menerapkan industrialisasi perikanan yang modern tanpa meninggalkan tata nilai lokal tradisional yang dianut oleh masyarakatnya. Oleh karenanya, menyatukan dua konsep ini bukanlah sebuah hal yang mustahil namun tentunya memerlukan sebuah upaya dan komitmen sehingga dua
117
konsep ini elastis dan saling menyesuaikan tanpa mengurangi esensi atau tujuan dari masing-masing sistem. Melalui upaya ini diharapkan masyarakat kelautan dan perikanan dapat maju menuju modernisasi tanpa kegersangan spiritual, tanpa kerusakan sumberdaya, dan tanpa merusak tatanan hubungan sosial yang telah terjalin pada Makalah
ini
bertujuan
untuk
memberikan
solusi
bagaimana
menguatkan peran kearifan lokal dalam menghadapi era industrialisasi kelautan dan perikanan. Dengan demikian, tata nilai lokal yang telah mereka anut secara turun temurun diharapkan menjadi filter bagi setiap bentuk intervensi
negative
dari
era
industrialisasi,
sehingga
terwujud
era
industrialisasi kelautan dan perikanan yang humanis. Indikator industrialisasi yang humanis adalah sebagai berikut: 1. Terciptanya payung hukum yang menjamin terpeliharanya nilai-nilai kearifan lokal yang mendukung pengelolaan yang berkelanjutan 2. Terpeliharanya nilai-nilai lokal yang berkembang di masyarakat yang menjadi dasar dan pedoman (budaya) masyarakat pelaku industrialisasi 3. Terjaga dan terehabilitasinya sumberdaya hayati kelautan dan perikanan (spesies yang bernilai ekonomis tinggi dan spesies yang terancam punah) 4. Terbangunnya profesionalisme pelaku industrialisasi kelautan dan perikanan dalam mengelola dan menciptakan teknologi yang ramah lingkungan dan diakui masyarakat sehingga tercipta kelestarian sumberdaya. Indikator tersebut akan dapat terwujud bila industrialisasi dan kearifan lokal merupakan elemen dari pembangunan yang bersifat people oriented. Dengan demikian, melalui konsep industrialisasi yang humanis bangsa Indonesia dapat bergerak menuju modernitas tanpa kegersangan spiritual, tanpa merusak sumberdaya alam dan tanpa merusak keeratan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya. Opsi Rekomendasi Upaya menciptakan era industrialisasi kelautan dan perikanan yang humanis yaitu industrialisasi yang bersendikan kearifan lokal perlu memperhatikan tiga aspek yaitu aspek nilai, aspek hukum serta aspek pengetahuan dan teknologi. Aspek nilai perlu mendapat perhatian karena merupakan dasar atau spirit bagi seseorang dalam berperilaku. Dalam hal ini, aspek nilai merupakan perwujudan dari kondiri religi dari
118
suatu komunitas atau masyarakat.
Sementara aspek hukum merupakan jaminan
kebebasan atau keamanan seseorang dalam berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku pada suatu komunitas. Sedangkan, aspek pengetahuan dan teknologi merupakan aktualisai spiritualisme suatu komunitas dalam memenuhi kebutuhannya melalui aktivitas industrialisasi. Oleh karenanya, opsi kebijakan dalam mewujudkan sebuah era industrialisasi adalah penguatan kearifan lokal dalam aspek nilai, aspek hukum serta aspek pengetahuan dan teknologi. Secara lebih rinci opsi kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pada aspek nilai harus dilakukan pemeliharaan nilai-nilai lokal yang berkembang di masyarakat yang menjadi dasar dan pedoman (budaya) masyarakat pelaku industrialisasi. Nilai-nilai yang dimaksud mencakup nilai kepatuhan, nilai religi, nilai kelestarian, dll.
2. Pada aspek hukum yang perlu dilakukan adalah: - Membuat payung hukum yang mengikat secara nasional untuk melindungi dan menguatkan kearifan lokal. Selama ini, peraturan yang ada masih hanya memayungi wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil belum mencakup wilayah perairan umum daratan (sungai, danau dan waduk) dan pinggirannya. - Agar lebih terlindungi, maka perlindungan dalam bentuk perda atau perdes perlu diupayakan. Pembuatan payung hukum tersebut harus dilakukan secara partisipatif. - Membuat mekanisme pengawasan yang efektif atas aturan yg telah dibuat
3. Pada Aspek Pengetahuan dan teknologi perlu: -
Membangun profesionalisme pelaku industrialisasi tanpa meninggalkan nilainilai kearifan lokal
-
Revitalisasi lembaga lokal dalam rangka memfasilitasi program industrialisasi agar lebih sesuai dengan karakteristik sosial, budaya dan ekonomi lokal.
Dasar Pertimbangan Rekomendasi Opsi rekomendasi di atas diambil berdasarkan pemikiran bahwa konsep industrialisasi kelautan dan perikanan harus mempertimbangkan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Sebagai sebuah inovasi, maka industrialisasi harus sellevel
119
dengan nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat sehingga permasalahan sosial berupa penolakan dari masyarakat terhadap inovasi-inovasi tersebut dapat dihindari. Sebaliknya, jika sellevel dengan nilai dan norma yang ada maka akan terjadi tindakan kolektif dari masyarakat untuk menerima dan menjalankan konsep tersebut. Teori Keterlekatan dari Granoveter mengenai keterlekatan antara tindakan ekonomi dan tindakan sosial merupakan teori yang dapat diterapkan pada kasus ini. Industrialisasi sebagai sebuah tindakan ekonomi sudah seharusnya dipandang sebagai sebuah tindakan yang akan berjalan dengan baik dan berkelanjutan jika didukung oleh bekerjanya kekuatan faktor sosial secara terus menerus. Kearifan lokal sebagai sebuah kekuatan sosial yang bekerja di masyarakat, khususnya masyarakat adat tentunya merupakan faktor yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan industrialisasi yang humanis. Pentingnya kearifan lokal dalam industrialisasi dapat dikelompokkan pada tiga aspek yaitu aspek nilai, aspek hukum, dan aspek pengetahuan yang saling melengkapi. Nilai adalah pandangan masyarakat yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya dan menilai sesuatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi kehidupannya. Secara umum masyarakat tradisional menilai bahwa Manusia merupakan bagian dari alam semesta yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Ketiga unsur ini – manusia, alam dan Sang Pencipta– saling mempengaruhi sehingga harmonisasi ketiga unsur tersebut harus dijaga melalui perilaku saling menghormati. Masyarakat Minang menganut falsafah hidup Adat basandi syarak syarak basandi kitabullah; syarak mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru (adat bersendi syariat, syariat bersendi kitabullah; syariat mengatakan, adat menggunakan, alam menjadi guru). Falsafah ini menjadi dasar masyarakat tersebut dalam mengelola sumberdaya. Dalam hal ini, agama, adat dan alam tidak bertentangan satu dengan lainnya. Pandangan tersebut ditemui juga pada kearifan lokal di masyarakat nelayan Desa Lambada Lhok Nangroe Aceh Darussalam, Sendang Biru Kabupaten Malang, Kabupaten Indramayu, Ternate dan masyarakat suku Konjo di Desa Ara Bulukumba. Begitu juga dengan Suku Sawang di Bangka. Mereka semua mempunyai tujuan yang sama dalam mengelola sumberdaya laut yang
120
merupakan representasi hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam semesta. Bentuk-bentuk ritual, mitos dan simbol-simbol yang dimiliki oleh suatu masyarakat pesisir- yang khas di setiap daerah- tidak hanya mencerminkan persepsi mereka terhadap unsur makrokosmos yang menguasai alam dan isinya tetapi juga menumbuhkan integrasi sosial. Integrasi sosial sangat dibutuhkan
dalam
proses
industrialisasi
karena
merupakan
proses
penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam suatu masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan yang lebih mengedepankan harmonisasi, tenggang rasa, kejujuran, dan saling memiliki satu sama lain. Hal tersebut merupakan modal sosial untuk membentuk karakter profesionalisme pelaku industrialisasi yang produktif dan beradab sehingga tercapai era industrialisasi kelautan dan perikanan yang humanis. Ketergantungan manusia terhadap lingkungannya mengharuskan mereka membuat regulasi yang berfungsi menjamin masyarakat untuk tidak keluar dari nilai dan norma yang berlaku dalam menjaga sumberdaya agar lestari dan berkelanjutan. Regulasi merupakan upaya mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan. Dengan demikian masyarakat lokal melalui nilai budayanya mewujudkan praktek pengelolaan sumber daya yang bijaksana dan bertanggung jawab yang menjadi esensi dari kearifan lokal. Praktek pengelolaan sumberdaya tersebut seringkali terwujud dalam tabu-tabu atau mitos-mitos yang berpotensi untuk diangkat menjadi sebuah aturan formal. Aspek hukum dalam kearifan lokal mencakup tata pelaksanaan dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang diidentifikasikan dengan unsur batas kewenangan, aturan, distribusi hak dan otoritas, penerapan sanksi, serta monitoring dan evaluasi. Sebagai contoh, Panglima Laot di Aceh mengatur secara tertulis mengenai unsur-unsur tersebut terbukti efektif meredam konflik, menciptakan distribusi hasil secara adil, serta menjaga spiritualisme keagamaan masyarakat nelayan. Begitu pula aturan yang dibuat masyarakat pesisir utara Pulau Lepar Bangka Selatan (Kecamatan Lepar Pongok) yang melarang penggunaan alat tangkap trawl dan penambangan timah di laut menjadikan wilayah perairan tersebut memiliki daya dukung yang lebih baik
121
dibandingkan dengan perairan di sekitarnya. Kondisi ini memungkinkan sumberdaya perikanan berkembang lebih baik. Data DKP Bangka Selatan menunjukkan bahwa Kecamatan Lepar Pongok memberikan kontribusi sebesar 59% dari total produksi perikanan Kabupaten Bangka Selatan tahun 2011( DKP Bangka Selatan, 2012). Pemerintah pusat sudah berusaha melindungi keberadaan kearifan lokal dengan membuat beberapa regulasi terkait kewajiban pemerintah untuk melindungi dan memperhatikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya, diantaranya adalah UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberi mandat kepada pemerintah Provinsi dan Kabupaten untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan masyarakat adat, kearifan lokal dan hak masyarakat adat. Undang-Undang no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 4 bertujuan memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan,dan keberkelanjutan; dan. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang tersebut kemudian diterjemahkan oleh masing-masing pemerintah daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Beberapa daerah sudah mempunyai Perda terkait dengan perlindungan kearifan lokal yang ada di daerahnya. Nanggoe Aceh Darrussalam misalnya, mengeluarkan Qanun Aceh No 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun No 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Hal ini menjamin masingmasing panglima laut lhok (Panglima Laut tingkat teluk/Desa)menerapkan peraturan adat tersebut. Namun belum semua provinsi mengeluarkan Perda terkait perlindungan terhadap kearifan lokal setempat. Hal ini tentunya mengancam keberadaan kearifan lokal tersebut yang pada gilirannya mengancam keberlanjutan sumberdaya. Sementara pada level yang lebih mikro, kondisi aturan-aturan kearifan lokal yang ada di lokasi penelitian teridentifikasi menjadi 2 yaitu:
122
Pertama, kearifan lokal masih terinternalisasi dalam diri masyarakat sehingga pelaksanaannya masih ditegakkan dan berfungsi dengan baik. Panglima Laot dan Lubuk Larangan merupakan contoh kearifan yang lokal yang berfungsi dan terlembagakan dengan baik, .
Kedua, aturan yang berpotensi untuk diberdayakan, belum berfungsi optimal karena belum terlembagakan dengan baik. Seperti kasus masyarakat Bangka Selatan yang menolak segala aktivitas eksplorasi laut dengan menggunakan alat tangkap yang merusak merupakan sebuah potensi untuk dilembagakan. Regulasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berbasiskan kearifan lokal akan mampu memberikan kondisi yang kondusif bagi terlaksananya proses industrialisasi. Oleh karenanya, pemerintah perlu mempersiapkan regulasi yang jelas yang mengatur hubungan seluruh pemangku kepentingan. Aspek pengetahuan dalam pengelolaan sumber daya merupakan kumpulan teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal yang digunakan dalam kegiatan pengelolaan sumber daya. Dasar dari teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal ini tidak terlepas dari sistem nilai dan kebudayaan yang ada. Tidak jarang teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal ini terbungkus dan tersamar dengan nilai-nilai magis yang melekat dalam keseharian masyarakat. Dua jenis teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal di lokasi penelitian:
well established knowledge memiliki karakteristik yang telah terstruktur dan jelas dipahami dari sisi aturan pengelolaan, lembaga otoritas pengelolaan dan distribusi manfaat. Sebagai contoh kasus adalah lubuk larangan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Lubuk larangan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bersumber dari sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Lubuk larangan memiliki aturan pengelolaan yang jelas terurai, berikut segala hak dan tanggung jawab yang mengikat bagi setiap anggota masyarakatnya, memiliki lembaga otoritas yang jelas terstruktur dan kedudukannya dalam konteks pengelolaan sumber daya perairan sungai. Selain itu, distribusi manfaat dari terjadinya pengelolaan sumber daya tersebut dapat ditelusuri dengan jelas yaitu akhirnya kembali kepada seluruh anggota masyarakatnya. Lubuk larangan sebenarnya secara prinsip menggunakan set ilmu pengetahuan yang dikenal
123
sebagai open-closed season, culture based fisheries dan juga konservasi jenis, serta konservasi wilayah dalam waktu yang bersamaan.
Potentially knowledge, di lain pihak, tidak seluruhnya jelas terurai terkait langsung pengelolaan sumber daya. Namun demikian, masyarakat masih memegang kuat beberapa norma-norma yang tidak langsung berkontribusi terhadap keberlanjutan sumber daya. Biasanya, norma-norma ini terbungkus erat dengan hal-hal yang bersifat magis atau supra natural. Kasus di Suku Sawang, Bangka Belitung, tidak memiliki suatu kelembagaan tradisional yang terkait langsung dengan pengelolaan sumber daya. Ada beberapa tabu atau pantangan yang diyakini dan dipegang erat oleh masyarakat dalam keseharian operasional penangkapan ikan. Diantaranya adalah larangan membuang sampah atau mengotori perairan. Berdasarkan jenis manfaat yang ditimbulkan, hasil penelitian menunjukkan
adanya 3 jenis manfaat dari pelaksanaan kearifan lokal yaitu manfaat ekologi, manfaat ekonomi dan manfaat sosial. Manfaat ekologi dari pelaksanaan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan baik perikanan laut maupun perikanan umum daratan adalah 1). Sumber daya hayati perairan baik ikan maupun non ikan terjaga keberagamannya sebagai dampak dari pelarangan penggunaan alat tangkap yang merugikan. Kondisi ini pun menjadikan plankton-plankton sebagai sumber nutrisi ikan dapat tumbuh dengan baik sehingga berbagai jenis ikan akan tertarik ke wilayah tersebut. Hal ini terbukti di lubuk larangan Manjato- Sumatera Barat, yang semula hanya ikan garing yang ada di wilayah tersebut sekarang sudah terdapat jenis ikan lain diantaranya adalah ikan buntal air tawar, 2) Bertambahnya populasi ikan karena adanya diberlakukannya saat-saat tidak menangkap ikan (close season) memberikan kesempatan ikan berkembangbiak dengan baik. Menjadikan kondisi perairan lebih bersih. Kepercayaan suku Sawang akan adanya hantu laut menjadikan mereka sangat menjaga kebersihan laut. Manfaat ekonomi dari keberadaan kearifan lokal secara umum adalah 1) melimpahnya populasi ikan sebagai akibat terbebasnya ekosistem laut dari aktivitas
yang
merusak
memungkinkan
masyarakat
nelayan
dapat
meningkatkan jumlah produksinya. 2) nelayan tidak perlu jauh untuk mencapai zona penangkapan sehingga biaya operasional dapat ditekan, 3) pada kasus
124
lubuk larangan, hasil panen merupakan sumber dana bagi pembangunan desa. Kondisi sarana dan prasarana desa yang baik dapat meningkatkan mobilitas masyarakat untuk meningkatkan kondisi perekonomiannya, dan 4) kondisi lingkungan yang bersih dan terpelihara dapat dijadikan sebagai kawasan pariwisata sehingga masyarakat bisa melakukan aktivitas ekonomi sebagai penyedia jasa pariwisata. Manfaat sosial dari mempertahankan kearifan lokal adalah 1) Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang, sehingga keberadaannya merupakan sebuah upaya menjaga kelestarian adat istiadat masyarakat setempat, 2) Kearifan lokal menjadi sarana untuk memupuk rasa tanggung jawab masyarakat terhadap kelestarian alam, dan 3) menjadi sara untuk meningkatkan kebersamaan dan kepedulian sosial diantara masyarakat. Strategi Implementasi Strategi implementasi kebijakan yang dapat dilakukan dalam upaya mewujudkan era industrialiasi kelautan dan perikanan berbasis kearifan lokal adalah: Pada aspek nilai : Menginventarisasi dan mengkaji kearifan lokal yang ada di nusantara Mensosialisasikan nilai-nilai kearifan lokal agar terinternalisasi pada pelaku industrialisasi Memfasilitasi dimasukkannya mata pelajaran kearifan lokal sebagai muatan lokal dalam kurikulum sekolah. Pada aspek hukum
Menginventarisasi legitimasi kearifan lokal baik secara formal maupun informal
Mengawasi penegakkan undang-undang terkait perlindungan kerifan lokal
Melibatkan unsur masyarakat dan lembaga lokal dalam membuat program industrialisasi.
Mensosialisasikan peraturan perundang-undangan tersebut sampai kepada level masyarakat umum khususnya masyarakat pesisir.
Menyusun sistem pengawasan dan mekanisme pelaporan yang efektif antara masyarakat dan aparat berwenang.
125
Memberikan fasilitas yang memadai kepada lembaga pengawasan tersebut agar berjalan efektif.
Pada aspek pengetahuan dan teknologi :
Mengenalkan kekayaan intelektual masyarakat lokal baik dalam bentuk pameran maupun ekspedisi-ekspedisi bahari baik di tingkat nasional maupun internasional
Memberikan pengakuan secara formal baik secara nasional maupun internasional terhadap karya budaya masyarakat lokal
Menginventarisasi dan mengkaji kinerja kelembagaan lokal
Memfasilitasi kebutuhan sarana dan prasarana kelembagaan yang tidak bisa dipenuhi oleh masyarakat lokal
Melakukan pendampingan agar lembaga lokal lebih mandiri secara manajerial dan finansial. Strategi tersebut dapat berjalan dengan baik jika filosofi pembangunan dimana
industrialisasi dan kearifan lokal menjadi elemen di dalamnya dibangun berdasarkan paradigm people oriented. Dalam paradigm ini, produksi yang selama ini menjadi orientasi dari aktivitas industrialisasi tetap diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, sosial, maupun kebutuhan spiritual, baik kebutuhan untuk masa sekarang maupun untuk kebutuhan generasi yang akan datang. Prakiraan Dampak Rekomendasi Prakiraan manfaat dari implementasi opsi-opsi rekomendasi kebijakan di atas adalah sebagai berikut : 1. Terpeliharanya nilai-nilai lokal yang berkembang di masyarakat yang menjadi dasar dan pedoman (budaya) masyarakat pelaku industrialisasi 2. Terciptanya payung hukum yang menjamin terpeliharanya nilai-nilai kearifan lokal yang mendukung pengelolaan yang berkelanjutan 3. Terjaga dan terehabilitasinya sumberdaya hayati kelautan dan perikanan (spesies yang bernilai ekonomis tinggi dan spesies yang terancam punah)
126
4. Terbangunnya profesionalisme pelaku industrialisasi kelautan dan perikanan dalam mengelola dan menciptakan teknologi yang ramah lingkungan dan diakui masyarakat sehingga tercipta kelestarian sumberdaya.
127
Tabel Rekomendasi Penguatan Kelembagaan Kearifan Lokal Dalam Menciptakan Industrialisasi Yang Humanis
TUJUAN Menciptakan era industrialisasi yang humanis.
INDIKATOR 1. Terpeliharanya nilainilai kearifan lokal yang menjadi dasar dan pedoman (budaya) masyarakat pelaku industrialisasi 2. Terciptanya payung hukum yang menjamin terpeliharanya nilainilai kearifan lokal
3. Terbangunnya profesionalisme pelaku industrialisasi kelautan dan perikanan dalam mengelola dan menciptakan teknologi pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan dan diakui masyarakat sehingga tercipta kelestarian SDA.
Pe
REKOMENDASI 1. Tataran Normatif Memelihara n dan menguatkan g nilai-nilai lokal yang menjadi u dasar dan pedoman a (budaya) masyarakat pelaku t industrialisasi a2. Tataran Regulatif na. Mengawasi implementasi k e r ab. i f a n c.
Payung Hukum terkait perlindungan kearifan lokal
Membuat program atau mekanisme pelaksanaan industrialisasi yang bersifat partisipatif.
Membuat mekanisme l pengawasan yang efektif o terhadap aturan yang telah k dibuat a3. Aspek pengetahuan dan l teknologi a. Revitalisasi lembaga lokal dalam rangka memfasilitasi program industrialisasi
b. Membangun profesionalisme pelaku industrialisasi tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal
STRATEGI 1.1. Menginventarisasi dan mengkaji kearifan lokal yang ada di nusantara 1.2. Mensosialisasikan nilai-nilai kearifan lokal agar terinternalisasi pada pelaku industrialisasi 1.3. Memfasilitasi dimasukkannya mata pelajaran kearifan lokal sebagai muatan lokal dalam kurikulum sekolah.
output 1. Masyarakat lebih menghargai, dan terinternalisasi nilai-nilai kearifan lokal dalam setiap prilaku baik masa sekaran maupun pada generasi mendatang
2.1. Menginventarisasi legitimasi kearifan lokal baik secara formal maupun informal 2.2. Memfasilitasi pembuatan perdes dan perda jika perlu 2.3. Mensosialisasi peraturan perundangan-undangan tersebut sampai pada level masyarakat umum khususnya masyarakat pesisir. 2.4. Menginventarisasi dan mengkaji potensi ekonomi, sosial dan budaya . 2.5. Melibatkan unsur masyarakat dan lembaga lokal dalam membuat program industrialisasi.
2. Kearifan lokal bahari di nusantara terlindungi keberadaannya 3. Karena dibuat secara partisipatif, masyarakat merasa memiliki sehingga mentaati peraturan dan UU sehingga kearifan lokal menjadi established 4. Adanya mekanisme pengawasan yang efektif serta yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai pelangaran dapat ditangani dengan cepat.
2.6. Menyusun sistem pengawasan dan mekanisme pelaporan yang efektif . 2.7. Memberikan fasilitas yang memadai kepada lembaga pengawasan tersebut agar dapat berjalan efektif. 4.1. Mengenalkan kekayaan intelektual masyarakat lokal baik dalam bentuk pameran maupun ekspedisi-ekspedisi bahari baik di tingkat nasional maupun internasional. 4.2. Memberikan pengakuan secara formal terhadap karya budaya masyarakat lokal 4.3. Menginventarisasi & mengkaji kinerja kelembagaan lokal. 4.4. Memfasilitasi kebutuhan sarana dan prasarana kelembagaan 4.5. Melakukan pendampingan agar lembaga lokal lebih mandiri secara manajerial dan finansial 4.6. Mendirikan Sekolah Umum Perikanan di kabupatenkabupaten yang mempunyai potensi kelautan dan perikanan
5. Kearifan lokal nusantara diakui secara nasional maupun internasional 6. Terciptanya lembaga lokal sebagai filter dan perekayasa inovasi teknologi agar sesuai dengan nilai –nilai kearifan lokal
7. Munculnya pelaku industri yang memiliki kemampuan menciptakan teknologi modern tanpa mengesampingkan nilai-nilai kearifan lokal
128
BAB VIII. KESIMPULAN Dimensi normatif dalam kearifan lokal di lokasi penelitian pada intinya adalah sebuah pandangan mengenai keharusan menjaga harmonisasi antara ketiga unsur kehidupan yaitu Tuhan, manusia, dan alam sebagai upaya untuk memaksimalkan dan mendistribusikan manfaat dari sumberdaya secara adil dan berkesinambungan. Berdasarkan dimensi tersebut maka masyarakat membentuk sebuah aturan-aturan berdasarkan kesepakatan bersama terkait dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sesuai dengan karakteristik lingkungan serta norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Aturan-aturan tersebut menjadi dasar bagi masyarakat dalam mengembangkan teknologi-teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan karakteristik lingkungannya. Segala bentuk pelanggaran atas aturan yang dibuat ditindaklanjuti berdasarkan mekanisme yang telah ditetapkan bersama. Pada perkembangannya, dimensi-dimensi kearifan lokal tersebut mempunyai tantangan perubahan zaman yang dapat menimbulkan perubahan pada penerapan nilai-nilai kearifan lokal, kinerja kearifan lokal, serta pengetahuan dan teknologi yang digunakan oleh masyarakat. Pada kearifan lokal di wilayah selain Lubuk larangan menunjukkan adanya pengikisan nilai-nilai kearifan lokal pada generasi muda. Sementara kondisi regulative yang mencerminkan kinerja dari kelembagaan kearifan lokal menunjukkan kinerja yang berbeda-beda dari setiap lokasi penelitian. Urutan kinerja dari yang paling efektif adalah lubuk larangan, lilifuk, kearifan lokal masyarakat Bangka Selatan serta kearifan lokal pada daerah reservat Loakang. Kinerja ini akan berdampak pada manfaat yang ditimbulkan dari kearifan lokal tersebut yaitu manfaat ekologi, manfaat ekonomi, maupun manfaat sosial budaya. Terdapat korelasi positif antara kinerja yang dilakukan dengan manfaat yang hasilkan. Pada aspek pengetahuan dan teknologi, terlihat adanya upaya masyarakat lokal untuk menjaga sistem pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan. Namun kondisi ini sering dilanggar oleh masyarakat di luar wilayah kearifan lokal. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat akan peraturan kearifan tersebut dan atau sosialisasi yang kurang serta kurangnya upaya penegakan hukum dan sanksi atas setiap pelanggaran. Untuk mengantisipasi adanya tantangan modernisasi pada sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut di atas maka perlu upaya penguatan kearifan lokal pada masyarakat pesisir. Penguatan kearifan lokal pada aspek nilai dilakukan dengan memelihara dan menguatkan nilai-nilai lokal yang menjadi dasar dan pedoman (budaya) masyarakat. Pada aspek hukum perlu mengawal implementasi payung hukum terkait perlindungan kearifan lokal, membuat program atau mekanisme pelaksanaan industrialisasi yang bersifat partisipatif, dan membuat mekanisme pengawasan yang efektif terhadap aturan yang telah dibuat. Sedangkan pada aspek teknologi dan pengatahuan perlu Revitalisasi lembaga lokal dalam
129
rangka memfasilitasi program industrialisasi, dan membangun profesionalisme pelaku industrialisasi tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal
130
VIII. DAFTAR PUSTAKA Arafah, N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronene Dalam Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar. Perbit Kanisius. Yogyakarta.154p Benda-Beckman, F.V. 2001. Jaminan Sosial dan Manajemen Sumber daya Alam: Refleksi Kompleksitas Normatif di Indonesia dalam Benda-Beckman, FV, KV Benda-Beckman dan J Koning. 2001. Sumber daya Alam dan Jaminan Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Berkes, F. 1996. Social Systems, Ecological Systems, and Property Rights in Hanna, S, Folke, C, Mäler, K.G.1996.
Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political
Principles of Institutions for the Environment [Editor]. Island Press. Washington DC BBPSEKP, 2011. Laporan Teknis Riset Budaya Bahari Dalam Mendukung Peningkatan Produksi dan Pendapatan. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Data Statistik Provinsi Bangka Belitung, 2011 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara 2011, Laporan Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Zonasi Reservat Loa Kang. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, 2011 Revitalisasi Pranata sosial Adat (Mane’e dan Seke)di Provinsi Sulawesi Utara Dinas Kelautan Perikanan Bangka Belitung, 2012 Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Kupang, 2012 Erman, Erwiza. 2010. “Aktor, Akses dan Politik Lingkungan di Pertambangan Timah Bangka.” Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia. Edisi xxxvi, No.2, 2010 Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Geertz,Cliffort. 1973. The Interpretation Of Cultures.New York:Basic Books Hartoto, D.I., 1997. Notes on Limnological Condition of Lake Loa Kang as fishery Reservw and Its Potential as food supply Habitat for Mahakam freshwater Dolphin In Rehabilitasi Lingkungan Perairan Danau Semayang. Kalimantan Timur by Tim Peneliti. Seri Laporan Penelitian LIPI No.7 Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI. 63-85 Hartoto, D.I dkk. 2002. Dokumen Teknis: Rekayasa Ekologis Perairan Pulau Kumala dan Suaka Perikanan Danau Loa Kang Sebagai Kawasan Ekowisata Pesut Mahakam. Cibinong-Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Keraf, Sonny A. 2002. Etika Lingkungan, Jakarta:Penerbit Buku Kompas Kupang Dalam angka, 2010 Pemerintah Desa Pela 2012 Propil dan Monografi Desa Pela Kecamatan Kota Bangun Kabupaten Kutan Kartanegara, 131
Mada, Kris Razianto. 2012. Sekak, Orang Laut dari Bangka Belitung. Kompas 2 Juni 2012,hal 1 Mulyana,D. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya. Bandung : 182, 195 Laksmiwati, I. 2001. Mata Air sebagai Kawasan Suci (Sebuah Kearifan Lokal dalam Pelestarian Sumber Daya Alam). Fakultas Sastra Universitas Udayana. Le Tissier, Martin, Dik Roth, Maartin Bavinck, and Leontine Visser. 2011. Integrated Coastal Management. From Post-Graduate to Professional Coastal Manager. A Teaching Manual. Eburon Academic Publishers. Netherlands. Mitchell, B, B Setiawan, dan Dwita H R. 2000. Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Ostrom, Elinor and Schlager, Edella. 1996. The Formation of Property Rights. Dalam Rights to Nature. Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for The Environment. Island Press. USA. Peraturan Desa Kuanheun Nomor 1 Tahin 2012 tentang Perlindungan Sumberdaya Laut di Wilayah Lilifuk Peraturan Pemerintah no. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi sumberdaya ikan Peursen, C.A.van, 1976. Strategi kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius Poerwanto, Hari.2008. Kebudayaan dan lingkungan, cet ke iv, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Purnomo, K. H. Satria dan A. Azizi. 1991. Keragaman Perikanan di danau Semayang dan Melintang . Kalimantan Timur . Balai Penelitian Perikanan Air tawar. Prosiding Seminar Hasil PenelitianPerikanan air Tawar 992/1993, Sukamandi , 24-26 Mei 1993 Hal,299-308. Ruddle, Kenneth. 1999. The Role of Local Management and Knowledge Systems in Small-Scale Fisheries. The Journal of Policy Studies No. 7. Satria, A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Scott, W. Richard. 2008. Institutions and Organizations : Ideas and Interest. SAGE Publications. Sitorus, MT F. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial IPB. Bogor. Statisik Kependudukan Desa Bolok, 2007 Sulaiman,SH. 2010. Model Alternatif Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat Laot di Kabupaten
Aceh
Jaya
Menuju
Keberlanjutan
Lingkungan
yang
Berorientasi
Kesejahteraan Masyarakat. Tesis. Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Suyasa, I Nyoman. 2002. “Pengelolaan Sumberdaya Ikan Indonesia”,Makalah Falsafah Sains Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 132
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang No.23 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisi dan Pulau-Pulau Kecil
133
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan Lampiran 1. Identifikasi Kearifan Lokal Nusantara (Ditjen KP3K-KKP, 2010) No. 1
2
3
Provinsi Bangka belitung
Banten
DIY
Kabupaten/ Kota Kabupaten Bangka Selatan
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Orang Sekak
Laut Cina selatan
Muang Jong
Merupakan upacara sedekah laut
MPA
Larangan menangkapikan di P.Celaka, Gajah Mina dan Karang Nenek dengan didasari mitos2.
Nipuk Angkam
Bentuk aturan hukum mengatur peangkapan ikan. Termasuk pencurian, hukuman thd pencurian, penggunaan alat tangkap (aring, payang, pancing,)larangan penggunaan lampu agar ikan tidak tertangkap semua,adanya kesepakatan tertulis antara nelayan dan pengusaha dimana larangan menggunakan bahan peledak, zat kimia, jaring konsi dan mata jaring haruslah ≥ 2,5 cm, juga mengatur fishing ground sesuaikoordinat yang sudah ada.
Petik Laut
Merupakan upacara sedekah laut
Larung Saji/ Pesta laut
Larung Saji/Pesta laut adalah adat atau Budaya Masyarakat Sidomukti yang setiap tahun dilakukan dan dilaksanakan oleh nelayan salah satu syukur kepada allah Swt atas tangkapan ikan yang melimpah seperti : - Pawai kapal Hias - Membawa kepala kerbau ke tengah laut untuk diberi sesajen - Ajang silaturahmi sesama nelayan
Lebak
Orang Lebak/ Sunda
Desa Sidomukti, Kec. Sukaresmi Pandeglang
Masyarakat Pesisir/ Nelayan
Bantul
Orang Jawa
Pesisir Selatan
Larung Keraton Jumenengan
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas Upacara Kolektif Konservasi Regulasi
Upacara Adat
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No. 4
Provinsi Gorontalo
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian
Gorontalo Utara Boalemo
Mandi Safar
Upacara tolak bala
Dayango
Upacara ritual blia ada wabah penyakit, dengan memeberikas sesaji kpd penguasa laut
Bonebolango
Bruda
Upacara pada 1 muharam,melarungkan sesaji ke laut
Perdes No.1/Perdes/ D-OL/KBBB/XI 2006
Ttg konservasi dan daerah perlindungan laut a. Daerah yg dilindungi di Desa Olele/Zona Inti(Daerah Perlindungan Laut Desa Olele), hanya boleh meneliti dan wisata pd daerah ini, dilarang melakukan kegiatan pemancingan, penebaran jala, ubu, penangkapan ikan menggunakan alat pemanah, melepaskan jangkar, pengambilan teripang dan sejenisnya spt kerang2an dan atau jenis biota lainnya juga dilarang mengambil pohon, ranting kayu baikyg masih hidup ataupun yang sudah mati b. Dilarang menggunakan bahan peledak/bom/dinamit dan sejenisnya, jika melanggar akan di proses hukum c. Perahu yang menggunakan lampu dilarang melintasi zona penyanggah
Dana Guliran
Dana yang dikumpulkan, 10 persen dari hasil penangkapan yang disetorkan ke pengurus Pangkalan Pendaratan Ikan. Dana tersebut digunakan untuk kepentingan nelayan
Robo-robo
Upacar ritual untuk memperingati kedatangan nenek moyang mereka (Opu Daeng Menambon ),dilaksanakan setiap Rabu terakhir di bulan Syafar Tahun Hijriah berfungsi juga sebagai upcara tolak bala(Ritual Buang2) dengan membuang sajen ke sungai
Gorontalo (lanjutan)
5
Jawa Barat
Tasikmalaya
6
Kalimantan Barat
Pontianak
Orang Sunda
SunGai Mempawah
Substansi Kearifan Komunitas Upacara Peraturan
Peraturan
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No. 7
8
Provinsi Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
Kabupaten/ Kota Kutai
Kabupaten Galang
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Orang Kutai
Sungai Mahakam
Pesta Erau
Pesta Keselamatan dilaksanakan setahun sekali pada bulan September
Perda Kabupaten Tingkat II Kutai No.3 Tahun 1999 (TTg Perautan Penang kapan Ikan Dalam Wilayah Kab. Tingkat II
− Mengatur areal penangkapan, lokasi dan alat, larangan, ketentuan pidana, ketentuan penyidikan...hingga terbentuk Suaka Reservat, yang berdasarkan hasil penelitian sudah ada sejak abad 18. Reservat perikanan adalah lokasi yang dilindungi sebagaitempat pembibitan ikansecara alami di perairan umum − 9 lokasi reservat : a. Batu Bumbun , Kecamatan Muara Muntai b. Danau Ngayan, Kecamatan Muara Kaman c. Loa Kang, Kecamatan Kota Bangun d. Teluk Beduit e. Teluk Selimau f. Teluk Kedemba g. Jantur Malang h. Danau Gab i. Danau Jatah Ulu, Kecamatan Melak Masih ada 2 calon lokasi reservat yang akan dibangun yaitu di Danau Pulau (dibentukoleh pemerintah) danSunga Saka Kanan, kelurahan Loa ipuh, Tenggarong yang dibentuk oleh masyarakat lokal
Nyomek dan Nyandet (mancing sotong) Kelong
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas Upacara
Konservasi
Pengetahuan lokal Alat tangkap ikan terbuat dari pagar kayu
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No. 9
Provinsi Maluku
Kabupaten/ Kota Haruku
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Orang Haruku
Maluku Tenggara
Desa Ohoiren
Pulau Ambalau
Ambalau
Kearifan Lokal Sasi
Laut Banda
Uraian Sasi adalah salah satu dari sistem kelembagaan pengelolaan SDI, mrpkan salah satu institusi adat, di dalamnya ada kesepakatan2 dengan sanksi jika tjd pelanggaran Perahu bercadik perahu bercadik di haruku
Sasi Teripang
Secara harfiah, sasi adalah larangan. Artinya, setiap suatu wilayah atau sumberdaya yang di sasi, maka dilarang untuk dimanfaatkan atau diambil. Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa sasi berasal dari kata saksi yang mengandung makna menyaksikan seseorang berbuat salah, yaitu melanggar kesepakatan adat tentang pengelolaan laut atau hutan. Menurut hasil wawancara dengan Raja Aji Ngamel, sasi merupakan hukum yang tidak tertulis namun berlaku secara efektif sejak nenek moyang mereka.
Sasi Ambalau
Mengatur penangkapan biota laut kima, lola, teripang dan lobster
Substansi Kearifan Komunitas
teknologi Pengetahuan lokal Aturan adat
harus mematikan mesin perahu jika melewati tempattempat yang dikenai sasi laut 10
Nusa Tenggara Timur
Kabupaten Alor
Desa Lebelawa, Kecamata Omesuri, Kabupaten
Samudera PasifikPerbatasan Australia dan Timor Timur
Bura Kluang Mulung (tanah larangan) ”poan kemer puru larang”
Panen ikan pada bulan Juni setiap tahun Pelarangan beraktifitas di hutan yg akan berdampak pd ekologi pesisir sehingga hasil tangkapan ikan rendah (sanksi: penanaman pohon kelapa sesuai jenis dan bentuk pelanggaran) suatu tradisi larangan secara adat bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil-hasil laut secara bebas. Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan dukundukun melakukan ritual terlebih dahulu Dukun (Ata Molang) akan melakukan
Konservasi Teknologi
Upacara Kolektif
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Lembata
Desa Watodiri, Kecamatan Ileape,Kabupa ten Lembata
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas
ritual dan selanjutnya masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah kurang lebih 2 tau 3 hari, Ata Molang akan melakukan ritual pelarangan kembali wilayah perairan tersebut. Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah Desa Lebewala juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara hukum yakni berupa sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan kambing jantan besar senilai satu juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat dan atauran pemerintah tampaknya membuat masyarakat kawasan pesisir desa ini cukup jerah dalam melakukan tindakan pengurasakan atau pengambilan teripang secara bebas. ”Badu”
badu dapat bermakna eksploitasi yaitu pada saat diperbolehkan tangkap (buka badu) dan juga bermakna konservasi yakni pada saat dilarang/ditutup (letu badu). Upacara penangkapan hasil-hasil laut secara bebas oleh masyarakat di wilayah ini baik yang berada di wilayah pesisir (Lewu Leing) maupun yang berada di pegunungan (Lewu Werang). Kegiatan ini bermakna memberi makan kepada banyak orang dan dinikmati bersama yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut ”pau ribu ratu”.Tahapan-tahapan pembukaan badu (buka badu) dilakukan sebagai berikut: - Penguasa wilayah laut atau penjaga pantai (Nama Watan) menyampaikan kepada Penguasa ulayat/adat (Kebelen Raya) bahwa ikan-ikan di perairan daerah badu sudah banyak sehingga sudah tiba saatnya kegiatan buka badu dapat dilaksanakan. Pemimpin ulayat (Kebelen Raya) bersama tokoh lainnya dan pemerintah setempat merencanakan dan menetapkan waktu yang tepat untuk
Desa Watodiri, Kecamatan Ileape,Kabup aten Lembata
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian dilaksanakan pembukan badu. Berdasarkan kesepakatan waktu yang ditentukan oleh Kebelen Raya, penjaga pantai (Nama Watan) akan segera menyampaikan secara luas kepada para pemilik perahu, sampan dan pukat serta masyarakat luas di wilayah desa itu, termasuk juga mereka yang berada dipegunungan (Lewu Werang) untuk menangkap ikanikan di daerah pembukaan badu. - Semua peralatan tangkap dan nelayan serta masyarakat harus melakukan ritiual sesajen yang dalam bahasa setempat disebut ”tunu muku manu” yang memiliki makna memberi makan kepada arwah/roh leluhur (pau lewotana) yang telah meninggal di laut. Acara ini dilakukan oleh seorang tua adat (Ata Molang) yang memiliki wewenang untuk melaksanakan ritual tersebut. Setelah ritual tunu muku manu dan pau lewotana selesai, penjaga pantai (Nama Watan) akan masuk ke dalam laut dan melepas pukat pertama, kemudian baru diikuti oleh yang lain. Sedangkan Kebelen Raya tidak melakukan penangkapan, namun Kebelen Raya selalu mendapat kebagian dari semua mereka yang memiliki perahu, sampan dan pukat. Upacara buka badu ini hanya berlangsung sehari dalam setahun yang pada waktu pagi sampai petang menjelang malam. Ketika hari mulai senja dan menyongsong malam Kebelen Raya bersama Nama Watan dan pemerintah desa setempat harus melakukan acara larangan/ penutupan (letu badu). Acara ditandai dengan penancapan sebuah kayu/tiang yang diikat dengan pucuk daun kelapa berwarnah putih.
Substansi Kearifan Komunitas
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Nusa Tenggara Timur (lanjutan)
Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape, Kab.Lembata
NTT
Kab. Lembata
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal ”Muro”.
Lamalera
Laut Sawu
Uraian mereka menetapkan daerah larangan dan masyarakat tidak boleh mengambil hasil-hasil laut yang terdapat di dalamnya. Tradisi larangan yang terdapat di Desa Lamatokan dikenal dengan nama ”Muro”. Tradisi ini masih berlaku sampai sekarang dan masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap larangan tersebut. Larangan ini disertai dengan sanksi dan denda yang disepakati baik secara adat maupun melalui Peraturan Desa. Bentuk sanksi yang disepakati adalah berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah dan kambing jantan dan babi besar seharga satu juta masing-masing satu ekor.
Substansi Kearifan Komunitas Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape, Kab.Lembata
Tradisi berburu paus secara tradisional dengan tindakan-tindakan yang harus diikuti serta pantanganpantangan yang harus dihindari Peledang/tena lamafaai: Perahu khusus penangkapan ikan paus mussi lera atau leffa nung: Masa/waktu turun ke laut adalah Mei-September (musim kemarau) plaebo elo: Kegiatan turun ke laut mendadak saat ikan paus muncul mendadak
11
Riau
Kabupaten Bengkalis
Ekosistem Estuaria di Selat Bengkalis
Ikan Terubuk
pembagian hasil tangkapan: kepala untuk tuan tanah ( leffo tana alep), bagian untuk awak perahu Pembukaan dan penutupan perairan selat Bengkalis. Bab VI pasal 17 ..... dilarang melakukan penangkapan ikan terubuk selama 4 hari di bulan terang (tanggal 13, 14, 15 dan 6 kalender Hijriah) pada bulan Agustus s.d. November, dilarang melakukan penangkapan ikan terubuk selama 4 hari di bulan gelap (tanggal 28, 29, 30 dan 1 kalender Hijriah) pd bulan Agustus-November
Konservasi
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian Tidak diperbolehkan menggunakan alat tangkap Gillnet (jaring insang) pada masa larangan
12
13
Kep.Riau
Sulawesi Barat
Desa Sabang Mawang, Sededap dan Pulau Tiga Kec Bunguran, KabNatuna
Kabupaten Mamuju
orang melayu
Semah Laut
Laut Sulawesi
Konservasi melalui perlindungan habitat dan populasi ikan terubuk, rehabiliasi habitat dan populasi ikan terubuk, penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan, pengembangan sosial ekonomi masyarakat dan pengendalian Pemanfaatan konservasi perairan untuk budidaya ikan, wisata bahari dilakukan di zona perikanan berk`elanjutan, sedangkan untuk penelitian dapat dilakukan di zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan maupun zona lainnya. selamatan laut
Pengetahuan ttg alam
pengetahuan ttg musim (musim timur/panas dan musim barat/hujan), pengetahuan tentang pasang surut sesuai dengan matahari (yg disebut bulan) dan bintang, pengetahuan tentang kondisi ombak berdasarkan bulan , pengetahuan tentang angin :angin Barat, Timur, Selatan/angin teduh dan Utara/tidak dapat melaut, sering membuat kapal karam
pantangan2
pantangan untuk dilakukan saat di tengah laut : dilarang bersiul, tidak boleh makan bertaburan, hatihati saat melewati karang karena dianggap ada penghuninya, ada juga larangan menangkap dan emakan bawal karena dianggap pernah menyelamatkan nenek moyang mereka
Mattowana Lekbok,
Upacara dilaksanakan sebelum musim barat,dalam waktu sehari, yaitu sebelum air pasang hingga surut, setelah air pasang ritual selesai. Ritual dipimpin oleh seorang sanro (dukun) dengan membaca mantra dilaksanakan di Bonetanga, sesaji ke laut terdiri atas
Substansi Kearifan Komunitas Regulasi Syair ikan terubuk
Upacara Kolektif
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian potongan kambing, bakar ikan, marepulo 7 warna, baju, ikat kepala (Callu)yang dihanyutkan dengan perahu raki (perahu rakit) dipersembahkan kepada Nabi Khaidir AS. ini merupakan hasil Islamisasi sistem kepercayaan masyarakat yang sebelumnya meyakini bahwa laut ada penunggunya. Setelah Islam masuk dan berkembang di Mamuju semua makhluk gaib itu di Islamkan supaya tidak mempersekutukan Tuhan (musyrik). Dalam pandangan mudi nyaIsi dan perjalanan perahu rakit tsb tidak boleh diambil atau diganggu. Tradisi itu dilaksanakan secara turun temurun dan nelayan menggunakan perahu khas Mamuju, yaitu kulubelang. mattoana lekbuk dijadikan momentum untuk pelestarian kawasan yang penting untuk pariwisata sehingga pelaksanannya diintegrasikan dengan peringatan hari Jadi Kabupaten Mamuju.
Sulawesi Barat (lanjutan)
Kabupaten Mamuju
Laut Sulawesi
Mattowana Lekbok,
Penangkapan ikan dikaitkan dengan perederan bulan (Komariah) dan hitungan Hijriyah. Akhir bulan hijriyah terutama malam ke 29 (teppuloto), posisi bulan tidak menentu menjelang masuknya tanggal 1 hijriyah bulan berikutnya diyakini banyak ikan sehingga aktifitas nelayan meningkat. Naiknya bulan dalam perhitungan bulan hijriyah adalah satu naiknya bulan (tanggal 1 hijriyah) mempersiapkan mata kail (ladung), tanaman berumbi, tanggal 2 ikan melayang tengah-tengah, dan tanggal 3 di permukaan (mesaka),bisa merusak jaring pancing, tanggal 4 siklus tangkapan Larangan (pomali) menggunakan tuba (kamandel), nener mati, karena mabotanga akan merusak biota laut. Nelayan berpantang menangkap ikan pada malam Jumat karena untu beribadah dan kalau dilanggar akan mendapatkan musibah. Petir dan guntur sebagai pertanda tidak baik
Substansi Kearifan Komunitas
Teknologi
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas
dan ikan-ikan akan lari.
14
Sulawesi Tengah
Kabupaten Poso
Teluk TominiDanau poso
Sogili
Patokan berlayar dengan menggunakan rasi bintang mesti menunnuk ditallu-tallu (rasi bintang yang berjejer tiga-tallu-tallu) dengan acuan rasi tengah. Secara metafora mensimbolisasikan posisi tengah sebagai posisi yang menguntungkan. Ibarat tiga orang nelayan dalam satu perahu dengan posisi di haluan, buritan, sedangkan yang di tengah praktis sebagai penyeimbang. Masing-masing nelayan dengan posisi masing-masing itu membawa bekal kalumpang (lempengan sagu) maka yang di tengah mendapatkan bagian dari yang berada di haluan dan buritan sehingga mendapatkan bagian yang utuh. Rasi bintang yang di tengah kelihatan bersinar warnanya merah, pada waktu itu banyak ikan keluar sehingga para nelayan berusaha memakai tameng unutk menghindari banyaknya ikan cucut yang berhasil ditangkap agar ujungnya yang runcing tidak mengenai dada, termasuk juga ikan hiu ganas yang disebut sori. Pengetahuan lokal tentang siklus sidat sesuai dengan hasil penelitian para ahli. Masyarakat meyakini bahwa sogili berada di dalam gua dan tidak sembarangan dan tidak mungkin punah. Strategi itu dilakukan dengan menciptakan alat tangkap yang mampu menangkap sidat dalam jumlah kecil, yaitu seser, serok untuk menangkap belo-belo (glass eel), pancib untuk menangkap pantawa (sidat yang panjangnya 15 cm dan beratnya ½ kg), dan wayamasapi, bubu masapi untuk menangkap sogili (4-7 kg) yang akan keluar pada musim penghujan (sekitar Bulan Desember), beranak, pada saat air pasang ke pinggir, sedangkan musim panas bersembunyi di dalam laut (bakurung). Alat tangkap disesuaikan dengan siklus sidat. Sidat besar
− Pengetahuan
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas
ditangkap dengan alat kurungan (wayamasapi, dilengkapi dengan tempat kurungan (wuwu,bubu,pukat) dan ada simpanan ikan (pundika dika), serta ada yang menggunakan tombak (menyilo) dengan menggunakan umpan damar (monjelo ). Waya Masapi
Waktu menangkap mengacu pada peredaran bulan (Komariah) terutama pada bulan terkahir menjelang gelap,yaitu tanggal 14 dan 28. Tanggal 15 dan 30 diklasifikasikan bulan mati (gelap). Peredaran bulan itu berkaitan dengan gravitasi bumi yang menimbulkan air pasang dan surut.Pengetahuan masyarakat tentang waktu penangkapan itu ternyata mengikuti siklus sidat setiap bulannya. Penangkapan sidat hasil yang terbaik adalah Juni, Juli, dan desember, sedangkan yang kurang baik hasilnya adalah April-Mei karena merupakan bulan mati. Masyarakat mempercayai adanya bulan kosong, yaitu Agustus-Nopember yang disebut bulan mati empat.Hanya sebagian kecil masyarakat di sekitar Danau dan Sungai Poso tidak percaya bahwa ikan sidat memijah di laut, karena menurut mereka sering menemukan sidat di dalam perut ikan sidat yang dewasa. Padahal, anak sidat di dalam perut ikan sidat dewasa itu sebagian dari lemak sidat yang menempel pada bagian organ dalam sidat. Mereka tidak mengetahui bahwa benih sidat yang kecil itu sebagai spesies sama dengan masapi yang mereka tangkap pada fase dewasa. Pengetahuan itu berakibat pada penangkapan calon induk secara berlebihan. Penangkapan yang tidak terkendali mengancam kemampuan berkembang biak sidat disebabkan oleh penurunan jumlah induk yang mencapai spawning ground, dan dengan demikian mengancam pula keberlangsungan aktivitas penangkapan
− Teknologi
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas
(pemanfaatan) itu sendiri. Sulawesi Tengah (lanjutan)
Bagi Hasil Mombesawani wengi
Pembagian hasil dalam Waya Masapi dilakukan berdasarkan pembagian giliran berdasarkan kelompok jaga bergantian setiap malam yang disebut Mombesawani wengi. Misalnya kelompok pemilik Waya Masapi ada 8 orang, maka ke-8 orang pemilik tersebut akan bergiliran menjaga Waya Masapi tiap malam sampai ke-8 orang tersebut mendapat giliran jaga. Orang yang menjaga adalah pemilik yang kena giliran dan apabila malam itu ia tidak mendapat Masapi (Sogili/Sidat) maka orang tersebut tidak dapat apa-apa, walaupun malam berikutnya pemilik berikutnya yang jaga mendapatkan hasil. Jadi semua tergantung dari rejeki masing-masing pemilik. Orang yang menjaga Waya Masapi tiap malam biasanya adalah pemilik, kalaupun ada orang yang di sewa atau mewakili maka pembagian hasil menjadi urusan pemilik yang kena giliran jaga. Jadi tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut, semuanya terserah pada pemilik yang kena jaga dan tidak istilahnya untuk itu. Biasanya waktu giliran jaga dimulai dari pagi hari setelah pemilik yang kena giliran jaga kembali dari Waya Masapi sampai pada keesokan harinya.Jadi giliran jaga biasanya selama 24 jam, namun biasanya nanti dijaga pada malam hari, karena pada malam hari masapi baru keluar.
− Bagi Hasil
mususa lega ada
Masyarakat mengaktifkan ritual untuk melestarikan kawasan Danau Poso yang dilaksanakan setiap tahun, yang dikenal dengan mususa lega ada yg dilaksanakan pada hari ulang tahun Gereja Sulawesi tengah. Kemudian diubah ke hari yang bisa diterima semua pihak (nasional), yaitu hari kemerdekaan Indonesia. Ritual itu dipimpin oleh Majlis Adat dan doa dilakukan
Konservasi
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas
oleh Pemuka Protestan. Pembukaan secara seremonial pemerintahan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Poso.Umat yang hadir menggunakan pakaian adat dan membawa makanan untuk dimakan bersama. Pelestarian Danau Poso mendapatkan penjelasan secara teologi dan kebudayaan. 15
Sulawesi Tenggara
Kabupaten Wakatobi
Bajo
Pulau-Pulau Kecil
Lamba
melakukan penangkapan ikan secara bersama-sama dengan hanya menggunakan Tali “KOVAU”, yang berasal dari tali sejenis tanaman rambat di pohonpohon besar. Sebelum melaksanakan kegiatan Lamba ini dilakukan semacam upacara yang dipimpin oleh seorang PARIKA. Kegiatan Lamba ini juga merupakan suatu lembaga/institusi/ kelompok dengan Parika sebagai pimpinannya, dengan anggota-anggota di bawahnya
selelebbas
Menangkap ikan dengan menetapkan jadwal penangkapan secara bergantian Tidak boleh menangkap teripang yang berdiri—secara ilmiah, teripang berdiri sedang bertelur Hak mengambil dan memilih ikan terlebih dahulu yang boleh dan diutamakan dilakukan oleh SARA yakni Majelis Permusyawaratan Tertinggi di Masyarakat Wakatobi, yang merupakan kelompok Tokoh-tokoh masyarakat di Wakatobi, yakni Tokoh-Tokoh Kepala Kampung, Tokoh Pemerintahan, Tokoh Adat, Tokohtokoh Agama, yang terdiri dari : Imam Masjid; Khatib; Moji, yakni Ta’mir Masjid, yang sekaligus termasuk pengurus kematian dan perkawinan; dan Tokoh Berpengaruh lainnya, termasuk PARIKA itu sendiri.
Taboo/pamali Nggaeri
Parika
Pemimpin upacara lamba
Teknologi Pengetahuan
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Buton
Masy/suku Pendukung
Moronene LaeaHukaea
Karakteristik Kawasan
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Kearifan Lokal
Uraian
Alat tangkap ramah lingkungan
Nelayan menangkap dengan alat tangkap ramah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, yaitu alat tusuk (tombak ikan, ladung tombak teripang, patte’-panah untuk ikan, penyu, dan gurita besar) , pancing ( pancing labuh-digunakan saat perahu berlabuh untuk memnacing ikan sunu’, kerapu, katamba; pancing ladung-digunakan saat perahu berlayar untuk tongkol, pancing rintak-digunakan dengan tali induk dengan banyak mata pancing ukuran kecil untuk menangkap ikan ukuran kecil, banjara, laying, tembang. Dan pancing kareo), bubu,dan jaring.
wuwu
alat tangkap ikan terbuat dari rotan atau bulu, berbentuk bulat dan berongga di dalamnya
tuba/tuwele
alat tangkap ikan dari akar kayu yang berdaun digali dari dalam tanah lalu ditanam di dalam lumpur beberapa hari
pancing/ kekabi
alat tangkap ikan yang menggunakan tangkai dari bambu dan tali agel. Umpan yang digunakan berupa cacing, anak kodok, kerang sungai, belalang
humulu/ menyuluh
alat tangkap ikan menggunakan lampu dari bambu dan parang atau serampa besi sebagai senjata
sa'apa
alat tangkap berbentuk bundar terbuat dari bambu dengan menggunakan pengikat dari rotan, panjangnya 1m
serampa
alat tangkap ikan terbuat dari besi bercabang tiga yang ujungnya runcing dan digunakan sebagai senjata untuk menombak ikan atau binatang air lainnya
Substansi Kearifan Komunitas
Pengetahuan lokal
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
16
Provinsi
Sulawesi Utara
Kabupaten/ Kota
Kabupaten Talaud
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Laut SulawesiPerbatasan Philipina
Kearifan Lokal
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas
pidi/panah
alat tangkap ikan terbuat dari kawat dibuat dengan model senjata. Cara menggunakannya dilakukan dengan cara menyelam
Mane’e, Maniu, Manammi, Manamme
Mane’e adalah tradisi manangkap ikan yang paling unik, tidak perlu bersusah paya untuk mengail atau menjaring, hanya dengan janur kelapa ikan dengan jumlah ribuan ekor akan tergiring oleh janur kelapa sampai di pesisir pantai, hanya dengan dilepaskannya janur kelapa yang sudah dililit oleh masyarakat sepanjang kira-kira satu (1) kilometer sepanjang pulau intata akan menghasilkan tangkapan yang sangat banyak.
Upacara
Di Desa Bulude diberi nama Mename, Desa Miangas diberi nama Manammi, Desa Karatung diberi nama Maniu, Desa Kakototan diberi nama Mane’e. Ritual itu dilakukan oleh masyarakat desa bahwa setiap tahunnya menangkap ikan dan dibagikan kepada semua masyarakat kampung dengan jumlah tangkapan melimpah.
Konservasi
Beberapa bulan sebelum dilaksanakan upacara adat ini, biasanya para pentua adat desa atau Mangku bumi bersama semua nelayan telah melaksanakan ritual adat pelarangan untuk mengambil ikan di sepanjang pulau Inta. Jika ada masyarakat yang melanggar peraturan itu akan dikenai sangsi adat atau membayar denda. Aturan adat ini dilaksanakan agar ekosistim ikan dan terumbu karang di pulau ini tetap terjaga kelestariannya.
Teknologi
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi Sulawesi Utara
Kabupaten/ Kota Kabupaten Talaud (lanjutan)
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal Eha
Uraian Eha, berasal dari istilah bahasa lokal dari kata E artinya perhatian dan Ha artinya jangan atau larangan. Eha merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan ritual acara Mane’e. “Eha” (bahasa lokal) adalah larangan bagi masyarakat Desa Kakororotan dan orang dari luar desa untuk mengambil ikan ataupun hasil laut lainnya di daerah yang akan menjadi acara pelaksanaan Mane’e. Lokasi Mane’e ditentukan berdasarkan kesepakatan melalui musyawarah adat. Eha diberlakukan selama 6 (enam) bulan sebelum Mane’e. Jika masyarakat melanggar ketentuan ini akan dikenakan sangsi adat/moral dan membayar uang denda sebesar Rp. 500.000,- kepada lembaga adat. Ada 9 (sembilan) lokasi yang telah ditetapkan sejak jaman dulu meliputi napo sampai ke pinggiran pantai. Lokasi ini berada di tiga pulau yaitu : Pulau Kakorotan (Daerah Langgoto, Daerah Alee, Daerah Apan, Daerah Dansunan), Pulau Intata : Daerah Ranne, Daearah Abuwu, Daerah Ondembui dan Pulau Malo (Daerah Malele, Daerah Sawan). Sejak tahun 1997 khusus untuk daerah Ranne telah ditetapkan menjadi lokasi nasional untuk acara Mane’e sehingga pelaksanaan Eha diberlakukan paten sepanjang tahun sampai digelarnya acara Mane’e tingkat nasional. Eha juga berlaku pada tanaman seperti kelapa, dengan maksud tanaman kelapa saat panen akan menghasilkan buah yang banyak . Pelarangan pada pengambilan buah kelapa berlaku umum di seluruh wilayah Talaud, hanya waktu atau tanggal mulai eha di tiap desa berbeda.
Substansi Kearifan Komunitas
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No. 17
Provinsi Sumatera Barat
Kabupaten/ Kota Kabupaten Pesisir Selatan
Kabupaten Pasaman
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Perairan air tawar/sungai
Lubuk Larangan
Lubuk larangan adalah sistem pengelolaan perairan daratan yang sudak diberlakukan lama di wilayah Sumatera Barat. Istilah lubuk larangan juga dikenal dengan sebutan ikan larangan, yang artinya ikan yang tidak boleh ditangkap pada wilayah tertentu dan waktu tertentu. Keputusan Bupati Pesisir Selatan No.:523 Tahun 2007 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Terhadap Perairan Air Tawar (Lubuk Larangan) di Kabupaten Pesisir Selatan, disahkan pada tanggal 16 Nopember 2007. Keputusan itu menyatakan bahwa setiap orang/badan hukum dilarang melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan pencemaran yang dapat merusak dan membahayakan sumber daya alam dan sumber daya perikanan serta lingkungan setempat, melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan dan alat-alat yang dapat merusak dan membahayakan sumber daya alam dan sumber daya perikanan serta lingkungan setempat. Sangsi terhadap pelanggaran sesuai dengan ketentuan adap istiadat setempat, menguatamakan kearifan lokal dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah yang lebih tinggi.
Pulau Penyu
Keputusan Bupati Pesisir Selatan No.: 53 Tahun 2003 tentang Penetapan Pulau Penyu sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut, tanggal 19 Mei 2003.Pulau Penyu sebagai salah satu kawasan tempat bertelur dan berkembangnya penyu. Keputusan itu mewajibkan adanya penataan Pulau Penyu dengan inner zona yang merupakan kawasan perlindungan habitat dan populasi penyu dan external zone yang merupakan perlindungan dan pemanfaatan wisata.Kawasan Pulau Penyu itu diperkuat lagi dengan Surat Himbauan No.: 523/198/KP/DKP-PS/V-2009 tanggal 19 Mei 2009
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas Regulasi Kultural
Regulasi Formal
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian yang ditujuka kepada Pengelola Pulau yang isinya mengacu pada aturan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild (CITES) Flora dan Fauna dan peraturan lainnya yang berlaku di wilayah Indonesia, penyu termasuk biota laut yang teranam punah dan harus dilindungi. Pengelola pulau yang menghasilkan telur penyu agar menetaskan minimal 2 sarang telur penyu dari 10 ekor penyu yang naik dan bertelur pada pulau yang dikelola sehingga penyu tersebut tidak terancam punah dan tetap terjaga kelestariannya
Sumatera Barat (lanjutan)
Kabupaten Pasaman (lanjutan)
Peraturan Nagari Nanggalo No.:1 Tahun 2009 tentang Pengelolaan daerah Perlindungan Mangrove Nagari Naggalo Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan tanggal 15 September 2009. Daerah perlindungan mangrove cemara laut merupakan daerah yang dilindungi sepanjang pantai, teluk, rawarawa dalam Kenagarian Naggalo dengan luas lebih kurang 1 Ha. Daerah perlindungan itu terbagai dalam 3 (tiga) zona, yaitu inti, penyangga dan pemanfaatan. Zona inti dengan batas vertical 400 meter dari pesisir pantai Nagari Naggalo kea rah laut dan secara horizontal sepanjang pantai sepanjang pantai kenagarian Naggalo dan sepdan sungau selebar 50 meter untuk sungai kecil dan 100 meter untuk sungai besar. Zona penyangga merupakan perbatasan antara titik zona inti kea rah laut kea rah darat dengan batas vertical 100 meter dan horizontal sepanjang pantai yang ada dalam Kenagarian Nanggalo. diserhkan kepada pihak berwajib aa PNS yang berkompeten sesuai denga ketentuan perundang-undnagan yang berlaku. Khsusus bagi yang melanggara di zona inti dikategorikan sebagai tindak pidana pelanggaran/
Substansi Kearifan Komunitas
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian pengrusakan lingkungan hidup.Musyawarah Nagari adalah keputusan tetringgi dama Kenagarian Nanggalo.
Sumatera Barat (lanjutan)
Kabupaten Pasaman (lanjutan)
Zona pemanfaatan meliputi wilayah pesisir ke arah darat dan laut yang berbatasan antara titik luar zona penyangga. Larangan ditaur dalam Pasal 13, yaitu memasuki dan melewati zona inti dari persetujuan Nagari Bamus dan masyarakat; mengambil biota llaut maupun tanaman mangrove dan cemara laut hidup dan mati; membuat limbah dan samah jenis apapun, membuka tambak dengan izin apapun, memasang dan menempatkan jenis alat tangkap apapu, menarik kayu hanyut akan melewati daerah perlindungan mangrove, melewati dengan sampan/perahu dan perahu motor yang menggunakan mesin kecuali pada alur sungai/pelayaran umum. Hal yang dilarang pada zona penyangga adalah: melakukan pengrusakan, pengambilan tanaman mangrove, cemara laut yang masih hidup; membuang limbah insutri maupun limbah rumah tangga; membuang sampah yang dapat larut dalam air maupun tidak dan menrusak pagar pelindung serta mencabut tanaman laut yang sudah ditanam di lokasi yang sudah dietapkan. Setiap orang/kelompok yang akan melakukan kegiatan pada DPM zona inti dan penyangga harus mendapat izin tetrulis dar salah satu kelompok dengan persetujuan bersama pihak pemerintah Nagari Bamus dan masyarakat. Hal yang dilakukan di zona penyangga adalah penelitian, wisata pantai. Dilewati saat pasang maupun surut, melakukan penagkapan dengan alat tangkap berupa (pancing, jarring net, menyodo, rangkang alat kepiting dan budi daya tambak ramah lingkungan. Dana yang terkumpul dari berbagai sumber diperuntungkan untuk membiayai pengelolaan
Substansi Kearifan Komunitas
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas
dan pembangunan rehabilitasi DPM.Sanksi ditur secara tegas di Bab XI Pasal 20 yaitu seluruh hasil dari kegiatan yang merusak DPM akan dikembalikan pada tempatnya semula atau disita oleh Nagari dengan persetujuan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Badan Musyawarah Nagari, membayar dendan maksimal sebesar Rp.2.000.000,- ( dua juta rupiah).Seluruh uang denda disimpan sebagai Kas Nagari yang diperuntukkan untuk biaya kegeiatan pengelolaan DPM. Pasal 21, bagi pelanggar yang melakukan keslahan sejenis disebut sanksi tingkat kedua Sumatera Barat (lanjutan)
Kabupaten Pasaman (lanjutan)
pesisir selatan
Peraturan Nagari (Pernag)
desa sago
Peraturan Nagari Ampang Pulai Kecamatan Koto XI Tarusan, Pemkab Pesisir Selatan No.: 03 Tahun 2009 tentang Pengelolaan daerah Perlindungan Mangrove dan Cemara Laut Nagari Ampang Pulai Kecamatan Koto XI Tarusan tanggal 15 September 2009. Isi Pernag sama dengan Pernag lainnya yang berbeda hanya pengaturan Daerah Pengelolalan Mangrove ( DPM) dan Daerah Perlindungan Cemara Laut (DPCL) di wilayah nagari masing-masing.Dianalisis dari isi bias dipastikan terjadi proses belajar antarkeduanya dan sulit dipastikan yang mana mencopy nagari yang mana. Kedua peraturan nagari itu ditandatangani oleh Ketua Bamus Nagari dan Wali Nagari, jumlah pasalnya sama sebanak 25 Pasal dan 14 Bab serta sistematikanya identik. menanam pohon kelapa di tepi muara dan tepi pantai untuk menghindari pengikisan tanah dan agar pantai dapat terlindung, serta tempat istirahat bagi nelayan, selain kelapa dapat dimakana.
pengetahuan lokal
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas
upacara mendarai pasia (tolak bala)
Sumatera Barat (lanjutan)
Agam
danau maninjau
Mina Bada Lestari
pengaturan dalam upaya pemanfaatan, pemulihan dan pelestarian serta pengendalian konservasi perairan danau pemanfaatan danau multi guna: perikanan, konservasi, pariwisata, sumber energi listrik, transportasi, rekreasi, olahraga air, penelitian
- ko manajemen dalam pengelolaan Danau Maninjau
asas pengelolaan: keberlanjutan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keterpaduan, kepentingan umum, keberdayaan dan keberhasilgunaan, kebersamaan dan kebermitraan, kepastian hukum dan keadilan, transportasi dan akuntabilitas penetapan zona danau: sempadan, pariwisata, budidaya, penyangga dan lindung Mentawai
mentawai
samudera hindia
arat sabulungan: tai ka manua, tai keleleu, kabagat koat,
hasil laut berasal dari penguasa laut, dan semua yang diturunkan dari langit adalah rezeki dari roh langit atau tai ka manua. Dengan ijin ketiga roh penguasa seseorang bisa memperoleh hasil alam yang diperuntukan bukan untuk perorangan tapi untuk semuanya. artinya segala isi alam dimiliki secara bersama dan dimanfaatkan bersama pula
paligagra
penangkapan ikan dilakukan secara bersama-sama prinsip sama rata atau membagi rata hasil penangkapan
tradisi turun temurun (tuntunan hidup)
konservasi alam
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Sumatera Barat (lanjutan)
Kabupaten/ Kota
padang pariaman
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
desa taluak
Kearifan Lokal
maubek lauik
Uraian kearifan terhadap kelestarian lingkungan, karena setiap seorang mentawai tidak akan mau menangkap ikan lebih banyak lagi meskipun dia tahu secara pasti bahwa masih banyak ikan yang bisa ditangkap pada masa itu. Hal ini menyiratkan bahwa dalam memetik hasil alam tidak boleh serakah, tapi cukup sekedar kebutuhan saja. hubungan dan persahabatan dengan alam selalu diupayakan dijaga dengan tidak terlalu mengeksploitasi hasil alam tersebut., tidak membuang kotoran ke sungai pengetahuan bermakna menjaga dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan yaitu pelarangan menangkap jenis ikan tertentu seperti lumba-lumba, karena dikenal sebagai ikan yang dapat menunjukkan adanya ikan, karena ikan lumba-lumba berlari mengejar ikan
Substansi Kearifan Komunitas
pengetahuan lokal
bangkai apapun dilarang dibuang ke laut melarang tegas pengambilan terumbu karang pemakaian umpan tidak dengan racun upacara mengobati laut: pemotongan kambing dan pembuatan ramuan dari daun-daunan, yang dipimpin oleh labai atau orang tua pasia, yang bertujuan memohon berkah pada Tuhan YME 18
Sumatera Selatan
Kabupaten Ogan Ilir
Lebak Lebung
Lelang, Perda
Uang hasil penjualan objek lelang lebak lebung masuk ke kas daerah untuk digunakan restocking ikan di wilayah lebak lebung
Regulasi Mekanisme
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No. 20
22
Provinsi NTB
NAD
Kabupaten/ Kota Lombok Barat
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Sasak
Laut Bali
Awig-awig
awig-awig adalah aturan-aturan lokal yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat yang berisi berbagai larangan untuk mengatur masalah tertentu dengan maksud memelihara ketertiban dan ketentraman yang berlaku di masyarakat adat setempat. awig-awig yang berlaku sekarang di beberapa wilayah pesisir dan laut Kabupaten Lombok Timur adalah bentukan baru dari hasil revitalisasi awig-awig tertulis dan tidak tertulis di masa lalu.
Awig-awig LMNLU
Pengaturan wilayah pengelolaan sumberdaya. 3 mil dari pinggir pantai dan bersifat eksklusif, diperuntukkan bagi nelayan yang menggunakan alat tangkap kecil. Adanya sanksi yang tegas dari Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara terhadap pelanggar
Panglima Laot
panglima laot adalah pemegang kekuasaan atas suatu wilayah sehingga dia berwenang mengeluarkan perintah dan larangan yang sifatnya mengikat kepada komunitas adat yang berhubungan dengan lhok di wilayah tersebut (Witanto, 2007). Dalam perkembangannya, Witanto menambahkan bahwa fungsi panglima laot telah bergeser dari “penguasa wilayah“ menjadi “pengelola wilayah“ atau dapat pula disimpulkan sebagai lembaga yang bertugas mengkoordinir dan mengkoordinasikan kepentingankepentingan nelayan dengan pemerintah yang berkuasa. a. Kesepakatan hari pantang melaut dan batas-batas waktunya yaitu hari raya Aidil fitri (3 hari penuh mulai hari pertama), hari raya Aidil Adha (3 hari hari penuh mulai hari pertama), hari jumat 1 hari penuh, hari kenduri laot (3 hari penuh), memperingari hari tsunami, perayaan hari
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas Sistem pengelolaan sumberdaya
Perda
Kajian Kearifan Lokal Dalam Mendukung Kelestarian Sumber Daya, Peningkatan Produksi Dan Pendapatan No.
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Masy/suku Pendukung
Karakteristik Kawasan
Kearifan Lokal
Uraian
Substansi Kearifan Komunitas
porklamasi 17 Agustus b. Pengambilan tindakan terhadap nelayan yang melanggar aturan tersebut c. Tata cara penangkapan ikan dengan rumponn (peletakan rumpon 5-12 mil dari garis pantai, bagi hasil ¼ bagian untuk pemilik rumpon, penempatan rumpon pinggir yaitu 3 mil dari pantai diatur oleh panglima laut lhok masing-masing, pemilik rumpon yang tidak berdomisili di Aceh diletakkan di luar perairan aceh yaitu lebih dari 12 mil dari titik terluar) d. Tata cara kayu apong e. Pelarangan keras penggunaan pukat trawl, racun, bahan kimia, dan pengeboman yang merusak terumbu karang dan biota laut lainnya 22
DKI Jakarta
Kep. Seribu
23
Papua Barat
Raja Ampat
sea farming yenbekwan
PL Irwor Ikwan Iba
menghentikan dan/atau menanggulangi perusakan terhadap habitat biota perairan kampung Yenbekwan
kesepakatan bersama
terlindunginya wilayah-wilayah penting dari perusakan habitat akibat pemanfaatan dan konsumsi berlebihan terhadap potensi sumberdaya pesisir meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat kampung Yenbekwan dalam menjaga dan memelihara sumber daya perairan kampung yenbekwan
legalitas: Peraturan kampung (Perkam)
Lampiran 2. Daftar Isian Identifikasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
Kabupaten :
......................................................................................... Desa/
No.
Kecamatan
Mayarakat adat/suku
Kelurahan
pendukung
Karakteristik Kawasan 1)
Substansi
Nama Uraian tentang kearifan lokal2)
Kearifan Lokal³⁾
Kearifan Lokal
Keterangan: 1) Karakteristik kawasan: diisi jenis tipologi perairan beserta nama kawasannya (misal: Laut Sulu/Sungai Mahakam/Laut Banda, dll) 2) diisi di lembar lainnya bila tidak mencukupi ³⁾ diisi sesuai dengan substansi kearifan lokal seperti; konservasi, upacara ,regulasi, dan lain-lain
Contoh Daftar Isian Identifikasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
Provinsi No.
1
: Maluku
Kabupaten / Kota
Desa/ Kecamatan Kelurahan
Maluku
Pulau
Tengah
Haruku
Haruku
Mayarakat adat/suku pendukung Orang Haruku
Karakteristik Kawasan 1) Laut
Nama Uraian tentang kearifan lokal2) Kearifan Lokal Sasi
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Sasi adalah salah satu dari sistem kelembagaan pengelolaan SDI, mrpkan salah satu institusi adat, di dalamnya ada kesepakatan2 dengan sanksi jika tjd pelanggaran. Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; di Haruku disebut Saniri'a Lo'osi Aman Haru-ukui, atau "Saniri Lengkap Negeri Haruku").